15
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi dan Masyarakat Komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan (Berlo, 1960). Konsep komunikasi ini berasal dari bahasa latin, yaitu communicare yang secara harfiah berarti berpartisipasi atau memberitahukan; bisa juga berasal dari kata communis yang berarti milik bersama (kebersamaan). Komunikasi dianggap sebagai suatu proses berbagi informasi untuk mencapai saling pengertian atau kebersamaan (Rogers , 1986; Kincaid dan Schramm, 1987).
Hybels dan Weaver II (1998) menambahkan
bahwa komunikasi itu bukan saja proses orang-orang berbagi informasi, melainkan juga ide (gagasan) dan perasaan. Selanjutnya Rogers mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana para partisipan saling mengembangkan dan membagi informasi antara satu dengan lainnya untuk mencapai suatu pemahaman bersama (Rogers, 1995). Di sini tersirat pengertian bahwa antara satu partisipan dengan partisipan lainnya masing-masing menyadari kekurangannya atas informa si-informasi yang lengkap mengenai suatu isu. Karena itu penting untuk mengkomunikasikan pengetahuan-pengetahuan antara satu dengan yang lain untuk membangun suatu pemahaman bersama yang sempurna. Effendy (2001) menambahkan bahwa komunikasi di sini merupa kan proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa berupa gagasan, informasi, opini dan lain sebagainya yang muncul dari benaknya. Sedang perasaan bisa merupakan
keyakinan,
kepastian, keragu-raguan dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Komunikasi mengacu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kese mpatan untuk melakukan umpan balik (Devito, 1997). Baik Miller (1986), Hovland (Effendy, 2000) maupun Mulyana dan Rakhmat (2001) melih at komunikasi sebagai proses mengubah perilaku seseorang. Dim ana kegiatan komunikasi tersebut berupa proses penyampaian
16
pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui saluran tertentu dengan efek tertentu (Effendy, 2000; Laswell, 1976). Hal ini sejalan dengan pemikiran Slamet (2003)
yang
melihat
kegiatan
komunikasi
pembangunan
(development
communication) sebagai aktivitas penyuluhan pertanian (agricultural extension atau extension education), karena pada dasarnya tiga istilah itu semua mengacu pada disiplin ilmu yang sama. Di sini beliau menyatakan bahwa tujuan penyuluhan pertanian yang sebenarnya adalah perubahan perila ku kelompok sasaran (Slamet, 1978). Mardikanto (1993) menegaskan melalui penyuluhan pertanian ingin dicapai suatu masyarakat yang memiliki pengetahuan luas, memiliki sikap yang progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap informasi baru, serta terampil dan mampu berswadaya untuk mewujudkan keinginan dan harapan demi perbaikan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dijelaskan bahwa proses komunikasi antara lain terdiri dari model komunikasi lin ear dan relational. Dalam model linear, informasi yang berasal dari sumber disebut pesan dan yang berasal dari penerima disebut umpan balik. Di sini penerima hanya memberikan umpan balik kepada sumber, tetapi tidak menciptakan dan meneruskan pesan-pesannya. Model komunikasi seperti ini biasanya terjadi secara vertikal. Dalam model komunikasi relational, setiap partisipan komunikasi dapat saling meneruskan atau memberikan pesan baru karena setiap pesan dapat dipakai sebagai perangsang untuk mendapat umpan balik dari pesan-pesan sebelumnya. Proses komunikasi ini tidak terhenti sesudah terdapat umpan balik, melainkan kembali ke peserta pertama kemudian peserta tersebut menyusun pesan yang baru lagi (Kincaid dan Schramm, 1987). Dengan demikian dalam model ini proses komunikasi berlangsung bolak-balik, yang menur ut Effendy (2001) dikenal sebagai two -way traffic communication atau komunikasi dua arah. Rahim (Depari dan MacAndrew s, 1998) menyebutkan bahwa arah komunikasi dalam pembangunan desa biasanya mengalir dari atas yang bersumber pada perencana pembangunan ata u pejabat daerah. Selain itu arus komunikasi bisa terjadi antar anggota masyarakat yang setara (horisontal).
17
Ruben dalam Muhammad (2000) mendefinisikan komunikasi manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam
organisasi
dan
dalam
masyarakat
menciptakan,
mengirim
dan
menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain. Sendjaja et al. (1994) sepakat melihat komunikasi sebagai sebuah tindakan untuk berbagi informasi, gagasan ataupun pendapat dari setiap partisipan komunikasi yang terlibat di dalamnya guna mencapai kebersamaan makna. Tindakan komunikasi tersebut dapat dilakukan dalam beragam konteks. Konteks komunikasi tersebut menurut Tubbs dan Moss (2000) terdiri dari komunikasi dua orang, wawancara, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik, komunikasi organisasi, komunikasi massa dan komunikasi antarbudaya. Komunikasi yang diartikan sebagai suatu proses dimana informasi terbagi, lebih lanjut ditambahkan oleh Middleton (1980) bahwa proses ini sering disebut juga sebagai jaring-jaring masyarakat (web of society) dimana individu, kelompok dan pranata-pranata diatur bersama untuk membentuk suatu masyarakat. Middleton pun menjelaskan bahwa sebagai suatu proses yang luas, komunikasi melibatkan beberapa fungsi, seperti memberi dan menerima informasi, mempengaruhi dan dipengaruhi, belajar dan mengajar, menghibur dan dihibur. Pernyataan
Middleton ini pernah disinggung oleh Rao (1966) yang pernah
menjadi anggota Departemen Komunikasi Massa UNESCO yang mengemukakan bahwa komunikasi lebih mengacu pada proses sosial, yakni arus informasi, peredaran pengetahuan dan gagasan-gagasan dalam masyarakat, pengembangan dan internalisasi pikiran. Fungsi komunikasi menurut Laswell adalah (1) pengamatan terhadap lingkungan, (2) penghubung bagian-bagian yang ada di dalam masyarakat agar masyarakat dapat memberi respons terhadap lingkungan tersebut dan (3) pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya (Laswell, 1976).
Konsep pengamatan terhadap lingkungan mengandung arti proses
mengumpulkan dan mendistribusikan “informasi” mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu lingkungan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat itu sendiri. Konsep penghubung bagian-bagian masyarakat
18
mengandung arti melakukan interpretasi terhadap informasi mengenai lingkungan, dan selanjutnya memberitahukan cara -cara memberikan reaksi terhadap apa yang terjadi. Sedangkan konsep pemindahan warisan sos ial dari satu generasi ke generasi yang berikutnya berfokus pada mengkomunikasikan pengetahuan, nilainilai dan norma-norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kegiatan yang terakhir ini dikenal dengan sebutan pendidikan (Wright, 1986). Ketiga fungsi komunikasi tersebut harus dijalankan seluruhnya. Bila salah satu fungsi komunikasi itu terhambat, maka perkembangan masyarakat tidak akan berjalan secara wajar, dan pada gilirannya akan menimbulkan kekacauankekacauan yang merusak masyarakat itu sendiri. Dalam melaksanakan ketiga macam fungsi komunikasi tersebut, ada perbedaan antara cara yang digunakan oleh masyarakat yang sederhana dan oleh masyarakat yang maju. Komunikasi dalam masyarakat sederhana atau primitif cenderung berlangsung secara tatap muka. Misalnya mereka merasa perlu berkomunikasi antar sesamanya, baik waktu bermain maupun waktu beristirahat, berkumpul di goa untuk melawan hawa dingin atau berlindung dari bahaya.
Kelompok
masyarakat primitif ini juga menunjuk seorang penjaga yang bertugas mengawasi keadaan sekeliling dan segera memberikan laporan bila musuh datang atau memberi tahu bila ada binatang buruan yang dapat dijadikan bahan makanan muncul. Informasi yang sampai pada masyarakat yang tinggal di goa ini, dipakai untuk membuat keputusan mengenai hal yang harus dilakukan. Pemimpin atau dewan pimpinan harus membuat keputusan setelah melakukan tukar-menukar pendapat. Pimpinan kemudian menjelaskan situasi, mengeluarkan perintah dan membagi tanggung jawab. Kebijakan yang diambil dalam masyarakat primitif dapat juga didasarkan atas kepercayaan, kebiasaan atau hukum yang berlaku di masyarakat tersebut. Jadi kewajiban penting yang harus dilakukan oleh masyarakat ini adalah mengajarkan kepercayaan, kebiasaan, hukum dan keterampilan-keterampilan baru yang dibutuhkan oleh masyarakat yang masih muda. Orang tua mengajari anak-anak mereka, orang yang lebih tua dan pemuka agama mengajari orang-orang yang sudah dewasa. Peranan komunikasi yang tampak pada masyarakat yang masih sangat sederhana ini adalah berupa: peranan
19
penjagaan (melakukan pengawasan terhadap alam sekeliling dan melaporkannya), peranan kebijaksanaan (memutuskan kebijakan yang perlu diambil, memimpin dan mengatur), dan peranan mengajar agar masyarakatnya mempunyai keterampilan dan kepercayaan yang dipandang bernilai oleh masyarakat yang bersa ngkutan. Di samping fungsi komunikasi formal tersebut, ada fungsi komunikasi yang bersifat tidak formal, yaitu percakapan antar mereka sehari-hari. Seperti mengungkapkan ekspresi cinta, persahabatan, menantang, berargumen dan bertukar pikiran, barter dan perdagangan, menari, menyanyi, bercerita dan melakukan komunikasi informal lainnya, memberi warna dan daya pengikat masyarakat tersebut (Schramm, 1964). Pada masyarakat maju atau masyarakat yang mempunyai peradaban tinggi jangkauan komunikasi sangat luas. Aktivitas yang semula tidak formal dan santai telah diformalkan. Sesuatu yang semula cukup ditangani oleh seorang atau beberapa orang, sekarang diperlukan suatu lembaga sosial tersendiri untuk menanganinya dengan memasukkan pula mesin-mesin ke dalam proses komunikasi. Mesin-mesin digunakan untuk melihat, mendengar, berbicara dan menulis dengan kemampuan jangkauan kerja yang sangat tinggi. Di lingkungan mesin-mesin ini muncul pula institusi komunikasi yang sangat besar yang disebut media massa. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa fungsi dasar komunikasi sendiri tetap sama. Pekerjaan mengawasi lingkungan sekarang ditugaskan kepada media massa. Pekerjaan yang membutuhkan konsensus, pembuatan kebijakan, dan pengarahan tindakan-tindakan terutama menjadi tugas pemerintah. Organisasi seperti partai politik dan media massa telah masuk jauh ke dalam proses pembentukan opini dan tindakan. Tugas yang semula dilakukan oleh suatu kelompok kecil dalam suatu percakapan singkat, sekarang menjadi diskusi berbulan-bulan, yang melibatkan beratus-ratus ribu atau bahkan berjuta -juta manusia dan mungkin memerlukan kampanye berskala nasional. Namun, esensi kewajiban mereka tetap sama dengan yang dilakukan oleh masyarakat sederhana, yaitu memutuskan kebijakan dan memimpin. Kewajiban melakukan proses sosialisasi terhadap anggota masyarakat dibebankan kepada sekolah dan media pendidikan lainnya, seperti buku, radio, televisi pendidikan, film instruksional dan
20
ensiklopedi. Kebutuhan akan pengetahuan dan latihan tidak hanya tersedia terbatas untuk anak-anak, melainkan juga untuk orang dewasa berupa lembaga dan instruksi khusus, misalnya penyuluh pertanian, petugas peneliti dan universitas , penyalur (dealer) penyediaan sarana, perbankan maupun lembaga swadaya masyaraka t (LSM). Organisasi ini disebut “pelayanan informasi” (Lionberger dan Gwin, 1982). Seluruhnya menjadi makin kompleks dan makin canggih. Namun esensinya tetap sama, yaitu keperluan akan pelayanan informasi (Schramm, 1964). Di banyak desa di Indonesia, media komunikasi tradisional masih sering dijumpai. Ketika sewaktu-waktu akan mengumpulkan warga masyarakat, cukup dengan membunyikan kentongan yang dipukul dengan cara tertentu (kode) yang berarti ada bahaya ataupun keadaan aman. Pertunjukan kesenian, se lain sebagai alat hiburan juga merupakan sumber nilai- nilai atau petuah untuk menghadapi berbagai masalah kehidupan yang mengarus melalui dialog ataupun perilaku yang diperdengarkan dan dipertunjukan dalam kesenian seperti nyanyian rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat dan drama rakyat. Menurut Jahi (1993) media tradisional yang dekat dengan rakyat sangat efektif untuk menyampaikan pesan pembangunan. Soesanto (1985) menyebutkan bahwa seni tradisional merupakan nilainilai budaya yang dianut suatu masyarakat. Nilai budaya merupakan dasar kehidupan sehari-hari dan karenanyalah merupakan pula dasar dan titik bertolaknya komunikasi. Ungkapan ini menunjukkan bahwa seni tradisional merupakan proses komunikasi. Pertunjukan tradisional ini haruslah mengandung tiga aspek yaitu pendidikan, penerangan dan hiburan (Departemen Penerangan, 1984), atau bermaksud menghibur, menjelaskan, mengajar dan mendidik (Jahi, 1993). Jadi, komunikasi di sini didefinisikan sebagai proses penyampaian dan pemahaman pesan dari satu orang ke orang lain atau kepada kelompok, organisasi, publik maupun kepada masyarakat luas. Komunikasi mengacu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh
21
tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Komunikasi dalam hal ini berupa kegiatan membagi perasaan/gagasan dan nilai-nilai melalui bahasa, visualisasi, fasilitas sarana komunikasi yang digunakan, sehingga terjadi suatu kesamaan makna tentang pesan yang disampaikan antara penyampai pesan dan penerima pesan. Kesamaan makna inilah yang menjadi tujuan komunikasi dan sekaligus menentukan efektif tidaknya suatu kegiatan komunikasi.
Dalam
melaksanakan fungsi komunikasi, ada perbedaan antara cara yang digunakan oleh masyarakat yang sederhana dan masyarakat maju. Namun, perbedaan cara tersebut tidak mengurangi makna dari ketiga fungsi proses komunikasi. Perbedaannya adalah pada masyarakat sederhana menggunakan cara yang sederhana, sedangkan masyarakat maju menggunakan cara-cara yang lebih kompleks yang menuntut dimilikinya keterampilan yang lebih tinggi.
Komunikasi Pembangunan dan Komunikasi dalam Masyarakat Desa Komunikasi Pembangunan Seperti sudah dijelaskan di sub bab di atas, secara umum dapa t dijelaskan bahwa komunikasi ialah proses penyampaian informasi/pesan dari sumber kepada penerima, dengan tujuan timbulnya respons dari penerima sehingga melahirkan kesamaan makna (Berlo, 1960, Rogers, 1995, Kincaid dan Schramm, 1987). Sedangkan pembangunan, yang bila dikaitkan dengan perubahan, dia adalah perubahan berencana . Menurut Boyle (1981) apabila perubahan atau segala sesuatu yang terlihat atau terasa berbeda dalam suatu jangka waktu tertentu, dimana perbedaan-perbedaan tersebut dengan sengaja ditimbulkan dan telah direncanakan terlebih dahulu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan, maka dikatakanlah sebagai perubahan berencana. Pembangunan itu sendiri merupakan serangkaian usaha berencana yang secara umum ditujukan untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat positif, diinginkan dan bermanfaat pada diri manusia dan lingkungan sekitarnya (Slamet, 1986). Sebagai akibat dari pembangunan, manusia yang menjadi sasaran pembangunan tersebut akan tumbuh dan berkembang, baik dalam arti badaniah
22
dan rohaniah, sehingga dapat mengambil manfaat yang lebih baik dari lingkungannya. Proses perubahan manusia itu sendiri melibatkan banyak usaha dan tenaga. Usaha -usaha pendidikan yang lazim dikenal dengan penyuluhan, ya ng di dalamnya tak lain adalah kegiatan proses komunikasi persuasif merupakan salah satu faktor yang dapat memainkan peranan penting dalam menimbulkan perubahan manusia tersebut. Menurut Slamet (1986) perubahan semacam inilah yang perlu diperhatikan, karena inti utama dari pembangunan tidak lain daripada pertumbuhan dan perkembangan manusia. Pembangunan fisik yang sering kali menarik banyak perhatian, tidak akan berarti banyak apabila tidak disertai dengan pembangunan manusianya. Kalau di tahun 50-an dan 60-an pemerhati pembangunan menekankan pada investasi, modal, teknologi, produktivitas sebagai hal yang penting bagi pembangunan.
Kemudian,
sebelum
tahun
70-an
telah
dimulai
proses
penyeimbangan. Hal ini menekankan pada kebutuhan redistribusi, kebutuhan mengejar tujuan lain seperti pendidikan, kesehatan dan kualitas umum kehidupan daripada penambahan volume barang dan jasa (Jayaweera, 1989). Dengan kata lain pembangunan jangan hanya dilihat dari Gross National Product (GNP) melainkan juga harus diukur dengan peningkatan Indeks Hidup Kualitas Fisik (IHKF) dan GNP, yang satu sama lain tidak terpisah. Dengan hal ini kualitas fisik kehidupan jauh lebih baik, jelas Jayaweera (1989). Indikatornya adalah perbaikan angka buta huruf (illiteracy), kesehatan, kematia n bayi, harapan hidup dan pendidikan. Di tahun 80-an, orang melihat pembangunan sebagai suatu paket dari konsep kebutuhan dasar, berdikari atau mandiri
dan partisipasi, yang
merupakan alternatif bentuk pembangunan yang dihasilkan dari penekanan pada pertumbuhan dan output. Pengertian kebutuhan dasar meliputi metode analisis permasalahan masyarakat desa, yaitu merupakan suatu model yang dapat digunakan untuk menganalisis masalah yang terdapat dalam masyarakat (Slamet, 1986), yang menurut Slamet (2003) bisa digali dari berbagai kebutuhan dan keinginan dalam diri warga masyarakat yang akan dapat mereka penuhi sendiri bilamana potensi dan kemampuan mereka mendapat kesempatan untuk
23
dikembangkan. Kata potensi dan kemampuan warga masyarakat merupakan kunci pengertian me-mandiri-kan masyarakat.
Hal ini sesuai dengan falsafah
penyuluhan “membantu diri sendiri” itu menunjukkan dinamika pribadi SDMklien sangat menonjol (Asngari, 2001). Kemandirian (selfhelp ) masyarakat, termasuk kemandirian pertanian (baca: tanpa subsidi) yang secara bertahap telah mulai diusahakan dari sekarang, perlu diikuti dengan pengurangan keterikatan pada program-program pemerintah (Slamet, 2003).
Pengertian partisipasi
masyarakat dalam pembangunan dikatakan oleh Slamet (2003) bermakna sebagai ikutsertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan,
dan
ikutserta
memanfaatkan
dan
menikmati
hasil-hasil
pembangunan. Perlu ditekankan di sini bahwa partisipasi dalam pembangunan bukan hanya berarti ikut menyumbangkan
sesuatu input ke dalam proses
pembangunan, tetapi termasuk ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Pembangunan
harus
dilihat
dalam
karakter
holistik.
Tidak
ada
pembangunan yang mengabaikan produktivitas dan pertumbuhan. Tetapi pertumbuhan
harus
diimbangi
dengan
reformasi
struktural
yang
tidak
menghambat daya produktif masyarakat. Pada waktu yang sama, itu harus didukung oleh keseluruhan tindakan yang menjamin keadilan, menjamin peningkatan kualitas hidup serta menjamin hak-hak asasi manusia dan kebebasan demokrasi (Jayaweera, 1989). Sebagai suatu istilah teknis Seers (Nasution, 1996) melihat pembangunan berarti membangkitkan masyarakat di Negara-negara sedang berkembang dari keadaan kemiskinan, tingkat melek huruf (literacy rate) yang rendah, pengangguran dan ketidakadilan sosial. Dalam pengertian sehari-hari pembangunan merupakan usaha yang dilakukan oleh suatu mas yarakat untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Rogers (1976) mengartikan pembangunan sebagai proses-proses yang terjadi pada tingkat sistem sosial. Sama halnya seperti diseminasi, pengembangan (development), spesialisasi, integrasi dan adaptasi (Slamet, 1986). Sedangkan modernisasi ialah proses yang terjadi pada tingkat individu, termasuk istilah difusi inovasi, adopsi inovasi, akulturasi, belajar atau sosialisasi. Untuk perubahan demikian disebut
24
perubahan mikro karena lebih memfokuskan pada perilaku perubahan individual. Pembangunan di sini diartikan Rogers (1976) sebagai proses perubahan sosial dalam suatu masyarakat yang diselenggarakan dengan jalan memberi kesempatan yang seluas-luasnya pada warga masyarakat tersebut untuk berpartisipasi, untuk mendapatkan kemajuan baik secara sosial maupun material (pemerataan, kebebasan dan berbagai kualitas lain yang diinginkan agar menjadi lebih baik). Sementara Dissayanake (1981) menggambarkan bahwa pembangunan ialah proses perubahan sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dari seluruh atau mayoritas masyarakat, tanpa merusak lingkungan alam dan kultural tempat mereka berada dan berusaha, melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam usaha ini, dan menjadikan mereka penentu dari tujuan mereka sendiri. Rogers dan Shoemaker (1971) lebih lanjut menyebutkan bahwa besar kemungkinan sem ua analisis perubahan sosial harus memusatkan perhatiannya pada proses komunikasi, karena dilihat dari kenyataan semua penjelasan tentang perilaku manusia berpangkal pada penyelidikan mengenai bagaimana orang-orang itu memperoleh dan mengubah gagasannya (membuat keputusan) melalui komunikasi dengan orang lain, maupun dengan kemajuan teknologi komunikasi, baik radio, televisi dan media cetak. Teknologi komunikasi ini memiliki kemampuan untuk menciptakan dan menyebarkan “kesan baru” ( new images) dari apa yang seseorang ingin aspirasikan, menciptakan “mobilitas fisik” dan membangkitkan “empati” (Jayaweera dan Amunugama, 1989). Dari ilustrasi di atas, istilah Komunikasi Pembangunan diartikan sebagai suatu komitmen untuk meliput secara sistematik, problematika yang dihadapi dalam pemba ngunan suatu bangsa. Kegiatan itu kemudian diperluas mencakup segala komunikasi yang “diterapkan untuk pentransformasian secara cepat suatu negara dari kemiskinan ke suatu dinamika pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan lebih besarnya keadilan sosial dan pemenuhan pote nsial manusiawi” (Nasution, 1996). Definisi ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Lerner, Pye dan Schramm bahwa komunikasi pembangunan berhubungan dengan teknologi yang didasari pada jaringan komunikasi yang menimbulkan iklim yang cocok untuk
25
pembanguna n, tanpa memperhatikan pesan dan isi pesan. Di lain pihak, ada istilah komunikasi penunjang pembangunan (KPP), yang diutarakan oleh Erskine Childers dari UNDP, sebagai komunikasi yang secara khusus disusun untuk mendukung program pembangunan tersebut (Jaya weera dan Amunugawa, 1989). Komunikasi pembangunan (KP) lebih besar dibandingkan dengan KPP . Seperti halnya KPP yang merupakan bagian yang terkecil, dapat bekerja dengan efektif pada bidang terbatas, walaupun dengan ketidakhadiran komunikasi pembangunan. Tabel 1 berikut memperlihatkan bagaimana komunikasi pembangunan (KP) dibedakan dengan komunikasi penunjang pembangunan (KPP).
Tabel 1. Perbedaan komunikasi pembangunan dan komunikasi penunjang pembangunan
KP
KPP
1. Secara umum digunakan untuk 1. Secara umum digunakan untuk nasional atau makro. lokal atau mikro. 2. Berfungsi tidak langsung dan samar 2. Berfungsi langsung yang sesuai -samar. dengan efek dan tujuan. 3. Bersifat persuasif dan terbuka. 3. Dibatasi waktu dan mengambil bentuk kelompok. 4. Mengandalkan pengaruh yang kuat 4. Berorientasi pesan. Secara teliti dari karakteristik teknologi. menunjukkan kepuasan. 5. Dibatasi teknologi media massa. 5. Menggunakan semua budaya media 6. Bersifat top-down dan hierarkhi. 6. Selalu interaksi dan partisipasi. 7. Penelitian banyak masalah, jumlah 7. Penelitian mudah, peubah dapat peubah banyak, kesulitan dalam diisolasi, dikontrol dan diukur. mengontrol. Secara konsekuen Secara konsekuen masih ada kekurangan penelitian. penelitian. 8. Semakin kehilangan kredibilitas. 8. Kredibilitas sangat besar. Diadopsi oleh sistem UN dan seluruh agen pembangunan nasional dan internasional. Studi penelitian yang mengambil topik “Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan” mer upakan dasar dari kredibilitas KPP, dan ini menjadi fokus penyelidikan yang ingin dideskripsikan.
26
Komunikasi dalam Masyarakat Desa Tinjauan komunikasi pembangunan dalam penelitian ini lebih melihat pada studi komunikasi yang mendukung pembangunan/KPP (development support communication) yang melihat pelaksanaan komunikasi pembangunan dengan membatasinya atas waktu dan mengambil bentuk kelompok sebagai unit analisis. Tinjauan berdasarkan pendekatan komunikasi penunjang pembangunan (KPP) ini sebenarnya mengikuti rekomendasi Rogers (1995), dimana pada penelitian difusinya dia beranjak dari komunikasi pembangunan (KP) dan konsekuensinya kehilangan validitasnya (Jayaweera dan Amunugawa, 1989). Homan (dalam Blau, 1975) memberikan batasan tentang struktur sosial sebagai perilaku yang ajeg (enduring), yaitu suatu ekspresi yang menunjukkan konfigurasi hubungan antar orang seorang dan posisinya, yang bisa dilihat dari karakteristik personal. Kelom pok formal ai lah salah satu contoh perilaku yang ajeg tersebut, menunjukkan suatu keadaan saling terkait antara posisi dan peranan, suatu tatanan distribusi stratifikasi berdasarkan ciri personal, suatu pola interaksi dan aktivitas antar partisipan anggota suatu kelompok. Dimana hal tersebut dapat diperlakukan sebagai suatu sistem, yakni kelompok sebagai sistem sosial (Slamet, 1997) atau masyarakat sebagai suatu sistem sosial (Loomis, 1960; Slamet 1986). Tinjauan kelompok sosial yang relatif sederhana dibandingkan dengan pengamatan masyarakat sebagai sistem sosial, adalah (bagian) masyarakat desa. Deskripsi tentang pengertian masyarakat desa tidak mudah diberikan karena acuan yang dipakai untuk mendasari masih sangat beragam. Misalnya, berdasarkan luas daerahnya, teknologi yang digunakan, kepadatan penduduk, nilai-nilai sosial budaya dan sebagainya. Dengan demikian apapun dasar yang dipakai untuk mendeskripsikan pengertian desa, maka hal tersebut hanyalah merupakan suatu stereotype agar didapat gambaran tentang suatu masyarakat yang relatif sederhana. Masyarakat desa menurut Soekanto (2001) adalah wilayah kehidupan sosial di perdesaan yang masih kuat derajat hubungan sosialnya dalam bentuk ikatan kekeluargaan dan komunikasi yang dibangun di antara anggota secara
27
langsung. Gillin dan Gillin dalam Koentjaraningrat (1990) merumuskan masyarakat (society) sebagai: “… kelompok terbesar dimana secara umum adat istiadat (custom), tradisi, sikap dan perasaan tampak sebagai suatu kesatuan yang berproses.” Hal ini diperkuat oleh Soemardjan (1993) yang menyatakan bahwa masyarakat desa hidup dari persamaan profesi pertanian, peternakan atau perkebunan itu diperkuat dengan persamaan adat, persamaan bahasa dan persamaan sistem sosial. Masyarakat desa termasuk dalam kategori masyarakat modern, walaupun penggunaan teknologi dan sistem sosial serta lembaga masyarakat yang ada masih bersifat sederhana.
Masyarakat desa memiliki
karakteristik yang khas, berbeda dengan masyarakat kota. Masyarakat desa mempunyai berbagai lembaga atau pranata sosial yang digunakan sebagai ajang pertemuan untuk memelihara nilai-nilai yang merupakan faktor integratif bagi masyarakat desa yang bersangkutan. Desa juga mempunyai beragam jenis selamatan, mulai dari selamatan kelahiran sampai dengan kematian. Proses sosialisasi di desa, selain dilakukan melalui pengajaran langsung secara verbal atau melalui perilaku yang dianggap terpuji oleh orang tua kepada anak-anak mereka atau oleh tetua desa, tokoh agama dan tokoh adat kepada generasi yang lebih muda. Juga sering dilakukan melalui bentuk pertunjukan kesenian (seni tradisional atau pertunjukan rakyat) yang sarat dengan pewarisan petuah dan nilai-nilai. Di kalangan masyarakat desa, selain pemimpin formal juga sering dijumpai pemimpin/tokoh informal ya ng dijadikan sebagai pemuka pendapat (opinion leaders). Menurut Rogers (1995) mereka sering menjadi pusat informasi dan karenanya menjadi tempat bertanya dan meminta pendapat dari warga desa tentang berbagai hal, khususnya yang menyangkut kegiatan dan kebutuhan masyarakat desa sehari-hari. Dalam konteks adopsi inovasi dikemukakan bahwa pemimpin informal ini adalah orang-orang kunci (key person) yang berpengaruh di desa, terhadap siapa warga desa berpaling dalam ide -ide baru (Havelock et al., 1971). Orang-orang ini biasanya mempunyai pengaruh yang besar karena pengakuan kredibilitasnya mengenai hal-hal tertentu yang diakui oleh para anggota masyarakatnya. Mereka ini juga berfungsi sebagai penjaga gawang (gate
28
keeper) terhadap inovasi dan nilai-nilai yang masuk ke dalam masyarakat perdesaan tersebut (Rogers, 1995; Jahi, 1993; Goldberg dan Larson, 1985). Pemimpin menurut hasil penelitian Ginting (1999) bisa terdiri atas pemimpin informal tradisional seperti pemimpin atau tokoh adat, pemimpin agama dan raja di kampung (raja huta ) dan pemimpin informal kontemporer yakni seseorang yang kepemimpinannya diakui oleh warga masyarakat dalam waktu yang belum terlalu lama, seperti guru, cendekia desa, pegawai/pensiunan, pedagang, pengusaha atau petani yang berhasil. Efektivitas peranan pemimpin informal ini terutama didukung oleh sifat masyarakat desa yang relatif homogen dan dapat melakukan kontak langsung atau tatap muka. Dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan kebutuhan mutlak baik pada masyarakat yang sederhana, yang berada pada masa transisi maupun pada masyarakat modern. Studi dengan menganalisis KPP, yang melihat masyarakat desa atau lebih spesifik lagi kelompok peternak sebagai unit analisis akan dijadikan acuan pada penelitian ini, termasuk analisis jaringa n komunikasinya. Perbedaan pokok antara kegiatan komunikasi pada masyarakat yang sederhana, transisi dan masyarakat maju hanyalah terletak pada alat-alat penyampaiannya, tidak pada fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi tetap sama, yaitu untuk pengamatan
lingkungan,
menghubungkan
bagian-bagian masyarakat agar
memberikan respons terhadap lingkungan, dan melakukan pemindahan warisan nilai-nilai termasuk difusi inovasi. Bila mensitir rekomendasi dari rencana tindak yang
diusulkan
pada
Deklarasi
Komunikasi
Pemba ngunan
ke -9
yang
diselenggarakan FAO dan UNESCO, PBB (Perserikatan Bangsa -Bangsa) pada 69 September 2004 di Roma, maka disepakati bahwa “komunikasi untuk pelaksanaan pembangunan yang dianjurkan, dilaksanakan oleh masyarakat sendiri (themselves) untuk lebih menarik perhatian para pembuat keputusan, untuk memastikan bahwa komunikasi tersebut dapat dikenali sebagai komponen sentral pada semua inisiator pembangunan.” Deane (2004) menyebutkan bahwa konteks Komunikasi Pembangunan tahun 2004 adalah: “… bila pembangunan bisa dilihat sebagai rangkaian aktivitas jutaan orang, komunikasi mewakili hal-hal pentin g yang menyatukan mereka. Komunikasi adalah dialog dan debat yang
29
terjadi secara spontanitas dalam setiap perubahan sosial. Peningkatan kebebasan berekspresi sekarang ini hampir bersamaan dengan perubahan struktur politik global. Di lain pihak, komunikasi dengan sengaja diintervensi untuk mempengaruhi perubahan sosial dan ekonomi. Strategi pembangunan yang menggunakan pendekatan komunikasi dapat mengubah sikap rakyat dan kebijakan tradisional, membantu rakyat untuk b eradaptasi, untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru, dan menyebarkan pesan -pesan sosial baru kepada khalayak yang lebih luas. Rencana yang menggunakan teknik komunikasi, aktivitas dan media memberikan kepada rakyat perangkat yang berguna untuk perubahan pengalaman dan bahkan untuk menuntunnya berubah. Untuk meningkatkan pertukaran ide dari masing-masing sek tor masyarakat dapat digunakan pemimpin yang terlibat dengan rakyat. Hal ini adalah syarat yang mendasar atau fundamental bagi pembangunan yang berkelanjutan.” Perdebatan terkini dan banyak dari catatan pertemuan “roundtable ” (meja bundar) di Roma tahun 2004 ini, telah dilengkapi dengan model komunikasi berupa difusi, advokasi dan partisipasi (Deane, 2004). Ada bukti yang semakin jelas bahwa program komunikasi yang cenderung untuk menarik sumberdaya – terutama sekali yang berjanji untuk mewujudkan sesuatu menjadi kenyataan, perubahan perilaku individu di luar batasan waktu yang menyolok – sering tidak bisa berlanjut, bera kar di dalam kultur (budaya) dimana mereka beroperasi, mempunyai dampak terbatas dan mengalami hambatan sos ial yang lebih pokok. Pada sisi lain, lebih partisipatori, model komunikasi perubahan sosial dari bawah ke atas ka dang-kadang gagal untuk menarik lebih banyak sumberdaya dikarenakan dampaknya menjadi sangat sukar untuk dievaluasi dalam jangka pendek, sebab mereka sering menemui kesulitan untuk memprogramkannya dalam skala mikro. Di lingkungan komunikasi yang semakin terhubung, para praktisi komunikasi mengurangi perhatian atas penyebaran pesan tetapi lebih fokus pada pendorongan publik dan individu untuk dapat bertindak secara kolektif dalam mengembangkan solusi-solusi bagi masalah mereka sendiri. Tabel 2 berikut ini menyajikan perubahan lingkungan komunikasi dari tradisional ke yang baru.
30
1. 2. 3. 4.
5.
Tabel 2. Perubahan lingkungan komunikasi Tradisional Baru Komunikasi vertikal – dari 1. Komunikasi horizontal (dari pemerintah ke masyarakat. seseor ang ke orang lain). Sistem komunikasi unipolar. 2. Jaringan-jaringan komunikasi. Sedikit sumber informasi. 3. Banyak sumber informasi. Mudah mengendalikan 4. Susah mengendalikan (a) Kebaikan, memunculkan (a) Kebaikan, lebih banyak informasi yang akurat bagi debat, suara-suara lantang dan banyak orang peningkatan kepercayaan (b) Kelemahan, dikendalikan (b) Kelemahan, makin kompleks pemerintah dan disensor. dan isu-isu keakuratan berita. Mengirimkan pesan. 5. Menanyakan sesuatu hal.
Jaringan Komunikasi Salah satu cara untuk memahami perilaku manusia adalah dengan mengamati atau memahami hubungan-hubungan sosial yang tercipta karena adanya proses komunikasi interpersonal. Hal ini tidak lain karena manusia selain sebagai makhluk individu adalah juga makhluk sosial yang hanya bisa mengembangkan potensi dirinya sebagai manusia melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Sebenarnya masih banyak cara-cara lain dalam memahami perilaku manusia, tetapi sesuai dengan perumusan masalah pada studi ini yang hendak berupaya memahami hubungan karakteristik personal peternak pada kelompok ternak di lokasi penelitian, perilaku keterdedahan/terpaan media massa dan perilaku menggunakan saluran komunikasi interpersonal informal dengan keterlibatan pada jaringan komunikasi penyuluhan, dengan objek amatan pada Pengembangan Usahaternak Terpadu Sapi Potong. Maka jelas lah bahwa fokus penelitian ini hanya melihat keterlibatan pada jaringan komunikasi, yang merupakan peubah antara (intervining variable ) hubungan karakteristik personal dan keterdedahan media massa dengan distorsi pesan. Pengertian Jaringan Komunikasi Jar ingan komunikasi (communication network) terdiri atas individuindividu yang saling berhubungan satu sama lain melalui pola-pola arus informasi (Rogers dan Kincaid, 1981), atau melalui arus komunikasi yang terpola (Rogers
31
dan Rogers, 1976; Rogers, 1995). Lebih lanjut didefinisikan oleh Rogers dan Kincaid bahwa jaringa n komunikasi tersebut merupakan suatu hubungan yang relatif stabil antara dua individu atau lebih yang terlibat dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan. Hanneman dan McEver (1975) menyatakan bahwa bila dua orang atau lebih ikutserta dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan maka mereka terlibat dalam suatu jaringan komunikasi, dimana pertukaran informasi itu terjadi secara teratur. Begitu pun Muhammad (2000) sepakat menamakan kejadian saling terjadi pertukaran pesan melalui jalan tertentu di antara sejumlah orang yang menduduki posisi dan peranan tertentu dalam suatu organisasi sebagai jaringan komunikasi. Kemudian diperjelas dengan pendapat Schramm (1963) yang menyatakan bahwa jaringan komunikasi terdiri dari orangorang yang saling berhubungan satu sama lain, saling mempengaruhi dan berbagi informasi untuk mencapai tujuan bersama. Proses Pembentukan Jaringan Komunikasi Selain sebagai sekumpulan orang-orang, masyarakat juga merupakan kumpulan hubungan-hubungan. Hubungan-hubungan ini dapat berupa hubungan darah/keturunan,
hubungan
persahabatan,
pertemanan
karena
persamaan
pekerjaan, hubungan bertetangga dan masih banyak hubungan yang lain. Hubungan-hubungan ini hanya akan terjadi dan bermakna bila ada proses komunikasi. Hubungan darah atau hubungan keturunan sekali pun kurang berarti bila antar anggota seketurunan tersebut tidak terjadi kontak-kontak satu dengan yang lain melalui proses komunikasi tersebut. Hubungan dalam masyarakat ini sedemikian banyaknya, ibarat jaringan laba-laba yang berlapis-lapis, karena setiap jenis informasi akan mempunyai jaringan komunikasinya sendiri-sendiri. Keseluruhan jaringan komunikasi dalam masyarakat ini dibentuk oleh individu-individu melalui pola arus informasi (Rogers,1995). Jahi (1993) menekankan pada aspek isu-isu atau pesan komunikasi sebagai salah satu batasan (rambu-rambu) dalam analisis jaringan komunikasi. Karena setiap individu atau lembaga, untuk isu yang berbeda memiliki kedudukan dan posisi yang berbeda dalam jaringan komunikasi. Pernyataan ini mengisyarat-
32
kan, ada banyak jaringan komunikasi dalam sebuah sistem sosial, tergantung isu apa yang menjadi fokus perhatian. Jadi pada sebuah desa misalnya, bisa ditemukan jaringan komunikasi keluarga berencana (KB), kesehatan, pertanian dan sebagainya. Untuk
mendeteksi
keberadaan
suatu
jaringan
komunikasi
dalam
masyarakat digunakan metode yang mengacu kepada model konvergensi yang menjadikan hubungan interpersonal sebagai unit analisis. Menurut Rogers (1995) hakekat dari suatu jaringan komunikasi adalah hubungan-hubungan yang bersifat homofili (homophilous), yakni kecenderungan manusia untuk melakukan hubungan atau kontak sosial dengan orang-orang yang memiliki atribut sama atau yang lebih tinggi sedikit dari posisi dirinya . Tetapi dapat juga terjadi antar orangorang yang memiliki atribut yang tidak sama. Sebagai contoh, A berkomunikasi dengan B yang mempunyai pendidikan lebih rendah sedikit dari A. Sebaliknya B berkomunikasi dengan C yang tingkat pendidikan lebih rendah dari B. Dengan demikian A dan C yang tingkat pendidikannya berbeda, juga melakukan komunikasi. Namun secara tidak langsung, karena komunikasinya melalui B sebagai penghubung. Dengan kata lain A dan C berada pada jalur komunikasi yang sama (Lin, 1975). Di sisi lain, masing-masing individu tidak hanya mempunyai hubungan (komunikasi) satu jenis jaringan komunikasi saja.
Seorang yang mempunyai
jabatan tertentu, misalnya guru. Dia tidak hanya akan berhubungan dengan sesama guru, tetapi juga mungkin berhubungan dengan anggota keluarga dengan kedudukan sebagai seorang kepala rumahtangga, anggota suatu organisasi klub bulutangkis dan lainnya. Seorang petani di desa misalnya, selain terlibat dalam jaringan komunikasi pertanian, juga sangat mungkin terlibat dalam jaringan komunikasi agama, kesehatan, transmigrasi dan lain -lain. Visualisasi dari posisi seseorang dalam jaringan-jaringan komunikasi tersebut adalah sebagai berikut, seperti yang tertera pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa orang nomor 1 menjadi anggota A, B, C dan D. Orang nomor 2 hanya menjadi anggota B dan C. Orang nomor 3 menjadi anggota C dan D. Orang nomor 4 dan 5 menjadi anggota A dan B. Orang nomor 6
33
menjadi anggota A dan C. Sedangkan orang nomor 7 dan 8 adalah anggota A dan D.
Ilustrasi contoh jaringan komunikasi pada Gambar 1 tersebut baru dua
dimensi. Apabila dibuat tiga dimensi dapat dibayangkan betapa kompleks hubungan-hubungan tersebut. Dalam realitasnya seorang petani di desa bukan mustahil terlibat tidak saja pada keempat macam jaringan komunikasi tersebut, tetapi juga terlibat pada jaringan komunikasi perkreditan, jaringan komunikasi KB, jaringan komunikasi pemasaran produksi pertaniannya, jaringan komunikasi peternakan, jaringan komunikasi “hobby” memelihara ayam pelung dan sebagainya yang bila disebutkan satu persatu akan banyak sekali. Sehingga tidak mudah untuk divisualisasikan seperti halnya mengenai empat jenis jaringan komunikasi tersebut.
7
5
4
A
6
2
B
1
C
3
8
D Keterangan: A = Jaringan komunikasi agama B = Jaringan komunikasi pertanian C = Jaringan komunikasi kesehat an D = Jaringan komunikasi transmigrasi.
Gambar 1. Keanggotaan pada berbagai jaringan komunikasi
34
Setiap jenis jaringan komunikasi mempunyai kecepatan perkembangan yang berbeda -beda. Semakin penting suatu jenis informasi bagi suatu anggota sistem sosial, makin cepat perkembangan dan luas jangkauan jaringan komunikasinya. Jaringan komunikasi yang berhubungan dengan informasi tentang kebutuhan primer akan mempunyai jangkauan yang tercepat dan terjauh (Rogers, 1995). Bagi seorang peternak, informasi mengenai peternakan mestinya akan merupakan informasi terpenting. Maka penelitian jaringan komunikasi peternakan di kalangan peternak di suatu desa, sangat mungkin akan mendapatkan suatu jaringan komunikasi yang sangat luas, yang menjangkau seluruh peternak di desa tersebut. Sedangkan usaha pertanian lain atau usaha off-farm yang sebagai usaha penunjang, sangat mungkin memiliki jaringan komunikasi yang kurang luasnya dibanding dengan jaringan komunikasi peternakan sebagai usaha pokok/ primer. Perkembangan jaringan komunikasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya faktor sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. Perbedaan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama antar masyarakat atau kelompok sosial akan sangat menentukan keberhasilan suatu proses komunikasi. Contoh pengaruh faktor sosial terhadap jaringan komunikasi, misalnya pada masyarakat yang tingkat pendidikannya sangat rendah, jaringan komunikasi kesehatan akan sulit berkembang. Seperti kampanye air masak di desa Los Malinos di Peru, ya ng berusaha memperkenalkan inovasi program peningkatan kesehatan masyarakat tetapi gagal. Hal ini dikarenakan anjuran agar air yang hendak diminum harus dimasak terlebih dahulu tidak diindahkan oleh anggota masyarakat. Penjelasan bahwa air mentah mengandung kuman, dan karenanya harus dimasak dahulu tidak masuk akal mereka. Mereka tidak percaya bahwa kuman yang sangat kecil yang tak terlihat mata mampu menimbulkan sakit pada diri mereka (Rogers, 1995). Kita dapat membayangkan kampanye larangan menanam bibit padi unggul yang tidak tahan hama wereng coklat , dimana “media mix ” yang dipakai tidak hanya terbatas pada suratkabar, majalah, radio dan televisi saja, melainkan juga saluran administrasi pemerintahan, seperti pejabat- pejabat pemerintah daerah, pemerinta h desa dan dinas pertanian bersama para penyuluh,
35
mengakibatkan petani tidak berani membicarakan apalagi menanam bibit padi tersebut. Ter lebih ketika aparat desa mengambil tindakan membakar padi para petani yang be rani melanggar larangan itu. Kasus ini, contoh keterkaitan faktor politik terhadap jaringan komunikasi. Cara ini terbukti efektif. Sekalipun hama wereng belum terbasmi, tapi pada musim tanam berikutnya serangan hama tersebut sudah dapat dikendalikan sampai ke tingkat minimal (Kompas, 1989). Studi Windarti (2000) pada kasus penerapan inovasi skim kredit Karya Usaha Mandiri (KUM) di desa Kiarapandak Bogor menyimpulkan bahwa tingkat adopsi penerapan skim kredit KUM memberikan pengaruh tidak langsung terhadap pendapatan melalui pemantapan adopsi.
Mengingat peningkatan
pendapatan dapat dicapai jika keputusan inovasi anggota kelompok akan kredit KUM semakin mantap dan kondisi usaha yang semakin berkembang, maka disarankan untuk melakukan pembinaan usaha ke pada anggota lewat pertemuan minggon rembug pusat. Paparan ini adalah fakta adanya keterkaitan faktor ekonomi dengan jaringan komunikasi kredit pola grameen bank. Sedangkan faktor budaya, terlihat dari fenomena pada masyarakat yang masih menganut paham bahwa “banyak anak banyak rezeki” akan sulit dikembangkan jaringan komunikasi KB, karena program KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) KB ini mengandung nilai yang sangat bertentangan dengan paham tersebut. Keadaan yang demikian ditemui misalnya pada awal pengenalan program KB di Indonesia di tempat-tempat masyarakat yang mempunyai paham seperti ini sebagai pandangan hidup yang kuat.
Hal ini
diperkuat hasil penelitian Sugiyanto (1996) yang menyebutkan masih kuatnya persepsi masyarakat pantai tentang nilai-nilai tradisional yang berlaku terutama di desa belum maju, seperti “anak adalah karunia Tuhan” dan “banyak anak banyak rezeki.” Gejala tersebut juga terlihat pada masyarakat pantai di desa-desa maju. Untuk faktor agama terlihat bukti empiris pada program pengembangan ternak babi, bahwa pada masya rakat Islam yang religiusitasnya tinggi, jaringan komunikasi peternakan babi tidak akan berkembang dengan baik. Penyebabnya adalah orang Islam tidak mau makan daging babi, karena ajaran agama melarangnya (Rogers, 1995).
36
Pengaruh Jaringan Komunikasi terhadap Psikologi dan Perilaku Sekali suatu aringan j terbentuk maka pada setiap hubungan komunikasi akan terjadi gerak atau perpindahan informasi dari seseorang ke orang lain. Apabila hubungan komunikasi telah terjadi sehingga pemindahan dan penerimaan informasi telah berjalan, maka informasi tersebut akan mulai berpengaruh kepada orang-orang yang terlibat pada proses komunikasi tersebut. Secara garis besar pengaruh tersebut ada dua macam, yakni pengaruh terhadap pola pikir (psikologi) dan pengaruh pada pola perilaku (Lin, 1975). Contoh pengaruh psikologi adalah perubahan persepsi, retensi dan sikap. P endapat Lin ini didukung oleh pernyataan Liliweri (2003) yang menyebutkan komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap dan tindakan yang terampil (communication involves both attitudes and skills) dari orang-orang yang terlibat pada proses komunikasi. Penelitian Kadusihin (dalam Burt, 1987) di tiga lokasi di Amerika Serikat menemukan adanya hubungan antara “kepadatan hubungan” (kepadatan jaringan komunikasi) dengan kesehatan mental. Penelitian ini dilakukan terhadap orangorang yang berusia antara 27-37 tahun yang pernah terlibat pada Perang Vietnam. Sedangkan studi jaringan komunikasi yang menunjukkan adanya bukti kuat bahwa jaringan komunikasi sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia, di antaranya diungkapkan oleh Katz dan Mendel, dan juga Coleman. Menurut Katz dan Mendel (Lin, 1975), mereka pernah membuktikan bahwa para dokter yang melakukan adopsi terhadap obat-obatan baru adalah para dokter yang berada pada jaringan komunikasi profesional. Coleman membuktikan pula bahwa kecepatan penggunaan gammanym, yaitu obat keras di kalangan dokter disebabkan oleh jaringan persahabatan di kalangan dokter tersebut (Rogers, 1995). Kemudian, penelitian Rogers (1995) di Korea Selatan juga
mengungkapkan
bahwa ibu-ibu yang melakukan adopsi terhadap metode kontrasepsi ialah ibu-ibu yang berada dalam jaringan komunikasi keluarga berencana. Ilustrasi-ilustrasi bentuk jaringan yang demikian banyak di masyarakat ini merupakan modal sosial yang harus disikapi secara optimal.
Modal sosial
dimaksud adalah (1) structural social capital, berupa jaringan pengelompokkan yang struktural, perkumpulan, lembaga beserta peraturan dan prosedur, dan (2)
37
coqnitive social capital, berupa sikap, norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan dan reciprocity (Tjondronegoro, 2005). Pemuka Pendapat dan Jaringan Komunikasi Seperti pernah dijelaskan di atas, bahwa pemuka pendapat adalah orang yang mempunyai pengaruh dalam suatu masyarakat walaupun dirinya tidak menduduki jabatan formal. Adakalanya fungsi pemuka pendapat ini dirangkap oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan formal sebagai pemimpin. Studi empiris mengisyaratkan adanya petunjuk yang kuat bahwa orang yang mempunyai banyak hubungan dalam jaringan komunikasi cenderung mempunyai informasi dan pengaruh yang besar. Pola -pola sosiometris, yaitu hubungan antar anggota masyarakat juga me mbentuk secara teratur pola sentralisasi dan kompetisi kepemimpinan (Pool, 1973). Dengan demikian, orang yang banyak mempunyai informasi biasanya menjadi pemuka pendapat, karena dia menjadi tempat bertanya orang banyak. Peranan pimpinan informal atau pemuka pendapat dalam mendorong masyarakat menerima suatu pembaruan adalah sangat besar (Rogers, 1995). Pemimpin seperti ini mempunyai peranan penting dalam membantu terjadinya perubahan perilaku warga. Pemimpin tertentu, khususnya pemimpin berkharisma, juga di masyarakat yang agak besar diferensiasinya, dapat mempunyai pengaruh besar atas diterima atau ditolaknya gagasan baru di berbagai bidang kehidupan (Schoorl, 1980). Hal ini dibuktikan misalnya pada penelitian kasus yang terjadi di desa Oryuli di Korea Selatan, dimana kemajuan sosial ekonomi di desa itu dicapai berkat adanya pimpinan informal atau pemuka pendapat tersebut (Rogers , 1995). Pemuka pendapat yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap lingkungannya ini ada dua macam. Pertama, pemuka pendapat yang polimorfik, yaitu pemuka pendapat yang menjadi sumber untuk berbagai jenis informasi. Hal ini sering dijumpai di daerah perdesaan di negara yang sedang berkembang, dikarenakan pengetahuan orang-orang di perdesaan belum terspesialisasikan. Sehingga seseorang yang mampu menjelaskan suatu masalah tertentu dianggap juga mampu menjelaskan masalah-masalah yang lain. Lain halnya dengan yang
38
terjadi di negara yang sudah maju dan terspesialisasi, sehingga pemuka pendapat hanya mampu menjadi sumber bagi satu jenis infor masi saja (pemuka pendapat monomorfik ). Pemuka pendapat ini dipercayai baik karena tingkat pendidika n, kekayaan maupun usianya. Di negara berkembang, usia sering dianggap sebagai tanda memiliki pengalaman yang banyak. Beberapa studi seringkali menunjukkan bahwa pemuka pendapat adalah orang yang kelas ekonominya lebih tinggi dari rata-rata orang yang berada di sekitarnya atau para pengikutnya (Rogers, 1995). Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa para pemuka pendapat cenderung berubah bila norma-norma sosialnya juga berubah. Sebaliknya apabila norma-norma sosial cenderung tidak berubah, maka para pemuka pendapat ini juga cenderung tidak inovatif (Rogers, 1995).
Pada masyarakat yang norma
sosialnya bersifat tradisional, pemuka pendapat merupakan sekelompok orang yang terpisah dari para inovator. Para inovator dipandang dengan rasa curiga dan sering kali tidak dihormati oleh para anggota masyarakatnya.
Anggota
masyarakat tersebut tidak percaya terhadap penilaian mereka mengenai inovasi. Studi Herzog et al. (Rogers , 1995) di desa di Brazilia menemukan bahwa tidak ada para pemuka pendapat maupun pengikutnya yang inovatif apa bila masyarakatnya tetap tradisional. Sebaliknya pada masyarakat yang sangat modern, dimana norma sosialnya cenderung inovatif, maka para pemuka pendapat dan pengikutnya juga cenderung inovatif. Dalam masyarakat yang baru mengenal modernisasi, para pemuka pendapatnya akan mengajak para pengikutnya untuk melaksanakan modernisasi dengan cara melaksanakan dahulu gagasan-gagasan baru tersebut (Rogers , 1995).
Bahkan kegiatan penyuluhan yang bermaksud
meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan kemauan warga dalam menerapkan berbagai pemba ruan, terlebih dahulu perlu diketahui, disyahkan dan direstui oleh pemimpin informal (Havelock et al., 1971). Kelompok Peneliti lain yang dapat dianggap sebagai pendahulu analisis jaringan komunikasi tentang informasi berlangkah adalah Lazarfelds dan Katz. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa arus-arus informasi bergerak dalam dua langkah. Pertama, dari media massa ke pemuka pendapat sebagai pemindahan informasi, dan kedua dari pemuka pendapat ke para pengikutnya sebagai langkah
39
penyebaran informasi dan pengaruh (Katz, 1963).
Begitu juga sumber informasi
dari saluran interpersonal, seperti penyuluh sering tidak dapat bekerja sendiri dalam arti informasi pemba ruan yang mereka sampaikan cenderung kurang diterima oleh masyarakat, sehingga perlu bantuan “orang dalam” atau pemimpin mereka untuk menyampaikannya. Penyuluh perlu bekerjasama atau memanfaatkan pemimpin pendapat ini (Chambers, 1987; Rogers, 1995). Analisis Jaringan Komunikasi Gonzalez (Jahi, 1993) menegaskan, dalam jaringan komunikasi erat kaitannya dengan komunikasi interpersonal yang menekankan pada seperangkat hubungan yang mungkin ada di antara individu-individu yang terlibat dalam situasi tertentu. Hubungan yang demikian ini dikenal de ngan istilah personal network . Analisis personal network dalam sistem sosial disebut sebagai “analisis jaringan sosial.” Sistem sosial yang dimaksud mungkin sebuah desa, perusahaan, kelompok ataupun sebuah organisasi kompleks. “Analisis jaringan komunik asi merupakan suatu metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam sebuah sistem, dimana data yang berhubungan dengan alur komunikasi dianalisis dengan berbagai tipe hubungan interpersonal sebagai unit analisis” (Rogers dan Kincaid, 1981). Pengertian ini menunjukkan jaringan komunikasi hanyalah alat, bukan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu penelitian jaringan. Hasil yang diperoleh dalam analisis jaringan komunikasi berupa struktur dan pola komunikasi dalam suatu sistem. Struktur yang dimaksud adalah elemen-elemen yang berbeda, yang ditemukan pada alur komunikasi yang terpola dalam sebuah sistem, atau untuk memahami “gambaran besar” interaksi antar manusia dalam sebuah sistem (Rogers dan Kincaid, 1981). Ada tiga bentuk analisis jaringan komunikasi yang disarankan oleh Rogers dan Kincaid (1981), yaitu: (1) Identifikasi dalam keseluruhan sistem dan mengetahui struktur sub kelompok yang mempengaruhi perilaku dalam sistem. (2) Identifikasi peran-peran komunikasi tertentu yang spesifik, seperti liaisons, bridge dan isolate.
40
(3) Mengukur beragam indeks struktur komunikasi, misalnya connectedness dan integration untuk individu, dyadic, jaringan personal, “klik” dan keseluruhan sistem. Dalam suatu sistem sosial sering ditemukan individu-individu yang lebih intensif berinteraksi satu sama lain daripada dengan anggota sistem sosial lainnya, sehingga membentuk kelompok-kelompok kecil dari kelompok sosial yang lebih besar. Kelompok-kelompok kecil inilah yang disebut “klik” (Gonzales dalam Jahi, 1993). Roger dan Kincaid (1981) mendefinikan liaison sebagai seseorang yang menghubungkan dua atau lebih “klik” dalam suatu sistem, namun ia tidak menjadi anggota dari “klik” manapun. Apabila individu yang berperan sebagai penghubung sekaligus menjadi anggota “klik ” maka disebut sebagai bridg e. Isolated adalah individu yang tidak menjadi anggota dalam suatu sistem sosial atau individu yang tidak terlibat dalam jaringan komunikasi. Sementara connectedness ialah derajat atau tingkat sebuah unit berhubungan dengan unit lainnya dalam suatu sistem sosial. Sedangkan integration adalah derajat atau tingkat dari anggota -anggota jaringan sebuah unit yang menjadi fokus berhubungan (linked) satu sama lainnya (Rogers dan Kincaid, 1981). Peran-peran komunikasi anggota kelompok jaringan tersebut dilihat dari derajat keterhubungan atau integration dapat berupa mutual pairs, neglectee dan star. Mutual pairs adalah individu-individu anggota kelompok jaringan komunikasi yang satu sama lain saling memilih sebagai tempat bertanya sesuatu. Adapun neglectee adalah individu anggota kelompok jaringan komunikasi yang pernah membicarakan, akan tetapi tidak pernah diajak bicara atau dijadikan tempat bertanya oleh anggota kelompok lainnya. Sedangkan star adalah orang yang merupakan pemusatan jalur komunikasi dari beberapa orang atau individu yang paling banyak dipilih oleh beberapa orang lain sebagai tempat bertanya. Menurut Gonzalez (Jahi, 1993) untuk suatu kelompok yang kecil dan sedikit interaksi, teknik sosiometri dapat digunakan untuk analisis jaringan komunikasi. Hasil yang diperoleh berupa sosiogram yang merupakan ilustrasi
41
hubungan “siapa berinteraksi dengan siapa ” atau menggambarkan interaksi dalam suatu jaringan sosial, sangat berguna untuk menelusuri aliran informasi ataupun difusi suatu inovasi. Sosiometri merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur tingkat hubungan interpersonal, yakni interaksi-interaksi sosial dari para anggota satu kelompok (Vredenbregt dalam Suparman, 1987) . Sosiometri didefinisika n oleh Best (Suparman, 1987) sebagai cara untuk mendeskripsikan hubunganhubungan sosial antar orang-orang dalam suatu kelompok. Sama seperti pendapat Gonzalez di atas, Rogers dan Kincaid (1981) pun menyatakan bahwa sosiogram merupakan hasil dari analisis data kuantitatif tentang pola komunikasi di antara orang-orang dalam sebuah sistem sosial dengan menanyakan kepada siapa mereka berhubungan. Dari pengertian-pengertian sosiometri di atas, disimpulkan bahwa sosiometri merupakan sebuah metode pengukuran hubungan-hubungan sosial yang ada di antara orang-orang dalam suatu sistem sosial. Pengukuran ini dapat diusahakan dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan sosiometri kepada responden tergantung informasi atau pesan penyuluhan pembangunan yang menjadi topik atau lingkup penelitian ini. Metode analisis sosiometri yang digunakan adalah sosiogram. Sosiogram adalah gambar yang menyajikan pilihan-pilihan responden kepada responden lainnya, baik itu memilih, dipilih, menolak dan ditolak. D ari penyajian sosiogram ini diperoleh informasi adanya “klik,” penghubung, “isolate” atau penyempilan dan lain sebagainya. Selain itu, setelah sosiogram terbentuk akan memudahkan mengetahui indeks struktur komunikasi yang ingin dicari seperti derajat koneksi, integrasi dan perbedaan individu.
Di samping itu, ada beberapa parameter lain
yang dapat digunakan untuk menganalisis keterlibatan seseorang dan mempelajari aliran informasi dalam jaringan komunikasi, misalnya sentralitas global dan sentralitas lokal. Model jaringan komunikasi dalam penelitian ini adalah konvergen yang terbentuk karena terjadinya komunikasi atau pertukaran informasi antar petani ternak anggota kelompok ternak dalam jaringan komunikasi penyuluhan sapi
42
potong.
Peran-peran komunikasi peternak yang diamati ialah peran sebagai
mutual pairs, neglectee dan star. Karakteristik Personal Karakteristik personal, yang sebagian peneliti menyebutnya sebagai karakteristik individu (individual characteristic ) merupakan sifat-sifat atau ciriciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor biologis yang mencakup genetik, sistem syaraf serta sistem hormonal, dan faktor sosiopsikologis berupa komponen-komponen konatif yang berhubungan dengan kebiasaan dan afektif (Rakhmat, 2001).
Karakteristik individu menurut
Newcomb, et a l. (1978) meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa, agama dan lain-lain. Hasil penelitian Saleh (1984) menunjukkan bahwa karakteristik warga desa yang nyata berhubungan dengan bidang peternakan adalah mata pencaharian, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keikutsertaan kursus, jumlah anggota usia kerja dan tingkat penghasilan. Sedang Azwar (1997) dalam bukunya menyebutkan bahwa karakteristik individu yang menentukan perilakunya meliputi berbagai peubah seperti motif, nilai, sifat kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain. Adapun Lionberger dan Gwin (1982) menyebutkan ada tujuh unsur karakteristik individu, yaitu: pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan orangtua, kecakapan dalam manajemen, kesehatan, umur dan perilaku. Rogers (1995) dan Soekartawi (2005) mengemukakan lebih terinci mengenai perbedaan individu yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi inovasi, yaitu: (1) umur, (2) pendidikan, (3) status sosial ekonomi, (4) pola hubungan (lokalit atau kosmopolit), (5) keberanian mengambil resiko, (6) sikap terhadap perubahan sosial, (7) motivasi berkarya, (8) aspirasi, (9) fatalisme (tidak adanya kemampuan mengontrol masa depan sendiri) (sistem kepercayaan yang tertutup).
dan (10) dogmatisme
Warner dan Lunt (1941) melihat
karakteristik personal pada kategori sosial yang ada di masyarakat yang ditelitinya
43
meliputi: pendapatan, sumber pendapatan, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan organisasi yang diikuti. Menurut Kotler (1997) segmentasi khalayak dalam kampanye informasi publik dapat didasarkan atas persamaan mereka dalam karakteristik bersama yang dapat ditinjau secara: (1) geografik, (2) demografik, (3) behavioral dan (4) psikografik. Karakteristik geografik dapat berupa karakteristik wilayah tertentu, seperti sebuah desa, kecamatan, kabupaten dan sebagainya.
Karakteristik
demografik antara lain adalah: umur, jenis kelamin, status perkawinan, penghasilan dan pekerjaan.
Segmentasi karakteristik behavioral dalam
hubungannya dengan isu tertentu juga dapat digunakan, misalnya, petani-peternak dapat disegmentasikan atas dasar intensitas mereka mendengarkan siaran perdesaan dari radio. Segmentasi karakteristik psikografik dikembangkan atas dasar gaya hidup, bekerja dan menggunakan waktu luang. Geertz (1986) pada hasil penelitiannya tentang dinamika sosial di sebuah desa kecil di Jawa Timur yang diberi nama samaran Mojokuto melihat karakteristik personal respondennya dengan parameter nominal berdasarkan aliran agama.
Menurut
Geertz,
karakteristik
personal
dikategorikan menjadi dua, yakni kelompok santri
responden
penelitiannya
yaitu orang-orang yang
menjalankan agama dengan konsekuen serta kelompok abangan adalah orangorang yang mengaku beragama Islam tetapi masih menjalankan praktek-praktek animistik dan Islam sinkritik. Secara umum Blau (1975) dalam tulisannya yang berjudul “beberapa parameter struktur sosial” (Parameters of Social Structure) menjela skan bahwa karakteristik personal untuk struktur sosial mempunyai dua tipe parameter, yakni parameter nominal dan parameter graduate atau rasio. Contoh parameter nominal adalah jenis kelamin, agama, ras, pekerjaan dan lingkungan. Sedangkan parameter
graduate misalnya
pendidikan, umur,
pendapatan, prestise dan kekuasaan (Blau, 1975). Havelock et al. (1971) menyatakan bahwa peubah-peubah individual yang mempengaruhi penerapan informasi antara lain adalah: kompetensi dan penghargaan, kepribadian, nilai- nilai kebutuhan, pengalaman masa lalu, ancaman
44
dan pengaruh, pemenuhan harapan, distorsi informasi baru, proses perubahan sikap, pola perilaku perolehan informasi dan efek komunikasi. Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa dalam penyebaran ide baru ata u difusi inovasi pada suatu sistem sosial, pelakunya paling tidak memiliki tiga karakteristik personal, yaitu: (1) status sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, status sosial dan skala usaha; (2) perilaku komunikasi meliputi partisipasi sosial, kontak dengan penyuluh, kekosmopolitan dan keterdedahan media massa dan (3) kepribadian, di antaranya empati, senang mengambil risiko dan lain sebagainya. Heterogenitas khalayak dapat merupakan kesulitan bagi komunikator dalam menyampaikan pesan-pesannya, hal ini disebabkan adanya perbedaan karakteristik individual khalayak yang meliputi: jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pengalaman, kebudayaan, pandangan hidup, keinginan, cita-cita dan sebagainya (Effendy, 2001).
Lionberger (1960)
mengemukakan bahwa faktor-faktor individu yang mempengaruhi proses difusi dan adopsi inovasi antara lain adalah umur, tingkat pendidikan dan karakteristik psikologiknya. Dilihat dari aktivitas komunikasi, Burt (1987) menyatakan bahwa komunikasi akan lebih mudah dilakukan antara orang-orang yang mempunyai hubungan
bersifat
homofili
yaitu
hubungan
karena
adanya
persamaan
karakteristik personal seperti: usia, ras, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendapat mengenai ciriciri yang mencerminkan karakteristik individu dapat berbeda-beda, tergantung pada penekanan masing-masing. Dengan kata lain, pilihan karakteristik personal tertentu tergantung pada tujuan penelitian yang hendak dilakukan. Misalnya, sejauhmana karakteristik personal yang dipilih tersebut dapat menjelaskan hubungan antara keterkaitannya dengan keterdedahan terhadap media massa, keterlibatan dalam jaringan komunikasi dan distorsi informasi tentang pesan penyuluhan sapi potong.
Karakteristik personal yang dimaksud dalam penelitian
ini meliputi: pendidikan formal, kelas ekonomi dan pemilikan media massa serta perilaku komunikasi interpersonal informal dan keterdedahan media massa (radio, tele visi dan suratkabar).
Pada penelitian ini karakterist ik personal, termasuk
45
keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal informal dijadikan peubah bebas terhadap keterlibatan anggota komunitas (kelompok ternak) dalam jaringan komunikasi sapi potong. Perilaku Komunikasi atau Ke te rdedahan Media Massa Pandangan tentang perilaku komunikasi warga masyarakat desa, sangat dipengaruhi oleh teori aliran komunikasi massa yang berlaku. Hasil penemuan studi-studi awal komunikasi menunjukkan bahwa perilaku komunikasi pemuka masyarakat tidak banyak berbeda dengan perilaku komunikasi warga masyarakat lainnya.
Mereka umumnya pasif dan tinggal menerima saja informasi yang
dihantarkan oleh media massa. Menurut studi- studi ini, aliran informasi dari sumber ke penerima , selalu bersifat langsung, segera dan sangat menentukan terhadap khalayak penerima. Studi-studi ini menghasilkan suatu model pendekatan yang sifatnya searah (Rogers, 1995; Tubbs dan Moss, 2000), yang sering dikemukakan sebagai model jarum suntik (Hypodermic Needle Model). Media massa merupakan gambaran dari jarum raksasa yang menyuntik khalayak penerima yang pasif. Model ini sering disebut dengan istilah teori peluru (Bullet Theory) atau Mechanistic Stimulus Response Theory dari De Fleur (De Fleur dan Rokeach, 1982) . Teori ini menganggap bahwa komunikasi massa memiliki kekuatan yang besar. Menurut model ini, setiap anggota khalayak menerima pesan langsung dari sumber suatu medium tertentu. Apabila suntikan tersebut cukup kuat, maka akibat yang dapat ditimbulkan suntikan tersebut pada khalayak penerima adalah terpengaruh untuk bertindak menurut isi pesan yang dikomunikasikan (Tubbs dan Moss, 2000). Jadi, komunikasi yang terjadi dapat terlihat seperti peluru yang menghantarkan gagasan, perasaan atau pengetahuan, atau motivasi hampir secara otomatis dari satu individu ke individu lain (Schramm dan Roberts, 1974). Kemudian, Lazarsfel dan Menzel (dalam Depari dan MacAndrews, 1998) melalui studi penelitiannya untuk mengetahui seberapa jauh media massa berperan dalam perubahan, membuktikan bahwa hal tersebut tidak benar. Pengaruh media massa pada khalayak yang ditujunya tidaklah sedemikian kuat, seperti apa yang kita
46
bayangkan. Seperti, keperkasaan media yang dipakai oleh Nazi antara 1930-1940 sebagai propaganda terhadap rakyat yang mampu menggiring berjuta-juta orang untuk turut dalam perjuangan mereka di Jerman Nazi. Atau penyiaran sandiwara radio tentang “invasi dari Mars oleh Orson Welles tahun 1938” yang benar-benar hidup sehingga menyebabkan ribuan orang menjadi panik di selur uh Amerika Serikat (Lane dan David dalam Schramm dan Roberts, 1974). Ternyata menurut De Fleur dan Rokeach (1982) masih ada sumber lain yang sifatnya interpersonal pada khalayak penerima, di samping media massa. Sumber pengaruh ini tak lain adalah pemuka pendapat atau pemuka masyarakat setempat (Rogers, 1995; Tubbs dan Moss, 2000). Pemuka-pemuka masyarakat itu melalui hubungan personal sehari-hari mempengaruhi orang-orang lain dalam pembuatan keputusan dan pembentukan opini (Wright dalam Tubbs dan Moss, 2000). Hasil penemuan ini kemudian digunakan oleh peneliti-peneliti komunikasi massa pada waktu itu untuk mengembangkan model aliran pesan komunikasi massa yang lain, yaitu model aliran pesan komunikasi dua tahap (two step flow of communication). Menurut model ini ada tiga kemungkinan aliran pesan sampai ke khalayak penerima. Pertama, pada banyak kesempatan, informasi diteruskan dari berbagai media massa (melalui radio, tele visi dan media cetak) dan diterima oleh pemuka pendapat. Pemuka -pemuka tersebut mempelajari dan menyaring informasi yang telah diterima dari media massa itu, kemudian diteruskan kepada orang-orang lain yang berada dalam kawasan pengaruhnya (De Fleur dan Rokeach, 1982; Rogers, 1995; Tubbs dan Moss, 2000). Rogers (1995) selanjutnya mengungkapkan bahwa tahap pertama aliran informasi dari sumber kepada pemuka-pemuka masyarakat umumnya merupakan transfer informasi, sedangkan tahap kedua, dari pemuka masyarakat kepada pengikut-pengikutnya melibatkan juga penyebaran pengaruh. Kedua, informasi yang tersebar melalui radio, televisi dan media cetak dan diterima oleh kelompok pendengar, pemirsa dan pembaca (forum media/farm forum); dan tersebar kepada orang-orang lain atau ke masyarakat.
47
Ketiga, informasi yang tersebar dari iklan melalui radio, televisi atau suratkabar dan diterima oleh pendengar, penonton atau pembaca; dan tersebar ke masyarakat atau individu-individu lainnya. Hal di atas, yaitu uraian tentang two -step -flow secara tidak langsung menunjukkan bahwa pengaruh media massa tidaklah sedemikian kuat dan selangsung apa yang pernah diperkirakan orang.
Sehingga peneliti-peneliti
komunikasi massa mulai berpikir bahwa efek-efek media diperantarai (mediated) oleh peubah-peubah lain, dan karenanya hanya sedang-sedang saja dalam kekuatannya atau kekuasaannya (L ittlejohn, 1996). Salah satu di antaranya adalah peubah keterdedahan/terpaan media massa (selective exposure dan perception exposure). Seseorang boleh saja terdedah pada suatu gagasan baru, baik melalui media massa maupun melalui saluran interpersonal, dan kemudian terlibat dalam pertukaran informasi tentang pesan tersebut dengan rekan-rekannya (Rogers, 1995). Studi berikut menyarankan agar kita lebih reseptif pada kenyataan bahwa aliran pesan komunikasi massa itu, tidak hanya terbatas pada dua tahap saja, melainkan banyak tahap. Mencakup semua model tahapan komunikasi. Model ini menunjukkan terdapat banyak variasi dari penyebaran pesan-pesan dari sumber informasi kepada khalayak penerima.
Hal ini dikemukakan karena pemuka-
pemuka masyarakat itu boleh jadi berkomunikasi dengan orang-orang lain yang mereka anggap sebagai pemuka masya rakat juga (Tubbs dan Moss, 2000), atau membandingkan isi media itu dengan isi media lainnya. Akhir -akhir ini, ahli-ahli komunikasi semakin memperkirakan bahwa khalayak komunikasi massa tidak lagi sebagai khalayak yang pasif, penurut dan terisolasi, melainkan lebih sebagai khalayak yang aktif dan tidak mudah dikontrol. Hal ini digambarkan oleh Schramm (Tubbs dan Moss, 2000) sebagai berikut: “suatu khalayak yang sangat aktif mencari apa yang ia inginkan, lebih banyak menolak daripada menerima isi komunikasi, berinteraksi baik dengan anggota -anggota kelompok yang diikutinya maupun dengan isi media yang diterimanya, dan sering menguji isi media massa yang diterimanya dengan jalan mendiskusikannya dengan orang-orang lain ataupun membandingkannya dengan isi media lainnya.”
48
Namun demikian, sampai saat ini peneliti-peneliti komunikasi masih tetap mendalami dalam hal apa khalayak tersebut aktif.
Informasi yang didapat
kemudian menunjukka n bahwa khalayak itu jelas memiliki kemampuan untuk memilih saluran komunikasi yang akan digunakan. Ia menentukan apa yang akan didengar, dilihat dan dibacanya. Misalnya, ia akan membeli suratkabar pilihannya dan akan menonton program televisi yang disenanginya (Tubbs dan Moss, 2000). Kemudian, bagaimana ia meneruskan apa yang dilihat, didengar dan dibaca tersebut kepada orang-orang lain di sekitarnya. Apa yang diuraikan di alenia di atas, kemudian dijelaskan melalui fenomena “selective exposure,” yaitu kecenderungan untuk lebih menyukai keterdedahan pada komunikasi yang sesuai dengan sikap dan opini seseorang (Sears dan Freedman dalam Schramm dan Roberts, 1974; Tubbs dan Moss, 2000; dan Rogers, 1995). Ditambah dengan kemudahan aksesibilitas dan meningkatnya kepemilikan media massa maka penelitian ini memfokus kan amatannya pada perilaku komunikasi impersonal, berupa perilaku keterdedahan responden peternak sapi potong pada media massa radio, televisi dan suratkabar.