TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Komunikasi
adalah
aktivitas
menerima pesan dari orang lain.
manusia
dalam
menyampaikan
dan
Miller mendefinisikan komunikasi sebagai
situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber menyebarluaskan suatu pesan kepada seseorang penerima dengan disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima (Mulyana, 2003).
Sedangkan Hybels dan Weafer (dalam Liliweri,
2003) menyatakan bahwa komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya secara lisan dan tulisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk memperkaya sebuah pesan. Lasswell (dalam Effendy, 1997) mengemukakan bahwa komunikasi adalah menjawab pertanyaan sebagai berikut, who (siapa), says what (berkata apa), in which channel (melalui saluran apa), to whom (kepada siapa) dan with what effect (dengan efek apa) ? Berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Proses komunikasi dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni komunikasi antar persona dan komunikasi massa. Karakteristik komunikasi antar persona sebagai suatu proses adalah komunikator dan komunikannya tatap muka (face to face communication) dan di antaranya saling berbagi ide, informasi dan berbagi sikap. Sedangkan komunikasi massa, adalah bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu (Ardianto dan Erdinaya, 2004). Bentuk komunikasi lain yang tidak dapat dikategorikan sebagai komunikasi
antar
persona,
tetapi
memiliki
sifat
antar
persona
karena
komunikannya sering kali hanya satu orang dan dikenal oleh komunikatornya. Bentuk komunikasi ini tidak dapat dikategorikan ke dalam komunikasi massa, meskipun memiliki situasi pada komunikasi massa. Bentuk komunikasi ini disebut komunikasi medio (seperti telepon, teleks, faksimili, closed-circuit television dan sejenisnya). Kata medio berasal dari bahasa Latin yang berarti tengah-tengah, yang mempunyai karakteristik berada di antara komunikasi antar persona dan komunikasi massa. Kategori komunikasi medio dalam dunia periklanan adalah
9
media luar ruang (poster, spanduk, transit/panel bis) dan media lini bawah (pameran, direct mail, kalender, display). Unesco dalam rekomendasi globalnya yang diberi judul Many Voice One World (Aneka Suara Satu Dunia), mengemukakan bahwa komunikasi secara keseluruhan tidak dapat dimengerti apabila tidak dihubungkan dengan dimensi politik; masalah-masalahnya tidak dapat disesuaikan apabila tidak diperhatikan hubungan-hubungan politiknya. Politik dalam arti luas berhubungan dengan komunikasi (McBride, 1983). Praktek politik tidak dapat dipisahkan dari aktivitasaktivitas komunikasi dalam berbagai bentuk dan saluran komunikasi. Komunikasi dalam dimensi politik, sebagaimana dikemukakan oleh Habermas, adalah proses perebutan pengaruh yang paling demokratis. Komunikasi menjadi sarana yang paling adil - bahkan paling manusiawi - untuk saling mempertukarkan pengaruh dan memperebutkan kekuasaan. Cara-cara ini telah digunakan ketika Ilmu Retorika dikenal di Yunani Kuno hingga kampanye pemilihan
umum yang diselenggarakan oleh setiap negara demokratis
(Dwijowijoto, 2004). Lasswell (1936), sejalan dengan paradigma komunikasi yang dibuatnya, mengatakan bahwa politik adalah berhubungan dengan pertanyaan, who (siapa), get what (mendapat apa), when (kapan) dan how (bagaimana) ?. Oleh karena itu politik merupakan pembuatan keputusan yang penting tentang siapa mendapat apa ?, yaitu proses yang berhubungan dengan distribusi nilai-nilai dalam masyarakat. Pada saat yang sama, politik dapat diartikan dengan siapa mengatakan apa?, yaitu proses mengkomunikasikan simbol-simbol kepada masyarakat
(Dye and Zeigler, 1986). Komunikasi politik adalah penting bagi
suatu masyarakat massa. Apa yang dikatakan para pemimpin, adalah sama sepentingnya dengan apa yang dilakukan para pemimpin.
Kampanye Kampanye adalah suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan secara terlembaga. Penyelenggara kampanye umumnya bukanlah individu melainkan lembaga atau organisasi. Lembaga tersebut dapat berasal dari lingkungan pemerintahan, kalangan swasta atau lembaga swadaya masyarakat. Terlepas siapa pun penyelenggaranya, kampanye selalu memiliki tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan tersebut sangat beragam dan berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.
10
Rogers dan Storey (dalam Venus, 2004) mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”. Sejalan dengan definisi ini, Snyder (dalam Venus, 2004).
mengemukakan bahwa “kampanye komunikasi adalah
tindakan komunikasi yang terorganisir yang diarahkan pada khalayak tertentu, pada periode waktu tertentu guna mencapai tujuan tertentu”. Demikian juga Rajasundaram (dalam Venus, 2004) menyatakan bahwa “kampanye dapat diartikan sebagai pemanfaatan berbagai metode komunikasi yang berbeda secara terkoordinasi dalam periode waktu tertentu yang ditujukan untuk mengarahkan khalayak pada masalah tertentu berikut pemecahannya”. Dari pengertian kampanye tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa kampanye merupakan kegiatan komunikasi yang mempunyai ciri-ciri khusus sebagaimana dikemukakan oleh Venus (2004), bahwa setiap aktivitas kampanye komunikasi setidaknya harus mengandung empat hal yakni (1) tindakan kampanye yang ditujukan untuk
menciptakan efek atau dampak tertentu (2)
jumlah khalayak sasaran yang besar (3) biasanya dipusatkan dalam kurun waktu tertentu dan (4) melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi. Kampanye selalu memiliki tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan tersebut sangat beragam dan berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Untuk mencapai tujuan dengan menggunakan kampanye pada dasarnya adalah merupakan usaha untuk menggugah kesadaran dan pendapat masyarakat pada isu tertentu. Melalui cara tersebut kemudian dapat diperoleh dukungan yang bisa digunakan untuk menekan pengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang diperlukan. Meskipun demikian segala tindakan dalam kegiatan kampanye itu sendiri dilandasi oleh prinsip persuasi yakni mengajak dan mendorong publik untuk menerima atau melakukan sesuatu yang dianjurkan atas dasar kesukarelaan. Apapun ragam dan tujuannya, upaya perubahan yang dilakukan kampanye menurut Pfau and Parrot (1993) selalu terkait dengan aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (behavioral). Sementara Ostergaard (dalam Venus, 2004) menyebut ketiga aspek tersebut dengan istilah “3A” sebagai kependekan dari awareness, attitude and action. Ketiga aspek ini bersifat saling terkait dan merupakan sasaran pengaruh (target of influences) yang harus dicapai secara bertahap agar satu kondisi perubahan dapat tercapai.
11
Kegiatan kampanye pada akhirnya ditujukan untuk mengubah perilaku khalayak secara konkrit dan terukur, serta menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye. Tindakan tersebut dapat bersifat “sekali itu saja” atau berkelanjutan (terus menerus).
Jenis-Jenis Kampanye Jenis-jenis
kampanye
berhubungan
dengan
motivasi
yang
melatarbelakangi diselenggarakannya sebuah program kampanye. Motivasi tersebut pada gilirannya akan menentukan ke arah mana kampanye akan digerakkan dan apa tujuan yang akan dicapai. Jadi secara inheren ada keterkaitan antara motivasi dan tujuan kampanye. Mengacu pada keterkaitan tersebut, Larson (1992) membagi kampanye ke dalam tiga kategori yakni; product-oriented campaigns, candidate oriented campaigns dan ideologically or cause oriented campaigns. Product-oriented campaigns, atau kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi di lingkungan bisnis. Istilah lain yang sering dipertukarkan dengan kampanye jenis ini adalah commercial campaign atau corporate campaign. Motivasi yang mendasarinya adalah keuntungan finansial. Cara
yang
ditempuh
adalah
dengan
memperkenalkan
produk
dan
melipatgandakan penjualan sehingga diperoleh keuntungan yang diharapkan. Kampanye Public Relations yang ditujukan untuk membangun citra positif perusahaan di mata publik juga dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini. Candidate oriented campaigns, atau kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Karena itu jenis kampanye ini dapat juga disebut sebagai political campaign (kampanye politik). Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan politik yang diperebutkan lewat proses pemilihan umum. Kampanye Pemilu, kampanye penggalangan dana bagi partai politik, kampanye kuota perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan contoh-contoh jenis ini. Ideologically or cause oriented campaigns, adalah jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan sosial. Karena itu kampanye jenis ini dalam istilah Kotler and Anderson (1987) disebut sebagai social change campaigns, yakni kampanye
12
yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terkait. Jenis kampanye yang tidak termasuk dalam kategori kampanye politik atau kampanye produk dapat dimasukan ke dalam kampanye perubahan sosial (Venus, 2004). Berkenaan dengan kampanye politik yang dalam kategori Larson (1992) termasuk dalam kategori candidate oriented campaigns, Steinberg (1981) mendefiniskannya sebagai suatu usaha yang terkelola, terorganisir untuk mengikhtiarkan orang dicalonkan, dipilih atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi. Selanjutnya ia menambahkan bahwa dalam kampanye politik untuk jabatan resmi, si calon dipertontonkan. Ia juga mengangkat seorang manajer yang menangani secara keseluruhan segala usaha umum yang nampak jelas itu, untuk
meraih
kekuasaan.
Sementara
Smith
dan
Zurchrer
(1966)
mendefinisikannya sebagai suatu kontes persaingan calon untuk suatu jabatan tertentu dan dari organisasi politik mereka masing-masing untuk memenangkan dukungan pemilih dalam pemungutan suara. Metode yang digunakan hanya dibatasi oleh aturan (hukum) dan kecerdikan. Sumber daya keuangannya diperoleh dari para kontestan dan pendukung mereka dan lebih mempercayai untuk memanfaatkan platform, pidato di radio dan televisi, serta daya tarik barang cetakan untuk mendukung pengiriman melalui surat, distribusi poster, plakat, lencana dan barang sejenisnya, parade serta bentuk lainnya dan kunjungan pribadi dari pintu ke pintu.
Sifat Persuasif Kampanye Politik Persuasi secara inheren terkandung dalam kampanye. Dengan demikian setiap tindakan kampanye adalah persuasi. Ellul mengemukakan bahwa jangka waktu yang terbatas untuk kampanye politik hampir tidak cukup untuk upaya propaganda yang penuh. “Tidak mengherankan bahwa propaganda seperti itu hanya sedikit pengaruhnya”, tulisnya, “sebab tidak ada teknik besar propaganda yang dapat efektif” dalam kampanye yang terbatas (Nimmo, 2000). Dalam setiap pemilihan terdapat unsur-unsur propaganda (komunikasi organisasi melalui partai politik), tetapi sifat dasar kampanye politik kontemporer terletak pada upaya untuk mempersuasi melalui periklanan massa (komunikasi massa) dan retorik (komunikasi interpersonal), bukan pada propaganda. Dalam kontes (persaingan) antar partai ada tiga tujuan kampanye. Pertama, ada upaya untuk membangkitkan kesetiaan alami para pengikut suatu
13
partai dan agar mereka memilih sesuai kesetiaan itu; kedua, ada kegiatan untuk menjajagi warga negara yang tidak terikat pada partai dan menurut istilah Burke (dalam Venus, 2004), untuk menciptakan pengidentifikasian di antara golongan independen; ketiga, ada kampanye yang ditujukan pada oposisi, bukan dirancang untuk mengalihkan kepercayaan dan nilai anggota partai, melainkan untuk meyakinkan rakyat bahwa keadaan akan lebih baik jika dalam kampanye ini mereka memilih kandidat dari partai lain. Oleh karena itu sifat persuasif dalam kampanye politik menjadi sangat penting untuk meraih simpati dan dukungan sebanyak-banyaknya dari pemilih. Persuasi itu sendiri sebagaimana didefinisikan oleh Pace et al. (1979) adalah merupakan “tindakan komunikasi yang bertujuan untuk membuat komunikan mengadopsi pandangan komunikator mengenai sesuatu hal atau melakukan suatu tindakan tertentu”. Sedangkan Johnston (1994) memberikan definisi yang lebih spesifik dengan menyatakan bahwa “persuasi adalah proses transaksional di antara dua orang atau lebih di mana terjadi upaya merekonstruksi realitas melalui pertukaran makna simbolis yang kemudian menghasilkan perubahan kepercayaan, sikap dan atau perilaku secara sukarela”. Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa persuasi pada prinsipnya adalah setiap tindakan komunikasi yang ditujukan untuk mengubah atau memperteguh sikap kepercayaan dan perilaku khalayak secara sukarela sehingga sejalan dengan apa yang diharapkan komunikator. Pada kenyataannya setiap kegiatan persuasi selalu ditandai oleh empat hal, yakni; melibatkan sekurang-kurangnya dua pihak, adanya tindakan mempengaruhi secara sengaja, terjadinya pertukaran pesan persuasif dan adanya kesukarelaan dalam menerima atau menolak gagasan yang ditawarkan. Istilah persuasi sendiri sangat “cair” dan mudah berubah. Bila upaya mempengaruhi itu mengandung unsur-unsur penyimpangan kebenaran isi pesan secara sengaja dan sistematis, maka hal itu disebut manipulasi. Bila pelaku lebih bersifat memaksa daripada mempengaruhi secara sukarela maka istilah yang digunakan adalah koersi.
Karakteristik Produk Politik Baines et al. (dalam Nursal, 2004) mengemukakan, karakteristik produk politik memiliki kedekatan – untuk tidak mengatakan sama – dengan produk jasa. Karakteristik tersebut meliputi intangibility (tak dapat diraba), inseparibility (tidak
14
dapat dipisah-pisahkan), variability (sangat beragam), perishability (tak tahan lama) dan pemilikannya tidak dapat diklaim oleh satu pihak. Presentasi politik mengandung ketidakpastian karena janji-janji politik yang disampaikan tidak selamanya dapat dipegang karena penuh ketidakpastian (intangibility). Terhadap jani-janji tersebut juga memungkinkan terjadinya multi interpretasi. Calon yang terpilih belum tentu menjamin akan dapat memenuhi janji-janjinya karena kompleksnya proses politik. Proses produksi, komunikasi dan konsumsi produk politik terjadi pada saat yang bersamaan (inseparability). Orang mengkonsumsi produk politik untuk memperoleh keyakinan atas pesan-pesan politik tertentu. Keyakinan itu diperoleh melalui makna politis yang tertanam dalam benak pemilih sebagai interpretasi terhadap stimulus produk politik. Pesan-pesan politik yang dikonsumsi pada dasarnya meliputi substansi dan konteks politik yang tidak dapat dipisahkan. Keragaman produk politik yang bersumber dari beragamnya aspirasi dan karakter para pemilih (variablitiy). Dengan keragaman tersebut, maka seorang kontestan tidak bisa membuat standar baku mengenai pesan utama dan gaya produk yang disampaikan, Dalam proses memproduksi stimulus tertentu, seringkali melibatkan massa pemilih, seperti menggelar rapat akbar. Pelibatan massa ini mempersulit kontestan untuk membuat standar baku mengenai event tertentu. Karena sifatnya yang intangibel dan perishable, maka tidak seorang pun dapat mengklaim kepemilikan produk politik tertentu. Seseorang dapat mengkalim isu anti korupsi sebagai pesan kampanye politik, tetapi tidak dapat mengkalim bahwa hak cipta anti korupsi adalah miliknya. Berdasarkan analisis cara-tujuan (means-end), yang lazim dugunakan dalam studi perilaku konsumen (Peter dan Olson dalam Nursal, 2004), produk politik dapat dilihat sebagai sekumpulan atribut, serangkaian manfaat dan sekumpulan nilai (value). Atribut dapat dipilah lagi menjadi atribut konkrit dan abstrak. Contoh atribut konkrit yang dimiliki seorang kandidat adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan sebagainya. Contoh atribut abstrak antara lain paras dan kharisma. Atribut tersebut akan menghasilkan manfaat yang merupakan bentuk dari konsekuensi yang diinginkan oleh para pemilih.
15
Tabel 1.
Contoh makna politis dan orientasi perilaku pilihan politik yang muncul dari stimulus politik
Makna Politis Konservatif Orang bisnis Orang muda Orang kaya Independen Pencinta lingkungan hidup Wong cilik Tokoh Islam Intelektual Pro mahasiswa Moderat Tokoh lama kita Pilihan sejak dulu Partai kita sejak dulu Orang kita Enteng Patriotik Bertanggungjawab Percaya diri Optimistik Memuaskan Penuh harapan Ruwet Dapat dipercaya Cerdas (strong minded) Berintegrasi tinggi Orang yang menyadari tujuan Enerjik Stabil Bergairah Pandai mengemukakan pikirannya (artikulasi) Pemerintah yang tegas dan kuat Kebijakan jangka panjang yang jelas dan konsisten Meningkatkan kewibawaan bangsa Menegakkan hukum Membawa ide-ide baru dan segar ke dalam pemerintahan Mampu menolak usulan Parlemen yang tidak efisien Mengembangkan militer Menghemat energi Mengurangi inflasi Mempertahankan negara kesatuan Anti korupsi Ekonomi pro rakyat Anti gerakan sparatis Prihatin lonjakan harga-harga, pengangguran dan daya beli Anti KKN Sedih kekalahan referendum Timtim Mengecam kekalahan atas peradilan Sipadan-Ligitan Peduli pada ledakan bom di beberapa tempat Dikejar-kejar Orde Baru Ikut berjuang meruntuhkan Orde Baru Terlibat dalam gerakan reformasi Pernah ditangkap musuh waktu perang Figur populer Wajah dan harapan baru di tengah kebobrokan Calon di luar mainstream
Orientasi Perilaku Pilihan
Social Imagery
Identifikasi Partai
Emotional feelings kandidat
Personalita kandidat
Isu dan kebijakan politik
Peristiwa mutakhir
Peristiwa personal
Faktor-faktor epistemik
Sumber : Nursal, 2004. Manfaat tersebut juga dapat dipilah-pilah lagi menjadi manfaat fungsional dan manfaat psikososial. Contoh manfaat fungsional adalah kompetensi teknis, kemampuan memimpin dan kapabilitas. Sedangkan contoh manfaat psikososial
16
adalah simpati, jujur dan sebagainya (Nursal, 2004). Dalam dunia politik, pengertian atribut sebagaimana diuraikan di atas seringkali rancu dengan manfaat. Sulit untuk membedakan pemimpin kharismatis sebagai atribut abstrak dengan pemimpin yang jujur, bergaya halus, pintar berkomunikasi dan dapat diterima sebagai manfaat fungsional. Produk politik juga merupakan alat untuk menstimuli makna (meaning provider). Produk politik merupakan alat untuk meyakinkan para pemilih melalui pemaknaan terhadap produk politik. Serangkaian makna yang tertanam di dalam benak pemilih pada akhirnya menentukan orientasi perilaku. Makna politis yang paling efektif untuk meyakinkan pemilih pada dasarnya merupakan jawaban atas “pertanyaan”, mengapa seseorang menyukai calon tertentu (Nursal, 2004). Menurut Nimmo (2000), dalam proses pemaknaan orang akan mengamati tiga obyek, yakni obyek fisik, obyek sosial dan obyek abstrak. Obyek fisik meliputi berbagai
atribut partai, seperti bendera, logo, uniform, kantor,
posko, medium komunikasi dan sebagainya. Obyek sosial adalah manusia, baik sebagai individual maupun massa. Sedangkan obyek abstrak meliputi gagasan, ajaran, keinginan, ideologi, visi-misi, platform dan sebagainya. Contoh-contoh makna politis yang disajikan dalam Tabel 1 adalah contoh makna politis yang positif dan merupakan faktor yang mendorong pemilih untuk memilih calon tertentu. Sedangkan makna politis yang negatif terjadi karena adanya kampanye negatif (negative campaign) atau kampanye hitam (black campaign), sebaliknya dapat menimbulkan penolakan pemilih atas calon tertentu.
Kredibilitas Sumber Kampanye Sebagai sumber informasi, seseorang harus peduli dengan kredibilitas dirinya sendiri, di mana kredibilitas ini berkaitan dengan persepsi khalayak tentang keefektifan seseorang sebagai pembicara. Demikian halnya dengan pelaku kampanye harus memperhitungkan kredibiltas dirinya di mata khalayak bila ingin pesan-pesan yang disampaikannya didengarkan (received) dan diterima khalayak (accepted). Kredibilitas itu tidak secara inheren ada dalam diri komunikator. Sementara dengan analogi yang pas Pearson dan Nelson (dalam Venus, 2004) menyebut kredibilitas itu mirip dengan kecantikan, yaitu ada pada mata orang yang memandangnya. Penelitian yang dilakukan Hovland, Janis dan Kelley (dalam Venus, 2004) menemukan tiga aspek yang mempengaruhi kredibilitas
17
sumber yakni (a) keterpercayaan (trustworthiness), (b) keahlian (expertise) dan (c) daya tarik (attractiveness). Keterpercayaan berkaitan dengan penilaian khalayak bahwa sumber informasi dianggap tulus, jujur, bijak dan adil, obyektif, memiliki integritas pribadi, serta memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi. Khalayak akan menilai apakah pelaku kampanye dapat dipercaya atau apakah secara moral mereka dapat diandalkan. Penilaian yang dilakukan umumnya berpatokan pada perilaku sumber pada masa lalu dan dugaan khalayak tentang perilakunya pada saat sekarang. Dengan kata lain, track record seseorang akan menjadi acuan apakah yang bersangkutan dianggap memiliki keterpercayaan atau tidak. Faktor keahlian berhubungan dengan penilaian di mana sumber dianggap berpengetahuan, cerdas, berpengalaman, memiliki kewenangan tertentu dan menguasai skill yang bisa diandalkan. Untuk dikatakan ahli orang perlu memiliki semua kualitas di atas, karena satu atau dua sifat saja umumnya dianggap sudah mencukupi. Dalam konteks kampanye, keahlian pelaku kampanye di mata khalayak dapat merentang dari kategori ahli hingga tidak ahli. Jika khalayak mempersepsi komunikator sebagai orang yang ahli, maka mereka cenderung bersedia mendengarkan, mempelajari dan menerima isi pesan yang disampaikan. Sebaliknya bila komunikator dipandang tidak memiliki keahlian maka khalayak akan mengabaikan pesan tersebut. Daya tarik sumber termasuk peubah yang paling banyak dimanfaatkan oleh kalangan praktisi periklanan, kampanye politik dan public relations dalam mengefektifkan pesan-pesan yang mereka sampaikan. Secara umum konsep ini meliputi penampilan fisik dan identifikasi psikologis sebagai daya tarik kepada seseorang yang didasarkan pada kesamaan nilai atau karakteristik kepribadian lainnya. Pada konteks ini daya tarik berbeda dengan kharisma. Seseorang mungkin saja mempunyai kharisma, tetapi tetap ditemukan bahwa nilai-nilai orang tersebut sangat berbeda dan tidak menarik hati anda untuk melakukan identifikasi.
Pesan Kampanye Kampanye selalu dimulai dari gagasan. Ide dasar berbagai jenis kampanye yang dilakukan partai politik adalah menciptakan pesan-pesan kampanye yang menarik sehingga khalayak mau memilih partai atau calon tersebut. Jadi inti dari kampanye tidak lain adalah pesan.
18
Kampanye pada dasarnya adalah penyampaian pesan-pesan dari pengirim (sumber) kepada khalayak. Pesan-pesan tersebut dapat disampaikan dalam berbagai bentuk mulai dari poster, spanduk, baliho (billboard), pidato, diskusi, iklan hingga selebaran. Apapun bentuknya pesan-pesan selalu menggunakan simbol, baik verbal maupun non-verbal. Melalui simbol-simbol, pesan-pesan kampanye dirancang secara sistematis agar dapat memunculkan respons tertentu dalam pikiran khalayak. Agar respons itu muncul maka prasyarat yang harus dipenuhi adalah adanya kesamaan pengertian tentang simbol-simbol yang digunakan di antara pelaku dan penerima. Jadi menciptakan kesamaan makna (commoness) di antara pelaku kampanye dan penerima pesan merupakan landasan bagi tercapainya tujuan kampanye. Setidaknya ada dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengemas pesan, yakni isi pesan dan struktur pesan (Venus, 2004). Ada beberapa hal yang terkait dengan isi pesan, mulai dari materi pendukungnya, visualisasi pesan, isi negatif pesan, pendekatan emosional, pendekatan rasa takut, kreativitas dan humor, serta pendekatan kelompok rujukan.
Banyak
penelitian menemukan bahwa material pendukung, seperti ilustrasi dan kejadian bersejarah dalam sebuah pesan sangat mempengaruhi perubahan sikap orang yang menerima pesan tersebut. Menurut Koballa (dalam Venus, 2004) sikap yang terbentuk berdasarkan contoh-contoh dan peristiwa bersejarah yang telah terjadi di masa lalu lebih menetap dalam diri seseorang dalam waktu yang lama, dibandingkan dengan sikap yang terbentuk dengan data-data. Isi pesan kampanye pada umumnya menyertakan visualisasi mengenai dampak positif atas respons tertentu yang diharapkan muncul dari khalayak sasaran. Makin nyata visualisasi pesan makin mudah khalayak mengevaluasi pesan tersebut dan makin cepat mereka menentukan sikap untuk menerima atau menolak isi pesan. Selain itu isi pesan juga harus dilihat dari pendekatan emosional, rasa takut, kreativitas dan humor, serta pendekatan kelompok rujukan. Melalui pendekatan emosional orang akan lebih menerima pesan berdasarkan dimensi afektif yang dimilikinya. Jika seseorang merasa terancam dengan isi pesan maka ia cenderung tidak akan merespons pesan tersebut. Oleh karena itu himbauan rasa takut yang berlebihan akan mengakibatkan pesan tidak efektif, karena khalayak berupaya menghindari atau menolak pesan tersebut. Jadi pesan kampanye yang baik adalah yang dapat menyesuaikan isi pesan dengan perasaan khalayaknya.
19
Dalam kegiatan kampanye, misalnya kampanye politik, tidak selamanya orang membeberkan program-program kampanyenya dengan serius, karena hal itu justru akan sangat membosankan dan menimbulkan kejenuhan khalayak. Lebih dari itu mereka mungkin akan bingung dan kesulitan karena terlalu banyak data dan informasi yang harus dicerna. Dalam kondisi seperti ini boleh jadi perhatian mereka akan menurun dan akibatnya pesan-pesan kampanye tidak diterima oleh khalayak. Oleh karena itu kreativitas pelaku kampanye dalam mengemas
pesan
dan
cara
menyampaikan
pesan
kampanye
harus
memperhitungkan kondisi situasional khalayak agar pesan lebih mudah diterima. Apalagi kalau dibumbui hal-hal yang jenaka yang sifatnya menghibur agar kondisi khalayak menjadi rileks dalam menerima pesan-pesan kampanye. Aspek lain dalam meningkatkan efektivitas isi pesan adalah pendekatan kelompok rujukan khalayaknya. Kelompok rujukan adalah sekumpulan orang yang memberikan inspirasi tertentu kepada orang lain dan mereka menjadi panutan atau model untuk dicontoh. Pesan kampanye akan lebih efektif apabila memperlihatkan orang-orang yang menjadi rujukan orang lainnya sebagai orang yang mengadopsi isi pesan kampanye. Seseorang akan lebih mudah menerima isi pesan jika orang lain yang menjadi rujukannya juga menerima pesan tersebut. Aspek struktur pesan merujuk pada bagaimana unsur-unsur pesan diorganisasikan. Nursal (2004) mengemukakan, secara umum ada tiga aspek yang terkait langsung dengan pengorganisasian pesan kampanye, yakni sisi pesan (message sidedness), susunan pesan (order of presentation) dan pernyataan kesimpulan (drawing conclusion). Sisi pesan memperlihatkan bagaimana argumentasi yang mendasari suatu pesan persuasif disajikan kepada khalayak. Bila pelaku kampanye (secara sepihak) hanya menyajikan pesan-pesan yang mendukung posisinya, maka ia menggunakan pesan satu sisi (one sided fashion). Dalam hal seperti ini kelemahan posisi pelaku kampanye atau kekuatan posisi pihak lawan tidak pernah dinyatakan secara eksplisit. Bila pelaku kampanye juga menyajikan sebagian dari kelemahan posisinya atau sebagian kelebihan dari posisi pihak lain, maka ia menggunakan pola pesan dua sisi (two sided message). Meskipun dua sisi pesan disajikan, namun tentu saja harus dilakukan secara proporsional supaya tidak merugikan posisi pelaku kampanye. Penggunaan argumen dua sisi dapat memperkuat kredibilitas pelaku kampanye. Khalayak akan menganggap pesan dua sisi lebih jujur dan dapat
20
dipercaya. Argumentasi dua sisi menjadi lebih efektif apabila berhadapan dengan khalayak (1) berpendidikan tinggi atau cerdas; (2) menyadari adanya dua sisi yang berseberangan dari suatu isu; dan (3) khalayak belum sepakat dengan posisi juru kampanye. Sementara argumentasi satu sisi akan lebih efektif apabila berhadapan dengan khalayak; (1) khalayak sudah dalam posisi mendukung posisi juru kampanye; (2) khalayak mudah bingung atau sulit memahami isu yang ada; dan (3) khalayak tidak menyadari adanya argumentasi yang berseberangan. Pengaturan lainnya adalah mengenai penempatan argumentasi dalam pesan (order of presentation) . Apakah argumentasi tersebut akan ditempatkan di awal, di tengah atau di akhir dari suatu pesan kampanye. Penempatan ini erat kaitannya dengan cara penyusunan pesan yang meliputi susunan klimaks, antiklimaks dan susunan piramidal. Pemilihan atas susunan yang akan diterapkan akan tergantung pada tingkat ketertarikan khalayak (audience’s level of interest). Dalam pengaturan klimaks argumentasi terbaiknya ditempatkan di bagian akhir pesan kampanye, susunan ini akan baik digunakan ketika tingkat perhatian khalayak tinggi. Sebaliknya untuk antiklimaks argumentasi terbaiknya ditempatkan di bagian awal pesan kampanye, yaitu ketika tingkat perhatian khalayak rendah. Sedangkan pada susunan piramidal argumentasi terbaiknya ditempatkan di bagian tengah pembicaraan, yaitu ketika tingkat perhatian khalayak dalam keadaan moderat. Pertimbangan berdasarkan minat khalayak dengan susunan penyajian argumentasi pokok (key argument) didukung oleh temuan penelitian persuasi yang menyimpulkan adanya primacy effect dan recency effect (Venus, 2004). Primacy effect adalah penempatan argumentasi kunci di awal pembicaraan yang diyakini lebih efektif dalam mempengaruhi perubahan pendapat dan sikap khalayak. Sementara recency effect menempatkan argumentasi terpenting di bagian akhir pembicaraan yang juga dianggap memiliki daya persuasif. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa khalayak pada umumnya lebih mampu mengingat bagian awal dan akhir dari suatu penyajian pesan. Aspek penting struktur pesan lainnya berkaitan dengan pernyataan apakah pelaku kampanye perlu menyajikan kesimpulan pesan (drawing conclusion) secara eksplisit atau membiarkan khalayak menyimpulkan pesan sendiri. Menyajikan kesimpulan secara implisit, menurut Stiff (dalam Venus, 2004) harus memperhitungkan karakteristik khalayak yang meliputi tingkat
21
pendidikan, kepribadian dan tingkat keterlibatan khalayak dalam kegiatan kampanye yang dilakukan.
Saluran dalam Kampanye Politik Penggunaan saluran kampanye untuk jabatan politik dapat dikelompokan ke dalam kampanye massa, kampanye Interpersonal dan kampanye organisasi (Nimmo, 2000). Kampanye massa adalah kegiatan kampanye yang dilakukan melalui saluran komunikasi massa. Imbauan kepada massa dilakukan melalui hubungan tatap muka ataupun melalui jenis media berperantara, yaitu media elektronik, media cetak atau poster. Rapat umum politik adalah salah satu bentuk kampanye massa yang memberikan peluang utama kepada kandidat untuk melakukan komunikasi tatap muka di depan khalayak massa. Namun, sebagian besar orang banyak yang datang untuk melihat dan mendengarkan seorang kandidat dalam rapat umum massa sudah mempunyai kecenderungan kepadanya. Tujuan kandidat dalam hal ini bukan untuk membelokan oposisi, melainkan memperkuat golongan yang setia dan mempublikasikan gaya pribadi (Nimmo, 2000). Dalam rapat umum politik yang dilaksanakan oleh kandidat atau juru kampanye sebagian besar dari peserta yang hadir biasanya adalah para pendukungnya, atau yang hanya sekedar untuk mencari hiburan, misalnya selingan pertunjukan musik. Oleh karena itu banyaknya peserta yang hadir dalam suatu rapat umum politik tidak selalu menunjukan banyaknya suara yang akan diperoleh oleh kandidat tersebut. Beberapa jenis media elektronik yang umum dipakai sebagai saluran kampanye massa di antaranya adalah: (1) Kampanye radio yaitu kampanye audio yang dapat dilakukan dalam bentuk iklan politik, jingle, pidato, wawancara, talk show, debat, berita dan sebagainya; (2) Kampanye televisi, adalah kampanye
yang
menggunakan
audio-visual,
biayanya
mahal,
sehingga
penekanannya ialah pada pembuatan citra untuk memproyeksikan atribut-atribut terpilih dari kandidat. Dalam komunikasi televisi durasinya harus betul-betul diatur sedemikian rupa sehingga tidak membosankan; (3) Kampanye melalui pesawat telepon, telepon sebagai alat komunikasi lisan mempunyai beberapa kegunaan bagi kampanye kontemporer, telepon dapat mencapai sejumlah besar pemilih
dalam
waktu
yang
singkat,
hubungan
telepon
juga
dapat
memperkenalkan kandidat kepada pemilih; (4) inovasi, perkembangan teknologi elektronik telah mendorong para juru kampanye politik untuk menerapkannya
22
untuk tujuan persuasif, contoh pemasangan iklan kampanye di internet, penyebaran Short Message Service (SMS) dan sebagainya (Nimmo, 2000; Nursal, 2004; Venus, 2004). Kampanye menggunakan media cetak masih merupakan alat utama kandidat politik untuk berkomunikasi dengan khalayak massa. Ada dua tipe media cetak yang sangat penting, yaitu surat langsung dan surat kabar; (1) kampanye surat langsung ditujukan pada pengumpulan dana, pembinaan dan pengenalan nama dan citra kandidat dan imbauan untuk mengumpulkan suara; (2) kampanye surat kabar, ada tiga isi surat kabar yang bertindak sebagai sarana komunikasi kampanye, yaitu berita, editorial dan iklan. Semuanya itu membantu pembinaan citra dan penyajian masalah. Kepada pembaca surat kabar menyajikan cerita yang membina kesan tentang pentingnya kredibilitas, watak, gaya dan reputasi kandidat melalui sarana, seperti penempatan cerita, judul, isi dan banyaknya liputan yang ditujukan kepada setiap pencari jabatan (Nimmo, 2000). Seperti pada kampanye yang dilakukan melalui media massa, melakukan kampanye pada tingkat interpersonal dilakukan baik melalui komunikasi tatap muka maupun komunikasi berperantara. Hubungan tatap muka terdiri atas tiga jenis; yang pertama, ialah penampilan pribadi yang dilakukan oleh kandidat (atau isterinya, kerabat dekat dan juru bicara utama) dalam setting yang relatif informal. Kedua, adalah kampanye melalui kebaikan pemuka pendapat, para kandidat membina itikad baik tokoh-tokoh lokal, negara bagian/daerah dan nasional. Ketiga, ada orang-orang yang sukarela melakukan anjangsana selama kampanye dengan mengunjungi setiap rumah di setiap seksi untuk kepentingan kandidat (Nimmo, 2000). Selanjutnya Nimmo (2000) mengemukakan bahwa kampanye melalui jaringan komunikasi organisasi menggabungkan sifat-sifat massa dan saluran interpersonal. Saluran komunikasi organisasi yang umumnya digunakan, pertama adalah organisasi kandidat, yaitu kelompok “manajemen” (organisasi kampanye) yang terdiri dari para politikus berpengalaman (baik pejabat pemerintah maupun pemimpin partai), juru kampanye profesional (termasuk segala jenis personel dari manajer kampanye dan konsultan sampai spesialis dalam polling opini publik, merencanakan pesan iklan, mengumpulkan dana, membuat iklan televisi, menulis pidato dan melatih kandidat dalam penampilan di depan umum) dan sukarelawan dari kalangan warga negara (sejumlah orang
23
yang bersedia melakukan hubungan telepon, menjilat prangko, berkunjung ke rumah-rumah, menaikan tanda dan sebagainya). Kedua, terdiri atas beraneka ragam organisasi kepentingan khusus yang menduduki posisi, membantu dana dan sumber daya lain, mengerahkan anggota dan memberikan tekanan kepada calon pejabat: serikat buruh, asosiasi perusahaan, kelompok agrikultur, organisasi hak sipil, lobby konsumen, pencinta lingkungan dan lain-lain. Organisasi kepentingan ini merupakan mata rantai yang vital di antara kandidat dan anggota kelompok. Ketiga, bentuk organisasi ini terutama untuk kampanye politik, kelompok penyokong. Untuk memberikan kesan mendapat dukungan yang luas melebihi barisan partisan, pegawai dan etnik, para juru kampanye politik mendirikan asosiasi untuk menyokong dan bekerja untuk kepentingan kandidat mereka. Pada
tahun
1972,
misalnya,
Partai
Republik
(Amerika
Serikat)
untuk
memanfaatkan penyebrang potensial dari Partai Demokrat mendirikan organisasi “Demokrat bagi Nixon”. Keempat adalah organisasi utama politik, yaitu partai politik. Saluran utama komunikasi partai terdiri atas kantor partai khusus dan hubungan partai dengan para pemilih. Komite seksi, distrik, negara bagian dan nasional serta konvensi adalah tingkat-tingkat pokok mesin partai yang menyalurkan pesan kepada anggota partai dan pendukung partai. Selain itu partai menyediakan birobiro pembicara dan kantor-kantor informasi untuk kepentingan para kandidatnya. Dalam pemilihan presiden tahun 1976, misalnya, Partai Republik menggunakan “regu
kebenaran”,
biasanya
para
pemimpin
Kongres
Republikan
yang
membuntuti calon presiden Demokrat untuk membantah pernyataan anggota partainya. Partai-partai politik menyampaikan pesan mereka langsung kepada pemilih melalui anjangsana. Pada umumnya partai-partai mengikuti aturan “berburu di tempat bebek berada”; artinya, setiap partai membatasi anjangsana terutama hanya di daerah yang simpatisannya diketahui, bukan berkeliaran mencari makanan di wilayah lawan.
Terpaan Kampanye Politik Fungsi utama kampanye pemilihan umum adalah menyampaikan informasi kepada pemilih, yang nantinya diharapkan akan memproses informasi tersebut dan dipersuasi untuk melakukan aktivitas sesuai dengan yang diinginkan oleh penyampai pesan.
24
Terpaan (exposure) menurut Shimp (dalam Amini, 2004) adalah di mana konsumen (pemilih) melakukan kontak dengan pemasar (kontestan) misalnya, mereka melihat iklan di majalah/surat kabar, mendengar iklan radio dan sebagainya. Terpaan tidak menjamin bahwa pesan akan menghasilkan efek, tetapi ini merupakan tahapan penting untuk taraf berikutnya dalam memproses informasi. Terpaan membutuhkan beberapa hal, diantaranya: 1. Saluran pada media yang ditayangkan atau didistribusikan (surat kabar, majalah, radio, televisi dan sebagainya). 2. Konsumen (dalam hal ini khalayak pemilih) untuk menerima terpaan dari saluran
media
(dengan
membaca
surat
kabarnya,
majalahnya,
mendengarkan radionya, menonton televisinya dan sebagainya). 3. Konsumen (dalam hal ini khalayak pemilih) menerima terpaan dari iklan tertentu dan pengiklan yang disampaikan pada media yang ada lewat saluran media. Jadi ketika individu menerima informasi dari penyampai pesan yang memiliki tujuan tertentu dari saluran media yang dikonsumsi oleh individu, maka keadaan ini disebut sebagai terpaan individu (Amini, 2004). Donohew at. al (1980) dalam teorinya tentang Aktivasi Terpaan Informasi (Activation Theory of Information Exposure) menjelaskan bahwa seorang individu akan berusaha mencari (memenuhi) stimulasi dan informasi dari suatu pesan yang sesuai dengan keinginannya, sebelum mereka memenuhi kebutuhannya terhadap informasi itu sendiri. Teori ini beranggapan bahwa kebutuhan akan informasi dan stimulasi berbeda untuk setiap individu oleh karena itu setiap orang akan memilih stimulasi dan informasi yang menarik perhatiannya daripada informasinya itu sendiri. Sementara Ardianto dan Erdinaya (2004) mengemukakan bahwa terpaan media massa (media exposure) adalah penggunaan media, baik jenis media, frekuensi penggunaan maupun durasi penggunaan (longevity).
Penggunaan
jenis media meliputi media audio, audiovisual, media cetak, kombinasi media audio dan media audiovisual, media audio dan media cetak, serta media audio, audiovisual dan media cetak. Selanjutnya Ardianto dan Erdinaya (2004) mengemukakan bahwa frekuensi penggunaan media adalah mengumpulkan data khalayak tentang berapa kali sehari seseorang menggunakan media dalam satu minggu (untuk
25
meneliti program harian); beberapa minggu seseorang menggunakan dalam satu bulan (untuk program mingguan dan tengah bulanan); serta berapa kali sebulan seseorang menggunakan media dalam satu tahun (untuk mengetahui program bulanan). Dari ketiga pola tersebut yang sering dilakukan adalah pengukuran frekuensi program harian. Sedangkan pengukuran peubah durasi penggunaan media menghitung berapa lama khalayak bergabung dengan suatu media (berapa jam sehari); atau berapa lama (menit) khalayak mengikuti suatu program (audience’s share on program). Terpaan informasi kampanye tidak selalu menimbulkan efek yang sama pada setiap individu, hal ini akan tergantung pada suasana terpaan (setting of exposure) yang sedang dihadapi oleh individu tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Weiss (dalam Ardianto dan Erdinaya, 2004) menunjukkan bahwa anak-anak lebih ketakutan menonton televisi dalam keadaan sendirian di tempat yang gelap. Reaksi orang lain pada saat menonton akan mempengaruhi emosi individu lainnya pada waktu memberikan respons, ketakutan, kengerian juga emosi lain sangat mudah menular. Dalam hubungannya dengan terpaan informasi ada satu konsep yang memainkan peranan sangat penting, yaitu selective perception (persepsi yang selektif).
Selective perception didefinisikan oleh Nurudin (2005) sebagai
kecenderungan seseorang untuk hanya menerima pesan-pesan yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya. Adanya proses yang selektif ini berarti untuk suatu pesan yang sama, orang yang berbeda dapat menampilkan respons yang berbeda.
Dalam persepsi yang selektif, persepsi orang dipengaruhi oleh
keinginannya, kebutuhannya, sikap dan faktor psikologis lainnya. Tidak ada seorang komunikator pun yang dapat mengasumsikan bahwa sebuah pesan akan memberikan arti yang diinginkan bagi penerima pesan (receiver). Sears dan Freedman (dalam Jahi, 1993) menyebutkan bahwa proses persepsi yang selektif meliputi sejumlah tahap. Tahap pertama adalah keterdedahan (exposure) yang selektif, yang anggota-anggota suatu khalayak menentukan pada media mana mereka akan mendedahkan diri. Pembacapembaca surat kabar biasanya tidak membaca seluruh artikel surat kabar, tetapi membatasi diri pada sejumlah artikel saja. Sekalipun telah membeli surat kabar kesukaannya, sebagian pembaca akan membaca dengan selintas halamanhalaman yang ada, membaca beberapa artikel, feature dan iklan di sana-sini. Tahap ini dikenal sebagai “Perhatian Selektif”. Aspek-aspek seleksi screening
26
(seleksi, penyaringan) di pihak audience (seperti selective exposure, selective perception, selective retention) mempunyai impact pesan. Dengan kata lain pesan-pesan yang diterima sangat tergantung sistem seleksi yang ada pada masing-masing audience. Partisipan dalam suatu komunikasi membawa pengalaman yang berbeda dalam diri mereka. Sebagai akibatnya, akan terdapat juga “Komprehensi Selektif” ketika pembaca yang berbeda membaca butir yang sama dalam suatu surat kabar.
Akhirnya
terdapat
“Retensi
Selektif”
(selective
retention),
yaitu
kecenderungan seseorang untuk hanya mau mengingat pesan yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya (Nurudin, 2005). Seperti, pembaca yang berbeda akan mengingat hal-hal yang berbeda pada suatu isu spesifik yang terdapat dalam suatu surat kabar. Hal ini benar, sekalipun membaca butir yang sama.
Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Khalayak dalam menanggapi pesan-pesan kampanye akan menentukan apakah mereka akan menerima atau menolak pesan-pesan tersebut. Setidaknya ada tiga teori yang dapat menjelaskan bagaimana khalayak mengolah dan merespons berbagai stimulus yang menerpa mereka, yakni social judgement theory (teori pertimbangan sosial), information integration theory (teori integrasi informasi) dan elaboration likelihood model (Venus, 2004). Teori
pertimbangan
sosial
menyatakan
bahwa
perubahan
sikap
seseorang terhadap obyek sosial atau isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan (judgement) yang terjadi dalam diri orang tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi. Proses mempertimbangkan isu atau objek sosial tersebut
berpatokan pada kerangka rujukan (reference points) yang dimiliki
seseorang. Kerangka rujukan inilah yang menjadi dasar bagaimana seseorang memosisikan suatu pesan persuasif yang diterimanya. Sherif (dalam Venus, 2004) menegaskan bahwa tindakan memosisikan dan menyortir pesan yang dilakukan oleh alam bawah sadar kita terjadi sesaat setelah terjadi persepsi. Selanjutnya dikemukakan oleh Sherif (dalam Venus, 2004), ada tiga rujukan yang digunakan seseorang untuk merespons suatu stimulus yang dihadapi. Ketiganya merupakan bagian yang saling terkait, yaitu pertama disebut latitude of acceptance (rentang atau wilayah penerimaan) yang terdiri dari pendapat-pendapat yang masih dapat diterima dan ditoleransi. Bagian kedua
27
disebut latitude of rejection (rentang penolakan) yang mencakup pendapat dan gagasan-gagasan yang kita tolak karena bertentangan dengan kerangka rujukan kita (sikap dan keyakinan) dan yang terakhir disebut latitude of noncommitment (rentang ketidakterlibatan) yang terdiri dari pendapat atau pesan-pesan persuasif yang tidak kita tolak dan tidak kita terima. Dalam rentang ketidakterlibatan ini kita tidak memiliki opini apa-apa sehingga bersikap netral terhadap pokok persoalan yang ada. Di samping ketiga konsep pokok di atas, masih ada satu konsep penting lainnya dari teori ini yang disebut ego-involvement, yakni derajat yang menunjukkan arti penting suatu isu bagi seseorang. Derajat penting-tidaknya suatu
stimulus
akan
turut
menentukan
sejauhmana
seseorang
dapat
dipengaruhi. Dengan kata lain semakin kurang berarti suatu isu bagi seseorang maka semakin kecil kemungkinan orang tersebut dapat dipengaruhi (Venus, 2004). Teori integrasi informasi (information-integration theory) memusatkan perhatiannya pada cara mengumpulkan dan mengorganisasikan informasi tentang orang, peristiwa, gagasan atau objek lainnya untuk membentuk sikap terhadap objek atau konsep tersebut. Dalam hal ini sikap dianggap sebagai informasi akumulatif tentang berbagai peristiwa, orang atau objek lainnya yang sebelumnya telah mengalami proses evaluasi. Setiap perubahan sikap dipandang sebagai penambahan informasi atau perubahan penilaian terhadap kebenaran informasi. Menurut teori ini sistem sikap individu dapat dipengaruhi oleh informasi yang diterima dan diintegrasikan ke dalam sistem informasi sikap tersebut (Venus, 2004). Semua informasi mempunyai potensi untuk mempengaruhi sikap seseorang, tetapi derajat bagaimana informasi tersebut dapat mempengaruhi sikap ditentukan oleh dua peubah, yakni valence dan weigth. Valence atau valensi adalah derajat yang menunjukkan apakah suatu informasi dipandang sebagai kabar baik (goodnews) atau buruk (badnews). Jadi setiap informasi akan dievaluasi dengan skala positif-negatif. Mulai dari sangat positif hingga sangat negatif. Peubah kedua adalah wight atau bobot pesan yang dikaitkan dengan kredibilitas sumber yang menyampaikan informasi tersebut. Jika seseorang menganggap informasi tersebut sebagai kebenaran, maka ia akan memberikan bobot yang tinggi terhadap informasi tersebut, jika sebaliknya maka informasi tersebut akan diberi nilai yang rendah. Jadi valence menunjukan bagaimana
28
suatu informasi akan mempengaruhi sikap, sementara weigth menentukan seberapa besar pengaruh tersebut akan timbul. Bila bobot yang diberikan pada informasi tersebut rendah, maka derajat pengaruh informasi juga akan kecil terlepas dari valensi yang ada (Venus, 2004).
Pesan Kampanye
Jalur Sentral
Jalur Periferal
Elaborasi tinggi (Kemampuan dan motivasi mengolah informasi tinggi)
Elaborasi rendah (Kemampuan dan motivasi mengolah informasi rendah)
Pengolahan informasi dilakukan secara hati-hati
Pengolahan informasi tidak berhati-hati
Tingkat perubahan dipengaruhi kualitas argumentasi
Tingkat perubahan dipengaruhi faktor non-argumentasi
Perubahan sikap
Gambar 1. Model Kemungkinan Elaborasi (Elaboration Likelihood Model) Sumber : Venus, 2004 Teori Elaboration Likelihood Model (ELM), atau model kemungkinan elaborasi merupakan suatu teori persuasi yang paling populer dewasa ini. Teori ini menjelaskan bahwa keputusan dibuat tergantung pada jalur yang ditempuh dalam memeroses sebuah pesan. Jika seseorang secara sungguh-sungguh mengolah pesan-pesan persuasif yang diterimanya semata-mata berfokus pada isi pesan tersebut maka orang tersebut menurut teori ELM dianggap
29
menggunakan jalur sentral (central route) atau memeroses informasi dalam kondisi keterlibatan tinggi. Sementara bila orang tersebut
tidak melakukan
evaluasi yang mendalam terhadap isi pesan yang diterimanya melainkan lebih memperhatikan daya tarik penyampai pesan, kemasan produk atau aspek periferal lainnya, maka ia dipandang menggunakan jalur pinggiran (peripheral route) atau memeroses informasi dalam kondisi keterlibatan rendah. Teori ini dikembangkan Petty dan Cacioppo (Venus, 2004; Sutisna, 2003). Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa orang dapat memeroses pesan persuasif dengan cara yang berbeda. Pada suatu situasi menilai sebuah pesan secara mendalam, hati-hati dan dengan pemikiran yang kritis, namun pada situasi lain menilai pesan sambil lalu dengan tanpa mempertimbangkan argumen
yang
mendasari
isi
pesan
tersebut.
Pada
umumnya
orang
berpendidikan tinggi atau berstatus sebagai pemuka pendapat (opinion leader) berkecenderungan menggunakan central route dalam mengolah pesan-pesan persuasif. Sementara orang berpendidikan rendah cenderung menggunakan jalur peripheral di mana faktor-faktor di luar isi pesan atau nonargumentasi lebih berpengaruh bagi yang bersangkutan dalam menentukan tindakan. Perilaku pemilih dalam memproses pesan kampanye, dimana pesan diterima dan disalurkan melalui dua jalur yang berbeda yang central route dan peripheral route dapat dilihat pada Gambar 1. Harrington et. al
(2006) mengemukakan bukti-bukti yang mendukung
bahwa tindakan memperhatikan dan memperoses pesan-pesan persuasif adalah fungsi dari proses kognitif dan biologis. Implikasi perhatian dan pemrosesan dari perluasan model aktivasi terpaan informasi (activation model of information exposure) melalui penambahan peubah kognitif yang dihubungkan dengan model kemungkinan elaborasi (elaboration likelihood model) bertujuan untuk menentukan bagaimana target audiens secara optimal dipengaruhi oleh informasi persuasif yang sehat, menarik dan mendapat perhatian, memicu (mendorong) pengolahan informasi, dan akhirnya membawa kepada perubahan perilaku.
Efek Kampanye Politik Gonzalez (dalam Jahi, 1993) mengemukakan, ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu kognitif, afektif dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan pengetahuan. Efek afektif
30
berhubungan dengan emosi, perasaan dan atitude (sikap). Sedangkan efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Akibat (efek) kampanye pada pemberi suara (pemilih) berdasarkan studi generasi pertama dan kedua (Nimmo, 2001), meneliti (1) terutama mencari kasus pemberi suara yang mengubah pikirannya sebagai akibat terpaan media dan (2) mengikuti
prosedur
sederhana
untuk
mengidentifikasi
pengaruh
yang
dimaksudkan dari pesan tertentu, orang yang dimaksudkan dipengaruhi oleh pesan itu dan akibat pengaruh tersebut pada khalayak yang dimaksudkan. Studi pemberian suara generasi ketiga mempunyai tekanan dan asumsi yang berbeda. Studi tersebut tidak hanya menelaah perubahan yang mungkin terjadi pada preferensi pemberi suara, tetapi juga perubahan pada tingkat informasi dan pengharapan pemberi suara. Sementara studi kontemporer mengadopsi pendekatan “penggunaan dan pemuasan” (uses and gratification). Di antara pemuasan yang dicari orang dari isi politik dan media ialah pedoman untuk mencapai pilihan pemberian suara, peneguh dan dukungan bagi putusan yang telah diambil, informasi sebagai alat untuk mengamati lingkungan politik, kegembiraan sebagai penonton drama konflik pemilihan umum dan bahan argumentasi untuk perdebatan dan diskusi di masa depan. Mendelsohn dan O’Keefe (dalam Nimmo, 2001) mengemukakan bahwa para pemberi suara menggunakan berbagai media untuk mengumpulkan empat jenis informasi (1) apa yang akan dicari dalam kampanye atau mencari petunjuk tentang agenda (agenda-cueing); (2) apa isu yang penting dari kampanye itu, atau penetapan agenda (agenda-setting); (3) posisi kandidat terhadap isu yang penting dan (4) informasi tentang kepribadian dan atribut lain dari kandidat. Persentase terbesar dari responden yang disurvai yang banyak menggunakan media untuk maksud ini menggunakan televisi (mayoritas setelah kampanye), sekitar sepertiganya menggunakan surat kabar, dan persentase yang relatif kecil menggunakan radio, majalah dan komunikasi interpersonal. Penelitian lain yang menekankan isi berita dan isi editorial dari media itu sebagai sumber informasi bagi ticket splitters meskipun menekankan bahwa media cetak (surat kabar dan majalah) menyajikan bagian yang lebih besar bagi informasi untuk pemberi suara dibandingkan dengan televisi. Sementara studi lainnya melaporkan bahwa iklan politik pada televisi, bukan berita, adalah sumber informasi utama. Terpaan iklan politik yang
31
ditelevisikan segera dan langsung mempengaruhi kepercayaan pemberi suara terhadap kandidat. Akhirnya Medelsohn dan O’keefe (dalam Nimmo, 2001) memberikan data bahwa pemberi suara yang berbeda menanggapi iklan politik dengan cara berbeda. Mereka yang mengambil keputusan dalam kampanye, lebih kecil kemungkinannya mencari informasi dan pedoman dari iklan politik yang ditelevisikan dibandingkan dengan yang lambat mengambil keputusan. Sedangkan yang lambat mengambil keputusan, kurang mengandalkan sumber informasi yang lain (partai politik, berita televisi, media cetak dan sebagainya), tetapi menoleh kepada sumber “tanpa upaya”, seperti iklan politik pada televisi. Terdapat juga petunjuk mereka yang mengubah pikirannya selama kampanye (yang disebut switchers) bisa jadi juga memperoleh informasi melalui iklan politik yang
ditelevisikan.
Siwtchers
dan
yang
lambat
mengambil
keputusan
menggunakan televisi untuk mendapat informasi selama pemilhan umum. Hal ini mengesankan bahwa komunikasi politik mempengaruhi penilaian pemberi suara maupun tingkat pengetahuan mereka tentang isu dan kandidat. Suatu studi eksperimental menyingkapkan bahwa iklan spot pada televisi yang menekankan isi isu lebih banyak mengubah citra pemberi suara tentang kandidat daripada yang menekankan isi citra (sifat pribadi dan sebagainya). Spot sepanjang lima menit terbukti lebih unggul daripada siaran iklan yang lebih pendek, enam puluh detik (Nimmo, 2001). Perubahan dalam orientasi afektif terhadap kandidat pada pemberi suara yang diterpa bentuk kampanye sangat bervariasi. Tidak ada bukti yang meyakinkan, misalnya bahwa kampanye surat langsung sangat memperbaiki penilaian yang dibuat oleh pemberi suara tentang orang yang mencalonkan diri menjadi pejabat. Studi akhir-akhir ini memang mempermasalahkan keefektifan yang menyeluruh dari surat langsung. Di lain pihak, media display mempunyai perbedaan, jumlah dan mutu billboard, yard sign, poster dan sebagainya dapat memperbesar jumlah informasi tentang kandidat untuk menciptakan pengakuan nama dan juga mempunyai akibat positif terhadap penilaian pemberi suara. Akhirnya, keefektifan komunikasi organisasi terhadap penilaian pemberi suara (terutama kontak oleh partai politik) sukar ditaksir. Biasanya kurang dari setengah orang Amerika dihubungi oleh suatu partai politik selama pemilihan kepresidenan; yang telah cenderung dipengaruhi oleh partailah yang pada umumnya dihubungi mereka. Adakalanya tindakan menghubungi itu berhasil memperbaiki citra kandidat; citra tentang Hurbert Humprey pada tahun 1968
32
tentang George McGovern pada tahun 1972 menjadi lebih baik di antara para pemberi suara yang dihubungi oleh partai Demokrat (Nimmo, 2001). Selanjutnya, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana hubungan pemakaian komunikasi politik dengan pengharapan dan perilaku pemberi suara ? Salah satu dari sedikit studi yang meneliti hubungan antara pengharapan pemberi suara dan terpaan mereka oleh media politik adalah analisis Mendelsohn dan O’keefe (dalam Nimmo, 2001) tentang kampanye tahun 1972. Pada awal kampanye, suatu panel dari responden survai memberikan jawaban atas pertanyaan yang mengukur berapa banyak setiap pemberi suara memprakirakan dipengaruhi oleh media politik dalam mencapai pilihan. Survai terhadap responden ini pada butir selanjutnya menyingkapkan bahwa yang mengharapkan akan dipengaruhi oleh media adalah mereka yang dalam kenyataannya paling dipengaruhi. Skor yang paling tinggi pada pengaruh yang diperkirakan adalah switchers, yaitu pemberi suara yang berubah dari satu kandidat ke kandidat yang lain selama kampanye, yang juga skornya paling tinggi dalam pengaruh yang dilaporkan pada akhir kampanye Namun, mengenai hubungan antara komunikasi kampanye dan pilihan pemberian suara, studi pemberian suara generasi ketiga sejajar dengan penelitian yang lebih dulu tentang apakah kampanye membantu rakyat dalam mengambil putusan. Mendelsohn dan O’keefe (dalam Nimmo, 2001) melaporkan bahwa 75 persen dari contoh mereka
yang terdiri atas pemberi suara dari
Summit Country, Ohio, adalah pengambil putusan dini, 13 persen yang lambat mengambil putusan dan 10 persen switchers. Peran kampanye sebagai agen pengaruh selama kampanye rupanya pada satu sisi terbenam pada sisi lain sangat dominan. Terpaan media saja hanya merupakan petunjuk tentang adanya pengaruh (dan yang lemah) di antara yang sudah memutuskan, diduga yang mencari pembenaran atas putusan mereka. Terpaan itu sebenarnya mempunyai hubungan negatif, meskipun lemah dengan pengaruh setelah faktor-faktor lain dikontrol bagi switchers dan yang lambat mengambil putusan. Oleh karena itu, terpaan media kampanye saja tidak merupakan petunjuk adanya pengaruh yang berkaitan baik dengan pengambilan keputusan pada pemberi suara maupun dengan pengubahan mereka. Namun sebelum berasumsi bahwa konsekuensi komunikasi politik terhadap perilaku itu minimal, harus diperhatikan adanya sejumlah masalah sebagaimana dikemukakan oleh Mendelsohn dan O’Keefe (dalam Nimmo, 2001),
33
bahwa Pertama, sekedar terpaan oleh dan perhatian pada media tidak merupakan pengaruh. Kita juga harus mempertimbangkan pemenuhan yang diterima oleh rakyat dari media seperti peneguhan, dukungan atau bimbingan. Ini membuat pemberi suara bisa menyesuaikan pilihan dalam pemilihan umum dengan pengalaman yang terus berlangsung yang dihadapi oleh mereka selama hidup, dengan posisi, kebiasaan dan kebutuhan mereka dengan segala sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam menyusun makna bagi kampanye tertentu. Kedua, bukti bahwa pemilih mengambil putusan pada awal kontes kepresidenan tetapi tidak berarti bahwa mereka berbuat demikian dalam seluruh perlombaan pemilihan umum. Misalnya, penelitian yang ada menunjukkan bahwa pemberi suara yang dihadapkan pada lebih dari satu pemilihan umum berbalik kepada media politik untuk mencari bimbingan, apakah mereka akan memberi suara kepada kandidat-kandidat dari satu partai ataukah akan melakukan split ticket. Semakin banyak memperhatikan media untuk mencari informasi tentang kandidat kedua partai maka semakin besar kemungkinannya pemberi suara split ticket. Bahkan dalam pemilihan presiden yang hasilnya sering cenderung dipastikan sebelumnya, seperti yang terjadi tahun 1972 di Amerika Serikat, media politik memainkan peran yang lebih besar
dalam membantu pemberi
suara dalam menyusun pilihannya, bahkan, barangkali memperoleh dari kebiasaan memberikan suara yang tradisional. Akhirnya, sebaiknya kita tidak mengabaikan bahwa di samping media massa, baik saluran interpersonal maupun organisasi mempunyai dampak terhadap hasil pemilihan umum.
Perilaku Pemilih Perilaku memilih bukan hanya sekedar perilaku individu yang bersifat rasional tetapi juga mengandung unsur refleksi struktur budaya, ekonomi ataupun politik yang mempengaruhinya. Untuk memahami tingkah laku individual, termasuk
keputusan memilih dalam satu pemilihan umum, harus
dihubungkan dengan interaksi sosial yang terjadi dalam satu masyarakat. Selanjutnya interaksi sosial ini akan membangun kesamaan persepsi antar anggota masyarakat, yang kemudian menentukan interpretasi seseorang terhadap satu fenomena sosial (Imawan dan Gaffar, 1993). Persepsi seseorang ditentukan oleh hubungan antara hal-hal yang diharapkan. Semakin kecil jarak (gap) antara keduanya, akan semakin baik
34
persepsi seseorang terhadap satu fenomena. Karena itu, persepsi sangat dipengaruhi oleh faktor pengalaman masa lalu, latar belakang sosial budaya dan motivasi dan suasana hati. Untuk menjelaskan perilaku pemilih, dalam ilmu politik dikenal dengan adanya dua pendekatan besar (utama) untuk menerangkan tingkah laku politik pada saat berlangsungnya pemilihan umum. Di satu pihak, ada keinginan untuk menerangkan gejala memberikan suara berdasarkan atas latar belakang sosialekonomi para pemilih. Pendekatan ini dikenal dengan “Sociological School” atau “Mazhab Columbia” (Columbia School of Electoral Behavior), berkembang pertama kali di benua Eropa. Pendekatan ini memandang masyarakat terdiri atas status anarkis. Penganut pendekatan ini percaya bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang berlandaskan atas pengelompokan sosiologis, seperti agama, kelas (status sosial), pekerjaan dan lainnya. Lipset (1960), misalnya mengajukan sejumlah peubah yang dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku orang menentukan pilihan politiknya. Peubah-peubah tersebut adalah: pendapatan (income), ras, jenis kelamin, umur, status kewarganegaraan dan partisipasi sosial. Seperti yang tampak dalam Tabel 2 pola pemilih seseorang sebenarnya sudah dapat diramalkan sesuai dengan karakteristik sosial yang melingkupinya. Tabel 2. Hubungan karakteristik sosial dengan partisipasi dalam voting Partisipasi lebih tinggi Pendapatan tinggi Pendidikan tinggi Orang bisnis Karyawan Kantor Pegawai pemerintah Petani pedagang (commersial corp farmers) Buruh tambang Ras Kulit putih Jenis Kelamin Pria Umur Setengah baya (35-55 tahun), tua (55 tahun ke atas) Tempat tinggal Penduduk lama Buruh di Eropa Barat Situasi Situasi krisis Status Orang kawin Organisasi Anggota organisasi Sumber : Lipset,1960.
Kategori Pendapatan Pendidikan Pekerjaan
Partisipasi lebih rendah Pendapatan rendah Pendidikan rendah Buruh kasar Pembantu rumah tangga Karyawan dinas-dinas Pelayanan Petani kecil Kulit hitam Wanita Muda (di bawah 35 tahun) Penduduk baru Buruh di Amerika Serikat Situasi normal Orang bujangan Orang yang hidup menyendiri
35
Sedangkan proses terbentuknya hubungan antara karakterisitk sosial pemilih dengan perilaku memilih dapat dilihat pada Gambar 2 . Karakteristik sosial-ekonomi sebagai basis bagi pengelompokan sosial
Menentukan: • • • •
Berpengaruh kepada: • Kelas sosial • Status sosial ekonomi • Pendidikan • Agama
Tujuan kelompok Tipe kepemimpinan Aktivitas rutin Sistem Komunikasi internal
Persepsi
Keputusan memilih
Lingkungan
Gambar 2. Model sosiologis keputusan memilih Sumber : Imawan dan Gaffar, 1993. Pendekatan
ini
menjelaskan
bahwa
karakteristik
sosial
dan
pengelompokan-pengelompokan sosial dianggap menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu pemahaman terhadap pengelompokan sosial, baik secara formal (seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi keagamaan, organisasi profesi dan sebagainya) maupun secara informal (seperti keluarga, pertemanan ataupun kelompok kecil lainnya) merupakan faktor
yang sangat
penting dalam memahami perilaku pemilih, karena kelompok-kelompok tersebut mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Pomper (dalam Ridwan, 2004)
memperinci pengaruh pengelompokan
sosial tersebut dalam kajian voting behavior ke dalam dua peubah, yaitu peubah predisposisi sosial-ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Menurutnya kedua peubah tersebut
mempunyai hubungan signifikan dengan perilaku pemilih.
Preferensi keluarga, apakah preferensi politik ayah atau ibu, berpengaruh terhadap preferensi politik anak-anaknya. Preferensi sosial-ekonomi, bisa berupa kelas sosial, agama, tempat tinggal,
karakteristik demografis dan sejenisnya
juga berpengaruh terhadap pilihan politik seseorang. Asumsinya, bahwa para pemilih yang beragama Islam akan cenderung memilih partai-partai Islam. Kajian voting behavior di Eropa pada tahun 1970-an menunjukkan bahwa wanita lebih
36
suka mendukung partai borjuis daripada sosialis. Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai atau kontestan tertentu. Kelompok berpenghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung memberikan suara kepada partai sosialis atau komunis. Sedangkan kelas menengah dan atas biasanya menjadi pendukung partai konservatif. Kelemahan utama dari model sosiologi adalah kenyataan bahwa memilih merupakan suatu tindakan individual, bukan suatu tindakan kolektif. Dapat saja seseorang dijejali dengan norma-norma sosial yang berlaku. Tetapi tidak ada jaminan bahwa pada saat seseorang menentukan pilihan, dia tidak akan menyimpang dari norma yang dimilikinya. Dengan kata lain selalu ada kemungkinannya bahwa seseorang akan bertindak menyimpang dari normanorma atau keyakinan kelompoknya. Kelemahan lainnya adalah, secara metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya. Sehingga sebagian sarjana menganggap bahwa faktor sosialisasilah sebenarnya yang paling menentukan kecenderungan perilaku pemilih tersebut, bukan karakteristik sosiologis. Tanggapan atas kelemahan pendekatan sosiologis (Columbia School) adalah berkembangnya pendekatan aspek sosio-psikologis yang menentukan tindakan memilih, yang dikembangkan oleh “The Survey Research Center” oleh kelompok peneliti Universitas Michigan (Michigan School) atau mazhab psikologi. Hasil studi kelompok Michigan menemukan bahwa sebagian besar pemberi suara di Amerika Serikat terikat dengan suatu partai politik; mereka memiliki identitas partai, yang sering diwarisi dari orang tua mereka dan diperkuat dengan pekerjaan, kelas dan lingkungan tetangga mereka (Kuper and Kuper, 2000; Budge et al., 1976). Keterikatan pemberi suara seperti itu kemudian dikenal dengan istilah Identifikasi Partai (Party Identification). Mazhab psikologis ini percaya bahwa tingkah laku memilih dari seseorang dapat dideteksi dengan dua konsep. Pertama, disebut political involvement, yakni perasaan penting atau tidak untuk terlibat dalam isu-isu politik yang bersifat umum (general). Kedua, disebut party identification, yakni preferensi (perasaan suka atau tidak suka) dari seseorang terhadap satu partai atau kelompok politik tertentu. Pada tahap awal harus merasa yakin bahwa kehadiran atau keikutsertaannya dalam proses politik memang sangat diperlukan. Hanya dengan memiliki kepedulian yang tinggi ia akan termotivasi untuk memperhatikan dan
37
memberikan respons terhadap perkembangan isu-isu politik yang ada. Tahap awal ini akan segera diikuti oleh kesadaran bahwa berpolitik tidak lepas dari berorganisasi. Dunia politik sangat mengandalkan legitimasi massa. Legitimasi ini akan sulit diperoleh jika seseorang bertindak sendiri (Kuper and Kuper, 2000). Aliran Michigan menggambarkan “pemberian suara” (voting) berada diujung sebuah saluran yang menggambarkan proses pemilihan umum. Keputusan pemberian suara tergantung pada banyak faktor yang terjadi di awal proses. Peristiwa-peristiwa yang mengikuti deretan faktor yang menyebabkan pergerakkan dari mulut saluran ke ujung batang dari saluran tersebut. Begitu banyak penyebab yang membatasi ke dalam tindakan pemberian suara, sebagaimana dapat di lihat pada Gambar 3.
karakteristik sosial karakteristik keluarga karakteristik status sosial
Identifikasi Partai
peristiwa kampanye
waktu
Keputusan memilih
evaluasi keluarga dan calon dan isu teman
Gambar 3. Model sosial – psikologis keputusan memilih Sumber: Gant and Luttbeg, 1991. Berada di mulut saluran adalah latar belakang karakteristik sosial (etnik, ras, daerah, agama dan sebagainya), karakteristik status sosial (pendidikan, jabatan, kedudukan, kelas) dan karakteristik yang berkenaan dengan keluarga (kelas, partisanship). Semuanya mempengaruhi pilihan terhadap identifikasi
38
partai. Item berikutnya dalam saluran tersebut adalah identifikasi partai yang pada gilirannya akan mempengaruhi evaluasi terhadap isu dan calon, kemudian peristiwa kampanye juga turut mempengaruh sikap pemilih. Bahkan semakin dekat kepada ujung saluran (hari pemungutan suara), peristiwa komunikasi interpersonal di antara pemilih dengan keluarga dan pertemanan seputar pemilihan umum dapat menentukan keputusan untuk memilih. Selanjutnya pada hari pemungutan suara memilih sesuai dengan pilihannya (Gant and Luttbeg, 1991) Pendekatan psikologis menganggap sikap sebagai peubah sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih. Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, yang menurut Greenstein (dalam Ridwan, 2004) ada tiga; pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan. Penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri. Seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh atau kelompok yang
dikaguminya.
Ketiga,
sikap
merupakan
fungsi
eksternalisasi
dan
pertahanan diri. Sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan (defense mechanism). Namun sikap bukan sesuatu yang begitu saja terjadi, melainkan melalui proses sosialisasi yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan partai politik atau kandidat tertentu. Ikatan psikologis karena adanya proses sosialisasi inilah yang kemudian dikenal dengan identifikasi partai (party identification). Dengan demikian, konsep identifikasi partai merupakan peubah sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih. Identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan orang lain tanpa disadari. Identifikasi partai dilakukan kepada seorang kandidat atau partai politik yang dianggap ideal di mata pemilih. Kritik terhadap pendekatan psikologis mempersoalkan hubungan antara sikap dan perilaku. Sebab belum tentu orang yang menyukai partai atau kandidat tertentu dalam pemilihan nanti akan memilih sesuai dengan posisi sikapnya. Selain itu benarkah peubah-peubah yang dipakai oleh para ahli psikologi dalam menjelaskan perilaku seseorang dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih ? Kedua pendekatan yang telah dikemukakan di atas menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong baik secara implisit maupun eksplisit. Hal lainnya
39
beranggapan bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika ada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis atau
identifikasi
mempengaruhi
partai perilaku
merupakan atau
peubah
pilihan
politik
yang
secara
seseorang.
sendiri-sendiri Tetapi
pada
kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihannya dari satu pemilu ke pemilu lainnya.
Hal ini disebabkan oleh ketergantungan pada peristiwa-
peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi politik seseorang. Hal ini berarti menunjukkan bahwa ada peubah-peubah lain yang ikut menentukan dan mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu pemilih bukan hanya pasif, tetapi juga individu aktif. Faktor-faktor situasional berupa isu-isu politik atau kandidat yang dicalonkan yang berkembang pada masa kampanye, mempunyai peranan penting dalam menentukan pilihan politik seseorang. Oleh karena itu dalam pendekatan rasional ini penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat merupakan faktor yang sangat penting dalam menjelaskan pilihan politik seseorang. Di sinilah para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan; apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan masalahmasalah yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara ? Sementara orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Meskipun demikian ketertarikan pemilih terhadap isu-isu yang ditawarkan oleh partai ataupun kandidat bersifat situasional. Sehingga dengan sendirinya ketertarikan pemilih pada keduanya tidak permanen melainkan berubah-ubah. Pengaruh terhadap isu dan kandidat tersebut berkaitan erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, politik, hukum atau suatu peristiwa tertentu yang kontekstual dan dramatis. Perilaku memilih menurut Him Melweit (dalam Ridwan, 2004), merupakan pengambilan keputusan yang cepat dan keputusan tersebut bergantung pada situasi sosial politik tertentu yang tidak berbeda dengan pengambilan keputusan lainnya. Sedangkan dalam menilai kandidat, terdapat dua peubah yang harus dipunyai oleh seorang kandidat. Pertama, kualitas instrumental, yakni tindakan
40
yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat bila kelak menang pemilu. Kedua, kualitas simbolis, yakni kualitas kepribadian seseorang yang berkaitan dengan integritas diri, ketegasan, kejujuran, ketaatan pada norma dan aturan, kebaikan, sikap merakyat dan lain sebagainya. Pendekatan rasional berasumsi bahwa pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi dan program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukan karena faktor kebetulan atau kebiasaan dan tidak semata-mata untuk kepentingan sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangan yang logis. Perbedaan antara pendekatan rasional dengan pendekatan lainnya yaitu bahwa pemilih rasional adalah pemberi suara yang responsif dan tidak permanen.
Studi Perilaku Pemilih di Indonesia Studi tentang perilaku pemilih pada dasarnya masih merupakan persoalan baru dalam konteks politik di Indonesia. Tidak banyak studi tentang perilaku pemilih dalam pemilihan umum di Indonesia. Herberth Feith (1999) dalam bukunya “Pemilihan Umum 1955 di Indonesia” menyebut pemilu 1955 sebagai yang paling luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) dan jurdil (jujur dan adil) namun tidak ada studi yang sistematik dengan metodologi yang ketat hingga generalisasi yang realistis dapat ditarik dari pemilu tersebut. Karakteristik studi pemilu tahun 1955 lebih bersifat deskriptif daripada analitis (Ridwan, 2004). Feith dan Castles (1970) dalam bukunya Indonesian Political Thinking 1945-1965 menunjukkan adanya aliran-aliran dalam masyarakat yang berhubungan dengan orientasinya terhadap partai-partai politik pada pemilu tahun 1955, yaitu aliran Islam, sosialisme demokrat, nasionalisme radikal, tradisionalisme jawa dan komunisme (Budiardjo, 1982). Perhatian peneliti pada tahun 1950-an lebih berorientasi pada pola pemikiran politik dan kebudayaan politik, sebagaimana yang dilakukan oleh peneliti MIT (Massacushet Institute of Technology) yang melakukan penelitian lapangan di Indonesia. Salah seorang di antaranya adalah Clifford Geertz (1962) dengan karyanya yang terkenal The Religion of Java yang kemudian mempengaruhi hasil kerja analis lain seperti Liddle (1992), Jay (1963) atau Emmerson (1976). Kelompok pemikiran ini berpendapat bahwa
dalam
masyarakat Indonesia, terutama jawa, terdapat tiga kebudayaan dasar: priyayi,
41
santri dan abangan. Ketiga pemilahan kebudayaan ini ternyata memiliki dampak yang luas dalam tingkah laku ataupun pemilahan sosial lainnya, termasuk politik. Mengikuti alur pemikiran tersebut maka partai politik di Indonesia memiliki basis atau terkait dengan cara pengikut dari suatu pola kebudayaan di tingkat bawah. Keberadaan partai tidak lebih dari refleksi emosi dan kepentingan dari pola kebudayaan yang mendukungnya. Penelitian yang dilakukan oleh A. Gaffar (1992) terhadap pemilihan umum pada masa Orde Baru, dalam bukunya “The Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System” membuktikan bahwa tiga kebudayaan dasar, santri, priyayi dan abangan yang dikemukakan oleh Geertz mempunyai hubungan dengan pola perilaku politiknya, PPP (partai Islam) di dukung oleh kelompok santri, Golkar (golongan fungsional) didukung oleh priyayi dan PDI (partai nasionalis) didukung oleh kelompok abangan. Cara pandang seperti itu masih relevan untuk menganalisa politik di Indonesia pada masa Orde Baru yang hanya ada tiga partai politik peserta pemilu. Namun demikian pemilupemilu yang terjadi pada masa Orde Baru tidak dapat dijadikan sebagai rujukan yang berarti karena jalannya pemilu berlangsung semu, tidak demokratis, penuh rekayasa, tekanan dan intimidasi. Pemilu Orde Baru adalah merupakan pemilu yang
semu
sebab
sudah
hampir
diketahui
hasilnya
sebelum
pemilu
diselenggarakan. Beberapa hasil studi lainnya yang dapat dirujuk untuk memahami perilaku pemilih adalah, studi tentang perilaku pemilih pada Pemilu tahun 1999, Liddle dan Mujani (2000), menemukan dua kesimpulan penting dalam memahami
perilaku
pemilih
dalam
pemilu
tersebut.
Pertama,
semakin
memudarnya politik aliran di tingkat massa pemilih. Massa pemilih sudah cenderung tidak lagi memperdulikan aliran dari masing-masing partai politik. Massa pemilih dan kalangan santri pun sudah cukup toleran dan mampu membedakan wilayah politik dan wilayah keagamaan, dua wilayah yang sering dikaburkan oleh para elite
dalam memobilisasi dukungan massa. Kedua,
ketokohan tetap menjadi peubah yang sangat penting dalam menarik dukungan massa pemilih. Para pemilih memilih partai tertentu bukan karena daya tarik terhadap partai dan programnya, melainkan lebih ketertarikan kepada tokoh yang ada di partai tersebut. Oleh karenanya hanya partai yang mempunyai tokoh terkemuka saja yang mendapatkan suara signifikan dalam pemilu tersebut.
42
Studi perilaku pemilih pada Pemilu tahun 1999 yang dilakukan oleh Ananta et al. (2004) dalam bukunya “Indonesian Electoral Behavior: A. Statistical Perspective” yang menggunakan peubah kebudayaan (agama dan etnis) dan peubah sosial-ekonomi (pendidikan dan komposisi geografi, populasi urban dan migran, pendapatan per kapita dan kemiskinan) sebagai unit analisis, menemukan bahwa (1) peubah loyalitas etnis dan agama berpengaruh terhadap hasil Pemilu 1999 walaupun bukan peubah yang paling menentukan dalam menjelaskan distribusi suara pemilih, kecuali untuk Golkar di Pulau Jawa, PPP dan PBB di luar Jawa yang didukung oleh pemilih muslim. Bagi beberapa partai loyalitas etnis merupakan faktor yang penting di Pulau jawa dan di luar Jawa, misalnya dukungan untuk PPP, PBB dan PK diberikan oleh penduduk Pulau Jawa yang non-etnis Jawa daripada di luar Jawa. Sedangkan dukungan etnis Jawa bagi PDI-P lebih menguntungkan diperoleh dari luar Pulau Jawa daripada di Pulau Jawa sendiri. Berbeda halnya dengan PKB dukungan yang paling berarti diperoleh dari pemilih etnis Jawa yang berada di Pulau Jawa. Bagi PDI-P dan PKB nampaknya isu etnis lebih penting daripada isu agama, sebaliknya bagi PPP dan PBB isu agama lebih menarik daripada isu etnis di Jawa maupun di luar Jawa. Sementara bagi Golkar untuk di Pulau Jawa isu agama lebih penting dari isu etnis sedangkan di luar Jawa isu etnis lebih berperanan. Sedangkan bagi PAN isu agama lebih berperanan; (2) peubah sosial-ekonomi di beberapa daerah, seperti pendidikan dan status migran nampak memainkan peranan yang berarti. Pemilih PDI-P sebagian besar adalah bependidikan rendah dibandingkan dengan pemilih yang memilih partai lainnya, tetapi di Jawa, peubah “non-migran” memiliki pengaruh yang besar terhadap pemilih PDI-P dan di luar Jawa di dukung oleh pemilih yang sebagian besar berpendidikan rendah. PAN memperoleh dukungan dari pemilih yang tingkat pendidikannya lebih baik tanpa menghiraukan aspek agamanya. Sedangkan PK sebagian besar tergantung pada pemilih muslim yang berpendidikan lebih baik. Tidak banyak studi statistik terhadap hasil pemilu di Indonesia, penulisnya berharap bahwa hasil studi statistik tersebut dapat memberikan kontribusi untuk penelitian-penelitian kualitatif mengenai pemilihan umum di Indonesia. Pemilu tahun 2004 memberikan pengalaman yang paling berharga karena selain untuk memilih anggota legislatif juga untuk pertama kalinya rakyat memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Studi terhadap perilaku pemilih semakin marak dilakukan oleh berbagai lembaga-lembaga survai dalam
43
maupun luar negeri, seperti Lembaga Survai Indonesia (LSI), Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), International Foundation of Electoral System (IFES), Center for Study of Development and Democracy (Cesda), FRI,YAPPIKA dan banyak lagi (Budi, 2004; Harmain, 2004; JICA dan LSI, 2004; Qodari, 2004, Ridwan, 2004). Hasil survai LSI (dalam Ridwan, 2004) menunjukkan bahwa unsur psikologis
merupakan
unsur
dominan
yang
mendasari
pemilih
dalam
menjatuhkan pilihan politiknya pada pemilu legislatif 2004. Hal ini terlihat dengan dominannya alasan kebiasaan (23,5%) yang melatarbelakangi pilihan politik para pemilih. Selain itu alasan ketokohan (21,4%) dan alasan karena partai tersebut yakin akan menang (3,3%). Jika alasan itu digabungkan maka 48,2% pemilih menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan unsur psikologis. Namun, ternyata alasan rasional menempati alasan kedua yang mendasari pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya, yaitu 22,1% pemilih yang telah memilih partai berdasarkan
alasan
kesukaannya
terhadap
visi,
misi
dan
programnya.
Sementara hanya sekitar 19,6% pemilih saja yang cenderung menjatuhkan pilihannya berdasarkan unsur sosiologis, yaitu gabungan dari sekitar 9,1% dari yang akan memilih partai Islam, sekitar 4,0% karena ikut keluarga, 3,5% karena ikut orang lain dan 3,0% karena partai nasionalis. Kecilnya kecenderungan unsur sosiologis yang mendasari pemilih menunjukkan
semakin
memudarnya
dominasi
politik
aliran.
Sedangkan
berdasarkan hasil survai LSI yang dilakukan menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 5 Juli 2004, ternyata alasan “kepribadian” merupakan alasan yang disukai mayoritas pemilih dalam menjatuhkan pilihannya, yaitu sebesar 33%, sedangkan alasan kemampuan dalam mengatasi masalah keamanan dipilih oleh sekitar 17,8%, alasan kemampuan dalam mengatasi masalah ekonomi dipilih sekitar 17,5%, alasan kemampuan dalam memberantas korupsi dipilih oleh sekitar 6,3% dan hanya sekitar 4,7% saja yang menghendaki dari kalangan tokoh Islam meskipun mayoritas pemilih adalah muslim. Hasil pemilu presiden dan wakil presiden menunjukkan adanya trend melemahnya pengaruh dari partai-partai politik. Partai politik tidak lagi dapat diandalkan sebagai mesin politik yang efektif dalam mendulang perolehan suara dalam pemilihan Presiden. Proses pemilihan presiden memberikan ruang yang lebih besar bagi otonomi pemilih dalam mengungkapkan preferensi pilihan politik
44
mereka, termasuk untuk menggunakan hak pilih mereka. Perkembangan ini merupakan proses transformasi yang berarti dalam perilaku pemilih (voting behavior) yang selama beberapa dasawarsa yang lalu terikat pada menguatnya tambatan budaya politik patrimonial dan orientasi politik aliran (Piliang, 2004). Kajian perilaku pemilih dalam pemilu tahun 2004, khususnya mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, dapat memberikan sumbangan berarti bagi studi perilaku pemilih dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang mulai dilaksanakan sejak bulan Juni 2005. Namun demikian belum banyak referensi yang dianggap cukup memadai untuk memahami perilaku pemilih dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Hasil jajak pendapat Kompas (2005) menunjukkan bahwa kemampuan memimpin dan integritas moral dari calon kepala daerah menjadi pertimbangan utama. Jajak pendapat tersebut selain menunjukkan adanya rasionalitas responden dalam menentukan sikapnya sebagai pemilih, juga menggambarkan independensinya, yakni hanya 28% responden yang menyatakan peduli dengan kesamaan partai politik pilihannya.
Tabel 3. Pertimbangan dalam memilih kepala daerah Keterangan
ya
tidak
tidak menjawab
Kesamaan latar belakang parpol
28,1
68,1
3,8
Kesamaan latar belakang asal daerah
27,9
70,0
2,1
Kesamaan latar belakang agama
41,2
56,6
2,2
Kesamaan latar belakang jenis kelamin
25,2
72,7
2,1
Berasal dari putra daerah
44,7
51,4
3,9
Berasal dari keturunan pemimpin
27,1
70,0
2,9
Berasal dari kalangan militer
23,0
73,3
3,7
Berasal dari ulama/rohaniawan
28,2
67,3
4,5
Berasal dari kalangan birokrat pemerintahan
37,3
58,0
4,7
Berasal dari politisi
36,4
58,3
5,3
Berpengalaman memimpin
84,9
13,2
1,9
Memiliki tingkat pendidikan tinggi
83,4
14,6
2,0
Memiliki tingkat ekonomi tinggi
54,9
41,7
3,4
n= 1.016 Sumber: Kompas, 14 Februari 2005.
45
Secara umum hasil pilkada sejauh ini mencerminkan bagaimana kondisi sosial politik sekarang, bagaimana peran partai-partai politik dan sejauh mana partai-partai itu mengusung aspirasi rakyat. Hal ini terungkap dalam analisis Pilkada Juni 2005 harian Media Indonesia (dalam Mahendra dan Soehady, 2005) dari
105
pilkada,
incumbent
(kapala
daerah
yang
sedang
menjabat)
bupati/walikota hanya kalah oleh wajah baru di 36 wilayah. Hal ini menunjukan gejala baru kecenderungan meningkatnya kepopuleran figur politik dibandingkan dengan kepopuleran partai (Mahendra dan Soehady, 2005). Di tujuh provinsi yang telah melaksanakan pemilihan gubernur hampir semuanya dimenangkan oleh pasangan yang dicalonkan bukan oleh partai paling kuat. Di ketujuh provinsi tersebut partai yang paling kuat, yang dapat mencalonkan gubernur dan wakil gubernur tanpa koalisi adalah Partai Golkar. Ternyata tak satu pun pasangan dari Partai Golkar sukses, kecuali ia berkoalisi dengan partai lain. Partai Golkar mencalonkan pasangannya tanpa koalisi di Provinsi Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Bengkulu. Di semua provinsi ini Partai Golkar mengalami kekalahan. Sementara itu Partai Golkar berkoalisi dengan PAN dalam mencalonkan pasangannya di Provinsi Jambi, kemudian di Provinsi Kepulauan Riau Partai Golkar berkoalisi dengan partai lain (8 partai), meraih sukses dan berhasil memperoleh suara sekitar 80% dan 60% di masing-masing provinsi tersebut. Di ke tujuh provinsi tersebut ternyata partai politik bukan faktor penting. Menurut survai pra-pilkada di provinsi-provinsi tersebut, pasangan dari partai Golkar relatif tidak dikenal di banding lawan-lawannya, kecuali calon-calon Golkar tersebut sudah menjabat gubernur (Mahendra dan Soehady, 2005). Pemilihan kepala daerah juga menunjukkan angka partisipasi pemilih yang lebih rendah dibanding partisipasi pemilih di Pemilu Legislatif maupun Pemilihan Presiden Tahap l dan Tahap II Tahun 2004. Jumlah pemilih yang tidak hadir di TPS rata-rata mencapai 26,27%. Kondisi ini tentu tidak hanya karena minimnya sosialisasi, khususnya yang menyangkut pendidikan pemilih. Faktor kualitas pasangan calon yang berkompetisi diduga juga turut andil dalam mempengaruhi minat pemilih untuk hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) (Fitriyah, 2005). Walaupun menurut Huntington (2001) bahwa di kebanyakan negara demokrasi yang baru, tingkat pemberian suara selama masa transisi tinggi, tetapi menurun, kadang-kadang secara agak drastis, pada pemilihan-pemilihan
46
berikutnya. Tetapi di banyak negara Pemilu lokal lebih mendapat perhatian dibanding Pemilu nasional, yang kemudian mendorong pemilih untuk hadir di TPS, karena isu yang “dijual” pada Pemilu lokal sangat dekat dengan kepentingan pemilih lokal. Ironisnya, terjadi di berbagai daerah di Indonesia, ketika pemilihan kepala daerah mendekatkan pasangan calon dengan rakyat pemilih, partisipasi pemilih justru menurun drastis. Dalam pemilihan kepala daerah visi, misi dan program yang ditawarkan calon sejatinya belum mampu mengangkat isu lokal tersebut. Masyarakat juga kurang mempunyai akses untuk mengetahui dengan baik program-program yang ditawarkan para calon. Berbeda dengan pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004 yang masa kampanyenya 30 hari, dalam pemilihan kepala daerah masa kampanyenya hanya 14 hari dan tidak banyak menarik perhatian masyarakat. Kondisi ini mendorong pemilih tetap memenangkan pasangan calon yang sedang menjabat (incumbent)
yang nota bene sudah dikenal (Fitriyah,
2005) Studi perilaku pemilih adalah merupakan bagian dari disiplin ilmu politik dan pendekatan yang paling banyak digunakan model sosiologis
(Mazhab
Columbia) dan sosial-psikologis (Mazhab Michigan). Pendekatan politik aliran (pendekatan sosial-psikologis) masih mendominasi studi perilaku pemilih di Indonesia. Walaupun setelah reformasi, dengan adanya perubahan sistem pemilihan pejabat publik, semakin marak kajian studi perilaku pemilih namun domain utamnya masih dipengaruhi oleh pendekatan politik aliran. Kajian studi perilaku pemilih masih sangat jarang yang menggunakan model pendekatan multidisiplin. Salah satu disiplin ilmu yang erat hubungannya dengan perilaku pemilih, selain disipili ilmu politik, sosiologi dan psikologi, adalah disiplin ilmu komunikasi. Oleh karena itu dalam penelitian ini mencoba untuk mengkaji studi perilaku pemilih dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu komunikasi. Asumsi yang menjadi landasan pemikiran ini adalah bahwa pada hakekatnya perkembangan dan perubahan sikap dan perilaku manusia terjadi karena proses komunikasi yang mendahuluinya. Berdasarkan asumsi tersebut penulis mencoba menghubungkan beberapa peubah komunikasi dengan sejumlah peubah yang berhubungan dengan perilaku pemilih (faktor sosiologis dan sosial-psikologis) sebagaimana diuraikan dalam kerangka pemikiran.