Karya Ilmiah
PENGHAPUSAN KDRT (KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA)
Oleh : Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN 2007
KATA PENGANTAR Keberadaan UU Penghapusan KDRT sungguh menggembirakan, karena sarat dengan
janji
yang
diharapkan
dapat
meminimalisasi
keberadaan
KDRT.
Implementasi, itulah yang selalu menjadi masalah atas segala peraturan yang ada di negeri ini, termasuk yang terkait dengan upaya mereduksi terjadinya KDRT. Keraguan atas implementasi UU Penghapusan KDRT ini cukup beralasan karena masih kurangnya pemahaman masyarakat bahkan aparat bahwa KDRT merupakan sebuah bentuk tindak kriminal. Masih banyak menganggapnya sebagai masalah pribadi sehingga kurang berempati pada korban, banyak perempuan yang karena ketidakberdayaannya menjadi enggan melapor bila mengalami kekerasan. Tidak dipungkiri bahwa UU Penghapusan KDRT merupakan terobosan penting dalam upaya menghapuskan kejadian kekerasan dalam rumah tangga. Namun, hal tersebut tidak akan berarti apa-apa apabila tidak diiringi dengan upaya serius dari kita semua untuk mengimplementasikannya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga menerima kritikan yang membangun bagi kesempurnaan karya ilmiah ini kedepannya. Kiranya tulisan ini dapat berguna bagi setiap pembaca.
Medan, Mei 2007 Penulis
Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Tujuan Penulisan
4
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
5
2.1. Perspektif Kekerasan
5
2.2. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
13
2.3. Bentuk - Bentuk KDRT
14
2.4. UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
BAB III
BAB IV
(PKDRT)
17
PEMBAHASAN
21
3.1. Implementasi UU PKDRT
21
3.2. Solusi
26
3.2.1. Konsep Pemberdayaan Perempuan
29
3.2.2. Membangun Strategi Kampanye Media
34
KESIMPULAN DAN SARAN
39
4.1. Kesimpulan
39
4.2. Saran
40
DAFTAR PUSTAKA
42
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Bulan April selalu diperingati sebagai Hari Kartini yang dikenang oleh bangsa Indonesia sebagai pejuang hak-hak kaum perempuan. Kartini dianggap sebagai simbol atau mitos bagi gerakan perjuangan emansipasi wanita. Kalau dulu Kartini diimpit oleh persoalan untuk mendapatkan hak-haknya, Kartini-Kartini saat ini pun tidak lepas dari permasalahan. Salah satu permasalahan yang mendapat perhatian besar dari para aktivis perempuan saat ini adalah masalah kekerasan terhadap perempuan. Tanggal 25 November adalah Hari Internasioal Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Sebagian masyarakat internasional sepakat menjadikan momen ini untuk menguatkan gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia, karena kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan yang menghambat tercapainya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan jika dilihat dari persepsi hak asasi, fenomena ini merupakan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. Maraknya isu kekerasan terhadap perempuan seperti dilecehkan, diperkosa, dibunuh, dan menjadi korban perselingkuhan beberapa tahun belakangan ini telah memasuki wilayah paling kecil dalam tatanan yaitu keluarga. Kekerasan ini seakan menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan terhadap perempuan di tengah-tengah masyarakat terjadi dalam bentuk antara lain; pelecehan seksual, pemerkosaan, penodongan, penjambretan dan pembunuhan; perdagangan perempuan sebagai TKW ke luar negeri, sebagai penghibur di tempat-
1
tempat hiburan, atau sebagai pekerja seks; eksploitasi tubuh perempuan untuk media cetak -- seperti majalah porno -- atau media elektronik - seperti vcd dan sebagainya. Kekerasan perempuan di tempat kerja antara lain berupa perbedaan gaji dan tunjangan antara laki-laki dan perempuan, tidak diberikannya cuti haid, cuti hamil, dan melahirkan, serta pelecehan seksual yang dilakukan oleh atasan, penyiksaan, dan pemerkosaan oleh majikan kepada pembantu dan sebagainya. Bentuk-bentuk kekerasan ini tentu saja menjadi trauma bagi korban dan menimbulkan masalah psikologis lainya seperti mimpi buruk, halusinasi dan psikosomatis. Apalagi pelaku umumnya adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban seperti suami, ayah, kakek, paman, yang setiap hari hidup bersama. Menurut catatan Komnas Perempuan dari 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan, 2.703 (46%) adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Angka ini adalah peristiwa yang berhasil dimonitor atau dilaporkan, karena angka-angka ini bagaikan fenomena gunung es, dimana kasus yang tampak hanyalah sebagian kecil saja yang terungkap. Mengingat sebagian besar masyarakat masih melihat kekerasan dalam lingkup domestik dianggap sebagai urusan privat dan aib yang tidak layak untuk diungkap. Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UndangUndang ini tentu saja disambut baik oleh kalangan pejuang dan pembela hak-hak perempuan, antara lain karena berdasarkan Undang-Undang tersebut posisi perempuan di dalam rumah tangga menjadi kuat dan “bertenaga”.
2
Salah satu contohnya seorang suami bisa dikenakan sanksi pidana bagi kekerasan seksual yang dilakukannya kepada istrinya. Akan tetapi, Undang-Undang ini tidak akan efektif, apabila perempuan korban kekerasan masih melakukan “budaya diam”. Dengan kata lain Undang-Undang ini mengisyaratkan kepada perempuan untuk berani bicara dan melaporkan segala tindak kekerasan yang dialaminya, karena selama ini “budaya diam” inilah yang menjadi kendala terbesar bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Ini menjadi semakin sulit disentuh karena struktur sosial, persepsi masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis menyebabkan sulit mengakui adanya masalah dalam rumah tangga (apapun resikonya). Di sisi lain, langgengnya kekerasan terhadap perempuan juga berkaitan dengan kontruksi budaya yang mengandung nilai-nilai yang melekat pada perempuan sehingga kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan bisa dianggap sebagai hal yang “wajar”. Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan suami-istri yang bersangkutan, yang harus diselesaikan oleh mereka berdua, juga turut menghambat proses perlindungan terhadap perempuan. Sebagian besar masyarakat juga berpendapat bahwa campur tangan pihak lain seperti keluarga, masyarakat, maupun pemerintah dianggap tidak lazim. Selama ini, dalam menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan UU Perkawinan, sebagian besar korban kekerasan memilih melakukan perceraian, hanya sedikit korban yang bersedia membawa kasusnya diproses secara pidana. Kondisi tersebut terjadi karena masih sedikit perempuan yang menyadari bahwa kekerasan yang dialaminya merupakan kejahatan. Dan kalaupun perempuan telah menyadarinya, perlu ada kemauan untuk membawa kasusnya diproses secara hukum.
3
Sebagaimana luas diketahui, Kerangka Aksi Deklarasi Beijing tahun 1995 memandatkan upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan penghapusan kekerasan terhadap perempuan bagi negara-negara yang terlibat dalam penandatanganan deklarasi. Pada kenyataannya, meski sudah melampaui waktu sepuluh tahun, kita masih melihat perkembangan yang kurang menggembirakan dalam upaya-upaya yang diharapkan ini. Bagi Indonesia, meski sudah memberlakukan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), masih terdapat banyak kelemahan yang harus terus dibenahi. Karena itu, masih sangat jauh dari harapan penggunaan UU ini untuk menyentuh pada kasus-kasus kekerasan psikis, seksual dan ekonomi sebagaimana dimandatkan oleh UU PKDRT. Dalam pengertian yang lain, masih cukup tajam gap antara UU PKDRT sebagai gagasan ideal dan perangkat implementasinya sehingga bisa menjadi operasional.
1.2. Tujuan Penulisan Uraian tersebut di atas adalah salah satu bentuk dari upaya pemberdayaan kaum perempuan di Indonesia, agar lebih kritis dan tanggap terhadap hak dan kewajibannya baik di rumah tangga maupun di tempat kerja. Atas dasar itu maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang kekerasan dalam rumah tangga serta bagaimana upaya untuk mengatasinya.
4
BAB II KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
2.1. Perspektif Kekerasan Siapa pun, apakah itu laki-laki, atau perempuan, bahkan anak-anak, dapat menjadi pelaku dari korban kekerasan. Namun demikian, kecendrungan umum dan secara kuantitas jumlahnya cukup besar, yang menjadi pelaku kekerasan adalah lakilaki dewasa dan yang menjadi korban dari kekerasan tersebut adalah perempuan dan anak-anak. Kekerasan memang nampak sering dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang dianggap lebih kuat, atau yang lebih tepat, dominan dan memiliki otoritas tertentu. Umpamanya, laki-laki kepada perempuan, suami kepada istri, orang dewasa atau orang tua kepada anak-anak, dan negara kepada warga negaranya. Mengapa demikian? Karena pada laki-laki, suami, orang dewasa, dan negara melekat pada diri mereka anggapan bahwa mereka memiliki wewenang tertentu yang lebih ketimbang yang lainnya. Mereka yang memiliki wewenang lebih itu cenderung akan melakukan kekerasan bila merasa wewenang mereka ada yang melanggar, tidak dipatuhi. Para feminis menganggap bahwa banyaknya jumlah korban kekerasan terhadap perempuan tidak lepas dari kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap perempuan. Negara membuat sejumlah kebijakan atau hukum yang tidak menguntungkan perempuan. Kekerasan yang dilakukan negara menggunakan berbagai perangkat kekuasaan yang dimilikinya, yaitu kekuasaan politik, sistem, ideologi, dan yang paling sering digunakan adalah aparat represif. Semua ini terjadi karena kekuasaan negara didominasi oleh laki-laki. Sebab, laki-laki dengan bias kelelakiannya tidak akan
5
memahami permasalahan sebenarnya yang dihadapi oleh perempuan. Akibatnya mereka tidak memiliki empati terhadap perempuan sehingga banyak membuat kebijakan yang merugikan kaum perempuan. Hal ini terlihat misalnya dari dominasi kaum pria dalam aspek kekuasaan terlihat dari perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang menduduki kursi di parlemen khususnya Indonesia, dimana perempuan hanya menduduki dan terwakili sebanyak 8,8% di Dewan Perwakilan Rakyat dan 8,6% di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sementara itu, adanya pandangan bahwa peran reproduktif dan domestik perempuan seolah-olah tidak memberikan kontribusi apa-apa bagi perempuan, menjadikan perempuan manusia kelas dua. Hal inilah yang kemudian mendorong kaum feminis menyerukan agar perempuan ramai-ramai terjun ke sektor publik demi memperjuangkan kesetaraan gender. Walaupun memang pada kenyataannya tidak semua wanita yang terjun ke sektor publik untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Namun, terlepas dari itu semua, kenyataannya banyak perempuan yang kemudian memasuki ke hampir semua bidang yang digeluti laki-laki, baik di pemerintahan, kantor-kantor swasta, menjadi buruh pabrik, olah ragawan, dan sebagainya. Selain hal tersebut, mereka juga meyerukan untuk menyelesaikan persoalan perempuan melalui jalan birokrasi parlemen. Mereka beranggapan, hanya dengan cara mempengaruhi atau bahkan menguasai birokrasi serta memperbanyak jumlah perempuan yang duduk di parlemen, persoalan perempuan dapat dituntaskan. Wanita dianggap lebih rendah powernya di dalam keluarga jika tidak menghasilkan uang. Sedangkan faktor-faktor lain nonmateri seperti cinta, kasih sayang, dedikasi dan kesetiaan, diabaikan sehingga tugas reproduktif dan domestik wanita seolah-olah tidak mempunyai kontribusi apa-apa dalam pembangunan.
6
Dengan kata lain, sesungguhnya kekerasan itu potensial dan sudah melekat di dalam hubungan-hubungan antara suami-istri, orang tua-anak, dan negara-warga negara. Hal itu disebakan, pola relasi di antara kedua belah pihak menunjukan adanya ketidakseimbangan, yang satu memiliki otoritas yang lebih besar daripada yang lain. Kekerasan yang sudah potensial ada di dalam pola hubungan tersebut kemudian akan terwujud bila mereka yang merasa diri mempunyai wewenang lebih, kelompok dominan, katakanlah tidak dituruti aturan-aturan dan perintahnya. Kekerasan itu pada dasarnya adalah semua bentuk prilaku, baik verbal maupun non verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional atau psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya. Kekerasan adalah suatu perlakukan atau situasi yang menyebabkan realitas aktual seseorang menjadi ada di bawah realitas potensialnya. Artinya, ada sebuah situasi yang menyebabkan potensi individu menjadi tidak muncul. Situasi yang menyebabkan potensi individu menjadi terhambat itu bermacam-macam, dapat berupa teror berencana yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi ketakutan dan tertekan; dapat berupa pengekangan terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga itu menjadi bodoh, terbelakang, tidak punya inisiatif, dan apatis. Kekerasan tersebut, seperti disinggung diatas, bisa dilakukan siapa pun dan lembaga apa pun yang dianggap lebih dominan. Bisa dilakukan oleh orang asing atau orang yang tidak dikenal; suami; pacar; tunangan; bekas suami; teman bermain; anggota keluarga; dan teman kerja. Pelaku lainnya adalah atasan kerja/majikan; guru/dosen/pengajar, pemberi jasa tertentu (konselor, dokter, pekerja sosial). Disamping itu, negara pun bisa menjadi pelaku kekerasan, seperti yang dilakukan oleh polisi/militer; dan penjabat tertentu. Pelaku-pelaku kekerasan itu dapat terdiri atas satu
7
orang individu dan dapat pula dilakukan oleh lebih dari satu orang (kelompok atau organisasi). Semua bentuk kekerasan, siapa pun pelaku dan korbannya, bisa berlangsung dalam tiga wilayah. Pertama, kekerasan dalam area domestik, yakni kekerasan pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluarga. Termasuk disini penganiayaan terhadap istri, pacar, bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan atas orang tua, serangan seksual dan perkosaan oleh anggota keluarga. Kedua, kekerasan pada area publik, yakni bentuk kekerasan yang menjadi tempat-tempat kerja, ditempattempat umum, di lembaga-lembaga pendidikan; di sini termasuk masalah pornografi. Dan ketiga, kekerasan yang dilakukan oleh dan dalam lingkup negara, terutama dalam hal ini menyangkut berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia. Juga telah disebut di atas, secara umum yang sering menjadi korban kekerasan adalah kaum perempuan yang dilakukan oleh orang atau lembaga yang dominan, terutama di sini kaum laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin bisa mengakibatkan terjadinya kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, karena diancam, dipaksa, atau dirampas kemerdekaannya secara sewenangwenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Berdasarkan
Deklarasi
Penghapusan
Kekerasan
Terhadap
Perempuan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (1993), kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup tindakan kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat, yang terbentuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan dan anak-anak, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktik-
8
praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, seperti perkosaan, pelecehan dan ancaman seksual di tempat-tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan, perdagangan perempuan dan pelacuran secara paksa. Ada beberapa bentuk kekerasan atas perempuan ini : Pertama, kekerasan fisik, yakni setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh, dan atau menyebabkan kematian. Kedua, kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak. Ketiga, kekerasan seksual yakni perbuatan pelecehan seksual sampai memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau di saat korban sedang tidak menghendakinya. Keempat, kekerasan ekonomi, yakni setiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang; dan atau membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi atau menelantarkan anggota keluarga. Dan lima, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, yakni perbuatan yang menyebabkan terisolasinya seseorang dari lingkungan sosialnya, umpamanya larangan keluar rumah atau berkomunikasi dengan orang lain. Bila ditelaah mengenai penyebab munculnya kekerasan pada perempuan, sedikitnya ada tiga penjelasan. Pertama, penjelasan yang mengarah pada kondisi internal, karakteristik pribadi pelaku kekerasan. Misalnya, kekerasan dilakukan oleh orang-orang yang terganggu, tertekan, memiliki banyak masalah, yang masalah-masalah 9
itu kemudian direspons dengan cara melakukan kekerasan pada orangorang disekitarnya yang terdekat, seperti pada istri, anak kandung atau tiri perempuan, kerabat, pacar, tunangan, adan teman perempuannya. Kedua, penjelasan yang mengarah ke alasan-alasan yang dilekatkan ke karakteristik pribadi korban kekerasan. Disini kejadian kekerasan dianggap ‘diprovokasi” oleh korban sendiri, misalnya karena tingkah laku yang menyebabkan mudah mengalami kekerasan, umpamanya penuntut, histeris, dan masokistik. Namun dari hasil-hasil penelitian, kasus-kasus ini jumlahnya sedikit. Artinya, bahwa kekerasan pada perempuan sebagian besar tidak diprovokasi oleh korban itu sendiri. Hanya sering muncul aplogia dari kaum laki-laki yang melakukan kekerasan atas perempuan, misalnya yang memperkosa, bahwa perkosaan yang ia lakukan karena perempuan itu sendiri memberi rangsangan, umpamanya berpakaian minim atau berprilaku menggoda. Ketiga, penjelasan yang melihat bahwa tindak kekarasan merupakan produk dari lingkungan sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan kepentingan laki-laki, sambil sekaligus menganggap perempuan sebagai jenis kelamin yang kurang bernilai dibandingkan dengan laki-laki. Melalui penjelasan ketiga inilah sebenarnya kita bisa melihat bagaimana lakilaki dan perempuan mengembangkan karakteristik kepribadian dan respons yang berbeda. Laki-laki yang cenderung diistimewakan dan sekaligus mendapat tugas menjadi kepala keluarga akan menjadi pihak yang terus menerus merasa perlu meyakinkan dirinya bahwa ia memang mampu dan dapat mengendalikan keluarga 10
(harus dituruti oleh istri dan anak), dan mesti menjadi orang nomor satu. Ia perlu terus melakukan langkah-langkah untuk meyakinkan dirinya, bahwa ia memang penting, istrinya mesti menghormati dan berada di bawahnya. Disamping itu, laki-laki sejak usia sangat dini telah disosialisasikan dalam keluarga dan dalam lingkungan masyarakatnya untuk berani dan menyukai kekerasan, melalui berbagai bentuk permainan, olah raga yang keras, tontonan-tontonan yang menyuguhkan kekerasan sebagai cara untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Sementara perempuan disosialisasi untuk bersikap lemah lembut, lebih mengutamakan pelayanan dan perawatan pada orang lain, mesti bersikap sabar, mengalah, dan meminggirkan kepentingan-kepentingannya. Perempuan dianggap tidak pantas melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas fisik yang keras, juga dilarang menyatakan perasaan-perasaannya secara terbuka. Karena itu, dapat dimengerti mengapa kecendrungan lebih besar perempuan akan menjadi korban kekerasan ketimbang lakilaki. Dengan kata lain, mengacu pada tipologi kekerasan yang dilakukan laki-laki atas perempuan dan anak-anak dapat dibedakan ke dalam tiga jenis. Pertama, kekerasan fisik, yang secara teknis dinamakan represi, yakni penggunaan kekuatan fisik berupa ancaman, teror, intimidasi, sampai pada pemukulan, dalam rangka pemaksaan kehendak laki-laki dan menekan dan membatasi kehendak pihak perempuan dan anak-anak. Di sini yang dilanggar adalah asas otonomi setiap individu, karena orang dipaksa melakukan suatu tindakan yang menurut pertimbangannya sendiri tidak patut, atau bahkan tidak boleh dilakukan. Kedua, kekerasan struktural atau dominasi. Wujudnya terdapat dalam keadaan tidak berimbangnya antara berbagai kekuatan sosial (unequal exchange of social forces). Di
11
dalam rumah tangga misalnya, ketidakseimbangan itu nampak mencolok antara lakilaki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai anggota keluarga. Dominasi seperti ini merupakan kekerasan, karena struktur yang ada sudah membuat pihak yang satu lebih kuat dan lebih unggul, sementara pihak lain lebih lemah dan terbelakang. Pihak yang terakhir dengan terpaksa oleh keadaan menerima kondisinya yang tidak menguntungkan. Dalam konteks ini, ada selisih kekuasaan (power differential) yang menyebabkan pihak yang lebih lemah harus terus-menerus menerima paksaan dari pihak yang lebih kuat, tanpa dapat memberikan perlawanan atau melakukan negosiasi untuk perbaikan keadaan. Dominasi ini telah melembagakan ketimpangan dalam pembagian hak dan karena itu melanggar asas keadilan. Dan ketiga, kekerasan kultural atau hegemoni. Dalam konteks ini, yang terjadi adalah ketidakseimbangan dalam pertukaran makna (unequal exchange of meaning). Pihak yang satu, laki-laki, dianggap yang memproduksi makna, sedangkan pihak yang lain, perempuan dan anak, hanya menjadi konsumennya. Hegemoni adalah makna yang diterima bukan karena adanya bobot kebenaran yang dikandung di dalamnya, tetapi oleh bobot kekuasaan dan kewibawaan yang mendukungnya.
Hegemoni ini
mengakibatkan macetnya kebebasan berpikir dan kemungkinan berpendapat yang kemudian menyebabkan seseorang lebih menerima pendapat orang lain yang didanggapnya lebih berwibawa daripada mencoba mengajukan pendapat sendiri.
12
2.2. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berdasarkan UU No 23/2004, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan, secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Korban KDRT umumnya adalah perempuan yang menjadi ibu, istri, anak, saudara kandung, atau tinggal bersama pelaku. Kasus KDRT umumnya dilakukan oleh suami. Lembaga non pemerintah Mitra Perempuan mencatat bahwa pada tahun 2005, kekerasan yang dialami perempuan 86,81 persen adalah KDRT dan 77,36 persen pelakunya adalah para suami. Selain suami, KDRT juga dilakukan oleh pacar/teman dekat (9,01 persen), saudara (6,15 persen), mantan suami (3,08 persen), serta orangtua atau mertua dan majikan (0,22 persen). Para pelaku memiliki status sosial, ekonomi, dan latar belakang pendidikan yang beragam. Dengan demikian, KDRT tidak melulu terjadi pada orang yang memiliki status sosial, ekonomi, dan pendidikan, yang rendah. Data menunjukkan, KDRT sudah mulai meresahkan. Peningkatan kasus setiap tahun menunjukkan persoalan ini tidak bisa dianggap sepele. Kondisi ini sekaligus menunjukkan penyadaran terhadap penghapusan KDRT masih belum berjalan secara maksimal. Dari sisi peraturan perundangan, sebetulnya perangkat hukum yang tersedia sudah cukup memadai. Tetapi sayang, belum dimanfaatkan secara maksimal. Sebut saja UU No 23/2004 tentang Penghapusan KDRT, SKB Layanan Terpadu Tahun 2002, Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, UU Nomor 7 Tahun
13
1984 tentang Konvensi Perempuan (CEDAW), serta Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 tentang Komnas Perempuan. Aparat penegak hukum memiliki pandangan berbeda mengenai peraturan perundangan tersebut. Akibatnya, sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku relatif belum menimbulkan efek jera. Kita berharap dengan sosialisasi yang dilakukan secara gencar mengenai penghapusan KDRT membuat berbagai kalangan dapat memahami betapa persoalan kekerasan terhadap perempuan harus segera dihentikan, apa pun bentuknya.
2.3. Bentuk - Bentuk KDRT 1. Financial Abuse Ini termasuk jika pasangan sangat perhitungan dengan masalah uang, misalnya istri cuma diberi uang sebesar Rp.10.000 sehari, dan sebelum tidur di malam harinya, maka sang istri harus melaporkan secara detail untuk apa saja uang tersebut, jangan sampai lupa penggunaannya walaupun cuma seribu rupiah, karena bisa jadi itu menjadi pangkal pertengkaran. Intinya adalah orang yang sangat amat pelit sekali terhadap masalah uang. 2. Emotional Abuse Kalau masalah ini sangat banyak contohnya, seperti mengumpat/ mengucap kata kotor/ mencaci maki, dan sejenisnya 3. Fisik Abuse Yang ini lebih jelas lagi, yaitu adanya tindakan pemukulan/ penganiayaan fisik baik tanpa alat maupun dengan alat bantu, termasuk pelecehan seksual dan perkosaan.
14
4.Stalking Ini merupakan masalah yang agak umum, jadi kalau pasangan sudah mengintimidasi dengan cara menelpon hampir setiap detik, menit, jam, untuk sekedar menanyakan "kamu dimana? sedang apa? sama siapa? dll". Itu termasuk yang harus diwaspadai oleh kita Atau jika ada seseorang yang selalu menguntit kita kemanapun pergi, mengamati dan membuat kita merasa jengah tidak nyaman, itu juga perlu diwaspadai.
Kebanyakan para ibu berpikir seperti ini : "Ibu, kan seorang istri itu sudah selayaknya untuk bersabar dan bersabar menghadapi jika suaminya melakukan tindak kekerasan? Karena mungkin memang kita yang salah, jadi suami jadi marah besar begitu.." Namun Dr. Nalini seorang psikiater menanggapi hal tersebut : "Persepsi itulah yang harus diluruskan, bersabar itu bukanlah tanpa usaha, bersabar itu kadarnya tawakkal, kalau ibu cuma pasrah dan nrimo itu bukan bersabar namanya, lagipula apa ibu rela, jika anak anak sampai melihat tindak kekerasan itu? Jangan salah, anak yang menyaksikan/ bahkan mengalami tindak kekerasan itu punya kans besar untuk menjadi pelaku/ korban tindak kekerasan kelak di usia dewasanya, karena itu bisa menyebabkan trauma yang hebat dan terbawa sepanjang hidupnya, dan lagi, lelaki dan perempuan itu tercipta untuk saling menghargai, masing masing adalah makhluk ciptaan Tuhan, bukan sansak hidup yang bisa diperlakukan semaunya seperti binatang" Pada intinya, pakem orang jawa yang senantiasa mengutamakan "bibit, bebet, bobot" bukanlah isapan jempol belaka. Itu adalah benar adanya, karena orang yang sedari kecilnya sering melihat atau lebih parahnya sering mendapat/ melakukan tindakan
15
kekerasan, maka dia punya kans besar untuk mengulanginya di masa dewasa/ telah berumah tangga. Kasus kekerasan terhadap istri, tentu saja memberikan dampak. Secara fisik dapat menimbulkan luka. Ini adalah dampak yang paling transparan. Hasil penelitian kolektif RAWCC (2001) memperlihatkan bahwa sepertiga dari istri yang mengalami penganiayaan mendapat cedera fisik. Bahkan pemantauan Kalyanamitra di tujuh surat kabar/majalah Jakarta memperlihatkan bahwa dari 36 kasus kekerasan terhadap istri, enam orang (14,3%) diantaranya meninggal (1997). Jumlah ini meningkat pada tahun 1998, dari 21 kasus, 9 (42,9%) diantaranya meninggal. Selain cedera, dampak fisik juga dapat berupa sakit kepala, asma, sakit perut, serta gangguan kesehatan reproduksi seperti mengalami keputihan. Bahkan bagi istri yang sedang hamil, kemungkinannya mengalami keguguran menjadi dua kali lebih besar. Sedangkan secara psikis, kekerasan akan membuat istri menderita kecemasan, depresi dan sakit jiwa akut. Juga akan mereduksi kemampuannya dalam menyelesaikan masalah. Tidak tertutup kemungkinan memunculkan keinginan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku. Yang sangat mengkuatirkan, kekerasan terhadap istri juga berdampak bagi anak-anaknya. Bagi yang masih bayi, besar kemungkinan ia tidak lagi akan dapat merasakan nikmatnya air susu ibu (ASI), sebab stress akan membuat produksi ASI berkurang bahkan berhenti. Belum lagi dengan melemahnya kemampuan menguasai diri, baik dari suami maupun istri akan membuka kemungkinan mereka bertindak kejam terhadap anak. Kondisi ini tentu tidak baik bagi anak, karena akan membuat mereka trauma baik fisik maupun psikis. Yang membuat mereka menjadi sering
16
gugup, suka menyendiri, cemas, sering ngompol, gelisah, gagap, sering menderita gangguan perut, sakit kepala, asma, kejam pada binatang, suka memukul teman, dsb. Yang sangat dikuatirkan adalah, tumbuhnya pemahaman pada anak (terutama laki-laki) bahwa kekerasan adalah hal yang wajar dan timbulnya persepsi bahwa tidaklah perlu menghormati perempuan. Kondisi ini akan membuka kemungkinan di saat besar nanti, merekapun melakukan kekerasan. Sebuah penelitian yang memperlihatkan bahwa 50 –80% suami yang memukul istrinya atau anak-anaknya dibesarkan dalam rumah tangga yang ayahnya memukuli ibunya (Farha Ciciek, Iktiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, 1999).
2.4. UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka-PKTP), yang merupakan gabungan LSM perempuan se-Indonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi UU. Pertimbangan lahirnya UU 23 /2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) antara lain adalah bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus; korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat, agar terhindar dan
17
terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Kekerasan dalam rumah tangga dalam UU PKDRT didefinisikan sebagai, setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dengan kata lain, ruang lingkup KDRT menurut UU PKDRT meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Sebelum lahir UU PKDRT, anggota keluarga yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga hanya dapat menuntut kekerasan fisik yang diatur dalam KUHP, berdasarkan pasal penganiayaan, dan apabila terjadi kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri, istri tidak dapat menuntut karena KUHP tidak mengaturnya. Beberapa keuntungan dari adanya UU No. 23 tahun 2004 ini adalah : Pertama, kasus KDRT bukan lagi delik aduan dari korban. Bahkan dalam pasal 15 diungkapkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya, termasuk melaporkan ke polisi. Selama ini, adanya ketentuan aduan dari korban membuat hanya 15,2 persen dari korban KDRT yang lapor ke polisi, sebagaimana catatan Mitra Perempuan. Mayoritas korban memutuskan pindah dari rumah (45,2 persen). Bahkan ada 10,9 persen memilih berdiam diri (Suara Karya, 9/10/04). Dari sedikit yang melapor tersebut, tidak semua berlanjut hingga ke pengadilan, sebab banyak yang kemudian mencabut aduannya. Di Polda Metro Jaya misalnya, dari 118 kasus yang sampai ke proses penyidikan antara tahun 2001-2003, hanya 19 kasus (16 persen) yang
18
dilanjutkan sampai ke tingkat penyidik umum (jaksa) dan pelaku divonis sesuai kesalahannya (Kompas, 1/12/2003). Kedua, syaratnya lebih ringan, cukup dengan seorang saksi ditambah satu alat bukti sudah sah dan dapat digunakan untuk membuktikan seseorang terdakwa bersalah. Korban KDRT bisa menjadi saksi, tidak perlu lagi saksi lain. Hal ini akan mempermudah pembuktian mengingat peristiwa KDRT yang umumnya hanya diketahui oleh pelaku dan korban dan terjadi di ruang domestik, yang tertutup. Ketiga, lebih memberikan perlindungan pada korban. Bahkan bila dicermati, masalah perlindungan korban mendapat porsi pengaturan yang besar, diatur dalam 22 pasal (dari pasal 16 – 38), 40 persen dari 55 pasal yang ada. Dalam pasal 16 misalnya dinyatakan bahwa dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan KDRT, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban tanpa diskriminasi. Keempat, memprioritaskan penyelesaian perkara KDRT, walaupun ada tuntutan balik yang diajukan pelaku. Hal ini penting, karena selama ini ketakutan adanya tuntutan balik pelakulah yang membuat korban tidak mau melaporkan kasusnya, karena umumnya korban tidak mempunyai saksi atau alat bukti yang lain. Kelima, adanya wewenang kepolisian yang lebih tinggi, sebab kepolisian dapat menangkap pelaku untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah (surat menyusul) terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. Terlebih penangguhan penahanan tidak berlaku. Keenam, adanya hukuman yang lebih berat. Untuk pelaku kekerasan seksual misalnya dikenakan pidana penjara maksimal 12 tahun dan denda Rp 36 juta (Pasal
19
46). Untuk pelaku pemaksaan hubungan seksual untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu dikenakan pidana minimal empat tahun dan maksimal 15 tahun atau denda minimal Rp 12 juta dan maksimal Rp 300 juta (pasal 47). Bahkan bila mengakibatkan korban luka tak bisa sembuh, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan, atau gugur atau matinya janin dalam kandungan atau tak berfungsinya alat reproduksi dikenakan pidana penjara minimal lima tahun dan maksimal 20 tahun atau denda minimal Rp 25 juta dan maksimal Rp 500 juta (pasal 48). Namun demikian, dalam implementasinya masih dijumpai kendala-kendala. Kendala dalam penegakan UU PKDRT, antara lain adalah budaya patriarki masih melekat dalam masyarakat kita; UU yang menjadi dasar pembentukan rumah tangga, yaitu UU Perkawinan masih mengandung bias gender; UU PKDRT masih mengandung kelemahan, yaitu tidak dimasukkannya kekerasan ekonomi dalam ruang lingkup KDRT, padahal dalam realita ada istri yang dipaksa bekerja oleh suaminya di luar kapasitasnya atau suami menghambur-hamburkan uang dari hasil jerih payah istrinya. Juga tidak dimasukannya kekerasan sosial, yaitu sikap atau tindakan membatasi pergaulan istri, misalnya untuk mengikuti organisasi sosial, mengunjungi famili, dll. Penganiayaan ringan dalam UU PKDRT dimasukkan dalam delik aduan, padahal dalam KUHP merupakan delik biasa. Pasal 55 mengenai sistem pembuktian yang dianut UU PKDRT rancu, baik dalam bunyi pasalnya itu sendiri maupun dalam penjelasannya, sehingga dalam praktik dapat merugikan pihak korban. Selain itu, UU PKDRT belum tersosialisasi dengan baik.
20
BAB III PEMBAHASAN
3.1. Implementasi UU PKDRT Peraturan dan undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang telah berlaku selama ini, ternyata belum membuat perempuan terhindar dari kekerasan. Dari data yang dihimpun LBH APIK Medan, dan WCC Cahaya Perempuan sejak Januari hingga Desember 2005, angka kekerasan itu justru melonjak tajam. Setidaknya ada 1520 kasus yang dialami perempuan dan anak dengan berbagai kasus seperti kejahatan seksual (perbuatan cabul dan pemerkosaan) sebanyak 648 kasus. Kekerasan fisik dan psikis 303 kasus, perampokan terhadap perempuan 208 kasus, kematian tidak wajar 148 kasus, penganiayaan 118 kasus, trafiking 64 kasus, bayi dibunuh 19 kasus, kekerasan terhadap buruh, 7 dan penculikan 4 kasus. Persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan kekerasan yang terungkap kepermukaan. Diyakini persoalan kekerasan yang tidak terungkap datanya lebih besar lagi. Pengalaman pendamping menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) sebelum lahirnya undang–undang khusus yang mengatur tentang kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) Nomor 23 tahun 2004 selalu menemui hambatan baik dari subtansi maupun aparaturnya, hal ini disebabkan di antaranya karena tidak ada aturan yang tegas terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga, Tetapi dengan lahirnya undang –undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT ) diharapkan perempuan akan lebih dihargai dan pihak penegak hukum, pemerintah, masyarakat dan semua pihak yang dilibatkan dalam undang–undang PKDRT dapat berpartisipasi dan menyambut baik lahirnya undang– undang tersebut.
21
Salah satu tujuan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga antara lain, mencegah segala bentuk KDRT, melindungi korban, menindak pelaku dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sementara dalam ruang lingkungn rumah tangga ada suami, isteri dan anak. Ada pula orang–orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah perkawinan persusuan pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa kekerasan dalam rumah tangga ada yang fisik dan atau psikis serta kekerasan seksual. Kekerasan fisik di antaranya, kekerasan fisik berat berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul, meninju, melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan cedera berat tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari, pingsan , luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit di sembuhkan atau menimbulkan bahaya mati, kehilangan salah satu panca indera, mendapatkan cacat badan, menderita lumpuh , terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih, gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan, kematian korban. Kekerasan fisik ringan misalkan, menampar, menjambak, mendorong, dan atau perbuatan lainnya yang mengakibatkan cedera ringan. Sedangkan kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya juga, dan
22
atau penderitaan phisikis berat pada seseorang, kesewenangan, perendahan, penghinaan dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina , kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomi yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat. Penderitaan itu dapat berupa gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun, gangguan stress pasca trauma gangguan fungsi tubuh berat (seperti tibatiba lumpuh atau buta tanpa indikasi (medis). Depresi berat atau gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik yang lain. Sedangkan kekerasan seksual, termasuk di antaranya pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu. Masalah lainnya, tentang kasus kekerasan seksual berat, temasuk pemaksaan melakukan hubungan seksual. Hal lain yang tidak bisa diabaikan begitu saja adalah soal penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu. Selain membicarakan peluang-peluang dalam penanganan kepentingan korban, disebutkan pula tentang bagaimana jalur yang bisa ditempuh serta alat bukti yang diperlukan agar pembuktian kekerasan itu mendukung. Melihat kenyataan di atas, undang-undang itu perlu ditegaskan kembali dan dilaksanakan secara utuh. Dalam hal penegasan undang-undang, pemerintah dan masyarakat memiliki peran yang cukup
23
besar. Pemerintah misalnya, bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, mulai dari perumusan kebijakannya hingga sosialisasi dan penyelenggaraan pendidikan sensitif jender. Sementara masyarakat semestinya memberikan perhatian lebih serius. Misalkan, setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana. Memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat serta membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Tentu saja peran ini sangat membantu dalam penanganan korban serta mencegah secara dini upaya tindak kekerasan itu. Terlebih adanya pengaturan mengenai hak-hak korban. Mereka berhak mendapatkan, perlindungan dari pihak keluarga, Perlindungan dari pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, serta adanya pelayanan bimbingan rohani. Selain itu implementasi atas segala peraturan yang ada di negeri ini selalu menjadi masalah, termasuk yang terkait dengan upaya mereduksi terjadinya KDRT. Keraguan atas implementasi UU Penghapusan KDRT ini cukup beralasan. Pertama, karena masih kurangnya pemahaman masyarakat bahkan aparat bahwa KDRT merupakan sebuah bentuk tindak kriminal. Masih banyak menganggapnya sebagai masalah pribadi sehingga kurang berempati pada korban. Kondisi ini akan membuat korban merasa mendapat kekerasan untuk kedua kalinya.
24
Kedua, karena masih banyaknya perempuan yang karena ketidakberdayaannya menjadi enggan melapor bila mengalami kekerasan. Hal ini penting untuk dicermati karena meskipun pada umumnya tindak pidana dalam UU Penghapusan KDRT adalah delik umum, namun ada yang bersifat delik aduan, yaitu tindak pidana kekerasan fisik dan psikis ringan serta pemaksaaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya. Ketiga, karena hingga saat ini sosialisasi Pusat Pelayanan Terpadu untuk korban kekerasan tidak berjalan dengan baik. Buktinya banyak anggota kepolisian di lapangan masih belum memahami dengan benar persoalan ini, meski sudah ada surat keputusan Kapolri tentang Pusat Pelayanan Terpadu. Keempat, karena masih sedikitnya jumlah rumah aman bagi korban KDRT, baru ada di Jakarta, Surabaya, Semarang, Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu (Media Indonesia, 29/10/2004). Sarana ini diperlukan sebagai tempat pembinaan dan pemulihan bagi korban kekerasaan dari trauma atas kejadian yang dialaminya. Kelima, karena masih terbatasnya jumlah tenaga penyidik serta anggaran misal untuk penyidikan, untuk keperluan visum et repertum, dan sebagainya. Di Polwiltabes Semarang misalnya, dalam satu bulan setidaknya ada 3 sampai 6 kasus KDRT. Tetapi hanya ada 5 Polwan yang menangani (Suara Karya, 31/7/04). Keenam, karena masih lamanya waktu persidangan, yang bisa memakan waktu 6 bulan -1 tahun. Kondisi ini akan membuat korban enggan sebab cukup banyak menguras waktu, energi serta biaya. Ketujuh, karena tidak adanya sanksi bagi Pemerintah bila tidak melaksanakan kewajiban – kewajibannya sebagaimana yang terdapat dalam UU Penghapusan KDRT. Tidak dipungkiri bahwa UU Penghapusan KDRT merupakan terobosan penting dalam
25
upaya menghapuskan kejadian kekerasan dalam rumah tangga. Namun, hal tersebut tidak akan berarti apa-apa apabila tidak diiringi dengan upaya serius dari kita semua untuk mengimplementasikannya. Hanya akan membuatnya sekedar menjadi ‘hal istimewa’, yang tak lebih dari sebuah utopia semata.
3.2. Solusi Guna menyusun langkah tepat perlindungan terhadap KDRT, perlu kiranya mempelajari persoalan kekerasan terhadap perempuan dengan cara menyelenggarakan lokakarya, seminar dan berbagai persoalan yang meliputi tentang kekerasan itu. Mengajak orang berbicara mengenai persoalan KDRT. Mendukung gerakan pembaharuan hukum. Jika kita menginginkan hasil yang rata, kita harus memasukkan persoalan ini kedalam undang-undang. Lebih perlu mengajari anak laki-laki bahwa memukuli perempuan adalah sebuah tindakan yang salah. Mereka perlu diingatkan bahwa pelaku kekerasan akan mendapatkan hukuman. Memang KDRT memiliki hambatan, karena ia merupakan fenomena yang hingga saat ini merupakan kekejaman yang sulit untuk dipantau oleh Polri, karena seringkali terjadi dengan sangat tertutup. Sudah pasti, dalam rangka memecahkan atau mengurangi kekerasan atas perempuan ini, yang terpenting adalah menempatkan posisi perempuan dan laki-laki secara lebih setara atau seimbang. Perempuan, katakanlah, mesti menjadi “mitra” lakilaki di bidang dan wilayah apapun, di tempat kerja, di rumah tangga, dan di lembagalembaga kemasyarakatan dan publik lainnya, termasuk dalam lembaga-lembaga negara. Pertama-tama, cara untuk menempatkan perempuan sebagai mitra ini, bisa dimulai melalui sosialisasi dalam keluarga. Kedua, melalui aturan-aturan dan hukumhukum formal yang dibuat lembaga-lembaga negara dan secara konsisten diterapkan dan ditegakkan oleh aparat pemerintah. Kekerasan adalah kekerasan, bukan hanya 26
urusan korban atau pelaku, tapi termasuk kategori kejahatan. Selama ini persepsi yang berkembang di masyarakat menganggap masalah kekerasan atas perempuan, apalagi dalam rumah tangga, sebagai urusan pribadi (personal), dan karenanya pihak-pihak lain (pihak luar, termasuk aparat penegak hukum atau polisi) tidak sepatutnya atau tidak boleh ikut campur di dalamnya. Tetapi untuk sementara ini kita patut bersyukur, bahwa Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga telah menggolongkan kekerasan atas perempuan dalam rumah tangga sebagai tindak kriminal, yang harus mendapatkan hukuman. Seterusnya yang musti kita lakukan adalah melakukan sosialisasi undang-undang tersebut secara luas kepada anggota masyarakat. Dan ketiga, perlu dikembangkan institusi-institusi tertentu untuk melakukan tindak pencegahan dan kuratif dari kekerasan laki-laki atas perempuan dan anakanak. Untuk tindak pencegahan, di sini harus diperkuat kontrol komunitas atas warganya, yakni dengan mendorong kemampuan mereka untuk memonitor dan segera bertindak bila terjadi kekerasan laki-laki atas perempuan dan anak di lingkungannya. Sementara untuk tindakan kuratif, umpamanya dengan dikembangkannya crisis center untuk perempuan dan anak yang mengalami korban kekerasan. Crisis center ini perlu dikembangkan di banyak wilayah, tidak hanya terpusat di kota-kota besar. Di dalam crisis ini perlu dikembangkan di banyak wilayah, tidak hanya terpusat di kota-kota besar. Di dalam crisis center ini perlu diisi oleh orang-orang “terlatih” dalam menangani korban kekerasan, terutama kemampuan dalam mengembangkan emphaty. Lalu, instansi pemerintah yang bertugas di lapangan dalam manangani persoalan hukum kekerasan ini, di antaranya kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, mesti juga diisi oleh orang-orang yang dapat mengembangkan emphaty ini. Mungkinin
27
untuk sementara ini instansi pemerintah itu mesti melibatkan petugas perempuan, yang dalam batas tertentu, kemampuan empathy-nya atas korban lebih besar ketimbang lakilaki, umpamanya pada setiap kantor sektor kepolisian, mesti ada satu dua orang Polwan (Polisi Wanita) yang salah satu tugasnya memang secara khusus menangani kekerasan atas perempuan itu. Berdasarkan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT), pada pasal 50 disebutkan adanya kewajiban mengikuti konseling bagi pelaku KDRT selain menerima hukuman pidana. Dan selama ini sudah ada lembaga sosial yang menangani layanan konseling bagi korban KDRT. Namun akan lebih baik jika pemerintah bekerja sama dengan layanan konseling yang sudah ada untuk melakukan konseling bagi pelaku KDRT. Tetapi, berdasarkan pendampingan yang dilakukan Mitra Perempuan dalam upaya hukum penanganan kasus KDRT, belum ada hakim yang menjatuhkan vonis kewajiban mengikuti konseling bagi pelaku KDRT (Media Indonesia, 30/12/2007). Pasalnya, sampai sekarang belum ada lembaga yang ditunjuk untuk memberikan konseling tersebut. Hal ini harus menjadi suatu perhatian, walaupun Departemen Sosial (Depsos) memang telah memiliki pekerja sosial disebabkan yang juga ikut menangani korban dan pelaku KDRT, yang secara tidak langsung belum memiliki kualifikasi untuk berhadapan dengan korban dan pelaku KDRT. Karena itu diharapkan pemerintah menyediakan dana untuk lembaga konseling bagi korban dan pelaku KDRT. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan kepercayaan dan saling bersinergi dengan lembaga-lembaga konseling yang sudah ada selama ini. Sinergi yang dilakukan pemerintah dan lembaga konseling tidak hanya
28
menyangkut masalah pembagian tugas. Dengan dana masing-masing, lembaga pemerintah dan lembaga konseling independen bisa bekerja secara bersama-sama. Untuk itu pemerintah seharusnya lebih memastikan adanya peraturan pemerintah (PP) yang mengatur hal teknis tentang konseling pelaku KDRT. Termasuk, PP mengenai adanya jaminan dana bagi kegiatan konseling untuk pemulihan perilaku pelaku.
3.2.1. Konsep Pemberdayaan Perempuan Secara umum
pemberdayaan
perempuan didefinisikan sebagai
upaya
peningkatan kemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya, ekonomi, politik, sosial dan budaya agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri untuk berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan permasalahan sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep diri (DKP, 2001). Selama ini cukup banyak konsep-konsep pemberdayaan perempuan yang diajukan, diantaranya adalah perempuan dalam pembangunan (Women in Development), Jender dan Pembangunan (Gender and Development).
Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development) Strategi ini merupakan strategi yang tertua yang dinamakan strategi “meningkatkan peranan perempuan” atau melibatkan kaum perempuan dalam pembangunan. Strategi ini menjadi strategi dominan di tahun 1970-an. Setelah PBB menetapkan dekade pertama pembangunan perempuan. Sejak saat itulah hampir semua pemerintahan dunia ketiga mulai mengembangkan kementerian Peranan Perempuan dengan fokus utama meningkatkan peranan perempuan 29
dalam pembangunan. Fokusnya adalah perempuan dengan asumsi permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumberdaya kaum perempuan dan hal tersebut mengakibatkan mereka tidak mampu bersaing dengan kaum lelaki dalam masyarakat termasuk dalam pembangunan. Pada tahun 1980-an pemerintahan dunia ketiga, melalui dukungan dan tekanan negara dan lembaga dari Utara, mendesakkan pentingnya memasukkan peran perempuan
dalam
pembangunan.
Sebagai
reaksi
selanjutnya
banyak
perencanaan pembangunan tidak saja memanfaatkan perempuan untuk mengefektifkan pembangunan, namun juga meletakkan perempuan sebagai target pembangunan. Gagasan ini telah melahirkan diskursus baru dalam teori dan kebijakan pembangunan yang dikenal Women in Development atau yang lebih dikenal dengan WID. Jenis-jenis kegiatan atau program/proyek dengan strategi ini adalah “Pengentasan Kemiskinan” (Anty Poverty).
Dasar
pemikirannya perempuan miskin karena mereka kurang sumberdaya atau ataupun tidak produktif, oleh karena itu perlu diciptakan “proyek peningkatan pendapatan”. Dengan demikian, apa yang dikerjakan perempuan di sektor “reproduksi dan segenap pekerjaan “domestik” tidak dinilai. Akibat dari persoalan ini, proyek yang dikembangkan justru dapat menambah beban kerja kaum perempuan. Paham analisis yang lain adalah “pendekatan efisiensi” yakni pemikiran bahwa pembangunan mengalami kegagalan karena perempuan tidak dilibatkan. Dengan perkataan lain pelibatan perempuan itu sendiri demi efisiensi pembangunan. Dengan paham ini pula peran gender perempuan di sektor produksi dan reproduksi tidak dihargai. Analisis ini tidak membebaskan dan mengemansipasi
30
kaum perempuan, melainkan justru menggunakan perempuan untuk tujuan pembangunan. Kedua analisis tersebut lebih berorientasi pada kebutuhan praktis semata dengan faham liberal feminisme yakni kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individual.
Gender dan Pembangunan (Gender and Development) Strategi ini muncul sebagai kritik dan reaksi dari strategi yang berfokus kepada perempuan (Women in Development) karena asumsinya peningkatan peran publik akan meningkatkan status kaum perempuan. Padahal dalam kenyataannya malah menimbulkan beban ganda , karena mereka tetap berposisi subordinatif. Oleh karena itu strategi kedua ini lebih memfokuskan pada sistem struktur, ideologi, dan budaya yang hidup dalam masyarakat yang melahirkan bentukbentuk ketidakadilan yang bersumber pada keyakinan gender. Bagi strategi kedua ini letak persoalannya bukanlah kaum perempuan seperti diasumsikan semula, akan tetapi letak persoalannnya ditujukan kepada bagaimana menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Dengan demikian yang menjadi agenda utama perjuangan perspektif ini tidak hanya sekedar menjawab kebutuhan praktis untuk merubah kondisi perempuan, melainkan juga menjawab kebutuhan strategis kaum perempuan, yakni memperjuangkan perubahan posisi perempuan. Bentuk kegiatan dengan stategi ini adalah dengan adanya ratifikasi atau pembuatan kebijakan-kebijakan yang meningkatkan posisi perempuan. Dalam kata lain konsep ini menggunakan pendekatan dimana perempuan dan laki-laki tidak lagi dilecehkan dan memikul
31
beban yang berlebihan, melainkan perempuan dan laki-laki secara bersama-sama menjadi subyek dan sekaligus obyek pembangunan. Perbedaan antara Women in Development dan Gender and Development seperti tersaji pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Perbedaan Konsep Women in Development (WID) dan Gender and Development (GAD) Perempuan dalam
Gender dan Pembangunan
Pembangunan (WID)
(GAD)
Aspek
Pendekatan
Pandangan bahwa yang
Pandangan yang menganggap
menjadi sumber
bahwa sumber permasalahan ada
permasalahan ada pada
pada pembangunan
perempuan Fokus
Perempuan
Pola relasi laki-laki-perempuan
Masalah
Tidak berperan sertanya
Ketidaksejajaran hubungan
perempuan dalam proses
kekuasaan (kaya-miskin, laki-laki-
pembangunan
perempuan) menyebabkan berlangsungnya pembangunan yang tidak adil dan tidak berperansertanya perempuan secara maksimal
Tujuan
Pembangunan yang lebih
Pembangunan yang adil dan
efektif dan efisien
berkesinambungan dengan perempuan dan laki-laki sebagai
32
pengambil keputusan Pemecahan
Mengintegrasikan perempuan Memperkuat perempuan yang dalam proses pembangunan
terpinggir/marginal Mengubah pola-pola hubungan yang tidak sejajar
Strategi
Kegiatan proyek khusus
Mengidentifikasikan
untuk perempuan
kebutuhan
Proyek-proyek terpadu
sebagaimana
Meningkatkan
oleh perempuan dan laki-laki
produktivitas
untuk memperbaiki kondisi
perempuan
kehidupan mereka
Meningkatkan
Bersamaan
praktis didefinisikan
dengan
pendapatan perempuan
ditangani
Meningkatkan
strategis
keterampilan
sehubungan dengan perbaikan
perempuan
dengan
mengurus rumah tangga
juga
iitu,
kebutuhan perempuan
kualitas SDM dan kesempatan ekonomi
3.2.2. Membangun Strategi Kampanye Media
33
Sebagaimana luas diketahui, Kerangka Aksi Deklarasi Beijing tahun 1995 memandatkan upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan penghapusan kekerasan terhadap perempuan bagi negara-negara yang terlibat dalam penandatanganan deklarasi. Pada kenyataannya, meski sudah melampaui waktu sepuluh tahun, kita masih melihat perkembangan yang kurang menggembirakan dalam upaya-upaya yang diharapkan ini. Bagi Indonesia, meski sudah memberlakukan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), masih terdapat banyak kelemahan yang harus terus dibenahi. Tidak saja menyangkut isi dari kebijakan ini, melainkan juga perangkat penegaknya masih dihadapkan pada berbagai kendala serius.Karena itu, masih sangat jauh dari harapan penggunaan UU ini untuk menyentuh pada kasus-kasus kekerasan psikis, seksual dan ekonomi sebagaimana dimandatkan oleh UU PKDRT. Dalam pengertian yang lain, masih cukup tajam gap antara UU PKDRT sebagai gagasan ideal dan perangkat implementasinya sehingga bisa menjadi operasional. Persoalan lain yang harus mendapatkan perhatian publik, adalah upaya menjadikan isu kekerasan terhadap perempuan agar menjadi lebih inklusif. Dalam pengertian, melakukan berbagai aksi intelektual untuk membangun keyakinan, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya mengakibatkan kesakitan dalam diri perempuan, melainkan juga melukai rasa keadilan dan kemanusiaan. Selain juga menjadi akar dari berbagai persoalan yang dihadapi perempuan dalam kehidupan sosialnya. Misalnya, sudah saatnya membangun sebuah kerangka teoritis dan praxis— bukan dipahami sebagai praktis--, bagaimana kekerasan terhadap perempuan juga mengakibatkan dan merupakan konsekuensi dari pewabahan HIV/AIDS di kalangan perempuan dan anak perempuan. Belum lagi akibat lain yang ditimbulkan, seperti
34
kemiskinan, keterbelakangan, dan ketiadaan ruang bagi perempuan dan anak perempuan untuk mengaktualisasikan diri. Menguatnya upaya untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, melalui pendekatan struktural memang harus tetap dilakukan, agar kebijakan-kebijakan publik bisa menjadi lebih responsif terhadap kondisi dan posisi perempuan. Setidaknya, gerakan ini berangkat dari nalar, kekerasan terhadap perempuan, bukanlah soal yang ditimbulkan oleh unsur individual, melainkan bersifat sistemik dan struktural. Berbarengan dengan itu, tampaknya menjadi sangat strategis, jika mulai dikembangkan strategi media untuk membangun kesadaran publik berkaitan dengan peluasan pemahaman, dampak, dan konsekuensi sosial yang harus diterima tidak saja oleh perempuan dan anak perempuan, melainkan juga oleh seluruh umat manusia. Iklan Layanan Masyarakat (ILM) melalui televisi, seperti yang dilakukan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, mungkin bisa diterima sebagai salah satu strategi kampanye media. Tetapi karena gagasan yang mendukungnya masih ekslusif dampak bagi perempuan, sehingga tidak saja tampak menjadi berlebihan, melainkan juga menjadi cetek pesan yang disampaikan. Atau juga beberapa film dengan format drama mengenai kekerasan terhadap perempuan, juga menghasilkan efek minimalis, karena dipersandingkan dengan tayangan-tayangan sinetron yang juga menunjukkan adeganadegan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Apa yang diurai mengenai strategi media di atas, sesungguhnya hanyalah sebagian kecil dari penggunaan media—spesifik audio-visual, yang dipandang banyak pihak memiliki efektivitas untuk menimbulkan efek psikologis pada penerima pesan. Hanya saja, penerimaan komunikan terkadang sudah bias dengan pesan-pesan dari sajian media audio-visual yang lain, yang terkadang juga memiliki cita sama, dengan
35
paradigma yang berbeda. Untuk keluar dari blunder ini, sangat menarik untuk dikembangkan model video-komunitas (vidoe community), sehingga masyarakat bisa berbicara sendiri dalam media audio-visual yang juga mereka produksi sendiri. Kepercayaan publik akan lebih kuat ketimbang yang produk yang ditawarkan oleh sebuah griya produksi maupun NGO, misalnya. Ini memang bukan model baru sebenarnya, melainkan mencoba menggunakan kembali media yang sudah lama tidak disentuh oleh gerakan perempuan yang mencoba melakukan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dengan memilih model video-komunitas sebagai alat pendidikan publik, NGO hanya akan melakukan dua peran strategis. Pertama, memfasilitasi komunitas untuk memproduksi video tentang diri mereka sendiri. Peran ini, mencakup pemberian keterampilan sederhana dalam proses produksi video, memberikan arah teknis dalam proses produksinya, dan membantu proses editing, jika memang itu diperlukan. Gagasan ini sesungguhnya serah dengan pengembangan teater rakyat, yang sampai saat ini masih didukung kuat oleh pemain teater seperti Butet Kartaradjsa. Hanya saja, teater rakyat memiliki efek cakupan yang lebih sempit, di mana komunitas berkumpul, tetapi video komunitas bisa lebih meluaskan lingkup komunikannya. Kedua, membangun jaringan dengan televisi sebagai medium penyebaran video-komunitas. Ruang televisi, saat ini sudah semakin luas, dengan berkembangnya televisi-televisi lokal di berbagai daerah. Harus diakui, televisi lokal masih cukup memiliki slot time, yang bisa digunakan untuk menyangkan videokomunitas. Televisi nasional, memang tetap harus dipertimbangkan, tetapi televisi lokal akan jauh lebih efektif karena didukung oleh nilai lebih dari penontonnya, ‘loyalitas’ karena merasa televisi itu dekat dengan mereka, dan bahkan sebagian lagi mungkin akan merasa sebagai milik mereka sendiri. Loyalitas semacam ini penting,
36
karena pada prosesnya akan menumbuhkan kepercayaan terhadap kebenaran pesanpesan yang disampaikan oleh sebuah televisi. Media lain yang bisa digunakan adalah seni tradisi. Kita cukup apresiatif terhadap Rifka Annisa Women Crisis Center, yang mencoba menggunakan media seni tradisi sebagai alat untuk melakukan pendidikan publik. Misalnya, Rifka Annisa pernah mementaskan wayang mbeling, untuk mengkamanyekan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Lembaga ini juga memfasilitasi sebuah pentas pertunjukan panggung, yang diproduksi oleh komunitas yang mereka dampingi dalam konsep pengembangan penghapusan kekerasan oleh komunitas sendiri. Sangat ramai, dan sangat apresiatif, dan publik penonton menjadi cukup percaya terhadap pesan yang disampaikan oleh masyarakat itu sendiri. Penggunaan seni tradisi memiliki efektivitas yang luar biasa, karena masyarakat memiliki keterikatan batin-spiritual dengan pementasan seni tradisi ini. Tentu saja, kita harus menghindari terjadinya seni tradisi, yang diposisikan sebagai semata-mata tontonan, dan tidak lagi menyampaikan tuntunan—meminjam falsafah penyiaran yang dianut oleh sebuah televisi lokal di Yogyakarta. Meski masih melibatkan insan media televisi dan radio, langkah yang dikembangkan LP3Y Yogyakarta cukup strategis dengan melakukan workshop bersama para penulis naskah sandiwara radio dan pengasuh program di radio dan televisi. Hal ini menarik jika dikembangkan untuk para pelaku seni tradisi yang lain. Penulisan karya-karya sastra, seperti novel, merupakan pilihan menarik untuk digunakan sebagai alat kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Novelis semacam Abidah el Khaliqy, cukup kuat komitmennya untuk menjadikan karya sastra sebagai alat kampanye media. Tentu ini terlepas dari perdebatan tak pernah usai, antara seni untuk seni dan seni untuk kerja-kerja perubahan, tetapi novel
37
Perempuan Berkalung Sorban, karya Abidah el Khaliqy, memberikan harapan yang cukup kuat untuk kerja-kerja seni sebagai media perubahan, yang sebagiannya adalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Nama-nama lain, tentu saja bisa disebut, seperti Maria Kadarsih, sebagai penulis naskah sandiwara radio, yang pernah diproduksi untuk kampanye kesehatan reproduksi perempuan.
38
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan Survei Mitra Perempuan menunjukkan, sebagian besar (76,49 persen) tindakan kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh suami. Sisanya, oleh pacar, mantan suami, orangtua serta mertua. Data tersebut diperoleh dari hasil survei Mitra Perempuan terhadap 323 perempuan yang memanfaatkan pelayanan Pusat Krisis Perempuan yang dikelola oleh lembaganya selama tahun 2006. Tindakan kekerasan tersebut, berdampak nyata terhadap kondisi kesehatan jiwa dan kesehatan reproduksi perempuan. Fakta yang tergambar dari data-data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sendiri, bahkan orang-orang terdekat dalam keluarga, seringkali terlibat dan bahkan menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. "Kekerasan umumnya juga dimaafkan oleh kebiasaan sosial dan ditempatkan sebagai bagian dari bingkisan kehidupan marital ketimbang kejahatan. Intervensi pihak luar termasuk aparat kepolisian, juga sering dianggap sebagai gangguan meski sebenarnya kasus kekerasan merupakan salah satu bentuk tindakan pidana yang memang harus diintervensi oleh negara dan tenaga profesional terkait. Oleh karena itu, selain dengan melakukan penegakan hukum (Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga/PKDRT-red), upaya pencegahan dan penangggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan dalam rumah tangga juga harus dilakukan melalui pendidikan publik. "Pendidikan publik tentang
39
KDRT dan UU Nomor 23 tahun 2004 harus dilakukan dengan metode pendidikan publik yang sesuai dengan spesifikasi komunitas" Hal semacam itu sangat diperlukan supaya semua komponen masyarakat memahami bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, dampaknya terhadap korban dan sanksi yang harus diterima oleh pelaku tindak kekerasan sehingga kasus-kasus tersebut secara bertahap dapat ditekan.
4.2. Saran Sehubungan dengan banyaknya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan dalam UU lain, seperti perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya tindak pidana berupa jenis kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk menyamakan persepsi. Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama bagi para pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi pihak yang mungkin menjadi korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia dapat memperbaiki nasibnya karena telah mengetahui hak-haknya. UU PKDRT perlu direvisi pada bagian-bagian yang rancu dan perlu penambahan jenis kekerasan, seperti kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial. Selain itu, diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan napas kesetaraan gender, antara lain dengan merevisi UU Perkawinan, agar peraturan perundang-undangan bisa saling mendukung dan tidak saling bertentangan, supaya UU PKDRT dapat dirasakan efektivitasnya.
40
Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan terlepas dari penegakan hukum pada umumnya. Apabila negara tidak dapat menciptakan supremasi hukum, perlindungan yang diatur dalam UU PKDRT hanya akan berupa law in book (teori) belaka, sedangkan dalam law in action (praktik) akan sulit terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum harus ditegakkan.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. BKKBN,
29
November
2004,
Perempuan
dan
KDRT
Fenomena
Memprihatinkan, Jakarta. 2. BKKBN, 13 Juli 2004, Memberdayakan Perempuan, Untuk Apa?, Jakarta 3. Budi Rajab, 7 Januari 2006, Memahami Kekerasan Atas Perempuan, Yayasan Sidikara dan Forum Wartawan, UNPAD Bandung 4. Erma Ariyani , Ironi Kekerasan Terhadap Perempuan. 5. Heri Ruslan, 15 April 2006, Kekerasan Kian Mengancam Perempuan, Harian Republika, Jakarta. 6. Kristi Poerwandari, 3 Januari 2007, Lembaga Konseling KDRT Harus Independen, Media Indonesia, Jakarta. 7. KURNIATI, S.S., Perspektif Gender Kekerasan terhadap Wanita 8. Melani, 24 Maret 2006, Kartini Melawan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pikiran Rakyat, Bandung. 9. Neni Utami Adiningsih, 13 Oktober 2004, Implementasi UU Penghapusan KDRT Berdayakan Perempuan, Harian Pelita, Jakarta. 10. Neni Utami Adiningsih, 29 Nopember 2004, Implementasi UU Penghapusan KDRT : Sebuah Utopia?, Harian Suara Karya, Jakarta. 11. Neni Utami Adiningsih, 23 Desember 2004, STOP KDRT, Harian Radar, Bandung. 12. Situs Advokasi Hak Perempuan Indonesia, 2 Januari 2006, Kekerasan Terhadap
Perempuan
dan
Membangun
Strategi
Kampanye
Media,
www.journalhome.com,. 13. Winarto Herusansono/ Tri Agung Kristanto, 24 Maret 2003, Menyoroti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Harian Kompas, Jakarta.
42