MAKNA PERNIKAHAN PADA PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Wahyu Trihantoro (
[email protected]) Lusi Asa Akhrani Intan Rahmawati Universitas Brawijaya Malang ABSTRACT The purpose of this study was how the meaning of marriage for women victims of domestic violence. Literature review in this study include perception of marriage concept and the other concept that related with the meaning of marriage concept. This study was phenomenological approach and coding as tehnique of data analysis. There are five Informants of this study and all of them are women victims of domestic violence. The results was how the marriage women victims of violence interprets their marriage. The five subject interpreted marriage different from each others. ID interpreted marriage as something bleak, II as something unmeaning, DW as something empty, silent, and suffer, RR as something bleak. Meanwhile, SR interpreted marriage as sacred institution. Keyword : meaning of marriage, domestic violence. ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana makna pernikahan pada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian ini menggunakan teori persepsi terhadap pernikahan dan teori tentang hal-hal yang berkaitan dengan makna pernikahan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi dan teknik analisis data menggunakan coding. Subjek penelitian berjumlah lima orang, subjek adalah perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan tetap bertahan dalam pernikahannya. Hasil penelitian dapat diketahui bagaimana perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga memaknai pernikahannya. Subjek ID memaknai pernikahan sebagai hal yang suram, sedangkan Subjek II menganggap pernikahan tidak berarti bagi dirinya. Subjek DW memaknai pernikahan sebagai sesuatu yang hampa, sunyi dan menderita. Subjek RR memaknai pernikahan sebagi sesuatu yang hampa. Berbeda dengan subjek lain SR memaknai pernikahan sebagai lembaga yang sakral. Kata kunci: makna pernikahan, kekerasan dalam rumah tangga
1
2
LATAR BELAKANG Setiap individu yang mulai beranjak dewasa memiliki keinginan untuk melaksanakan pernikahan. Pernikahan itu sendiri merupakan suatu peristiwa, dimana sepasang mempelai atau sepasang calon suami-istri dipertemukan secara formal dihadapan saksi serta pernghulu untuk kemudian disahkan secara resmi menjadi suami istri melalui upacara dan ritual-ritual tertentu. Menurut Kartono (2000) peristiwa pernikahan merupakan suatu bentuk proklamasi, dimana secara resmi sepasang laki-laki dan perempuan diumumkan untuk saling memiliki satu sama lainnya. Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar nomor lima merupakan salah satu negara dengan jumlah pernikahan yang tinggi. Menurut Survei Penduduk tahun 2010 di Indonesia jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 237,056,000 orang dengan jumlah pernikahannya adalah sebanyak 58,326,856, sedangkan menurut BKKBN pada 2010 pernikahan di Indonesia mencapai dua juta pasangan. Hasil data dari Federasi Kependudukan Internasional (IPPF) menyatakan bahwa usia rata-rata pernikahan pertama pada perempuan (usia 20-49) adalah 19,5 tahun sedangkan untuk laki-laki (usia 15-49) adalah 25,2 tahun. Thompson (Papalia, Diane E., Olds, Sally W.,Feldman, Ruth D., Gross, Dana L, 2009) menyatakan baik laki-laki maupun perempuan memiliki harapan yang berbeda dari pernikahan. Bagi perempuan, keintiman dalam pernikahan diperoleh dengan berbagi perasaan dan kepercayaan diri. Sedangkan bagi laki-laki keintiman pernikahan diperoleh melalui seks, pertolongan praktis, rasa kedekatan dan melakukan sesuatu bersama. Laki-laki menganggap pernikahan sebagai lembaga yang mengikat dan penuh dengan tanggung jawab. Dariyo (2008) mengungkapkan bahwa laki-laki cenderung menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan laki-laki dan mengikat laki-laki dalam rumah tangga. Beberapa laki-laki mengalami tekanan sosial yang berkaitan dengan pernikahan terutama bagi laki-laki yang telah mapan secara ekonomi walaupun tekanan yang didapat tidak sebesar perempuan yang belum menikah. Pernikahan harusnya dapat membuat suami dan istri merasa nyaman, merasa dilindungi, dicintai, dibutuhkan serta diperhatikan sehingga masing-masing pasangan bisa merasa lepas dari keterasingan dan kesepian yang dirasakan sebelum menikah. Disamping itu pula, suatu pernikahan diharapkan juga mampu memenuhi kebutuhan terdalam sebagai manusia. Kenyataannya, tidak semua pasangan suami – istri mampu memenuhi tujuan awal dari pernikahan yang tertera dalam undang-undang pernikahan . Hal ini disebabkan karena adanya tindakan kekerasan yang terjadi di rumah tangga yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangannya (Malik, 2009). Tindakan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga tersebut, dikenal dengan istilah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Menurut UU Republik Indonesia No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga, meski bukan permasalahan baru bagi masyarakat, namun fenomena kasusnya sendiri masih seperti gunung es. Kasus yang dimunculkan di media baik cetak maupun elektronik hanyalah sekian persen dari banyaknya kasus yang terjadi dimasyarakat. Data komnas perempuan menyebutkan di Indonesia pada tahun 2011 kasus KDRT yang tercatat sebanyak 113.878, sedangkan di Jawa Timur pada tahun 2011 tercatat 24.555 kasus KDRT yang tercatat. Komnas perempuan mencatat perempuan yang
3
mengalami kekerasan psikis menduduki urutan pertama kekerasan dalam rumah tangga. Urutan selanjutnya adalah perempuan yang mengalami kekerasan fisik sebanyak 63,99 persen, perempuan yang ditelantarkan ekonominya sebanyak 63,69 persen dan perempuan yang mengalami kekerasan seksual sebanyak 30,95 persen (www.kompasperempuan.or.id). Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menderita secara fisik maupun psikis. Berlangsungnya kekerasan yang menimpa secara berulang-ulang merupakan suatu situasi yang menekan dan menyakitkan, namun tak dapat dipungkiri ada beberapa korban KDRT yang masih mempertahankan pernikahannya. Menurut data Komnas Perempuan dari 150 kasus KDRT hampir 75% korban memilih untuk kembali kepada suami dan mempertahankan pernikahan sedangkan sisanya memilih untuk berpisah. Peneliti mendapatkan fakta di lapangan tentang adanya perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang tetap mempertahankan pernikahan walaupun mendapat kekerasan, dalam kasus ini pihak pelapor bahkan bukan korban ataupun keluarga melainkan tetangga korban yang merasa kasihan dengan keadaan korban. Fakta korban tetap mempertahankan rasa sakit dan penderitaaan akibat kekerasan bertentangan dengan tujuan awal pernikahan yaitu menimbulkan kebahagiaan bagi pasangan. Berdasarkan paparan di atas maka peneliti tertarik untuk memahami lebih dalam tentang makna pernikahan pada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, dengan demikian penelitian ini mengambil judul “Makna Pernikahan Pada Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga”. KAJIAN TEORI A. Pernikahan Herning (Soewondo, 2001) mengatakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan yang kurang lebih permanen, ditentukan oleh kebudayaan dengan tujuan mendapatkan kebahagiaan. Keterikatan ini bersifat persahabatan, ditandai oleh perasaan bersatu dan saling memiliki. Masing-masing individu perlu menyesuaikan diri pada pasangannya dan mengubah diri agar sesuai. Sedangkan menurut Purwadarmitra (Walgito, 2000) pernikahan merupakan perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. Pernyataan dari Duval dan Miller (Soewondo, 2001) menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu hubungan yang diakui secara sosial antara laki-laki dan perempuan yang mensahkan hubungan seksual dan adanya kesempatan mendapatkan keturunan terakhir. Hornby (Walgito, 2000) menyebutkan pernikahan adalah bersatunya dua orang menjadi suami dan istri. Menurut undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 menyebutkan: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Ada banyak definisi pernikahan namun ada satu pernyataan yang sama yaitu adanya penyatuan laki-laki dan perempuan. 1. Persepsi terhadap pernikahan Persepsi individu tentang sebuah pernikahan memiliki tiga aspek yaitu pengetahuan yang dimiliki individu mengenai pernikahan, pengharapan yang dimiliki individu untuk pernikahannya sendiri serta penilaian individu mengenai pernikahannya (Calhoun dan Acocella, 2007):
4
a. Pengetahuan Aspek pertama dari persepsi tentang pernikahan adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud berupa pengetahuan yang dimiliki individu mengenai pernikahan. Pengetahuan ini didapatkan dari masa lalu dan perasaan terhadap pernikahan. b. Pengharapan Aspek kedua dari persepsi tentang pernikahan adalah harapan. Selain individu mempunyai satu set pandangan terhadap pernikahan, individu juga memiliki pengharapan terhadap pernikahannya sendiri, seperti apa pernikahan itu seharusnya dan apa yang harus dilakukan dalam pernikahan. c. Penilaian Aspek terakhir dari persepsi tentang pernikahan adalah penilaian. Penilaian adalah kesimpulan individu terhadap pernikahan yang didasarkan pada bagaimana pernikahan tersebut memenuhi pengharapan individu terhadap pernikahan. 2. Makna pernikahan Makna pernikahan tidak dapat terlepas dari tujuan-tujuan yang melingkupi pernikahan tersebut. Makna pernikahan berkaitan erat dengan tujuan pernikahan, karena pernikahan tidak memiliki makna bila apa yang menjadi tujuan pasangan tidak tercapai dalam pernikahan yang mereka jalani. Menurut Cristensen (1987) makna pernikahan berkaitan dengan tiga hal, antara lain : a. Mewujudkan fungsi sosial keluarga. Pernikahan adalah sebuah lembaga yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat. Tanpa pernikahan, tidak ada satu pun masyarakat yang dapat terbentuk. lembaga pernikahan perlu diorganisasikan untuk keperluan fungsi sosial yang diwujudkan untuk kebutuhan manusia. Tujuan umum pernikahan dan keluarga adalah untuk membenarkan keberadaan keluarga-keluarga tersebut dan untuk menjelaskan universalitas dari lembaga pernikahan itu sendiri. b. Melengkapi sifat alamiah jenis kelamin. Penyatuan antara pria dan wanita dalam sebuah ikatan pernikahan memungkinkan timbulnya ketidakpastian yang sifatnya potensial. Penyatuan ini bersifat alamiah, personal, intim, bersifat emosional, dan berkesinambungan dalam waktu lama, memungkinkan adanya kesalahpahaman dan penderitaan yang sama besarnya seperti peluang mengalami keharmonisan dan kebahagiaan. c. Kebahagiaan sebagai tolok ukur suksesnya sebuah pernikahan. Tujuan pernikahan seseorang adalah untuk memperoleh kebahagiaan. Kepuasan pernikahan dihasilkan ketika kebahagiaan dapat dirasakan oleh pasangan yang mengalami pernikahan tersebut. Ketika tujuan pernikahan tercapai, maka muncullah makna yang mendasari pernikahan tersebut. B. Perempuan Perempuan dan laki-laki dibedakan secara fisik melalui atribut jenis kelamin yang melekat pada mereka. Jenis kelamin adalah perbedaan mendasar yang melekat pada laki-laki dan perempuan dan sifatnya kodrati. Atribut jenis kelamin yang melekat pada perempuan secara biologis berupa pertumbuhan payudara, diproduksinya sel telur, mengalami menstruasi, memiliki kromosom XX, memiliki rahim, membesarnya pinggul.
5
Perempuan berbeda dengan laki-laki tidak hanya secara fisik namun juga secara psikologis. Berdasarkan beberapa ahli dibidang psikologis, seperti Bratanata (Ekawati, A dan Wulandari, S., 2011) mengatakan perempuan pada umumnya lebih baik pada ingatan dan laki-laki lebih baik dalam berpikir logis. Senada dengan hal itu, Kartono (Ekawati, A. dan Wulandari, S., 2011) mengatakan bahwa perempuan lebih tertarik pada masalah-masalah kehidupan yang praktis konkrit, sedangkan laki-laki lebih tertarik pada segi-segi yang abstrak. Konteks budaya menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki peran sosialnya yang dikenal dengan istilah gender. Gender dipahami sebagai konsep mengenai peran lakilaki dan perempuan di suatu masa atau kultur tertentu yang dikonstruksi. Dayanti (2007) mengungkapkan penggambaran anak perempuan lebih lemah, rapuh serta berbagai sifat-sifat feminimnya sedangkan anak laki-laki yang dipandang lebih kuat, tidak cengeng dan dengan segala atribut maskulinitasnya mengakibatkan perbedaan perlakuan dan pola pendidikan yang diberikan orang tua dalam kehidupan sehari-hari.
C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU Republik Indonesia No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga disebut kekerasan domestik (domestic violence) karena seringkali dilakukan oleh suami kepada isterinya. Selain itu lingkup kekerasan yang berada dalam lingkup rumah tangga atau rumah dianggap sebagai alasan KDRT hanya masalah pribadi keluarga. KDRT dapat terjadi pada siapapun dan kapanpun, tanpa memandang jenis kelamin atau preferensi seksual. Orang tua memukuli anak mereka, anak-anak menganiaya orang tua mereka, istri menusuk suami, suami memukul istri, paman memukul keponakan, kakak memperkosa adik, kakek membunuh cucu dan lain-lain intinya semua bisa menjadi korban maupun pelaku (Nelson, 2005). Dharmono dan Diatri (2008) menyebutkan bahwa pelaku biasanya adalah sosok yang mempunyai peran otoritas atau berstatus lebih kuat (suami atau orang tua) sedangkan korban adalah anggota keluarga yang berstatus sub-ordinat atau lemah (istri atau anak). Kekerasan yang sering dialami oleh para korban KDRT tidak hanya kekerasan fisik namun juga kekerasan dalam bentuk lain seperti kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Merujuk pada UU Republik Indonesia no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), pada pasal 5 disebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran rumah tangga”. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi (baik itu hanya sekali) tidak hanya menyisakan ingatan tentang peristiwa tersebut saja, melainkan lebih jauh membawa dampak yang cukup besar bagi korban untuk jangka pendek maupun jangka panjang (Dharmono dan Diatri, 2008). Dampak dari kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa dapak fisik maupun
6
psikis. Dharmono dan Diatri (2008) mengatakan bahwa dampak fisik tidaklah lebih berat dari dampak psikologis dalam hal menimbulkan penderitaan panjang. Dampak fisik dan psikologis tak ubahnya seperti dua sisi mata uang yang sejajar dan tak terpisahkan. Dampak fisik seperti cacat akan selalu menjadi bayangan nyata peristiwa traumatik tersebut. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Model pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Adapun subjek penelitian yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak lima orang. Yaitu Pperempuan yang telah menikah dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga serta tetap mempertahankan pernikahannya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti, seperti data hasil wawancara yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan subyek dalam penelitian dan melakukan observasi langsung. Sedangkan sumber data sekunder di sini bisa diperoleh dari wawancara dengan narasumber pendukung yang dapat berasal dari para pegawai PPT yang menangani kasus subjek. Selain itu sumber data sekunder juga bisa berupa dokumentasi yang diperoleh ketika melakukan penelitian. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analis coding terhadap hasil wawancara yang telah diverbatim. Coding adalah proses untuk mengurai, menelaah, mengartikan data, membandingkan, dan dikonseptualisasikan sehingga menghasilkan makna dan perspektif baru (Poerwandari, 2007). Berikut model-model coding yang akan digunakan peneliti dalam penulisan ini (Poerwandari, 2007): (1) Open Coding, yaitu coding yang dilakukan pertama kali dari keseluruhan data yang diperoleh kemudian data-data tersebut diurai, diberi nama, dan mengkategorikan data. (2) Axial Coding, yaitu prosedur yang diarahkan untuk melihat keterkaitan antara kategori-kategori yang dihasilkan melalui open coding. (3) Selective Coding, yaitu satu proses untuk menyeleksi kategori pokok, kemudian secara sistematis menghubung-kannya dengan kategori-kategori yang lain. Proses ini secara langsung akan memvalidasi keterkaitan antara kategori-kategori yang berhasil diidentifikasi. HASIL Karakteristik
Tempat, Tanggal lahir
Usia Pendidikan Terakhir Usia
ID Surabaya, 24 April 1979
SUBJEK DW Surabaya, 29 Juni 1962
34 tahun 3 bulan
II Surabaya, 13 September 1995 17 tahun 9 bulan
SMA
SD
SMA
SMA
S-1
13 tahun
2 tahun
28 tahun
24 tahun
8 tahun
51 tahun
RR Malang, 10 Desember 1968 44 tahun 6 bulan
SR Mojokerto, 15 Mei 1984 29 tahun 2 bulan
7
Pernikahan Jumlah Anak Domisili Pekerjaan
2 orang Sidoarjo Karyawan swasta
1 orang Surabaya SPG
2 orang Surabaya Guru
3 orang Pandaan Ibu rumah tangga
1 orang Sidoarjo Guru
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa: 1. ID ID merupakan ibu dari dua orang anak berprofesi sebagai karyawan koperasi simpan pinjam dan memiliki suami yang bekerja serabutan, menikah selama 13 tahun dan mengalami KDRT setelah usia pernikahannya tiga tahun. ID menikah dengan pasangannya karena merasa kasihan dengan pasangannya tersebut. Pernikahan ID pada awalnya tidak disetujui oleh orang tua ID, namun ID memaksa sehingga orang tua ID menyetujui pernikahan tersebut. Pernikahan ID pada awalnya berjalan baik namun setelah tiga tahun pernikahan suami ID kerap melakukan kekerasan. Menurut ID kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya karena pengaruh dari teman-temannya. Alasan ID untuk mempertahankan pernikahannya adalah masih percaya pasangannya dapat berubah sikapnya dan demi anakanak ID. 2. II II merupakan perempuan yatim piatu yang menikah muda pada usia 16 tahun dan menikah dengan laki-laki yang usianya lebih tua 10 tahun, menikah selama hampir dua tahun dan sejak awal menikah sudah mengalami KDRT. Alasan II menikah dengan suami karena II yang yatim piatu diberikan janji oleh pasangannya, janji tersebut berupa perlindungan dan pembiayaan hidup kepada II. II diterima dengan baik oleh keluarga pasangannya, hal ini juga membuat II dekat dengan mertuanya. Pernikahan yang diharapkan bahagia oleh II ternyata tidak sesuai dengan janji yang diberikan pasangannya, sejak awal menikah II sudah mendapat perlakuan kekerasan. Menurut II suaminya melakukan kekerasan karena adanya salah paham dan pengaruh dari pasangannya yang suka mengkonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang. Alasan II bertahan dalam pernikahannya adalah demi anaknya yang masih kecil, selain itu sikap mertua II yang baik membuat II merasa nyaman dan tidak ingin meninggalkan kedua mertuanya. 3. DW DW merupakan ibu dari dua orang anak berprofesi sebagai bunda paud dan memiliki suami yang bekerja sebagai karyawan bank, menikah selama 28 tahun. Pertama kali mengalami kekerasan dalam rumah tangga saat usia pernikahannya mencapai tiga tahun. Alasan DW menikah dengan pasangannya adalah DW merasa terlindungi dan sikap pasangannya yang sangat baik terhadap dirinya. Pernikahan DW pada awalnya berjalan dengan baik namun setelah tiga tahun menikah DW mulai melakukan tindak kekerasan. Menurut DW pasangannya kerap melakukan kekerasan karena pasangannya memiliki WIL, kekerasan yang dialami oleh DW diakibatkan oleh emosi pasangannya yang meluap karena bermasalah dengan selingkuhannya. DW bertahan dengan pernikahannya dikarenakan ingin suaminya berubah dan faktor anak-anak yang masih dibiayai oleh pasangannya.
8
4. RR RR merupakan Ibu dari tiga orang putri tidak memiliki pekerjaan dan menikah karena dijodohkan dengan anak teman orang tua. Menikah selama 24 tahun dan sejak dua bulan setelah menikah mengalami KDRT. RR menerima perjodohan tersebut karena takut menolak perintah orang tuanya. Perjodohan ini tidak disetujui oleh semua pihak karena ibu mertua RR tidak menyetujui perjodohan ini. Pernikahan RR tidak berjalan sebagaimana yang diharapkannya karena RR mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya. Menurut RR dirinya tidak mengetahui alasan pasangannya melakukan kekerasan. RR memutuskan bertahan dalam pernikahannya karena masih adanya harapan pasangannya akan berubah, selain itu RR takut anak-anaknya tidak ada yang membiayai lagi. 5. SR SR merupakan istri yang berprofesi sebagai guru menikah dengan karyawan swasta. Menikah selama delapan tahun dan mengalami KDRT selama empat tahun. SR memiliki seorang anak perempuan dari hasil pernikahan ini. SR mengungkapkan alasan dirinya menikah karena cinta dengan pasangannya dan dirinya meminta pertanggung jawaban karena telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah dengan pasangannya. Pernikahan SR pada awalnya berjalan dengan sangat baik karena dirinya merasa bahagia, selain itu pasangannya juga sangat baik. Pernikahan yang bahagia itu hanya berlangsung empat tahun karena setelah itu pasangannya kerap melakukan kekerasan. Menurut SR kekerasan yang dilakukan pasangannya karena pengaruh “guna-guna” dari selingkuhan pasangannya. SR sangat yakin suaminya adalah orang baik dan sekarang hanya sedang tidak sadar, hal ini membuat SR bertahan dalam pernikahannya. DISKUSI Makna pernikahan tidak dapat terlepas dari tujuan-tujuan yang melingkupi pernikahan tersebut. Makna pernikahan berkaitan erat dengan tujuan pernikahan, karena pernikahan tidak memiliki makna bila apa yang menjadi tujuan pasangan tidak tercapai dalam pernikahan yang mereka jalani. Seperti yang dialami oleh semua subjek dimana dirinya yang memiliki tujuan pernikahan yang baik namun pada kenyataan harus mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Subjek terus mencoba untuk bertahan dengan pernikahannya walaupun tidak adanya rasa kebahagiaan ataupun kepuasaan pernikahan. Perbedaan antara harapan dan tujuan pernikahan dengan apa yang mereka rasakan selama menikah membuat mereka memiliki pandangan tentang makna pernikahan yang berbeda. Menurut Calhoun dan Acoucella (2007) Persepsi individu tentang sebuah pernikahan memiliki tiga aspek yaitu pengetahuan yang dimiliki individu mengenai pernikahan, pengharapan yang dimiliki individu untuk pernikahannya sendiri serta penilaian individu mengenai pernikahannya. Jika dikaitkan dengan perubahan pandangan subjek maka: 1. Pengetahuan Pengetahuan yang dimiliki setiap subjek tentang pernikahan akan berbeda-beda, hal ini dapat dilihat dari pernyataan setiap subjek. ID berpendapat bahwa pernikahan itu enak, sedangkan II dan SR menganggap pernikahan sebagai hal yang baik. Berbeda dengan DW yang menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang sakral dan membawa kebahagiaan, pernyataan ini sama dengan RR yang menganggap pernikahan itu membawa kebahagiaan. Semua pernyataan tersebut mengerucut pada satu hal dimana semua subjek memiliki pengetahuan bahwa pernikahan itu selalu membawa hal yang baik dan dapat membuat mereka bahagia. subjek mendapatkan pengetahuan tentang pernikahan yang bahagia sebagai
9
acuan utama yang mungkin bisa didapatkan dari banyak sumber seperti orang tua atau pernikahan orang lain. Pengetahuan yang mereka dapatkan merupakan pengetahuan yang belum terjadi pada diri mereka, hal ini karena mereka dapatkan sebelum mereka menikah. Setelah mereka menikah pengetahuan yang mereka dapatkan berubah karena mereka mendapat pernikahan yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Pernikahan yang selalu membawa bahagia tidak mereka dapatkan dan berganti dengan pengetahuan baru dimana pernikahan mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan yang mereka rasakan membuat mereka memiliki pengetahuan baru tentang pernikahan selain yang mereka dapat selama ini. ID mengungkapkan setelah mengalami KDRT dirinya memandang pernikahan sebagai hal yang suram, sedangkan II dan RR menganggap pernikahan sebagai hal yang membuat dirinya sakit hati. DW memiliki pandangan lain dimana menurutnya pernikahan tidak hanya mencari kebahagiaan antar individu tetapi juga kebahagiaan yang lain. Hal berbeda juga diungkapkan SR dimana dia masih memandang pernikahan sama seperti sebelum mengalami kekerasan karena menurutnya tidak ada yang salah dengan pernikahan. subjek yang mendapatkan pengetahuan baru selain ada yang berubah namun ada juga yang tetap bertahan dalam memandang pernikahan. 2. Pengharapan Pengetahuan yang didapatkan oleh setiap subjek membuat Subjek memiliki harapan tentang pernikahannya. Setiap subjek selalu berharap pernikahannya akan baik-baik saja, tidak ada subjek yang menginginkan pernikahannya mengalami kekerasan atau tidak bahagia. ID mengungkapkan bahwa harapannya menikah adalah bahagia dengan orang yang dia sayangi, hal senada juga diungkapkan oleh DW, RR dan SR. Berbeda dengan mereka II berharap dengan menikah dirinya mampu hidup lebih baik secara ekonomi dan dirinya mendapat keluarga lagi karena keadaan dirinya yang yatim piatu. Harapan yang dimiliki oleh subjek tidak terjadi saat mereka menikah karena mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Harapan akan mendapatkan pernikahan yang bahagia harus berakhir menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan yang dialami oleh semua subjek menciptakan suatu harapan baru menggantikan harapan yang lama. ID mengungkapkan setelah mengalami KDRT dirinya hanya berharap bahwa suaminya akan berubah dan dirinya tidak mengalami kekerasan lagi, hal yang sama juga diungkapkan oleh empat subjek yang lain. Menurut semua subjek, suami mereka dapat berubah itu sudah lebih dari cukup. subjek mengungkapkan selama ini mereka bertahan juga karena masih adanya harapan perubahan sikap dari suami menjadi lebih baik dan tidak melakukan kekerasan. Harapan menjadi salah satu poin yang membuat mereka semua bertahan dalam pernikahan yang bisa dikatakan tidak ada masa depan yang cerah di dalamnya. Harapan yang tidak berlebihan karena hanya menginginkan perubahan sikap suami dan mereka tidak mengalami kekerasan lagi. Sebagian besar subjek masih menganggap bahwa suami mereka merupakan orang yang baik dan karena perasaan cinta yang dalam subjek rela mengorbankan kebahagiaan dan bertahan. Keyakinan subjek bahwa suaminya mungkin dapat berubah karena sebelumnya suami mereka telah memberikan janji-janji dan perlakuan yang baik sebelum melakukan kekerasa. Perlakuan yang baik ini membuat subjek berusaha bertahan dan menunggu selama mungkin sampai adanya perbuahan suami.
10
3. Penilaian Aspek terakhir adalah penilaian, penilaian adalah aspek yang mempengaruhi subjek dalam menentukan pandangan pernikahan. Aspek ini merupakan kesimpulan individu terhadap pernikahan yang didasarkan pada bagaimana pernikahan tersebut memenuhi pengharapan individu terhadap pernikahan. Subjek akan menentukan apakah pernikahan yang mereka jalani telah sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Setiap subjek memberi penilaian yang berbeda tentang pernikahan, hal ini dapat dilihat dari pernyataan mereka tentang pandangan mereka mengenai pernikahan setelah mengalami kekerasan. ID memberikan pandangan bahwa pernikahan itu suram dan tidak enak. II, DW dan RR sepakat menyatakan bahwa pernikahan itu tidak menarik dan hanya membuat sakit hati. Pernyataan berbeda datang dari SR dimana dirinya masih menganggap bahwa pernikahan itu sebagai sesuatu hal yang suci dan sakral. Melihat pandangan awal mereka dalam pernikahan tidak dapat dipungkiri setiap subjek memberikan penilaian yang baik terhadap sebuah pernikahan. Penilaian baik ini membuat harapan mereka tentang pernikahan menjadi tinggi, mereka berharap bahwa pernikahan mereka akan membawa kebahagiaan. Kekerasan yang dialami setiap subjek berperan penting terhadap perubahan penilaian yang dilakukan oleh subjek. Perubahan penilaian ini diakibatkan oleh kenyataan pernikahan yang mereka alami, tidak ada kebahagiaan seperti yang mereka harapkan yang ada hanya kekerasan. Tidak semua subjek merubah penilaian mereka terhadap pernikahan saat mengalami kekerasan. Berbeda dengan subjek yang lain SR tidak merubah penilaiannya terhadap pernikahan. Penilaian ini didasari atas keyakinan yang sangat kuat terhadap nilai sakral suatu pernikahan. SR sangat yakin bahwa pernikahan itu baik tidak ada yang salah dengan pernikhan, hal ini membuat SR mampu mempertahankan penilaian terhadap pernikahan seperti sebelum mengalami kekerasan. Proses penilaian, pemaknaan dan pengambilan keputusan individu dalam menghadapi KDRT yang dialaminya tidak terlepas dari proses kognitif individu dalam memandang dirinya sendiri dan lingkungannya. Menurut Solso, Otto dan Kimberly (2009) kognitif adalah proses-proses mental atau aktivitas pikiran dalam mencari, menemukan, mengetahui dan memahami informasi. Melihat pengertian tersebut proses kognitif berperan menentukan bagaimana subjek yang mengalami kekerasan memaknai pernikahan. Proses kognitif yang dialami oleh setiap subjek berhubungan dengan bagaimana subjek mengolah realita atau kenyataan tentang pernikahan mereka yang tidak bahagia. Informasi awal mereka berhubungan dengan pernikahan adalah sesuatu yang baik dan tanpa kekerasan, namun semua subjek mengalami hal yang sama yaitu kekerasan dalam rumah tangga. subjek yang mengalami kekerasan menyadari bahwa informasi awal mereka salah dan berusaha melakukan pengolahan informasi yang baru. Proses inilah yang menjadi salah satu landasan subjek menentukan langkah dalam memaknai pernikahannya. Setiap informasi diolah oleh setiap subjek dan memberikan hasil yang beragam. Kasus ID, DW dan SR yang mengalami kekerasan setelah usia pernikahannya diatas dua tahun akan berbeda dalam mengolah informasi dibandingkan II dan RR yang langsung mengalami kekerasan setelah menikah. Hal ini membuat ID, DW dan SR pernah mendapatkan pernikahan yang sesuai dengan harapan mereka sehingga dalam mengambil keputusan, pengalaman ini pasti menjadi pertimbangan dalam menentukan makna pernikahan. II dan RR memaknai pernikahan secara negatif, hal ini merupakan hasil dari bagaimana mengolah apa
11
yang mereka terima. II dan RR mengalami kekerasan sejak pernikahan sehingga mengalami penderitaan namun ada kondisi yang mendukung mereka bertahan dalam pernikahannya. Menurut Cristensen (1987) makna pernikahan berkaitan dengan tiga hal yaitu mewujudkan fungsi sosial keluarga, melengkapi sifat alamiah jenis kelamin dan kebahagiaan sebagai tolak ukur kesuksesan pernikahan. Berdasarkan data yang didapatkan setiap subjek membangun makna pernikahan berdasarkan hal tersebut. Pertama adalah mewujudkan fungsi sosial keluarga yang meliputi perlindungan, pembenaran status dan pemenuhan kebutuhan keluarga. Setiap subjek mengalami hal yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang dialami. DW sebagai subjek yang mendapatkan semua poin tersebut, hal ini berakibat DW memandang pernikahan melalui sudut pandang keluarga. II dan SR mengalami dua poin dalam hal tersebut sedangkan ID dan RR hanya mengalami satu poin, hal ini mempengaruhi mereka dalam memandang pernikahan terutama karena wujud sosial keluarga mereka tidak berjalan dengan baik. Kedua adalah melengkapi sifat alamiah jenis kelamin, salah satu fungsi pernikahan adalah faktor pemenuhan kebutuhan biologis. Melengkapi sifat alamiah jenis kelamin meliputi hubungan seksual, keharmonisan dan keintiman. Subjek mengungkapkan bahwa mereka harus tetap melayani suami walaupun mengalami kekerasan, hal ini membuat mereka merasa sebagai alat pemuas nafsu dibandingkan dengan seorang istri. RR dan SR merupakan subjek yang hampir tidak pernah melakukan hubungan seksual karena permasalahan suaminya yang berselingkuh, hal ini mengakibatkan kebutuhan batin mereka tidak terpenuhi. Sebaliknya ID, II dan DW harus melayani suaminya secara seksual walaupun mengalami kekerasan karena mereka harus tetap melaksanakan peran sebagai seorang istri, namun hal ini tidak membuat mereka secara batin terpenuhi juga. Ketiga adalah kebahagiaan sebagai tolak ukur kesuksesan sebuah pernikahan yang meliputi kebahagiaan pernikahan dan kepuasaan pernikahan. Pernikahan bahagia menjadi ukuran sebuah pernikahan sukses, namun pernikahan yang mengalami KDRT jelas tidak memiliki kriteria bahagia. ID, II dan DW memiliki sedikit kebahagiaan dalam pernikahan mereka, ID dan II menganggap bahwa kehadiran buah hati mereka sebagai bentuk kebahagiaan. DW yang tidak menemukan kebahagiaan yang diharapkan mengorbankan kebahagiaan dan memilih kebahagiaan anaknya sebagai kebahagiaannya sendiri. RR tidak merasakan kebahagiaan dalam pernikahannya mereka karena menurut dirinya kebahagiaan akan didapatkan setelah suaminya berubah dan dirinya tidak mengalami kekerasan lagi. SR merasakan bahagia karena menikah dengan orang yang diinginkan, selain itu empat tahun awal pernikahannya dipenuhi oleh kebahagaiaan. Setiap subjek dalam memaknai pernikahan dipengaruhi oleh beberapa hal yang berbeda, namun satu hal yang sama adalah kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami menjadi salah satu faktor yang menyebabkan munculnya makna pernikahan. Subjek yang mengalami KDRT dalam pernikahannya tidak begitu saja bercerai dengan suaminya namun memilih untuk bertahan dengan pernikahannya. Subjek bertahan dengan alasan yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang dirasakan dalam pernikahannya. ID bertahan dengan alasan demi anak-anaknya serta masih sangat berharap adanya perubahan sikap dari suaminya. II, DW dan RR mengatakan bahwa alasanya bertahan dengan pernikahannya adalah demi kesejahteraan anak-anaknya. Berbeda dengan alasan SR yang bertahan karena merasa apa yang dilakukan suaminya sekarang dilakukan secara tidak sadar. Hal ini menimbulkan konsekuensi yang diterima subjek dalam menjalani pernikahannya.
12
Konsekuensi yang diterima berupa harus tetap melayani suami secara seksual walaupun suami melakukan kekerasa dalam rumah tangga. Konsekuensi lain adalah anak-anak yang melihat kekerasan yang dialami oleh ibu mereka. Beberapa subjek harus menerima konsekuensi yang berbeda karena situasi yang diterima berbeda. II yang yatim piatu harus menerima konsekuensi perasaan bersalah mertuanya, sedangkan DW harus mengorbankan kebahagiaan dirinya sendiri. RR merasa rendah diri karena hampir setiap hari menerima kekerasan psikis berupa hinaan sebagai bentuk konsekuensi dirinya. Berbeda dengan SR yang merasa kebutuhan batinnya tidak terpenuhi. Berdasarkan data yang didapat makna pernikahan tidak hanya bisa didapatkan melalui pernikahan yang bahagia namun ada beberapa hal yang berperan. Hal inilah yang akan memunculkan makna pernikahan tergantung dengan kondisi pernikahan subjek. ID yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga selama 10 tahun pernikahannya dan bertahan demi anak-anaknya mampu memunculkan makna pernikahan. Munculnya makna ini karena adanya kekerasan yang dialami serta harapan pernikahannya yang tidak tercapai. Makna pernikahan juga muncul dalam diri II yang merasa pernikahan bahagia yang dijanjikan oleh suaminya tidak terjadi. DW dan RR juga memunculkan makna pernikahan, DW merasa pernikahannya tidak seperti harapannya yang berharap akan adanya kebahagiaan, begitu juga dengan RR yang merasa tertekan dengan pernikahannya. Perbedaan terjadi saat SR memunculkan makna pernikahan bukan karena kekerasan yang dialami melainkan dari kenangan dan keyakinan terhadap suaminya. Hal inilah yang membuat SR tetap bertahan dalam pernikahannya. Melihat dari pembahasan sebelumnya semua subjek dalam penelitian ini secara umum sebelum menikah memandang pernikahan sebagai sesuatu hal yang baik.. Pandangan ini mengerucut pada satu hal yang sama yaitu pernikahan akan membawa kebahagiaan, namun pernikahan semua subjek dapat dikatakan tidak bahagia. Pernikahan semua subjek mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan yang mereka alami mengakibatkan mereka memiliki pandangan yang berubah tentang pernikahan. Pandangan mereka setelah pernikahan dapat dilihat dalam tabel berikut: NO 1
2
3
4
5
SUBJEK
MAKNA PERNIKAHAN ID menganggap pernikahan sebagai hal yang suram. ID menganalogikan pernikahan sebagai hal yang sama Subjek ID dengan bunuh diri lompat ke jurang karena membuat dirinya sengsara. II memandang pernikahan sudah tidak memiliki arti apaSubjek II apa bagi dirinya. Pernikahan hanya membuat dirinya sakit. DW memandang pernikahan sebagai sesuatu yang hampa, sunyi dan menderita. DW merasa pernikahan itu seperti Subjek DW mati karena dirinya merasa menderita dan tertipu oleh janji-janji suaminya. RR memandang pernikahannya sebagai sesuatu yang Subjek RR sangat tidak menarik karena isinya hanya kemelut dan pertengkaran. SR menganggap pernikahan itu sesuatu yang sakral dan Subjek SR suci, pernikahan itu ibadah dimana tujuannya untuk mencapai ridho Allah.
13
Melihat tabel diatas dapat dilihat bahwa kelima orang subjek mampu memunculkan makna pernikahan, setiap subjek memaknai pernikahan secara berbeda. ID memaknai pernikahan sebagai sesuatu yang suram dan sengsara, hal ini memperlihatkan bahwa pernikahan yang dialami oleh ID tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Berbeda dengan II yang memaknai pernikahan sebagai hal yang tidak berarti, II menganggap pernikahannya tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh II. II yang berharap adanya kehidupan keluarga bahagia hanya menerima kekerasan. Pernikahan bagi DW hanya sesuatu yang hampa, sunyi dan menderita. DW sejak mengalami kekerasan berusaha bertahan karena faktor anak-anak, DW menganggap bahwa dirinya tidak harus mencari kebahagiaan pribadi namun juga memikirkan kebahagiaan anak-anaknya. RR yang terus mengalami kekerasan sejak menikah memaknai pernikahan sebagai hal yang hanya berisi pertengkaran. Hal ini disebabkan sikap suaminya yang tidak memperdulikan keluarga serta RR yang merasa tidak diakui oleh keluarga besar suaminya. SR yang sangat yakin bahwa suaminya sedang tidak sadar menganggap tidak ada yang salah dengan pernikahannya. SR percaya bahwa pernikahan itu suci dan sakral sedangkan kekerasan yang terjadi karena individu yang salah. Setiap subjek memaknai pernikahan sesuai dengan kondisi yang terjadi di dalam pernikahan hal ini dipengaruhi oleh persepsi terhadap pernikahan itu sendiri serta tiga faktor yang mempengaruhi makna pernikahan. KESIMPULAN Subjek bertahan dalam pernikahan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dengan cara memunculkan harapan baru. ID bertahan karena berharap adanya perubahan sikap dari suaminya dan percaya bahwa suaminya orang baik, begitu juga dengan II dan SR yang berharap adanya perubahan sikap dari suami sehingga memutuskan bertahan. Berbeda dengan DW yang lebih memilih bertahan karena berharap kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya, sedangkan RR bertahan karena faktor ekonomi dan anak-anak. Harapan inilah yang menjadi dasar bagi narasumber memunculkan makna pernikahan. Masing-masing subjek memiliki makna pernikahan yang berbeda. ID yang telah menikah 13 tahun memaknai pernikahan seperti hal yang suram, sedangkan bagi II yang baru menikah dua tahun memaknai pernikahan sebagai hal yang tidak berarti. DW yang telah menikah 28 tahun memaknai pernikahan sebagai sesuatu yang hampa. RR menikah selama 24 tahun memaknai pernikahan sebagai sesuatu yang tidak menarik. Berbeda dengan keempat subjek lain SR yang telah menikah selam delapan tahun memaknai pernikahan sebagai hal yang sakral. Perbedaan makna pernikahan karena adanya perbedaan masalah kekerasan yang dialami, alasan pernikahan serta perbedaan kondisi mental dan pengalaman setiap subjek. SARAN Saran untuk istri sebagai korban KDRT, Istri perlu untuk memahami karakter individu terutama pasangannya serta memahami dengan baik makna pernikahan. Hal ini dilakukan sebagai langkah individu dalam menyelesaikan masalah sehingga tidak terjebak dalam lingkaran KDRT terus menerus. Selain itu istri sebagai korban KDRT harus lebih kuat secara psikis, hal ini bertujuan untuk melindungi hak dan kesejahteraan anak. Saran untuk keluarga korban, peran keluarga sangat penting untuk memberi dukungan kepada korban KDRT karena keluarga sebagai pihak terdekat dengan korban. Keluarga harus
14
mampu memberi dukungan yang positif dan tidak melakukan sikap menyalahkan atau menyudutkan korban sehingga korban mengalami tekanan. Saran untuk penelitian selanjutnya, keterbatasan pertama dalam penelitian ini adalah susahnya menemukan subjek yang mau diwawancarai karena sebagian besar korban KDRT tidak ingin diungkap kehidupannya. Peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya harus mulai melakukan pendekatan kepada subjek mulai dari awal penelitian karena sikap subjek yang tidak bersedia masalah pribadinya diungkap, selain itu disarankan peneliti selanjutnya menggunakan lembaga perlindungan korban atau WCC yang memiliki database korban kekerasan sehingga memudahkan peneliti dalam menemukan subjek penelitian. Keterbatasan kedua adalah keterbatasan waktu, keterbatasan waktu yang dimaksud adalah keterbatasan bertatap muka dengan subjek penelitian. Peneliti hanya berkesempatan bertemu satu kali dengan subjek penelitian sehingga penggalian data untuk mendukung penelitian ini dirasa kurang mendalam. Peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya harus menambah frekuensi pertemuan dengan subjek penelitian sehingga peneliti mampu membangun kepercayaan subjek dan mampu menggali data secara lebih mendalam. DAFTAR PUSTAKA Calhoun, J.F & Acocella, J.R. (1990). Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Terjemahan oleh R.S Satmoko.2007. Semarang: IKIP Semarang. Cristensen, H.T. (1987). Marriage Analysis:Foundation for Successful Family Life. New York: Ronald Press Company. Dariyo, A. (2008). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo Dayanti, L.D. (2007). Potret Kekerasan Gender dalam Sinetron Komedi di Televisi. Jurnal Media Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Unair Vol 19 no 3 Juli 2007 [online] www.journal.unair.ac.id/.../POTRET%20KEKERASAN%20GENDER%20DALAM.pdf) Dharmono, S dan Diatri, H. (2008). Kekerasan dalam Rumah Tangga (Dampaknya Terhadap Kesehatan Jiwa). Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Ekawati, A dan Wulandari, S. (2011). Perbedaan Jenis Kelamin Terhadap Kemampuan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika (studi Kasus Sekolah Dasar). Jurnal Socioscentia Vol 3 No 1 Februari 2011. Kartono, K. (2000). Psikologi Wanita (jilid 1) ed Revisi. Bandung: Penerbit Mandar Maju. _________. (2000). Psikologi Wanita (jilid 2) ed Revisi. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Malik, R. (2009). Memahami Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti. Nelson, N. (2005). Dangerous Relationship. terjemahan oleh Rahmani Astuti. 2006 .Bandung: How-Press.
15
Papalia, Diane E., Olds, Sally W.,Feldman, Ruth D., Gross, Dana L. (2008). Human Development: Perkembangan Manusia buku 2. Terjemahan oleh Brian Marswendy. 2009. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Poerwandari, E. (2007). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: FP Univeristas Indonesia Soewondo, S. (2001). Keberadaan pihak ketiga, poligami dan permasalahan perkawinan (Keluarga) ditinjau dari aspek psikologi. Munandar,S. C. U. (Ed.), Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Keperibadian dari Bayi Sampai Lanjut Usia. Jakarta: UI Press Solso, R.L. Otto, H dan Kimberly, M.. (2009). Psikologi Kognitif. Jakarta: Penerbit Erlangga. Walgito, B. (2000). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Penerbit Andi. www.bkkbn.go.id www.bps.go.id www.komnasperempuan.or.id ............, U U Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ............, U U No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.