4
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Rumah Tangga Besar Rumah Tangga Menurut BKKBN (1998), besar rumah tangga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Berdasarkan jumlah anggota rumah tangga, besar rumah tangga dikelompokkan menjadi tiga, yaitu rumah tangga kecil, sedang, dan besar. Rumah tangga kecil adalah rumah tangga yang jumlah anggotanya kurang atau sama dengan 4 orang. Rumah tangga sedang adalah rumah tangga yang memiliki anggota antara lima sampai tujuh orang, sedangkan rumah tangga besar adalah rumah tangga dengan jumlah anggota lebih dari tujuh orang. Besar rumah tangga memiliki pengaruh yang nyata terhadap jumlah pangan yang dikonsumsi dan pendistribusian konsumsi makanan antar anggota keluarga. Pemenuhan makanan keluarga yang sangat miskin akan lebih mudah jika harus diberi makan dalam jumlah sedikit (Suhardjo 1989). Menurut Suhardjo, Hardinsyah, dan Riyadi (1988), hubungan antar laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata pada masing-masing keluarga. Bagi keluarga miskin pemenuhan kebutuhan makanannya diberikan dalam jumlah sedikit. Proporsi pangan untuk keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga 5 sampai 6 orang mampu mencukupi pangan keluarga yang jumlah anggota keluarganya kurang dari 4 orang. Besar keluarga mempunyai pengaruh pada konsumsi pangan. Kelaparan pada keluarga besar lebih mungkin terjadi dibandingkan pada keluarga kecil. Harper (1988) mencoba menghubungkan antara besar rumah tangga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak
akan
lebih
sulit
untuk
memenuhi
kebutuhan
pangannya,
jika
dibandingkan rumah tangga dengan jumlah anak sedikit.lebih lanjut dikatakan bahwa rumah tangga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak badutanya lebih sering menderita gizi kurang. Pendidikan orang tua Tingkat pendidikan kepala rumah tangga secara langsung atau tidak langsung menentukan keadaan ekonomi keluarga. Demikian juga pendidikan istri di samping modal utama dalam perekonomian rumah tangga juga berperan dalam mengatur pola makan rumah tangga (Tarwotjo et al. 1988). Sanjur (1982)
5
menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal ibu rumah tangga berhubungan positif dengan perbaikan dalam pola konsumsi pangan keluarga dan pola pemberian makanan pada bayi dan anak. Pendapatan Salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas dan kuantitas pangan adalah pendapatan keluarga. Oleh karena itu, ada hubungan erat antara pendapatan dengan keadaan gizi dan kesehatan. Peningkatan pendapatan keluarga yang kecil bagi golongan miskin tidak akan mampu memperbaiki keadaan gizi secara efektif terutama untuk anak-anak (Berg 1986). Sanjur (1982) menyatakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan. Hal ini diperkuat oleh Suhardjo (1989) bahwa apabila penghasilan rumah tangga meningkat, penyediaan lauk pauk akan meningkat pula mutunya. Tingkat pendapatan orang miskin menurut Berg (1986) sebagian besar digunakan untuk membeli makanan. Semakin tinggi pendapatan pada keluarga miskin maka persentase uang yang digunakan untuk membeli makanan pun semakin besar pula. Pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli rendah sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berakibat buruk terhadap keadaan gizi. Pendapatan keluarga yang bertambah besar mengakibatkan perbaikan pada konsumsi pangan tetapi belum tentu kualitas makanan yang dibeli lebih baik. Persen pengeluaran untuk makanan menunjukkan rumah tangga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk makanan dari total pendapatan sebesar 70% atau lebih. Namun, pada keluarga berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30% pendapatan, dan keluarga menengah persen pengeluaran untuk pangan sekitar 30-70% (den Hatog, van Staverev dan Broower 1995 dan Behrman 1995 dalam Tanziha 2005). Kepemilikan Aset rumah tangga Aset rumah tangga dibedakan menjadi dua, yaitu non-productive assets dan productive assets. Non-productive assets adalah berupa simpanan rumah tangga dalam bentuk tabungan, perhiasan, perabot rumah tangga, dan asuransi yang mudah ditukarkan dengan uang. Productive assets adalah aset rumah tangga yang tidak mudah ditukarkan dengan uang, memiliki nilai yang lebih tinggi, serta memiliki peranan dalam pencapaian pendapatan rumah tangga
6
(Corbett, 1988; Frankenberger& Goldstein, 1991 dalam Maxwell&Frankerberger, 1992). Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Metode Penghitungannya Setiap individu manusia Indonesia berhak memperoleh pangan yang cukup, aman dan bergizi. Hak asasi manusia atas akses pangan ini telah dinyatakan dalam Undang-Undang no. 7 tahun 1996 tentang pangan, bahwa ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah mutunya, aman, merata, terjangkau. Menurut Azwar (2004), ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota rumah tangganya dalam jumlah yang cukup baik kuantitas dan kualitasnya termasuk kecukupan gizi terkaut dengan ketersediaan pangan atau sumber lain, harga pangan, dan daya beli rumah tangga serta pengetahuan gizi dan kesehatan. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Soekirman (1999/2000) menjelaskan bahwa ketahanan pangan pada dasarnya mengacu pada ketersediaan pangan (food availability), stabilitas harga pangan (food price stability), dan keterjangkauan pangan (food accessability). Menurut Suhardjo (1989) bila kebutuhan akan pangan dipenuhi dari hasil sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak begitu menentukan. Kemampuan penyediaan bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan. Maxwell dan Frankerberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indicator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan. Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumber daya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial. Sedang akses pangan meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Indikator dampak digunakan sebagai cerminan konsumsi pangan yang meliputi dua
7
kategori, yaitu secara langsung, yakni konsumsi dan frekuensi pangan dan secara tidak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi. Menurut Sukandar et. al. (2001) dalam Alfitri (2002), ukuran ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari kecukupan konsumsi maupun ketersediaan pangan yang sesuai dengan norma gizi sedangkan indikator sosial ekonomi dan demografi dapat digunakan untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan, pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan. Menurut Suhardjo, Hardinsyah dan Riyadi (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga ada empat, yaitu : 1. Produksi pangan untuk keperluan rumah tangga 2. Pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga 3. Pengetahuan gizi 4. Tersedianya pangan Menurut Moeloek (2000) dalam Alfitri (2002), tingkat kecukupan pangan rumah tangga tergantung pada kemampuan penduduk untuk memenuhi pangan agar mencukupi kebutuhan rumah tangga yang seimbang sesuai dengan tingkat pendapatan. Pendapatan rumah tangga tergantung pada kemampuan anggota rumah tangga memperoleh kesempatan kerja dan berpenghasilan yang cukup sesuai dengan tingkat produktivitas.. Keterkaitan pendapatan dan ketidaktahanan pangan dapat dijelaskan dengan hukum Engel yang sudah dikenal luas. Menurut hukum Engel, pada saat terjadinya
peningkatan
pendapatan,
konsumen
akan
membelanjakan
pendapatannya untuk pangan dengan porsi yang semakin mengecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat (Soekirman 1999/2000). Menurut data Susenas Jawa Tengah tahun 2005 (BPS 2006), pengeluaran untuk pangan bagi rumah tangga di pedesaan tercatat sebesar 57.36% dari pendapatan, dan bagi rumah tangga di perkotaan sebesar 48.9%. M.K. Bennet dalam Soekirman (1999/2000) menemukan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Pada tingkat pendapatan per kapita yang lebih rendah, permintaan terhadap pangan diutamakan pada pangan yang padat energi yang berasal dari hidrat arang, terutama padi-padian. Apabila pendapatan meningkat pola konsumsi pangan
8
akan makin beragam, serta umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi Selain pendapatan, tingkat ketahanan pangan rumah tangga akan terjamin atau terancam juga sangat tergantung apakah harga pangan yang ditetapkan “tinggi” atau “rendah” pada berbagai tingkat pendapatan, konsumsi pangan akan lebih tinggi pada harga yang “rendah” dan sebaliknya konsumsi akan lebih rendah pada tingkat harga yang “tinggi”. Konsumsi Pangan Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-Undang Pangan 1996). Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi tertentu yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1988). Konsumsi pangan sehari-hari bagi sebagian besar penduduk di negaranegara berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk keperluan pangan rumah tangga, tersedianya pangan yang dipengaruhi oleh produksi dan pengeluaran uang untuk keperluan rumah tangga (Harper et al. 1986). Konsumsi pangan sangat erat kaitannya dengan aspek gizi dan kesehatan. Kebutuhan zat gizi akan terjamin pemenuhannya dengan cara mengkonsumsi makanan yang beragam. Konsumsi pangan beragam akan memberikan mutu yang lebih baik daripada makanan yang dikonsumsi secara tunggal (Suhardjo 1989). Soekirman (2000) menjelaskan bahwa makanan yang tidak seimbang menyebabkan terjadi defisit atau surplus energi. Ketidakseimbangan makanan akan mengganggu fungsi tubuh yang berakibat negatif terhadap keadaan gizi dan kesehatan. Konsumsi pangan dapat mencerminkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya. Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), untuk menilai konsumsi energi rata-rata suatu rumah tangga diperlukan Angka Kecukupan Energi Rata-rata Keluarga. Angka tersebut merupakan hasil penjumlahan angka kecukupan energi
9
dari setiap anggota rumah tangga yang mengkonsumsi makanan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga itu sendiri. Data konsumsi pangan rumah tangga diperoleh dengan metode Food Frequencies Questionaire (FFQ) selama seminggu. Menurut Hardinsyah & Martianto (1992),
untuk menilai tingkat konsumsi energi diperlukan angka
kecukupan energi rata-rata rumah tangga. Angka tersebut merupakan hasil penjumlahan angka kecukupan energi dari setiap anggota rumah tangga yang mengkonsumsi makanan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga itu sendiri. Secara sederhana proses tersebut menggunakan rumus : AKGEK =ΣAKEI n AKERK
=
Angka Kecukupan Energi Rata-rata (Kal/Kap/hari atau g/kap/hari) = Angka Kecukupan Energi Individu = Jumlah anggota rumah tangga
AKEI n
Rumah
Tangga
Tingkat kecukupan energi dihitung dengan membandingkan konsumsi dengan kecukupan yang dianjurkan dengan menggunakan rumus : TKE
= Rata-rata konsumsi energi aktual rumah tangga x 100% Rata- rata Angka Kecukupan Energi rumah tangga
Tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga dibagi menjadi tiga kategori, yaitu defisit berat jika rata-rata TKE rumah tangga <70%, atau rumah tangga tersebut hanya mampu mengkonsumsi kurang dari 70% kecukupan energi yang dianjurkan, dikatakan defisit sedang jika rata-rata TKE rumah tangga 70-90%, sedangkan cukup jika rata-rata TKE rumah tangga >90 %.
10
Tabel 1 AKE berdasarkan umur dan jenis kelamin No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Umur Anak 0-6 bl 7-11 bl 1-3 th 4-6 th 7-9 th Pria 10-12 th 13-15 th 16-18 th 19-29 th 30-49 th 50-64 th 65+ Wanita 10-12 th 13-15 th 16-18 th 19-29 th 30-49 th 50-64 th 65+ Hamil Trimester 1 Trimester2 Trimester 3 Menyusui 6 bl pertama 6 bl kedua
Berat (kg)
Tinggi (cm)
AKE
6 8.5 12 18 25
60 71 90 110 120
550 650 1000 1550 1800
35 48 55 60 62 62 62
138 155 160 165 165 165 165
2050 2400 2600 2550 2350 2250 2050
38 49 50 52 55 55 55
145 152 155 156 156 156 156
2050 2350 2200 1900 1800 1750 1600 180 300 300 500 550
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
Survei Konsumsi Pangan Rumah Tangga Konsumsi pangan rumah tangga adalah makanan dan minuman yang tersedia untuk dikonsumsi oleh angota rumah tangga. Survei konsumsi pangan rumah tangga dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat rumah tangga serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan tersebut. Metode pengukuran konsumsi pangan rumah tangga adalah pencatatan (food account), metode pendaftaran (food list), metode inventaris (inventoy method), dan
11
pencatatan makanan rumah tangga (household food record) (Supariasa et al. 2002). Metode Pendaftaran Makanan (Food List Method) Menurut Supariasa et al. (2002), metode pengukuran ini dilakukan dengan menanyakan dan mencatat seluruh bahan makanan yang digunakan rumah tangga selama periode survey dilakukan (1-7 hari). Pencatatan dilakukan berdasarkan jumlah bahan makanan yang dibeli, harga, dan nilai pembeliannya, termasuk makanan yang dimakan anggota keluarga di luar rumah. Metode ini tidak memperhitungkan bahan makanan yang terbuang, rusak, atau diberikan pada binatang piaraan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara yang dibantu dengan formulir yang telah disiapkan, yaitu kuesioner terstruktur yang memuat daftar bahan makanan utama yang digunakan rumah tangga. Langkah-langkah metode pendaftaran makanan : 1. Catat semua jenis bahan makanan atau makanan yang masuk ke rumah tangga dalam URT berdasarkan jawaban dari responeden selama periode survey 2. Catat jumlah makanan yang dikonsumsi masing-masing anggota rumah tangga, baik di rumah maupun di luar rumah 3. Jumlahkan semua bahan makanan yang diperoleh 4. Catat umur dan jenis kelamin anggota rumah tangga yang ikut makan, 5. Hitung rata-rata perkiraan konsumsi bahan makanan sehari untuk rumah tangga. 6. Bila ingin mengetahui perkiraan konsumsi per kapita, dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Pengklasifikasian tingkat ketahanan pangan secara kuantitatif ditentukan dengan cut off jumlah kalori rumah tangga menurut Zeitlin& Brown (1990) dalam Purlika (2004), yaitu 1. Tahan pangan, jika rata-rata TKE anggota rumah tangga lebih besar dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE>90%). 2. Rawan pangan, jika rata-rata TKE anggota rumah tangga antara 70-90% (70%≤TKE≤90%). 3. Sangat rawan pangan, jika rata-rata TKE anggota rumah tangga kurang dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE<70%).
12
Food Coping Strategy Hubungan antara penurunan produksi, pendapatan dan upah riil terhadap konsumsi pangan rumah tangga dan status gizi bersifat kompleks dan dipengaruhi
oleh
banyak
faktor,
seperti
redistribusi
pendapatan sektor
pemerintah dan swasta, akses terhadap tabungan, ketersediaan pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial lainnya. Kesemuanya itu antara lain berkaitan dengan kemampuan rumah tangga dalam mempertahankan diri menghadapi krisis (coping strategies). Informasi mengenai coping strategies menunjukkan bahwa krisis ekonomi telah
membuat
keluarga
miskin
menarik
tabungan
yang
dimilikinya,
menggadaikan barang-barang atau asset yang dimiliki, menambah jumlah jam kerja, atau menggantungkan pendapatan dari anggota masyarakat lainnya (community- based income-sharing traditions) agar terhindar dari keadaan yang lebih buruk (Soekirman 1999/2000). Davies (1993) diacu dalam Usfar (2002), coping strategy merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk mengatasi keadaan kekurangan pangan. Coping strategy merupakan cara memanfaatkan aset, tagihan, dan simpanan akses pangan yang dimiliki. Hal ini berbeda dengan “adaptasi”, yang membutuhkan perubahan permanen dalam cara memperoleh makanan. Tujuan dari coping strategy adalah mempertahankan
tujuan rumah tangga, meliputi
konsumsi pangan, kesehatan, status gizi, dan keamanan hidup (Maxwell & Smith 1992 diacu dalam Usfar 2002). Coping strategy merupakan salah satu determinan ketahanan pangan. Namun menurut Frankenberger dan Goldstein (1990) diacu dalam Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa belum ada bukti yang kuat bahwa Coping strategy yang berhasil akan menyeimbangkan antara kebutuhan pangan saat ini dengan keberlanjutan pangan di masa yang akan datang sebagai salah satu syarat ketahanan pangan. Menurut Suryana (2004), kerawanan pangan terjadi manakala rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya. Berdasarkan hasil penelitian Maxwell (1995), terdapat enam cara utama coping strategy menurut responden dari yang terendah hingga terberat, yaitu : 1. Mengkonsumsi pangan yang kurang disukai
13
2. Membatasi ukuran porsi makan 3. Meminjam pangan atau uang untuk membeli pangan 4. Maternal buffering, yaitu membatasi konsumsi pangan pribadi untuk memastikan anak mendapatkan cukup makanan 5. Mengurangi frekuensi makan 6. Menjalani hari tanpa makan Menurut Martianto et al (2006), coping strategy rumah tangga diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tahap adaptasi dan divestasi. Tahap adaptasi dilakukan saat
kondisi ketidaktahanan pangan rumah tangga berada pada
tingkat sedang, sedangkan divestasi dilakukan saat kondisi ketidaktahanan pangan berada pada tingkat tinggi dan parah. Strategi yang dilakukan pada tahap adaptasi, antara lain perubahan pola diet, pengurangan frekuensi makan, konsumsi pangan yang tidak lazim, berhutang, serta mencari pekerjaan di tempat lain untuk sementara. Sedangkan pata tahap divestasi, strategi yang dilakukan antara lain menjual aset liquid dan aset produktif, migrasi (pindah selamanya). Keterkaitan antara coping strategy dengan tingkat ketidaktahanan pangan rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 1. Status Gizi Balita Penilaian status gizi seseorang dapat ditentukan dengan berbagia cara, yaitu konsumsi pangan, biokimia, klinis, dan antropometri. Cara mana yang digunakan sangat tergantung pada tahapan kekurangan gizi dan tujuan penilaian status gizi (Khumaidi 1997). Dari beberapa cara tersebut, pengukuran antropometri adalah relatif paling sederhana dan banyak digunakan. Hal ini disebabkan prosedur pemeriksaan dengan antropometri lebih mudah dilakukan, di samping itu harga peralatannya relatif lebih murah. Dalam antropometri dapat dilakukan beberapa macam pengukuran, yaitu BB/U, TB/U, BB/TB, LLA/TB, dengan kategori yang ditentukan menurut baku tertentu (baku WHO-NCHS). Berat badan menurut umur (BB/U) merefleksikan massa tubuh dalam hubungannya dengan umur kronologi. Indeks berat badan menurut umur lebih menggambarkan status gizi pada saat kini. Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight. Tinggi badan menurut umur (TB/U) merefleksikan pertumbuhan linear yang telah dicapai. Defisit TB/U menunjukkan ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara kumulatif dalam jangka panjang. Stunting merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan keadaan pendek akibat patologi. Stunting
14
merefleksikan proses kegagalan untuk mencapai proses pertumbuhan linear sebagai akibat dari keadaan gizi dan/atau kesehatan yang subnormal. Di negara berkembang yang prevalensi TB/U rendah tergolong tinggi, dapat diasumsikan bahwa kebanyakan anak yang pendek tersebut menderita stunted, sehingga sangat tepat menggunakan istilah stunting untuk menggambarkan TB/U rendah. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merefleksikan berat badan dalam
hubungannya
dengan
tinggi
badan.
Penggunaan
indeks
ini
menguntungkan karena tidak memerlukan pengetahuan tentang umur anak yang seringkali sulit didapatkan di pedesaan.deskripsi yang tepat dari BB/TB rendah adalah thinness, suatu istilah yang tidak selalu bermakna patologi. Sebaliknya, istilah wasting secara luas digunakan untuk menjelaskan proses berat yang baru saja terjadi, yang mengarah pada terjadinya kehilangan berat badan, sebagai konsekuensi dari kelaparan akut dan/atau penyakit berat. Anak-anak juga bisa menjadi kurus akibat dari defisit makanan secara kronis atau penyakit. Untuk mengukur status gizi balita, indeks BB/U dan TB/U merupakan pilihan yang tepat karena dapat cepat dimengerti, relatif mudah dilakukan, menggambarkan status gizi masa lalu, masa kini serta sensitif untuk menangkap perubahan cepat dari ketersediaan pangan dan kerawanan pangan. Pemantauan status gizi balita dapat dilakukan dengan indikator BB/U dan TB/U dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku (z-score). Keuntungan penggunaan z-score adalah hasil hitung telah dilakukan menurut simpanga baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri. Penentuan prevalensi dengan cara z-score lebih akurat dibandingkan cara persen terhadap median yang memberi hasil sangat bervariasi, baik menurut kelompok umur maupun masing-masing indeks (Riyadi 2001). WHO (1995) membuat indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi wasting dan stunting yang ditemukan pada suatu wilayah survei. Tabel 2 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting dan wasting Klasifikasi beratnya masalah gizi Rendah
Prevalensi underweight <10
Prevalensi stunting <20
Prevalensi wasting <5
Sedang
10-19
20-29
5-9
Tinggi
20-29
30-39
10-14
≥30
≥40
≥15
Sangat tinggi Sumber : WHO 1995
15
Perubahan Pola Diet Pengurangan Frequency Makan Konsumsi Pangan yang tidak lazim (umbi hutan, biji bakau, dll) Pinjam uang/beras dari Tetangga/Saudara
Low High
Pinjam uang/makanan dari warung Mencari pekerjaan ditempat lain Menjual ternak
Menjual aset produktifs KOMITM EN
REVERSIBILITAS
Menggadaikan tanah Domes tic resources
Menjua lLahan Pindah (Selamanya) Low
High
Waktu STRATEGI COPING RUMAHTANGGA Adaptasi Perubahan Diet, Berhutang, Mencari pekerjaan ditempat lain (sementara)
Divestasi Aset Produktif
Aset Liquid
Migration
n
TINGKAT KETIDAKTAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA SEDANG TINGGI PARAH
PROGRAM PEMBANGUNAN TERINTEGRASI
MITIGASI
BANTUAN PANGAN
Sources: Adapted from( Watts, 1983) and office of arid Lands Studies, The University of Arizona. 1991
Gambar 1 Coping Strategy Menghadapi Kerawanan Pangan (Martianto et al. 2006)