perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : STEPANUS DANANG PRASETYO NIM. E 0006232
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh Stepanus Danang Prasetyo NIM. E0006232
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta,
Desember 2010
Dosen Pembimbing
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. DR. Hartiwiningsih,S.H.,M.Hum
Siti Warsini,S.H.,M.H
NIP. 195702031985032001
NIP. 194709111980032002
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi ) KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh : Stepanus Danang Prasetyo NIM. E0006232
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada , Hari
: Jumat
Tanggal
: 31 Desember 2010
Dewan Penguji, 1. Ismunarno, S.H., M.Hum Ketua
: ……………………………
2. Siti Warsini, S.H., M.H Sekretaris
: ............................................
3. Prof. DR. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum Anggota
: ............................................
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum NIP.19610930 198601 1001
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Stepanus Danang Prasetyo
NIM
: E.0006232
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Penulisan hukum (skripsi) berjudul : KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam Penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan Penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari Penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta,
Desember 2010
yang membuat pernyataan
Stepanus Danang Prasetyo NIM E.0006232
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Stepanus Danang Prasetyo. E0006232. KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentukbentuk kekerasan dan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga serta untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif dan terapan untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum terkait isu hukum mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa pendekatan yang digunakan untuk menelaah isu hukum ini adalah dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Adapun, untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya digunakan jenis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai bahan pengkajian dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi dokumen atau bahan pustaka baik dari media cetak maupun elektonik (internet). Selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis dengan teknik analisis deduksi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa bentukbentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasaan sosial. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebenarnya telah mengatur mengenai perlindungan anak dari kekerasan, yaitu kekerasan yang dapat terjadi dalam rumah tangga, seperti yang tercantum dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 71. Upaya perlindungan terus menerus diupayakan baik oleh pemerintah bekerja sama dengan lembaga sosial dan masyarakat. Pelaksanaan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga tidaklah semudah yang dibayangkan, hal ini terjadi karena adanya kendala-kendala baik dari anak/korban, keluarga dan juga dari masyarakat, terutama pandangan masyarakat yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah keluarga yang biasa terjadi.
Kata kunci : Anak, kekerasan dalam rumah tangga, viktimologi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Stepanus Danang Prasetyo. E0006232. VIKTIMOLOGY STUDY ON CHILDREN AS VICTIMS OF DOMESTIC VIOLENCE. Faculty of Law University Of Sebelas Maret Surakarta. This legal research aims to find out how other forms of violence and protect children who are victims of domestic violence and to identify constraints in the implementation of the protection of children as victims of domestic violence. This research is prescriptive and normative law is applied to find the rule of law, legal principles, as well as legal doctrines related to legal issues regarding legal protection of children who are victims of domestic violence. Some approaches used to examine this legal issue is with the approach of legislation and case approach. Now, to resolve legal issues and provide prescriptions about what should be used when the type of primary law materials and secondary legal materials as a material assessment by techniques studies document collection of legal materials or library materials from both print and electronic media (internet). Further legal materials were analyzed with analysis techniques deduction Based on the research and discussion concluded that other forms of violence against children in the household in the form of physical violence, psychological violence, sexual violence and social violence. Law Number 23 Year 2002 on Child Protection has actually been set on protecting children from violence, that violence can occur in households, as stated in Article 42 through Article 71. Safeguard measures being taken both by the government in cooperation with social institutions and society. Implementation of the protection of children who are victims of domestic violence is not as easy as imagined, this happens because of the constraints both of the child / victim, the family and also from the community, especially the views of people who think domestic violence is a common family problem occur.
Key words: Children, domestic violence, viktimology
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
(Wiem Soegondo)
(Stepanus Danang)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan skripsi ini untuk :
My Savior and My Redeemer, JESUS CHRIST My parents whom i m rightly proud of My lovely Brother My beautiful girlfriend All of my best friends
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Terima kasih yang tak terhingga serta rasa syukur, terucap kepada Tuhan Yesus Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum/skripsi ini yang berjudul “Kajian Viktimologi Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga” Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum dan Ibu Siti Warsini, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan yang terbaik bagi Penulis. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung, memberikan kritik, saran, bantuan serta arahan kepada Penulis, sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan. Ungkapan terima kasih tersebut secara khusus Penulis sampaikan dengan segala kerendahan hati kepada : 1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta 3. Bapak Sapto Hermawan, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan mengarahkan Penulis selama masa studi. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, terima kasih untuk semua ilmu yang diberikan kepada Penulis. 5. Staf Tata Usaha, Staf Pendidikan, Staf Kemahasiswaan, Staf Perpustakaan, dan segenap karyawan-karyawati Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. 6. Untuk keluargaku tercinta, Ibu dan Mbah Uti yang tak pernah bosan memberi motivasi yang baik, dukungan moril dan spirituil serta limpahan cinta dan kasih sayang. Untuk adikku Anthonius Denny Febrianto yang selalu menemani dan memberi motivasi serta masukan-masukan bermakna untuk terus bersemangat dalam hidup dengan caranya yang luar biasa. Untuk Bapak,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
walaupun hanya sebentar kurasakan kasih sayangmu secara nyata dibumi ini, namun aku merasakan besarnya kasihmu dari surga. 7. Untuk Budhe dan Pakdhe, Mbak Tutin sekeluarga, Mas Janto sekeluarga, Mas Kelik, Mas Didik sekeluarga, Pakdhe Nardi sekeluarga, Om Wiem sekeluarga atas cinta kasih, doa dan dukungannya. 8. Keluarga Besar Pratiyodha Paramita spesial untuk angkatan 9, Keluarga Besar Soliska (Solidaritas Siswa-Siswi Katolik Klaten) spesial untuk angkatan 11, Keluarga Besar Gopala Valentara spesial untuk Diklatsar XXIII, semua saudara-saudaraku dan teman-temanku yang menemaniku mengisi waktu dengan senyum. 9. Long Distance Spirituality Team (LDS Team) yang setiap hari memberikan kabar gembira yang menyejukkan dan menguatkan, terima kasih atas doa dan dukungannnya. 10. Special thanks to my Princess for always grabbing my hands and be my wings. 11. Untuk semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu Penulis selama ini, terima kasih semuanya. Akhir kata Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, baik dalam kalimat maupun isinya karena memang tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan hukum ini. Semoga penulisan hukum ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang membutuhkannya.
Surakarta, Desember 2010 Penulis,
Stepanus Danang Prasetyo
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... HALAMAN PERNYATAAN .................................................................... ABSTRAK................................................................................................... ABSTRACT................................................................................................ MOTTO ...................................................................................................... PERSEMBAHAN........................................................................................ KATA PENGANTAR ................................................................................ DAFTAR ISI............................................................................................... DAFTAR BAGAN ..................................................................................... DAFTAR TABEL....................................................................................... BAB I
i ii iii iv v vi vii viii ix xi xiii xiv
PENDAHULUAN ...................................................................... A. Latar Belakang....................................................................... B. Rumusan Masalah.................................................................. C. Tujuan Penulisan Hukum ...................................................... D. Manfaat Penulisan Hukum .................................................... E. Metode Penulisan Hukum ..................................................... F. Sistematika Penulisan Hukum ...............................................
1 1 5 5 5 6 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ A. Kerangka Teori ...................................................................... 1. Tinjauan Tentang Viktimologi............................. ........... a. Pengertian Viktimologi .............................................. b. Perkembangan Viktimologi ....................................... c. Ruang Lingkup Viktimologi ...................................... d. Manfaat Viktimologi.................................................. e. Tujuan Viktimologi.................................................... 2. Tinjauan Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga...... a. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga............ b. Ruang Lingkup Rumah Tangga ................................. c. Unsur-Unsur Kekerasan Dalam Rumah Tangga........ 3. Tinjauan Tentang Korban................................................ a. Pengertian Korban...................................................... b. Tipologi Korban ......................................................... c. Hak-hak Korban ......................................................... d. Kewajiban-kewajiban Korban.................................... 4. Tinjauan Tentang Anak ................................................... a. Pengertian Anak ......................................................... b. Hak-hak Anak ............................................................ c. Asas dan Tujuan Perlindungan Anak......................... B. Kerangka Pemikiran...............................................................
11 11 11 11 11 11 12 13 13 13 14 14 15 15 16 18 19 20 20 22 26 27
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................ A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak dalam Rumah Tangga.................................................................................... B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Terhadap Anak sebagai Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.............................. 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak........................................................... 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga .............. 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ....................................... C. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga............................................................ D. Tinjauan Viktimologi Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.......................................... BAB IV PENUTUP ................................................................................... A. Simpulan ................................................................................ B. Saran....................................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
29 29 39 43 49 54
62 65 73 73 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN
Bagan I : Kerangka Pemikiran ....................................................................
commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel I : Data Kekerasan Terhadap Anak di Sumatera Utara.....................
commit to user
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan memberikan definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini memberikan pengertian bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga). Sebuah keluarga (rumah tangga) yang sempurna adalah yang terdiri dari seorang bapak, seorang ibu dan anak, sehingga kehadiran anak menjadi hal yang penting dalam sebuah keluarga, begitu pula sebaliknya sebuah keluarga mempunyai peranan yang penting bagi anak. Anak dalam perspektif hukum Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi subyek hukum internasional. Konsekwensi yuridisnya, Konvensi Hak Anak (KHA) mewajibkan negara yang telah meratifikasi untuk melakukan intervensi lebih kepada anak melalui hukum domestik. Konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) melalui amandemen telah secara expresive verbis mendudukkan hak anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 28 B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, dengan pemuatan ini perlindungan anak sudah menjadi hak konstitutif. Konvensi Hak Anak (KHA) Pasal 3 ayat (2) memberikan tanggung jawab kepada pihak yang terdekat dengan anak yakni keluarga untuk menjamin pemenuhan hak anak, bunyi pasal tersebut menyebutkan bahwa negara berusaha menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk kesejahteraannya dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua, wali hukum, atau orang-orang lain yang secara sah atas anak, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keluarga merupakan tempat memberikan pendidikan yang baik untuk anak. Melalui pendidikan yang diterima dari keluarga, maka anak diharapkan menjadi seorang yang mempunyai mental dan pribadi yang baik serta dapat menjadi generasi penerus yang mempunyai potensi bagi agama, keluarga, bangsa dan bagi dirinya sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan seluasluasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberi jaminan terhadap pemenuhan hak-hak serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Pemahaman ini sejalan dengan pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Berkaitan dengan hal perlindungan anak dari kekerasan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan mengenai upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut : a. non dikriminasi; b. kepentingan yang terbaik untuk anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Di sisi lain Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa tujuan perlindungan anak salah satunya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ialah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Namun demikian, kekerasan terhadap anak terus terjadi dan mengalami peningkatan. Tingginya kekerasan pada anak memperlihatkan bahwa persoalan kekerasan menjadi persoalan yang amat serius, apalagi kekerasan tersebut dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri, terlebih oleh orang tuanya sendiri. Dari keseluruhan pengaduan kekerasan terhadap anak yang diterima Komisi Nasional Perlindungan Anak, pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah pertama, munculnya kekerasan dalam rumah tangga, terjadinya kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya menyebabkan tidak terelakkannya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua. Kedua, terjadinya disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Ketiga, faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi
(Syamsul
Muarif.
Kekerasan
Orang
Tua
Pada
Anak.
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/25/kekerasan-orang-tua-padaanak>[tanggal 18 Agustus 2010 pukul 09.30 WIB]). Selama ini pandangan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga dipandang adalah sesuatu yang wajar dan hal itu disikapi sebagai konflik rumah tangga semata. Pandangan tersebut diperparah lagi oleh adanya mitos-mitos yang merendahkan martabat istri, perempuan dan anak-anak, sebaliknya suami/ayah menjadi dominan terhadap anggota keluarga yang lain. Hal tersebut secara berlebihan merupakan suatu ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, bahkan diterima sebagai sesuatu kondisi yang lazim. Tindak kekerasan terhadap anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga tersebut telah melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya dalam Pasal 13 huruf d yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertangggung jawab
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan kekejaman, kekerasan dan penganiayaan. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merumuskan larangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, baik kekerasan fisik, psikis, seksual ataupun penelantaran, yang mana dalam Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi suami, istri dan anak, maka dapat dipahami bahwa perlindungan terhadap anak dari segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga wajib dilakukan oleh orang dalam lingkup keluarga tersebut, termasuk juga masyarakat dan pemerintah. Sebagai salah satu contoh adalah hal yang menimpa Ferry, seorang bayi berusia 5 (lima) bulan yang dianiaya Yani, ibu kandungnya, sehingga mengalami patah tulang tangan, kaki, serta gegar otak. Sementara Icha kakak Ferry yang berumur 5 (lima) tahun juga kerap kali dianiaya oleh Yani, sehingga kepalanya lebam-lebam dan menyebabkan kondisi psikologisnya tidak baik. Menurut Psikiater Dadang Hawari, Yani, ibu kandung korban, kemungkinan mengalami gejala gangguan jiwa dan paranoid karena ditinggal suaminya, ketidaksiapan mempunyai anak serta impitan ekonomi (Harian Media Indonesia, Pemerintah Harus Tegas Tangani Kekerasan Pada Anak, Edisi Cetak: Selasa, 8 Juni 2010). Uraian tersebut menunjukkan masih banyaknya kekerasan yang dialami anak dalam rumah tangga, terutama oleh orang tua mereka sendiri. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Penulis tertarik untuk mengadakan penulisan hukum (skripsi) dengan judul KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka Penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga? 2. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga? 3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga?
C. Tujuan Penulisan Hukum Adapun tujuan yang ingin dicapai Penulis dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga. b. Untuk mengetahui mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. c. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan bagi setiap mahasiswa dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah pengetahuan, wawasan, dan pemahaman Penulis dalam bidang hukum pidana khususnya mengenai anak sebagai korban kekerasan rumah tangga dan bentuk perlindungan serta kendala-kendalanya.
D. Manfaat Penulisan Hukum 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum, khususnya viktimologi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai teaching materials mata kuliah viktimologi maupun mata kuliah terkait perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan atau referensi tambahan bagi Penulis lain yang kaitannya dengan viktimologi. 2. Manfaat Praktis a. Dapat memberi jawaban atas permasalahan yang akan diteliti. b. Dapat mengembangkan daya pikir dan analisis Penulis sehingga dapat mengetahui kemampuan Penulis dalam menerapkan materi ilmu hukum yang diperoleh. c. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca maupun Penulis mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang kaitannya dengan kekerasan dalam rumah tangga. d. Dapat dipakai sebagai masukan bagi kalangan penegak hukum, lembaga perlindungan anak, keluarga, masyarakat maupun pemerintah terkait dengan permasalahan yang diteliti oleh Penulis.
E. Metode Penulisan Hukum 1. Jenis Penelitian Metode yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian hukum jenis ini acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundangundangan (law of books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas (Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008: 18). 2. Sifat Penelitian Sifat Penelitian dalam penulisan ini adalah deskriptif. “Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat” (Amirudin dan Zainal Asikin, 2006: 25).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian ini memberikan deskripsi mengenai bentuk-bentuk kekerasan yang dialami anak dalam rumah tangga, membahas perlindungan hukum terhadap kekerasan yang dialami anak dalam rumah tangga, dan membahas mengenai kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. 3. Pendekatan Penelitian Penelitian hukum normatif ini dengan menggunakan pendekatan undang-undang (Statute Approach). Hal tersebut karena penelitian hukum normatif dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93). Dalam penelitian ini Penulis memusatkan perhatiannya kepada perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. 4. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan Penulis dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yaitu : a.
Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141). Bahan hukum primer yang digunakan dalam penyusunan ini, antara lain : 1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. 2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. 3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. 4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan. 8) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 9) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Kerjasama dan Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 10) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. b.
Bahan hukum sekunder, yang terutama adalah buku-buku hukum, termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum, disamping itu juga, kamus-kamus hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 155).
c.
Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus (hukum), eksiklopedia (Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008: 32).
5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah suatu teknik yang dilakukan peneliti dalam mencari, memilih dan mereduksi data yang digunakan dalam penelitian. Tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian ini adalah mengumpulkan
bahan
kepustakaan,
baik
kepustakaan
biasa
maupun
kepustakaan internet (cyber library) yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan dengan seefektif mungkin. 6. Teknik Analisis Data Analisis
data
adalah
tahapan
yang
dilakukan
peneliti
dalam
mengklarifikasikan, menguraikan data yang diperoleh kemudian melalui proses pengolahan nantinya data yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Metode deduksi adalah metode yang digunakan Penulis untuk analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini. Sedangkan yang dimaksud dengan metode deduksi adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 47).
F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika laporan penulisan hukum yang disusun oleh Penulis ialah sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Berisi latar belakang, Penulis mengangkat masalah tinjauan viktimologi terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus citacita perjuangan bangsa sering menjadi korban kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual maupun sosial dan kebanyakan kasus yang ditemukan pelaku utamanya adalah orang tua atau keluarga terdekatnya yang seharusnya menjadi tempat berlindung paling aman dari segala ancaman dan bahaya yang dapat dialami oleh anak seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sejalan dengan itu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga mengatur mengenai perlindungan bagi anggota rumah tangga (termasuk anak), harus dilakukan oleh orang tua dan keluarga terdekatnya, sehingga dengan demikian Penulis merumuskan masalah yakni bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga dan juga kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga dengan tujuan mencari jawaban dari rumusan masalah yang ada, tujuan penulisan hukum, manfaat penulisan hukum dan metode penulisan hukum serta sistematika penulisan hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Bab ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori memberikan landasan teori atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang Penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang Penulis teliti. Hal tersebut meliputi : Tinjauan Tentang Viktimologi, Tinjauan Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Tinjauan Tentang Korban dan Tinjauan Tentang Anak. Dalam hal ini, untuk kerangka pemikiran Penulis akan menampilkan bagan kerangka pemikiran. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, Penulis membahas sekaligus menjawab permasalahan yang telah ditentukan Penulis sebelumnya. Pertama mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, kedua mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga dan ketiga mengenai kendalakendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. BAB IV PENUTUP Bab ini merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas hasil keseluruhan. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Viktimologi a. Pengertian Viktimologi Viktimologi berasal dari bahasa latin yaitu victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi dapat diartikan suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial. b. Perkembangan Viktimologi Perkembangan viktimologi dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu : 1) Fase Penal atau Special Victimology, yaitu fase dimana viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja. 2) Fase General Victimology, yaitu fase dimana viktimologi tidak hanya mempelajari tentang korban kejahatan namun juga korban kecelakaan. 3) Fase New Victimology, yaitu fase viktimologi yang telah mengalami perkembangan yang lebih luas, bukan hanya korban kejahatan dan kecelakaan
saja
yang
dipelajari,
namun
juga
korban
karena
penyalahgunaan kekuasaan dan menyangkut hak-hak asasi manusia. c. Ruang Lingkup Viktimologi Viktimologi meneliti mengenai korban, seperti peranan korban saat terjadinya tindak pidana, hubungan antara korban dan pelaku, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan. Menurut J.E Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimy yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan korban bencana alam selain korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun dalam perkembangannya di tahun 1985, Separovic mempelopori pemikiran agar viktimologi khusus mengkaji
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
korban karena adanya kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban karena musibah atau bencana alam, karena bencana alam di luar kemauan manusia (out of man’s will) (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 43). Perkembangan mengenai ruang lingkup viktimologi menjadi lebih luas lagi, hal ini mengingat pentingnya peranan korban dalam setiap terjadinya tindak pidana, seperti dalam Kongres Perserikatan BangsaBangsa (PBB) kelima di Genewa tahun 1975 dan Kongres keenam tahun 1980 di Caracas yang meminta perhatian lebih untuk korban kejahatan selain
kejahatan
konvensional
seperti
pemerasan,
pencurian
dan
pembunuhan namun korban kejahatan inkonvensional seperti terorisme, pembajakan dan kejahatan kerah putih. d. Manfaat Viktimologi Beberapa manfaat yang diperoleh dengan mempelajari viktimologi adalah sebagai berikut : 1) Viktimologi mempelajari hakekat siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam suatu proses viktimisasi; 2) Viktimologi memberikan sumbangan pengertian yang lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya ialah untuk memberikan penjelasan mengenai peran korban dan hubungannya dengan pelaku; 3) Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan dan pekerjaan mereka. Terutama dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau nonstruktural; 4) Viktimologi juga memberikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung. Dengan demikian dimungkinkan menentukan asal mula viktimisasi, mencari sarana menghadapi suatu kasus, mengetahui
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terlebih dahulu kasus–kasus, mengatasi akibat–akibat merusak dan mencegah pelanggaran kejahatan lebih lanjut; 5) Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk mengatasi masalah kompensasi
pada
korban.
Pendapat-pendapat
viktimologis
dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap perilaku kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga suatu studi mengenai hak dan kewajiban hak asasi manusia (Arif Gosita, 1989: 41). e. Tujuan Viktimologi Tujuan viktimologi menurut Muladi adalah 1) Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban; 2) Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; 3) Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia (Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjiarto & G. Widiartana, 2001: 175). 2. Tinjauan Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga a. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga diistilahkan dengan kekerasan domestik, dengan pengertian domestik ini diharapkan memang tidak melulu konotasinya dalam suatu hubungan suami istri saja, tetapi juga setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu, jadi bisa saja tidak ada hubungan suami istri, tapi juga hubungan darah (anak, adik, kakak, dll) atau bahkan seorang pembantu rumah tangga. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tangga. Menurut H. Lien Brugg bahwa “domestic violence is a pattern of coercive and assaultive behaviors that include physical, sexual, verbal, and psychological attacks and economic coercion that adults or adolescents use against their intimate partner”(Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola tindakan kekerasan dan penyerangan fisik, seksual, verbal, dan serangan psikis dan penelantaran ekonomi kepada orang dewasa atau anakanak/remaja oleh orang dekatnya) (H. Lien Brugg, 2003: 15). b. Ruang Lingkup Rumah Tangga Didalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dinyatakan bahwa lingkup rumah tangga meliputi : 1) Suami, istri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); 2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau 3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. H. Lien Brugg memberikan pengertian ruang lingkup keluarga yang lebih luas, yaitu wanita, pria, anak/remaja, orang cacat, gay atau lesbian sesuai dengan pernyataannya bahwa
“Anyone can become a victim of
domestic violence. Victims of domestic violence can be women, men, adolescents, disabled persons, gays, or lesbians, they can be of any age and work in any profession”(Setiap orang dapat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dialami oleh wanita, pria, anak-anak/remaja, orang cacat, gay atau lesbian dari berbagai umur dan bekerja diberbagai profesi) (H. Lien Brugg, 2003: 23). c. Unsur-Unsur Kekerasan dalam Rumah Tangga Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan dalam rumah tangga menurut Iptu Nunik Suryani dari Polres Klaten adalah 1) Segala bentuk tindak kekerasan;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Korban perempuan dan/atau anak; 3) Berakibat
kesengsaraan/penderitaan
fisik,
psikis,
seksual
dan
penelantaran; 4) Perbuatan pemaksaan/perampasan kemerdekaan; 5) Terjadi dalam lingkup rumah tangga (Nunik Suryani, 2006). 3. Tinjauan Tentang Korban a. Pengertian Korban Korban suatu tindak kejahatan tidak selalu berupa individu atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum, bahkan dalam kejahatan tertentu, bisa juga korban adalah berupa ekosistem, hewan atau tumbuhan. Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli, konvensi-konvensi internasional maupun dalam peraturan perundang-undangan, untuk lebih jelasnya beberapa pengertian korban adalah sebagai berikut : 1) Korban menurut beberapa Ahli a) Menurut Arief Gosita “korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan hak asasi pihak yang dirugikan” (Arif Gosita, 1993: 63). b) Menurut Muladi “korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau kondisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan” (Muladi dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 46). c) Menurut Raplh de Sola, korban (victim) “…person who has injured mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attemted criminal offense committed by another…”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(korban adalah orang yang mengalami penderitaan mental atau fisik, kehilangan harta benda atau mengakibatkan kematian karena suatu tindak pidana atau percobaan tindak pidana yang dilakukan orang lain) (Raplh de Sola dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 46). 2) Korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Definisi korban menurut undang-undang ini, korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. 3) Korban menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Definisi korban menurut undang-undang ini adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang menderita secara langsung, namun lebih luas bahwa korban termasuk didalamnya keluarga ataupun tanggungan langsung dari korban dan orangorang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi kerugian atau untuk mencegah viktimisasi. Namun dalam penelitian ini yang dimaksud korban yaitu orang yang mengalami kerugian/penderitaan secara langsung baik fisik, mental dan sosial yang terjadi dalam rumah tangga dan dilakukan oleh orang-orang yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, khususnya orang tua. b. Tipologi Korban Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban, yaitu sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 49) : 1) Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban. 3) Provocative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan. 4) Participating victims, yaitu mereka dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban. 5) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri. Tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 49) : 1) Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku. 2) Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban. 3) Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. 4) Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. 5) Sosially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban. 6) Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Menurut Sellin dan Wolfgang, pengelompokan korban sebagai berikut (Sellin dan Wolfgang dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 50) : 1) Primary victimization, yaitu berupa individu atau perorangan (bukan kelompok). 2) Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum. 3) Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) No victimization, yaitu korban yang tidak diketahui, misal konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produk. Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, ada empat prinsip tipe korban, hal ini dikemukakan oleh Stephen Schafer, yaitu sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 50) : 1) Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetap menjadi korban. Tipe ini kesalahan ada pada pelaku. 2) Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Tipe ini, korban dinyatakan turut andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban. 3) Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin dan sebagainya. Dalam hal ini korban tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab. 4) Korban karena juga sebagai pelaku, ini yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku. Apabila mencermati mengenai tipologi korban tersebut, anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam biologically weak victims dan primary victimization. c. Hak-Hak korban Seseorang yang menjadi korban sering kali tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya mereka terima karena berbagai alasan, misalnya karena kekhawatiran prosesnya yang lama sehingga biaya yang harus dikeluarkan banyak dan untuk korban kekerasan dalam rumah tangga karena menganggap sebagai urusan rumah tangga biasa. Secara umum hak-hak korban adalah sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 52) : 1) Hak untuk memperoleh ganti rugi atas penderitaan yang dialaminya; 2) Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku; 4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum; 5) Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya; 6) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis; 7) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan keluar dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan; 8) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban; 9) Hak atas kebebasan/kerahasiaan pribadi. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, menyatakan hak-hak korban yang secara khusus berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga, yaitu korban berhak mendapatkan : 1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; 2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; 3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; 4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 5) Pelayanan bimbingan rohani. d. Kewajiban-Kewajiban Korban Penanggulangan kejahatan tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak ada informasi dari korban itu sendiri, maka disamping hak yang telah diterima korban, melekat juga kewajiban kepadanya, antara lain: 1) Kewajiban untuk tidak main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku; 2) Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak berwenang; 4) Kewajiban untuk tidak melakukan penuntutan yang berlebihan kepada pelaku; 5) Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya; 6) Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya penanggulangan kejahatan; 7) Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi. 4. Tinjauan Tentang Anak a. Pengertian Anak Hukum Indonesia terdapat pluralisme terhadap kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak. Antara lain dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 24 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya
dengan
tidak
dikenakan
upaya
hukum,
atau
memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan Pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 2) Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin. 3) Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 4) Anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa; walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun. 5) Anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan mengatakan, seorang pria hanya diijinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 tahun (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri. 6) Anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam praktek terdapat kesulitan menentukan usia ini, karena tidak semua orang mempunyai Akta Kelahiran atau Surat kenal Lahir, Akibatnya adakalanya menentukan usia ini dipergunakan Rapor, Surat baptis atau Surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah saja. Kadang kala terdapat kejanggalan, anak berbadan besar lengkap dengan kumis dan jenggotnya tapi menurut keterangan usia masih muda. Bahkan adakalanya orang yang terlibat kasus pidana membuat keterangan bahwa dia masih anak-anak sementara usia sudah dewasa dan sudah kawin. Dengan banyaknya batasan umur yang berbeda dari peraturan-peraturan yang ada, maka dalam hal definisi anaka, Penulis menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b. Hak-Hak Anak Anak sebagai generasi penerus bangsa telah mendapatkan kedudukan oleh dunia internasional, dengan banyaknya pelanggaran terhadap hak-hak anak maka terdapat berbagai macam peraturan untuk melindungi hak-hak anak agar perkembangan anak berjalan dengan baik. Peraturan yang bersifat internasional ini selanjutnya diikuti oleh negara-negara di dunia dengan meratifikasinya sehingga di masing-masing negara, khususnya Indonesia terdapat peraturan mengenai perlindungan hak anak. 1) Hak Anak menurut Konvensi Hak Anak (Child Right Convention) Hak anak telah diakui secara internasional dengan adanya Konvensi Hak Anak (Child Right Convention) pada tanggal 20 November 1989 yang disepakati dalam Sidang Majelis Umum (General Assembly) Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-44, yang selanjutnya telah dituangkan dalam resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989. Konvensi hak anak ini merupakan hukum internasional yang mengikat negara peserta (state parties), Indonesia sebagai masyarakat internasional dan anggota Perserikatan BangsaBangsa telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Adapun hak anak menurut Konvensi Hak Anak jo Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Hak Anak adalah sebagai berikut : 1.
Hak Hidup (Survival Rights), perlindungan ini meliputi : a. Anak mempunyai hak untuk hidup (Pasal 6); b. Hak atas tingkat kehidupan yang layak atas kesehatan dan pelayanan kesehatan (Pasal 24).
2.
Hak mendapatkan Perlindungan (Protection Right), hak ini meliputi : a. Larangan diskriminasi anak, 1.
Nondiskriminasi terhadap anak (Pasal 2);
2.
Hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan (Pasal 7);
3.
Hak anak cacat (Pasal 23);
4.
Hak anak kelompok minoritas (Pasal 30).
b. Larangan eksploitasi anak, 1.
Hak berkumpul dengan orang tua (Pasal 10);
2.
Kewajiban negara mencegah atau mengatasi penculikan (Pasal 11);
3.
Kewajiban negara untuk memberi perlindungan khusus bagi anak yang kehilangan keluarga (Pasal 20);
4.
Adopsi hanya dilakukan untuk kepentingan anak (Pasal 21);
5.
Peninjauan periodik atas anak yang ditempatkan dalam pengasuhan
negara
karena
alasan
pengawasan,
perlindungan dan penyembuhan (Pasal 25); 6.
Kewajiban negara melindungi anak dari pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak (Pasal 32);
7.
Hak anak atas perlindungan penyalahgunaan obat bius dan narkotika, baik dalam proses produksi maupun distribusi (Pasal 33);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8.
Hak
anak
atas
perlindungan
dari
eksploitasi
dan
penganiayaan seksual termasuk prostitusi dan keterlibatan pornografi (Pasal 34); 9.
Kewajiban negara mencegah penjualan, penyelundupan dan penculikan anak (Pasal 35);
10. Hak perlindungan dari segala bentuk eksploitasi yang belum tercantum dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 35; 11. Larangan penyiksaan perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan terhadap anak (pasal 37); 12. Kewajiban
negara
menjamin
anak
korban
konflik
bersenjata, penganiayaan, penelantaran, salah perlakuan atau eksploitasi untuk memperoleh perawatan yang layak demi penyembuhan reintegrasi sosial mereka (Pasal 39); 13. Hak anak yang didakwa ataupun yang diputuskan telah melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak asasinya dan khususnya untuk menerima manfaat dari segala proses hukum atau bantuan hukum lainnya dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan institusional sedapat mungkin dihindari (Pasal 40); 14. Kekerasan dan penelantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga. c. Perlindungan anak dalam krisis dan darurat, perlindungan ini meliputi : 1.
Anak dalam situasi darurat (Children ini situation of emergency), seperti : a. Anak dalam pengungsian (Pasal 22); b. Anak-anak korban peperangan/konflik bersenjata (Pasal 38);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.
Anak yang berkonflik dengan hukum (Children in conflict in the law), seperti : a. Prosedur peradilan anak (Pasal 40); b. Anak-anak yang berada dalam penekanan kebebasan (Pasal 37); c. Reintegrasi sosial anak-anak dan penyembuhan fisik dan psikologi anak (Pasal 39).
3.
Anak-anak dalam situasi eksploitasi (Children in situation of exploitation), seperti : a. Eksploitasi ekonomi; b. Pekerjaan anak (Pasal 32); c. Penyalahgunaan obat bius dan narkotika (Pasal 33); d. Eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual (Pasal 34); e. Bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (Pasal 36); f. Perdagangan anak, penculikan dan penyelundupan anak (Pasal 35); g. Anak-anak dari kelompok minoritas atau anak-anak penduduk suku terasing (Children belonging to a minority or an indegenous group) (Pasal 30).
3.
Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights), hal ini meliputi : a. Hak mengambil langkah legislasi dan administrasi (Pasal 4); b. Hak hidup (Pasal 6); c. Hak untuk mempertahankan identitas (pasal 8); d. Hak anak untuk dipisahkan dari orang tuanya (Pasal 9); e. Hak menjamin repatriasi keluarga (pasal 10); f. Hak menyatakan pendapat secara bebas dan untuk didengar (pasal 13); g. Hak untuk kemerdekaan berpikir (Pasal 14); h. Hak atas kebebasan untuk berkumpul (Pasal 15);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
i. Hak memperoleh informasi (Pasal 17); j. Hak anak menikmati norma kesehatan tertinggi (Pasal 24); k. Hak mendapat pendidikan, baik formal maupun nonformal (Pasal 28 dan Pasal 29); l. Hak bermain dan berekreasi ke luar negeri . 4.
Hak berpartisipasi (Participation Rights), meliputi : a. Menjamin pandangan anak (Pasal 12); b. Hak anak untuk menyatakan pendapat secara bebas (Pasal 13); c. Hak anak untuk berkumpul (Pasal 15).
2) Hak Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 4 sampai dengan pasal 18 mengatur secara khusus mengenai hak anak. Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan setiap anak dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : a.
Diskriminasi;
b.
Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual;
c.
Penelantaran;
d.
Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;
e.
Ketidakadilan; dan
f.
Perlakuan salah lainnya.
c. Asas dan Tujuan Perlindungan Anak Di Indonesia penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak meliputi : 1) Non diskriminasi; 2) Kepentingan yang terbaik untuk anak; 3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; 4) Penghargaan terhadap pendapat anak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
B. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Perlindungan bagi anak Kekerasan terhadap anak
Keluarga / Rumah Tangga
Orang Lain
Anak sebagai Korban Viktimologi Keterangan : Pokok masalah ini adalah perlindungan terhadap anak dari korban kekerasan dalam rumah tangga. Melihat dari studi yang diteliti, perlu adanya perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan maksud dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang tujuannya adalah untuk memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak anak dan perlakuan tanpa diskriminasi sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mental maupun sosial serta berakhlak mulia, maka perlu adanya perlindungan terhadap anak, khususnya dalam lingkup rumah tangga. Menurut penelitian dan data yang diperoleh dari berbagai sumber, telah banyak terjadi kekerasan terhadap anak di Indonesia, selain orang lain yang tidak mempunyai hubungan dekat dengan anak, kekerasan terhadap anak justru lebih banyak dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri, faktor yang paling banyak menyebabkan kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan rumah tangga adalah perselisihan antara orang tua, yang mana anak menjadi sasaran pelampiasan kemarahan orang tua, pola didik dan pola asuh yang salah, faktor ekonomi, dan pandangan orang tua bahwa anak adalah milik orang tua. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman untuk berlindung anak dari segala bahaya, malah menjadi tempat paling berbahaya bagi anak, hal ini disebabkan pula bahwa banyak kasus kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga tidak terdeteksi secara dini oleh masyarakat sekitar dan terlebih bahwa pandangan masyarakat yang menganggap bahwa apabila masalah rumah tangga sampai terdengar oleh umum maka menjadi aib bagi keluarga tersebut, dan pada akhirnya anak yang menjadi korban kekerasan rumah tangga semakin tertekan dan pelakupun secara bebas dapat melakukan kekerasan yang sama kepada anak. Permasalahan perlindungan terhadap anak dari kekerasan dalam rumah tangga menjadi sangat sulit untuk diungkap kepermukaan, walaupun dalam beberapa kasus kekerasan rumah tangga dapat terungkap, permasalahan baru akan muncul kembali dikarenakan adanya permintaan dari pihak keluarga untuk memberi kebebasan kepada pelaku dengan alasan pelaku adalah tulang punggung kelurga. Uraian tersebut menurut Penulis menjadi menarik untuk diteliti dan ditinjau dari viktimologi, terutama apakah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dapat benar-benar melindungi hak anak dari segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi kekerasan dalam rumah tangga yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Bentukbentuk kekerasan tersebut memang tidak secara khusus ditujukan kepada anak, namun hal tersebut dapat menimpa anak mengingat bahwa didalam sebuah keluarga dimungkinkan ada penghuni yang masih anak-anak, hal ini juga terlihat dari ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga yang didalamnya adalah anak, walaupun tidak ada kejelasan mengenai batas usia anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memang tidak membagi bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun dengan meminjam definisi kekerasan dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Penulis memberikan definisi kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga dengan merubah obyek dan lingkupnya, sehingga definisi kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang anak, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran anak termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup keluarga/rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga dibagi menjadi kekerasan fisik terhadap anak dalam rumah tangga, kekerasan psikis terhadap anak dalam rumah tangga, kekerasan seksual terhadap anak dalam rumah tangga dan kekerasan sosial (penelantaran dan eksploitasi) terhadap anak dalam rumah tangga. Selanjutnya Penulis akan membahas satu persatu bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, sebagai berikut : 1. Kekerasan fisik terhadap anak dalam rumah tangga Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Menurut Suharto, kekerasan fisik terhadap anak adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak (Suharto dalam Abu Huraerah, 2007: 48). Penganiayaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si penindak. Pengertian tersebut dianut dalam praktik hukum selama ini, dari pengertian itu, maka penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a) adanya kesengajaan; b) adanya perbuatan; c) adanya akibat perbuatan (dituju) yakni : 1) rasa sakit, tidak enak pada tubuh; 2) lukanya tubuh; d) akibat mana menjadi tujuan satu-satunya (Adami Chasawi, 2001: 12) Manifestasi yang umumnya ditemukan meliputi memar, luka bakar, patah tulang, trauma kepala dan cedera pada perut. Jumlah sedikit tetapi bermakna pada kematian yang tidak terduga pada bayi dan anak-anak kecil misalnya sudden infant death syndrome biasanya berkaitan dengan kekerasan fisik (Moersintowati B. Narendra, 2005: 4). Hal ini terjadi karena tingkah laku anak yang tidak disukai orang tua, seperti rewel, menangis terus, kencing atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
muntah disembarang tempat sehingga orang tua menerapkan hukuman fisik yang bertujuan menegakkan disiplin namun kadang tidak sesuai dengan usia anak dan lepas kendali dalam mengatasi perilaku sang anak. 2. Kekerasan psikis terhadap anak dalam rumah tangga Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis terhadap anak menurut Hart, Brassard, and Karlson “psychological maltreatment is defined as the repeated pattern of behavior that conveys to children that they are worthless, unloved, unwanted, only of value in meeting another’s needs, or seriously threatened with physical or psychological violence”(penganiayaan secara psikologis didefinisikan sebagai pola berulangulang perilaku yang menyampaikan kepada anak-anak bahwa mereka tidak berharga, tidak dicintai, yang tidak diinginkan, hanya bernilai sebagai kebutuhan apabila diperlukan, atau sangat tertekan secara fisik atau kekerasan psikologis)(George W. Holden, 2003: 156). Tery E. Lawson seorang psikiater anak menyebutnya dengan verbal abuse (kekerasan verbal), terjadi ketika si ibu, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan menangis”. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, dan seterusnya. Jenis-jenis kekerasan psikologis adalah (Alva Nadia, 2004: 2) : a) Penolakan. Orang tua mengatakan kepada anak bahwa dia tidak diinginkan, mengusir anak, atau memanggil anak dengan sebutan yang kurang menyenangkan. Kadang anak menjadi kambing hitam segala masalah yang ada dalam keluarga. b) Tidak diperhatikan. Orang tua yang mempunyai masalah emosional biasanya tidak dapat merespon kebutuhan anak-anak mereka. Orang tua jenis ini mengalami masalah kelekatan dengan anak. Mereka menunjukkan sikap tidak tertarik pada anak, sukar memberi kasih sayang, atau bahkan tidak menyadari akan kehadiran anaknya. Banyak orang tua yang secara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
fisik selalu ada disamping anak, tetapi secara emosi sama sekali tidak memenuhi kebutuhan emosional anak. c) Ancaman. Orang tua mengkritik, menghukum atau bahkan mengancam anak. Dalam jangka panjang keadaan ini mengakibatkan anak terlambat perkembangannya, atau bahkan terancam kematian. d) Isolasi. Bentuknya dapat berupa orang tua tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan bersama teman sebayanya, atau bayi dibiarkan dalam kamarnya sehingga kurang mendapat stimulasi dari lingkungan, anak dikurung atau dilarang makan sesuatu sampai waktu tertentu. e) Membiarkan anak terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol, berlaku kejam terhadap binatang, melihat tayangan porno, atau terlibat dalam tindak kejahatan seperti mencuri, berjudi, berbohong, dan sebagainya. Untuk anak yang lebih kecil, membiarkannya menonton adegan-adegan kekerasan dan tidak masuk akal di televisi termasuk juga dalam kategori penyiksaan emosi. Kekerasan psikis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis penyiksaan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti gangguan jiwa, kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak seperti tiba-tiba membakar barang atau bertindak kejam terhadap binatang, beberapa melakukan agresi, menarik diri, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri. Sedangkan secara jangka panjang, akan berakibat lahirnya pelaku-pelaku baru tindak kekerasan. 3. Kekerasan seksual terhadap anak dalam rumah tangga Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga; (b) pemaksaan hubungan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual adalah praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, di luar atau didalam rumah tangga, kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekuatan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya. Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001: 32). Kekerasan seksual pada anak dalam rumah tangga adalah kondisi dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual dimana anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga. Semua tindakan yang melibatkan anak dalam kesenangan seksual masuk dalam kategori ini (Alva Nadia, 2004: 3) : a) Kekerasan seksual tanpa sentuhan. Termasuk di dalamnya jika anak melihat pornografi, atau exhibitionisme, dsb. b) Kekerasan seksual dengan sentuhan. Semua tindakan anak menyentuh organ seksual orang dewasa termasuk dalam kategori ini. Adanya penetrasi ke dalam vagina anak atau dengan benda apapun yang tidak mempunyai tujuan medis (perkosaan, incest). c) Eksploitasi seksual. Meliputi semua tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam tujuan prostitusi, atau menggunakan anak sebagai model foto atau film porno. Dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, antara lain (Achie Sudiarti Luhulima, 2000: 41) : a) Anak mengembangkan pola adaptasi dan keyakinan-keyakinan keliru sesuai dengan sosialisasi yang diterimanya. Misalnya, anak akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menganggap wajar perilaku orang dewasa sedemikian rupa, meniru tindakan yang dilakukan kepadanya, menyalahkan ibu atau orang dewasa yang mengasuhnya yang dianggap tidak membelanya dari hal-hal buruk yang dialaminya. Yang juga sering terjadi adalah self blame, merasa bersalah, merasa menjadi penangung jawab kejadian yang dialaminya, menganggap diri aneh dan terlahir sial (misal : sudah dikutuk untuk selalu mengalami hal buruk dan menyusahkan orang lain dan sebagainya). b) Anak merasa dikhianati. Bila pelaku kekerasan adalah orang dekat dan dipercaya, apabila orang tua sendiri, anak akan mengembangkan perasaan dikhianati, dan akhirnya menunjukkan ketakutan dan ketidakpercayaan pada orang-orang lain dan kehidupan umumnya. Hal ini sangat berdampak pada kemampuan sosialisasi, kebahagiaan dan hampir semua dimensi kehidupan psikologis pada umumnya. c) Stigmatisasi : disatu sisi, masyarakat yang mengetahui sejarah kehidupan anak akan melihat dengan kaca mata yang berbeda, misalnya dengan rasa kasihan sekaligus merendahkan, atau menghindarinya. Disisi lain anak mengembangkan gambaran negatif tentang diri sendiri. Anak merasa malu dan rendah diri, dan yakin bahwa yang terjadi pada dirinya adalah karena adanya sesuatu yang memang salah dengan dirinya tersebut (misalnya : melihat diri sendiri anak sial). d) Traumatisasi seksual : pemaparan pengalaman seksual terlalu dini, juga yang terjadi secara salah, dapat berdampak pada munculnya trauma seksual. Trauma seksual dapat tertampilkan dalam dua bentuk, inhibisi seksual, yaitu hambatan-hambatan untuk dapat tertarik dan menikmati seks atau justru disinhibisi seksual yaitu obsesi dan perhatian berlebihan pada aktivitas atau hal-hal terkait dengan hubungan seks. Disinhibisi seksual merupakan salah satu penyebab timbulnya pekerja seks komersial oleh anak-anak. 4. Kekerasan sosial terhadap anak dalam rumah tangga Penelantaran rumah tangga adalah setiap orang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran dimaksud juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Kekerasan sosial mencakup penelantaran dan eksploitasi. Penelantaran adalah kelalaian dalam memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki ketergantungan kepada pihak lain, khususnya dalam lingkungan rumah tangga (Achie Sudiarti Luhulima, 2000: 68). Penelantaran anak dalam rumah tangga adalah sikap tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan terhadap anak sesuai dengan hak-hak anak yang dilakukan oleh orang tua sehingga mengganggu tumbuh kembang anak dan eksploitasi terhadap anak dalam rumah tangga adalah sikap orang tua yang memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan. Jenis-jenis penelantaran anak (Alva Nadia, 2004: 4) : a) Penelantaran fisik merupakan kasus terbanyak. Misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai, serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga. b) Penelantaran pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun. c) Penelantaran secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ”ribut” dengan pasangannya. Atau orang tua memberikan perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anakanaknya. d) Penelantaran fasilitas medis. Hal ini terjadi ketika orang tua gagal menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orang tua memberi pengobatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tradisional terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali ke layanan dokter. Soetarso membagi dua kelompok penelantaran pada anak (Soetarso dalam Abu Huraerah, 2007: 67) : a) ketelantaran yang disebabkan kondisi keluarga yang miskin, tetapi hubungan sosial dalam keluarga normal. b) keterlantaran yang disebabkan kesengajaan, gangguan jiwa dan/atau ketidakmengertian keluarga/orangtua atau hubungan sosial dalam keluarga tidak normal. Termasuk dalam kelompok ini adalah anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, terutama karena perlakukan salah, baik secara fisik maupun seksual. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, di dalam Pasal 1 angka 6, 7, 8 dan 9 memberikan definisi anak, yang pada hakekatnya merupakan anak terlantar, yaitu (6) Anak yang tidak mampu adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhankebutuhannya, baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar; (7) Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial; (8) Anak yang mengalami masalah kelakuan adalah anak yang menunjukkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma masyarakat; dan (9) Anak cacat adalah anak yang mengalami hambatan rohani dan atau jasmani sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga memberikan definisi mengenai anak terlantar yang terdapat dalam Pasal 1 angka 6 yaitu anak yang tidak terpenuhinya kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial, selanjutnya dalam penjelasan Pasal 13 huruf c dijelaskan bahwa perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penjelasan Pasal 13 huruf b dijelaskan mengenai eksploitasi yaitu perlakuan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan. Menurut Drs. M.A. Budhy Prabowo. Msi Kepala Bagian Data dan Pelaporan, Sekretariat KPAI eksploitasi terbagi menjadi 3, yakni : a) Eksploitasi Seksual b) Eksploitasi Seksual Komersial c) Eksploitasi Ekonomi Sering kali orang sulit membedakan antara eksploitasi seksual dengan eksploitasi seksual komersial namun menurut Drs. M.A. Budhy Prabowo perbedaan keduanya terletak pada adanya imbalan yang diberikan pada korban eksploitasi, imbalan tersebut bisa berupa uang maupun janji, sebagai contoh seperti : disekolahkan, diberi makan dan sebagainya, menurutnya eksploitasi seksual dan eksploitasi seksual komersial sama-sama menggunakan seks sebagai obyek eksploitasi, bedanya untuk eksploitasi seksual mereka yang dieksploitasi tidak mendapat imbalan sedangkan eksploitasi seksual komersial mereka yang dieksploitasi mendapatkan imbalan baik berupa uang maupun janji lainnya, sedangkan eksploitasi ekonomi menurutnya dapat diartikan sebagai perilaku yang membuat seseorang mengeluarkan pikiran, tenaga, keringat atau melakukan pekerjaan tapi sebagian besar atau bahkan seluruh hasilnya dinikmati orang lain (Carolina Gratia Raha, 2009: 49). Eksploitasi terhadap anak baik secara seksual komersial maupun ekonomi merupakan bentuk pelanggaran, disamping melanggar UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi. Menurut Suharto, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan karena faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti (Suharto dalam Abu Huraerah, 2007: 50) :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki tempramen lemah, ketidaktahuan akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa. 2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, dan banyak anak. 3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi. 4. Keluarga belum dapat matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak lahir diluar nikah. 5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu anak atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi. 6. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya. 7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya sistem mekanisme kontrol sosial yang stabil. Sementara Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak, dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu faktor orang tua/keluarga, faktor lingkungan sosial dan faktor anak sendiri (Rusmil dalam Abu Huraerah, 2007: 51). 1. Faktor orang tua/keluarga. Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan pada anak di antaranya : a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak : Kepatuhan anak kepada orang tua.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hubungan asimetris. b. Dibesarkan dengan penganiayaan. c. Gangguan mental. d. Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka mempunyai anak sebelum usia 20 tahun. e. Pecandu minuman keras dan obat. 2. Faktor lingkungan sosial/komunitas. Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan penelantaran anak diantaranya : a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis. b. Kondisi sosial ekonomi yang lemah. c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua itu sendiri. d. Status wanita yang dipandang rendah. e. Sistem keluarga patriarkhal. f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis. 3. Faktor anak. a. Penderitaan
gangguan
perkembangan,
menderita
penyakit
kronis
disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya. b. Perilaku menyimpang pada anak.
B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam konstitusi negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstaat) bukan Negara Kekuasaan (Machtsstaat). Didalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang dikandung dalam Undang-Undang Dasar 1945, adanya jaminan hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945, adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa (Jimly Asshidiqie, 2006: 69). Negara hukum berarti setiap warga negara baik masyarakat maupun pemerintah harus tunduk dan taat pada hukum yang berarti seluruh perilaku masyarakat harus sesuai dengan dan/atau dilindungi oleh hukum. Hal ini juga termasuk perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Mendapatkan perlindungan merupakan hak dari setiap anak, dan diwujudkannya perlindungan bagi anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age, yang mengemukakan dengan tepat bahwa “melindungi anak
telah
pada hakekatnya
melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan”. (Arief Gosita, 1996:1). Dari ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan mengupayakan perlindungan bagi anak komunitaskomunitas tersebut tidak hanya telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi simbiosis mutualisme antara keduanya. Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya (Arief Gosita, 1996:14). Menurut Pasal 1 Nomor 2 , Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa : “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antaranya meliputi : pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan perundang-undangan sedangkan upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundangundangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak (Arief Gosita, 1996:6). Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina. Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh para partisipan tersebut. Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik. Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi : perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. Perlindungan yang bersifat yuridis atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang lebih dikenal dengan perlindungan hukum. Menurut Barda Nawawi Arief adalah upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan hukum dalam bidang keperdataan, terakomodir dalam ketentuan dalam hukum perdata yang mengatur mengenai anak seperti, (1) Kedudukan anak sah dan hukum waris; (2) pengakuan dan pengesahan anak di luar kawin; (3) kewajiban orang tua terhadap anak; (4) kebelumdewasaan anak dan perwalian. Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47 KUHP (telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak). Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu antara lain pasal 278, pasal 283, pasal 287, pasal 290, pasal 297, pasal 301, pasal 305, pasal 308, pasal 341 dan pasal 356 KUHP. Selanjutnya, dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya diatur mengenai upayaupaya untuk mencapai kesejahteraan anak. Dan, yang terakhir Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam konteks peradilan anak. Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan kondisi sosial dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian upaya peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas pendidikan melalui berbagai program beasiswa dan pengadaan fasilitas pendidikan yang lebih lengkap dan canggih. Landasan yuridis bagi perlindungan anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yaitu : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Dibentuknya
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak dimaksudkan agar orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi anak sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak, yang dalam pelaksanaannya berdasarkan asas-asas, yaitu non diskriminasi; kepentingan yang terbaik untuk anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memberikan definisi perlindungan anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak menyangkut perlindungan agama, kesehatan, pendidikan dan sosial, hal ini terdapat dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 58. Terkait dengan perlindungan terhadap anak dari kekerasan dalam rumah tangga, maka Penulis akan menguraikan sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Pasal 44 sampai dengan Pasal 47 mengenai perlindungan kesehatan anak. Orang tua dan keluarga bertanggung jawab atas perlindungan kesehatan anak yang harus diberikan secara optimal sejak dalam kandungan dan mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan. Hal ini terkait maraknya kasus aborsi karena hamil akibat perkosaan, alasan sosial ekonomi, pergaulan bebas, ketidaksiapan psikologis atau karena tidak diinginkan maka asupan gizi untuk bayi tidak diperhatikan baik sengaja atau tidak disengaja sehingga bayi lahir cacat. Data yang disajikan Ketua Minat Kesehatan Ibu dan Anak/Reproduksi Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyatakan bahwa 11,13% dari 2,6 juta kasus aborsi di Indonesia dilakukan karena kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy), lebih lanjut dikatakan oleh Deputi Bidang Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Siswanto Agus Wilopo bahwa sedikitnya 700 ribu diantaranya dilakukan oleh remaja atau perempuan berusia di bawah 20 tahun(Setiap jam 300 kasus aborsi terjadi di Indonesia. http://berita.kapanlagi.com/hukumkriminal/setiap-jam-300-kasus-aborsi-terjadi-di-indonesiapld2uqz.html>[12 November 2010 pukul 12.31 WIB]). Data lain disajikan oleh Luh Putu Ika Widani dari Kisara (Kita Sayang Remaja) Bali yang mengatakan bahwa jumlah kasus aborsi di Indonesia setiap tahun mencapai 2,3 juta, 30 persen diantaranya dilakukan oleh para remaja. Beliau mengatakan bahwa kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja menunjukkan kecenderungan meningkat antara 150.000 hingga 200.000 kasus setiap tahun, dari survei yang pernah dilakukan pada sembilan kota besar di Indonesia menunjukkan, KTD mencapai 37.000 kasus, 27 persen di antaranya terjadi dalam lingkungan pranikah dan 12,5 persen adalah pelajar(30 Persen Pelaku Aborsi Remaja. http://www.antaranews.com/view/?i=1234758374&c=NAS&s=>[12 November 2010 pukul 12.42 WIB]). Selain perlindungan sejak dalam kandungan, di Pasal 47 terdapat juga kewajiban melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuh anak ke pihak lain, hal ini dimaksudkan agar anak tidak dianggap sebagai barang yang bisa seenaknya saja diperjualbelikan potong per potong dengan alasan apapun, terkadang karena masalah ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan hidup
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keluarganya maka orang tua tega mengorbankan anaknya untuk diambil organnya dan dijual. Perlindungan yang diterima oleh anak dalam hal kesehatan, menurut Penulis termasuk perlindungan anak dari kekerasan fisik (terhadap korban aborsi dan pengambilan organ tubuh), kekerasan Psikis (paksaan serta ancaman untuk diambil organnya) dan kekerasan sosial (eksploitasi ekonomi, jual beli organ anak). Walaupun dalam hal ini kondisi anak yang menjadi korban masih dalam kandungan (janin). b. Pasal 48 sampai dengan Pasal 54 mengenai perlindungan pendidikan anak. Pendidikan untuk anak adalah penting karena anak merupakan masa depan bangsa. Masalah pendidikan untuk anak terkadang dikesampingkan oleh orang tua/keluarga, hal ini terjadi bukan hanya pada keluarga miskin saja, namun juga pada keluarga yang mampu. Pada keluarga miskin pendidikan anak kadang diabaikan karena ketidakmampuan biaya sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, anak juga harus bekerja membantu orang tua, apalagi untuk anak perempuan dianggap hanya akan mengurusi masalah ”dapur”. Untuk keluarga mampu, karena kesibukan orang tua, maka kontrol dan perhatian mengenai perkembangan pendidikan anak tidak dipedulikan, asal diberi uang saku dan penyediaan fasilitas yang banyak, anak dianggap sudah bisa belajar sendiri. Lain lagi untuk anak cacat, terkadang karena kekurangan yang ada didalam diri anak, orang tua/keluarga tidak memberikan layanan pendidikan yang memadai karena dianggap merepotkan dan hanya menghabiskan uang keluarga saja. Perlindungan pendidikan bagi anak yang terdapat di dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menurut Penulis bukan hanya fasilitas pendidikan yang memadai, namun juga yang paling penting adalah perhatian orang tua/keluarga terhadap perkembangan pendidikan anak. Perlindungan anak dalam hal pendidikan, menurut Penulis merupakan perlindungan dari kekerasan sosial yaitu penelantaran pendidikan bagi anak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Pasal 55 sampai dengan Pasal 58 mengenai perlindungan sosial anak. Perlindungan sosial bagi anak, menurut Penulis adalah mengenai perlindungan anak agar anak tidak terlantar dalam hal apapun, sehingga perkembangan anak baik fisik, psikis dan sosialnya tidak terganggu. Kebanyakan kasus anak terlantar di Indonesia adalah karena faktor ekonomi/kemiskinan. Sejak krisis ekonomi tahun 1999, jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat 85 persen. Menurut data yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2002 jumlah anak terlantar usia 5 -18 tahun sebanyak 3.488.309 anak di 30 provinsi. Sedangkan balita yang terlantar berjumlah 1.178.82, dan anak jalanan tercatat ada 94.674 anak. Anak nakal 193.155. Anak yang membutuhkan perlindungan khusus sekitar 6.686.936 anak, dan yang potensial telantar sebanyak 10.322.674 anak. Yang lebih dahsyat lagi, sekitar 36.500.000 anak Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan(Anak-anak yang terlantar. http://www.anakteladan.org/?p=26>[12 November 2010 pukul 01.02 WIB]) Menurut Asep Chayanto anggota panitia rencana aksi nasional hak asasi manusia (Ranham) kota Tasikmalaya, sekaligus praktisi kemasyarakatan bahwa sebayak 37.740 orang usia bayi di Jawa Barat terlantar akibat permasalahan faktor ekonomi dan kurangnya kesadaran masyarakat termasuk orang tua bayi dalam memahami hak asasi manusia. Selanjutnya Sekretaris daerah kota Tasikmalaya, Drs H Tio Indra Setiadi tersebut, menjelaskan jumlah bayi terlantar merupakan rekapitulasi data anak terlantar di Jawa Barat dari data dinas sosial. Ia menjelaskan selain bayi, kalangan anak-anak yang terlantar di Jawa Barat mencapai 301.357 orang anak, remaja putus sekolah 45.215 orang, anak jalanan 20.655 orang, dan korban `traficking` 31 orang(Sebanyak 37.740 Bayi di Jawa Barat Terlantar. http://www.antaranews.com/berita/1261090816/sebanyak-37740-bayidi-jawa-barat-terlantar>[12 November 2010 pukul 01.07 WIB]) Di samping ketiga bentuk perlindungan diatas, terdapat pula bentuk perlindungan khusus yang memang diberikan khusus kepada anak-anak yang termasuk anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
salah dan penelantaran. Perlindungan khusus ini di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 71. Diantara Pasal 59 sampai dengan Pasal 71 tersebut, menurut Penulis hanya beberapa pasal saja yang mengatur mengenai perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yaitu perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana (Pasal 64 ayat (3)), perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan khusus bagi anak korban penjualan dan perdagangan anak (Pasal 68), perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan fisik, psikis dan seksual (Pasal 69), dan perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran (Pasal 71). Bentuk perlindungan yang diterima oleh anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menurut pasal-pasal yang telah Penulis sebutkan terdapat beberapa bentuk perlindungan yang sama dan yang berbeda, untuk lebih jelasnya maka akan Penulis sajikan sebagai berikut : a. Pasal 64 ayat (3), perlindungan khusus bagi anak korban tindak pidana, dilaksanakan melalui : 1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga. 2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. 3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial. 4) pemberian
aksesibilitas
untuk
mendapatkan
informasi
mengenai
perkembangan perkara. b. Pasal 66, perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, dilakukan melalui : 1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. 3) pelibatan berbagai instansi pemerintahan, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. c. Pasal 68, perlindungan khusus bagi anak korban penjualan dan perdagangan anak, dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. d. Pasal 69, perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan fisik, psikis dan seksual, dilakukan melalui : 1) penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak dari tindak kekerasan. 2) pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi. e. Pasal 71, perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran, dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Kelemahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam melindungi anak korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain : a. Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang bertanggungjawab atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat (3)) hanya ditentukan prosesnya, yaitu melalui : (1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; (2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan menghindari labelisasi; (3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan (4) pemberian
aksesibilitas
untuk
mendapatkan
informasi
mengenai
perkembangan perkara. Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui : (1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; (2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan (3) pelibatan pemerintah dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual. Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian perlindungan yang diberikan oleh undang-undang ini pada dasarnya masih bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh korban kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian yang dideritanya. b. Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74-76) juga belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderitaan anak korban kekerasan.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diundangkan tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95. Fokus utama Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah kepada upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas : a. penghormatan hak asasi manusia; b. keadilan dan kesetaraan gender; c. nondiskriminasi; dan d. perlindungan korban
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyebutkan bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan : a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Dalam upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mewajibkan beberapa pihak untuk melakukan kerjasama supaya lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang diarahkan kepada keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan
Dalam Rumah
Tangga
terdapat
bentuk-bentuk
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, sebagai berikut : a. Kepolisian : 1) Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban (Pasal 16 (1)). 2) Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara,
kepolisian
wajib
meminta
surat
penetapan
perintah
perlindungan dari pengadilan (Pasal 16 (3)). 3) Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (Pasal 18). 4) Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 19). 5) Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang : (a) identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(b) kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan (c) kewajiban kepolisian untuk melindungi korban (Pasal 20). b. Tenaga kesehatan (Pasal 21 (1)) : 1) Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi; 2) Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti. Pelayanan kesehatan dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Pasal 21 (2)). c. Pekerja Sosial (Pasal 22 (1)) : 1) Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; 2) Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; 3) Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan 4) Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban. Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Pasal 22 (2)). d. Relawan pendamping (Pasal 23) : Relawan pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan. Bentuk pelayanannya adalah: 1) Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping; 2) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; 3) Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan 4) Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban. e. Pembimbing rohani (Pasal 24) : Memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban. f. Advokat (Pasal 25) : 1) Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hakhak korban dan proses peradilan; 2) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau 3) Melakukan
koordinasi
pendamping,
dan
dengan
pekerja
sesama
penegak
sosial agar proses
hukum,
relawan
peradilan
berjalan
sebagaimana mestinya. g. Pengadilan : Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut (Pasal 28). Atas
permohonan
korban
atau
kuasanya,
pengadilan
dapat
mempertimbangkan untuk (Pasal 31 (1)) : 1) menetapkan suatu kondisi khusus, yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi, atau mengintimidasi korban. 2) mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pertimbangan pengadilan dimaksud dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 31 (2)). Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan
(Pasal
33
(1)).
Dalam pemberian
tambahan
perintah
perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Pasal 33 (2)). Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, dengan kewajiban mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Pasal 34). Kelemahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam melindungi anak korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain : a. Dalam hal bukti, walaupun dapat dilakukan dengan bukti satu orang yaitu korban sendiri dan hasil visum, banyak institusi kepolisian yang menolak menjalankannya, polisi kerap meminta saksi tambahan, padahal kekerasan ini terjadi dalam lingkup domestik sehingga kecil kemungkinan dilakukan orang lain selain pelaku dan korban, kalaupun dialami atau disaksikan oleh anak, anak kerap bingung, takut, dan tak bisa bersaksi. b. Kerap terjadi penyulitan pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga, terlebih bila korban mengadu dikantor polisi yang berbeda dengan domisilinya, apalagi hal tersebut dilakukan oleh anak, yang mungkin hanya dianggap hal yang main-main, padahal seringkali korban kekerasan dalam rumah tangga harus pergi dari rumah tempat kasus terjadi untuk mencari perlindungan dari kerabat atau teman. c. Pengadilan kerap tak mengabulkan permohonan perlindungan terhadap korban sebelum proses peradilan dimulai. Selain itu, besarnya biaya visum yang harus ditanggung korban saat membuat pengaduan juga kerap memberatkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasalnya, dalam undang-undang tersebut, negara hanya menanggung visum yang dibuat di rumah sakit (RS) pemerintah. Padahal kalau korban dari daerah, biaya perjalanan membuat visum di rumah sakit pemerintah bisa menjadi sangat mahal. d. Pemerintah belum mewujudkan lembaga konseling yang diamanatkan didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. e. Perlindungan hukum untuk anak yang menjadi korban kekerasan karena perkawinan yang belum tercatat secara resmi juga belum diatur dalam undangundang ini. f. Kepolisian juga baru menganggap kekerasan dalam bentuk penelantaran ekonomi baru bisa diproses jika anak tersebut kelaparan atau diberi makan orang lain.
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban berlaku sejak tanggal 11 Agustus 2006 setelah diundangkan di Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2006. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban ini dikeluarkan karena pentingnya saksi dan korban dalam proses pemeriksaan di pengadilan sehingga membutuhkan perlindungan yang efektif, profesional, dan proposional terhadap saksi dan korban. Perlindungan saksi dan korban dilakukan berdasarkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif dan kepastian hukum. Perlindungan saksi dan korban berlaku kepada semua proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan yang bertujuan untuk memberikan rasa aman pada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Perlindungan saksi dan korban dilakukan karena adanya hak-hak seorang saksi dan korban yang harus dilindungi, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu : a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; dan/atau m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Kelemahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi anak korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain : a. Tidak adanya definisi saksi dan korban secara spesifik terhadap anak yaitu saksi anak dan korban anak, sehingga terdapat perbedaan perlakuan terhadap anak dari orang dewasa yang menjadi korban. b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya sedikit mengatur mengenai pelapor, tidak disebutkan secara spesifik perbedaan syarat pelapor dengan saksi, serta tidak disebutkan perlindungan hukum terhadap pelapor yang dalam hal ini dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal ini terlihat di Pasal 10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ayat (1) yang menyebutkan perlindungan saksi bagi saksi dan korban, tidak termasuk saksi pelapor. c. Dalam hal saksi korban adalah anak, tidak adanya ketentuan secara spesifik mengenai bentuk perlindungan terhadap saksi korban anak, mengingat walaupun semua orang dianggap sama di hadapan hukum, namun dalam hal anak harus mendapatkan perlindungan yang berbeda dari orang dewasa, hal ini mengingat kondisi dan keadaan seorang anak. Bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak tersebut telah dituangkan ke dalam undang-undang, namun dalam kenyataannya kekerasan terhadap anak masih banyak terjadi, secara umum kekerasan terhadap anak dapat dilihat dari data beberapa lembaga di Indonesia, antara lain : 1. YKAI mencatat 172 kasus (1994), 421 kasus (1995), 476 kasus (1996). 2. PKT-RSCM tahun 2000 – 2001 mencatat 118 kasus kekerasan pada anak. Dari data tersebut teridentifikasi pelaku tindakan kekerasan adalah: tetangga (37,5 %), pacar (23 %), kenalan (9,5 %), saudara (7 %), ayah kandung (5 %), majikan/atasan (2,5 %), ayah tiri (1 %), suami (1 %) dan orang tak dikenal (13,5 %). Catatan : waktu terjadinya kekerasan pada korban anak usia kurang dari 11 tahun antara pukul 06.00-12.00 dan kekerasan dilakukan pada malam hari untuk korban berusia 15-18 tahun. 3. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), mencatat pada JanuariMei 2010 (1826 kasus), Tahun 2009 (1891 kasus), Tahun 2008 (1626 kasus), Tahun 2003 terdapat 481 kasus kekerasan dan 547 kasus pada 2004 (dengan rincian adalah 221 kasus kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan Psikis, dan 106 permasalahan lainnya). 4. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang tahun 2006 menerima 376 kasus pengaduan, dengan rincian sebagai berikut: hak kuasa asuh dan pengangkatan anak (21,8 %), hak identitas (17,28 %), hak kesehatan dan kesejahteraan (13,56 %), tindak kekerasan terhadap anak (12,50 %), hak pendidikan (11,17 %), penelantaran (10,90 %), pelecehan seksual terhadap anak (10,30 %), penculikan anak (2,39 %).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. KPAI Daerah Kalimantan Selatan sampai 2008 telah menerima 25 kasus anak, yakni 76 % anak sebagai korban dan 24 % anak yang berkonflik dengan hukum. Dari data tersebut maka 63 % korban adalah anak perempuan dan 37 % laki-laki, berdasarkan jenis kasus: kekerasan seksual 36 %, kekerasan fisik 12 %, kekerasan Psikis 4 %, pengasuhan anak 12 %, penelantaran 16 %, kasus lainnya 20 %. Teridentifikasi pula semua pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang yang dikenal oleh korban. 6. Data World Vision Indonesia : 2009 (1891 kasus), 2008 (1600 kasus). 7. PKPA Sumatera Utara Data kekerasan terhadap anak di Sumatera Utara Tahun 2007 s/d 2009 Pelaku Kekerasan Orang Prosentase Tak Dikenal
Tahun
Jumlah Kasus
2007
260
14 Kasus
10,21%
49 Kasus
20,85%
2008
360
33 Kasus
9%
69 Kasus
20 %
2009
172
21 Kasus
13 %
26 Kasus
15 %
Orang Tua Kandung
Prosentase
Sumber: Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA). Semua data yang tercatat oleh lembaga di atas tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya dalam masyarakat. Data tersebut adalah data kasus anak yang dilaporkan kepada lembaga sehingga jumlah kekerasan terhadap anak yang terjadi di masyarakat kemungkinan lebih besar. Terkait mengenai lokasi terjadinya kekerasan dan bentuk kekerasan yang dialami anak, hasil konsultasi anak yang dilakukan oleh Yayasan Pemantau Hak Anak (Children's Human Rights Fondation) yang dilakukan di 18 provinsi dengan melibatkan sedikitnya 580 anak pada Mei-Juni 2005, menghasilkan informasi yang sangat jelas bahwa kekerasan terhadap anak terjadi pada ruang-ruang sosiologis yang sangat intim dan dekat dengan kehidupan anak. Lokus kekerasan tersebut terjadi pada :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Kekerasan terhadap anak di ranah rumah dan keluarga (Violence against Children in the Home and the Family). 2. Kekerasan terhadap anak di ranah sekolah (Violence against Children in Schools). 3. Kekerasan terhadap anak di ranah institusi (Violence against Children in Institutions). 4. Kekerasan terhadap anak di ranah tempat bekerja (Violence against Children in Work Situations). 5. Kekerasan terhadap anak di ranah komunitas dan jalan (Violence against Children in the Community and on the Street). 6. Kekerasan terhadap anak di ranah institusi peradilan pidana (Violence against Children in Conflict with the Law). Kemudian bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak menurut hasil konsultasi tersebut meliputi: 1. Kekerasan fisik. 2. Kekerasan psikis. 3. Eksploitasi fisik untuk kepentingan ekonomi. 4. Kekerasan seksual dan eksplotasi seksual. 5. Kekerasan yang diakibatkan tradisi atau adat. Lebih lanjut apabila kita cermati bahwa kekerasan terhadap anak juga banyak terjadi diranah rumah dan keluarga, atau biasa disebut kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, terkait dengan hal tersebut, data yang ditunjukkan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center for Tourism Research & Development Universitas Gadjah Mada, menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga adalah angka kekerasan tertinggi dibandingkan dengan ranah kekerasan terhadap anak di tempat lain. Hal ini dapat ditunjukkan sebagai berikut : Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center for Tourism Research & Development Universitas Gadjah Mada mengenai berita tentang child abuse yang terjadi dari tahun 1992-2002 di 7 kota besar yaitu, Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang dan Kupang, ditemukan bahwa ada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3969 kasus, dengan rincian sexual abuse 65.8%, physical abuse 19.6%, emotional abuse 6.3%, dan child neglect 8.3% (Lianny Solihin, 2004 : 130). Berdasarkan kategori usia korban: 1. Kasus sexual abuse : persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%). 2. Kasus physical abuse : persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). 3. Kasus emotional abuse : persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%). 4. Kasus child neglect : persentase tertinggi usia 0-5 tahun (74.7%) dan terendah usia 16-18 tahun (6.0%). Berdasarkan tempat terjadinya kekerasan : 1. Kasus sexual abuse : rumah (48.7%), sekolah (4.6%), tempat umum (6.1%), tempat kerja (3.0%), dan tempat lainnya-di antaranya motel, hotel dll (37.6%). 2. Kasus physical abuse : rumah (25.5%), sekolah (10.0%), tempat umum (22.0%), tempat kerja (5.8%), dan tempat lainnya (36.6%). 3. Kasus emotional abuse : rumah (30.1%), sekolah (13.0%), tempat umum (16.1%), tempat kerja (2.1%), dan tempat lainnya (38.9%). 4. Kasus child neglect : rumah (18.8%), sekolah (1.9%), tempat umum (33.8%), tempat kerja (1.9%), dan tempat lainnya (43.5%). Bila melihat antara bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak, khususnya yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dengan jenis kekerasan yang dialami, menurut Penulis pelaksanaannya belum maksimal, hal ini dapat dilihat dari ketidakcocokan antara bentuk kekerasan yang dialami anak dengan bentuk perlindungannya. Berkaitan dengan hal tersebut, Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, Departemen Sosial Republik Indonesia telah menyusun acuan strategi dan manajemen perlindungan anak, yang memuat tentang program-program untuk anak yang membutuhkan perlindungan : 1. Program
dan
pelayanan
perlindungan khusus.
langsung
untuk
commit to user
anak
yang
membutuhkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a) Penarikan (removal) anak-anak dalam situasi sulit yang menyebabkan mereka membutuhkan perlindungan khusus. Penarikan ini dapat dilakukan dengan cara pendekatan manusiawi maupun dengan tindakan hukum oleh lembaga yang berwenang. b) Perlindungan sementara bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus baik karena situasi darurat maupun setelah dilepaskan dari situasi tereksploitasi. Dalam program ini disediakan kegiatan pelayanan yang mencakup : (1) Penyediaan pangan, berupa bantuan makan, makanan tambahan, peningkatan gizi, dsb. (2) Penyediaan sandang berupa pakaian, dsb. (3) Perumahan, berupa keluarga pengganti, kamp-kamp darurat, panti, fasilitas yang ada dimasyarakat. (4) Pelayanan kesehatan, mencakup pemeriksaan kesehatan, penyediaan obat, pendidikan hidup sehat. (5) Pendidikan, mencakup aspek pada pendidikan formal maupun penyediaan pendidikan non formal jika diperlukan. (6) Pelayanan psikososial. c) Penyembuhan
dan pemulihan (rehabilitasi) untuk mengembalikan
keberfungsian sosial anak yang hilang dalam masa berada dalam situasi sulit. Rehabilitasi mencakup kegiatan pelayanan penyembuhan dan pemulihan fisik, mental, dan sosialisasinya melalui check kesehatan, konseling dan berbagai teknik lainnya. Rehabilitasi dapat dilakukan berbasiskan panti maupun berbasiskan masyarakat. d) Pembelaan kepada anak-anak yang mengalami ekspoloitasi atau berkonflik dengan hukum, sehingga dalam prosesnya mereka tetap memperoleh hak-haknya dan diperlukan sesuai dengan hak-haknya. Pembelaan dilakukan mulai dari penyelidikan, penyidikan dan proses sesudahnya. e) Penyatuan kembali (reintegrasi/reunifikasi) anak dengan keluarganya baik keluarga asli maupun keluarga pengganti jika keluarga asli tidak ada.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keluarga pengganti berupa keluarga angkat maupun panti. Pelayanan penguatan dalam bentuk bimbingan sosial maupun bantuan permodalan diperlukan bagi keluarga yang telah menerima anaknya lagi. Sedangkan anak yang masuk panti memperoleh pelayanan yang biasa dalam panti tersebut. Jika diperlukan, dapat dikembangkan panti khusus untuk menampung dan menangani anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. f) Tindak lanjut, yaitu pelayanan lanjutan untuk memperkuat atau mempertahankan kondisi yang telah dicapai anak dalam situasi atau lingkungan barunya, baik keluarganya maupun panti. Tindak lanjut dilakukan dengan cara pemantauan rutin. 2. Program-program tidak langsung. Untuk dapat memperkuat upaya pelayanan langsung kepada anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, diperlukan program-program penunjang, sebagai berikut : a) Penyediaan
perangkat-perangkat
hukum
yang
diperlukan
untuk
mendukung pelaksanaan perlindungan anak, seperti : (1) Penegak hukum oleh aparat penegak hukum terhadap berbagai kasus pelanggaran anak dan perlindungan bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang bersumber pada peraturan perundangundangan yang berlaku dan relevan dengan masalah anak. (2) Advokasi mengenai perubahan-perubahan kebijakan dan program yang mendukung bagi upaya pencegahan dan perlindungan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Advokasi dilakukan kepada semua pengambil keputusan pada sektor-sektor pemerintahan yang terkait dengan permasalahan ini. b) Pengembangan sistem informasi yang menyediakan berbagai data informasi perlindungan anak yang terus-menerus diperbaharui dan berbagai laporan-laporan kasus pelanggaran hak anak. Jenis informasi yang disediakan mencakup permasalahan perlindungan anak, direktorat, lembaga-lembaga penyelenggara perlindungan anak dan program-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
programnya, serta laporan-laporan yang relevan. Sistem informasi ini terbuka diakses dari luar. c) Pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi para penyedia pelayanan perlindungan anak, baik para pekerja LSM, aparatur penegak hukum, dan birokrasi pemerintahan yang terkait. Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan
kemampuan
mereka
dalam
mengatasi
berbagai
permasalahan perlindungan anak. d) Penyadaran masyarakat agar mereka mempunyai daya tanggap dan tindakan dalam upaya mencegah dan melindungi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Penyadaran masyarakat dilakukan melalui sosialisasi dan kampanye, baik yang dilakukan secara terbuka melalui media massa maupun media tradisional. e) Pendidikan orang tua melalui penyuluhan, bimbingan maupun pelatihan agar mereka dapat meningkatkan kemampuan dalam memenuhi hak-hak anak, menghindari berbagai pelanggaran hak anak, dan mempunyai daya tanggap terhadap keadaan lingkungan sekitarnya. f) Pengembangan jaringan kerja, dengan berbagai lembaga pemerintahan, LSM, maupun perguruan tinggi yang mempunyai tanggung jawab dan peran perlindungan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus dengan tugas pokok dan fungsinya.
C. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Banyaknya kekerasan terhadap anak yang tidak dilaporkan kepada pihak berwenang ataupun lembaga-lembaga yang berkaitan dengan anak, menyulitkan terungkapnya kasus kekerasan terhadap anak, terlebih apabila pelaku adalah orang terdekatnya sendiri, keluarga apalagi orangtuanya. Hal-hal yang ada di dalam diri anak sendiri ataupun dari luar diri anak merupakan masalah tersendiri karena apabila korban, anggota keluarga yang lain, dan masyarakat sekitar tidak peduli dengan kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga apalagi menganggap hal kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga sebagai hal yang biasa maka kasus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kekerasan anak hanya sedikit yang muncul kepermukaan padahal masih banyak kasus yang tidak diungkap dan sengaja dibiarkan selesai begitu saja baik oleh orang terdekatnya maupun oleh masyarakatnya, fenomena seperti tersebut sering disebut sebagai “fenomena gunung es”. Beberapa ahli mengungkapkan adanya faktor-faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga termasuk yang menimpa anak, terkadang tidak terungkap ke publik karena adanya faktor-faktor sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 135) : Pertama, si pelaku dengan si korban memiliki hubungan keluarga atau hubungan karena perkawinan. Hal ini biasanya menyulitkan karena keengganan korban untuk melaporkan mengenai apa yang telah terjadi kepada mereka. Pemikiran yang juga ikut mendasari alasan ini adalah rasa takut pada diri si korban karena si pelaku biasanya tinggal satu atap dengan mereka sehingga apabila korban mengadukan apa yang telah terjadi kepadanya pada pihak yang berwajib, si korban akan mendapatkan perlakuan yang lebih parah dari si pelaku ketika korban pulang atau ketika mereka bertemu lagi. Kedua,
keengganan
korban
mengadukan
kekerasan
yang
telah
menimpanya dapat juga disebabkan masih dipertahankannya pola pikir bahwa apa yang terjadi di dalam keluarga, sekalipun itu perbuatan-perbuatan kekerasan, sepenuhnya merupakan permasalahan rumah tangga pribadi. Dengan demikian, melaporkan hal tersebut atau bahkan hanya membicarakannya saja, sudah dianggap membuka aib keluarga. Ketiga, kurang percayanya masyarakat kepada sistem hukum Indonesia sehingga mereka tidak memiliki pegangan atau kepastian bahwa mereka akan berhasil keluar dari cengkeraman si pelaku. Hal yang sama dikemukakan oleh Soeharto, dengan mengatakan bahwa kekerasan pada anak sulit diungkap ke ruang publik dikarenakan beberapa hal, antara lain(Soeharto dalam Abu Huraerah, 2007: 61) : 1. Penolakan korban sendiri. Korban tidak melaporkan karena takut pada akibat yang kelak diterima baik dari si pelaku (adanya ancaman) maupun dari kejadian itu sendiri (traumatis, aib).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Manipulasi pelaku. Pelaku yang umumnya orang yang lebih besar (dewasa) sering menolak tuduhan (setidaknya diawal proses penyelidikan) bahwa dia adalah pelakunya. Strategi yang digunakan adalah pelaku menuduh anak melakukan kebohongan atau mengalami wild imagination. 3. Keluarga yang mengalami kasus menganggap bahwa kekerasan terhadap anak sebagai aib yang memalukan apabila diungkap. 4. Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan urusan keluarga (hubungan orang tua-anak, suami-istri) tidak patut dicampuri oleh masyarakat. 5. Masyarakat luas tidak mengetahui secara jelas tanda-tanda pada diri anak yang mengalami kekerasan, khususnya pada kasus seksual abuse, karena tidak ada tanda-tanda fisik yang terlihat jelas. 6. Sistem dan prosedur pelaporan belum diketahui secara jelas dan pasti oleh masyarakat luas. Selain penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di lapangan menghadapi berbagai kendala dan reaksi dari pelaku. Ditemukan bahwa aparat penegak hukum baik polisi, jaksa maupun hakim memiliki pemahaman yang beragam tentang kekerasan dalam rumah tangga. Ada aparat hukum menganggap kekerasan fisik berat jika korban tidak dapat menjalankan aktivitas rutinnya, sehingga korban yang masih dapat beraktivitas secara rutin dianggap sebagai kekerasan fisik ringan. Berbagai kendala yang telah dijelaskan, merupakan permasalahan yang harus segera dipecahkan, sehingga ”fenomena gunung es” tidak semakin nampak, sebaliknya banyak kasus kekerasan terhadap anak menjadi semakin banyak yang terkuak, maka perlu kerjasama yang saling mendukung antara korban, orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Tinjauan Viktimologi Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan terhadap anak di Indonesia masih banyak terjadi, dilakukan oleh orang dekatnya terutama oleh keluarganya sendiri. Kekerasan terhadap anak banyak terjadi dilingkungan rumah tangga khususnya oleh orang tuanya sendiri, padahal lingkungan rumah tangga, terlebih orang tua adalah pihak yang seharusnya melindungi pertama kali apabila terjadi kekerasan terhadap anak, hal ini jelas tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mana dalam pasal 26 menyebutkan tentang kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua yang secara rinci disebutkan sebagai berikut: 1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. 2. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarganya, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal tersebut telah secara jelas menyebutkan bahwa melindungi anak dari tindakan kekerasan merupakan kewajiban utama orang tua dan keluarga, baik tindakan kekerasan dari salah satu anggota keluarganya atau tindakan kekerasan dari orang lain. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebenarnya telah memberikan gambaran yang jelas mengenai bagaimana cara perlindungan dan perlakuan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan, tanpa memandang hubungan antara korban (anak) dengan pelakunya, entah itu terkait adanya hubungan darah atau tidak ada hubungan sama sekali.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara umum perlindungan terhadap anak yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdiri dari perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap kesehatan, perlindungan terhadap pendidikan dan perlindungan secara sosial yang terdapat dalam Pasal 42 sampai Pasal 58. Selain perlindungan tersebut, didalam undang-undang ini juga diatur perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran yang diatur dalam Pasal 60 sampai Pasal 71. Terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, maka kategori perlindungan yang dapat diterapkan kepada anak sebagai korban yaitu 1. anak yang berhadapan dengan hukum dalam hal ini anak sebagai korban, perlindungannya diatur dalam Pasal 64 ayat (3), yang pelaksanaannya melalui : a) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan d) pemberian
aksesibilitas
untuk
mendapatkan
informasi
mengenai
perkembangan perkara. 2. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, perlindungannya diatur dalam Pasal 66 ayat (2), yang dilakukan melalui : a) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c) pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. 3. Anak yang menjadi korban penjualan dan perdagangan anak, perlindungannya diatur dalam Pasal 68 ayat (1), dilakukan dengan upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. 4. Anak yang menjadi korban kekerasan fisik, psikis dan seksual, diatur dalam pasal 69, dilakukan melalui upaya : a) penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan b) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. 5. Anak yang menjadi korban perlakuan salah dan penelantaran, diatur dalam Pasal 71 ayat (1), dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Secara umum bentuk perlindungan terhadap korban dapat diberikan dengan berbagai cara tergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita korban (penderitaan fisik, penderitaan psikis atau penderitaan finansial). Maka dengan mengacu pada beberapa kasus kejahatan yang terjadi, ada beberapa bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yang lazim diberikan, antara lain (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 165) : 1. Pemberian restitusi dan kompensasi Pengertian kompensasi menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa: e) Pengembalian harta milik; f) Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau g) Penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah tersebut adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana (the responsibility of the offender). Selanjutnya Stephen Schafer menyatakan bahwa terdapat lima sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan, yaitu sebagai berikut : a) Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana. b) Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses pidana. c) Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, tidak diragukan sifat pidana (punitif) nya. Salah satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah “denda kompensasi” (compensatory fine). Denda ini merupakan “kewajiban yang bernilai uang” (monetary obligation) yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban di samping pidana yang seharusnya diberikan. d) Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Disini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau menganggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan negara bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Konseling Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana. Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti kasus-kasus menyangkut kesusilaan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kasus pemerkosaan yang menimbulkan trauma berkepanjangan pada korban, umumnya korban menderita secara fisik, mental dan sosial. Selain menderita fisik, korban juga mengalami tekanan secara batin misalnya karena merasa dirinya kotor, berdosa, dan tidak punya masa depan lagi. Lebih parah lagi, sering kali ditemukan korban perkosaan memperoleh pengucilan dari masyarakat karena dianggap membawa aib bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Dengan memperhatikan kondisi korban tersebut, tentunya bentuk pendampingan atau bantuan (konseling) yang sifatnya psikis relatif lebih cocok diberikan kepada korban daripada hanya ganti kerugian dalam bentuk uang. 3. Pelayanan/bantuan medis Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatannya yang menimpa dirinya ke aparat kepolisian untuk ditindaklanjuti. 4. Bantuan hukum Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Di Indonesia bantuan ini lebih banyak diberikan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Penggunaan bantuan hukum yang disediakan oleh pemerintah jarang dipergunakan oleh korban kejahatan karena masih banyak masyarakat yang meragukan kredibilitas bantuan hukum yang disediakan oleh pemerintah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban. Hal ini penting, mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita kejahatan ini. Sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang layak berakibat pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan. 5. Pemberian informasi Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban. Pemberian informasi ini memegang peranan penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh kepolisian dalam memberikan informasi kepada korban atau keluarganya adalah melalui pembuatan web sites dibeberapa kantor kepolisian yang didalamnya tersaji secara lengkap kegiatan kepolisian, baik yang sifatnya kebijakan maupun operasional. Begitu pula, pemberitahuan tentang perkembangan penyidikan suatu tindak pidana dan informasi tentang penemuan benda-benda hasil tindak pidana (seperti kendaraan bermotor yang dicuri), dapat dimasukkan kedalam kelompok ini. Korban kekerasan adalah pihak yang paling dirugikan, khususnya anak yang menjadi harapan dan penerus cita-cita bangsa. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) korban hanya diposisikan sebagai saksi yang dimiliki untuk menghukum pelaku kejahatan, disini korban hanya diperlakukan sebagai instrumen dalam rangka membantu aparat penegak hukum. Dilupakannya persoalan korban tersebut disebabkan antar lain karena : 1. Masalah kejahatan tidak dilihat, dipahami menurut proporsi yang sebenarnya secara multi dimensional. 2. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal police) yang tidak didasarkan pada konsep yang integral dengan etiologi criminal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Kurangnya pemahaman bahwa masalah kejahatan merupakan masalah kemanusiaan, demikian pula masalah korban (Suryono Ekotomo, ST. Harum Pudjianto, G. Widiartama, 2000: 173). Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, apabila dipandang dari sudut pandang viktimologi, korban yaitu anak menurut tipologi korban dan status korban termasuk dalam biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban, namun walaupun demikian kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat/tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang yang berusia dewasa mengingat setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Menurut Sellin dan Wolfgang termasuk primary victimization, yaitu berupa individu atau perorangan (bukan kelompok). Bentuk perlindungan korban anak di dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diatur di atas lebih dominan menekankan pada perlindungan aspek psikologis korban, hal ini bertujuan agar korban tidak mengalami dampak psikologis yang dapat merugikan korban dalam jangka panjang. Perlindungan anak sebagai korban dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara umum adalah perlindungan fisik, mental dan sosial; pelayanan kesehatan; pelayanan psikologi; dan hak untuk mendapatkan bantuan hukum. Hal ini mempunyai sedikit perbedaan dengan perlindungan korban di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlindungan hukum kepada korban juga lebih kongkret dan operable serta adanya bentuk pelayanan rohani. Namun yang menjadi tidak efektif adalah berbagai bentuk pelayanan tersebut harus dikenakan biaya atau tidak, selanjutnya apakah biaya tersebut harus ditanggung oleh korban/keluarganya, pelaku atau pemerintah. Pemberian restitusi dalam viktimologi sebenarnya sangat penting. Restitusi adalah sebentuk pemberian ganti-rugi yang dibebankan pada pelaku untuk diberikan kepada korban atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Apabila
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dicermati dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak perihal restitusi tidak diatur didalamnya. Terlebih lagi bahwa didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak mengenal bentuk penetapan pidana restitusi, kondisi ini terlihat dalam Pasal 10 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang menetapkan bahwa pidana pokok yang dikenakan kepada pelaku adalah pidana mati; pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda; dan pidana tutupan. Sebenarnya apabila dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diadakan pidana restitusi akan sangat membantu sekali bagi korban, karena secara filosofis, pidana denda dalam undang-undang ini ternyata tidak memberikan rasa keadilan yang paripurna bagi korban, sebab denda yang ditetapkan kepada pelaku adalah untuk negara, bukan kepada korban sebagai pihak yang paling dirugikan dari suatu tindak pidana. Idealnya korban adalah pihak yang paling berhak mendapatkan biaya dari pelaku dalam bentuk restitusi, sebab penetapan restitusi khususnya untuk anak sebagai korban, paling tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan yaitu menimbulkan efek jera kepada pelaku atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Dengan timbulnya efek jera ini maka diharapkan perbuatan tersebut tidak lagi terulang di masa datang dan restitusi yang diterima oleh anak yang menjadi korban tindak pidana akan bermanfaat untuk rehabilitasi dan membiayai semua langkah upaya untuk menjamin perkembangan dan pertumbuhan anak pasca terjadinya tindak pidana mengingat belum adanya kejelasan dalam UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengenai siapa yang menanggung biaya perlindungan terhadap anak sebagai korban, terlebih bahwa pelaku adalah keluarga dan hukum positif yang mengatur restitusi masih terbatas, dalam artian bahwa restitusi belum menjadi bagian dari pidana pokok yang harus dijatuhkan kepada pelaku. Restitusi masih berbentuk pidana tambahan yang dapat dimintakan kepada hakim oleh korban, demi tercapainya keadilan secara paripurna, maka restitusi seharusnya menjadi bagian dari pidana pokok.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang Penulis sajikan, maka Penulis dapat mengambil simpulan sebagai berikut : 1. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik terhadap anak dalam rumah tangga, kekerasan psikis terhadap anak dalam rumah tangga, kekerasan seksual terhadap anak dalam rumah tangga dan kekerasan sosial terhadap anak dalam rumah tangga yang terdiri dari penelantaran dan eksploitasi. 2. Bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yaitu perlindungan terhadap kesehatan, perlindungan terhadap pendidikan dan perlindungan sosial melalui penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi bagi pelaku (terutama oleh pelaku yang merupakan keluarga dijatuhi pemberatan), rehabilitasi, perlindungan dari labelisasi, jaminan keselamatan fisik, mental dan sosial, dan pemberian akses mengenai perkaranya. 3. Kendala-kendala yang dialami dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak dari kekerasan dalam rumah tangga berasal dari faktor dalam diri anak sendiri dan faktor dari luar yaitu keluarga, masyarakat dan pemerintah. B. Saran 1. Pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga seharusnya mendapat teguran dan peringatan keras, sehingga hal ini tidak terjadi lagi. Pihak-pihak tersebut yakni keluarga, masyarakat setempat, pemerintah, negara, bahkan masyarakat internasional. Dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak-anak, karena keterbatasan anak baik fisik dan mental, anak membutuhkan intervensi dengan kadar yang berbeda dari masing-masing lingkungan-lingkungan tadi. Secara berjenjang tanggung jawab untuk melindungi anak terletak pada orang tua/keluarga, masyarakat setempat, dan negara. Namun pelaksanaan tanggung jawab ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sangat bergantung sampai sejauh mana kemampuan dari orang tua/keluarga dan masyarakat setempat dapat melindungi anak-anak. Jika orang tua/ keluarga dan masyarakat diliputi kemiskinan karena proses pemiskinan, maka tanggung jawab ini secara yuridis beralih menjadi tanggung jawab negara. Pembedaan kadar ini dalam konsep hak asasi manusia menyangkut siapa sesungguhnya pemegang kewajiban untuk memenuhi hak asasi manusia. Pemegang kewajiban ini dibebankan kepada negara karena negara satusatunya pemilik otoritas bahkan sumber daya untuk memenuhi kewajibannya. 2. Perlunya sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang semakin aktif sehingga masyarakat luas semakin sadar bahwa kekerasan dalam rumah tangga, khususnya yang menimpa anak, bukan lagi merupakan ranah pribadi tetapi sudah menjadi ranah publik, yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia. 3. Kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak dari kekerasan dalam rumah tangga perlu ditinjau ulang guna penyempurnaan, terutama mengenai pemberian perlindungan dan kebijakan pencegahan kekerasan terhadap anak, dalam hal ini terkait juga dengan masalah ganti rugi yang diberikan kepada korban.
commit to user