I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
1
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA I.A. Indah Sukma Angandari Imogena Consultants &Development
[email protected]
Abstract: Wholeness and harmony of the household may be disrupted if the quality and self-control can not be controlled, which can ultimately lead to the occurrence of domestic violence. Domestic Violence is any action against someone, especially his wife, which resulted in misery or suffering physical, sexual, psychological. To prevent, protect the wife as a victim, and prosecution of domestic violence on September 22, 2004, was approved the introduction of Law Number 23 Year 2004 on the Elimination of Domestic Violence (PKDRT), which consists of 10 Chapters and 56 Articles. The law is expected to provide legal protection for members in the household, particularly women, the most victims of domestic violence. Key words: Protection, violence and wife
Pendahuluan Selama ini rumah tangga dianggap sebagai tempat yang aman karena seluruh anggota keluarga merasa damai dan terlindungi. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
2
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai salah satu jenis kekerasan yang berbasis gender dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal ini pertama dilatarbelakangi oleh budaya patriarki yang terus langgeng, kesetaraan gender yang belum nampak serta nilai budaya masyarakat yang selalu ingin hidup harmonis sehingga cenderung selalu menyalahkan perempuan. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan).
Pelaku dan korban tindak kekerasan
didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa. Menurut pendapat Romli Atmasasmita, kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. Semakin menggejala dan menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini 1. Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan 1
Atmasasmita, Romli. 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama, Bandung, hal.63
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
3
dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pada tanggal 22 September 2004, telah disahkan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang terdiri atas 10 Bab dan 56 Pasal. Undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, yang paling banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Negara dan masyarakat wajib memberikan perlindungan agar setiap anggota dalam rumah tangga terhindar dari ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia. Segala bentuk kekerasan harus dicegah dan dihapuskan, karena merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Perlindungan Hukum dalam Kasus KDRT Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tidak berarti bahwa perjuangan perempuan sudah selesai, karena sebetulnya perjuangan perempuan masih panjang. Masih perlu dicermati, diikuti dan diawasi, sejauh mana komitmen pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk melaksanakan undang-undang tersebut. Perlu diperhatikan problema apa saja yang timbul dan bagaimana penanganan yang tepat untuk mencegah dan membebaskan anggota rumah tangga, khususnya perempuan dari tindak kekerasan yang terjadi. Kasus KDRT yang terjadi sesungguhnya dapat disebut sebagai fenomena gunung es. Secara kuantitas sedikit yang terdata oleh karena faktor-faktor : 1) Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
4
2) Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan. 3) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi. 4) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil. 5) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak. 6) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior. 7) Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga. 8) Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak–anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT). 9) Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
5
Menurut hemat penulis faktor-faktor tersebutlah yang mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga semakin marak terjadi.Kekerasan merupakan salah satu bentuk dari kejahatan, yang tentunya akan sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bonger bahwa "Kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial, yang oleh Negara ditentang dengan sadar. 2 Kekerasan dalam lingkup rumah tangga atau keluarga banyak dilakukan oleh seorang suami, Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara lain : 1.
Kekerasan Fisik Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian.
2.
Kekerasan Psikis Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.
3.
Kekerasan Seksual
2
Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia Indonesia, Hal.23
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
6
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri. 4.
Kekerasan Ekonomi Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya. Penulis berpendapat bahwa Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat
untuk merespon apa yang terjadi, dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya. Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan. Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara kultural pada setiap generasi. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
7
dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai kegiatan sampingan. 3 Bergulirnya reformasi yang diikuti dengan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia berdampak pada upaya penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi menunjukkan salah satu ciri negara demokrasi adalah proteksi konstitusional atau kekuasaan negara dilaksanakan berdasarkan konstitusi (rechstaats) bukan atas kekuasaan belaka. Konstitusi kita mengatur pula tentang perlindungan hak asasi manusia. 4 Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul Sieghart. 5
3
Baquandi, 2009, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari 2012 4 Romli Atmasasmita, “Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di Indonesia”, Makalah disampaikan pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta. 5
Paul Sieghart, 1986, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International Legal Code Of Human Rights, Oxford University Press, Inggris, hal.107
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
8
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memberikan perlindungan secara khusus bagi korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, dan dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban, serta mempunyai tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga serta memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Konsepsi kekerasan sebagai kejahatan dalam konteks kehidupan berumah tangga, sebagaimana yang dikonsepsikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga selanjutnya disebut UU PKDRT, adalah sebagai berikut: Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Disahkannya Undang-undang tersebut merupakan titik awal keberhasilan perjuangan perempuan dalam memperoleh perlindungan terhadap kekerasan yang sering terjadi dalam lingkup rumah tangga, yang sebelumnya dianggap sebagai urusan pribadi suami-isteri, merupakan ‘aib keluarga’, tabu untuk diketahui dan dikemukakan kepada masyarakat. Ketidakberdayaan perempuan yang disebabkan adanya keinginan untuk mempertahankan posisi diri sebagai perempuan baik-baik dari keluarga yang terhormat, mengakibatkan perempuan harus bersikap pasif dan mau menerima perlakuan apapun yang diperolehnya demi mempertahankan ‘citra perempuan baik-baik atau keluarga harmonis. Hal-hal
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
9
demikian ini yang menyebabkan adanya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terungkap dan tidak dapat diatasi. Penulis berpendapat meskipun
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disahkan bukan berarti bahwa perjuangan perempuan sudah selesai, karena sebetulnya perjuangan perempuan masih panjang dan harus diketahui apakah UU No. 23 Tahun 2004 digunakan secara cermat, selektif dan limitative. Hal ini sependapat
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh
Sudarto, apabila menggunakan upaya penal maka penggunaanya sebaiknya dilakukan dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif, dan limitative. Penyusunan suatu perundangundangan yang mencantumkan ketentuan pidana haruslah memperhatikan beberapa pertimbangan kebijakan sebagai berikut : 1.
2.
3. 4.
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas masyarakat. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) 6
Agar hukum itu berfungsi maka hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai kaidah yakni: a)
6
Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, hal. 44-48
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... b)
10
c)
Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. 7
Penulis berpandangan kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu persoalan sosial yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan kejahatan telah dimulai terus-menerus. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan mengenai perlunya pidana dan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut : a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untukmencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batasbatas kebebasan pribadi masing-masing. b. Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaranpelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja. c. Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat. 8 Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu :
7
8
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.
Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal 152-153
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
11
a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang. b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana. 9 Dihubungkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hukum, penulis mengutip pendapat Lawrence friedman dalam buku “Hukum dan Masyarakat” karangan Satjipto Raharjo, hukum dilihat sebagai suatu sistem hukum yang utuh, yang terdiri dari 3 komponen, yaitu: a.
Komponen substansi hukum, yang terdiri dari hasil aktual yang diberikan oleh sistem hukum, misalnya norma-norma peraturan dan sebagainya.
b.
Komponen struktur hukum, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistim hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya hukum.
c.
Komponen kultur atau budaya hukum, yaitu nilai-nilai yang merupakan kaidah yang mengikat sistim serta menentukan sistim hukum itu di tengah kultur bangsa secara keseluruhan. 10 Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan
menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum tidak ada dan seolah-olah mereka berada dalam hutan rimba, sebaliknya, bila penegakan hukum kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat
9
Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.30 10 Satjipto Raharjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
12
mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk. Oleh karenanya penegak hukum yang tegas dan berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat sangat diperlukan. Patuh hukum bukanlah tataran tertinggi, melainkan adalah setiap individu dalam masyarakat yang bersikap di bawah alam sadar sesuai dengan tujuan. Kultur hukum di sini berkaitan dengan sikap sosial dan nilai-nilai sosial yang telah terpatri yang dipergunakan sebagai acuan normatif dalam perilaku. Penulis berpandangan bahwa istri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Selain itu istri sebagai korban juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum, pada setiap tingkat proses pemeriksaan karena hal-hal tersebut telah diatur didalam ketentuan pasal-pasal yang telah termuat didalam UU. No. 23 Tahun 2004 tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/ atau pembimbing rohani (Ketentuan Pasal 39 UU. No.23 Tahun 2004).
Sehingga Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab dalam upaya
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Ketentuan Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2004). Sedangkan masyarakat berkewajiban melakukan upaya-upaya sesuai batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan Korban kekerasan dalam rumah tangga, selain memperoleh perlindungan secara fisik dan psikis dari pemerintah dan masyarakat, korban juga memperoleh
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
13
perlindungan hukum, dengan pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, yang diatur dalam ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 53 UU No. 23 Tahun 2004, dengan ancaman sanksi pidana yang berlainan, tergantung perbuatan yang dilakukan, dengan ancaman sanksi paling berat yaitu pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun atau denda Rp. 500.000.000,(Lima ratus juta rupiah), dan paling ringan 4 (empat) bulan penjara atau denda Rp.5.000.000 (Lima juta rupiah). Peran aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, advokat dan pengadilan, dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, diatur secara khusus oleh UU No. 23 Tahun 2004, sebagai berikut: -
Kepolisian Diatur dalam ketentuan Pasal l6 UU No. 23 Tahun 2004. Pada waktu kepolisian
menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, harus segera dijelaskan kepada korban bahwa mereka mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Kepolisian memperkenalkan identitas mereka dan segera wajib melakukan penyelidikan serta wajib melindungi korban. Selanjutnya kepolisian akan meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku. -
Advokat
Diatur dalam ketentuan Pasal 25 UU. No. 23 Tahun 2004. Di dalam memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib memberikan konsultasi hukum mengenai hak-hak korban dan proses peradilan. Mendampingi korban pada penyidikan dan pemeriksaan di dalam sidang, serta melakukan koordinasi dengan sesame penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... -
14
Pengadilan Diatur dalam ketentuan Pasal 28 sampai dengan 34, 37 dan 38 UU. No. 23 Tahun 2004. Pengadilan harus mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain yang diajukan oleh kepolisian.
Penutup Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian. Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri. Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri. Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk dieksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
15
Perlindungan terhadap istri sebagai Korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan dimana sudah diatur didalam UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adapun saran yang dapat penulis sampaikan untuk mencegah agar istri tidak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain peningkatan pendidikan bagi perempuan sehingga mereka menyadari hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat. Serta peningkatan kesempatan kerja dan lapangan kerja bagi perempuan, sehingga secara ekonomi tidak tergantung sepenuhnya kepada suami/laki-laki. Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan kepada istri khususnya sosialisasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga lengkap dengan peran dan fungsi Ruang Pelayanan Khusus (RPK). Memberikan advokasi dan pendampingan bagi korban serta Memberikan advokasi kebijakan pemerintah di dalam menyusun peraturan-peraturan yang melindungi istri.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
16
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebiiakan Penegakan dan Pengembanqan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. ____________________, 2001, Masalah Penegakan Hukum Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Baakti, Bandung.
dan
Kebijakan
Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia Indonesia, Jakarta. Romli Atmasasmita, Bandung.
2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama,
Satjipto Raharjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, PT. Angkasa, Bandung. Sieghart, Paul, 1986, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International Legal Code Of Human Rights, Oxford University Press Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung Zainuddin Ali, H., 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. MAKALAH Romli Atmasasmita, “Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di Indonesia” Makalah pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta..
INTERNET Baquandi, 2009, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari 2012
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
17
STRATEGI PENANGGULANGAN ILLEGAL LOGGING MELALUI EKOLABELING I Wayan Suardana Dinas Kehutanan Provinsi Bali
[email protected]
Abstract: Indonesia is one of country that has not been able to tackle illegal logging. Increasing quantities of illegal logging results in deforestation. Deforestation is a threat to the lives of living things. To overcome this deforestation, we need a sustainable forest management. One form of sustainable forest management is ecolabeling or labeling of forest products is a form of forest inventory activities play an important role in preventing deforestation. Basically, this application is a breakthrough ecolabeling very well in the inventory of forest and prevent deforestation.
Key words: forest, deforestation, illegal logging and ecolabeling Pendahuluan Hutan merupakan aset besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Meskipun Kepulauan Indonesia hanya terdiri sekitar 1% dari seluruh daratan di permukaan bumi, cadangan hutan alaminya merupakan yang terbesar di Asia dan kedua terbesar di dunia, yang diperkirakan membentang seluas lebih dari 100 juta hektar. Hutan merupakan karunia Tuhan yang tak ternilai harganya. Hutan memberikan manfaat besar untuk hidup dan kehidupan bagi seluruh makhluk, terutama manusia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia,
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
18
hutan merupakan sumber kehidupan. Disamping merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan, juga menjadi tempat hidup bagi sebagian besar masyarakat. Indonesia mulai memanfatkan hutan pada awal tahun 1970-an, melalui pembangunan industri pengolahan kayu. Saat ini, Indonesia menjadi eksportir kayu lapis terbesar di dunia, dan juga produksi kayu gelondongan, kayu olahan dan bubur kayu untuk produksi kertas. Pada tahun 2001, terdapat data statistik yang akurat, produksi kayu menyumbang 1,1 % Gross Domestic Product Indonesia dan sekitar US$ 5,1 miliar dari hasil ekspor. Walaupun pentingnya industri kayu untuk ekonomi nasional, sektor ini menghadapi ancaman serius dari maraknya praktik penebangan liar. 11 Pada Januari 2003, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa aktivitas penebangan liar menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 30,24 trilliun (US$3,37 miliar). Selain itu, sekitar 322 dari 460 perusahaan yang beroperasi di bidang ini mengalami kegagalan diakibatkan penebangan liar. Sebanyak 80% dari 70 juta meter kubik kayu setiap tahunnya diperjualbelikan secara ilegal. Jumlah kayu selundupan dari Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Riau, Aceh, Sumatera Utara dan Jambi yang diselundupkan ke luar negeri seperti Malaysia, Cina, Vietnam dan India kira-kira mencapai 10 juta meter kubik tiap tahunnya dan dari Papua sendiri bisa mencapai 600 ribu meter kubik. 12 Di tahun 2001, Indonesia mengkonsumsi 19 juta kubik kayu dalam bentuk kertas, kayu gelondong, kayu lapis dan produk lain. Di tahun yang sama, Indonesia mengekspor
11
Felicity Williams, 2004, “Asia Pulse Analyst”, http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATT ool_orig&utm_campaign=AT_tooldl, diakses pada 3 Januari 2012. 12
Ibid.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
19
sejumlah 40,7 juta meter kubik dalam bentuk-bentuk tersebut. Tetapi laporan resmi mengenai penebangan kayu pada tahun 2001 hanya sebanyak 10 juta kubik. Dengan kata lain, total jumlah penebangan kayu yang sebanyak 59,7 juta meter kubik termasuk di dalamnya sekitar 50 juta meter kubik kayu yang dihasilkan dari penebangan liar. Penjagaan terhadap kelestarian hutan menjadi tanggung jawab semua pihak baik terhadap pemanfaatan sumber daya hutan yang ramah lingkungan hingga dalam memproteksi hasil-hasil hutan. Untuk itu badan-badan internasional yang memiliki kepedulian terhadap sumber daya hutan ini memperkenalkan kebijakan ekolabel atau biasa pula disebut dengan ekolabeling. Ekolabel berasal dari kata eco yang berarti lingkungan hidup dan label yang berarti suatu tanda pada produk yang membedakannya dari produk lain. Ekolabel membantu konsumen untuk memilih produk yang ramah lingkungan sekaligus berfungsi sebagai alat bagi produsen untuk menginformasikan konsumen bahwa produk yang diproduksinya ramah lingkungan. Dengan adanya penandaan melalui ekolabel ini, maka akan diketahui karakteristik serta jumlah dari sumber daya yang ada di hutan. Ekolabel di Indonesia pada mulanya diterapkan pada hutan-hutan di daerah Jawa yang rawan akan pencurian kayu atau penebangan secara ilegal. Dengan inventarisasi semacam ini maka akan mudah bagi negara dan pihak swasta pengelola hutan untuk mengetahui persediaan kayu-kayu yang diekolabel. Deskripsi Singkat Illegal Logging di Indonesia Hutan merupakan karunia Tuhan yang mengandung banyak nilai dan fungsi strategis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber daya hayati ini memiliki begitu banyak kekayaan di dalamnya yang dapat dipergunakan manusia untuk mempertahankan hidupnya. Namun dewasa ini penebangan liar semakin banyak terjadi. Penebangan liar atau yang
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
20
kemudian sering diistilahkan dengan illegal logging bukan hanya dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan namun juga dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terorganisir. Istilah illegal logging sampai saat ini belum pernah ditemukakan dalam peraturan perundang-undangan manapun. Definisi illegal logging itu sendiri belum menemukan bentuk bakunya. Perbedaan dalam menentukan definisi ini seringkali terjadi, baik antara tataran lokal, tataran international dan masyarakat. Dalam The Comtemporary English Indonesian Dictionary sebagaimana yang diikuti Salim, illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, haram. Dalam Black’s Dictionary, illegal artinya forbidden by law; unlawsful’s artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. Log dalam bahasa Inggris artinya batang kayu atau kayu gelondongan dan logging artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian. 13
Dari aspek implikasi semantik
illegal logging sering diartikan sebagai praktik penebangan liar. Adapun aspek integratif, illegal logging diartikan sebagai praktik pemanenan kayu beserta prosesnya secara tidak sah atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan. Proses tersebut mulai dari kegiatan perencanaan, perjanjian, permodalan, aktifitas memanen, hingga pasca pemanenan yang meliputi pengangkutan, tata niaga, pengolahan, hingga penyelundupan. 14 Illegal logging bukanlah sebuah masalah baru. Usianya hampir sama dengan sejarah penebangan komersial itu sendiri. Di Indonesia, sejak zaman penjajahan Belanda, pencurian kayu kecil-kecilan sering dilakukan di tanah-tanah yang diberikan izin konsesi penebangan
13
Salim, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua) cetakan pertama, Universitas Atma jaya, Yogyakarta, hal. 72. 14
Rahmi Hidayati D. dkk., 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wanaaksara, Tangerang, hal. 128.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
21
oleh Belanda. Bahwa illegal logging menjadi perhatian yang sedemikian besar pada saat ini tidak lain karena skala dan intensitasnya yang memang sangat luar biasa. Illegal logging atau penebangan yang tidak sah muncul sebagai akibat dari peningkatan kapasitas industri kayu yang yang tidak diimbangi dengan analisa terhadap daya dukung lingkungan, penghormatan terhadap hak-hak tenurial, persiapan hutan tanaman industri yang akan mensuplai bahan baku dan kecenderungan untuk melihat hutan sebagai potensi ekonomi berdasarkan tegakan pohon yang ada didalamnya. Hutan itu sendiri dipandang dengan sudut pandang yang berbeda baik oleh masyarakat, perusahaan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. 15 Sebuah penelitian dari World Bank mengestimasikan bahwa dalam 40 tahun Indonesia akan menjadi tandus, dan faktor penyebab utamanya adalah praktek penebangan kayu tanpa perhatian (World Bank, 1986). Pada tahun 2002, Departemen Kehutanan memperkirakan luas kawasan hutan yang terdegradasi mencapai 59,7 juta hektar dengan lahan kritis didalam dan diluar kawasan mencapai 42,1 juta hektar. Hingga 1999 hingga 2000, kapasitas produksi industri kehutanan meningkat menjadi 74 juta meter kubik pertahun. Sementara itu Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa produksi kayu yang ditebang secara legal pada tahun 2000 hanya mencapai 17 juta meter kubik. Bila produksi ini ditambah dengan kayu impor (yang menurut berbagai kalangan nilainya sangat kecil dan tidak signifikan) yang mencapai 3 juta meter kubik, maka kita mendapatkan pasokan kayu sebesar 20 juta meter kubik. Sampai disini, diketahui defisit untuk memenuhi kebutuhan kayu bagi industri mencapai angka 54 juta meter kubik. Jika diestimasi seluruh perusahaan
15
Rully Syumanda, ____, “ Deforestasi dan Illegal Logging”, http://rullysyumanda.org/naturalresources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html, diakses pada 3 Januari 2012.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
22
tidak menggenjot angka produksinya dengan maksimal, asumsi ini memungkinkan mengingat mesin yang sudah tua, sehingga kapasitas produksi hanya 80 persen, maka akan mendapatkan gambaran defisit sebesar 39,2 juta meter kubik setiap tahunnya. Dengan angka defisit seperti ini, ditambah gambaran bahwa pada tahun 2000 tidak ada satupun catatan yang menunjukkan terjadinya kebangkrutan disektor industri kayu, maka bisa dipastikan bahwa pada tahun 2000, lebih kurang 39 juta meter kubik kayu yang ditebang di Indonesia adalah ilegal. Angka tersebut sekaligus menggambarkan bahwa laju deforestasi pada tahun 2000 mencapai 1,85 juta hektar dengan kerugian nominal langsung dari kayu mencapai 47,01 trilyun rupiah. Pada tahun 2003, meskipun pemerintah hanya memberikan jatah tebang sebesar 6,8 juta meter kubik namun Departemen Kehutanan sendiri memperkirakan bahwa kapasitas produksi industri kehutanan mencapai 73 juta meter kubik. Sedangkan kemampuan hutan alam hanya mencapai 22 juta meter kubik pertahun dengan perincian 7 juta meter kubik dari hutan alam dan 15 juta meter kubik dari hutan tanaman industri. Dengan figur ini dapat dipastikan bahwa 36,4 juta meter kubik kayu yang ditebang di Indonesia adalah illegal. Angka ini sekali lagi menggambarkan laju deforestasi di Indonesia pada tahun yang sama mencapai 1,825 juta hektar pertahun dengan kerugian nominal mencapai 43,680 trilyun rupiah. Pada tahun 2006, sebagian besar hutan tanaman di Sumatera dan Kalimantan sudah mulai mampu memenuhi kebutuhan industri sehingga pasokan bahan baku mencapai 46,7 juta meter kubik. Namun ini pun belum mampu memenuhi kebutuhan industri yang juga meningkat, akibat peningkatan produksi industri pulp, yang mencapai 96,19 juta meter kubik. Dengan figur ini dipastikan 30 juta meter kubik kayu ditebang secara illegal sehingga menciptakan angka deforestasi sebesar 2,6 juta ha. Belum termasuk kayu yang
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
23
diselundupkan ke Malaysia yang diperkirakan mencapai 10 juta meter kubik setiap tahunnya. Dengan kondisi kekurangan bahan baku ”resmi” dimulailah pembalakan besarbesaran dalam sejarah industri kehutanan di Indonesia. Pada awal tahun 2000, seorang pejabat senior Departemen Kehutanan mengakui bahwa industri pengolahan kayu telah diizinkan melakukan ekspansi tanpa mempertimbangkan kemampuan pasokan kayu yang tersedia, sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas. Kegagalan memasok kayu secara resmi sebagian besar ditutupi dengan pembalakan illegal, yang telah mencapai proporsi epidemis. Sampai disini, sudah jelas bahwa illegal logging adalah sebuah aktivitas kehutanan yang tidak saja merugikan secara lingkungan namun juga menciptakan sejumlah masalah besar lainnya baik dalam perannya dalam penghancuran sistem ekonomi maupun perannya sebagai pemicu konflik. Demikian halnya menjadi mustahil untuk menyangkal bahwa illegal logging adalah produk pokok masalah struktural di sektor kehutanan yang terus menyebar. Sejak tahun 2001 hingga 2006, diperkirakan angka kayu yang ditebang secara illegal mencapai 23,323 juta meter kubik setiap tahunnya. Jika dikalkulasi secara finansial, illegal logging tersebut menciptakan kerugian negara sebesar Rp. 27,9 trilyun setiap tahun sejak tahun 2001. Untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah menerapkan kebijakan operasi hutan lestari. Operasi hutan lestari ini dimaksudkan untuk mencegah pembalakan liar melalui pengawasan dari departemen Kehutanan. Operasi hutan lestari, meskipun mampu menekan keinginan orang untuk melakukan pembalakan secara liar namun dianggap belum mampu memenuhi target. Rata-rata setiap tahun, hanya 8 persen dari kayu yang tertebang secara
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
24
illegal berhasil ditangkap. Dengan demikian kejahatan ini memang memerlukan konsentrasi yang tinggi untuk diselesaikan. Fenomena illegal logging ini dapat dilihat secara kasat mata dengan menggunakan data-data resmi antara negara pengekspor dengan negara pengimpor. Sebagai contoh, pada tahun 2000, catatan pemerintah menunjukkan Indonesia tidak mengimpor sebatang kayu bulat pun ke Malaysia, sementara data di negara tersebut menunjukkan bahwa Malaysia telah mengimpor kayu bulat dari Indonesia sebesar 623.000 meter kubik. Sementara itu di Cina, angka impor kayu lebih besar 103 kali dari angka ekspor kayu dari Indonesia. Seperti fenemona gunung es, realitas "illegal logging" dan illegal trade tentu saja lebih besar dari angka-angka resmi tersebut. Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$ 1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumberdaya hutan. Penebangan hutan secara illegal ini tentunya memerlukan penanganan secepatnya sebab penyelesaian kasus ini selalu berpacu dengan waktu. Deferostasi yang terus-menerus dibiarkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah, dan kalau sudah seperti itu tentu penanganannya akan semakin sulit. Penanganan tersebut bukan hanya bersifat represif namun juga bersifat preventif. Salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan adalah dengan menginventarisasi persediaan keanekaragamanan hayati di hutan. Upaya inilah yang selanjutnya dikenal dengan prinsip ekolabeling. Inventarisasi yang dilakukan dengan ekolabeling memerlukan pengorganisasian yang solid, sebab walaupun
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
25
hutan merupakan tanggung jawab negara namun hal tersebut tidak menutup akses bagi pihak swasta dan masyarakat untuk turut berpartisipasi. Praktiknya, ekolabeling ini kebanyakan dilakukan oleh pihak swasta baik yang bertujuan komersial maupun lembaga swadaya masyarakat. Konstruksi Pemikiran Ekolabeling Sejak tahun 1990 ekspor kayu lapis memberikan hasil devisa non migas kedua terbesar setelah tekstil. Pada tahun 1993 hingga 1994 besarnya pangsa ekspor kayu lapis terhadap total ekpor produk kehutanan adalah sebesar 70,8% dan terhadap total ekspor non migas sebesar 17,5%. Peningkatan produksi dan volume ekspor kayu lapis Indonesia yang cukup pesat memberikan sumbangan devisa yang sangat besar pula. Sejak tahun 1975 hingga 1986, kayu lapis hanya memberikan sumbangan sekitar 21,5 % dari total ekspor hasil hutan, sekitar 5,3 % dari total ekspor Indonesia. Hingga tahun 1996 kayu lapis telah memberikan sumbangan devisa yang cukup besar yaitu sekitar 70,7 % dari total ekspor hasil hutan, 16,7 % dari nilai total ekspor Indonesia. 16 Ekspor kayu lapis Indonesia pada 2010 ke Jepang, Uni Eropa, Timur Tengah dan AS diperkirakan naik 20% dibandingkan dengan realisasi ekspor 2009 sebanyak 3,1 juta ini. Keyakinan itu mengacu pada peningkatan permintaan pasar internasional, terutama Jepang yang menyerap 50% ekspor kayu lapis asal lndonesia. Harga pasar kayu lapis yang berlaku di pasar internasional pada 2010, diprediksi berkisar pada US$ 500 hingga US$ 550/m. Sebelum situasi krisis keuangan global, harga yang berlaku US$ 450 hingga US$500/m. Produk kayu lapis nasional, katanya, sebenarnya mengalami peningkatan jika dibandingkan
16
Amiluddin dan Isang Gonarsyah, _____, “Analisis Ekonometrika Keragamanan Pasar Kayu Lapis Indonesia dan Dampak Kemungkinan Diberlakukannya Liberalisasi Perdagangan”, http://www.google.com, diakses pada 3 Januari 2012.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
26
2008 yang tercatat 3,6 juta m. Produk kayu lapis ekspor tercatat 3,1 juta rn, angka itu belum termasuk produk kayu lapis yang dikonsumsi di dalam negeri yang jumlahnya 1,5 juta m. Kalau melihat kapasitas kayu lapis yang diekspor pada 2009 tercatat 3.1 juta m memang menurun jika dibandingkan ekspor kayu lapis 2008 yang tercatat 3,6 juta rn1. Produksi kayu lapis nasional pada 2009 tidak turun karena sebagian hasil produksinya sebesar 1,5 juta m1 dijual di dalam negeri. Banyak produsen yang memasarkan kayunya untuk pasar domestik. Sementara itu, pemerintah hendaknya tidak hanya bersikap optimistis akan terjadi kenaikan investasi. Sebaiknya pemerintah mengambil langkah mempersiapkan aturan tentang kemudahan ekspor dan memperbaiki kualitas ekspor kayu yang akan diekspor. Permintaan pasar internasional terhadap kayu lapis Indonesia, tetap tinggi. Namun, apakah hasil produksi kayu nasional memiliki daya saing di pasar internasional, itu yang dipertanyakan. Perusahaannya setiap tahun memperoleh pesanan dari Amerika Serikat sebesar 4.000 rn hingga 5.000 rn. Pada 2010 ada kenaikan permintaan hingga 6.000 in Harganya pun masih lebih baik, bisa mencapai US$550. Daya saing kualitas kayu nasional di pasar global, sebagian besar masih belum memenuhi standar yang ada. 17 Menyimak dari data yang telah disajikan sebelumnya maka dapat diketahui bahwa sebenarnya kualitas kayu lapis Indonesia masih berada di bawah negara pengekspor kayu lapis lainnya. Hal ini disebabkan karena pengkajian yang teliti dari negara pengimpor mengenai asal-usul dari kayu lapis tersebut. Kayu lapis di Indonesia disinyalir berasal dari hutan produksi yang tidak ramah lingkungan, sementara itu isu global yang semakin
17
Erwin Tambunan (Bisnis Indonesia), 2010, “ Ekspor kayu lapis 2010 akan naik 20%”, http://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_form=, diakses pada 3 Januari 2012.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
27
berkembang membawa kecenderungan bagi negara pengimpor untuk membeli kayu dari negara yang penghasil yang ramah lingkungan. Ekspor kayu kini juga dihadapkan dengan tingginya angka illegal logging. Buruknya pola penanganan konvensional oleh pemerintah sangat mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Pola penanganan yang hanya mengandalkan 18 instansi sesuai ketentuan dalam Inpres No.4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah republik Republik Indonesia, dalam satu mata rantai pemberantasan illegal logging turut menentukan proses penegakan hukum, di samping adanya indikasi masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang korup. Kekebalan para dalang / mastermind/ aktor intelektual/ backing/ pemodal/ pelaku utama terhadap hukum disebabkan adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum menjadi dinamisator maupun supervisor dan sebagian bahkan menjadi ‘backing’ bisnis ini. Besarnya uang yang beredar sekitar US$1.3 milyar (WWF/World Bank, 2005), serta banyaknya pihak yang turut menikmati hasil bisnis ilegal ini, punya andil yang cukup besar untuk mempengaruhi proses kegagalan dalam penanganan kejahatan kehutanan seperti illegal logging. Penebangan liar menjadi isu politik utama tidak hanya di Indonesia tetapi juga di beberapa negara importir seperti Jepang dan Inggris. Salah satu perusahaan pengolahan kayu terbesar di Indonesia, Asia Pulp and Paper (APP), baru-baru ini didesak untuk membersihkan praktik penebangan liar setelah sebuah konsumen dari perusahaan besar di Jepang memperingatkan bahwa mereka mungkin akan berhenti membeli kayu lapis dari perusahaan tersebut. Pada perjanjian awal dengan World Wild Fund for Nature (WWF), APP telah memperuntukkan 58.500 hektare dari area konsesinya di Riau untuk area konservasi dan berjanji berbuat sebaik mungkin untuk menghentikan penebangan liar di
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
28
areal mereka. Pada bulan Juni 2003, pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan yang melarang impor produksi kayu dari Indonesia yang berasal dari penebangan liar. Larangan tersebut akhirnya kini telah dicabut. 18 Buruknya pola penegakan hukum dalam menjerat pelaku illegal logging selama ini, semakin mendorong peran CSO yang selama ini memberi perhatian terhadap maraknya tindak pidana illegal logging di Indonesia. Perlu adanya pergeseran yang drastis dalam pola penanganan tindak pidana illegal logging. Strategi tersebut bisa berupa strategi penanganan bersama antara CSO yang selama ini melakukan investigasi di lapangan dan aparat penegak hukum yang berwenang. Baik itu dari segi pendekatan hukum, peningkatan kapasitas aparat maupun keterlibatan masyarakat/ CSO untuk menjerat mastermind pelaku illegal logging. 19 Berdasarkan hasil analisis organisasi non pemerintah FWI dan GFW, dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi. Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang
18
19
Ibid.
Icel, 2006, “Konferensi Nasional Pemberantasan Illegal Logging”, http://www.icel.or.id/., diakses pada 3 Januari 2012.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
29
sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010. Peningkatan kualitas ekspor kayu, maraknya illegal logging yang berakibat pada deforestasi hutan memerlukan suatu manajemen penataan hutan yang profesional. Berdasarkan hal tersebut maka dipopulerkanlah istilah ekolabeling melalui suatu lembaga ekolabel.
Pada tahun 2003, Lembaga Ekolabel Indonesia kemudian ditunjuk untuk
memprakarsai penyusunan definisi “Kayu Sah”. Melalui serangkaian pertemuan yang alot, kemudian ditemukan definisi sah tidaknya kayu. “Kayu disebut sah jika kebenaran asal kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.” Persyaratan kayu yang legal sebagaimana dikemukakan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia merupakan dasar yuridis dari pengusahaan hutan. Kekayaan alam merupakan modal pembangunan nasional sehingga perlu digali dan dimanfaatkan secara optimal. Penggalian kekayaan tersebut harus dilakukan dengan pengusahaan hutan secara modern di seluruh Indonesia. Pengusahaan secara modern ini akan memberikan hasil yang sebesarbesarnya apabila dilaksanakan pada wilayah kerja yang cukup luas sehingga merupakan proyek produksi dan industri hasil hutan. Pengusahaan hutan tidak hanya menjadi monopoli Pemerintah dengan Badan Usaha Milik Negaranya, tetapi keterlibatan pihak swasta juga sangat diperlukan. Pengusahaan hutan sangat diperlukan untuk membangun perekonomian bangsa dan masyarakat. Pemanfaatan sumber daya alam yang ada di hutan ini harus dapat memberikan manfaat bagi kemakmuran rakyat dan senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan agar mampu memberikan manfaat yang terus menerus.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
30
Ekolabeling Sebagai Bentuk Inventarisasi Hutan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonsesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dari rumusan Pasal ini, dapat dilihat bahwa kemakmuran rakyat merupakan tujuan akhir dari penggunaan kekayaan alam sedangkan negara berfungsi sebagai pengelola bukan pemilik. Dengan demikian negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan hutan. Dalam pengelolaan hutan ini, negara dapat bekerjasama dengan lembaga pengelola atau perencanaan di bidang kehutanan dalam menata manajerial dengan melibatkan badan-badan dunia. Tujuannya adalah untuk mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management), seperti International Tropical Timber Organization Forest Management yang diterapkan pada tahun 2003. 20 World Wide Fund for Nature (WWF), telah menyusun target pengelolan hutan berkelanjutan untuk seluruh dunia, yang dimulai pada tahun 1995, dan Forest Stewardship Council (FSC), suatu badan internasional yang dapat memberikan akreditasi dan memantau program sertifikasi, dengan maksud untuk memberikan jaminan kepada pengusahaan pengelolaan hutan agar kegiatannya sesuai dengan standar pengelolaan hutan berkelanjutan dilakukan oleh lembaga ekolabeling. 21 Kebutuhan akan hasil kayu semakin meningkat karena kayu merupakan sumber pemenuhan bagi kebutuhan primer manusia yakni kebutuhan akan perumahan. Pengelolaan
20
Surna T, Djajadiningrat,Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzaman, 1995, Ecolabeling dan Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, Pen. Rena Pariwara, Jakarta, hal. 1. 21
Bambang Pamulardi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 94 dan 98.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
31
terhadap jumlah dan optimalisasi penggunaan kayu ini perlu dilakukan secara tepat, cepat dan terpadu. Oleh sebab itu lembaga-lembaga yang mengatur mengenai hasil hutan berupa kayu mulai bermunculan. Salah satu lembaga trersebut adalah lembaga ekolabeling. Lembaga ekolabeling ini dibentuk oleh negara-negara Barat atau negar-negara industri yang ingin menekan negara-negara yang memiliki hutan tropis agar menghentikan pengambilan aset hutan, karena pengambilan aset hutan yang tidak terkendali akan menimbulkan kerusakan ekosistem. Berdasarkan hal tersebut maka tergambarkan bahwa kegunaan ekolabel adalah untuk membantu konsumen membuat suatu pilihan, karena ekolabel memungkinkan adanya perbandingan antara produk-produk sejenis. Ekolabel yang dapat dipercaya diberikan melalui proses sertifikasi oleh pihak ketiga yang independen untuk menilai bahwa suatu produk diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup. Mengacu pada GATT (General Agreement on Tariff and Trade), ekolabel didasarkan pada non-diskriminasi dan atas dasar sukarela. Dasar sukarela menekankan bahwa sistem sertifikasi bekerja atas dasar insentif pasar. Produsen ikut serta ketika melihat ada insentif pasar
sebagaimana
WTP
bagi
produk-produk
berlabel
atau
kesempatan
untuk
mengembangkan pasaran baru atau mereka tidak melakukan ancaman boikot ketika tidak mendapatkan insentif pasar. Pemilihan kategori produk memasukkan seluruh produk-produk sejenis dan menerapkan standar-standar yang sama guna menghindari diskriminasi perdagangan, hal ini mengacu pada Pasal 7 Kesepakatan Technical Barriers to Trade (TBT) GATT. (LEI, 1994). 22 Tahun 1997 hingga 1998 produk kayu lapis masih merupakan komoditas andalan. Namun mengingat meningkatnya persaingan terhadap produk kayu lapis Indonesia, maka 22
Muhlasin, 2008, “ Ekolabeling, Strategi Bisnis Jitu Peduli Hutan”, http://www.pewartakabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 3 Januari 2012.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
32
produksi kayu lapis massal (raw plywood) diarahkan pada produk kayu lapis yang sudah diproses lebih ke hilir (processed plywood). Persaingan produk kayu-kayu tropis dengan kayu non tropis akan semakin ketat, terlebih dengan diberlakukannya ekolabeling yaitu penggunaan label terhadap produk yang ramah lingkungan. 23 Produk-produk yang dapat diterima di pasaran, terutama di pasar internasional adalah produk yang dihasilkan dari pengelolaan hutan yang ramah lingkungan. Dengan demikian penerapan ketentuan ekolabeling dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan merupakan suatu proses yang perlu terus dikembangkan. Meningkatnya persaingan produk kayu-kayu tropis terhadap kayu non tropis dan bahan substitusinya menuntut pengusaha kehutanan untuk mencari peluang-peluang pasar yang baru. Untuk itu perusahaan kehutanan harus meningkatkan kualitas, efisiensi, diversifikasi pasar dan diversifikasi produk dalam menghadapi persaingan tersebut. Selain kayu lapis, produk pulp dan kertas, produk kayu olahan lanjutan lainnya, hasil hutan non kayu seperti gondorukem, lak dan jasa juga menjadi komoditas andalan karena menunjukkan permintaan yang meningkat. Oleh karena itu para pengusaha juga harus memperhatikan komoditas itu. Diingatkan, walaupun boikot terhadap kayu tropis tidak dibenarkan dalam kesepakatan internasional, tetapi ternyata masih ada kelompok masyarakat dan walikota yang tetap memboikot, antara lain di Jermandan Belanda. Oleh karena itu untuk pasaran Eropa tahun 1997 hingga 1998 perlu diarahkan pada pasaran negara-negara yang masyarakatnya tidak memboikot. Seperti telah diketahui, dalam kesepakatan internasional yang telah dicapai dalam sidang International Tropical Timber Organization (ITTO) 1996
23
Suara Pembaruan, 2009, “Produk Kayu Andalan”,:http://google.com, diakses pada 3 Januari 2012.
Lapis
Masih
Jadi
Komoditas
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
33
yang berkaitan dengan ekolabeling dan perdagangan bebas, tindakan-tindakan unilateral (sepihak) seperti boikot terhadap kayu tropis tidak dibenarkan. Permasalahan yang menyangkut perdagangan kayu tropis harus diselesaikan secara multilateral, bahkan perlu adanya tindakan-tindakan konkrit yang mendorong peningkatan pasaran kayu tropis. Selain itu tidak dibenarkan membedakan perlakuan antara kayu tropis dan kayu non tropis (non discriminatory treatment). Untuk hal ini telah diputuskan dalam sidang-sidang pendukung Intergovernmental Panel on Forest (IPF) tahun 1996. Mengenai pelaksanaan ekolabeling harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing negara serta harus disepakati antara negara produsen dan konsumen. Sedangkan target tahun 2000 yang telah diputuskan dalam sidang ITTO tahun 1992 adalah menyangkut pengelolaan hutan secara lestari atau Sustainable Forest Management (SFM), di mana kriteria dan indikator SFM perlu disusun dan dilaksanakan. Ekolabeling sangat penting dan dibutuhkan oleh Indonesia. Karena sebagai anggota International Tropic Timber Organization (ITTO) yang berkedudukan di Yokohama, Indonesia telah sepakat untuk melaksanakan ekolabeling produk kehutanan mulai tahun 2000. Organisasi kayu tropis dunia (ITTO) yang terdiri dari negara produsen dan konsumen kayu tropis telah menetapkan pemberlakuan ekolabel mulai tahun 2000. Artinya mulai tahun itu seluruh kayu tropis yang diperdagangkan di dunia internasional harus berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Selama beberapa waktu ini, telah disusun tolak ukur pengelolaan hutan yang berwawasan lingkungan, yaitu apakah hutan dikelola secara berkelanjutan, apa dampak pengelolaan tersebut terhadap lingkungan, keanekaragaman hayati, erosi sungai dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah apa dampak pengelolaan hutan itu terhadap masyarakat sekitar hutan, apakah bermanfaat atau tidak. 24
24
Ibid.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
34
Tujuan dari pelaksanaan ekolabeling di Indonesia semula memang untuk menjaga kelestarian hutan tanaman khususnya tanaman Jati di pulau Jawa yang semakin menipis. Dengan pemberlakuan sertifikasi yang persyaratannya sangat ketat, diharapkan pencurian kayu Jati di pulau Jawa bisa teratasi. Perhutani sendiri mulai menjadi anggota SmartWood sekitar tahun 1990 lalu. Pada awalnya semua kawasan hutan tanaman Perhutani disertifikasi. Namun sekitar tahun 1996-1997 dilakukan perubahan kebijakan dari Rainforest Alliance, yaitu sertifikasi diberikan pada tingkat KPH akibat tidak konsistennya kinerja antar KPH dalam sistem Perhutani. Selain Perhutani, di Jateng juga terdapat 32 pengusaha sekaligus eksportir kayu juga menjadi anggota SmartWood. Semula proses kerjasama antara pengusaha sekaligus eksportir kayu, Perhutani dan pihak Rainforest Alliance berjalan lancar dan saling pengertian. Sehingga pihak Rainforest Alliance juga memberikan kepercayaan besar kepada anggotanya untuk mencetak sendiri label SmartWood dengan memberikan master label SmartWood kepada para pengusaha bersangkutan. Ini dilakukan mengingat terbatasnya jumlah personil Rainforest Alliance yang berada di Indonesia. (Kedaulatan Rakyat, 2001-09-20) 25 Lembaga ekolabeling Indonesia berfungsi untuk menilai implementasi prinsipprinsip pengelolaan hutan berkelanjutan atau lestari (hutan alam dan hutan produksi) dengan pemberian sertifikat ekolabel pada produk hasil hutan untuk menjamin bahwa pengelolaan hutan memenuhi standar tertentu. Produk terbuat dari kayu yang berasal dari pengelolaan hutan berkelanjutan, dan proses produksi hutan berkelanjutan. Standar pengelolaan hutan berkelanjutan merupakan baku mutu yang harus dipenuhi oleh pengelola hutan untuk memperoleh sertifikat ekolabel.
25
Redaksi,___, “Ekolabel, Akibatkan Maraknya Pencurian http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130, diakses pada 3 Januari 2012.
Kayu”,
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
35
Sertifikat ekolabel di bidang perkayuan adalah suatu cara untuk memberikan informasi kepada konsumen mengenai produk kayu yang dipasarkan kepadanya dalam bentuk sertifikat ekolabel yang menunjuk bahwa kayu tersebut berasal atau dihasilkan dari konsesi hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Fungsi lembaga ekolabel ini adalah menilai penerapan sistem pengelolaan hutan yang berdasarkan prinsip kelestarian lingkungan hidup yang secara langsung dikaitkan dengan nilai tambah pedagang kayu. 26 Sertifikasi adalah suatu proses pembuktian independen bahwa manajemen hutan telah mencapai tingkatan yang diisyaratkan oleh suatu standar tertentu. Pada beberapa kasus, bila digabungkan dengan suatu rangkaian sertifikasi perlindungan, sertifikasi memungkinkan aliran produk dari suatu hutan tertentu yang telah memiliki sertifikat diberi ecolebel. Sertifikasi telah berkembang dengan luas sebagai respons terhadap konsensus internasional bahwa manajemen hutan lestari merupakan persoalan yang sangat signifikan. Keberhasilan sangat tergantung kepada para konsumen, investor dan pihak-pihak lain yang menyediakan insentif bagi manajer hutan untuk menerapkan manajemen hutan lestari, dengan memilih mebeli produk-produk dari dan menanamkan investasi pada hutan-hutan yang dikelola dengan baik. Ada dua faktor penting agar proses sertifikasi dapat dipercaya: a.
Isi standar sertifikasi harus dipublikasikan untuk masyarakat dan diterima secara luas.
b.
Lembaga sertifikasi (pemberi sertifikasi) harus terbukti independen dan memiliki kemampuan untuk menunjukkan bahwa konsumen benar-benar memenuhi standar. 27
26
Abubakar M. Lahjie, 2005, Ekofoerestri Dalam Panduan Hutan Lestari, Universitas Mulawarman, Samarinda, hal. 28. 27
Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 35.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
36
Sektor kehutanan dan industri kayu serta sektor-sektor pendukung lainnya telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap GDP dan penyerapan tenaga kerja serta peningkatan devisi negara. Andil kehutanan dan industri kehutanan terhadap GDP telah mengingkat secara signifikan dari 4 % tahun 1980an menjadi 8,7 % pada pertengahan tahun 1990. Perkembangan penyerapan tenaga kerja lokal dan luar negeri yang langsung dan tidak langsung terkait dengan berbagai industri perkayuan seperti industri pulp dan paper, furniture, kayu gergajian dan kayu lapis diuraian secara detail dengan data-data yang utuh dan lengkap. Penerapan sertifikasi dan ekolabeling bagi produk-produk kayu industri kehutanan dibahas berkaitan dengan prosedur dan teknis penilaiannya serta lembaga-lembaga independen penilainya (LEI dan FSC).Ada beberapa kebijakan terkait dengan pengelolaan hutan lestari yang dapat dicapai melalui pertumbuhan dan pemerataan, diantaranya: a.
memperbaiki efisiensi pemanfaatan sumber daya,
b.
mendorong daya saing (kompetisi) untuk pasokan bahan baku,
c.
melaksanakan rehabilitasi hutan dan mendorong partispasi kelompok-kelompok kepentingan dalam pengelolaan hutan lestari,
d.
menerapkan secara konsiten sertifikasi hutan dan ekolabeling, dan
e.
pemerintah daerah sebagainya menerima proporsi yang lebih besar terhadap pendapatan dan royalti yang dikumpulkan pemerintah. 28
Semua produk kehutanan dari Indonesia yang akan diekspor ke Jepang harus mempunyai sertifikat dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI). Kebijakan ini diambil pemerintah Jepang melalui Kementerian Pertanian, Perikanan, dan Kelautan Jepang dalam rangka memperketat pengawasan terhadap kegiatan penebangan liar dan ekspor-impor produk hutan yang akan mulai berlaku pada April tahun depan.
28
Subarudi,___, “Forestry and Wood Industry http://puslitsosekhut.web.id/index.php, diakses pada 3 Januari 2012.
on
The
Move”,
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
37
Kebijakan ini diambil Jepang setelah pada pertemuan G8 di Inggris, Pemerintah Jepang menyatakan akan melakukan pengawasan terhadap penebangan liar (illegal logging) yang terjadi di Jepang maupun di luar Jepang yang berkaitan dengan ekspor produk kayu ke Jepang. Indonesia mengekspor produk-produk yang terkait dengan kehutanan ke Jepang berupa kayu dan produk kayu, kertas dan produk kertas, serta pulp dari kayu, yang pada tahun 2004 nilainya mencapai USD1,35 milliar. 29 Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) menentang penghentian penebangan kayu, karena sulit dipertanggungjawabkan secara ekonomi, ekologi dan sosial. Kalau penghentian penebangan kayu diberlakukan, Indonesia akan mengalami krisis neraca perdagangan karena harus mengimpor bahan baku kayu, sehingga ekspor barang yang berbahan baku kayu Indonesia menurun sekitar US$ 5 miliar. 30 Salah satu komponen perencanaan kehutanan yang memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya kerusakan hutan adalah kegiatan inventarisasi hutan. Secara teknis inventarisasi kegiatan kehutanan menurut Abubakar M. Lahjie adalah membentuk dasar untuk manajemen hutan lestari. Inventarisasi ini merupakan penilaian kuantitas dan kualitas sumber daya hutan yang btersedia untuk manajemen. Inventarisasi sumber daya hutan pada alam dilakukan untuk menilai sumber daya kayu, hasil hutan nir kayu, seperti perambat, buah-buahan, kacang-kacangan, bambu dan satwa liar.
29
Redaksi, 2005, ”Ekolabeling ke Jepang”, http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=ind, diakses pada 3 Januari 2012. 30
Drajad H Wibowo, 2003, “Larangan Penebangan Kayu di Jawa Timbulkan Gejolak Ekonomi”, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hidup, diakses pada 3 Januari 2012.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
38
Dalam melakukan inventarisasi hutan perlu mengetahui manfaat yang terdapat dalam inventarisasi. Pelaksanaan inventarisasi umumnya berarti pengukuran pohon-pohon (walaupun mungkin juga mencakup hasil hutan nir kayu dan aspek-aspek lain, tergantung pada informasi yang diperlukan). Suatu sampel pohon diukur dan hasil-hasil pengukuran tersebut di diekstrapolasikan atau dijadikan dasar untuk mengestimasi pohon-pohon lainnya di hutan tersebut dengan mempertimbangkan tipe dan luas. Pengambilan sampel dari proporsi pohon yang cukup besar untuk mewakili seluruh hutan dengan akurat akan memerlukan biaya yang mahal. Tergantung pada sasaran inventarisasi mungkin saja untuk menghimpun informasi yang sama pentingnya dari sumber-sumber lain seperti informasi yang bermanfaat dapat dihimpun dari citra satelit yang ada atau foto udara, perbandingan dengan tegakan-tegakan yang serupa yang telah diinventarisasi dan hasil-hasil penelitian lainnya. Secara teknis kegiatan inventarisasi hutan menjadi tipe-tipe utama inventarisasi adalah inventarisasi pra-pemanenan dan inventarisasi pasca-pemanenan (yang dapat bersifat statis atau dinamis) dan survei persediaan tegakan. Inventarisasi pra-pemanenan bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai spesies-spesies yang terdapat dihutan, berapa jumlahnya dan areal distribusinya serta kisaran ukurannya (ukuran/ kelas/ distribusi). Sementara survei persediaan tegakan tujuannya adalah penarikan sampel 100 persen terhadap semua pohon yang dapat dipanen dengan melebihi batas diameter tertentu. Survei ini dilaksanakan sebelum pemanenan untuk membantu perencaan kegiatan pemanenan. Semua pohon komersial dengan ukuran yang dapat dipanen, dipetakan dan diberi label. Penutup Illegal logging berakibat pada deforestasi hutan. Untuk menanggulangi kerusakan hutan akibat illegal logging maka diperlukan suatu manajemen penataan hutan yang
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
39
profesional. Berdasarkan hal tersebut maka dipopulerkanlah istilah ekolabeling melalui suatu lembaga ekolabel. Ekolabeling atau penandaan hasil hutan ini merupakan bentuk kegiatan inventarisasi hutan yang memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya kerusakan hutan. Kelestarian hutan merupakan tanggung jawab semua pihak karena hutan menyangkut hajat hidup orang banyak. Penerapan ekolabeling
hendaknya diikuti dengan sumber daya manusia yang
berkualitas. Artinya kegiatan ekolabeling ini bukan hanya sekadar pada tahap ekolabel saja namun juga harus disertai dengan pengawasan yang intensif mengenai hasil hutan yang sudah diekolabel. Pengawasan ini tentunya memerlukan koordinasi wewenang yang tegas agar dalam pelaksanaan tersebut nantinya tidak terjadi wewenang yang tumpang tindih.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
40
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Abubakar M. Lahjie, 2005, Ekofoerestri Dalam Panduan Hutan Lestari, Universitas Mulawarman, Samarinda. Bambang Pamulardi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Rahmi Hidayati D. dkk., 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wanaaksara, Tangerang.. Salim, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua) cetakan pertama, Universitas Atma jaya, Yogyakarta. Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Surna T, Djajadiningrat,Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzaman, 1995, Ecolabeling dan Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, Pen. Rena Pariwara, Jakarta. INTERNET Amiluddin dan Isang Gonarsyah, _____, “Analisis Ekonometrika Keragamanan Pasar Kayu Lapis Indonesia dan Dampak Kemungkinan Diberlakukannya Liberalisasi Perdagangan”, http://www.google.com, diakses pada 3 Januari 2012. Drajad H Wibowo, 2003, “Larangan Penebangan Kayu di Jawa Timbulkan Gejolak Ekonomi”, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hidup, diakses pada 3 Januari 2012. Erwin Tambunan (Bisnis Indonesia), 2010, “ Ekspor kayu lapis 2010 akan naik 20%”, http://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_form=, diakses pada 3 Januari 2012. Felicity Williams, 2004, “Asia Pulse Analyst”, http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_ content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldl, diakses pada 3 Januari 2012. Icel, 2006, “Konferensi Nasional Pemberantasan Illegal Logging”, http://www.icel.or.id/., diakses pada 3 Januari 2012. Muhlasin, 2008, “ Ekolabeling, Strategi Bisnis Jitu Peduli Hutan”, http://www.pewartakabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 3 Januari 2012.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
41
Redaksi, 2005, ”Ekolabeling ke Jepang”, http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top &lang=ind, diakses pada 3 Januari 2012. Redaksi,___, “Ekolabel, Akibatkan Maraknya Pencurian Kayu”, http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130, diakses pada 3 Januari 2012. Rully
Syumanda, ____, “ Deforestasi dan Illegal Logging”, http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forestconversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html, diakses pada 3 Januari 2012.
Suara
Pembaruan, 2009, “Produk Kayu Lapis Masih Andalan”,http://google.com, diakses pada 3 Januari 2012.
Jadi
Subarudi,___, “Forestry and Wood Industry on The http://puslitsosekhut.web.id/index.php, diakses pada 3 Januari 2012. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Komoditas Move”,
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
42
PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP PERAN NEGARA DALAM PERLINDUNGAN PEKERJA
I Wayan Gde Wiryawan Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar
[email protected]
Abstract: The existence of Pancasila Industrial Relations in Indonesia, which consists of three parties, namely cedar workers, employers and the government put the government’s role as a representative of the State in a strategic position as a regulator in an attempt to create a harmonious industrial relations. Changes in the state system in Indonesia from the centralized system in the New Order into a decentralized system directly affects the political constellation changes, economic, social and democratic culture becomes more focused on optimizing the role of the State to make the protection of workers' rights in addition to the protection of employers in running business. Autonomy that arise as a result of applying the principle of decentralization in the state system in Indonesia has been explicitly set on the delegation of authority for the protection of workers from central to local government should make the role of local governments to protect workers more optimal because local governments have been aware of the situation and working conditions in the region. The existence of local regulations and policies are directed at the protection of workers within the framework of regional autonomy as well as a form of state intervention in industrial relations between employers and workers parties that became the essence of the theory of the welfare state.
Key words: Pancasila industrial relations, labor protection, regional autonomy
Pendahuluan
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
43
Pada masa orde baru, hubungan industrial ditandai oleh dominasi negara terhadap pekerja yang juga dikenal. dengan "korporatisme eksklusioner negara" 31 dengan sistem hubungan perburuhan yang bersifat kaku. Dominasi negara dalam konsepsi hubungan industrial pada masa orde baru Orde Baru yang memberi perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan ekonomi dalam kerangka pembangunan nasional dilakukan dengan pembatasan atau pengekangan kehidupan politik yang demokratis sehingga berimplikasi pada pengekangan hak-hak pekerja. Kebijakan industrialisasi yang dijalankan pemerintah Orde Baru tersebut menjadi efektif ditunjang dengan kebijakan yang menempatkan stabilitas nasional sebagai tujuan dengan menjalankan industrial peace. Pemerintah orde baru menjadikan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) sebagai dasar dalam kebijakan ketenagakerjaan yang pada masa orde baru ditandai oleh kontrol yang kuat dari negara terhadap pekerja, intervensi negara yang dominan dalam struktur hubungan industrial (tidak melepasnya ke mekanisme pasar) dengan melanggar hak-hak dasar dari pekerja adalah fenomena yang mendominasi kebijakan pada masa orde baru yang berakibat pada ketiadaan perlindungan terhadap pekerja yang telah diatur secara konstitusional. Secara konstitusional negara Indonesia mengakui bahwa tiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai dengan pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Dengan diaturnya perlindungan terhadap pekerja secara konstitusional seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah untuk setiap kebijakannya yaitu diarahkan dalam rangka perlindungan terhadap pekerja, karena
31
Vedi R. Hadiz, “Buruh Dalam Penataan Politik Awal Orde Baru”, Majalah Prisma No.7, Juli 1990, hal. 1. “Korporatisme Ekslusioner” diperkenalkan oleh Alfred Stepan untuk menjelaskan upaya kelompok elite dalam masyarakat untuk meredam dan mengubah bentuk "kelompok-kelompok kelas pekerja yang menonjol" melalui kebijakan yang bersifat koersi. la berbeda dengan "korporatisme inklusioner" yang lebih bercirikan akomodasi dan inkorporasi kelompok-kelompok tersebut oleh negara.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
44
menurut Hilaire Barnett Coustutionalisme is the doctrine which governs the legitimacy of government action. By constituonalisme is meant - in relation to constituons written and unwitten conformity with the broad philosophical values within a state. 32 Konsepsi Hubungan Industrial Pancasila yang terdiri dari pihak pengusaha, pekerja dan pemerintah telah menempatkan posisi pemerintah untuk memerankan posisi sebagai pelindung kepentingan kedua belah pihak dalam sebuah relasi yang mengedepankan prinsip simbiosis mutualisme dan saling membutuhkan. Melalui peraturan perundang-undangan pemerintah memainkan perannya pada dua kepentingan yang saling berlawanan, dan mempertahankan tuntutan masing-masing menjadikan intervensi pemerintah sebagai suatu keharusan. Adanya internvensi dari pemerintah yang mewakili negara dalam hubungan industrial menjadi wujud nyata dari konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut oleh Negara Republik Indonesia. Ide dasar dari tipe negara ”verzorgingsstaat” atau ”welfare state” tersebut adalah negara menjamin kesejahteraan umum para warganya dengan cara menyusun suatu program kesejahteraan sosial (de overheid stelt zich garant voor het collectieve sociale welzijn van haar burgers door middel van een programma van sociale voorzieningen). 33 Negara kesejahteraan (welfare state) memberikan gambaran bagaimana keadilan dan kesejahteraan diwujudkan dalam masyarakat. Secara tidak langsung, fungsi hukum diarahkan sebagai alat untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur yang dalam perspektif negara kesejahteraan adalah menciptakan jaminan perlindungan kepada setiap
32
33
Hilaire Barmett, 2000, Constituonal & Administrative Law, fourth edition, Landon, Sydney, hal. 5.
Schuyt & Veen (1986) dalam Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta hal. 19.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
45
lapisan masyarakat atas pemenuhan kebutuhan masing – masing lapisan masyarakat tidak terlaksana pada masa orde Baru. Berakhirnya Orde Baru dengan lahirnya “gerakan reformasi 1998” yang bertujuan untuk melakukan perubahan disegala bidang diantaranya dalam sistem pemerintahan daerah dan hubungan industrial. Reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada adanya pengaturan secara konstitusional penyelenggaraan pemerintah daerah dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur bahwa: Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut asas otonomi daerah dalam UUD 1945 berakibat pada terbitnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah untuk mengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang PokokPokok Pemerintahan Di Daerah yang dinilai dan dirasakan orang sangat sentralistik. Secara eksplisit Bagian Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 pada ininya menjelaskan bahwa prinsip otonomi daerah pada intinya adalah untuk memberikan keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta keserasian hubungan antara pusat dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah. Sistem otonomi daerah telah membawa banyak perubahan positif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Hal ini tentunya tidak terlepas dari tujuan pemberian otonomi untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
46
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya perubahan sistem penyelenggaraan pemerintah daerah tidak secara langsung menyebabkan adanya peningkatan kesejahteraan pekerja di setiap daerah di Indonesia. Kenyataan tersebut menyebabkan Reformasi Ketenagakerjaan memang sebuah keniscayaan untuk mengakhiri peninggalan orde baru yang memasung hak–hak pekerja untuk kepentingan pengusaha semata. Selama orde baru hubungan industrial dikendalikan secara “ketat” oleh pemerintah, yang merupakan bagian dari agenda pertumbuhan ekonomi yang lebih menekankan pada upaya menarik investasi asing dan pertumbuhan industri baru daripada penegakkan hak–hak buruh 34 menjadi salah satu faktor keterpurukan kesejahteraan para pekerja di Indonesia. Ditetapkannya Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi landasan normatif untuk adanya peningkatan perlindungan terhadap pekerja di Indonesia yang tidak dapat terlepas dari sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang telah menjadikan prinsip otonomi sebagai asas penyelenggaraannya pada kenyataannya sampai saat ini belum optimal. Fenomena tersebut menjadi titik tolak dalam melakukan analisis terhadap pengaruh otonomi daerah dalam perlindungan pekerja.
Peran Negara dalam Teori negara
Kesejahteraa (welfare State) terhadap
Perlindungan Pekerja 34
Alan J. Boulton, 2002, Struktur Hubungan Industrial di Indonesia Masa Mendatang, Kantor Perburuhan Internasional, Jakarta, hal. 10.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
47
Perkembangan konsepsi negara hukum diawali dengan konsep Negara Hukum Formil (formele rechtstaat) yang lebih mengutamakan bentuk daripada isi. Negara hukum formil tidak memperdulikan kandungan moral kemanusiaan yang harus terdapat didalamnya. Dengan karakteristik tersebut maka negara hukum menjadi identik dengan bangunan peraturan perundang-undangan dan kualitasnya hanya ditentukan oleh ketundukannya pada hukum. 35 Negara hukum yang hanya dikonstruksikan sebagai bangunan hukum dengan pemisahan antara negara hukum sebagai struktur politik dan sebagai organisasi hukum tidak bertahan lama karena modernisasi, industrialisasi menciptakan problem-problem sosial besar dan baru seperti perlindungan terhadap pekerja yang tidak ada padanan sebelumnya. Negara modern harus menghadapi perluasan tugas publik yang luar biasa sehingga negara tidak dapat lagi berhenti hanya menjadi negara hukum formal dan hanya berpangku tangan dengan alasan tidak dapat mencampuri urusan masyarakat, sesuai dengan semboyan liberal ”laissez faire, laissez aller”. Dengan menyerahkan segalanya kepada aktivitas dan inisiatif individu dan mencegah campur tangan kekuasaan publik, maka kesejahteraan umum akan tercipta dengan sendirinya. 36 Sehingga Perkembangan konsep nachwakersstaat tidak dapat membawa masyarakat kearah kemakmuran, indikasi ini terlihat dari berbagai aspek dalam masyarakat. 37 Pada masa selanjutnya perkembangan industrialisasi menciptakan jurang-jurang lebar dalam masyarakat, menciptakan stratifikasi sosial yang cukup dahsyat yaitu perbedaan kesejahteraan antara pengusaha dan pekerja. Keadilan dalam pembagian kekayaan terasa sangat timpang, sehingga muncul potret-potret ketidakadilan sosial. 35
Satjipto Rahardjo, op.cit., hal. 2. Ibid, hal. 18. 37 Muhammad Siddiq, 2009, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 55. 36
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
48
Dalam suasana demikian maka dirasakan perlunya campur tangan kekuasaan publik untuk mencegah kemerosotan lebih jauh dalam kualitas hidup anggota masyarakat. Ide dasar tentang perlunya campur tangan kekuasaan publik dalam penyelenggaraan kesejahteraan ini pertama kali dikemukakan oleh Beveridge, seorang Anggota Parlemen Inggris dalam laporannya (Beveridge Report), yang mengandung suatu program sosial tentang: 38 1. 2. 3. 4. 5.
memeratakan pendapatan masyarakat; usaha kesejahteraan sosial sejak manusia lahir sampai meninggal; mengusahakan lapangan kerja yang seluas-luasnya; pengawasan upah oleh pemerintah; usaha dalam bidang pendidikan disekolah-sekolah, pendidikan lanjutan/latihan kerja, dan sebagainya.
Adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat juga ditegaskan oleh John Maynard Keynes menganjurkan bahwa pemerintah dapat mencampuri kegiatan ekonomi rakyat dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Oleh karena itu munculah konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) atau negara hukum modern atau negara hukum materiil yang ciri-cirinya sebagai berikut: 39 1. Dalam negara hukum kesejahteraan yang diutamakan adalah terjaminnya hak-hak asasi sosial-ekonomi rakyat; 2. Pertimbangan-pertimbangan efisiensi dan manajemen lebih diutamakan dibanding pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peranan eksekutif lebih besar daripada legislatif; 3. Hak milik tidak bersifat mutlak; 4. Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan atau sekedar penjaga malam (nachtwakerstaat), melainkan negara turut serta dalam usaha-usaha sosial maupun ekonomi; 5. Kaedah-kaedah hukum administrasi semakin banyak mengatur sosial ekonomi dan membebankan kewajiban tertentu kepada warganegara; 6. Peranan Hukum Publik condong mendesak Hukum Privat, sebagai konsekwensi semakin luasnya peranan negara; 7. Lebih bersifat negara hukum materiil yang mengutamakan keadilan sosial yang materiil pula.
38 39
Muchsan, 1981, Peradilan Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hal.1. Mac Iver, 1984, Negara Modern, terjemahan Moertono, Aksara Baru, Jakarta, hal. 4.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
49
Ide tentang perlunya campur tangan pemerintah demi kesejahteraan masyarakat telah menginspirasi gerakan-gerakan hak sosial (welfare right movement) yang terjadi pada Abad ke-20 yang memasukan hak-hak kesejahteraan sosial kedalam hak-hak rakyat yang harus dipenuhi oleh suatu negara hukum. 40 Pada Tahun 1930-1945 di Belanda telah dibangun dasar-dasar bagi usaha untuk membangun negara kesejahteraan tersebut yang dilakukan dengan cara: (1) melindungi orang-orang terhadap risiko bekerjanya industri modern, seperti kecelakaan perburuhan; (2) jaminan penghasilan minimum, juga karena sakit, kehilangan pekerjaan dan masa tua; (3) menyediakan sarana yang dibutuhkan oleh setiap orang agar dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat, seperti perumahan, pendidikan dan kesehatan; (4) memajukan kesejahteraan individu, seperti penyaluran aspirasi politik, kebudayaan olah raga dan sebagainya. 41 Tuntutan tentang peran pemerintah dalam aspek kehidupan masyarakat dalam negara kesejahteraan dalam hubungan industrial secara konkrit diwujudkan dalam perlindungan terhadap pekerja dalam hubungannya dengan pengusaha. Pentingnya perlindungan terhadap pekerja tersebut karena pihak pekerja memiliki posisi tawar (bergaining position) yang lemah berhadapan langsung dengan pengusaha yang kuat. 42 Sehingga peran pemerintah diperlukan untuk melakukan campur tangan dengan tujuan mewujudkan hubungan perburuhan yang adil melalui peraturan perundang-udangan dan kebijakan. 43 Perlindungan dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntunan maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis
40
Ibid. Satjipto Rahardjo, loc.cit. 42 Eggy Sudjana, 2005, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, Renaissan, Jakarta, hal. 1 43 Lalu Husni, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 12 41
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
50
serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja 44 yang menurut Imam Soepomo pelindungan pekerja itu dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: 45 a. Perlindungan ekonomis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usahausaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial. b. Perlindungan Sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pada umumnya dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga atau yang biasa disebut kesehatan kerja. c. Perlindungan Teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat lainnya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan ini disebut dengan keselamatan kerja.
Hakekat Perlindungan Terhadap Pekerja Tujuan negara hukum adalah perlindungan hukum terhadap hak-hak dan kebebasan asasi manusia warga negaranya untuk mewujudkan kesejahteraan umum, perlindungan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang. 46 Konsep Rechstaat maupun rule of Law salah satu unsur pokoknya adalah perlindungan hukum yang salah satunya adalah perlindungan HAM disamping unsur-unsur yang lainnya, karena membicarakan HAM berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia 47 Dalam negara kesejahteraan peran negara pada intinya diarahkan pada upaya perlindungan hukum terhadap warga negaranya agar tujuan dari negara kesejahteraan tersebut dapat tercapai. Teori Perlindungan Hukum dari Philipus M. Hadjon, yang tertuang dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, mengartikan 44
Zaenal Asikin dkk, 2010, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 96 Ibid, hal.97 46 A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 44. 47 Majda El-Muhtaj, 2009, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 45
hal. 1.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
51
perlindungan hukum bagi rakyat setara dengan “rechtsbescherming van de burgers tegen de overheid” dalam kepustakaan Belanda dan “legal protection of the individual in relation to act of administrative authorities”. 48 Dengan menggunakan konsepsi barat sebagai kerangka berpikir dengan landasan pijak pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila. 49 Pada bagian lain Philipus M. Hadjon juga menyatakan bahwa perlindungan hukum selalu berkaitan dengan dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian, yakni: Kekuasaan pemerintahan
dan
kekuasaan
ekonomi.
Dalam
hubungannya
dengan
kekuasaan
pemerintahan, permasalahan perlindungan hukum adalah menyangkut perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah) terhadap yang memerintah (pemerintah). Sedangkan permasalahan perlindungan hukum ekonomi adalah perlindungan silemah terhadap sikuat, misalnya perlindungan buruh terhadap pengusaha. 50 Adanya kewajiban negara dalam melaksanakan hak konstitusional, maka negara dituntut untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dan seluas-luasnya kepada masyarakat dan akhirnya akan pasti muncul dua gejala yakni pertama, campur tangan pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat sangat luas; kedua, dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan sering digunakan asas diskresi 51 karena pada kenyatannya di Indonesia, persoalan hubungan industrial tidaklah dapat direduksi menjadi hubungan produksi antara kelas pekerja dengan kelas pengusaha saja tetapi haruslah dilihat dalam kaitannya dengan 48
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
hal.1. 49
Ibid, hal. 20. Philipus M. Hadjon, “Perlindungan Hukum Dalam Negara Pancasila”, Simposium Politik, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Hukum, Lustrum VIII, Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hal.1. 51 Wayan Gde Wiryawan, ”Perjuangan Hak Pekerja Buruh”, Makalah dalam Ceramah di Lembaga Bantuan dan Perlindungan Hukum, Federasi Serikat Pekerja Mandiri Bali, Denpasar, 28 Oktober 2008. 50
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
52
hubungan antara negara (state) dengan masyarakat sipil (civil society) yang lebih kompleks. Hal tersebut disebabkan secara realita bahwa sangat banyak persoalan–persoalan ketenagakerjaan yang terjadi, seperti pembayaran upah tidak tepat waktu, upah yang sangat rendah, penundaan pembayaran upah, pemotongan upah yang memiliki dampak sosial yang sangat luas sehingga mendesak negara untuk terlibat didalamnya. Timbulnya reaksi–reaksi dari pekerja seperti demonstrasi, pemogokan yang akan mempengaruhi perekonomian Negara Indonesia merupakan fakta empiris yang tidak terbantahkan akibat lemahnya perlindungan pemerintah terhadap pekerja. Relevansi Otonomi Daerah Terhadap Kesejahteraan Pekerja Pada prinsipnya perlindungan terhadap pekerja merupakan salah satu pelaksanaan kewajiban negara untuk melindungi pekerja yang merupakan bagian dari HAM diarahkan pada peningkatan kesejahteraan pekerja yang akan berkorelasi langsung pada peningkatan terhadap harkat dan martabat pekerja. secara prinsipiil Frans Magnis Suseno menjabarkan tentang hakekat kesejahteraan yang dikaji dalam dua perspektif yaitu pertama, secara negatif yaitu tercapainya kesejahteraan tersebut jika telah terbebas dari perasaan lapar dan kemiskinan, kecemasan akan hari esok, bebas dari perasaan takut dan tertindas apabila diperlakukan tidak adil; kedua secara positif, kesejahteraan tersebut akan tercapai jika telah terjadi seseorang merasa aman, tenteram, selamat; apabila ia dapat hidup sesuai dengan citacita dan nilai-nilainya sendiri, merasa bebas untuk mewujudkan kehidupan individual dan sosialnya sesuai dengan aspirasi-aspirasi dan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya, apabila kemampuan dan kreativitasnya meskipun terbatas bisa dikembangkan dan apabila ia merasa tenang dan bebas. Adanya kewajiban konstitusional dari pemerintah untuk melindungi hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia secara eksplisit telah diatur dalam pasal 8
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
53
UU No. 39 Th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa melindungi, memajukan dan menghormati Hak Asasi Manusia termasuk hak atas pekerjaan merupakan kewajiban pemerintah. Hal tersebut menjadikan pemerintah telah memiliki legitimasi yang kuat dalam upaya perlindungan terhadap pekerja. Dari uraian diatas telah ditunjukan bahwa secara limitatif arah perlindungan terhadap pekerja adalah perlindungan atas hak kesejahteraan dari pekerja akan dapat tercapai jika aspek-aspek dalam hubungan industrial telah berorientasi pada perlindungan terhadap pekerja. Secara normatif aspek-aspek hubungan industrial tersebut telah diatur dalam pasal 39 UU No. 39 th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu: (1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak. (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama. (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjarmin kelangsungan kehidupan keluarganya Uraian secara filsafati, konstitusional, teoritis dan normatif terhadap perlindungan pekerja yang pada prinsipnya diarahkan pada tercapainya kesejahteraan pekerja yang menyangkut berbagai aspek yang telah diatur dalam UU No. 13 Th. 2003 tentang Ketenagakerjaan menurut Zaenal Asikin meliputi aspek-aspek yaitu: 52 1. Perlindungan hukum, yaitu apabila dapat dilaksanakan peraturan perundangundangan dalam bidang ketenagakerjaan yang mengharuskan atau memaksakan majikan bertindak sesuai dengan perundang-undangan tersebut dan benar-benar dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait. 2. Perlindungan ekonomi, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya. 52
Zaenal Asikin, op.cit, hal. 76
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
54
3. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan mengembangkan perikehidupannya sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat. 4. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang ditimbulkan atau berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja.
Aspek perlindungan terhadap pekerja dalam rangka mewujudkan kesejahteraan yang kompleks dan tidak akan dapat ditangani secara komprohensif oleh pemerintah pusat telah disadari oleh pemerintah pada zaman orde lama. Terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1958 Tentang Kesejahteraan Buruh yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah 1956 (Undangundang No. 1 tahun 1957) adalah bukti kesadaran tentang pentingnya peran pemerintah daerah untuk ikut aktif dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja karena pemerintah daerah yang paling mengetahui situasi dan kondisi masing-masing daerah. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1958 secara tegas mengatur bahwa: (1) Daerah-daerah diserahi urusan-urusan kesejahteraan buruh. (2) Yang dimaksud dengan urusan-urusan kesejahteraan buruh ialah usaha-usaha untuk memajukan kesejahteraan buruh di dalam maupun di luar perusahaan dengan jalan: a. Memberi bantuan dalam penyelenggaraan asrama/pemondokan buruh, perumahan buruh, balai istirahat buruh, balai pertemuan buruh, keolah-ragaan buruh, hiburan buruh, tempat penitipan kanak-kanak/bayi-bayi buruh, pemberantasan buta huruf dan pendidikan umum di kalangan buruh, dan usaha-usaha lain dalam lapangan kesejahteraan buruh, sejauh soal-soal tersebut dengan Undang-undang/peraturan tidak dibebankan kepada pengusaha; b. Memberi bimbingan kepada usaha-usaha kesejahteraan buruh; c. Memberi ceramah-ceramah dan kursus-kursus tentang kesejahteraan buruh. (3) Untuk menjalankan usaha-usaha untuk memajukan kesejahteraan buruh tersebut di ayat (2) dapat didirikan badan-badan yang bertujuan menyelenggarakan perbaikan kesejahteraan buruh, baik oleh Daerah sendiri maupun bersama-sama dengan buruh dan pengusaha. Adanya fakta tentang kegagalan pemerintah pada masa orde baru untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja dalam hubungan industrial Pancasila tidak terlepas dari
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
55
adanya upaya mengabaikan aspek-aspek internal dari daerah-daerah yang ada di Indonesia yang secara langsung berpengaruh terhadap eksistensi hubungan industrial pancasila semakin menunjukan besarnya peran pemerintah daerah dalam upaya perlindungan terhadap pekerja. Upaya standarisasi pola kesejahteraan dengan konsep sentralisasi telah gagal untuk menciptakan kesejahteraan pada pekerja di masing-masing daerah. Kenyataan tersebut secara tegas diungkapkan oleh B.J. Habibie mengkonstatir dampak negatif sentralisasi kekuasaan dibidang ekonomi dan politik sebagai berikut: Masyarakat luas sudah mengetahui bahwa Sentralisasi kekuasaan ekonomi dan politik telah menimbulkan kesengsaraan masyarakat didaerah. Sentralisasi hanya menguntungkan mereka yang dekat dengan kekuasaan ataupun konsentrasi ekonomi dengan jumlah pengusaha besar di pusat. Belum lagi dengan berbagai kebocoran dari dana pembangunan yang ada, masyarkat semakin menuntut agar mekanisme pembangunan direvisi secara substansial. 53
Momentum reformasi yang diarahkan pada adanya otonomisasi pada pemerintah daerah yang diberikan kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan semua urusan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan, karena pada hakikatnya otonomi daerah diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara normatif dalam pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur bahwa Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan atas 53
A.W Praktiknya Raja, 1999, Pandangan Dan Langkah reformasi B.J. Habibie, PT, Gafindo Persada, Jakarta, hal. 218.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
56
hak, wewenang dan kewajiban tersebut dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembatuan. Kebijakan desentralisasi dibidang ketenagakerjaan yang dimulai pada awal tahun 2001 tidak dapat terlepas dari pelaksanaan prinsip otonomi daerah yang telah diatur didalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonum yang secara tegas dalam pada pasal 3 ayat (5) butir 8 ditentukan pembagian kewenangan kepada daerah dalam bidang ketenagakerjaan yaitu Penetapan pedoman jaminan kesejahteraan purna kerja, dan Penetapan dan pengawasan atas pelaksanaan upah minimum. Hakekat otonomi yang diarahkan agar pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan potensi sumber daya keuangan secara optimal seharusnya dapat menjadikan pemerintah daerah dapat melakukan mengeluarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan baik berupa peraturan perundang-undangan (legistative policy) maupun berupa peraturan-peraturan pelaksanaan (bureaucracy policy) yang dimaksudkan untuk memperkuat substansi dari hak konstitusional karena di negara hukum modern (negara kesejahteraan) negara berkewajiban untuk menjamin pelaksanaan hak konstitusional itu. Penutup Secara konstitusional perlindungan pekerja merupakan bagian dari perlindungan terhadap Hak Asasi manusia dalam sistem negara hukum modern (welfare state) telah
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
57
memposisikan pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk melindungi pihak pekerja dan pengusaha dalam Hubungan Industrial Pancasila, dimana hakekat perlindungan terhadap pekerja diarahakan pada perlindungan terhadap kesejahteraan untuk menuju peningkatan harkat dan martabat pekerja. Sistem penyelenggaraan pemerintah daerah yang didasarkan pada prinsip otonomi daerah yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk dapat menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan baik berupa peraturan perundang-undangan (legistative policy) maupun berupa peraturan-peraturan pelaksanaan (bureaucracy policy) yang diarahkan pada peningkatan aspek perlindungan pekerja yang meliputi perlindungan hukum, ekonomi, sosial dan teknis demi peningkatan kesejahteraan karena pemerintah daerah yang paling mengetahui potensi daerahnya masingmasing.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
58
DAFTAR PUSTAKA
BUKU A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang A.W Praktiknya Raja, 1999, Pandangan Dan Langkah reformasi B.J. Habibie, PT, Gafindo Persada, Jakarta Alan J. Boulton, 2002, Struktur Hubungan Industrial di Indonesia Masa Mendatang, Kantor Perburuhan Internasional, Jakarta Eggy Sudjana, 2005, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, Renaissan, Jakarta
Hilaire Barmett, BA, LL.M, 2000, Constituonal & Administrative Law, fourth edition, Landon. Sydney
Lalu Husni, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta Mac Iver, 1984, Negara Modern, terjemahan Moertono, Aksara Baru, Jakarta Majda El-Muhtaj, 2009, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta Muchsan, 1981, Peradilan Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta Muhammad Siddiq, 2009, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta Zaenal Asikin dkk, 2010, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta PERTEMUAN ILMIAH Philipus M. Hadjon, “Perlindungan Hukum Dalam Negara Pancasila”, Simposium Politik, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Hukum, Lustrum VIII, Universitas Airlangga, Surabaya, 1994.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
59
Vedi R. Hadiz, “Buruh Dalam Penataan Politik Awal Orde Baru”, Majalah Prisma No.7, Juli 1990 Wayan Gde Wiryawan, ”Perjuangan Hak Pekerja / Buruh”, Makalah dalam Ceramah di Lembaga Bantuan dan Perlindungan Hukum, Federasi Serikat Pekerja Mandiri Bali, Denpasar, 28 Oktober 2008.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
60
FILSAFAT PRAKTIS DALAM TATARAN KONSEP ETIKA BAGI PENDIDIK, SUATU TINJAUAN PRAMAGTIS TENTANG TOXIC WORLD SEBAGAI SALAH SATU PENYEBAB AWAL ANAK BERDELIKUENSI Vieta Imelda Cornelis Dosen dpk Universitas Kartini
[email protected]
Abstract: Functions of National Education is to develop skills and form the character and civilization of the nation's dignity in the context of the intellectual life of the nation that aims for the development of potential learners in order to become a man of faith & fear of God Almighty.Under UU No.20 tahun 2003 on National Education system there are nine pillars of character education that serves to develop skills & shaping the character of the nation worthwhile. And as penunjuang required special attention to the sources of the indicator is less successful character education such as strengthening the ethical dimension, educational value indicator and moral Control of Toxic World
Key words :Functions of National Education, National Education system , moral Control of Toxic World
Pendahuluan Negara Indonesia membangun pendidikan nasionalnya berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,bahkan dalam Undang undang no 20 Tahun 2003 , Tentang Sistem pendidikan Nasional menjelaskan pada pasal 3 bahwa : Fungsi pendidikan Nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, ,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia,sehat,berilmu ,cakap,kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Di lihat dari
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
61
pernyataan pada pasal 3 apa yang telah di ciptakan oleh penentu kebijakan rasanya sudah sangat sempurna bahkan jauh dari cacat akan nilai nilai murni pembangunan pendidikan sebagai fungsi dan tujuan yang termaksud dalamPendidikan Nasional.Dengan demikian ,untuk pencapaian tujuan dari undang-undang itu yaitu perkembangan potensi peserta anak didik perlu di susun rancangan yang menghimpun segala aspek tersebut,yang secara formal yaitu menyediakan kondisi,sarana/prasarana kegiatan pendidikan dan kurikulum
yang
mengarah kepada pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa yang memiliki landasan yuridis yang kuat,hal ini tercipta ketika di tahun-tahun reformasi bangsa kita telah terjadi kemorosotan moral,perilaku,penggunaan kata yang buruk, egois, menurunnya rasa cinta tanah air,merusak kepentingan publik,ketidakjujuran,sarayang tanpa kita sadari telah terjadi krisis akhlak yang menerpa
semua lapisan masyarakat,tidak
terkecuali juga pada anak anak usia dini dan usia sekolah. Menyikapi hal tersebut ,telah di lakukan upaya-upaya pencegahan dari parahnya krisis akhlak ,upaya tersebut mulai di rintis melalui pendidikan karakter bangsa. Pendidikan Karakter Bangsa mulai di susun oleh para ahli pendidikan, para penentu kebijakan dan para pemerhati pendidikan.Para pakar pendidikan mengembangkan setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda dalam mengaplikasikan Pemberian pendidikan karakter bangsa di sekolah yaitu pertama pendidikan karakter bangsa di berikan berdiri sendiri sebagai mata pelajaran ,kedua pendidikan karakter
bangsa
di berikan secara
integrasi dengan mata pelajaran Pkn,pendidikan agama dan mata pelajaran yang relevan ,ketiga pendidikan karakter bangsa yang terintegrasi dalam semua pelajaran.Karakter menurut
Pusat
Bahasa
Depdiknas
adalah
bawaan
hati,jiwa
kepribadian,budi
pekerti,perilaku,personalitas,sifat ,tabiat,tempramen ,watak sedangkan berkarakter adalah kepribadian,berperilaku,bertabiat dan berwatak sehingga dapat di simpulkan berkarakter mengacu pada serangkaian sikap,perilaku,motivasi dan ketrampilan.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
62
Di Indonesia berdasarkan pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional, menyebutkan ada 9 pilar pendidikan karakter yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa yang bermartabat yaitu; ( 1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaannya.( 2) Tanggung jawab dan kedisiplinan dan kemandirian ( 3) kejujuran /amanah dan kearifan (4) hormat dan santun( 5) dermawan dan suka menolong dan gotong royong/kerjasama (6) percaya diri,kreatif dan bekerjasama.( 7) kepimpinan dan keadilan (8) baik dan rendah hati (9) Toleransi Kedamaian dan kesatuan. Meskipun pendidikan berkarakter sudah sejak lama diwacanakan dalam dunia pendidikan indonesia tapi baru di tahun 2010/2011 meski sangat terlambat kementerian pendidikan
nasional kembali menggiatkan wacana pendidikan berkarakter
untuk
mentuntaskan peliknya masalah pendidikan di indonesia. Solusi yang diaplikasikan ketika pendidikan berbasis berkarakter di sisipkan ke kurikulim dan silabus sebagian pendidik bingung menentukan pengertian berkarakter itu sendiri,kebingungan menyusun kurikulum yang harus menyisipkann pembentukan karakter siswa siswi didik merupakan potret nyata bahwa selama ini pendidikan di negara kita hanya bisa mencerdaskan otak namun gagal menciptakan siswa siswi yang berkarakter,dunia pendidikan terlalu sibuk menciptakan kecerdasan dan memberikan beban pelajaran super berat dan banyakpadahal dengan beban pelajaran yang tinggi energi guru dan siswa terbuang percuma krewna hanya 10 persen siswa yang mampu mengikuti pelajaran sedangan siswa dengan kemampuan dibawah rata rata dan tidak memiliki nilai akademis tinggi yang menempati porsi terbesar di negara kita di abaikan sehingga tanpa sadar kita telah menciptakan jurang dikotomi terhadap hak hak pendidikan yang layak bagi 90 persen komunitas ini. Menurut Comissioner KPAI Apong Herlina dalam workshop penyelarasan persektif penangan anak yang berhadapan dengan hukum melalui upaya restoratif justice di
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... jawatenga dan DIY,dari data yang di kumpulkan
di tahun 2004
63
jumlah anak yang
bermasalah dengan hukum mencapai 11 ribu anak,dan rata rata tiap tahun sekitar 7 ribu anak harus menjalani persiapan persidangan akibat terlibat berbagai tindakan pidana dan hampir 90 persen di antara anak anak tersebut harus melewatkan masa bermainnya di penjara baik sebelum ( tahanan sementara) atau sesudah putusan. 54 Lembaga pemasyarakatan di bawah tahun 90 penghuninya kebanyakan berusia 4060 tahun tapi setelah tahun 90 sampai sekarang lembaga pemasyarakatanpenjara penjara di isi oleh anak anak remaja berusia 14-25 tahun. Sungguh prihatin melihat perkembangan generasi indonesia dari tahun ke tahun bila di evaluasi secara kasat mata dan data dari comissioner KPAI apong Herlina begitu banyak dan semakin meningkat anak yang bermasalah dengan hukum menunjukan indikasi sistem pendidikan di negara kita telah menghasilkan generasi yang gagal dan bahkan cenderung bermasalah ketimbang yang unggul di tiap jenjang mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Sekolah yang mengklaim sebagai lembaga pendidikan ternyata tidak melakukan proses pendidikan melainkan hanya sebagai lembaga yang memaksa anak untuk mengikuti kurikulum yang kaku ,guru lebih suka memberikan pelajaran daripada mendidik dan melakukan pendekatanpsikologis untuk membantu memecahkan masalah anak didiknya,dan tidak merasa bertanggung jawab dan melempar tanggung jawabnya kepada orang tua dengan alasan waktu yang terbanyak dari anak adalah di rumah bukan di sekolah.danhal yang memperburuk keadaan pemerintah yang bertanggungjawab di bidang pendidikan hanyas mementingkan nilai ,angka angka pada ujian tertulis. Pemerintah seakan akan menujtup mata terhadap menurunnya perilaku moral, rusaknya anak anak sekolah dan meningkatnya kekerasan dikalangan remaja seperti tawuran,pemerkosaan bahkan sampai 54
Surat kabar,suara merdeka.16 Maret 2011
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
64
pembunuhan.ukuran keberhasilan yang dipentingkan adalah indikator nilai nilai di atas kertas ulangan dari pada indikator moral yang nantinya merupakan modal hidup anak yang berkarakter di lingkungan,akibatnya kita dapat menjumpai ada siswa yang pintar di kelas tapi moralnya sangat rendah ada juga yang yang nilainya rata rata mengalami depresi dan di tambah standar moral yang rendah mengakibatkan berpikir pendek untuk bunuh diri karena minder dengan nilai di sekolah yang rendah. Melihat masalah yang
kompleks dalam dunia pendidikan kita ,haruskah kita
berdiam diri atau ikut ikut tidak peduli adakah yang salah dari legalitas umndang undang yang sudah di aplikasikan
oleh penentu kebijakan pendidikan, apa sebenarnya yang
menjadi sumber indikator kurang berhasilnya Pendidikan yang berkarakter? Penguatan Dimensi Etika Kalau kita cermati kembali secara terminologis pengertian Karakter menurut Pusat Bahasa
Depdiknas
adalah
perilaku,personalitas,sifat
bawaan
hati,
,tabiat,tempramen
jiwa
,watak
kepribadian, sedangkan
budi
berkarakter
pekerti, adalah
kepribadian,berperilaku,bertabiat dan berwatak sehingga dapat di simpulkan berkarakter mengacu pada serangkaian sikap,perilaku,motivasi dan ketrampilan.ini berarti penguatan dimensi etika yang berpedoman oada moral pada peserta didik harus di bina dalam perilaku pendidik sebagai pada setiap aktifitas mendidik.Pendidik yang di maksudkan dalam tulisan ini adalam pendidik di sekolah ( guru) maupun Pendidik di rumah ( keluarga) sebagai harmonisasi pendidikan. Etika bukan hal yang baru di dunia ilmu pendidikan karana etika merupakan salah satu cabang dari filsafat ilmu. Secara umum etika dapat di mengerti sebagai cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku manusia yang di lakukan dengan sadar di lihat dari sudut yang baik dan
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
65
buruk.Etika di samakan artinya dengan filsafat kesusilaan atau filsafat moral juga filsafat nilai( aksiologi) oleh karena itu etika sering di sebut filsafat praktis. 55 Filsafat Praktis adalah ruang lingkup Filsafat yang
di ajarkan oleh Aristoteles
sebelum abad ke 20,pada zaman klasik.Aristoteles adalah murid Plato,menurut Aristoteles ruang lingkup Filsafat meliputi : 1. Logika 2. Filsafat
Teoritis
:
Ilmu
pengetahuan
alam,matematika,,metafisika(
filsafat
kosmologi) 3. Filsafat Praktis : Etika,Politik,EkonomiFilsafat hukum.merupakan bagian daripada Filsafat etika (yang mengatur tingkah laku manusia tentang hal hal yang baik dan buruk)bagian yang lainnya dari filsafat etika adalah kesopanan, kesusilaan dan agama. 4. Poetika (aestetika) misalnya kesenian dan lain sebagainya. Sejarah filsafat juga mencatat setelah aliran klasik tentang etika pada zaman Modern di saat muncul aliran rasionalisme empiris Immanuel kant mempertegas posisi pemikiran tentang etika.Immanuel kant membagi filsafat yunani dalam tiga bagian yaitu : 1.
Logika ; berkaitan dengan bentuk pemahaman ratio.
2.
Fisika ; terkait dengan persoalan hukum alam( law of nature).
3.
Etika ; berkaitan dengan tindakan Moral. Imanuel Kant ( 1724-1804) lahir di konigsberg ( sekarang Kaliningrad, UUSR),prusia
timur<Jerman dari anak seorang pembuat kelana kuda,dia tinggal di kota ini sepanjang hidupnya hingga meninggal pada usia 80-an Keluarganya Penganut Kristen sangat 55
Win Usuluddin Bernadien, 2011, Membuka Gerbang Filsafat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 59
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
66
saleh,Keyakinan agamanya itu sekaligus merupakan latar belakang yang cukup penting bagi pemikiran filosofisnya,terutama masalah etika. 56 Menurut Kant tentang etika di dasari oleh realitas pure reason yang menghasilkan sains tidak mampu memasuki wilayah neumena yaitu dunia thing in itself. Bagi Kant ,ratio dan sains sangat terbatas dan hanya mengetahui penampakan objek.Ketika sains akan memasuki wilayah Neumena ia akan tersesat dan hilang dalam antinomy. Demikian juga ketika ratio mencoba memasuki wilayah neumena ia akan terjebak dan hilkang dalam paralogisme,oleh karean itu Kant beryakinan bahwa untuk memasuki wilayah neumena termasuk dalam Etika dan agama maka harus menggunakan Practical reason ( akal Praktis) 57
Adapun prinsip yang yang mendasar dfalam etika kant yakni Universalitas,humanitas dan
otonomi.Prinsip ini membawa konsekuaensi bahwa dalam segala tindakan manusia perlu di tanamkann suatu sikap di mana sesama manusia tidak boleh menjadi alat. Manusia adalah tujuan bagi dirinya sendiri sebab segala tindakan moral bersumber dari hati nurani manusia dan di peruntukan guna mengangkat harkat kemanusiaan secara universal.letak kekuatan dan kekhasan bangunan pemikiran etika Kant karena dalam Etika rasionalnya ia dapat memadukan bangunan etika yang sangat kental dengan muatan religius meskipun di rumuskan dengan pendekaan rasional karena dalam kelaziman suatu perkembangan keilmuan ( terutama Etika) bila menggunakan pendekatan rasional dengan serta merta di konotasikan
sebagai non religius.Teori etika yang sangat religius dapat dilihat dari
penjabaran Prinsip otonomi yang merupakan otonomi kehendak,yaitu kemampuan untuk menaati hukum Moral yang di buatnya sendiri. Otonomi kehendak ini suci dan sakral atau paling tidak merupakan kehendak yang baik,Otonomi Kehendai ini merupakan prinsip Moralitas tertinggi dalam satu satunya prinsip hukum kewajiban Moral.secara etimologis 56
Zubaedi,dkk. 2010, Filsafat Barat dari logika baru Rene Descartes hingga Revolusi sains ala Thumas Kuhn, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, hal. 67. 57 Ibid., hal. 68.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
67
etika di ambil dalam bahasa Yunani ethos yang artinya adat dan kebiasaan namun dalam perkembangannya etika di hubungkan dengan hal hal yang terkait erat dengan nilai.bahkan secara jelas Magnis memberi pengertian Etika sebagai ilmu yag mengkaji nilai sedangkan Sudikno memberi pengertian etika sebagai usaha manusia mencari Norma baik dan Norma Buruk. Bertens juga membedakan etika di dalam tiga pengertian : 1. Etika dalam arti nilai moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok untuk mengatur tingkah laku yang dalam hal ini bisa di samakan dengan adat istiadat, atau kebiasaan. 2. Etika diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang juga lebih di kenal dengan kode etik. 3.
Etika mempunyai arti sebagai ilmu yang baik dan buruk.Di dalam hal ini Etika baru menjadi ilmu apabila kemungkinan kemungkinan etis yang begitu saja di terima dalam suatu masyarakat menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. 58. Bertens yang merupakan salah satu pemikir yang merespons produk pemikiran dan memberi penilaian terhadap bangunan etika oleh kant sehingga dapat di simpulkan dari ketiga point yang di ungkapkan oleh bertens sejalan dengan pemikiran Kant tentang Imperatif Kategoris yang di simbolkan dengan perkataan “ Bertindaklah secara Moral”sehingga Moral adalah ruh dari Etika.Etika membutuhkan Moral sebagai landasan atau pijakan di dalam melahiransikap tertentu.Moral dapat di definisikan sebagai wejangan,khotbah ,patokan ,kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis tyentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak
58
Indriyanti Dewi Alexander, 2008, Etika dan hukum Kesehatan, Pustaka Book, Yogyakarta Publisher, hal. 14
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
68
agar dapat menjadi manusia yang baik. Etika dan Moral sangat berhubungan erat seperti dua sisimata uang.Etika merupakan tinjauan pragtisdan kritis untuk mengatasi permasalahan permasalahan tertentu dengan menggunakan moral sebagai refrensinya.simbol perkataan yang di jelaskan oleh kant yaitu Bertindaklah secara Moral ,tidak serta merta mengandung segala perintah melainkan sebagi perwujudan adanya suatu keharusan Objektif untuk bertindak secara moral yang datang dari diri sendiri ,yang tidak bersyarat mutlak dan merupakan realisasi dari (budi)praksis. 59 Sehingga umumnya apabila seseorang di katakan melakukan tindakan yang tidak etis maka perbuatan sudah terjadi dan ada ketentuan Moral yang di langgar. Indikator Nilai Pendidikan. Apabila konsep legalitas dari Pendidikan yang di selenggarakan di Indonesia berfungsi dan bertujuan seperti yang terkonsepkan dalam pemikiran pada pasal 3 Undang undang no 20 tahun2003 tentang pendidikan nasional,maka Etika dan moralitas yang di legalitas dalam undang undang tersebut jangan sampai kehilangan makna filsafatnya, karena sejatinya filsafat berkenan denga pencarian kebenaran yang fundamental sehingga filsafat praktis yang di dasari oleh etika pada pasal 3 UU No 20 tahun 2003 jangansampai terabaikan dan salah memperasumsikan pendidikan yang berkarakter dengan menirukan kurikulum yag tidak sejalan dengan ideologi negara kita. Pasal 3 menyebutkan : Fungsi pendidikan Nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, ,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak
59
Lily Tjahyadi, 1991, Hukum Moral, Kanisius,Yogyakarta, hal. 75.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
69
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif ,mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Konsep mencerdaskan bangsa memang sudah di terapkan semaksimal mungkin di dalam pendidikan bangsa kita tapi kurang kepekaaan dari segenap komponen bangsa untuk mendudukan manusia pada posisi yang tinggi ( prinsip humanistis,kant)dan bukan menciptaka manusia sebagai alat atau robotsehingga indikator penilaian pendidikan kita hanya di dasari oleh Niai nilai ulangan harian,nilai rapot atau hasil akhir dari kelulusan kemudian di dukung oleh pemerintah yang mendefinisikan indikator penillaian hasil pencapaian ujian lisan ,preses pendidikan malah memakai standar akademik yang kaku.sudah selayaknya Indikator Penilaian Pendidikan di rubah paradigmanya agar sesuai dengan filsafat yang tersirat pada pasal 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional konsep tersebut adalah perpaduan atau harmonisasi pada sistem pendidikan formal maupun informal dan sebagai tolak ukur indikator nilai pendidikan di dasari padaMoral dan kareakter perilaku anak yang di awali dengan teladan sikap hati dari pendidik formal maupun pendidik informal ( keluarga/orang tua) seperti ,Nilai kejujuran yang di utamakan dalam pembelajaran mencerdaskan kehidupan bangsa. Contoh dalam pembelajaran fisika dan matematika di konsepkan pada kejujuran siswa untuk tidak mencontek atau kejujuran pendidik untuk tidak membocorkan soal soal ujian kepada peserta didik,Nilai tolong menolong pada tataran etika dan moral.sangat jauh lebih penting mengajari anak kita tentang moral, attitude, character building dari pada hanya mementingkan nilai nilai tinggi. Karena kehidupan lebih mengharapkan orang orang yang bermoral dan berkarakter untuk membangun karakter tatanan kehidupan yang jauh lebi baik, orang orang yang mencintai sesama,menolong sesama dan menjaga kelestarian alam lingkungan tempat mereka hidup. Dengan merubah paradigma indikator etika penilaian
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
70
yang sejalan dengan UU No 20 Tahun 2003 (Legalitas) maka tindakan akan sejalan dengan sikap (moralitas). Hal ini sejalan dengan legalitas dan moralitas yang merupakan filsafat praktis dari kant yang biasa di sebut dengan Metafisika kesusilaan.Pada Legalitas kant memandang sebagai tindakan yang tidak atau belum bernilai moral ,karena tindakan tersebut belum memenuhi norma moral. Norma moral (moralitas) adalah tindakan yang bersifat maksim formalberdasarkan prinsip murni dan apriori. Tindakan yang memenuhi asas moralitas adalah tindakan yang di lakukan berdasrkan atas kesadaran demi kewajiban atau tidak memiliki pamrih apapun. Kontrol moral terhadap Toxic World. Kisah Toxic World adalah buku yang populer yang menceritakan tentang kata kata yang menghancurkan masa depan anak,kisah dalam buku the toxic world adalah kisah yang di ceritakan dalam audio book inspiration tentang inspirasi pendidikan yang dikisahkan kembali oleh pakar pendidikan Indonesia Ayah Edy ,parenting consultant praktisi multiple intelligence dan holistik learning.Toxic world adalah hasil penelitian yang di lakukan interview atau wawancara dengan anak anak yang masuk dalam penjara dan ternyata mempunyai kisah yang pahit di balik kata kata yang beracun yang mereka dapat di masa lampau sebelum masuk penjara. Kata kata beracun tersebut menusuk hati mereka yang paling dalam dan tanpa di sadari kalimat kalimat negatif tersebut
bisa jadi dibawa
sepanjang masa karena kata kata atau kalimat tersebut di ucapkan oleh orang orang yang seharusnya mendidik mereka ( para pendidik formal dan informal). Kata tersebut disimpan dalam hati menjadi sugestii dan lama kelamaan menjadi keyakinan diri karena berkaitan dengan kemampuan dan tidak kemampuan dalam dirinya.terkadang kata kata negatif lebih kejam dari pukulan secara fisik karena melukai hati dan terbawa dalam bathin dan menjadi hal pembenaran diri.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
71
Keyakinan diri ini bisa didapat dalam kehidupan sehari hari yang setiap hari di dengar dan lama kelamaan menjadi keyakinan kalau kata tersebut kata negatif maka lama kelamaan anak tersebut akan bertidak negatif. Dari Hasil penelitian The toxic world adalah kata kata sangat penting membuat anak anak tersebut membentuk keyakinan atau falsafah hidupnya menjadi negatif sehinnga padaakhirnya mereka menegatifkan perilaku mereka sampai pada hasil akhirnya mereka menikmati kehidupan di dalam penjara. Contoh kata kata atau kalimat beracun yang mereka dapatkan adalah : dasar anak pembawa sial, lihat saja hidupmu akan berakhir dalam penjara, anak terkutuk!, aku menyesal melahirkanmu,dasar anak bodoh, anak setan, dll. Betapa dashatnya kata atau kalimat oleh karena hati-hatilah dengan kata dan kalimat yang negatif karena sangat berpengaruh pada kehidupan seseorang terlebih kepada anak didik . Tetapi hal yang positif adalah kata atau kalimat tersebut masih bisa dirubah dengan kegiatan dalam sehari hari di ganti dengan kalimat yang positif dan memotivasi anak didik kita sehingga langkah awal adalah merubah suasana hati dan aura positif dalam mendidik anak anak. sebenarnya jauh sebelum filsafat filsafat barat masuk didalam
kurikulum maupun traing traing kepada para pendidik bangsa kita sudah
mempunyai filsafat yang membangun perilaku para pendidik kita yaitu apa yang sudah di ajarkan oleh Ki Hajar Dewantara yang terkenal dalam semboyan semboyan sebagai pilar dasar perilaku para pendidik. Semboyan “Tut wuri handayani”, atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). Sehingga Tercipta kalimat : Di Depan, Seorang Pendidik harus memberi
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
72
Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara Murid, Guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang Guru harus Memberikan dorongan dan Arahan. Sehingga dalam mendidik perilaku dalam berkata kata atau kalimat dalam aktifitas mendidik harus di dasari dengan bahasa yang positif yang membawa aura positif terhadap kegiatan dan kemajuan peserta didik. Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara yang sangat poluler di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Yang pada intinya bahwa seorang pemimpin harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi orang lain. Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang orang disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan. Ing Madyo Mbangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat. Karena itu seseorang juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan. Demikian pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang - orang disekitar kita menumbuhkan motivasi dan semangat. Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani berarti figur seseorang yang baik
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
73
adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang - orang disekitarnya dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat. Sehingga kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat. Penutup Tugas dalam mendidik adalah tugas yang membawa atau mengiringi anak didik menuju jalan cita cita mereka sehingga sebagai Pendidik tidak saja pintar dalam mengajar / untuk hanya mencerdaskan peserta didik tapi lebih dari itu seorang pendidik harus mempunyai teladan sikap hati dengan di dasari benar benar legalitas dan moralitas yang di legalkan pada pasal 3 UU No 20 tahun 2003 tetapi juga mulai kembali ke fitrah pada esensi pemikiran filsafat yaitu suatu kebenaran itu harus di cari dan di absahkan kebenarannya melalui sebuah perjalanan yang membawa kebenaran meskipun dalam pencarian tersebut kita harus berbalik kembali ke jalan yang pernah di lalui dan merangkul erat erat semboyan semboyan yang sudah di ajarkan oleh Ki hajar Dewantara sebagai konsep mendidik berperilaku
baik berupa ungkapan ucapan dan tingkah laku yang
membawa dampak positif ke anak anak Indonesia.saatnya kini para pendidik formal dan informal menyadari bahwa masa depan anak anak indonesia melalui pendidikan yang bernafaskan Pancasila.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
74
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Indriyanti Dewi Alexander, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta. Lily Tjahyadi, Hukum Moral, Kanisius Yogyakarta. Win usuluddin bernadien,Membuka Gerbang Filsafat,Yogyakarta: pustaka pelajar,agustus 2011 Zubaedi,dkk., 2010, Filsafat Barat dari logika baru Rene Descartes hingga Revolusi sains ala Thumas Kuhn, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta. SURAT KABAR Surat kabar,suara merdeka.16 maret 2011 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
75
ALTERNATIF SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK DELINQUENT I Nyoman Ngurah Suwarnatha Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar
[email protected]
Abstract: In the court does not little children who sentenced imprisonment. Increasing number of juvenile delinquent processed in court showed a loss of sense of priority and sense of justice of the law enforcement officers. Sanction in the form of "treatment" is more goal oriented sentencing for specific prevention and re-education, not solely for the purpose of retribution so in accordance with the philosophy contained in the theory of sentencing reform, which leads to objective improvements to the perpetrators.
Key wordss: Sanction, Juvenile Delinquent, Treatment.
Pendahuluan Kasus-kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana atau anak delinquent merupakan fenomena yang berbeda dengan pelaku tindak pidana dewasa. Anak merupakan individu yang masih labil emosinya dalam masa perkembangan jasmani dan jiwa, dalam tahap pertumbuhan menuju kedewasaan dan dalam masa pencarian jati diri. 60 Anak sebagai pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana untuk dibina dalam Lembaga
60
I Nyoman Ngurah Suwarnatha, 2009, Perlindungan Hak Asasi Anak Pidana dalam Menjalani Masa Pidana, Tesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hal. 1.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
76
Pemasyarakatan (LAPAS) Anak, perlu mendapat penanganan khusus dalam menjalani masa pidananya. Masalah perlindungan hukum dan hak-hak bagi anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Berkaitan dengan hak anak, negaranegara di dunia memberikan perhatian serius terhadap jaminan hak-hak anak termasuk hak anak yang berhadapan dengan hukum serta hak anak dalam masa pidana. Pada tanggal 20 November 1989 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengesahkan Konvensi Hak Anak (Child Rights Convention). Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990. 61 Ratifikasi terhadap instrumen hukum internasional tersebut secara otomatis menimbulkan kewajiban bagi negara untuk menjamin pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak anak. Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu: hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak untuk tumbuh kembang (development rights), hak untuk berpartisipasi (participation rights). 62 Bagi anak delinquent (anak yang berhadapan dengan hukum) berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dari pemerintah dan lembaga negara yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk itu. 63 Bentuk perlindungan khusus bagi anak 61
Darwan Prinst, 2003, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 124. Mohammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 35. 63 Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi, secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik/atau mental, anak 62
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
77
delinquent (anak yang berhadapan dengan hukum) dilakukan melalui perlakuan secara manusiawi sesuai martabat dan hak anak, petugas pendamping khusus, penyedian sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak, jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi. 64 Persoalan anak-anak Indonesia yang tergolong bermasalah (delinquent) masih sangat problematis. Persoalan riil yang dihadapi terutama menyangkut aktualisasi dan implementasi prinsip umum bahwa “state shall ensure each child enjoy full rights without discrimination or distinction of any kind” (negara menjamin setiap anak menikmati hakhaknya secara penuh tanpa diskriminsasi dan perbedaan dalam berbagai bentuk) di samping prinsip bahwa “the child’s best interest shall be a primary consideration in all actions concerning children” (kepentingan terbaik anak-anak harus dijadikan pertimbangan utama dalam segala aksi yang berhubungan dengan anak-anak). Kasus pidana yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku setiap tahunnya mengalami peningkatan. Menurut data pada tahun 2010/2011, terdapat sekitar 7.000 lebih anak yang berhadapan dengan hukum, diantaranya 6.726 anak sudah divonis dan selebihnya dalam proses. Sementara pada tahun 2008/2009, ada sekitar 4 ribu anak yang berhadapan dengan hukum. Tidak sedikit dari mereka yang sudah menjalani penahanan di LAPAS. Hal ini yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.” dan Pasal 59 Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi, secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.” 64 Ketentuan Pasal 64 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
78
seharusnya menjadi perhatian pemerintah dalam rangka penanganan dan perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum. 65 Pada proses pengadilan tidak sedikit anak yang dijatuhi vonis pidana penjara. Semakin banyaknya anak yang diproses di pengadilan menunjukkan hilangnya sense of priority dan sense of justice dari para aparat penegak hukum. Meskipun anak bermasalah dengan hukum, namun prinsip-prinsip anti diskriminasi dan anti distingsi, mulai dari proses peradilan sampai pemberian tindakan atau treatment (penanganan) tidak boleh bertentangan atau mengeliminasi hak-hak anak. Aparat penegak hukum dalam menangani anak delinquent (anak yang bekonflik dengan hukum) hendaknya lebih mengedepankan prinsip restoratif justice, yaitu sebuah konsep restorasi keadilan. Pemidanaan terhadap anak bukan lagi sekedar memberikan efek jera, namun bagaimana mengembalikan sebuah persoalan pada keadaan yang semestinya terjadi. Kategori Batas Usia Anak dan Kenakalan Anak Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena anak merupakan bagian dari generasi muda. Selain anak, di dalam generasi muda ada yang disebut remaja dan dewasa. Menurut Zakiah Daradjat sebagaimana dikutip oleh Gatot Supramono, generasi muda dibatasi sampai seorang anak berumur 25 tahun. Generasi muda terdiri atas masa kanak-kanak umur 0 sampai dengan 12 tahun, masa remaja umur 13 sampai dengan 20 tahun dan masa dewasa muda umur 21 sampai dengan 25 tahun. 66
65
Suara Merdeka, 2012, “Jazuli: Perlindungan Anak Jangan Teori”, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/01/16/106930/Jazuli-Perlindungan-AnakJangan-Sekadar-Teori, diakses pada 17 Januari 2012. 66 Gatot Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Penerbit Djambatan, Jakarta, hal. 1.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
79
Proses perkembangan anak terdiri dari beberapa masa pertumbuhan, yaitu: 67 a) Masa kanak-kanak Masa kanak-kanak terbagi dalam masa bayi (dari lahir sampai menjelang 2 tahun); kanak-kanak pertama umur 2 sampai dengan 5 tahun dan kanak-kanak terakhir umur 5 sampai dengan 12 tahun. b) Masa remaja umur 13 sampai dengan 20 tahun Pada masa ini terjadi perubahan dalam segala bidang, sikap sosial dan kepribadian. Karena banyaknya perubahan, sehingga terjadi kegoncangan, tidak stabil emosinya, kadang-kadang menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang dewasa dinilai tindakan nakal. c) Masa dewasa muda umur 21-25 tahun Perkembangan jasmani dan kecerdasan telah betul-betul dewasa, emosi sudah mulai stabil, namun dari segi kemantapan agama dan ideologi masih dalam proses pemantapan. Berdasarkan hukum positif Indonesia, pengertian anak diatur secara implisit dan eksplisit. Pengertian anak secara implisit diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata. 68 Pengertian anak secara eksplisit diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
67
Emeliana Krisnawati, 2005, Aspek Hukum Perlindungan Anak, CV. Utomo, Bandung, hal.
7. 68
Pasal 330 KUHPerdata ”Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... Asasi
80
Manusia, Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Pasal 1 KHA. 69 Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang dibawah umur sering disebut juga anak dibawah pengawasan wali (minderjarig ondervoordij). Bertitik tolak pada aspek tersebut ternyata dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Indonesia tidak ada ketentuan batas usia anak. Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam ilmu pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan. Seperti agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. 70 Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Dalam arti seorang anak yang berstatus sebagai subyek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana (strafbaar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukannya sebagai
69
Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ”Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin” Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin” Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “anak adalah setiap manusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya” Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” Pasal 1 KHA ”yang dimaksud dalam Konvensi sekarang ini, seorang anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak, kedewasaan dicapai lebih cepat. 70 Maulana Hassan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, hal. 1.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
81
seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku.
71
Pengertian anak dalam hukum pidana lebih mengutamakan pada pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi karena anak berdasarkan kodratnya mempunyai akal dan fisik yang masih lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai subyek hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggung jawaban, sebagaimana layaknya seorang subyek hukum yang normal. Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimun anak yang dilihat dari kemampuan anak di dalam status hukum, sehingga status usia anak tersebut beralih dari usia anak-anak menjadi usia dewasa. Usia seorang anak yang beralih status menjadi usia dewasa, kedudukannya dilingkungan hukum juga statusnya beralih menjadi subyek hukum yang mampu bertanggung jawab sendiri atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya. Dengan melihat ketentuan yang berlainan tersebut, pengertian anak berlaku bagi seorang anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 72 Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010, menyatakan batas usia pertanggungjawaban seorang anak minimal berusia 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawab anak. Dengan demikian, seorang anak yang berhadapan dengan hukum, dapat diproses pada tahap penuntutan apabila usia seorang anak telah mencapai usia 12 tahun.
71 72
Anak.
Ibid., hal. 20. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
82
Penetapan usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik sebagian negara-negara sebagaimana juga direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment, 10 Februari 2007. Dengan batasan usia 12 tahun maka telah sesuai dengan ketentuan tentang pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Anak. Penetapan batas usia tersebut juga dengan mempertimbangkan bahwa anak secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil serta sesuai dengan psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia, sehingga dapat bertanggung jawab secara hukum karena telah mengetahui hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat, batas usia minimal 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. 73 Kenakalan anak diambil dari istilah asing Juvenile Delinquency. Sebagaimana diketahui terdapat berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang Juvenile Delinquency ini, seperti diuraikan di bawah ini: 1. Menurut Kartini Kartono, Juvenile Delinquency adalah: perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. 74
73
Mahkamah Konstitusi,____,“12 Tahun, Batas Usia Pidana Anak”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=5049, diakses pada 1 Maret 2011. 74 Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial 2 Kenakalan Anak Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 7.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
83
2. Menurut Romli Atmasasmita, Juvenile Delinquency, yaitu setiap perbuatan/tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan. 75 Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dimaksud Anak Nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Anak yang melakukan tindak pidana dan berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana penjara di LAPAS anak disebut sebagai anak pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 (a) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Pidana Penjara Terhadap Anak Istilah hukuman berasal dari kata straf, 76 merupakan istilah yang sering digunakan sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman merupakan istilah yang umum, memiliki arti luas dan dapat berkonotasi pada cakupan yang luas. Pidana merupakan istilah yang lebih khusus, memiliki batasan pengertian atau makna. Menurut Sudarto: 77 pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada
75 76
hal. 399.
Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung, hal. 11. Marjanne Termorshuizen, 1999, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta,
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
84
seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa. Pemberian nestapa sengaja diberikan kepada pelanggar ketentuan Undang-undang dengan maksud sebagai efek jera. Menurut Andi Hamzah, istilah pidana harus dikatikan dengan ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP atau yang disebut asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalenullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale yang diperkenalkan Anselm von Feuerbach, yang berbunyi sebagai berikut: 78 “tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada sebelumnya”. Menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikutip oleh Niniek Suparni menyatakan bahwa: pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja ditampakan negara kepada pembuat delik. 79 Akan tetapi tidak semua Sarjana menyetujui pendapat bahwa hakikat pidana adalah pemberian nestapa, hal ini antara lain diungkapkan oleh Hulsman sebagaimana dikutip oleh Muladi bahwa: Pidana adalah menyerukan untuk tertib; pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk mempengaruhi tingkah laku dan untuk menyelesaikan konflik. 80 Pemidanaan sebagai suatu proses penjatuhan pidana terhadap seorang anak seharusnya dilakukan sebijaksana mungkin yaitu perlu mempertimbangkan pidana yang sesuai dengan kondisi anak, sebab pidana tidak berakibat sama pada setiap anak. Adapun fungsi pidana penjara adalah:
77
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 109-110. Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 1-2. 79 Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 12. 80 Ibid., hal.12. 78
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
85
a) Menjamin pengamanan narapidana. b) Memberikan kesempatan kepada narapidana untuk direhabilitasi. 81 Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana: 1) Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien) Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. 2) Teori relatif atau tujuan (doel theorien) Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana untuk provensi terjadinya kejahatan. 3) Teori gabungan (verenigings theorien) Teori gabungan yaitu menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada yang seharusnya. 82 Pidana penjara bagi anak delinquent dilakukan sebagai upaya terakhir dan penahanan terhadap anak delinquent harus memperhatikan kepentingan anak yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak delinquent baik secara fisik, mental maupun sosial. Menurut P.A.F. Lamintang, pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati
81 82
Ibid., hal. 40. Andi Amzah, op. cit, hal. 26-29.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
86
semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. 83 Menurut Jan Remmelink, pidana penjara adalah salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan (pidana badan) terpenting. Di Belanda bahkan persyaratan penjatuhannya dimuat dalam UUD Belanda yang baru Pasal 113 ayat (3), dengan menetapkan persyaratan bahwa ia hanya boleh dijatuhkan oleh hakim pidana. 84 Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana pokok yang berwujud pengurangan atau perampasan kemerdekaan seseorang yang dapat memberikan cap jahat dan dapat menurunkan derajat serta harga diri seseorang apabila dijatuhi pidana penjara. Hukum pidana sebagai pengayoman pada mulanya mengandung arah bagi tujuan pidana penjara yang bersifat mendidik, membimbing dan memperlakukan narapidana sesuai dengan harkat kemanusiaan yang dilaksanakan dengan sistem pemasyarakatan. Menurut Bambang Poernomo, sistem pemasyarakatan bukan mengakibatkan jenis pidana penjara diganti menjadi pidana pemasyarakatan, akan tetapi harus menjadi kebijakan pelaksanaan pidana (penal policy) sebagai berikut: 1. Sistem pemasyarakatan mengandung kebijakan pidana dengan upaya baru pelaksanaan pidana penjara yang institusional (Institutional Treatment of Offender) yang berupa aspek pidana yang dirasakan tidak enak (Custodial Treatment of Offender) dan aspek tindakan pembinaan di dalam dan/atau bimbingan di luar lembaga (non-custodial Treatment of Offender) agar melalui langkah-langkah yang selektif dapat menuju kepada deinstusinalisasi atas dasar kemanusiaan; 83
P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hal. 69. Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Paparannya Dalam Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 465. 84
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
87
2. Sistem pemasyarakatan mengandung perlakuan terhadap narapidana (the Treatment of Prisoners) agar semakin terintegrasi dalam masyarakat dan meperoleh bimbingan yang terarah berlandaskan pada pedoman pelaksanaan pembinaan (manual) yang disesuaikan dengan Standard Minimum Rules. 85 Sistem pemasyarakatan yang dianut di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, ini menandai dimulainya era baru dalam pelaksanaan pembinaan bagi narapidana dan anak didik yang selama ini menggunakan Reglemen Penjara sebagai dasar dari pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Bagi anak delinquent (anak yang berkonflik dengan hukum), jenis sanksi pidana penjara atau kurungan dilakukan sebagai upaya terakhir dan untuk masa paling singkat yang dimungkinkan. Dengan mempertimbangkan anak berdasarkan kodratnya mempunyai akal dan fisik yang masih lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai subyek hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggung jawaban, sebagaimana layaknya seorang subyek hukum yang normal, maka harus tetap mengupayakan agar pemidanaan terhadap anak delinquent, khususnya penjatuhan pidana penjara merupakan upaya akhir bilamana upaya lain tidak berhasil. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak delinquent pada dasarnya tetap harus mengacu pada prisip-prinsip yang diatur dalam Beijing Rules dan juga Konvensi Hak Anak, khususnya yang berkaitan dengan:
85
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, hal. 89.
Pidana
Penjara
Dengan
Sistem
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
88
a. Kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) sebagai dasar pertimbangan utama yang digunakan pada saat akan menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak delinquent; b. Perampasan kemerdekaan (pidana penjara) digunakan sebagai pilihan terakhir dan untuk jangka waktu sesingkat yang diperlukan. Aparat penegak hukum, khususnya Hakim Anak untuk meminimalisasi penjatuhan sanksi pidana penjara bagi anak delinquent, karena pidana penjara mempunyai dampak negatif, utamanya bagi anak. Selain memiliki dampak negatif bagi anak, sesungguhnya pidana penjara juga memiliki beberapa keterbatasan dalam upayanya menanggulangi kejahatan. Maatregelen atau Treatment Sebagai Alternatif Sanksi Pidana Penjara Terhadap Anak Berkaitan dengan penjatuhan pidana, Konggres PBB pada tahun 1950 membentuk Komisi Khusus di bidang hukum dan peradilan pidana, yang mengubah orientasi kebijakan dalam penjatuhan pidana dari ”the punishment of offenders” menjadi ”the treatment of offenders”, 86 yang salah satu pertimbangannya adalah untuk menghindari pengaruh buruk dari LAPAS Anak terhadap anak delinquent. Pergaulan antar sesama anak pidana di dalam LAPAS Anak dapat membuat anak delinquent justru akan mejadi lebih jahat setelah keluar dari LAPAS Anak. Oleh sebab itu, Bernes dan Teeters berpendapat bahwa LAPAS Anak telah tumbuh menjadi ”tempat pencemaran (a place of contamination)” 87. Dengan kata lain LAPAS Anak tidak dapat menjamin bahwa anak delinquent akan menjadi sadar dengan kesalahannya, bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya, seperti yang dikemukakan oleh W.A. Bonger bahwa ”mencegah kejahatan adalah lebih baik (dalam 86
Bambang Poernomo, (t.th.), Hand-out Sistem Peradilan Pidana, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, hal. 110. 87 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni, Bandung, hal. 79.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
89
artian : lebih mudah, lebih mencapai tujuannya, dan lebih murah) daripada mencoba mendidik penjahat menjadi orang baik kembali”. 88 Dunia internasional melalui PBB dalam Koggres PBB kelima di Genewa pada tahun 1975 mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, juga menghendaki dibatasinya kemungkinan penjatuhan pidana penjara jangka pendek, karena di samping akan membawa efek-efek negatif juga dipandang kurang menunjang sistem pembinaan pemasyarakatan. 89 Senada dengan hal tersebut, Muladi mengemukakan bahwa ”sekalipun penjara diusahakan untuk tumbuh sebagai instrumen reformasi dengan pendekatan manusiawi, namun sifat aslinya sebagai lembaga yang harus melakukan tindakan pengamanan dan pengendalian narapidana tidak dapat ditinggalkan demikian saja”. 90 Apalagi pidana penjara jangka pendek, menurut Muladi ”jelas tidak mendukung kemungkinan untuk rehabilitasi narapidana di satu pihak, dan di pihak lain bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma atau cap jahat”. 91 Pidana penjara jangka pendek juga tidak mengefektifkan fungsi pidana sebagai general prevention. Orang menjadi tidak takut untuk melakukan perbuatan pidana karena hukumannya sangat ringan dan sebentar lagi juga akan menjadi bebas beraktifitas seperti semula. Sistem penjatuhan sanksi di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menganut sistem dua jalur (double track system) yang tidak hanya berupa penjatuhan sanksi pidana (straf / punishment) tetapi juga berupa tindakan (maatregel / treatment). Sistem tindakan yang terdapat di dalam Undang-Undang Pengadilan Anak adalah dalam hal Anak delinquent (Nakal), hakim dapat memerintahkan untuk : 88
W.A. Bonger, 1995, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan, Jakarta, hal.
167. 89
Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. hal. 125. 90 Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 78. 91 Ibid., hal. 80.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
90
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, c. menyerahkan
kepada
Departemen
Sosial,
atau
Organisasi
Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. 92 Tindakan mengembalikan Anak delinquent (Nakal) kepada orang tuanya dilandasi dengan pertimbangan bahwa pengadilan melihat dan meyakini kehidupan di lingkungan keluarga tersebut dapat membantu yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan pidana lagi. Tindakan menyerahkan Anak Nakal kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja dilandasi dengan pertimbangan apabila keadaan lingkungan keluarga tidak memberikan jaminan dapat membantu yang bersangkutan dalam perbaikan dan pembinaannya. Tindakan menyerahkan Anak Nakal kepada Departemen Sosial, atau Organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja dilandasi dengan pertimbangan apabila keluarga sudah tidak sanggup lagi untuk mendidik dan membina yang bersangkutan ke arah yang lebih baik, sehingga yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan pidana lagi. 93 Menurut Herbert L. Packer, tujuan utama dari treatment (tindakan) adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang telah melakukan tindak pidana. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, tetapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan. Jadi dasar pembenaran dari tindakan adalah pada anggapan bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan. Sedangkan dasar pembenaran 92
Lihat Ketentuan Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 93 Wagiati Soetodjo, op. cit., hal. 47.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
91
punishment (penjatuhan sanksi pidana) adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan yang telah dilakukan dan untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan. Jadi fokusnya adalah pada perbuatan salah atau tindak pidana yang telah dilakukan. 94 Sanksi yang berupa ”tindakan” lebih berorientasi pada tujuan pemidanaan untuk prevensi khusus dan pendidikan ulang (reeducation), bukan semata-mata untuk tujuan retribusi (pembalasan seimbang) sehingga sesuai dengan filosofi pemidanaan yang terdapat pada teori reformasi, yaitu mengarah pada tujuan perbaikan kepada pelaku. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menghendaki kepentingan yang terbaik bagi anak, atau dengan kata lain mengarah pada keberpihakan terhadap masa depan anak harus menjadi pertimbangan utama bagi aparat penegak hukum khususnya hakim dalam menentukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak delinquent. Oleh sebab itu, filsafat pemidanaan yang terdapat pada teori retributif yang mengutamakan unsur pembalasan tidak tepat diterapkan pada kasus, dimana seorang anak menjadi pelakunya. Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Peradilan Anak yang tengah dibahas di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan mengedepankan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum ketimbang memberi sanksi pidana. Seorang anak delinquent (anak yang berhadapan dengan hukum), harus dilihat sebagai korban dari berbagai faktor, seperti kemiskinan, kurangnya perhatian keluarga dan masyarakat, keterbatasan pengetahuan orangtua atas pendidikan anak, serta pengaruh buruk
94
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hal. 5-6.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
92
lingkungan. 95 Penjatuhan sanksi yang tepat terhadap anak delinquent adalah harus berupa tindakan, atau hakim tidak perlu menjatuhkan sanksi pidana (penjara, kurungan) dengan memasukkan seorang anak ke dalam LAPAS Anak karena beberapa pertimbangan sebagai berikut: 1. Fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial, 96 agar anak delinquent menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Dengan kata lain, pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan anak delinquent agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial, dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. 97 2. Untuk menghindari pengaruh negatif dari LAPAS Anak yang dikhawatirkan akan selalu terekam dalam perkembangan jiwa anak, dan untuk mengantisipasi adanya kemungkinan yang bersangkutan untuk menjadi recidivis atau bahkan menjadi penjahat kronis. 3. Untuk menghindari labelisasi dari masyarakat, mengingat harapan hidupnya yang relatif masih panjang jika dibandingkan dengan orang dewasa, serta demi menatap masa depannya yang lebih baik, karena anak merupakan generasi penerus bangsa. Penutup
95
Kompas, 2011, “Beri Perlindungan Anak, Bukan Sanksi Pidana”, http://nasional.kompas.com/read/2011/10/18/17550531/Beri.Perlindungan.Anak.Bukan.Sanksi.Pidan a, diakses pada 15 Januari 2012. 96 Lihat Ketentuan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 97 Ibid.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
93
Pemidanaan sebagai suatu proses penjatuhan pidana terhadap seorang anak seharusnya dilakukan sebijaksana mungkin yaitu perlu mempertimbangkan pidana yang sesuai dengan kondisi anak, sebab pidana tidak berakibat sama pada setiap anak. Sanksi yang berupa ”tindakan” lebih berorientasi pada tujuan pemidanaan untuk prevensi khusus dan pendidikan ulang (reeducation), bukan semata-mata untuk tujuan retribusi (pembalasan seimbang) sehingga sesuai dengan filosofi pemidanaan yang terdapat pada teori reformasi, yaitu mengarah pada tujuan perbaikan kepada pelaku. Penjatuhan sanksi yang tepat terhadap anak delinquent adalah harus berupa tindakan, atau hakim tidak perlu menjatuhkan sanksi pidana (penjara, kurungan) dengan memasukkan seorang anak ke dalam LAPAS Anak. Hakim anak yang menangani kasus anak delinquent hendaknya menjatuhkan sanksi tindakan atau treatment, sehingga lebih mengutamakan pada aspek kemanfaatan, tidak hanya mengacu kepada bunyi pasal dalam undang-undangnya, serta berpikir secara interdisipliner. Dalam hal pengadilan menetapkan sanksi yang berupa tindakan ”dikembalikan kepada orang tuanya”, maka orang tua atau keluarga yang diberi kepercayaan oleh pengadilan tersebut harus tetap dipantau dan diawasi oleh pihak Jaksa Penuntut Umum selaku eksekutor atau Hakim Pengawas dan Pengamat yang berwenang.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
94
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Arief, Barda Nawawi, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Bonger, W.A., 1995, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan, Jakarta. Hamzah, Andi, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta. Joni, Mohammad, Tanamas, Zulchaina Z., 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung. Kartono, Kartini, 1992, Patologi Sosial 2 Kenakalan Anak Pidana, Rajawali Pers, Jakarta. Krisnawati, Emeliana, 2005, Aspek Hukum Perlindungan Anak, CV. Utomo, Bandung. Lamintang, P.A.F., 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico Bandung. Muladi dan Arief, Barda Nawawi, 2005, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni, Bandung. Poernomo, Bambang, (t.th.), Hand-out Sistem Peradilan Pidana, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Poernomo, Bambang, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta. Prinst, Darwan, 2003, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Paparannya Dalam Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Soetodjo, Wagiati, 2006, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung. Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Suparni, Niniek, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta. Supramono, Gatot, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Penerbit Djambatan, Jakarta. Suwarnatha, I Nyoman Ngurah, 2009, Perlindungan Hak Asasi Anak Pidana dalam Menjalani Masa Pidana, Thesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
95
Termorshuizen, Marjanne, 1999, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta. Wadong, Maulana Hassan, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Konvensi Hak Anak Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
INTERNET Kompas, 2011, “Beri Perlindungan Anak, Bukan Sanksi Pidana”, http://nasional.kompas.com/read/2011/10/18/17550531/Beri.Perlindungan.Anak.Buk an.Sanksi.Pidana, diakses tanggal 15 Januari 2012. Mahkamah Konstitusi,____, “12 Tahun, Batas Usia Pidana Anak”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=50 49, diakses tanggal 1 Maret 2011. Suara
Merdeka, 2012 “Jazuli: Perlindungan Anak Jangan Teori”, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/01/16/106930/JazuliPerlindungan-Anak-Jangan-Sekadar-Teori, diakses Tanggal 17 Januari 2012.
PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM YANG BERAT 1998 MELALUI OUT COURT SYSTEM Ika Amilatun Nazah Email Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
[email protected]
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
96
Abstrak: So far, there are two mechanisms for resolving human right violations in the past that is adhoc Human Right Court and Truth and Reconciliation Commission (KKR). In this paper, the settlement of human rights violations that are considered effective, regardless of the cancellation of the Law on the KKR, the KKR feels that is quite effective in resolving the conflict the human rights violations that occurred in Indonesia.
Key words: Human right violations, Truth and Reconcilliation Commission and conflict.
Pendahuluan Kemarahan masyarakat terhadap kebrutalan aparat keamanan dalam peristiwa Trisakti dialihkan kepada orang Indonesia sendiri yang keturunan, terutama keturunan Cina. Betapa amuk massa itu sangat menyeramkan dan terjadi sepanjang siang dan malam hari mulai pada malam hari tanggal 12 Mei dan semakin parah pada tanggal 13 Mei siang hari setelah disampaikan kepada masyarakat secara resmi melalui berita mengenai gugurnya mahasiswa tertembak aparat. Sampai tanggal 15 Mei 1998 di Jakarta dan banyak kota besar lainnya di Indonesia terjadi kerusuhan besar tak terkendali mengakibatkan ribuan gedung, toko maupun rumah di kota-kota Indonesia hancur lebur dirusak dan dibakar massa. Sebagian mahasiswa mencoba menenangkan masyarakat namun tidak dapat mengendalikan banyaknya massa yang marah. Setelah kerusuhan, yang merupakan terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia pada abad ke 20, yang tinggal hanyalah duka, penderitaan, dan penyesalan. Bangsa ini telah menjadi bodoh dengan seketika karena kerugian material sudah tak terhitung lagi padahal bangsa ini sedang mengalami kesulitan ekonomi. Belum lagi kerugian jiwa di mana korban yang meninggal saat kerusuhan mencapai ribuan jiwa. Mereka meninggal karena terjebak dalam kebakaran di gedung-gedung dan juga rumah yang dibakar oleh massa. Ada pula
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
97
yang psikologisnya menjadi terganggu karena peristiwa pembakaran, penganiayaan, pemerkosaan terhadap etnis Cina maupun yang terpaksa kehilangan anggota keluarganya saat kerusuhan terjadi. Sangat mahal biaya yang ditanggung oleh bangsa ini. Opsi-opsi Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Tahun 1998 Pergantian kekuasaan dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi pada tahun 1998 telah memberikan angin segar terhadap penegakan HAM di Indonesia. Pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menopang usaha penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Tahun 1998, merupakan tahun yang bersejarah dalam perkembangan HAM di Indonesia. Salah satu syarat dalam sebuah negara yang mengalami proses transisi dari sistem otoriter menuju ke sistem demokratis adalah penyelesaian pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh rejim. 98 Sampai sejauh ini, terdapat beberapa mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu yaitu Pengadilan HAM ad-hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta Alternative Dispute Resolution (ADR). Pengadilan HAM ad-hoc merupakan satu mekanisme penyelesaian kasus yang menggunakan logika sistem yudisial sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan ADR menggunakan logika sistem non-yudisial. Dengan adanya mekanisme penyelesaian tersebut tentunya diharapkan dapat terselesaiakn pelanggarn-pelanggarn HAM yang terjadi dimasa lalu. Belajar dari pengalaman beberapa negara lain yang mengalami masalah yang serupa serta melihat peluang mendapatkan keadilan melalui mekanisme peradilan, mekanisme tentang KKR kemudian muncul. Beberapa konsep dasar KKR adalah memberikan arti pada 98
Badruzzaman Ismail, ____, “Pola-pola damai Sebagia Solusi Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu”, http://www.acehinstitute.org/opini_hbadruzzaman_pola_damai.htm, diakses tanggl 1 Juni 2010.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
98
suara korban secara individu, pengungkapan sejarah sebenarnya, pendidikan dan pengetahuan publik, menuju reformasi kelembagaan, mengembalikan hak korban serta pertanggungjawaban dari para pelaku. Namun, kehadiran KKR sendiri yang diatur dalam UU mendapat sambutan yang dingin dari para kelompok korban. Sehingga hal ini adanya pengajuan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Atas permohonan tersebut, MK mengabulkan serta membatalkan adanya Undang-undang KKR tersebut. Untuk memberikan gambaran tentang meknisme penyelesaiannya, dapat dideskripsikan sebagai berikut : 1.
Pengadilan HAM Ad-hoc Mekanisme ini berdasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. 99 Sementara itu, untuk sistem acara pidana tetap mengikuti Kitab Umum Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang digunakan dalam sistem peradilan di Indonesia. Selanjutnya, penuntutan perkara dapat dilakukan oleh penuntut umum dari Kejaksaan Agung atau ad-hoc yang berasal dari unsur masyarakat. Kemudian, pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari hakim karier dan non-karier. Menurut UU No. 26 tahun 2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga bagian yang ideal. Pertama, Komnas HAM melakukan penyelidikan berdasarkan pengduan dari kelompok korban atau kelompok masyarakat tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian membentuk satu KPP HAM untuk melakukan penyelidikan dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap dugaan terjadinya kejahatan terhadap
99
Pasal 43 ayat 1 menyebutkan: Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Dan pasal 2 menyebutkan : Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Kemudian pasal 3: Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
99
kemanusiaan atau genosida, maka akan dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan Agung. Kedua, DPR kemudian membahas hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan kemudian membuat rekomendasi kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad-hoc. Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan presiden untuk pembentukan satu pengadilan HAM ad-hoc. Pada tahap kedua dan ketiga tampak jelas bagaimana political will dari pemerintahan yang berkuasa memegang peranan penting. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu yang telah ditangani oleh mekanisme ini adalah kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Peradilan pertama dilakukan pada tahun 2003 atau sekitar terlambat dua tahun dari yang direncanakan. Pemerintah berapologi bahwa keterlambatan tersebut hanya masalah teknis seperti pembangunan infrastruktur peradilan dan rekrutmen jaksa dan hakim ad-hoc.
2.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Komisi ini akan dibentuk berdasarkan UUNo. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah disahkan pada 7 September 2004. Sebelumnya, UU ini telah diusulkan oleh TAP MPR No. VI/MPR/200 yang kemudian juga tertuang dalam pasal 47 (ayat 1) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang menyatakan “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.” 100
100
Jose Zalaquett, 2003, “Menangani Pelanggaran HAM di Masa Lalu : Prinsip-prinsip penyelesaian dan Kendala Politik”, sebagaimana dimuat dalam Jurnal Dignitas Volume I, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), hal. 32.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
100
Dalam UU-nya, Komisi ini bertugas untuk untuk mengungkapkan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu dan melaksanakan proses rekonsiliasi nasional demi keutuhan bangsa. Selain itu, komisi mendefinisikan lebih detil tentang siapa yang menjadi korban dan apa saja yang menjadi hak dari mereka seperti untuk mendapatkan kebenaran, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Komisi ini juga mengatur bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc. 101 Menurut beberapa narasumber, komisi ini merupakan komplementer dari UU No. 26 tahun 2000. Komisi ini terdiri dari tiga sub-komisi yang terdiri dari subkomisi penyelidikan dan klarifikasi; subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi serta subkomisi pertimbangn amnesti. Komisi ini akan beranggotakan 21 anggota komisi yang kemudian akan berkerja dengan sistem sub-komisi. 102 3.
Alternative Dispute Resolution (ADR) Alternative dispute resolution, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang 101
Djoko Prakoso,___, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktik Peradilan, Ghalia Indonesia,Jakarta, hal. 37. 102
Wikipedia, “KomisiaKebenaranadanaRekonsiliasi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kebenaran_dan_Rekonsiliasi, diakses pada 1 Juni 2009.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
101
mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. 103 Kata “alternatif” disini sebenarnya sebagai penegasan terhadap pengertian selain “daripada “pengadilan”. 104 Sengketa atau beda pendapat (perdata) dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa tersebut diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. 105 Dalam perkembangan hukum di Indonesia, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui KKR telah ditiadakan. Hal ini dilegitimasi berdasarkan putusan MK yang menyatakan lembaga KKR inkonstitusional. Sungguhpun UU KKR dan keberadaanya telah dibatalkan oleh MK dan diganti dengan mekanisme ADR namun KKR sejauh ini nampaknya dipandang sebagai mekanisme yang efektif dalam menyelesaikan pelanggran HAM yang berat yang terjadi dimasa lalu, khususnya terkait dengan peristiwa 1998. Hal ini mengingat bahwa KKR bukanlah suatu gagasan yang muncul dari suatu 103
Pasal 1 angka 10 UU No. 30 tahun 1999. Namun, sebagian besar sarjana mengartikan ADR dalam dua pandangan yang berbeda : Pertama, ADR mencakup berbagai penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan, baik yang berdasarkan pendekatan konsensus misalnya negoisasi, mediasi, konsiliasi maupun yang tidak berdasarkan pada konsensus, seperti arbitrasi. Sedangkan yang lain hanya berdasarkan konsensus, arbitrasi tidaktermasuk sebagai ADR. 104
Takdir Rakhmadi, 1997, Mempertimbangkan ADR: Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal. 25. 105
Pasal 1 angka 10, Pasal 2, Pasal 6 ayat (1-2) UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, Lembaran Negara LN 138 tahun 1999. Lihat juga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 tentang Mediasi diluar Pengadilan.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
102
hubungan keperdataan tetapi suatu mekanisme transisitional untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di suatu negara. 106 Dengan demikian, Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa-lalu, dengan cara pengungkapan kebenaran, memberikan pengakuan kepada korban bahwa mereka adalah korban, menyediakan reparasi kepada korban, serta melakukan reformasi terhadap institusi yang dianggap bertanggung-jawab atas pelanggaran HAM masa lalu untuk memastikan pelanggaran HAM tersebut tidak terulang dimasa-datang (nonrecurrence), tetapi tidak ada penghukuman terhadap pelaku. 107 Upaya maksimal yang dapat dilakukan oleh lembaga ini adalah mengidentifikasi pelaku dan mengungkap nama mereka kepada Publik (naming name). Namun ini pun biasanya hanya terbatas pada pelaku yang paling bertanggung-jawab atas kasus tersebut (the most responsible perpetrators). Bahkan kepada pelaku khususnya yang kooperatif dengan Komisi ini -- akan mendapat pengampunan (amnesty). 108 Sifat komplementari dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU No. 26 tahun 2000 dan penjelasan umumnya, yang menyatakan :
106
Hal ini dapat juga dirujuk dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR yang merumuskan “Mekanisme KKR merupakan salah satu mekanisme untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu diluar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa, dan mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian” 107
Ifdhal Kasim, Apakah Komisi Kebenaran Itu?”, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jurnal Dignitas Volume IV, hal. 21. 108 A.H Semendawai, 2005, Working Paper “Relasi Antara KKR dan Badan Peradilan di Indonesia: Mencari Format Hubungan Ideal untuk Pemberian Keadilan Bagi Korban”, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal. 13.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
103
Pelanggaran hak sasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah diberi putusan oleh pengadilan hak asasi manusia ad hoc maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak berwenang memutuskan. Dengan demikian, putusan Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi atau putusan pengadilan hak asasi manusia ad hoc bersifat final dan mengikat.
Dari ketentuan di atas, paling tidak dua kesimpulan yang dapat diambil, yaitu 1. Komisi bekerja terlebih dahulu untuk mengungkapkan kebenaran dan melakukan prosesproses penyelesaian, apabila perkaranya bisa diselesaikan maka perkara tersebut berhenti sampai di Komisi saja; 2. Tetapi apabila perkaranya tidak dapat diselesaikan, maka perkaranya kemudian diajukan lagi ke Pengadilan HAM ad-hoc. Pada saat itulah Pengadilan HAM ad-hoc mulai bekerja. Berkaitan dengan karakteristik, setidaknya terdapat empat elemen umum yang dimiliki berbagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di dunia sejauh ini. Pertama, yang menjadi fokus penyelidikan KKR adalah kejahatan masa lalu. Kedua, tujuannya untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kejahatan HAM dan pelanggaran hukum internasional pada kurun waktu tertentu, serta tidak terfokus pada satu kasus saja. Ketiga, masa bakti terbatas, biasanya berakhir setelah perampungan laporan. Keempat, memiliki kewenangan mengakses informasi ke lembaga apapun, dan mengajukan perlindungan hukum terhadap saksi. Kemudian yang menjadi penting kenapa KKR menjadi solusi yang efektif karena urgensi dari KKR adalah membangun pondasi kesatuan bangsa menuju demokrasi, untuk membangun kembali kepercayaan public terhadap prinsip-prinsip hokum dan keadilan melalui penungkapan kebenaran faktual, walau nantinya bermuara pada pemaafan. Keunggulan KKR juga menjadi pertimbangan serius, karena model KKR dapat menangani
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
104
kasus dalam jumlah lebih besar sekaligus, sehingga hal ini mengefisiensikan waktu dan biaya, dapat juga mengungkap berbagai pertanyaan penting dan mendasar, dapat menjadi media bantuan praktis bagi para korban untuk memperoleh hak-hak pemulihan diri sebagai koprban dan dapat mengurangi jumlah kebohongan yang beredar tanpa dibuktikan kebenarannya di depan publik. Penutup Dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat terdapat beberapa mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu yaitu Pengadilan HAM ad-hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta Alternative Dispute Resolution (ADR). Dalam perkembangan hukum di Indonesia, KKR telah dihapuskan melalui putusan MK yang membatalkan UU KKR. Padahal KKR memiliki fungsi yang sangat penting dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat. KKR adalah membangun pondasi kesatuan bangsa menuju demokrasi, untuk membangun kembali kepercayaan public terhadap prinsipprinsip hokum dan keadilan melalui penungkapan kebenaran faktual, walau nantinya bermuara pada pemaafan.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
105
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Djoko Prakoso, Tanpa tahun, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktik Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta.. Semendawai, A.H, 2005, Working Paper “Relasi Antara KKR dan Badan Peradilan di Indonesia: Mencari Forma Hubungan Ideal untuk Pemberian Keadilan Bagi Korban”, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta. Takdir Rakhmadi, 1997, Mempertimbangkan ADR: Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta. INTERNET Badruzzaman Ismail, ___”Pola-pola damai Sebagia Solusi Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu”, http://www.acehinstitute.org/opini_hbadruzzaman_pola_damai.htm, diakses tanggl 1 Juni 2010. Wikipedia, “KomisiaKebenaranadanaRekonsiliasi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kebenaran_dan_Rekonsiliasi, diakses tanggal 1 Juni 2009.
JURNAL Ifdhal Kasim, Apakah Komisi Kebenaran Itu?, Jurnal Dignitas Volume IV, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004. Jose Zalaquett, Menangani Pelanggaran HAM di Masa Lalu : Prinsip-prinsip penyelesaian dan Kendala Politik”, Jurnal Dignitas Volume I, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
106
UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Jimmy Z Usfunan Fakultas Hukum Mahasaraswati Denpasar
[email protected]
Abstract:
Article 28 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia guarantees freedom of association and to assemble, to express written and oral opinions, etc., shall be regulated by law. Theoretically, the concept of rule of law both in the Continental European system and the Anglo Saxon, has similarities in guarantees the protection of human rights including the freedom of the press, but in applicative cases of violence that occurred to reporters as if blasted by the State guarantees the protection of human rights. Whereas in Article 8 the Act of Republic of Indonesia No. 39 of 1999 Concerning Human Rights determines the principal responsibility for protecting, promoting, upholding, and fulfilling human rights lies with the Government. With the freedom of the press, does not mean that human press (jurnalist) can freely preach one thing without obey the law corridor that has been determined. Legally in Article 5 paragraph (1) the Act of Republic of Indonesia No. 40 of 1999 concerning Press, shall determine that the national press is obliged to proclaim the events and opinions with respect the religious norms and a sense of public decency and the presumption of innocent. Restrictions on the press aims to respect the human rights of others.
Key words : freedom of the press, human rights, and law
Pendahuluan Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya yang ditetapkan dengan Undang-undang. Pers yang meliputi media cetak, media
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
107
elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Masa reformasi merupakan era kebebasan bagi insan pers di Indonesia, sebab era tersebut merupakan titik awal bebasnya dari belenggu pembungkaman kebebasan berpendapat di Indonesia pada era orde baru. Banyak pihak yang menyatakan bahwa kebebasan pers pada saat orde baru tidak sebebas masa reformasi. Sebab pemerintahan yang terkesan otoriter sangatlah memusuhi pers sebagai media otokritik terhadap penguasa. Kebebasan pers merupakan salah satu perwujudan kedaulatan rakyat, dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Sebab dalam kehidupan yang demokratis itu, menghendaki penyelenggaraan negara yang transparan sehingga peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan roda pemerintahan, dapat terimplementasi dengan baik. Meskipun kemerdekaan pers telah dijamin dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, namun masih juga terjadi tindakan kriminalisasi terhadap wartawan. Adapun kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan yang terjadi pada masa reformasi, sebagaimana dicatat oleh Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) tanggal 16 Juni 2006, yakni 109; Pemukulan terhadap 5 wartawan, Bambang SP (Kamerawan TVRI), Endan Syafardan (Reporter TVRI), Aleks Madji (Wartawan Suara Pembaruan, Imron (koresponden SCTV di Samarinda) dan Jasmin Jafar (Koresponden Trans TV Samarinda) mereka diserang dan diusir sekelompok orang tak dikenal pada 13 Juni 2006, saat hendak melakukan liputan ke wilayah Kutai Kertanegara, tepatnya diatas jembatan Tenggarong, kelima wartawan itu dihadang sekelompok orang tak dikenal yang keluar dari 2 mobil kijang dan sepeda motor. Penyerang itu langsung memukuli, mengancam dan memaksa wartawan agar tidak melanjutkan perjalanan ke Kutai Kertenagara melainkan langsung pulang ke Jakarta.
109
Aji Indonesia,___, ___,http.ajiindonesia.org, diakses pada 12 Januari 2012.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
108
Dalam pemberitaan Kantor Berita Antara, Aliansi Jurnalistik Indonesia mencatat sebanyak 270 kasus kriminalisasi terhadap pers terjadi pada tahun 2005 hingga 2009 di Indonesia, 110 kriminalisasi pers terbanyak tahun 2007 mencapai 75 kasus, 2008 (59 kasus), 2006 (53 kasus), 2005 (43 kasus) dan 2009 sebanyak 40 kasus. Kriminalisasi pers dilakukan dalam bentuk pembunuhan, penculikan, pemenjaraan, serangan fisik, pengusiran, pelecehan, ancaman dan tuntutan. Selain itu, sebagaimana diberitakan TV One, 25 Januari 2010, yang memberitakan tentang catatan Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) bahwa sebanyak 5 orang wartawan meninggal dunia atau hilang akibat kriminalisasi pers di Indonesia tahun 1999 s/d 2009 111. Korban-korban itu diantaranya Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, Wartawan Harian Bernas Yogyakarta pada tahun 1999, Reporter RCTI Sory Ersa Siregar yang tewas diculik saat meliput Konflik Aceh di Langsa tahun 2003, Herliyanto dari Tabloid Delta Post Sidoarjo yang ditemukan tewas pada 29 April 2006 di dalam hutan jati Desa Tarokan, Banyuanyar, Probolinggo, Jawa Timur, AA. Gde Bagus Narendra Prabangsa, Wartawan Radar Bali yang ditemukan tewas tanggal 16 Februari 2009. Kemudian data terbaru
yang dimiliki Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
menunjukkan, pada tahun 2011, tindak kekerasan terhadap jurnalis tercatat 96 kasus, sedangkan pada tahun 2010 ada 69 kasus. 112 Selain itu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengemukakan jumlah kekerasan fisik 2011 meningkat dari 16 menjadi 19 kasus yang didominasi oleh aparat pemerintah dan kelompok massa. Kekerasan fisik meliputi
110
Antara, 2010, “270 Kasus Kriminalisasi Pers Selama 2005-2009”, http://www.antaranews.com/berita/1264314959/270-kasus-kriminalisasi-pers-selama 2005-2009, diakses pada 10 Januari 2012. 111 TV One,___ “AJI:Lima Wartawan RI Mati Akibat Kriminalisasi Pers”, http://hukum.tvone.co.id/mobile/read.php?id=32088 , diakses pada 10 Januari 2012. 112 Kompas, 2011, Tahun 2011, Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat, www.kompas.com, diakses pada 10 Januari 2012.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... intimidasi,
teror,
pemukulan,
penyerangan,
pengeroyokan,
pembakaran,
109 sampai
pembunuhan. Divisi Advokasi AJI Indonesia mencatat 49 kasus kekerasan terhadap jurnalis periode Desember 2010 - Desember 2011, meliputi kekerasan fisik dan non-fisik. 113 Dari data-data tersebut menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap Jurnalis atau wartawan seiring berjalannya waktu yang mengisyaratkan bahwa perlindungan Negara terhadap kebebasan pers belum membaik. Padahal pengakuan dan jaminan Negara terhadap kebebasan pers diakui secara konstitusional. Berkaitan dengan perlindungan HAM, Undang-Undang Dasar 1945 telah diamandemen dengan menambahkan sejumlah ketentuan terkait dengan perlindungan, penegakan dan pemenuhan HAM pada Pasal 28 UUD NRI 1945. Namun dalam perkembangannya perlindungan HAM oleh Negara masih belum berjalan optimal. Secara normatif pengertian Pers dan Wartawan, ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni : Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pada Pasal 1 angka 4, menentukan, “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.”
113
Oke Zone, 2011, “Selama 2011 Kekerasan Terhadap Wartawan Oleh Aparat Meningkat”, news.okezone.com, diakses pada 10 Januari 2012.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... Dengan demikian kegiatan
pers dalam
110
menyampaikan informasi dengan
menggunakan sarana media apapun merupakan kegiatan dalam memenuhi HAM masyarakat untuk mendapatkan informasi. Kebebasan Pers Dalam Negara Hukum Secara filosofis kebebasan pers merupakan aktualisasi dari penggunaan HAM yang dijamin oleh konstitusi. Perhatian Negara yang belum optimal terhadap perlindungan kepada insan pers merupakan bentuk “pengingkaran” terhadap prinsip Negara hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, yang menentukan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsep Negara hukum baik dalam sistem Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon, memiliki persamaan dalam menjamin perlindungan HAM. Karenanya perlindungan terhadap kebebasan pers itu bersifat universal. Adapun ciri-ciri Negara hukum “Rechstaat”, yang diungkapkan oleh Frederick Julius Stahl, yakni: 1. Asas Legalitas 2. Perlindungan HAM 3. Pembagian Kekuasaan 4. Adanya Peradilan Administrasi 114 Ciri Negara hukum “Anglo Saxon” yang dikenal dengan konsep “rule of law”, dipopulerkan oleh Albert Venay Dicey, diantaranya: 1. Supremasi Hukum 2. Equality before the law (Persamaan dimuka hukum) 3. HAM 115 114
Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, hal. 28.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
111
Sedangkan menurut J.B.M. Ten Berge menyebutkan prinsip-prinsip negara hukum yaitu: 116 1. Asas Legalitas 1. Perlindungan hak-hak asasi; 2. Pemerintah terikat pada hukum; 3. Monopoli pemaksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum; 4. Pengawasan oleh hakim yang merdeka Kegiatan jurnalistik sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Pers tersebut merupakan wujud dari hak asasi manusia (HAM) yang dijamin secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menentukan: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untu mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: 1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. 2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. 115
Subawa et.all, 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar, hal. 56. 116 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 9
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
112
Ketentuan Pasal 28 F UUD NRI 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang HAM tersebut merupakan landasan yuridis bagi jaminan kebebasan pers di Indonesia. Jaminan kebebasan pers tidak hanya berlaku di tingkat nasional melainkan secara juga secara internasional, yakni pada Pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, menentukan: Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.
Dengan demikian Negara harus menjamin penggunaan HAM terkait kebebasan pers di masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Istilah Secara terminologi frasa “kemerdekaan”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia117 dimaknai sebagai keadaan berdiri sendiri, bebas, lepas, tidak terjajah lagi. Sedangkan Kemerdekaan dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu kebebasan dari perhambaan, penjajahan, penindasan 118. Frasa “kemerdekaan” tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa istilah kemerdekaan pada dasarnya berkaitan dengan kehidupan suatu bangsa untuk membebaskan diri dari penjajahan. Atau suatu gerakan untuk membebaskan diri dari perbudakan atau penindasan.
117
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Republik Indonesia, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php 118 W.J.S.Purwadaminta, 1987, Kamus Bahasa Indonesia, hal.84.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
113
Dengan demikian makna “kemerdekaan pers” itu tidak tepat untuk digunakan, sebab bangsa ini telah merdeka tahun 1945 lalu. Berkaitan dengan terminologi “kemerdekaan”, Louis O. Kattsoff, 119 mengatakan : Kadang-kadang antara istilah kebebasan dan kemerdekaan merupakan pengertian – pengertian politik yang dipergunakan secara bertukar-tukar dan kadang – kadang mengandung suatu hubungan antara genus dengan species. Demikianlah kita mendengar orang mengatakan bahwa kesepuluh Amandemen yang pertama terhadap konstitusi Amerika Serikat memberikan jaminan kepada rakyat Amerika akan kemerdekaan tertentu untuk melestarikan kebebasan – kebebasannya. Dari sudut pandang ini berarti kebebasan merupakan suatu keadaan yang diakibatkan oleh adanya pelaksanaan kemerdekaan. Secara politis manusia tidak mungkin menikmati kebebasan-kebebasannya manakala tidak ada jaminan kemerdekaan. Dengan demikian istilah kebebasan pers lebih tepat untuk digunakan. Perlu dipahami penggunaan frasa “kemerdekaan” pada Undang-Undang Pers tersebut merupakan ungkapan emosional bangsa Indonesia dalam pembentukan Undang-Undang pada saat itu. Sebab terpasungnya kebebasan pers saat orde baru mengesankan adanya bentuk penjajahan terhadap dunia pers di negeri ini. Dilihat dari sejarah, era reformasi merupakan awal baru bagi kemerdekaan pers di Indonesia dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Momen tersebut memberikan harapan baru bagi dunia pers dalam menggunakan kebebasannya guna menjalankan tugas dan fungsinya sebagai kontrol sosial. Sebab diberikannya kebebasan dalam pemberitaan yang berkaitan dengan kepentingan umum, itu sejalan dengan pemenuhan HAM. Memang secara yuridis perlindungan pers dijamin oleh peraturan perundangundangan, akan tetapi secara aplikatif kasus kekerasan yang terjadi kepada wartawan seakan 119
Louis O.Kattsoff dalam Yohanes Usfunan, 2010, HAM Politik Kebebasan Berpendapat di Indonesia, Udayana University Press, Denpasar, hal. 26
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
114
mengecam jaminan perlindungan HAM oleh Negara. Padahal dalam Pasal 8 UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, menentukan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Fungsi Pers dan Kedaulatan Rakyat Intisari dari prinsip Kedaulatan rakyat, ialah rakyat yang memegang kekuasaan tertinggi di dalam negara. Selain dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Negara sesuai amanat Konstitusi, kedaulatan rakyat juga diaktualisasikan oleh lembaga Pers yang bertugas untuk melakukan kontrol sosial dalam penyelenggaraan negara. Dalam Pasal 3 Undang-Undang N0. 40 Tahun 1999 tentang Pers, menentukan Pers nasional mempunyai fungsi kontrol sosial, pendidikan , hiburan, informasi dan komunikasi. Secara konseptual fungsi konvensional pers meliputi; a. Sebagai MiddleMan b. Sebagai Watchdog c. Sebagai Attackdog. 120 Konsep middleman menyangkut fungsi pers sebagai perantara, antara pemerintah dengan masyarakat dalam meyampaikan berbagai informasi dan peristiwa termasuk kegiatan dan kebijakan pemerintah. Sedangkan, konsep watchdog menyangkut fungsi pers dalam melakukan investigasi atas kehidupan publik dan membuka skandal-skandal yang merugikan kepentingan publik. Acapkali, attackingdog berpotensi menjadi aktor politik yang menakutkan dan yang dapat membahayakan ketenangan masyarakat.
120
Ibid, hal. 204.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
115
Sedangkan Oemar Seno Adji 121 menyebutkan 4 fungsi Pers, yaitu 1. menyampaikan kritik dan koreksi, 2. sebagai barometer, 3. sebagai petunjuk, dan 4. sebagai pengontrol Fungsi-fungsi tersebut secara nyata dipahami sebagai bentuk peran serta masyarakat dalam pembangunan negara demi menjalankan prinsip kedaulatan rakyat. Aktualisasi konsep kedaulatan rakyat merupakan wujud bahwa penyelenggaraan negara demi kepentingan rakyat. Karenanya kekerasan terhadap jurnalis merupakan bentuk pemasungan terhadap prinsip kedaulatan rakyat yang telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Di samping itu, tentu perlu adanya pemahaman yang bijak, disamping menuntut pembenahan kepada pemerintah dalam hal perlindungan jurnalis, insan pers juga perlu mengoreksi diri dan mencegah penyalahgunaan kebebasan pers dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Sebab penyalahgunaan kebebasan pers oleh para oknum merupakan bentuk pelanggaran terhadap kemurnian prinsip kedaulatan rakyat dijalankannya. Pers dan Pembatasannya Tentunya juga dengan adanya kebebasan pers, tidak mengartikan bahwa insan Pers sebebas-bebasnya dalam memberitakan suatu hal tanpa mematuhi koridor hukum yang telah ditentukan. Secara yuridis dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers, menentukan bahwa Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati normanorma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. 121
Oemar Seno adji, 1997, Mass Media dan Hukum, Erlangga, Jakarta, hal. 76.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
116
Ketentuan tersebut merupakan pembatasan dari pelaksanaan kegiatan pers, sebab kebebasan pers merupakan wujud dari HAM relatif yang berbeda dengan HAM absolut dalam penggunaannya tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Sebagaimana diketahui kharakteristik HAM terdiri dari 2 kharakter, yakni: a. Kharakter HAM Absolut b. Kharakter HAM relatif HAM absolut merupakan HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, diantaranya Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Sedangkan HAM relatif merupakan HAM yang dapat dibatasi dalam penggunaannya. Karenanya selain dibatasi dalam Pasal 5 Undang-Undang Pers, pembatasan penggunaaan HAM, juga dibatasi secara konstitusional dalam Pasal 28 huruf J UndangUndang Dasar Negara, menentukan: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Perlunya pembatasan pers ini merupakan wujud dari pencegahan bentuk arogansi pers. Fenomena lepasnya dari belenggu orde baru acapkali berimplikasi pada penggunaan kebebasan pers yang berlebihan oleh para oknum wartawan. Sebab secara fakta juga, tidak jarang oknum wartawan melakukan berbagai pelanggaran dalam menjalankan tugas dan fungsinya, baik itu berkaitan dengan obyektifitas dalam pemberitaan ataupun perimbangan
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
117
berita, dan lainnya. Sebab, penggunaan kebabasan pers yang kebablasan berpotensi menyerang harkat dan martabat orang lain dan mengganggu
keamanan dan ketertiban
masyarakat (prinsip Doel criteria). 122 Dengan demikian, supremasi hukum dalam kaitan dengan kebebasan pers mengandung arti bahwa, dalam suatu pemberitaan pers wartawan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum pers dan kode etik pers. Selain itu, perlu mempertimbangkan apakah suatu berita yang akan disiarkan itu layak / tidak layak, dan apakah pemberitaan pers tersebut akan mewujudkan keadilan atau justru menimbulkan ketidak adilan. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik Guna mencegah pemberitaan wartawan merugikan seseorang tanpa alasan diharuskan mematuhi, Kode Etik Jurnalistik123 dengan mempertimbangkan hal-hal sbb. : 1. Pemberitaan Yang Akurat - Bertanggung Jawab. - Mempertimbangkan layak atau tidak. - Tidak diskriminatif. - Tidak sewenang-wenang. 122 123
Yohanes Usfunan,op.cit, hal. 246 Kode Etik Jurnalistik PWI.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
118
- Memisahkan fakta dengan opini. - Obyektif dan sportif. - Tidak Sensasional - Imoral. - Tidak berdasarkan Desas-desus, hasutan, Fitnah.
2. Sumber Berita
- Memperoleh Informasi Dengan cara yang benar. - Meneliti Kebenaran suatu informasi. - Meneliti kredibilitas suatu informasi. - Melindungi Sumber berita. - Informasi secara of the record. - Jujur menyebut Sumber dalam mengutip suatu berita.
Selain kode etik jurnalistik PWI tersebut, terdapat pula Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008 yang mengatur tentang kode etik jurnalis. Dengan adanya pengaturan terkait pembatasan pers akan menjamin penggunaan kebebasan pers yang professional dengan menghormati nilai agama, moral, serta menghormati hak asasi orang lain. Sehingga memaksimalkan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial dalam menjalankan amanat sebagai salah satu pemegang kedaulatan rakyat.
Penutup
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
119
Kebebasan pers merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM), karena itu Negara harus menjamin perlindungannya. Perlindungan hukum bagi tindakan kriminalisasi terhadap pers merupakan tugas negara dalam menjamin kebebasan pers di Indonesia sebagaimana yang telah diatur secara konstitusional. Sebab Kebebasan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Karenanya eksistensi pers, sangat diperlukan dalam penyelenggaraan roda pemerintahan. Jaminan perlindungan terhadap insan pers menjadi tanggung jawab Negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adanya kebebasan pers tidak mengartikan penyelenggaraan kegiatan jurnalistik menjadi sangat bebas, melainkan terdapat koridor-koridor hukum yang membatasi penyelenggaraan kegiatan jurnalistik. Hal ini diperlukan guna menghormati penggunaan hak asasi orang lain. Sebab kebebasan pers merupakan HAM yang berkharakteristik relatif sehingga penggunaannya dapat dibatasi. Perlu peningkatan perlindungan oleh pemerintah terhadap wartawan dalam menjalankan kegiatan jurnalistik. Para wartawan dalam melaksanakan tugasnya hendaknya mematuhi pembatasan pers dengan menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, asas praduga tak bersalah serta mematuhi kode etik jurnalistik.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
120
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Mahfud MD, Moh., 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta Purwadaminta, W.J.S., 1987, Kamus Bahasa Indonesia Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Subawa et.all, 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar Yohanes Usfunan, 2010, HAM Politik Kebebasan Berpendapat Di Indonesia, Udayana University Press, Denpasar.
INTERNET
Aji Indonesia, ___, ___, http.ajiindonesia.org, diakses pada 12 Januari 2012. Antara, 2010, “270 Kasus Kriminalisasi Pers Selama 2005-2009”, http://www.antaranews.com/berita/1264314959/270-kasus-kriminalisasi-pers-selama 2005-2009, diakses pada 10 Januari 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
Pendidikan
Republik
Indonesia,
Kompas, 2011, Tahun 2011, Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat, www.kompas.com, diakses pada 10 Januari 2012. Oke Zone, 2011, “Selama 2011 Kekerasan Terhadap Wartawan Oleh Aparat Meningkat”, news.okezone.com, diakses pada 10 Januari 2012. Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 9 TV
One,___ “AJI:Lima Wartawan RI Mati Akibat Kriminalisasi Pers”, http://hukum.tvone.co.id/mobile/read.php?id=32088 , diakses pada 10 Januari 2012.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Kode Etik Jurnalistik PWI.
121
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
122
EKSISTENSI HUKUMAN MATI DITINJAU DARI PERSEPSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (HAK UNTUK HIDUP) Sagung Putri M.E. Purwani Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstract: Implementation of the death penalty, do not mean tolerance of what has been done by the perpetrators of criminal acts. No means to respect the rights of a person’s life, then it should let the atrocity or cruelty continues. One of this principle should not be allowed to lose the principles to be firm and not compromise on crime. Regarding the death penalty, even if executed, not executed with the intention of "killing". The only legitimate purpose of capital punishment is to preserve and protect the lives of the forces that threaten it. Key words : Death Penalty, Right to Life, Human Rights Pendahuluan Perdebatan tentang hukuman mati sudah cukup lama berlangsung dalam hukum pidana di berbagai belahan dunia. Praktek hukuman mati telah dilakukan sejak dulu dihampir seluruh negara dan sampai saat ini masih banyak negara yang menerapkan hukuman mati, antara lain : Cina, Pakistan, Malaysia, Amerika Serikat, Arab Saudi, Iran, dan lain-lain. Cara untuk menghukum mati terpidana pun beragam, ada yang menggunakan kursi listrik, dimasukkan dalam kamar gas, gantung, pancung, ditembak, dengan minuman racun dan ada juga yang menggunakan obat. Meskipun banyak kecaman, negara pendukung hukuman mati tetap melaksanakan hukuman mati. Alasan yang dikemukan oleh negara-negara tersebut bahwa ideologi, agama dan pandangan hukum tertentu masih membenarkan untuk tetap melaksanakan hukuman mati. Disamping itu hukuman mati masih dianggap konstitusional karena sesuai dengan peraturan negaranya. Sebuah negara memiliki hak sebagai subyek berdasarkan konstitusinya untuk menjatuhkan hukuman mati kepada siapapun yang telah diputus bersalah sesuai hukum yang berlaku.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
123
Indonesia kontroversi hukuman mati kembali menyeruak dan menimbulkan pro dan kontra diberbagai kalangan. Hal ini terjadi terkait dengan dikeluarkannya beberapa Keputusan Presiden yang menolak permohonan grasi terhadap para terpidana mati yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan pembunuhan. Ada dua pendapat yang bertentangan dalam perdebatan tersebut yakni yang setuju terhadap hukuman mati dan pada pihak lain tidak setuju terhadap hukuman mati. Secara singkat pihak yang tidak setuju menyatakan hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, dengan mengacu kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengutip Pasal 28 A perubahan kedua yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Dengan demikian hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable human right). Perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Namun dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR memberi peluang untuk tetap melaksanakan hukuman mati, yang menyatakan : “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukan kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan kovenan ini dan kovenan tentang pencegahan dan hukuman tentang kejahatan genosida. Sedangkan pihak yang setuju berargumentasi bahwa hukuman mati masih relevan diterapkan di Indonesia dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman hukuman mati dalam hukum posistif Indonesia, baik di dalam
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
124
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan perundang-undanga di luar KUHP sehingga sebagai suatu negara hukum kebradan hukuman mati harus dihormati keberlakuannya. Alasan lainnya pidana mati masih diperlukan untuk menjadi shock therapy bagi pelaku kejahatan, karena shock therapy itu penting mengingat banyak tingkat kejahatan yang terjadi di masyarakat. 124 Menggunakan pemidanaan untuk menimbulkan efek jera akan muncul pertanyaan penting apakah betul dengan adanya hukuman mati dapat dikurangi angka kejahatan? Ternyata berbagai hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi positif antara hukuman mati dan penurunan angka kejahatan. “Perspektif hukuman mati lebih ditujukan pada orang lain agar tidak melakukan kejahatan serupa atau lebih dari itu, tidak terdapat fakta-fakta yang membuktikan terjadinya penurunan data kejahatan baik secara kuantitas maupun secara kualitas.” 125 Alasan tersebut sudah tidak relevan untuk dikemukakan. Hal yang perlu dikaji lebih lanjut adalah mengenai keberadaan hukuman mati itu sendiri dalam kaitannya dengan hak asasi manusia. Penegakkan hak asasi manusia tidak boleh bersikap diskriminatif termasuk memperjuangkan hak hidup seorang penjahat kelas berat sekalipun, karena mereka memiliki hak untuk hidup sebagai hak asasi yang paling mendasar. Berdasarkan pemaparan di atas, dapatlah tergambar bahwa “Bagaimana eksistensi hukuman mati ditinjau dari perspektif hak asasi manusia khususnya mengenai hak untuk hidup?” Hukuman Mati Dalam Perspektif HAM Masalah keberadaan hukuman mati dan haka asasi manusia dalam hukum pidana tidak terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. Berkenaan
124 125
______, Hukuman mati Harus Selektif, Kompas 11 Januari 2003 Ibid.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
125
dengan hal tersebut berikut ini akan dikemukakan tentang prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan oleh teori-teori mengenai tujuan pemidanaan. a.
Teori Retributif (Vergeldings Theorieen) Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan, yang merupakan pembenar dari
penjatuhan pidana berupa penderitaan kepada sesorang pelanggar hukum pidana. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan kepada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain, penjahat telah melakukan penyerangan yang merugikan hak dan kepentingan hukum. Setiap kejahatan harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memperhatikan masa depan baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat. 126 Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai 2 arah, yaitu : -
Ditujukan pada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan);
-
Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan). 127
Dari uraian teori tersebut maka pidana dimaksudkan untuk membalas tindak pidana yang dilakukan seseorang sehingga setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana. Seorang mendapat pidana oleh karena telah melakukan kejahatan. Hal tersebut merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Teori ini memusatkan perhatiannya pada masalah perbuatan (jahat) yang telah dilakukannya. Dalam konteks ini pidana menjadi pembalasan yang adil bagi kerugian yang sudah ditimbulkannya.karena telah memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan 126
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal. 154. 127
Ibid.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
126
masyarakat. Jika dikaitkan antara hukuman mati dengan teori ini maka penjatuhan hukuman mati tidak bertentangan dengan teori ini karena teori ini tidak memperhatikan akibat-akibat apapun yng mungkin timbul dengan dijatuhkannya pidana. Tidak peduli apakah masyarakat mungkin dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan. b.
Teori Utilitarian atau Teori Telelogis (Doel Theorieen) Teori ini juga dikenal dengan teori relatif atau teori tujuan, teori ini lahir sebagai
reaksi terhadap teori absolut/teori retributif. Teori ini dikemukakan oleh John Howard (1726-1791), Cesare Beccaria (1738-1794), dan Jeremy Bentham (1748-1832). Secara garis besar teori ini mengacu pada dasar bahwa pidana adalah suatu alat untuk menegakkan hukum dalam masyarakat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, sehingga tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Tujuan pidana menurut teori relatif ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah untuk mencegah timbulnya tindak pidana dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka pidana mempunyai tiga macam sifat, yaitu : bersifat menakut-nakuti, bersifat memperbaiki dan bersifat membinasakan. Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak supaya orang jangan melakukan kejahatan. 128 Atas dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut teori teleologis atau utilitarian penjatuhan pidana ingin dicapai dua hal yaitu : a)
Prevensi umum (General preventie) Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan
ketertiban masyarakat dari gangguan kejahatan. Dengan memidana pelaku tindak pidana, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. 128
Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal. 16.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... b)
127
Prevensi khusus (Speciale preventie) Prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana adalah agar terpidana jangan
mengulangi perbuatannya. Dalam hal ini pidana dimaksudkan untuk memperbaiki sikap dan perilaku dari pelaku tindak pidana yang berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya. Jadi menurut pandangan Utilitarianisme bahwa pidana itu ditetapkan bertujuan untuk pencegahan kejahatan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masayarakat. Proses penjatuahan pidana yang terpenting bukanlah pidana itu sendiri tetapi sesuatu yang ingin dihasilkan dengan adanya pemidanaan tersebut. Dari uraian tersebut maka hukuman mati bertentangan teori utilitarian, baik dari prevensi umum maupun khusus. Ditinjau dari prevensi umum ternyata hukuman mati tidak berhasil sebagai sarana yang bersifat menakut-nakuti anggota masyarakat lainnya tetap saja melakukan tindak pidana. Sedangkan kalau ditinjau dari prevensi khusus maka dengan dijatuhi hukuman mati maka tidak ada kesempatan untuk mendidik dan memperbaiki terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya. c.
Retributivisme Teleologis (Teleological Retributivist) Selanjutnya muncul paradigma yang bersafat integratif yang mangakumulasikan kedua
pandangan diatas ke dalam satu pemahaman. Teori ini dipelopori oleh Cesare Lambroso, yang mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, sehingga menurut aliran ini tujuan dari pemidanaan adalah bersifat plural, disatu sisi pidana itu dimaksudkan sebagai pengimbalan atau pembalasan atas dilakukannya kejahatan, disisi lain pidana itu juga dimaksudkan sebagai prevensi baik yang bersifat umum maupun
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
128
khusus. Teori ini mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus “retribution” dan yang bersifat “utilitarian”, misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang kesemuanya dilihat sebagai sarana-sarana yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. 129 Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana yang dengan suatu cara tertentu diharapkan untuk dapat mangasimilasikan kembali narapidana kedalam masyarakat. Teori ini dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu : 1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat. 2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. 130 Jika hukuman mati ditinjau dari teori ini maka sulit sekali menentukan apakah hukuman mati sesuai atau bertentangan teori ini karena teori ini merupakan akumulasi dari dua teori yang bertentangan. Di satu sisi teori ini membenarkan dijatuhkannya hukuman mati sedangkan disisilain justu bertentangan dengan tujuan dari tori ini. Indonesia adalah salah satu negara yang masih tetap mempertahankan hukuman mati. Eksistensinya dapat dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan beberapa Tindak Pidana Khusus. Pada Undang-undang Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Tindak Pidana Ekonomi, Tenaga Atom dan Antiterorisme jelas mengenal juga hukuman mati.
129 130
Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, hal. 52. Adami Chazawi, op.cit, hal. 162
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
129
Keadaan apapun pidana mati yang diancamkan dalam pasal-pasal perundangundangan tetap berlaku. Meskipun kemudian muncul wacana yang menghubungkan pidana mati dengan HAM karena acapkali hukuman mati bersinggungan dengan HAM. Ada sementara pandangan yang melihat hukuman mati bertentangan dengan HAM. Pandangan tersebut bertolak dari ketentuan Pasal 28 A UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 yang pada pokoknya menentukan, ''setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya'' serta ketentuan dalam pasal 28 I UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 yang menegaskan bahwa “hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Kalangan yang berpandangan normatif tentang pasal ini akan berpendirian bahwa hukuman mati jelas akan bertentangan dengan konstitusi. Pandangan ini dalam perspektif hukum tentu saja tidak terlalu salah. Argumentasinya, dengan penerapan hukuman mati maka orang tidak dapat memperbaiki dirinya, tidak berhak hidup dan mempertahankan kehidupannya sebagaimana dijamin undang-undang. Contoh konkret, misalnya UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan, ''hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan seterusnya, adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.''. Argumen demikian tentu dapat dibenarkan apabila aspek HAM hanya dipandang dari dimensi pelaku tindak pidana itu sendiri. Hak untuk hidup tergolong dalam non derogable rights, yakni hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi oleh siapapun dan dalam kondisi apapun. Sifat hak hidup ini sangat mendasar dan fundamental karena hakhak manusia yang lainnya tergantung dengan hak hidup tersebut. Setiap manusia sejak kelahirannya memiliki hak untuk hidup dan berhak mendapatkan perlindungan hukum untuk mendapatkannya, termasuk juga terpidana. Namun jika ditinjau dari aspek
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
130
sosialogis, pendapat demikian jelas hanya sepihak, melihat hukum di luar konteks kenyataan sosialnya. Dilihat dari sudut hukum yang hidup bahwa pidana mati baik dalam hukum yang tidak tertulis maupun hukum agama merupakan merupakan conditio sine qua non. Secara global dan manusiawi melalui aturan hukum pelaku jelas secara prosedural diatur hak-haknya dalam undang-undang. Mulai dari adanya pemberian bantuan hukum, disidik sesuai ketentuan hukum, adanya asas praduga tidak bersalah sampai dengan kebebasannya melakukan upaya hukum. Akan tetapi dari sisi lain, maka pelaksanaan HAM tersebut bukanlah bersifat mutlak dan tanpa adanya limitasi. Pada dasarnya, ketentuan Pasal 28 J Perubahan Kedua UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 menegaskan bahwa, ''Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.'' Dari sudut pandang ini maka pelaksanaan HAM sifatnya parsial dalam artian juga memperhitungkan
kepentingan
HAM
masyarakat,
korban
tindak
pidana
yang
dilakukannya, serta kepentingan bangsa dan negara. HAM sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng maka sudah tentu sifatnya harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan serta tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapa pun. Eksistensi hukuman mati tentu tidak memberikan toleransi terhadap mereka yang melakukan kejahatan apalagi kejahatan yang berat, akan tetapi juga tentu tidak menghendaki demi melampiaskan emosi maka melakukan pembalasan yang berlebihan terhadap pelaku kejahatan. Aspek filosofis hukuman mati berkorelasi erat dengan teori tujuan pemidanaan. Pada asasnya, hukuman mati diterapkan sebagai upaya pembalasan (vergeldings theorien) yang ingin memberi efek jera (deterrence effect) kepada si pelaku. karena teori ini tidak
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
131
memperhatikan akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dengan dijatuhkannya pidana. Tidak peduli apakah masyarakat mungkin dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu dan konsepsi pemidanaan yang dianut ternyata tujuan pemidanaan mengalami perkembangan yang signifikan, pemidanaan tidak lagi semata-mata ditujukan pada efek jera tetapi harus juga bersifat pencegahan dan pendidikan dengan melakukan rehabilitasi terhadap terpidana yakni mengembalikan terpidana seperti semula agar dapat bersosialisasi dan dapat diterima oleh masyarakat. Dari tolok ukur demikian, maka di Indonesia filsafat pemidanaan yang dirintis bersifat integratif. Sehingga jika ditinjau maka hukuman mati tidak sejalan dengan teori tujuan pemidanaan dan konsep pemasyarakatan yang berorintasi pada resosialisai dan integrasi sosial bagi terpidana. Dengan dujatuhi hukuman mati maka terpidana tidak memperoleh kesempatan untuk memperbaiki diri dan tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk menerima kembali terpidana. Disamping itu secara fakta aktual berbicara, bahwa penerapan hukuman mati bukanlah terapi yang amat manjur untuk menekan tindak pidana yang dilakukan. Hukuman mati sesungguhnya tidak mampu mencegah orang melakukan tindak pidana itu sendiri. Dengan kata lain, meskipun terhadap ancaman pidana mati terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, tidak akan mampu menakut-nakuti pelaku atau calon pelaku untuk melakukan tindakannya. Para filosof telah lama mencurahkan pemikirannya sehubungan dengan eksistensi hukuman mati ini. C Beccaria misalnya, menolak pidana mati dengan alasan bahwa pidana itu tidak dapat mencegah orang untuk melakukan tindak pidana dan bahkan mencerminkan kebrutalan dan kekerasan. Begitu juga Jeremy Bentham dengan teori felicific calculus yang mengemukakan bahwa pidana mati yang disertai kekejaman dan kebrutalan luar biasa, tidaklah merupakan pidana yang memuaskan karena ia menciptakan penderitaan yang lebih besar daripada dibutuhkan untuk tujuan tersebut. Tokoh lain yang
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
132
berpendirian lebih lunak, misalnya C Lombroso yang berpendapat bahwa pidana mati merupakan seleksi yang terakhir bilamana dengan penjara pembuangan dan kerja keras, penjahat tetap mengulangi kejahatannya yang mengancam masyarakat. Dalam hal ini Lombroso tetap menyetujui eksistensi pidana mati. 131 Filsafat Pemidanaan berkembang pemikiran bahwa pidana yang dijatuhkan bukan untuk membalas dendam, akan tetapi untuk memperbaiki, right to punish yang dimiliki oleh negara harus diganti dengan right to cure. Filsafat itu sejalan dengan tujuan pimidanaan yang kita anut saat ini yakni pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan mengusahakan agar orang yang telah melakukan kejahatan dibina, diarahkan, dididik untuk menemukan kembali nilai-nilai kemasyarakatan yang telah hilang dari dirinya. Tujuan
akhir
akan
muncul
pribadi-pribadi
baru
yang
menghargai
nilai-nilai
kemasyarakatan, kesusilaan dan moralitas. Hanya mereka yang tidak dapat dibina, bahkan menunjukkan perangai buruk, tidak menyesali perbuatannya, merasa tidak bersalah, menunjukkan sikap yang mengancam siapapun jika nanti ia dibebaskan, yang pantas dijatuhi hukuman mati. Sebagai bagian sistem pidana maka hukuman mati merupakan pelaksanaan dan konsepsi dari kebijakan sebuah negara. Oleh karena itu, acapkali konsepsi hukuman mati berubah mengiringi kebijakan negara tersebut. Contoh kongkret, misalnya secara umum Belanda telah menghapus hukuman mati sejak 1870, kemudian hanya diterapkan terbatas pada Pengadilan Militer. Sedangkan, di Indonesia, dimana KUHP merupakan konkordansi dari Wetboek van Strafrecht Belanda masih mempertahankan hukuman mati melalui ketentuan Pasal 10 KUHP sebagai bagian Pidana Pokok. Kemudian dengan adanya perubahan kebijakan negara yang lebih mengedepankan HAM maka Rancangan Undang-
131
M. Ali Zaidan, “Kontoversi Seputar Hukuman Mati”, Makalah Universitas Muhammadiah Palembang, 2003.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
133
undang Kitab Hukum Pidana Indonesia (RUU KUHP) memang tetap mencantumkan hukuman mati. Akan tetapi, hubungan mati tersebut sebagai sebuah konsep sifatnya fleksibel. Aspek ini dapat dilihat dari pengaturan hukuman mati secara tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana tersebut benar-benar bersifat istimewa dan bukan bagian dari pidana pokok. Selain itu, sifat fleksibilitasnya juga tampak adanya ketentuan limitatif hukuman mati selalu diancam secara alternatif. Pertentangan
mengenai
hukuman
mati
pastilah memiliki
kekurangan
dan
kelebihannya masing-masing, sebagaimana pergulatan pemikiran yang selama ini berkembang. meskipun sebagian kalangan menentang dilaksanakannya hukuman mati, bukan berarti melakukan toleransi terhadap apa yang telah lakukan oleh pelaku tindak pidana. Teori-teori tentang pencegahan kejahatan tentu tidak harus memanjakan penjahat, tetapi aspek korban dan perlindungan masyarakat (social defence) harus diutamakan. Tidak berarti demi menghormati hak hidup seseorang, maka harus membiarkan kekejaman atau kekejian tetap berlangsung. Tugas negara untuk melindungi serta menjamin rasa aman dan kesejahteraan hidup seluruh masyarakat dan kenyataan membuktikan, bahwa rasa aman dan kesejahteraan masyarakat ini sering terganggu. Gangguannya sangat bervariasi, dari yang amat ringan sampai yang amat ekstrem. Untuk yang ringan, masyarakat sendiri mampu melindungi diri sendiri. Tapi untuk yang ekstrem, ini sering hanya dapat diatasi dengan intervensi dan tindakan represif yang ekstrem pula dari negara. Salah satunya adalah dengan ancaman hukuman mati. Sangat tidak adil hanya menekankan hak yang satu dan mengabaikan hak yang lain. Terlebih-lebih bila hak si pelaku kejahatan-lah yang justru diperhatikan, sementara hak-hak korbannya yang justru dilupakan. Agar sedapat mungkin tak ada hak siapa pun yang dilanggar. Hukumnya terus menerus ditinjau ulang, agar semakin adil. Bentuk hukumannya juga dipilih sedemikian rupa, sehingga menimbulkan penderitaan dan kesakitan yang seminim mungkin bagi si
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
134
terhukum. Tapi yang jelas, terlepas dari pro atau kontra mengenai hukuman mati, satu prinsip ini hendaknya jangan sampai dibiarkan hilang yaitu prinsip untuk bersikap tegas dan tidak kompromi terhadap kejahatan. Mengenai hukuman mati, kalau pun dijalankan, tidak dilaksanakan dengan maksud ”membunuh”. Satu-satunya tujuan hukuman mati yang sah adalah untuk memelihara dan melindungi kehidupan dari kekuatan-kekuatan yang mengancamnya. Penutup Pidana mati jika ditinjau dari perspektif HAM jelas sangat bertentangan sebab melanggar hak hidup yang merupakan hak asasi yang paling dasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non derogable rights) karena hak tersebut merupakan hak yang melekat pada diri setiap manusia serta dilindungi oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Hukum positif Indonesia baik di dalam KUHP maupun UU di luar KUHP masih mengakui dan mencantumkan hukuman mati sebagai pidana pokok oleh karena itu sebagai sebuah Negara hukum keberadaan hukuman mati tetap harus dihormati. Teori-teori tentang pencegahan kejahatan tentu tidak harus memanjakan penjahat, tetapi aspek korban dan perlindungan masyarakat (social defence) harus diutamakan. Keberadaan hukuman mati tidak dilaksanakan dengan maksud ”membunuh” tetapi dengan tujuan untuk memelihara dan melindungi kehidupan dari kekuatan-kekuatan yang mengancamnya. Indonesia masih mengakui hukuman mati sebagai hukum positif hendaknya hukuman mati ditujukan hanya untuk kejahatan-kejahatan paling serius seperti kejahatan kemanusiaan, genosida serta kejahatan teroris. Disamping itu penjatuhan hukuman mati sebaiknya dilakukan dengan sangat selektif sebagai alternatif terakhir jika terpidana dianggap sudah tidak dapat diperbaiki dan berbahaya bagi masyarakat.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
135
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Chazawi Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung . Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. MAKALAH Zaidan M. Ali, 2003, Kontoversi Seputar Hukuman Mati, Makalah Universitas Muhammadiyah Palembang. SURAT KABAR Anonim, Hukuman mati Harus Selektif, Kompas 11 Januari 2003
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
136
PENYELESAIAN PELANGGARAN RAHASIA DAGANG DI INDONESIA
Ida Bagus Ketut Weda Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar
[email protected]
Abstract The Act no 30 of 2000 concerning Trade Secret, is part of the intellectual property right. There is a very close relationship between the protection of the trade secret or also known as the confidential information which is part of the Property Rights Intellectual with the globalization of trade. Trade Secret is now one of a very expensive form of the investment. In addition, other forms of investment which is must be maintained on all sides so as not to be abused for sake of ethers through a mechanism of competition is not fairly. As s result of this fact, the protection of trade secret will be determined by factor in attracting foreign investor entered Indonesia, and the deciding factor for frequency of international trade it self. Key words: trade secret, property right, investment
Pendahuluan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hasil dari proses kemampuan berpikir (intellectual) manusia yang merupakan ide dan diwujudkan dalam bentuk ciptaan atau invensi. Pada ide tersebut, melekat predikat intelektual yang bersifat abstrak, sedangkan pada ciptaan atau invesi yang merupakan milik didalamnya melekat suatu hak yang bersumber dari akal atau intelek manusia. Jadi dapatlah dikatakan bahwa HAKI tersebut merupakan hak yang bersifat abstrak dan termasuk pada lingkup benda tidak berwujud. Terdapat keterkaitan yang sangat erat antara perlindungan atas Rahasia Dagang (trade secret) atau yang dikenal juga dengan informasi yang dirahasiakan (undisclosed
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
137
information) yang merupakan bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelktual dengan globalisasi perdagangan 132 . Pada era globalisasi perdagangan internasional dilakukan secara bebas antar negaranegara di dunia. Kondisi ini sangat mempengaruhi perkembangan HAKI oleh karena itu perlu diberikan perlindungan hukum terhadap HAKI, dimana perlindungan ini tidak hanya secara bilateral melainkan juga secara multilateral atau secara global. Tingginya frekuensi keluar masuk dan berpindah-pindahnya sumber daya manusia dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya bahkan antar perusahaan yang berbeda negara telah menjadi ciri dalam era globalisasi perdagangan yang tidak dapat dihindarkan. Kenyataan seperti ini akan sangat berpengaruh terhadap perlindungan Rahasia Dagang. Tingginya frekuensi keluar masuk tenaga kerja dari suatu perusahaan ke perusahaan lainnya secara internasional dengan mudah dapat digunakan sebagai upaya pelanggaran Rahasia Dagang oleh kompetitor. Dengan berpindahnya sumber daya manusia dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya tidak berarti bahwa orang tersebut dapat menggunakan Rahasia Dagang yang dimiliki oleh perusahaan yang ditinggalkannya untuk dimanfaatkan pada perusahaan barunya. Oleh karena itu pembuatan kontrak kerja yang melindungi Rahasia Dagang baik itu bersifat formula, proses produksi, daftar pelanggan metodemetode dan sebagainya menjadi sangat penting untuk dilakukan. Pembentukan Undang-Undang Rahasia Dagang harus diterapkan atau setidaknya menerapkan standar minimal dalam TRIPs Agreement. Dengan kemungkinan penerapan 132
Ahmad M Ramli, , 2000, Hak atas Kepemilikan Intelektual (Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang) Bandung, Mandar Maju, hal 1.
138
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
standar minimal, berarti masih dimungkinkan celah untuk menentukan ketentuan-ketentuan yang dapat memberikan manfaat. Indonesia pada prinsipnya telah memberikan Rahasia Dagang itu sendiri jauh sebelum Undang-Undang Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang dirumuskan. UndangUndang
Rahasia
Dagang
sangat
penting
untuk
melindungi
gagasan-
gagasan yang mempunyai nilai komersil yang memberikan keuntungan bersaing. UndangUndang Rahasia Dagang juga dapat mendorong iklim yang sehat dan memantapkan hubungan para pihak dalam transaksi perdagangan dengan tersedianya perangkat aturanaturan main yang jujur, bahkan tanpa adanya kontrak yang tegas sekalipun. Lebih jauh, Undang-Undang Rahasia Dagang juga mempertinggi efisiensi dan produktivitas dengan memberikan kerangka yang mendorong arus informasi diantara semua pihak terhadap suatu transaksi perdagangan 133 . Rahasia Dagang saat ini sudah merupakan salah satu bentuk investasi yang sangat mahal disamping bentuk investasi lainnya yang harus dipertahankan terhadap semua pihak sehingga tidak disalahgunakan demi kepentingan pihak lain melalui suatu
mekanisme
persaingan tidak jujur3 . Akibat dari kenyataan ini, maka perlindungan atas Rahasia Dagang akan menjadi salah satu faktor penentu dalam menarik investor asing untuk masuk ke Indonesia, dan faktor penentu untuk frekuensi perdagangan internasional itu sendiri. Untuk melindungi Rahasia Dagangnya para investor juga berkepentingan terhadap suatu bentuk usaha penanam modal asing yang didalamnya tidak terlibat unsur luar perusahaan itu. Perlindungan Rahasia Dagang juga semakin penting jika dikaitkan dengan hubungan antar perusahaan dan karyawannya. Keberadaan PMA yag tidak melibatkan
133
Cita Citrawinda Priapantja, 1999, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi Perdagangan Atau Perlindungan Rahasia Dagang Di Bidang Farmasi, Chandra Pratama, hal. 36.
139
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
unsur luar perusahaan saat ini sudah dimungkinkan di Indonesia dengan kebijakan pemerintah yang menyatakan dibolehkannya bentuk PMA 100% saham dalam suatu PT sangat penting artinya, terutama apabila bidang usaha PT tersebut melibatkan HAKI termasuk Paten dan Rahasia Dagang. 134 Perlindungan hukum berlaku bagi Hak Kekayaan Intelektual yang sudah terdaftar
dan
berlangsung
dibuktikan selama
dengan
jangka
waktu
sertifikat yang
klasifikasinya. Apabilia orang ingin menikmati
pendaftaran. ditentukan manfaat
Perlindungan menurut
ekonomi
hukum
bidang
dan
Hak
Atas
dari
Kekayaan Intelektual orang lain, dia wajib memperoleh izin dari orang yang berhak. Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur oleh Undang-Undang guna mencegah terjadinya pelanggaran HAKI oleh orang yang tidak berhak. Undang-Undang Rahasia
Dagang
memainkan
peranan
penting
bagi
suatu
bisnis yang menghasilkan inovasi-inovasi yang harus dijaga kerahasiaannya untuk memperoleh kembali biaya-biaya dan keuntungan. Dalam konteks yang lebih luas, dasar perdagangan dari seluruh negara dapat dipengaruhi oleh seberapa luasnya sistem hukum yang melindungi Rahasia Dagang, bersama-sama Hak Atas Kekayaan Intelektual lainnya, seperti Hak Paten, Hak Merek, Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan lain-lain. Tidak memadainya Perlindungan Hukum atas Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) tersebut dapat mempengaruhi perkembangan industri karena itu
dirancang
134
untuk
merangsang
perangkat HAKI
kegiatan swasta, terutama investasi dana untuk
Komar Kantaatmadja, 1995, Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995 dan Implikasinya Terhadap Penanaman Modal Asing, Bandung, Hal 1
140
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
membantu riset dan pengembangan teknologi baru yang sudah menjadi sifatnya mengandung resiko yang lebih besar dari pada kegiatan perdagangan lainnya. Maka melalui pengurangan resiko, perangkat hukum HAKI merangsang investasi yang lebih besar dalam proses invasi . Jadi, perlindungan atas Rahasia Dagang dapat mendorong masuknya investasi, inovasi industri, dan kemajuan teknologi dan dengan demikian mempunyai pengaruh langsung pada keseluruhan perekonomian negara. Dalam
tahun-tahun
belakangan
ini,
lajunya
perubahan
teknologi,
meningkatkan pengeluaran biaya untuk riset dan pengembangan, lebih besarnya mobilitas karyawan dan kegiatan pengusaha, persaingan bisnis secara internasional, dan bertambah
rumitnya
menyatu-padukan
teknologi-teknologi
yang
berbeda,
telah
mempertinggi pentingnya Undang-Undang Rahasia Dagang Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang di Indonesia diharapkan dapat menjamin dan memberikan perlindungan hukum terhadap informasi-informasi yang bersifat rahasia dari suatu perusahaan sehingga tidak mudah diperoleh pihak
lain secara melawan hukum dan dapat terhindar dari praktek
persaingan curang atau persaingan tidak sehat. Dengan demikian, kelancaran dan kemajuan suatu perusahaan meningkatkan dan melahirkan optimisme dari pelaku usaha di dalam memasuki era globalisasi perdagangan. Era globalisasi ini memperlihatkan suatu kenyataan bahwa perdagangan global akan memasuki tahapan baru, yaitu makin berkurangnya hambatan perdagangan antar negara yang ada di dunia ini dan makin bertambahnya ketergantungan suatu negara kepada negara lainnya.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
141
Arah globalisasi ini sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan teknologi, terutama di bidang informasi, telekomunikasi, serta transportasi, dan memperlihatkan kecenderungan yang terus berkembang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini mengakibatkan suatu peristiwa di satu negara sangat mudah dan cepat diketahui oleh orang banyak yang ada di negara lain. Hal ini berarti tidak ada lagi batas antara negara dan menyebabkan pembauran antar negara menjadi semakin kompleks. Inilah salah satu gambaran yang akan dihadapi oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia dalam era globalisasi atau perdagangan bebas. Para pelaku usaha dan investor, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri merasa berkepentingan terhadap teknologi yang mereka miliki sehingga mereka merasa perlu adanya perlindungan hukum terhadap teknologi tersebut. Hal ini terjadi karena barang dan jasa yang mereka hasilkan dengan teknologi yang mereka miliki merupakan bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual yang wajib dilindungi oleh hukum yang sesuai dengan standar internasional. Munculnya keterkaitan antara barang dan jasa dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah karena di dalam proses pembuatan barang dan jasa tersebut terdapat informasi yang dirahasiakan atau yang lebih dikenal dengan Rahasia Dagang yang tidak boleh diketahui oleh umum yang merupakan bagian dari HAKI selain Hak Paten, Hak Merek, Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan lain-lain. Informasi yang dirahasiakan atau Rahasia Dagang dari suatu perusahaan merupakan hal yang sangat penting bagi pelaku usaha karena informasi ini memiliki nilai ekonomis dan menyangkut kualitas dari barang dan jasa yang dihasilkan.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
142
Apabila terjadi pembocoran maka akan merugikan perusahaan tersebut, jadi dipandang dari sudut hukum dan ekonomi, Rahasia Dagang menjadi faktor yang esensial bagi perkembangan perusahaan tersebut. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap Rahasia Dagang ini merupakan suatu syarat mutlak dan menjadi faktor yang sangat esensial terutama untuk mencegah persaingan usaha yang tidak sehat dari pelaku bisnis lainnya yang memiliki perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang sejenis, terlebih-lebih jika dikaitkan dengan globalisasi perdagangan. Jadi dengan adanya perlindungan hukum terhadap Rahasia Dagang, maka akan melahirkan bentuk persaingan dagang yang jujur di antara pelaku bisnis dan menjadi komoditas yang sangat berharga karena memiliki nilai ekonomis tinggi . Selain itu, perlindungan hukum ini menjadi salah satu faktor penentu dalam menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Para pelaku usaha enggan melakukan kegiatan perdagangan karena jika terjadi pembocoran Rahasia Dagang oleh orang yang tidak berhak maka mengakibatkan kerugian, serta investor asing tidak berminat menanamkan modalnya di Indonesia dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) yang didalamnya tidak terlibat unsur luar perusahaan itu atau dalam bentuk Joint Venture karena tingkat kompetisi antar perusahaan semakin tinggi sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Pelanggaran Rahasia Dagang Seorang dianggap tidak sah dan melanggar Rahasia Dagang orang lain apabila ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara-cara yang tidak layak, seperti wanprestasi (ingkar janji), pencurian, penyadapan, spionase, membujuk untuk
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
143
membocorkan Rahasia Dagang melalui penyuapan, paksaan dan lain-lain. Yang bukan dikatakan pelanggaran tersebut adalah kegiatan rekayasa ulang untuk mengurangi bagian-bagian suatu produk yang diperoleh secara sah guna dianalisa untuk mengetahui komposisi, cara pembuatan, cara kerja, bentuk maupun metode pembuatannya. Praktik seperti ini diakui sah sepanjang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan atau penyempurnaan lebih lanjut atas produk yang bersangkutan. Sebagai contoh, misalnya kasus Rachmat Hendarto alias Kristoforus dan Andreas Tan Giok San Alias David Tan yang didakwa telah membocorkan Rahasia Dagang PT General Food Industri Bandung (GFIB). Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Bandung, Jaksa Penuntut Umum menjerat perbuatan kedua terdakwa dengan pasal 13 jo pasal 17 Undang-Undang RI nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang jo pasal 55 ayat (1) KUH Pidana. 135 Perbuatan kedua terdakwa dinilai telah merugikan PT GFIB, yang mana keduanya saat masih bekerja dan terikat sebagai karyawan PT GFIB, telah keluar dan bekerja di perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama, yaitu pengolahan biji cokelat menjadi produk makanan olahan. Pelanggaran Rahasia Dagang terjadi apabila seseorang dengan sengaja (unsur kesengajaan): 1.
mengungkapkan Rahasia Dagang;
2.
mengingkari kesepakatan untuk menjaga Rahasia Dagang;
3.
mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang; atau,
4.
memperoleh Rahasia Dagang dengan cara yang bertentangan dengan hukum. 135
Wikipedia, 2008, “Rahasia Dagang”, http://id.wikepeda.org/wiki/rahasia_dagang, diakses pada 10 Januari 2012.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
144
Pengecualian dari Pelanggaran Rahasia Dagang : 1.
Pengungkapan
atau
penggunaan
Rahasia
Dagang
didasarkan
pada
kepentingan pertahanan keamanan, kesehatan, atau keselamatan masyarakat. 2.
Tindakan rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dari penggunaan Rahasia Dagang
milik
orang
lain
yang
dilakukan
semata-mata untuk kepentingan
pengembangan lebih lanjut dari produk yang bersangkutan. (analisis dan evaluasi untuk mengetahui informasi tentang suatu teknologi yang sudah ada). Untuk menindak pelaku pelanggaran, Indonesia wajib menerbitkan suatu peraturan baru untuk mengantisipasi perkembangan teknologi dan informasi yang kesemuanya mengarah bagi perlindungan Rahasia Dagang. Hal ini mutlak dilakukan karena saat ini Pasal 1365 KUH Perdata sudah tidak memadai dan tidak dapat mengikuti perkembangan di masa datang. Dengan terikatnya kita pada persetujuan TRIPs yang menekankan pada pelaksanaan penegakan hukum, perlu pula diadakan perbaikan-perbaikan ketentuan-ketentuan mengenai sarana hukum yang dapat mengikuti perkembangan praktek-praktek bisnis yang saat ini banyak melibatkan teknologi. Hal yang paling penting adalah bila kita tidak mau dicap sebagai bangsa yang suka menjiplak inovasi dan Rahasia Dagang milik bangsa lain, maka kita juga harus menggiatkan inovasi bertaraf internasional maupun teknologi tepat guna. Apabila pihak penerima Rahasia Dagang melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan, maka persaingan usaha tidak sehat tidak dapat dihindari lagi
dan
mengakibatkan timbulnya sengketa bisnis. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang memberikan kesempatan kepada pemegang Rahasia Dagang
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
145
untuk menyelesaikan sengketa bisnis ini melalui lembaga peradilan umum, yaitu Pengadilan Negeri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang yang menyatakan Pemegang
Hak
Rahasia Dagang
atau
penerima lisensi dapat Pengguggat siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, berupa
gugatan ganti rugi
dan penghentian semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (empat). Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) diajukan ke Pengadilan
Negeri. Semua prosedur yang dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa ini harus secara akomodatif Dalam
menyediakan Pasal 11
sarana
untuk
Undang-Undang
mengidentifikasikan Rahasia
Dagang
dan
untuk
melindungi.
memerintahkan
membayar ganti rugi yang memadai kepada Pemegang Rahasia Dagang berkenaan dengan kerugian yang di deritanya. Ganti rugi ini dapat berupa pengembalian keuntungan atau pembayaran atas hasil yang diterimanya dari kegiatan pelanggaran tersebut. Selain itu, seperti juga tercantum dalam Pasal 11 ayat (1b), Pengadilan Negeri juga berwenang untuk memerintahkan pelanggar menghentikan kegiatan pelanggaran tersebut untuk mencegah masuknya ke dalam arus perdagangan di dalam wilayah Indonesia atau memeritahkan barang yang merupakan hasil pelanggaran Rahasia Dagang, tanpa kompensasi apapun, dikeluarkan dari arus perdagangan untuk menghindari atau mengurangi kerugian yang dapat dialami pemiliknya. Walaupun sifat rahasia dari Rahasia Dagang bersifat perdata, namun UndangUndang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang juga mengatur aspek pidananya. Hal ini bertujuan untuk melindungi pemilik yang beritikad baik dan menigkatkan pengembangan dan penggunaan Rahasia Dagang oleh rakyat Indonesia.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
146
Aspek pidana yang berkenaan dengan pelanggaran Rahasia Dagang ini terdiri dari dua macam yang diatur dalam pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang yang menyatakan: Pasal 13 pelanggaran Rahasia Dagang juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja mengungkapakan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan’.
Pasal 14 menyatakan: seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Terhadap pelanggaran yang di atur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tersebut’.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang menetapkan sanksi berupa ketentuan pidana yang diatur dalam Bab IX Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan: barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengunakan Rahasia Dagang pihak lain atau melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta).
Ketentuan pidana tersebut dapat dilakukan secara alternatif atau kumulatif. Secara alternatif berarti pelanggar tersebut hanya dikenai salah satu hukuman saja, apakah pidana penjara paling lama 300.000.000,-
2
(dua) tahun atau denda paling banyak Rp
(tiga ratus juta). sedangkan secara kumulatif berarti sanksi pidana
tersebut, baik pidana penjara maupun pidana denda, keduanya dikenakan kepadanya.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
147
Walaupun negara memberikan ketentuan pidana kepada pelanggar, namun pemberian sanksi ini didasarkan kepada kepentingan pemilik atau pemegang Rahasia Dagang. Oleh karena itu, tindak pidana tersebut dijadikan sebagai delik aduan, bukan delik biasa. Dengan demikian, proses pemeriksaan atau penyidikan tndak pidana tersebut dapat dilaksanakan
apabila
ada
pengaduan
dari
pihak
yang
dirugikan.
Apabila aspek perdata dan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang dikaitkan dengan kegiatan bisnis yang akan dilakukan pemilik atau pemegang Rahasia Dagang dalam era globalisasi, maka gugatan perdata ini dapat diajukan oleh pemilik Rahasia Dagang setelah putusan pidana berkekuatan hukum tetap. Hal ini dperlukan untuk melindungi pelaku usaha dari tindakan pesaingnya yang berkaitan dengan Rahasia Dagang yang dimilikinya serta agar mampu menghadapi persaingan global yang cenderung mempergunakan teknologi canggih yang berkaitan pula dengan Rahasia Dagang. Ketentuan tentang Pelanggaran Rahasia Dagang diatur dalam Bab VII Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-Undang Rahasia Dagang. Pasal 13 menyatakan: Pelanggaran Rahasia Dagang dapat juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pelanggaran Rahasia Dagang dianggap telah terjadi jika terdapat seseorang dengan sengaja mengungkapkan informasi atau mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban (wanprestasi) atas perikatan yang telah dibuatnya baik tersurat maupun tersirat untuk menjaga Rahasia Dagang dimaksud.
148
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
Seseorang pun dianggap telah melanggar Rahasia Dagang orang lain jika ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kekecualian terhadap ketentuan pelanggaran Rahasia Dagang ini diberikan terhadap pengungkapan atau penggunaan Rahasia Dagang yang didasarkan untuk kepentingan pertahanan keamanan, kesehatan, dan keselamatan masyarakat di samping berlaku pula untuk tindakan rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dari penggunaan Rahasia Dagang milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan. Ketentuan tentang pengecualian terhadap pelanggaran Rahasia Dagang tersebut seharusnya juga dilengkapi dengan ketentuan yang secara tegas mengatur tentang pengungkapan Rahasia Dagang oleh seseorang di depan sidang pengadilan atas perintah hakim. Atas perintah hakim, seseorang yang mengungkapkan Rahasia Dagang di depan sidang pengadilan seharusnya juga ditetapkan sebagai suatu kekecualian
sehingga
yang bersangkutan tidak dianggap telah melakukan pelanggaran Rahasia Dagang. Ketentuan Pasal 18 tentang dimungkinkannya sidang pengadilan berkaitan dengan Rahasia Dagang bersifat tertutup (atas permintaan para pihak yang bersengketa) juga tidak secara tegas maupun tersirat bermaksud mengatur pengecualian di atas. Di Amerika Serikat tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran Rahasia Dagang antara lain berupa tindakan perolehan Rahasia Dagang secara tidak patut. Pengungkapan atau penggunaan Rahasia Dagang milik orang lain tanpa izin ataupunpada saat pengungkapan atau penggunaan Rahasia Dagang tersebut ia mengetahui dan patut
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
149
menduga bahwa informasi itu telah diperoleh secara tidak patut, atau diperoleh dari pihak yang seharusnya berkewajiban memelihara Rahasia Dagang itu. 136 Penyelesaian Pelanggaran Rahasia Dagang di Indonesia Pelanggaran rahasia dagang sering kali merupakan masalah yang tidak di sadari sepenuhnya oleh pelaku atau yang melakukannya, karena mereka tidak sadar sudah melakukan pelanggaran rahasia dagang tersebut. Untuk lebih jelasnya, penulis dapat menguraikan jenis-jenis pelanggaran rahasia dagang yang terjadi di indonesia, antara lain: a.
Mengungkap rahasia dagang.
b.
Mengingkari kesepakatan untuk menjaga rahasia dagang.
c.
Mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga rahasia dagang
d.
Memperoleh rahasia dagang dengan cara yang bertentangan dengan hukum. Pengecualian dari pelanggaran rahasia dagang yaitu:
a.
Pengungkapan atau penggunaan rahasia dagang didasarkan pada kepentingan pertahanan keamanan, kesehatan atau juga untuk keselamatan masyarakat.
b.
Tindakan rekayasa ulang atas produk yang di hasilkan dari penggunaan rahasia dagang milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan perkembangan lebih lanjut dari produk yang bersangkutan. 136
Pasal 2 UTSA (USA) selengkapnya berbunyi : "Misappropriation" means: (i) acquisition of a trade secret of another by a person who knows or has reason to know that the trade secret was acquired by improper means; or (ii) disclosure or use of a trade secret of another without express or implied consent by a person who (A) used improper means to acquire knowledge of the trade secret; or (B) at the time of disclosure or use, knew or had reason to know that his knowledge of the trade secret was (I) derived from or through a person who had utilized improper means to acquire it; (II) acquired under circumstances giving rise to a duty to maintain its secrecy or limit its use; or (Ill) derived from or through a person who owed a duty to the person seeking relief to maintain its secrecy or limit its use; or (C) before a material change of his position, knew or had reason to know that it was a trade secret and that knowledge of it had been acquired by accident or mistake."
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
150
Penyelesaian Pelanggaran Rahasia Dagang di Indonesia Dalam undang-undang Rahasia Dagang terdapat 3 (tiga) cara menyelesaikan sengketa Rahasia Dagang, yaitu :
a.
1. Secara perdata dengan mengajukan tuntutan kompensasi atau ganti rugi atas pelanggaran Rahasia Dagang, termasuk pula tuntutan ganti rugi atas pelanggaran Rahasia Dagang, termasuk pula tuntutan ganti rugi akibat terjadi wanprestasi dalam perjanjian lisensi tersebut; 2. Secara pidana dengan melaporkan adanya tindak pidana terhadap pemegang hak atau penerima lisensi hak dagang; dan 3. Selain melalui pengadilan dapat juga diselesaikan melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa apabila terjadi sengketa dalam melaksanakannya perjanjian yang berkaitan dengan Rahasia Dagang. Tuntutan Perdata Penyelesaian sengketa dibidang Rahasia Dagang dapat diajukannya penyelesaian
melalui Pengadilan Negeri, namun demikian, pengadilan bukanlah satu-satunya jalan atau cara penyelesaian perkara berkaitan dengan Rahasia Dagang. Masalah penyelesaian sengketa Rahasia Dagang diatur dalam Bab VI, pasal 11 sampai pasal 12. Dalam bab ini ditentukan 2 (dua) cara penyelesaian sengketa, yaitu : 1.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Salah satu alasan mengapa Undang-undang Rahasia Dagang mencantumkan penyelesaian malalui cara di atas adalah karena Hak Kekayaan Intelektual, termasuk masalah Rahasia Dagang, pada daarnya merupakan masalah perdata sehingga diperlukan penyelesaian yang dapat dilakukan secara efektif dan efisien serta dilakukan secara tertutup. Disamping itu, dengan penyelesaian melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa maka hanya para pihak yang bersengketa saja yang mengetahuinya sehingga mereka tidak perlu kehilangan hak Rahasia Dagangnya apabila perkara ini diselesaikan di pengadilan yang dapat disaksikan atau diketahui masyarakat.
2.
Disamping cara penyelesaian di atas, Undang-undang Rahasia Dagang juga memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyelesaikan perkaranya melalui lembaga peradilan umum ini dilakukan dengan cara mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri. Pada awalnya, dalam Rancangan Undang-undang Rahasia Dagang, penyelesaian
sengketa Rahasia Dagang dicantumkan melalui Pengadilan Niaga Jakarta, dan tidak
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
151
dicantumkan jangka waktu untuk menyelesaikan perkara ditingkat pertama maupun tingkat selanjutnya. Beberapa alasan mengapa jangka waktu penyelesaian perkara tidak dicantumkan dalam rancangan undang-undang karena tidak ada pembatasan jangka waktu terhadap perlindungan Rahasia Dagang, disamping tingkat kesulitan penyelesaian sengketa perdata Rahasia Dagang akan memerlukan waktu banyak. Selama Rahasia Dagang itu tetap memenuhi ketentuan dalam pasal 1 angka 1 dan atau pasal 2 maka selama itu pula perlindungan Rahasia Dagangtetap terjaga. Selain karena proses pembuktian dalam perkara Rahasia Dagang apabila diajukan ke pengadilan tidaklah mudah. Karena berhubungan dengan teknologi, atau informasi bisnis yang dapat meliputi rumus-rumus, proses pembuatan suatu produk yanng memerlukan keahlian tertentu, dan juga saksi-saksi yang memiliki keahlian khusus sehingga akan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan perkara bidang Hak Kekayaan Intelektual lainnya, misalnya perkara gugatan pembatalan merek. Kemudian, dalam penyelesaian sengketa dalam melalui Pengadilan Negeri, pihak penggugat, apakah ia memegang hak Rahasia Dagang atau penerima lisensi (apabila ia mempunyai hak untuk melakukan tuntutan), dapat juga mengajukan tuntutan kepada siapapun yang telah sengaja dan tanpa hak melakukan tindakan yang bertentangan dengan hak Rahasia Dagangnya. Misalnya, menggunakan Rahasia Dagang itu kepada pihak lain sehingga menimbulkan kerugian baginya. Atas pelanggaran tersebut pemegang Hak Rahasia Dagang dapt mengajukan tuntutan berupa : 1.
Gugatan ganti rugi; dan atau
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... 2.
152
Penghentian semua perbuatan yang berupa penggunaan, pemberian lisensi, atau pengungkapan Rahasia Dagang kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 4.
Ketentuan yang diatur dalam pasal 4 menyatakan : Pemilik Rahasia Dagang memiliki hak untuk : a.
Menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya;
b.
Memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Dengan memperhatikan hal di atas, pemilik Rahasia Dagang hanya memiliki 2 (dua) hak untuk memanfaatkan dan sekaligus mempunyai hak untuk melarang, yaitu : 1.
Menggunakan sendiri Rahasia Dagangnya;
2.
Memberikan lisensi kepada pihak lain;
3.
Dan sekaligus melarang pihak lain menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagangnya itu kepada pihak lain yang dilakukan secara tanpa hak dan/ atau tanpa izin.
Kasus di Indonesia misalnya pabrik Gudang Garam sangat dikenal atas produksi rokok kretek. Untuk rokok kretek tersebut, pabrik yang bersangkutan mempunyai formula yang tidak dimiliki oleh pabrik rokok lainnya, sehingga hasil produksinya tetap diminati oleh pecandu rokok. Formula buatan rokok kretek tersebut merupakan Rahasia Dagang dari pabrik Gudang Garam. Formula ini mempunyai nilai ekonomi, yang artinya dapat dipasarkan dan sampai saat ini formula tersebut belum diketahui oleh umum, hanya pemilik pabrik tersebut yang mengetahui sehingga pemilik pabrik sangat menjaga kerahasiaan dari formula tersebut.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
153
Apabila salah satu unsur dari Rahasia Dagang tidak dipenuhi misalnya : formula tersebut telah diketahui oleh umum, maka formula tersebut tidak mempunyai arti lagi, karena masyarakat juga dapat memproduksi rokok tersebut dengan formula yang tersedia. Dengan demikian untuk adanya Rahasia Dagang, ketiga unsur harus ada dan saling kait mengait serta saling berhubungan. Tanpa adanya salah satu unsur tersebut akan mengakibatkan tidak ada Rahasia Dagang lagi 137. b.
Tuntutan dan pengecualian terdapat tuntutan pidana. Undang-undang Rahasia Dagang sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (1)
memberikan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), dan tindak pidana itu merupakan delik aduan. Ketentuan yang mengatur pelanggaran Rahasia Dagang hanya diatur dalam 2 (dua) pasal sehingga kita dapat menyatakan 2 (dua) macam tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran Rahasia Dagang, yaitu : 1. Apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan Rahasia Dagang; 2. Mengingkari kesepakatan 3. Mengingkari kewajiban terlukis 4. Mengingkari kewajiban tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan. Dengan mempertimbangkan hal-hal yang di atas, maka penyelesaian perkara di bidang Rahasia Dagang yang timbul karena adanya perjanjian, sekali lagi penulis sampaikan akan diselesaikan melalui gugatan perkara perdata dengan mangajukan gugatan pembatalan
137
2.
Imam Sjahputra Tunggal, 2000, Seluk-Beluk Tanya Jawab Teori dan Praktik, Harvarindo,hal.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
154
perjanjian (mungkin sekaligus tuntutan ganti rugi) atau melimpahkan perkara itu melalui arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa. Kemudian, sekali lagi jika dilihat unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 13 di atas menurut hemat penulis dapat dikategorikan sebagai wanprestasi suatu perikatan. Tindakan wanprestasi itu sebenarnya hanya dapat mengakibatkan batalnya suatu perjanjian yang didasarkan pada kaidah-kaidah yang diatur dalam lingkup hukum perdata, khususnya mengenai pembatalan perjanjian yang diatur dalam pasal 1266 jo pasal 1267 KUH Perdata. Hanya saja, dalam undang-undang ini pelanggaran perjanjian itu ternyata tidak sekedar merupakan tindakan wanprestasi saja, tetapi dapat juga dikenakan sanksi pidana. Kedua, diatur dalam pasal 14 yang menyatakan : Seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Penjelasan pasal di atas hanya menyatakan “cukup jelas” dan tidak menguraikan apa yang dimaksud bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun dalam beberapa kali pertemuan pembahasan Rancangan Undang-undang Rahasia Dagang, disampaikan bahwa yang dimaksud dengan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, misalnya : penipuan, penggelapan, penyadapan dan sebagainya. Jika yang dimaksud dalam pasal 14 tindakan-tindakan tersebut berupa tindak pidana penipuan, penggelapan dan atau penyadapan, maka dalam mengajukan sangkaan dan/ atau dakwaan, bagaimanapun polisi atau jaksa tidak bisa mengabaikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu pasal 372, pasal 378, atau pasal 322 dan pasal 323.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
155
Selanjutnya sebagaimana tercantum dalam pasal 15 Undang-undang Rahasia Dagang, terhadap pelanggaran pasal 13 atau pasal 14, akan dikenai sanksi pidana yang isi pasalnya menyatakan : 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain atau melakukan perbuiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 atau pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan delik aduan Terdapat beberapa unsur delik dalam pasal di atas yang dapat dikenakan sanksi pidana, yaitu : 1. Barang siapa dengan sengaja, dan 2. Tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain; 3. Dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dalam Undang-undang Rahasia Dagang tampaknya hanya tindakan pelanggaran terhadap pasal 4 dan pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal 13 atau pasal 14 saja yang dapat dikenakan sanksi perdata dan/ atau pidana. Oleh karena pasal 15 memberikan suatu pengecualian bagi siapapun yang melakukan pelanggaran tertentu dapat dikesampingkan dari segala tuntutan apabila tindakan itu berupa: 1. Tindakan pengungkapan Rahasia Dagang atau penggunaan Rahasia Dagang tersebut didasarkan pada kepentingan pertahanan keamanan, kesehatan, atau keselamatan masyarakat.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
156
2. Tindakan rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dari penggunaan Rahasia Dagang
milik
orang
lain
dilakukan
semata-mata
untuk
kepentingan
pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan. Penutup Perlindungan rahasia dagang di Indonesia di lindungi oleh Undang – Undang oleh karena Rahasia dagang termasuk Hak kekayaan Intelektual (HAKI), maka Rahasia Dagang Memperoleh perlindungan dan hak alami serta perlindungan reputasi. Dilindungi dari penggunaan pihak lain yang tanpa hak, jika hal tersebut di langgar maka akan ada sanksi perdata maupun pidana berdasarkan pasal 13, 14 dan 15 Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Dalam Undang-undang Rahasia Dagang terdapat 3 (tiga) cara untuk menyelesaikan pelanggaran Rahasia Dagang di Indonesia, yaitu : a. Secara perdata dengan mengajukan tuntutan kompensasi atau ganti rugi atas pelanggaran Rahasia Dagang, termasuk pula tuntutan ganti rugi akibat terjadi wanprestasi dalam perjanjian lisensi tersebut; b. Secara pidana dengan melaporkan adanya tindak pidana terhadap pemegang hak atau penerima lisensi Rahasia Dagang, dan c. Melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa dengan melaksanakan perjanjian yang berkaitan dengan Rahasia Dagang. Pentingnya undang-undang rahasia dagang ini untuk di perbaiki atau di revisi lagi karena perkembangan dunia perdagangan khususnya perkembangan dunia niaga di dunia internasional serta dalam rangka memasuki era pasar bebas, pastinya nanti akan banyak lagi masalah-masalah yang belum di atur dalam undang-undang ini akan menjadi sengketa hukum.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
157
Perlunya pemahaman yang lebih komperhensif dari aparat penegak hukum, seperti polisi, kejaksaan dan kehakiman, untuk lebih mengerti masalah rahasia dagang, sehingga nantinya jika ada sengketa para aparat penegak hukum bisa menguasai masalah perlindungan rahasia dagang.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
158
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Cita Citrawinda Priapantja, 1999, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi Perdagangan Atau Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Penerbit Chandra Pratama. Imam Sjahputra Tunggal, 2000, Seluk-Beluk Tanya Jawab Teori dan Praktik, Harvarindo Komar Kantaatmadja, 1995, Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995 dan Implikasinya Terhadap Penanaman Modal Asing, Bandung. Ramli. Ahmad M, 2001, Hak Atas Kepemilikan Intelektual Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang, Mandar Maju, Bandung. INTERNET Wikipedia, 2008, “Rahasia Dagang”, http://id.wikepeda.org/wiki/rahasia_dagang, diakses pada 10 Januari 2012. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang Trade Related Aspects Of Intelectual Property (TRIPs)
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
159
ONTOLOGI SILA KESATU PANCASILA (KAJIAN HUKUM TATA NEGARA) Tomy M Saragih Penerbit Titah Surga Jogjakarta
[email protected]
Abstract: Principle point to one Pancasila is even greater than principle fourth another so deep principle to one that gets to be made by utilised main footing creates reconciliation to get religion and settles SARA's conflict at Indonesian. So acquired result is state disability in apply Pancasila's principles because of still plural it views to Pancasila's realities.
Key words: Pancasila,ontologi and reconciliation religion.
Pendahuluan Di dalam berbagai Undang-undang, terdapat berbagai definisi mengenai Indonesia, antara lain: 1.
Di dalam konsiderans Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dijelaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan segala kekayaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelola dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab untuk menjadi sumber kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, baik di masa kini maupun di masa mendatang”.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... 2.
160
Di dalam konsiderans Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dijelaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya dan kewenangan tertentu lainnya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
3.
Di dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan dijelaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indoensia yang selanjutnya disingkat NKRI adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dari sebagian definisi di atas maka diketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang berciri nusantara, dalam hal ini menunjuk pada artian positif yaitu negara yang tujuannya adalah memberi kenyamanan hidup bagi rakyatnya. Hal ini juga diperkuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dijelaskan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Namun kenyamanan yang diharapkan tidak dapat terjadi dalam segala bidang khususnya dalam keagamaan. Muncul berbagai kejadian bermotif Suku, Agama, Ras dan Adat-istiadat (SARA) di Indonesia semenjak era penjajahan Belanda, salah satunya adanya penggolongan pasal-pasal tertentu seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang pada mulanya terdapat 1993 pasal yang keberlakuannya dibatasi dengan mereka yang
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
161
termasuk golongan Eropa, mereka yang termasuk golongan Tionghoa serta mereka yang termasuk golongan Timur Asing lain daripada Tionghoa. Hingga di era reformasi pun masih muncul kejahatan yang mengatasnamakan agama. Namun
saat
ini,
keberadaan
agama
menjadi
diduakan
akibat
semakin
berkembangnya kecerdasan manusia dalam memahami segala hal di sekitarnya. Agama menjadi suatu barang usang karena dianggap membatasi manusia secara tidak langsung dalam melakukan kehendaknya. Oleh karena itu, sangat beruntung sekali agregasi gerakan reformasi yang telah berhasil menjatuhkan pemerintah orde baru di bawah kendali Soeharto membuka jalan terang memasuki era Indonesia baru. Dalam kaitan ini juga, sebenarnya tujuan reformasi adalah mewujudkan bangsa dan negara yang demokratis di bawah naungan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 138 Bersandar kepada Pancasila, maka sudah seharusnya Indonesia mampu menjadi negara yang memahami agama sebagai bagian penting dalam kerukunan beragama bagi masyarakat. Kerukunan beragama selalu menimbulkan sikap pro dan kontra, oleh karena di dalam tulisan ini akan membahas seputar Pancasila terkait pengaruhnya dengan kerukunan beragama dalam kajian hukum tata negara. Sejarah Singkat Pancasila Pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusan maupun istilah, meliputi ruang lingkup antara lain Pancasila menurut istilah etimologis, Pancasila menurut istilah historis, dan Pancasila menurut istilah terminologis. Secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta India (bahasa Kasta Brahmana), bahasa rakyat jelata adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin, 138
Ahkam Jayadi, Aspek Politik Hukum UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume II, Nomor: 1, 2009, hal. 56.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
162
Pancasila mempunyai dua macam makna secara leksikal antara lain adalah “Panca” maknanya lima, “Syila” (vokal i pendek) maknanya satu sendi, alas ataupun dasar. “Syila” (vokal i panjang) maknanya aturan tentang moral dan sikap yang baik. Pancasila asal mulanya terdapat dalam kepustakaan Budha di India pada Kitab Suci Tri Pitaka yang terdiri dari tiga macam antara lain Suttha Pitaka, Abhidarma, dan Vinaya Pitka. Ajaran-ajaran moral yang terdapat dalam agama Budha, yakni Dasasyila, Saptasyila dan Pancasyila. Pancasila menurut Budha berisikan lima prinsip moral yang memuat larangan-larangan antara lain: 139 a. b. c. d. e.
Panditipata Virati, artinya jangan mencabut nyawa makhluk hidup atau dilarang membunuh. Adinnadana Virati, artinya janganlah mengambil barang yang tidak diberikan atau dilarang mencuri. Kamesu Micchacara Virati, artinya janganlah berhubungan kelamin, atau dilarang berzina. Musavada Virati, artinya janganlah berkata palsu atau dilarang berdusta. Surapana Virati, artinya jangan meminum-minuman yang menghilangkan akal pikiran, hati dan jiwa atau dilarang minum-minuman keras yang memabukkan.
Pancasila secara historis dipandang sebagai suatu proses perumusan Pancasila yang bermula dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Pemerintahan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang didirikan oleh Dr. Radjiman Widyadiningrat, yang diwakili oleh tiga pembicara, antara lain Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno memberi nama Pancasila yang mempunyai makna lima dasar pada pidatonya dan tanggal 17 Agustus 1945 memproklamasikan kemerdekaan dan sehari sesudahnya tanggal 18 Agustus 1945 secara sah dan resmi memiliki dasar negara, yaitu Pancasila yang disahkan bersama UUD NRI 1945.
139
Pandji Setijo, 2009, Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa: Dilengkapi dengan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen, Grasindo, Jakarta, hal. 16-17.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
163
Pancasila secara terminologis, dimulai sejak sidang Panitia Penyelidik Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 yang telah berhasil mengesahkan UUD NRI 1945. 140 Adapun UUD NRI 1945 terdiri dari dua bagian yaitu Pembukaan UUD NRI 1945dan Pasal-pasal UUD NRI 1945 berisi 37 pasal, 1 Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal dan 1 aturan tambahan terdiri atas 2 ayat, serta Penjelasan otentik UUD NRI 1945. Dari sejarahnya, Pancasila benar-benar berlandaskan suatu ajaran-ajaran positif. Hal ini juga diperkuat dengan argumen Soeharto yang menyatakan bahwa Pancasila adalah kepribadian kita, adalah pandangan hidup seluruh Bangsa Indonesia, pandangan hidup yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat, menjelang dan sesudah Proklamasi kemerdekaan kita; oleh karena itu, Pancasila adalah satu-satunya pandangan hidup yang dapat pula mempersatukan kita. Pancasila adalah perjanjian luhur seluruh rakyat Indonesia yang harus selalu kita junjung tinggi bersama dan kita bela selama-lamanya. 141 Landasan Yuridis Pancasila Landasan yuridis Pancasila sebagai dasar negara termuat sebagaimana dalam pembukaan UUD NRI 1945 pada alinea ke empat, yakni: Kemudian daripada itu, untuk membentuk…, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dalam mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
140
Saefroedin, dkk, 1992, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, hal. 137-290 dan hal. 293-324. 141 Centre For Strategic And International Studies (CSIS), 1976, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, Sekretariat Negara RI, Jakarta, hal. 10-11.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
164
Pancasila sebagai dasar negara juga pada hakikatnya tercermin dalam berbagai asasasas, di antaranya: a. Asas ketuhanan Yang Maha Esa: tercermin dalam tiga bidang ketatanegaraan Indonesia (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif), b. Asas perikemanusiaan: asas yang mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, c. Asas kebangsaan: setiap warga negara mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, d. Asas kedaulatan rakyat: menghendaki bahwa setiap tindakan negara harus berdasarkan keinginan rakyat, e. Asas keadilan sosial: menghendaki bahwa tujuan negara adalah mewujudkan keadilan sosial secara adil dan makmur. Pancasila sebagai dasar negara juga dimaknai sebagai hukum dasar negara Indonesia yang secara objektif merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum dan cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia. 142 Penerapan Sila Kesatu Pancasila Kekuatan sila-sila dalam Pancasila tidaklah sama dalam hal ini bahwa sila kesatu kedudukannya lebih besar dari keempat sila lainnya dan membawahi keempat sila tersebut. Tersirat bahwa Pancasila terutama sila kesatu mampu menjadikan landasan agar terciptanya kerukunan beragama. Di dalam tulisan ini, penulis juga meitikberatkan bahwa keberadaan Pancasila seharusnya melindungi keberadaan ateis (tidak mengakui adanya Tuhan), 142
Soekarno, 2006, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Media Presindo, Yogyakarta, hal. 47.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
165
penghayat (mengaku Tuhan namun tidak menyandarkan seluruh kepecayaannya kepada Than itu sendiri), agnostik (Tuhan dianalogikan sebagai pribadi yang bersifat kebendaan), dan animisme (kepercayaan yang mendiami roh-roh atau benda). Hal ini terjadi karena sumber Pancasila adalah kebaikan. Dimana apabila kita mengacu pada sila kedua “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” jelaslah bahwa keadilan adalah milik semua orang. Tetapi keadilan demikian akan terpatahkan apabila kita mengacu pada definisi Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Sedangkan mengacu pada Article 1 Universal Declaration of Human Rights disebutkan bahwa All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood. Terpatahkannya bukan karena definisi dalam Hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri melainkan disebabkan masih adanya variasi dalam menterjemahkan HAM itu sendiri. Mustafa Lutfi menjelaskan bahwa HAM merupakan derivasi dari istilah asing yaitu human rights (bahasa Inggris) dan Mensen Rechten (bahasa Belanda). Selain kata HAM, juga terdapat kata Hak Dasar Manusia (HDM) sebagai terjemahan dari istilah fundamental rights (bahasa Inggris) dan grund rechten (bahasa Belanda). Sedangkan terminologi HAM dalam literatur ilmu politik dan hukum tata negara dapat ditelusuri dari terjemahan droits
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
166
del’homme (bahasa Prancis). 143 Dampak masih bervariasinya definis HAM, membawa implikasi seperti yang termaktub dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapapun.
Dengan adanya perbedaan definisi HAM di Indonesia, khususnya pada saat ini seringkali HAM dikaitkan dengan suatu kebebasan dan kemerdekaan. Salah satu ilustrasi, seorang penghuni kos memutar musik dengan pengeras suara hingga volume maksimal maka secara cepat dapat disimpulkan bahwa perbuatan penghuni kos termasuk bertentangan dengan HAM milik penghuni kos lainnya. Bersandar pada penjelasan Soekarno bahwa kemerdekaan adalah politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain tak dan tak bukan adalah satu jembatan, satu jembatan emas, diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat”. 144 Dari pengertian tersebut maka kemerdekaan dalam artian HAM harus selalu diperjuangkan dari waktu ke waktu karena kemerdekaan itu sendiri bersifat dinamis, progresif, inovatif dan transformatif. Perdebatan HAM tersebut menimbulkan pertentangan tentang di mana keberadaan Tuhan
yang
menentukan
kebijakan
suatu
pemimpin
dalam
menjalankan
roda
pemerintahannya. Tetapi esensi Pancasila dalam kerukunan beragama, merupakan sesuatu yang sulit terlaksana. Hal ini terjadi karena beberapa faktor antara lain:
143
Jazim Hamidi, 2010, Civic Education Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 210-211. 144 Imam Anshori Saleh dan Jazim Hamidi, 2004, Memerdekakan Indonesia Kembali (Perjalanan Bangsa dari Soekarno ke Megawati), IRCiSoD, Yogyakarta, hal. xvi.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... a.
167
Keberadaan Pancasila dalam suatu peraturan perundang-undangan hanyalah sebagai penguat bahwa suatu peraturan perundang-undangan tersebut selalu bersumber pada Pancasila
b.
Pancasila hanya dimaknai sebagai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (lebih lengkapnya dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan) yang tidak memiliki kekuatan dalam menciptakan kerukunan beragama
c.
Masih sedikitnya literatur yang membahas secara hermeneutika, sistemik dan ilmiah terhadap Pancasila Peranan Pancasila yang menonjol sejak permulaan penyelenggaraan negara adalah
fungsinya dalam mempersatukan seluruh rakyat menjadi bangsa yang berkepribadian. Di mana bangsa Indonesia sejak permulaan hidup terdiri dari multi etnis, multi religius dan multi ideologis. Berbagai unsur-unsur tersebut dapat memperkaya budaya untuk membangun bangsa yang kuat namun sisi berlawanan dapat memperlemah kekuatan dengan berbagai perselisihan dan pertentangan. Maka, problematika yang timbul yaitu bagaimanakah agar sila kesatu
Pancasila mampu menciptakan kerukunan beragama
sepanjang waktu. Penulis menjadikan Pancasila ke dalam tiga landasan yaitu: a.
Landasan epistimologi yaitu Pancasila merupakan sumber pengetahuan yang terdapat dalam diri bangsa Indonesia dan sumber pengetahuan tersebut bersinergi dengan berbagai institusi-institusi yang berada di Indonesia. Institusi-institusi tersebut harus dapat memaknai Pancasila sebagai suatu kebenaran yang utuh dan harmonis.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... b.
168
Landasan aksiologis lebih menekankan bahwa Pancasila merupakan nilai kerohanian (kesucian, kebaikan, kebenaran, dan keindahan) dan tidak mengesampingkan nilai materiil serta nilai vital. Nilai materiil sebagai nilai yang bermanfaat bagi jasmani manusia seperti kenikmatan, kesehatan. Nilai vital sebagai nilai yang bermanfaat bagi kegiatan manusia seperti motor, telepon genggam. Nilai kerohanian sebagai nilai yang bermanfaat bagi rohani manusia. Nilai kerohanian diklasifikasikan menjadi nilai kebenaran yang bersumber dari akal, nilai keindahan yang bersumber dari perasaan, nilai kebaikan yang bersumber pada kehendak dan nilai agama yang merupakan nilai kerohanian yang paling tinggi. 145
c.
Secara ontologis kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem bersifat hierarki dan berbentuk piramidal adalah sebagai berikut: bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (Sila 1). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (Sila 2). Negara adalah sebagai akibat adanya manusia bersatu (Sila 3). Terbentuknya persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Rakyat pada hakikatnya merupakan unsur negara, unsur wilayah dan pemerintah. Rakyat adalah sebagai totalitas individu-individu dalam negara yang bersatu (Sila 4). Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam
hidup bersama atau dengan lain perkataan keadilan sosial (Sila 5) yang pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara. 146
145
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 211. 146 Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta, hal. 52-57.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
169
Maka apabila landasan tersebut disandarkan pada adagium Thomas Hobbes yaitu Non est Potestas Super Terram Quae Compraturei (tiada kekuasaan yang dapat menandingi kekuasaan negara), Pancasila tetap dapat membawa pengaruh positif bagi keberlangsungan beragama di Indonesia. Hal ini tercermin dalam sudut pandang sejarah Pancasila yaitu causa materialis formalis, 147 sebagai sambungan dari causa formalis 148 dan causa finalis, 149 serta causa efisien. 150 Bersandar dari Pancasila, seharusnya kerukunan umat beragama merupakan sesuatu yang mutlak dijaga keutuhannya. Kerukunan umat beragama apabila dikaitkan dengan pendapat Friedrich von Savigny bahwa hukum hanya bisa dideskripsikan sebagaimana apa adanya dalam faktanya yang nyata dalam masyarakat. 151 Apabila fakta adanya ruang selisih antara substansi hukum undang-undang negara dan hukum rakyat yang informal dan tidak tertulis itu dipandang sebagai suatu masalah kompetisi yang berpotensi konflik antara sentral dan lokal maka perkembangan dalam pergaulan politik dan hukum antar bangsa tersebut dapat dikatakan sebagai proses terolahnya kebijakan yang mengarah pada solusi kompromistis. Perhatian selanjutnya bahwa sejak masa pergerakan maupun bahwa sejak masa pergerakan maupun pada saat menyusun UUD Proklamasi, semua berpendapat agar demokrasi atau paham kedaulatan rakyat menjadi salah satu sendi Indonesia merdeka. Diakui memang, ada beberapa visi di antara para anggota pergerakan dan tim penyusun
147
Causa materialis formalis adalah asal mula bahan. Sebelum terbentuk dan dirumuskan, unsurunsur Pancasila telah ada yaitu berupa adat istiadat, kebudayaan dan agama-agama. 148 Causa formalis adalah asal mula bentuk. Artinya bagaimana Pancasila tersebut dirumuskan. Pembentukan Pancasila dibentuk berdasarkan atas pembentukan negara dalam suatu sidang yaitu BPUPKI. 149 Causa finalis adalah asal mula tujuan. Hal ini dimaksudkan asal mula dalam hubungannya dengan tujuan dirumuskannya Pancasila. 150 Causa efisien adalah asal mula karya. Hal ini dimaksudkan dalam proses perumusan Pancasila dalam sidang BPUPKI, Piagam Jakarta 1945 hingga disahkannya pada tanggal 18 Agustus 1945. 151 Agung Yuriandi, 2008, Perbandingan Teori Hukum Roscoe Pound Dan Carl Von Savigny Dipandang Dari Perspektif Politik Hukum, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 1.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
170
UUD. Ada yang membangun paham demokrasi bagi Indonesia merdeka dari prinsip-prinsip ajaran agama Islam seperti prinsip permusyawaratan (yang direpresentasikan oleh Yamin dan Agus salim). Ada yang menggali prinsip-prinsip demokrasi dari adat-istiadat Indonesia yang dipadukan dengan paham demokrasi modern (oleh Hatta dan Soekarno). Ada juga yang semata-mata melihat dari budaya asli Indonesia seperti halnya Soepomo. 152 Pancasila bagi bangsa Indonesia pada hakikatnya berfungsi sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan negara. Pancasila sampai detik ini telah diterima dan masih perlu pemahaman mendalam lagi oleh seluruh rakyat Indonesia, serta menjadi dasar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, termasuk penegakan hukum di Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalam rumusan sila-sila merupakan landasan filosofis yang dianggap, dipercaya, dan diyakini sebagai suatu kenyataan, norma-norma, nilai-nilai yang dianggap benar atau tidak, adil dan tidaknya, dan bijaksana atau tidaknya oleh seluruh rakyat Indonesia merupakan tonggak terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. 153 Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, artinya bahwa Pancasila adalah sumber kaidah hukum negara secara konstitusional yang mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan negara, beserta unsur-unsur negara, yakni rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat dan pengakuan dari negara lain. Di dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 ditegaskan bahwa Pancasila itu adalah sumber dari segala sumber hukum baik secara formal, berdasar atas peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat memaksa atau tidak, berasal dari kebiasaan-kebiasaan, berbentuk traktat atau
152
Jazim Hamidi, 2005, Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, hal. 223. 153 Muhammad Naufal Arifiyanto, 2011, Teori Pancasila dan Kewarganegaraan, Gre Publishing, Yogyakarta, hal. 102.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
171
perjanjian, mempunyai jurisprudensi dan tidak kalah penting merupakan khasanah dari ilmu pengetahuan hukum. Selain itu, Pancasila mengandung unsur-unsur pluralisme, penghormatan terhadap keanekaragaman budaya, menjunjung tinggi derajat kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Kehidupan bermasyarakat sebagai manusia yang dibekali akal sehat, logika dan perilaku yang tumbuh dan berkembang sampai saat ini, haruslah tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Nilai-nilai budaya tersebut tertuang secara lebih nyata dalam jalinan normanorma sosial yang ada di dalam masyarakat. Pada akhirnya norma-norma sosial itu akan menjelma menjadi susunan pranata-pranata sosial dengan ciri dan sifat serta perilaku yang sesuai dengan tatanantatanan sosial pada umumnya. Hal inilah merupakan gambaran sosial cara hidup tumbuh dan berkembangnya dinamika masyarakat sosial. Dengan demikian apabila muncul pertanyaan “apakah yang menjadi cita hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apakah tujuan hukum dalam kehidupan masyarakat hanya sebatas sebagai alat kontrol dan pengendali sosial untuk dapat menciptakan keteraturan dan ketertiban sosial”, maka jawaban yang tepat adalah dengan memahami secara mendalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, Nilai-nilai Pancasila dan konstitusi dalam perspektif pembangunan nasional. 154 Tercapainya kerukunan umat beragama tidak hanya sekadar dengan berdiskusi ataupun hanya mencela apabila terjadi kejadian teroris di suatu daerah. Kita juga sering melihat para tokoh lintas agama yang sangat mengapresiasi dan menghargai rakyat yang telah bekerja keras mengembangkan solidaritas, serta terus kreatif menyelamatkan bangsa dan negara. Tokoh lintas agama ini terdiri dari antara lain Ahmad Syafii Maarif (mantan 154
Agung Kesna Mahatmaharti, Menyikapi Multikulturalisme dalam Konteks Pluralitas Budaya. Majalah Ilmiah Media, Kampus STKIP Jombang, Edisi Maret-April 2010, hal. 59-60.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
172
Ketua Umum PP Muhammadiyah), KH. Salahuddin Wahid (tokoh Nahdlatul Ulama), Pendeta Andreas Yewangoe (Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), Biksu Sri Panyavaro Mahathera (tokoh agama Buddha), Ida Pedande Sebali Tianyar Arimbawa (tokoh agama Hindu), Mgr Martinus Situmorang OFM Cap (Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia), Haksu Thjie Tjai Ing Xueshi, Franz Magnis-Suseno SJ, dan Djohan Effendy. 155 Tindakan yang dilakukan tokoh lintas agama ini merupaka wujud nyata dalam mengamalkan Pancasila namun jika tindakan tersebut tidak mendapat dukungan pemerintah dalam hal ini presiden sebagai kepala eksekutif (definisi yang tepat secara keilmuan) maka akan menjadikan suatu kemunduran dalam menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia. Pemikir kenamaan Bawa Muhayyadin dalam Islam for World Peace: Eksplanations of A Sufi (1987) menceritakan ketika Khalifah Umar memasuki kota Jerussalem, Uskup dari Makam Suci Kristus menawarkan untuk menunaikan salat di dalam gereja namun Umar memilih salat di luar pintu. Secara bijaksana Umar mengatakan bahwa jika saya sudah salat di temapt suci kalian, para pengikut saya dan orang-orang yang datang ke sini pada masa yang akan datang akan mengambil alih bangunan ini dan mengubahnya menjadi sebuah masjid. Merkea akan mengacurkan tempat ibadah kalian, untuk menghindari kesulitankesulitan ini dan agar gereja kalian tetap terjaga maka saya memilih salat di luar. Dari perspektif Umar dijelaskan bahwa tempat ibadah merupakan cermin suci nan mendasar bagi komunitas beragama sehingga ketika Uskup tersebut menawarkan salat di dalam gereja, Umar tidak semata berpikir tentang agama yang dipeluknya tetapi juga menjatuhkan sikap politik keagamaan yang arif dan bening. Terdapat dimensi edukatif dan demokratisasi tepat
155
Fer, Akhiri Keprihatinan, Harian Kompas, Tanggal 19 Oktober 2011.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
173
yang diajarkan oleh Umar yaitu penghormatan terhadap pemeluk agama lain secara egaliter, inklusif dan humanistik. Prinsip Pancasila sama halnya dengan yang dilakukan oleh Khalifah Umar, untuk menciptakan kerukunan umat beragama yaitu dengan memasukkannya nilai-nilai Pancasila ke dalam setiap tindakan negara antara lain dengan mesiratkan atau mensuratkan esensi Pancasila di dalam setiap peraturan perundang-undangan, menjadikan Pancasila sebagai landasan berpikir menciptakan jalan keluar cermat dalam mengatasi kebuntuan kerukunan umat beragama di Indonesia. Di sisi lain timbul pemikiran di luar nalar bahwa mengapa aktor agama melakukan tindakan kekerasan. Hal ini dijelaskan oleh Lee Ross sebagai fundamental attribution error bahwa para aktor agama membawa kita pada pikiran sesat seperti menyalahkan korban. 156 Pendapat berlawanan yang mengacu pada doktrin Ingersoll bahwa agama menyebabkan tindakan kekerasan sehingga memunculkan ateis lebih banyak dari aliran pemikiran filsafat mana pun “religion makes enemy instead of friends. That one word, “religion” covers all the horizon of memory with visions of war, of outrage, of persecution, of tyranny and death”. Agama wajib ditinggalkan manusia bukan karena teologis melainkan agama telah menjadi sumber kekerasan saat ini dan pada setiap zaman di masa lalu. 157 Di lain pihak, para ateis internasional, mengumpulkan setumpuk data tentang keterlibatan agama dalam berbagai peperangan. Argumentasi mereka antara lain agama menimbulkan perpecahan di antara manusia, agama memberikan label untuk memisahkan satu kelompok dengan kelompok lainnya, perang terjadi di antara kelompok dengan label berbeda (kelompok yang dikasihi Tuhan dan kelompok yang tidak dikasihi Tuhan) dan agama adalah penyebab tersirat dari peperangan. 156
L. Berkowitz, 1977, Advances in Experimental Social Psychology, Academic Press, New York, hal. 173-220. 157 Sam Harri, 2004, The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason, Norton, New York, hal. 26.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
174
Penolakan yang paling sederhana dari kaum agamawan ialah kenyataan sejarah bahwa agama bukan hanya memecah-belah, agama juga mempersatukan. Milton Edwards menunjukkan dengan data historis bahwa peperangan lebih banyak disebabkan karena kepentingan ekonomis, persoalan etnis, isu kebangsaan (nasionalisme) dan masalah politik.158 Dengan kata lain, tindakan kekerasan yang menimbulkan kehancuran bangsa dan negara lebih banyak disebabkan oleh sebab-sebab “sekular” daripada sebab-sebab agama. Perang Dunia I dan II tidak disebabkan karena perbedaan agama. Konflik Israel dan Palestina diketahui semua orang bukan perang antar agama. Perang Amerika dan Vietnam yang berlarut-larut terjadi karena sebab-sebab “sekular” dan tidak menyangkut agama. Perang Iraq yang mengambil korban jiwa dan harta merupakan perang minyak. Maka terkait soteriologis (ilmu tentang keselamatan), semua orang yang tidak beragama merupakan penghuni neraka. Secara keyakinan, hal tersebut karena seseorang yang telah berbuat jahat apabila orang tersebut bertobat maka dalam kehidupan berikutnya akan memperoleh kebahagiaan kekal. Diskriminasi terhadap agama tidak perlu terjadi apabila setiap individu memiliki pemahaman terhadap keberadaan suatu agama dan bagaimana keberlakuan agama tersebut bagi seseorang yang bertindak agnostik. Bersumber pada St. Tomas Aquinas dalam sebuah refleksinya mengatakan bahwa “Makhluk ciptaan keluar dari tangan Allah yang dibuka dengan kunci cinta”. Tangan Allah mencipta dan membuka setiap kehidupan manusia dengan kunci cinta. Kekuatan cinta Allah itulah yang memampukan manusia untuk saling mencinta. 159 Senada juga Plato mengatakan bahwa keadilan dapat tercipta tanpa hukum, karena yang menjadi penguasa adalah kaum cerdik pandai, kaum arif bijaksana yang mewujudkan theoria (pengetahuan dan pengertian terbaiknya) dalam bertindak. Pemerintahan dijalankan dengan berpedoman pada keadilan
158 159
Beverly Milton-Edwards, 2006, Violence in the Modern Era, Palgrave, New York, hal. 22-23. Institut Karmel Indonesia (IKI), 2011, Cafe Rohani, Carmel Vision, Malang, hal. 6.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
175
sesuai ide keadilan orang arif tersebut dan kaum bijak bertindak sebagai guru sekaligus pelayan kepentingan umum berbasis keadilan. Pada akhirnya sila kesatu Pancasila akan menciptakan kerukunan di antara masyarakat. Penutup Negara masih kurang dalam menerapkan sila-sila Pancasila khususnya sila kesatu bagi masyarakat dikarenakan masih adanya berbagai sudut pandang mengenai hakikat Pancasila itu sendiri. Sehingga wujud nyata tersebut tidak dapat terlaksana secara optimal. Sebagai negara yang berdasarkan hukum, pemerintah berdaulat di Indonesia wajib melakukan: a.
Sosialisasi Pancasila khususnya esensi sila kesatu bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali
b.
Menambah beban studi mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dengan tujuan mendidik generasi muda menjadi warga negara yang paham akan nilainilai kerukunan beragama dan pada akhirnya terciptanya kebijakan yang demokratis dan memiliki kebijaksanaan sebagai hasil akhirnya
c.
Menggiatkan seminar-seminar khususnya bagi Warga Negara indonesia (WNI) yang sedang melakukan studi atau bekerja di luar negeri dengan tujuan agar nilai-nilai Pancasila tersebut mampu bertransformasi pada perkembangan jaman
d.
Menjadikan Pancasila sebagai tumpuan dasar dalam menyelesaikan permasalahan konflik yang terkait SARA
e.
Membentuk peraturan perundang-undangan yang selalu berfilosofi pada Pancasila
f.
Memberlakukan ilmu hermeneutika dan ilmu filsafat ke setiap jenjang pendidikan khususnya tingkat Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Internasional yang berada di Indonesia, Sekolah berbasis keagamaan dan Sekolah Menengah Atas
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... g.
176
Menjadikan ilmu hukum tata negara sebagai mata kuliah wajib dalam setiap jenjang ilmu-ilmu sosial karena dengan demikian akan menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap keberadaan dan keberlansungan suatu negara.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
177
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Agung Yuriandi, 2008, Perbandingan Teori Hukum Roscoe Pound Dan Carl Von Savigny Dipandang Dari Perspektif Politik Hukum, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Berkowitz, L., 1977, Advances in Experimental Social Psychology, Academic Press, New York. Beverly Milton-Edwards, 2006, Violence in the Modern Era, Palgrave, New York. Centre For Strategic And International Studies (CSIS), 1976, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, Sekretariat Negara RI, Jakarta. Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Imam Anshori Saleh dan Jazim Hamidi, 2004, Memerdekakan Indonesia Kembali (Perjalanan Bangsa dari Soekarno ke Megawati), IRCiSoD, Yogyakarta. Institut Karmel Indonesia (IKI), 2011, Cafe Rohani, Carmel Vision, Malang. Jazim Hamidi, 2005, Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. ___________, 2010, Civic Education Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Muhammad Naufal Arifiyanto, 2011, Teori Pancasila dan Kewarganegaraan, Gre Publishing, Yogyakarta. Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta. Pandji Setijo, 2009, Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa: Dilengkapi dengan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen, Grasindo, Jakarta. Saefroedin, dkk, 1992, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta. Sam Harri, 2004, The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason, Norton, New York. Soekarno, 2006, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Media Presindo, Yogyakarta.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
178
SURAT KABAR Fer, Akhiri Keprihatinan, Harian Kompas, Tanggal 19 Oktober 2011.
JURNAL Agung Kesna Mahatmaharti, Menyikapi Multikulturalisme dalam Konteks Pluralitas Budaya. Majalah Ilmiah Media, Kampus STKIP Jombang, Edisi Maret-April 2010. Ahkam Jayadi, Aspek Politik Hukum UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume II, Nomor: 1, 2009.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
179
THE LEGAL PROTECTION TOWARD REMUNERATION OF PERFORMING ARTIST IN BALI
Tjok Istri Sri Harwathy, S.H., M.M., Made Emy Andayani Citra, S.H., M.H., Ni Luh Gede Yogi Arthani, S.H., M.H. and Dewi Bunga, S.H., M.H. Faculty of Law, University of Mahasaraswati Denpasar.
[email protected] and
[email protected]
Abstract Performing arts is one of Bali's tourist attractions known throughout the world. Artist contributed greatly in the development of cultural tourism in Bali as stipulated in the Regional Regulation of the Bali Province No. 3 of 1991 concerning Cultural Tourism. However, the legal protection toward the remuneration of artist in Bali is not maximized. They paid no more than Rp 10.000,00 per hour per each person. The regulations of remuneration of artist in Bali can be seen on the Article 12 of The Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali Province. In the article is determined that the acceptance of remuneration for art organizations that will implement the performing arts of the region for tourism in the region with a maximum of an hour long show is Rp 10000.00 - Rp 20000.00 per person. In practice, these artists are often paid less than that specified. This is because the provision of such remuneration is not in accordance with the times, the event organizers are looking for maximum profit and artists’ weak position in determining remuneration. Therefore required an optimal legal protection mechanisms in ensuring the welfare of artist.
Key words: legal protection, remuneration, and performing artist.
Introduction The tourism sector into an industry that is relied upon by the Balinese. Tourism can contribute a significant contribution as well as a catalyst in developing the construction
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
180
(agent of development) and the distribution of incomes (re-distribution of income).
160
Badung district as a regional center of tourism in Bali get a very high income from tourism. The Regent of Badung District, AA Gde Agung said, amounting to 76.19 percent of revenue comes from tourism. Of the amount of revenue Badung 2011 of Rp 1.1 trillion or 76.19 percent obtained from the tourism sector of hotels and restaurant taxes. 161 Revenues from the tourism sector is capital in the development. Bali is known as a tourist destination because it has a unique culture. Tourists visiting Bali always want to watch the performing arts. Arts on the Balinese are so loved by the people of Bali so as if seen to dominate the whole life of the Balinese people. On the basis of such functions, art is the focus of Balinese culture. 162 Bali has a wide range of regional arts. Art has become an important tool in the development of cultural tourism. Since Bali opened one tourist destination in Indonesia in the late 1960s, the growing number of Balinese arts developed into a tourist performing arts presented to the tourists. Interesting to note that the growth of tourism in the area of performing arts in general have the support of the Balinese itself. 163 Performing arts are performed in the hotels, restaurants, or in the art stages. This show is in great demand by tourists.
160
Oka A. Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya, Pradnya Paramita, Jakarta, p. 2. 161
Antara News, 2011, “76,19 Persen PAD Berasal Dari Pariwisata” Serial Online Sunday, August 7 2011 16:16 WIB, available from: URL: http://bali.antaranews.com/berita/13076/7619persen-pad-berasal-dari-pariwisata, Cited 21th February 2012. 162
Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Bali Government Tourism Office, Informasi Objek dan Daya Tarik Wisata di Bali, Denpasar, p. 9. 163
Ni Made Ruastiti, 2005. Seni Pertunjukan Bali Dalam Kemasan Pariwisata. Bali Mangsi Press, Denpasar, p. 1.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
181
This art shows provide a large share of national income through tourism. They are the main actor in determining the progress of tourism in Bali. In addition, they also play a role in preserving the local culture, but the legal protection of remuneration of artists in Bali is not maximized. They paid no more than Rp 10.000,00 per hour per each person. Remuneration is still cut support costs such as clothing and make-up. Organizers can also play standard price if they know that the organization employs an artist who does not have the license by Governor represented by Head of Culture Office. This condition leads to lower economic standard of the artists whereas they are the principal actor in the development of tourism in Bali. Therefore necessary legal protection for remuneration of artists in Bali. The Regulations of Remuneration of Artist in Bali The tourism industry has developed rapidly. At the beginning of the 20th century, tourism is an activity that is only done by a handful of relatively wealthy people. Today, tourism is becoming an integral part of human life, especially social and economic life. 164 Tourism activities are seen as a human right that needs to be fought for. In the government's tourism development (Government of the Republic of Indonesia and Bali Provincial Government) has made a series of policies in developing the tourism activities. The idea of tourism policy is based on the notion that tourism is an integral part of national development is done in a systematic, planned, integrated, sustainable and responsible manner while providing protection toward religious values, cultures living in the community, sustainability, and environmental life quality, as well as national concern.
164
I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri, 2005, Sosiologi Pariwisata, Andi, Yogyakarta, p. 40.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
182
Tourism development is needed to encourage equal opportunities and benefits as well able to face the challenges of changes in local, national, and global. Tourism development is directed at the distribution of welfare, therefore the protection toward the remuneration of artists need to be regulated in various laws. In Article 27 paragraph (2) of the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945 stated that “Every citizen has the right to work and live in human dignity.” Provision in the Constitution is a mandate that must be spelled out at a lower regulatory. 165 The level of the Act, the provisions regarding the protection of remuneration of these artists set out in Article 3 of The Act No. 10 of 2009 concerning Tourism which states: Tourism function of physical needs, spiritual, and intellectual recreation and every tourist with travel and increase revenues for the welfare of the people. Furthermore, in Article 4 of The Act No. 10 of 2009 concerning Tourism, tourism aims to: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
promote economic growth; improve the welfare of the people; eradicate poverty; tackle unemployment; preserve natural, environmental, and resources; promote culture; lift the image of the nation; foster a sense of patriotism; strengthen national identity and unity, and foster friendship among nations.
165
In accordance to Article 7 paragraph (1 Act of Republic of Indonesia No. 12 of 2011 concerning Formating Legislation mentioned that the type and hierarchy legislation consists of: a. Constitution of the Republic of Indonesia of 1945; b. People's Consultative Assembly Decree; c. Act/ Goverment Regulation Substitue the Act; d. Government Regulations; e. President Regulation; f. Regional Regulations of Provincial; g. Regional Regulations of Regency / City.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
183
The provisions of The Act No. 10 of 2009 concerning Tourism, set the goal of tourism activity itself that is on one hand to developing countries that carry out the existence of a tourism activity (advancing a culture, a sense of patriotism, and imagery of the state in international relations) and the others also provide welfare and increase economic growth. Bali tourism development focused on cultural tourism, so the artists become the principal actors who have protected the country. In Article 8 of The Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali Province is mentioned about the things that should be considered in implementing the legal protection for the artists, that is where the performance artist who adapted to the type of activities performed, dress room with adequate facilities, remunerations are adjusted to the rules of the remunerations rate, provision of social security for sekaa / performing art organizations such as insurances and health services and catering for the sekaa / performing art organizations. In Article 12 The Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali Province is determined that: (1) Acceptance of remunerations for sekaa / art organizations that will implement the performing arts of the region for tourism area with a maximum 1-hour long show: a.
b.
c.
d.
e.
For the types of dance off / legong with accompaniment of Gong Kebyar or Gong Suling by the number of members of at least 35 (thirty five) minimum wage of Rp 700,000.00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip. For the types of fragmen new creations by the number of members of at least 45 people receive a minimum wage of Rp. 900,000.00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip. For the type of Godogan Dance (Frog Dance) by the number of members of the 35 people receive a minimum wage of Rp 700,000.00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip. For the type of Janger Dance by the number of members of at least 30 people receive a wage of Rp 600,000.00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip. For the type of Joged Bumbung by the number of members of at least 20 people receive a minimum wage of Rp 400,000.00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
184
f.
For the type of Okokan/Grumbyungan by the number of members of the 60 people receiving minimum wage of Rp 600,000.00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip. g. For the type of Jegog by the number of members of at least 35 people receive a wage of Rp 700,000.00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip. h. Tabuh iringan/ percussion accompaniment to receive a wage of Rp Rp 300.000,00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip. i. For Penyambutan dance with any personnel receive a wage of Rp 20000.00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip. (2) Remunerations as stated in paragraph (1), can be reviewed, modified and adapted to the situation that developed the condition. (3) Changes in the remunerations as paragraph (2), established by Decision of the Governor of Bali. Guidance and supervision of the owner / manager / sekaa / organization as the organizer of the region performing arts are conducted by the Regional Arts Technical Team established by the Decision of the Governor of Bali. The Implementation of Regulations on the Remuneration of Artist The performing artist is a tourism worker who became a leading player in the development of cultural tourism, so the legal protection of remuneration for performing artist is a legal obligation for the government (mainly the Provincial Government of Bali). Legal protection for equal pay in accordance with Pacific Ministers Conference on Tourism and Environmental Maldivest in 1997 that states that the principles of sustainable tourism include local welfare, job creation, natural resource conservation, maintenance and improvement of life quality and balance of international and intergenerational in the distribution of welfare. Hotel, restaurant, and other tourism businesses that employ these artists must comply with the terms of remuneration as set out in Article 12 of The Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali Province, but in practice, there are many artists who paid less than that determined by the government. They
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
185
are paid less than Rp 10.000,00 per person in each staging. This can be analyzed through three factors namely the legal substance factors, the legal structure, and legal culture. Legal substance that is the whole rule of law, legal norms and principles of law, whether written or otherwise, including court decisions. Legal structure, the overall legal institutions that exist and their staff members, covering among others the institution of police with the police, the institution of prosecutors with prosecutors, court judges, and others. Legal culture, that the opinions, beliefs practices, ways of thinking, and how to act, either by law enforcers as well as from citizens, law and other law-related phenomena. 166 Those factors are called the elements of the legal system. Judging from the legal substance factors, sub-standard remunerations are caused by setting the nominal remuneration is no longer appropriate to the circumstances in the present. Moreover, this rule has existed since 1997 and has not been updated. Remuneration violations committed by the show organizers can not be penalized because the Decision of Governor is not listed on sanctions. Sanctions are only included in the regional regulation so that the rules on local arts should be regulated in Local Regulation not in Decision of Governor. The legal structure in this context is the Local Government particularly the Department of Tourism and Culture of Bali Province. The Government is responsible for four main things, namely: planning area of tourism, development and the main facilities supporting tourism, expenditure tourism policy, and make and law enforcement (regulation). 167
Weak implementation of the provisions of the remuneration due to the absence of the
166
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, p. 204.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
186
parties to supervise the wage. Although the topic of the low remuneration of these artists are often covered in the media, but the supervision and the imposition of sanctions toward the organizers of the show did not exist. Weak implementation of the provisions of remuneration for performing artists is also due sekaa / organization does not have the performing license. Article 4 paragraph (1) The decision of The Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali Province says “In carrying out activities in the performing arts of the region, especially for tourism in the area of each Sekaa / art organization should have a performing license by the show Governor represented by the Head of Culture Office.” From research conducted in Bali Provincial Cultural Office in mind that 166 sekaa / art organizations registered in Bali Provincial Cultural Office recorded only 18 sekaa / art organizations have license and which do not have as many as 148 licenses sekaa / art organizations. Show the absence of consent is causing the organizers to suppress their wages. The legal culture of the performing artists who are less fight for their rights as well be the cause of the weakness of the implementation of the remuneration. Artists do not have bargaining position in remunerations because he feels that they are more in need than the organizers. The artist also did not try to fight for his remuneration. For them, not a problem if they have low remuneration. The most important for them had come in hotel and enjoy the hotel facilities, restaurant, or stage performances. For them it becomes a pride.
167
Subadra, I Nengah, 2007, “Peran Pemerintah dalam Pembangunan Pariwisata” available from: URL: http://subadra.wordpress.com/2007/08/26/89/, Cited 21th February 2012.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
187
Development of tourism in Bali is inseparable from the role of the five pillars of tourism development which consists of community, stakeholders in tourism, government, academia, and the press. Balinese people as perpetrators of Bali’s culture. They have important role in the development of tourism in Bali based on culture tourism. 168 Legal protection of remuneration requires that the role of community to determine the nominal in accordance to the situation and conditions. The organizer of tourism have the role to obey the rules of the remuneration of performing artists. The government in shaping the rules and regulations overseeing the remuneration provisions. Academics as the experts who helped the government to formulate the rules of remuneration and conduct scientific studies in the implementation of the remuneration. The press that oversees the implementation of remunerations for performing artist. Appropriate remuneration for performing artists is an important part of sustainable tourism development. Bali sustainable tourism development is development in dimension of economic, social and cultural environment that has justice not only for the present generation but also generations to come. In this construction, tourism is seen as a system that includes various components of each system that includes various components that interact and influence each other. Therefore we need a synergy with multi-sectoral and multidisciplinary approach. 169 Conclusion
168
Regional Regulation of Bali Province No. 9 of 2009 concerning the Bali Province Medium Term Regional Development Plan of 2008-2013. 169
IGN Parikesit Widiatedja,2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata Konstruksi Konsep Ragam Masalah dan Alternatif, Udayana University Press, Denpasar, p. 33.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan... Remuneration arrangements for the performing artists provided
188
in Article 27
paragraph (3) of the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945, Articles 3 and 4 of The Act No. 10 of 2009 concerning Tourism and specifically for performing artists in Bali can be seen in the provisions of Article The Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali Province. In the article is determined that the acceptance of remuneration for art organizations that will implement the performing arts of the region for tourism in the region with a maximum of an hour long show is Rp 10000.00 - Rp 20000.00 per person. In practice, this performing artists are paid less than specified. This condition is happened because of the legal substance of the provision of such remuneration is not in accordance with the conditions, circumstances and the times and also the absence of penalties for the infraction. Weak implementation of remuneration was also caused by factors that do not have the legal structure of government that oversees the implementation of the remunerations so that the organizers are looking for maximum profit and legal cultural factors that the weak position of workers in the art of determining the remuneration. To improve the welfare of these artists, we need a legal protection toward remuneration for artists. Legal protection of remuneration requires that the bargaining position of community to determine the nominal in accordance to the situation and conditions. The organizers of tourism have the role to obey the rules corncerning the remuneration. The government have authority in shaping the rules and regulations overseeing the remuneration provisions. Academics as the experts can help the government to formulate the rules of remuneration and conduct scientific researches in the implementation of the remuneration. The press oversees the implementation of remunerations for performing artist.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
189
REFERENCES
BOOKS Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Bali Government Tourism Office, Informasi Objek dan Daya Tarik Wisata di Bali, Denpasar. Oka A. Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya, Pradnya Paramita, Jakarta. Parikesit Widiatedja,2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata Konstruksi Konsep Ragam Masalah dan Alternatif, Udayana University Press, Denpasar. Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri, 2005, Sosiologi Pariwisata, Andi, Yogyakarta. Ruastiti, Ni Made, 2005, Seni Pertunjukan Bali Dalam Kemasan Pariwisata, Bali Mangsi Press, Denpasar. ARTICLES Antara News 2011, “76,19 Persen PAD Berasal Dari Pariwisata” Serial Online Sunday, August 7 2011 16:16 WIB, available from: URL: http://bali.antaranews.com/berita/13076/7619-persen-pad-berasal-dari-pariwisata, Cited 21th February 2012. Subadra, I Nengah, 2007, “Peran Pemerintah dalam Pembangunan Pariwisata” available from: URL: http://subadra.wordpress.com/2007/08/26/89/, Cited 21th February 2012. LAW MATERIALS Constitution of the Republic of Indonesia of 1945. Act of Republic of Indonesia No. 10 of 2009 concerning Tourism. Act of Republic of Indonesia No. 12 of 2011 concerning Formating Legislation. Regional Regulation of the Bali Province No. 3 of 1991 concerning Cultural Tourism. Regional Regulation of Bali Province No. 9 of 2009 concerning the Bali Province Medium Term Regional Development Plan of 2008-2013. Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali Province.
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
190