4
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumah Tangga Menurut Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah suatu keadaan dimana setiap rumah tangga mempunyai akses terhadap makanan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu gizinya. Engle, Menon dan Haddad (1997) mengemukakan bahwa pada tingkat rumah tangga, ketahanan pangan ditentukan oleh kemampuan rumah tangga untuk mengelola dan mengalokasikan pendapatan untuk makanan bagi seluruh anggotanya, budaya serta kebiasaan makannya. Ketahanan pangan rumah tangga juga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan (Soekirman 2000). Ketahanan pangan rumah tangga sangat penting untuk dipantau secara terus menerus karena masih banyak rumah tangga yang mengalami masalah kekurangan pangan. Suryana (2004) menemukan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia mengalami defisit energi dan protein dibawah standar kecukupan yang direkomendasikan (2000 kkal dan 52 g protein per kapita per hari). Kelompok defisit energi ini pada tahun 2003 mencapai 127.9 juta jiwa dan 81.5 juta jiwa diantaranya juga disertai dengan defisit protein. Ketidaktahanan pangan rumah tangga dapat berdampak buruk pada status gizi anak balita. Ketidaktahanan pangan di tingkat rumah tangga umumnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh pendapatan yang mencukupi serta tingginya harga pangan. Jumlah orang miskin mencerminkan kelompok yang tidak memperoleh pendapatan dalam jumlah cukup. Semakin besar jumlah orang miskin, semakin rendah akses terhadap pangan dan semakin tinggi derajat kerawanan pangan di daerah tersebut (Deptan RI 2002). Pengklasifikasian ketahanan pangan rumah tangga kedalam tahan pangan (food secure) dan tidak tahan pangan (food insecure) dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Pengukuran yang paling umum digunakan adalah pengukuran dengan indikator out put, yaitu konsumsi pangan (intake energi) atau status gizi individu, khususnya wanita hamil dan balita (Masithah 2002). Rumah tangga disebut tidak tahan pangan, jika intake energi atau status gizi lebih rendah dari cut off point (kebutuhan minimum). Tujuh puluh persen dari kebutuhan energi biasanya digunakan sebagai cut off point untuk konsumsi pangan (Zeitlin & Brown 1990).
5
Karakteristik Keluarga Keluarga adalah satuan terkecil dari masyarakat yang sekurangkurangnya terdiri dari orangtua dan anak. Orangtua, khususnya ibu, sebagai pengasuh dan pendidik anak dalam keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan anak (Suhardjo 1989). Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam hal pengasuhan anak. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh karakteristik yang khas bagi keluarga tersebut, meliputi besar keluarga, umur orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, status sosial ekonomi keluarga, serta pengetahuan gizi dan akses ibu terhadap informasi gizi dan kesehatan. Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Menurut Cahyaningsih (1999) dalam Akmal (2004), besar keluarga akan mempengaruhi pembentukan tingkah laku anak. Semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit perhatian yang diperoleh anak dari orangtua. Jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari satu tahun maka perhatian ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak tersebut masih memerlukan perawatan khusus (Sukarni 1994). Besar keluarga mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan rumah tangga. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun seiring dengan peningkatan besar keluarga. Menurut Suhardjo (2003), terdapat pengaruh antara laju kelahiran dan keadaan gizi keluarga pada masyarakat miskin. Keluarga akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah anggota keluarga yang harus diberi makan lebih sedikit. Anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Umur Orangtua Orangtua, terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998).
6
Pendidikan Orangtua Tingkat pendidikan orangtua merupakan aspek yang mempengaruhi keefektifan komunikasi dalam keluarga. Pendidikan orangtua secara tidak langsung akan mempengaruhi komunikasinya dengan anak, diantaranya berkaitan dengan pola asuh. Orangtua yang berpendidikan rendah mungkin hanya sedikit pengetahuannya tentang kesehatan dan perkembangan anak, sehingga pengasuhan anak hanya sekedar mengikuti orangtuanya yang terdahulu atau para tetangga. Latar belakang pendidikan ibu berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam hal konsumsi pangan keluarga seharihari. Tingkat pendidikan ibu juga menentukan aksesnya kepada pengasuhan yang tepat dan akses ke sarana kesehatan (Engle, Menon & Haddad 1997). Hasil penelitian Madanijah (2003) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Pekerjaan Orangtua Pekerjaan memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain, seperti kesehatan. Ibu dengan pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi, seperti Posyandu, Bina Keluarga Balita dan Puskesmas, sehingga beresiko tinggi memiliki anak yang kurang gizi (Sukarni 1994). Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah, melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Menurut Satoto (1990), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Ibu yang bekerja di luar rumah akan menaikkan nilai sosialnya, namun pada saat yang sama ibu yang bekerja mengakibatkan menurunnya kesehatan anak-anak. Status Sosial Ekonomi Keluarga Perbedaan tingkat ekonomi keluarga menyebabkan adanya perbedaan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pola pengasuhan orangtua terhadap anaknya. Semakin otoriter pengasuhan anak, semakin besar kemungkinan anak untuk tidak patuh (Hurlock
7
1998). Pada umumnya sifat pola asuh yang lebih otoritarian dijumpai pada keluarga dengan kondisi ekonomi rendah dan pada anak-anak yang tinggal di pedesaan (Briawan & Herawati 2005). Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun nonpangan selama satu tahun terakhir. Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan daripada kebutuhan
nonpangan.
Sebaliknya,
jika
pendapatan
meningkat
maka
pengeluaran untuk nonpangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000). Hal ini sesuai dengan Hukum Engel bahwa semakin tinggi pendapatan maka persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan semakin kecil. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan keadaan status gizi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al. 1990). Pengetahuan Gizi dan Akses Ibu terhadap Informasi Gizi dan Kesehatan Pengetahuan gizi merupakan penyebab berbagai masalah gizi yang terjadi di Indonesia. Penelitian Sandjaja (2000) tentang penyimpangan positif (positive deviance) status gizi anak balita dan faktor-faktor yang berpengaruh memperoleh hasil bahwa pengetahuan gizi ibu tentang sumber vitamin dan mineral berperan nyata terhadap resiko terjadinya gizi kurang pada balita di Kabupaten Sukabumi dan Gunung Kidul. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu daripada orang yang berpendidikan lebih rendah. Namun, tingkat pendidikan umum ibu yang lebih tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di bidang gizi ternyata tidak berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk keluarga (Riyadi et al. 1990). Selanjutnya,
Sediaoetama
(2006)
menyatakan
bahwa
semakin
tinggi
pengetahuan gizi ibu akan semakin baik pula susunan menu keluarga. Hal ini
8
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
anggota
keluarga,
sehingga
dapat
mengurangi atau mencegah gangguan gizi pada keluarga. Kurangnya merupakan
kesempatan
hambatan
bagi
untuk
ibu
belajar
untuk
dan
mengembangkan
meningkatkan
pengetahuan
diri dan
keterampilan dalam mengasuh anak (Satoto 1990). Selain pengetahuan gizi, akses ibu terhadap informasi dapat menjadi indikator kemampuan ibu untuk merawat anaknya lebih baik. Berbagai informasi gizi dan kesehatan dapat diperoleh dengan melihat atau mendengar sendiri, melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar/majalah, mendengarkan siaran radio, menyaksikan siaran televisi atau melalui penyuluhan (Engle, Menon & Haddad 1997). Pola Pengasuhan Anak Balita Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya kebersihan,
dan
dengan
memberikan
anak,
kasih
memberikan
sayang.
Hal
makan,
tersebut
merawat, seluruhnya
berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, sifat pekerjaan seharihari, dan sebagainya (Soekirman 2000). Kejadian gizi kurang pada anak sangat ditentukan oleh praktek pengasuhan dalam keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Zeitlin et al. (1991) menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah dapat memiliki anak sehat dan bergizi baik bila ibu memberikan pengasuhan yang memadai dan tepat. Penelitian juga membuktikan bahwa kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai peranan penting bagi tumbuh kembang anak (Engle, Menon & Haddad 1997). Pola Asuh Makan Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh kualitas makanan dan gizi yang dikonsumsi. Sementara itu, kualitas makanan dan gizi sangat tergantung pada pola asuh makan anak yang diterapkan oleh keluarga. Karyadi (1985) mendefinisikan pola asuh makan sebagai praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak balita yang berkaitan dengan cara dan situasi makan. Anak balita merupakan konsumen pasif yang sangat bergantung pada orangtuanya, terutama ibu, dalam menerima apa yang dikonsumsi. Sebagai gate keeper, yaitu orang yang menentukan bahan makanan yang dibeli dan bagaimana bahan makanan tersebut disiapkan, ibu sangat berperan dalam
9
menentukan keadaan gizi anak (Karyadi 1985). Perilaku konsumsi yang salah menyebabkan rendahnya konsumsi pangan dan mempengaruhi status gizi anak. Menurut Gable dan Lutz (2000), terdapat tiga bentuk gaya pengasuhan makan yang diterapkan orangtua kepada anaknya, yaitu otoriter, permisif dan demokratis. Gaya pengasuhan otoriter berarti orangtua menentukan makanan yang dikonsumsi oleh anak, sehingga membatasi pilihan dan preferensi pangan anak. Gaya pengasuhan makan permisif berarti anak dapat menentukan sendiri makanan yang dikonsumsi, baik jenis maupun jumlah makanan. Gaya pengasuhan makan demokratis berarti anak dan orangtua secara bersama-sama menentukan makanan yang dikonsumsi oleh anak dimana orangtua mengawasi makanan yang disajikan dan anak menentukan sendiri jumlah makanan yang dikonsumsi. Riwayat Menyusui dan Penyapihan Kebutuhan bayi akan zat-zat gizi adalah yang paling tinggi, bila dinyatakan dalam satuan berat badan, karena bayi sedang ada dalam periode pertumbuhan yang sangat pesat (Sediaoetama 2006). Makanan pertama dan utama bagi bayi adalah ASI (Air Susu Ibu). ASI merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi karena mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan bayi. Selain itu, tidak ada susu buatan manusia yang dapat memberikan perlindungan kekebalan tubuh bayi seperti kolostrum (Krisnatuti & Yenrina 2000). Titiek dan Budiarso (1998) dalam Purwandani (2005) menerangkan bahwa pola pemberian ASI yang dianjurkan, yaitu pemberian ASI segera setengah jam setelah bayi lahir, kemudian pemberian ASI saja sampai bayi berumur 4-6 bulan (ASI eksklusif). Pemberian ASI dilanjutkan dengan frekuensi sesuai dengan kehendak bayi hingga berumur sekitar dua tahun (Suhardjo 1989). Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak juga harus benar. Menurut Krisnatuti dan Yenrina (2000), pemberian makanan pada bayi terlalu dini akan menimbulkan gangguan kesehatan, seperti sakit perut, diare, sembelit, infeksi, kurang darah, alergi, dan sulit tidur pada malam hari. Sebaliknya,
pemberian
makanan
yang
terlambat
akan
menghambat
pertumbuhan bayi. Bayi berumur 4-6 bulan telah siap menerima makanan setengah padat, yang disebut dengan masa penyapihan. Penyapihan berarti suatu proses dimana bayi secara perlahan-lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Malnutrisi sering terjadi pada masa ini karena banyak keluarga yang tidak
10
mengerti kebutuhan khusus bayi dan cara membuat MP-ASI yang bergizi. MPASI sebaiknya mengandung energi dan protein tinggi, vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup, dapat diterima dengan baik, harganya relatif murah, serta dapat diproduksi dari bahan pangan lokal (Muchtadi 2002). Praktek Pemberian Makan Sejak dilahirkan dan dilanjutkan hingga beberapa tahun, makanan anakanak tergantung pada orang lain, terutama keluarga. Kondisi lingkungan keluarga akan menentukan kesukaan atau ketidaksukaan seseorang terhadap jenis makanan tertentu. Menurut Anwar (1989), makanan yang dikonsumsi anakanak harus berupa sumber yang baik dan sekurang-kurangnya mengandung lima macam zat gizi utama dalam jumlah yang cukup. Penyelenggaraan makan untuk anak, yaitu dalam hal keindahan dan variasi hidangan, juga perlu diperhatikan agar tampak menarik bagi anak. Selain itu, orangtua seharusnya memberikan pujian ketika anak berhasil menghabiskan makanannya. Anak-anak usia prasekolah sering mengalami fase sulit makan. Penyediaan makanan dalam jumlah yang cukup dan beraneka ragam jenisnya belum menjamin akan dikonsumsi oleh anak. Penurunan nafsu makan anak disebabkan oleh penurunan tingkat pertumbuhan dan sebagian anak sudah mengembangkan jenis makanan yang disukai dan tidak disukai. Jika masalah makan ini berkepanjangan maka dapat mengganggu tumbuh kembang anak, karena jumlah dan jenis zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya berkurang (Khomsan 2004). Konsumsi pangan anak dapat dipengaruhi oleh orang dewasa dalam keluarga. Menurut Engle, Menon dan Haddad (1997), praktek pengasuhan makan terdiri dari pemberian makan yang sesuai umur dan kemampuan anak, kepekaan ibu atau pengasuh mengetahui waktu makan anak dan menumbuhkan nafsu makan anak, serta menciptakan situasi makan yang baik, seperti memberi rasa nyaman saat makan. Hasil penelitian Ogunba (2006) menyebutkan bahwa perilaku ibu yang benar selama memberi makan akan meningkatkan konsumsi pangan anak dan pada akhirnya akan meningkatkan status gizi anak. Pola Asuh Kesehatan Pola asuh kesehatan adalah cara dan kebiasaan orangtua atau keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak balita. Engle, Menon dan Haddad (1997) mengemukakan bahwa salah satu pola asuh yang berhubungan dengan kesehatan dan status gizi anak balita adalah pola asuh kesehatan. Pola asuh ini
11
meliputi perawatan kesehatan yang sifatnya preventif, seperti pemberian imunisasi maupun perawatan ibu ketika anak sakit. Bayi
dan
anak
merupakan
individu
pasif,
sehingga
perawatan
kesehatannya merupakan tanggung jawab individu dewasa di sekitarnya, terutama orangtuanya. Menurut Satoto (1990), pola asuh kesehatan yang diterapkan pada anak balita perlu dilakukan secara sungguh-sungguh karena anak belum mampu merawat diri sendiri, kondisi fisik masih lemah dan sangat peka terhadap serangan penyakit. Perawatan kesehatan anak balita akan mempengaruhi status kesehatannya. Anak balita yang tidak terawat dengan baik akan mudah terserang penyakit . Perawatan Kesehatan Preventif Anak-anak membutuhkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh secara terus-menerus. Tujuan utama pelayanan kesehatan adalah tercapainya kenaikan pertumbuhan yang memadai, bukan hanya sekedar mencegah kurang gizi (Sukarni 1994). Joshi (1994) dalam Engle, Menon dan Haddad (1997) mengemukakan bahwa ibu yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi akan menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia dibandingkan dengan ibu yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Kenaikan berat badan setiap bulan adalah indikator kesehatan anak yang paling peka. Kartu Menuju Sehat untuk Balita (KMS-Balita) adalah alat yang memungkinkan dilakukannya pengamatan yang terarah dan sederhana terhadap kesehatan dan pertumbuhan anak. KMS harus disimpan oleh ibu di rumah dan selalu dibawa setiap kali mengunjungi posyandu atau fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk bidan dan dokter (Sukarni 1994). Pemberian imunisasi secara lengkap kepada anak dapat mempengaruhi status gizinya secara positif karena tubuh akan memiliki daya tahan terhadap penyakit-penyakit berbahaya, yang seringkali dapat mengakibatkan cacat atau kematian. Setiap tahun terdapat 1.7 juta anak meninggal karena penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin yang sudah tersedia. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi yang berfungsi melindungi terhadap penyakit. Anak yang telah berumur satu tahun seyogyanya telah mendapatkan imunisasi lengkap, yaitu BCG, Polio tiga kali, DPT tiga kali, dan campak (Anonim 2009). Praktek Higiene Anak Balita Range et al. (1997) dalam Yulia (2008) menyatakan bahwa pola asuh kesehatan tidak terlepas dari praktek hidup bersih yang diterapkan oleh ibu.
12
Kebersihan adalah faktor yang besar pengaruhnya terhadap kesehatan. Menurut Depkes RI (1997), anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sendiri sejak dini, antara lain memotong kuku setiap minggu dan menjaga kebersihannya, menggosok gigi dua kali sehari, mandi dengan sabun dua kali sehari, mencuci rambut (keramas), mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar, menggunakan alas kaki saat berada di luar rumah, dan sebagainya. Pola asuh kesehatan anak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu. Hasil penelitian di Ghana yang dilakukan oleh Klemesu dan Margaret (2000) mengungkapkan bahwa pendidikan yang dimiliki ibu sangat berhubungan dengan pola asuh kesehatan. Ibu yang memiliki pendidikan lebih tinggi memiliki skor praktek hidup bersih yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan lebih rendah. Konsumsi Pangan Anak Balita Pangan adalah kebutuhan pokok manusia, yang menurut Maslow menduduki
peringkat
pertama
dari
kebutuhan
lainnya.
Setiap
individu
membutuhkan pangan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Kebutuhan pangan perlu diupayakan ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, layak, aman dikonsumsi, dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau (Khomsan 2002). Menurut Hardinsyah et al. (2002), konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Mengkonsumsi pangan tidak hanya penting untuk kesehatan, tetapi juga untuk kecerdasan dan kemampuan fisik tubuh. Kebutuhan pangan harus dipenuhi dalam jumlah yang cukup karena kekurangan atau kelebihan pangan akan berdampak negatif terhadap kesehatan. Konsumsi pangan seseorang atau kelompok orang dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk keperluan rumah tangga, pengetahuan gizi, dan ketersediaan pangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin sangat rawan terhadap gizi kurang. Anak-anak tersebut cenderung mengkonsumsi energi dan protein lebih rendah daripada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya (Khomsan 2003). Anak balita pada usia 1-3 tahun bersifat konsumen pasif dan usia 3-5 tahun bersifat konsumen aktif. Konsumen pasif artinya makanan yang
13
dikonsumsi anak tergantung pada apa yang disediakan oleh ibu, sedangkan konsumen aktif artinya anak dapat memilih makanan yang disukainya (Supriatin 2004). Tahap awal dari kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan penilaian konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang kurang akan berdampak terhadap kurangnya zat gizi dalam tubuh. Secara umum terdapat dua kriteria untuk menentukan kecukupan konsumsi pangan, yaitu konsumsi kalori dan protein. Kebutuhan kalori biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok, sedangkan kebutuhan protein dipenuhi dari sejumlah substansi hewan, seperti ikan, daging, telur, dan susu (Hardinsyah & Martianto 1992). Angka Kecukupan Gizi (AKG) dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan zat gizi individu. Basis dari AKG adalah kebutuhan (Estimated Average Requirement). Untuk mengetahui kecukupan gizi anak balita digunakan AKG tahun 2004, yang disajikan pada Tabel 1. Kecukupan gizi tersebut dianjurkan dipenuhi dari konsumsi pangan anak balita setiap harinya. Tabel 1 Angka kecukupan energi (AKE) dan protein (AKP) anak Golongan Berat Badan Tinggi Badan Usia (kg) (cm) 0 - 6 bulan 6.0 60 7 - 11 bulan 8.5 71 1 - 3 tahun 12.0 90 4 - 6 tahun 18.0 110 7 - 9 tahun 25.0 120 Sumber: Hardinsyah dan Tambunan (2004)
AKE (Kal/ Kap/ Hari) 550 650 1000 1550 1800
AKP (g/ Kap/ Hari) 10 16 25 39 45
Metode recall merupakan cara yang paling sering digunakan untuk menilai konsumsi pangan individu. Responden diminta untuk mengingat semua makanan yang telah dimakan beserta jenis pangan penyusunnya 24 jam yang lalu. Jumlah makanan yang dicatat biasanya dalam bentuk masak yang dinyatakan dalam ukuran rumah tangga (URT), kemudian dikonversikan dalam satuan berat. Kelebihan metode ini adalah murah serta hemat waktu dan kekurangannya
adalah
data
yang
dihasilkan
kurang
akurat
karena
mengandalkan daya ingat seseorang serta tergantung dari keahlian pencacatan enumerator (Kusharto & Sa’diyyah 2007). Status Kesehatan Anak Balita Menurut King dan Burgess (1995) dalam Masithah (2002), gizi kurang pada anak balita akan berpengaruh pada kurangnya energi serta daya tahan dan imunitas terhadap infeksi. Rendahnya daya tahan dan imunitas terhadap infeksi
14
pada anak yang kurang gizi menyebabkan anak lebih mudah sakit. Pelletier et al. (1995) menyimpulkan bahwa lebih dari setengah kematian bayi disebabkan oleh kurang gizi yang berkaitan dengan penyakit infeksi (Yoon et al. 1997). Anak balita biasanya memperoleh berbagai infeksi, khususnya ketika usia 6 bulan hingga 3 tahun, diantaranya batuk dan pilek, malaria dan campak. Infeksi menyebabkan kurang gizi karena mengurangi konsumsi pangan sementara kebutuhan zat gizi tubuh meningkat. Anak balita kurang gizi membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh dari penyakitnya daripada anak yang bergizi normal (King & Burgess 1995 dalam Masithah 2002). Anak balita yang kurang gizi jauh lebih mudah terkena diare daripada anak yang lebih besar atau orang dewasa. Hal ini disebabkan anak balita harus menciptakan kekebalan terhadap bermacam-macam organisme pada saat mereka juga sedang membutuhkan banyak bahan makanan untuk pertumbuhan (Sukarni 1994). Anak-anak yang mengalami kurang gizi akan menderita diare selama 3 hari, batuk selama 4 hari dan demam selama 3 hari setiap bulan, sehingga dalam sebulan anak akan sakit selama 10 hari. Kurang gizi pada anak balita berhubungan dengan peningkatan 10-45 persen kejadian diare dan 30-35 persen lamanya diare (McGuire & Austin 1987 dalam Masithah 2002). Status Gizi Anak Balita Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana anak memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orangtua dan lingkungannya. Disamping itu, anak balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar proses pertumbuhan tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Santoso & Lies 2004). Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya manusia dan kualitas hidup. Riyadi (2001) mendefinisikan status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbtion) dan penggunaan (utilization) zat gizi. Pada dasarnya, status gizi merupakan refleksi dari makanan yang dikonsumsi dan dimonitor dari pertumbuhan fisik anak. Anak balita merupakan salah satu kelompok penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi makro, terutama Kurang Energi Protein (KEP). Keadaan gizi kurang tingkat berat pada masa bayi dan balita ditandai dengan dua macam sindrom yang jelas, yaitu Kwashiorkor karena kurang konsumsi protein dan Marasmus karena kurang konsumsi energi dan protein. Kwarsiorkor
15
banyak dijumpai pada bayi dan anak balita pada keluarga berpenghasilan rendah dan umumnya kurang sekali pendidikannya, sedangkan Marasmus banyak terjadi pada bayi dibawah usia satu tahun karena tidak mendapatkan ASI atau penggantinya (Suhardjo 2003). Santoso dan Lies (2004) mengungkapkan bahwa keadaan gizi kurang pada anak-anak mempunyai dampak pada kelambatan pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu, kemampuan untuk belajar dan bekerja serta bersikap pada anak yang kurang gizi akan lebih terbatas daripada anak yang normal. Komponen penilaian status gizi, meliputi konsumsi pangan, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis dan riwayat kesehatan, pemeriksaan antropometri, serta data psikososial. Selanjutnya, Jahari (1995) dalam Briawan dan Herawati (2005) menjelaskan bahwa antropometri erat kaitannya dengan status gizi seseorang, terutama pada masa pertumbuhan. Selain itu, antropometri paling sesuai
digunakan
di
negara
berkembang,
seperti
Indonesia,
daripada
pengukuran secara klinis dan biokimia yang mahal dan sulit dilakukan. Antropometri secara umum berarti ukuran tubuh manusia. Jika ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi, antara lain berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh (tulang, otot dan lemak) dan merupakan indikator yang sangat labil. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau berkurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Dengan demikian, indeks BB/U menggambarkan status gizi masa kini. Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight (Riyadi 2001). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Defisit TB/U
16
menunjukkan ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara kumulatif dalam jangka panjang. Stunting merefleksikan proses kegagalan untuk mencapai pertumbuhan linear sebagai akibat dari keadaan gizi dan/atau kesehatan yang subnormal. Dengan demikian, indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu (Riyadi 2001). Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini dan biasanya digunakan bila data umur sulit diperoleh (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Istilah wasting secara luas digunakan untuk menjelaskan proses yang mengarah pada terjadinya kehilangan berat badan sebagai konsekuensi dari kelaparan akut dan/atau penyakit berat (Riyadi 2001). Standar
pengukuran
antropometri
untuk
menentukan
status
gizi
bermacam-macam, diantaranya Standar Tanner, Standar Boston atau Harvard, dan Standar National Center for Health Statistics (NCHS). World Health Organization (WHO) merekomendasikan menggunakan standar NCHS karena pengumpulan data NCHS lebih menggambarkan populasi yang sebenarnya (Husaini 1988 dalam Masithah 2002). Terdapat dua cara penilaian dengan standar WHO-NCHS, yaitu persen terhadap median dan z-skor. Keuntungan menggunakan z-skor adalah hasil hitung telah dilakukan menurut simpangan baku, sehingga lebih akurat dan dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri. WHO (1995) membuat indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi underweight, wasting dan stunting yang ditemukan pada suatu wilayah survei. Tabel 2 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting Klasifikasi Berat Prevalensi Underweight (%) Masalah Gizi Rendah <10 Sedang 10-19 Tinggi 20-29 Sangat tinggi ≥30 Sumber : WHO (1995) dalam Riyadi (2001)
Prevalensi Stunting (%) <20 20-29 30-39 ≥40
Prevalensi Wasting (%) <5 5-9 10-14 ≥15
17
KERANGKA PEMIKIRAN Masa balita merupakan periode emas, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal, terlebih lagi pada periode dua tahun pertama kehidupan seorang anak. Unsur gizi dan kesehatan memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Status gizi anak balita secara langsung dipengaruhi oleh konsumsi pangan. Pola asuh makan yang diterapkan oleh ibu akan mempengaruhi konsumsi pangan anak balita. Anak balita merupakan konsumen pasif yang sangat bergantung pada orang dewasa dalam menerima apa yang dikonsumsi. Ogunba (2006) mengemukakan bahwa perilaku ibu yang benar selama memberi makan akan meningkatkan konsumsi pangan anak dan pada akhirnya akan meningkatkan status gizi anak balita. Status gizi anak balita juga dipengaruhi oleh status kesehatan. Pola asuh kesehatan ibu kepada anak balita perlu dilakukan secara sungguh-sungguh karena anak belum mampu merawat diri sendiri. Perawatan kesehatan anak balita akan mempengaruhi status kesehatannya. Anak yang tidak terawat, baik fisik maupun makanannya, beresiko tinggi menderita gizi kurang (Satoto 1990). Pola pengasuhan yang diberikan ibu kepada anak balita dipengaruhi oleh karakteristik keluarga. Tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap pola pengasuhan.
Ibu
dengan
pendidikan
yang
tinggi
cenderung
memiliki
pengetahuan gizi dan kesehatan serta pengasuhan anak yang baik (Madanijah 2003). Akses terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan juga mempengaruhi pola asuh ibu. Joshi (1994) dalam Engle, Menon dan Haddad (1997) mengemukakan bahwa ibu yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi akan menggunakan fasilitas yang tersedia dibandingkan dengan ibu yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Ketahanan pangan rumah tangga merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi anak balita. Ketahanan pangan rumah tangga sangat dipengaruhi
oleh
kemiskinan.
Rumah
tangga
miskin
tidak
mempunyai
sumberdaya yang cukup untuk memenuhi konsumsi pangan anggota keluarga. Menurut Khomsan (2003), anak-anak yang berasal dari keluarga miskin cenderung mengkonsumsi energi dan protein lebih rendah daripada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya.
18
Status Gizi Anak Balita BB/U, TB/U, BB/TB
1. 2.
Konsumsi Pangan Anak Balita Tingkat Kecukupan Energi Tingkat Kecukupan Protein
Pola Asuh Makan Riwayat ASI dan Penyapihan Praktek Pemberian Makan
1. 2. 1. 2.
Status Kesehatan Anak Balita 1. Status Sakit 2. Jenis Penyakit 3. Frekuensi Sakit 4. Lama sakit
Pola Asuh Kesehatan Pola Asuh Kesehatan Preventif Praktek Higiene Anak Balita
Pengetahuan Gizi Ibu 1. 2. 3. 4. 5.
Karakteristik Keluarga Umur Orangtua Besar Keluarga Pendidikan Orangtua Pekerjaan Orangtua Status Sosial Ekonomi Keluarga
Akses terhadap Informasi dan Pelayanan Gizi dan Kesehatan
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Gambar 1 Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak balita