TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri untuk memenuhi kebutuhan sekaligus mempertahankan kehidupannya. Manusia membutuhkan bantuan dari sesamanya hingga tercipta hubungan yang saling bergantung (interdependensi). Manusia harus berkomunikasi dengan sesamanya dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis serta kebutuhan hidup lainnya (Mulyana, 2007). Oleh karena itu, komunikasi menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia sejak lahir dan selama proses kehidupannya. Pada umumnya proses komunikasi ditafsirkan sebagai proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan dan perasaan) dari satu individu kepada individu lain sehingga timbul kesamaan makna antara pengirim dan penerima pesan (Effendi, 1993). Menurut Tedjasutisna (1994) Komunikasi adalah suatu proses kegiatan penyampaian/warta pesan/berita atau informasi yang mengandung arti dari satu pihak kepada pihak lain dalam usaha mendapatkan pemahaman yang sama untuk pencapaian tujuan. Lebih lanjut Ibrahim, dkk. (2003) menyatakan bahwa komunikasi pada hakekatnya merupakan suatu proses pertukaran pesan-pesan verbal (tertulis) atau nonverbal (tidak tertulis) diantara pengirim dengan penerima untuk mengubah tingkah laku yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespons dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Komunikasi dalam hal ini dapat berupa tindakan satu arah, bisa pula sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi. Sebagai tindakan satu arah, komunikasi mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah, radio atau televisi Jaringan Komunikasi Jaringan merupakan jenis atau tipe tertentu dari suatu hubungan yang menyambungkan sekelompok orang atau obyek, dimana orang atau obyek tersebut berlaku sebagai aktor (node) dari jaringan (Wasserman dan Faust, 1994). Dalam konteks komunikasi, suatu jaringan dibangun berdasarkan pada hubungan-hubungan komunikasi antara individu dengan individu, kelompokkelompok, organisasi maupun masyarakat (Monge dan Contractor, 2001). Lebih lanjut Monge dan Contractor (2003) menyatakan bahwa jaringan komunikasi adalah pola-pola hubungan yang timbul oleh adanya aliran pesan (tukar-menukar pesan) diantara pelaku komunikasi sepanjang waktu. Pesan disini dimaknai sangat luas yang meliputi data, informasi, pengetahuan, gambar-gambar, simbol dan berbagai bentuk lain yang dapat dipertukarkan dari satu aktor ke aktor lain dalam sebuah jaringan. Jaringan komunikasi terdiri dari pola-pola hubungan komunikasi yang teratur yang berkembang diantara anggota dalam suatu kelompok dengan menggunakan berbagai bentuk
8
komunikasi (seperti pertemuan, telepon, surat dan lain-lain) untuk mencapai tujuan tertentu (Berggren, 2004). Adapun Gonzales, (1993) berpendapat bahwa Jaringan komunikasi adalah penggambaran “how say to whom” (siapa berbicara kepada siapa) dalam suatu sistem sosial. Jaringan komunikasi menggambarkan komunikasi interpersonal, dimana terdapat pemuka-pemuka opini dan pengikut yang saling memiliki hubungan komunikasi pada suatu topik tertentu, yang terjadi dalam suatu sistem sosial tertentu seperti sebuah desa, sebuah organisasi, ataupun sebuah perusahaan. Sedangkan menurut Rogers dan Kincaid (1981) jaringan komunikasi adalah suatu hubungan yang relatif stabil antara dua individu atau lebih yang terlibat dalam proses pengiriman dan penerimaan informasi. Adapun Berger dan Chaffee (1987) mengemukakan bahwa jaringan komunikasi adalah sebagai suatu pola yang teratur dari kontak antara individu yang dapat diidentifikasi sebagai pertukaran informasi yang dialami seseorang di dalam sistem sosialnya. Robbins dalam Moekijat (1993) mengemukakan bahwa jaringan komunikasi adalah dimensi vertikal dan horisontal dalam komunikasi organisasi yang dibangunkan dalam bermacam-macam pola. Menurut Devito (1997) ada lima pola jaringan komunikasi kelompok yang juga akan relevan di dalam menganalisis pola jaringan komunikasi di tingkat klik. Kelima pola tersebut adalah pola lingkaran, pola roda, pola Y, pola rantai dan pola semua saluran. Pola lingkaran tidak memiliki pemimpin, semua anggota posisinya sama. Pola roda mempunyai pemimpin yang jelas yaitu posisinya di pusat. Pola Y relatif kurang tersentralisasi dibandingkan dengan pola lainnya. Pola rantai sama dengan pola lingkaran kecuali orang yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang saja. Pola semua saluran atau pola bintang hampir sama dengan pola lingkaran dalam arti semua anggota adalah sama dan semuanya memiliki kekuatan yang sama untuk mempengaruhi anggota lainnya. Berbeda dengan Devito yang menekankan pada pola jaringan komunikasi yang terjadi dalam kelompok atau organisasi, Rogers dan Kincaid menekankan pola jaringan komunikasi pada masyarakat yang lebih luas. Rogers dan Kincaid (1981) membedakan pola atau model jaringan komunikasi kedalam pola jaringan personal jari-jari (radial personal network) yang sifatnya menyebar serta mempunyai derajat integrasi yang rendah namun mempunyai sifat keterbukaan terhadap lingkungan dan pola jaringan personal saling mengunci (interlocking personal network) yang memusat dan mempunyai derajat integrasi yang tinggi. Individu yang terlibat dalam jaringan komunikasi interlocking adalah individu yang homopili namun kurang terbuka terhadap lingkungannya. Analisis Jaringan Komunikasi Analisis jaringan terdiri dari seperangkat hubungan-hubungan untuk mengidentifikasi sekumpulan entitas (Monge dan Contractor, 2003). Dalam konteks komunikasi organisasi, analisis jaringan sering digunakan untuk mengidentifikasi entitas sebagai orang yang menerapkan satu atau lebih hubungan komunikasi seperti “memberikan informasi kepada siapa”, “mendapatkan informasi dari siapa”, dan “berkomunikasi dengan siapa” (Monge dan Contractor, 2001). Analisis jaringan komunikasi juga digunakan pada kelompok kerja, divisi-divisi dan seluruh organisasi sebagai suatu entitas dan
9
mengkaji berbagai hubungan seperti “berkolaborasi dengan”, “bergabung dengan” dan “kontrak dengan”. Menurut Rogers dan Kincaid (1981) analisis jaringan komunikasi merupakan metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam suatu sistem, dimana data hubungan mengenai arus komunikasi dengan menggunakan beberapa tipe hubungan interpersonal sebagai unit analisis. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam analisis jaringan komunikasi adalah: 1) Mengidentifikasi klik-klik yang ada dalam suatu sistem. Klik adalah bagian dari sistem (subsistem) dimana anggota-anggotanya relatif lebih sering berinteraksi satu sama lain dibandingkan dengan anggotaanggota lainnya dalam sistem komunikasi. Sebagai dasar untuk mengetahui apakah individu-individu itu dapat dimasukkan ke dalam suatu klik atau tidak, ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi klik, yaitu: (1) setiap klik minimal harus terdiri dari 3 anggota; (2) setiap anggota klik minimal harus mempunyai derajat keterhubungan 50 persen dari hubunganhubungannya di dalam klik; dan (3) seluruh anggota klik baik secara langsung maupun tidak langsung harus saling berhubungan melalui suatu rantai hubungan dyadic yang berlangsung secara kontinyu dan menyeluruh di dalam klik. 2) Mengidentifikasi peranan khusus seseorang dalam jaringan. Peranan seseorang dalam suatu jaringan meliputi star, opinion leader, liasions, bridges, atau isolated. Star adalah individu yang menempati posisi sentral dalam suatu jaringan. Opinion leader adalah seorang pemuka pendapat dan agen pembaharu yang relatif sering dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain untuk bertindak dalam cara tertentu secara informal. Liaison adalah seorang indvidu yang menghubungkan dua klik atau lebih dalam suatu sistem, namun ia tidak menjadi anggota klik manapun. Bridge adalah seorang individu yang menghubungkan dua klik atau lebih dalam suatu sistem, dan ia menjadi anggota dari klik-klik tersebut. Isolated adalah individu yang tidak menjadi anggota dalam suatu sistem atau individu yang tidak terlibat dalam dalam jaringan komunikasi (Rogers dan Kincaid, 1981). Menurut Hatala (2006) identifikasi terhadap peran-peran yang dimainkan individu dalam suatu jaringan komunikasi dapat membantu menentukan cara yang tepat untuk membuka aliran informasi dalam kelompok maupun dengan kelompok lain. 3) Mengukur berbagai indikator (indeks) struktur komunikasi. Indeks struktur komunikasi pada dasarnya merupakan serangkaian cara pengukuran terhadap berbagai sifat jaringan (network properties) (Monge dan Contractor, 2003). Diantara indikator yang paling sering digunakan oleh para peneliti dalam menganalisis suatu jaringan komunikasi adalah sentralitas dan kebersamaan (betweeness) (Jorgensen, 2004; Hua Yang , dkk, 2004; Hatala, 2006 dan Nolker, 2011). a. Sentralitas Sentralitas merupakan pengukuran terhadap jaringan komunikasi yang ditemukan dalam konsep sosiometrik sebagai star yaitu orang yang menjadi pusat perhatian (sentral) dalam kelompok. Individu yang menjadi pusat perhatian dalam kelompok bermakna ia adalah seorang yang memiliki banyak hubungan dengan anggota lain dalam lingkungan kelompoknya. Sentralitas mengukur tingkat/derajat sejauhmana seseorang berhubungan dengan orang
10
lain dalam sistem sehingga sentralitas juga dapat digunakan untuk mengukur keterunggulan seseorang dalam system. Jadi sentralitas mengacu pada posisi dari aktor/individu dalam suatu jaringan (Paul Hatala, 2006). Sentralitas terdapat dua macam yaitu sentralitas lokal dan sentralitas global. Sentralitas lokal adalah derajat dimana seorang individu berhubungan dengan individu lain dalam sistem. Sentralitas lokal menunjukkan jumlah hubungan yang dapat dibuat individu dengan individu lain dalam sistem. Seorang yang memiliki sentralitas lokal tinggi umumnya adalah seorang yang aktif dalam jaringan komunikasi. Ia sering menjadi penghubung dalam jaringan dan tidak tergantung pada orang lain. Selain itu, dia juga bisa mengambil keuntungan yang banyak dari posisinya dalam suatu jaringan. Adapun sentralitas global digunakan untuk mengukur tingkat pentingnya seorang individu dalam jaringan atau disebut juga closeness centrality. Nilai sentralitas global menunjukkan jumlah ikatan yang seseorang butuhkan untuk menghubungi semua titik dalam jaringan (Scott, 2000). Semakin kecil nilai centralitas global menunjukkan semakin mudah seseorang untuk menghubungi semua titik dalam jaringan. Individu yang mempunyai sentralitas global tinggi mempunyai kemampuan mengakses jaringan komunikasi dengan cepat karena memiliki jalur yang pendek untuk menjangkau orang lain (kelompok lain) dan biasanya memiliki kepekaan dengan apa yang terjadi dalam suatu jaringan. b. Kebersamaan (Betweeness) Kebersamaan (betweeness) adalah frekuensi dimana satu titik terletak diantara titik pada jarak yang menghubungkan mereka. Betweeness diukur dari indeks potensi kontrol komunikasi (perantara informasi/penghubung). Betweeness dari individu mengukur keberadaan agen yang dapat memainkan bagian potensial sebagai broker atau gatekeeper. Betweeness juga menandakan ketergantungan lokal dimana jika seorang individu akan tergantung pada yang lainnya jika jalur yang menghubunginya pada individu lain melewati individu tersebut (Scott, 2000). Penelitian jaringan komunikasi oleh Weenig dan Midden (1991) menyatakan bahwa jaringan komunikasi mempunyai pengaruh terhadap difusi informasi dan proses persuasi. Weenig dan Midden (1991) menyebutkan bahwa tingkat difusi informasi dan proses persuasi terutama pada tahap kesadaran (awareness) dan perhatian (attention) sangat dipengaruhi oleh frekuensi hubungan komunikasi seseorang. Ini menunjukkan bahwa kesadaran dan perhatian akan timbul manakala komunikasi sering dilakukan. Syafril (2002) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa semakin intesifnya hubungan yang terjadi dalam suatu jaringan komunikasi dapat menyebabkan tingkat adopsi teknologi sistem usaha pertanian jagung semakin tinggi pula. Adapun hasil penelitian Jorgensenn (2004) menyatakan bahwa individu yang mempunyai nilai betweeness (kebersamaan) yang tinggi mempunyai kekuatan untuk mengendalikan sejumlah aliran informasi dari satu sisi ke sisi lain dalam suatu jaringan komunikasi sedangkan individu yang mempunyai nilai sentralitas tinggi dapat dikategorikan sebagai opinion leader dan biasanya mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi individu lain. Menurut Nolker (2011) informasi suatu inovasi menyebar dalam suatu kelompok atau masyarakat melalui hubungan interaksi dan komunikasi. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa struktur jaringan komunikasi dapat mendukung proses
11
difusi inovasi. Para pemain kunci dalam jaringan dapat menjadi fasilitator yang mempercepat terjadinya difusi inovasi. Penelitian Cindoswari (2012) terhadap jaringan komunikasi petani ubikayu menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata antara sentralitas lokal dan sentralitas global dengan penerapan teknologi produksi ubikayu. Ini bermakna bahwa semakin banyak petani ubikayu terhubung dengan individu anggota sistem lainnya maka semakin tinggi tingkat penerapan teknologi produksi ubikayu. Higien dan Sanitasi Pemerahan Pengertian higien dan Sanitasi berbeda. Higien diartikan sebagai upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subyeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan (Depkes, 2004). Menurut Azwar (1990) higien adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Dalam konteks pemerahan sapi perah maka higien diartikan sebagai tindakan-tindakan pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan diri peternak yang mencakup juga perlindungan kesehatan akibat pekerjaan serta ternak sapi perah yang akan diperah. Jadi higien menyangkut kesehatan diri peternak yang memerah dan ternak sapi yang akan diperah. Adapun Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara kebersihan lingkungan dari subyeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah agar sampah tidak dibuang sembarangan (Depkes, 2004). Sanitasi pada dasarnya usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit tersebut. Terkait dengan pemerahan, sanitasi didefinisikan sebagai penerapan atau pemeliharaan kondisi yang mampu mencegah terjadinya pencemaran (kontaminasi) terhadap susu yang dihasilkan yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan seperti tempat penyimpanan susu, kandang pemerahan, air untuk mencuci ambing dan lainnya. Tujuan utama dari usahaternak sapi perah adalah menghasilkan susu yang berkualitas yaitu susu yang bergizi tinggi, bebas dari segala residu dan bahan kimia lain, bebas dari pemalsuan serta memenuhi standar bakteri yang ditetapkan (Ruegg, dkk, 2000). Susu sebagai produk utama yang dihasilkan dalam proses pemerahan mempunyai kandungan gizi yang sangat tinggi dan sangat rentan terhadap berbagai kontaminasi sehingga keamanannya merupakan hal penting yang mutlak harus diperhatikan dengan ketat dan terjaga (Winarno, 2004). Oleh karena itu dalam proses pemerahan susu harus memperhatikan aspek higien dan sanitasi terutama dalam pemerahan. Menurut Hidayat, dkk (2002) dan Widaningrum, dkk (2006) Higien dan sanitasi pemerahan terbagi menjadi tiga kategori kegiatan yaitu:
12
1) Kegiatan sebelum pemerahan Kegiatan sebelum pemerahan terdiri dari a) penyediaan dan pembersihan sarana pemerahan yaitu menyediakan peralatan yang dibutuhkan dalam pemerahan diantaranya peralatan susu seperti gelas pemerahan (strip cup), ember dan milk can yang bersih dan sudah disucihamakan, kain lap untuk pemerahan untuk tiap ekor sapi yang diperah, kain blacu atau kain tetra untuk menyaring susu, sikat dan keranjang, ember untuk kain lap yang kotor, bahan kimia berupa dabun dan desinfektan untuk sucihama peralatan susu, kain lap dan kain saring serta air panas untuk membilas peralatan susu. b) pembersihan kandang yaitu dengan menjaga kebersihan kandang terutama area pemerahan. c) persiapan pemerahan yaitu pemerah dalam keadaan sehat dan bersih serta sapi yang akan diperah dalam keadaan bersih (sudah dimandikan). d) pembersihan ambing yaitu membilas ambing sebelum dilakukan pemerahan dengan air hangat dan e) pemerahan awal yaitu mengeluarkan 3-4 pancaran susu awal dari masing-masing puting dengan tujuan untuk : mengetahui susu yang kotor dan banyak mengandung mikroba, mengetahui keadaan susu dan merangsang pengeluaran susu. Kegiatan sebelum pemerahan ini penting dilakukan untuk mendapatkan susu yang berkualitas. Menurut Sargeant , dkk (1998) dan Reugg (2000) penyediaan dan pembersihan sarana pemerahan dan area pemerahan efektif mengurangi bakteri pathogen serta menurunkan jumlah sel somatic hingga 40%. Hasil penelitian Pavicic, dkk (2008) juga menyatakan bahwa pembersihan dan suci hama ambing dan puting sapi mempunyai dampak yang signifikan dalam menurunkan jumlah bakteri patogen dan sel somatik. Suci hama ambing dan puting sebelum pemerahan juga secara signifikan dapat menurunkan infeksi bakteri stapilococus dan coliform (Gleeson, dkk, 2009) 2) Kegiatan pemerahan Kegiatan pemerahan mencakup pengaturan jarak dan waktu pemerahan serta metode pemerahan. Pemerahan harus dilakukan secara teratur dan menjadikannya sesuatu kegiatan yang rutin. Pemerahan harus berada dalam selang waktu yang dianjurkan yaitu 12 dan 12 jam atau 9 dan 15 jam. Pemerahan yang dilakukan secara rutin dapat meningkatkan produksi susu hingga 5,5% (Reugg, dkk, 2000). Metode pemerahan yang dianjurkan adalah metode full hand karena dapat mengurangi lecet pada ambing. 3) Kegiatan setelah pemerahan Kegiatan ini terdiri dari pencucian puting sapi yaitu suci hama puting setelah diperah dengan perendaman dalam desinfektan, pencatatan produksi susu untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan produksi susu, penyaringan susu dengan kain yang higienis untuk mendapatkan susu yang bersih, penyimpanan susu dan pengumpulan ke Tempat Pengumpulan Susu (TPS) dimana peternak harus sesegera mungkin menyimpan susu pada tempat yang dingin dan dikumpulkan pada TPS. Higien dan sanitasi pemerahan mempunyai peran vital dalam menghasilkan susu yang berkualitas. Menurut Koshy dan Prasad (1993) higien dan sanitasi pemerahan yang benar mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menurunkan jumlah bakteri (TPC) dalam susu. Hal senada dinyatakan oleh Petrovic, dkk (2006) bahwa higien pemerahan berdampak nyata pada
13
penurunan jumlah bakteri dalam susu. Gleeson, dkk (2009) menyatakan bahwa higien dan sanitasi pemerahan yang dilakukan secara teratur dan menjadi rutinitas dapat mengurangi infeksi penyakit mastitis dari lingkungan sekitar dan dari ternak lainnya. Karakteristik Peternak Karakteristik individu adalah sifat-sifat yang dimiliki seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya seperti umur, jenis kelamin, jabatan, status sosial dan agama (Mardikanto, 1993). Karakteristik yang ditampilkan seseorang berhubungan dengan aktivitas kerjanya. Karakteristik peternakan dapat diasumsikan sebagai sifat-sifat yang ditampilkan peternak yang berhubungan dengan aspek pekerjaannya sebagai peternak yang meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat kekosmopiltan, pengalaman beternak, pendapatan, serta jumlah kepemilikan ternak. Selanjutnya Zahid (1997) mengemukakan bahwa karakteristik Individu dapat diklasifikasikan kedalam karakteristik demografik dan karakteristik psikografik. Karakteristik demografik mencakup umur, jenis kelamin, ukuran keluarga, daur kehidupan keluarga, penghasilan, pekerjaan, pendidikan, ras, kebangsaan dan tingkat dan tingkat sosial sedangkan karakteristik psikografik meliputi gaya hidup dan kepribadian. Menurut Soekartawi (2005) faktor internal peternak berupa karakteristik individu sangat mempengaruhi tingkat adopsi inovasi. Beberapa faktor internal petani sebagai karakteristik individu antara lain: umur, pendidikan, keberanian mengambil resiko, pola hubungan, sikap terhadap perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, fatalisme, sistem kepercayaan tertentu dan karakteristik psikologi. Rogers dan Kincaid (1981) menyatakan bahwa dalam menjalin hubungan sosial pada jaringan komunikasi setiap aktor membawa ciri-ciri kepribadiannya sendiri, sehingga konfigurasi masuknya atau keluarnya seorang aktor dalam jaringan hubungan sosial akan mempengaruhi struktur interaksi yang diciptakan. Zulkarnain (2002) mengemukakan bahwa karakteristik individu akan sangat menentukan atau mempengaruhi perilaku komunikasinya yang ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap dan pola tindak terhadap lingkungannya. Karakteristik individu merupakan aspek personal seseorang yang meliputi umur, tingkat pendidikan dan ciri psikologisnya. Beberapa penelitian menyatakan bahwa karakteristik peternak yakni tingkat pendidikan, tingkat kekosmopolitan, jumlah kepemilikan ternak dan keterdedahan media massa berhubungan nyata dengan tingkat adopsi inovasi teknologi peternakan kambing PE (Hanafi, 2002). Syafril (2002) juga menyatakan bahwa karakteristik indvidu yang berkorelasi nyata dengan jaringan komunikasi adalah pengalaman usaha tani, persepsi terhadap teknologi dan kekosmopolitan. Selanjutnya menurut Rangkuti (2007) karakteristik individu mempunyai pengaruh nyata terhadap jaringan komunikasi petani dalam proses tingkat adopsi inovasi teknologi traktor tangan. Hal ini menandakan bahwa tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pengalaman, semakin tinggi tingkat kekosmopolitan maka seorang petani cenderung ikut serta dalam jaringan komunikasi. Senada dengan Rangkuti,
14
Cindoswari (2012) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa karakteristik individu berhubungan nyata dengan jaringan komunikasi petani dalam penerapan teknologi produksi ubikayu. Dalam penelitian ini karakteristik individu yang dikaji dibatasi pada umur, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, pengalaman bergabung dalam kelompok, dan tingkat kekosmopilitan.
Usaha Ternak Sapi Perah Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja, dan modal untuk menghasilkan produk peternakan (Soeharsono, 2010). Peternakan sapi perah merupakan usaha budidaya ternak sapi perah dengan tujuan utama menghasilkan susu. Keberhasilan suatu usaha ternak sapi perah bergantung pada tiga faktor yang saling menunjang yaitu pemuliabiakan (breeding), pakan (feeding) dan pengelolaan (management). Ketiga aspek tersebut mempunyai peranan yang sama pentingnya. Jika ketiga faktor tersebut dijalankan secara ekonomis dan efisien, maka akan menghasilkan output atau produk yang maksimal (Soeharsono, 2010). Menurut Schmidt dan Hutjuers (1998) kemampuan sapi perah dalam menghasilkan susu ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Sapi perah umur dua tahun akan menghasilkan susu sekitar 70 sampai 75 persen dari produksi susu tertinggi sapi yang bersangkutan. Pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu 80 sampai 85 persen, sedangkan umur empat sampai lima tahun menghasilkan susu 92 sampai 98 persen. Menurut Makin (2011), secara umum penilaian dan keberhasilan dalam peternakan sapi perah yang telah dijalankan oleh peternak, dapat digambarkan atau ditinjau dari berbagai aspek dalam proses budidaya peternakan, sebagai berikut: 1.
Aspek Produksi • Tingkat produksi susu per ekor tinggi, tetapi secara ekonomi masih tetap berada dalam batas-batas yang menguntungkan • Produksi susu per tenaga kerja mencapai rasio (imbangan) yang tinggi • Jumlah sapi yang dipelihara cukup banyak, tetap selalu dalam imbangan yang menguntungkan • Produksi hijauan (tanaman makanan ternak) per hektar cukup banyak, sehingga memungkinkan tersedia sepanjang tahun 2. Aspek Reproduksi • Setiap ekor sapi perah dewasa beranak tiap tahun dengan selang beranak tidak lebih dari 14 bulan • Semua aspek reproduksi yang bernilai ekonomis (masa kosong, service per conception, conception rate, umur pertama kawin, dan umur beranak) selalu dipertahankan pada tingkat yang efisien menguntungkan
15
Setiap pedet yang dilahirkan tumbuh normal dan tingkat pertumbuhan sesuai dengan umurnya • Selalu tersedia sapi pengganti (replacement stock) dengan umur dan bobot badan yang seragam 3. Aspek Ekonomi • Tingkat keuntungan (profit) per ekor sapi selalu dapat dipertahankan tinggi, berarti investasi pada setiap ekor sapi perah tetap berada pada tingkatan rendah • Tenaga kerja digunakan secara efisien pada berbagai sektor produksi, sehingga ongkos tenaga kerja yang dikeluarkan cukup memadai • Perhitungan dan penggunaan modal (capital) dilakukan secara tepat dan efisien terhadap unit-unit produksi • Kualitas produksi selalu dapat dipertahankan, sehingga nilai jual tinggi 4. Aspek Fasilitas • Pengadaan sarana dan fasilitas dalam jumlah yang memadai dan efisien dalam penggunaannya • Penempatan perkandangan dan bangunan-bangunan lainnya diatur secara strategis dan efisien bagi para tenaga kerja, serta luasnya sesuai dengan kebutuhan • Pelaksanaan dan penggunaan semua catatan (recording) dari setiap kegiatan dilakukan secara teratur dan akurat, sehingga dapat mempermudah dan memperlancar evaluasi, serta pembuatan keputusan yang bersifat manajemen (managerial). •
Apabila keadaan tersebut dapat dilaksanakan oleh para peternak sapi perah, berarti para peternak tersebut telah mampu atau tingkat manajemennya baik, sehingga tingkat keuntungan peternak selalu dapat dipertahankan. Sebaliknya, apabila aspek manajemen tersebut diabaikan atau kurang mendapat perhatian, sekalipun dalam peternakan itu menggunakan sapi yang unggul dan mendapat bahan makanan yang berkualitas baik, maka tingkat produksi akan tetap rendah atau tingkat keuntungan tetap sedikit (rendah). Oleh karena itu, baik tidaknya pelaksanaan kegiatan usaha yang berhubungan dengan aspek manajemen tersebut sepenuhnya bergantung pada kemampuan, keterampilan, dan wawasan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh peternak/manager. Seorang peternak mempunyai status/kedudukan sebagai pemimpin, peng-awas, dan pemelihara (pengusaha) yang senantiasa mengharapkan keuntungan dari usahanya. Oleh karen itu, peternak adalah faktor penentu untuk mengoperasikan suatu usaha peternakan. Keberhasilan beternak sapi perah itu sendiri secara nyata dapat diukur dari adanya peningkatan produksi susu per ekor per hari dan kualitas susu yang tergolong baik (Makin, 2011)