BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orang tua, atau pasangan. KDRT dapat ditujukan dengan berbagai bentuk, diantaranya: fisik (penggunaan kekuatan fisik), kekerasan seksual (setiap aktivitas seksual yang dipaksakan), kekerasan emosi (tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan), yang terjadi terus menerus (Moerti, 2010). Apapun perbuatan terhadap seseorang dalam relasi rumah tangga, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan yang dialami korban kekerasan dalam rumah tangga bisa berupa penderitaan fisik, seksual, psikis, dan juga penderitaan berupa penelantaran rumah tangga. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, psikologis dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Yusuf, dkk (2003) mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah penganiayaan perempuan di dalam rumah tangga atau kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) terjadi dimana saja di berbagai belahan dunia, tidak
13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
membedakan kultur, agama, ras, latar belakang, pendidikan dan sebagainya. Terjadi sudah sejak lama bahkan sudah sekian lama dianggap sebagai persoalan pribadi oleh orang lain, sehingga tabu untuk segera mengambil tindakan, walaupun ada nyawa yang terancam. Menurut pasal 2 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (dalam Moerti, 2010) dijelaskan bahwa: “Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan kelamin yang mungkin berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi”. Berdasarkan dari pengertian tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diatas maka disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga dengan adanya ikatan perkawinan baik dilakukan oleh suami ataupun dilakukan oleh istri yang berakibat timbulnya penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikologis, seksual dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum sesuai dengan undang-undang yang telah diatur pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, Pasal 1. KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun verbal yang sering dianggap remeh namun lebih fatal akibatnya dimasa yang akan datang. B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Moerti (2010), dari berbagai kasus yang pernah terjadi di Indonesia, bentuk-bentuk KDRT dapat dikelompokkan seperti berikut ini : 1. Kekerasan Fisik
a. Pembunuhan b. Penganiayaan c. Pemerkosaan 2.Kekerasasan Non-Fisik/Psikis/Emosional a. Penghinaan b. Komentar-komentar yang dimaksudkan
untuk
merendahkan
melukai harga diri istri c. Melarang istri bergaul d. Ancaman-ancaman berupa akan mengembalikan istri ke orang tua e. Akan menceraikan f. Memisahkan istri dari anak-anaknya 3. Kekerasan Seksual
a. Pengisolasian istri dari kebutuhanbatinnya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan
16
b. Pemaksaan hubungan seksual dengan pola tidak dikehendaki atau disetujui oleh istri c. Pemaksaan hubungan seksual ketika istri sedang sakit atau sedang menstruasi d. Memaksa istri menjadi pelacur dan sebagainya 4. Kekerasan Ekonomi
a. Tidak memberi nafkah kepada istri b. Memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomis untuk mengontrol kehidupan istri c. Membiarkan istri bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai oleh suami. Misalnya memaksa istri menjadi “wanita panggilan” Bentuk bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga menurut UndangUndang Nomor. 23 Tahun 2004, tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9, yaitu : a. Kekerasan Fisik Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004). b. Kekerasan Psikis Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri dan hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004). c. Kekerasan Seksual Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut. Selain itu juga berarti
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu (Pasal 8 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004). d. Penelantaran Rumah Tangga Dimasukkan dalam pengertian kekerasan, karena setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan penghidupan, perawatan dan pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran tersebut juga berlaku bagi orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban dibawah kendali orang tersebut (Pasal 9 UndangUndang No.23 Tahun 2004). C. Faktor Pendorong Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Moerti (2010), faktor pendorong terjadinya kekerasan adalah: 1. Masalah Keuangan
Uang seringkali dapat menjadi pemicu timbulnya perselisihan diantara suami dan istri. Gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga setiap bulan, sering menimbulkan pertengkaran, apalagi jika yang mencari nafkah utama adalah suami. Dapat juga pertengkaran timbul ketika suami kehilangan pekerjaan (misalnya di PHK). Ditambah lagi adanya tuntutan biaya yang tinggi, memicu pertengkaran yang seringkali berakibat terjadinya tindak kekerasan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
2. Cemburu
Kecemburuan juga merupakan salah satu timbulnya kesalahpahaman, perselisihan yang pada akhirnya bisa mengakibatkan kekerasan dalam suatu keluarga. 3. Masalah Anak
Salah satu pemicu terjadinya perselisihan antara suami dan istri adalah masalah anak. Perselisihan dapat semakin meruncing kalau terdapat perbedaan pola pendidikan terhadap anak antara suami dan istri. Hal ini dapat berlaku baik terhadap anak kandung maupun terhadap anak asuh atau anak tiri. 4. Masalah Orang Tua
Orang tua dari pihak suami maupun istri dapat menjadi pemicu pertengkaran dan menyebabkan keretakan hubungan antara suami dan istri. Dalam penelitian tahun 1999, diperoleh gambaran bahwa bagi orang tua yang selalu ikut campur dalam rumah tangga anaknya, misalnya meliputi masalah keuangan, pendidikan anak atau pekerjaan, seringkali memicu pertengkaran yang berakhir dengan kekerasan. Apalagi hal ini bisa dipicu karena adanya perbedaan sikap terhadap masing-masing orang tua. 5. Masalah Saudara
Seperti hal nya orang tua, saudara yang tinggal dalam satu atap maupun tidak, dapat memicu keretakan hubungan dalam keluarga dan hubungan suami-istri. Campur tangan dari saudara dalam kehidupan rumah tangga,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
perselingkuhan antara suami dengan saudara istri, menyebabkan terjadinya jurang pemisah atau menimbulkan semacam jarak antara suami dan istri. Kondisi seperti ini kadang kurang disadari oleh suami maupun istri. Jika keadaan semacam ini dibiarkan tanpa adanya jalan keluar, akhirnya akan menimbulkan ketegangan dan pertengkaran-pertengkaran. Apalagi jika disertai dengan kata-kata yang menyakitkan atau menjelek-jelekan keluarga masing-masing. Paling tidak akan menimbulkan kekerasan psikis. 6. Masalah Sopan Santun
Sopan santun seharusnya tetap dipelihara meskipun suami dan istri sudah bertahun-tahun menikah. Untuk itu perlu adanya upaya saling menyesuaikan diri, terutama dengan kebiasaan-kebiasaan yang dibawa dari keluarga masing-masing. Kebiasaan lama yang mungkin tidak berkenan di hati masing-masing pasangan, harus dihilangkan antara suami dan istri harus saling menghormati dan saling penuh pengertian. Jika hal ini diabaikan akibatnya dapat memicu kesalahpahaman yang memicu pertengkaran dan kekerasan psikis. Ada kemungkinan juga berakhir dengan kekerasan fisik. 7. Masalah Masa Lalu
Seharusnya sebelum melangsungkan pernikahan antara calon suami dan calon istri harus terbuka, masing-masing menceritakan atau memberitahukan masa lalunya. Keterbukaan itu merupakan upaya untuk mencegah salah satu pihak mengetahui riwayat masa lalu pasangan dari orang lain. Pada kenyataannya cerita yang diperoleh dari pihak ketiga sudah tidak realistis.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
Pertengkaran yang dipicu karena adanya cerita masa lalu masing-masing pihak, berpotensi mendorong terjadinya perselisihan dan kekerasan. 8. Masalah Salah Paham
Suami dan istri ibarat dua kutub yang berbeda. Oleh karena itu usaha penyesuaian diri serta saling menghormati pendapat masing-masing pihak, perlu dipelihara karena jika tidak, akan timbul kesalahpahaman. Kondisi ini sering dipicu oleh hal-hal sepele, namun jika dibiarkan terus-menerus tidak akan diperoleh titik temu. Kesalahpahaman yang tidak segera dicarikan jalan keluar atau tidak segera diselesaikan, akan menimbulkan pertengkaran dan dapat pula menjadi pemicu kekerasan. D. Karakteristik Pelaku dan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Hasil penelitian Rifka Annisa Women’s Centre(dalam Moerti, 2010) menyebutkan bahwa ternyata baik pihak perempuan (istri) sebagai korban, maupun laki-laki (suami) sebagai pelaku, mempunyai karakteristik tertentu. Karakteristik perempuan dalam korban rumah tangga adalah sebagai berikut : 1. Mempunyai penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem) yang rendah, sehingga cenderung pasrah, mengalah. 2. Percaya pada sikap mitos yang “memaklumi sikap kasar” suami pada istri. 3. Merasa bertanggung jawab atas kelakuan suaminya. 4. Merasa bersalah, menyangkut teror dan kemarahan yang dirasakan. 5. Berwajah tidak berdaya, tetapi sangat kuat dalam menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. 6. Stres yang dideritanya menimbulkan keluhan fisik tertentu (sakit kepala, gangguan pencernaan dan sebagainya). 7. Menggunakan seks sebagai cara untuk membina kelangsungan hubungan dengan suami.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
8. Diperlakukan seperti “anak kecil ayah” (pantas untuk dimarahi, dihukum dan sebagainya). 9. Yakin bahwa tidak ada orang lain yang mampu menolong penderitaanya. Karakteristik tersebut diperoleh dari berbagai kasus yang ditangani, karena antara korban yang satu dengan yang lainnya tentu mempunyai ciri-ciri dan faktor penyebab yang berbeda. Adapun karakteristik pelaku kekerasan dalam rumah tangga, yaitu sebagai berikut: 1. Mempunyai penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem) yang tinggi (sehingga dimunculkan sikap sangat berkuasa). 2. Percaya kepada semua mitos tentang kewajaran laki-laki mendominasi istrinya. 3. Menyalahkan orang lain sebagai pemicu kemarahannya. 4. Memiliki kecemburuan yang besar, sehingga mudah curiga. 5. Menjadikan stres sebagai alasan untuk mengasari istrinya. 6. Menggunakan seks sebagai bentuk agresi yang seringkali digunakan untuk mengatasi ketidakberdayaannya. 7. Menderita kekerasan dimasa kecilnya. 8. Tidak percaya bahwa perilakunya mengandung akibat negatif. E. Gambaran Mengenai Alasan Mengapa Kekerasan pada Istri Jarang Terungkap 1. Dalam
hampir
semua
budaya,
selalu
diajarkan
agar
perempuan
merahasiakan persoalan keluarganya dari orang lain. Sangatlah aib apabila rahasia keluarga sampai bocor. Itulah sebabnya walaupun seorang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
perempuan
atau
istri
mengalami
kekerasan,
maka
ia
cenderung
menyembunyikan persoalannya dan memilih diam. 2. Budaya juga menanamkan bahwa istri adalah hak milik suami, mahar (mas kawin), budaya jujur dan sebagainya, yang pada intinya dianggap sebagai pihak laki-laki sebagai harga untuk membeli perempuan, dianggap sebagai alasan pengesahan keyakinan itu. Setelah itu terjadi pernikahan, maka si perempuan dianggap telah dibeli dan karenanya kemudian dianggap wajar bila laki-laki boleh melakukan apa saja terhadap perempuan tersebut. 3. Istri takut mendapatkan ancaman atau penyiksaan lebih berat bila dia meninggalkan rumah atau menceritakan kasusnya pada orang lain, terlebih bila dilaporkannya pada polisi. 4. Istri biasanya masih mencintai pelaku kekerasan (suaminya) dan berharap kekerasan yang dilakukan hanyalah merupakan kekhilafan sesaat yang tidak akan dilakukannya lagi. 5. Istri biasanya tidak tega melaporkan suaminya sendiri ke kantor polisi. Jika mereka tidak kuat menanggung beban deritanya, mereka lebih memilih jalan cerai. Ini disebabkan karena masalah kekerasan dalam rumah tangga memang masih dianggap sebagai masalah intern keluarga, sehingga aparat desa/RT/RW sekalipun seringkali tidak dapat berbuat apa-apa guna membantu si istri. F. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Kekerasan terhadap istri menimbulkan berbagai dampak yang merugikan diantaranya adalah :
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
1. Mengalami sakit fisik 2. Tekanan mental 3. Menurunnya rasa percaya diri dan harga diri 4. Mengalami rasa tidak berdaya 5. Mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya 6. Mengalami stres paska trauma 7. Mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri G. Pengertian Resiliensi Manusia hidup didunia ini dengan tipe yang berbeda-beda, ada yang dapat dengan mudah bangkit dan bertahan dalam mengalami kesulitan atau masalah, namun ada juga yang tidak mampu bertahan dan sulit bangkit dari kesulitan atau masalah yang dialaminya. Kemampuan individu untuk melanjutkan kehidupannya setelah mengalami kesulitan atau masalah berat sekalipun yang telah menimpanya dan adanya kemampuan individu untuk bertahan dikenal dengan istilah resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya dan resiliensi tidak hanya ditemui pada orang-orang tertentu saja Grotberg (dalam Fonny, 2006). Siebert (2005), mengartikan resiliensi sebagai kemampuan bangkit dari kesulitan dalam kehidupan yang dirasa sangat berat. Orang yang resilien dapat melewati tekanan, dan dengan cepat memposisikan diri pada suatu situasi baru, serta mengatasi tantangan-tantangan dengan segera. Orang yang resilien dapat melambung kembali dan kadang menjadi lebih kuat, lebih maju, dan lebih baik dari sebelumnya. Resiliensi merupakan ketrampilan yang sangat penting di semua sektor pekerjaan, terutama di dalam masalah sulit.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
Menurut Adiprasetya, dkk (2007), resiliensi merupakan suatu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan positif atau dapat pulih kembali dalam situasi atau kondisi yang sulit. Resiliensi sangat penting dalam membantu individu untuk mengatasi segala kesulitan yang muncul setiap hari. Jika resiliensi meningkat maka individu akan mampu untuk mengatasi kesulitan apapun yang muncul di dalam kehidupan. Individu dengan resiliensi yang baik akan mampu menghadapi masalah dengan baik, mampu mengontrol diri dan mampu mengelola stres dengan baik dengan cara mengubah cara berpikir ketika berhadapan dengan masalah. Banaag (2002), menyatakan bahwa resilensi adalah suatu proses interaksi antara satu faktor individual dengan faktor lingkung an. Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri sendiri sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan melunakkan kesulitan hidup individu. Resiliensi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan. Individu dianggap sebagai seorang yang memiliki resiliensi jika mereka mampu untuk secara cepat kembali kepada
kondisi
sebelum
trauma
dan
terlihat
kebal
dari
berbagai
peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi didefinisikan oleh Wolin dan Wolin (1999) sebagai proses tetap berjuang saat berhadapan dengan kesulitan, masalah atau penderitaan. Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa resiliensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampakdampak yang merugikan di kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyulitkan atau memberatkan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Bagi mereka yang resilien, resiliensi membuat hidupnya menjadi lebih kuat. Artinya, resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan. Resiliensi adalah suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan setiap orang. Hal ini adalah karena kehidupan manusia senantiasa diwarnai oleh kondisi yang tidak menyenangkan. Kondisi yang tidak menyenangkan ini menantang kemampuan manusia untuk mengatasinya, untuk belajar darinya, dan bahkan untuk berubah karenanya. H. Aspek Resiliensi Reivich dan Shatte (2002), menjelaskan bahwa ada tujuh kemampuan yang dapat dijadikan untuk membentuk aspek resiliensi individu,yaitu : 1. Regulasi Emosi
Kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi yang penuh tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. 2. Pengendalian Impuls
Kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan serta tekanan yang muncul dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran. Individu mudah kehilangan kesabaran,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
mudah marah, dan berlaku agresif pada situasi-situasi yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan disekitarnya merasa tidak nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial. 3. Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu memiliki harapan di masa depan dan percaya dapat mengontrol arah hidupnya. Individu yang optimis lebih sehat secara fisik, tidak mengalami depresi, berprestasi lebih baik dan lebih produktif dalam bekerja. 4. Empati
Individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain. 5. Analisis Penyebab Masalah
Merujuk pada kemampuan individu untuk secara akurat mengidentifikasi penyebab-penyebab dari permasalahan individu. Jika individu tidak mampu memperkirakan penyebab dari permasalahannya secara akurat, maka individu akan membuat kesalahan yang sama. 6. Efikasi Diri
Keyakinan
pada kemampuan diri
sendiri
untuk
menghadapi
dan
memecahkan masalah secara efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu yang memiliki efikasi diri yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu ini akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang dialami. 7. Peningkatan Aspek Positif
Kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu : (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup. I. Karakteristik Resiliensi Wolin dan Wolin(1999) menjelaskan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang dimiliki oleh individu yang resilien. Karakteristik-karakteristik inilah yang membuat individu mampu beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. 1. Wawasan
Kemampuan untuk memahami diri sendiri, orang-orang yang ada disekitar serta mampu menyesuaikan diri dengan kondisi atau situasi tertentu. Hal ini membantu mereka untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
2. Kemandirian
Kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli terhadap orang lain. Orang yang mandiri dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat diperlukan. 3. Hubungan
Individu yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan. 4. Inisiatif
Keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab dari masalah yang dihadapi atau dalam pemecahan masalah dan selalu berusaha memperbaiki diri. Orang yang resilien memiliki tujuan hidup yang mengarahkan hidup mereka secara konsisten dan mereka menunjukan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil. 5. Kreatifitas
Kemampuan
yang
melibatkan
pemikiran
dalam
berbagai
pilihan,
konsekuensi dan jalan lain dalam menghadapi tantangan hidup. Orang yang resilien mampu secara kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. 6. Humor
Kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang yang resilien menggunakan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit menjadi lebih ringan. 7. Moralitas
Kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang lain yang membutuhkan. J. Faktor-faktor yang Memengaruhi Resiliensi Menurut Grotberg (dalam Rahayu, 2008), ada 3 (tiga) faktor pembentukan resiliensi, yaitu : 1. I have (Aku punya) Memiliki kualitas yang memberikan sumbangan bagi resiliensi, yaitu : a. Hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh b. Struktur dan peraturan dirumah c. Dorongan untuk mandiri 2.I am (Aku ini) Beberapa kualitas yang mempengaruhi I am adalah : a. Disayang dan disukai oleh banyak orang b. Mencintai, empati dan kepedulian pada orang lain c. Bangga dengan dirinya sendiri d. Bertanggung
jawab
terhadap
perilaku
konsekuensinya e. Percaya diri, optimis dan penuh harap
http://digilib.mercubuana.ac.id/
sendiri
dan
menerima
30
3. I can (Aku dapat) a. Berkomunikasi b. Memecahkan masalah c. Mengelola perasaan d. Menjalin hubungan yang saling mempercayai
K. Fenomenologi Istilah fenomenologi berarti menunjukkan dan menampakkan diri sendiri. Fenomenologi terkait dengan konsep “lebenswelt” (dunia kehidupan) sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu sosial. Konsep dunia kehidupan merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan (dunia kehidupan bagian dari ilmu pengetahuan). Konsep dunia kehidupan dapat memberikan inspirasi bagi ilmu-ilmu sosial. Dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan berharga dari fenomenologi, artinya unsur subyek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses
terciptanya
suatu
ilmu
pengetahuan
yang
mendapat
dukungan
metodologinya (Syahrial, 2011). Fenomenologi merupakan ilmu yang mempelajari fenomena atau gejala yang dilandasi oleh teori Max Weber (1864-1920). Teori ini menekankan pada metode penghayatan atau pemahaman interpretative. Jika seseorang menunjukkan perilaku tertentu dalam masyarakat, maka perilaku tersebut merupakan realisasi dari pandangan-pandangan atau pemikiran yang ada dalam kepala orang tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
Kenyataannya merupakan ekspresi dari dalam pikiran seseorang oleh karena itu, realitas tersebut bersifat subyektif dan interpretative (Sarwono, 2006). Pada penelitian ini untuk mendapatkan gambaran mengenai resiliensi pada istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, peneliti akan menggunakan tujuh (7) karakteristik resiliensi menurut Wolin dan Wolin (1999), ketujuh karakteristik tersebut adalah: wawasan, kemandirian, hubungan, inisiatif, kreativitas, humor dan moralitas selain itu peneliti juga menggunakan tujuh (7) aspek resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002), ketujuh aspek tersebut adalah: regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri dan peningkatan aspek positif. Kekerasan dalam rumah tangga atau yang sering disebut dengan istilah KDRT merupakan suatu fenomena yang sampai saat ini kasusnya semakin meningkat tiap tahunnya, sehingga untuk dapat lebih memahaminya peneliti menggunakan metode fenomenologi. Peneliti menggunakan metode fenomenologi untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang gambaran resiliensi pada istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
http://digilib.mercubuana.ac.id/