BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kekerasan pada Anak
2.1.1 Pengertian Kekerasan pada Anak Dalam Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders V atau DSM V (2013), dinyatakan bahwa kekerasan fisik pada anak adalah cidera fisik pada anak mulai dari memar, patah tulang ringan atau parah dan kematian terjadi sebagai akibat dari meninju, memukul, menendang, menggigit, melempar, menusuk, mencekik, memukul (dengan tangan, tongkat, tali, atau benda lain), terbakar, atau cara lain yang ditimbulkan oleh orang tua, pengasuh, atau individu lain yang memiliki tanggung jawab untuk anak. Cedera tersebut dianggap melanggar terlepas dari apakah pengasuh melakukan kekerasan dimaksudkan untuk menyakiti anak, atau di maksudkan untuk disiplin fisik, anak seperti memukul atau mendayung, sesungguhnya semua itu tidak dianggap melanggar selama itu wajar dan tidak menyebabkan cedera pada anak. Pada awal mulanya istilah tindak kekerasan atau child abuse dan neglect berasal dan mulai dikenal dari dunia kedokteran sekitar tahun 1946. Caffey seorang radiologis melaporkan kasus cedera yang berupa gejalagejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk atau multiple
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
fractures pada anak-anak atau bayi disertai pendaharahan subdural tanpa mengetahui sebabnya atau unrecognized trauma. Dalam dunia kedokteran kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome. Henry Kempe menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome yaitu: Setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orang tua atau pengasuh lain. Disini yang diartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak tidak hanya luka berat saja, tapi termasuk juga luka memar atau pembengkakan sekalipun dan diikuti kegagalan anak untuk berkembang baik secara fisik maupun intelektual (Bagong suyanto dan Sri sanituti 2010). Secara teoretis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefenisikan seperti perlakuan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami anak anak adalah pemukulan atau penyerangan secara
fisik
berkali-kali
sampai
terjasi
luka
atau
goresan
(scrapes/scratches). Namun demikian perlu disadari bahwa child abuse sebetulnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan fisik saja, melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk eksploitasi melalui, misalnya pornografi dan penyerangan seksual (sexual assault), pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrition), pengabaian pendidikan dan kesehatan (educational and medical neglect)
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
dan kekerasankekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse). (Bagong suyanto & Sri sanituti 2010). Kekerasan menurut World Health Organization (WHO) adalah intensi perilaku yang menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan dalam bentuk ancaman terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap kelompok yang mengakibatkan cedera, kematian, kerugian psikologis, gangguan perkembangan atau perampasan (Krug, Dahlberg, Mercy, Zwi, & Lozano., 2002). Menurut Soeroso (2010) kekerasan pada anak adalah setiap perbuatan yang ditujukan pada anak yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan baik fisik maupun psikis baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Tindak kekerasan tidak hanya berupa tindakan fisik melainkan juga perbuatan non fisik (psikis). Tindakan fisik secara langsung bisa dirasakan akibatnya langsung bisa dirasakan akibatnya oleh korban serta dapat dilihat oleh siapa saja, sedangkan tindakan non fisik (psikis) yang bisa merasakan langsung hanyalah korban, karena tindakan tersebut langsung berkaitan menyinggung hati nurani atau perasaan seseorang. Sekarang diterima secara luas bahwa anak-anak yang hidup dengan kekerasan dalam rumah tangga juga berisiko lebih besar mengalami pengabaian, fisik dan
pelecehan seksual. Misalnya, di Inggris studi
prevalensi NSPCC menemukan bahwa orang-orang muda yang mengalami kekerasan dalam rumah adalah antara dua koma sembilan dan empat koma empat kali lebih mungkin mengalami kekerasan fisik dan pengabaian dari pengasuh daripada orang-orang muda tidak terkena kekerasan keluarga
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
(Radford, Corral, Bradley, Fisher, Collishaw, Bassett, & Howat. 2011). Pada tingkat yang paling dasar, yang tinggal di sebuah rumah tangga emosional dan kekerasan memiliki implikasi negatif bagi kesehatan emosional dan mental anak-anak baik dalam jangka pendek maupun panjang( Kitzmann, Gaylord, Holt, and Kenny, 2003;. Wolfe, Crooks, Lee, McIntyre-Smith, and Jaffe, 2003;. Evans, Davies, & DiLillo, 2008). Anakanak yang hidup dengan kekerasan dalam rumah tangga umumnya memiliki masalah perilaku dan emosional secara signifikan lebih sering daripada rekan-rekan mereka yang tidak tinggal dengan kekerasan dalam rumah tangga (Meltzer, Doos, Vostanis, Ford, & Goodman, 2009). Penelitian telah membentuk asosiasi antara paparan kekerasan dalam rumah tangga dan hasil yang merugikan bagi anak-anak, sekarang ada semakin banyak bukti konvergen yang menunjukkan bahwa hubungan tersebut adalah salah satu kausal (Goddard & Bedi, 2010). Serangkaian meta analisis studi penelitian yang menguji efek dari pengalaman anakanak dari kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa paparan terkait dengan berbagai masalah emosional, perilaku dan sosial berikutnya (Kitzman et al, 2003;. Wolfe et al, 2003;. Evans et al., 2008). Anak-anak usia pra-sekolah cenderung menjadi kelompok usia yang menunjukkan gangguan yang paling perilaku seperti mengompol, gangguan tidur dan kesulitan makan, dan sangat rentan terhadap menyalahkan diri mereka sendiri atas kekerasan dewasa. anak yang lebih tua lebih mungkin untuk menunjukkan efek dari gangguan dalam hidup mereka melalui menurun nya kinerja di sekolah, jaringan sosial kurang
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
berkembang, menyakiti diri sendiri, melarikan diri dan keterlibatan dalam perilaku anti-sosial (Humphreys & Houghton, 2008). Eksposur (objek yang rentan terhadap risiko) anak terhadap kekerasan dewasa menjadi keprihatinan yang meningkat bagi praktisi dan peneliti (Edleson, Ellerton, Seagren, Kirchberg, Schmidt & Ambrose, 2007). IPV atau kekerasan dalam rumah tangga dapat mengambil berbagai bentuk termasuk kekerasan fisik, seksual, dan emosional. Anak-anak dapat terkena melalui menyaksikan itu, sengaja mendengar, atau melihat dampaknya; menjadi 'pengamat bersalah' (Fieggen, Wiemann, Brown, Swingler, & Peter, 2004); atau dipaksa untuk berpartisipasi di dalamnya, misalnya dengan yang diperlukan untuk melaporkan gerakan ibu mereka (Carpenter dan Stacks, 2009 dan Edleson et al., 2007). Ada juga bukti yang berkembang menunjukkan bahwa IPV dan penganiayaan anak mungkin sering terjadi dalam rumah tangga yang sama (Hamby, Finkelhor, Turneh, & Ormrod, 2010 & Wathen & MacMillan, 2013). Ini mungkin khususnya terjadi dalam konteks di mana norma-norma sosial yang dominan dan faktor-faktor struktural pria posisi sebagai kepala rumah tangga, mendikte baik perempuan dan sikap tunduk anak-anak dan ketergantungan pada pria, dan sanksi pria (orang dewasa) penggunaan kekerasan untuk memperbaiki perilaku buruk yang diharapkan (Jewkes, 2002 & Lansford et al., 2014). Hal ini telah menyebabkan meningkatnya pengakuan kebutuhan untuk mengatasi IPV dan penganiayaan anak dalam suatu kerangka terpadu (Guedes & Mikton, 2013). Anak-anak yang berada di rumah tangga di mana IPV terjadi juga telah terbukti memiliki hasil
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
yang lebih buruk. Pengalaman pada anak usia dini semakin diakui mempengaruhi perkembangan selanjutnya anak-anak, (Carpenter & Stacks, 2009) diwujudkan dalam kesehatan yang merugikan (Pavey, Gorman, Kuehn, Stokes, & Histle-Gorman, 2014, Sabarwal et al., 2012 &Yount et al., 2011), pendidikan, dan perilaku (Evans et al., 2008 & Huang, Wang, & Warrener, 2010) hasil, serta peningkatan risiko kematian (Ackerson & Subramanian, 2009 & Garoma, Fantahun & Worku, 2012). Untuk remaja dan dewasa muda, paparan IPV orangtua juga telah terbukti berhubungan dengan hasil kesehatan mental yang negatif termasuk kecemasan, depresi, dan penyalahgunaan zat (Schiff, Plotnikova, Dingle, Williams, Najman, & Clavarino, 2014). Selain itu, ada bukti yang menunjukkan bahwa anak laki-laki dan perempuan yang tumbuh dalam rumah tangga di mana IPV hadir beresiko lebih besar mengalami (bagi wanita) atau melakukan (untuk pria) kekerasan pasangan di usia dewasa (Feldman, 1997, Stith, Rosen, Midleton, Busch, Lundeberg, & Carlton, 2000, Wathen & MacMillan, 2013 dan Widom Czaja, & Dutton, 2014). Banyak efek negatif yang dialami oleh anak-anak terkena IPV dapat diperburuk oleh dampaknya pada hasil kesehatan mental ibu dan perawatan memberi, termasuk praktik orangtua, kemampuan perempuan untuk ikatan dengan anak-anak, kehangatan ibu, dan kemampuan anakanak untuk menyesuaikan bawah tekanan dari keluarga kekerasan (Carpenter dan Stacks, 2009, Graham-Berman, Gruber, Howell, & Girz, 2009 & Holmes, 2013).
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Berdasarkan pengertian yang di ungkapkan para ahli mengenai kekerasan pada anak adalah kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefenisikan seperti perlakuan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. kekerasan fisik pada anak adalah cidera fisik pada anak mulai dari memar, patah tulang ringan atau parah dan kematian terjadi sebagai akibat dari meninju, memukul, menendang, menggigit, melempar, menusuk, mencekik, memukul (dengan tangan, tongkat, tali, atau benda lain), terbakar, atau cara lain. 2.1.2 Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak Terdapat empat faktor terjadinya kekerasan terhadap anak seperti yang dijelaskan oleh Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait dalam Tribun Jawa Tengah 2015 memaparkan ada empat penyebab utama, (1) Penyebab utama yaitu, penyebabnya ia katakan ada anak yang berpotensi menjadi korban. "Ada anak nakal, bandel, tidak bisa diam, tidak menurut, cengeng, pemalas, penakut. Anakanak seperti inilah yang sangat rentan oleh kekerasan fisik dan psikis. Karena ada faktor bawaan seperti anak tersebut memang hiperaktif, selain itu ada faktor dari ketidaktahuan orangtua, maupun guru sebagai pendidik anak-anak," jelasnya saat memberikan materi dalam seminar Perlindungan Terhadap Anak di Convention Hall Hotel Grasia, Sabtu
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
(14/2/2015). (2) Arist katakan ada anak atau orang dewasa yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Ia menjelaskan untuk anak yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan disebabkan oleh beberapa hal yakni meniru atau mengimitasi dari orangtua, teman, siaran televisi, video game, film. Selain itu, pernah mengalami sebagai korban bullying dari sesama anak, korban kekerasan dari anak dewasa, dan adanya tekanan dari kelompok. (3) Adanya peluang kekerasan tanpa pengawasan atau perlindungan. Biasanya, hal tersebut sering dialami oleh anak-anak yang tinggal dengan pembantu, ayah atau ibu diri, maupun paman atau saudaranya. Peluang terjadinya kekerasan fisik, psikis maupun seksual ada banyak sekali penyebabnya, karena memang tidak ada pengajaran potensi bahaya, anak dibiarkan bermain dengan orang dewasa tanpa diawasi sehingga mereka dengan bebas bisa dipeluk, dipangku oleh siapa saja dan lain-lain, jelasnya. (4) Penyebab keempat karena adanya pencetus dari korban dan pelaku. Contohnya, adanya pencetus dari korban, biasanya anak-anak rewel, aktifitas mereka berlebihan, tidak menurut perintah, merusak barang-barang. Perilaku tersebut umunya mencetuskan kekerasan fisik dan psikis (Purnomo, 2015). Faktor lain yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak yaitu: (1) Kekerasan dalam rumah tangga, jika dalam sebuah keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan ayah, ibu dan anggota keluarga lainnya, maka sangat mungkin seorang anak juga tidak luput dari kekerasan tersebut. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan dan perilaku kasar lainnya dari orangtua. (2) Disfungsi keluarga, suatu kondisi dimana peran orangtua
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adanya disfungsi seorang ayah yang tidak mampu menjadi pemimpin keluarga, dan disfungsi seorang ibu yang tidak bisa berperan sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi. Ketidakmampuan berperan sebagai orangtua kemudian membawa anak berada dalam kondisi keluarga yang kacau dan seringkali menjadi sasaran kemarahan dan kekerasan lainnya dari keluarganya. (3) Faktor ekonomi, kekerasan terhadap anak juga bisa timbul karena masalah ekonomi. Tekanan ekonomi yang begitu kuat, dapat membuat orang tua menjadi stress yang kemudian melampiaskannya kepada anak-anaknya. (4) Persepsi yang salah tentang cara mendidik anak, masih banyak orangtua di negeri ini yang mungkin tidak memiliki bekal ilmu yang cukup sebelum menikah dalam hal mendidik anak. Ditambah lagi adanya persepsi yang salah dalam hal mendidik anak. Ada sebagian orang yang mengira bahwa mencubit badan sampai menampar pipi anak adalah hal yang boleh bahkan perlu dilakukan untuk mendidik anak supaya menurut. Hal ini sebenarnya merupakan kesalahan besar dalam cara mendidik anak, sekaligus bentuk ke-tidak-mampu-an orangtua dalam meng-komunikasi-kan secara baik tentang hal baik dan buruk kepada anak-anaknya. (5) Regenerasi kekerasan terhadap anak, seorang anak yang di masa kecilnya seringkali mendapat perlakukan atau tindak kekerasan dari orangtuanya, maka ketika ia telah tumbuh dewasa, ia berpotensi menjadi calon orangtua yang juga setuju dengan
tindak kekerasan dikarenakan yang dianggapnya wajar
karena ia sering mengalaminya dari orangtua nya dulu kepada anakanaknya (Akhmad, 2015).
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
2.1.3 Bentuk Kekerasan pada Anak Menurut Terry E. Lawson (dikutip dalam Huraerah, 2007), psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang tindak kekerasan terhadap anak atau child abuse, menyebut ada empat macam bentuk abuse, yaitu emotional abuse,verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse, yaitu: (a) Kekerasan secara fisik atau physical abuse, kekerasan fisik, terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak memukul anak ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian. Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak. (b) Kekerasan emosional atau emotional abuse, kekerasan emosional terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Orang tua jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terusmenerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu. (c) Kekerasan secara verbal atau verbal abuse biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambing hitamkan. (d) Kekerasan seksual atau sexual abuse, kekerasan seksual meliputi pemaksaan
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Seperti istri, anak maupun pekerja rumah tangga. (Hendriawan, Utomo, & Ranti, 2015). 2.1.4 Dampak Kekerasan pada Anak Secara umum, dampak kekerasan pada anak dapat terdiri dari dua hal, yaitu dampak secara fisik dan juga dampak secara psikologis. Dampak secara fisik, sudah jelas terlihat, dimana dari segi fisik, anak mungkin mengalami luka memar, luka fisik, masalah kesehatan, dan lain sebagainya. Yang menjadi masalah adalah dampak secara psikologis, yang apabila tidak ditangani segera, akan sangat mempengaruhi fase kehidupan berikutnya dari si anak, mulai dari remaja hingga tua nanti. Berikut ini adalah beberapa dampak psikologis dari kekerasan pada anak : (a) Siklus menjadi korban, kemungkinan bahwa si anak akan “ditakdirkan” menjadi korban akan semakin besar. Anak-anak yang sering mengalami kekerasan, sudah menjadi korban sejak kecil. Di alam bawah sadarnya, “takdir” menjadi seorang korban akan tertanam kuat. Hal ini kemudian akan berpengaruh di dalam kehidupannya, dimana si anak akan terus-terusan menjadi korban selama masa hidupnya. (b) Menjadi pelaku kekerasan, selain “takdir” menjadi korban, anak yang mengalami kekerasan juga bisa saja berubah menjadi pelaku kekerasan. Banyak penelitian mengungkap, salah satunya adalah perilaku bullying, banyak dilakukan oleh mereka yang dulunya pernah menjadi korban bullying. Karena itu, kemungkinan bahwa seorang anak kelak akan menjadi pelaku kekerasan, akibat masa
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
lalunya yang sering menjadi korban kekerasan sangatlah tinggi. (c) Kepercayaan diri yang rendah,kekerasan pada anak dapat mengakibatkan rendahnya kepercayaan diri si anak. Kekerasan seringkali membuat si anak takut salah dalam melakukan sesuatu, sehingga hal ini dapat menyebabkan si anak menjadi tidak percaya diri dan tidak mampu untuk melakukan hal yang lebih baik. Dengan begitu, si anak pun tidak akan berkembang dengan optimal, menjadi tidak ada artinya di lingkungannya, atau mungkin malah sulit dalam berteman. Padahal, kepercayaan diri adalah salah satu modal penting bagi siapapun untuk bisa maju. Percaya diri dan yakin akan kemampuan dirinya sendiri dapat membantu seseorang meraih impian dan keinginannya. (d) Luka batin dan trauma, kekerasan terhadap anak sangat besar peluangnya dalam menimbulkan luka batin dan juga trauma. Luka batin memiliki dampak yang luar biasa besar bagi kehidupan seseorang, mulai dari munculnya depresi, mudah stress, hingga gangguan psikologis berat lainnya yang bisa membuat kehidupan dan aktivitas seseorang menjadi terganggu. (e) Merasa tidak berguna, rasa tidak berguna, tidak bermanfaat, atau helplessness merupakan hal yang bisa muncul pada anakanak korban kekerasan. Hal ini akan membuat mereka menjadi pendiam, menjauh dari lingkungan sosial, dan bisa saja berujung pada keinginan bunuh diri pada masa remaja atau dewasa, karena merasa tidak berguna dan tidak bisa melakukan apa-apa. Dalam Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders V atau DSM V (2013), dinyatakan bahwa berbagai bentuk pengalaman traumatik akibat kekerasan dan penelantaran yang dapat dialami seseorang dalam
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
suatu relasi interpersonal dapat mempengaruhi keadaan mentalnya, seperti menjauhkan diri dari lingkungan karena merasa tidak aman, trauma, stres, atau takut untuk berhadapan dengan orangtua. Menurut DSM V, dalam menangani kekerasan dalam relasi atau salah satunya kekerasan pada anak salah satunya adalah usaha buat meningkatkan kesehatan mental dari ibu dan anak itu sendiri. Dalam meningkatkan kesehatan mental, kita juga perlu mendalami dulu akar permasalahannya sehingga bisa terjadi kekerasan tersebut. Menurut psikologi sosial, setiap permasalahan itu bisa diliat dari personality, social situation, dan cultural.
2.2 Perkembangan Anak 2.2.1
Pengertian Perkembangan Anak Masa anak usia 6 sampai 13 tahun disebut sebagai masa
elementary school age atau masa usia sekolah dasar karena selama masa ini adalah gang age atau usia berkelompok selain itu masa
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
anak-anak akhir ini disebut sebagai play age atau usia bermain. Masa ini merupakan masa pertumbuhan yang relatif agak lambat dibanding masa sebelumnya. Disamping itu pertumbuhan juga bersifat relatif seragam dalam berbagai aspek. Keadaan ini memungkinkan anak untuk lebih layak memperoleh keterampilan dan memperbaiki keterampilan berbicara sebagai upaya pribadi dan sosial. ampilan dan memperbaiki keterampilan berbicara sebagai upaya pribadi dan sosial. Tiga ciri utama pada masa akhir (late childhood) adalah: pertama, dorongan anak untuk keluar dari rumah dan masuk kedalam kelompok sebaya atau peer group. Lalu yang kedua, keadaan fisik yang mendorong anak untuk masuk kedalam permainan dan perkerjaan yang membutuhkan keterampilan otot-otot. Dan yang ketiga dorongan mental untuk memasuki dunia konsepkonsep, logika, simbol, dan komunikasi secara dewasa. 2.2.2 Tugas-tugas Perkembangan Anak Tugas-tugas perkembangan pada masa ini tumbuh atas dasar ketiga dorongan ini. Dunia sosial anak pada masa ini sudah menjadi meluas, anak sudah keluar dari lingkungan keluarga dan ini telah memasuki masa sekolah. Dalam lingkup ini sekolah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan dirinya. Di sekolah anak memperoleh hubungan sosial secara lebih luas dan memperoleh pengalaman-pengalaman yang baru banyak mempengaruhi dan membantu proses perkembangan khususnya dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Terdapat Sembilan tugas-tugas perkembangan pada masa ini, yaitu berikut ini: (1) Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan mempelajari kehidupan fisik merupakan hal yang penting unntuk permainan dan aktivitas fisik karena hal itu mempunyai nilai yang tinggi pada masa anak-anak. Secara psikologis anak sebaya akan mengajarkanya. (2) Membina sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai suatu organisme yang sedang berkembang (3) Belajar bergaul dengan teman sebaya. (4) Belajar berperan sebagai pria dan wanita secara tepat. (5) Mengembangkan dasar-dasar keterampilan membaca, menulis, dan berhitung dengan baik. (6) Mengembangkan konsepkonsep
yang
diperlukan
dalam
kehidupan
seahri-hari.
(7)
Mengembangkan kata hati, moral, dan skala-skala nilai. (8) Mencapai kemerdekaan pribadi. (9) Mengembangkan sikap terhadap kelompok dan lembaga-lembaga sosial
2.3 Agresivitas 2.3.1 Pengertian Agresivitas Agresivitas adalah perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti seseorang baik secara fisik atau verbal (Myers, 2010). Agresivitas adalah cara untuk melampiaskan rasa frustasi dan sarana mencapai tujuan untuk sengaja menyakiti, membahayakan serta mengancam orang lain (Baron & Byrne, 2000; & Berkowitz, 2003). Perilaku agresif merupakan bentuk simptom dari dampak anak
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis (Hemsi, 2006; Sprinkle,
2007).
Anak
yang
berperilaku
agresif
memiliki
keterampilan sosial yang rendah bahkan mengalami kekerasan atau pengabaian di lingkungannya (Burke, 2008; Osofsky, 2003; & Robert, 1999). Adapun menurut Coccaro (2003) agresivitas sebuah perilaku yang berhubungan, dari mengamuk hingga melakukan tindakan kejahatan, termasuk marah, permusuhan, gampang marah dan impulsif. Kemudian Parke & Slaby (dikutip dalam Eisenberg, 2006) mengatakan,agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud dapat merugikan atau melukai orang lain. Lebih luas Loeber (dikutip dalam Eisenberg, 2006) mendefinisikan agresivitas akan memunculkan perilaku antisosial, yang menyebabkan kerugian secara fisik atau mental, kerusakan barang atau hilang dan kemungkinan bisa menjurus ke arah yang kriminal dengan melanggar hukum. Berdasarkan definisi di atas, Anantasari (2006) menjelaskan ada beberapa ciri perilaku agresif yang perlu diperhatikan. Ciri perilaku agresif tersebut meliputi tiga hal, yaitu menyakiti diri sendiri, orang lain atau objek pengganti. Bahaya kesakitan yang ditimbulkan dapat berupa kesakitan fisik dan psikis. Kedua, tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasarannya. Terakhir, sering kali merupakan perilaku yang melanggar norma sosial.Poin yang perlu disoroti dari ketiga ciri perilaku agresif yang dikemukakan tersebut adalah bahwa perilaku menyakiti ataupun mengganggu orang lain sering bersamaan dengan pelanggaran norma sosial di lingkungan
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
masyarakat. Hal ini dikarenakan bentuk perilaku agresif yang muncul sering menimbulkan keresahan bagi lingkungan sekitar, sehingga dalam hal ini pelanggaran norma sosial dapat dijadikan objektifikasi suatu perilaku dikatakan agresif. Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Bruno dalam Triyanto Pristiwaluyo & M. Sodiq AM (2005) memperluas bentuk perilaku dikatakan agresif atau tidak, yaitu “perilaku agresi ftimbul bila suatu organisme menyerang organisme atau benda lainnya secara fisik atau verbal dengan nada bermusuhan”. Dalam hal ini, suatu perilaku yang menyakiti orang lain secara verbal, seperti mencemooh, mengumpat ataupun berteriak dengan penuh emosi baik itu kepada makhluk hidup ataupun benda lainnya, maka perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai perilaku agresif. Menurut perspektif belajar sosial oleh Bandura, perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman lalu melalui imitasi serta me-modeling. Proses imitasi membutuhkan kerja kognitif
dalam
menangkap
informasi
yang
masuk
dan
mempersepsikannya sehingga anak dapat dapat menyikapi suatu perilaku (Fantuzzo & Mohr, 1999). Proses kerja kognitif juga berkaitan dengan emosi dan perilaku, sehingga apabila anak melihat kekerasan sebagai suatu hal yang biasa maka ia mengalami kesulitan dalam problem solving. Hal ini disebabkan karena anak kekurangan alternative model dalam menyikapai suatu peristiwa bagaimana anak belajar perilaku melalui pengamatan tersebut berdasar pada interpretasi seseorang terhadap suatu pengalamannya (Corey, 2009 &
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Singh, 2001). Anak yang tinggal dalam lingkungan kekerasan akan bertindak cenderung agresif dan meningkat apabila individu tetap mendapat reinforcerment positif. Proses pemahaman suatu peristiwa ini merupakan kemampuan berpikir anak memanipulasi lingkungan sehingga terjadi perubahan lingkungan yang dikehendaki (Alwisol, 2007 & Susantyo, 2011). Anak korban kekerasan dengan kecenderungan agresif memiliki kemampuan verbal minim (Alavinezhad, Mousavi, & Sohrabi, 2014). Hal ini disebabkan oleh kebutuhaan afeksi yang kurang terpenuhi sehingga mempengaruhi regulasi emosinya. Namun anak dengan kekerasan memiliki daya observasi yang tinggi sehingga saat anak melihat role model orangtua ia belajar menemukan respon coping yang sama dengan role model-nya. Sementara Collins Concise Dictionary(dikutip dalam Harding, 2006), agresivitas diartikan sebagai sebuah serangan, tindakan yang merugikan, aktivitas yang tidak sopan, permusuhan atau sikap mental yang dapat merusak. Begitu pula menurut VandenBos (dikutip dalam Marcus, 2007), agresivitas berdasarkan kamus psikologi adalah perilaku yang menimbulkan kerugian, kerusakan atau mengalahkan orang lain. Selain itu Geen (dikutip dalam Russell, 2008) menjelaskan,agresivitas memberikan stimulus aversif dari satu orang ke yang lainnya, dengan maksud melukai dan berekspektasi setelah melukai
membuat
orang lain termotivasi untuk
lolos atau
menghindari stimulus. Selanjutnya Anderson & Bushman (dikutip
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
dalam Russell, 2008) menyimpulkan bahwa agresivitas yaitu perilaku diarahkan pada orang lain yang dilakukan saat itu dengan maksud untuk melukai. Sebagai tambahan pelaku mempercayai kalau perilakunya akan melukai target dan si target menjadi termotivasi untuk menghindari perilaku tersebut. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah perilaku yang memiliki maksud untuk melukai dan menyakiti orang lain, baik secara fisik atau verbal sehingga menyebabkan kerugian dan kerusakan, bahkan dapat memunculkan perilaku antisosial. Dimana perilakunya juga memiliki tujuan untuk mengalahkan orang lain, membuat orang yang menjadi korbannya akan termotivasi untuk lolos dan menghindar. Dan perilaku agresif juga di katakan sebagai perilaku yang cenderung untuk merugikan diri sendiri, orang lain atau pun objek pengganti lainnya. Perilaku agresif juga secara umum merupakan perilaku tersebut cenderung bertentangan dengan norma sosial yang berlaku di sekitar yang berpotensi menimbulkan ketakutan tersendiri bagi objek yang dikenai perlakuan. Akibatnya perilaku tersebut akan memunculkan dampak yang negatif baik fisik maupun psikis.
2.3.2 Faktor yang mempengaruhi perilaku agresif Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresi menurut Hartini (2009) yaitu menurut Sears, dkk (1994) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku agresi, diantaranya : (a) Proses belajar. proses
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
belajar merupakan mekanisme utama yang menentukan perilaku agresi manusia. Bayi yang baru lahir menunjukkan perasaan agresi yang sangat impulsif, tetapi akan semakin berkurang dengan bertambahnya usia, sehingga akan mengendalikan dorongan impuls agresinya secara kuat dan hanya melakukan agresi dalam keadaan tertentu saja. Perkembangan ini terutama disebabkan oleh proses belajar. Menurut teori belajar, perilaku agresi didapatkan melalui proses belajar. Belajar melalui pengalaman, coba-coba (trial and error), pengajaran moral, instruksi, dan pengalaman terhadap orang lain. Oleh karena itu, mempelajari kebiasaan melakukan perilaku agresi dalam beberapa situasi dan menekankan amarah dalam situasi yang lain, bertindak agresi terhadap beberapa orang tertentu, dan tidak terhadap yang lain, adalah penting untuk mengendalikan perilaku agresi. (b) Penguatan atau reinforcement, dalam proses belajar atau pembentukkan suatu tingkah laku, penguatan atau peneguhan memainkan peranan penting bila perilaku tertentu diberi ganjaran, kemungkinan besar individu akan mengulangi perilaku tersebut dimasa mendatang; bila perilaku tersebut diberi hukuman, kecil kemungkinan bahwa ia akan mengulanginya; begitu pula yang terjadi dalam pembentukan perilaku agresi. Agresi terbentuk dan dilakukan berulang kali oleh individu karena dengan agresinya itu individu tersebut mendapatkan hasil atau efek yang menyenangkan, tindakan agresi biasanya merupakan reaksi yang dipelajari, dan penguatan merupakan penunjang agresi yang utama. (c) Imitasi, imitasi adalah proses menuju tingkah laku model, sehingga sering disebutkan juga sebagai modeling. Imitasi yang terjadi setiap jenis
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
perilaku, termasuk perilaku agresi. Semua orang, dan anak khususnya, mempunyai kecenderungan kuat untuk meniru orang lain. Anak tidak melakukan imitasi secara sembarangan, tetapi anak lebih sering meniru tertentu daripada orang lain. Semakin penting, kuasa, berhasil seseorang, dan paling sering ditemui, semakin besar kemungkinan anak dan perilaku orang tualah yang memenuhi kriteria tersebut, sehingga merupakan model utama bagi seorang anak pada masa awal kehidupannya. Orang tua merupakan sumber penguatan dan objek imitasi utama, maka perilaku agresi anak dimasa mendatang sangat tergantung pada cara orang tua memperlakukan anak dan pada perilaku anak itu sendiri. 2.3.3 Tipe dan bentuk agresi Suharmini (2002), menyatakan bahwa “bentuk perilaku agresif ada dua, yaitu agresif verbal atau menyerang dengan kata-kata, memaki dan agresif non verbal atau menyerang dengan perbuatan”. Adapun ahli lain yang mengklasifikasikan perilaku agresif sama halnya dengan conduct disorder, seperti halnya Quay dalam Sunardi (2006) yang mengatakan bahwa perilaku tersebut meliputi perilaku ”tidak mampu mengendalikan diri, misalnya berkelahi, memukul, menyerang orang lain, tidak kooperatif, hiperaktif, bohong, tidak jujur, berbicara kasar, iri, suka bertengkar, tidak bertanggung jawab, tidak dapat diandalkan, mencuri, dan mengganggu”. Pendapat Quay yang dipaparkan sebelumnya didukung oleh Hops, Beickel, & Walker (dikutip dalam Heward & Orlansky, 1988) yang mendaftar beberapa perilaku di bawah ini merupakan bentuk perilaku
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
agresif, yaitu: meninggalkan bangku, berteriak, berkeliling kelas, mengganggu teman, memukul atau berkelahi, mengabaikan guru, membantah, berkelahi yang berlebihan, mencuri, merusak properti, tidak patuh pada perintah, berdebat, mengabaikan guru lain, tidak jujur, pemarah, tidak menyelesaikan tugas. Perilaku-perilaku tersebut terjadi dengan frekuensi yang sering di dalam kelas dan di segala kondisi. Untuk itu, perilaku anak yang agresif akan semakin menyulitkan guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas dan keefektifan pembelajaran pun akan berkurang. Byrne membedakan bentuk agresivitas menjadi dua yaitu agrsivitas fisik yang dilakukan dengan cara melikai atau menyakiti badan dan agresivitas verbal yaitu agresi yang dilakukan dengan mengucapkan katakata kotor atau kasar. Buss mengklasifikasikan agesivitas yaitu agresivitas secara fisik dan verbal, secara aktif maupun pasif, secara langsung maupun tidak langsung. Tiga kalsifikasi tersebut masing-masing saling berinteraksi, sehingga menghasilkan bentuk-bentuk agresivitas. Empat
pendapat ini dikemukakan oleh Buss (1978) dikutip dalam
Dayakisni & Hudaniah (2009) ada 8 agresivitas yaitu: (1) Agresivitas fisik aktif yang dilakukan secara langsung misalnya menusuk, mendorong, memukul, mencubit. (2) Agresivitas fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menjebak untuk mencelakakn orang lain, merusak harta korban, dan lain-lain. (3) Agresivitas fisik pasif yang dilakukan secara langsung misalnya tidak memberikan jalan untuk orang lain, tidak
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
peduli, apatis, dan masa bodoh. (4) Agresivitas fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menolak melakukan sesuatu. Schneiders (2004) menjelaskan aspek-aspek perilaku agresif yaitu: (1) Otoriter yaitu orang memiliki ciri kepribadian kaku dalam memegang nilai-nilai
konvensional
dan
tidak
bisa
toleransi
terhadap
kelemahankelemahan yang ada dalam diri sendiri maupun orang lain. (2) Superior yaitu individu merasa yang paling baik di banding dengan individu lain. (3) Egosentris yaitu individu mengutamakan keperluan pribadi tanpa memperhatikan kepentingan diri sendiri seperti yang ditunjukan dengan kekuasaan dan kepemilikan. (4) keinginan untuk menyerang baik terhadap, benda maupun manusia, yaitu mempunyai kecenderungan untuk melampiaskan keinginannnya dan perasaanya yang tidak nyaman ataupun tidak puas pada lingkungan disekitarnya dengan melakukan penyerangan terhadap individu ataupun benda lain disekitarnya
http://digilib.mercubuana.ac.id/z