BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekerasan dalam Rumah Tangga 2.1.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Pasal 1 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berkaitan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan rumah tangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan keluarga dalam rumah. Sehingga dapat dinyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu perlakuan yang dialami oleh sebuah keluarga sehingga menimbulkan potensi korban tidak berkembang. Menurut Hasbianto bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk penganiayaan secara fisik maupun emosional atau psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga (Sugihastuti, 2007:173). Menurut Pasal 1 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2004 meliputi: 1. Suami, istri, dan anak, 2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, 3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dimana orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam kalimat sebelumnya adalah dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (Sinar Grafika, 2009 : 3). Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan sebuah rumusan yang kemudian disinonimkan dengan penyiksaan terhadap istri, sehingga pada akhirnya banyak sekali penelitian yang kemudian difokuskan pada kekerasan terhadap istri. Kekerasan terhadap istri bukanlah isu kekerasan biasa, melainkan sebuah gambaran mengenai relasi kekuasaan yang tidak seimbang dengan sebuah hubungan. Laki-laki mempertahankan otoritas didalam mengontrol, mendominasi, dan upaya lainnya sama seperti bagaimana laki-laki melakukannya dalam lingkup masyarakat ( Shinta & Bramanti, 2007: 35). Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan kekerasan berbasis gender (gender based violence). Bentuk kejahatan ini merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki, tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik dan kejahatan yang berdalih kehormatan. Kekerasan kategori ini muncul akibat pemposisian perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan
Universitas Sumatera Utara
mendapat perlindungan dari seseorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya kemudian suaminya (Relawati, 2011: 95). Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk sekaligus dilembagakan secara sosial. Hal ini, membuat masyarakat menentukan batas-batas kepantasan dan melabelkan peran-peran streotip bagi laki-laki dan perempuan. Apa yang ditentukan oleh masyarakat ini sudah berjalan berabad-abad lamanya, dan di anggap kodrat yang tidak bisa berubah, oleh sebab itu seseorang hanya bisa eksis dan dianggap benar apabila mengikuti batas-batas dan label-label sosial yang berlaku. Sebaliknya, seseorang akan merasa bersalah dan dipersalahkan apabila keluar dari batas-batas dan label-label sosial tersebut (Luhulima, 2000 : 8). Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan persoalan besar yang ditandai oleh sikap diam dan tidak ada penyelesaian masalah. Hal ini terkait dengan nilai-nilai budaya yang melekat dalam konsep keluarga, bias bersumber dari ajaran agama, budaya dan mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat. Falsafah dalam suatu budaya Indonesia yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan menutup rapat aib keluarga seringkali menjadi alasan sebuah keluarga untuk tidak membuka persoalan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga (Relawati, 2011: 14). 2.1.2 Bentuk- Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Ada 4 bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu: 1. Kekerasan Fisik Menurut Pasal 6 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan fisik adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Universitas Sumatera Utara
Adapun klasifikasi lain dari kekerasan fisik yaitu; A. Kekerasan fisik berat 1. Cedera berat 2. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari 3. Pingsan 4. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati 5. Kehilangan salah satu panca indera. 6. Mendapat cacat. 7. Menderita sakit lumpuh. 8. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih 9. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan 10. Kematian korban. B. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: 1. Cedera ringan 2. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat 3. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat. 2. Kekerasan Psikis Menurut Pasal 7 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan psikis adalah sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Universitas Sumatera Utara
Adapun klasifikasi lain dari kekerasan Psikis yaitu; A. Kekerasan psikis berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut: 1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun. 2. Gangguan stres pasca trauma. 3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis) 4. Depresi berat atau destruksi diri 5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya 6. Bunuh diri B. Kekerasan psikis ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, penguntitan, ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis, yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal berikut ini:
1. Ketakutan dan perasaan terteror
Universitas Sumatera Utara
2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak 3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual 4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis) 5. Fobia atau depresi temporer 3. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual dalam rumah tangga (marital rape) seringkali terjadi tetapi dianggap tidak mungkin sehingga selalu diabaikan. Menurut Pasal 8 dari UndangUndang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan seksual yaitu: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Adapun klasifikasi lain dari Kekerasan Seksual yaitu; A. Kekerasan seksual berat, berupa: 1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan. 2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki. 3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
Universitas Sumatera Utara
4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu. 5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi. 6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
B. Kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. C. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat. 4. Kekerasan Ekonomi Kekerasan ekonomi mencakup penelantaran dalam rumah tangga dan juga mengakomodasi pelarangan bekerja yang menyebabkan ketergantungan ekonomi. Menurut Pasal 9 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan ekonomi meliputi: a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. b. Penelantaran
juga berlaku
bagi
setiap
orang
yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk
Universitas Sumatera Utara
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut . Adapun klasifikasi lain dari Kekerasan Ekonomi yaitu; A. Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa: 1. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran. 2. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya. 3. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban. B. Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya (Shinta & Bramanti, 2007: 12-16). 2.1.3 Faktor- Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Secara Teoritis. Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli. Beberapa ahli mendefenisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa, yang menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya, secara khusus Neil Alan dan kawan-kawan. membatasi ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak) dan wife abuse (kekerasan kepada isteri) sebagai korban, namun secara umum pola tindak kekerasan terhadap anak maupun isteri sesungguhnya sama. Penyebab tinggi angka kekerasan dalam rumah tangga masih belum diketahui secara pasti karena kompleksnya
Universitas Sumatera Utara
permasalahan, tapi beberapa ahli sudah melakukan penelitian untuk menemukan apa sebenarnya menjadi faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga. 2. Secara Empiris Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan. Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan memperlihatkan kecenderungan peningkatan untuk mengungkap kasus kekerasan dalam rumah tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih banyak kasus yang sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga. Padahal tindak kekerasan yang dilakukan sudah tergolong tindak pidana. Malu mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau persoalan anak dan perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban kekerasan dalam rumah tangga di negara kita (Shinta & Bramanti, 2007: 19-20). Setiap bentuk kekerasan mempunyai faktor penyebab yang dapat sama namun dapat pula berbeda. Kekerasan dalam Rumah Tangga secara umum terjadi karena ada faktor stress (tekanan) yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan pada orang lain. Stress banyak terjadi karena faktor ekonomi, psikologis, pola asuh semasa anak-anak dan lain-lain. Adapula penyebab terjadinya kekerasan justru karena adanya anggapan bahwa korban adalah pihak yang seharusnya boleh diperlakukan seperti kemauannya. Adapula faktor lain yang menyebabkan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu; 1.
Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara
Universitas Sumatera Utara
2.
Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-aki harus kuat, berani serta tanpa ampun
3.
KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri
4.
Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan Penyebab yang khas dari Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah anggapan-
anggapan gender, telah menjadi akibat yang khas pula terhadap korbannya. Para perempuan yang menjadi korban cendrung menyalahkan diri, merasa sebagai pihak yang telah lalai menjalankan kewajiban, merasa kotor dan tak berdaya. Pihak korban benar-benar menginternalisasi keyakinan-keyakinan umum bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan sehingga kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi. Korban menganggap bahwa pengalaman yang dialami bukan kekerasan, dan karenanya tidak pernah berusaha mengungkapkannya (Relawati, 2011: 14). 2.2 Advokasi dalam Rangka Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga 2.2.1 Pengertian Advokasi Advokasi (LBH Malang, 2008:7) adalah usaha sistimatis secara bertahap (inkremental) dan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi profesi untuk menyuarakan aspirasi anggota, serta usaha mempengaruhi pembuat kebijakan publik untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada kelompok tersebut, sekaligus mengawal penerapan kebijakan agar berjalan efektif. Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial), Advokasi adalah upaya memberikan pendampingan, perlindungan dan pembelaan terhadap seseorang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya.
Universitas Sumatera Utara
Advokasi juga merupakan langkah untuk merekomendasikan gagasan kepada orang lain atau menyampaikan suatu issu penting untuk dapat diperhatikan masyarakat serta mengarahkan perhatian para pembuat kebijakan untuk mencari penyelesaiannya
serta
membangun
dukungan
terhadap
permasalahan
yang
diperkenalkan dan mengusulkan bagaimana cara penyelesaian masalah tersebut (sumber: http://awwalinazulfa.wordpress.com/2012/12/09/apa-itu-advokasi/ diakses pada tanggal 28 februari 2014, pukul 14.30 WIB). Sasaran advokasi dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu: a. Advokasi Kasus (case advocacy) Merupakan kegiatan yang dilakukan lembaga sosial untuk membantu klien agar mampu menjangkau sumber atau pelayanan social yang telah menjadi haknya. Alasannya terjadi diskriminasi atau ketidakadilan yang dilakukan oleh lembaga, dunia bisnis atau kelompok professional terhadap klien dan klien sendiri tidak mampu merepon situasi tersebut dengan baik. Lembaga sosial berbicara, berargumen, dan bernegosiasi atas nama klien individual. Karenanya advokasi ini sering disebut dengan advokasi klien (client advokasi). Ada beberapa hal yang perlu dipahami sebelum melakukan advokasi klien, yaitu: 1. Yakinkan bahwa klien anda menginginkan anda menjadi advokatnya. Jangan terlibat dalam advokasi, jika anda tidak memiliki persetujuan secara eksplisit (tertulis) dengan klien anda dan klien anda memahami baik potensi manfaatnya maupun resikonya. Sedapat mungkin, libatkan klien dalam semua keputusan yang berkenaan dengan tindakan-tindakan yang akan anda ambil. 2. Sadarilah bahwa advokasi anda dapat merusak hubungan anda atau hubungan lembaga anda dengan lembaga atau profesional lainnya, dan rusaknya hubungan ini dapat menimbulkan masalah pada masa mendatang ketika anda
Universitas Sumatera Utara
membutuhkan kerja sama mereka untuk melayani klien lainnya. Jangan menggunakan advokasi jika anda belum mencoba pendekatan dengan resiko yang lebih kecil atau kurang kemungkinannya untuk mempolarisasikan pihak-pihak yang terpengaruh. 3. Keputusan anda untuk memainkan peran sebagai advokat klien harus muncul sebagai keinginan tulus untuk memberikan pelayanan kepada klien anda dan bukan dari keinginan untuk menghukum atau memalukan lembaga atau keinginan untuk memperbesar diri. 4. Sebelum anda memilih taktik konfrontasi ini, yakinkan anda memahami fakta yag terjadi. Jangan keputusan anda didasarkan pada deskripsi sepihak tentang apa dan mengapa sesuatu terjadi. Sadarilah bahwa klien kadang-kadang dapat saja memiliki pemahaman atau interpretasi yang salah terhadap penjelasan yang
diberikan
oleh
profesional
dan
perwakilan
lembaga.
Jangan
mendasarkan rencana advokasi anda pada asumsi bahwa anda memahami kebijakan, prosedur, atau kriteria elektabilitas yang lain. Dapatkan faktanya sebelum anda memutuskan bagaimana untuk memulai atau meneruskan. 5. Bila anda memutuskan bahwa sebuah taktik advokasi diperlukan, aturlah sebuah pertemuan dengan lembaga atau perwakilan program yang tepat. Pertemuan wawan muka hampir selalu lebih efektif daripada telepon dan surat. Akan tetapi, sebuah surat yang menggambarkan situasi klien anda dan kepedulian anda mungkin diperlukan sebelum pertemuan wawan muka. Hormatilah rantai komando (misal, jangan meminta berbicara dengan supervisor sebelum anda berbicara dengan pekerja sosial lapangan yang sudah kontak dengan klien anda, jangan meminta berbicara dengan
Universitas Sumatera Utara
administrator sebelum anda berbicara dengan supervisor untuk pekerja sosial lapangan). 6. Sebelum anda berbicara dengan wakil lembaga, tulislah (catat) dengan pasti apa yang akan anda katakan dan pertanyaan-pertanyaan yang akan anda tanyakan. Mulailah percakapan anda dengan meminta penjelasan secara santun, mengapa klien anda ditolak untuk mendapatkan pelayanan atau penyembuhan dengan cara seperti itu. Komunikasikan kepedulian atau kepentingan anda secara faktual dan jangan kasar, tetapi berbicaralah dengan nada yang menunjukkan perasaan yang kuat pada masalah tersebut. Buatlah rekaman tertulis tentang kepada siapa anda berbicara, posisi mereka dan respons mereka, serta waktu, tanggal dan tempat berkomunikasi. 7. Informasi yang anda kumpulkan menunjukkan bahwa lembaga berkeinginan untuk memberikan pelayanan yang diminta oleh klien anda, tetapi tidak bisa karena persoalan teknis atau prosedural yang tidak masuk akal atau karena persyaratan kebijakan, mintalah informasi bagaimana keputusan tersebut dapat dipertimbangkan kembali dan kepada siapa anda dan klien anda harus berbicara. Tanyakanlah apakah administrator, anggota dewan pengurus, atau komisi legislatif mengetahui kesulitan yang dihadapi oleh klien anda atau mungkin konsultasikan bagaimana masalah ini dapat dipecahkan. 8. Informasi yang anda kumpulkan menunjukkan bahwa lembaga atau program pada faktanya mengancam klien anda dengan cara yang tidak adil dan tidak tepat, jelaskanlah bahwa jika masalah tersebut tidak dapat dipecahkan dan diperbaiki, anda akan membawa kepentingan anda tersebut pada mereka yang berada di rantai komando yang lebih tinggi atau membuat komplein formal.
Universitas Sumatera Utara
Pertimbangkanlah untuk menggunakan ekspresi marah yang terukur untuk mendemonstrasikan pemecahan anda. 9. Jika tindakan lanjutan diperlukan, anda akan memerlukan nasihat hukum sebelum melanjutkan. Sebagai persiapan untuk naik banding atau komplain formal, anda akan memerlukan dokumentasi secara rinci tentang apa yang terjadi dan apa yang sudah dicoba, tahap demi tahap, untuk memecahkan masalah tersebut. Anda akan memerlukan nama, tanggal dan isi semua komunikasi dan salinan semua surat yang dikirimkan dan yang diterima. b. Advokasi kelas (class advocacy) Menunjuk pada kegiatan – kegiatan atas nama kelas atau kelompok untuk menjamin terpenuhinya hak – hak warga dalam menjangkau sumber atau memperoleh kesempatan – kesempatan. Focus advokasi kelas adalah mempengaruhi atau melakukan perubahan – perubahan hukum dan kebijakan public pada tingkat lokal maupun nasional. Advokasi kelas melibatkan proses – proses politik yang ditujukan untuk mempengaruhi keputusan – keputusan pemerintah yang berkuasa. Pekerja social biasanya bertindak sebagai perwakilan sebuah organisasi, bukan sebagai praktisi mandiri. Advokasi kelas umumnya dilakukan melalui koalisi dengan kelompok dan organisasi lain yang memiliki agenda sejalan. Beberapa hal yang perlu dipahami sebelum melakukan advokasi kelas, yaitu: 1. Sadarilah bahwa advokasi dapat membantu dalam menciptakan perubahanperubahan yang diperlukan dalam hukum dan perundang-undangan, kebijakan dan program. Membuat perubahan adalah sulit, tetapi tidak mustahil. 2. Ingatlah bahwa anda tidak dapat melakukannya sendiri. Pekerja-pekerja sosial individual akan membutuhkan bekerja sama dengan yang lain. Sebuah
Universitas Sumatera Utara
kelompok memiliki lebih banyak kekuatan daripada individual, dan beberapa organisasi yang bekerja sama memiliki lebih banyak kekuatan daripada satu organisasi yang bekerja sendiri. Bekerja dengan organisasi yang lain akan berarti bahwa organisasi anda sendiri harus membagi beberapa sumberdaya, membuat beberapa kompromi, dan mungkin melakukan sesuatu secara berbeda. Akan tetapi dalam jangka waktu panjang, organisasi anda akan mengerjakan lebih banyak sebagai bagian dari koalisi daripada bekerja sendiri. 3. Perbaikan-perbaikan banyak diperlukan dalam sistem pelayanan kemanusiaan kita. Jika anda tidak dapat mengerjakan segala sesuatu yang diperlukan, anda harus memutuskan yang mana yang harus diprioritaskan. Pilihlah perkara anda secara hati-hati. Jika anda atau organisasi anda mengambil beberapa perkara pada satu waktu, anda mungkin akan membaginya menjadi terlalu kecil. Lebih baik membuat perolehan yang nyata hanya dalam satu area daripada memperoleh secara minimal atau beberapa hal mengalami kegagalan sama sekali. 4. Juga penting untuk memilih sebuah perkara dimana kemungkinan untuk berhasilnya besar. Realistislah! Jangan buang-buang waktu dan enerji organisasi anda untuk perkara yang hilang. Pengalaman keberhasilan menimbulkan harapan dan perasaan kemungkinan adanya keberhasilan yang lain. Jika anggota-anggota sebuah organisasi dapat melihat bahkan keberhasilan sekecil apapun, mereka akan lebih menginginkan untuk menginvestasikan dirinya dalam upaya advokasi di masa mendatang. 5. Advokasi yang berhasil dibangun di atas fondasi analisis dan perencanaan yang hati-hati. Adalah penting untuk mendefinisikan apa yang anda lihat
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu masalah dan kajian masalah secara cermat, sebelum anda memutuskan apa yang dilakukan untuk hal tersebut. Jangan memulai suatu usaha mengubah sesuatu sebelum anda mengetahui dengan pasti apa yang harus dirubah, mengapa harus dirubah, dan apa yang akan menyertai perubahan tersebut. 6. Sebelum anda bertindak, lakukan penilaian yang cermat tentang apa yang akan diperlukan berkenaan dengan waktu, enerji, uang, dan sumberdaya lainnya untuk mencapai tujuan anda. Apakah anda memiliki sumberdaya? Jika tidak, alangkah baiknya untuk menurunkan skala tujuan anda atau menunggu sampai anda terorganisasi secara lebih baik dan lebih mampu untuk mencapai tujuan anda. 7. Cobalah untuk memahami siapa yang menjadi oposan bagi anda. Akan selalu terdapat penolakan terhadap perubahan, dan analisis terhadap situasi akan mencakup pemahaman tentang mengapa ada penolakan. Advokat perlu kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam sepatu oponen (misalnya memiliki empati). Orang selalu memiliki alasan untuk menentang perubahan. Anda mungkin tidak setuju dengan alasannya, tetapi anda harus membuat mereka memahami bahwa anda sedang menggambarkan suatu cara untuk menanggulangi penolakan dengan berhasil. 8. Advokasi yang berhasil memerlukan kedisiplinan diri. Salah satu dari banyak kesalahan yang paling serius dilakukan seseorang dalam advokasi adalah bertindak impulsif. Jika itu terjadi, organisasi yang lain dalam koalisi kemungkinan akan menarik diri atau menjadi enggan untuk bekerja sama sebab mereka takut kesembronoan anda akan menyebabkan kerusakan atau mengganggu organisasi mereka atau terhadap koalisi. Demikian juga, jika
Universitas Sumatera Utara
anda bertindak impulsif, mereka yang menentang anda dapat lebih mudah mendiskreditkan organisasi anda. 9. Advokasi merupakan penggunaan kekuatan (power). Anda mungkin tidak memiliki kekuatan sebanyak yang anda inginkan, tetapi jangan mengabaikan/ meremehkan kekuatan yang anda miliki. Pada hakekatnya, kekuatan (power) merupakan kemampuan untuk membuat orang lain berperilaku dengan cara yang seperti anda inginkan. Berpikirlah bahwa kekuatan merupakan sumber daya yang dapat digunakan atau dihabiskan untuk tujuan tertentu (sumber: http://awwalinazulfa.wordpress.com/2012/12/09/apa-itu-advokasi/
diakses
pada tanggal 28 februari 2014, pukul 14.30 WIB). Adapun yang menjadi tujuan advokasi yaitu : a. Perlindungan terhadap korban KDRT (korban langsung maupun korban tidak langsung) b. Penindakan hukum terhadap pelaku KDRT c. Mencari penyelesaian alternatif kasus KDRT. d. Peran pemerintah dan masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap korban KDRT. 2.2.2 Jenis – Jenis Advokasi Scheneider mengemukakan 4 jenis advokasi yaitu : 1. Advokasi klien ( client advocacy). Tujuan akhirnya adalah untuk membantu klien tentang bagaiman klien berjuang memenangkan pertarungan terhadap hak – haknya di lembaga lain dan system pelayanan social yang ada.
Universitas Sumatera Utara
2. Advokasi masyarakat (cause advocacy). Advokasi lembaga social selalu membantu klien individu, dan keluarga dalam memperoleh pelayanan. Jika terdapat masalaha yang mempengaruhi kelompok yang lebih besar maka advokasi ini yang paling sesuai digunakan. 3. Advokasi Legislatif (Legislative Advocacy), Advokasi jenis ini biasanya dilakukan untuk mempengaruhi proses pembuatan suatu undang – undang. 4. Advokasi Administrasi (Administrative advocacy). Advokasi jenis ini bertujuan untuk memperbaiki atau mengoreksi keluhan – keluhan administrative dan mengatasi masalah – masalah administrative (sumber:
http://awwalinazulfa.wordpress.com/2012/12/09/apa-itu-advokasi/
diakses pada tanggal 28 februari 2014, pukul 14.30 WIB). Yayasan Pusaka Indonesia dalam memberikan advokasi terhadap korban Kekerasan dalam Rumah tangga bertujuan untuk mendampingi dan melindungi hakhak korban kekerasan yang termarjinalkan. Paling tidak dari cita- cita ataupun tujuan yang hendak dicapai adalah melakukan upaya- upaya mendorong peningkatan perhatian dan tanggung jawab baik itu kepada pemerintah, masyarakat dan keluarga korban. 2.2.3 Pentingnya Advokasi Kebijakan Webster’s New Collegiate Dictionary mengartikan advokasi sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan. Advokasi dapat pula diterjemahkan sebagai tindakan mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang (Wadong, 2000: 64). Advokasi pada hakekatnya suatu pembelaan terhadap hak dan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, sebab yang diperjuangkan dalam advokasi
Universitas Sumatera Utara
tersebut adalah hak dan kepentingan kelompok masyarakat (public interest) dalam hal ini permasalahan sosial (Wadong, 2000: 64). Dalam kedudukannya sebagai organisasi atau lembaga, maka yang dimaksud adalah advokasi kebijakan publik, yaitu tindakan-tindakan yang dirancang untuk merubah kebijakan-kebijakan publik tertentu, meliputi yaitu: a. Hukum dan perundang-undangan b. Peraturan c. Putusan pengadilan d. Keputusan dan Peraturan Presiden e. Platform Partai Politik f. Kebijakan-kebijakan institusional lainnya (Wadong, 2000: 65). Advokasi merupakan upaya untuk mengingatkan dan mendesak negara serta pemerintah untuk selalu konsisten dan bertanggung jawab melindungi dan mensejahterakan seluruh warganya. Ini berarti sebuah tanggung jawab para pelaksana advokasi untuk ikut berperanserta dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan negara (http://www.kadin-indonesia.or.id, Diakses Pada Tanggal 15 Maret 2014, Pada Pukul 20.15 WIB). Untuk mencapai tujuan yang diinginkan berbagai bentuk kegiatan advokasi dilakukan sebagai upaya memperkuat posisi tawar (bargaining position) asosiasi atau organisasi masyarakat. Bentuk-bentuk kegiatan advokasi antara lain pendidikan dan penyadaran serta pengorganisasian kelompok-kelompok lembaga, pemberian bantuan hukum yang mengedepankan pembelaan hak-hak dan kepentingan organisasi masyarakat, serta kegiatan me-lobby ke pusat-pusat pengambilan keputusan (http://www.kadin-indonesia.or.id, Diakses Pada Tanggal 15 Maret 2014, Pada Pukul 20.15 WIB).
Universitas Sumatera Utara
Advokasi kebijakan publik termasuk pula menyuarakan kepentingan dan mencari dukungan terhadap posisi tertentu berkenaan dengan kebijakan publik tertentu. Posisi ini dapat berupa persetujuan, penghapusan, penolakan ataupun perubahan kebijakan yang ada. Oleh karenanya, advokasi kebijakan publik dapat berupa tindakan penentangan terhadap posisi pemerintah dalam isu-isu tertentu, sehingga dapat memperbaiki kebijakan publik yang perlu dirubah (http://www.kadinindonesia.or.id, Diakses Pada Tanggal 15 Maret 2014, Pada Pukul 20.15 WIB). 2.2.4 Pengertian Korban Korban menurut Arief Gosita (dalam Mansur & Gultom, 2006: 46) adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencarai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. Pengerian lain, Menurut Muladi (dalam Mansur & Gultom, 2006: 47) korban (victims) adalah orang- orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak- haknya yang melanggar hukum pidana di masing- masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Adapun menurut undang- undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (dalam Mansur & Gultom, 2006: 47) korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Dengan mengacu pada pengertian- pengertian korban tersebut, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan- perbuatan yang menimbulkan kerugian/ penderitaaan bagi diri/ kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di
Universitas Sumatera Utara
dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang- orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya. Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kekerasan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan. Tetapi pihak yang dirugikan tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara materiil maupun secara mental (Mansur & Gultom, 2006: 48-49). 2.2.5 Perlindungan dan Hak- Hak Korban Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik yang diperoleh dari berbagai media massa, cetak maupun elektronik. Peristiwa- peristiwa KDRT tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai penderitaan/ kerugian bagi korban dan juga keluarganya. Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya KDRT ini perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya preventif maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten. Berkaitan dengan korban KDRT, perlu dibentuk suatu lembaga khusus yang menanganinya. Namun, pertama- tamaperlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak- hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari korban KDRT yang menimpa dirinya. Hak merupakan suatu yang bersifat pilihan (optional), artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal (mansur & gultom, 2006: 51-52).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 10 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga
(KDRT),
korban
berhak
mendapatkan: a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokasi, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan e. Pelayanan bimbingan rohani (Mansur & Gultom, 2006: 53-54). 2.2.6 Kewajiban Korban Sekalipun hak- hak korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) telah tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (finansial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban KDRT diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kekerasan dapat dicapai secara signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban KDRT, antara lain : a. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana b. Kewajiban untuk memeberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya KDRT kepada pihak yang berwenang c. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kekerasan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya
Universitas Sumatera Utara
d. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya penanggulangan KDRT e. Kewajiban untuk bersedia dibina dan membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi (Mansur & Gultom, 2006: 54-55). 2.2.7 Peran dari Berbagai Stakeholders 1. Polisi, Advokat, Pekerja Sosial, Tenaga Kesehatan, dan Relawan Pendamping Korban : a. Memberikan perlindungan sejak menerima/ mengetahuilaporan KDRT dan memintakan surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan b. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan kekerasan yang diterima c. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban d. Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping e. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban f. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak- hak korban dan proses peradilan 2. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan KDRT, perlindungan dan pelayanan terhadap korban. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, berkewajiban: a. Penyediaan ruang pelayanan khusus di Kantor Kepolisian, Aparat, Tenaga Kesehatan, Pekerja Sosial dan Pembimbing Rohani
Universitas Sumatera Utara
b. Pembuatan dan pengembalian sistem serta mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban c. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban d. Untuk menyelenggarakan upaya pelayanan terhadap korban tersebut, pemerintah dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya. 3. Masyarakat Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya- upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana b. Memberikan perlindungan kepada korban c. Memberikan pertolongan darurat d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan (Shinta & Bramanti, 2007: 19). 2.3 Upaya yang Dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia Yayasan Pusaka Indonesia yang bergerak dalam proses advokasi terhadap anak dan perempuan yang menjadi korban tindakan kejahatan, dalam proses advokasi biasanya dilakukan dengan 2 (dua) cara: 1. Mendatangi Calon Klien Dari banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (anak dan perempuan sebagai korban) telah di dampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia, namun semakin terasa banyak kasus yang tidak bisa di dampingi karena semata- mata berbagai macam proses terkait. Tidak jarang Yayasan Pusaka Indonesia harus menjemput sebuah
Universitas Sumatera Utara
kasus ke tempat kejadian, khususnya ketika suatu dianggap sangat mendesak dan harus segera di dampingi. Pemberian advokasi yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia kepada korban KDRT dengan cara mendatangi baik secara langsung pada korban tersebut atau melalui koran (media massa) atau mitra- mitra Yayasan Pusaka Indonesia dalam hal ini seperti kepolisian, kejaksaan bahkan hakim dan lembaga- lembaga swadaya lain yang mengetahui peran dan kedudukan Yayasan Pusaka Indonesia (SPO Penangan Kasus Yayasan Pusaka Indonesia, 2010: 12). 2. Menunggu Calon Klien Prosedur pemberian advokasi dalam hal menunggu calon klien (korban KDRT) yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia dapat dikatakan prosedur yang sederhana di dahului dengan permohonan yang dilakukan keluarga, korban dan Yayasan Pusaka Indonesiaakan merespon dengan cepat menyangkut penanganan kasus tersebut. Upaya yang selanjutnya dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia dalam mendampingi klien, yaitu; 1. Investigasi adalah serangkain tindakan untuk mengumpulkan fakta- fakta dalam mencari kebenaran informasi tentang keberadaan korban/ pelaku. Investigasi dapat dilakukan berdasarkan penerimaan laporan langsung (berasal dari keluarga/ korban), penerimaan laporan tidak langsung (berasal dari LSM lain/ media massa/ rujuakan polisi), meliputi : a. Kunjungan kerumah korban; untuk mengetahui tempat tinggal korban dan kondisi sosial serta ekonomi keluarga.
Universitas Sumatera Utara
b. Meminta korban/ keluarga untuk melakuka kunjungan ke Yayasan Pusaka Indonesia, apabila investigasi yang dilakukan berdasarkan pengadaan tidak langsung; untuk mengetahui posisi kasus yang dialami korban (kronologi kasus). 2. Penempatan Korban/ Penjemputan Korban adalah tindakan yang dilakukan untuk memindahkan korban dari lokasi kejahatan/ pelaku dan memberi rasa aman kepada korban, meliputi : a. Melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian; untuk mendapatkan bantuan/ perlindungan hukum b. Menempatkan korban di rumah aman sementara (shelter) untuk menjauhkan korban dari pelaku. 3. Pemeriksaan Kondisi Kesehatan adalah melakukan langkah- langkah medis yang dipandang perlu untuk korban, misalnya Visum et Repertum, rekan medik ( bagi korban kekerasan fisik dan seksual), meliputi : a. Membawa korban ke Rumah Sakit (RS), dengan merujuk ke Pusat Layanan Terpadu di RS polda; untuk mengetahui kondisi kesehatan korban; adapun pendampingan saat pemeriksaan kesehatan dengan tujuan agar korban serasa terlindungi. 4. Konseling/ pemberian bimbingan psikologis adalah tindakan yang dilakukan sebagai upaya penguatan psikologis korban, meliputi : a. Melakukan wawancara terhadap korban, berkaitan dengan latar belakang masalah, kejadian kasus, sampai harapan- harapan korban ke depannya.
Universitas Sumatera Utara
5. Pendampingan dalam proses hukum (Litigasi) adalah langkah hukum berupa pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), apabila pihak keluarga korban menginginkan kasusnya dilanjutkan, meliputi : a. Proses hukum mulai dari polisi, jaksa sampai pengadilan; untuk memperoleh bantuan/ perlindungan hukum. 6. Proses Perlindungan adalah langkah kepada korban yang kasusnya telah selesai ditangani, meliputi: a. Rehabilitasi: untuk pemulihan kondisi korban (penguatan secara psikologis, apabila diperlukan oleh korban) b. Reintegrasi : untuk mengembalikan korban kepada lingkungan keluarga, masyarakat dan pendidikan 7. Monitoring adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi ( fisik, psikologis, sosial, ekonomi) dari korban, meliputi: a. Melakukan kunjungan ke rumah korban, atau melalui telepon; untuk mengetahui kondisi korban selanjutnya, memantau perkembangan dari modal usaha yang telah diberikan b. Mengikutsertakan korban dalam kegiatan- kegiatan yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia (Yayasan Pusaka Indonesia, 2010: 44). 2.4 Peran Pekerja Sosial terhadap Masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Charles Zastrow (dalam Sukoco, 2001: 7) Pekerjaan sosial merupakan kegiatan profesional untuk membantu individu-individu, kelompokkelompok dan masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai tujuan
Universitas Sumatera Utara
Beberapa peranan Pekerja Sosial yang saling berkaitan, menunjang dan melengkapi dalam penyelesaian masalah kekerasan dalam rumah tangga tercakup dalam aspek-aspek sebagai berikut: a.
Informasi,
yaitu
menghimpun,
mengembangkan,
memanfaatkan
serta
menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penanganan masalah kekerasan dalam rumah tangga. b. Partisipasi, yaitu mengambil langkah-langkah aktif asilitas, proaktif dalam penyediaan sumber yang dibutuhkan oleh sasaran serta pengembangan pendekatan penanggulangan masalah dan peningkatan kesejahteraan sasaran. c. Pemberdayaan, yaitu meningkatkan pengertian, kesadaran, tanggungjawab,
komitmen, partisipasi dan kemampuan semua pihak yang terkait dengan penanganan masalah kekerasan dalam rumah tangga. d. Fasilitas, yaitu memberikan kemudahan berupa sumber dan peluang bagi organisasi dan lembaga penyedia pelayanan sosial dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga. e. Asistensi, yaitu menyediakan bantuan, baik material maupun konsultasi, bagi organisasi dan lembaga penyedia pelayanan sosial dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga. f. Mediasi, yaitu menjalurkan kepentingan berbagai pihak, baik kepentingan antar organisasi atau lembaga penyedia peayanan maupun antara pihak yang membutuhkan dengan pihak pemilik sumber, sehingga tercipta suatu sistem yang baik untuk penanganan kekerasan dalam rumah tangga. g. Kemitraan, yaitu menjalin hubungna dengan pemilik sumber serta menyalurkan hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi atau lembaga penyedia pelayanan dengan pemilik sumber.
Universitas Sumatera Utara
h.
Mobilisasi,
yaitu
menghimpun,
mendayagunakan,
mengembangkan
dan
mempertanggung jawabkan sumber-sumber yang dibutuhkan dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga (Solekhah, 2009 : 8). Adapun Berdasarkan Pasal 22 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dalam memberikan pelayanan terhadap korban, pekerja sosial harus : 1. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban. 2. Memberikan informasi mengenai hak- hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penempatan perintah perlindungan dari pengadilan 3. Mengantar korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif 4. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial, yang dibutuhkan korban 5. Seluruh pelayanan ini dilakukandi rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat. 2.5 Kerangka Pemikiran Advokasi yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia secara khusus adalah pada tataran pendampingan dan pemberian bantuan hukum. Sebagai lembaga yang mempunyai keterbatasan terhadap pendampingan korban KDRT serta kasuskasus lainnya. Rumah tangga merupakan suatu wadah yang di dalamnya terdiri dari keluarga yang umumnya memiliki pertalian darah antar anggotanya. Setiap anggotanya memiliki peran dan fungsi masing-masing, seperti ayah umumnya adalah seorang yang menjadi tulang punggung perekonomian bagi keluarga dan paling bertanggung jawab terhadap anggota keluarga lainnya, ibu berperan sebagai pengatur
Universitas Sumatera Utara
keuangan rumah tangga dan melayani suami serta merawat anak-anaknya, sedangkan anak sebagai anggota keluarga yang mendapatkan proses sosialisasi segala tindaktanduk dari orang lain disekelilingnya sebagai pembentukan tingkah laku anak tersebut. Secara umum, keluarga merupakan suatu lembaga yang berfungsi sebagai sarana pendidikan, perlindungan, sosialisasi, religius, rekreasi, ekonomi dan fungsifungsi lainnya. Fungsi-fungsi tersebut merupakan suatu hal yang harus di dapatkan setiap anggotanya, sehingga keharmonisan di dalam sebuah keluarga akan terwujud. Namun, apabila fungsi-fungsi tersebut tidak dapat di jalankan dengan baik, maka kemungkinan terjadinya penyimpangan di dalam sebuah keluarga sangatlah besar. Salah satu contoh adalah apabila seorang ayah menyalahgunakan peran dan fungsinya sebagai pemimpin, tetapi lebih menganggap dirinya adalah penguasa yang harus ditakuti dan dituruti setiap kehendaknya oleh setiap anggota keluarga lainnya. Hal tersebut dapat mengakibatkan potensi yang ada dalam diri anggota keluarga lainnya tidak berkembang. Dalam upaya melakukan perlindungan dan pendampingan, Yayasan Pusaka Indonesia selalu melakukan investigasi terhadap korban dan pelaku KDRT, memberikan perlindungan secara hukum dan psikogis. Dimana Yayasan Pusaka Indonesia berperan penting dalam perlindungan korban baik anak dan perempuan. Selain itu, Yayasan Pusaka Indonesia juga bekerja sama dengan pihak yang terkait untuk membantu korban yang mengalami KDRT. Pemberian konseling dan pelayanan medis selayaknya menjadi suatu yang penting, karena hal tersebut dapat membantu korban kekerasan dalam menjalankan fungsi sosialnya ditengah- tengah masyarakat. Bukan hanya itu tetapi juga dukungan
Universitas Sumatera Utara
dari keluarga korban menjadi satu paket yang tidak dapat dipisahkan dalam pemberian kepercayaan diri korban. Perempuan dan anak yang selalu menjadi korban kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi ( penelantaran rumah tangga) dimana pelakunya adalah ayah atau suami korban. Anak dan perempuan yang menjadi korban yang sangat dirugikan baik materil maupun inmateril, mereka sangat memerlukan pelayanan yang maksimal dan meyeluruh, mudah diakses dan berjangka panjang. Dimana korban yang mengalami kekerasan yang sangat parah atau memperihatinkan selayaknya harus berada di rumah aman, agar mereka merasa terlindungi dari pihak- pihak yang ingin menyakitinya, berusaha mengintervensi, menghilangkan rasa trauma dan tekanan mental serta mengembalikan rasa percaya diri korban. Program- program pemulihan dan perlindungan sangat dibutuhkan dalam mengembalikan martabat korban kekerasan, kesehatan jasmani dan rohaninya. Selain itu, program ini harus bertujuan membawa perbaikan bagi lingkungan korban, agar tidak ada lagi korban KDRT. Perbaikan tersebut bisa melalui kesejahteraan lahiriah, peningkatan harga diri, dan peningkatan kemampuan untuk melindungi diri. Rasa ketergantungan korban terhadap pelaku, terutama dari segi ekonomi, menunjukkan bahwa anak terutama perempuan adalah makhluk yang sangat rentan mengalami kekerasan. Pelaku merasa dirinya yang paling berkuasa, sehingga bisa sesukanya melakukan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Sebelum korban kembali ke lingkungannya atau memulangkan korban ke kampung halamnannya, korban seharusnya sudah siap untuk mandiri dalam ekonomi. Monitoring yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia bertujuan untuk mengetahui suksesnya proses pemberian konseling dan motivasi diri agar dapat mengembangkan potensi diri yang dimiliki oleh korban.
Universitas Sumatera Utara
Perlunya pencapaian tujuan dalam menghapus kekerasan dalam rumah tangga, dimana peran semua lapisan masyarakat dan pembentukan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, agar tidak terjadi lagi kekerasan dalam rumah tangga.
Tabel 1 Bagan Alur Pikir Advokasi
Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Upaya Yayasan a. Investigasi b. Penempatan Korban/ Penjemputan Korban c. Pemeriksaan Kondisi Kesehatan d. Konseling/ pemberian bimbingan psikologis e. Pendampingan dalam proses hukum (Litigasi) f. Proses Perlindungan g. Monitoring
Tujuan dari advokasi a. Perlindungan terhadap korban KDRT (korban langsung maupun korban tidak langsung) b. Penindakan hukum terhadap pelaku KDRT c. Mencari penyelesaian alternatif kasus KDRT. d. Peran pemerintah dan masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap korban KDRT. Universitas Sumatera Utara
2.7 Definisi Konsep Woodruf (Sugiyono, 2011: 54) mendefinisikan konsep sebagai adalah suatu gagasan/ ide yang relatif sempurna dan bermakna, suatu pengertian tentang suatu objek, produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap objek/benda). Pada tingkat konkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya. Pada tingkat abstrak dan komplek, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu. Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep- konsep yang dijadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep- konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan definisi konsep. Secara sederhana definisi ini diartikan sebagai “batasan arti”. Dalam hal ini, perumusan definisi konsep dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti. Dengan kata lain, peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian itu untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh si peneliti. Definisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (siagian, 2011: 138). Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah: a. Advokasi adalah usaha sistimatis secara bertahap (inkremental) dan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi profesi untuk menyuarakan aspirasi anggota, serta usaha mempengaruhi pembuat kebijakan publik untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada kelompok tersebut, sekaligus mengawal penerapan kebijakan agar berjalan efektif.
Universitas Sumatera Utara
b. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencarai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. c. kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berkaitan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. d. Rumah Tangga adalah sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan keluarga dalam rumah. Sehingga dapat dinyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu perlakuan yang dialami oleh sebuah keluarga sehingga menimbulkan potensi korban tidak berkembang. e. kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk penganiayaan secara fisik maupun emosional atau psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara