PERANAN KOMNAS PEREMPUAN DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN GENDER BAGI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Analisis di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
FEBRI DIANA NIM: 104044201465
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AKHWAL AL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H/2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi
berjudul
PERANAN
KOMNAS
PEREMPUAN
DALAM
MEWUJUDKAN KEADILAN GENDER BAGI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Analisis di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 September 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyah. Jakarta, 17 September 2009 Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. NIP. 195505051982031012 PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. NIP. 195003061976031001
( ........................ )
2. Sekretaris
: Kamarusdiana, S. Ag., M.H. NIP. 197202241998031003
( ........................ )
3. Pembimbing : Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H., M.A. NIP. 195003061976031001
( ........................ )
4. Penguji I
: Dr. H. A. Djuaini Syukri, Lc., M.Ag. NIP. 195507061992031001
( ........................ )
5. Penguji II
: Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. ( ........................ ) NIP. 196911211994031001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 September 2009
Febri Diana
PERANAN KOMNAS PEREMPUAN DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN GENDER BAGI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Analisis di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh: Febri Diana NIM: 104044201465
Di Bawah Bimbingan Pembimbing
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H. M.A. KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AKHWAL AL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H/2009 M
KATA PENGANTAR
ا ا ا Alhamdulillah, segala Puji dan Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Dialah sumber tempat bersandar, Dialah sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya. Sehingga penulis diberikan kekuatan fisik dan psikis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: "PERANAN KOMNAS PEREMPUAN DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN GENDER BAGI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Analisis di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan)". Shalawat beserta salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang telah membuka pintu keimanan yang bertauhidkan kebahagiaan, kearifan hidup manusia dan pencerahan atas kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang dijadikan sebuah pembelajaran bagi muslim dan muslimah hingga akhir zaman. Skripsi ini, penulis susun guna memenuhi syarat akhir untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada program studi Ahwal Syakhshiyah konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada yang terhormat Bapak:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., selaku Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyah dan pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan, dan memberikan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini. 3. Kamarusdiana, S.Ag., M.H., selaku Sekretaris Program Studi Akhwal Syakhshiyah. 4. Dr. H. A. Djuaini Syukri, Lc., M. Ag., dan Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., selaku penguji pada skripsi ini. 5. J.M. Muslimin, M.A., Ph.D., selaku dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan masukan terhadap penulisan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu dosen yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk mendidik dan memberikan ilmunya agar kelak penulis menjadi manusia yang berguna dunia dan akhirat, semoga pendidikan yang diberikan menjadi berkah dan dapat menuntun penulis untuk memasuki kehidupan yang lebih baik. 7. Kepada Ayahanda Rahmad (Alm) dan Ibunda Khotimah tercinta, serta kakakkakakku Ahmad Ikhwan, Syamsul Riyadin, dan Fajri Kurniasih yang senantiasa memberikan support dan bantuan materiil kepada penulis. 8. Kepada Danielle J.P. Samsoeri, S.H, Koordinator Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan yang telah bersedia untuk diwawancara dan memberikan masukan terhadap penulisan skripsi ini.
9. Bapak dan Ibu pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu mencarikan bahan-bahan referensi dalam penulisan skripsi ini. 10. Pimpinan beserta Pegawai perpustakaan Komnas Perempuan yang selalu membantu penulis dalam mencari data-data dalam penulisan skripsi ini. 11. Sahabat-sahabatku, Muslim, Ika Wulandari, Siti Pujiati, Nanik Yuliyanti, Deny Irawan Derajat, dan Quen of the Error, serta seluruh rekan-rekan seperjuangan konsentrasi Ahwal Al-Syakhshiyah khususnya Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2004 dan 2005. 12. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan khazanah keilmuan yang ada, khususnya dalam bidang hukum perdata Islam. Jakarta, Dzulqa'dah 1430 Oktober 2009 Penulis
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR .....................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...........................................
5
C. Kerangka Teori................................................................................
7
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...................................................
9
E. Review Studi Terdahulu................................................................
10
F. Metode Penelitian ........................................................................
12
G. Sistematika Penulisan ..................................................................
13
BAB II TINJAUAN UMUM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN KEADILAN GENDER ...........................................................
15
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...............................
15
B. Faktor dan Unsur-Unsur Kekerasan Terhadap Perempuan ............
16
C. Bentuk-Bentuk dan Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...
19
D. Keadilan dan Konsep Gender dalam Islam ...................................
25
BAB III GAMBARAN UMUM KOMNAS PEREMPUAN ..........................
30
A. Sejarah Lahirnya Komnas Perempuan .........................................
30
B. Visi Misi Terbentuknya Komnas Perempuan ...............................
32
C. Program Kerja dan Struktur Organisasi Komnas Perempuan ........
36
BAB IV ANALISIS TERHADAP KONSEP PENANGANAN KASUS KDRT DARI PERSPEKTIF KOMNAS PEREMPUAN ...............
48
A. Konsep Keadilan Gender dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...
48
B. Praktek Penanganan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga.......
50
C. Upaya-Upaya dan Hambatan-Hambatan yang dihadapi Komnas Perempuan.. ..................................................................................
56
D. Analisis terhadap Praktek Penanganan Kasus-Kasus KDRT..........
64
BAB V PENUTUP ........................................................................................
68
A. Kesimpulan ..................................................................................
68
B. Saran ............................................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
71
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..............................................................................
74
1. Transkip Wawancara ..................................................................................
74
2. Surat Keterangan Wawancara dan Pengambilan Data No. 114/ KNAKTP/ DU-SDM/ VI/ 2009 Komnas Perempuan ....................................................
79
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan terhadap perempuan akhir-akhir ini banyak dibicarakan baik dalam bentuk lokakarya, seminar, diskusi maupun dialog publik. Pihak penyelenggara terdiri dari berbagai kalangan baik dari organisasi pemerintah, non pemerintah maupun para akademisi. Dari berbagai kekerasan terhadap perempuan, seperti perkosaan, pelacuran, pornografi, pelecehan seksual, dan sebagainya. Ternyata yang paling menonjol saat ini adalah kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) yang dapat digolongkan kepada tindakan kejahatan. Seharusnya istri bersama suami duduk bersama dalam mengarungi kehidupan rumah tangga, yang lebih menyedihkan kasus tersebut dari waktu ke waktu terus meningkat.1 Meskipun jarang terdengar di media cetak/elektronik berita tentang kekerasan dalam rumah tangga yang disingkat dengan istilah KDRT, namun sebenarnya kekerasan ini banyak terjadi di sekitar kita bahkan semua lapisan masyarakat. Langkanya berita disebabkan karena masih adanya pandangan yang keliru dari sebagian masyarakat, karena masalah KDRT masih dianggap sebagai masalah internal keluarga dan sangat pribadi sifatnya, sehingga orang luar tidak
1
Nani Kurniasih, Kajian Yuridis Sosiologis Terhadap Kekerasan yang Berbasis Gender, http//www.uninus.ac.id/PDF/KAJIAN YURIDIS & SOSIOLOGIS KDRT.pdf, diakses pada 04 Februari 2009 pkl 14.28 WIB.
berhak untuk mencampurinya. Demikian pula halnya dengan polisi, apabila seorang perempuan melaporkan bahwa ia dipukuli oleh suaminya maka sikap dan langkah yang diambil terhadap suaminya (pelaku) akan jauh lebih lunak dibandingkan bila si penganiaya (pelaku) adalah orang lain diluar dari keluarga inti. Pada umumnya yang menjadi korban KDRT adalah isteri, anak atau pembantu rumah tangga (PRT). Sedangkan pelaku kekerasan adalah suami, ayah/ibu, majikan laki-laki/ perempuan/ anak majikan yang telah remaja atau dewasa atau keluarga lain yang tinggal serumah seperti mertua, paman atau sepupu.2 Kesetaraan gender belum dipraktekkan secara optimal di masyarakat, ditambah lagi budaya patriarki yang terus langgeng membuat perempuan berada di dalam kelompok yang tersubordinasi. Latar budaya patriarki dan ideologi gender berpengaruh pula terhadap produk perundang-undangan. Misalnya, pasal 31 ayat (3) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa: “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Hal ini menimbulkan pandangan dalam masyarakat, seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar sehingga dapat memaksakan semua kehendaknya termasuk melakukan kekerasan. 3
2
Anny Tarigan, dkk., Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak yang Menjadi Korban Kekerasan, (Jakarta: LBPP DERAP-Warapsari, 2003), Cet, Ke-2, h. 23. 3
Nani Kurniasih, Kajian Yuridis Sosiologis Terhadap Kekerasan yang Berbasis Gender, http//www.uninus.ac.id/PDF/KAJIAN YURIDIS & SOSIOLOGIS KDRT.pdf.
Organisasi perempuan di banyak negara berkembang, seperti Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menjadi pembuka jalan ditelusurinya masalah kekerasan terhadap perempuan melalui pendekatan hak asasi manusia. Kini telah tampak dan dapat dirasakan gemanya, dari tingkat lokal sampai internasional, komitmen konkrit untuk mengurus masalah ini sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan penegakkan hak asasi manusia.4 Lebih jauh, di dalam Deklarasi dan Platform Aksi hasil Konferensi Perempuan Dunia ke-4 di Beijing tahun 1995, dinyatakan bahwa: “Kekerasan terhadap perempuan berakar di dalam relasi atau hubungan yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki”, yang sifatnya menyejarah.5 Negara diharapkan untuk secara serius mengambil tindakkan melindungi agar kaum perempuan warga negaranya bebas dari tindak kekerasan baik di dalam rumah mereka maupun di lingkungan masyarakat yang lebih luas. Laporan Komnas Perempuan menunjukkan data kasus yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebesar 20.391 kasus di tahun 2005 naik menjadi 22.512 kasus di tahun 2006, lalu naik menjadi 25.522 kasus di tahun 2007, dan pada tahun 2008 meningkat menjadi dua kali lipat dibandingkan tahun 2007. Dari 54.425 kasus, sebesar 42.076 kasus merupakan kasus kekerasan dalam rumah
4
Komnas Perempuan, Layanan yang Berpihak: Buku Rujukan untuk Menyelenggarakan Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan, (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2005), Cet. Ke2, h. 3. 5
Ibid., h. 4-5.
tangga.6 Data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan ( P2TP2) kota Bandung menunjukkan bahwa dari tahun 2002 terdapat 23 kasus yang dilaporkan, dimana tahun 2006 meningkat menjadi 49 kasus, dengan 41 kasus (84%) merupakan kekerasan terhadap istri. Bentuk yang terbanyak didapatkan istri adalah kekerasan psikis disusul penelantaran ekonomi, kemudian kekerasan fisik.7 Pada dasarnya dari pihak pemerintah telah berupaya melindungi kaum perempuan melalui Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination For All Forms Of Discrimination Against Women) /disingkat dengan istilah CEDAW. Pada tahun 1994, sejumlah perempuan yang terdiri dari para pengajar dan aktivis sejumlah LSM perempuan membentuk kelompok kerja “convention wacth”. Mereka adalah para pengajar Program Studi Kajian Wanita, Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Pada saat itu Pusat Kajian Wanita (PSW) dibentuk di tiap perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Lembaga terkini yang dibentuk melalui Keppres No.1 tahun 1998 adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan telah diperbaharui dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 65 Tahun 2005,
6
Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2008, Kerentanan Perempuan Terhadap Kekerasan Ekonomi dan Kekerasan Seksual: Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara, (Jakarta: Komnas Perempuan, 7 Maret 2009), h. 6. 7
Nani Kurniasih, Kajian Yuridis Sosiologis Terhadap Kekerasan yang Berbasis Gender, http//www.uninus.ac.id/PDF/KAJIAN YURIDIS & SOSIOLOGIS KDRT.pdf.
terakhir terbitnya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disingkat dengan PKDRT.8 Dengan lahirnya berbagai peraturan yang berkenaan dengan perempuan, baik secara nasional maupun internasional, tentu harapan kita jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dapat diminimalisir. Namun kenyataan di lapangan peraturan tersebut seperti, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) belum menjawab keadilan bagi korban KDRT dan peraturan lain belum secara efektif dilaksanakan.9 Beranjak dari permasalahan di atas, penulis merasa perlu dan penting untuk diadakan suatu penelitian. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menyusun skripsi yang membahas “Peranan Komnas Perempuan dalam Mewujudkan Keadilan Gender bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga” (Studi Analisis di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan). B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam hal pembatasan masalah penulisan skripsi ini, untuk lebih menjelaskan dan memberi arah yang tepat dalam pembahasan skripsi ini dan
8
Nani Kurniasih, Kajian Yuridis Sosiologis Terhadap Kekerasan yang Berbasis Gender.
9
Nani Kurniasih, Kajian Yuridis Sosiologis Terhadap Kekerasan yang Berbasis Gender.
tidak melebar kemana-mana, penulis membatasi penelitian ini hanya pada "peranan Komnas Perempuan dalam mewujudkan keadilan gender bagi korban kekerasan dalam rumah tangga". 2. Perumusan Masalah Berkaitan dengan keharusan adanya masalah dalam satu tulisan atau bahasan, maka untuk lebih memperjelas dan mengkongkritkan arah penelitian ini, penulis perlu merumuskan masalah dengan rumusan sebagai berikut: “semestinya, dengan dibentuknya Komnas Perempuan dan disahkannya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diharapkan dapat mewujudkan keadilan dan meminimalisir volume korban KDRT. Tapi dalam kenyataannya, keberadaan komnas perempuan dan disahkannya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT belum dapat mengantisipasi volume KDRT, serta adanya ketidakadilan bagi perempuan korban KDRT.” Rumusan tersebut dapat dirinci dengan pertanyaan sebagai berikut: 1) Bagaimana konsep keadilan gender dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut Komnas Perempuan? 2) Bagaimana bentuk penanganan dan upaya Komnas Perempuan dalam mewujudkan keadilan gender bagi korban KDRT? 3) Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi Komnas Perempuan dalam mewujudkan keadilan gender bagi korban KDRT?
C. Kerangka Teori 1. Teori Kekerasan Berbasis Gender Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. Dalam Womens’ Studies Encyclopedia, sebagaimana dikutip oleh Mufidah Ch, dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.10 Sedangkan menurut Rekomendasi Umum No.19 tahun 1992 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination For All Forms Of Discrimination Against Women/ CEDAW)
kekersan berbasis gender adalah sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius menghalangi kesempatan wanita untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki. 11 Ketidakadilan gender dapat dilihat melalui berbagai manifestasi seperti marginalisasi, subordinasi, pembentukan stereotyp (pelabelan), kekerasan (violence) maupun intimidasi. Semua manifestasi tersebut adalah kekerasan yang berbasis gender (gender based violence) yang pada umumnya terjadi di lingkungan keluarga
10
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto Bekerja Sama dengan Fajar Pustaka, 2006), Cet.1, h. 16. 11
Convention Wacth Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, Hak Asasi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), Edisi II, h. 47.
yang disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kondisi sosial dan resistensi lainnya.12 2. Teori Feminisme Menurut Kamus Ilmiah Populer, kata feminisme berarti emansipasi wanita.13 Gerakan feminisme dalam ilmu sosiologi, berarti juga upaya memahami perubahan sosial terorganisir. Gerakan transformasi dengan isu-isu penindasan, tuntutan untuk perubahan kondisi sosial dan resistensi lainnya. Semua bertujuan untuk membawa kesetaraan bagi warga perempuan dalam masyarakatnya. Menurut Kamla Bhasin Akhmad dan Night Said Khan (1995: 5) dalam bukunya mengenai Feminisme dan Relevansinya, menjelaskan feminism adalah: “suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.14 Barbara Ryan, penulis buku feminism and the women’s movement, dynamics of change in social movement, ideology and activism menekankan konsep mobilisasi sebagai instrumen utama dalam gerakan perempuan.15
12
13
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender…, h. 3. Adi Satrio, Kamus Ilmiah Populer, (Jakarta: Visi7, 2005), Cet. 1, h. 166.
14
Fadilah Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), Cet. 1, h. 86. 15
Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Gerakan Perempuan Sedunia (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan) Edisi 14, h. 133.
3. Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa: "kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga."16 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui konsep keadilan gender dan kekerasan dalam rumah tangga menurut perspektif Komnas Perempuan. 2. Untuk mengetahui bentuk penanganan dan upaya Komnas Perempuan dalam mewujudkan keadilan gender bagi korban KDRT. 3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi Komnas Perempuan dalam mewujudkan keadilan gnder bagi korban KDRT. Sedangkan kegunaan penelitian ini antara lain adalah: 1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Khususnya dalam hal advokasi hukum dan kebijakan, serta peranan Komnas
16
6 (enam) Undang-Undang Republik Indonesia (Pornografi, Perlindungan Saksi dan Korban, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Hak Asasi Manusia, Pengadilan Anak) (Jakarta: BP. Panca Usaha, 2009), h. 54.
Perempuan dalam mewujudkan keadilan gender bagi perempuan korban kekerasan. 2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi Komnas Perempuan didalam mengadakan evaluasi bagi peranan yang telah dijalankannya selama ini didalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan khususnya perempuan korban KDRT. 3. Secara sosiologis, gerakan solidaritas perempuan di seluruh dunia maupun di setiap negara cenderung menunjukkan peningkatan baik dari sisi kelembagaan mupun dari sisi praktisnya, hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi lembaga-lembaga yang memperjuangkan hak-hak perempuan sebagai pertimbangan untuk memperjuangkan dalam melakukan perbaikan dan perubahan hukum, khususnya hukum mengenai KDRT yang lebih berpihak pada perempuan. 4. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan koleksi dalam ruang lingkup karya ilmiah. E. Review Studi Terdahulu 1. Peranan Komnas Perempuan Dalam Menangani Kasus Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga (Studi Pada Masyarakat Kampung Sukajaya). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Oleh: Yusi Alawiyah. Skripsi ini memaparkan tentang porsentase pengetahuan masyarakat Kampung Sukajaya terhadap keberadaan Komnas Perempuan,
pemahaman terhadap kekerasan seksual, dan pemahaman terhadap peranan Komnas Perempuan pada kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga. 2. Relevansi Program Kerja Komnas Perempuan Dengan Hukum Islam Dalam Penyelesaian Kekerasan Terhadap Perempuan. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Oleh: Heru Gunawan. Skripsi ini memaparkan tentang pandangan Hukum Islam dan Komnas Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan, dan upaya penyelesaian kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, serta memaparkan relevansi program kerja dan konsepsi Hukum Islam dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan. 3. Peran Lembaga Bantuan Hukum Dalam Melakukan Advokasi Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syariif Hidayatullah Jakarta, 2008. Oleh: Juwariyah. Skripsi ini memaparkan beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani LBH APIK Jakarta, upaya dan langkah-langkah dalam melakukan advokasi yang meliputi: pendampingan, pelayanan hukum, dan mediasi, serta memaparkan hambatan-hambatan internal maupun eksternal yang dihadapi LBH APIK Jakarta.
F. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. 2. Sumber data Data yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini, tentu data yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Jenis-jenis sumber data tersebut adalah: a. Data primer Data
primer didapat dari wawancara secara langsung dengan pihak
Komnas Perempuan, serta buku-buku, arsip, catatan tahunan, dan dokumendokumen yang berasal dari Komnas Perempuan. b. Data sekunder Data
sekunder merupakan data pendukung dari data primer. Data
sekunder ini bersumber dari buku-buku, majalah, artikel, internet, dan sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. 3. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban-
jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder).17 b. Observasi, yaitu peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data-data yang diperlukan. c. Kajian kepustakaan, yaitu melakukan penelitian dengan mengambil data dari buku-buku, literatur-literatur, dan sumber bacaan lain yang terkait dengan penelitian ini. 4. Teknik analisis data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif,
yaitu teknik
analisis yang
menggambarkan dan
memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan. Deskripsi yang dilakukan meliputi deskripsi data dan deskripsi hasil interpretasi data. G. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab antara lain: Bab pertama membahas mengenai pendahuluan, yang meliputi: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kerangka teori, review studi terdahulu, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian. 17
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. Ke-6, h. 67-68.
Bab kedua membahas mengenai tinjauan umum kekerasan dalam rumah tangga dan keadilan gender, yang meliputi: pengertian kekerasan dalam rumah tangga, faktor dan unsur-unsur kekerasan terhadap perempuan, bentuk-bentuk dan dampak kekerasan dalam rumah tangga, serta keadilan dan konsep gender dalam Islam. Bab ketiga membahas mengenai gambaran umum Komnas Perempuan, yang meliputi: sejarah lahirnya Komnas Perempuan, tujuan dan visi misi terbentuknya Komnas Perempuan, program kerja dan struktur organisasi Komnas Perempuan. Bab Keempat membahas mengenai analisis terhadap konsep penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga dari perspektif komnas perempuan yang meliputi: konsep keadilan gender dan kekerasan dalam rumah tangga, praktek penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga dan implementasi UU PKDRT, upaya-upaya dan hambatan-hambatan yang dihadapi Komnas Perempuan, dan analisis terhadap praktek penanganan kasus-kasus KDRT. Bab kelima sebagai penutup yang meliputi: kesimpulan dan saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan
dalam rumah tangga (domestic violence)
adalah bentuk
penganiayaan (abuse) oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya baik secara fisik (patah tulang, memar, kulit tersayat) maupun emosional/psikologis (rasa cemas, depresi dan perasaan rendah diri). Dalam rumusan lain, kekerasan dalam rumah tangga didefinisikan sebagai “setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang secara sendiri atau bersama-sama terhadap seorang perempuan atau terhadap pihak
yang
tersubordinasi
lainnya
dalam lingkup
rumah
tangga
yang
mengakibatkan kesengsaraan secara fisik, seksual, ekonomi, ancaman psikologis termasuk perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang.18 Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi pada istri, namun dapat juga terjadi pada suami dan pihak-pihak yang tersubordinasi dalam lingkup rumah tangga. Dalam pasal 1 ayat (1) undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dijelaskan bahwa: “kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman
18
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto Bekerja Sama dengan Fajar Pustaka, 2006), Cet. 1, h. 1-2.
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”19 Dalam perkembangannya, kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi antara suami dengan isterinya saja, tetapi juga terjadi antara orang tua dengan anak atau antara majikan dengan pembantunya yang terjadi dalam lingkup keluarga. B. Faktor dan Unsur-Unsur Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perempuan
dan
anak
merupakan
kelompok/golongan
yang
rentan
mengalami berbagai tindakan, baik langsung maupun tidak langsung. Mulai dari tingkat yang paling kecil yaitu rumah tangga, hingga tingkat yang lebih besar yaitu negara.20 Banyak faktor dan aspek yang menjadi kendala untuk menekan tindak kekerasan terhadap perempuan. Ketetapan hukum nasionalpun masih banyak yang diskriminatif dan kurang mendukung kemajuan kaum perempuan. Budaya masyarakat yang patriarkipun menjadi salah satu penyebab meningkatnya kekerasan pada perempuan.21 Pada dasarnya penyebab timbulnya kekerasan dalam rumah tangga adalah adanya sesuatu yang sifatnya khofiyyun, mustatirrun, wa majhulun (tersembunyi), yang orang biasanya malu mengungkapkan. Antara lain adalah masalah seksual, 19
6 (enam) Undang-Undang Republik Indonesia: Pornografi, Perlindungan Saksi dan Korban, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Hak Asasi Manusia, Pengadilan Anak (Jakarta: BP. Panca Usaha, 2009), h. 54. 20
Modul Pelatihan Muballigh dan Muballighat, Relasi Gender dan Kesehatan Reproduksi Perempuan (Jakarta: Pusat Kajian Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bekerja Sama dengan British Embassy, 2006), h. 52. 21
Pemukulan Paling Sering dialami, Jawa Pos, 30 April 2003, h. 11.
cumbu rayu, dan lemah gemulai hubungan lahir batin antara suami istri. Hal ini merupakan masalah yang tidak bisa dilihat oleh orang lain dan hanya bisa dirasakan oleh pasangan suami istri tersebut, jika masalah ini tidak diungkapkan dan tidak disalurkan dengan baik maka akan menimbulkan KDRT. Sehingga sesuatu yang tidak perlu akhirnya menjadi sasaran. Contoh: 1) anak salah sedikit/tidak salah dimarah-marahi. 2) suami pulang kerja disambut dengan wajah masam atau dengan membanting pintu, begitu juga sebaliknya. 3) istri salah sedikit/tidak salah sama sekali dimaki-maki, begitu juga sebaliknya. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab perempuan dan anak selalu menjadi korban kekerasan. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan; 2. Ketidakmandirian perempuan dalam bidang ekonomi; 3. Adat istiadat (budaya masyarakat) yang masih melemahkan peran dan posisi perempuan; 4. Tingkat pendidikan perempuan yang masih sangat rendah.22
22
Modul Pelatihan Muballigh dan Muballighat, Relasi Gender..., h. 52-53.
Hasil pengamatan Media Perempuan terhadap kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga memperlihatkan adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, yaitu: 1. Suami mendominasi kehidupan rumah tangga tersebut; 2. Istri secara ekonomis tergantung kepada suami; 3. Jika istri terlihat lebih unggul, suami merasa terancam harga diri dan statusnya.23 Konstruksi sosial yang telah mapan, menempatkan perempuan pada posisi yang
tidak
menguntungkan.
perempuanpun menerima
Ironisnya,
bukan
hanya
laki-laki,
tetapi
kenyataan itu seolah tanpa ada masalah, padahal
konstruksi tersebut memberi pengaruh luar biasa, hampir disetiap aspek kehidupan manusia, mulai dari tata nilai, pola pendidikan, etika pergaulan, aktualisasi
diri,
kesempatan
berkarir,
seksualitas
dan
lain-lain.
Yang
memprihatinkan adalah perempuan tidak mendapatkan hak-haknya secara utuh sebagaimana laki-laki.24 Berdasarkan KUHP Bab XX tentang kejahatan penganiayaan, maka dapat disimpulkan ada dua unsur terjadinya penganiayaan dalam keluarga: a. Unsur kesengajaan, hal ini dikarenakan adanya sebab yang melatarbelakangi seseorang sengaja melakukan tindakan terhadap anggota keluarga lain; 23
24
Ibid., h. 57.
Jurnal Harkat Media Komunikasi Jender, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 April 2007), h. 54.
b. Unsur tidak sengaja atau karena kealpaan, unsur kedua ini dapat terjadi tanpa disadari oleh pelaku. Misalnya karena masa lalunya pernah mengalami penganiayaan
dalam
keluarganya
yang
mempengaruhi
perkembangan
kepribadiannya;25 C. Bentuk-Bentuk dan Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Bentuk-Bentuk KDRT Dari Pemetaan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan diketahui bahwa pengalaman kekerasan perempuan Indonesia sangat massif penyebarannya dan mengambil bentuk yang beragam. Laporan tersebut mengungkapkan adanya beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga, antara lain kekerasan fisik, psikologis, seksual dan sosial. Keberadaan beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga secara yuridis telah ditetapkan dalam undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.26 Dalam pasal 5 disebutkan, bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; d. penelantaran rumah tangga.”27
25
Juwariyah, “Peran Lembaga Bantuan Hukum dalam Melakukan Advokasi Terhadap Korban KDRT (Studi Analisa di LBH APIK Jakarta),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 44-45. 26
Hadidjah dan La Jamaa, Hukum Islam dan Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Ambon: STAIN Ambon Press, 2007), Cet.1, h. 48-49. 27
6 (enam) Undang-undang Republik Indonesia..., h. 56.
Bentuk kekerasan fisik tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkatan, yakni: a. kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang; memukul, menyundut, melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan: (a) cedera berat; (b) tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari; (c) pingsan; (d) luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati; (e) kehilangan salah satu panca indera; (f) mendapat cacat; (g) menderita sakit lumpuh; (h) terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih; (i) gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan; dan (j) kematian korban. b. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: (a) cedera ringan, dan (b) rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat. c. Melakukan repitisi (pengulangan) kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.28 Maksudnya; kekerasan yang dilakukan berulang-ulang dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat. Klasifikasi bentuk-bentuk kekerasan fisik dalam rumah tangga di atas adalah menggabungkan dua jenis kategori tindak pidana pembunuhan dan tindak pidana penganiayaan berat. Karena tujuan atau niat pelaku dalam tindak pidana tidak
28
LBH APIK Jakarta, Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga, http://www.lbh.apik. or.id/kdrt.bentuk.htm, diakses pada 10 Mei 2009 pkl 17.30 WIB.
semata-mata untuk melukai tubuh atau menghilangkan nyawa korban tetapi lebih pada kehendak pelaku untuk mengontrol korban agar tetap dalam posisi subordinat (konteks kekerasan domestik).29 Terjadinya kekerasan fisik dalam rumah tangga melalui pukulan memang terjadi pada hampir semua kawasan, bukan saja Indonesia tetapi juga di Amerika Serikat. Dari hasil polling di Amerika pada tahun 1987 yang dilakukan oleh Dr. Jon Perert, Guru Besar mata kuliah Ilmu Jiwa di Universitas Caroline menunjukkan bahwa 89% kaum laki-laki memukul kaum perempuan, terutama mereka yang sudah menikah.30 Karakteristik kekerasan psikis dalam rumah tangga disebutkan dalam pasal 7 undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, bahwa: "Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa bertindak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang."31 Pembuktian kekerasan psikis harus didasarkan pada dua aspek secara terintegrasi; (1) tindakan yang diambil pelaku; (2) implikasi psikologis yang dialami korban. Diperlukan keterangan psikologis atau psikiatris yang tidak saja menyatakan kondisi psikologis korban tetapi juga uraian penyebabnya.
29
LBH APIK Jakarta, Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.
30
Hadidjah dan La Jamaa, Hukum Islam dan Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Ambon: STAIN Ambon Press, 2007), Cet.1 h. 51. 31
6 (enam) Undang-undang Republik Indonesia , Pornografi, Perlindungan Saksi dan Korban, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Hak Asasi Manusia, Pengadilan Anak (Jakarta: BP. Panca Usaha, 2009), h. 56-57.
Dalam pasal 8 UU Penghapusan KDRT disebutkan karakteristik kekerasan seksual yaitu: Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.32 Menurut LBH APIK Jakarta, bahwa kekerasan seksual bisa dibuktikan bila melakukan hal-hal seperti: memaksa melakukan hubungan suami istri, padahal istri sedang tidak mau karena kondisi tubuh yang tidak memungkinkan, tidak memberikan nafkah batin kepada istri, melakukan hubungan seksual dengan caracara yang tidak wajar, memaksa istri melakukan hubungan dengan orang lain, hingga menelanjangi istri dengan paksa.33 Berdasarkan hasil penelitian dan kasus yang pernah ditangani LBH APIK Jakarta, kasus pemaksaan hubungan seksual berupa: (1) pemaksaan hubungan seksual sesuai selera seksual suami. Seperti: anal seks (memasukkan penis ke dalam anus), oral seks, dan bentuk-bentuk hubungan seksual lainnya yang tidak dikehendaki istri; (2) pemaksaan hubungan seksual saat istri tertidur; (3) pemaksaan hubungan seksual berkali-kali dalam satu waktu yang sama; (4) pemaksaan hubungan seksual oleh suami yang sedang mabuk atau menggunakan obat perangsang untuk memperpanjang hubungan intim; (5) memaksa istri 32
33
Ibid., h. 57.
Hadidjah dan La Jamaa, Hukum Islam dan Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Ambon: STAIN Ambon Press, 2007), Cet.1, h. 54.
mengeluarkan suara rintihan untuk menambah gairah seksual; (6) pemaksaan hubungan seksual saat istri sedang haid/menstruasi; (7) pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan psikis seperti mengeluarkan ancaman serta caci maki; dan (8) melakukan kekerasan fisik atau hal-hal yang menyakiti fisik istri.34 Kasus suami menjual istri kepada orang lain atau memaksa istri menjadi pelacur untuk tujuan komersial, seperti kasus Yudhi yang menjual istrinya, Rini Sundari dengan tarif minimal Rp. 300.000 sekali pakai. Hasil "penjualan" itu digunakan Yudhi untuk berfoya-foya. Ini menunjukkan bahwa analisis LBH APIK Jakarta bukan fantasi semata namun berdasarkan fakta aktual di lingkungan kehidupan masyarakat Indonesia.35 2. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga a. Dampak yang merugikan perempuan (1) Berkurangnya motivasi atau harga diri; (2) Problema kesehatan mental; (3) Kecemasan yang berlebihan, susah makan/ tidur, minum-minum, dan lain-lain; (4) Sakit yang serius dan luka parah sampai dengan cacad permanen;
34
LBH APIK Jakarta, Pemaksaan Hubungan Seksual dalam Perkawinan adalah Kejahatan Perkosaan, http://www.lbh.apik.or.id/fact.htm-28k, diakses pada 10 mei 2009 pkl 17.30 WIB. 35
Ibid., h. 55.
(5) Problem kesehatan seksual, misalnya: hamil, ketularan penyakit, keguguran, hilangnya gairah seksual; (6) Kematian. b. Dampak yang merugikan anak (1) Mengembangkan perilaku agresif atau malah sebaliknya; (2) Mimpi buruk dan serba ketakutan, berpengaruh kepada nasfu makan, belajar lebih lamban dan merasa sakit kepala, sakit perut, dan lain-lain; (3) Akibat kekerasan yang dialami bisa menimbulkan luka, cacad fisik, cacad mental, bahkan kematian; (4) Dampak yang merugikan masyarakat; (5) Pewarisan lingkaran kekerasan secara turun-temurun atau dari generasi-generasi; (6) Tetap bertahannya kepercayaan yang keliru bahwa laki-laki lebih kuat dan berhak melakukan; (7) Kualitas hidup sesama anggota masyarakat merosot, sebab perempuan yang dianiaya tidak mengambil peran yang selayaknya dalam kehidupan bermasyarakat.36
36
Komnas Perempuan, Layanan yang Berpihak: Buku Rujukan untuk Menyelenggarakan Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan, (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2005), Cet. Ke2, h. 26.
D. Keadilan dan Konsep Gender dalam Islam 1. Keadilan Keadilan adalah gagasan yang paling mendasar dalam Islam. Keadilan adalah ketakwaan itu sendiri,37sebagaimana dalam firman Allah surat al-Mâidah/5: 8:
ُِْا+ُِْا ا-َ. َََ* أ+ ٍَ'نُ َْم#َ ُْ"#َِْﻡ$َآُُا َاﻡَِ ِِ ََُاءَ ِ ِِْْ وََ ی... (8 :5/ة5 )ا... َْى2ِ ُهَُ أََْب "Hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (Q.S. alMâidah/5: 8) Perspektif gender menuntut adanya perlakuan yang adil terhadap kedua jenis kelamin, perempuan dan laki-laki. Perempuan menjadi objek pertama dari ketidakadilan gender. Semua tatanan
sosial, budaya, hukum, dan kebijakan
politik harus dirumuskan ulang untuk memenuhi tuntunan perspektif gender, yaitu keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan.38 Keadilan adalah prinsip dalam Islam dan dalam setiap perumusan hukumhukumnya. Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa "Jika anda menemukan indikator dan bukti-bukti adanya keadilan dengan cara dan jalan apapun mendapatkannya, maka di sanalah hukum Allah."39
37
Komnas Perempuan, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2009), h. 38. 38
Ibid., h. 25.
39
Ibid., h. 40.
2. Konsep Gender Tauhid adalah inti ajaran Islam. Ajaran tauhid membawa kepada keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, gender, ras, suku bangsa, dan bahkan agama.40 Ada beberapa standar yang dapat digunakan dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam al-Qur'an, antara lain: a. Laki-Laki dan Perempuan Sama-Sama sebagai Hamba Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan.41 Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an surat alZâriyât/51: 56:
(56 :51 /اری تA )ا. ِْ>ُُون-َِ ِِ وَاْ<ِْ;َ إ$ُْ ا9ََْ: َوَﻡ "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Q.S. al-Zâriyât/51: 56) Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal dan dalam al-Qur'an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqin).42
40
Siti Musdah Mulia, Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta: Kibar Press, 2006), Cet. 1, h. 60. 41
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. Ke-2, h. 247-248. 42
Ibid., h. 248.
b. Laki-laki dan Perempuan Sebagai Khalifah di Bumi Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi, ditegaskan di dalam Q.S. al- An’âm/6:165:
ٍٍ دَرَﺝَ تKْ-َ ََْقH ُْ"َIْ-َ َGَHََرْضِ وَرFَْ اDِ5 ََ: ُْ"ََ-َِي ﺝAوَهَُ ا (165 :6/ م-N )ا.... َُْ آ. ﻡَ ءَاMِH َُِْ>َُْآ “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (Q.S. al-An’âm/6: 165) Kata khalifah dalam ayat diatas tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi sama sebagai khalifah.43 c. Laki-Laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primodial Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primodial dengan Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-A’râf /7:172:
ُِِْTَََْ* أ+ َُُْْ وَأَََْه2یSُُرِهِْ ذُرR ِْ ءَادَ َم ﻡMِ#َ َِْ ﻡPQ ََ رAَ:َوَإِ ْذ أ . َِِH َV َاAََْ ه+ #ُِ إِ آUََُُا یَْمَ اَِْ ﻡ. ْ"ُْ َ ُا ََ* َِ َْ أَنS َِ ُ9ََْأ (172 :7/اف+N)ا “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. al-A’râf/7: 172) 43
Ibid., h. 253.
Menurut Fakhr al-Razi, tidak ada seorangpun anak manusia lahir di muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan "tidak".44 d. Adam dan Hawa, Terlibat secara Aktif dalam Drama Kosmis Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan adam dan pasangannya di surga sampai keluar bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma/ Xَ ُ)ه, yakni kata ganti untuk adam dan hawa, seperti dapat dilihat dalam kasus berikut ini:45 "keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga", disebutkan di dalam Q.S. alBaqarah/2:35:
ََُ َ و2ْ^ِ ُ]َْ ًَاVََْ ر#َِ وَآَُ ﻡU#َ$َْ اPَُ وَزَوْﺝ9َْدَمُ اﺱْ"ُْ أY َ ی#َ َُْو (35 :2/ )ا>ة. َِ ِ aَ"َُ ﻡَِ ا2َH َََة$`ِ_ِ اAَََْ َ ه. “Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Q.S. alBaqarah/2: 35) e. Laki-Laki dan Perempuan Berpotensi Meraih Prestasi
44
Nasaruddin Umar, Bias Jender dalam Penafsiran Al-Qur'an, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000), Cet. 1, h. 19. 45
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender..., h., 260.
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara lak-laki dan perempuan ditegaskan secara khusus di dalam tiga ayat,46 antara lain: Q.S. al-Nisa'/4:124:
َُُن:ََْ یPِ^َُوFَH ٌِْﻡgَُ* وَهَُ ﻡeَُْ تِ ﻡِْ ذَآٍَ أَوْ أcِ dْ ﻡَِ اbَ ْ-َوَﻡَْ ی (124 :4/ ء# )ا. َْ ُنَ ًَِاaَُ وََ یU#َ$ْا “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (Q.S. al-Nisâ’/4: 124) Ayat tersebut di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spritual maupun urusan karier profesional, laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama.47 Salah satu obsesi al-Qur'an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam al-Qur'an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
46
Nasaruddin Umar, Bias Jender dalam..., h. 28.
47
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender..., h. 265.
BAB III GAMBARAN UMUM KOMNAS PEREMPUAN A. Sejarah Lahirnya Komnas Perempuan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau yang disingkat dengan “Komnas Perempuan” adalah lembaga independen yang didirikan pada tanggal 15 Oktober 1998 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 181 Tahun 1998 dan telah diperbaharui dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 65 Tahun 2005. Komnas Perempuan dilahirkan karena adanya tuntutan dari masyarakat sipil terhadap tragedi kemanusiaan mei 1998, ketika itu terjadi banyak kerusuhan, penjarahan, serta pembunuhan. Di tengah-tengah kerusuhan tersebut, perempuan etnik Tionghoa dijadikan sasaran perkosaan dalam penyerangan massal terhadap komunitas Tionghoa secara umum. Tim Relawan Untuk Kemanusiaan, sebuah organisasi masyarakat yang memberi bantuan pada korban kerusuhan, mencatat adanya 152 perempuan yang menjadi korban perkosaan, 20 di antaranya kemudian dibunuh. Tim Gabungan Pencari Fakta, yang didirikan pada tahun yang sama oleh pemerintahan Habibie untuk melakukan investigasi terhadap kerusuhan ini, menghasilkan verifikasi terhadap 76 kasus perkosaan dan 14 kasus pelecehan seksual.48 Atas tuntutan para pejuang hak perempuan akan pertanggungjawaban negara atas kejadian ini, akhirnya tercapai kesepakatan dengan Presiden RI untuk 48
Komnas Perempuan, Profil, http//www.komnasperempuan.or.id/about/profile/, diakses pada 20 April 2009 pkl 15.
mendirikan sebuah komisi independen di tingkat nasional yang bertugas menciptakan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia. Komnas Perempuan memaknai ‘Kekerasan terhadap Perempuan’ sesuai dengan definisi pada deklarasi yang dikeluarkan pada konferensi HAM di Wina pada tahun 1993 dan sudah merupakan hasil sebuah konsensus internasional. Definisi ini mencakup kekerasan yang dialami perempuan di dalam keluarga, dalam komunitas maupun kekerasan negara. Pada konferensi internasional ini juga ditegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM, dan bahwa pemenuhan hak-hak perempuan adalah pemenuhan hak-hak asasi manusia.49 Saat ini, fokus perhatian Komnas Perempuan adalah pada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, perempuan pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai buruh migran, perempuan korban kekerasan seksual yang menjalankan proses peradilan, perempuan yang hidup di daerah konflik bersenjata, dan perempuan kepala keluarga yang hidup di tengah kemiskinan di daerah pedesaan.50
49 Komnas Perempuan, Profil, http//www.komnasperempuan.or.id/about/profile/, diakses pada 20 April 2009 pkl 15. 50
Komnas Perempuan, profil.
B. Visi Misi Terbentuknya Komnas Perempuan 1. Visi "Terciptanya tatanan, relasi sosial dan pola perilaku yang kondusif untuk mewujudkan kehidupan yang menghargai keberagaman dan bebas dari rasa takut, tindakan atau ancaman dan diskriminasi sehingga kaum perempuan dapat menikmati hak asasinya sebagai manusia. 51 2. Misi 1) Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan mendorong pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan dalam berbagai dimensi, termasuk hak ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang berpijak pada prinsip hak atas integritas diri. 2) Meningkatkan kesadaran publik bahwa hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia dan kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia. 3) Mendorong adanya penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang kondusif serta membangun sinergi dengan lembaga pemerintah dan lembaga publik lain yang mempunyai wilayah kerja atau juridiksi yang sejenis sebagai usaha pemenuhan tanggungjawab negara dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. 51
Komnas Perempuan, Visi dan Misi, http//www.komnasperempuan.or.id/about/profile/visi/, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB
4) Mengembangkan sistem pemantauan, pendokumentasian dan evaluasi atas fakta kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi perempuan atas kinerja lembaga-lembaga negara serta masyarakat dalam upaya pemenuhan hak perempuan, khususnya korban kekerasan. 5) Memelopori dan mendorong terbentuknya kajian-kajian yang mendukung terpenuhinya mandat Komnas Perempuan. 6) Memperkuat jaringan dan solidaritas antar komunitas korban, pejuang hak-hak asasi manusia, khususnya di tingkat lokal, nasional dan internasional. 7) Menguatkan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai komisi nasional yang independen, demokratis, efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap penegakan hak asasi perempuan.52 Dalam menjalankan organisasi dan kegiatannya, Komnas Perempuan berpegang pada tujuh (7) nilai dasar: •
kemanusiaan - bahwa setiap orang wajib dihargai sebagai manusia utuh yang memiliki harkat dan martabat yang sama tanpa kecuali;
•
kesetaraan dan keadilan jender - bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah setara dalam segala tatanan sosial, termasuk sistem dan budaya organisasi.
•
Keberagaman - bahwa perbedaan atas dasar suku, ras, agama, kepercayaan dan budaya merupakan suatu hal yang perlu dihormati,
52
Komnas Perempuan, Visi dan Misi.
bahkan dibanggakan, dan bahwa keberagaman yang sebesar-besarnya merupakan kekuatan dari suatu komunitas atau organisasi jika dikelola dengan baik; •
solidaritas – bahwa kebersamaan antara pihak-pihak yang mempunyai visi dan misi yang sama, termasuk antara aktivis dan korban, antara tingkat lokal, nasional, dan internasional, serta antara organisasi dari latar belakang yang berbeda-beda, merupakan sesuatu yang senantiasa perlu diciptakan, dipelihara dan dikembangkan karena tak ada satu pun pihak dapat berhasil mencapai tujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur secara sendiri-sendiri.
•
kemandirian – bahwa posisi yang mandiri tercapai jika ada kebebasan dan kondisi yang kondusif lainnya bagi lembaga untuk bertindak sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan penegakan hak-hak asasi manusia bagi kaum perempuan tanpa tekanan dan kewajiban-kewajiban yang dapat menjauhkan lembaga dari visi dan misinya.
•
akuntabilitas – bahwa transparansi dan pertanggungjawaban kepada konstituensi dan masyarakat luas merupakan kewajiban dari setiap institusi publik yang perlu dijalankan melalui mekanisme-mekanisme yang jelas;
•
anti kekerasan dan anti diskriminasi – bahwa, dalam proses berorganisasi, bernegosiasi, dan bekerja, tidak akan terjadi tindakan-tindakan yang
mengandung unsur kekerasan ataupun diskriminasi terhadap pihak manapun.53 Dalam menjalankan mandatnya, Komnas Perempuan mengambil peran sebagai berikut : •
menjadi resource center tentang hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia dan kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran HAM;
•
menjadi negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban
dan
komunitas
pejuang
hak
asasi
perempuan,
dengan
menitikberatkan pada kepentingan korban; •
menjadi inisiator perubahan serta perumusan kebijakan;
•
menjadi pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis jender dan pemenuhan hak korban;
•
menjadi fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional dan internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan kapasitas penanganan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.54
53
Komnas Perempuan, Visi dan Misi, http//www.komnasperempuan.or.id/about/profile/visi/ diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB. 54
Komnas Perempuan, Peran, http//www.komnasperempuan.or.id/about/profile/peran/, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB.
C. Program Kerja dan Struktur Organisasi Komnas Perempuan 1. Program Kerja Komnas Perempuan mengembangkan program kerjanya dalam kerangka penegakan hak-hak korban. Sesuai dengan acuan yang dikembangkan oleh PBB, hak-hak korban mencakup: hak atas kebenaran, hak atas keadilan, dan hak atas pemulihan. Untuk merealisasikan pemenuhan hak-hak korban tersebut, Komnas Perempuan mengembangkan lima bidang kerja utama, yaitu: reformasi hukum; pendidikan dan kampanye publik; pengembangan sistem pemulihan bagi korban; kemiskinan dan kekerasan; serta, pemantauan kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran HAM.55 Program Komnas Perempuan mempunyai lima tujuan strategis, yaitu: a. Terjadinya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang dapat mendorong pemahaman akan hak-hak sebagai korban dan kewajiban pemenuhan hak korban oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab. b. Terungkapnya secara sistematis dan berkala mengenai fakta-fakta tentang kekerasan terhadap perempuan, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis jender sebagai pelanggaran HAM, serta tentang kinerja negara sebagai
upaya
pemenuhan
tanggungjawabnya
dalam
penghapusan
kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak asasi perempuan.
55
Komnas Perempuan, Program, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB.
http//www.komnasperempuan.or.id/about/program/,
c. Terbangunnya konsep, perangkat hukum dan kebijakan negara yang menciptakan situasi yang kondusif bagi penghentian impunitas bagi para pelaku segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis jender di ranah privat maupun publik, dalam situasi konflik bersenjata maupun dalam situasi damai. d. Terbangunnya sistem pemulihan yang holistik bagi perempuan korban kekerasan, yang didukung oleh kerangka kebijakan dan mekanisme kerja yang memadai, dan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat maupun pemerintah, di daerah konflik bersenjata maupun di daerah non konflik. e. Terciptanya kelembagaan yang independen dan mempunyai struktur organisasi dan tata kepengurusan dan kepemimpinan yang demokratis dan akuntabel, serta sistem manajemen yang efektif, efisien dan responsif terhadap tuntutan publik.56 1) Divisi-Divisi a. Pemantauan Pelanggaram HAM Perempuan Fungsi pokok dari sub komisi ini adalah untuk mengungkapkan secara sistematis dan berkala mengenai fakta-fakta kekerasan terhadap perempuan, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis jender sebagai pelanggaran HAM, serta kinerja negara dalam memenuhi
56
Komnas Perempuan, Program.
tanggungjawabnya dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan penegakan Hak Asasi Perempuan.57 Dalam menjalankan peran pemantauannya, Komnas Perempuan mengambil pendekatan yang terdiri dari tiga bagian: 1. Mengembangkan jaringan pemantauan di daerah-daerah, dengan pertimbangan bahwa masyarakat
adalah pemantau pertama
terhadap situasi HAM perempuan dilingkungannya masingmasing. 2. Mengumpulkan
dan
melaporkan
data
kekerasan
terhadap
perempuan secara regular setiap tahun dari lembaga-lembaga yang menangani langsung kasus-kasus ini. 3. Melakukan pencarian fakta langsung ke lokasi atas dasar pengaduan masyarakat.58 a) Mekanisme Pelaporan dan Mekanisme Kerjasama dengan Jaringan Mitra di Daerah Mekanisme pelaporan yang digunakan sampai tahun 2008 adalah : 1. Catatan Tahunan (CATAHU) : 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, dan 2008. 57
Komnas Perempuan, Pemantauan, http//www.komnasperempuan.or.id/about/program/ pemantauan/, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB. 58
Komnas Perempuan, Pemantauan.
2. Mekanisme Pelapor Khusus : (1) Pelapor Khusus Aceh; (2) Pelapor Khusus Mei’98; dan (3) Pelapor Khusus Poso.59 Jaringan kerja pemantauan Komnas Perempuan telah bekerjasama dengan : 1. Jaringan kerja mitra komnas perempuan di Aceh. Bersama dengan jaringan ini Komnas Perempuan memantau : a. Kejahatan seksual di wilayah Konflik bersenjata (NAD) b. Tahanan perempuan NAD c. Peradilan kejahatan seksual NAD 2. Jaringan Kerja pemantauan Komnas Perempuan di Maumere, kabupaten Sikka, Flores. Jaringan ini memantau kekerasan terhadap
perempuan
dan
perdagangan
perempuan
di
Kabupaten Sikka. 3. Jaringan kerja pemantauan mitra Komnas Perempuan di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores Barat. Jaringan ini memantau kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik sumber daya alam, KDRT dan komunitas.60
59
Komnas Perempuan, Pemantauan.
60
Komnas Perempuan, Pemantauan.
b) Melakukan Pencarian Fakta Langsung Ke Lokasi, Atas Dasar Pengaduan
Masyarakat,
Untuk Menggali Kemungkinan
Terjadinya Pelanggaran HAM Perempuan. Pemantauan yang dilakukan untuk menanggapi masyarakat yang mengadu langsung ke Komnas Perempuan ditanggapi dengan melakukan pemantauan langsung dilapangan atau dengan membentuk gugus kerja, pemantauan langsung dan gugus kerja yang pernah dilakukan dan dibentuk Komnas Perempuan antara lain: 1. Pemantauan kasus pencemaran Teluk Buyat. 2. Perempuan petani kopi di Colol, Kabupaten Manggarai. 3. Pemantauan kasus tempat pengelolaan sampah terpadu di Bojong, kabupaten Bogor, Jawa Barat. 61 c) Pemantauan Melalui Unit Pengaduan Untuk Rujukan Selain kedua mekanisme di atas, Sub Komisi Pemantauan juga melakukan pemantauan melalui Unit Pengaduan Untuk rujukan. Unit ini bekerja menerima korban yang mengadu langsung ke Komnas Perempuan. Namun karena mandat Komnas Perempuan tidak melayani korban secara langsung, maka korban dirujuk ke lembaga pelayanan yang menjadi mitra komnas perempuan. Selain itu komnas juga melakukan pemantauan melalui penerimaan kasus lewat surat dan
61
Komnas Perempuan, Pemantauan.
e-mail yang ditangani secara khusus oleh seorang staf Komnas Perempuan.62 Komnas Perempuan juga tengah melakukan penelitian dan penyusunan laporan pemetaan kekerasan terhadap perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai upaya menindaklanjuti pengaduan yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan dalam kaitannya dengan konflik sumber daya alam.63 b. Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Mandat utama dari Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (disingkat Divisi RHK) adalah untuk mendorong lahirnya kerangka undang-undang dan kebijakan bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Bekerjasama dengan lembaga-lembaga penegak hukum, yang terdiri dari: Kepolisian (UPPA)64, Kejaksaan Agung (GFP, JAMPidum, JAMBin)65, Kehakiman (Mahkamah Agung: Tim Pembaruan Peradilan, Diklat, dan
62 Komnas Perempuan, Unit Pengaduan untuk Rujukan, http//www.komnasperempuan. or.id/about/program/pemantauan/gugus-kerja-aceh/, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB. 63
Komnas Perempuan, Unit Pengaduan untuk Rujukan.
64
UPPA adalah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak. UUPA dibentuk berdasarkan Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Lingkungan Kepolisian Negara RI dan Peraturan Kapolri No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana. UPPA merupakan salah satu unit di dalam lembaga kepolisian yang khusus menangani semua tindak kekerasan (yang termasuk dalam tindak kriminal) terhadap perempuan dan anak. 65
GFP/Gender Focal Point, JAMPidum/Jaksa Agung Muda Pidana Umum, dan JAMBin/Jaksa Agung Muda Pembinaan, merupakan para penegak hukum yang berada dalam lembaga kejaksaan agung.
Badilag), dan Asosiasi Advokat beserta dengan organisasi perempuan dan kelompok akademisi (seperti: LBH Apik Jakarta, DERAP Warapsari, dan Pusat Kajian Wanita Universitas Indonesia).66 Pada dasarnya Divisi RHK memiliki dua fungsi pokok yang terkait dengan mandat dari Komnas Perempuan beserta dengan program kerjanya masing-masing, sebagai berikut: 1. Advokasi kebijakan yang pro-perempuan. 2. Penguatan kapasitas penegak hukum. 67 c. Pengembangan Sistem Pemulihan Bagi Korban Fungsi pokok sub komisi ini adalah menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, upaya-upaya pencegahan, dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dengan cara mendorong negara dan masyarakat untuk mengembangkan sistem pemulihan secara luas dan menyeluruh serta membantu organisasi pengada layanan (women’s crisis centre) untuk meningkatkan kapasitasnya dalam memberikan layanan bagi perempuan korban kekerasan .68
66 Komnas Perempuan, Reformasi Hukum dan Kebijakan, http//www.komnasperempuan .or.id/about/program/reformasi-hukum-kebijakan/, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB. 67
68
Komnas Perempuan, Reformasi Hukum dan Kebijakan.
Komnas Perempuan, Pengembangan Sistem Pemulihan, http//www.komnasperempuan. or.id/about/program/pemulihan/, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB.
Tantangan dalam memberikan pemulihan ini adalah, bagaimana agar korban tidak semakin merasa tertekan atau mengalami reviktimisasi (kekerasan yang berulang). Pemulihan ini harus dapat dimaknai secara luas, tidak saja intervensi yang dilakukan secara medis, hukum maupun psiko-sosial, tetapi juga menciptakan situasi dimana perempuan korban kekerasan dapat kembali berdaya secara utuh,
sehingga mampu
mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya dan bisa kembali menjalankan perannya ditengah masyarakat sebagai perempuan dan warga.69 d. Pendidikan dan Litbang Sub komisi pendidikan, penelitian, dan pengembangan, bekerja berdasarkan mandat melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap perkembangan mutakhir situasi kekerasan terhadap perempuan dengan melihat secara komperhensif berbagai aspek yang meliputi: kondisi perempuan sebagai perempuan, anggota masyarakat, warga negara dan penduduk dunia. Fungsi pokok sub komisi ini adalah terbangunnya mekanisme komunikasi dan kerjasama sinergis lintas institusi secara efektif dan berkelanjutan antar kekuatan-kekuatan masyarakat dan negara untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.70
69 70
Komnas Perempuan, Pengembangan Sistem Pemulihan.
Komnas Perempuan, Pendidikan dan Litbang, http//www.komnasperempuan.or. id /about /program/pendidikan-dan-litbang, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB.
Dengan mandat di atas sejak tahun 2007 divisi pendidikan dan Litbang mempunyai enam program utama, yakni: 1. Program memaknai keadilan bagi perempuan korban kekerasan. 2. Penelitian seksualitas dan demokrasi di Indonesia. 3. Penelitian akses perempuan terhadap keadilan. 4. Forum belajar internal. 5. Kajian perlindungan terhadap pekerja rumah tangga. 6. Kajian kompilasi hukum islam.71 2) Kemitraan Bekerja sama dan membangun jaringan dengan mitra merupakan strategi kerja yang dikembangkan Komnas Perempuan, sejak berdiri sampai dengan saat ini. Selama periode 2002-2006, terjadi pertumbuhan mitra Komnas Perempuan yang terus meningkat. Hal ini menunjukkan kesungguhan Komnas Perempuan dalam mengajak semua pihak untuk berjuang bersama melawan kekerasan terhadap perempuan. II. Struktur Orgsanisasi Struktur organisasi Komnas Perempuan terdiri dari dua bagian besar:
1. Paripurna periode 2007 - 2009 2. Badan Pekerja
71
Komnas Perempuan, Pendidikan dan Litbang.
KOMISIONER KOMNAS PEREMPUAN Ketua Kamala Chandrakirana Wakil Ketua Ninik Rahayu Sylvana Maria Apituley Ketua Sub Komisi Reformasi Hukum & Kebijakan Deliana S Ismudjoko Ketua Sub Komisi Litbang dan Pendidikan Neng Dara Affiah Ketua Sub Komisi Pemantauan Arimbi Heroepoetri Ketua Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Azriana Ketua Sub Pusat Informasi dan Dokumentasi Sjamsiah Achmad Ketua Dewan Kelembagaan Vien Soeseno Anggota Abd A’la K.H.Husein Muhammad Pengasihan Gaut Sri Wiyanti Eddyono Sekretaris Jenderal Pinky R.M. Tatontos72
72
Komnas Perempuan, Struktur Organisasi, http//www.komnasperempuan.or.id/about/ profile/struktur-organisasi/, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB.
DAFTAR BADAN PEKERJA KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN PERIODE 2007-2009 Pinky Tatontos Sekretaris Jenderal Dinette A. Chairie, Koordinator Sekretaris Pimpinan Syafyuniar Lubis, Noli K Patricia Yocie Asisten Pimpinan Bidang Hubungan Internasional Daniella Samsoeri, Koordinator Divisi Reformasi Hukum & Kebijakan Yuliyanti Muthmainnah Asmau’l Kusnaini Yenny Widjaja, Koordinator Divisi Pendidikan dan Litbang Saherman Yuni Nurhamida Dwi Ayu, Koordinator Divisi Pemantauan Betty Sitanggang Atiyatun Homisah Siti Nurjanah Sawitri, Koordinator Divisi Pengembangan Sistem Pemulihan Soraya Ramli bagi Korban Divisi Pusat Informasi dan Dokumentasi Siti Maesaroh, Pjs. Koordinator Theresia Yuliwati Nunung Qomariyah Alip Firmansyah Ita Fitriah Yoseph Himawan Sondang Friskha Simanjutak Bidang Umum dan Penguatan SDM73 Koordinator Detty Artsanti Diana Lusi Cahyandari Triana Suli Wardani Berta Ida Ali Mudin Imam Soepardi Taufik ismail Mahcdalene Kalola Dida Suwarida- Koordinator Bidang Keuangan Rini Widyastuti Retniawati 73
Komnas Perempuan, Struktur Organisasi.
Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi Perempuan dalam Konstitusi & Hukum Nasional Gugus Kerja Pekerja Migran
Gugus Kerja Poso Gugus Kerja Papua Tim Pendukung74
74
Komnas Perempuan, Struktur Organisasi.
Eri Kristanti Cut Nya Din Rita Srimurweni Nuryanti Sere Ngura ABA, Koordinator Ismail Hasani Virlian Nurkristi Sri Wiyanti Eddyono (Ketua) Tim Pengarah Kamala Chandrakirana Sjamsiah Achmad Arimbi Heroepoetri Tim Pendukung Patricia Yocie Yenny Widjaja Asmau’l Kusnaini Selviana Yolanda Soraya Ramli Selviana Yolanda Kamala Chandrakirana Sylvana Maria Apituley Pengasihan Gaut Azriana Arimbi Heroepoetri Sri Wiyanti Eddyono Selviana Yolanda (Koordinator GK Papua) Margaretha Rumayar (Asisten Koordinator GK Papua)
BAB IV ANALISIS TERHADAP KONSEP PENANGANAN KASUS KDRT DARI PERSPEKTIF KOMNAS PEREMPUAN A. Konsep Keadilan Gender dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Komnas Perempuan kekerasan dalam rumah tangga adalah sesuai dengan pasal 1 ayat (1) undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dijelaskan bahwa: “kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.75 Seiring dengan disahkannya undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Komnas Perempuan turut mendorong penguatan kapasitas organisasi-organisasi pemberi layanan, melalui pengembangan forum belajar yang beranggotakan 92 lembaga pengada layanan baik dari pemerintah maupun masyarakat, yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Selain itu, untuk mendukung kinerja beberapa women’s crisis centre (wcc) yang diinisiasi masyarakat, Komnas Perempuan melakukan penggalangan dana publik melalui wadah “pundi perempuan”. Sejak tahun 2003 hingga saat ini tercatat 37
75
6 (enam) Undang-Undang Republik Indonesia (Pornografi, Perlindungan Saksi dan Korban, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Hak Asasi Manusia, Pengadilan Anak) (Jakarta: BP. Panca Usaha, 2009), h. 54.
organisasi pengada layanan di berbagai daerah di Indonesia yang telah mendapatkan dukungan dana dari “pundi perempuan”. 76 Sedangkan keadilan gender menurut Komnas Perempuan adalah sebuah perlakuan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Dan terkait dengan penanganan terhadap kasus-kasus KDRT, maka keadilan gender dapat dimaknai sebagai sebuah perbuatan yang adil dalam memberikan hak yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam mengakses atau memperoleh perlindungan hukum atau keadilan.77 Setiap perempuan dan juga pencari keadilan, harus dilihat sebagai individu yang utuh di hadapan hukum. Karena itu, sistem hukum harus dibentuk secara demokratis yang memungkinkan setiap individu perempuan dapat mendefinisikan diri mereka sendiri. Donny Danardono menyimpulkan, teori hukum yang berperspektif gender adalah teori hukum yang memungkinkan setiap perempuan dan setiap orang yang potensial menjadi korban, mampu membentuk identitasnya sendiri secara utuh, dengan berbagai pengalaman yang dimiliki. Dengan identitas diri ini, dia mampu bergerak untuk melakukan perlawanan balik terhadap berbagai upaya yang
hendak
menindasnya.
Pengalaman setiap individu
76
Komnas Perempuan, Pengembangan Sistem Pemulihan, http//www.komnasperempuan. or.id/about/program/pemulihan/, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB. 77
Wawancara Pribadi dengan Danielle J.P. Samsoeri, S.H., Koordinator Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, 22 Mei 2009.
perempuan menjadi sangat menarik untuk dilihat dan dipertimbangkan dalam setiap upaya pencarian keadilan bagi setiap perempuan.78 Dalam hal ini gerakan keadilan gender penting dilakukan. Gerakan keadilan gender adalah segala upaya, sekecil apapun yang memberikan perhatian terhadap problem yang dihadapi perempuan, akibat ketimpangan relasi sosial yang terjadi, dengan tujuan menghadirkan sistem relasi yang adil bagi perempuan dan lakilaki.79 Dengan demikian, untuk menuju hukum yang berkeadilan gender diperlukan transisi nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat, atau perubahan paradigma, termasuk cara pandang terhadap substansi agama. B. Praktek Penanganan Kasus KDRT dan Implementasi UU PKDRT. 1. Bentuk Penanganan Bentuk penanganan kasus yang dilakukan oleh Komnas Perempuan yaitu dengan cara rujukan. Komnas Perempuan memilki Unit Pelayanan untuk Rujukan (UPR). Unit ini bekerja menerima korban yang mengadu langsung ke Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan langsung tersebut akan ditangani yaitu dengan cara dirujuk kepada LSM-LSM (lembaga swadaya masyarakat) atau Womens Crisis Center yang memiliki peran untuk melakukan proses litigasi atau penanganan terhadap kasus-kasus KDRT/kekerasan terhadap perempuan. Karena Komnas Perempuan tidak 78
Komnas Perempuan, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2009), h. 27-28. 79
Ibid., h. 26.
memiliki mandat untuk melakukan proses litigasi terhadap kasus kekerasan yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Jika kasus tersebut sedang berproses di pengadilan, komnas perempuan akan memberikan dukungan melalui surat yang ditujukan kepada ketua pengadilan sebagai bentuk perhatian
Komnas
Perempuan
terhadap
kasus
kekerasan
terhadap
perempuan.80 2. Implementasi UU PKDRT Sejak dicanangkannya UU PKDRT pada tahun 2004, RPK (saat ini disebut UPPA), PN, dan OMS/NGO melakukan sosialisasi. Bahkan pada tahun yang sama, PN dan OMS/NGO telah mulai menggunakan UU PKDRT dalam menangani kasus KDRT/RP.81 Catatan tahun 2009 menunjukkan penggunaan (implementasi) UU PKDRT oleh lembaga pengada layanan dalam proses litigasi (dari tahun 2006-2008) cenderung meningkat. Lembaga yang dapat dikatakan konsisten dalam menggunakan UU PKDRT yaitu lembaga di jajaran pengadilan (PA, PN, PT, dan Kejati). Sebaliknya, penggunaannya oleh UPPA, P2TP2A, dan OMS/NGO cenderung menurun atau kurang/tidak konsisten.82
80
Wawancara Pribadi dengan Danielle J.P. Samsoeri, S.H., Koordinator Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, 22 Mei 2009. 81
Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2007, 10 Tahun Refomasi: Kemajuan dan Kemunduran Perjuangan Melawan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Gender, (Jakarta: Komnas Perempuan, 7 Maret 2007), h. 65.
3. Besaran Kasus KDRT/RP (Lembaga Mitra) Kasus KDRT/RP yang ditangani oleh lembaga pengada layanan di masing-masing wilayah (provinsi) sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 merupakan kasus paling banyak didata dan cenderung meningkat, khususnya sejak tahun 2003/2004. KDRT/RP yang terdata oleh lembaga mitra di wilayah DKI Jakarta meningkat secara signifikan pada tahun 2005 (7.483 kasus) dibandingkan tahun sebelumya (1.590 kasus) dan tahun-tahun sesudahnya (yaitu 3.682 kasus di tahun 2006 dan 5.014 kasus tahun 2007). Lembaga mitra yang banyak mencatat dan menangani kasus KDRT/RP ini secara konsisten adalah OMS/NGO (sejak tahun 2003-2007).83 Sedangkan data tahun 2008 menunjukkan wilayah pengada layanan yang berada di Jawa paling banyak menangani kasus KDRT/RP yaitu: sejumlah 35.398 kasus. Sedangkan
besaran
kasus
menurut
lembaga
mitra
tahun
2008
menunjukkan Pengadilan Agama mencatat kasus KDRT/RP paling banyak di antara lembaga mitra lain (yaitu sejumlah 42.076 kasus). Kemudian Organisasi Masyarakat Sipil/OMS mencatat 2.926 kasus, UPPA 2.050 kasus, KP (776), RS (662), Kejati (508,) PN (292), P2TP2A (154), dan PT (93)
82
Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2008, Kerentanan Perempuan Terhadap Kekerasan Ekonomi dan Kekerasan Seksual: Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara, (Jakarta: Komnas Perempuan, 7 Maret 2009), h. 17. 83 Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2007, 10 Tahun..., h. 56.
kasus.84 KTI (Kekerasan terhadap Istri) merupakan bentuk KDRT/RP paling dominan (95%) dari semua bentuk yang ditangani oleh lembaga pengada layanan. Dalam laporan tahun 2008 jenis KDRT/RP mencakup kekerasan fisik (17%), kekerasan psikis (22%), kekerasan seksual (9%), dan kekerasan ekonomi (52%). Data kekerasan ekonomi banyak dilaporkan oleh PA (hampir mencapai 84%) sebagai alasan gugatan cerai, sebagian alasan lain gugatan cerai yang tercatat yaitu kekerasan psikis dan fisik.85 Berdasarkan relasi korban dan pelaku, KDRT/RP yang terjadi mencakup tujuh (7) bentuk tindak kekerasan, yaitu KTI (kekerasan terhadap istri, 46.884 kasus atau 95%), RP (relasi personal, 970 atau 2%), KDP (kekerasan dalam pacaran, 912 atau 2%), KTAP (kekerasan terhadap anak perempuan, 623 kasus), PRT (pekerja rumah tangga, 89 kasus), KMS (kekerasan mantan suami, 49 suami), dan KMP (kekerasan mantan pacar, 10 kasus).86 4. Karakteristik Korban dan Pelaku a. Usia korban dan pelaku Berdasarkan data lembaga mitra, rentang usia korban antara kurang dari 5 tahun, sampai lebih dari 40 tahun. Artinya KTP (Kekerasan Terhadap Perempuan) bisa terjadi dan dilakukan oleh usia berapa saja. Tahun 200584 OMS yaitu Organisasi Masyarakat Sipil, UPPA/Unit Pelayanan Perempun dan Anak, KP/Komnas Perempuan, RS/Rumah Sakit, Kejati/Kejaksaan Tinggi, PN/Pengadilan Negeri, P2TP2A/Pusat layanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak, dan PT/Pengadilan Tinggi. 85
Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2008, Kerentanan…, h. 12-13.
86
Ibid., h. 12.
2007, baik korban maupun pelaku paling banyak berusia antara 25-40 tahun. Dan sejak tahun 2005 diindentifikasi adanya korban yang berusia kurang dari 5 tahun (197 kasus pada tahun 2005, 172 kasus tahun 2006 dan 179 kasus tahun 2007). Di pihak pelaku, usia kurang dari 5 tahun mulai diindentifikasi pada tahun 2006 (103 kasus) dan tahun 2007 (16 kasus). Pada tahun 2007 korban berusia 19-24 tahun meningkat dengan jumlah hampir sama dengan korban usia 25-40 tahun dibandingkan tahun lalu (3.037 kasus dari 2.169 kasus). Demikian pula dengan pelaku, pada tahun 2007 ini terlihat adanya peningkatan jumlah pelaku usia 19-24 tahun dibandingkan tahun sebelumnya (2. 107 kasus dari 1.107 kasus).87 Sedangkan data tahun 2008 korban dan pelaku paling banyak berusia antara 25-40 tahun (masing-masing 1.362 dan 1.256 kasus). Pelaku banyak yang berusia lebih dari 40 tahun (701 kasus). Sedangkan korban banyak juga berusia lebih di bawah 5 tahun, antara 6-12 tahun dan antara 13-18 tahun (masing-masing 49 kasus, 167 kasus, dan 609 kasus). b. Pendidikan korban dan pelaku Data mengenai pendidikan menunjukkan baik korban maupun pelaku mempunyai latar belakang pendidikan dari tidak lulus SD sampai sarjana (Perguruan Tinggi). Dari tahun ke tahun (sejak tahun 2005), korban terbanyak berpendidikan tingkat SLTA. Korban kedua terbanyak berpendidikan SD dan
87
Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2007, 10 Tahun…, h. 60.
SLTP. Pada tahun 2006, jumlah korban ynag berpendidikan SD meningkat (sama banyak dengan korban yang berpendidikan SLTA). Dan pada tahun 2007, tercatat jumlah korban yang berpendidikan SLTP hampir sama dengan yang berpendidikan SD. Jumlah korban terbanyak dari tahun ke tahun, yaitu korban berpendidikan SLTA. Di pihak pelaku, pada tahun 2005 tercatat jumlah pelaku dengan pendidikan SD paling banyak. Akan tetapi pada tahuntahun berikutnya (tahun 2006 dan 2007), pelaku paling banyak berpendidikan SLTA. Namun, khususnya pada tahun 2007 sebagian besar pelaku tidak tercatat pendidikannya.88 Sedangkan pada tahun 2008 koorban KDRT/RP paling banyak berpendidikan SLTA (2.158 kasus). Demikian pula dengan tingkat pendidikan pelaku (4.227 kasus). c. Pekerjaan korban dan pelaku Lembaga mitra mencatat 14 jenis pekerjaan pelaku dan korban: ibu rumah tangga (IRT), tokoh agama, pelajar, DPR/D, swasta, PNS, guru, milisi, TNI/Polri, wirausaha, petani, dan lainnya. Ada sejumlah korban dan pelaku yang tidak jelas (tidak teridentifikasi jenis pekerjaannya). Berdasarkan hasil identifikasi, korban paling banyak adalah IRT. Pada tahun 2005 sampai 2007, tercatat pekerjaan korban sebagai pegawai swasta, PNS, wirausaha, petani, pelajar, TNI/Polri, dan lainnya. Khusus pada tahun 2006 ada anggota DPR yang menjadi korban selain korban dengan pekerjaan lain (seperti tahun
88
Ibid., h. 61.
sebelum dan sesudahnya). Sedangkan di pihak pelaku, paling banyak tercatat sebagai pegawai swasta, kecuali pada tahun 2005, pelaku paling banyak tercatat sebagai IRT. Pada tahun 2006, tercatat ada 72 anggota milisi yang menjadi pelaku KTP.89 C. Upaya-Upaya dan Hambatan-Hambatan yang Dihadapi Komnas Perempuan 1. Upaya-Upaya Mewujudkan Keadilan Gender Komnas perempuan sebagai sebuah komisi nasional satu-satunya di Indonesia memiliki mandat yang khusus didalam menjalankan perannya untuk menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Secara khusus, Komnas Perempuan lewat divisi reformasi hukum dan kebijakan bekerja untuk mendorong
lahirnya
kerangka
undang-undang
dan
kebijakan
bagi
penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Bersama dengan lembagalembaga penegak hukum, seperti: kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan asosiasi advokat dan organisasi perempuan. Terkait dengan ini maka juga dilakukan penguatan kapasitas dari para aparat penegak hukum, yaitu dalam mewujudkan sistem peradilan yang terpadu dan peka gender dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, Komnas Perempuan pada tahun 2009 membuat kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kinerja dari para penegak hukum sebagai upaya mewujudkan keadilan gender, upaya-upaya tersebut yaitu:90
89
Ibid., h. 61.
1) Pelatihan Hakim Peradilan Umum tentang KDRT Pelatihan bagi para hakim Peradilan Umum ini adalah untuk membangun pemahaman bersama tentang prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan bagi korban KDRT, khususnya yang sesuai dengan ketentuan dari UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, dan membangun pemahaman bersama tentang bentuk-bentuk kekerasan, prosedur penanganan dan sanksi untuk kasus-kasus KDRT; dan penerapan UU PKDRT.91 2) Workshop Family Court (Pengadilan Agama) Terhadap Kasus-Kasus KDRT Kegiatan workshop atau lokakarya ini adalah sebagai salah satu bentuk dari upaya untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini perempuan sebagai korban KDRT. Tujuan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk membangun pemahaman bersama tentang bentuk-bentuk kekerasan, prosedur penanganan dan sanksi terhadap kasus-kasus KDRT; memetakan masalah kewenangan dari Peradilan Umum dan Peradilan Agama mengenai kasus-kasus KDRT; serta untuk menyusun konsep awal pengadilan keluarga demi perlindungan korban KDRT. Hasil yang diharapkan dari
90
Komnas Perempuan, Reformasi Hukum dan Kebijakan, http//www.komnasperempuan .or.id/about/program/reformasi-hukum-kebijakan/, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB. 91
Komnas Perempuan, Reformasi Hukum dan Kebijakan, http://www.komnasperempuan .or.id/about/program/reformasi-hukum-kebijakan/, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB.
kegiatan ini adalah, perempuan sebagai korban KDRT dapat lebih mudah mengakses pengadilan keluarga dalam menyelesaikan kasusnya, dan penegakan hukum di Indonesia lebih kondusif lagi bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. 92 Target peserta dari kegiatan workshop ini adalah para hakim, baik hakim yang ada di Pengadilan Umum/Negeri ataupun para hakim yang ada di Pengadilan Agama, beserta dari beberapa perwakilan kelompok Akademisi ataupun para pengamat hukum, yang memang terkait dengan isu ini. Kegiatan lainnya yang juga akan dilakukan oleh Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan untuk tahun 2009, adalah: 1. Monitoring terhadap hasil sosialisasi atau pelatihan terhadap Buku Referensi tentang KDRT bagi lpara Hakim Peradilan Agama; 2. Pelaksanaan pelatihan tahap ke-3 dan ke-4 tentang Sosialisasi terhadap Buku Referensi di kalangan para Hakim Pengadilan Agama; 3. Advokasi kebijakan yang terkait dengan isu tentang KTP (Kekerasan Terhadap Perempuan) dan Ketidakadilan Gender, seperti: Amandemen UU Kesehatan, Amandemen UU Perkawinan (termasuk KHI), dan RUU tentang PRT;
92
Komnas Perempuan, Reformasi Hukum dan Kebijakan.
4. Penerbitan dan pendistribusian buku tentang perlindungan terhadap saksi dan korban.93 3) Pelatihan untuk Instruktur Pelatihan Hakim Peradilan Agama tentang KDRT Pelaksanaan pelatihan terhadap para instruktur pelatihan Hakim Peradilan Agama, adalah untuk membangun pemahaman bersama mengenai bentukbentuk kekerasan, prosedur penanganan dan sanksi kasus-kasus KDRT; memetakan masalah kewenangan dari Peradilan Umum dan Peradilan Agama mengenai kasus-kasus KDRT; dan menyusun konsep awal pengadilan keluarga demi perlindungan korban KDRT.94 Mengenai indikator sasarannya, adalah bahwa para hakim yang telah dilatih tersebut mempunyai perspektif HAM dan keadilan gender dalam menangani kasus-kasus KDRT, serta dari pihak perempuan korban dapat memperoleh rasa keadilan di dalam proses pengadilan. 95 Upaya penegakan hak-hak dasar perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan memperoleh peluang yang cukup kondusif dan juga tantangan yang amat serius pada pemerintahan Indonesia di era reformasi ini.
93
Komnas Perempuan, Reformasi Hukum dan Kebijakan.
94 Komnas Perempuan, Reformasi Hukum dan Kebijakan, http://www.komnasperempuan .or.id/about/program/reformasi-hukum-kebijakan/, diakses pada 20 April 2009 Pkl 15.30 WIB. 95
Komnas Perempuan, Reformasi Hukum dan Kebijakan.
Komnas perempuan mencatat sebuah proses pelembagaan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang ditandai dengan: 1. Adanya serangkaian jaminan hukum yang bertujuan menangani kekerasan terhadap
perempuan,
mendorong
pertanggungjawaban
pelaku,
memberdayakan lagi perempuan korban dan mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. 2. Berkembangnya beragam kelembagaan yang dibentuk untuk mendukung akses perempuan korban kekerasan terhadap keadilan, pemulihan dan kebenaran. 3. Tumbuhnya
bangunan
pengetahuan
tentang
kekerasan
terhadap
perempuan dalam berbagai konteks (konflik, migrasi tenaga kerja, keluarga, dsb) yang menggambarkan besarnya komitmen bangsa dalam gerakan pemberdayaan perempuan, serta pencegahan kekerasan terhadap perempuan.96 2. Hambatan-Hambatan yang dihadapi Komnas Perempuan Meskipun telah ada perkembangan yang baik dalam jumlah kebijakan dan lembaga yang menangani korban dan koordinasi lintas instansi, tidak serta merta kualitas pelayanan dan penanganan sudah memenuhi kebutuhan korban KDRT
96
Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2007, 10 Tahun…, h. 6-7.
atas kebenaran, keadilan dan pemulihann, baik yang dialami korban dan/atau pelapor.97 Hambatannya muncul dalam berbagai lapisan, termasuk diantaranya adalah kapasitas dari lembaga-lembaga. Hambatan-hambatan (kendala) tersebut adalah:
1) Kendala budaya Meskipun telah dijamin di dalam UU PKDRT, tidak semua perempuan merasa yakin untuk melaporkan kasusnya, karena masih merasa malu, bersalah atas kekerasan yang menimpa dirinya dan juga khawatir akan dipersalahkan oleh keluarga dan masyarakat di sekililingnya. Adapula keraguan korban untuk melanjutkan proses hukum, karena takut akan kehancuran keluarga pertimbangan serupa juga mendasari korban yang telah melaporkan kasusnya kemudian menarik pengaduannya. Catatan Ruang Pelayanan Khusus (RPK)/Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPPA) sejak tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 50% dari total kasus yang dilaporkan dicabut kembali oleh korban dan berarti proses hukum tidak dapat diteruskan.98 2) Kendala Hukum
97 98
Ibid., h. 12. Ibid., h. 12.
Dari segi substansi hukum, UU PKDRT bukan produk hukum yang sempurna, meskipun demikian undang-undang tersebut merupakan terobosan yang progresif dalam sistem hukum dan perundang-undangan Indonesia yang terkait dengan upaya perlindungan hukum terhadap korban KDRT. Berikut hambatan yang terkait dengan substansi hukum yang ada: •
Payung kebijakan di bawah undang-undang, seperti peraturan-peraturan pelaksanaan alokasi anggaran negara masih jauh dari memadai, sehingga mempersulit penanganan yang sesuai dengan apa yang dimandatkan alam undang-undang No. 23 Tahun 2004. Hal ini terutama terjadai pada tahap awal penanganan yang melibatkan polisi, lembaga layanan kesehatan dan pendamping korban.
•
Ancaman hukum alternatif berupa kurungan atau denda, ancaman hukuman terlalu ringan untuk kasus tindak kejahatan/kekerasan yang terencana dan kasus yang korbannya meninggal, kekerasan seksual dan psikis dilakukan suami terhadap istri merupakan delik aduan.
•
UU PKDRT lebih menitikberatkan proses penanganan hukum pidana dan penghukuman dari korban. Di satu sisi, UU ini dapat menjadi alat untuk memenjarakan pelaku dan represi terhadap siapa yang akan melakukan tindakan KDRT. Di sisi lain, penghukuman suami masih dianggap bukan jalan utama bagi korban, khususnya istri yang mengalami KDRT. Ini pula
yang menjadi alasan bagi korban untuk menarik pengaduannya di kepolisian.99 Sementara itu, kendala dari segi struktur hukum yang sering ditemukan di Peradilan Umum antara lain:
Aparat penegak hukum yang menggunakan peraturan lama. Ada yang masih tergantung pada petunjuk pelaksanaan dari pusat, atau bahkan masih banyak aparat yang menyelesaikan kasus KDRT dengan peraturan adat.
Aparat hukum belum memahami undang-undang PKDRT. Masalah KDRT masih dianggap aib keluarga, dimana sebagian besar kasus diselesaikan dengan upaya damai.
Interpretasi yang berbeda dalam menggunakan UU PKDRT. Kendati ada niat baik dari para penegak hukum untuk menggunakan undang-undang baru, masih terlalu banyak perbedaan persepsi antar penegak hukum sendiri yang mengakibatkan terhambatnaya penerapan undang-undang ini.
Sarana dan prasarana, khususnya berkaitan dengan ruang pelayanan, ruang sidang dan pelayanan, sehingga mengganggu proses persidangan maupun penyelesaian kasus, keterbatasan dana, keterbatasan tenaga dan fasilitas lain khusus dialokasikan untuk menangani kasus KDRT.100
99
Ibid., h. 12.
100
Ibid., h. 13.
Komnas Perempuan mencatat bahwa di antara kendala tersebut di atas ada kendala lain yaitu adanya kebijakan-kebijakan daerah (termasuk tetapi tak terbatas pada peraturan daerah) yang bertentangan dengan UUD 1945 hasil amandemen keempat mengenai jaminan hak-hak dasar manusia yang seharusnya menjadi payung hukum dari semua aturan yang ada di Indonesia. Perda-perda tersebut berdampak pada diskriminasi terhadap perempuan, melalui pengaturan tubuh, perilaku, dan mobilitas perempuan oleh institusi negara atas nama agama dan moralitas.101 D. Analisis terhadap Praktek Penanganan Kasus-Kasus KDRT Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menganalisa bahwa kekerasan dalam rumah tangga dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan. Sebab kekerasan dapat menimbulkan penderitaan bagi si korban, baik penderitaan fisik, mental atau menyakitkan secara seksual dan penderitaan lainnya. Sebagaimana yang dinyatakan dalam rekomendasi CEDAW tahun 1992 sebagai berikut: “kekerasan diarahkan terhadap perempuan karena ia adalah perempuan atau dilakukan terhadap perempuan atau terjadi terhadap perempuan secara tidak proporsional. Termasuk didalamnya tindakan-tindakan yang menyebabkan penderitaan fisik, mental atau menyakitkan secara seksual atau bersifat ancaman akan tindakantindakan tersebut, pemaksaan atau mengungkung kebebasan”. Terkait dengan penanganan kasus-kasus KDRT, keadilan gender harus ditegakkan. Karena dengan ditegakkannya keadilan gender, setiap perempuan 101
Ibid., h. 6-7.
dan setiap orang yang potensial menjadi korban dapat memperoleh haknya dalam mengakses dan memperoleh perlindungan hukum atau keadilan. Sejak tahun 2001-2008 laporan Komnas Perempuan menunjukkan data kasus KDRT/KTP yang terus meningkat. Pada tahun 2008 peningkatan jumlah KTP mencapai lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2007 dari total jumlah 54.425 kasus, 42.076 adalah kasus KDRT. Dari data Komnas Perempuan tersebut mengindikasikan bahwa meskipun berbagai peraturan yang berkenaan dengan isu perempuan dan LSM-LSM/women crisis center telah banyak lahir, baik secara nasional maupun internasional. Namun kenyataannya, KTP khususnya KDRT belum dapat diminimalisir. Sejauh ini, Komnas Perempuan telah banyak melakukan advokasi terhadap perempuan dari segi kebijakan dan hukum di Indonesia. Hal ini menunjukkan kesungguhan Komnas Perempuan dalam mewujudkan keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Namun sayang, Komnas Perempuan tidak melakukan proses litigasi dalam memberikan penanganan terhadap korban KDRT/KTP. Karena KP tidak memiliki mandat untuk melakukan proses litigasi. Menurut penulis, proses litigasi penting untuk dilakukan dalam penanganan kasus-kasus KDRT/KTP. Karena dengan melakukan proses litigasi, KP dapat melakukan beberapa hal: 1. Melakukan pendampingan korban saat sedang menjalani proses hukum. 2. Memantau secara langsung proses peradilan dan sikap APH (Aparat Penegak Hukum) terhadap korban KTP/KDRT.
3. Memantau efektifitas implementasi UU PKDRT dan perangkat hukum lain dalam prakteknyanya di lapangan. 4. Mengcover kurangnya tenaga untuk menangani kegiatan konsultasi dan bantuan hukum dari segi proses litigasi. Mengingat relatif sedikitnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH)/women crisis center yang ada. Ada beberapa masalah yang sebaiknya juga menjadi perhatian Komnas Perempuan. Antara lain seperti masalah yang ditemukan LBH APIK mengenai sikap APH (aparat penegak hukum) terhadap korban KDRT/KTP, masalahmasalah tersebut antara lain: a. Temuan di kepolisian 1. Proses penanganan kasus yang lama di kepolisian. 2. Kepolisian sering kali tidak melakukan penggabungan perkara dalam kasus-kasus yang berkaitan, bahkan ada kasus dimana berkas justru dipecah sehingga ditangani secara berbeda sehingga menimbulkan ketidakadilan dan melanggar asas peradilan cepat dan sederhana. 3. Pada berkas acara pemeriksaan (BAP) seringkali dilakukan dengan pemeriksaan konfrontir kepada korban dan tersangka. 4. sikap penyidik yang kurang peka terhadap kekerasan yang dialami korban perempuan. 5. Kepolisian tidak memenuhi/menunda-nunda permintaan jaksa untuk melengkapi berkas-berkas yang diminta. b. Temuan di kejaksaan
1. Dalam persidangan kasus KDRT, jaksa tidak menggunakan pasal KDRT secara utuh. Dalam tuntutannya jaksa menggunakan pasal 44 ayat 1 UU PKDRT, namun untuk tuntutan hukum jaksa hanya mencantumkan tuntutan 4 bulan (setara dengan sanksi hukuman untuk pasal 44 ayat 4). 2. perspektif jaksa yang masih menganggap bahwa kasus KDRT merupakan permasalahan internal keluarga. Hal ini diketahui saat audiensi untuk kasus YL, LBH APIK Jakarta mempertanyakan mengapa menggunakan pasal 44 ayat 1 UU PKDRT namun tuntutan hukuman hanya 4 bulan yang artinya setara dengan sanksi hukuman untuk pasal 44 ayat 4. 3. Untuk kasus YL, selama proses persidangan jaksa menghadirkan barang bukti yang berbeda dengan baranng bukti yang dikumpulkan oleh kepolisian. Masalah-masalah tersebut sebaiknya dapat segera dicarikan solusinya oleh KP. Agar korban tidak merasa tertekan dalam setiap tingkat proses pemeriksaan (baik dalam proses penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan). Korban sebagai orang yang teraniaya dengan kondisi seperti itu sangat memerlukan perlidungan dari berbagai pihak, namun dalam realita yang ada korban cenderung
diperlakukan sebagai bagian dari alat
bukti, bukan
diperlakukan layaknya seorang manusia yang membutuhkan perlindungan. Dalam rangka memenuhi keadilan bagi korban kekerasan, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
dan
masyarakat
sipil
seperti
organisasi
keagamaan
dan
kemasyarakatan memainkan peranan yang sangat strategis. Peranan ini minimal dapat berupa peranan pendampingan korban saat sedang menjalani proses hukum.
Peran mendampingi korban oleh LSM atau masyarakat sipil dapat dimulai dari berdikusi dengan korban tentang berbagai hal, dimulai dari sistem hukum Indonesia, upaya-upaya hukum yang tersedia bagi korban serta mengeksplorasi dan kelemahan dari masing-masing upaya hukum tersebut. Dalam hal ini, KP diharapkan dapat melakukan terobosan-terobosan baru untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul (baik dari segi advokasi kebijakan maupun proses litigasi) sehingga dapat mewujudkan keadilan gender bagi korban KTP khususnya KDRT dan dapat menekan tingkat KDRT/KTP yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Keadilan gender adalah sebuah perlakuan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Maka keadilan gender dapat dimaknai sebagai sebuah perbuatan yang adil dalam memberikan hak yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam mengakses atau memperoleh perlindungan hukum atau keadilan. 2. Bentuk penanganan kasus yang dilakukan oleh Komnas Perempuan melalui Unit Pelayanan untuk Rujukan yang ada di Komnas Perempuan yaitu dengan cara rujukan. Jika ada kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan, bentuk penanganan yang diberikan yaitu dengan cara merujuk kepada LSM-LSM (lembaga swadaya masyarakat) atau womens crisis center yang memiliki peran untuk melakukan proses litigasi atau penanganan terhadap kasus-kasus KDRT/kekerasan terhadap perempuan. 3. Penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah adanya sesuatu yang khofiyyun, mustatirrun, wa majhulun (tersembunyi), yang biasanya orang malu mengungkapkannya. Antara lain adalah masalah seksual dan cumbu rayu hubungan suami istri yang hal ini tidak bisa dilihat oleh orang lain dan hanya dapat dirasakan oleh pasangan suami istri tersebut. Karena hal ini tidak diungkapkan (dikomunikasikan) antara suami istri dan tidak disalurkan dengan baik, maka timbullah KDRT.
4. Komnas Perempuan pada tahun 2009 membuat kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kinerja dari para penegak hukum sebagai upaya mewujudkan keadilan gender, upaya-upaya tersebut yaitu: 2)
Pelatihan Hakim Peradilan Umum tentang KDRT
3)
Workshop Family Court (Pengadilan Agama) Terhadap Kasus-Kasus KDRT
4)
Pelatihan untuk Instruktur Pelatihan Hakim Peradilan Agama tentang KDRT
4. Hambatan-hambatan yang dihadapi Komnas Perempuan antara lain: 1) Kendala budaya Sekalipun sudah dijamin di dalam UU PKDRT, tidak semua perempuan merasa yakin untuk melaporkan kasusnya, karena masih merasa malu, bersalah atas kekerasan yang menimpa dirinya dan juga khawatir akan dipersalahkan oleh keluarga dan masyarakat di sekililingnya. 2) Kendala hukum Kendala hukum hadir antara lain dari segi substansi hukum, seperti; Ancaman hukum alternatif berupa kurungan atau denda, ancaman hukuman terlalu ringan untuk kasus tindak kejahatan/kekerasan yang terencana dan kasus yang korbannya meninggal, kekerasan seksual dan psikis dilakukan suami terhadap istri merupakan delik aduan.
B. Saran 1. Sebaiknya Komnas Perempuan diberi mandat litigasi dalam menangani kasuskasus kekerasan terhadap perempuan/kekerasan dalam rumah tangga. Agar Komnas Perempuan dapat melaksanakan perannya secara optimal. 2. Sebaiknya Komnas Perempuan melakukan pengawasan (monitoring) terhadap efektifitas undang-undang (kebijakan) yang terkait dengan isu perempuan. Tidak hanya ikut berperan dalam penyusunannya saja, melainkan melakukan pengawasan secara proaktif terhadap implementasi undang-undang tersebut. 3. Sebaiknya Komnas Perempuan meningkatkan penyelenggaraan sosialisasi terhadap perempuan, seperti: seminar, lokakarya, diskusi panel, dan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat luas. Agar mereka memahami tentang hukum, penyebab timbulnya KDRT dan hak-hak mereka dalam hukum, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang buta hukum. 4. Sebaiknya anggota komisioner dan badan pekerja Komnas Perempuan terdiri dari laki-laki dan perempuan yang jumlahnya seimbang dan terdiri dari berbagai agama, sekte dan kepercayaan, serta berbagai elemen dari masyarakat dan ahli agama. 5. KDRT perlu dimasukkan ke dalam kurikulum fiqh pada Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA).
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-Karim Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2007, 10 Tahun Reformasi: Kemajuan dan Kemunduran Perjuangan Melawan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Jender, Jakarta: Komnas Perempuan, 7 Maret 2008. Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2008, Kerentanan Perempuan Terhadap Kekerasan Ekonomi dan Kekerasan Seksual: Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara, Jakarta: Komnas Perempuan, 7 Maret 2009. Convention Wacth Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, Hak Asasi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, Edisi II. 6(enam) Undang-Undang Republik Indonesia (Pornografi, Perlindungan Saksi Dan Korban, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Hak Asasi Manusia, Pengadilan Anak), Jakarta: BP. Panca Usaha, 2009. Hadidjah dan La Jamaa, Hukum Islam dan Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Ambon: STAIN Ambon Press, 2007, Cet.1. Jawa Pos, Pemukulan Paling Sering dialami, 30 April 2003. Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Gerakan Perempuan Sedunia, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Edisi 14. Jurnal Harkat Media Komunikasi Jender, Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 April 2007. Komnas Perempuan, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2009. ________________, Layanan Yang Berpihak: Buku Rujukan Untuk Menyelenggarakan Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan, Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2005, Cet. Ke-2. Komnas Perempuan, Profil, http//www.komnasperempuan.or.id/about/profile/ Komnas Perempuan, Program, http//www.komnasperempuan.or.id /about/ program/
Komnas Perempuan, Pemantauan, http//www.komnasperempuan.or.id/about/program/ pemantauan/ Komnas Perempuan, Unit Pengaduan untuk Rujukan, http//www.komnasperempuan. or.id/about/program/pemantauan/gugus-kerja-aceh/. Komnas Perempuan, Reformasi http//www.komnasperempuan kebijakan/.
Hukum dan Kebijakan, .or.id/about/program/reformasi-hukum-
Komnas Perempuan, Pengembangan Sistem perempuan.or.id/about/program/pemulihan/,
Pemulihan,
http//www.Komnas
Komnas Perempuan, Pendidikan dan Litbang, http//www.komnasperempuan.or.id /about /program/pendidikan-dan-litbang. Komnas Perempuan, Struktur Organisasi, http//www.komnasperempuan .or.id /about/ profile/struktur-organisasi/. Kurniasih, Nani, Kajian Yuridis Sosiologis Terhadap Kekerasan Yang Berbasis Gender, http// www.uninus.ac.id/PDF/KAJIAN YURIDIS & SOSIOLOGIS KDRT.pdf. LBH APIK Jakarta, Pemaksaan Hubungan Seksual dalam Perkawinan adalah Kejahatan Perkosaan, http://www.lbh.apik.or.id/fact.htm-28k LBH APIK Jakarta, Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga, http://www.lbh.apik. or.id/kdrt.bentuk.htm.
Modul Pelatihan Muballigh dan Muballighat, Relasi Gender dan Kesehatan Reproduksi Perempuan, Jakarta: UIN Syaruf Hidayatullah Jakarta Kerjasama British Embassy, 2006. Mulia, Siti Musdah, Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender, Yogyakarta: Kibar Press, 2006, Cet. 1. Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur'an, Jakarta: Paramadina, 2001, cet. Ke-2. ________________, Bias Jender dalam Penafsiran Al-Qur'an, Jakarta: Fikahati Aneska, 2000, cet. 1. Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto Bekerja Sama dengan Fajar Pustaka, 2006, Cet. 1. Satrio, Adi, Kamus Ilmiah Popular, Jakarta: Visi7, 2005, Cet. 1.
Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, Cet. ke-6. Suralaga, Fadhilah, dkk, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah, 2003, Cet. 1. Tarigan, Anny, dkk., Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan, Jakarta: LBPP DERAP-Warapsari, 2003, Cet. Ke-2.
LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. TRANSKIP WAWANCARA Hari/Tanggal
: Jumat, 22 Mei 2009 pkl 11.15.
Waktu
: pkl 11.15 WIB.
Tujuan Wawancara
: Sebagai bahan pada penyusunan skripsi.
Objek Wawancara Nama
: Danielle J.P. Samsoeri, S.H.
Jabatan
: Koordinator Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan.
1. P :
Apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga menurut Komnas Perempuan?
J:
Pemahaman tentang KDRT menurut Komnas Perempuan adalah sesuai dengan ketentuan dari pasal 1 ayat (1) UU PKDRT, yaitu: kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. P :
Bagaimana praktek penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang masuk ke Komnas Perempuan?
J:
Tentang
proses
penanganan
kasusu-kasus
kekerasan
terhadap
perempuan(KTP)/ KDRT di Komnas Perempuan, adalah hanya sebatas memebrikan surat dukungan atau merujuk kepada pihak ke-3 yang dapat berbentuk lembaga/LSM atau Women Crisis Center, yang memiliki proses litigasi atau penanganan terhadap kasus-kasus KTP/KDRT. 3. P : J:
Apa yang dimaksud dengan keadilan gender menurut Komnas Perempuan? Keadilan gender menurut Komnas Perempuan adalah sebuah perlakuan
yang setara dan adil antara pihak perempuan dan laki-laki. Dan terkait dengan penanganan terhadap kasus-kasus KDRT, maka keadilan gender disini dapat dimaknai sebagai sebuah perbuatan yang adil yang memberikan hak kepada perempuan dan laki-laki yang sama dalam mengakses atau memperoleh perlindungan hukum/keadilan. 4. P : Berdasarkan informasi dari sebuah situs internet, data Komnas Perempuan menunjukkan data kasus yang terus meningkat dari tahun ke tahun pasca disahkannya UU PKDRT dan 31 % merupakan kasus KDRT. Menurut Komnas Perempuan, apa penyebab data kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat pasca disahkannya UU PKDRT? J:
Semakin banyak perempuan (khususnya perempuan korban) yang sadar
akan hak hukumnya, dimna dengan adanya atau disahkannya UU PKDRT maka sudah ada perlindungan hukum dan jaminan hukum bagi pihak perempuan korban (KDRT). Dan kondisi yang ada sekarang juga sebagai sebuah fenomena gunung es, dimana hanya sebagian kecil dari kasus-kasus
KDRT yang terekspos. Tetapi, kenyataan yang ada menunjukkan jumlah yang lebih banyak. 5. P :
Apakah menurut Komnas Perempuan sejauh ini UU PKDRT sudah berjalan efektif?
J:
keberadaan dari UU PKDRT untuk saat sekarang sudah lumayan
berjalan secara efektif. Karena, pada kenyataannya di masing-masing institusi penegak hukum sudah menjadikan UU PKDRT sebagai acuan dalam menangani kasus-kasus KDRT (sudah tidak menggunakan ketentuan dari KUHP saja sebagai dasar hukumnya). 6. P :
Apakah Komnas Perempuan melakukan pengawasan terhadap efektifitas setiap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan hak-hak kaum perempuan, misalnya; UU PKDRT?
J:
Sesuai dengan salah satu mandatnya, Komnas Perempuan harus ikut
berperan serta di dalam proses penyusunan kebijakan yang terkait dengan hakhak perempuan. Oleh kerena itu, Komnas Perempuan selalu akan bersifat proaktif jika kemudian ada proses pembahasan terhadap sebuah kebijakan yang terkait dengan isu perempuan. Sebagai contoh: proses advokasi terhadap UU PKDRT pada tahun 2002 s/d 2004. Dan untuk proses pengawasan terhadap pengimplementasian dari sebuah UU/kebijakan yang terkait dengan isu perempuan, maka Komnas Perempuan bersama dengan para mitranya sering melakukan diskusi untuk progres dari sebuah kebijakan tersebut. Dan juga lewat salah satu progam kerjanya: program Penguatan Penegak Hukum
melakukan peningkatan kapasitas terhadap masing-masing Aparat Penegak Hukum terkait dengan pengimplementasian dari sebuah UU tentang isu perempuan. 7. P :
Dari beberapa artikel dan buku yang saya baca bahwa sampai saat ini UU No. 23/2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) belum berjalan efektif dan belum menjawab keadilan bagi korban KDRT, apa upaya-upaya yang dilakukan Komnas Perempuan melihat realitas ini dalam mewujudkan keadilan gender bagi korban KDRT?
J:
Proses mewujudkan keadilan gender kepada pihak perempuan korban
(khususnya perempuan korban KDRT) yang telah dilakukan oleh Komnas Perempuan sampai saat ini adalah dengan membuat surat dukungan, dimana tujuannya adalah agar kasus yang telah dialami pihak korban dapat menjadi perhatian dari yang berwajib. Hal lainnya adalah dengan melakukan peningkatan kapasitas bagi masing-masing institusi Aparat Penegak Hukum (lewat program PPH yang telah dilaksanakan sejak tahun 2005). Dan setiap tahun menerbitkan catatan tahunan yang merupakan sebuah catatan penting dalam proses pengadvokasian terhadap kebutuhan pihak perempuan korban. 8. P :
Apa
kendala-kendala
yang
dihadapi
Komnas
Perempuan
dalam
melaksanakan perannya sebagai lembaga yang memperjuangkan hak-hak perempuan? J:
Kendala yang dihadapi Komnas Perempuan, adalah bahwa Komnas
Perempuan tidak memiliki fungsi litigasi dalam melaksanakan penanganan
terhadap kasus-kasus KTP/KDRT. Sehingga Komnas Perempuan harus dapat melakukan jejaring dengan beberapa lembaga atau WCC. Padahal, animo masyarakat (kelompok perempuan yang menjadi korban) sangat mengharapkan adanya tindakan yang lebih jauh lagi dari yang ada sekarang. Komnas Perempuan tidak memiliki cabang sampai ke daerah, sehingga masih sangat tergantung dengan mitra daerah. 9. P :
Menurut Komnas Perempuan, apa hal yang saat ini sangat signifikan untuk segera dilakukan dalam mewujudkan keadilan gender bagi korban KDRT?
J:
Melakukan revisi atau mengamandemen ketentuan dari beberapa kebijakan atau UU yang masih belum sensitif gender, melakukan
pemberdayaan secara terus-menerus kepada masing-masing institusi penegak hukum dan pemerintah tentang isu perempuan dan gender, agar semakin banyak pihak yang perduli dan ikut berperan serta dalam penangnan kasuskasus ini. 10. P :
Apa yang dimaksud dengan korban kekerasan dalam rumah tangga menurut perspektif Komnas Perempuan?
J:
Korban KDRT menurut perspektif Komnas Perempuan adalah
sesuai dengan ketentuan dari UU PKDRT pasal 1 ayat (3), yaitu: orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.