II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Ketahanan Pangan 2.1.1 Konsep Ketahanan Pangan Konsep ketahanan pangan untuk pertama kalinya berkembang bersamaan
dengan terjadinya krisis pangan global, yaitu pada dekade
70-an.
Konsep
ketahanan pangan yang berkembang saat itu lebih tertuju pada ketersediaan pangan secara nasional dan global. Pada dekade 80-an terjadi perubahan konsep ketahanan pangan. Konsep ketahanan pangan lebih mengarah pada unit analisis yang lebih spesifik yaitu ketersediaan dan konsumsi pangan di tingkat rumah tangga atau individu dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi (Braun et al. 1992; Maxwell & Frankenberger 1992; Martianto 1999). Penyebab dari perubahan pemahanan tersebut terkait dengan kenyataan bahwa ketersediaan pangan pada skala wilayah (daerah atau nasional) tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga atau individu. Hal ini disebabkan adanya faktor lain yang menghambat akses perolehan pangan di tingkat rumah tangga atau individu.
Menurut Maxwell dan Frankenberger
(1992), Amartya Sen mengemukakan bahwa faktor penghambat tersebut terkait dengan entitlement (faktor kepemilikan). Level entitlement yang rendah pada individu/rumah tangga menyebabkan mereka tidak punya akses terhadap pangan. Handewi dan Ariani (2002) mengungkapkan bahwa pada awalnya pertanyaan seputar ketahanan pangan adalah berkisar pada ”dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup”, kemudian pertanyaan tersebut dipertajam lagi oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) menjadi “dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin”.
Namun sejak awal 1990-an pertanyaan
tersebut telah jauh lebih lengkap dan komplek menjadi “dapatkah dunia memproduksikan pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan hidup”. Sejalan dengan perkembangan konsep ketahanan pangan, pengertian ketahanan pangan juga mengalami perkembangan. Saat ini, pengertian ketahanan pangan yang telah diterima oleh kalangan secara luas adalah terjaminnya akses
pangan pada segenap rumah tangga serta individu setiap waktu sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat (Braun et al. 1992; Suhardjo 1996, Soetrisno 1997); yang selanjutnya oleh Baliwati (2001), akses pangan dalam pengertian tersebut dimaknakan sebagai aksesbilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan. Namun sebelum sampai pada pengertian tersebut, seperti yang diungkapkan Soetrisno (1995), pada tahun 1984 konferensi FAO mencetuskan dasar-dasar ketahanan pangan yang pada intinya adalah menjamin kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan terjaminnya setiap individu untuk dapat memperoleh pangan. Pengertian tersebut selanjutnya disempurnakan pada waktu International Congress of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 dalam Suhardjo (1996) yang memberikan definisi ketahanan pangan rumah tangga sebagai berikut:
“Ketahanan pangan rumah tangga (household food
security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari”.
Kemudian dalam sidang Committee on World Food
Security 1995 dalam Soetrisno (1997), definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “dapat diterima oleh budaya setempat” (acceptable within given
culture).
Berkenaan
dengan
budaya
setempat,
Hasan
(1995)
mengemukakan bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat.
Selanjutnya, seperti yang diungkapkan
Handewi dan Ariani (2002), pengertian tersebut dipertegas lagi pada Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia dan Rencana Tindak Lanjut Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia tahun 1996 menjadi ketahanan pangan terwujud apabila semua orang, setiap saat, memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Di Indonesia, deklarasi Roma tentang ketahanan pangan tersebut dapat diterima, yang kemudian dilegitimasi pada rumusan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan (Bab I, Pasal 1), yang 7
menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Sementara itu, Lokakarya
Ketahanan Pangan Nasional (Deptan 1996) memberikan rumusan ketahanan pangan rumah tangga sebagai berikut: ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu dan berkelanjutan baik dari produksi sendiri ataupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragam yang sesuai dengan lingkungan setempat serta sosial budaya rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif. Dengan demikian, pada hakekatnya ketahanan pangan rumah tangga adalah seperti yang dikemukakan oleh Chung (1977) dan Haddad (1997), yaitu merupakan rangkaian dari tiga komponen utama, yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan, kemudahan memperoleh pangan, dan pemanfaatan pangan.
2.1.2 Indikator Ketahanan Pangan Mengingat
pengertian
katahanan
pangan
yang
berubah-ubah
dan
menyangkut aspek yang sangat luas, maka indikator yang digunakan para peneliti atau pakar untuk mengukur ketahanan pangan pun sangat beragam. Ketahanan pangan dapat diukur tidak hanya pada tingkat agregatif nasional dan regional tetapi juga dapat diukur pada tingkat rumah tangga dan individu (Soekirman 1996). Menurut Sayogyo (1991), indikator pertanian dan sosial ekonomi yang digunakan untuk menganalisis ketahannan pangan meliputi pendapatan rumah tangga, harga pangan, harga barang konsumsi lain, sistem irigasi, status gizi, dan pelayanan kesehatan. Menurut Sutrisno (1997), dengan mengacu pada pengertian ketahanan pangan dalam Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan dan rencana aksi KTT Pangan Dunia, maka beberapa indikator yang dapat digunakan meliputi: (1) angka ketersediaan pangan setara energi, protein, dan lemak dibandingkan dengan angka kecukupan berdasarkan rekomendasi; (2) angka konsumsi energi, protein, dan lemak penduduk dibandingkan dengan angka kecukupan berdasarkan rekomendasi; (3) persentase jumlah penduduk yang 8
mengalami rawan pangan; (4) angka indeks ketahanan pangan rumah tangga; (5) angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah; (6) tingkat harga pangan pokok penduduk setempat; (7) skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk tingkat ketersediaan atau konsumsi; (8) kondisi keamanan pangan; (9) keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat; dan (10) tingkat cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan. Sementara itu, Suhardjo (1996), mengungkapkan bahwa kondisi ketahanan pangan rumah tangga dapat tercermin dari indikator: (1) tingkat kerusakan tanaman, ternak, perikananan; (2) penurunan produksi pangan; (3) tingkat ketersediaan pangan dalam rumah tangga; (4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran atau pendapatan total; (5) fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsusmsi; (6) perubahan kehidupan sosial (seperti: migrasi, menjual/menggadaikan aset, pinjam meminjam); (7) keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas), serta (8) status gizi. Menurut Susanto (1995), ketahanan pangan rumah tangga yang menurun dapat diramalkan dengan menggunakan gejala-gejala alam dan gejala-gejala sosial yang dapat diamati dan dicatat. Gejala-gejala alam yang terkait dengan kemungkinan terjadinya rawan pangan dan menurunnya ketahanan pangan rumah tangga antara lain: (1) daundaun pohon di hutan mengering dan berjatuhan; (2) binatang hutan (babi hutan, dan lain-lain) turun ke desa-desa; (3) sumber-sumber air mengering; (4) anjinganjing perumahan banyak berkeliaran di pasar; dan (5) binatang/cacing-cacing laut banyak bergerombol di pantai.
Gejala-gejala sosial yang terkait dengan
kemungkinan menurunnya ketahanan pangan rumah tangga antara lain adalah terjadinya peningkatan jumlah: (1) penduduk yang melakukan urbanisasi; (2) murid/siswa yang putus sekolah; (3) pedagang asongan; (4) pengemis dan pemulung; (5) WTS dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah; (6) kasus pencurian dan perampokan; dan (7) tuna karya. Maxwell dan Frankenberger (1992) membagi indikator ketahanan pangan ke dalam dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator hasil. Indikator proses (process indicators) mencerminkan derajat kerentanan karena faktor ketersediaan pangan dan akses fisik pangan.
Indikator yang mencerminkan ketersediaan
pangan di antaranya adalah: data meteorologi, informasi sumberdaya alam, data 9
produksi pertanian, model agroekologi, Neraca Bahan Makanan, informasi sebaran hama penyakit tanaman, struktur pasar, dan kelembagaan penunjang. Indikator hasil (outcomes indicators) merupakan proksi dari konsumsi pangan. Indikator ini terdiri atas indikator langsung (direct indicators) dan tidak langsung (indirect indicators).
Termasuk dalam indikator langsung adalah:
pengeluaran pangan rumah tangga, persepsi rumah tangga terhadap ketahanan pangan dan frekuensi pangan. Ada pun kategori indikator tidak langsung antara lain mencakup kajian tentang simpanan (cadangan) pangan, rasio potensi subsisten dan status gizi. Sebagai rangkuman dari berbagai indikator yang digunakan dalam studi ketahanan pangan rumah tangga, Chung et al. (1997) memberikan kerangka konseptual ketahanan pangan beserta penggolongan indikator generiknya (Gambar 1). Dalam kerangka konseptual ketahanan pangan tersebut terdapat tiga komponen ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan. Uraian dari ketiga komponen ketahanan pangan beserta indikatornya adalah sebagai berikut: (1) komponen ketersediaan pangan meliputi sumberdaya (alam, fisik, manusia) dan produksi (pertanian dan non pertanian).
Indikator yang
digunakan untuk menjelaskan sumberdaya alam adalah curah hujan, kualitas tanah, ketersediaan air, dan akses terhadap sumberdaya hutan; untuk menjelaskan sumberdaya fisik adalah pemilikan ternak, sarana pertanian, dan tanah, serta akses infrastruktur; dan untuk sumberdaya manusia adalah rasio ketergantungan, pendidikan, besar keluarga, dan umur kepala keluarga.
Adapun indikator
produksi meliputi total luas lahan garapan, luas lahan beririgasi dan diberakan, akses terhadap input dan penggunaannya, pola tanam, keragaman tanaman, produksi pangan, dan produksi non pertanian; (2) komponen akses pangan tergantung pada pendapatan baik dari pertanian maupun non pertanian. Indikator yang digunakan adalah total pendapatan, pendapatan dari tanaman dan ternak, upah, harga jual, pasar, akses jalan, dan kiriman uang; dan (3) komponen pemanfaatan pangan yang meliputi konsumsi (pangan dan non pangan) dan status gizi (anak dan dewasa). Indikator yang digunakan untuk konsumsi adalah total pengeluaran, pengeluaran untuk pangan dan non pangan, harga beli, konsumsi dan frekuensi pangan. Indikator status gizi meliputi antropometri, kadar serum, 10
kesakitan, kematian, kelahiran, akses pelayanan kesehatan, air bersih, serta sanitasi yang memadai.
Ketersediaan pangan
Sumberdaya • Alam • Fisik • Manusia
Akses pangan
Produksi • Pertanian • Non pertanian
Pendapatan • Pertanian • Non Pertanian
Pemanfaatan pangan
Konsumsi • Pangan • Non Pangan
Status gizi • Anak • Dewasa
INDIKATOR GENERIK
Sumberdaya Alam Curah hujan Kualitas tanah Ketersediaan air Akses terhadap sumberdaya hutan Fisik Pemilikan ternak Pemilikan sarana pertanian Pemilikan tanah Akses infrastruktur
Produksi Total luas lahan garapan Luas lahan beririgasi Luas lahan diberakan Akses terhadap input dan penggunaannya Pola tanam Keragaman tanaman Produksi pangan Produksi non pertanian
Pendapatan Pendapatan dari tanaman Pendapatan dari ternak Upah Harga jual Pasar Akses jalan Kiriman uang
Konsumsi Total pengeluaran Pengeluaran pangan Pengeluaran non pangan Harga beli Konsumsi pangan Frekuensi pangan
Status gizi Antropometri Kadar serum Angka kesakitan Angka kematian Angka kelahiran Akses pelayanan kesehatan Akses terhadap air bersih Sanitasi yang memadai
Manusia Rasio ketergantungan Pendidikan Besar keluarga Umur kepala keluarga
Gambar 1 Kerangka konseptual ketahanan pangan dan indikator generik (Chung 1997)
UNICEF (1997) menyetakan bahwa ketidakterjaminan akses pangan merupakan faktor penyebab tidak langsung munculnya masalah gizi kurang pada anak selain oleh penyakit infeksi terutama diare (Gambar 2). Gambaran dari 11
UNICEF (1997) di atas memperlihatkan bahwa jumlah dan kualitas sumber daya yang dicerminkan oleh ketersediaan dan produksi pangan akan menentukan kemampuan rumah tangga mengakses pangan.
Masalah gizi kurang pada anak
Ketidakcukupan Konsumsi Pangan
Ketidakcukupan akses terhadap pangan
Dampak
Penyakit
Ketidakcukupan perawatan ibu dan anak
Kualitas air dan sanitasi dan pelayanan kesehatan tidak memadai
Penyebab langsung di tingkat individu
Penyebab tidak langsung di tingkat rumah tangga
Ketidakcukupan dan/atau ketidaktepatan pengetahuan atau sikap diskriminatif yang membatasi akses rumah tangga terhadap sumber daya aktual Kuantitas dan kualitas sumber daya aktual – manusia, ekonomi, dan organisasi – dan cara mereka mengontrolnya. Pokok masalah Politik, budaya, agama, ekonomi, dan sistem sosial, termasuk status wanita yang membatasi pemanfaatan sumber daya potensial Sumber daya potensial: lingkungan, teknologi, dan penduduk
Gambar 2 Kerangka konseptual kurang gizi pada anak (UNICEF 1997)
12
2.2
Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Organik Menurut Manguiat (1995), ada dua peristiwa penting yang menandai
kelahiran paradigma baru sistem pertanian berkelanjutan.
Peristiwa pertama
adalah laporan dari Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development) pada tahun 1987, yang mendefinisikan yang berupaya mempromosikan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Peristiwa kedua adalah konferensi
Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang membahas Agenda 21 dengan mempromosikan program Sustainable Agriculture and Rural Development. Di kalangan para pakar ilmu tanah atau agronomi, istilah pertanian berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input Sustainable Agriculture), yaitu sistem pertanian yang berupaya meminimalkan penggunaan input (benih, pupuk kimia, pestisida, dan bahan bakar) dari luar ekosistem, yang dalam jangka panjang dapat membahayakan kelangsungan hidup sistem pertanian
(Salikin 2003).
Menurut Reijntjes et al. (1992), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumbar daya alam. Menurut FAO (1989) seperti yang diacu dalam Salikin (2003), menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan dan konservasi sumber daya alam yang berorientasi pada perubahan teknologi dan kelembagaan yang dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Selanjutnya, Nasution (1995) mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah kegiatan pertanian yang berupaya untuk memaksimalkan manfaat sosial dari pengelolaan sumber daya biologis dengan syarat memelihara produktivitas dan efisiensi produksi komoditas pertanian, memelihara lingkungan hidup, dan produktivitas sumber daya sepenjang masa. Dari berbagai definisi di atas, pertanian berkelanjutan berkaitan dengan dimensi waktu dan kapasitas sistem usaha tani untuk mendukung kehidupan dalam jangka waktu tidak terbatas. Keadaan tersebut dapat dicapai berdasarkan dua elemen kunci, yaitu (1) penggunaan bahan kimia terutama pupuk dan 13
pestisida secara minimal, dan (2) sistem usaha tani dipandang sebagai satu kesatuan sehingga pengambilan keputusan harus memperhatikan dampak terhadap sistem yang lain (Baliwati 2001). Dengan demikian, keterkaitan antara pertanian berkelanjutan dengan ketahanan pangan dapat dilihat pada tujuan dari penerapan sistem pertanian berkelanjutan yang mengarah pada peningkatan kualitas kehidupan. Zamora (1995) merinci tujuan pertanian berkelanjutan sebagai berikut: (1) untuk mewujudkan ketahanan pangan, (2) pengembangan sumber daya manusia, (3) meningkatkan kualitas hidup, dan (4) menjaga kelestarian sumber daya alam. Untuk menilai keberlanjutan dari suatu sistem usaha tani diperlukan indikator. Indikator pertanian berkelanjutan yang dikembangakan Conway (1987) seperti yang diacu dalam Salikin (2003) meliputi produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, dan ekuitabilitas. Produktivitas sistem pertanian merupakan upaya peningkatan
produksi
per
satuan
waktu.
Stabilitas
sistem
pertanian
menggambarkan fluktuasi produksi hasil panen setiap waktu yang disebabkan oleh perubahan agroekosistem atau serangan hama dan penyakit. Sustainabilitas merupakan gambaran ketahanan sistem budi daya pertanian terhadap perubahan lingkungan atau ekonomi.
Perubahan ini dapat bersifat menekan karena
memberikan efek yang akumulatif, seperti erosi atau penurunan permintaan atas produk pertanian; atau bersifat mengejutkan karena tak terduga dan memberikan dampak
yang
sangat
berarti,
seperti
terjadinya
krisis
ekonomi
yang
mengakibatkan peningkatan harga input pertanian secara tajam. Ekuitabilitas atau kesamarataan menggambarkan bahwa produksi pertanain dapat dapat memberikan keuntungan yang merata atau sebaliknya. Ekuitabilitas usaha tani yang tinggi akan membuat sebagian besar orang orang dapat menikmati keuntungan dari produk pertanian. Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa macam model sistem. Salah satunya adalah sistem pertanian organik. Pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah (no-tillage) yang merupakan salah bentuk penerapan pertanian berkelanjutan, jika dikombinasikan dengan sistem pertanian organik akan memberikan hasil yang memuaskan. Hasil penelitian Teasdale et al (2007) yang dilakukan selama 9 tahun menunjukkan 14
bahwa produksi jagung yang diperoleh dari lahan no-tillage dengan kombinasi pertanian organik memberikan hasil 18% lebih besar daripada lahan no-tillage dengan sistem pertanian non organik. Pengertian sistem pertanian organik menurut IFOAM (2004) adalah sistem pertanian yang mengedepankan daur ulang unsur hara dan proses alami dalam pemeliharaan kesuburan tanah dan keberhasilan produksi.
Di Indonesia,
pengertian sistem pertanian organik lebih dirinci oleh Badan Standardisasi Nasional yang dituangkan dalam SNI (2002) tentang Sistem Pangan Organik, yaitu sebagai sistem pertanian yang menerapkan praktek-praktek manajemen yang bertujuan untuk memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan, dan didasarkan pada penggunaan masukan eksternal yang minimum, serta menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Kesuburan tanah dijaga dan ditingkatkan melalui suatu sistem yang mengoptimalkan aktivitas biologis tanah dan keadaan fisik dan mineral tanah yang bertujuan untuk menyediakan suplai nutrisi yang seimbang bagi kehidupan tumbuhan dan ternak serta menjaga sumberdaya tanah. Manajemen hama dan penyakit dilakukan dengan
merangsang
adanya
hubungan
seimbang
antara
inang/predator,
peningkatan populasi serangga yang menguntungkan, pengendalian biologis serta pembuangan secara mekanis hama maupun bagian tumbuhan yang terinfeksi. Lebih jauh menurut SNI (2002), sistem pertanian organik merupakan suatu sistem produksi pangan organik yang dirancang untuk: (1) mengembangkan keanekaragaman hayati dalam sistem secara keseluruhan; (2) meningkatkan aktivitas biologis tanah; (3) menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang; (4) mendaur ulang limbah yang berasal dari tumbuhan dan hewan untuk mengembalikan nutrisi ke lahan sehingga meminimalkan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui; (5) mengandalkan sumberdaya yang dapat diperbaharui
pada
sistem
pertanian
yang
dikelola
secara
lokal;
(6)
mempromosikan penggunaan tanah, air dan udara secara sehat, serta meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan oleh praktek-praktek pertanian; (7) menangani produk pertanian dengan penekanan pada cara pengolahan yang hati-hati untuk menjaga integritas organik dan mutu produk pada seluruh tahapan; dan (8) bisa diterapkan pada seluruh lahan pertanian yang ada 15
melalui suatu periode konversi, dimana lama waktunya ditentukan oleh faktor spesifik lokasi seperti sejarah lahan serta jenis tanaman dan hewan yang akan diproduksi. Menurut Andoko (2004), yang dimaksud dengan beras organik adalah beras yang berasal dari padi yang dibudidayakan secara organik; artinya padi tersebut ditumbuhkembangkan dengan mengikuti prinsip-prinsip pertanian organik. Beras organik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan beras non organik. Andoko (2004) mengungkapkan bahwa nasi dari beras organik lebih empuk dan pulen, memiliki kenampakan lebih putih, serta memiliki daya tahan hingga 24 jam sementara nasi dari beras non organik hanya 12 jam.
Dari alasan keamanan
pangan, konsumen merasa tidak terancam kesehatannya dengan memilih padi organik karena tiadanya pemakaian pestisida dalam budidayanya.
Alasan
kesehatan ini juga diungkapkan oleh Pranasari (8 Nov 2004), yang menulis bahwa pemilihan pangan organik antara lain disebabkan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan. Persepsi positif terhadap beras organik ditambah dengan masih terbatasnya pasokannya merupakan penyebab utama harga jual beras organik lebih mahal daripada beras non organik.
Dalam tulisannya Andoko (2004) menyebutkan
ketika harga beras non organik varietas pandan wangi sekitar Rp 3.300/kg, harga beras organik dapat mencapai Rp 3.600/kg untuk varietas yang sama. Selisih tersebut memang tidak banyak, namun tetap berada di atas harga beras non organik. Hal inilah yang membuat nilai ekonomis beras organik lebih tinggi dibanding beras non organik. Melihat kenyataan tersebut, wajar apabila sebagian petani bersedia beralih dari penghasil beras non organik ke organik.
Apalagi jika dilihat dari biaya
operasional pembudidayaan padi organik yang lebih rendah daripada non organik. Dengan asumsi sama-sama tidak ada gangguan alam atau serangan hama penyakit, Andoko (2004) menyebutkan untuk padi organik, petani hanya membutuhkan biaya operasional pembudidayaan sebesar Rp 3.375.000,- per ha padahal untuk padi non organik petani harus mengeluarkan uang sebesar Rp 4.677.500,- untuk luasan lahan yang sama.
Rincian biaya operasional
pembudidayaan padi organik dan non organik disajikan pada Tabel 1. 16
Pendapatan petani dari beras organik tersebut dapat lebih ditingkatkan lagi jika kondisi petani memungkinkan untuk menerapkan sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak.
Sayangnya, sistem usahatani ini
mensyaratkan kepemilikan ternak dalam jumlah yang memadai dan tersedia lahan dengan luasan yang mampu menopang sistem pertanian terpadu tersebut. Namun jika persayaratan tersebut dapat terpenuhi, maka salah satu pertimbangan dalam mengembangkan pertanian organik, yaitu memanfaatkan sumberdaya terbarukan (renewable resources) yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri, akan dapat dipenuhi (IFOAM 1990, diacu dalam Sutanto 2002). Tabel 1. Perbandingan biaya operasional per ha pembudidayaan padi organik dan non oganik (Andoko 2004) Uraian Benih Pupuk dasar Pupuk susulan: - Organik - Non organik Pestisida: - Organik - Non organik Tenaga kerja Jumlah
Biaya Budidaya (Rp) Organik 150.000 750.000
Non organik 150.000 -
200.000 -
1.532.500
50.000 2.225.000 3.375.000
750.000 2.225.000 4.677.500
Shivashankara dan Hedge (1996) dalam Sutanto (2002) mengungkapkan walaupan sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak ini memiliki karakteristik membutuhkan tenaga kerja labih banyak sepanjang tahun, namun produk pertanian yang diperoleh menjadi beragam yaitu berupa produk hewani dan nabati. Sistem usahatani ini menuntut penggantian biomassa dalam jumlah banyak melalui pengembalian sisa tanaman dan kotoran ternak ke dalam tanah, maka terjadi peningkatan proses daur ulang, kesehatan tanah diperbaiki, produksi meningkat, dan lingkup pertanian organik terpenuhi. Secara ringkas, hubungan sistem usahatani tersebut dengan karakteristiknya disajikan pada Gambar 3. 17
2.3
Land-man Ratio Land-man ratio berkaitan erat dengan pertumbuhan penduduk.
Sebagai
contoh kasus di Bangladesh seperti yang dikemukakan Spillmann dan Bachler, (2004), pertumbuhan penduduk menurunkan land-man ratio menjadi 0,117 ha pada tahun 1990 dari 0,134 ha pada tahun 1981. Selain itu, land-man ratio juga menurun sebagai akibat dari terjadinya fragmentasi kepemilikian lahan karena budaya sistem pewarisan yang memecah-mecah kepemilikan lahan. Akibatnya, kepemilikan lahan semakin mengecil sehingga tidak efektif lagi sebagai lahan pertanian (Hussain 2004).
Produksi dianekaragamkan: memanfaatkan residu dan limbah
Daur ulang ditingkatkan dan dipertahankan
Lingkup pertanian organik ditingkatkan
Produktivitas diperbaiki; kesehatan tanah lebih baik
SISTEM USAHATANI MEMADUKAN KOMPONEN TANAMAN DAN TERNAK
Menggantikan biomassa dalam jumlah banyak; sisa tanaman dan ternak didaur ulang
Diperlukan tenaga kerja lebih banyak sepanjang tahun
Gambar 3 Sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak beserta karakteristiknya (Shivashankara & Hedge 1996, diacu dalam Sutanto 2002). Menurut FAO (1994), wilayah Asia-Pasific memiliki land-man ratio terendah (0,23 ha/orang), sementara setengah penduduk dunia bermukim di sini dan menurut Pookpakdi (2002) 61%-nya adalah orang-orang yang kehidupannya 18
tergantung pada pertanian. Walaupun begitu, ternyata wilayah ini hanya memiliki 31% dari lahan pertanian di dunia. Kondisi land-man ratio rendah ini nampaknya akan terus menjadi lebih rendah, sementara jika dibandingkan dengan rata-rata land-man ratio dunia menurut laporan FAO, pada tahun 1991 adalah sebesar 1.62 ha/orang dan hasil pengolahan dari FAO (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2000 land man ratio di Indonesia sebesar 0,0969 ha/orang atau 969 m2/orang. Kondisi ini terus menurun, menurut Shahyuti (2004), land-man ratio di Indonesia pada tahun 2004 dengan jumlah penduduk diperkirakan 215 juta jiwa dan luas lahan pertanian 7,8 juta ha adalah 362 m2/orang. Angka ini jauh lebih rendah misalnya dibandingkan dengan Thailand yang mencapai 1.870 m2/orang dan Vietnam 1.300 m2/orang. Tabel 2 Land-man ratio beberapa negara di Asia tahun 1980 – 2000 Negara Banglades China Filipina India Indonesia Jepang Malaysia Myanmar Pakistan Thailand Vietnam
Land man ratio (m2/orang ) 1980 1990 1.046 835 965 1.065 1.087 897 2.365 1.923 1.199 1.112 417 386 726 952 1.357 2.362 2.473 1.848 3.565 3.217 2.124 1.767
2000 586 1.030 746 1.576 969 352 791 2.084 1.493 2.604 1.427
Sumber: Diolah dari FAO (2007)
Kondisi fisik kehidupan di pedesaan menjadi lebih buruk. Sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk, sektor pertanian menjadi sangat terbebani. Pada waktu yang bersamaan, terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan di pedesaan mengakibatkan penurunan land-man ratio di seluruh wilayah Indonesia, dan yang paling signifikan adalah yang terjadi di daerah irigasi di Jawa (Hussain 2004). Di sisi lain, petani dituntut menaikkan produktivitas. Untuk meningkatkan hasil pertanian tidak dapat dengan ekstensifikasi melainkan dengan penggunaan tekologi atau pengaturan sistem manajemen pertanian yang lebih baik. 19
Penggunaan sistem pertanian organik merupakan salah satu jalan keluar yang dapat dijadikan alternatif.
2.4
Kerangka Pemikiran Landasan berfikir penelitian ini didasarkan pada gambaran yang diberikan
UNICEF (1997) bahwa terdapat keterkaitan antara sumber daya potensial dan aktual, ketidaktahanan pangan rumah tangga, dan kurang gizi (Gambar 2). Dari Gambar 2 tersebut terlihat bahwa yang menentukan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan selanjutnya berpengaruh terhadap konsumsi pangan individu adalah ketersediaan dan produksi pangan yang merupakan cerminan dari jumlah dan kualitas sumber daya. Sumber daya yang terkait dengan pokok masalah timbulnya kurang gizi dikelompokkan sebagai sumber daya potensial dan aktual. Agar rumah tangga terhindar dari masalah akses terhadap pangan karena ketidaktersediaan pangan yang selanjutnya akan berakibat pada ketidakcukupan konsumsi pangan pada individu maka petani harus melalukan kegiatan produksi usaha tani. Mengingat sistem usaha tani konvensional yang selama ini dilakukan petani berdampak pada kemerosotan tingkat kesuburan tanah maka petani harus meningkatkan kualitas dengan memanipulasi sumber daya potensial dengan menerapkan teknologi yang memungkinkan. Dalam hal ini petani memilih sistem pertanian berkelanjutan yang salah satu model pelaksanaannya adalah sistem pertanian organik.
Dengan pertanian berkelanjutan, mutu lahan menjadi
dipertahankan pada kondisi optimal sehingga akan menjamin produktivitas dalam jangka waktu lama untuk mewujudkan ketahanan pangan. Yang termasuk dalam sumber daya aktual adalah manusia, ekonomi, dan organisasi.
Secara umum yang termasuk
sumber daya manusia adalah
keterampilan, motivasi, kemauan, pengetahuan, pengalaman, dan komitmen. Sumber daya ekonomi meliputi lahan, sumber daya alam, produksi, teknologi, pendapatan, dan kredit. Sumber daya organisasi melibatkan organisasi formal dan non formal seperti keluarga, suku, organisasi masa, LSM, dan struktur administrasi dan institusi (Yambi & Kavishe 2002). Dalam penelitian ini, sumber daya manusia dicerminkan oleh beberapa variabel, yaitu pendidikan formal dan 20
non formal, pengelolaan limbah, tujuan penerapan pertanian organik, dan pengetahuan bertani secara organik. Pendidikan non formal yang diterima kepala keluarga adalah dalam bentuk pelatihan-pelatihan terutama yang berkaitan dengan sistem pertanian organik, khususnya dalam menghasilkan beras organik. Pelatihan ini diperlukan petani dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, selain sebagai ajang bertukar informasi dan mendiskusikan permasalahan yang ditemui selama mengelola sistem pertanian organik. Dalam mengelola sistem pertanian organik, petani dituntut untuk mentaati ketentuanketentuan seperti yang dituangkan dalam SNI Sistem Pangan Organik, yaitu antara lain menggunakan sumberdaya lokal dan meminimalkan masukan eksternal. Untuk itu, petani dituntut untuk mampu mengelola sebaik mungkin sumberdaya yang mereka miliki termasuk limbah yang dihasilkan oleh aktivitasnya sehingga ia dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik. Limbah tersebut dapat berupa sisa-sisa panen tanaman, kotoran ternak, atau sampah rumah tangga. Khusus untuk sampah rumah tangga, yang diperhitungkan adalah sampah yang dapat didekomposisikan. Berkaitan dengan hal itu, peubah berikutnya yang perlu dicermati adalah pengelolaan limbah oleh petani. Dengan mengidentifikasi bentuk pengelolaan limbah yang dilakukan petani akan dapat diketahui tingkat sokongannya terhadap sistem pertanian organik yang sedang ia lakukan.
Selain itu, dalam sumberdaya manusia juga menelaah tujuan dari
penerapan pertanian organik.
Tujuan atau harapan petani ketika menerapkan
sistem pertanian organik dapat berupa pelestarian sumberdaya alam atau harapan dalam kaitannya dengan peningkatan ekonomi atau sosial. Agar petani dapat menerapkan sistem pertanian organik dengan benar maka petani harus memiliki pengetahuan yang cukup; khususnya berkenaan dengan persiapan lahan, pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan hama dan penyakit, pemakaian benih, dan penanganan pasca panen. Sumber daya ekonomi ditelaah berdasarkan variabel-variabel berikut: penguasaan lahan, modal kerja, produktivitas beras organik, dan pendapatan. Ukuran luas lahan yang dikuasai dan diusahakan untuk bertanam padi organik akan menentukan produktivitas padi organik, modal kerja merujuk pada peralatan yang dimiliki dan uang. Pendapatan rumah tangga petani selain diperoleh dari 21
produksi beras, tanaman lain, dan ternak, juga dari hasil ‘menjual jasa’ baik di bidang maupun di luar pertanian dan transfer uang yang dapat berupa kiriman uang atau bantuan dari pemerintah (misalnya, bantuan langsung tunai). Dengan pendapatan ini, petani akan memiliki kemampuan untuk mengakses pangan. Variabel yang berkaitan dengan sumber daya organisasi adalah kerjasama. Peralihan usahatani dari pertanian non organik ke organik mengharuskan rumah tangga petani belajar kepada pihak-pihak yang terlebih dahulu menguasai teknikteknik bertani organik. Rumah tangga petani harus melakukan hubungan dan kerjasama dengan organisasi sosial lainnya dalam sistem usahataninya (dalam penelitian ini terutama dengan Lembaga Pertanian Sehat).
Lembaga tersebut
memberikan transfer pengetahuan bertani organik seperti
pembuatan pupuk
organik dan pembuatan pestisida nabati termasuk penerapannya. Lembaga ini juga melakukan supervisi mulai dari masa pertumbuhan padi hingga penanganan pasca panen, dan yang terakhir adalah membeli hasil panen serta memasarkannya. Hubungan sosial tersebut selain dengan lembaga, tidak tertutup kemungkinan adanya hubungan dan kerjasama antara petani dengan pemerintah, swasta, perguruan tinggi, maupun antar petani. Kuantitas dan kualitas sumber daya akan menentukan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan yang dicerminkan oleh konsumsi pangan. Karena menurut Maxwell & Frankenberger (1992) ketahanan pangan adalah akses terhadap pangan yang cukup untuk beraktivitas dan hidup sehat bagi seluruh anggota rumah tangga maka dengan menjadikan konsumsi pangan anggota rumah tangga sebagai variabel dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketahanan pangan rumah rangga. Secara ringkas, kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar 4.
22
Status gizi
KETAHANAN PANGAN
Penyakit
Konsumsi pangan
Akses terhadap pangan
Perawatan ibu dan anak
Lingkungan dan pelayanan kesehatan
Sumber daya manusia: − Pendidikan formal dan non formal − Tujuan penerapan pertanian organik − Pengelolaan limbah − Pengetahuan bertani secara organik
Sumber daya ekonomi: − Penguasaan lahan − Modal kerja − Produktivitas beras organik − Pendapatan
Sumber daya organisasi: − Kerjasama dengan sesama petani, penyuluh pertanian, LSM, dan perguruan tinmggi
Sistem pertanian organik
Keterangan
: : Peubah yang diteliti : Peubah yang tidak diteliti : Alur hubungan antar peubah
Gambar 4 Kerangka pemikiran penelitian: Peubah dalam ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik 23