4
TINJAUAN PUSTAKA Petani Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk di gunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Mereka juga dapat menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti serealia untuk minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau flax untuk penenunan dan pembuatanpakaian (Anonim 2009). Kurtz dalam sajogyo (2002) dalam Kartika (2005) mendefinisikan petani sebagai pengolah tanah di pedesaan. Di Indonesia, kelompok masyarakat ini adalah salah satu kelompok masyarakat yang rata-rata berada dibawah garis kemiskinan. Dengan luasan lahan dan pendapatan rata-rata yang relatif kecil dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Penguasaan lahan pertanian didefinisikan oleh BPS (1996) sebagai lahan milik sendiri ditambah lahan yang berasal dari pihak lain, dikurangi lahan yang berada di pihak lain yang pernah dan sedang diusahakan untuk pertanian selama setahun terakhir. Rumahtangga Petani Rumahtangga petani adalah rumahtangga yang salah satu anggotanya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan, nelayan, melakukan perburuan, atau penagkapan satwa liar atau beternak atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual atau memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri (BPS 1996 dalam Kartika 2005). Ketahanan Pangan dan Pertanian Menurut Soetrisno (2002), pada era globalisasi ini merupakan abad yang tidak akan memberikan banyak harapan bagi para petani di Negara-negara berkembang, termasuk petani-petani Indonesia yang kebanyakan adalah petani subsisten. Salah satu masalah yang sangat penting yang akan dihadapi oleh para petani di negara-negara berkembang adalah bagaimana mempertahankan kemampuan mereka untuk menjamin ketahanan pangan bagi mereka sendiri dan bangsa mereka. Jika para petani tidak mampu mempertahankan ketahanan pangan, berarti negara harus menggantungkan kebutuhan pangan pada
5
perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam sektor produksi pangan. Berdasarkan data BPS mengenai sumber penghasilan utama dari rumah tangga menurut kategori miskin dan tidak miskin adalah yang memiliki matapencaharian di sektor pertanian. Sebagian besar rumah tangga miskin mempunyai pekerjaan utama sebagai petani atau buruh tani, sedangkan sumber penghasilan rumah tangga tidak miskin dari sektor jasa (Tambunan
2003).
Dengan demikian ketahanan pangan petani masih belum dapat terwujud karena mereka masih berada pada lingkaran kemiskinan. Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Makna yang terkandung dalam ketahanan pangan mencakup dimensi fisik (ketersediaan), ekonomi (daya beli), gizi (pemenuhan kebutuhan gizi individu), nilai budaya dan religius, keamanan pangan (kesehatan), dan waktu (tersedia secara berkesinambungan) (Martianto & Hardinsyah 2001). Maxwell 1990, diacu dalam Manesa 2009, menyatakan bahwa ketahanan pangan secara mendasar didefinisikan sebagai akses semua orang pada setiap waktu terhadap kebutuhan pangan agar dapat hidup sehat. Dari berbagai konsep ketahanan pangan tersebut dapat diartikan bahwa ketahanan pangan rumahtangga disamping faktor ketersediaan dan daya beli juga ditentukan oleh faktor akses pangan itu sendiri baik diperoleh secara langsung maupun melalui jaringan lainnya. Menurut Tim Penelitian-LIPI (2004), berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan ketersediaan pangan; 2) stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun;
3)
aksesibilitas/keterjangkauan
terhadap
pangan
serta
4)
kualitas/keamanan pangan. Keempat komponen tersebut dapat digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan sendiri menurut UU no. 7 tahun 1996 mengenai pangan, merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau.
6
Sistem ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi empat subsistem, yaitu: (1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (2) distribusi pangan yang lancar dan merata, (3) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak pada (4) status gizi masyarakat (Gambar 1). Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin (RAN PG 2006-2010).
Gambar 1 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi (RAN PG 2006-2011)
Suryana (2003) menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi pangan yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergis dan interaksi dari ketiga subsistem tersebut. Ketiga subsistem tersebut merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam, kelembagaan, budaya dan teknologi. Proses pembangunan ketahanan pangan akan berjalan dengan efisien apabila ada partisipasi masyarakat dan fasilitasi
7
pemerintah (DBKP 2001). Ketahanan pangan sebagai suatu sistem dapat dilihat pada Gambar 2.
Partisipasi Masyarakat: -Produsen pertanian -Industri pengolahan -Pedagang -Jasa pelayanan
Ketersedia an: Input: SDA, kelembagaan , budaya dan teknologi
Mencakup produksi, cadangan dan impor
Distribusi:
Konsumsi:
Akses fisik dan ekonomi antar wilayah
Mencakup kecukupan, keragaman, mutu gizi, keamanan
Output: pemenuhan HAM, pengembang an SDM
Partisipasi Pemerintah: -kebijakan ekonomi makro -kebijakan perdagangan dalam negeri dan internasional -pelayanan/fasilitas
Gambar 2 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan (Suryana 2003)
Ketahanan pangan rumahtangga Menurut Internasional Congres of Nutrition (ICN) di Roma tahun 1992, ketahanan pangan rumahtangga adalah kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Definisi tersebut diperluas dengan menambahkan persyaratan “harus diterima oleh budaya setempat”, hal ini disampaikan dalam sidang Committee on World Food Security tahun 1995 (Adi 1998). Terdapat empat cara yang dapat dilakukan untuk mengukur ketahanan pangan rumahtangga yaitu berdasarkan asupan individual (melalui
8
recall 24 jam), household caloric acquisition, keragaman asupan harian, dan melalui food coping strategy (Hoddinott 1999). Terdapat dua tipe ketidaktahanan pangan dalam rumahtangga yaitu kronis dan transitory. Ketidaktahanan pangan kronis sifatnya menetap, merupakan ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan biasanya kondisi ini diakibatkan oleh kemiskinan. Ketidaktahanan pangan transitory adalah penurunan akses terhadap pangan yang sifatnya sementara, biasanya disebabkan oleh bencana alam yang berakibat pada ketidakstabilan harga pangan, produksi, dan pendapatan (Setiawan 2004 dalam Kartika 2005). Selain konsumsi pangan, informasi mengenai status ekonomi, sosial dan demografi
seperti
pendapatan,
pendidikan,
struktur
anggota
keluarga,
pengeluaran pangan dan sebagainya dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap ketidaktahanan pangan rumahtangga (Khomsan 2002b). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suandi (2007), ketahanan pangan rumahtangga sangat dipengaruhi oleh modal sosial yang ada di masyarakat yakni terkait dengan interaksi sosial yang dilakukan oleh anggota keluarga. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat intensitas anggota rumahtangga dalam berinteraksi sosial maka ketahanann rumahtangga semakin kuat. Hal ini karena modal sosial terkait dengan akses sosial pangan. Pengukuran Ketahanan Pangan Pengukuran ketahanan pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003) dalam Tanziha (2005) dapat diukur melalui tingkat ketidakcukupan energi yang menunjukkan keparahan defisit energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori pada seseorang individu dibawah energi yang dianjurkan (<70%). Berdasarkan ukuran tersebut, akan dikatakan kelaparan apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan disertai dengan penurunan berat badan, dikatakan rawan pangan tingkat berat apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan tidak disertai penurunan berat badan, bila tingkat kecukupan energinya 70-80% maka dikatakan rawan pangan sedang, bils tingkat kecukupan energi 81 – 90% maka dikatakan rawan pangan ringan, dan bila tingkat kecukupan energi lebih dari 90% maka dikatakan tahan pangan. Kemiskinan identik dengan ketidaktahanan pangan. Sajogyo secara monumental merumuskan batas kemiskinan dengan pengeluaran setara beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan 480 kg diperkotaan. khomsan (1997) dalam
9
Khomsan (2002c) mengkaji indikator kemiskinan, ditemukan bahwa konsumsi daging sapi <4 kali sebulan dan konsumsi telur <4 kali seminggu dapat dimasukkan dalam kategori miskin. Dengan ikan asin sebagai indikator, seseorang dikatakan miskin bila konsumsinya >= 110gr/kapita/minggu. Semakin banyak mengkonsumsi ikan asin semakin besar peluangnya untuk masuk ke dalam kategori sebagai orang miskin. Rupanya secara sosial ikan asin dianggap oleh masyarakat sebagai komoditas inferior. Padahal dari segi gizi, ikan asin sebenarnya superior karena kandungan proteinnya sekitar 35-40%. Pengukuran kelaparan Kelaparan dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Smith (2003) mengemukakan metode dan ukuran untuk menilai kekurangan pangan pada tingkat rumahtangga maupun individu, melalui 4 jenis keadaan, yang dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan tersebut adalah: 1) ketidakcukupan energi rumahtangga, 2) tingkat ketidakcukupan energi, 3) keanekaragaman makanan (dietary diversity), dan 4) persen pengeluaran untuk makanan (% food expenditure). FAO (2002) memakai 4 jenis kondisi yang hampir sama untuk menilai kelaparan baik pada tingkat rumahtangga maupun individu yaitu; 1) Ketersediaan pangan (Dietary Energy Supply), 2) Konsumsi Energi, 3) Status Gizi Secara anthropometri dan 4) Persen pengeluaran untuk makanan (% Food Expenditure). Di Indonesia, melalui lokakarya Perumusan Indikator Kelaparan pada bulan November 2002 dan telah disempurnakan melalui penelitian uji coba instrument kelaparan tersebut pada tahun 2004, maka disepakati ada 10 pertanyaan yang mencerminkan perubahan jumlah dan frekuensi makan serta perubahan berat badan yang diteliti selama 2 bulan terakhir. Adapun pertanyaannnya adalah: 1. Dalam setahun terakhir, berapa kali sehari biasanya saudara makan?..... kali 2. Dalam dua bulan terakhir berapa kali sehari biasanya saudara makan? ..... kali 3. Bila berkurangmenurun (Isian R.2 < R.1), mengapa? 1. Sakit/ Nafsu makan berkurang
2. Diet
3. Tidak sempat/sibuk
4. Puasa
5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang
6. Jatah berkurang
7. Lainnya
10
4. Dalam dua bulan terakhir, apakah jumlah/porsi makan semakin berkurang dibanding biasanya? 1. Ya 2. Tidak ( Bila R.4 =2, Langsung ke R.6 5. Bila “ya” mengapa? 1. Sakit/ Nafsu makan berkurang
2. Diet
3. Tidak sempat/sibuk
4. Puasa
5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang
6. Jatah berkurang
7. Lainnya 6. Dalam dua bulan terakhir, apakah berat badan saudara semakin berkurang/kurus (pakaian/celana semakin longgar)? 1. Ya
2. Tidak
7. Bila “ya” (R.6=1), mengapa? 1. Sakit/ Nafsu makan berkurang
2. Diet
3. Tidak sempat/sibuk
4. Puasa
5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang
6. Jatah berkurang
7. Lainnya 8. Menurut anda ukuran tubuh responden yang diamati tergolon 1. Gemuk 2. Normal (biasa) 3. Kurus/ kurang gizi 9. Jika tergolong kurus, tanyakan sejak berapa lama mempunyai ukuran tubuh sedemikian? ....... bulan 10. Jika tergolong kurus, tanyakan kepada responden kemungkinan penyebab utamanya. 1) Sakit kronis 2) Kurang makan/tidakmampu beli makanan 3) Lainnya (...................) Berdasarkan pertanyaan diatas, seorang individu dikatakan lapar apabila terjadi penurunan frekuensi atau penurunan porsi disertai penurunan berat badan. Dikatakan rawan pangan apabila hanya terjadi penurunan frekuensi atau porsi makan, serta dikatakan Tahan pangan apabila tidak terjadi penurunan baik frekuensi maupun porsi konsumsi, karena alasan ekonomi atau ketersediaan.
11
Karakteristik Rumahtangga serta Hubungannnya dengan Ketahanan Pangan Ukuran rumahtangga Ukuran rumahtangga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan. Rumahtangga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumahtangga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagian dari anggota rumahtangga itu (Martianto & Ariani 2004). Dalam penelitian Prabawa (1998) diungkapkan bahwa setinggi apapun tingkat pendapatan yang diperoleh seorang kepala rumahtangga dalam rumahtangganya, pada akhirnya kesejahteraan mereka akan ditentukan oleh pendapatan per kapita. Besarnya pendapatan per kapita selain ditentukan oleh total pendapatan yang diterima, juga oleh seluruh anggota rumahtangga yang bersangkutan. Tidak semua anggota rumahtangga dalam rumahtangga bekerja produktif sehingga dapat memperbesar beban ketergantungan. Banyaknya jumlah anggota rumahtangga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per kapita dan besarnya konsumsi keluarga. Selain itu, Hartog, Staveren, dan Brouwer
(1995)
juga
menyatakan
bahwa
besar
rumahtangga
akan
mempengaruhi kebiasaan makan dan gizi, khususnya pada rumah tangga miskin yang bergantung pada pendapatan tunai untuk membeli bahan pangan. Oleh karena itu jumlah anggota rumahtangga atau ukuran rumahtangga akan memberi dorongan bagi rumahtangga bersangkutan untuk lebih banyak menggali sumber pendapatan lainnya. Pendidikan Hasil
penelitian
Megawangi
(1994)
membuktikan
bahwa
tingkat
pendapatan dan pendidikan suami berhubungan nyata dan positif terhadap kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Dengan demikian, rumahtangga yang dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rumahtangga yang dikepalai oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Pengeluaran Rumahtangga Pengeluaran rumahtangga dibagi menjadi dua, yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran nonpangan. Kartika (2005) mendefinisikan pengeluaran pangan adalah jumlah uang yang akan dibelanjakan untuk konsumsi pangan, sedangkan
12
pengeluaran nonpangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk keperluan selain pangan seperti pendidikan, listrik, air, komunikasi, transportasi, tabungan, biaya produksi pertanian dan kebutuhan nonpangan lainnya. Menurut Tanziha (1992) dalam Kartika (2005) bahwa secara naluri individu, seseorang akan terlebih dahulu memanfaatkan setiap penghasilan bagi kebutuhan dasarnya berupa pangan. Jika kebutuhan dasarnya tersebut telah terpenuhi, maka tiap kelebihan penghasilannya dialokasikan untuk nonpangan. Menurut Azwar (2004) dalam Kartika (2005), proporsi pengeluaran pangan
dapat
digunakan
sebagai
indikator
untuk
menentukan
tingkat
pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan. Semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan berarti tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga semakin rendah. Berdasarkan hasil penelitian Hildawati (2008) pada kelompok nelayan, pengeluaran rumahtangga per kapita per bulan mempengaruhi tingkat konsumsi energi dan protein rumahtangga nelayan. Rumahtangga yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan lebih tinggi mempunyai peluang 6,1 kali lebih tinggi tingkat konsumsi energinya dan 8,3 kali lebih tinggi tingkat konsumsi proteinnya dibandingkan dengan rumahtangga yang tingkat pengeluaran per kapita per bulannya lebih rendah. Pengambilan Keputusan Rumahtangga Pengambilan keputusan adalah suatu proses menetapkan suatu keputusan yang terbaik, logis, rasional, dan ideal, berdasarkan fakta, data, dan informasi dari sejumlah alternatif untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dengan resiko terkecil, efektif, dan efisien, yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang (Guhardja, dkk 1992). Hasil penelitian Blood dan Wolfe (1960) diacu dalam Puspa (2007) menyatakan bahwa suami atau istri yang pendidikan formalnya lebih tinggi akan mendominasi pengambilan keputusan. Namun menurut Sajogyo (1983), pendidikan bukan merupakan satu-satunya sumberdaya pribadi yang paling berpengaruh pada kekuasaan. Dikatakan bahwa istri yang mengenyam pendidikan formal lebih rendah dari suami, tetapi mempunyai pengalaman yang dapat memperkaya pribadinya, mempunyai kekuasaan yang setara dengan suami, dan bila perlu istri tersebut mampu untuk mengambil keputusan tertentu. Melalui pengalaman (terutama yang diperoleh dari luar rumah) istri akan berinteraksi dengan nilai-nilai baru yang pada akhirnya akan menambah
13
pengetahuannya. Istri yang pendidikannya rendah dan tidak mempunyai sumberdaya
pribadi
lain
(selain
pendidikan)
maka
kekuasaan
dalam
rumahtangga biasanya akan didominasi oleh suaminya. Goode (1996) diacu dalam Puspa (2007) menyatakan bahwa keadaan atau kondisi di luar diri pribadilah yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam rumahtangga. Dikatakan faktor-faktor yang mempengaruhi peranan wanita dalam proses pengambilan keputusan di rumahtangga dan masyarakat adalah perkawinan dan pewarisan. Pada umumnya peranan wanita yang normal adalah sebagai “istri” dan lebih lanjut biasanya seorang istri lebih muda dan lebih rendah pendidikannya daripada suami. Dengan demikian karena suami dianggap lebih tua, secara tidak langsung mempengaruhi istri pada proses pengambilan keputusan. Menurut
Sajogyo
(1983)
tingkat keputusan
dihubungkan
dengan
pengeluaran dalam kebutuhan pokok yang terdiri dari: (1) makanan (biaya hidup, jenis atau menu makanan, distribusi), (2) perumahan (pembelian dan perbaikan), pakaian, pendidikan, kesehatan, dan perabot rumahtangga. Sedangkan untuk jenis keputusan rumahtangga, dikelompokkan dalam lima tingkatan yaitu: (1) keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari istri, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri (dengan tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar), (4) keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari suami, (5) keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan istri. Pola pengambilan keputusan untuk urusan rumahtangga dan urusan luar rumahtangga lebih sering ditentukan dalam musyawarah bersama antar suamiistri. Peranan istri dalam menentukan keputusan urusan rumahtangga lebih besar dibandingkan dengan urusan untuk luar rumahtangga (Riyadi
1993).
Analisis pengambilan keputusan berarti pengambilan keputusan wanita dalam hubungannya dengan pria bukan hanya sekedar berdasar biologis saja, tetapi juga secara budaya, sosial, atau politik, sesuai sistem sosial wanita berada. Pada aspek lain, wanita pada umumnya mendominasi pengambilan keputusan dalam bidang pengeluran untuk kebutuhan rumahtangga, dan pria dalam pengeluaran produksi, sedangkan untuk bidang pembentukan rumahtangga dan sosial pengambilan keputusan umumnya secara bersama-sama (Wasito 1999).
14
Akses Pangan Konsep mengenai akses didefinisikan sebagai bentuk pertanyaan apakah individu, rumah tangga, atau negara mampu memperoleh pangan yang cukup. Kemampuan rumah tangga ditentukan oleh daya dukung sumberdaya yang dimilikinya baik melalui produksi dan perdagangan pangan maupun komoditi yang dapat dipertukarkan dengan pangan. Apabila kemampuan ini tidak dimiliki maka akan mengalami kelaparan. Dalam sistem ekonomi pasar, hubungan kemampuan seseorang ditentukan oleh apa yang mereka miliki, apa yang dapat dijual, dan apa yang mereka warisi atau pemberian (Amartya sen 1981 dalam Maxwell & Frankenberg
1992). Akses pangan tingkat rumah tangga adalah
kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup secara terus menerus melalui berbagai cara, seperti produksi pangan rumah tangga, persediaan pangan rumah tangga, jual-beli, tukar-menukar/barter, pinjammeminjam, dan pemberian atau bantuan pangan (World food Programme 2005 dalam Hildawati 2008). Akses pangan meliputi akses fisik dan akses ekonomi serta akses sosial. Keterjaminan akses sepanjang waktu terhadap pangan yang cukup merupakan inti dari definisi ketahanan pangan rumah tangga. Menurut Maxwell dan
Frankenberger
(1992)
terdapat
empat
elemen
ketahanan
pangan
berkelanjutan (sustainable food security) di tingkat rumah tangga, yaitu 1) kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat; 2) akses pangan, yang didefinisikan sebagai hak untuk berproduksi, membeli atau menukarkan pangan ataupun menerima pemberian; 3) ketahanan, yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko, dan jaminan pengaman sosial; dan 4) fungsi waktu, kerawanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan atau siklus. Kerawanan pangan kronis terjadi dan berlangsung terus menerus yang biasanya disebabkan oleh rendahnya daya beli atau kemampuan memproduksi sendiri sehingga sering terjadi di daerah terisolir dan gersang. Kerawanan pangan transisi terjadi secara mendadak karena ketidakmantapan harga pangan dan produksi pangan atau pendapatan rumahtangga sehingga pada suatu saat tertentu sekelompok orang, rumahtangga atau masyarakat tidak mempunyai cukup pangan untuk dikonsumsi. Keterjaminan akses pangan harus dicapai sampai pada tingkat rumahtangga (household food security) sehingga kebutuhan
15
pangan untuk setiap anggota rumahtangga dapat terpenuhi setiap saat (Syarief 1992). Akses Fisik Akses fisik akan menentukan apakah sumber pangan yang dikonsumsi dapat ditemui dan mudah diperoleh. Kemudahan dalam memperoleh pangan di tunjang oleh tersedianya sarana fisik yang cukup dalam memperoleh pangan (Penny
1990). Pangan harus tersedia secara terus-menerus dalam suatu
pasar/warung apabila rumah tangga tidak dapat memproduksi sendiri pangan yang dibutuhkan.
Rimbawan dan Baliwati (2004) dalam Hidawati (2008),
menyatakan bahwa salah satu kelompok masyarakat yang rawan terhadap pangan dan gizi adalah masyarakat yang tinggal di lokasi atau tempat yang terpencil. Akses pangan juga bergantung pada daya beli rumah tangga, yang artinya akses pangan terjamin seiring dengan terjaminnya pendapatan dalam jangka panjang. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa keterjangkauan pangan bergantung pada kesinambungan sumber nafkah. Mereka yang tidak menikmati kesinambungan dan kecukupan pendapatan akan tetap miskin. Semakin banyak jumlah orang miskin, semakin rendah daya akses terhadap pangan, dan semakin tinggi derajat kerawanan pangan suatu wilayah (WFP 2003). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahmah (2006), jarak tempat tinggal (akses fisik) yang jauh dari sumber pangan merupakan salah satu faktor yang
akan
menghambat
kemudahan
individu
atau
masyarakat
untuk
memperoleh pangan yang tentunya akan menghambat konsumsi pangannya. Menurutnya terdapat hubungan negatif signifikan antara jarak tempat tinggal dari warung makan dengan tingkat konsumsi energi dan protein, artinya bahwa konsumsi energi dan protein semakin menurun dengan meningkatnya jarak tempat tinggal ke warung makan. Akses Ekonomi Kegiatan ekonomi rumahtangga dalam pemenuhan pangan adalah mendapatkan, menghasilkan atau menerima uang, pangan dan yang lainnya; mengkonsumsi, membelanjakan, memberi atau mengumpulkan uang, pangan dan aset/harta lain; dan mengutang serta membayar kembali hutang tersebut. Matapencaharian berhubungan erat dengan akses pangan yang meliputi produksi rumah tangga dan alat untuk memperoleh pendapatan (WFP 2005 dalam Hildawati 2008). Rumah tangga dapat dikatakan tahan pangan apabila tercukupinya permintaan akan pangan. Pengukuran operasional atas permintaan
16
akan pangan tersebut dalam jangka waktu pendek dapat dipakai untuk memonitor akses ekonomi rumah tangga akan pangan, yaitu pendapatan/ pengeluaran dan harga (Sharma 1992 dalam Hildawati 2008) Akses Sosial Selain akses ekonomi dan akses fisik terhadap pangan terdapat akses sosial. Akses sosial merupakan suatu akses atau cara untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan pangannya melalui berbagai dukungan sosial, seperti bantuan atau dukungan sosial dari keluarga/kerabat,
tetangga,
serta
teman.
Bantuan
atau
dukungan
dari
saudara/kerabat, tetangga, serta teman dapat berupa bantuan pinjaman uang/pangan, pemberian bantuan pangan, pertukaran pangan, dan lain sebagainya. Selain dukungan sosial, kerawanan pangan berdasarkan akses sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikannya (Hildawati 2008). Dukungan Sosial. Menurut Sarafino (1996), manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut kepentingan,
terutama
dalam
pemenuhan
kebutuhan.
Untuk
memenuhi
kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni rumahtangga (suami atau istri), saudara atau masyarakat (tetangga) dimana orang tersebut tinggal. Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga mencakup adanya interaksi di antara anggota dan saling membantu, sehingga tetap terjalin hubungan dan menghasilkan kepuasan batin seseorang (Sarafino 1996). Sarafino mengemukakan dukungan sosial terdiri dari dukungan emosi, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dan dukungan informasi. Dukungan emosi melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai, dan diperhatikan. Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. Dukungan ini biasanya diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu, seperti keluarga, tetangga, atau mungkin teman. Dukungan instrumental melibatkan
17
bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan
tugas-tugas
tertentu.
Dukungan
penghargaan
melibatkan
pengakuan dari orang lain atas kemampuan dan kualitas individu. Dukungan ini dapat berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan atau penampilan orang lain, atau mau menerima atas segala kekurangan pada diri orang lain. Dukungan informasi memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan, arahan, diskusi masalah maupun pengajaran suatu keterampilan. Dengan adanya informasi ini, maka individu dapat menyelesaikan masalahnya atau menambah pengetahuan baru. Pengetahuan Gizi. Menurut Suhardjo (1989) pengetahuan gizi yang baik dapat
menghindarkan
seseorang
dari
konsumsi
pangan
yang
salah.
Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Selain itu, melalui media komunikasi seperti televisi, majalah, koran, radio, atau melalui penyuluhan kesehatan/gizi, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan tentang gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil, sehingga kebutuhan zat gizinya terpenuhi. Khomsan (2002a) menyatakan bahwa walaupun rumahtangga memiliki daya beli cukup dan pangan juga tersedia, namun bila pengetahuan pangan dan gizinya masih rendah maka akan sangat sulit bagi rumahtangga yang bersangkutan untuk dapat memenuhi kecukupan pangannya baik secara kuantitas maupun kualitas. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah informasi pangan yang dimakan (dikonsumsi) oleh seseorang atau kelompok , baik berupa jenis maupun jumlahnya pada waktu tertentu, artinya konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah maupun jenis pangan yang dikonsumsi. Konsumsi pangan berkaitan erat dengan gizi dan kesehatan, kesejahteraan, pengupahan, serta perencanaan ketersediaan dan produksi pangan (Hardinsyah & Suhardjo 1990). Tiga tujuan seseorang mengkonsumsi pangan yaitu tujuan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah untuk memenuhi rasa lapar atau keinginan memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memenuhi
18
kepuasan emosional ataupun selera seseorang. Tujuan sosiologis adalah berhubungan dengan upaya pemeliharaan hubungan antar manusia dalam kelompok kecil maupun kelompok besar (Riyadi 1996). Tercukupinya konsumsi pangan merupakan syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan rumahtangga. Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah kepada penurunan kuantitas dan kualitas, termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok. Angka riil kuantitas konsumsi pangan harus dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk mengetahui cukup tidaknya asupan gizi (Khomsan 2002b). Makanan telah dijadikan indikator oleh ekonom untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Teori Engel misalnya, menyebutkan bahwa semakin tinggi pendapatan maka proporsi pengeluaran untuk makanan sangat kecil. Hukum Bennet menerangkan bahwa konsumsi pangan yang terdiversifikasi akan dicapai
bersama
dengan
meningkatnya
pendapatan.
Hukum
Bennet
menerangkan bahwa konsumsi umbi-umbian akan semakin menurun bersamaan dengan meningkatnya pendapatan. Umbi-umbian adalah sumber kalori yang harganya lebih murah sehingga terjangkau oleh orang miskin dibandingkan serealia (Khomsan 2002b). Penilaian Konsumsi Pangan Hoddinott (1999) menjelaskan konsumsi pangan individu sebagai sejumlah kalori atau zat gizi yang dikonsumsi oleh individu pada periode tertentu atau umumnya dalam 24 jam. Terdapat dua cara yang umum digunakan untuk mengukur konsumsi individu yaitu dengan metode observasi dan recall. Metode observasi merupakan metode penilainan konsumsi pangan individu yang dilakukan oleh enumerator selama satu hari penuh, yaitu menilai jumlah makanan yang disajikan bagi setiap orang dan jumlah makanan yang disediakan tetapi tidak dikonsumsi (sisa makanan). Selain itu dalam metode observasi enumerator juga mencatat jenis dan jumlah makanan yang dimakan sebagai selingan (snack) diantara waktu makan ataupun makanan yang diperoleh dari luar rumah. Metode recall merupakan metode yang lebih mudah, karena enumerator hanya perlu mewawancarai anggota rumah tangga dan mengingat kembali makanan yang mereka konsumsi selama 24 jam, termasuk jenis makanan, jumlah dan makanan selingan (snack) atau makanan lain yang diperoleh dari luar rumah.
19
Penilaian konsumsi pangan juga dapat diukur dengan menggunakan FFQ (Food Frequency Question). FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi responden dalam mengkonsumsi beberapa h=jenis makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam satu hari atau minggu atau bulan atau tahun. Kuesiner terdiri dari susunan jenis makanan dan minuman (Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat UI 2007 dalam Hildawati 2008). Penggunaan FFQ sebagai instrumen penilaian konsumsi memiliki kelebihan yaitu relatof murah, dapat digunakan untuk melihat hubungan antara diet dan penyakit, dan lebih representatif. Keterbatan penggunaan FFQ adalah adanya kemungkinan tidak menggambarkan porsi yang dipilih oleh responden, tergantung pada kemampuan responden untuk mendeskripsikan dietnya. Terdapat tiga jenis FFQ yaitu : 1. Semi or non quantitatine FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi yang biasa dikonsumsi, sehingga menggunakan standar porsi 2. Semi quantitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya sepotong roti, secangkir kopi. 3. Quantitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi responden, seperti kecil,sedang, atau besar. Pada prinsipnya penilaian jumlah konsumsi zat gizi berdasarkan pada konsumsi pangan dan data kandungan zat gizi bahan makanan atau Daftar Konsumsi Bahan Makanan (DKBM). DKBM menunjukkan kandungan berbagai kandungan berbagai zat gizi dari berbagai jenis pangan atau makanan dalam seratus gram bagian yang dapat dimakan (BDD) (Hardinsyah & Martianto 1992). Dengan menggunakan DKBM, jumlah dan komposisi zat gizi yang diperoleh seseorang atau kelompok orang dapat dihitung dengan atau dinilai. Secara umum, penilaian zat gizi tertentu yang dikonsumsi dapat dapat dihitung dengan rumus : Gij
= BPj x Bddj x KGij 100
100
Keterangan : KGij
= kandungan zat gizi tertentu (i) dari pangan (j) atau makanan yang dikonsumsi dengan satuannya.
BPj
= berat pangan atau makanan (j) yang dikonsumsi
20
Bddj
= bagian yang dapat dimakan (dalam persen atau gram dari 100 gram pangan atau makanan (j) )
Gij
= zat gizi yang dikonsumsi dari pangan atau makanan (j) Analisis Jalur Analisis jalur merupakan pengembangan dari analisis korelasi yang
dibangun dari diagram jalur yang dihipotesiskan oleh peneliti dalam menjelaskan mekanisme hubungan kausal antar variabel dengan cara menguraikan koefisien korelasi menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung (Yamin & Kurniawan 2009). Selain itu Yamin dan Kurniawan 2009 juga menyatakan bahwa analisis jalur dapat dikatakan sebagai analisis regresi linier dengan variabel-variabel yang dibakukan. Oleh karena itu, koefisien jalur pada dasarnya merupakan koefisien beta atau koefisien regresi baku. Diagram jalur umumnya dilukiskan dalam suatu gambar panah lingkaran dan panah tunggal (circle-and-row) dimana panah tunggal menandai sebagai penyebab dan dua arah panah yang melingkar menandakan hubungan korelasional antara dua variabel. Variabel Eksogen adalah variabel penyebab, yang memberikan efek kepada variabel lainnya. Dalam diagram jalur, variabel eksogen ini secara eksplisit diketahui sebagai variabel yang tidak ada panah tunggal yang menuju ke arahnya. Jika ada lebih dari satu variabel eksogen dalam sistem, maka ditandai oleh circle-path (tanda panah yang melingkar) yang menunjukkan hubungan korelasional variabel eksogen (Yamin & Kurniawan 2009). Variabel endogen adalah variabel yang dijelaskan oleh variabel eksogen atau merupakan efek dari variabel eksogen. Dalam diagram jalur secara ekdplisit variabel endogen ditandai oleh kepala panah yang menujunya. Baik tanda panah dari variabel eksogen maupun variabel eror (Yamin & Kurniawan 2009). Variabel eror didefinisikan sebagai kumpulan variabel-variabel eksogen lainnya yang tidak dimasukkan dalam sistem penelitian yang dimungkinkan masih mempengaruhi variabel endogen (Yamin & Kurniawan 2009). Koefisien jalur adalah suatu koefisian regresi terstandardisasi (beta) yang menunjukkan efek langsung dari suatu variabel eksogen terhadap variabel endogen dalam suatu model jalur (Yamin & Kurniawan 2009).