TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia (individu). Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen dasar untuk membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu 1) ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability and stability), 2) kemudahan memperoleh pangan (food accessibility), dan 3) pemanfaatan pangan (food utilization). Ketahanan pangan merupakan sistem terintegrasi, terdiri atas subsistem ketersediaan pangan, distribusi pangan, dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan individu merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut dari berbagai level (Baliwati 2007). Ketahanan pangan merupakan salah satu isu utama upaya peningkatan status gizi masyarakat yang paling erat kaitannya dengan pembangunan pertanian. Situasi produksi pangan dalam negeri serta ekspor dan impor pangan akan menentukan ketersediaan pangan yang selanjutnya akan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan tingkat wilayah. Sementara ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, akan ditentukan pula oleh daya beli masyarakat terhadap pangan (Syarief 2004). Berdasarkan
UU
No.7/1996
tentang
pangan,
dinyatakan
bahwa
ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan mencakup ketersediaan pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, peran pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat, pengembangan sumberdaya manusia dan kerjasama internasional. Ketahanan pangan terwujud apabila secara umum telah terpenuhi dua aspek sekaligus. Pertama adalah tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk seluruh penduduk. Kedua, setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi guna menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari (DKP 2006). Kondisi ketahanan pangan suatu negara yang diukur dengan berbagai indikator, akhirnya akan bermuara pada status kesehatan dan aktifitas produktif individu rakyatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu negara yang dapat
4
5
dikatakan mempunyai status ketahanan pangan yang sempurna jika masih ada bagian masyarakatnya yang tidak mampu memenuhi kebutuahn pangan dan gizi minimal yang diperlukan untuk sehat dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi. Secara relatif, tingkat ketahanan pangan suatu negara bisa ditentukan dari status gizi masyarakatnya, sehingga bisa digunakan untuk mengukur kinerja pemerintah dalam menjamin akses rakyatnya terhadap pangan. Walaupun suatu negara mamapu menjamin ketersediaan dan akses setiap warga negaranya terhadap pangan yang bermutu, aman, dan bergizi, namun bisa saja negara masih memiliki potensi kerawanan pangan, terutama dalam kaitannya dengan ketergantungan impor (Hariyadi 2009). Ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting yang dapat digunakan sebagai indikator ketahanan pangan, yaitu: 1) ketersediaan, yang artinya bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman; 2) distribusi, dimana pasokan pangan dapat menjangkau seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga; 3) konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi sesuai kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya (DKP 2006). Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem ketahanan pangan di atas. Secara umum, terdapat empat aspek ketahanan pangan, yaitu: 1) aspek ketersediaan pangan (food availability), makanan yang cukup jumlah dan mutunya, serta aman digunakan; 2) aspek stabilitas ketersediaan/pasokan (stability of supplies), stabilitas pasokan pangan setiap waktu dan lokasi; 3) aspek konsumsi (food utilization), kemampuan tubuh manusia untuk mencerna dan melakukan metabolisme terhadap makanan yang
dikonsumsi dan
kecukupan asupan (intake); dan 4) aspek keterjangkauan (access to supplies), ketersediaan makanan dan kesesuaian dengan preferensi, kebiasaan, budaya, dan kepercayaan. Keempat aspek tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya (Hariyadi 2009). Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan yang cukup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan serta turunannya, bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang berjenjang, mulai dari nasional, provinsi (regional), lokal (kabupaten/kota), dan rumah tangga/individu.
6
Ketersediaan pangan dapat diukur pada tingkat makro (nasional), meso (provinsi, kabupaten/kota) maupun tingkat mikro (rumah tangga) (Baliwati & Roosita 2004). Ketersediaan pangan di suatu wilayah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh penduduk. Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada kebutuhan penduduk. Jika keadaan ini tercapai maka ketahanan pangan (food security) akan berada pada tingkat yang aman. Ketersediaan pangan (food availibility) di suatu daerah atau wilayah ditentukan oleh berbagai faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan dan kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, dan tingkat ekspor/impor pangan (Mahfi 2009). Ketersediaan pangan didefinisikan sebagai rata-rata konsumsi energi, protein, dan zat gizi lainnya per kapita per hari, yang diperoleh dari konsumsi bahan makanan keluarga tiap harinya, baik dalam rumah maupun diluar rumah tanpa memperhitungkan makanan yang terbuang, sisa ataupun yang diberikan kepada binatang peliharaan, yang diperoleh dengan wawancara menggunakan metode pendaftaran makanan dengan kuesioner terstruktur yang memuat daftar makanan utama (Priswanti 2004). Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas, dan tersebar antar wilayah, volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu (Suryana 2001). Komponen ketersediaan pangan meliputi kemampuan produksi, cadangan, maupun impor pangan setelah dikoreksi dengan ekspor dan berbagai penggunaan seperti untuk bibit, pakan, industri makanan/non pangan, dan tercecer (Baliwati & Roosita 2004). Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah dan jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia setempat atau yang telah ditanam di daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Ketersediaan pangan suatu wilayah dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: produksi dalam negeri, impor pangan, dan pengelolaan cadang pangan. Impor pangan merupakan alternatif terakhir untuk mengisi kesenjangan antar produksi dan kebutuhan pangan dalam negeri (Baliwati 2007). Bila kebutuhan akan pangan dipenuhi dari produksi sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak begitu menentukan. Kapasitas penyediaan
7
bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan sendiri. Namun sebaiknya, jika kebutuhan pangan banyak tergantung pada apa yang dibelinya, maka penghasilan (daya beli) harus sanggup membeli bahan makanan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitas (Suhardjo 1989). Dalam penelitian Suhardjo (1989), ketersediaan Indonesia meningkat secara makro pada tahun 1993-1996 (2899 kkal menjadi 3208 kkal), namun setelah terjadi bencana kekeringan yang disusul krisis moneter, maka ketersediaan tersebut mengalami penurunan drastis. Tercatat
beberapa daerah di Indonesia
mengalami kekurangan pangan. Daerah-daerah yang rawan mengalami kekurangan pangan adalah daerah-daerah yang secara geografis terisolir atau daerah dengan potensi alam yang rendah. Sumberdaya Pangan Sumberdaya alam merupakan unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik maupun hayati, yang diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan serta untuk meningkatkan kesejahteraan. Sehingga, sumberdaya alam adalah unsur bentang alam yang memiliki komponen biotik dan abiotik yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan manusia, termasuk pangan secara lestari. Sumberdaya alam merupakan faktor produksi yang disediakan oleh alam dan bukan buatan manusia (Zonneveld 1979). Sumberdaya ekologis merupakan segala sesuatu yang terdapat pada lingkungan atau ekosistem yang dibutuhkan oleh makhluk hidup unutk dapat bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang biak secara normal. Sedangkan pangan merupakan salah satu sumberdaya ekologis. Sehingga, sumberdaya pangan merupakan kemampuan suatu ekosistem dalam suatu wilayah dalam menyediakan pangan untuk suatu daerah (Departemen Biologi ITB 2004). Menurut konsep ekologi manusia, sumberdaya pangan dijabarkan berdasarkan klasifikasi lingkungan hidup, yaitu lingkungan alam dan lingkungan sosial. Aneka sumberdaya pangan yang terdapat pada dua kategori tersebut, dibahas mengikuti pola pikir dalam sistem pangan, terutama aspek produksi dan konsumsi pangan serta sistem pertanian. Sumberdaya pangan lingkungan alam lebih
difokuskan
pada
sumberdaya
lahan,
pekarangan,
perairan,
dan
keanekaragaman hayati, termasuk pangan lokal. Sedangkan sumberdaya pangan lingkungan sosial difokuskan padan preferensi pangan dan pangan tradisional.
8
Pangan Strategis Beras. Beras telah berkembang tidak hanya sekedar menjadi komoditas penting tetapi juga strategis di Indonesia dan di negara-negara Asia pada umumnya. Di Indonesia, hanya dalam waktu beberapa dekade saja beras telah diterima sebagai pangan pokok dihampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk di daerahdaerah yang semula pangan pokok masyarakatnya bukan beras, seperti Madura (dominan jagung) atau Maluku dan Irian (dominan sagu dan umbi). Perubahan tersebut terjadi seiring dengan pembangunan pangan nasional yang dimulai sejak tahun 1960-an (Saliem et al. 2005). Beras selain sering digambarkan sebagai komoditas pangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat, beras juga merupakan komoditas politis dan strategis, mengingat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok masyarakat, tidak kurang dari 2.5 juta ton beras harus disediakan setiap bulannya (sambutan Menteri Pertanian dalam Saliem et al. 2005). Peristiwa penting terkait dengan stabilitas harga beras sebagai pangan pokok pada periode sebelum era 1970-an adalah pergantian rezim pemerintah dari Orde Lama ke Orde Baru yang dikomando oleh Letjen Soeharto pada tahun 1966. Inflasi tidak terkendali yang berdampak pada kenaikan harga pangan semasa rezim Orde Lama memicu demonstrasi besar-besaran yang dikenal dengan peristiwa Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Salah satu dari tiga tuntutan tersebut adalah penurunan harga pangan pokok (beras) (Saliem et al. 2005). Kebijakan harga dasar ditetapkan melalui Instruksi Presiden dan dieveluasi setiap tahun. Meskipun tingkat harga telah mengalami penyesuaian tetapi kebijakan harga dasar tersebut belum dapat berfungsi efektif penuh. Hampir pada setiap musim panen raya terjadi insiden pembelian gabah petani dibawah harga dasar. Terlebih setelah terjadi krisis ekonomi tahun 1997 dan dengan dibukanya pintu impor beras bagi swasta dan dihapuskannya Kredit Likuiditas bank Indonesia atas desakan Internasional Monetery Fund (IMF) pada tahun 1998 (Saliem et al. 2005). Krisis ekonomi telah membuat harga beras di dalam negeri meningkat menjadi lebih tinggi dibandingkan harga paritas impor seiring dengan terjadinya penjarahan dan panic buying yang membuat meningkatnya aliran beras impor. Kondisi menjadi semakin parah karena pemberlakuan tarif impor yang membuat nilai Net Protectioan Rate (NPR) menjadi negatif ternyata tidak membuat berhentinya arus impor beras. Hingga kini faktor spekulasi yang besar terhadap
9
kebutuhan beras di dalam negeri diduga telah membuat pedagang tidak pernah berhenti untuk memasukkan beras impor, termasuk impor illegal melalui selundupan maupun manipulasi dokumen. Selain liberalisasi pasar domestik, tidak efektifnya harga dasar gabah juga dipengaruhi berbagai faktor lain seperti: terbatasnya dana pemerintah untuk menyerap kelebihan produksi saat panen raya, hilangnya captive market Bulog, adanya moral hazard, dan relatif tingginya harga dasar dibanding harga dunia. (Saliem et al. 2005). Jagung. Komoditas jagung dapat memiliki peranan yang ganda, tidak hanya sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga sebagai bahan baku industri (Pasandaran & Kasryno 2005). Jagung dapat berfungsi seperti beras bila dinilai dari kandungan gizinya. Kandungan energi antara beras dan jagung relatif sama dalam setiap seratus gramnya, bahkan protein jagung lebih tinggi daripada beras (Ariani & Pasandaran 2005). Jagung juga merupakan bahan baku utama pakan unggas (sekitar 50% dari ransum), sehingga harga jagung akan sangat berpengaruh pada harga daging unggas (Tangendjaya, Yusdja & Ilham 2005). Ketergantungan impor yang cukup tinggi menyebabkan jagung rentan dengan gejolak pasar luar negeri (Syafa’at et al. 2003). Tepung terigu. Bahan baku utama untuk industri tepung terigu adalah gandum. Dengan melalui proses pengolahan, biji gandum ini menghasilkan tepung terigu. Konversi gandum terhadap tepung terigu setiap pabrik berbeda. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kualitas gandum dan efisiensi mesin pengolah (Afriani 2002). Berdasarkan konversi dari Depperindag tahun 1998, maka kebutuhan gandum untuk tepung terigu terus meningkat setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan sekitar 8,2% setiap tahunnya. Peningkatan kebutuhan gandum ini juga diikuti dengan produksi tepung terigu. Kebutuhan gandum untuk pembuatan tepung terigu terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan industri tepung terigu. Besarnya kebutuhan gandum juga tercermin dari perkembangan impornya. Impor tepung terigu di Indonesia sangat berfluktuatif dan memiliki kecenderungan semakin menurun setiap tahunnya. Ini berarti meskipun tepung terigu sudah diproduksi di dalam negeri dalam jumlah besar, tetapi Indonesia masih melakukan impor. Sampai dengan tahun 1998, besarnya impor tersebut sangat kecil dibandingkan dengan produksi di dalam negeri (Afriani 2002). Pengadaan bahan baku industri tepung terigu berupa gandum seluruhnya diperoleh dari impor. Sampai periode tahun 1997, pembelian impor gandum
10
dilakukan oleh Bulog dan masih disubsidi, sehingga hasil pengolahan biji gandum menjadi tepung terigu kembali diserahkan kepada Bulog. Tetapi sejak dikeluarkannya surat keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 21/MPP/Kep/1/1998, maka pengadaan dan penyaluran tepung terigu di dalam negeri dilakukan secara bebas tanpa campur tangan pemerintah (Afriani 2002). Kedelai. Kedelai merupakan komoditas pangan terpenting ketiga setelah beras dan jagung. Kedelai adalah tanaman yang kaya protein, sehingga mempunyai peranan sangat penting dalam industri pangan dan pakan. Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena harganya yang relatif terjangkau (Balitbangtan 2005). Ratarata konsumsi kedelai nasional mencapai 1803 juta ton per tahun, tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri sehingga 60% ketersediaan harus dipenuhi dari impor (Anonim 2008 dalam Mauludyani 2008). Ubi kayu. Ubi kayu adalah tanaman umbi-umbian daerah tropik dan merupakan sumber kalori pangan yang paling murah di dunia. Ubi kayu dikonsumsi sebagai makanan pokok oleh sekitar 400 juta orang di daerah tropik yang lembab di Afrika, Asia, dan Amerika. Ubi kayu berbeda denga bahan-bahan pangan pokok lainnya, sangat mudah busuk dan harus dikonsumsi secara cepat atau diubah menjadi produk yang dapat disimpan. Ubi kayu mulai rusak segera setelah dipanen dan sama sekali membusuk dalam dua atau tiga hari, kecuali jika disimpan dalam gudang pendingin. Keanekaragaman internasional dalam peranan yang dimainkan ubi kayu dalam sistem komoditi, berasal dari pengadaan manfaat akhir ubi kayu. Ubi kayu di Indonesia dimanfaatkan sebagai makanan segar maupun kering, makanan ternak dan aci sebagai makanan dan keperluan industri (Pearson et al. 1986). Ubi kayu dan ubi jalar merupakan komoditas penting dalam program penganekaragaman (diversifikasi) pangan pokok. Program ini mendorong konsumsi umbi-umbian, khususnya ubi kayu dan ubi jalar serta produk olahannya, sebagai substitusi sebagian dari beras dan tepung terigu (Syafa’at et al. 2003). Gula. Gula pasir merupakan suatu komoditi strategis yang memeliki kedudukan unik yang berbeda dengan komoditi strategis lainnya seperti beras. Gula pasir merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok yang dikonsumsi masyarakat secara luas, namun gula pasir juga termasuk dalam jenis komoditi yang masih terkena cukai (Amang 1993). Gula pasir merupakan pangan yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan makanan dan minuman. Hampir
11
semua masyarakat mengkonsumsi gula, terutama gula pasir. Pada tahun 2002, tingkat konsumsinya mencapai 9,18 kg/kap/th (Ariani 2003). Walaupun kebutuhan gula tidak sebesar pangan lainnya, seperti beras, namun karena proporsi rumah tangga yang mengkonsumsinya sangat tinggi, gula termasuk komoditas strategis. Ketergantungan impor yang tinggi (42,05%) menyebabkan gula rawan terhadap gejolak pasar internasional, sehingga membutuhkan campur tangan pemerintah berupa penetapan harga dasar, izin impor, dan penerapan bea masuk impor (Pakpahan 2003). Kebijaksanaan pemasaran gula pasir yang dilakukan pemerintah pada prinsipnya mempunyai tujuan untuk menjamin tersedianya gula yang continue kapan saja dan dimana saja serta berupaya mengemat penggunaan devisa (Amang 1993). Daging sapi. Daging sapi termasuk salah satu jenis pangan yang perlu mendapat perhatian dalam hal penyediaannya. Konsumen daging sapi adalah masyarakat berpendapatan menengah keatas dan para wisatawan atau pekerja asing. Walaupun rata-rata impor daging sapi masih rendah, namun dalam dasawarsa terakhir terdapat kecenderungan peningkatan nilai impor daging sapi dan sapi hidup. Hal ini disebabkan produksi dalam negeri baru dapat memenuhi sekitar 70% dari kebutuhan domestik (Balitbangtan 2005). Kecukupan Pangan Kecukupan pangan manusia dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, kecukupan pangan umumnya dilihat dari kandungan energi pangan,
sedangkan
secara
kualitatif
dapat
diperkirakan
dari
besarnya
sumbangan protein terhadap nilai energi yang disebut sebagai Rasio ProteinEnegi (R-PE). Jadi dengan demikian, jika kecukupan akan energi dan protein terpenuhi, maka kecukupan zat-zat gizi lainnya pada umumnya sudah terpenuhi atau sekurang-kurangnya tidak terlalu sukar untuk memenuhinya (Khumaidi 1989). Penilaian situasi pangan dan gizi secara nasional maupun regional adalah suatu langkah awal dari proses perencanaan pangan dan gizi, dimana nantinya dapat dirumuskan langkah untuk menetapkan sasaran dan tujuan dari program, dan selanjutnya disusun strategi pelaksanaan program. Kemudian ditetapkan langkah-langkah pelaksanaan dari program pangan dan gizi baik secara nasional maupun regional (Manggabarani 1995). Menurut Wardoyo 1984 dalam Manggabarani 1995, peningkatan jumlah penduduk menuntut penyediaan pangan yang cukup bagi penduduk untuk
12
dikonsumsi, meskipun tidak selalu ada hubungan antara peningkatan produksi pangan dengan konsumsi pangan, namun menurut Soekirman 1977 dalam Manggabarani 1995, dikemukakan bahwa tidak dapat disangkal peningkatan produksi tersebut akan meningkatkan pula penyediaan energi dan protein penduduk per kapita. Aspek kecukupan pangan menjadi basis kriteria untuk menentukan status ketahanan pangan. Hal ini karena pangan adalah kebutuhan pokok bagi manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Pada mulanya kecukupan pangan hanya dinilai menurut fisik kuantitas sesuai kebutuhan untuk beraktifitas dalam kehidupan
sehari-hari
secara
sehat.
Namun
demikian,
seiring
dengan
perkembangan analisis, kriteria kecukupan kemudian juga mencakup kualitas pangan sesuai kebutuhan tubuh manusia (Saliem et al. 2005). Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah banyaknya asupan (intake) energi dari makananan bagi seseorang yang seimbang dengan pengeluarannya (expenditure) sesuai dengan susunan dan ukuran tubuh, tingkat kegiatan jasmani dalam keadaan sehat dan mampu melakukan tugas-tugas kehidupan secara ekonomi dalam jangka waktu yang lama. Angka Kecukupan Protein (AKP) adalah asupan protein makanan paling sedikit seimbang dengan hilangnnya nitrogen yang dikeluarkan oleh tubuh dalam keseimbangan energi pada tingkat kegiatan jasmani yang dilakukan (Khumaidi 1989). Kebijakan Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai suatu tujuan. Kebijakan muncul karena terjadi silang pendapat diantara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh atau bahkan pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri (Wahab 2004). Kebijakan adalah suatu peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk
dilaksanakan
guna
mempengaruhi
suatu
keadaan,
misalnya
mempengaruhi pertumbuhan, baik besaran maupun arahnya pada masyarakat umum. Kebijakan berguna sebagai alat pemerintah untuk campur tangan dalam mempengaruhi
perubahan
secara
sektoral
dalam
masyarakat
termasuk
didalamnya kebijakan pada sektor pertanian (Pratiwi 2008). Bentuk-bentuk kebijakan publik yakni: 1) kebijakan publik yang bersifat makro (umum, mendasar) yaitu peraturan perundang-undangan, antara lain UUD
13
1945,
Undang-undang/Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-udang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah; 2) kebijakan publik yang bersifat meso (menengah, penjelas pelaksanaan) yaitu berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, serta Peraturan Walikota serta dapat pula berbetuk Surat keputusan Bersama (SKB) antar Menteri, Gubernur, Bupati, dan Walikota; 3) kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya. Bentuknya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati, dan Walikota (Dwidjowijoto 2006). Kebijakan ekspor didasarkan pada Program Perencanaan Nasional (Propenas) dan Rencana Jangka Panjang dan Menengah (RJPM) yang pelaksanaannya dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri. Kebijakan ekspor disusun dalam rangka reformasi ekonomi nasional, untuk meningkatkan daya saing, menjamin kepastiaan dan kesinambungan bahan baku industri di dalam negeri, mendukung tetap terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam serta pelaksanaan perjanjian internasional (Depkominfo 2006). Tujuan dari kebijakan impor ialah menekan jumlah dan mengurangi tingkat ketergantungan impor Indonesia. Impor dapat menjadi solusi yang tepat untuk menjaga ketahanan pangan jika dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan jumlah yang tepat. Sehingga impor tidak berakibat menekan harga domestik. Contohnya, selama ini yang terjadi justru harga beras impor beras yang mendikte harga beras dalam negeri (Pratiwi 2008). Kebijakan impor merupakan bagian dari kebijakan perdagangan yang memagari kepentingan nasional dari berbagai pengaruh masuknya barangbarang impor negara lain. Dalam rangka memberikan kepastian usaha kepada investasi PMA/PMDN dan industri di dalam negeri, pemerintah telah melakukan langkah
kebijakan
deregulasi
(mengatur/menyusun
ulang),
diantaranya
Keputusan menteri Keuangan No. 378/KMK.01/1996 (Depkominfo 2006). Kebijakan pangan adalah suatu pernyataan tentang kerangka pikir dan arahan yang digunakan untuk menyusun program pangan guna mencapai situasi pangan dan gizi yang lebih baik (Hardinsyah&Ariani M, 2000 dalam Adicita 2008).
Kebijakan
ketahanan
pangan
adalah
kebijakan
yang
bersifat
menyelaraskan kegiatan-kegiatan yang menunjang ketersediaan, distribusi, dan
14
konsumsi pangan, agar setiap individu dapat mengakses pangan dan mengelola konsumsinya
untuk
memenuhi
kecukupan
gizi.
Dalam
hal
subsistem
ketersediaan pangan, kebijakan yang perlu dilakukan adalah menyelaraskan antara produksi, ekspor, impor, dan konsumsi sehingga terjadi keseimbangan sesuai dengan kebutuhannya pada wilayah yang bersangkutan, dan antar wilayah dari waktu ke waktu pada tingkat harga yang proporsional (Sukari 2009). Ketahanan pangan selalu dikaitkan dengan stabilitas harga pangan khususnya beras, atau bahan pangan pokok utama suatu Negara. Dalam kaitan ini, ketahanan pangan sinonim dengan stabilitas harga, oleh karenanya pandangan
tersebut
menggunakan
pendekatan
stabilitas
pangan
untuk
ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang berkelanjutan perlu dibangun dengan memperhatikan tiga aspek yaitu: 1) prinsip utama program ketahanan pangan harus didasarkan bahwa pangan merupakan hak asasi dan kebutuhan mendasar bagi manusia; 2) ketahanan pangan harus diperlakukan sebagai suatu sistem hierarki, mulai dari tingkat global sampai ketahanan pangan tingkat rumah tangga/individu; serta 3) perlunya peranan strategis dari pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab, pressure group dan adanya kebebasan pers (Simatupang 1999 dalam Sofiati 2009). Konferensi Dewan Ketahanan Pangan (DKP) sebagai lembaga koordinatif telah merumuskan tujuh fokus masalah strategis menyangkut ketahanan pangan nasional. Pertama, ketersediaan pangan pokok yang harus dapat mengejar laju konsumsi akibat masih tingginya laju pertambahan penduduk. Kedua, lambatnya penganekaragaman pangan menuju gizi seimbang. Ketiga, masalah keamanan pangan. Keempat, kerawanan pangan dan gizi buruk yang sangat berkaitan erat dengan kemiskinan. Kelima, masalah alih fungsi lahan pertanian dan konservasi lahan dan air. Keenam, pengembangan infrastruktur pedesaan. Ketujuh, belum berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan baik struktural maupun kelembagaan ketahanan pangan masyarakat (DKP 2006). Untuk mengatasi masalah ketahanan pangan sangat diperlukan kebijakan dan
langkah
operasional
terpadu
lintas
sektoral
dan
bahkan
dengan
menyertakan seluruh komponen masyarakat guna mengatasi rawan pangan, gizi buruk, dan kemiskinan. Instansi terkait harus mengarahkan kebijakannya menuju sistem ketahanan pangan yang handal. Sistem ketahanan pangan dan gizi yang handal merupakan salah satu model global dalam melaksanakan Millenium Development Goals (MDGs) (Nainggolan 2008).