KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA PETANI MlSKlN DAN FAKTOR PENYEBAB KEMlSKlNAN DALAM RUMAH TANGGA
Latar Belakang Rurnah Tangga Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua RT Kasus (7 RT) merupakan penduduk asli Kampung Jati, hanya tiga RT yang berasal dari luar Kampung Jati, yaitu 2 RT dari Jawa Tengah dan I RT penduduk pindahan dari Jakarta sebagai salah satu korban pembangunan kota Jakarta, yaitu tergusur dari tanah kelahirannya sendiri di sekltar KOMDAK. Enam Kepala rumah tangga yang berasal dari Kampung Jati umumnya berusia tua (> 60 tahun), sedangkan sisanya berusia sekltar 50-an tahun.
Oleh karena itu sebagian besar rumah
tangga kasus sangat mengenal daerah desa Jatimulya dengan baik, demikian juga dengan masyarakat asli Jatimulya.
Sampai saat ini mereka saling
mengenal dan kalau ada hajatan saling mengunjungi satu sama lainnya. Dari gambaran tersebut di atas, yaitu semakin tuanya usia mereka yang bekerja di sektor pertanian merupakan salah satu gambaran bahwa telah terjadi peralihan mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor lain yang lebih menarik bagi kaum muda di daerah tersebut. Kaum muda jarang yang bekerja di sektor pertanian, selain memang karena sempitnya lahan pertanian di daerah in[. juga semakin berkembangnya sektor industri dan sektor-sektor lainnya di daerah tersebut.
Kaum muda yang berpendidikan bekerja di sektor jasa,
sedangkan yang berpendidikan kurang lebih menyukai menjadi tukang ojek, buruh bangunan, penggali sumur, dsb. Menurut beberapa informan, mereka yang muda tidak suka bekerja seharian, berpanas dan berhujan, karena penghas~lanyang d~dapatkansangat kecil sekali, cuma bisa makan dengan lauk tempe dan mengh~sapsebatang rokok.
Bila dikaitkan dengan salah satu kriteria kemiskinan yang dikemukakan di atas, yaitu kurangnya pendidikan, rnaka hampir semua kepala RT kasus tidak rnempunyai pendidikan formal, 8 RT kepala RT dan isterinya tidak mernpunyai pendidikan formal sama sekali, sedangkan dua RT hanya berpendidikan SD tetapi juga tidak tamat. Menurut para responden, ha1 ini disebabkan karena tidak adanya biaya untuk bisa mengenyam pendidikan, walaupun hanya di sekolah rakyat (SD zaman dulu). Kesernua RT kasus, baik yang merupakan penduduk asli rnaupun pendatang mernpunyai latar belakang sebagai keluarga petani (Tabel 5). Oleh karena itu walaupun rnereka pernah bekerja di sektor lain, rnereka masih bisa bekerja di bidang pertanian, baik sebagai petani sawah rnaupun sebagai petani lahan keri-ng. Dernikian juga dengan isteri-isterinya, yang bekerja mernbantu suaminya di ladang (walaupun tidak semuanya), selain bekerja sebagai petani ada juga yang bekerja di bidang lain, yaitu sebagai buruh cuci, tukang sayur, dsb. Bila dilihat dari tabel 5, dimana hampir semua kepala rumah tangga kasus tidak mempunyai pendidikan formal, bisa dikatakan bahwa mereka juga berasal dari keluarga (orang tua) yang miskin. Hal ini juga ditunjang dari jumlah warisan yang rnereka terima (untuk beberapa rumah tangga) yang kurang dari 0,5 hektar (RT kasus 4 , 6 dan 7, masing-masing 150 m2, 2000 m2 dan 180 rn2), kecuali RT kasus 5 sekltar 5000 m2 (tetapi sudah dijual semuanya, dan lahan yang diternpati sekarang merupakan pembelian yang diiakukan kemudian). Rurnah tangga kasus yang lain tidak mendapatkan warisan berupa tanah dari orang tuanya, termasuk yang berasal dari Jawa Tengah.
Tabel 5. Profil Kapala Rumah Tangga Kasus No. Nama
Umur
Asal
Pddkn
1.
Rohim
73
2.
Udin
55
-
3.
Sanip
70
-
Kp. Jati
4.
Saman
53
SR
Kp. Jati
Kp. Jati Kp. Jati
Amin
70
-
Kp. Jati
6. Makmun
68
-
Kp. Jati
7.
Amat
66
-
Kp. Jati
8.
Tarjo
53
SD
~
5.
-
-
-
-
-
--
Pemalan
9 9. Karto
10.
n
a
k
a
Ma'ruf
! Keterangan:
55
-
Pemalan g
Pekerjaan sekarang - Petani peng-Petani -Tukang garap* -Tukang becak - Petani peng -Tukang sayur garap - Pedagang sayur* -Petani - Petani peng-Cari daun kagarap* wung - Petani peng-Petani -Tukang bagarap* ngunan -Penjual daun - Petani pengkawung garap* -Kuli bangunan -Warung - Petani peng-Petani -Pedagang Wrap sayur - Pedagang Sayur* -Petani - Petani penggarap* -Tukang gali - Petani pengpasir garap* -6uruh pabrik -Tukang kayu -Hansip - Petani pengwrap - Tukang bangunan* -Pedagang - Petani pengketupat sayur Wrap - Tukang urut* Pekerjaan dulu
= Pekerjaan utama pada saat ini
Bila dilihat dari pekerjaan yang ditekuni saat ini, 60 persen diantaranya pekerjaan utamanya adalah di bidang pertanian. Terjadinya peralihan pekerjaan dari pekerjaan sebelumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu karena sudah tua sehingga matanya tidak awas dan tidak kuat lagi untuk bekerja sebagai tukang; karena sakit; karena gaji yang diterima kecil; serta karena tergusur dari tempatnya berusaha. Akan tetapi, walaupun pekerjaan sebelumnya bukan di
bidang pertanian, namun bukan berarti mereka tidak pernah berkecimpung di bidang pertanian. Semua kepala rumah tangga kasus pernah bertani pada saat mereka masih muda. Pada waktu bersamaan mereka juga bekerja di bidang lain, seperti menjadi tukang rumah, pedagang dan pencari daun kawung. Walaupun ada yang melepaskan pekerjaan sebagai petani disebabkan karena merantau ke daerah lain yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk bertani. Selain itu juga disebabkan karena habisnya lahan pertanian di daerah yang mereka tempati, misalnya di daerah Jakarta.
Struktur Internal Rumah Tangga Pengkajian tentang struktur internal rumah tangga berkaitan dengan penganalisaan mengenai potensi sumberdaya tenaga kerja yang bermanfaat dalam strategi mengatasi kemiskinan yang mereka alami. Jumiah dan mutu tenaga kerja dalam rumah tangga diduga besar pengaruhnya terhadap aksesibilitas peluang kerja dan usaha produksi atau terhadap tuntutan tenaga kerja reproduksi.
Jumlah anggota rumah tangga menunjukkan ukuran rumah
tangga dan komposisi anggota rumah tangga menurut usia kerja dan jenis kelamin bisa dianggap mencerminkan kualitas kerja (Prasodjo, 1993). Oari hasil penelitian, dari kesepuluh rumah tangga kasus, secara de facto dan de jure 9 RT kepala rumah tangganya adalah laki-laki, kecuali satu RT
kasus yang secara de facto kepala rumah tangganya adalah laki-laki namun secara de lure kepala rumah tangganya adalah wanita.
Hal ini disebabkan
karena selama bekerja sebagai hansip, suaminya jarang ada di rumah, demikian juga dengan pekerjaan yang dttanganinya sekarang sebagai buruh bangunan yang juga jarang pulang ke rumah
Hampir semua keputusan rumah tangga
terutama dalam kattannya dengan kehidupan sehari-hari (termasuk pengambilan
keputusan dalam hubungannya dengan kegiatan sosial, seperti kerjabakti, ronda) diputuskan sendiri oleh si isteri, kecuali keputusan mengenai perkawinan anak, kegiatan menabung diputuskan secara berdua. Komposisi keluarga RT kasus, walaupun umumnya bukan lagi keluarga muda, 7 RT mempunyai anggota keluarga lebih dari 5 (lima) orang atau lebih (Tabel 6). Banyaknya jumlah anggota keluarga pada RT kasus disebabkan oleh masih ikutnya anak-anak yang sudah menikah dengan mereka (kecuali keluarga Bpk. Tarjo dan Bpk. Karto), sehingga jumlah anggota keiuarga bertambah dengan kehadiran menantu dan cucu.
Jumlah keluarga inti dalam rumah
tangganya ada yang lebih dari satu, seperti yang terdapat pada RT kasus 2,4,5,7 dan 10.
Banyaknya keluarga inti yang ada dalam satu rumah tangga ini,
disebabkan oleh karena belum mampunya anak-anak atau cucu mereka untuk mempunyai rumah sendiri, sedangkan mereka tidak mempunyai tanah warisan yang akan diturunkan kepada anak-anaknya dan cucunya, seperti yang mereka dapatkan dari orang tua mereka terdahulu.
Tabel 6. Jumlah Keluarga Inti, Ukuran Rumah Tangga, Jumlah Anggota Usia Kerja dan Rasio Beban Tanggungan dalam Rumah Tangga Kasus Nama
No.
1
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Rohim
1 Udin
,
Sanip Saman Amin Makmun Amat Tarjo Karto Ma'ruf Rata-rata
Ukuran RT
2 9 2 5 10 3 12 10 6 5 6,4
JML Kel. JML Angg. Usia Rasio Inti Kerja Beban LK PR Tanggung TOT. an 1 1 1 2 0,OO 2 1 3 2 51 0,80 ] 1 1 1 2 0,OO 2 2 2 4 0,25 3 3 3 6 0,67 1 1 2 3 0,OO 3 2 2 4 2,OO 1 6 1 7 0,43 1 2 1 3 0,50 2 2 2 4 0,25 0,49 1,7 2,3 1,7 4,O ,
Bila didasarkan pada tahapan ekspansi demografis yang dikemukakan White (1976), yaitu: (1) ekspansi dini (anak tertua usia 0-9 tahun); (2) ekspansi pertengahan (anak tertua usia 10-14); (3) ekspansi lanjut (anak tertua usia 2 15 tahun); (4) ekspansi penyebaran (ada anak yang memisahkan diri dari orang tua), maka 8 rumah tangga kasus bisa dikatakan berada pada tahapan ekspansi penyebaran karena adanya sebagian anak-anak yang memisahkan diri dari orang tuanya. Terutama rumah tangga kasus dengan kepala rumah tangganya berusia lanjut. Seperti Bapak Rohim dan Bapak Sanip, semua anak-anaknya sudah memisahkan diri, walaupun mereka masih tinggal di sekitar tempat tinggal Bapak Rohim dan Bapak Sanip sendiri namun mereka sudah mempunyai mata pencaharian sendiri, tidak ada tenaga kerja bantuan dari anak-anaknya selain bantuan dari isterinya sendiri. Dua rumah tangga kasus lainnya bisa dikatakan sebagai rumah tangga yang berada pada tahapan ekspansi lanjut, dimana anak tertua berusia 2 15 tahun, namun demikian ada yang sudah menikah tetapi masih tetap tinggal serumah dengan orang tuanya.
Mereka mempunyai mata
pencaharian sendiri dan terlepas dari orang tuanya, akan tetapi mereka mash tetap satu dapur dengan orang tuanya. Diantara RT kasus ini yang mempunyai anak yang sudah dewasa, hanya satu rumah tangga kasus yang mempunyai anak laki-laki yang berusia 2 15 tahun yang membantu orang tuanya di ladang. hampir semua anak-anak yang berusia 2 15 tahun tidak ada yang membantu orang tuanya di ladang. Selain karena ada yang masih sekolah (1 RT kasus). kebanyakan diantara anak-anak tersebut bekerja di luar sektor pertan~an,sepert~ buruh pabrik dan tukang bangunan (sebagai keneklpembantu tukang). Terjadinya pemisahan diri dari anak-anaknya menyebabkan semakin rendahnya rasio beban tanggungan pada RT kasus (RT kasus 1, RT kasus 3, RT kasus 6). Berbeda dengan RT kasus yang berada pada tahapan ekspans~
90
lanjut, rasio beban tanggungannya akan lebih besar dibandingkan dengan RT yang berada pada tahapan ekspansi penyebaran (pada RT kasus 2, 5, 7, 8 dan 9).
Namun demikian, dalam penyediaan tenaga kerja, rumah tangga yang
berada pada tahapan ekspansi lanjut akan lebih baik dibandingkan dengan yang berada pada tahapan ekspansi penyebaran. Seperti yang dikemukakan Sitorus (1989), bahwa apabila disejajarkan dengan tahapan ekspansi demografis, tingkat ketersediaan tenaga kerja
dalam rumah tangga bergerak secara
parabolik, dimulai dari jumlah kecil (suami-isteri muda), berkembang menjadi lebih besar (suami-isteri dan anak-anak usia kerja), dan akhirnya mengecil kembali (suami-isteri tua dengan satu atau tanpa anak). Bila dilihat dari potensi tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin diantara kesepuluh rumah tangga kasus tersebut, maka potensi tenaga kerja pria relatif lebih besar (2,3) daripada wanita (1,7). Pada umumnya wanita yang ada dalam rumah tangga ikut bekerja dalam mencari nafkah, selain membantu suaminya dalam berusahatani (90 % RT kasus), ada juga yang bekerja di luar sektor pertanian, dan hanya satu rumah tangga kasus yang mempunyai isteri yang tidak melakukan kerja produksi (tetapi dulu pernah). Kaum wanita yang ikut bekerja di bidang pertanian, bekerjanya tidak seharian penuh, kecuali ada tiga rumah tangga kasus yang kaum wanitanya aktif bekerja di bidang pertanian (bekerja sehar~an penuh).
Pekerjaan bertani yang dilakukan wanita selain
karena merupakan pekerjaan yang sudah biasa dilakukannya juga karena tidak ada lagi yang bisa membantu suarninya di ladang, kalaupun ada biaya untuk membayar upah tenaga kerja namun tenaga kerjanya bisa dikatakan tidak ada lagi karena memang desa Jat~mulyabukan lagi merupakan daerah pertanian sehingga penduduk yang bekerja sebagai buruh tani tersebut tidak ada lagill. -I ' D i dcsa Jatin~ulyaini juga ada tcnaga kcrja lcpas yang bcrasal dari luar dcsa. natnun ongkos yang mcreka minta u n t t ~bclcrja l selama 2 jam cuhup Itnggl. yailu bisa tncncapai Up 50.000-Up 100.000
Di luar bidang pertanian, pekerjaan yang dilakukan oleh kaum wanita adalah sebagai buruh pabrik (2 RT kasus), buruh cuci (1 RT kasus), tukang sayur dan tukang urut (1 RT kasus). Pekerjaan ini dilakukan karena kegiatan itulah yang bisa mereka lakukan, yang bekerja sebagai buruh pabrik adalah mereka yang tamatan SMP, sedangkan buruh cuci dan berdagang sayur hanya mempunyai pendidikan sampai tingkat SO, sehingga mereka tidak bisa bersaing untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik. Adapun pekerjaan yang ditekuni pria selain di bidang pertanian juga sebagai buruh penggali sumur, tukang bangunan, pedagang sayur, tukang las, dsb. Pekerjaan bidang pertanian umumnya dilakukan oleh subjek kasus yang sudah berusia lanjut, sedangkan pekerjaan di luar bidang pertanian dilakukan oleh subjek kasus yang relatif lebih muda usia.
Pekerjaan bidang pertanian
memang kurang disukai oleh mereka yang berusia muda, selain karena memang lahan yang akan diolah tidak ada, juga karena menurut mereka penghasilan yang akan diterima sedikit dan tidak langsung bisa dinikmati dalam jangka waktu yang singkat, seperti halnya bekerja sebagai penggali sumur atau sebagai tukang bangunan.
Penguasaan Aset Produksi dalam Rumah Tangga Penguasaan Aset Produksi Pertanian Aset produksi pertanian yang dimifiki oleh rumah tangga kasus adalah lahan pertanian dan peralatan pertanian, berupa cangkul,
sabit,
parang,
sekop, ember
tcrgantung berat atau tidaknya pekerjaan yang akan mereka lakukan. Pekerja-pekerja ini biasanya bcrjalan kcluar masuk jalan-jalan yang ada dl perumahan-perurnahan yang terdapat di desa Jntimulya.
siram, dsb. Aset produksi lahan yang dikuasai oleh rumah tangga kasus, selain lahan yang merupakan milik sendiri juga lahan yang tidur (lahan terlantar) yang dimiliki oleh PT. ASABRI.
Lahan usahatani milik sendiri hanya dipunyai oleh
dua rumah tangga kasus, yaitu satu berupa lahan sawah seluas 1000 m2 yang dltanami padi dan satu lagi merupakan lahan kering seluas 2000 m2 yang ditanami dengan tanaman sayuran dan beberapa tanaman tahunan, seperti: kelapa, rambutan, bambu, dsb. Kedua lahan tersebut merupakan lahan yang didapatkan melalui warisan dari orang tua. Dari 10 RT kasus, 8 RT tidak memiliki sendiri lahan yang diusahakannya. Mereka mengusahakan lahan milik PT. ASABRI, yaitu berupa lahan kering yang dltanami dengan berbagai jenis sayuran, seperti: kangkung, bayam, terong, kacang panjang, ketimun, dsb dan juga tanaman pangan seperti singkong dan jagung.
Penguasaan lahan usahatani milik PT. ASABRI hanya bersifat
sementara, yaitu selama belum dimanfaatkan oleh pemiliknya.
Penguasaan Aset Produksi Peternakan
Hewan ternak yang dimiliki oleh petani di daerah ini adalah kambing dan ayam. Dari sepuluh RT kasus, yang memiliki ternak kambing hanya 4 RT, baik dimiliki secara pribadi ataupun dimiliki secara maro. Sistem maro yang berlaku di daerah ini adalah bahwa induk kambing tetap menjadi milik si empunya, tetapl apabila kambing tersebut beranak, maka hasilnya itu yang dibagi dua. J~ka anaknya satu, maka bila kambing tersebut dijual, maka uangnya dibagi dua, jika anaknya dua ekor maka masing-masing yaitu si pemilik dan si pemelihara akan mendapat masing-masing satu ekor. Kambing-kambing ini biasanya dijual pada saat lebaran haji, yang bisa dihargakan antara Rp 500.000-Rp 600.000,- per ekornya.
Selain kambing, hewan ternak yang dimiliki oleh rumah tangga kasus adalah ayam, tetapi umumnya jumlah ayam yang dimiliki sangat sedikit, yaitu antara 2-6 ekor, kecuali ada satu rumah tangga kasus yang memiliki 30 ekor ayam peliharaan. Rumah tangga kasus yang memiliki ayam hanya ada 4 RT. Ayam-ayam tersebut sewaktu-waktu bisa dijual, tergantung pada kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi. Apabila mereka tidak memiliki uang untuk membeli makanan, maka ayam tersebut bisa dijual.
Penguasaan Aset Produksi Perdagangan Dari 10 RT kasus, 2 RT kasus adalah pedagang sayur keliling di kampung Jati. Mereka menjual dagangannya dengan menggunakan gerobak dorong yang merupakan miliknya sendiri. Satu gerobak, milik RT kasus dibuat sendiri dari papan-papan bekas yang banyak dijual di penampung barang bekas "Madura", sedangkan satu gerobak lain didapatkan dengan cara membeli, yaitu Rp 100.0001 gerobak.
Menurut Bu Karto (pemilik gerobak), harga tersebut
termasuk murah, karena yang menjualnya adalah orang yang sedang membutuhkan uang atau dengan kata lain "jual butuh", menjual karena butuh. Selain itu untuk kelancaran usaha dagangnya, salah satu RT kasus juga memiliki becak untuk mempermudah kelancaran usaha dagangnya, yaitu untuk membeli dagangannya ke Pasar Baru Bekasi dengan jarak sekltar 3 km dari tempat tcnggalnya. Becak Inc merupakan becak miliknya sendiri ketika masih bekerja sebaga~penar~kbecak sekctar tahun 1987.
Pola Konsumsi Pengeluaran rumah tangga dibedakan atas pengeluaran untuk pangan dan non pangan (pendidikan dan kesehatan). Pengeluaran untuk pangan
adalah pengeluaran yang paling utama dalam rumah tangga. Dari semua subjek kasus, kebutuhan makan sehari-hari sangat sederhana sekali. Makan 2-3 kali sehari, dengan menu makanan berupa sayur dan lauk tempe atau tahu dengan sekali-sekali memasak ikan dari tangkapan sendiri, atau ikan asin dan ayamldaging.
Rumah tangga yang mempunyai mata pencaharian lain yaitu
sebagai pedagang sayur (2 RT) bisa makan ikan atau ayam dari jualan yang masih tersisa.
Salah seorang kepala RT, yaitu Bapak Ma'ruf membantu
memotong hewan korban pada saat hari raya Idul Adha dan untuk itu mereka mendapat bagian daging yang bisa dikonsumsi sekeluarga.
Pada pagi hari
hampir semua subjek kasus biasanya mengisi perut dengan segelas kopi atau teh manis saja, apabila ada kue baru makan kue atau penganan lainnya, tetapi ini tidaklah setiap hari. Kebutuhan makan sehari-hari tersebut didapatkan dengan cara membelinya atau berhutang di warung-warung desa atau di tukang sayur yang ada di dekat wilayah tempat tinggalnya. Selain itu ada juga beberapa RT kasus (4 RT), terutama yang sudah berusia lanjut yang mendapat kiriman dari anak-
anak atau cucunya yang juga tinggal di wilayah yang sama dan berdekatan. Selain untuk kebutuhan pangan, pengeluaran rumah tangga juga diperuntukkan bagi kesehatan dan pendidikan. Hampir semua rumah tangga kasus mengaku tidak punya penyakit yang perlu penanganan khusus, penyakit yang mereka derita umumnya hanyalah pusing (sakit kepala) atau pilek dan demam. Untuk itu mereka cukup menggunakan obat warung dan kalau sakitnya susah sembuh baru mereka berobat pada bidan desa yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Pembayaran pengobatan bisa dilakukan dengan cara mencicil sesuai dengan kemampuan RT.
Pengeluaran untuk biaya pendidikan dibayarkan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh suatu rumah tangga.
Ketiadaan biaya
menyebabkan rumah tangga miskin mengorbankan pendidikan anak-anaknya. Oleh karena itu mulai dari pendidikan kepala rumah tangga sampai ibu rumah tangga sebagian besar hanya sampai SD. Tidak satupun dari kepala keluarga yang berpendidikan lebih dari SD, bahkan ada diantara subjek kasus yang tidak pernah menempuh pendidikan sama sekali. Demikian juga dengan pendidikan anak-anaknya paling tinggi hanya sampai SMP (4 RT) dan ada satu RT yang pendidikan anaknya sampai SMA tetapi tidak tamat.
Pada umumnya semua
RT kasus beralasan bahwa mereka tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi karena besarnya biaya pendidikan untuk saat ini. Seperti penuturan Bapak Saman di bawah ini: "Saya ingin menyekolahkan anak-anak saya lebih tinggi lagi, tetapi saya tidak punya uang untuk itu, sekarang saja STTB anak saya yang lulus SMP sudah dua tahun belum saya tebus. Dengan apa mau saya bayar, untuk makan sehari-hari kadangkadang kami mengurangijatah makan untuk sehari. Untuk sayur memang tidak perlu beli, bisa diambil dari kebun, tetapi untuk beli beras perlu uang. Saya kadang-kadang meminjam dari teman, nanti kalau sayuran saya terjual baru saya bayar". Lain lagi masalah yang dikemukakan oleh Pak Tarjo. "Anak-anak saya tidak ada yang sekolah tinggi, cuma sampal SD. Ana cuma mampu saya sekolahkan sampai tamat SO, sekarang dia saya serahkan ke Pak Haji A yang mengasuh pondok pesantren di Tambun, disana sambil bantu-bantu Pak Haji dia boleh mengikuti pendidikan di pesantren milik Pak haji itu. Anak-anak laki-laki saya y a w lain juga cuma tamat SD, sekarang mereka sudah ada yang bekerja, lumayan sih untuk dirinya sendiri".
RT kasus lain mengatakan bahwa, rendahnya pendidikan yang bisa diberikan kepada anak-anaknya, juga dikarenakan tidak adanya biaya untuk menyekolahkan anaknya.
"Dulu dengan hanya sebagai seorang pedagang lontong sayur, uang penghasilan Bapak hanya cukup untuk memberi makan seorang isteri dan 7 orang anaknya. Karena itu pendidikan anak-anaknya menjadi tidak terperhatikan (keinginan untuk menyekolahkan anak tentu saja ada, tetapi dana untuk itu tidak mencukupi)". Untuk kegiatan menabung merupakan ha1 yang tidak dimungkinkan dalam kehidupan hampir semua rumah tangga. Sebagai gantinya ada yang ikut kegiatan arisan "pakatan", yang dilakukan pada saat ada yang hajatan, yaitu berupa beras sebanyak 6 liter. Ada juga dilakukan arisan uang yaitu sebanyak
Pak Tarjo misalnya, tidak bisa melakukan kegiatan menabung karena keterbatasan biaya yang dimilkinya, seperti yang dituturkannya:
"Kami tidak bisa menabung, karena kami hidup dalam kekurangan"
RT kasus lain, misalnya RT Bapak Ma'ruf, kegiatan menabung dilakukan dalam bentuk "celengan" yang dilakukan cucunya Anti di rumah, guna membeli kebutuhan lebaran, seperti baju untuk anaknya, sedangkan isterinya .juga menabung dalam bentuk uang di pengajian yang bisa diambil pada saat dibutuhkan.
Demikian juga dengan RT Bapak Karto yang menabung uang
penghasilannya melalui arisan.
Dalam sebulan RT Bapak Karto bisa
memisahkan uang sebanyak Rp 400.000,- untuk arisan. Akan tetapi besarnya uang yang bisa disisihkan bukan berasal dari pertanian, tetapi berasal dari sektor jasa yaitu dari pekerjaan sebagai tukang urut yang dilakukan oleh Ibu Karto. Dalam sehari minimal bisa mengurut 3 orang dengan bayaran yang diterima berkisar antara Rp 10.000-Rp15.000,-lorang.
Perurnahan
Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa pola pemukiman masyarakat miskin di wilayah Jatimulya tidaklah mengelompok di suatu tempat, tetapi menyebar di seluruh wilayah desa. Demikian juga halnya dengan rumah tangga kasus yang tinggal di beberapa RT dari RW 08. Rumah-rumah yang dihuni oleh rurnah tangga kasus adalah rumah yang berdinding bilik dan kayu, dengan sebagian berlantai tanah atau semen, atap rumah genteng kusarn. Untuk mendapatkan air bersih mereka membuat sumur timba atau sumur pompa tangan yang ditempatkan di luar rumah yang ditutup dengan plastik-plastik bekas atau plastik karung yang diikatkan pada beberapa batang bambu. Luas rumah yang mereka tempati paling besar adalah 150 m2. Sebagian dari rumahrumah tersebut mempunyai fasilitas kakus, tetapi ada juga yang tidak dan mereka menggunakan kali kecil yang ada di dekat rumah sebagai fasilitas kakus. Salah satu rumah tangga kasus malah mempunyai sumur pompa yang berdekatan letaknya dengan kakus keluarga, serta digunakan oleh 4 rumah tangga yang berbeda (masih keluarganya sendiri). Rumah-rumah yang ditempati tersebut ada yang memiliki 2 karnar atau satu kamar tidur tanpa pintu, dengan dapur terletak di pojok ruangan atau di bagian belakang ruangan rumah.
Rumah-rumah tersebut diisi dengan barang-
barang yang sangat sederhana, seperti beberapa kursi yang sudah reot, kalaupun ada barang-barang yang agak bagus merupakan bantuan dari anak atau cucunya yang sudah bekerja. Untuk keperluan memasak mereka sudah menggunakan kompor minyak tanah, karena saat ini sudah sulit mencari kayu sebagai bahan bakar untuk memasak dengan tungku.
Faktor Penyebab Kemiskinan dalam Rumah Tangga Kasus
Bila didasarkan pada pandangan Nasoetion (1996), maka kemiskinan yang dialami oleh sebagian masyarakat desa Jatimulya alamiah dan kemiskinan struktural.
adalah kemiskinan
Kemiskinan alamiah di desa ini bukan
disebabkan karena rendahnya kualitas sumberdaya alam, melainkan rendahnya kualitas sumberdaya manusianya, misalnya: karena rendahnya pendidikan yang dimiliki.
Sumberdaya alam di wilayah ini cukup baik.
Dari data profil desa
(2000), hampir semua lahan yang ada di wilayah ini merupakan lahan subur, demikian juga dengan topografi desa yang tidak berbukit-bukit yang bisa menyebabkan terjadinya tanah longsor atau erosi.
Pada tahun-tahun antara
1970-1980, desa ini termasuk sentra produksi padi di wilayah Bekasi. Kondisi ini juga ditunjang dengan adanya irigasi teknis, maka penanaman padi dapat dilakukan minimal dua kali dalam setahun. Sedangkan kemiskinan struktural disebabkan oleh terjadinya konversi lahan dari peruntukan pertanian ke peruntukan industri dan perumahan. Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan pada pembahasan berikut.
Pengaruh Konversi Lahan terhadap Kehidupan Rumah Tangga Petani
Terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan industri selalu menimbulkan suatu dilema yang sulit bagi petani-petani yang hanya memll~kl modal lahan untuk usahanya, disukai atau tidak mereka terpaksa melepaskan lahan usahanya untuk dijadikan sebagai lahan industri atau untuk fasilitasfasilitas pendukung industri, seperti lahan-lahan untuk perumahan. Hal seperti ini juga dialami oleh penduduk desa Jatimulya, dimana lahan-lahan usahataninya beralih fungsi menjadi lahan untuk industri. Peralihan fungsi ini bukan hanya berpengaruh pada petani pemilik dan penggarap saja, tetapi juga bagi buruh tani
yang menggantungkan hidupnya dari bekerja di lahan-lahan milik orang lain. Dalam ha1 ini, petani pemilik dan penggarap kehilangan lahan tempat berusaha, sedangkan buruh tani kehilangan pekerjaan tempatnya menggantungkan hidup, yang terjadi kemudian adalah banyak diantara mereka yang menjadi pengangguran, seperti yang dituturkan oleh salah seorang subjek kasus : "Dulu, ketika lahan sawah belum menjadi perumahan seperti sekarang ini, saya sering menjadi buruh "derep" disana. Siapa saja bisa menjadi "penderep" bila ada yang lagi panen. Kami dibayar dengan perbandingan 1:4, 1 bagian buat si "penderep" dan 4 bagian untuk si pemilik. Tetapi sekarang kaga' pernah iagi, lahan-lahan sawah sudah kaga' ada lagi. Sekarang saya mengolah lahan sendiri seluas 1000 m2, dikerjakan berdua dengan suami saya. Hasilnya paling-paling hanya untuk makan saja". Bagi pemilik lahan, beralihnya fungsi lahan tersebut menyebabkan banyak yang terpaksa menjual tanahnya. Penjualan hasil lahan tersebut tidak menyebabkan mereka menjadi kaya, pengelolaan uang hasil penjualan lahan usahataninya yang tidak benar menyebabkan banyak diantara mereka yang jatuh kepada kemiskinan.
Akan tetapi, pada rumah tangga kasus,
permasalahan seperti ini tidak dijumpai, karena tidak ada dari rumah tangga kasus yang memiliki lahan yang luas (> 1 Ha), kalaupun ada yang menjual lahan usahataninya bukan dilakukan secara terpaksa, tetapi lebih disebabkan oleh faktor ekonomi dalam rumah tangga itu sendiri.
Pengaruh Sruktur Internal terhadap Kehidupan Rumah Tangga Petani Disamping kemiskinan struktural yang dlsebabkan oleh konversi lahan dari penggunaan pertanian ke penggunaan industr~, pada rumah tangga kasus kemiskinan yang terjadi juga dipengaruhi oleh struktur internal dalam rumah tangga. Struktur internal dalam rumah tangga berkaitan dengan ukuran dan komposisi rumah tangga (usia dan jenis kelamin); tingkat pendidikan; dan keterbatasan dalam penguasaan aset produksi
Bila ditinjau dari ukuran rumah tangga, seperti yang terlihat pada tabel 6 di atas, dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang berada dalam usia kerja sebesar 4 orang dan menanggung rata-rata 6,4 orangiRT menunjukkan bahwa 1 orang yang bekerja menanggung sebanyak 0,49 orang yang tidak bekerja. Selain itu juga bila ditinjau dari komposisi RT, rnereka yang bekerja dari jenis kelarnin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Namun dernikian, karena pendidikan mereka yang rendah, paling tinggi hanya sampai SMP dan kebanyakan SD, rumah tangga-rumah tangga kasus telap tidak bisa
menaikkan taraf hidupnya menjadi lebih baik. Pekerjaan-pekerjaan yang mereka tekuni tetap pekerjaan-pekerjaan yang lebih mengandalkan kemampuan fisik (seperti: buruh penggali sumur, tukang bangunan, dsb), dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan swastalpemerintahan).
yang
mengandalkan
pikiran
(seperti:
pegawai
Kondisi seperti ini bisa dilihat dari riwayat pekerjaan
masing-masing kepala rumah tangga kasus.
Pekerjaan awal yang pernah
dilakukan tidak jauh berbeda dengan pekerjaan yang diiakukannya sekarang, yaitu sama-sama lebih mengandalkan tenaga dibandingkan dengan pikiran (seperti terlihat pada tabel 5). Dari 10 kasus RT, kemiskinan yang mereka alami sebagai akibat dari menjual lahan usahatani dan tidak bisa mengelola keuangannya, dirniliki oleh 2 RT kasus, seperti yang dikemukakan oleh kedua responden tersebut. Ungkapan dari Bapak Saman: Dulu, sekltar tahun 1982, saya memiliki lahan yang cukuip luas (1630 m2). Lahan tersebut selain berasal dari sedikit tanah warisan (150 m2) juga berasal dari usaha saya sendiri ketika saya rnasih kuat bekerja. Namun kemudian karena rnerasa memiliki lahan yang luas, sedikit demi sedikit lahan tersebut saya jual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keadaan ini berlangsung sampai dengan tahun 1997. Akhirnya tanah yang saya punyai habis dan hanya tinggal lahan yang saya tempati sekarang seluas 90 m2 dan halaman seluas 70 m2. (Rumah yang ditempati Pak Saman sudah menjadi rumh permanen,
namun menurut salah seorang informan, walaupun saat ini rumahnya sudah permanen namun kehidupannya tidak lebih baik dari mereka yang tinggal di rumah berdinding bilik) Demikian juga Pak Amat menuturkan tentang penyebab kemiskinan yang dialaminya: "Kehidupan saya dulu malu untuk diceritakan, namun sebagai pedoman untuk yang muda saya pikir tidak apa-apa untuk diceritakan. Saya dulu tidak bekerja dan pertama kali saya menikah dengan isteri saya yang sekarang, kemudian saya menikah lagi dengan wanita dari kampung seberang. Oleh karena itu, saya kemudian menjual sedikit tanah warisan orang tua saya yang hanya sekltar 180 m2. Kemudian kesadaran datang pada diri saya, dan saya mulai hidup sebagai petani. Mungkin karena masa lalu saya yang buruk, Tuhan marah kepada saya, hidup saya begini-begini saja dari dulu (tidak punya apa-apa)". Selain aspek tersebut di atas, keterbatasan pemilikan lahan juga menjadi penyebab kemiskinan dalam rumah tangga kasus. Dari 10 RT kasus, 8 RT tidak memiliki aset produksi lahan sebagai tempat mereka berusaha. Dua RT kasus, memiliki lahan dengan luasan kecil, yaitu sekltar 1000 m2 dan 2000 m2. Lahanlahan tersebut terdiri dari lahan sawah yang ditanami padi (luas 1000 m2), dan lahan kering yang ditanami dengan tanaman keras seperti kelapa, rambutan, dsb, serta sebagian kecil tanaman sayuran (untuk lahan luasan 2000 m2). Oleh karena tidak adanya lahan usahatani sebagai aset produksi yang sangat utama bagi petani, mereka memanfaatkan lahan-lahan milik perorangan atau milik perusahaan ataupun lahan-lahan di bantaran kali untuk ditanami dengan tanaman-tanaman semusim, seperti sayuran (cabe, kangkung, bayam, terong, dsb) dan tanaman pangan (jagung dan ubi kayu). Dalam kepemilikan hewan ternak (kambing dan ayam), sebagian besar (6 RT kasus) tidak memiliki hewan ternak, hanya 4 RT kasus yang memiliki,
dimana 3 RT kasus memiliki ternak kambing yang didapatkan dengan cara maro
dan 1 RT kasus memiliki ternak sendiri, tetapi dalam jumlah yang tidak terlalu banyak (10 ekor). Demikian juga halnya dengan kepemilikan ayam, yaitu ratarata 2-6 ekor per RT. Selain itu
dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa jaringan
masyarakat miskin ini tidak luas. Hal ini menyebabkan akses mereka terhadap kegiatan-kegiatan yang ada di desa juga terbatas.
Kegiatan-kegiatan untuk
meningkatkan pendapatan rumah tangga sering dilakukan di desa, misalnya: kursus potong rambut, kursus menjahit, kursus montir motor, kegiatan pembuatan keset, pembuatan celana pendek, topi, kaos kaki, dsb, tetapi tidak
satupun
kegiatan tersebut yang pernah mereka ikuti, seperti yang
dituturkan oleh salah seorang subjek kasus: "Selama tinggal disini saya belum pernah mengikuti kegiatankegiatan yang ada di desa. Soalnya saya tidak tahu tentang kegiatan-kegiatan yang ada di desa. Kaga' ada yang kasi tahu".
Rangkuman Rumah tangga kasus sekltar 70 % merupakan penduduk asli Jatimulya dan 30 % merupakan pendatang dari luar Jatimulya, yaitu 2 RT kasus berasal dari Jawa dan 1 RT kasus berasal dari Jakarta. Kepala RT kasus umumnya sudah berusia tua dan hampir semuanya tdak pernah mengenyam pendidikan formal selama hidupnya. Hal ini dikarenakan oleh kekurangmampuan orang tuanya
untuk menyekolahkan mereka pada waktu mereka berusia sekolah.
Adapun pekerjaan yang mereka tekuni sampai saat ini adalah bertani, selain itu beberapa diantaranya juga mempunyal pekerjaan dl bidang lain untuk memenuhi kebutuhan h~dupsehari-hari. Dalam struktur internal rumah tangga, hamplr semua kepala rumah tangga secara de facto dan de jure adalah lakl-lak~(9 RT), hanya 1 RT kasus yang secara de facto kepala RT-nya adalah laki-lak~,sedangken secara de jure
perempuan (isteri). Hal ini disebabkan karena suaminya bekerja seharian (hansip jalan tol), sehingga tidak memungkinkan bagi suami untuk mengambil keputusan-keputusan mendesak dalam rumah tangga. Bila dilihat dari komposisi anggota RT dengan rata-rata jumlah keluarga inti 1,7 ini, rata-rata jumlah anggota RT adalah 6,4 orang, akan tetapi yang potensial untuk bekerja rata-rata 4 orang. Berdasarkan ekspansi demografi: 8 RT kasus berada pada ekspansi penyebaran dan hanya 2 RT yang berada pada tahapan ekspansi lanjut. Hal ini berarti jumlah anggota RT yang ditanggung pada tahapan ekspansi penyebaran akan lebih kecil karena adanya anak-anak yang sudah memisahkan diri sehingga jumlah tanggungan menjadi menurun. Bila dilihat dari penguasaan aset produksi (dalam ha1 ini aset produksi pertanian), baik lahan, ternak ataupun aset produksi lainnya sangat terbatas sekali. Dari kesemua RT hanya 2 RT yang masih memiliki lahan milik sendiri yang bisa diolah sebagai lahan usahatani, namun dalam bentuk luasan yang sangat kecil sekali, yaitu 1000 m2 dan 2000 m2. Kecilnya luas kepemilikan ini menyebabkan terbatasnya usaha pertanian yang bisa mereka lakukan, sehingga bila tidak ditambah dengan lahan lainnya, akan tidak memungkinkan untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari secara layak. Untuk itu salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan lahan-lahan terlantar yang ada di l~ngkunganmereka sendiri, dan salah satunya adalah lahan milik PT. ASABRI yang belum d~manfaatkanoleh yang punya. Lahan tersebut ditanami dengan tanaman-tanaman yang berumur pendek, seperti jagung, bayam, kangkung, dsb. Dilihat dari segi pendidikan, hampir semua RT kasus (8 RT) tidak pernah mengenyam bangku sekolah, hanya 2 orang yang mempunyai pendidikan SO, tetap~ tidak tamat.
Demikian juga dengan pendidikan anak-anaknya, yaitu
paling tinggi SMP. Hal ini dikarenakan kurangnya dana yang mereka punyai untuk menyelesaikan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pola konsumsi pangan pada umumnya, makan 2-3 kali sehari dengan lauk tempe, tahu dan sayuran, sekali-sekali dengan ikan asin atau ikan yang dltangkap di saluran air dekat sawah. Kebutuhan sehari-hari ini didapatkan dengan cara membeli, berhutang di warung dan diberi oleh anak-anak atau cucu-cucunya yang tinggal berdekatan dengan orang tuanya. Umtuk konsumsi non parigan, seperti untuk kesehatan, karena jarang sakit, maka pengeluaran untuk berobat menjadi tidak terlalu besar. Kalaupun misalnya pada saat sakit tidak punya uang, mereka bisa berhutang dulu kepada bidan desa yang bertempat tinggal di dekat mereka.
Sedangkan biaya untuk pendidikan hanya
bisa diberikan sampai anaknya tamat SD atau SMP. Untuk kegiatan menabung hampir tidak pernah dilakukan, karena terbatasnya keuangan mereka. Rumah yang dihuni saat ini adalah berupa rumah bilik atau kayu sederhana, dengan sebagian lantai rumah masih tanah. Sebagian diantaranya tidak mempunyai wc, atau kalau ada tidak pakai septik tank, oleh karena tidak memiliki wc sebagian diantaranya menggunakan kali sebagai fasilltas untuk buang air. Perabotan rumah tangga tidak mewah, hanya kursi kayu reot, balaibalai kayu, dsb. Faktor penyebab kemiskinan pada RT kasus disebabkan oleh dua hal, yaitu karena konversi penggunaan lahan dari peruntukan pertanian ke peruntukan industri dan perumahan, yang menyebabkan hilangnya sebagian sumber nafkah RT dan juga rendahnya pendidikan yang dimiliki; serta kurangnya akses terhadap modal (modal tanah, ternak dan
modal uang). Kurangnya
jaringan sosial yang dimiliki, sehingga berkurang juga akses mereka terhadap sumber-sumber modal, keiembagaan, dsb.