PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Oleh: M. Zainuddin NIM 101045122229
PROGRAM STUDY JINAYAH SIYASAH KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008
ا ا ا KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, penguasa alam semesta, shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW serta para keluarganya dan sahabatnya. Dengan memanjatkan dan syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat Iman dan nikmat Islam serta sehat wal’afiyat, Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP
UNDANG-UNDANG
NO.
23
TAHUN
2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selesainya skripsi ini tidak lepas dari budi pekerti dan jasa semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis. Untuk itu menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para dosen yang telah memberikan dan menyampaikan ilmu pengetahuan yang sangat berarti bagi penulis.
2. Bapak Asmawi M. Ag dan Ibu Sri Hidayati M.Ag sebagai ketua dan sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah, konsentrasi Kepidanaan Islam yang dengan sabar membantu penulis dalam mengurus nilai dan memberikan waktunya untuk membantu pengurusan administrasi. 3. Ibu Dr. Hj. Isnawati Rais, M.A sebagai pembimbing I dan ibu Sri Hidayati M.Ag sebagai pembimbing II yang telah banyak membantu, mengarahkan dan membimbing dalam penulisan skripsi ini. 4. Pimpinan dan segenap staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas segala kemudahan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan refrensi yang mendukung penyelesaian skripsi ini. 5. Ayahanda H.Hambali Abu Ali BA (Alm) dan Ibunda Hj. Sofiatun (Almh) yang selalu saya cintai dan kakak-kakakku yang saya sayangi, yang selalu memberikan dorongan baik moril dan materiil sehingga selesainya penulisan skripsi ini. 6. Kepada K. H Syukron Makmun, Gus Ridho, yang selalu memberikan nasehat dan perhatiannya kepada penulis. 7. Buat Teman-temanku Wawan SB, Ricky, Samani, Dicky, Yulis, Ispry, Sayyid, Robby, Dede Parung, Edison dan yang lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dalam penulisan ini yang selalu memberikan semangat dan keceriaan kepada saya sampai selesainya penulisan skipsi ini.
Semoga amal baik penulis lakukan selama ini menjadi amal sholeh dan mendapatkan pahala berlipat ganda. Harapan penulis, mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan sumbangan terhadap pendidikan serta manfaat bagi yang membaca. Amin ya Rabbal 'alamin.
Jakarta, Juli 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB II
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
10
C. Tujuan Penulisan
10
D. Metode Penulisan
11
E. Sistematika Penulisan
13
TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM ISLAM A. Seks dalam Pandangan Islam
16
1. Pandangan al-Quran dan Hadits tentang Hubungan Seksual
17
2. Pandangan Ulama Berkenaan dengan Hubungan Seksual
23
B. Etika Hubungan Seksual dalam Islam
25
C. Hak dan Kewajiban Suami-Istri pada Hubungan Seksual
31
BAB III
KEKERASAN
SEKSUAL
DALAM
RUMAH
TANGGA
MENURUT UNDANG UNDANG NO 23 TAHUN 2004 TENTANG
PENGHAPUSAN
KEKERASAN
DALAM
RUMAH TANGGA (KDRT) A. Tinjauan Umum tentang Kekerasan Seksual
40
B. Kekerasan Seksual yang Terjadi dalam Rumah Tangga
47
1. Kekerasan Fisik
47
2. Kekerasan Psikis
48
C. Sanksi Hukum Terhadap Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga BAB IV
KEKERASAN MENURUT
SEKSUAL
UNDANG
TENTANG
DALAM
UNDANG
PENGHAPUSAN
RUMAH NO.23
TANGGA
TAHUN
KEKERASAN
49
2004
DALAM
RUMAH TANGGA (KDRT) DALAM PANDANGAN ISLAM A. Kekerasan seksual Dalam Rumah Tangga Menurut Islam
53
B. Pandangan hukum Islam Terhadap Undang-Undang No. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga BAB V
61
PENUTUP A. Kesimpulan
68
B. Saran
68
DAFTAR PUSTAKA
71
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang unik dan berbeda dengan semua makhluk Allah lainnya. Satu hal yang membedakan adalah manusia dikaruniai akal dan hati nurani. Dalam bahasa al-Quran manusia dianggap sebagai makhluk yang diciptakan dengan kapasitas yang paling sempurna dalam firman-Nya di surat at Tiin ayat 4:
(4: ََْ َََْ اَِْنَ ِ أََْ ِ َِْی )ا Artinya: “Sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna”. Keistimewaan manusia atas makhluk lain inilah yang seharusnya dikelola sedemikian rupa agar kehidupan manusia berjalan dengan lestari, damai, dan bahagia. Dibutuhkan sejumlah aturan yang menjadi platform dasar dalam menjalani kehidupan yang bermartabat, sehingga tidak terjadi ketimpangan, kekerasan, dan ketidakadilan. Tata nilai dan tata laku yang menjadi acuan dasar dalam beraktivitas itulah yang disebut al-din atau agama. Akal manusia sebagai suatu unsur yang sangat penting dan mempunyai nilai keunggulan dibandingkan dengan binatang, tentunya juga mempunyai kebutuhankebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Walaupun akal manusia mempunyai
kemampuan yang luar biasa untuk mengungkap misteri alam semesta, ia perlu untuk terus diasah setiap saat dengan proses berfikir, belajar dan berbagai latihan. Akal manusia yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, maka ia tidak akan memiliki kemampuan nalar yang dapat mengatasi berbagai persoalan dalam hidupnya, dan ia akan terjebak dalam lubang kebodohan. Ketika kemampuan akal manusia tidak dapat dimaksimalkan bagi proses kehidupan, maka manusia tidak akan bisa menjalankan fungsi dan misinya sebagai khalifah dan hamba Allah Swt di muka bumi ini. Demikian pula halnya dengan kebutuhan nafsu. Ia harus dipenuhi sewajarnya, tidak kurang, pun tak berlebihan. Manusia tidak boleh membunuh kebutuhan nafsu, sebagaimana tidak boleh mengumbar nafsu secara liar. Nafsu adalah anugerah Illahi yang harus dikelola dengan wajar, manusiawi, dan mengikuti sunnatullah. Bila kebutuhan nafsu tidak dipenuhi secara wajar atau dibiarkan tanpa kendali, maka manusia tidak akan mendapatkan keseimbangan hidup. Nafsu yang dididik dan dilatih untuk mengikuti ajaran Tuhan akan menjadikan manusia pemiliknya terhormat di mata manusia dan dalam pandangan Tuhan. Itulah nafsu tingkat tertinggi, nafsu muthmainnah. Nafsu yang tenang, tenteram, dan damai. Semua unsur-unsur yang membentuk manusia tersebut memiliki peran yang sangat penting. Satu sama lain saling menunjang. Harus ada integrasi peran, bila tidak ingin terjadi disequilibrium (ketidakseimbangan) dalam kehidupan manusia. Kemampuan
manusia
dalam
menyinergikan
keempat
unsur
tersebut
mempengaruhinya menemukan kebahagiaan dunia akhirat atau gagal total. Untuk
itu diperlukan usaha dan perjuangan yang tidak mudah. Dari usaha dan perjuangannya inilah, Allah Swt menilai hamba-hamba-Nya berdasarkan tingkat perjuangan yang telah dilakukan. Salah satu hal yang fundamental dalam pembahasan fikih adalah persoalan pernikahan. Nikah merupakan suatu perilaku sosial yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan nafsu berupa hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan seksual tersebut, Islam mempunyai aturan-aturan yang sangat jelas. Melalui jalan pernikahan, Islam melegalkan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam menyalurkan ’gairah’ seksualnya. Nikah mengatur hubungan antara dua manusia yang berbeda kelamin. Mulai dari belanja (nafkah), seks, hingga aturan mengenai sikap dan cara hidup yang saling menghormati. Para ulama beragam dalam memberikan pandangan mengenai hakikat nikah itu sendiri, apakah hakikat nikah itu al-wathu atau alaqdu? Pendapat pertama, kata nikah itu hakikatnya al-wathu, sementara kalau itu dimaksudkan untuk akad, maka ia berarti majaz. Pendapat kedua, sebaliknya yaitu nikah hakikatnya adalah al-aqdu, sedangkan kalau ia berarti al-wathu, maka itu berarti majaz. Pendapat kedua ini yang dirajihkan oleh Qadhi Abu Thib dan Mutawalli. Al-quran dan as-Sunah pun mempunyai arti sebagaimana pendapat
kedua ini, Allah berfirman ”Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” (Q.S. An-Nisaa: 3).1 Seks merupakan unsur terpenting dari kehidupan manusia, sebab seks menjadi jalan dalam pelestarian keturunan dan generasi makhluk hidup. Begitu juga dengan tumbuhan yang memerlukan seks sebagai cara berkembang biak, demikian juga hewan, dan terlebih manusia yang notabene merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna membutuhkan seks bukan saja sebagai alat pemenuhan kebutuhan biologisnya saja namun sebagai cara bereproduksi dan mengembangkan populasinya. Seks atau hubungan badan diakui dan diatur keberadaannya dalam Islam melalui institusi pernikahan. Menurut terminologi para fuqaha, seks yang dilakukan di luar pernikahan dinamakan zina dan hukumnya haram atau dosa besar. Sedangkan hubungan seks yang dilakukan melalui jalan pernikahan, para fuqaha menyebutnya dengan kata ”jima’”. Berbeda dengan zina, Jima’ adalah hubungan seksual yang halal dan mendapatkan ganjaran pahala bagi pelakunya. 2 Selain kata jima’, Islam juga menggunakan beberapa istilah yang mempunyai arti sama dengan jima’ yaitu: al-Mulamasah, ar-Rafats, al-Mubasyarah, al-Massu, alWath’u, dan Massul Khitan.3
1
Jasim Bin Muhammad Bin Muhalhil Al-Yasin, Seks Islami (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 1992), h. 15. 2 Tim Al-Manar, Fikih Nikah, (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2007), h. 49 3
Ibid, h.50.
Oleh karenanya, dalam beberapa literatur keislaman pembahasan mengenai kehidupan seksual sesungguhnya bukan merupakan hal yang tabu. Bahkan sangat diapresiasi dan menjadi bagian integral dari kehidupan beragama dari persoalanpersoalan yang berkaitan dengan kehidupan seksual seperti tata krama bersetubuh (adab al-Jima’) yang pembahasannyapun dapat disebut sangat luwes, mulai dari cumbu rayu ”pemanasan” (foreplay), posisi bersetubuh, hingga kesopanan saat mengakhiri setubuh (ejakulasi). Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa nikah melegalkan sesuatu yang sebelumnya dianggap ilegal, sehingga kemudian melahirkan konsepsi yang salah tentang hubungan suami isteri dalam pernikahan yang dianggap sebagai sebuah kepemilikan. Adanya rasa kepemilikan inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa, suami boleh melakukan apa saja terhadap isteri termasuk melakukan hubungan seks di luar batas kewajaran. Mispersepsi tersebut, kemudian banyak mendorong tindakan seseorang untuk merasa ”bebas” dalam melakukan aktifitas seksual dengan pasangannya, bahkan cenderung merasa memiliki hak atas tubuh pasangannya. Dalam konteks demikian pernikahan pada akhirnya, disadari atau tidak, seringkali menjadi alat hegemoni untuk mendominasi seseorang. Dominasi seseorang terhadap pasangannya dalam institusi pernikahan (hubungan rumah tangga) dapat menimbulkan ketidakadilan hubungan antara suami-isteri. Bahkan, pada tataran yang lebih ekstrem dominasi dan ketidakadilan yang terjadi tersebut dapat berakibat pada tindakan kekerasan. Tindak kekerasan
domestik yang dilakukan bukan saja terjadi dalam ranah pergaulan sehari-hari saja bahkan hingga ke ”urusan ranjang”. Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa kekerasan fisik; seperti memukul, menendang, mencubit, menjambak, dan sebagainya. Kekerasan berupa fisik tersebut jika terjadi dalam hubungan seksual dinamakan seksual sadism. Tindakan yang berupa makian dan kata-kata kotor juga dapat dianggap sebagai tindak kekerasan. Pengalaman traumatis seseorang di masa lalu kadang berpengaruh terhadap kehidupan seksualnya. Faktor lain yang dituduh sebagai penyebab terjadinya tindak kekerasan ini adalah perilaku bias gender yang terjadi dalam satu masyarakat. Perilaku yang menempatkan salah satu pasangan (misalnya: isteri) sebagai sub-ordinat dari suaminya pada gilirannya menempatkan isteri sebagai seseorang yang harus patuh, taat, dan tunduk atas berbagai keinginan suami sekalipun keinginan tersebut sangat menyakitkan bagi seorang isteri. Namun, sesungguhnya banyak faktor lain yang melatar belakangi tindakan kekerasan tersebut. Persepsi timpang tersebut kemudian menjadi paradigma umum yang berkembang dalam masyarakat. Dalam konteks tersebut perempuan atau isteri seringkali menjadi ”korban” dalam pernikahan. Hak seorang suami selalu diasumsikan lebih dibanding kewajibannya terhadap isteri, sementara sebaliknya sang isteri lebih memiliki kewajiban terhadap suami di banding hak yang semestinya didapatkan.
Banyak faktor yang kemudian dituding sebagai penyebab terjadinya ketimpangan hubungan suami-isteri di atas. Salah satunya adalah agama yang seringkali memposisikan perempuan sebagai sub-ordinat dari laki-laki, seperti dalam surat an Nisaa ayat 34 yang berbunyi sebagai berikut :
َُْا%َََ* َ)ْ(ٍ وََِ أ+ ُْ,َ-ْ)َ ُ.َّ ا01-َ َِ َِء3ََ* ا+ َاﻡُن1َ5 َُل73 ا (34:)اء...ِْ,ِ أَﻡَْا ْ ِﻡ Artinya: ”Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan mereka (kaum lelaki) melebihi yang lain (kaum wanita) dan karena kelebihan mereka (kaum lelaki) dalam hal menafkahkan sebagian hartanya...”
Terdapat dalil-dalil dalam Islam baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist yang seringkali dijadikan alasan terhadap tindakan hegemonis laki-laki terhadap perempuan dalam hubungan rumah tangga. misalnya hadist yang menyatakan bahwa seorang isteri akan mendapatkan laknat ketika menolak ajakan bersetubuh dari suaminya. Sementara sanksi moral itu tidak disebutkan berlaku pada seorang suami yang menolak ajakan bersetubuh isterinya. Kepatuhan dan ketundukan seorang isteri terhadap suami merupakan kebajikan (sholihah) yang akan diganjar pahala yang besar dan surga. Dalil yang seringkali dijadikan alasan bagi para suami agar isterinya mau melakukan hubungan intim, sementara si suami tidak mau melihat kondisi isterinya antara lain sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
اِذَا: ََل5 َ1َِ وَﺱ.ََْ+ُ * ا1َ; 3<َ ِ ا+ ُ.َْ+ ُ َ ْ أَِ* هَُیَْةَ رَﺽَِ ا+ ُBَCِDَََ ا,ْ ََ)َ ًَ<ْ-َF ََ َ<َتHِIَ ْْ اَنJََKَ ِ.ِLُ اَِ* َِا.ََُ اِﻡَْأ0ُ71َ ا+َد (ِ.ََْ+ ٌQَ%1َُ )ﻡNِ<ْOُ *1َ
Artinya: “Dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhoinya dari nabi saw beliau bersabda apabila suami mengajak isterinya ke tempat tidur (untuk bersetubuh) lalu isteri tidak mau datang, lantas suami marah, maka malaikat mengutuk isteri tersebut sampai subuh”.( Muttafaq ‘alaih). 4 Dari hadist tersebut sebenarnya dapat diambil suatu kesimpulan bahwa, jika isteri tidak lagi udzur dan lagi dalam kondisi yang sehat kemudian diajak suaminya untuk berhubungan intim tapi menolaknya, maka isteri tersebut akan dikutuk oleh Malaikat. Padahal di sisi lain agama juga secara sharih (jelas) menegaskan bahwa segala bentuk ketimpangan dan perilaku yang menyakitkan tidak dibenarkan. Bahkan, sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa ”urusan ranjang”pun mendapatkan sakralisasi agama. Oleh karenanya agama memberikan konsekuensi hukum mengenai regulasi yang menjamin kehidupan rumah tangga dan seks yang islami. Hal ini sesuai dengan tuntutan prinsip-prinsip yang telah digariskan AlQur’an, yaitu prinsip mu’asyarah bil a’ruf antara suami dan isteri, yang saling melengkapi, saling mengisi, dan saling memahami. Dalam al-Qur’an, harmoni antara laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan rumah tangga dilukiskan sebagai pakaian yang berfungsi untuk saling melindungi, menghangatkan, dan memperindah keduanya (suami-isteri). Seperti dalam firman-Nya dalam surat al Baqarah ayat 187 yang berbunyi:
( ١٨٧ : ) ا<ة.... 1 ُ,1 ٌُْ وَأَ ُْ ِ<َسC1 ٌ ِ<َس1 ُه....
4
Abi Husain Muslim bin Hajaj, Sohih Muslim ( Beirut : Dar Al- fikr , 2005) Juz 1 h. 666-667
Artinya: ”Mereka adalah pakaian untuk kamu,dan kamu adalah pakaian bagi mereka. .. ”
Secara khusus, Negara Indonesia mempunyai berbagai perangkat hukum yang mengatur persoalan pernikahan, termasuk persoalan tentang kekerasan atau tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Tingginya tingkat kekerasan dalam kehidupan rumah tangga, mendorong pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sebagai negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, tinjauan hukum Islam terhadap Undang Undang KDRT tersebut, menurut hemat penulis sangat penting sekali sehingga ummat Islam dapat menghayati Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Rumah Tangga dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan latar belakang di atas tersebut, karya ilmiah ini berusaha mengelaborasi lebih lanjut problematika kekerasan dalam hubungan seksual ”Pasutri” dalam konteks Undang Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menurut perspektif hukum Islam, sekaligus menformulasikan tindakan hukum yang dapat diberlakukan bagi para pelakunya. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk mengkaji lebih dalam dan mendasar tentang Undang Undang No 23 Tahun 2004 Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan segala permasalahannya, terutama mengenai ketentuan hukumnya maka tinjauan
hukumnya sangatlah luas, oleh karena itu maka penulis perlu membatasi masalah yang dimaksudkan agar tidak ada terjadinya pelebaran masalah dan tidak terjadi salah pengertian, sedangkan batasan skripsi yang penulis simpulkan adalah berkisar pada permasalahan yang berhubungan dengan kekerasan seksual dalam rumah tangga menurut Undang Undang No 23 Tahun 2004 Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam persepektif hukum Islam.. Perumusan masalah yang penulis ajukan dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana
aturan
Undang
Undang
No
23
Tahun
2004
tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengenai Kekerasan Seksual yang terjadi dalam Rumah Tangga? 2. Bagaimana persepektif hukum Islam terhadap Undang Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui aturan Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengenai Kekerasan Seksual yang terjadi dalam Rumah Tangga. 2. Untuk mengetahui secara jelas persepektif hukum Islam terhadap UndangUndang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga berkaitan dengan Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga
3. Untuk memenuhi tugas akhir akademik dan sebagai syarat memperoleh gelar Strata Satu Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun manfaat hasil penelitian ini adalah : 1. Hasil penilitian ini diharapkan bermanfaat bagi para praktisi hukum dalam menanggani masalah kekerasan seksual dalam rumah tangga (KDRT) pada umummnya, khususnya untuk pasangan suami isteri dalam berumah tangga agar terhindar terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. 2. Penelitiaan ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi atau kajian yang dibahas. 3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya.
D. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kwalitatif dan metode pendekatan, diantaranya: 1. Kajian Normatif Kajian normatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada kaedahkaedah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan memuat diskripsi masalah yang diteliti berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan secara cermat dan mendasar.
2. Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah jenis kualitatif, yakni deskripsi berupa katakata, ungkapan, norma atau aturan-aturan yang diteliti karena penelitian ini dilakukan untuk mengukur dan memiliki sebuah perundang-undangan di Indonesia. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data ialah studi dokumenter guna memperoleh landasan teoritis yang diperoleh dari literatur dan referensi yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas. a. Data primer meliputi perundang-undangan tentang KDRT No. 23 Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga. b. Data sekunder terdiri dari buku-buku hukum, media cetak, artikel mupun data dari internet yang ada kerelasinya dengan materi yang menjadi pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. 4. Teknik Analisa Data Setelah data tersebut terkumpul, penulis akan menyajikan dan menganalisisnya secara kualitatif dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas, sistematis, objektif, dan kritis yang dipaparkan hukum Islam, dan hukum positif mengenai fakta-fakta yang bersifat normatif tentang permasalahan yang dibahas, dengan berusaha menyajikan bahan yang relevan dan mendukung. 5. Teknik Penulisan
Mengenai teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif Hidayatullah Jakarta 2007, dengan beberapa pengecualian : a. Penulisan ayat Al-Qur’an tidak menggunakan catatan kaki dan sebagai sumber
penulis
menggunakan
Al-Qur’an
yang
diterbitkan
oleh
Departemen Agama tahun 1989 b. Kutipan yang berasal dari buku ejaan yang lama ditulis dengan ejaan yang disempurnakan kecuali nama pengarang c. Dalam kepustakaan, Al-Qur’an dan terjemahannya ditulis pada urutan pertama sebagai tanda penghormatan, sebelum sumber-sumber lainnya. d. Urutan berikutnya ditulis secara alfabetis
E. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun menggunakan sistematika pembahasan bab per bab. Masing-masing bab memiliki bagian-bagian sistematis dalam pembahasannya. Di beberapa tempat bagian dari bab melahirkan sub-sub bab untuk lebih memperinci penjelasan. Skripsi ini memiliki lima bab. Subtansi masing-masing bab akan penulis jelaskan satu persatu secara berurutan dalam alenia berikut. Pertama, bab Pendahuluan. Pada bab ini akan disampaikan beberapa ilustrasi yang melatarbelakangi penulisan karya ilmiah ini. Secara teknis dalam bab ini juga akan disampaikan acuan umum yang berkaitan dengan perumusan
dan pembatasan, tujuan, metodologi, dan sistematika yang digunakan dalam karya ini. Kedua, bab ini bertujuan untuk meletakkan tinjauan umum hubungan seksual dalam rumah tangga menurut Islam. Pada bab ini elaborasi penulis dimulai dengan penjelasan tantang seks dalam pandangan Islam yang penulis sarikan dari pandangan al-Quran, Hadits, dan pendapat para ulama. Dalam sub bab berikutnya, penulis mengkaji tentang hubungan seksual kehidupan rumah tangga. Selanjutnya diikuti dengan sub bab tentang hak dan kewajiban suami-isteri dalam hubungan seksual. Sementara dalam sub bab terakhir, penulis akan melakukan uraian mengenai etika seks. Ketiga, bab yang akan penulis gunakan untuk mengelaborasi persoalan kekerasan seksual menurut Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bab ini penulis mulai dengan uraian mengenai tinjauan umum dalam Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berkaitan dengan kekerasan seksual. Selanjutnya dalam sub-bab berikutnya penulis akan mengurai berbagai bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Sebagai penutup bab penulis mengajukan sanksi hukum yang dapat diterapkan bagi para pelaku kekerasan seksual dalam rumah tangga berdasarkan Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Keempat, bab ini menjelaskan bagaimana kekerasan seksual dalam rumah tangga menurut hukum Islam dan Undang Undang No.23 tahun 2004
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sub-sub bab yang penulis susun berdasarkan pada cita-cita luhur Islam dalam pembentukan keluarga dan pendapat para ulama Islam berkaitan dengan hukum yang dapat diajukan bagi pelaku kekerasan seksual dalam rumah tangga, serta bagaimana Islam memandang Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kelima, bab yang menjadi penutup kajian ini. Dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan bahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab satu. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kajian lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis telah kaji.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA A. Seks dalam pandangan Islam Seks merupakan unsur terpenting dalam kehidupan makhluk di muka bumi ini. Seks dapat dijadikan jalan dalam melestarikan keturunan dan generasi makhluk hidup dan seks dapat dikatakan sebagai inti pernikahan. 5 Seks dalam istilah bahasa Arab adalah jima’. Jima’ secara etimologi berarti kata kiasan dari nikah, atau perjanjian, atau ajakan untuk bersengama. 6 Sedangkan jima’ secara terminologi fuqoha adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yang sah (bertemunya dua khitaini dari pasangan yang sah), minimal masuknya kepala dzakar ke lubang vagina meskipun tidak sempurna dan tanpa mengeluarkan sperma. Jika dilakukan oleh pasangan yang belum dan atau tidak diikat dengan akad nikah yang sah, maka dianggap sebagai zina.7
5
Muhammad Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Isteri Sejak Malam Pertama, ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 1999) cet ke-1 h.184. 6
Atabik Ali, dkk, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996), cet. 3, h. 643. 7
Tim Penyusun Pusat Studi Islam Al Manar, Fikih Nikah:Panduan Syar’I Menuju Rumah Tangga Islami, ( Bandung, PT Syamiil Cipta media, 2007) cet ke-3 h.49.
Beberapa istilah yang identik dengan jima’ yaitu al-mulamasah, ar-rafats, almubasyaroh, al-massu, al-wath’u, dan massul khitan.8 Jima’ merupakan nafkah batin yang harus ditunaikan dalam kehidupan rumah tangga dikhususkan pada suami, karenanya ia merupakan hak seorang isteri atas suami selama tiada faktor-faktor yang menghalangi untuk memenuhi. 9 Dalam literatur Islam pembahasan tentang kehidupan seksual bukan merupakan suatu hal yang dianggap tabu
lagi namun sangat diapresiasikan
sebagai bagian integral dari kehidupan beragama. Seperti persoalan-persoalan yang menyangkut masalah hubungan intim antara suami dan isteri, misalnya tata krama bersetubuh (adab al-Jima’), cumbu rayu, pemanasan (foreplay), posisi bersetubuh, hingga kesopanan saat mengakhiri persetubuhan (enjakulasi) yang tercantum dalam berbagai karya klasik Islam. Dalam penjelasan tentang tatacara/etika dalam berhubungan seksual tersebut dalam dilihat dalam 2 sudut pandang, yang pertama ditinjau dalam perspektif alqur'an dan hadits serta yang kedua dalam perspektif ulama. 1.1. Pandangan al-Qur’an dan Hadist tentang Hubungan Seksual Al-Qur’an adalah pedoman kehidupan bagi umat manusia di dunia dan akherat, yang menunjukan jalan kebenaran dan diridhoi oleh Allah swt. Beberapa isi dari al-Qur’an adalah perintah (anjuran) yang harus dilakukan dan larangan
8
Tatapangarsa, Humaidi, Drs, Sex Dalam Islam, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 12. Tim Penyusun Al Manar, Fikih Nikah : Panduan Syar’I Menuju Rumah Tangga Islami, Bandung, Syaamil Cipta Media, 2007 Cetakan ke-3 h. 51. 9
yang tidak boleh dilakukan. Di antaranya adalah perintah untuk menikah. Tercantum dalam surat an-Nuur ayat 32:
ُُا ََُاءCَُْ إِن یCِDَِ<َدِآُْ وَإِﻡ+ ْ ِِ َ ﻡXِ1Oُْ وَاCَِیَﻡَ* ﻡKُْا اXِCَوَأ (32:ٌَِ )ار+ ٌZُِ وَاﺱ.1ِ وَا.ِْ-َ ُِ ﻡ.1ُِ ا,ِْYُی Artinya:” Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur: 32)
Dan juga termaktub dalam surat an Nisa ayat 3 yang berfirman:
*َْ\ََء ﻡ3 َ ا3ُ ﻡCَ َُاْ ﻡَ ^َبXِCَ *َ ُِْ_ُاْ ِ اَْ َﻡ1`َْ ُْ أ%ِ ْوَإِن *ََْ أَدeَُِْ ذCَُْْ أَیJَCََ َ)ُِْاْ ََاَِةً أَوْ ﻡَ ﻡ1`َْ ُْ أ%ِ َْثَ وَرَُعَ َِنcُوَﺙ (3: َ)ُُاْ )اء1`َأ Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (AnNisa: 3)
Selain dari al-Qur’an tentang perintah menikah, terdapat pula hadits yang menganjurkan menikah untuk kaum muslimin, antara lain adalah sabda nabi Muhammad saw:
10
(ري واj< اk )روا3َِ ﻡhََْ ِ 1َُ ْ ﺱ+ َgِFَ ِ وَﻡَ ْ ر1َُحُ ﺱC3ا
Artinya: “Nikah itu sunahku, maka barangsiapa yang benci akan sunnahku, niscaya sesungguhnya ia benci kepadaku”.(H.R. al Bukhari dan Muslim) Hadist tersebut secara tersirat adalah anjuran Rasul kepada umatnya agar melakukan pernikahan, sebab pernikahan merupakan cara untuk menghalalkan hubungan pasangan laki-laki dan perempuan sehingga orang yang tidak mau menikah, maka dianggap sebagai orang yang membenci Nabi. Untuk menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangga suami isteri perlu mengetahui tatacara berhubungan dalam kehidupan suatu pernikahan, termasuk pengetahuan tentang seks atau hubungan seksual, karena seks dianggap inti dari suatu pernikahan.11 Dalam pandangan al-Qur’an terdapat tatacara/etika dalam bersetubuh antara suami isteri yang dianjurkan yaitu tercantum dalam surah An -Nisa ayat 19 yang berbunyi:
1 ُُُه-ْ)َ َ`ََء آَْهً و3ُْ أَن َِﺙُاْ اCَ l0ِXَﻡَُاْ `َ یm َ ِیn1َ ا,lیَ أَی
1 ُُِوهLَ+ٍَ وBَ3َ
10
Abu Hasan Muslim Al Hajaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shahih Muslim, (Bandung, Dahlan, 1996) cet ke 5 h 137. 11
Muhammad Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Isteri Sejak Malam Pertama, Yogyakarta Pustaka Offset 1999 cetakan I h.202.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (QS. An-Nisa: 19) Menurut tafsiran Muhammad Ali ash-Shobuni dalam kitabnya Sofwatu Tafasir,
hendaknya
suami
memperlakukan
isterinya
sebagaimana
telah
diperintahkan okeh Allah swt dengan selalu bertuturkata manis dan membangun sebuah komunikasi yang baik.12 Bergaul diartikan bukanlah dalam kehidupan sehari-hari dalam berumah tangga semata, namun menjelaskan dalam melakukan hubungan seksual yang patut bukan dengan disertai kekerasan yang terjadi di dalamnya. 13 Seorang suami selain sebagai pemimpin dalam keluarga, juga mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan lahir dan batin isterinya. Setelah memenuhi kebutuhan lahir, suami pun memenuhi kebutuhan batin (biologis) terhadap isterinya dengan cara melakukan hubungan seksual. Hal ini diatur oleh Allah swt dalam surat al Baqarah ayat 223 yang berfirman:
(223 : ُْْ…… )ا<ةpِL *1َُْ أCَُْاْ َْﺙKَ ُْC1 ٌؤُآُْ َْثtَِ Artinya: “Isteri-isterimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” ( QS. Al-Baqarah: 223) 12
13
Muhammad Ali ash-Shobuni, Sofwatu Tafasir, ( Beirut, Daar Fikr, 1990) cetakan 2 h. 243.
Muhammad Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Isteri Sejak Malam Pertama, (Yogyakarta Pustaka Offset 1999) cetakan I h. 245.
Ayat tersebut bahwa islam mengambarkan dalam melakukan hubungan seksual, suami diberikan kebebasan untuk melakukan hubungan seksual sesuai dengan keinginannya tanpa mengabaikan tatacara hubungan seksual dalam syariat agama dengan selalu memperlakukan dengan baik. Isteri yang diibaratkan dalam ayat tersebut adalah sebagai tanah tempat bercocok tanam (ladang) maka tugas dari suami adalah menjaga tanah tersebut dengan sebaik-baiknya agar tanah tersebut dapat menghasilkan bijian tanaman (keturunan) yang baik. Dalam arti lain dalam melakukan hubungan seksual seorang suami memperlakukan isteri dengan cara yang patut dan baik, tidak boleh egois, menyakiti isteri sehingga tidak membuat kegelisahan isteri dalam berhubungan seksual dengan suami. Kegelisahan isteri inilah yang dapat menjadikan pertengkaran dan perceraian. 14 Suami dalam berhubungan seksual haruslah memperlakukan isteri denagan patut tidak seperti layaknya hewan dalam melakukan hubungan biologisnya.15 Dalam berhubungan seksual yang dilakukan sepasang suami isteri merupakan perbuatan yang mulia yang menjadi inti jalinan perkawinan dan dalam pelaksanaan hubungan tesebut dapat memperoleh pahala seperti halnya sabda rasulullah yang bersabda:
14
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidakmampuan Suami Menunaikan kewajibanya, ( Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989) Cet Ke-2 h.28. 15
128.
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995 Cet ke-1 h. 127-
َ,ِْ ُ.َ ُُْنCَُ وَی.َُْ,َL َََِِْ*َ أKَ أَی. یَرَﺱُْلَ ا:َُْا5 .ٌBَ5ََ; ُِْ أََِآZْ-ُ ْ*َِ و... *ِ َ,ُ)َْ إِذَا وَﺽeَِاnَCَ :ٌِ وِزْر.ََْ+ ََ ِ* ََام أَآَن,ُ)ْ أَرَیُْْ َْ وَﺽ:ََل5 ٌْ؟7َأ .ٌْ7َُ أ.َ َََلِ آَنXا Artinya: “…Dan pada alat kelamin kalian terdapat sedekah. Para sahabat bertanya: “Ya rasulullah, apakah jika di antara kami melakukan hubungan seks pun akan mendapat pahala?” jawab rasul:”Tidakkah kalian tahu, bahwa tatkala kalian menyalurkannya pada yang tempat haram, kalian akan mendapatkan siksa?demikian halnya dengan menyalurkanya pada tempat yang halal, tentu baginya ada pahala”.(H.R Muslim)16 Menyadari kandungan hadits ini, maka seharusnya para suami tidak melakukan hubungan seks dengan isteri kecuali senantiasa memperhatikan tatacara/etika berhubungan seksual sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Selain itu terdapat hadits yang menerangkan bahwasanya peringatan kepada isteri juga memenuhi hasrat seksual suami jika dikendaki kecuali isteri berada dalam keadaan haidh dan nifas.17 Hadits tersebut bersabda:
اِذَا: ََل5 َ1َِ وﺱ.ََْ+ُ * ا1َ; 3<َ ِ ا+ ُ.َْ+ُ َ ْ أَِ* هَُیَْةَ رَﺽَِ ا+ ُBَCِDَََ ا,ْ ََ)َ ًَ<ْ-َF ََ َ<َتHِIَ ْْ اَنJََKَ ِ.ِLُ اَِ* َِا.ََُ اِﻡَْا0ُ71َ ا+َد (ِ.ََْ+ ٌQَ%1َُ )ﻡNِ<ْOُ *1َ Artinya: “Dari Abu Hurairah semoga Allah swt meridhoinya dari Nabi saw beliau bersabda:”Apabila seorang mengajak isterinya ke tempat tidur (untuk bersetubuh) tetapi ia enggan datang, lalu ia bermalam dengan marah, niscaya dilaknat dia oleh malaikat hingga berpagi”. (H.R Muttafaqa 'alaihi)18 16
Abi Husain Muslim bin Hajaj Shohih Muslim, (Beirut, Darul Fikri) juz I h.602.
17
Muhammad Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Isteri Membahagiakan Isteri Sejak Malam Pertama, (Yogyakarta Pustaka Offset 1999) cetakan I h. 215. 18
A. Hasan, Tarjamah Bulughul Maram,( Bandung, Diponegoro, 1997) Cetakan Ke-1 h.506.
Hadits ini memberitahukan bahwa seorang isteri wajib mengabulkan ajakan suaminya, jika suaminya menginginkan hubungan seksual dengannya. Karena kata-kata mengajak ke tempat tidurnya adalah ungkapan kiasan yang berarti bersetubuh. Alasan lainnya yang menunjukan wajib adalah adanya malaikat melaknatnya, karena para malaikat tidak akan melaknat kalau bukan karena meninggalkan perintah Allah sebagai hukuman. 19 Jadi jelaslah bahwa pernikahan merupakan anjuran agama baik dari al-qur'an maupun hadits. Pernikahan bertujuan untuk menjaga keutuhan dan kelangsungan kehidupan manusia di muka bumi ini. Untuk menjaga keharmonisan dalam berumah tangga maka suami isteri saling menjaga hubungan dalam seksual karena merupakan salah satu bagian terpenting dari pernikahan, sehingga alqur'an dan hadits sebagai pedoman umat muslim mengatur tentang tatacara hubungan seksual suami isteri yaitu dengan memperlakukan pasangannya dengan patut dan baik. 1. 2. Pandangan Ulama berkenaan dengan Hubungan Seksual Hubungan seksual yang berarti dalam istilah Islam yang berarti jima’ adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yang sah (bertemunya dua khitaini dari pasangan yang sah), minimal masuknya kepala dzakar ke lubang vagina meskipun tidak sempurna dan tanpa mengeluarkan sperma. Jika dilakukan
19
Jasim Bin Muhammad Bin Muhalhil Al Yasin, Seks Islami : Mencapai Nikamatnya Hubungan Suami-Isteri Menurut Islam, (Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2006) Cet ke-2 h.44.
oleh pasangan yang belum dan atau tidak diikat dengan akad nikah yang sah, maka dianggap sebagai zina.20 Suami haruslah memenuhi kewajibanya dalam memberikan nafkah lahir dan batin kepada isteri sebagai haknya seorang isteri. Begitu pula isteri berkewajiban memenuhi hak suami dalam kebutuhan biologisnya. Namun terdapat beberapa silang pendapat para fuqoha dalam hubungan seksual suami isteri. Mazhab Maliki berpendapat bahwa suami wajib mengauli isterinya, selama tidak ada halangan / uzur. ini berarti ketika isteri menghendaki hubungan seksual maka suami wajib memenuhinya. hal ini berbeda dengan pandangan mazhab Syafi'I. Madzhab ini mengatakan bahwa kewajiban suami menyetubuhi isterinya pada dasarnya hanyalah sekali saja untuk selama mereka masih menjadi suami isteri. Kewajiban ini dilatarbelakangi oleh prinsip bahwa hubungan seksual adalah hak seorang suami sedangkan isteri menurut pendapat ini disamakan dengan rumah atau tempat tinggal yang disewa. Alasan lain adalah bahwa seorang hanya bisa melakukan hubungan seks apabila ada dorongan syahwat (nafsu) dan tidak dipaksakan. Akan tetapi sebaliknya masih menurut madzhab ini, suami tidak membiarkan keinginan seks isterinya, agar hubungan mereka tidak berantakan.21
20
Tim Penyusun Al Manar, Fikih Nikah, Panduan Syar’I Menuju Rumah Tangga Islami, (Bandung, Syaamil Cipta Media, 2007) Cetakan ke-3 h.51. 21
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa adilatuhu,”, 1997 juz 9 h. 6844.
Madzhab Hambali mengatakan bahwa suami wajib berhubungan seksual isterinya paling tidak sekali dalam 4 bulan, apabila tidak ada uzur. Jika batas minimal ini dilanggar oleh suami, maka antara keduanya harus diceraikan. Madzhab ini mendasarkan pandanganya pada hukum illa’ (sumpah untuk tidak menggauli isteri).22 Dari uraian pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan seksual suami isteri untuk saling menjaga hak masing-masing dan melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam berumah tangga sehingga mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. B. Tatacara/Etika hubungan seksual dalam Islam Hubungan seksual yang dilakukan oleh sepasang suami isteri merupakan perbuatan mulia yang menjadikan inti jalinan perkawinan karena selain mendapatkan pahala juga mempertahankan kelangsungan kehidupan manusia dimuka bumi ini sehingga islam mengatur segala kehidupan umat manusia yang salah satunya mengatur kehidupan hubungan seksual suami isteri dalam berumah tangga. Pengaturan hubungan seksual dalama hal ini dianggap sebagai tatacara atau etika dalam hubungan seksual karena manusia merupakan makhluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk lainnya sehingga perlunya adanya etika dalam hubungan seksual suami isteri sesuai dengan syariat agama.
22
Wahbah az-Zhuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa adilatuhu h. 6845.
Tatacara/Etika berjima’ (hubungan seksual) dalam Islam yaitu:23 1. Berhias sebelum melakukan jima’ Berdandan dengan hal-hal yang bisa membangkitkan gairah, sangat dianjurkan sebelum melakukan jima’. Contohnya merapikan rambut, mencukur bulu dzakar atau vagina, dan memakai wewangian yang dapat melahirkan kemesraan dan kenikmatan. Karena Allah Swt Maha Indah dan mencintai keindahan. 2. Menyiapkan segelas susu Sunnah lainnya sebelum melakukan hubungan seksual adalah menyediakan minuman yang bisa membangkitkan seks dan membangun kekuatan, seperti susu dan lainnya. 3. Mencumbu dan merayu yang dapat membangkitkan gairah seks Cumbuan, rayuan, dan senda gurau sepasang suami istri sebelum melakukan hubungan seksual yang dapat membangkitkan gairah atau nafsu birahi bukanlah hal tabu dalam pandangan Islam. Sehingga dibutuhkan “Pemanasan” sebelum melakukan hubungan seksual. Ini akan menambah kebahagiaan bagi pasangan suami dan isteri di kehidupan rumah tangga selanjutnya. 4. Hendaklah tidak melihat lubang vagina ketika hubungan seksual
23
Tim Penyusun Al Manar, Fikih Nikah, h.52.
Berhubungan seks adalah sebuah kenikmatan biologis yang pusat kenikmatannya terletak pada alat kelamin. Maka sebagian orang kemungkinan akan merasakan lebih nikmat apabila ketika berhubungan seks melihat alat kelamin pasangannya. Namun dalam etika berhubungan, seorang suami hendaknya tidak melihat lubang vaginanya. Karena ada sebagian istri yang tidak merasa nyaman dan enggan dilihat lubang vaginannya. 5. Membaca doa sebelum berhubungan seksual Islam adalah agama yang mangajarkan umatnya untuk berlindung dari segala godaan setan. Anjuran berlindung darinya bukan hanya setelah lahir dan ketika menjalani kehidupan di dunia saja. Akan tetapi Islam mengajarkan hal ini dari sejak proses pembuahan ovum yang menjadi awal munculnya janin hingga lahirnya anak. Oleh karena itu, setiap muslim yang hendak melakukan hubungan seksual disunnahkan untuk membaca doa agar anak selamat dari godaan dan setan, seperti sabda nabi:
ِ 3َ7 َْ_َنَ و1oَِّ<َْ ا7 َُ,1َ ِِْ ا ِ ا: ََل5 ُ.ُْ اَََآُْ إِذَا اََ أَه1َْ أَن g َََِْ اeَِكَ ذ1ُ-ََ وٌََ َ ْ یeََُِ ِ ذ,ََْ َُِر5 ْْـ ََ َِن5َْ_َنَ ﻡَ رَزo 1 ا (َHَz ا1ِ اBَ)َِﻡIُ اkْ_َنُ اًََا )رَوَاo 1 ا Artinya: “Sekiranya salah seorang di antara kalian ketika mendatangi (berhubungan dengan) isterinya berdoa dengan nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan apa yang Engkau telah memberikan rizeki kepada kami(anak), maka jika ditakdirkan ada anak di antara keduanya
niscaya anak itu tidak tersentuh oleh setan selama-lamanya”. (H.R Al Jama’ah kecuali Imam An-Nasai)24
6. Memakai penutup ketika berhubungan seksual Semua yang di miliki isteri dari ujung rambut sampai ujung kuku adalah milik dan halal untuk dinikmati oleh suaami sehingga isteri tak perlu menutup auratnya di hadapan suaminya dan begitu juga suaminya di hadapan isterinya. Hubungan seksual memang harus memberikan kepuasan. Tetapi tidak berarti harus dilaksanakan dalam keadaan terbuka tanpa selembar benang menutupi tubuh. Tutuplah kedua tubuh dengan selembar kain yang cukup. Nabi bersabda:
(.َ7َُ اِْ ُ ﻡkدُ ا)َِْیْ ِ )رَوَا1َIَ دَا1َIَ َُ ََْْ َ ِْ وَ َی.َْاِذَا اََ اََُآُْ أَه Artinya: “Apabila salah satu di antara kalian mendatangi (berhubungan seksual) dengan isterinya, sebaiknya ia memakai tutup dan tidak telanjang sebagaimana telanjangnya dua onta”.(H.R Ibnu Majah) 25
Selain mengatur etika dalam berhubungan seksual antara suami isteri yang di halalkan dalam agama namun ada beberapa larangan-larangan yang harus
24
Abul Hasan Muslim Al Hajaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shahih Muslim, (Bandung, Dahlan, 1996) cet ke 6 jilid 3 h. 68. 25 Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, “Sunan ibnu majah” Beirut, Daar Fikr, 1990) cetakan 2 Juz I h.404.
ditinggalkan dalam berhubungan seksual dalam syariat Islam, meliputi hal-hal sebagai berikut:26 1. Tidak boleh berhubungan lewat anus (liwath/sodomi) Dalam Islam hubungan seksual suami isteri di berikan kebebasan yang cukup. Tetapi kebebasan ini hanya berlaku jika dilakukan secara manusiawi. Wanita seluruh tubuhnya dapat dinikmati oleh suami kapan dan dimana saja, namun ada bagian tubuh yang suami tidak diperbolehkan, yaitu anus(lubang dubur) sebagaimana sabda nabi:
(.َ7َِى وَ اِْ ُ ﻡnِْْﻡ3 ا،ََُُْ اkﻡَْ)ُْنٌ ﻡَ ْ اََ اِﻡَْاَةٍ ِ دُُِهَ )رَوَا Artinya: ”Terlaknatlah suami yang menyetubuhi dubur isterinya”. (H.R Ahmad, at Tamidzi dan Ibnu Majah)27
2. Larangan menyetubuhi isteri yang sedang haidh dan nifas Jumhur Ulama menetapkan, bahwasanya tidak diperbolehkan berhubungan seksual jika isteri dalam keadaan haid dan setelah melahirkan hingga isteri mandi dan bersih-bersih lebih dulu meskipun darah haidh ataupun darah nifas sudah berhenti karena hal tersebut lebih menambah gairah, nikmat, dan kesenangan dalam berhubungan seksual. 3. Membuka rahasia kamar
26
Muhammad Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Isteri Membahagiakan Isteri Sejak Malam Pertama,(Yogyakarta Pustaka Offset 1999) cetakan I , h. 212. 27 Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, “Sunan ibnu majah” h. 397.
Islam melarang suami isteri menceritakan rahasia kamar yang telah mereka lakukan kepada orang lain. Karena hal ini merupakan rahasia yang harus dijaga oleh keduanya, sehingga perbuatanya tetap tertutup tanpa di ketahui khalayak ramai. Apabila ini terjadi, maka keduanya seakan-akan melakukanya di depan umum. Sabda Nabi:
*ِ-ْ%ُ َِ* اَِ* اَْأَةِ و-ْ%ُ ی0 ُ َ71ِ اBَﻡ1َِِْ ا ِ یَْمَ ا+ ًBَِ}َْسِ ﻡ1 اl َL (ُ ﻡُِْ وَ اَُْ دَاوُدkهَ )رَوَاlُُِ ﺱoَْ ی1ُِ ﺙ.ََْ+ Artinya: “Orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah swt pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang mengauli isterinya dan perempuan yang bergaul dengan suaminya, kemudian ia menyiarkan rahasia”.(H.R Muslim dan Abu Daud) 28
4. Larangan membayangkan tubuh ibunya Setiap suami muslim tatkala sedang melakukan seksual dengan isterinya harus menghindari membayangkan tubuh isterinya itu sebagai ibu kandungnya sendiri. Meskipun jasadnya sedang menyetubuhi isterinya tetapi pikirannya terbayang sedang menyetubuhi ibu kandungnya sendiri. Sebagaimana tercantum dalam al qur’an surat al Mujaadilah ayat 2 yang berfirman:
ُْ,َََِْ وD1 ا1ُِْ إ,َُ,1ِْ إِنْ أُﻡ,َِ,1 أُﻡ1 ُ ه1ِ ﻡ,ِDَ3 3ُ ﻡCِِی َ یُ~َهُِونَ ﻡn1ا (2:BدI)ا.....ً َ اَْْلِ وَزُورا3َاً ﻡCُُْ ََُُنَ ﻡ,1ِوَإ Artinya: “Orang-orang yang mengenggap isterinya sebagai ibunya di antara kalian (padahal jelaslah) bahwa isterinya mereka bukanlah ibu mereka. Ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. 28
Abi Husain Muslim bin Hajaj, Sohih Muslim ( Beirut : Dar Al- fikr , 2005) Juz 1 h. 655
Sesungguhnya mereka itu benar-benar mengucapkan ucapan mungkar lagi dusta.. (QS. Al-Mujadalah: 2) 5. Larangan menyetubuhi isteri dalam masa tersumpah Salah satu sumpah yang dapat menyebabkan talaq atau menyebabkan haramnya suami berhubungan seks dengan isteri yang di sumpah ialah yang dinamakan illa’, yaitu sumpah yang terucap dari mulut suami yang isinya tidak akan berhubungan seks dengan isterinya selama empat bulan atau lebih atau tanpa menyebutkan berapa lamanya. Dengan adanya sumpah tersebut maka suami menjadi haram melakukan hubungan seksual dengan isterinya meskipun talaq belum jatuh. Suami dapat melakukan hubungan seksual dengan isterinya sebelum masa empat bulan setelah membayar kifarat (denda) untuk membatalkan sumpahnya itu.29 Oleh karenanya suami tidak gegabah mengucapkan sumpah. Jika terlanjur terucap sumpah maka segera mencabut sumpahnya dengan kifarat sehingga tidak membuka kesempatan untuk melakukan hubungan seksual yang terlarang. Dari uraian diatas tatacara/etika yang dilakukan suami isteri dalam hubunga seksual disamping terdapat larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan dalam hubungan seksual sesuai yang telah disyariatkan agama. C. Hak dan kewajiban suami isteri pada hubungan seksual
29
A. Ma’ruf Asrori dan Mas’ud Mubi, Merawat Cinta Kasih Suami Isteri, (Surabaya, Pelita Dunia, 1995) Cetakan I, h. 142.
Dalam berumah tangga suami isteri bersama-sama menjalankan tanggung jawab masing-masing agar terwujud ketentraman ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga seeuai dengan tuntutan agama yaitu keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.30 Dalam mengatur dan melaksanakan kehidupan suami isteri untuk mencapai tujuan perkawinan agama mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami isteri. Hak merupakan sesuatu yang diterima, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang dilaksanakan dengan baik.31 Dari apa yang menjadi kewajiban suami terhadap isterinya merupakan hak bagi isteri dan begitu juga sebaliknya apa yang menjadi isteri terhadap suami merupakan hak bagi suami. Hak dan kewajiban itu meliputi: hak dan kewajiban suami isteri, hak dan kewajiban suami atas isteri, serta hak dan kewajiban isteri terhadap suami. 32 1. Hak dan kewajiban bersama suami isteri a. Suami isteri dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual. Perbuatan ini merupakan kebutuhan bersama suami isteri yang dihalalkan secara timbal balik. Jadi bagi suami halal berbuat kepada istrinya sebagaimana isteri kepada suaminya. Dan tidak dibenarkan apabila
30
Abdul Ghani Asykur, Hak Suami Isteri, Dalam Membina Keluarga Sejahtera (Surabaya, Diantama 1998) Cetakan ke-2 h. 116. 31
Sidi nazar Bakry, Kunci Keutuhan Keluarga (Jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya 1993) Cet I
h. 37. 32
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidakmampuan Suami Menunaikan Kewajibannya (,Jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya 1989 ) cet I h 12
hubungan seksual tersebut dilakukan tidak atas dasar suka sama suka, dalam arti kedua pasangan tersebut bisa saling menikmatinya, tidak boleh ada unsur paksaan, karena dalam hubungan suami isteri tetapi justru harus saling melindungi dan menyayangi serta menutupi segala kekurangan dari kedua belah pihak (pasangan). 33 Hal tersebut sesuai dengan firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187.
(187:)ا<ة.... 1 ُ,1 ٌُْ وَأَ ُْ ِ<َسC1 ٌ ِ<َس1 ُه.... Artinya: “…. Isteri-isteri kamu (para suami) adalah untuk kamu, dan kamu adalah pakian untuk mereka….” b. Perkawinan yang diharamkan ialah istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, kakek, anak dan cucunya. Begitu juga ibu istrinya, anak perempuannya dan seluruh cucunya haram dinikahi suaminya. c. Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah, bilamana salah seorang meninggal dunia sesudah sempurnanya ikatan perkawinan yang lain dapat mewarisi hartanya sekalipun belum pernah berhubungan seksual. d. Anak mempunyai nasab (keturunan) yang jelas dari suami. e. Kedua belah pihak wajib bergaul (berprilaku) yang baik, sehingga dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup. Surat an Nisaa ayat 19:
(19: )اء.... ِ َِْ)ُْوف1 ُُِوهLَ+َو... Artinya: “…. Dan bergaulah dengan mereka (istri) dengan patut ….” 33
Firdaweri, Hukum Islam....h.29
Kata-kata
واL+ (ةL))ا
ialah mengandung pengertian
musyarakah (saling melakukan seperti itu) maksudnya suami wajib bergaul dengan isterinya dengan cara yang baik dan begitu pula isterinya wajib pula memperlakukan suaminya dengan baik.34 2. Hak dan kewajiban suami terhadap istrinya Seorang suami dalam menjalankan hak dan kewajiban agar dapat mempergunakan haknya secara benar dan tidak menyalahgunakan haknya sebagai suami di samping menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Telah menjadi timbal balik dalam hubungan suami istri untuk kewajiban suami terhadap isterinya menjadikan hak bagi istri begitu pula sebaliknya sehingga hak-hak isteri haruslah dipenuhi oleh suami sebagai kewajiban dalam rumah tangga. Dalam hal ini penulis memfokuskan pada kewajiban suami terhadap istri dalam hubungan seksual saja sebagai hak bagi istri, antara lain: a. Memenuhi kebutuhan biologis Suami berkewajiban memenuhi kebutuhan biologis terhadap istrinya dengan cara melakukan hubungan seksual. Hal ini telah diatur oleh Allah Swt sebagaimana dalam firman-Nya surat al-Baqarah ayat 223:
(223: )ا<ة... ُْCُِ%َ ْﻡُا3َ5َْ ُْ وpِL *1َُْ أCَُْاْ َْﺙKَ ُْC1 ٌؤُآُْ َْثtَِ
34
Firdaweri, Hukum Islam.... h. 26
Artinya: “…. Isteri-isterimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…”
b. Suami wajib menjaga dan memelihara isterinya Maksudnya ialah menjaga kehormatan istri, tidak menyia-nyiakan dan menjaganya agar selalu melaksanakan semua perintah Allah dan menghentikan segala yang dilarangnya, Allah Swt telah berfirman surat at-Tahrim ayat 6 yaitu:
(6:یX …)ا.ًُْ َراCُِْْ وَأَهCَُ%َُا أ5 ﻡَُاm َ ِیn1َ ا,lیَ أَی Artinya: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”.
c. Memperlakukan isteri dengan patut Isteri sebagi pasangan hidup dalam rumah tangga tidak boleh disakiti maupun diperlakukan tidak patut oleh suami. Suami haruslah memperlakukan isteri dengan patut tanpa menyakiti dari fisik maupun psikis isteri.
35
Allah swt
berfirman dalam surat an Nisa ayat 19 yang berbunyi:
(19: )اء...ِ َِْ)ُْوف1 ُُِوهLَ+َو... Artinya: “…Dan bergaulah dengan perempuan-perempuanmu secara patut…” d. Merawat aspek kelelakian
35
Abdul Ghani Asykur, Hak Suami Isteri : Dalam Membina Keluarga Sejahtera, Surabaya, Diantama 1998 Cetakan ke-2 h.75.
Perawatan aspek kelelakian mendapat sorotan khusus dalam Islam yaitu secara fisik lelaki memilik perbedaan dengan wanita sehingga perawatan kelelakian menjadi pusat perhatian bagi lawan jenisnya. 36 Dalam hadits Nabi bersabda:
ُQْ ِ ََرُ و%َْ` وََُِْْ ا,ُرِب1o اlَ5ََْادُ وXِ ْ وَا`ِﺱ,ُ ِنjِ ا:ٌhَْ ُِ_َْة%ا (ري واj< اkاُِْ )روا Artinya: “Fitrah (kesucian diri) ada 5 hal, yaitu: berkhitan, mencukur rambut kemaluan, merawat kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak”. (HR Al Bukhari dan Muslim)
e. Tidak boleh melakukan ‘azl tanpa seizin isteri Islam
menginginkan
hubungan
antara
suami
isteri
harus
mampu
mempertahankan keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Suami istri saling menjaga perasaan masing-masing dengan saling berkomunikasi, agar tidak terjadi keretakan dalam rumah tangga dalam hubungan seksual suami istri dan untuk itu suami dilarang ‘azl (melepas kemaluan dari lubang vagina di saat mencapai orgasme) tanpa seizin isteri. Sebab dapat menyakitkan hati isteri yang masih dalam keadaan bersyahwat. Oleh karena itu jika suami ingin ‘azl harus dengan izin isteri. 3. Hak dan kewajiban isteri terhadap suaminya Untuk menyeimbangkan kewajiban suami terhadap istri dalam hubungan seksual sebagai hak yang didapatkan bagi istri maka terdapat kewajiban seorang 36
Muhammad Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Isteri Sejak Malam Pertama, Yogyakarta Pustaka Offset 1999 cetakan I h.194.
istri kepada suami untuk memenuhi hak bagi suaminya yang mana kewajiban istri kepada suami mempunyai kaitannya yang tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban suami terhadap istri yaitu : a. Taat kepada Allah dan suami Kewajiban seorang istri untuk taat kepada Allah dan taat kepada suami, antara lain tertuang dalam firman Allah SWT :
(34: )اء...ُ َِ ا%َ َِ ِgَْYِْ ًَ~َِ َُِ َت5 َُتXِ1Oَ Artinya : “…karena itu wanita yang sholehah ialah yang taat kepada Allah, lagi memelihara dirinya di saat suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka) …” (Q.S. an-Nisa: 34) Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kewajiban istri yang baik yaitu mentaati Allah dan suami secara utuh baik di saat suaminya di rumah atau saat suaminya bepergian. Pengertian taat kepada Allah adalah menerapkan segala ketentuan-ketentuan Islam dan menjauhkan segala nilai dan ajaran yang tidak Islami, demikian juga taat kepada suami adalah menerapkan ajaran islam dan menjauhkan segala larangannya dalam kehidupan rumah tangga sehingga rumah tangga itu benar-benar berada di jalan Allah. Hal ini dipertegas lagi dalam sebuah hadits yang berbunyi:
( اkِ ا ِ )رواBَِOْ)ََ ِ* ﻡBَ+َ^ ََو Artinya: “Tidak boleh taat dalam mendurhakai Allah” (HR. ahmad)37
37
Al-Iman Ahmad Ibn Hambal, al-Musnad Lil Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991/1411), cet. 1 Juz 1, h. 202.
Maksudnya yaitu ketaatan pada suami hanya bisa dilaksanakan apabila perintah dan suruhannya tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah. Istri hanya wajib taat kepada perintah dan suruhan suami, apabila perintah itu tidak menyalahi syari’at Islam. b. Isteri harus mematuhi hasrat seksual suaminya 38 Isteri haruslah mematuhi hasrat seksual suaminya kecuali isteri dalam keadaan uzur misalnya sedang haidh ataupun nifas. Ini dijelaskan dalam hadits Nabi yang bersabda:
اِذَا: ََل5 َ1َِ وﺱ.ََْ+ُ * ا1َ; 3<َ ِ ا+ ُ.َْ+ُ َ ْ أَِ* هَُیَْةَ رَﺽَِ ا+ ُBَCِDَََ ا,ْ ََ)َ ًَ<ْ-َF ََ َ<َتHِIَ ْْ اَنJََKَ ِ.ِLُ اَِ* َِا.ََُ اِﻡَْأ0ُ71َ ا+َد (ِ.ََْ+ ٌQَ%1َُ )ﻡNِ<ْOُ *1َ Artinya: “Dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhoinya dari nabi saw beliau bersabda apabila suami mengajak isterinya ke tempat tidur (untuk bersetubuh) lalu isteri tidak mau datang, lantas suami marah, maka malaikat mengutuk isteri tersebut sampai subuh”.( Muttafaq ‘alaih). 39 c. Mempercantik diri untuk suami40 Berpenampilan cantik untuk suami dalam mempertahankan keutuhan perkawinan rumah tangga, selain untuk suami juga untuk mendapatkan ridho kepada Allah swt. Hal ini tersirat dalam sabda Nabi saw yang berbunyi:
38
Firdaweri, Hukum Islam....h. 38
39
Abi Husain Muslim bin Hajaj, Sohih Muslim ( Beirut : Dar Al- fikr , 2005) Juz 1 h. 649.
40
Muhammad Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri.. h.192.
( ﻡkلَ )روا1َ7 lgِXٌُ ی0َِْـ7 ا1اِن Artinya: “Sesungguhnya Allah itu maha indah dan mencintai keindahan”.(HR. Muslim)41 d. Kewajiban pengurus rumah tangga Perbedaan fisiologi dan fungsi antara suami dan isteri, menyebabkan perbedaan kewaiban dan tanggung jawab. Apabila suami bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga secara keseluruhan baik ke luar maupun ke dalam, maka isteri bertanggung jawab terhadap kehidupan rumah tangga secara intern. Seperti yang terdapat dalam hadits Rasulullah yang berbunyi:
ٌُْلpَُْْ ﻡClُُْ رَاعٍ وَآClُCَ ,ََ وَوَِِه,ِ7ِْ زَوJَْ *ََ+ ٌBَِ+وَاَْْأَةُ رَا... (رىj< اNX;) َ,ِ 1ِ+ََ ْ ر+ Artinya: “Tiap-tiap wanita (isteri) adalah pengurus bagi rumah tangga suaminya dan akan ditanyakan (diminta pertanggungjawaban) tentang kepemimpinannya itu” (HR. Bukhari)42
Jadi hak dan suami isteri yang saling mengisi antara kekurangan masingmasing personal. Keseimbangan inilah yang membuat hubungan seksual suami isteri lebih bergairah. Selain itu, komunikasi antara suami isteri dalam berhubungan seksual dapat mengetahui kehendak posisi dan variasi dalam hubungan seksual akan saling terpenuhi tanpa ada paksaan yang akan
41
42
Husain Muslim bin Hajaj, Sohih Muslim..... h.599. Shahih Bukhari, h. 5200.
menimbulkan kekerasan seksual disebabkan ada yang tersakiti dalam hubungan seksual.
BAB III
KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
A. Tinjauan umum tentang kekerasan seksual Kekerasan berasal dari kata keras, yang artinya secara umum menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah:43 1. Perihal yang bersifat, berciri keras; 2. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; 3. Paksaan. Dalam kamus hukum terdapat istilah geweldpleding yang berasal dari kata geweld yang berarti paksaan
atau ancaman dengan kekerasan sedangkan
geweldpleding bermakna perbuatan dengan kekerasan terhadap diri seseorang atau barang.44 43
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, ( Jakarta, Balai Pustaka, 1989) Cetakan Ke-2 h. 424. 44
h.56
Simorangkir, Rudi T. Erwin J.T Prasetyo, “Kamus Hukum” (Jakarta : Aksara Baru, 1987)
Sedangkan pengertian kekerasan yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 89 yang berbunyi: “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan mengunakan kekerasan”. Dari pengertian kekerasan tersebut, beberapa pakar mengungkapkan arti kekerasan. Menurut Dra. Mufidah ch., M.Ag., kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat terhadap orang atau sejumlah orang yang berposisi lemah. Bersaranakan kekuatanya entah fisik maupun non fisik yang superior dengan kesengajaan untuk menimbulkan rasa derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan.45 Sedangkan Arif Gosita dalam bukunya yang berjudul masalah korban kejahatan (kumpulan karangan) mengartikan kekerasan adalah suatu pengaruh tertentu yang menyebabkan realitas jasmani dan mental aktual seseorang ada di bawah realitas aktualnya yang mana sistem atau kondisi atau perlakuan yang menyebabkan seseorang tidak dapat mengaktualisasikan potensi dirinya. Kekerasan tersebut mengacu pada suatu bentuk operasi, penindasan, pemaksaan, dan berbagai bentuk perlakuan lain yang menyebabkan seseorang dirugikan atau mengalami dampak negatif dalam berbagai bentuk.46 Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang terhadap korbannya
45
46
Mufidah ch, Paradigma Gender, ( Malang: IB Bayu Media ,2004) cet . ke-2 h 146.
Arif Gosita, “Masalah Korban Kejahatan (kumpulan karangan)”. (Jakarta : PT Buana, Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2004), Edisi ke-3 h. 64.
yang lemah dengan tindakan kekerasan yang berupa penganiayaan, pemaksaan, ancaman dan sebagainya yang mengakibatkan penderitaan ataupun kerugian bagi korban. Dalam kehidupan rumah tangga dapat terjadi suatu kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan adanya pihak yang lemah yaitu perempuan karena perempuan dianggap makhluk lemah sehingga perlu adanya perlindungan dari negara dalam menangani kekerasan dalam rumah tangga. Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.47 Di dalam pasal 2 Undang-Undang No 23 Tahun 2004, yang dimaksud dalam rumah tangga yaitu: 1. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini adalah:
47
Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Bandung : Citra Umbara, 2004) h.3
a. Suami, isteri dan anak b. Orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut 2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Secara garis besar pasal 2 Undang-Undang tersebut merumuskan beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia, yaitu:48 1. Tindakan secara fisik, seksual dan psikis terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan dan anak-anak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan perkawinan, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), pengerusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekerasan yang terjadi di luar hubungan suami isteri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi. 2. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan seksual, dan
48
Nathalie Kollman, Kekerasan Tehadap Perempuan:Progran Seri Loka Karya Kesehatan Perempuan, ( Yogyakarta, YLKI dan The Ford Foundation, 1998) cet ke-2 h. 9.
ancaman seksual terjadi di tempat kerja, lembaga pendidikan dan lain-lainnya termasuk perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. 3. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara dimanapun terjadinya. Dalam hal ini, perempuan yang dianggap lemah dalam kehidupan rumah tangganya sering mendapatkan perlakuan kekerasan dari pihak yang lebih kuat darinya. Kekerasan seksual salah satu bentuk kekerasan yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga antara suami dan isteri. Pasal 5 bab III dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjelaskan tentang larangan kekerasan dalam rumah tangga yang berbunyi:”Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: 1. Kekerasan fisik 2. Kekerasan psikis 3. Kekerasan seksual; atau 4. Penelantaran rumah tangga Kekerasan seksual dijelaskan lagi dalam pasal 8 yang berbunyi:” Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual yang dimaksudkan dalam ketentuan Undang-Undang ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Menurut rekomendasi umum PBB No 19 tentang kekerasan terhadap perempuan dalam sidang ke-11 tahun 1992 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, diakui bahwa pelecehan seksual termasuk perbuatan yang tidak menyenangkan yang dilakukan dalam bentuk tingkah laku, seperti kontak fisik, dan bercumbu rayu, memperlihatkan gambar porno, dan tuntutan seks, baik dengan kata-kata maupun tindakan yang harus ditiadakan karena dapat menimbulkan masalah keamanan dan kesehatan. Pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual selain dalam rumah tangga tercantum pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 285 yang berbunyi:” barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. 49 Kekerasan seksual adalah paksaan seseorang untuk melakukan seksual yang berada dalam lingkup rumah tangga. Menurut Elli N. Hasbianto kekerasan
49
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta : Rieneka Cipta, 1990) cet ke 1 h 115.
seksual berupa pemaksaan dalam melakukan hubungan seksual, pemaksaan selera seksual dan pemaksaan seksual tanpa memperhatikan kepuasan isteri. 50 Dalam bidang relasi seksual yang dijalankan oleh suami dan isteri adalah bahwa diantara keduanya harus saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling mengabaikan hak dan kewajiban. Kekerasan seksual dalam rumah tangga terbagi beberapa macam, yaitu :51 1. Hubungan seksual dengan paksaan Yaitu seperti memukul dengan menghempaskan istri atau korban ke tempat tidur, bila menolak hubungan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang terjadi. 2. Hubungan seksual dengan ancaman Ada sedikit perbedaan antara paksaan dengan ancaman, hubungan seksual dengan ancaman tidak langsung mengenai fisik korban. Mengancam dengan senjata tajam, misalnya meskipun merupakan bentuk kekerasan seksual fisik korban belum dilukai. Pada tipe kekerasan seksual dengan ancaman, meskipun tidak melukai fisik, kekerasan tipe ini mengarah pada kekerasan yang dapat menghancurkan kepribadian korban / perempuan.
50
Elli, Hasbianto, Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Potret Malam Kehidupan Perempuan Dalam Perkawinan, Pemakalah Seminar Nasional dari “ Perlindungan Perempuan Dari Pelecehan Dan Kekerasan Seksual”, Yogyakarta 6 November 1996 . 51
Nurul Ilmi Idrus, Manital Rape, Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gajah Mada Yogyakarta 2003, cet ke-1, h. 69
3. Hubungan seksual dengan pemaksaan selera sendiri Yaitu hubungan yang dilakukan sepasang suami isteri, sang suami memaksakan kehendak dengan minta pasanganya melakukan hubungan seks dengan gaya diluar kebiasaan (aneh), hubungan seksual dengan paksaan selera sendiri akan mengakibatkan trauma yang mendalam terhadap isteri. 4. Hubungan seksual di bawah pengaruh obat-obatan terlarang atau dengan minuman keras. Bentuk lain dari kekerasan seksual adalah hubungan intim yang dilakukan dengan maksud untuk menyakiti isteri. Cara yang dilakukan dengan menenggak ekstasi terlebih dahulu sehingga suami dalam keadaan tidak sadar diri dan kemudian bersenggama dengan isteri. Pada waktu lain suami melakukan hubungan seksual dalam keadaan mabuk. Dalam hal ini suami berbuat untuk membuktikan bahwa dia tetap sebagai penguasa atas isterinya. Krisis kewibawaan yang menunjukkan bagaimana suami tetap berusaha menjadi orang yang dominan dan menjadikannya sebagai ajang untuk menyiksa isteri. B. Kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga Kekerasan seksual yang dapat terjadi di dalam rumah tangga berbentuk tindak kekerasan yang berupa kekerasan fisik dan kekerasan psikis sehingga menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.
1. Kekerasan fisik Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada pasal 5 berbunyi :”Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:52 a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik menurut pasal 6 Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Dari definisi di atas tidak disebutkannya cedera, cacat, pingsan, gugurnya kandungan dan kematian dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai akibat kekerasan, bahkan dalam penjelasan pasal 5 jo. 6 dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga hanya menyebutkan cukup jelas sehingga belum jelas akibat yang ditimbulkan adanya kekeran dalam rumah tangga.. Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang berupa secara langsung maupun tidak
52
langsung,
yang
langsung seperti:
menampar,
memukul,
Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Bandung : Citra Umbara, 2004) h. 5
menjambak, menendang, mencakar, membenturkan kepala ke tembok, menyuluti dengan rokok dan lain sebagainya dan bentuk kekerasan yang tidak langsung berupa memukul meja, pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan berlaku kasar. 2. Kekerasan psikis Kekerasan psikis menurut pasal 7 Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah : “Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang”. Dalam penjelasan pasal 7 undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tidak memberikan penjelasan lebih jauh mengenai kondisi seseorang yang mengalami kekerasan psikis berat. Penjelasan ini penting karena untuk membuktikan kekerasan psikis termasuk tidak mudah dan tidak setiap orang dapat menilai bahwa seseorang mengalami kekerasan psikis, termasuk hakim. Untuk mengatasi kesulitan pembuktian ini, Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memberikan terobosan dengan cara mengajukan visum psikiatrium yang dilakukan oleh mereka yang ahli di bidangnya. Kekerasan psikis merupakan salah satu bentuk kekerasan domestik yang dapat mengakibatkan menurunnya percaya diri seseorang. Bentuk kekerasan tipe ini memang tidak menimbulkan tanda-tanda sebagaimana kekerasan fisik seperti memar, bengkak, ataupun lainnya. Kekerasan psikis seperti ini dapat berupa
ucapan kasar, jorok, mencaci maki, menghina, mendiamkan, menteror baik langsung ataupun melalui telepon, berselingkuh di depan mata atau tanpa sepengetahuan isteri atau bahkan pada ancaman menceraikan isteri, sampai mengisolasikan isteri dari dunia luar. C. Sanksi Hukum Terhadap Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Sanksi hukum Terhadap Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdapat pada: -
Pasal 46 berbunyi: “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
-
Pasal 47 berbunyi: “Setiap orang yang memaksakan orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
-
Pasal 48 berbunyi: “Dalam hal perbuatan sebagaiman dimaksud dalam pasal 46 dan 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara selama singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Selain ancaman pidana penjara dan / atau denda tersebut diatas, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan, sesuai pasal 50 dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berisi mengenai: 1. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dengan korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hakhak tertentu dari pelaku. 2. Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu. Bentuk sanksi hukuman bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang tercantum dalam pasal 44 sampai pasal 49 ditambah dengan sanksi hukuman pidana tambahan. Dalam hal ini dikarenakan kekerasan dalam rumah tangga sudah merupakan kejahatan martabat kemanusiaan serta sebagai pelajaran bagi pelaku atas perbuataanya kepada korban atau sebagai pembalasan yang seimbang atas perbuatan pelaku kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, walaupun tidak dapat mengobati psikologis korban seperti semula. Selain itu, sebagai upaya mencegah untuk tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga karena
begitu berat jenis hukuman untuk pelaku kekerasan dalam rumah tangga baik hukuman penjara atau hukuman dendanya. Dengan demikian setiap orang akan tetap menjaga keharmonisan rumah tangganya tanpa ada kekerasan sesama anggota keluarga. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga beserta sanksinya sangatlah tepat untuk di negara ini untuk menekan tindakan kekerasan yang terjadi dalam keluarga, karena pandangan masyarakat menilai masalah keluarga merupakan masalah pribadi dalam keluarga sehingga pemerintah tidak dapat mencampuri urusan rumah tangga.
BAB IV KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UNDANG UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Menurut Islam Kekerasan seksual yang dipahamai menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.53 Kekerasan seksual dalam rumah tangga diatur dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pasal 8 yang berbunyi: ” Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi:54 c. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut. d. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
53
Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Bandung, Citra Umbara, 2007), h.4 54
Ibid, h.6
Pasal tersebut menjelaskan suatu kekerasan seksual di dalam rumah tangga merupakan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terbagi 2 kategori, yaitu: 1. Orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga. 2. Salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain dengan tujuan tertentu Jadi kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup rumah tangga mencakup suami, isteri, anak, orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang dikarenakan hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Sedangkan orang lain adalah orang yang bekerja dipandang sudah
dianggap sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Istilah seksual dalam Islam disebut dengan jima’. Jima’ dalam arti fuqoha adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh dua pasangan yang sah (bertemunya dua khitaini dari dua pasangan yang sah), minimal masuknya kepala dzakar ke lubang vagina meskipun tidak sempurna dan tanpa mengeluarkan sperma. Jika dilakukan oleh dua pasangan yang belum dan atau tidak diikat dengan akad nikah yang sah, maka dianggap sebagai zina.55
55
Tim Penyusun Al Manar, Fikih Nikah : Panduan Syar’I Menuju Rumah Tangga Islami, (Bandung, Syaamil Cipta Media, 2007) Cetakan ke-3 h.51.
Islam mengajarkan kepada umatnya berbuat baik dalam berhubungan seksual sebagai kode etik hubungan seksual kehidupan berumah tangga. Seorang suami haruslah mengerti perasaan hati pasangannya yaitu isterinya dalam hubungan seksual, begitu juga sebaliknya isteri sebagai pasangan seorang suami mengerti kehendak pasanganya, jika pasangan suami isteri mampu menjaga perasaan masing-masing pihak, maka kehidupan rumah tangga mencapai keharmonisan untuk kepentingan bersama. Dalam al qur’an disebutkan untuk memperlakukan dalam hubungan seksual yang baik adalah secara patut antara suami dan isteri, yang tercantum dalam surat an Nisa ayat 19 yang berfirman:
(19 : )اء.... ِ َِْ)ُْوف1 ُُِوهLَ+َو... Artinya: “…. Dan bergaulah dengan mereka (isteri) dengan patut ….” Jika salah satu pasangan melakukan hubungan seksual merasa tidak suka atau dalam keadaan terpaksa, maka dianggap sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Karena kekerasan seksual merupakan pemaksaan dalam melakukan hubungan seksual, pemaksaan selera seksual dan pemaksaan seksual tanpa memperhatikan kepuasan isteri. Kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga menurut Islam menjelaskan beberapa larangan dalam hubungan seksual. Larangan tersebut merupakan bentuk kekerasan seksual yang di larang dalam berumah tangga yang
mencakup di dalamnya kekerasan fisik dan psikis56. Berbeda dengan UndangUndang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang membedakan kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga. Menurut Islam, kekerasan seksual yang dilarang terjadi di dalam rumah tangga meliputi:57 1. Dilarang Menyakiti Isteri Islam sangat menentang segala bentuk perbuatan yang dapat menyakiti sesama manusia, terutama sesama muslim. Apalagi terhadap isteri yang wajib di cintai dan disayangi oleh suami. Perasaan dan tubuh seorang isteri bukanlah untuk disakiti, tetapi harus mendapatkan perlakuan yang lebih terpuji dari pasangannya. Terlebih lagi dalam berhubungan seksual. Rasulullah melarang menyakiti isteri seperti sabdanya:
َُْْهCَ ََ وJََْ اِذَا اَآ,ُ ِ)ْ_ُ :ََل5 ِ؟.ََْ+ َََِ زَوْجِ اlQَ َ ﻡ, یَرَﺱُْلَ ا kِ )رواJِْ<َ ِ ا1`َِْ ا,ْIَ َ`َ وNِ<ُْ َ`ََ و.ْ7َِْبِ ا-َ َ`َ و،َJََْ ْاِذَا اآ (.7 و ا ﻡ, اء, ا داود,ا Artinya:” Ya rasulullah, apa hak isteri dari kami?” jawab beliau: Memberinya makan tatkala kamu makan dan memberinya pakaian tatkala kamu berpakaian, jangan pukul wajahnya, jangan kamu hinakan dia, dan jangan 56
Abdul Ghani Asykur, Hak Suami Isteri : Dalam Membina Keluarga Sejahtera, (Surabaya, Diantama 1998) Cetakan ke-2, h.93. 57
Muhammad Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Isteri Sejak Malam Pertama, (Yogyakarta Pustaka Offset 1999) cetakan I h. 212.
pisahkan dia, kecuali tempat tidur(tatkala dia nuzyus)” ( HR Ahmad, Abu Dawud, an Nasai dan Ibnu Majah)58 Dengan demikian, jelaslah bahwa menyakiti isteri di luar aktivitas seks adalah perbuatan yang dilarang, apalagi tatkala melakukan hubungan seksual. Kekerasan dengan menyakiti isteri dapat menganggu seksual isteri. Dalam pengetahuan ilmu kedokteran, kekerasan seksual seperti ini disebut dengan sadisme yaitu pemuasan seksual yang abnormal. Sadisme adalah seorang yang mendapatkan kepuasan seksual dengan menyiksa pasangannya secara fisik dan psikis lawannya. Bentuk sadistis dalam hubungan seksual berupa tindakan memukuli pasangannya, menampar, mengigit, mencekik, dimana korban disiksa. Pelaku sadisme biasanya lebih sering terjadi pada kaum pria yang dianggap dominan dalam rumah tangga. 2. Larangan hubungan seksual lewat anus (liwath/sodomi) Seluruh tubuh wanita bisa dinikmati oleh suami kapan dan dimana saja sehingga hubungan seksual antar suami isteri diberikan kelonggaaran yang cukup. Tetapi kelonggaran ini hanya berlaku jika dilakukan secara manusiawi. Terdapat bagian tubuh dari isteri yang suami tidak diperbolehkan menikmatinya yaitu anus (dubur). Larangan tersebut di sebutkan dalam hadits:
(.َ7َِى وَ اِْ ُ ﻡnِْْﻡ3 ا،ََُُْ اkﻡَْ ُ)ْنٌ ﻡَ ْ اََ اِﻡَْاَةٍ ِ دُُِهَ )رَوَا Artinya: ”Terlaknatlah suami yang menyetubuhi dubur isterinya”. (H.R Ahmad, at Tamidzi dan Ibnu Majah)59 58
Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, “Sunan ibnu majah” (Beirut, Daar Fikr, 1990) cetakan 2 Juz I h.447
Menurut Marzuki Umar Sa’abah dalam bukunya “Seks dan Kita” Larangan hubungan seksual lewat anus karena dalam pemakaian anus untuk hubungan seksual sangat berbahaya karena anus (dubur) tidak memproduksi pelumas seperti halnya alat kelamin perempuan dan bagian dalam anus memiliki kulit yang mudah terluka, sehingga jika suami melakukan hubungan seksual melewati anus pasanganya bisa terjadi luka sehingga dapat melukai isteri. 3. Tidak diperbolehkan ‘azl ‘Azl adalah melepas dzakar di saat mencapai orgasme agar sperma tidak tumpah di dalam rahim60. Rasulullah saw menamakan pembunuhan yang tersembunyi terhadap anak. Jika suami telah terlaksana hajatnya (orgasme) maka hendaknya menunggu sampai hajat isteri terpenuhi sehingga si isteri juga terlaksana hajatnya. Sebab orgasme isteri kadang-kadang lebih lama, maka berguncanglah nafsu syahwatnya. Maka suami dilarang melakukan azal tanpa seizin isteri. Untuk itulah suami harus selalu menjaga perasaan isteri. Perilaku semacam ini dalam Islam tidak diperbolehkan karena mengandung unsur kekerasan seksual terhadap isteri yang seharusnya mencapai orgasme bersama bukan untuk suami semata.
59
Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan ibnu majah , h.450.
60
A. Hasan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung, Diponegoro, 1997) Cetakan Ke-1, h.511.
Dalam riwayat Imam Ahmad dan Ibn Majah dari Umar bin Khattab ra. berkata “Rasulullah saw telah melarang melakukan azal terhadap isteri kecuali atas izinnya.(HR Imam Ahmad dan Ibnu Majah). 4. Dilarang menyetubuhi isteri yang sedang haid dan nifas. Jumhur ulama menetapkan, bahwasannya tidak diperbolehkan berhubungan seksual kepada isteri sampai isteri mandi dan bersih-bersih lebih dahulu meskipun darah haid atau nifas sudah berhenti. Karena hal ini lebih memberikan gairah, kenikmatan dan kesenangan dalam bersenggama selain ada larangan mendekati isteri sebelum bersuci.61 Hal ini juga dibahas dalam surat al-Baqarah ayat 222 yang berfirman:
َ َِ(ِ وXََْء ِ ا3ْ َ}ُِاْ ا+َ ْ هَُ أَذًى0ُ5 ِ(ِXََْ ِ ا+ َeََُKَْوَی ` َ.ّ ا1ُ إِن.ّ ﻡِ ْ َُْ أَﻡََآُُ ا1 ُُْهKَ َْن1,َ_َ ُْنَ َِذَا,ْ_َ*َ ی1َ 1 ََُُْه َ ِی3,َ_َ ُْ اlgِXُاِ َ وَی11 اlgِXُی Artinya:”Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah haid itu adalah kotoran. Oleh karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka dengan di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.
Suami boleh bersenang-senang dengan seluruh bagian tubuh dari isterinya namun tidak diperbolehkan hubungan seksual pada tempat yang tidak boleh didatangi, sebab diharamkanberhubungan seksual denga isteri yang sedang haid, 61
Tim Penyusun Al Manar, Fikih Nikah, Panduan Syar’I Menuju Rumah Tangga Islami, (Bandung, Syaamil Cipta Media, 2007) Cetakan ke-3 h. 56
karena menyakitkan dan menyakitkan itu tetap ada pada tempat yang tidak di boleh didatangi. Kekerasan seksual menurut Islam yang telah dipaparkan sebelumnya merupakan kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga sehingga hukum Islam memberikan etika/tatacara dalam hubungan seksual yang lebih patut terhadap pasangannya untuk menghindari kekerasan seksual dalam berhubungan seksual. Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan seksual dijelaskan lagi dalam pasal 8 yang berbunyi:” Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut. b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan omersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual yang dimaksudkan dalam ketentuan Undang-Undang ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Islam pun menjelaskan bahwa kekerasan seksual yang mengandung unsur merugikan sebelah pihak dalam hubungan seksual dari hal-hal yang tidak disukai ataupun perilaku yang menyimpang (tidak wajar), Islam mengkategorikan sebagai kekerasan dalam hubungan seksual.
B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Undang Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Kehidupan dalam rumah tangga yang mawadah, sakinah dan rohmah adalah dambaan setiap pasangan suami isteri yang haruslah saling mengerti dan menjaga perasaan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antar suami dan isteri. Jika sebelah pihak dominan kepada pasangannya, maka tidak ada keseimbangan dalam rumah tangga sehingga terjadi tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam Islam perempuan sangat dimuliakan bukan karena ia sebagai seorang ibu semata, tapi karena seorang perempuan adalah makhluk yang sempurna sama seperti laki-laki yang mempunyai harkat dan martabat. Hubungan antara laki-laki dan perempuan (suami-isteri) dalam Al-Qur’an digambarkan secara rapi seperti dalam tubuh yang saling mendukung dan mempengaruhi. 62 Dalam Al-Qur’an disebutkan surat Ar-Ruum 21 ;
ُْCََْ َ0َ)َ7ََ و,َُُِْْا إCَْ ِ ً7ُْ أَزْوَاCُِ%َُْْ ﻡِ ْ أCَ َQََ ْ أَن,َ.َِوَﻡَ ْ ءَاَی (21:)اوم.ََُوْنC1%َ ََیَتٍ َِْمٍ یKَ َeَِ ِ ذ1ٌ إِنBََْةٌ وَر1ﻡََد Artinya:
62
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaranmu rasa kasih
Hj. Mursyidah Thahir, “Kekerasan Rumah Tangga dan Konsep Nusyuz”, Dalam Jurnal Pemikiran Islam Tentang Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: 2000 PP Muslimat NU dengan Penerbit Logos Wacana Ilmu).
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.63
Ayat di atas menjelaskan tujuan utama dilangsungkannya rumah tangga untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman, maka Islam melarang kekerasan dalam rumah tangga sebab Nabi yang mengatakan bahwa :
َ َ ذَآ1ُ ﺙ:َّ1َِ وَﺱ.ََْ+ُ ا1َ; ُِ<َ1َ اgَ_َ :ََل5 ًBَ)َْ<ِْ ا ِ اِْ ُ زَﻡ+ ْ َ+ ُ.1َ)ََِ؟ وBََِْ اْ`َﻡ7 ُ.ََُ اََُآُْ اِﻡَْا3ْIَ اََْمُ ی:ََل5 1ُ ﺙ1 ِ,ِْ ُْ,َ~َ+ََ َءtَِّا (.7 ا ﻡkَ )روا.ِِِیَْﻡm ْ َِﻡ,َ)ِ7َ-ُأَنْ ی Artinya : Dari Abdillah bin Zam’ah berkata : Nabi berkhutbah dan menyinggung masalah wanita. Beliau berkata: “tidak malukah lakilaki memukul istirinya seperti memukul budak di siang hari lalu mencampurinya di malam hari. (HR. Ibnu Majah).64 Konsep Islam tentang keluarga adalah suami memperlakukan istrinya dengan baik dan benar bukan dengan kekerasan. Dalam al-Quran diesbnutkan pada surat AnNisa ayat 19 :
ًpَْL َْهُاCَ ْ َ)ََ أَن1 ُ َِْ)ُْوْفِ َِنْ آََهْ ُُْه1 ُُِوْهLَ+َو... (19: )اء.ِ ًَْا آَ\ًِْا.ِْ َ ا0َ)ْIَوَی Artinya : ……Dan pergaulilah mereka dengan secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka. (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menyediakan padanya kebaikan yang banyak.65
63
Depag RI, h. 644.
64
Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazaid al-Quzwiniy, “Sunan Ibnu Majah”, Juz I
65
Depag RI, h. 119.
h.455.
Al-Ghazali (W. 505 H/ 1111 M), hujjatul Islam, adalah tokoh yang pertama Izuddin bin Abd. Saalam (W. 660 H/1261 M) dan Abu Ishaq al-Syatibi (W. 790 H/ 1388 M), yang merumuskan secara sistematis hak-hak manusia. Lima dasar, yang telah dikenal dengan al-Dharuriyah al-Khamis, hak-hak manusia yang harus dihormati untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman, yaitu : (1) hifz al –diin, yaitu menghormati kebebasan beragama dan beribadah (2) hifz al-nafs yakni melindungi nyawa manusia denagn berbagai negara dari berbagai macam bahaya dan segala bentuk kekerasan (3) hifz al’aql, yakni menghargai perbedaan pendapat (4) hifz al-nasl, menjaga keturunan (5) hifz al-maal, yakni menghormati harta dan kekayaan baik milik orang lain maupun milik sendiri.66 Lima prinsip dasar ini berlaku bagi semua agama dan merupkana normanorma dasar yang melekat pada setiap manusia yang lahir dimuka bumi ini sebagai fitrah kemanusiannya. Dengan demikian aktualisasi prinsip tersebut tidak boleh membedakan perbedaan yang ada, jenis kelamin, ras, agama, golongan, etinis dan warna kulit. Penegakan hak-hak dasar ini harus memperhatikan prinsip keadilan, kemerdekaan, kebersamaan, egaliterianisme, dan kesamaan di depan hukum.
66
h. 268.
Al-Ghazali, “Al Mustashfa Min ‘Ilmi Al Usul”, (Bairut, Dar Ihya al-turats al-Arabi), Jilid I,
Konsep dasar dari penerapan hak-hak dasar tersebut adalah daf’ul Mafâsid dan jalbul manâfi’ menegakkan kebaikan atau mewujudkan kesejahteraan umum dan meninggalkan atau menolak segala hal yang bersifat destruktif.67 Atas dasar uraian tersebut diatas bahwa seluruh pemikiran dan sistem apapun yang melegitimasi praktek kekerasan, diskriminasi, marganlisasi, missogyny dan penindasan tehadap siapapun harus ditolak demi agama, kemanusiaan dan keadilan karena dapat merugikan orang lain. Konsep islam tersebut menjelaskan bahwa inti dari pernikahan adalah hubungan seksual. Agar hubungan dalam rumah tangga penuh dengan kebahagian maka harus mengetahui etika-etika yang dilakukan dalam berhubungan seksual. Antara suami dan isteri saling memperlakukan dengan patut dan baik tanpa ada kekerasan seksual ataupun paksaan di dalamnya, tanpa ada yang merasa tersakiti baik dari suami maupun isteri Hal ini disebutkan dala al qur’an surat an Nisaa ayat 19 yang berfirman:
1 ُُُه-ْ)َ َ`ََء آَْهً و3ُْ أَن َِﺙُاْ اCَ l0ِXَﻡَُاْ `َ یm َ ِیn1َ ا,lَ أَی
1 ُُِوهLَ+ٍَ وBَ3َ
Syafiq Hasyim, “Menakar “Harga” Perempuan : eksplorasi Lanjut atas hal Reproduksi Perempuan dalam Islam”, (Bandung : Mizan , 1999) Cet. Ke-1, h. 205.
yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Isteri diumpamakan sebagai ladang atau tanah bercocok tanam. Sedangkan suami sebagai pemilik ladang tersebut seharusnya menjaga isteri sebaik-baiknya. Dalam al-qur’an al Baqarah ayat 223 yang berfirman:
(223:k<ْ ُْ……)اpِL *1َُْ أCَُْاْ َْﺙKَ ُْC1 ٌؤُآُْ َْثtَِ Artinya: “Isteri-isterimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”.
Dalam ayat-ayat tersebut menjelaskan kebebasan suami dapat menikmati seluruh tubuh isteri dengan sesuka hati baik depan, belakang, samping kanan maupun samping kiri asalkan ke tempat yang dihalalkan oleh agama. 68 Kebebasan yang diberikan kepada suami pastilah ada batasnya sehingga tidak boleh melanggar etika hubungan seksual sehingga menghindari adanya kekerasan seksual dalam rumah tangga. Nabi merupakan contoh untuk diteladani dalam rumah tangga, karena dalam rumah tangga beliau belum pernah terjadi pemukulan ataupun kekerasan seksual. Dalam riwayat Imam Nasai, Siti Aisyah r.a mengisahkan bahwasanya: “Rasulullah saw belum pernah memukul isteri dan
68
Jasim Bin Muhammad Bin Muhalhil Al Yasin, Seks Islami : Mencapai Nikamatnya Hubungan Suami-Isteri Menurut Islam, Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2006 Cetakan Ke-2 h. 38.
pembantunya. Beliau tidak pernah memukul dengan tangannya kecuali dalam jihad fi sabilillah atau (ketika) larangan-larangan Allah Swt dilanggar”.69 Namun Islam juga mengkategorikan kekerasan seksual dalam rumah tangga
meliputi: menyakiti isteri dalam hubungan seksual yang dalam ilmu
kedokteran disebut sebagai sadisme yaitu pemuasan seksual abnormal dengan cara menyiksa mencekik, memukul, dan sebagainya dengan tujuan menyakiti pasangannya,
dilarangan
hubungan
seksual
lewat
anus
(dubur),
tidak
diperbolehkan ‘azl, dilarang menyetubuhi isteri yang sedang haid dan nifas. Semua kategori kekerasan seksual tersebut merupakan bentuk kekerasan dalam seksual. Dilarangnya perilaku tersebut karena dapat menyakiti isteri dalam bentuk seksual. Islam mengajarkan beberapa etika dalam hubungan seksual diantaranya adalah: berhias sebelum melakukan jima’. Menyiapkan segelas susu, Mencumbu dan merayu yang dapat membangkitkan gairah seks, hendaklah tidak melihat lubang vagina ketika hubungan seksual, membaca doa sebelum berhubungan seksual, memakai penutup ketika berhubungan seksual. Etika-etika dalam Islam tersebut diharapkan menghindari kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga dengan memperlakukan pasangan dengan baik dan patut dapat menjadikan kehidupan rumah tangga yang harmonis secara Islami. Sedangkan dalam Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, penjelasan tentang kekerasan 69
Tim Penyusun Al Manar, Fikih Nikah, h. 101.
seksual dalam pasal 8 yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan kekerasan seksual dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu”. Dari penjelasan kekerasan seksual dalam rumah tangga menurut Undang Undang
tersebut melarang adanya kekerasan dalam bentuk apapun dari
kekerasan fisik, kekerasan psikis maupun kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga. Menurut Islam, melarang kekerasan seksual dalam rumah tangga yangmana ditekankan untuk suami, karena suami mempunyai kekuasaan dominan dalam keluarga. Terdapat perintah dari Allah swt dalam suami mengauli isteri dengan patut (baik), tanpa menyakiti isteri dari kekerasan baik dari kekerasan fisik, kekerasan seksual, maupun kekerasan psikis. Uraian di atas disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dilarang dalam Islam maupun dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), baik kekerasan dalam bentuk fisik, psikis ataupun seksual. Hubungan antara suami dan isteri haruslah saling menjaga perasaan disaat dalam kehidupan sehari-hari maupun ketika dalam hubungan seksual agar tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga dan tetap terjaga keharmonisan dalam berkeluarga.
C. ANALISIS PENULIS
Kekerasan seksual dalam rumah tangga dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran rumah tangga. Dalam hal ini kekerasan seksual dalam undang-undang ini tidak memberikan bentuk-bentuk maupun jenis-jenis kekerasan seksual dalam rumah tangga yangmana diatur dalam pasal Kekerasan seksual dijelaskan lagi dalam pasal 8 yang berbunyi:” Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi: e. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut. f. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual dalam rumah tangga terdapat pada pasal Pasal 46 berbunyi: “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Sedangkan kekerasan seksual dalam rumah tangga menurut Islam menjelaskan tindakan-tindakan yang dianggap merupakan kekerasan seksual dalam rumah tangga yaitu melarang menyakiti isteri, larangan hubungan seksual lewat anus (liwath/sodomi), tidak diperbolehkan ‘azl tanpa seizin isteri dan dilarang menyetubuhi isteri yang sedang haid dan nifas. Dalam kekerasan seksual
ini, islam tidak memberlakukan undang-undang khusus dalam menanggani kekerasan seksual dalam rumah tangga bagi pelaku. Jadi Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak memberikan penjelasan tentang bentuk dan jenis kekerasan seksual dalam rumah tangga sedangkan Islam memberikan penjelasan bentuk dan jenis kekerasan seksual dalam rumah tangga namun tidak memberlakukan khusus undang-undang yang mengatur kekerasan seksual bagi pelaku.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah undang undang yang mengatur tentang penghapusan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang berupa kekerasan dalam bentuk fisik, seksual, psikis dan atau penelantaran rumah tangga. Kekerasan seksual dalam rumah tangga diatur dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pasal 8 yang berbunyi: ” Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi: g. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut. h. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sedangkan sanksi hukuman bagi pelaku kekerasan seksual yang diatur dalam Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah pasal 46 dan 47 dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah) dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 2. Menurut Islam Kekerasan seksual dalam rumah tangga meliputi: menyakiti isteri dalam hubungan seksual yang dalam ilmu kedokteran disebut sebagai sadisme, larangan hubungan seksual lewat anus (dubur), tidak diperbolehkan ‘azl tanpa seizin isteri dan dilarang menyetubuhi isteri yang sedang haid dan nifas. Terdapat pula perintah dari Allah swt dalam suami mengauli isteri dengan patut (baik), tanpa menyakiti isteri dari kekerasan baik dari kekerasan fisik, kekerasan seksual, maupun kekerasan psikis sesuai dengan Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) berupa kekerasan fisik, seksual, psikis dan penelantaran rumah tangga
B. Saran 1. Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah yang pelik dan komplek. Karena suami dan isteri harus menyatukan pandangan dalam kehidupan berumah tangga. Pada umumnya masyarakat masih menganggap kekerasan dalam rumah tangga bukanlah bentuk kejahatan ataupun pelanggaran hukum. Masyarakat memandang bahwa masalah hubungan seksual antara suami isteri adalah hubungan pribadi suami isteri yang tidak dapat dicampuri ataupun tersentuh dengan orang lain. Bahkan penegak hukum pun tidak dapat
memasuki urusan pribadi seseorang dalam rumah tangga. Pihak yang selalu lemah yaitu wanita selalu mendapat perlakuan kekerasan dari suaminya sendiri. Oleh karena itu, adanya Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga melindungi pihak yang lemah tidak akan menerima perlakuan dari pasanganya sendiri. 2. Untuk para suami yang menjadi pemimpin dalam keluarga, haruslah bertindak secara arif dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam ruamah tangga. Bukanlah tindakan kekerasan sebagai akhir jawaban permasalahan tetapi lebih mementingkan musyawarah dalam keluarga. 3. Untuk masyarakat haruslah mengerti jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga dapat mengadakan tindakan preventif sebelum terjadinya kekerasan tersebut agar tidak ada pihak yang dirugikan. 4. Bagi penulis sebagai pendidikan dan pengetahuan untuk kelak dalam hidup berumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya, Departemen Agama, Jakarta, 1971 Ahkam, Jurnal ilmu-ilmu syari’ah dan hukum, Fakultas syariah dan hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta, 2007 Abdul Ghani Asykur, Hak Suami Isteri : Dalam Membina Keluarga Sejahtera, Surabaya, Diantama 1998 Cetakan ke-2 A. Hasan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung, Diponegoro, 1997 Cetakan Ke-1 A. Ma’ruf Asrori dan Mas’ud Mubi, Merawat Cinta Kasih Suami Isteri, Surabaya, Pelita Dunia, 1995 Cetakan I Abul Hasan Muslim Al Hajaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shahih Muslim, (Bandung, Dahlan, 1996) cet ke 5 Abi Husain Muslim bin Hajaj, Sohih Muslim ( Beirut : Dar Al- fikr , 2005) Juz 1 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1995 Cet ke-1 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta : Rieneka Cipta, 1990) cet ke 1 Arif Gosita, “Masalah Korban Kejahatan (kumpulan karangan)”. (Jakarta : PT Buana, Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2004), Edisi ke-3 A. Ma’ruf Asrori dan Mas’ud Mubi, Merawat Cinta Kasih Suami Isteri, (Surabaya, Pelita Dunia, 1995) Cetakan I Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, “Sunan ibnu majah” Beirut, Daar Fikr, 1990) cetakan 2 Juz I Al-Iman Ahmad Ibn Hambal, al-Musnad Lil Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991/1411), cet. 1 Juz 1, Al-Ghazali, “Al Mustashfa Min ‘Ilmi Al Usul”, (Bairut, Dar Ihya al-turats al-Arabi), Jilid I, Atabik Ali, dkk, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996), cet. 3,
Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, 2007 Bakry, Sidhi Nazar, Kunci Keutuhan keluarga, Jakarta, PT Bina Ilmu Jaya, 1993 Cetakan ke I Dr Handrawan Nadesul, Mitos Seputar Seks : Seks Jangan Dipingit, Jakarta, Puspa Swara, Cetakan I 1997 Elli, Hasbianto, Kekerasan Dalam Runah Tangga : Potret Malam Kehidupan Perempuan Dalam Perkawinan”, Pemakalah Seminar Nasional dari “Perlindungan Perempuan Dari Pelecehan Dan Kekerasan Seksual”, Yogyakarta 6 November 1996 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidakmampuan Suami Menunaikan Kewajibannya,Jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya), 1989) cet I Jasim Bin Muhammad Bin Muhalhil Al Yasin, Seks Islami : Mencapai Nikamatnya Hubungan Suami-Isteri Menurut Islam, Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2006 Cetakan Ke-2 Muhammad Ali ash-Shobuni, Sofwatu Tafasir, ( Beirut, Daar Fikr, 1990) cetakan 2 Marzuki Umar Sa’abah, Seks dan Kita, Jakarta, Gema Insani Press, 1997 Muhammad Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Isteri Sejak Malam Pertama, Yogyakarta Pustaka Offset 1999 cetakan I Mufidah ch, Paradigma Gender, ( Malang: IB Bayu Media ,2004) cet . ke-2 Nathalie Kollman, Kekerasan Tehadap Perempuan:Progran Seri Loka Karya Kesehatan Perempuan, ( Yogyakarta, YLKI dan The Ford Foundation, 1998) cet ke-2 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan , “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Jakarta, Balai Pustaka, 1989 Cetakan Ke-2 Simorangkir, Rudi T. Erwin J.T Prasetyo, “Kamus Hukum” (Jakarta : Aksara Baru, 1987 Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Keluarga (Jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya,1993) Cet I
Syafiq Hasyim, “Menakar “Harga” Perempuan : eksplorasi Lanjut atas hal Reproduksi Perempuan dalam Islam”, (Bandung : Mizan , 1999) Cet. Ke-1, Tim Penyusun Al Manar, Fikih Nikah : Panduan Syar’I Menuju Rumah Tangga Islami, Bandung, Syaamil Cipta Media, 2007 Cetakan ke-3 Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam Tinjauan Antar Mazhab, Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 2001 Cetakan Ke-2 Tatapangarsa, Humaidi, Drs, Sex Dalam Islam, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1980) Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Bandung, Citra Umbara, 2007) Nurul Ilmi Idrus, Manital Rape, Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gajah Mada Yogyakarta 2003, cet ke-1 Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa adilatuhu,”, 1997 juz 9