ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015
81
ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Hb. Sujiantoro - Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani No. 99 Malang Email:
[email protected] ABSTRAK Anak merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga ia harus dirawat,dijaga, dididik, dibimbing, dibina, dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi. Ini semua agar ia nantinya menjadi pribadi yang utuh, tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang utuh dan optimal. Bentuk tindakan kekerasan ini bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikhis, kekerasan seksual, dan juga penelantaran rumah tangga. Penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga diantaranya adalah orang tua merasa sebagai superior dan anak dianggapnya sebagai inferior. Anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapatkan perlindungan sesuai dengan hak-hak korban sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2004. Korban kekerasan dalam rumah tangga, selain memperoleh perlindungan secara fisik dan psikis dari pemerintah dan masyarakat, korban juga memperoleh perlindungan hukum dengan pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Kata Kunci: Anak, Korban, Kekerasan dalam rumah tangga ABSTRACT The child is a gift of God, that he should be treated, protected, educated, guided, nurtured, protected from violence and discrimination. This is all that he will become a whole person, grow and develop into an adult human whole and optimal. This form of violence can include physical violence, psikhis violence, sexual violence, and neglect of household. The cause of violence against children in the household of which is felt as a superior parentand child regardsas inferior Children as
82
ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015 victims of domestic violence are entitled to protection in accordance with the rights of victims as stipulated in article 10 of Law No. 23 of 2004,Victims of domestic violence, in addition to obtaining physical and psychological protection from the government and the community, the victim also received legal protection, the provision of criminal sanctions for perpetrators of domesticviolence. Keywords: Children, Victims, Domestic Violence.
A. PENDAHULUAN Kehadiran anak adalah anugerah sekaligus amanah Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga ia harus dirawat,dijaga, dididik, dibimbing, dibina, dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi. Ini semua agar ia nantinya menjadi pribadi yang utuh, tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang utuh dan optimal, meskipun kadangkala anak menjadi masalah bagi para orang tua. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) dalam Pasal 28B Ayat (2) menyebutkan bahwa ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Jelaslah bahwa anak harus mendapatkan perlakuan yang semestinya seperti pada umumnya orang yang telah dewasa, ia harus terhindar dari kekerasan maupun ancaman kekerasan dan diskriminasi atau perlakuan yang merendahkan derajat kemanusiaan. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pelaku dan korban kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikhis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran
ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015
83
hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminas. Kekerasan ini bisa menimpa siapa saja, termasuk bapak, suami, isteri,anak, dan juga orang-orang (siapa saja) yang ada menetap di dalam rumah tangga. Anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya terjadi karena orang tua merasa sebagai superior dan anak dianggapnya sebagai inferior, sehingga orang tua sangat mendominasi terhadap kehidupan anak dalam keluarga. B. PEMBAHASAN 1. Anak Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.” Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga menjelaskan tentang anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu : “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (UU No. 39 Tahun 1999) tentang Hak Asasi Manusia, menjelaskan pengertian anak sebagai berikut: “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.” 2. Korban Pengertian korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban).
84
ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015
Korban sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) UUPKDRT, korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam rumah tangga. Arif Gosita (2004: 64) mengartikan korban sebagai mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita Muladi (2000: 66) menyebutkan pengertian korban kejahatan sebagai: Seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan atau rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan (A Victim is a person who has suffered damage as a result of a crime and/or whose sense of justice has been directly disturbed by the experience of having been the target of crime). Menurut Stephen Schafer (dalam Mardjono Reksodiputro, 1994:103), dalam teorinya yang terkenal dengan Criminal-Victim Relationship (keterkaitan korban dengan kejahatan), adalah karena adanya hubungan korban dengan pembuat kejahatan, sehingga di dalamnya terdapat functional responsibility. Pihak korban bisa juga ikut berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar secara langsung atau tidak langsung bergantung pada situasi dan kondisi sebelum saat dan sesudah kejadian berlangsung, sehingga terjadi kejahatan dan dia sendiri yang menjadi korban. Ketentuan Pasal 10 UUPKDRT menyebutkan bahwa: korban berhak mendapatkan: perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pelayanan bimbingan rohani.
ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015
85
3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang (Mansour Fakih, 1996: 17). Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga khususnya terhadap anak akhir-akhir ini semakin sering terjadi. Dari banyaknya kekerasan yang terjadi hanya sedikit saja yang dapat diselesaikan secara adil, hal ini terjadi karena dalam masyarakat masih berkembang pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi rahasia atau aib rumah tangga yang sangat tidak pantas jika diangkat dalam permukaan atau tidak layak dikonsumsi oleh publik. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 dalam Pasal 1 ayat (1) memberikan pengertian tentang kekerasan dalam rumah tangga, yaitu: “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Adapun Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakuakan kekerasan, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga terhadap anak dalam lingkup rumah tangga. Pengertian kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, dan luka berat. Pengertian kekerasan Psikis adalah perbuatan yang bersifat mengancam sehingga membuat korban merasa takut untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kekerasan Seksual meliputi: pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, dan juga pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
86
ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015
atau di luar rumah sehingg korban berada dibawah kendali orang tersebut. Kekerasan bersifat universal, yakni dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan dapat menimpa siapa saja, bahkan akibat yang dirasakannya adalah sama yaitu penderitaan fisik maupun non fisik, bisa menimpa laki-laki maupun perempuan. Bentuk tindakan kekerasan dalam rumah tangga bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikhis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7). Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu (Pasal 8). Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hokum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang-orang tersebut, dan setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9). Pihak-pihak yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah suami, isteri, anak (termasuk anak angkat dan anak tiri), mertua, menantu, ipar dan besan, serta orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (pekerja rumah tangga). Kekerasan bersifat universal, yakni dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan dapat menimpa siapa saja, bahkan akibat yang dirasakannya adalah sama yaitu penderitaan fisik maupun non fisik, baik laki-laki maupun perempuan, bisa terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Saat ini sering terjadi tindakan kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga yang pada
ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015
87
umumnya dikaitkan dengan penyiksaan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan dekat. Praktiknya, korban sebagai pihak yang dirugikan ternyata relatif kurang diperhatikan dan tidaklah mengherankan jikalau perhatian terhadap korban semakin jauh dari peradilan pidana yang oleh Stephen Schafer (dalam Lilik Mulyadi, 2008: 253) dikatakan sebagai cinderella dari hukum pidana. Robert Reif (dalam Lilik Mulyadi, 2008 : 253) melihat perhatian terhadap korban dalam proses peradilan pidana relative kurang diperhatikan dimana disebutkan bahwa: The problem of crime, always gets reduced to what can be done about criminals. No body asks, what can be done about victims? Everyone assumes the best way to help the victim is to catch the criminal as though the offender is the only source of the victims trouble (Suatu masalah dalam hukum pidana, selalu mereduksi apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat tidak seorangpun bertanya apa yang dapat dilakukan terhadap korban. Setiap orang berasumsi cara yang paling baik untuk membantu korban adalah menangkap penjahat sebagai pemikiran bahwa pelaku adalah sumber penderitaan korban). Sistem peradilan Pidana Indonesia sendiri, ternyata menempatkan kedudukan korban relatif kurang diperhatikan karena sistem hukum pidana Indonesia masih berorientasi pada perlindungan bagi pelaku (offender oriented). Padahal, dari perspektif kriminologis dan hukum pidana kejahatan adalah konflik antar individu yang menimbulkan kerugian kepada korban, masyarakat, dan pelanggar diri sendiri. Menurut Sistem Peradilan Pidana Indonesia kepentingan korban kejahatan diwakili Jaksa Penuntut Umum sesuai teori kontrak sosial (social contract argument) dan teori solidaritas sosial (social solidary argument). Korban kekerasan dalam rumah tangga juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Pasal 39). Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 12). Sedangkan masyarakat berkewajiban melakukan upaya-upaya sesuai batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban,
88
ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015
memberikan pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Korban kekerasan dalam rumah tangga, selain memperoleh perlindungan secara fisik dan psikis dari pemerintah dan masyarakat, korban juga memperoleh perlindungan hukum, dengan pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, yang diatur Pasal 44 sampai dengan Pasal 53, dengan ancaman sanksi pidana yang berlainan, tergantung perbuatan yang dilakukan, dengan ancaman sanksi paling berat yaitu pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun atau denda Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah), dan paling ringan 4 (empat) bulan penjara atau denda Rp.5.000.000,- (Lima juta rupiah). 4. Perlindungan Anak Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal1 angka2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014). Asas dan tujuan perlindungan anak dalam Pasal 2 dan Pasal 3, Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur tentang : Pasal 2: Penyelenggara perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak anak meliputi: a. Non diskriminasi b. Kepentingan yang terbaik bagi anak c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Pasal 3: Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak, mulia dan sejahtera. Pasal 2 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menegaskan hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015
89
perkembangan merupakan hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintrah, keluarga, orang tua, sekaligus merupakan hak setiap manusia yang paling asasi. Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang, orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (Pasan 20 Undang-Undang Perlindungan Anak). Disitulah pentingnya perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang medrupakan hak asasi”. Sedangkan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa: ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Barda Nawawi Arief (2007:61) menyebutkan bahwa pengertian perlindungan korban tindak pidana dapat dilihat dari dua makna, yaitu: 1) dapat dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang); 2) dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain, dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya. Dengan demikian diperlukan adanya payung hukum bagi korban kejahatan sebagai eksistensi perlindungan korban dalam ranah hukum. Selain korban kejahatan bersifat kolektif (collective
90
ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015
victims) maka korban bersifat individual menurut para doktrina juga memerlukan perlindungan. Israel Drapkin dan Emilo Viano (dalam Lilik Mulyadi, 2008: 252), dengan tegas menyebutkan bahwa: ”Athough we are accutomed to say that act affect all of society, we cannot deny that the actual victim suffers much more though personal losses than society. In the face incurable, undisputed report, we also forced to acknowledge that the victim is most often an individual physically or financially unable to recover from the criminal”. (Kendati pun kita bisa mengatakan bahwa tindak pidana mempengaruhi semua masyarakat, kita tidak dapat menyangkal bahwa korban secara individual jauh menderita daripada kerugian masyarakat. Dalam kenyataan juga diakui bahwa korban secara individu, fisik maupun finansial sering tidak mampu mengatasi tindak pidana). Anak sebagai pribadi yang sedang tumbuh dan berkembang terrlebih sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga sangat memerlukan perlindungan hukum bagi dirinya, hal ini dikarenakan: a. Anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. b. Anak sebagai generasi penerus keluarga dan masa depan bangsa; dan c. Anak butuh tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkatan usianya untuk mencapai kedewasaan yang berkualitas. Sebagai negara hukum (rechtstaat) ada berbagai konsekuensi yang melekat padanya, sebagaimana dikemukakan Phillipus M. Hadjon, bahwa konsepsi rechstaat maupun konsepsi the rule of law, menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada negara yang disebut rechtstaat atau menjunjung tinggi the rule of law, bagi negara demokrasi pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu aturan tentang baik buruknya suatu pemerintahan. Dengan demikian hukum diciptakan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat, yaitu perlindungan hukum yang dilakukan secara sistematik untuk mencegah dan menyelesaikan ketidakadilan masyarakat dalam hal ini tindak pidana KDRT.
ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015
91
Ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa, korban mempunyai hak berupa: memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; memberikan tekanan tanpa tekanan; mendapat penerjemah; bebas dari pertanyaan yang menjerat; mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; mendapatkan identitas baru; mendapatkan tempat kediaman baru; memperoleh penggantian biayatransportasi sesuai dengan kebutuhan; mendapat nasihat hukum; dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapatkan : a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasian korban. d. Pendamping oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. e. Pelayanan bimbingan rohani. Apabila terjadi kekerasan pada anak dalam rumah tangga, maka pihak yang dapat melaporkan sebuah tindak kekerasan ini adalah korban dan juga keluarga korban atau orang lain yang telah mendapatkan kuasa dari korban baik di tempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 dalam penjelasannya menyebutkan bahwa: ”Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Hal ini berarti bahwa, Republik Indonesia
92
ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015
ialah Negara Hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tingggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Asas persamaan di muka hukum ini memang tidak secara eksplisit tercantum dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukun Acara Pidana, tetapi dicantumkan dalam Penjelasan Resmi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Walaupun demikian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini. Asas ini dijabarkan dalam kalimat: ”Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan” (Romli Atmasasmita, 1996: 79). Asas ini ditempatkan sebagai asas kesatu, menunjukkan betapa pentingnya asas ini dalam tata kehidupan hukum (acara) pidana di Indonesia. Adanya asas ini dalam Kitab Undang-Undang hukum acara Pidana menunjukkan adanya arah pembaharuan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia. C. PENUTUP Berdasarkan paparan di atas, dapat menyimpulkan bahwa : Salah satu penyebab terjadinya anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga adalah dominasi orang tua terhadap anak, yakni orang tua merasa sebagai superior dan anak sebagai inferior di dalam keluaarga. Anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga hendaknya mendapatkan perlindungan hukum, baik secara fisik dan psikhis dari Pemerintah dan masyarakat, korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya anak juga mendapatkan perlindungan hukum dengan pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. -----
ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015
93
DAFTAR PUSTAKA Arief Gosita. 2004. Masalah-masalahPerlindungan Anak (Kumpulan Karangan), PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Barda Nawawi Arief. 2007. Masalah-masalah Penegakan Hukum dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenata Media Group, Jakarta. Lilik Mulyadi. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritisdan Praktik, Alumni, Bandung. Mansour Fakih.1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial,Cetakan 1, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Mardjono Reksodiputro. 1994. Hak Asasi Manusia dan SistemPeradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta. -------.1994. Sistem Peradilan pidana Indonesia: Melihat kepada Kejahatan & Penegakan Hukum dalam batas-batas toleransi, Fakultas Hukum UI, Jakarta. Muladi. 2000. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama, The Habibie Center, Jakarta. Phillipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya. Romli Atmasasmita. 1996. Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, Putra A. Bardin. Aturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Dasar Negara Rerpublik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.