i
ANALISIS PENGARUH FOOD COPING STRATEGY TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI DI KABUPATEN LEBAK BANTEN
RIZKI RIZLIANA MANGKOETO
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ii
ABSTRACT RIZKI RIZLIANA MANGKOETO. Analysis Influence of Food Coping Strategy Toward Household Food Security in Kabupaten Lebak Banten. Supervised by IKEU TANZIHA. The general objective of this research was to analyze the influence of score of food coping strategy toward household food security. The particular objectives of this research were to: 1) Identify household food security; 2) identify the characteristics food access of sample (size of family, father’s education, father’s occupation, family’s income, education and nutritional knowledge of the mothers, and social support); 3) Identify the food coping strategy in farmer’s household; 4) Identify the person who do the food coping strategy in farmer’s household; 5) Analyze the correlation between score of food coping strategy and household food security; 6) Analyze the influence factors of household food security. The research was conducted by using cross sectional study design from April to May 2009 in Kabupaten Lebak Banten. Sample was chosen by purposive sampling resulting in 101 households. The results show that 63.4% samples in household’s level were in food secure condition and 25.7% samples were in serious food insecure condition. Half of samples (49.5%) included in the small households (with 4 members of household or less). Generally, in age, most of the paterfamilias (57.4%) were in medium adult category (40 – 59 years). The dissemination of mother’s age were in the early adult category, that is 46.5% and 47.5% of mothers were in the medium adult category. Almost of all the mother (87.1%) included in low nutritional knowledge group. Spearman Correlation Test shows that the score of coping strategy have no significant correlation with household food security and the size of household has negative significant correlation with household food security (r=-0.270; p<0.01). The number of farm areas that owned by the farmer’s households have positive significant correlation with their household food security (r=0.309; p<0.01). It means that larger farm area that owned by the farmer’s household implied the better condition of household food security. However, Pearson Correlation Test shows that consumption of energy has negative significant correlation with score of coping strategy (r=-0.208; p=<0.05). It means that the higher score of coping strategy implied little in consumption of energy. It shows the decrease of food security condition. Regretion Test shows the factors that influence the household food security, for instance, number of farm area that owned by farmer household, poverty status, size of household, score of coping strategy, and alocation of food expenditure. Key words: Food coping strategy, household food security, farmer household
iii
RINGKASAN RIZKI RIZLIANA MANGKOETO. Analisis Pengaruh Food Coping Strategy terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Lebak Banten. Dibimbing oleh IKEU TANZIHA. Kemiskinan dan kelaparan merupakan salah satu masalah kemanusiaan yang paling mendasar. Berdasarkan data World Food Summit (WFS) pada tahun 2002, sebanyak 815 juta penduduk di beberapa negara berkembang masih mengalami kelaparan, dan 300 juta diantaranya adalah anak-anak. Kemiskinan yang dialami masyarakat akan memberikan dampak buruk salah satunya pada masalah pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan. Kemudian untuk mengatasi ketahanan pangan keluarga biasanya akan melakukan food coping strategy. Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh skor food coping strategy terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Adapun tujuan khususnya adalah (1) Menganalisis ketahanan pangan rumahtangga Petani; (2) Mengidentifikasi karakteristik dan akses pangan (besar keluarga, pendidikan dan pekerjaan kepala rumahtangga, pendidikan ibu, pendapatan dan pengeluaran keluarga, dukungan sosial, dan pengetahuan gizi ibu, rumahtangga Petani; (3) Menganalisis food coping strategy yang dilakukan rumahtangga dalam memenuhi kebutuhan pangan; (4) Mengidentifikasi pelaku food coping strategy dalam rumahtangga Petani; (5) Menganalisis hubungan skor food coping strategy dengan ketahanan pangan rumahtangga rumahtangga Petani; (6) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan. Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional Study dan merupakan bagian dari penelitian “Model Penguatan Modal Komunitas Pertanian dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kelaparan”. Penelitian dilakukan di Kabupaten Lebak Provinsi Banten pada bulan April sampai Mei 2009. Penarikan contoh dilakukan secara purposive, setelah dilakukan cleaning contoh yang dapat dipergunakan adalah 101 rumahtangga. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data sosial demografi. Adapun data sekunder yang digunakan adalah gambaran umum lokasi penelitian serta data garis kemiskinan wilayah Kabupaten Lebak. Hubungan antara karakteristik keluarga, status kemiskinan, skor food coping strategy dengan kondisi ketahanan pangan keluarga dianalisis dengan mengunakan uji korelasi spearman. Uji regresi digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Berdasarkan klasifikasi ketahanan pangan kuantitatif dari keseluruhan contoh diketahui bahwa sebanyak 63.4% contoh merupakan rumahtangga tahan pangan. Sejumlah 25.7% contoh merupakan rumahtangga rawan pangan berat, sebanyak 5% contoh merupakan rawan pangan sedang, sisanya 5.9% merupakan rawan pangan ringan. Rumahtangga contoh hampir setengahnya (49.5%) termasuk dalam kategori keluarga kecil. Sebagian besar kepala rumahtangga contoh (57.4%) berada pada kelompok umur dewasa madya (4059 tahun), sedangkan sebaran umur ibu rumahtangga sebesar 47.5% pada kelompok dewasa madya dan 46.5% pada kelompok dewasa awal. Lama pendidikan ayah (73.3%) maupun ibu (69.3%) umumnya kurang dari atau sama dengan 6 tahun. Sebagian besar (87.1%) ibu rumahtangga contoh memiliki pengetahuan gizi yang rendah. Sebagian besar (42%) rumahtangga contoh di Desa Pasindangan memiliki pekerjaan tambahan sebagai pedagang, sedangkan di Desa Banjarsari, pekerjaan tambahan yang paling banyak adalah sebagai buruh, sejumlah 39.2%. Sebagian besar rumahtangga contoh (84.2%) termasuk
iv
rumahtangga berpendapatan rendah dengan pengeluaran perkapita rata-rata sebesar Rp 254.241 dan alokasi pengeluaran pangan berkisar 8.1% sampai dengan 84.26% terhadap pengeluaran total. Berdasarkan rata-rata pengeluaran perkapita sebanyak 31.7% merupakan rumahtangga miskin. Perilaku food coping yang banyak dilakukan adalah beralih pada pangan yang lebih murah yaitu dilakukan oleh 77.2% rumahtangga contoh. Hampir pada setiap tindakan coping ibu menjadi pelaku paling dominan terutama pada tindakan-tindakan coping yang berhubungan dengan kontrol keuangan untuk pangan seperti mengurangi pembelian kebutuhan dan membeli pangan yang lebih murah, masing-masing tindakan tersebut sejumlah 98.4% dan 98.7% ibu menjadi pelakunya. Sebagian besar (53.5%) rumahtangga contoh tergolong memiliki skor coping yang rendah, sebanyak 41.6% rumahtangga contoh memiliki skor coping sedang dan hanya sebagian kecil (5.0%) yang memiliki skor coping yang tinggi. Jika dibedakan menurut status ketahanan pangan pada rumahtangga rawan pangan berat, sejumlah 50% memiliki skor coping rendah, sejumlah 42.3% memiliki skor coping sedang dan sisanya sejumlah 7.7% memiliki skor coping yang tinggi. Pada rumah tangga rawan pangan sedang masing-masing sebesar 40% memiliki skor coping rendah dan sedang, sebanyak 20% memiliki skor coping tinggi. Rumahtangga rawan pangan ringan setengahnya memiliki skor coping rendah, sebanyak 33.3% memiliki skor coping sedang dan sisanya (16.7%) memiliki skor coping yang tinggi. Untuk rumahtangga tahan pangan sebagian besar memiliki skor coping rendah, yaitu sebanyak 56.3%, kemudian sebanyak 42.2% memiliki skor coping sedang dan sebesar 1.6% saja yang memiliki skor coping tinggi. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, antara skor coping dengan tingkat ketahanan pangan rumahtangga tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan nilai r=-0.098, p>0.05, namun terdapat hubungan signifikan negatif dengan nilai r=-0.270, p<0.01 antara jumlah anggota rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga, terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan pangan rumahtangga (r= 0.309 dan p<0.01), hubungan antara kemiskinan dan ketahanan pangan mendapatkan hasil yang signifikan positif (r=0.293, p<0.01), alokasi pengeluaran pangan dengan tingkat konsumsi energi juga memiliki hubungan positif yang nyata dengan nilai r=0.202, p=<0.05 pada uji korelasi Pearson, berdasarkan hasil uji korelasi Pearson, antar tingkat konsumsi energi sebagai indikator ketahanan pangan dengan skor coping menunjukan hubungan yang signifikan negatif dengan nilai r=-0.208, p<0.05. Pada uji regresi nilai R square (r2) yang didapat adalah 0.262 hal ini menunjukan bahwa pengaruh semua variabel independen terhadap tingkat konsumsi energi sebesar 26.2% (r2×100%), sedang faktor-faktor diluar model berpengaruh sebesar 73.8% (100%-26.2%). Luas lahan berpengaruh meningkatkan tingkat konsumsi energi sebesar 0.006% untuk setiap kenaikan 1 m2 lahan yang dimiliki rumahtangga. Perbedaan rata-rata tingkat konsumsi energi pada keluarga miskin dan tidak miskin adalah sebesar 46.425%. Setiap penambahan 1 orang anggota rumahtangga akan menurunkan tingkat konsumsi energi sebesar 4.563%, sama halnya dengan pengaruh skor coping, untuk setiap kenaikan satu skor coping akan menurunkan tingkat konsumsi energi sebesar 1.030%. sedangkan untuk variabel alokasi pengeluaran pangan berpengaruh meningkatkan tingkat konsumsi energi sebesar 1.770% untuk setiap peningkatan 1% alokasi pengeluaran pangan rumahtangga.
v
ANALISIS PENGARUH FOOD COPING STRATEGY TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI DI KABUPATEN LEBAK BANTEN
HALAMAN JUDUL
RIZKI RIZLIANA MANGKOETO
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
vi
Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Food Coping Strategy Terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Lebak Banten Nama : Rizki Rizliana Mangkoeto NRP : I14052150
Disetujui: Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS NIP 19611210 198603 2 002
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr.Ir. Budi Setiawan, MS NIP 19621218 198703 1 001
Tanggal Pengesahan :
vii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Food Coping Strategy terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Lebak Banten” dilakukan sebagai salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Ikeu Tanziha, M.S. selaku dosen pembimbing skripsi atas kesabaran, waktu dan pikiran dalam memberikan arahan, masukan, dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapa terimakasih juga penulis berikan kepada Ibu Leily Amalia Furkon S.TP. MSi selaku dosen pemandu seminar dan Bapak Drh. M. Rizal Damanik M, MRep. Sc, PhD selaku dosen penguji skripsi atas saran yang diberikan. Seluruh badan, instansi dan semua pihak yang telah memberikan ijin dan mendukung dan membantu kelancaran penelitian. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Papa dan Mama, ketiga adik tersayang (Reza Fachrozi Mangkoeto, Riza Fauzan Mangkoeto dan Raiz Faidzal Mangkoeto), serta keluarga besar di Medan, Pematang Siantar, dan Magelang atas do’a, nasehat, semangat, cinta dan keceriaan yang telah diberikan. Selain itu terimakasih kepada saudari-saudari satu lingkaran, adik-adik Panti Asuhan Kosgoro dan tim pengajar Al Insan, tim dakwah FEMA, temanteman FORSIA dan adik-adik binaan, teman-teman angkatan 42 terutama GM, teman-teman kosan Wisma Ayu, adik-adik Angkatan, Pak Karya dan Pak Ugan serta semua pihak yang telah banyak membantu kelancaran penyelesaian penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi semua. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2009 Rizki Rizliana Mangkoeto
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, puteri pasangan Bapak Ir. Syofanir Tanjung dan Ibu Endang Purwaningsih. Penulis dilahirkan di Kota Magelang pada tanggal 30 September 1987. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1994 sampai 1999 di SD Negeri Kedungsari 5 Magelang. Pada tahun 2000 sampai 2002 penulis melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 1 Magelang dan pada tahun 2003-2005 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 3 Magelang. Pada tahun 2005, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Tahun kedua menjadi mahasiswa pada Fakultas Ekologi Manusia dengan Mayor Ilmu Gizi dan Minor Perkembangan Anak. Selama menjadi mahasiswa, penulis tercatat sebagai sekretaris divisi Infokom HIMAGITA Periode 2006/2007, anggota tim Formatur Kelembagaan FEMA, bendahara umum HIMAGIZI periode 2007/2008, Staf Keputrian FORSIA periode 2007/2008, Koordinator Akhowat FORSIA periode 2008/2009, asisten peneliti pada penelitian “Model Penguatan Modal Komunitas Pertanian dalam Upaya Pencegahan dan Penaggulangan Kelaparan” yang merupakan proyek dari Departemen Pertanian. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Rawakalong dan Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan Internship di RSUD Cibinong Kabupaten Bogor. Pada tahun 2009, penulis pernah mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan yang bejudul “BRAVE”(Brasillin Baverage) Minuman Kaya Antioksidan Berbasis Kayu Secang dan Upaya Menciptakan Peluang Usaha Baru. Penulis pernah menjadi asisten responsi Pendidikan Agama Islam Ajaran 2008/2009. Pada tahun 2006 sampai 2008 penulis juga memperoleh beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) dan pada tahun 2008 sampai 2009 memperoleh beasiswa Bank Indonesia.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiv PENDAHULUAN ................................................................................................. Tujuan ........................................................................................................ Tujuan Khusus .................................................................................... Hipotesis .................................................................................................... Kegunaan ...................................................................................................
1 2 2 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3 Petani ......................................................................................................... 3 Ketahanan Pangan .................................................................................... 4 Ketahanan Pangan Rumahtangga ...................................................... 5 Pengukuran Ketahanan Pangan ......................................................... 6 Pengukuran Status Kelaparan ............................................................ 7 Food Coping Strategy ................................................................................ 9 Kaitan Karakteristik Keluarga dengan Food Coping Strategy .................... 12 Besar Keluarga ................................................................................. 133 Pendidikan .......................................................................................... 13 Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga ............................................... 133 Pengeluaran Keluarga ...................................................................... 133 Dukungan Sosial ................................................................................. 14 Konsumsi Pangan ...................................................................................... 16 Kebiasaan Makan.............................................................................. 177 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................... 18 METODE PENELITIAN ..................................................................................... Desain Tempat dan Waktu ....................................................................... Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ........................................................ Jenis dan Cara Pengumpulan Data ......................................................... Pengolahan dan Analisis Data .................................................................
20 20 20 20 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................................ Desa Pasindangan ............................................................................ Desa Banjarsari ................................................................................. Ketahanan Pangan .................................................................................. Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga Petani ................................. Umur Kepala Rumahtangga dan Ibu Rumahtangga ......................... Besar Rumahtangga ......................................................................... Komposisi Rumahtangga .................................................................. Tingkat Pendidikan ............................................................................ Pekerjaan dan Pendapatan ............................................................... Luas Lahan yang Dimiliki .................................................................. Pengeluaran Perkapita ......................................................................
24 24 24 27 30 31 31 34 36 37 39 41 43
x
Pengetahuan Gizi .............................................................................. Dukungan Sosial ............................................................................... Food Coping............................................................................................. Sebaran Pelaku Food Coping ........................................................... Skor Coping ...................................................................................... Konsumsi ................................................................................................. Analisis Regresi .......................................................................................
45 46 49 52 54 56 59
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 61 Kesimpulan .............................................................................................. 61 Saran........................................................................................................ 62 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64 LAMPIRAN ........................................................................................................ 66
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku ................
12
2
Jenis dan Cara Pengumpulan Data .....................................................
20
3
Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku .................
22
4
Pemanfaatan Lahan Desa Pasindangan .............................................
25
5
Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Pasindangan ...............................
26
6
Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Pasindangan ....................................
26
7
Prasarana Pendidikan Desa Pasindangan ..........................................
27
8
Prasarana Kesahatan Desa Pasindangan ............................................
27
9
Pemanfaatan Lahan Desa Banjarsari ...................................................
28
10
Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Banjarsari ....................................
28
11
Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Banjarsari .........................................
29
12
Status Ketahanan Pangan RT .............................................................
30
13
Klasifikasi Umur KRT ............................................................................
31
14
Sebaran Rumahtangga Berdasarkan Ketahanan Pangan dan Umur KRT Di Desa Pasindangan………………………………………...
32
Sebaran Rumahtangga Berdasarkan Ketahanan Pangan dan Umur KRT Di Desa Banjarsari ..............................................................
33
16
Klasifikasi Umur IRT ..............................................................................
33
17
Klasifikasi Besar Rumahtangga ............................................................
35
18
Sebaran RT Berdasarkan Ketahanan Pangan dan Ukuran RT ............
35
19
Klasifikasi Komposisi Rumahtangga .....................................................
36
20
Klasifikasi Pendidikan ART ...................................................................
37
21
Klasifikasi Pendidikan KRT ...................................................................
37
22
Klasifikasi Pendidikan IRT ....................................................................
38
23
Klasifikasi Pekerjaan KRT ....................................................................
39
24
Klasifikasi Pendapatan RT ...................................................................
40
25
Klasifikasi Pendapatan Perkapita perbulan .........................................
41
26
Klasifikasi Luas Lahan yang Dimiliki ...................................................
42
27
Sebaran Rumahtangga Berdasarkan Luas Lahan yang Dimiliki .........
42
28
Klasifikasi Kemiskinan Berdasarkan Pengeluaran Perkapita ...............
43
29
Klasifikasi Pengetahuan Gizi Ibu Rumahtangga .................................
45
30
Sebaran Rumahtangga Berdasarkan Pengetahuan Gizi dan Ketahanan Pangan ...............................................................................
46
15
xii
31
Klasifikasi Tingkat Dukungan Sosial ...................................................
47
32
Sebaran Sampel menurut Dukungan Sosial .......................................
48
33
Sebaran Rumahtangga yang Melakukan Tindakan Coping ................
51
34
Sebaran Pelaku Food Coping .............................................................
53
35
Sebaran Rumahtangga Berdasarkan Skor Food Coping Mechanism ..........................................................................................
54
Sebaran Rumahtangga Berdasarkan Ketahanan Pangan dan Skor Food Coping Mechanism ............................................................
55
37
Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Rumahtangga .......................
56
38
Tingkat Kecukupan Vitamin dan Mineral Rumahtangga .....................
56
39
Frekuensi Konsumsi Bahan Pangan ....................................................
58
40
Rata-rata Konsumsi Pangan Rumahtangga Perhari ............................
59
36
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Jalur Pangan dalam Rumahtangga (Usfar 2002) ..................................
6
2
Kerangka Pemikiran Hubungan Food Coping Strategy dengan Ketahanan Pangan Rumahtangga ........................................... 19
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Kuesioner ..............................................................................................
66
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan dan kelaparan merupakan salah satu masalah kemanusiaan yang paling mendasar. Berdasarkan data World Food Summit (WFS) pada tahun 2002, sebanyak 815 juta penduduk di beberapa negara berkembang masih mengalami kelaparan, dan 300 juta diantaranya adalah anak-anak. Di Indonesia kelaparan ini menjadi salah satu masalah yang sampai hari ini belum dapat diselesaikan oleh pemerintah. Kelaparan masih banyak terjadi di pelosok-pelosok nusantara, kasus busung lapar dan gizi buruk khususnya pada anak-anak dan perempuan banyak ditemui di hampir seluruh pelosok nusantara (Siswono 2006 dalam Mutiara 2008). Selain meningkatnya kemiskinan, kelaparan dan tingkat pengangguran timbul juga masalah pangan. Masalah pangan yang timbul di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia akan mengancam kesejahteraan hidup masyarakat khususnya masyarakat ekonomi lemah termasuk petani. Menurut Soetrisno (2002), pada era globalisasi ini merupakan abad yang tidak akan memberikan banyak harapan bagi para petani di negara-negara berkembang, termasuk petani-petani Indonesia yang kebanyakan adalah petani subsisten. Salah satu masalah yang sangat penting yang akan dihadapi oleh para petani di negara-negara berkembang adalah bagaimana mempertahankan kemampuan mereka untuk menjamin ketahanan pangan bagi mereka sendiri dan bangsa mereka. Kemiskinan yang dialami masyarakat akan memberikan dampak buruk salah satunya pada masalah pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan. Menurut UU No. 7 tahun 1996 mengenai pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumahtangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. Jika kebutuhan konsumsi pangan tidak terpenuhi lagi maka akan menimbulkan kerawanan
pangan
(food
insecurity).
Keadaan
pada
akhirnya
akan
mempengaruhi status gizi masyarakat. Keluarga biasanya akan melakukan food coping strategy untuk mengatasi permasalahan ketersediaan panggan. Food coping strategy adalah bentuk perubahan dan upaya-upaya yang dilakukan rumahtangga untuk memenuhi dan mengatasi kekurangan pangan (Setiawan 2004 dalam Polin 2005). Bentukbentuk food coping strategy yang sering dilakukan antara lain dengan
2
menurunkan kuantitas atau kualitas pangan yang dikonsumsi, perubahan kebiasaan makan, perubahan frekuensi makan, mencari tambahan penghasilan, atau menjual aset yang dimiliki. Tingkat keparahan kondisi rawan pangan suatu rumahtangga dapat dilihat dari variasi dan kedalaman food coping strategy yang dilakukan. Informasi ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah dalam menyusun program pangan dan gizi agar ketahanan rumahtangga dapat terjamin. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh skor food coping strategy terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain : 1. Mengidentifikasi ketahanan pangan rumahtangga petani 2. Mengidentifikasi karakteristik dan akses pangan (besar keluarga, pendidikan dan pekerjaan kepala rumahtangga, pendidikan ibu, pendapatan dan pengeluaran keluarga, dukungan sosial, dan pengetahuan gizi ibu) rumahtangga petani 3. Mengidentifikasi food coping strategy yang dilakukan rumahtangga petani 4. Mengidentifikasi pelaku food coping strategy dalam rumahtangga petani 5. Menganalisis hubungan skor food coping strategy dengan ketahanan pangan rumahtangga rumahtangga petani 6. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan. Hipotesis Skor food coping strategy tidak berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Kegunaan Memberikan gambaran mengenai food coping strategy yang dilakukan oleh keluarga dan hubungannya dengan ketahanan pangan rumahtangga. Informasi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya pemerintahan daerah dalam merencanakan program pangan dan gizi sehingga ketahanan pangan rumahtangga khususnya di wilayah Kabupaten Lebak Provinsi Banten dapat terjamin.
3
TINJAUAN PUSTAKA Petani Penduduk-penduduk desa adalah bagian dari masyarakat yang lebih besar dan lebih kompleks. Diantara penduduk-penduduk desa tersebut terdapat beberapa fungsi masyarakat salah satunya adalah sebagai petani pedesaan. Menurut Wolf (1985) petani pedesaan adalah pencocok tanam pedesaan yang menyerahkan keuntungan mereka kepada golongan penguasa yang dominan untuk
menunjang tingkat hidup mereka sendiri. Petani pedesaan tidak
melakukan usaha dalam arti ekonomi tapi dapat dikatakan mereka mengelola sebuah rumahtangga. Kurtz dalam Sajogyo (2002) dalam Kartika (2005) mendefinisikan petani sebagai pengolah tanah di pedesaan. Di Indonesia, kelompok masyarakat ini adalah salah satu kelompok masyarakat yang rata-rata berada dibawah garis kemiskinan. Dengan luasan lahan dan pendapatan rata-rata yang relatif kecil dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Penguasaan lahan pertanian didefinisikan oleh BPS (1996) sebagai lahan milik sendiri ditambah lahan yang berasal dari pihak lain, dikurangi lahan yang berada di pihak lain yang pernah dan sedang diusahakan untuk pertanian selama setahun terakhir. Revolusi industri telah menggeser fungsi tenaga kerja manusia dengan mesin-mesin yang ada. Pada masyarakat yang telah mengalami revolusi industri ini petani hanya akan menjadi golongan sekunder dalam masyarakat dan fungsi mereka dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan bergeser digantikan oleh mesi-mesin pertanian. Hal ini akan mendatangkan ancaman bagi petani dan membuat petani tidak berguna lagi secara ekonomis (Wolf 1985). Rumahtangga Petani Rumahtangga petani adalah rumahtangga yang salah satu anggotanya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan, nelayan, melakukan perburuan, atau penagkapan satwa liar atau beternak atau berusaha dalam jasa pertanian. Rumahtangga ini memiliki tujuan untuk menjual seluruh atau sebagian produk pertanian mereka atau memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri (BPS 1996 dalam Kartika 2005). Ketahanan Pangan dan Pertanian Menurut Soetrisno (2002), pada era globalisasi ini merupakan abad yang tidak akan memberikan banyak harapan bagi para petani di negara-negara
4
berkembang, termasuk petani-petani Indonesia yang kebanyakan adalah petani subsisten. Salah satu masalah yang sangat penting yang akan dihadapi oleh para petani di negara-negara berkembang adalah bagaimana mempertahankan kemampuan mereka untuk menjamin ketahanan pangan bagi mereka sendiri dan bangsa mereka. Jika para petani tidak mampu mempertahankan ketahanan pangan, maka ketahanan pangan negara juga akan terancam. Hal ini berarti negara
harus
menggantungkan
kebutuhan
pangan
pada
perusahaan-
perusahaan multinasional yang bergerak dalam sektor produksi pangan. Ketahanan Pangan Pangan yang cukup dapat diartikan sebagai level minimal dari konsumsi pangan. Selain itu dapat juga disebut sebagai level target kebutuhan pangan minimal atau sebagai pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi. (Maxwell & Marisol 1992). Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) muncul dan dibangkitkan kembali karena adanya krisis pangan dan kelaparan. Istilah ketahanan pangan dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan tahun 1971 oleh PBB untuk membebaskan dunia terutama negaranegara berkembang dari krisis produksi dan suplai makanan pokok. Definisi ketahanan pangan menurut PBB adalah sebagai berikut : ‘Food security is availability to avoid acute food shortages in the event of wide spread coop failure or other disaster’ (UN 1973 dalam Syarief et al. 1999). Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensional, yaitu adanya hubungan keterkaitan antara matarantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Ketahanan pangan rumahtangga dapat dicerminkan oleh beberapa indikator antara lain: 1) tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan; 2) penurunan produksi pangan; 3) tingkat ketersediaan pangan di rumahtangga; 4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total; 5) fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsumsi
rumahtangga;
6)
perubahan
kehidupan
sosial
(migrasi,
menjual/menggadaikan miliknya, peminjaman); 7) keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan) dan 8) status gizi (Suhardjo 1996 dalam Purlika 2004). Menurut Tim Peneliti-LIPI (2004), berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan ketersediaan pangan; 2) stabilitas ketersediaan
5
pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; 3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta; 4) kualitas/keamanan pangan. Keempat komponen tersebut dapat digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Ketahanan pangan sendiri menurut UU No. 7 tahun 1996 mengenai pangan, merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumahtangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dalam
Usfar
(2002) juga
disebutkan
bahwa
ketahanan
pangan
berhubungan dengan empat aspek yaitu: 1) ketersediaan (makanan yang cukup dan siap sedia digunakan); 2) akses (semua anggota dalam rumahtangga tersebut memiliki sumber yang cukup untuk memperoleh makanan yang sesuai); 3) utilisasi (kemampuan tubuh manusia untuk mencerna dan melakukan metabolisme terhadap makanan yang dikonsumsi dan fungsi sosial makanan dalam menjaga keluarga dan masyarakat); dan 4) keberlanjutan (ketersediaan makanan untuk jangka waktu yang lama). Keempat aspek tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Food coping strategy sangat berkaitan dengan ketahanan pangan. Hal ini disebabkan
setiap
tindakan
food
coping
yang
dilakukan
harus
mempertimbangkan ketahanan pangan rumahtangga suatu keluarga. Maxwell dan Frenkenberger (1992) dalam Widiyanti (2007) menyatakan bahwa untuk mengukur ketahanan pangan dapat dilakukan dengan bebeapa indikator. Indikator-indikator tersebut apat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menjelaskan situasi pangan yang ditunjukan dengan ketesediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung (konsumsi dan frekuensi pangan) dan indikator tak langsung (penyimpangan pangan dan status gizi). Ketahanan Pangan Rumahtangga Menurut Internasional Congres of Nutrition (ICN) di Roma tahun 1992, ketahanan pangan rumahtangga adalah kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Definisi tersebut diperluas dengan menambahkan persyaratan “harus diterima oleh budaya setempat”, hal ini disampaikan dalam siding Committee on World Food Security tahun 1995 (Adi 1998).
6
Ketahanan pangan rumahtangga berhubungan dengan kemampuan rumahtangga tersebut untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggotanya (Van Braun et al 1992 dalam Usfar 2002). Hal ini menyiratkan akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup dalam kuantitas dan kualitas gizi, aman, dan dapat diterima oleh budaya setempat untuk memeuhi kebutuhan tiap anggota keluarga. Menurut Usfar (2002) akses rumahtangga terhadap pangan merupakan strategistrategi untuk mendapatkan makanan dari berbagai sumber. Makanan bagi suatu rumahtangga dapat berasal dari beberapa sumber antara lain: dengan memproduksi sendiri, membeli, atau berasal dari pemberian. Akses individu dalam menjangkau kebutuhan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli, tingkat pendapatan, harga pangan, proses distribusi pangan, kelembagaan ditingkat lokal dan faktor sosial lainnya. INFLOW
OUTFLOW
• Purchased • Self-produced (field,garden) • Received (neighbor, relative)
Household Food Availibility
• Given away (neighbor, guest) • Farm animals • Thrown away
Eaten outside home
Gambar 1. Jalur Pangan dalam Rumahtangga (Usfar 2002) Terdapat dua tipe ketidaktahanan pangan dalam rumahtangga yaitu kronis dan transitory. Ketidaktahanan pangan kronis sifatnya menetap, merupakan ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidak mampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan biasanya kondisi ini diakibatkan oleh kemiskinan. Ketidaktahanan pangan transitory adalah penurunan akses terhadap pangan yang sifatnya sementara, biasanya disebabkan oleh bencana alam yang berakibat pada ketidakstabilan harga pangan, produksi, dan pendapatan (Setiawan 2004 dalam Kartika 2005). Pengukuran Ketahanan Pangan Agar dapat mewaspadai masalah-masalah yang dapat mengancam ketahanan
pangan
atau
timbulnya
kerawanan
pangan
perlu
dilakukan
7
pemantauan pola konsumsi dan persediaan pangan serta status gizi. Dalam pemantauan untuk menilai keadaan pangan diperlukan data perorangan, data keluarga, dan data masyarakat. Data perorangan meliputi data perubahan status gizi, dan pola konsumsi pangan baik kualitatif maupun kuantitatif. Data keluarga meliputi perubahan pola konsumsi pangan, persediaan pangan baik produksi sendiri maupun yang dibeli atau pemberian, dan perubahan lapangan kerja anggota keluarga. Data masyarakat dan desa meliputi curah hujan, perubahan hasil produksi pertanian, perubahan jumlah penduduk berdasarkan ada tidaknya sumber penghasilan, perubahan pola persediaan pangan di keluarga, perubahan pola migrasi penduduk, perubahan kepemilikan lahan dan aset lain dan sebagainya (Soekirman 2000). Pengukuran ketahanan pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003) dapat diukur melalui tingkat ketidakcukupan energi yang menunjukkan keparahan defisit energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori pada seseorang individu dibawah energi yang dianjurkan (<70%). Berdasarkan acuan Depkes (1996) dalam BKP (2008), tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein kurang dari 70% dikategorikan sebagai defisit energi atau protein tingkat berat, tingkat kecukupan konsumsi antara 70% sampai dengan kurang 80% sebagai defisit tingkat sedang, dan tingkat kecukupan konsumsi antara 80% hingga kurang dari 90% sebagai defisit tingkat ringan. Berdasarkan ukuran tersebut, akan dikatakan kelaparan apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan disertai dengan penurunan berat badan, dikatakan rawan pangan tingkat berat apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan tidak disertai penurunan berat badan, bila tingkat kecukupan energinya 70%-<80% maka dikatakan rawan pangan sedang, dan bila tingkat kecukupan energi lebih dari 80%-<90% maka dikatakan rawan pangan ringan dan 90% ke atas termasuk tahan pangan. Pengukuran Status Kelaparan Kelaparan dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Smith (2003) mengemukakan metode dan ukuran untuk menilai kerawanan pangan pada tingkat rumahtangga maupun individu, melalui empat jenis keadaan, yang dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan tersebut adalah: 1) ketidakcukupan energi rumahtangga; 2) tingkat ketidakcukupan energi; 3) keanekaragaman makanan (dietary diversity); dan 4) persentase pengeluaran untuk pangan (% food expenditure). FAO (2002) menggunakan empat jenis
8
kondisi yang hampir sama untuk menilai kelaparan baik pada tingkat rumahtangga maupun individu yaitu: 1) Ketersediaan pangan (Dietary Energy Supply); 2) Konsumsi Energi; 3) Status Gizi Secara anthropometri; dan 4) Persentase pengeluaran untuk pangan (% Food Expenditure). Di Indonesia, melalui Lokakarya Perumusan Indikator Kelaparan pada bulan November 2002 dan telah disempurnakan melalui penelitian uji coba instrumen kelaparan tersebut pada tahun 2004, maka disepakati sepuluh pertanyaan yang mencerminkan perubahan jumlah dan frekuensi makan serta perubahan berat badan yang diteliti selama dua bulan terakhir, pertanyaannya adalah: 1. Dalam setahun terakhir, berapa kali sehari biasanya saudara makan?..... kali 2. Dalam dua bulan terakhir berapa kali sehari biasanya saudara makan? ..... kali 3. Bila berkurang/menurun (Isian R.2 < R.1), mengapa? 1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 3. Tidak sempat/sibuk 5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 7. Lainnya
2. Diet 4. Puasa 6. Jatah berkurang
4. Dalam dua bulan terakhir, apakah jumlah/porsi makan semakin berkurang dibanding biasanya? 1. Ya 2. Tidak (Bila R.4 =2, Langsung ke R.6) 5. Bila “ya” mengapa? 1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 3. Tidak sempat/sibuk 5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 7. Lainnya 6. Dalam dua bulan terakhir, apakah berat
2. Diet 4. Puasa 6. Jatah berkurang badan
saudara
semakin
berkurang/kurus (pakaian/celana semakin longgar)? 1. Ya
2. Tidak
7. Bila “ya” (R.6=1), mengapa? 1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 3. Tidak sempat/sibuk 5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 7. Lainnya
2. Diet 4. Puasa 6. Jatah berkurang
8. Menurut anda ukuran tubuh responden yang diamati tergolon 1. Gemuk
2. Normal (biasa)
3. Kurus/ kurang gizi
9. Jika tergolong kurus, tanyakan sejak berapa lama mempunyai ukuran tubuh sedemikian? ....... bulan
9
10. Jika tergolong kurus, tanyakan kepada responden kemungkinan penyebab utamanya. 1. Sakit kronis 2. Kurang makan/tidakmampu beli makanan 3. Lainnya (...................) Berdasarkan pertanyaan diatas, seorang individu dikatakan lapar apabila terjadi penurunan frekuensi atau penurunan porsi disertai penurunan berat badan. Dikatakan rawan pangan apabila hanya terjadi penurunan frekuensi atau porsi makan, serta dikatakan tahan pangan apabila tidak terjadi penurunan baik frekuensi maupun porsi konsumsi, karena alasan ekonomi atau ketersediaan. Food Coping Strategy Teori yang mendasari food coping strategy adalah teori perilaku. Faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku manusia antara lain : faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal terdiri dari faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis menekankan pada pengaruh struktur biologis terhadap perilaku manusia. Faktor biologis ini meliputi instink atau motif biologis. Beberapa hal yang dikelompokan sebagai motif biologis ini antara lain kebutuhan makan, minum dan lain-lain. Selain faktor biologis faktor sosiopsikologis juga termasuk faktor personal. Menurut pendekatan ini proses sosial seseorang akan membentuk
beberapa
karakter
dari
seseorang
yang
akhirnya
akan
mempengaruhi perilakunya. Karakter sendiri terdiri dari tiga komponen yaitu komponen afektif, kognitif dan konatif. Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis. Dalam komponen ini tercakup motif sosiogenesis, sikap dan emosi. Komponen kognitif berhubungan dengan aspek intelektual. Komponen kognitif yang merupakan faktor sosiopsikologis adalah kepercayaan. Komponen konatif berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan untuk bertindak. Selain faktor personal terdapat pula faktor situasional yang dapat mempenaruhi perilaku manusia. Faktor-faktor situasional ini berupa : faktor ekologis (kondisi alam atau iklim), faktor rancangan atau arsitektural (penataan ruang), faktor temporal (emosi, suasana perilaku, teknologi), faktor sosial (sistem peran, struktur sosial, karakteristik sosial individu) (Sofa 2008 dalam Mutiara 2008). Secara umum coping strategy merupakan berbagai upaya, baik mental maupun
perilaku,
untuk
menguasai,
mentoleransi,
mengurangi,
atau
minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan
10
perkataan lain
strategi coping merupakan suatu proses dimana individu
berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi stress yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya (Zainun 2002). Menurut Sen (2003); Anonymous (2004); Davies (1993) diacu dalam Usfar (2002), coping strategy merupakan upaya yang dilkukan seseorang untuk mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan menurut kemampuan fisik, kemampuan biologi, maupun kemampuan material. Food coping strategy biasanya
dilakukan
meningkatkan
untuk
kemampuan
mendayagunakan dalam
mengakses
alat
tukar
pangan
sebagai untuk
upaya
menjamin
kelangsungan hidup seseorang dan anggota keluarganya. Manifestasi food coping strategy setiap orang akan berbeda tergantung dari masalah yang mereka hadapi. Keberhasilan upaya ini bergantung pada sistem nilai yang mendukung dan berkembang dalam masyarakat (Sen 1982). Dalam Usfar (2002) dinyatakan bahwa tindakan food coping dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu: melakukan aktivitas yang mendatangkan pendapatan, melakukan perubahan diet (pola makan), berbagai cara untuk mendapatkan (mengakses) makanan, berbagai cara untuk mendapatkan (mengakses) uang (tunai), hingga cara yang paling drastis dengan melakukan migrasi atau mengurangi jumlah anggota keluarga. Menurut Maxwell (2001), bentuk-bentuk food coping strategy yang dilakukan keluarga untuk memenuhi kebutuhannya akan pangan yaitu: 1) mengurangi makanan kesukaan dan membeli makanan yang lebih murah; 2) meminjam makanan atau uang untuk membeli pangan; 3) membeli makanan dengan berhutang; 4) meminta bantuan kepada sanak saudara atau teman; 5) membatasi dan membagi makanan pada waktu makan; 6) menyisishkan sedikit uang dari anggota keluarga untuk membeli makanan di jalan; 7) membatasi konsumsi pangan pribadi untuk memastikan anak-anak mendapat cukup makanan; 8) mengurangi jenis makanan pada satu hari; dan 9) menjalani hari tanpa makan. Masih menurut Maxwell (2001) terdapat empat kategori umum yang merupakan ukuran individu dari coping strategy yang ditetapkan berdasarkan lokasi dan budaya yaitu: 1) perubahan diet yaitu pengurangan pada makanan yang disukai dan berharga mahal; 2) penambahan akses pangan dalam jangka waktu pendek seperti peminjaman, bantuan, pencarian jenis pangan yang saat kondisi normal jarang dikonsumsi, dan penggunaan
11
persediaan pangan untuk dikonsumsi; 3) pengurangan jumlah anggota dalam pemberian makan (migrasi jangka pendek); 4) Perubahan distribusi makan (prioritas istri untuk anak-anak terutama yang laki-laki, pembatasan ukuran porsi makan, dan melewatkan waktu makan atau bahkan tidak makan seharian). Berdasarkan golongan perilaku food coping strategy dibagi menjadi beberapa tingkatan dan digolongkan menjagi beberapa skala. Tabel di bawah ini menunjukan pembagian tersebut:
12
Tabel 1 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku Tipe Skala Skala 1
Golongan perilaku A. Meningkatkan pendapatan
Perilaku 1. 2.
B. Perubahan kebiasaan makan
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
C. Penambahan akses dengan segera pada pangan
D. Perubahan distribusi dan frekuensi pangan
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Skala 2
Skala 3
E. Menjalani hari-hari tanpa makan A. Penambahan akses segera untuk beli pangan
B. Langkah drastic
17.
Mencari pekerjaan sampingan Menanam tanaman yang dapat dimakan di kebun Beternak ayam, dll Membeli makanan yang lebih murah Mengurangi jenis panan yang dikonsumsi Ubah prioritas pembelian makanan Beli pangan yang kualitasnya lebih rendah Kurangi porsi makan Kumpulkan makanan liar Menerima bantuan pangan pemerintah Bantuan pangan dari saudara Food work pemerintah Terima kupon raskin Pertukaran pangan Perubahan distribusi pangan Kurangi frekuensi pangan Puasa
1. Ambil uang tabungan untuk makan 2. Gadai asset untuk beli pangan 3. Menjual asset tidak produktif 4. Menjual asset produktif 5. Pinjam uang dari saudara dekat 6. Pinjam uang dari saudara jauh 7. Beli pangan dengan berhutang 8. Migrasi ke kota/desa 9. Migrasi ke luar negeri 10. Memberikan anak pada saudara 11. Bercerai
Kaitan Karakteristik Keluarga dengan Food Coping Strategy Karakteristik rumahtangga sangat berpengaruh dengan kedalaman food coping strategy yang dilakukan oleh suatu rumahtangga. Hasil dari penelitian
13
Mutiara (2002) didapatkan kesimpulan bahwa semakin rendah pengeluaran per kapita, pendidikan kepala keluarga, pandidikan ibu dan semakin besar jumlah anggota keluarga, umur kepala keluarga, umur ibu, maka banyak tindakan dan kedalaman food coping strategy yang mereka lakukan. Besar Keluarga Jumlah anggota keluarga yang terlalu besar seringkali menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Menurut Sanjur (1982) besarnya atau banyaknya anggota keluarga mempengaruhi besarnya belanja keluarga. Kondisi ini menjadi suatu pertimbangan keluarga dalam melakukan food coping strategy. Hasil penelitian Chaudhury (1984) di Bangladesh dalam Mutiara (2008), menunjukan bahwa dengan bertambahnya besar keluarga maka akan timbul dampak yang merugikan terhadap status gizi, hal ini disebabkan oleh menurunnya alokasi terhadap makanan seiring dengan bertambahnya anggota keluarga. Pendidikan Semakin tinggi pendidikan formal yang diterima seseorang maka akan semakin tinggi pula status ekonominya. Hal ini terjadi karena tingginya status ekonomi juga berhubungan dengan tingkat pendapatan, sehingga keluarga atau kepala keluarga yang memiliki tingkat pendidikan tinggi maka akan memiliki lebih banyak uang yang dapat digunakan untuk pembelian pangan. Dalam hal ini peningkatan pendapatan dapat mengatasi masalah bila terjadi kekurangan dalam keluarga (Sanjur 1982). Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga Jenis
pekerjaan
seseorang
akan
berpengaruh
terhadap
besar
pendapatan yang diperolehnya. Kemampuan individu untuk melakuakan food coping strategy dipengaruhi oleh pekerjaan dan pendapatan yang dimilikinya. Perbedaan jenis pekerjaan, tempat bekerja dan jam kerja dapat mempengaruhi perilaku dari anggota keluarga (Martianto dan Ariani 2004 dalam Mutiara 2008). Pengeluaran Keluarga Kebutuhan dasar manusia dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama adalah kebutuhan primer yang terdiri dari kebutuhan gizi, kebutuhan akan perumahan, pelayanan, pengobatan, pendidikan dan kebutuhan akan sandang. Kebutuhan primer ini merupakan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi untuk
14
hidup yang layak. Kedua adalah kebutuhan sekunder yang terdiri dari waktu luang, ketenangan hidup dan lingkungan yang mendukung. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam keluarga dilakukan dengan menggunakan sumber daya yang ada dalam keluarga tersebut (Guhardja 1992 dalam Mutiara 2008). Dalam Mutiara (2008) disebutkan bahwa pola pengeluaran suatu masyarakat dapat mencerminkan tingkat kehidupannya. Komposisi pengeluaran untuk makanan dan bukan untuk makanan dapat menjadi indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan dikatakan semakin baik apabila komposisi pengeluaran untuk non makanan lebih besar daripada pengeluaran untuk makanan. Di negara-negara maju biasanya persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran adalah di bawah 50 persen. Namun di negara-negara berkembang persentase tersebut masih mencapai 50 persen bahkan lebih. Menurut BPS (2006) pengeluaran konsumsi rumahtangga dibagi menjadi dua yaitu: 1) pengeluaran untuk makan dan 2) pengeluaran non makanan. Kedua pengeluaran
tersebut
merupakan
pengeluaran
untuk
kebutuhan
rumahtangga/rumahtangga saja. Pengeluaran rumahtangga dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Secara naluriah rumahtangga akan memprioritaskan pengeluaran pangan terlebih dahulu kemudian pengeluaran non pangan. Namun perilaku ini tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, lokasi tempat tinggal dan musim (Mangkuprawira 2002 dalam Mutiara 2008). Menurut Azwar (2004) dalam Kartika (2005), proporsi pengeluaran pangan
dapat
digunakan
sebagai
indikator
untuk
menentukan
tingkat
pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan. Semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan berarti tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga semakin rendah. Dukungan Sosial Manusia sebagai indvidu yang sekaligus sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri. Manusia akan memerlukan bantuan orang lain dan sumbersumber dukungan sosial dalam memenuhi segala kebutuhannya. Dukungan sosial ini dalam Mutiara (2008) disebutkan harus diperoleh dari orang lain seperti; keluarga, saudara, atau masyarakat dimana orang tersebut berada.
15
Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan maupun kelompok (Sarafino 1996). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dari keluarga dan masyarakat dapat mempengaruhi cara mengatasi suatu masalah dalam rumahtangga dalam hal ini adalah masalah pemenuhan kebutuhan. Menurut Sarafino (1996), manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut kepentingan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni rumahtangga (suami atau istri), saudara atau masyarakat (tetangga) dimana orang tersebut tinggal. Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga mencakup adanya interaksi di antara anggota dan saling membantu, sehingga tetap terjalin hubungan dan menghasilkan kepuasan batin seseorang (Sarafino 1996). Sarafino mengemukakan dukungan sosial terdiri dari dukungan emosi, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dan dukungan informasi. Dukungan emosi melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai, dan diperhatikan. Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. Dukungan ini biasanya diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu, seperti keluarga, tetangga, atau mungkin teman. Dukungan instrumental melibatkan bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan
tugas-tugas
tertentu.
Dukungan
penghargaan
melibatkan
pengakuan dari orang lain atas kemampuan dan kualitas individu. Dukungan ini dapat berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan atau penampilan orang lain, atau mau menerima atas segala kekurangan pada diri orang lain. Dukungan informasi memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan, arahan, diskusi masalah
16
maupun pengajaran suatu keterampilan. Dengan adanya informasi ini, maka individu dapat menyelesaikan masalahnya atau menambah pengetahuan baru. Konsumsi Pangan Konsumsi Pangan adalah jumlah pangan tunggal atau beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan mendapatkan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Hasil penilaian terhadap konsumsi pangan ini dapat digunakan sebagai bukti awal akan adanya kemungkinan terjadinya kekurangan gizi pada seseorang. Sehingga dapat digunakan untuk menilai status gizi secara tidak langsung (Supriasa et al. 2002). Konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: produksi pangan untuk keperluan keluarga, pengeluaran pangan untuk keluarga, pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan (Harper et al. 1998 dalam Mutiara 2008). Pengukuran atau penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan metode kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizinya. Metode-metode untuk pengukuran konsumsi pangan secara kuantitatif antara lain: 1) recall 24 jam; 2) perkiraan makanan (estimated food records); 3) penimbangan makanan (food weighing); 4) metode food account; 5) metode inventaris; 6) pencatatan (household food records). Metode kualitatif biasanya digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis makanan, dan menggali informasi mengenai kebiasaan makan. Metode-metode yang biasa digunakan dalam penilaian konsumsi secara kualitatif antara lain: 1) metode frekuensi makanan (food frequency); 2) metode dietary history; 3) metode telepon; 4) metode pendaftaran makanan (food list). Pemilihan metode yang akan digunakan dalam suatu penelitian mempertimbangkan beberapa hal, antara lain: tujuan penelitian, jumlah responden, ketersediaan dana dan tenaga, tingkat pendidikan responden, pertimbangan logistik pengumpulan data, dan presisi serta akurasi dari metode terpilih (Supriasa et al. 2002). Penggunaan metode frekuensi makanan (food frequency) bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini juga dapat digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara semi kuantitatif dengan memasukkan ukuran porsi makan. Dengan meode ini dapat dinilai juga frekuensi penggunaan pangan atau
17
kelompok pangan tertentu (misalnya: sumber lemak, sumber protein, sumber vitamin A) selama kurun waktu yang spesifik (misalnya: per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus memperkirakan konsumsi zat gizinya (Gibson 1993 dalam Mutiara 2008). Kebiasaan Makan Kebiasaan makan merupakan suatu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Menurut Almatsier (2004), kebiasaan makan suatu masyarakat salah satunya tergantung dari ketersediaan pangan di daerah tersebut yang pada umumnya berasal dari usaha tani. Selain faktor ketersediaan pangan faktor sosial ekonomi dari masyarakat juga sangat berpengaruh
terhadap
kebiasaan
makan
mereka.
Faktor
sosial
yang
mempengaruhi antara lain: 1) keadaan penduduk suatu masyarakat (jumlah, umur, distribusi jenis kelamin, dan geografis); 2) keadaan keluarga (besar keluarga, hubungan, jarak kelahiran); 3) pendidikan (tingkat pendidikan ibu/ayah). Faktor ekonomi yang mempengaruhi antara lain: 1) pekerjaan (pekerjaan
utama,
pekerjaan
tambahan);
2)
Pendapatan
keluarga;
3)
Pengeluaran; 4) Harga pangan yang tegantung pada pasar dan variasi musim (Supriasa et al. 2002).
18
KERANGKA PEMIKIRAN Karakteristik keluarga (besarnya keluarga, usia kepala keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga, pekerjaan kepala keluarga, dan lain-lain) sangat mempengaruhi akses keluarga tersebut dalam memenuhi kebutuhan termasuk kebutuhan akan pangan. Kemudahan dalam mengakses pangan akan secara langsung mempengaruhi ketersediaan pangan dalam suatu rumahtangga. Selain itu memiliki hubungan yang saling mempengaruhi terhadap food coping strategy yang dilakukan oleh rumahtangga. Ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhannya akan pangan akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity). Keputusan yang biasa diambil keluarga untuk tetap memenuhi kebutuhan pangan dan penaggulangan masalah kerawanan pangan yang dihadapi serta mempertahankan hidup anggota keluarga dikenal dengan istilah food coping strategy. Food coping strategies dapat diartikan pula sebagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan dalam hal pangan atau dilakukan saat akses terhadap pangan menurun. Food coping strategy ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada faktor dari dalam rumahtangga maupun dari luar rumahtangga. Faktor dari dalam antara lain: struktur demografi rumahtangga tersebut, status sosial ekonomi, dukungan sosial dan dinamika dalam rumahtangga. Sedangkan faktor dari luar antara lain: tekanan politik dan ekonomi, iklim, konsisi ekonomi, institusi dan infrastruktur yang ada.
19
Karakteristik Keluarga 1. Besar keluarga 2. Pendidikan kepala keluarga 3. Pendidikan ibu 4. Pekerjaan dan pendapatan KK 5. Pengeluaran keluarga
Food Coping Strategy : 1. Perubahan kebiasaan makan 2. Penjualan aset RT yang dimiliki 3. Mencari pendapatan tambahan
• •
Akses : Ekonomi Dukungan sosial
Ketersediaan pangan keluarga
4. Memanfaatkan SD yang tersedia
Ketahanan pangan rumahtangga
Status gizi keluarga
Gambar 2. Kerangka pemikiran
Hubungan Food Coping Strategy dengan
Ketahanan Pangan Rumahtangga Keterangan gambar : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti
: hubungan yang diteliti : hubungan yang tidak diteliti
20
METODE PENELITIAN Desain Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan ini menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian “Model Penguatan Modal Komunitas Pertanian dalam Upaya Pencegahan dan Penaggulangan Kelaparan”. Penelitian dilakukan di Kabupaten Lebak Provinsi Banten pada bulan April hingga Mei 2009. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Penarikan contoh dilakukan secara purposive, yaitu contoh merupakan rumahtangga petani di wilayah tipologi desa tipe 3 (tingkat kesejahteraan rendah, sector nonfarm rendah) dan tipe 2 (tingkat kesejahteraan tinggi, sektor nonfarm rendah). Contoh berjumlah 110 rumahtangga dengan kriteria: 1) pekerjaan utama kepala rumahtangga adalah petani; 2) mewakili populasi berdasarkan proporsi kepemilikian lahan lebih dari 10.000 m2, memiliki lahan 5.000-10.000 m2, memiliki lahan kurang dari 5.000 m2, dan tidak memiliki lahan. Setelah dilakukan cleaning contoh yang dapat dipergunakan adalah 101 rumahtangga. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data sosial demografi keluarga meliputi, usia kepala keluarga, lama pendidikan formal kepala keluarga, lama pendidikan formal ibu, jumlah anggota keluarga, pengeluaran keluarga untuk pangan dan non pangan, ketersediaan pangan keluarga serta food coping strategy keluarga. Data primer diperoleh melalui wawancara kepada keluarga sasaran dengan menggunakan kuiseoner. Jenis data dan cara pengumpulannya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data No
Variabel
1
Data sosial demografi keluarga
2
Data ekonomi keluarga (termasuk akses pangan keluarga)
3
Food coping strategy
4
Ketersediaan pangan keluarga
5
Data sekunder
Cara Pengumpulan Wawancara dengan menggunakan kuesioner Wawancara dengan menggunakan kuesioner Wawancara dengan menggunakan kuesioner Wawancara dengan menggunakan kuesioner Pengambilan data ke instansi terkait
21
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan program computer Microsoft Excel dan SPSS 13,0 for Windows. Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry dan analisis. Penilaian skor food coping strategy dilakukan untuk mengetahui kategori tingkat coping keluarga. Berdasarkan Usfar (2002) rumus untuk menghitung food coping strategy keluarga adalah sebagai berikut : Skor food coping strategy = (n1× 1) + (n2 × 2) + (n3 × 3) Keterangan : n1 = Jumlah perilaku coping pada keluarga yang tergolong skala1 n2 = Jumlah perilaku coping pada keluarga yang tergolong skala2 n3 = Jumlah perilaku coping pada keluarga yang tergolong skala3 Hubungan antara karakteristik keluarga dengan miskin tidaknya suatu keluarga, dan kondisi ketahanan pangan keluarga dengan skor food coping strategy dianalisis dengan mengunakan uji korelasi spearman. Kemudian penaruhnya di analisis menggunakan analisis regresi linear dengan persamaan : Y = a + b1X1 + b2X2 + ….+ bnXn Keterangan : Y = Variabel dependen a = konstanta angka konstan koefisien regresi b = koefisien variabel independen X = Variabel independen
22
Tabel 3 Skala food coping strategy berdasarkan golongan perilaku Tipe Skala Skala 1
Golongan perilaku A. Meningkatkan pendapatan
B. Perubahan kebiasaan makan
C. Penambahan akses dengan segera pada pangan
D. Perubahan distribusi dan frekuensi pangan
Skala 2
Skala 3
E. Menjalani hari-hari tanpa makan F. Penambahan akses segera untuk beli pangan
G. Langkah drastis
Perilaku 1. Mencari pekerjaan sampingan 2. Menanam tanaman yang dapat dimakan di kebun 3. Beternak ayam, dll 4. Membeli makanan yang lebih murah 5. Mengurangi jenis panan yang dikonsumsi 6. Ubah prioritas pembelian makanan 7. Beli pangan yang kualitasnya lebih rendah 8. Kurangi porsi makan 9. Kumpulkan makanan liar 10. Menerima bantuan pangan pemerintah 11. Bantuan pangan dari saudara 12. Food work pemerintah 13. Terima kupon raskin 14. Pertukaran pangan 15. Perubahan distribusi pangan 16. Kurangi frekuensi pangan 17. Puasa 18. Ambil uang tabungan untuk makan 19. Gadai asset untuk beli pangan 20. Menjual aset tidak produktif 21. Menjual aset produktif 22. Pinjam uang dari saudara dekat 23. Pinjam uang dari saudara jauh 24. Beli pangan dengan berhutang 25. Migrasi ke kota/desa 26. Migrasi ke luar negeri 27. Memberikan anak pada saudara 28. bercerai
23
Definisi Operasional Food Coping Strategy adalah segala upaya yang dilakukan oleh suatu keluarga untuk mengatasi keadaan kekurangan pangan sehingga tidak terjadi kondisi kerawanan pangan yang berkelanjutan. Skor coping adalah banyaknya upaya coping yang dilakukan suatu keluarga dan telah dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi sehingga dapat menggambarkan keadaan keluarga contoh. Pangan adalah semua bahan makanan pokok yang dibutuhkan oleh setiap individu sehingga kebutuhan akan zat gizinya dapat terpenuhi dan dapat melakukan aktivitasnya dengan baik. Ketahanan Pangan adalah keadaan dimana setiap rumahtangga mempunyai konsumsi terhadap pangan yang cukup baik dari segi jumlah maupun mutu. Akses pangan adalah proporsi dan jumlah pengeluaran per bulan yang dikeluarkan rumahtangga untuk kebutuhan pangan maupun non pangan. Jumlah anggota keluarga adalah besarnya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Pendidikan adalah lamanya seseorang menempuh sekolah formal yang dihitung dengan satuan waktu. Dukungan sosial adalah segala jenis bantuan baik emosi, instrumental, penghargaan, dan informasi yang diterima dari orang lain.
24
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua desa yang mewakili dua kecamatan yang berada di kabupaten Lebak Banten. Luas Wilayah Kabupaten Lebak adalah seluas 304.472 hektar, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Serang, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Indonesia, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pandeglang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi. Jumlah penduduk di Kabupaten Lebak berjumlah 1.219.033 jiwa. Sebagian besar penduduk di Kabupaten Lebak, yaitu sebanyak 41.64% atau sebanyak 186.634 jiwa adalah petani, 22.62% (101.379 jiwa) adalah buruh tani, sisanya bekerja di sektor lain seperti sebagai nelayan, PNS, bekerja di bidang industri dan perdagangan serta lainya. Kabupaten Lebak memiliki 28 kecamatan, dua diantaranya adalah Kecamatan Cileles dan Kecamatan Warunggunung. Kecamatan Cileles memiliki luas wilayah 12.498 ha dengan jarak ke ibukota kabupaten sejauh 50 km, semantara Kecamatan Warunggunung memiliki luas wilayah 4.953 ha dan hanya berjarak 10 km dari ibukota kabupaten. Masing-masing kecamatan tempat penelitian ini memiliki 12 desa dengan jumlah penduduk masing-masing kecamatan, untuk Kecamatan Cileles adalah 48.139 jiwa dan Kecamatan Warunggunung 51.414 jiwa. Desa Pasindangan Desa Pasindangan merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Cileles Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan luas wilayah 3.297.2 ha. Jarak Desa Pasindangan dari ibu kota kecamatan adalah tujuh km. Desa Pasindangan terbagi dalam tujuh kampung yang terdiri dari tujuh Rukun Warga (RW) dan 17 Rukun Tetangga (RT). Batas wilayah Desa Pasindangan diantaranya sebelah utara berbatasan dengan Desa Bendungan, Desa Kumpai, dan Desa Cipadang. Sebelah timur dengan Desa Kujangsari, dan Desa Cikareo. Sedangkan di sebelah selatan dengan Desa Cinginggang, dan sebelah barat dengan Desa Mekarjaya. Desa Pasindangan termasuk desa yang luas dibandingkan dengan desa-desa di wilayah Kecamatan Cileles lainnya bahkan menjadi yang terluas diantara desa-desa disekitarnya yang berada dalam satu kecamatan, Desa Cipadang memiliki luas 1.388 ha, Desa Kujangsari 1.891 ha, dan Desa Cikareo
25
2.065 ha. Luas lahan yang cukup luas di Desa Pasindangan masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sendiri, sebagian besar lahan dimanfaatkan sebagai wilayah perkebunan oleh pihak swasta dan pemerintah, sebagian lainnya untuk perkebunan rakyat, pertanian, pemukiman, dan lain-lain. Pemanfaatan lahan di Desa Pasindangan ditunjukkan oleh tabel berikut: Tabel 4 Pemanfaatan lahan Desa Pasindangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Pemanfaatan lahan Pemukiman dan pekarangan Sawah irigasi setengah teknis Sawah tadah hujan Ladang/huma Perkebunan rakyat Perkebunan swasta Lapangan olah raga Kas desa Kantor pemerintahan Tanah fasilitas umum lainnya Hutan lindung Hutan produksi Hutan konversi Total
Luas (ha) 28.8 20.0 194.0 350.0 388.5 1.414.0 2.0 2.5 0.2 18.0 190.0 595.0 94.2 3.297.2
% Luas terhadap luas wilayah 0.87 0.61 5.88 10.62 11.78 42.88 0.06 0.08 0.01 0.55 5.76 18.05 2.86 100.00
Pemanfaatan lahan Pasindangan sebagian besar digunakan untuk perkebunan, yaitu sebesar 42.88% (1.414 Ha) untuk perkebunan swasta dan 11.78% (388,5 Ha) sebagai perkebunan rakyat. Jika dilihat dari pemanfaatan lahannya, Desa Pasindangan merupakan kawasan perkebunan. Jumlah penduduk Desa Pasindangan pada tahun 2006 tercatat sebanyak 3.589 jiwa yang terdiri dari 835 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk menurut jenis kelamin yaitu, 1.817 jiwa penduduk laki-laki dan 1.772 jiwa penduduk perempuan. Berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tinggi rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan penduduk Desa Pasindangan adalah sebagai berikut:
26
Tabel 5 Tingkat pendidikan penduduk Desa Pasindangan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tingkat Pendidikan
n
Tidak tamat SD/sederajat Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Tamat D1 Tamat D2 Tamat D3 Tamat Perguruan Tinggi (S1) Total
%
245 655 305 147 12 9 5 5 1.383
17.7 47.4 22.0 10.6 0.9 0.6 0.4 0.4 100.0
Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Desa Pasindangan masih tergolong rendah yang ditunjukkan oleh banyaknya penduduk yang hanya menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) sebesar 47.4%. Sedangkan penduduk yang mampu menyelesaikan pendidikan sampai perguruan tinggi hanya sebagian kecil, yaitu hanya sebesar 0.4% saja. Kondisi ini akan memberikan dampak pada kemampuan ekonomi penduduk dan besarnya peluang memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Tabel berikut menunjukkan jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan. Tabel 6 Jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Pekerjaan Petani Buruh tani Buruh/swasta PNS Pengrajin Pedagang Bengkel/montir Total
n 416 56 77 27 25 255 12 868
% 47.9 6.4 8.9 3.1 2.9 29.4 1.4 100.0
Sebagian besar jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan sebagai Petani, yang terdiri dari petani (47.9%) dan buruh tani (6.4%). Pekerjaan yang terbanyak ditekuni oleh penduduk Desa Pasindangan selain petani adalah pedagang, yaitu sejumlah 29.4%. Tersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan sangat menunjang dalam terciptanya kesejahteraan dalam masyarakat. Prasarana pendidikan yang ada pada Desa Pasindangan dapat dilihat pada tabel berikut:
27
Tabel 7 Prasarana pendidikan Desa Pasindangan No 1 2 3 4 5
Lembaga Pendidikan TK SD SMP SMA Lembaga Pendidikan Agama Total
n 1 5 1 1 3 11
Jumlah tenaga pengajar untuk TK di Desa ini hanya dua orang, di SD terdapat 27 orang, SMP memiliki sembilan tenaga pengajar, dan di SMA terdapat tiga orang pengajar serta enam orang pengajar pada lembaga pendidikan agama yang ada di Desa Pasindangan. Sedangkan untuk prasarana kesehatan di Desa Pasindangan adalah sebagai berikut: Tabel 8 Prasarana kesehatan Desa Pasindangan No 1 2 3 4
Lembaga Kesehatan Puskesmas Pembantu Poliklinik/balai pengobatan Posyandu Tempat penyimpanan obat Total
n 1 1 3 1 6
Prasarana kesehatan yang ada di Desa Pasindangan ini ditunjang oleh satu tenaga paramedis dan lima orang dukun terlatih. Desa Banjarsari Desa Banjarsari merupakan salahsatu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Warunggunung Kabupaten Lebak Provinsi Banten yang berbatas dengan Desa Sukaraja di sebelah utara, Desa Cibuah di sebelah selatan, Desa Sindangsari di sebelah barat, dan Desa Padasuka di sebelah timur. Desa Banjarsari terletak di tengah wilayah Kecamatan Warunggunung dan mempunyai luas wilayah 519.69 ha. Bila dibandingkan dengan Desa lain di wilayah Kecamatan Warunggunung, Desa Banjarsari memiliki luas wilayah yang cukup luas, akan tetapi dengan desa sebelahnya seperti Cibuah, Sindangsari, Sukaraja, dan Padasuka. Desa Banjarsari berada di urutan ketiga setelah Sukaraja (864 ha) dan Padasuka (607 ha). Dengan luas wilayah tersebut antara lain dimanfaatkan untuk pertanian, pemukiman, kas desa, sarana dan prasarana, dan lain sebagainya. Adapun pemanfaatan lahan di Desa Banjarsari secara rinci ditunjukkan pada tabel berikut:
28
Tabel 9 Pemanfaatan lahan Desa Banjarsari No 1 2 3 4 5 6 7
Pemanfaatan lahan Pemukiman Sawah : Sawah irigasi setengah teknis Sawah tadah hujan Tanah rawa Perkebunan rakyat Perkebunan swasta Lapangan olah raga Kas desa
Luas (ha) 71.0
Persentase (%) 13.7
164.0 97.0 0.5 185.0 0 0 2.19
31.6 18.7 0.1 35.6 0 0 0.4
Pemanfaatan lahan di Desa Banjarsari sebagian besar digunakan untuk pertanian. Jika dilihat dari pemanfaatan lahan, Desa Banjarsari merupakan kawasan pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh pemanfaatan lahan untuk pertanian maupun perkebunan yang cukup besar dibandingkan dengan pemanfaatan lahan lainnya, yaitu 164 ha untuk sawah irigasi setengah teknis, 97 ha untuk sawah tadah hujan, dan 185 ha untuk perkebunan rakyat. Namun kepemilikan lahan di esa Banjarsari sebagian besar dikuasai oleh orang luar desa. Wilayah Desa Banjarsari terbagi menjadi 6 RW dan 26 RT. Tahun 2008 jumlah penduduk sebanyak 4.702 jiwa yang terdiri dari 1.095 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk menurut jenis kelamin yaitu 2.407 jiwa penduduk laki-laki dan 2.295 jiwa penduduk perempuan. Kualitas Sumberdaya manusia di Desa Banjarsari dapat diketahui dengan melihat tingkat pendidikan penduduk di desa ini. Tingkat pendidikan penduduk Desa Banjarsari adalah sebagai berikut: Tabel 10 Tingkat pendidikan penduduk Desa Banjarsari No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD/sederajat Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Tamat D1 Tamat D2 Tamat D3 Tamat Perguruan Tinggi (S1)
n 0 1.704 401 261 3 3 17 9
% 0 71.1 16.7 10.9 0.1 0.1 0.7 0.4
Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Desa Banjarsari tergolong rendah yang ditunjukkan oleh banyaknya penduduk yang hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) sedangkan penduduk yang mampu menyelesaikan pendidikan sampai tingkat yang lebih tinggi hanya sebagian kecil bahkan yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi sangat sedikit. Keadaan ini memberikan dampak pada
29
kemampuan ekonomi penduduk dan besarnya peluang penduduk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Hal ini dibuktikan oleh jenis pekerjaan penduduk di Desa Banjarsari. Tabel berikut ini menunjukkan jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari. Tabel 11 Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Pekerjaan Petani Buruh tani Buruh/swasta PNS Pengrajin Pedagang Bengkel/montir Total
n
%
1.638 472 403 19 5 125 3 2.665
61.5 17.7 15.1 0.7 0.2 4.7 0.1 100
Dari 4.702 jiwa penduduk, hanya 2.665 jiwa penduduk yang memiliki pekerjaan tetap, sisanya 2.037 jiwa penduduk tidak teridentifikasi jenis pekerjaannya. Keberagaman jenis pekerjaan di Desa Banjarsari rendah. Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari sebagian besar sebagai petani (61.5%) dan buruh tani (17.7%). Sisanya terbanyak memiliki jenis pekerjaan sebagai buruh/swasta (15.1%) dan pedagang (4.7%). Berdasarkan data tahun 2008, potensi ekonomi yang paling menonjol dan sudah dikembang di Desa Banjasari adalah bidang industri pengolahan, perikanan, dan pertanian. Berdasarkan data potensi desa 2008, jumlah prasarana kesehatan yang tersedia di Desa Banjarsari adalah 9 unit posyandu, 1 unit Poskesdes yang dikelola oleh 1 bidan. Selain itu tersedia 10 tenaga kesehatan tradisional yang terdiri dari 6 orang paraji, 2 orang pengobatan tradisinal, dan 2 orang paraji terlatih.
Jika dibandingkan dengan desa sekitarnya, sembilan unit Posyandu
yang tersedia di Desa Banjarsari belum mampu memberikan pelayanan secara efektif, terlihat dari masih ada sekitar 4 balita di desa ini yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk, bahkan masih ada sejumlah lainnya balita gizi kurang yang tidak terdentifikasi oleh posyandu. Desa Banjarsari memiliki keterbatasan dlaam pelayanan kesehatan, karena di desa sekitar ada paling tidak satu Dokter dan lebih dari satu Bidan yang memberikan pelayanan di desa tersebut. Keterbatasan jumlah petugas maupun sarana kesehatan di desa ini menyebabkan masyarakat desa harus keluar desa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih menunjang baik ke Puskesmas maupun praktek Dokter. Akan tetapi bagi mereka yang tidak
30
memiliki cukup uang untuk menjangkau pelayanan tersebut maka mereka memilih meminta pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan tradisional yang ada di desanya. Untuk sarana dan prasarana pendidikan di wilayah Desa Banjarsari terdapat 3 unit SD negeri dan 3 unit TPA. Keterbatasan sarana pendidikan ini menyebabkan banyak penduduk yang tidak dapat melanjutkan sekolah anaknya ke tingkat yang lebih tinggi, karena untuk melanjutkan sekolah mereka harus keluar desa dan jarak tempuh yang cukup jauh sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar apabila dibandingkan jika di desa tersebut tersedia sekolah lanjutan. Ketahanan Pangan Kelaparan dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Smith (2003) mengemukakan metode dan ukuran untuk menilai kekurangan pangan pada tingkat rumahtangga maupun individu, melalui 4 jenis keadaan, yang dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan tersebut adalah: 1) ketidakcukupan energi rumahtangga; 2) tingkat ketidakcukupan energi; 3) keanekaragaman makanan (dietary diversity); dan 4) persen pengeluaran untuk makanan (% food expenditure). Pengukuran ketahanan pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003) dapat diukur melalui tingkat ketidakcukupan energi yang menunjukkan keparahan defisit energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori pada seseorang individu dibawah energi yang dianjurkan (<70%). Tabel 12 Status ketahanan pangan RT Status ketahanan pangan Rawan pangan berat Rawan pangan sedang Rawan pangan ringan Tahan pangan Jumlah Min;max Rataan
Ketahanan
Pasindangan n % 11 22 1 2 3 6 35 70 50 100.0 31;368 141.28±79.896
pangan
kuantitatif
Banjarsari n % 15 29.4 4 7.8 3 5.9 29 56.9 51 100.0 10;600 140.88±115.805
diklasifikasikan
Total n % 26 25.7 5 5 6 5.9 64 63.4 101 100.0 10;600 141.08±99.163
berdasarkan
tingkat
konsumsi energi. Dikatakan rawan pangan tingkat berat apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan tidak disertai penurunan berat badan, bila tingkat kecukupan energinya 70%-<80% maka dikatakan rawan pangan sedang, dan bila tingkat kecukupan energi 80%-<90% maka dikatakan rawan
31
pangan ringan dan 90% ke atas termasuk tahan pangan. Depkes (1996 dalam BKP 2008). Berdasarkan pengklasifikasian tersebut dari total keseluruhan contoh diketahui bahwa lebih dari setengah (63.4%) contoh merupakan rumahtangga tahan pangan dengan kisaran konsumsi energi perkapita sebesar 10-600 % dari AKG dan rataan 137.34 ± 142.523. Sejumlah 25.7% contoh merupakan rumahtangga rawan pangan berat, dan 5% contoh merupakan rawan pangan sedang, sisanya 5.9% merupakan rawan pangan ringan. Jumlah rumahtangga tahan pangan di Desa Pasindangan lebih banyak dibandingkan di Desa Banjarsari yaitu 70% di Desa Pasindangan dan 56.9% di Desa Banjarsari. Namun untuk proporsi rumahtangga rawan pangan berat dan sedang lebih besar di Desa Banjarsari, yaitu 29.4% dan 7.8%, dibandingkan dengan Desa Pasindangan yang hanya 22% dan 2% saja. Sedangkan untuk rumah tangga rawan pangan ringan tidak jauh berbeda yaitu 6% di Desa Pasindangan dan 5.9% di Desa Banjarsari. Kisaran konsumsi energi perkapita Desa Pasindangan sebesar 31-368% dari AKG dan rataan 141.28 ± 79.896, sedangkan di Desa Banjarsari sebesar 10-600% dari AKG dan rataan 140.88 ± 115.805. Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga Petani Umur Kepala Rumahtangga dan Ibu Rumahtangga Klasifikasi umur kepala rumahtangga di kedua desa dibagi menjadi tiga kelompok umur yaitu dewasa awal (18–39 tahun), dewasa madya (40–59 tahun), dan lansia (
60 tahun), penggolongan ini sesuai dengan penggolongan umur
berdasarkan Hurlock (1980). Klasifikasi umur kepala rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Klasifikasi umur KRT Kelompok umur 18–39 tahun 40-59 tahun 60 Jumlah Min;max Rataan
Pasindangan n % 8 16.0 37 74.0 5 10.0 50 100.0 25;85 46±13.503
Banjarsari n % 19 37.3 21 41.2 11 21.6 51 100.0 16;80 46.88±10.056
Total n 27 58 16 101
% 26.7 57.4 15.8 100.0 25;85 46.44±11.87
Sebaran umur kepala rumahtangga contoh berkisar antara 25-85 tahun, dan rataan 46.44±11.87. Sebagian besar kepala rumahtangga (57.4%) dari kedua desa berada pada kelompok umur dewasa madya (40-59 tahun),
32
selanjutnya sebanyak 26.7% kepala rumahtangga termasuk dalam kelompok umur dewasa awal, dan sebanyak 15.8% kepala rumahtangga tergolong kelompok umur lansia ( 60 tahun). Sebaran umur kepala rumahtangga di Desa Pasindangan antara 25 tahun hingga 85 tahun, dan rataan 46±13.503. Sebagian besar kepala rumahtangga di Desa Pasindangan yaitu sebanyak 74% kepala rumahtangga berada pada kelompok umur dewasa madya (40-59 tahun), 16% kepala rumahtangga berada pada kelompok umur dewasa awal (18–39 tahun), dan sisanya 10% kepala rumahtangga termasuk kelompok umur lansia (
60 tahun). Berbeda dengan
Desa Pasindangan, sebaran umur kepala rumahtangga di Desa Banjarsari berkisar antara 16-80 tahun, dan rataan 46.88±10.056. Namun kondisi yang sama terjadi pada Desa Banjarsari dimana sebaran umur terbanyak berada pada kelompok umur dewasa madya (40–59 tahun) sebanyak 41.2%, selanjutnya kepala rumahtangga pada kelompok umur dewasa awal (18–39 tahun) sebanyak 26.7%, terakhir sebanyak 15.8% kepala rumahtangga berada pada kelompok umur lansia ( 60 tahun). Tabel 14 Sebaran rumahtangga berdasarkan status ketahanan pangan dan umur KRT di Desa Pasindangan Kelompok umur 18 – 39 tahun 40 – 59 tahun 60 tahun Jumlah
RT Rawan pangan berat n % 4 36.4 7 63.6 0 0 11 100
RT rawan pangan sedang n % 0 0 1 100 0 0 1 100
RT rawan pangan ringan n % 0 0 2 66.7 1 33.3 3 100
RT tahan pangan n 4 27 4 235
% 11.4 77.1 11.4 100
Total n 8 37 5 50
% 16 74 10 100
Sebaran rumahtangga berdasarkan status ketahanan pangan dan umur kepala rumahtangga di Desa Pasindangan dapat dilihat pada tabel diatas. Sebaran rumahtangga tahan pangan berdasarkan kelompok umur kepala rumahtangga menunjukkan bahwa pada rumahtangga tahan pangan sebagian besar (77.1%) umur kepala rumahtangganya termasuk dalam kelompok umur dewasa madya (40-59 tahun), sisanya masing-masing sebanyak 11.4% rumahtangga tahan pangan adalah rumahtangga dengan kepala rumahtangga yang umurnya termasuk kelompok umur dewasa awal dan lansia. Sebaran rumahtangga rawan pangan ringan sebagian besar (66.7%) memiliki kepala rumahtangga yang termasuk dalam golongan usia dewasa madya, sisanya sebanyak 33.3% termasuk lansia. Sebaran rumahtangga rawan
33
pangan sedang berdasarkan umur kepala rumahtangga yang menunjukkan bahwa seluruhnya memiliki kepala keluarga yang termasuk kelompok umur dewasa madya. Sedangkan pada rumahtangga rawan pangan berat memiliki kepala rumahtangga yang termasuk kelompok umur dewasa madya (63.6%), sisanya sebanyak 36.4% kepala rumahtangga pada rumahtangga rawan pangan berat adalah kelompok umur dewasa awal (18–39 tahun). Tabel 15 Sebaran rumahtangga berdasarkan status ketahanan pangan dan umur KRT di Desa Banjarsari Kelompok umur 18 – 39 tahun 40 – 59 tahun 60 tahun Jumlah
RT Rawan pangan berat n % 5 33.3 7 46.7 3 20 15 100
RT rawan pangan sedang n % 2 50 2 50 0 0 4 100
RT rawan pangan ringan n % 0 0 1 33.3 2 66.7 3 100
RT tahan pangan n 12 11 6 29
% 41.4 37.9 20.7 100
Total n 19 21 11 51
% 37.3 41.2 21.6 100
Pada tabel di atas disajikan sebaran rumahtangga berdasarkan status ketahanan pangan dan umur kepala rumahtangga, dapat dilihat bahwa sebaran rumahtangga tahan pangan di Desa Banjarsari sebagian kecil (20.7%) merupakan rumahtangga yang kepala rumahtangga berumur > 60 tahun atau termasuk kelompok umur lansia, sebanyak 37.9% rumahtangga dengan kepala rumahtangga yang berumur 40–59 tahun atau termasuk kelompok umur dewasa madya, dan sebanyak 41.4 % kepala rumahtangganya berumur 18-39 tahun atau termasuk kelompok umur dewasa awal. Sebaran rumahtangga rawan pangan ringan adalah sebanyak 66.7% memiliki kepala rumahtangga lansia dan sisanya (33.3%) memiliki kepala rumahtangga dewasa madya. Sebaran rumahtangga rawan pangan sedang di Desa Banjarsari sebanyak masing-masing 50% memiliki kepala rumahtangga yang merupakan kelompok umur dewasa awal dan dewasa madya. Sedangkan sebaran rumahtangga rawan pangan berat sebanyak 46.7% adalah yang termasuk rumahtangga dengan kepala rumahtangga yang termasuk dalam kelompok umur 40–59
tahun
(dewasa
madya),
sebanyak
33.3%
rumahtangga
kepala
rumahtangganya berumur 8–39 tahun (dewasa awal), dan sisanya sebanyak 20% adalah kepala rumahtangga yang berumur
60 tahun (lansia).
Sama halnya dengan klasifikasi pada kepala rumahtangga umur ibu rumahtangga (IRT) dibagi menjadi tiga kelompok umur yaitu dewasa awal (18–39
34
tahun), dewasa madya (40–59 tahun), dan lansia ( 60 tahun). Klasifikasi umur IRT dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Klasifikasi umur IRT Kelompok umur 18–39 tahun 40-59 tahun 60 Jumlah Min;max Rataan
Pasindangan n % 23 46.0 23 46.0 4 8.0 50 100.0 25;65 41.62±8.739
Banjarsari n % 24 47.1 25 49.0 2 3.9 51 100.0 20;75 39.96±12.260
Total n 47 48 6 101
% 46.5 47.5 5.9 100.0 20;75 40.78±10.643
Berdasarkan tabel klasifikasi umur IRT di atas, terlihat bahwa kisaran umur ibu di kedua desa antara 20-75 tahun, dengan rataan 40.78±10.643, ratarata umur ibu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata umur kepala rumahtangga. Umur ibu sebagian besar (47.5%) terdistribusi pada kelompok umur dewasa madya (40–59 tahun), kemudian sebanyak 46.5% berada pada kelompok umur dewasa awal (18–39 tahun), dan sisanya (5.9%) berada pada kelompok umur lansia ( 60 tahun). Sebaran umur ibu di tiap desa terlihat untuk Desa Pasindangan sebaran umur ibu berkisar antara 25 hingga 65 tahun, rataan 41.62±8.739. Sebaran umur ibu di Desa Pasindangan memiliki proporsi yang sama yaitu 46% pada kelompok umur dewasa awal (18–39 tahun) dan dewasa madya (40–59 tahun), sedangkan sisanya (8%) berada pada kelompok umur lansia ( 60 tahun). Sebaran umur ibu di Desa Banjarsari berkisar antara 20 sampai 75 tahun dan rataan 39.96±12.260. sebaran terbesar (49%) berada pada kelompok umur dewasa madya (40–59 tahun), kemudian sebanyak 47.1% ibu berada pada kelompok umur dewasa awal (18–39 tahun) dan sisanya sebanyak 3.9% ibu berada pada kelompok umur lansia ( 60 tahun). Besar Rumahtangga Besar rumahtangga dikelompokan ke dalam tiga kelompok (BKKBN), yaitu rumahtangga kecil bila jumlah anggota rumahtangga
4 orang,
rumahtangga sedang bila jumlah anggota rumahtangga antara 5-6 orang, dan rumahtangga besar bila anggotanya
7 orang.
35
Tabel 17 Klasifikasi besar rumahtangga Pasindangan n % 26 52.0 16 32.0 8 16.0 50 100.0
Besar keluarga Kecil Sedang Besar Jumlah
Banjarsari n % 24 47.1 14 27.5 13 25.5 51 100.0
Total n 50 30 21 101
% 49.5 29.7 20.8 100.0
Berdasarkan pengelompokan tersebut dari kedua desa hampir setengah (49.5%) rumahtangga contoh terdistribusi pada kelompok rumahtangga kecil, 29.7% contoh merupakan rumahtangga sedang, dan sisanya (20.8%) merupakan rumahtangga besar. Bila dibedakan berdasarkan masing-masing desa, maka sebaran besar rumahtangga di Desa Pasindangan adalah sebanyak 52% rumahtangga
contoh
merupakan
rumahtangga
kecil,
32%
merupakan
rumahtangga sedang, dan sisanya (16%) merupakan rumahtangga besar. Sedangkan sebaran besar rumahtangga di Desa Banjarsari sebanyak 47.1% merupakan rumahtangga kecil, 27.5% merupakan rumahtangga sedang, dan sisanya sebanyak 25.5% contoh merupakan rumahtangga besar. Tabel 18 Sebaran rumahtangga berdasarkan ketahanan pangan dan ukuran rumahtangga Ukuran rumahtangga 4 (kecil) 5 – 6 (sedang) 7 (besar) Jumlah
RT rawan pangan berat n % 7 26.9 10 38.5 9 34.6 26 100
RT rawan pangan sedang n % 1 20 4 80 0 0 5 100
RT rawan pangan ringan n % 4 66.7 2 33.3 0 0 6 100
RT tahan pangan n 38 14 12 64
% 59.4 21.9 18.8 100
Total n 50 30 21 101
% 49.5 29.7 20.8 100
Berdasarkan ukuran rumahtangga, rumahtangga yang tahan pangan sebagian besar (59.4%) tergolong rumahtangga kecil yang terdiri dari
4 orang
anggota rumahtangga, sebanyak 21.9% tersebar pada rumahtangga sedang, dan sisanya (18.8%) merupakan rumahtangga besar. Sebaran rumahtangga rawan pangan ringan sebanyak 66.7% merupakan rumahtangga kecil dan 33.3% merupakan
rumahtangga
sedang.
Rumahtangga
rawan
pangan
sedang
terdistribusi pada golongan rumahtangga kecil dan sedang dengan proporsi 20% dan 80%. Pada rumahtangga rawan pangan berat, sebanyak 38.5% adalah rumahtangga sedang yang terdiri dari antara 5-6 orang anggota rumahtangga, 34.6% merupakan rumahtangga besar dan 26.9% merupakan rumahtangga kecil.
36
Jumlah anggota keluarga yang terlalu besar seringkali menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Menurut Sanjur (1982) besarnya atau banyaknya anggota keluarga mempengaruhi besarnya belanja keluarga. Kondisi ini menjadi suatu pertimbangan keluarga dalam melakukan food coping strategy. Hasil penelitian Chaudhury (1984) di Bangladesh dalam Mutiara (2008), menunjukan bahwa dengan bertambahnya besar keluarga maka akan timbul dampak yang merugikan terhadap status gizi, hal ini disebabkan oleh menurunnya alokasi terhadap makanan seiring dengan bertambahnya anggota keluarga. Berdasarkan analisis korelasi Spearman terdapat hubungan negatif dengan nilai r=-0.270, p<0.01 antara jumlah anggota rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak anggota rumahtangga maka semakin kecil peluang tercapainya ketahanan pangan rumahtangga. Martianto dan Ariani (2004) juga menyatakan bahwa pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagian dari anggota keluarga itu. Komposisi Rumahtangga Komposisi anggota rumahtangga dikelompokan dalam 7 kelompok yaitu lansia, dewasa madya, dewasa awal, remaja, anak usia sekolah (AUS), balita, dan bayi penggolongan kelompok umur ini sesuai dengan penggolongan umur menurut Hurlock (1980). Tabel 19 Klasifikasi komposisi rumahtangga Komposisi keluarga Lansia Dewasa madya Dewasa awal Remaja AUS Balita Bayi Jumlah
Pasindangan n % 13 5.2 58 23.0 62 24.6 52 20.6 43 17.1 16 6.3 8 3.2 252 100
Banjarsari n % 18 18 48 48 75 17.7 42 27.7 42 15.5 29 10.7 17 6.3 271 100
Total n 31 106 137 94 85 45 25 523
% 5.9 20.3 26.2 18.0 16.3 8.6 4.8 100
Dilihat dari kedua desa proporsi komposisi rumahtangga terbesar (26.2%) berada pada kelompok dewasa awal, 20.3% pada kelompok dewasa madya, 18% pada kelompok remaja, 16.3% pada kelompok AUS, 8.6% pada balita, 5.9% proporsi pada kelompok lansia, dan proporsi sisanya (4.8%) pada kelompok bayi.
37
Komposisi rumahtangga contoh pada Desa Pasindangan proporsi anggota rumahtangga terbesar (24.6%) pada kelompok dewasa awal, kemudian proporsi anggota rumahtangga lainnya berturut-turut dewasa madya, remaja, AUS, balita, lansia, dan bayi adalah sebesar 23%, 20.6%, 17.1%, 6.3%, 5.2%, dan 3.2%. Sedangkan untuk Desa Banjarsari proporsi komposisi anggota rumahtangga yang paling banyak (48%) adalah pada kelompok dewasa madya, kemudian kelompok remaja (27.7 %), lansia (18 %), dewasa awal (17.7 %), AUS (15.5 %), balita (10.7 %), dan bayi sebesar 6.3 %. Tingkat Pendidikan Klasifikasi pendidikan didasarkan pada lama sekolah yang dialami oleh contoh tanpa menghitung tinggal kelas. Klasifikasi pendidikan contoh dibedakan menjadi 5 kelompok, yaitu : TS (tidak sekolah), SD (6 tahun), SMP (9 tahun), SMA (12 tahun ), dan PT (16 tahun). Tabel 20 Klasifikasi pendidikan ART Pendidikan TS SD SMP SMA PT Jumlah Min;max Rataan
Pasindangan n % 58 23.0 139 55.2 36 14.3 18 7.1 1 0.4 252 100 0;13 4.53±3.526
Banjarsari n % 65 24 151 55.7 46 17.0 8 3.0 1 0.4 271 100 0;16 4.37±3.404
Total n 123 290 82 26 2 523
% 23.5 55.4 15.7 5.0 0.4 100
0;16 4.44±3.461
Berdasarkan tabel di atas lama sekolah anggota rumahtangga berkisar antara 0-16 tahun, dengan rataan 4.44±3.46. Sebaran pendidikan terbesar (55.4%) di kedua desa adalah SD, kemudian berturut-turut TS (23.5%), SMP (15.7%), SMA (5.0%), dan hanya sebagian kecil (0.4%) yang mengeyam pendidikan hingga perguruan tinggi (PT). Sebaran pendidikan anggota rumahtangga pada tiap desa tidak berbeda jauh. Sebaran lama sekolah anggota rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 13 tahun dan rataan 4.53±3.526. Sedangkan di Desa Banjarsari sebaran pendidikan anggota rumah tangga berkisar antara 0 (TS) hingga 16 tahun (PT) dan rataan 4.37±3.404. Proporsi contoh di Desa Pasindangan terbanyak (55.2%) tersebar pada SD, kemudian TS (23%), SMP (14.3%), SMA (7.1%), dan terakhir PT (0.14%), untuk Desa Banjarsari sebaran terbanyak (55.7%) adalah SD, kemudian sebanyak 24% contoh tidak sekolah (TS), yang
38
mengenyam pendidikan hingga SMP sebanyak 17%, SMA (3%), dan terakhir PT (0.4%). Sebaran tingkat pendidikan kepala rumahtangga di kedua desa tidak berbeda jauh dengan sebaran pendidikan anggota rumahtangga di kedua desa dan dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 21 Klasifikasi pendidikan KRT Pendidikan TS SD SMP SMA PT Jumlah Min;max Rataan
Pasindangan n % 7 14.0 37 74.0 2 4.0 4 8.0 0 0 50 100 0;12 4.68±3.113
Banjarsari n % 4 7.8 37 72.5 7 13.7 3 5.9 0 0 51 100 0;12 5.41±2.872
Total n 11 74 9 7 0 101
% 10.9 73.3 8.9 6.9 0 100.0
0;12 5.05±3.001
Berdasarkan tabel diatas lama sekolah kepala rumahtangga berkisar antara 0-12 tahun atau TS hingga ada yang SMA, dengan rataan 5.05±3.001. Sebaran pendidikan terbesar (73.3%) di kedua desa adalah pada tingkat SD, kemudian TS sebesar 10.9%, pada tingkat SMP sebesar 8.9%, SMA 6.9%, dan untuk tingkatan perguruan tinggi tidak ada (0 %). Bila dilihat pada tiap desa maka sebaran pendidikan kepala rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 12 tahun dan rataan 4.68±3.113, yang tersebar palingbanyak (74%) pada tingkat SD, kemudian TS sebesar 14%, 8 % pada tingkat SMA, SMP sebanyak 4%, dan kepala rumahtangga di Desa pasindangan tidak ada yang mengenyam pendidikan hingga peruruan tinggi (0%). Sedangkan di Desa Banjarsari sebaran pendidikan kepala rumahtangga berkisar antara 0 (TS) hingga 12 tahun (SMA) dan rataan 5.41±2.872. Sama halnya dengan di Desa Pasindangan, kepala rumahtangga di Desa Banjarsari tidak ada yang memiliki tingkat pendidikan hingga PT. Sebaran terbanyaknya (72.5%) adalah SD, kemudian berturut-turut adalah : TS (7.8%), SMP (13.7%), dan SMA (5.9%). Klasifikasi pendidikan ibu rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 22. Lama pendidikan ibu rumahtangga di kedua desa berkisar antara 0-16 tahun atau TS hingga PT, dengan rataan 4.35 ± 3.119. Sebaran pendidikan terbesar (69.3%) di kedua desa adalah SD, TS (19.8%), SMP (6.9%), SMA (3%), dan PT (1%). Bila dilihat berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan ibu rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 12 tahun dan rataan 3.62±2.989, terdiri dari contoh terbanyak (66.0%) tersebar pada SD, kemudian TS (28.0%), SMP
39
(2.0%), SMA (4.0%), dan terakhir PT (0%). Sedangkan di Desa Banjarsari sebaran pendidikan kepala rumahtanggaberkisar antara 0 (TS) hingga 16 tahun (SMA) dan rataan 5.06±3.107. Sebaran terbanyak (72.5%) adalah SD, TS (11.8%), SMP (11.8%), SMA (2.0%), dan terakhir PT (2.0%). Tabel 22 Klasifikasi pendidikan IRT Pasindangan n % 14 28.0 33 66.0 1 2.0 2 4.0 0 0 50 100 0;12 3.62±2.989
Pendidikan TS SD SMP SMA PT Jumlah Min;max Rataan
Banjarsari n % 6 11.8 37 72.5 6 11.8 1 2.0 1 2.0 51 100 0;16 5.06±3.107
Total n 20 70 7 3 1 101
% 19.8 69.3 6.9 3 1 100
0;16 4.35±3.119
Secara umum sebagian besar pendidikan anggota rumahtangga contoh termasuk kepala rumahtangga dan ibu rumahtangga tergolong rendah. Padahal semakin tinggi pendidikan formal yang diterima seseorang maka akan semakin tinggi pula status ekonominya. Hal ini terjadi karena tingginya status ekonomi juga berhubungan dengan tingkat pendapatan, sehingga keluarga atau kepala keluarga yang memiliki tingkat pendidikan tinggi maka akan memiliki lebih banyak uang yang dapat digunakan untuk pembelian pangan. Dalam hal ini peningkatan pendapatan dapat mengatasi masalah bila terjadi kekurangan dalam keluarga (Sanjur 1982). Pekerjaan dan Pendapatan Klasifikasi pekerjaan kepala rumahtangga di desa Pasindangan dan Banjarsari di sajikan pada tabel di bawah ini: Tabel 23 Klasifikasi pekerjaan KRT Jenis pekerjaan Pekerjaan utama Petani Pekerjaan tambahan Tidak ada Pedagang Buruh Wiraswasta Guru Security Tukang urut Pensiunan Penghulu Supir Jumlah
Pasindangan n %
n
Banjarsari %
50
100
51
100
19 21 7 0 0 1 1 1 0 0 50
38 42 14 0 0 2 2 2 0 0 100
21 6 20 1 1 0 0 0 1 1 51
41.2 11.8 39.2 2 2 0 0 0 2 2 100
Total n
%
101
100
40 27 27 1 1 1 1 1 1 1 101
39.6 26.7 26.7 1 1 1 1 1 1 1 100
40
Pekerjaan utama kepala rumahtangga contoh di kedua desa adalah petani. Dari tabel di atas dapat dilihat sebaran pekerjaan tambahan kepala rumahtangga di kedua desa. Kepala rumahtangga contoh di Desa Pasindangan sebagian besar (42%) memiliki pekerjaan tambahan sebagai pedagang, kemudian sebagai buruh (14%), dan sisanya masing-masing (2%) sebagai security, tukang urut, dan pensiunan. Di Desa Banjarsari, pekerjaan tambahan yang paling banyak dilakukan oleh kepala rumahtangga contoh adalah sebagai buruh 39.2%, kemudian pedagang (11.8%), sisanya masing-masing sebanyak 2% bekerja sebagai wiraswasta, guru, penghulu, dan supir. Namun masih cukup banyak kepala rumahtangga contoh yang tidak memiliki pekerjaan tambahan dan hanya tergantung pada pekerjaan utama mereka sebagai petani. Pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan dari tiap kepala rumahtangga contoh sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumahtangga mereka. Hal ini karena dengan memiliki pekerjaan mereka akan memiliki pemasukan atau pendapatan. Di bawah ini disajikan sebaran rumahtangga contoh di kedua desa berdasarkan pendapatan rumahtangga. Tabel 24 Klasifikasi pendapatan rumahtangga Pendapatan RT (Rupiah) < 1 100 000 (rendah) 1 100 000 – 2 200 000 (sedang) >2 200 000 (tinggi) Jumlah Min;max (Rupiah) Rataan (Rupiah)
Pasindangan n % 39 78.0 6 12.0 5 10.0 50 100.0 0;3 050 000 762 476.68± 793 771.9
Banjarsari n % 46 90.0 7 2.0 4 7.8 51 100.0 0;3 041 667 492 988.25± 726 011.7
Total n % 85 84.2 7 6.9 9 8.9 101 100.0 0;3 050 000 626 398.37± 768 517.0
Pendapatan rumahtangga diklasifikasikan menjadi tiga golongan yaitu kurang dari Rp 1.100.000 (rendah), Rp. 1.100.000 - Rp. 2.200.000 (sedang), dan lebih dari Rp 2.200.000 (tinggi). Pendapatan rumahtangga ini merupakan kumulatif pendapatan tiap anggota rumahtangga baik dari pekerjaan utama maupun
pekerjaan
tambahan
yang
dihitung
per
tahun.
Berdasarkan
pengklasifikasian tersebut, pada kedua desa kisaran pendapatan contoh tidak memiliki pendapatan sama sekali (0) hingga berpendapatan Rp 3.050.000, dengan rataan 626.398.37±768.517. Sebagian besar rumahtangga contoh (84.2%) berpendapatan rendah, sisanya 6.9% dan 8.9% berpendapatan sedang dan tinggi. Apabila dilihat pada masing-masing desa, maka rumahtangga contoh di Desa Pasindangan berpendapatan antara 0 sampai Rp 3.050.000 dengan rataan 762.476.68±793.771.9. Sebagian besar (78%) rumahtangga contoh
41
berpendapatan rendah, 12% dan 10% lainnya berpendapatan sedang dan rendah. Sedangkan di Desa Banjarsari, kisaran pendapatan contoh antara 0 sampai Rp 3.041.667 dengan rataan 492.988.25±726.011.7. sebagian besar (90%) rumahtangga contoh berpendapatan rendah, sisanya 2.0% dan 7.8% berpendapatan sedang dan rendah. Pendapatan perkapita diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu rendah (< Rp 207.000), sedang (Rp 207.000–Rp 414.000), dan tinggi (> Rp 414.000). Berdasarkan klasifikasi tersebut dari total contoh yang diambil dari dua desa yang berbeda maka dapat diketahui bahwa 82.2% berpendapatan rendah, 12.9% berpendapatan sedang, dan sisanya 5% berpendapatan rendah dari kisaran pendapatan antara 0–Rp 620.000 dengan rataan 122.477.5±133.626.9. Bila dilihat berdasarkan masing-masing desa, maka di desa Pasidangan sebagian besar (74%) berpendapatan rendah dari kisaran pendapatan antara 0–Rp 620.000 dan rataan 161.172.44±157.848.2 sisanya 16% dan 10% adalah yang berpendapatan sedang dan tinggi. Sedangkan di desa Banjarsari, pendapatan perkapita dominan rendah (90.2%), sisanya 9.8% berpendapatan sedang dan tidak ada yang memiliki pendapatan tinggi (0%). Data klasifikasi pendapatan perkapita perbulan dari contoh disajikan pada tabel di bawah ini: Tabel 25 Klasifikasi pendapatan perkapita perbulan Pendapatan (Rupiah) < 207 000 207 000– 414 000 >414 000 Jumlah Min;max (Rupiah) Rataan (Rupiah)
Pasindangan n % 37 74 8 16 5 10 50 100 0;620 000 161 172.44± 157 848.2
Banjarsari n % 46 90.2 5 9.8 0 0 51 100 0;337 963 84 541.27± 91 265.071
Total n % 83 82.2 13 12.9 5 5 101 100 0;620 000 122 477.5± 133 626.9
Luas Lahan yang Dimiliki Rumahtangga
contoh
diklasifikasikan
menjadi
empat
golongan
berdasarkan kepemilikan lahan, yaitu: yang tidak memiliki lahan, yang memiliki lahan dibawah 5.000 m2, yang memiliki lahan 5.000-10.000 m2, dan yang memiliki lahan lebih dari 10.000 m2.
42
Tabel 26 Klasifikasi luas lahan yang dimiliki Luas lahan yg dimiliki (m2) 0 < 5 000 5 000-10 000 >10 000 Jumlah Min;max (m2) Rataan (m2)
Pasindangan n % 12 24.0 14 28.0 17 34.0 7 14.0 50 100 0;20 000 4 592±4 755.956
Berdasarkan
Banjarsari n % 25 49.0 19 37.3 4 7.8 3 5.9 51 100.0 0;20 000 2 372.94±4 724.47
pengolongan
tersebut
dapat
Total n
% 37 36.6 33 32.7 21 20.8 10 9.9 101 100.0 0;20 000 3 471.49±4 846.331
dilihat
dari
seluruh
rumahtangga contoh sebaran kepemilikan lahanya adalah seluas 0-20.000 m2 dengan rataan 3.471.49±4.846.331. Sebanyak 36.6% contoh tidak memiliki lahan, 32.7% contoh memiliki luas lahan kurang dari 5.000 m2, 20.8% contoh memiliki luas lahan 5.000-10.000 m2, dan sisanya hanya 9.9% contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10.000 m2. Sedangkan di Desa Pasindangan lahan yang dimiliki berkisar 0-20.000 m2 dengan rataan kepemilikan lahan sebesar 4.592 ± 4.755,956, dari 50 contoh di Desa Pasindangan hanya 14% yang memiliki luas lahan lebih dari 10.000 m2, umumnya (34%) contoh memiliki luas lahan 5.000-10.000 m2, sebanyak 28% contoh memiliki lahan seluas kurang dari 5.000 m2, dan sisanya (24%) tidak memiliki lahan. Sedangkan di Desa Banjarsari sebaran lahan yang dimiliki berkisar 0-20.000 m2 dengan rataan luas lahan yang dimiliki sebesar 2.372.94±4.724.47, hampir setengah contoh (49%) tidak memiliki lahan, 37.3% contoh memiliki luas lahan kurang dari 5.000 m2, 7.8% contoh memiliki luas lahan sebesar 5.000-10.000 m2, dan hanya 5.9% contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10.000 m2. Tabel 27 Sebaran rumahtangga berdasarkan luas lahan yang dimiliki Luas lahan yg dimiliki (m2) 0 < 5 000 5 000 – 10 000 >10 000 Jumlah
RT Rawan pangan berat n % 16 61.5 5 19.2 4 15.4 1 3.8 26 100
RT Rawan pangan sedang n % 2 40 2 40 1 20 0 0 5 100
RT Rawan pangan ringan n % 2 33.3 2 33.3 1 16.7 1 16.7 6 100
RT Tahan pangan n 17 24 15 8 64
% 26.6 37.5 23.4 12.5 100
Total n 37 33 21 10 101
% 36.6 32.7 20.8 9.9 100
Berdasarkan luas lahan yang dimiliki oleh contoh dapat dilihat bahwa rumahtangga yang rawan pangan berat adalah sebagian besar 61.5% dari seluruh rumahtangga rawan pangan berat tidak memiliki lahan, hanya 19.2% yang memiliki lahan kurang dari 5.000 m2 , 15.4% memiliki lahan 5.000 m2 hingga
43
10.000 m2, dan hanya 3.8% yang lahannya lebih dari 10.000 m2. Sedangkan rumahtangga yang rawan pangan sedang sebanyak masing-masing 40% merupakan rumahtangga yang memiliki luas lahan kurang dari 5.000 m2 dan memiliki lahan seluas 5.000-10.000 m2. Rumahtangga rawan pangan ringan sebanyak masing-masing 33.3% tidak memiliki lahan dan memiliki lahan seluas kurang dari 5.000 m2 dan masing-masing 16.7% memiliki lahan seluas 5.00010.000 m2 dan lebih dari 10.000 m2. Untuk rumahtangga tahan pangan persentase terbesar contoh adalah yang memiliki luas lahan kurang dari 5.000 m2 yaitu sebesar 37.5%, selanjutnya 23.4% rumahtangga memiliki luas lahan 5.000-10.000 m2, dan sisanya sebanyak 12.5% rumahtangga tahan pangan memiliki luas lahan lebih dari 10.000 m2, namun cukup banyak pula (26.6%) rumahtangga tahan pangan yang tidak memiliki lahan. Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa rumahtangga yang tahan pangan sebagian besar adalah rumahtangga yang memiliki lahan garapan, sedangkan rumahtangga rawan pangan berat sebagian besar adalah rumahtangga yang tidak memiliki lahan. Berdasarkan analisis korelasi Spearman diperoleh r= 0.309 dan p<0.01 antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan pangan rumahtangga. Semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin besar peluang tercapainya ketahanan pangan rumahtangga. Pengeluaran Perkapita Pengeluaran perkapita rumahtangga contoh rata-rata adalah sebesar Rp 254.241. pengeluaran terkecil sebesar Rp 40.394 dan terbesar adalah sebesar Rp 1.140.028. Pengeluaran perkapita terkecil dimiliki oleh rumahtangga contoh yang tinggal di Desa Banjarsari, sedangkan pengeluaran perkapita terbesar terdapat pada rumahtangga contoh di Desa Pasindangan. Khusus untuk pengeluaran pangan berkisar antara Rp 11.333 hingga Rp 347.908 dan keduanya berada di desa Banjarsari. Alokasi pengeluaran pangan berkisar 8.1% sampai dengan 84.26% terhadap pengeluaran total. Rata-rata
pengeluaran
perkapita
merupakan
penjumlahan
total
pengeluaran pangan per tahun dan total pengeluaran non-pangan per tahun rumahtangga, dibagi dengan jumlah bulan dalam satu tahun yaitu 12 bulan, kemudian dibagi dengan jumlah anggota rumahtangga. Jika pengeluaran perkapita dibandingkan dengan garis kemiskinan maka dapat digunakan untuk
44
pengklasifikasian
kemiskinan.
Pengklasifikasian
kemiskinan
rumahtangga
diperoleh berdasarkan perbandingan rata-rata pengeluran perkapita dalam rumahtangga dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan tingkat propinsi Banten tahun 2008 yaitu Rp 156.494. Dikatakan miskin bila rata-rata pengeluaran perkapita dalam rumahtangga dibawah garis kemiskinan, dan dikatakan tidak miskin bila rata-rata pengeluaran perkapita dalam rumahtangga diatas garis kemiskinan. Tabel 28 Klasifikasi kemiskinan berdasarkan pengeluaran perkapita Kategori Miskin Tdk miskin Jumlah
Pasindangan n % 14 28.0 36 72.0 50 100.0
Banjarsari n % 18 35.3 33 64.7 51 100.0
Total n 32 69 101
% 31.7 68.3 100.0
Berdasarkan klasifikasi diatas maka sebagian besar (68.3%) contoh di kedua desa merupakan rumahtangga tidak miskin dan sisanya (31.7%) contoh merupakan rumahtangga miskin. Untuk Desa Pasindangan, sebagian besar (72%) contoh merupakan rumahtangga tidak miskin dan sisanya (28%) contoh merupakan rumahtangga miskin. Sedangkan di Desa Banjarsari jumlah rumahtangga yang miskin sedikit lebih banyak yaitu sebanyak 35.3%, sebagian besar (64.7%) contoh lainnya tergolong rumahtangga tidak miskin. Walaupun Desa Banjarsari dekat dengan ibukota propinsi namun rumahtangga miskin di desa tersebut lebih banyak dibandingkan di Desa Pasindangan. Kondisi ini diduga karena perekonomian masyarakat di Desa Pasindangan adalah pertanian berbasis tanaman kehutanan, sehingga banyak dari mereka yang memiliki tambahan pendapatan dari penjualan kayu atau menjual getah karet. Dalam Mutiara (2008) disebutkan bahwa pola pengeluaran suatu masyarakat dapat mencerminkan tingkat kehidupannya. Komposisi pengeluaran untuk makanan dan bukan untuk makanan dapat menjadi indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan dikatakan semakin baik apabila komposisi pengeluaran untuk non makanan lebih besar daripada pengeluaran untuk makanan. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukan hal yang senada, didapatkan hasil yang signifikan negatif dengan nilai r=-0.196, p=<0.05 pada hubungan antara persen alokasi pengeluaran pangan dengan kemiskinan. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi alokasi pengeluaran untuk pangan menunjukan semakin miskin rumahtangga tersebut,
45
berarti rumahtanngga miskin akan lebih memprioritaskan kebutuhan makannya dibandingkan kebutuhan lainnya. Hubungan antara kemiskinan dan ketahanan pangan mendapatkan hasil yang signifikan positif dengan nilai r=0.293, p<0.01 pada uji korelasi Spearman yaitu bahwa semakin miskin suatu rumahtangga maka akan semakin rawan pangan. Sedangkan untuk persen alokasi pengeluaran pangan dengan tingkat konsumsi energi juga memiliki hubungan positif yang nyata dengan nilai r=0.202, p=<0.05 pada uji korelasi Pearson. Hal ini menunjukan bahwa semakin besar alokasi pengeluaran
untuk pangan maka
akan
semakin tinggi tingkat
konsumsinya. Kemiskinan di daerah penelitian salah satunya disebabkan karena masih tergantungnya rumahtangga petani dengan para tengkulak. Sebagian besar rumahtangga petani meminjam uang untuk biaya produksi mereka seperti membeli pupuk, pestisida dan lain-lain atau untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga saat panen mereka harus menjual hasil panen mereka kepada tengkulak dengan harga yang ditentukan tengkulak dan hasil penjualan mereka akan kembali kepada tengkulak sebagai pembayaran hutang. Sehingga sebagian besar rumahtangga memiliki penghasilan yang kecil dari pekerjaan utama mereka sebagai petani. Pengetahuan Gizi Tingkat pengetahuan gizi ibu digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Klasifikasi pengetahuan gizi ibu rumahtangga contoh disajikan pada tabel berikut: Tabel 29 Klasifikasi pengetahuan gizi ibu rumahtangga Pengetahuan Gizi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Pasindangan n % 43 86.0 6 12.0 1 2.0 50 100.0
Banjarsari n % 45 88.2 3 5.9 3 5.9 51 100.0
Total n 88 9 4 101
% 87.1 8.9 4.0 100.0
Berdasarkan klasifikasi tersebut sebagian besar ibu rumahtangga contoh (87.1%) memiliki tingkat pengetahuan gizi yang rendah, 8.9% ibu rumahtangga contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi sedang dan sisanya (4%) memiliki pengetahuan gizi tinggi. Di Desa Pasindangan jumlah Ibu rumahtangga yang memiliki pengetahuan gizi yang tergolong tinggi lebih sedikit dari ibu rumahtangga contoh di Desa Banjarsari yaitu antara 2% dan 5.9%. Ibu yang
46
memiliki pengatahuan gizi sedang dan rendah di Desa Pasindangan berturutturut sebesar 12% dan 86%. Sedangkan di Desa Banjarsari ibu yang memiliki pengetahuan gizi sedang dan rendah berturut-turut adalah sejumlah 5.9% dan 88.2%. Sebanyak 24 rumahtangga rawan pangan berat (92.3%) adalah rumahtangga yang tingkat pengetahuan gizi ibunya rendah. Sebanyak 4 rumahtangga rawan pangan sedang (80%) adalah rumahtangga yang tingkat pengetahuan gizi ibunya rendah. Seluruh rumahtangga rawan pangan ringan memiliki ibu rumahtangga dengan tingkat pengetahuan gizi rendah. Sedangkan pada rumahtangga tahan pangan, sebagian besar (84.4%) merupakan rumahtangga yang memiliki tingkat pengetahuan gizi yang rendah. Hanya 4 rumahtangga yang tingkat pengetahuan gizinya tinggi dan merupakan golongan rumahtangga tahan pangan. Hal ini terjadi karena memang secara umum tingkat pengetahuan gizi ibu rumahtangga contoh adalah rendah. Tabel 30 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan ketahanan pangan Pengetahuan gizi Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Rawan pangan berat n % 24 92.3 2 7.7 0 0 26 100
Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Rawan pangan pangan sedang ringan n % n % 4 80 6 100 1 20 0 0 0 0 0 0 5 100 6 100
Tahan pangan n 54 6 4 64
% 84.4 9.4 6.3 100
Total n 88 9 4 101
% 87.1 8.9 4.0 100
Berdasarkan analisis korelasi Spearman diperoleh r= 0.112 dan p>0.05 antara pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Karena pada dasarnya pendidikan gizi mereka memang rendah. Dukungan Sosial Dukungan sosial dikategorikan ke dalam tiga golongan yaitu buruk, sedang, dan baik. Berdasarkan pengkatagorian tersebut maka dari keseluruhan contoh di kedua desa dapat diketahui bahwa lebih dari setengah contoh (56.4%) memiliki dukungan sosial yang baik, sebanyak 22.8% contoh memiliki dukungan sosial yang buruk, dan sisanya 20.8% memiliki dukungan sosial sedang. Bila dibandingkan antar dua desa maka jumlah rumahtangga yang memilki dukungan
47
sosial baik di Desa asindangan lebih banyak (72%) dibandingkan rumahtangga di Desa Banjarsari (57%). Sisanya berturut-turut di Desa Pasindangan 18% dan 10% sedangkan di Desa Banjarsari 27.5% memiliki dukungan sosial buruk dan 31.4% memiliki dukungan sosial sedang. Tabel 31 Klasifikasi Tingkat Dukungan Sosial Dukungan sosial Buruk Sedang Baik Jumlah
Pasindangan n % 9 18.0 5 10.0 36 72.0 50 100.0
Banjarsari n % 14 27.5 16 31.4 21 41.2 51 100.0
Total n 23 21 57 101
% 22.8 20.8 56.4 100.0
Menurut Sarafino (1996) mengemukakan dukungan sosial terdiri dari dukungan
emosi,
instrumental,
penghargaan,
dan
dukungan
informasi.
Dukungan emosi melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga menimbulkan rasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan ini biasanya diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu. Dukungan intrumental melibatkan bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas. Dukungan penghargaan dapat berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan atau penampilan orang lain. Dukungan informasi terkait dengan perolehan pengetahuan dari orang lain. Pada tabel di bawah ini disajikan bentuk-bentuk dukungan sosial yang diukur.
48
Tabel 32 Sebaran sampel menurut dukungan sosial Dukungan sosial Bantuan makanan Petugas kesehatan selalu mengunjungi Ketua RT selalu memberi semangat Anak-anak bisa sekolah tanpa membayar SPP dan biaya lainnya Sanak famili mau mendengar masalah-masalah Sanak famili berupaya memperlihatkan perasaan cinta dan kepeduliannya Diluar rumahtanggamempunyai beberapa teman karib yang sangat peduli dan mencintai Kehidupan dalam masyarakat memberi perasaan aman Mencoba untuk berhubungan dengan sanak famili seakrab mungkin Jika menghadapi masalah tetangga selalu memberi pertolongan Selalu mendapat bantuan keuangan dari orang tua atau sanak famili ketika mendapat kesulitan Tetangga mau membantu meminjamkan uang atau barang ketika menghadapi kesulitan Merasa tenang dalam lingkungan tempat tinggal yang sesuai sebagai tempat menunbuhkembangkan anakanak Jika dalam kesulitan selalu mendapatkan pertolongan dari masyarakat dimana saya tinggal Saran yang diberikan tetangga sangat membantu dlam menyelesaikan masalah yang dihadapi
Pasindangan Ya Tidak (%) (%) 56 44
Banjarsari Ya Tidak (%) (%) 31.4 62.7
Ya (%) 43.6
Total Tidak (%) 53.5
2
92
5.9
90.2
4
91.1
12
74
11.8
64.7
11.9
69.3
58
34
23.5
37.3
40.6
35.6
86
2
70.6
15.7
78.2
8.9
80
2
60.8
9.8
70.3
5.9
34
48
15.7
49
24.8
48.5
86
0
78.4
0
82.2
0
84
2
80.4
5.9
82.2
4
68
18
27.5
45.1
47.5
31.7
48
36
64.7
13.7
56.4
24.8
34
50
23.5
49
28.7
49.5
66
10
60.8
7.8
63.4
8.9
70
10
47.1
19.6
44
36
2
54.9
58.4
22.8
14.9
45.5
Dukungan sosial berupa bantuan makanan, dijawab “ya” oleh 56% contoh di Desa Pasindangan dan 31.4% contoh menjawab “ya” di Desa Banjarsari. Sebagian besar contoh di Desa Pasindangan (92% dan 74%) dan Banjarsari (90.2% dan 64.7%) menjawab tidak pernah mendapat kunjungan dari petugas kesehatan dan tidak pernah diberikan semangat oleh ketua RT. Untuk pernyataan berikutnya, Desa Pasindangan (58%) dan Desa Banjarsari (23.5%)
49
yang menjawab bisa menyekolahkan anak-anak tanpa membayar SPP dan biaya lainnya. Untuk dua pernyataan berikutnya, contoh di Desa Pasindangan (86%dan 80%) dan Desa Banjarsari (70.6% dan 60.8%) menyatakan bahwa sanak famili mereka mau mendengarkan masalah-masalah dan berupaya memperlihatkan perasaan cinta dan kepedulannya. Contoh dari kedua desa sebagian besar (48% dan 49%) menyatakan bahwa tidak memiliki teman karib yang sangat peduli dan mencintai. Contoh di kedua desa menjawab merasa aman dalam kehidupan bermasyarakat dan mencoba untuk berhubungan seakrab mungkin dengan sanak famili yaitu sebesar 86% dan 84% untuk Pasindangan sedangkan Banjarsari sebesar 84% dan 80.4%. Akan tetapi contoh di kedua desa ini memberikan jawaban yang berbeda untuk pernyataan berikutnya, contoh di Desa Pasindangan
menyatakan
selalu
diberi
pertolongan
oleh
tetangga
jika
menghadapi masalah (68%), sedangkan contoh di Desa Banjarsari (45.1%) menyatakan tidak mendapatkan pertolongan dari tetangga jika menghadapi masalah. Kedua contoh menjawab selalu mendapatkan bantuan keuangan dari keluarga atau sanak famili dan tidak mendapatkan bantuan keuangan dari tetangga ketika mengahadapi kesulitan, ini ditunjukan dengan persentase 48% dan 50% untuk Desa Pasindangan, sedangkan Desa Banjarsari 64.7% dan 49%. Contoh menjawab merasa tenang dalam lingkungan tempat tingal yang sesuai sebagai tempat menumbuhkembangkan anak-anak dan mendapat pertolongan dari masyarakat dimana tinggal, ini ditunjukan dengan persentase 66% dan 70% untuk Desa Pasindangan dan 60.8% dan 47.1% untuk Desa Banjarsari. Untuk pernyataan berikutnya, contoh di Desa Pasindangan (44%) menyatakan bahwa saran yang diberikan tetangga sangat membantu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, sedangkan contoh di Desa Banjarsari tidak demikian (54.9%). Berdasarkan analisis korelasi Spearman diperoleh r= -0.024 dan p>0.05 antara besar dukungan sosial dengan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara dukungan sosial dengan ketahanan pangan rumahtangga. Food Coping Menurut Sen (2003); Anonymous (2004); Davies (1993) diacu dalam Usfar (2002), coping strategy merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan menurut kemampuan fisik,
50
kemampuan biologi, maupun kemampuan material. Food coping strategy biasanya
dilakukan
meningkatkan
untuk
kemampuan
mendayagunakan dalam
mengakses
alat
tukar
pangan
sebagai untuk
upaya
menjamin
kelangsungan hidup seseorang dan anggota keluarganya. Manifestasi food coping strategy
setiap orang akan berbeda tergantung dari masalah yang
mereka hadapi. Keberhasilan upaya ini bergantung pada sistem nilai yang mendukung dan berkembang dalam masyarakat (Sen 1982). Dalam Usfar (2002) dinyatakan bahwa tindakan food coping dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu: melakukan aktivitas yang mendatangkan pendapatan, melakukan perubahan diet (pola makan), berbagai cara untuk mendapatkan (mengakses) makanan, berbagai cara untuk mendapatkan (mengakses) uang (tunai), hingga cara yang paling drastis dengan melakukan migrasi atau mengurangi jumlah anggota keluarga. Tabel 33 menunjukan bahwa perilaku food coping yang banyak dilakukan adalah mengurangi pembelian pangan (jenis dan jumlah), yaitu dilakukan sebanyak 63.4% dari rumahtangga contoh. Perilaku coping beralih pada pangan yang lebih murah diakukan oleh lebih banyak rumahtangga contoh, yaitu sebanyak 77.2%. Kedua perilaku coping tersebut lebih banyak dilakukan oleh ibu. Membeli pangan dengan hutang dilakukan oleh 56.4% rumahtangga contoh, menerima bantuan (BLT atau Raskin) serta menyimpan makanan yang tidak habis untuk esok juga merupakan tindakan coping yang banyak dilakukan rumahtangga contoh yaitu sebanyak 50.5% contoh melakukannya, dan rata-rata pelakunya adalah ibu.
51
Tabel 33 Sebaran rumahtangga yang melakukan tindakan coping Tindakan coping Mengurangi pembelian kebutuhan pangan (jenis dan jumlah) Membeli pangan lebih murah Mengurangi porsi makan Mengganti beras dengan makanan pokok lain Mengurangi frekuensi makan Mengurangi penggunaan teh,kopi, atau gula Mengurangi jajan anak Merubah distribusi pangan Menyimpan makanan yang tidak habis untuk esok hari Melewati hari-hari tanpa makan Mengganti obat mahal dengan yang murah Menggunakan jamu daripada obat modern Mengurangi pembelian rokok Memilih tempat berobat murah Mengurangi uang saku anak Anak berhenti sekolah Membeli seragam bekas Membeli sepatu bekas Mengurangi penggunaan air, listrik, telepon Mengurangi pembelian pakaian Mengurangi pembelian perabot rumah tangga Mengurangi pembelian peralatan dapur Memanfaatkan lahan kosong untuk bertanam (jagung, ubi, singkong) Beternak Menerima bantuan dari pemerintah (raskin atau BLT) Menerima makanan dari saudara Membeli pangan dengan hutang Meminjam uang Memanfaatkan pekarangan untuk tanaman obat rumahtangga Meminta obat gratis ke puskesmas Anak bekerja membantu orang tua untuk keperluan sekolah Rumahtanggamengusahakan beasiswa untuk sekolah Meminta buku bekas Ibu memiliki pekerjaan sampingan Suami memiliki pekerjaan sampingan Mengontrakan rumah untuk menambah keuangan Menggadaikan barang-barang untuk kebutuhan sehari-hari Menjual barang-barang tidak produktif untuk kebutuhan sehari-hari Menjual barang-barang produktif untuk kebutuhan sehari-hari Migrasi ke kota atau ke desa Migrasi ke luar negeri (TKI) Mengalihkan pengasuhan kepada saudara/kerabat/tetangga/orang lain Bercerai
Pasindangan n %
Banjarsari n %
n
Total %
32
64
32
62.7
64
63.4
42 7
84 14
36 9
70.6 17.6
78 16
77.2 15.8
0
0
2
3.9
2
1.98
1
2
5
9.8
6
5.9
8
16
8
15.7
16
15.8
23 13
46 26
17 14
33.3 27.4
40 27
39.6 26.7
28
56
23
45.1
51
50.5
2 21 7 8 19 16 9 6 5 21 5
4 42 14 16 38 32 18 12 10 42 10
1 8 5 9 9 14 7 4 2 12 2
1.96 16 9.8 17.6 17.6 27.4 13.7 7.8 3.9 23.5 3.9
3 29 12 17 28 30 16 10 7 33 7
2.97 29 11.9 16.8 27.7 29.7 15.8 9.9 6.9 32.7 6.9
2
4
1
1.9
3
2.97
2
4
1
1.9
3
2.97
29
58
16
31.4
45
44.6
18
36
10
19.6
28
27.7
30
60
21
41.2
51
50.5
22 29 11
44 58 22
18 28 8
35.3 54.9 15.7
40 57 19
39.6 56.4 18.8
3
6
0
0
3
2
4
0
0
2
1.98
4
8
1
1.96
5
4.95
0
0
0
0
0
0
0 12 15
0 24 30
1 12 13
1.96 23.5 25.5
1 24 28
0
0
0
0
0
0
1
2
0
0
1
0.99
3
6
1
1.96
4
3.96
2
4
0
0
2
1.98
7 1
14 2
3 0
5.9 0
10 1
9.9 0.99
1
2
0
0
1
0.99
0
0
0
0
0
0
2.97
0.99 23.8 27.7
52
Sebaran Pelaku Food Coping Pelaku food coping dalam rumahtangga contoh sangat beragam. Namun sebagian besar yang menjadi pelaku coping utama dalam rumahtangga adalah ibu. Tabel 34 memperlihatkan bahwa secara umum ibu menjadi pelaku coping yang paling dominan pada tiap tindakan coping. Hampir pada setiap tindakan coping ibu menjadi pelaku paling dominan, hanya pada beberapa tindakan saja ayah atau angota rumahtangga lain menjadi pelaku coping yang dominan. Misalnya pada tindakan mengurangi pembelian rokok ayah menjadi pelaku dominan yaitu 94.1 % dari pelaku tindakan tersebut adalah ayah. Contoh lain adalah pada tindakan meanfaatkan lahan kosong untuk bercocok tanam (44.4%), beternak (67.9%), dan tentu saja pada tindakan suami memiliki pekerjaan sampingan ayah menjadi pelaku coping utama (100.0%). Ibu menjadi pelaku coping
yang
dominan
terutama
pada
tindakan-tindakan
coping
yang
berhubungan dengan kontrol keuangan untuk pangan seperti mengurangi pembelian kebutuhan dan membeli pangan yang lebih murah, masing-masing tindakan tersebut 98.4% dan 98.7% ibu menjadi pelakunya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa sebagian besar penentu kontrol keuangan yang berhubungan dengan pangan adalah ibu. Di desa Pasindangan sebanyak 60% penentu kontrol keuangan yang berhubungan dengan pangan adalah ibu. Hal yang sama terjadi pada rumahtangga contoh di desa Banjarsari, sebagian besar (52.9%) penentu kontrol keuangan yang berhubungan dengan pangan adalah ibu.
53
Tabel 34 Sebaran pelaku food coping Tindakan coping Mengurangi pembelian kebutuhan pangan (jenis dan jumlah) Membeli pangan lebih murah Mengurangi porsi makan Mengganti beras dengan makanan pokok lain Mengurangi frekuensi makan Mengurangi penggunaan teh,kopi, atau gula Mengurangi jajan anak Merubah distribusi pangan Menyimpan makanan yang tidak habis untuk esok hari Melewati hari-hari tanpa makan Mengganti obat mahal dengan yang murah Menggunakan jamu daripada obat modern Mengurangi pembelian rokok Memilih tempat berobat murah Mengurangi uang saku anak Anak berhenti sekolah Membeli seragam bekas Membeli sepatu bekas Mengurangi penggunaan air, listrik, telepon Mengurangi pembelian pakaian Mengurangi pembelian perabot rumah tangga Mengurangi pembelian peralatan dapur Memanfaatkan lahan kosong untuk bertanam (jagung, ubi, singkong) Beternak Menerima bantuan dari pemerintah (raskin atau BLT) Menerima makanan dari saudara Membeli pangan dengan hutang Meminjam uang Memanfaatkan pekarangan untuk tanaman obat rumahtangga Meminta obat gratis ke puskesmas Anak bekerja membantu orang tua untuk keperluan sekolah Rumahtanggamengusahakan beasiswa untuk sekolah Meminta buku bekas Ibu memiliki pekerjaan sampingan Suami memiliki pekerjaan sampingan Mengontrakan rumah untuk menambah keuangan Menggadaikan barang-barang untuk kebutuhan sehari-hari Menjual barang-barang tidak produktif untuk kebutuhan sehari-hari Menjual barang-barang produktif untuk kebutuhan sehari-hari Migrasi ke kota atau ke desa Migrasi ke luar negeri (TKI) Mengalihkan pengasuhan kepada saudara/kerabat/tetangga/orang lain Bercerai
Ibu n
%
n
63
98.4
1
77 10
98.7 62.5
1 0
Ayah %
Ibu-ayah n %
Lainnya n %
1.6
0
0.0
0
0.0
1.3 0.0
0 1
0.0 6.25
0 5
0.0 31.25
2
100.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
4 13 40 26
66.7 81.25 100.0 96.3
0 0 0 0
0.0 0.0 0.0 0.0
1 1 0 0
16.7 6.25 0.0 0.0
1 2 0 1
16.7 12.5 0.0 3.7
49
96.1
0
0.0
0
0.0
2
3.9
3 27 12 0 27 29 7 9 6 29 4
100.0 93.1 100.0 0.0 96.4 96.7 43.75 90.0 85.7 87.9 57.1
0 0 0 16 0 0 2 0 0 0 0
0.0 0.0 0.0 94.1 0.0 0.0 12.5 0.0 0.0 0.0 0.0
0 2 0 0 0 1 4 0 0 3 2
0.0 6.9 0.0 0.0 0.0 3.33 25.0 0.0 0.0 9.1 28.6
0 0 0 1 1 0 3 1 1 1 1
0.0 0.0 0.0 5.9 3.6 0.0 18.75 10.0 14.3 3.0 14.3
2
66.7
0
0.0
0
0.0
1
33.3
2
66.7
0
0.0
0
0.0
1
33.3
14
31.1
20
44.4
11
24.4
0
0.0
6
21.4
19
67.9
3
10.7
0
0.0
51
100.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
40 57 16
100.0 100.0 84.2
0 0 2
0.0 0.0 10.5
0 0 1
0.0 0.0 5.3
0 0 0
0.0 0.0 0.0
2
66.7
0
0.0
1
33.3
0
0.0
2
100.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
5
100.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0 12 0
0.0 100.0 0.0
0 0 28
0.0 0.0 100.0
0 0 0
0.0 0.0 0.0
1 0 0
100.0 0.0 0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
1
100.0
0
0.0
0
0.0
3
75.0
1
25.0
0
0.0
0
0.0
1
50.0
0
0.0
1
50.0
0
0.0
0 0
0.0 0.0
3 0
30.0 0.0
0 1
0.0 100.0
7 0
70.0 0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
1
100.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
54
Skor Coping Perilaku coping yang dilakukan dapat diberi skor sesuai dengan golongan tindakannya, skor 1 untuk golongan tindakan pada skala 1, skor 2 untuk golongan tindakan pada skala 2, dan skor 3 untuk golongan tindakan pada skala 3. Total skor dari seluruh tindakan coping yang dilakukan suatu rumah tangga akan di klasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu rendah jika skor coping kurang dari 10, sedang jika skor coping antara 10 hingga 20 dan tinggi jika lebih dari 20. Klasifikasi rumahtangga berdasarkan skor coping disajikan pada tabel di bawah ini: Tabel 35 Klasifikasi rumahtangga berdasarkan skor coping mechanism Skor coping < 10 (rendah) 10 - 20 (sedang) > 20 (tinggi) Jumlah Min;max Rataan
Pasindangan n % 21 42.0 27 54.0 2 4.0 50 100.0 0;28 10.78±5.751
Banjarsari n % 33 64.7 15 29.4 3 5.9 51 100.0 0;23 7.96±6.695
Total n 54 42 5 101
% 53.5 41.6 5.0 100.0
0;28 9.26±6.396
Sebagian besar (53.5%) rumahtangga contoh tergolong memiliki skor coping rendah, kemudian sebanyak 41.6% rumahtangga contoh memiliki skor coping sedang dan hanya sebagian kecil (5.0%) yang memiliki skor coping yang tinggi, sebaran skor copingnya berkisar 0-28 dengan rataan 9.26±6.396. Untuk desa Pasindangan sebaran skor copingnya berkisar 0-28 dengan rataan 10.78±5.75. Sebagian besar (54.0%) tergolong dalam rumahtangga dengan skor coping sedang, kemudian sebanyak 42.0% rumahtangga contoh memiliki skor coping rendah, dan sebagian kecilnya yaitu hanya 4.0% yang memiliki skor coping tinggi. Sebaran skor coping di desa Banjarsari hanya berkisar 0-23 dengan rataan 7.96±6.695 dan terdistribusi sebanyak 64.7% pada kelompok dengan skor coping rendah, 29.4% pada skor coping sedang, serta 5.9% pada kelompok skor coping tinggi. Tinggi rendahnya skor coping ini menunjukan jumlah dan tingkatan tindakan coping yang dilakukan suatu rumahtangga.
55
Tabel 36 Sebaran rumahtangga berdasarkan ketahanan pangan dan skor food coping mechanism Skor coping mechanism Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Rawan pangan berat n % 13 50.0 11 42.3 2 7.7 26 100
Tingkat Ketahanan Pangan Rawan pangan Rawan pangan sedang ringan n % n % 2 40 3 50.0 2 40 2 33.3 1 20 1 16.7 5 100 6 100
Tahan pangan n % 36 56.3 27 42.2 1 1.6 64 100
Total n 54 42 5 101
% 53.5 41.6 5.0 100
Tabel di atas menyajikan sebaran rumahtangga contoh berdasarkan tingkat ketahanan pangan dan skor coping. Dapat dilihat bahwa pada rumahtangga rawan pangan berat 50% memiliki skor coping rendah, 42.3% memiliki skor coping sedang dan sisanya 7.7% memiliki skor coping yang tinggi. Pada rumah tangga rawan pangan sedang masing-masing 40% memiliki skor coping rendah dan sedang, sebanyak 20% memiliki skor coping tinggi. Rumahtangga rawan pangan ringan setengahnya memiliki skor coping rendah, sebanyak 33.3% memiliki skor coping sedang dan sisanya (16.7%) memiliki skor coping yang tinggi. Untuk rumahtangga tahan pangan sebagian besar memiliki skor coping rendah, yaitu sebanyak 56.3%, kemudian 42.2% memiliki skor coping sedang dan 1.6% saja yang memiliki skor coping tinggi. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, antara tingkat coping dengan tingkat ketahanan pangan rumahtangga tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan nilai r=-0.098, p>0.05. Namun jika dihubungkan dengan persen alokasi pengeluaran pangan menunjukan hasil yang signifikan negatif dengan nilai r = -0.212, p<0.05 yang berarti semakin besar persen alokasi pengeluaran untuk pangan akan mengurangi perilaku coping baik dari segi jumlah maupun kerumitan. Hal ini senada dengan penelitian sebelumnya oleh Samon (2005) yang dilakukan pada keluarga nelayan, bahwa pada keluarga nelayan ditemukan hubungan negatif yang sangat nyata antara alokasi pengeluaran untuk pangan dengan perilaku coping. Berdasar hasil uji korelasi Pearson, antar tingkat konsumsi energi dengan skor coping menunjukan hubungan yang signifikan negatif dengan nilai r=-0.208, p<0.05 hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi skor coping suatu rumahtangga akan semakin rendah tingkat konsumsi energinya yang secara tidak langsung dapat menunjukan penurunan status ketahanan pangannya. Tindakan coping juga sangat berhubungan erat dengan dukungan sosial, Hal ini dibuktikan dengan uji korelasi Spearman yang menunjukan hasil signifikan
56
positif dengan nilai r=0.352 p<0.01. Artinya bahwa semakin tinggi dukungan sosial maka akan semakin tinggi pula skor copingnya. Semakin banyak dukungan sosial yang diperoleh maka akan semakin memudahkan suatu rumahtangga untuk melaksanakan tindakan-tindakan coping. Konsumsi Konsumsi rumahtangga dapat dinilai berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi rumahtangga. Tingkat kecukupan zat gizi rumahtangga diperoleh dengan cara menghitung angka kecukupan zat gizi bagi masing-masing anggota rumahtangga berdasarkan WNPG 2004, kemudian dihitung rata-rata angka kecukupan zat gizi setiap rumahtangga. Nilai total konsumsi zat gizi rumahtangga per hari kemudian di bagi dengan jumlah anggota rumahtangga dan dibandingkan dengan angka kecukupan zat gizi rumahtangga. Pada tabel berikut ini adalah sebaran tingkat kecukupan zat gizi yaitu energi (E), protein (P), kalsium (Ca), besi (Fe), vitamin A, dan vitamin C. Tabel 37 tingkat kecukupan Energi dan Protein rumahtangga Zat gizi Energi (E) Protein (P)
< 70 n % 26 25.7 36 35.6
Tingkat kecukupan gizi 70 – <80 80-<90 90 n % n % n % 5 5 6 5.9 64 63.4 8 7.9 4 4 53 52.5
Min;max
Rataan
10;600 8;335
141.08±99.163 104.42±65.859
Tabel 38 tingkat kecukupan Vitamin dan Mineral rumahtangga Zat gizi Kalsium (Ca) Besi (Fe) Vitamin A Vitamin C
Tingkat kecukupan gizi 50 >50 n % n % 98 97 3 3 61 60.4 40 39.6 3 3 98 97 72 71.3 29 28.7
Min;max
Rataan
2;169 4;149 15;7418 0;432
21.21±18.702 50.94±34.296 611.49±1159.322 60.35±85.006
Berdasarkan acuan Depkes (1996 dalam BKP 2008), tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein kurang dari 70% dikategorikan sebagai defisit energi atau protein tingkat berat, tingkat kecukupan konsumsi antara 70% sampai dengan kurang 80% sebagai defisit tingkat sedang, dan tingkat kecukupan konsumsi antara 80% hingga kurang dari 90% sebagai defisit tingkat ringan. Tingkat kecukupan energi rumahtangga berkisar antara 10 sampai 600 dengan rataan 141.08±99.163. Tingkat kecukupan protein rumahtangga berkisar antara 8 sampai 335 dengan rataan 104.42±65.859.
57
Kondisi ini terjadi karena seluruh rumahtangga contoh merupakan rumahtangga petani baik petani yang menggarap lahan milik sendiri, buruh tani, ataupun sistem maro. Mereka mampu mengakses makanan pokok dari hasil produksi mereka sendiri, walaupun masih ada rumahtangga yang belum tercukupi kebutuhannya dari hasil produksinya sehingga harus membeli kebutuhannya dari warung. Tingkat kecukupan protein rumahtangga contoh sudah cukup baik. Tingkat kecukupan protein yang cukup baik ini diduga karena seluruh rumahtangga contoh hampir setiap hari mengkonsumsi sumber protein, dan yang paling sering dikonsumsi adalah ikan asin, di duga kondisi ini terjadi karena kontribusi kandungan protein ikan asin yang dikonsumsi oleh anggota rumahtangga contoh. Khomsan (2002) mengutarakan bahwa secara sosial ikan asin dianggap oleh masyarakat sebagai komoditas inferior. Padahal dari segi gizi, ikan asin sebenarnya superior karena kandungan proteinnya sekitar 3540%. Tingkat kecukupan kalsium rumahtangga berkisar antara 2 sampai 169 dengan
rataan
21.21±18.702.
Dapat
dilihat
tingkat
kecukupan
kalsium
rumahtangga yaitu sebanyak 98% rumahtangga berada dalam kategori defisit ( 50%), sisanya sebanyak 3% rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%). Kondisi ini diduga karena rumahtangga contoh tidak mampu mengakses pangan sumber kalsium untuk dikonsumsi, mereka hanya mengkonsumsi apa yang tersedia di ladang dan alam sekitar. Tingkat kecukupan zat besi rumahtangga berkisar antara 4 sampai 149 dengan rataan 50.94±34.296. Dapat dilihat tingkat kecukupan zat besi rumahtangga yaitu sebanyak 60.4% rumahtangga berada dalam kategori defisit ( 50%), sisanya sebanyak 39.6% rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%). Rendahnya tingkat kecukupan zat besi rumahtangga contoh diduga disebabkan oleh kurangnya konsumsi bahan pangan sumber zat besi, seperti daging, hati dan sayuran hijau. Sebagai contoh bayam, di daerah ini hampir tidak ada petani yang menanam bayam, sehingga bayam hanya diperoleh dari luar. Dengan demikian rumahtangga contoh harus membeli, padahal rata-rata daya beli sangat rendah. Tingkat kecukupan vitamin A rumahtangga berkisar antara 15 sampai 7418 dengan rataan 611.49±1159.322. Dapat dilihat tingkat kecukupan vitamin A rumahtangga yaitu sebanyak 3% rumahtangga berada dalam kategori defisit ( 50%), sebanyak 3% rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%).
58
Tingkat kecukupan vitamin C rumahtangga berkisar antara 0 sampai 432 dengan rataan 60.35±85.006. Dapat dilihat tingkat kecukupan vitamin C rumahtangga yaitu sebanyak 71.3% rumahtangga berada dalam kategori kurang ( 50%), sebanyak 28.7% rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%). Hal ini diduga disebabkan jarangnya mengkonsumsi buah-buahan, selain karena jarang diproduksi juga karena akses yang cukup sulit terutama di desa Pasindangan. Tabel 39 Frekuensi konsumsi bahan pangan Frekuensi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Pangan Beras Singkong Ubi Jalar Daging Ayam Daging Kerbau Daging Sapi Daging Kambing Ikan Asin Ikan Segar Minyak sawit Minyak Kelapa Tahu Tempe Gula Daun singkong Daun Melinjo Kangkung Kacang Panjang Kol Wortel
Jarang
Kadangkadang n % 14 9.2 15 78.9 16 94.1
n 94 1 0
% 61.4 5.3 0
30
60
20
44
97.8
1
Sering
Selalu
Total
n 20 3 1
% 13.1 15.8 5.9
n 25 0 0
% 16.3 0 0
n 153 19 17
% 100 100 100
0
0
0
0
50
100
2.2
0
0
0
0
45
100
40
3
100
0
0
0
0
0
0
3
100
1
100
0
0
0
0
0
0
1
100
0 4
0 12.9
8 14
9.4 45.2
38 11
44.7 35.5
39 2
45.9 6.5
85 31
100 100
0
0
11
12.2
60
66.7
19
21.1
90
100
0
0
6
54.5
5
45.5
0
0
11
100
0 0 0
0 0 0
0 2 18
0 9.1 17
22 15 70
78.6 68.2 66
6 5 18
21.4 22.7 17
28 22 106
100 100 100
0
0
1
5
4
20
15
75
20
100
0
0
0
0
3
17.6
14
82.4
17
100
0
0
0
0
20
44.4
25
55.6
45
100
0
0
3
23.1
4
30.8
6
46.2
13
100
0 0
0 0
0 2
0 6.5
9 16
60 51.6
6 13
40 41.9
115 31
100 100
Frekuensi konsumsi suatu bahan pangan dikategorikan menjadi 3, yaitu jarang, kadang-kadang, sering, dan selalu. Berdasarkan kategori tersebut maka dapat dilihat bahwa sebanyak 61.4% rumahtangga jarang mengkonsumsi beras, untuk pangan hewani paling banyak rumahtangga (45.9%) selalu mengkonsumsi ikan asin sebagai pangan hewani, sedangkan untuk daging ayam (60%), daging sapi (100%), daging kerbau (97.8%), daging kambing (100%) jarang dikonsumsi
59
oleh rumahtangga di wilayah tersebut. Konsumsi gula di wilayah ini dikatakan sering yaitu sebesar 66% rumahtangga. Untuk bahan pangan minyak, rumahtangga contoh lebih sering mengkonsumsi minyak sawit (66.7%) sedangkan dikatakan jarang mengkonsumsi minyak kelapa (54.5%). Untuk umbiumbian, 78.9% rumahtangga contoh kadang-kadang mengkonsumsi singkong dan 94.1% rumahtangga mengkonsumsi ubi jalar. Untuk kelompok pangan sayuran, rumahtangga contoh (82.4%) selalu mengkonsumsi daun melinjo sebagai sayur yang dikonsumsi sehari-hari, Selain itu juga mengkonsumsi daun singkong (75%), kangkung (55.6%), kacang panjang (46.2%), wortel (41.9%), dan kol (40%). Tabel 40 Rata-rata konsumsi pangan rumahtangga per hari No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Jenis pangan Beras Ketan hitam Biskuit Jagung Kentang Singkong Terigu Ubi jalar Kcg ijo Kcg kedelai Kcg. Tanah Kecap Kelapa Oncom Tahu tempe Daging ayam Daging kambing Daging sapi Telur ayam Telur bebek Ikan asin Ikan bandeng Ikan segar Buncis Daun melinjo Daun singkong
Rata-rata konsumsi per hari (gr/hr) 2953.8 0.4 4.0 3.1 0.0 16.2 53.4 8.7 0.5 0.3 1.8 0.1 212.8 2.0 22.3 39.4 19.8 0.1 0.1 33.8 0.2 63.8 5.0 12.1 1.6 29.7 33.8
No. 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Jenis pangan Kcg. Panjang Kangkung Ketimun Kol Melinjo Pepaya muda Toge Tomat Wortel Jambu air Jeruk Mangga Nenas Pepaya Pisang Rambutan Susu kental manis Bubur bayi Minyak kelapa Minyak sawit Gula merah Gula pasir Kopi Sirop Teh Permen Lainnya
Rata-rata konsumsi per hari (gr/hr) 20.1 104.1 9.0 9.9 0.1 1.3 22.9 2.3 49.6 0.3 21.9 0.3 0.6 27.7 24.7 0.3 5.9 0.1 12.2 163.1 6.1 88.0 30.2 0.1 0.3 0.0 15.6
Analisis Regresi Variabel dependen yang dianalisis adalah tingkat konsumsi energi yang merupakan indikator ketahanan pangan, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah luas lahan yang dimiliki (X1), kemiskinan (X2), jumlah anggota
60
keluarga (X3), skor coping (X4), dan alokasi pengeluaran pangan (X5). Pengaruh variabel-variabel independen yang dianalisis terhadap variabel independennya signifikan dengan nilai 0.000 (< 0.005) dan menghasilkan persamaan: Y = 4.414 + 0.006X1 + 46.425X2 – 4.563X3 – 1.030X4 + 1.770X5. Nilai R square (r2) yang didapat adalah 0.262 hal ini menunjukan bahwa pengaruh semua variabel independen terhadap tingkat konsumsi energi sebesar 26.2% (r2 × 100%), sedang faktor-faktor diluar model berpengaruh sebesar 73.8% (100% - 26.2%). Dari persamaan yang didapat diketahui bahwa variabel luas lahan berpengaruh meningkatkan tingkat konsumsi energi sebesar 0.006% untuk setiap kenaikan 1 m2 lahan yang dimiliki rumahtangga. Perbedaan rata-rata tingkat konsumsi energi pada keluarga miskin dan tidak miskin adalah sebesar 46.425%. Setiap penambahan 1 orang anggota rumahtangga akan menurunkan tingkat konsumsi energi sebesar 4.563%, sama halnya dengan pengaruh skor coping, untuk setiap kenaikan satu skor coping akan menurunkan tingkat konsumsi energi sebesar 1.030%. sedangkan untuk variabel alokasi pengeluaran pangan berpengaruh meningkatkan tingkat konsumsi energi sebesar 1.770% untuk setiap peningkatan 1% alokasi pengeluaran pangan rumahtangga.
61
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan klasifikasi ketahanan pangan kuantitatif dari keseluruhan contoh diketahui bahwa sebanyak 63.4% contoh merupakan rumahtangga tahan pangan. Sejumlah 25.7% contoh merupakan rumahtangga rawan pangan berat, dan 5% contoh merupakan rawan pangan sedang, sisanya 5.9% merupakan rawan pangan ringan. Rumahtangga contoh
hampir setengahnya (49.5%) termasuk dalam
kategori keluarga kecil. Sebagian besar kepala rumahtangga contoh (57.4%) berada pada kelompok umur dewasa madya (40-59 tahun), sedangkan sebaran umur ibu rumahtangga sebesar 47.5% pada kelompok dewasa madya dan 46.5% pada kelompok dewasa awal. Lama pendidikan ayah (73.3%) maupun ibu (69.3%) umumnya kurang dari atau sama dengan 6 tahun. Sebagian besar (87.1%) ibu rumahtangga contoh memiliki pengetahuan gizi yang rendah. Semua kepala rumahtangga contoh memiliki pekerjaan utama sebagai petani dengan kisaran pendapatan baik dari pekerjaan utama maupun tambahan adalah tidak memiliki pendapatan sama sekali hingga berpendapatan Rp 3.050.000 per tahun. Sebagian besar rumahtangga contoh (84.2%) termasuk rumahtangga berpendapatan rendah dengan pengeluaran perkapita rata-rata sebesar Rp 254.241. Khusus untuk pengeluaran pangan berkisar antara Rp 11.333 hingga Rp 347.908 sementara alokasi pengeluaran pangan berkisar 8.1% sampai dengan 84.26% terhadap pengeluaran total. Setelah dibandingkan dengan garis kemiskinan, sebanyak 31.7% rumahtangga contoh merupakan rumahtangga miskin. Lebih dari setengah rumahtangga contoh (56.4%) memiliki dukungan sosial yang baik, sebanyak 22.8% contoh memiliki dukungan sosial yang buruk, dan sisanya 20.8% memiliki dukungan sosial sedang. Bila dibandingkan antar dua desa maka jumlah rumahtangga yang memilki dukungan sosial baik di desa pasindangan lebih banyak (72%) dibandingkan rumahtangga di Desa Banjarsari (57%). Perilaku food coping yang paling banyak beralih pada pangan yang lebih murah diakukan oleh sebanyak 77.2% rumahtangga contoh. Hampir pada setiap tindakan coping ibu menjadi pelaku paling dominan. Sebagian besar (53.5%) rumahtangga contoh
tergolong memiliki skor coping yang rendah, sebanyak
62
41.6% rumahtangga contoh memiliki skor coping sedang dan hanya sebagian kecil (5.0%) yang memiliki skor coping yang tinggi. Terdapat hubungan negatif dengan nilai r=-0.270, p<0.01 antara jumlah anggota rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga, terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan pangan rumahtangga (r= 0.309 dan p<0.01), Hubungan antara kemiskinan dan ketahanan pangan mendapatkan hasil yang signifikan positif dengan nilai r=0.293, p<0.01, alokasi pengeluaran pangan dengan tingkat konsumsi energi juga memiliki hubungan positif yang nyata dengan nilai r=0.202, p=<0.05 pada uji korelasi Pearson, Berdasar hasil uji korelasi Pearson, antar tingkat konsumsi energi sebagai indikator ketahanan pangan dengan skor coping menunjukan hubungan yang signifikan negatif dengan nilai r=-0.208, p<0.05. Pada uji regresi nilai R square (r2) yang didapat adalah 0.262 hal ini menunjukan bahwa pengaruh semua variabel independen terhadap tingkat konsumsi energi sebesar 26.2% (r2×100%), sedang faktor-faktor diluar model berpengaruh
sebesar
73.8%
(100%-26.2%).
luas
lahan
berpengaruh
meningkatkan tingkat konsumsi energi sebesar 0.006% untuk setiap kenaikan 1 m2 lahan yang dimiliki rumahtangga. Perbedaan rata-rata tingkat konsumsi energi pada keluarga miskin dan tidak miskin adalah sebesar 46.425%. Setiap penambahan 1 orang anggota rumahtangga akan menurunkan tingkat konsumsi energi sebesar 4.563%, sama halnya dengan pengaruh skor coping, untuk setiap kenaikan satu skor coping akan menurunkan tingkat konsumsi energi sebesar 1.030%. sedangkan untuk variabel alokasi pengeluaran pangan berpengaruh meningkatkan tingkat konsumsi energi sebesar 1.770% untuk setian peningkatan 1% alokasi pengeluaran pangan rumahtangga. Saran Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini ditujukan bagi pemerintah diharapkan untuk lebih memperhatikan peningkatan kualitas para ibu yang merupakan pelaku coping utama. Perlu adanya pelatihan dan penyuluhan mengenai pangan dan gizi untuk meningkatkan pengetahuan gizi ibu yang kemudian diharapkan dapat menunjang ketahanan pangan rumahtangga. Selain itu disarankan untuk mengadakan program-program pendidikan seperti kejar paket untuk meningkatkan pendidikan masyarakat sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Sebagian besar rumahtangga petani di kedua desa masih tergantung dengan tengkulak, diharapkan pemerintah dapat
63
memperhatikan hal tersebut dan membantu petani lepas dari tengkulak dengan mengembangkan KUD, mengadakan lagi kredit pertanian yang lebih terkontrol dan membuat kebijakan harga yang menguntungkan petani sehingga petani tidak tertarik pada tengkulak. Selanjutnya, dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai food coping strategi dan ketahanan pangan dan segala aspeknya. Seperti hubungan pelaku food coping dengan status gizinya atau pengaruh alokasi pangan rumahtangga terhadap ketahanan pangan rumahtangga dan sebagainya.
64
DAFTAR PUSTAKA Adi AC. 1998. Komunikasi dan ketahanan pangan rumahtangga menurut tipe arkeologi di wilayah kabupaten Pasuruhan, Jawa Timur. [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Ariningsih E. 2009. Konsumsi dan kecukupan energy dan protein rimahtangga pedesaan di Indonesia: analisis data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005. www.pse_litbang.deptan.go.id [28 Agustus 2009] Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan edisi kelima. Jakarta : Erlangga. Kartika
TWW. 2005. Analisis coping strategy dan ketahanan pangan rumahtangga petani di desa Majasih kecamatan Sliyeg kabupaten Indramayu. [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Maxwell D. 2001. Field Exchange Aug 2001: The coping strategie index Monitoring Food Security Status in Emergencies. http:/www.ennonline.net [15 Januari 2009] Maxwell S, Marisol S. 1992. Household Food Security : A Conceptual Review. Dalam Maxwell S, Timothy R. F. Household Food Security : Concepts, Indicators, and Measurements. New York : UNICEF Programme Publication. Mutiara E. 2008. Analisis strategi food coping keluarga dan penentuan indikator kelaparan. [disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Purlika A. 2004. Studi food coping mechanism pada rumahtangga miskin di daerah perkotaan. [skripsi]. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. PPK-LIPI. 2004. Ketahanan pangan rumahtangga di pedesaan: konsep dan ukuran. www.bappeda-jabar. [17 Januari 2009] Samon EKT. 2005. Manajemen keuangan, alokasi pengeluaran dan coping mechanism keluarga nelayan dan petani tambak [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. New York : PrenticeHall, Inc., Englewood Cliffs. Sarafino EP. 1996. Health Psycologhy: Biopsychosocial Interactions. New York: Allyn and Bacon. Sen A. 1982. Poverty and Femine an Essay on Entitlement and Deprivation. Oxford : University Press.
65
Smith LC. 2003. The Use of Household Expenditure Surveys for The Assessment of Food Insecurity. Proceedings Measurement and Assessment of Food Deprivation and Undernutrition. International Scientific Symposium, Rome 26-28 June 2002. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi Dan Aplikasinya Untuk Keluarga Dan Masyarakat. Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Soetrisno L. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Kanisius. Suhardjo. 1998. Dampak El-Nino dan krisis moneter pada ketersediaan, akses dan distribusi pangan. Dalam PUSLITBANG Kependudukan dan Ketenagakerjaan, UNICEF. 1998. Prihatin Lahir Batin : Dampak Krisis Moneter dan Bencana El-Nino terhadap Masyarakat, Keluarga, Ibu dan Anak di Indonesia dan Pilihan Intervensi edisi II. Jakarta : PT Sabena Utama. Supriasa, Bachyar B, Ibnu F 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC. Syarief H, Hardinsyah, dan S. M. Atmojo. 1999. Membenahi Konsep Ketahanan Pangan Indonesia. Dalam A. R. Thaha, Hardinsyah, A. Ala (Ed), Pembangunan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal (hlm. 51-71). Bogor : Pergizi Pangan dan CRESCENT. Usfar A. 2002. Household coping strategies for food security in Indonesia and relation to nutrition status: comparison before and after the 1997 economic crisis. Sttutgart: Verlag Grauer, Beuren. Widiyanti S. 2007. Hubungan skor food coping strategy dengan tingkat konsumsi energi kluarga miskin dan tidak miskin di pedesaan dan perkotaan. [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Wolf E.R. 1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta : CV Rajawali Zainun M. 2002. Strategy coping. http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp. [15 Januari 2009]
66
LAMPIRAN
66
Lampiran 1 Kuesioner
KUESIONER PENELITIAN MODEL PENGUATAN MODAL KOMUNITAS DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KERAWANAN PANGAN
Keterangan Tempat dan Rumahtangga 01
No Urut Rumahtangga
02
Kabupaten/Kota
03
Kecamatan
04
Desa/Kelurahan
05
RW
06
RT
07
Nama Kepala Keluarga
Keterangan Enumerator 08 09 10
Nama Enumerator Tanggal Wawancara Tanda Tangan
Keterangan Superviser 11 12 13
Nama Tanggal Superviser Tanggal Supervisi
Tanda Tangan Keterangan Entri Data
14 15 16
Nama Pengentri Tanggal Entri data Tanda tangan
Keterangan Kode : Kabupaten Kota Desa Kelurahan No Urut RT
:1 :2 :1 :2 : 01-100
67 1. KETERANGAN ANGGOTA RUMAHTANGGA No
Nama Anggota rumahtangga
(1)
(2)
Hubungan dengan KK (3)
Jenis Kela Min Lk 1 Pr 2 (4)
Umur
Tahun
Bulan (5)
Untuk art berusia 059 bulan BB TB (kg) (cm) (6) (7)
Kode Kolom 3 : Hubunngan dengan Kepala rumahtangga Kepala rt 3 Istri/suami 4 Anak
Status Perka winan
(8)
Ukuran LILa untuk Wanita Hamil (9)
Pekerjaan
Utama (10)
Tamba han (11)
Menantu
4
Famili lain
7
Belum kawin 1 Cerai
2
Cucu
5
Pembantu rt
8
Kawin
3
Orang tua/ mertua 6
Kode Kolom 10 dan 11 : Pekerjaan Petani 1 Karyawan Pedagang 2 Buruh PNS 3 Jasa angkutan
4 5 6
2
Cerai
9
Wiraswasta Guru lainnya
7 8 9
2. Economic aspect 2.1.
Pendapatan dalam Rumah Rumah Tangga
ART 1. Suami
2. Istri
3. Anak 4. ART lain
Jenis pekerjaan a. b. c. a. b. c. a. b. c. a. b. c.
Rp/hr
(12)
Kode Kolom 8 : Status Perkawinan
1
Lainnya
Lama bersek olah (tahun)
Pendapatan/sumbangan = Rp per satuan waktu Hr/mg Rp/mg Mg/bln Rp/bln Bln/thn
Rp/thn
Keterangan: 1) Lengkapi informasi pendapatan sampai pendapatan/tahun (jawababan yang diperoleh dikonversi dalam tahun 2) Isikan besar sumbangan per satuan waktu yang diberikan oleh anak dan atau anggota keluarga lain
hidup mati
68
2.2.
Kepemilikan/Aset
2.2.1. Kepemilikan alat elektronik No
Elektronik
Jumlah (buah)
Kondisi*)
Harga jual
1 Radio/Tape 2 Video/CD 3 Nintendo/Sega/PS 4 Kipas angin 5 Telepon 6 HP 7 Televisi 8 Setrika listrik 9 …………… 10 …………… *) =baik/ rusak
2.2.2. Perumahan, Lahan, Toko dan Perhiasan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Pertanyaan status rumah yang anda tempati 1.Sendiri 2. Kontrak 3. Orang tua 4................ Ukuran rumah:……………..m2 Kepadatan (ukuran rmh/angg kel.)……....m2/kap Luas Lahan lainnya yg dimiliki ................ m2 jika dinilai dengan uang seharga Rp......... tipe dinding rumah 1, Bambu 2. Kayu 2..Sebagian tembok 3.Tembok 5............. Tipe atap: 1. Genting 2. Seng 3. asbes 4. Nifah 5. lainnya........... Tipe lantai............ 1.keramik 2.ubin 3.semen 4..tanah Apakah punya rumah lebih dari satu? 1. Ya 2. Tdk Jika ya, punya berapa........ Kalo dijual harga semua rumah yang dimiliki berapa? Rp............... Apakah punya perhiasan emas? 1. Ya 2. Tdk Jika ya, berapa ..............gram Apakah punya toko? 1. Ya 2. Tdk Bila dijual brp harga toko dan isinya? ..Rp..............
Keterangan
16
2.2.3. Kepemilikan Ternak No
Ternak (ekor)
1 2 3
Sapi (induk/anak) Kerbau (induk/anak) kambing/ domba (induk/anak)
4 5 6 7 8
kuda (induk/anak) Ayam Itik Kelinci Ikan (jenis:…………...) Kg
9 10
Harga jual (setempat)
Keterangan: 1)status kepemilikan ternak : milik sendiri atau system “maro”
Status kepemilikan
1)
69
2.2.4. Kepemilikan kendaraan No Kendaraan 1 Mobil (th……..) 2 Motor (th…….) 3 Sepeda (th…….) 4 5 *) =baik/ rusak
Jumlah(buah)
Harga (jika dijual)
2.2.5. Kepemilikan alat rumah tangga No 1 2 3 4 5 6 7 8
Alat rumah tangga Lemari makan Mesin cuci Rice Cooker Oven Kulkas Mesin jahit Kompor gas Kompor minyak
9 10
…………… ……………
Jumlah (buah)
Kondisi*)
Harga jual
2.2.6. Kepemilikan Mebel No
Kepemilikan mebeul
Jumlah (buah)
Kondisi*)
Harga jual
1 Kursi tamu (set) 2 Meja makan (set) 3 Tempat tidur 4 Lemari pakaian 5 Lemari hias 6 Lemari buku 9 …………… 10 …………… *) =baik/ rusak
3. KETERANGAN KONTROL KEUANGAN RUMAHTANGGA Jenis Pengeluaran
Makanan Pendidikan Kesehatan Perumahan Pakaian Peralatan RT Rekreasi Tabungan Keseluruhan Pengeluaran
Suami sendiri (Skore 1)
Suami dominan (Skore 2)
Istri sendiri (Skore 3)
Istri dominan (Skore 4)
Bersama setara (Skore 5)
Skore
70
4. DUKUNGAN SOSIAL No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Pernyataan Bantuan makanan selalu saya terima Petugas kesehatan selalu mengunjungi keluarga saya Ketua RT selalu memberikan semangat kepada saya Anak-anak saya bisa sekolah tanpa harus membayar uang SPP dan biaya lainnya Sanak famili saya mau mendengarkan masalah-masalah kami Sanak famili saya berupaya untuk memperlihatkan perasaan cinta dan menunjukkan kepeduliannya pada saya Diluar keluarga saya mempunyai beberapa teman karib yang saya yakini mereka juga sangat peduli dan mencintai saya Kehidupan dalam masyarakat ini memberi perasaan aman dalam diri saya Saya mencoba untuk berhubungan dengan sanak famili saya seakrab mungkin Jika saya menghadapi masalah, tetangga saya selalu memberi pertolongan Saya selalu mendapat bantuan keuangan dari orang tua/sanak famili ketika saya mendapat kesulitan Tetangga saya mau membantu meminjamkan uang atau barang ketika saya menghadapi klesulitan Saya merasa tenang dengan lingkungan tempat tinggal saya yang sesuai sebagai tempat menumbuh kembangkan anak-anak Jika sedang dalam kesulitan saya selalu mendapatkan pertolongan dari masyarakat dimana saya tinggal Saran yang diberikan tetangga sangat membantu dalam penyelesaian masalah yang dihadapi Total
Ya
Tidak
71 5. PENGETAHUAN GIZI (Harus ditanyakan pada ibu rumahtangga) 1. Empat sehat lima sempurna terdiri dari : (1) Nasi, sayur, tempe (2) Nasi, sayur, tempe, buah (3) Nasi, sayur, tempe,buah dan susu (4) Tidak tahu 2. Makanan berguna bagi tubuh sebagai : (1) Sumber tenaga saja (2) Untuk mengenyangkan perut saja (3) Sumber tenaga, sumber pembangun dan sumber pengatur (4) Tidak tahu 3. Contoh makanan sumber karbohidrat (tenaga) : (1) Mie (2) Daging (3) Telur (4) Tidak tahu 4. Contoh makanan sumber protein adalah (1) Mie (2) Daging (3) Buah (4) Tidak tahu 5. Sayur dan buah-buahan merupakan sumber (1) Protein (2) Tenaga (3) Vitamin (4) Tidak tahu 6. Buah yang paling banyak mengandung vitamin C: (1) Semangka (2) Jeruk (3) Mangga (4) Tidak tahu 7. Sayuran yang banyak mengandung vitamin A : (1) Wortel (2) Toge (3) Kangkung (4) Tidak tahu 8. Sebagai sumber protein, daging dapat diganti dengan : (1) Tahu/tempe (2) Nasi (3) Mie (4) Tidak tahu 9. Agar anak tidak kurang gizi, maka sebaiknya di beri makan : (1) Apa yang diinginkan anak (2) Nasi, sayur, tempe (3) 4 sehat 5 sempurna (4) Tidak tahu 10. Akibat utama kekurangan makansumber protein pada anak adalah : (1) Badan lemah (2) Pertumbuhan badan terganggu (3) Sering sakit (4) Tidak tahu
72 6. A. PERSEPSI KELAPARAN (Ditanyakan pada setiap anggota rumahtangga) KARAKTERISTIK INDIVIDU
Nama Anggota Rumahtangga dan No Urut
1. Dalam setahun terakhir, berapa kali sehari biasanya saudara makan?..... kali 2. Dalam dua bulan terakhir berapa kali sehari biasanya saudara makan? ..... kali 3. Bila berkurangmenurun (Isian R.2 < R.1), mengapa? 1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet 3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa 5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang 7. Lainnya 4. Dalam dua bulan terakhir, apakah jumlah/porsi makan semakin berkurang dibanding biasanya? 1. Ya 2. Tidak ( Bila R.4 =2, Langsung ke R.6 5.Bila “ya” mengapa? 1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet 3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa 5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang 7. Lainnya 6. Dalam dua bulan terakhir, apakah berat badan saudara semakin berkurang/kurus (pakaian/celana semakin longgar)? 1. Ya 2. Tidak 7. Bila “ya” (R.6=1), mengapa? 1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet 3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa 5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang 7. Lainnya VI.B. PERSEPSI ENUMERATOR TERHADAP UKURAN TUBUH RESPONDEN/CONTOH 8. Menurut anda ukuran tubuh responden yang diamati tergolong 1. Gemuk 2. Normal (biasa) 3. Kurus/ kurang gizi 9. Jika tergolong kurus, tanyakan sejak berapa lama mempunyai ukuran tubuh sedemikian? ....... bulan 10. Jika tergolong kurus, tanyakan kepada responden kemungkinan penyebab utamanya Sakit kronis Kurang makan/tidakmampu beli makanan Lainnya (...................)
73 6. B. PENGUKURAN VALIDITAS KELAPARAN No 1
B. Pernyataan Saya khawatir apakah makanan saya akan habis sebelum saya punya uang untuk membeli lagi?
2
Makanan yang saya beli tidak cukup dan saya tidak punya uang untuk membelinya lagi?
3
Saya tidak mampu untuk makan-makanan yang seimbang?
4
Saya bergantung pada beberapa jenis makanan yang murah untuk anak-anak saya karena saya tidak punya uang untuk membeli makanan? Saya tidak dapat memberikan makanan seimbang untuk anak-anak saya karena saya tidak dapat membelinya? Anak-anak saya tidak memperoleh makanan yang cukup karena saya tidak
5 6
mampu membelinya? 7 8 9
10 11
Dalam 12 bulan terakhir dari bulan ini apakah anda pernah mengurangi makanan karena tidak ada cukup uang untuk membelinya? Berapa sering hal tersebut terjadi : hampir setiap bulan, hanya beberapa bulan tetapi tidak setiap bulan, atau hanya 1 sampai 2 bulan? Dalam 12 bulan terakhir apakah anda pernah makan lebih sedikit dari yang seharusnya anda makan karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan? Dalam 12 bulan terakhir apakah anda pernah merasa lapar tetapi tidak makan karena tidak mampu membeli cukup makanan? Dalam 12 bulan terakhir apa berat badan anda turun karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?
12 13
Jika semua pertanyaan berikut tidak mau dijawab maka wawancara diberhentikan (SELESAI) Dalam 12 bulan terakhir, apakah anda pernah tidak makan sepanjang hari karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan? (Jika ya), berapa sering hal ini terjadi: hampir setiap bulan, beberapa bulan tetapi tidak setiap bulan, atau hanya 1 sampai 2 bulan?
14
15 16 17 18
Jika ada berusia dibawah 18 tahun tanyakan pertanyan berikut, jika tidak ada maka wawancara diberhentikan (SELESAI) Dalam 12 bulan terakhir dari bulan ini , apakah anda pernah mengurangi makanan anak-anak anda karena tidak punya cukup uang untuk membelinya? Dalam 12 Bulan terakhir apakah (nama anak) pernah tidak makan karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan? (Jika ya), berapa sering hal tersebut terjadi: hampir setiap bulan, beberapa bulan tetapi tidak setiap bulan, atau hanya I sampai 2 bulan? Dalam 12 bulan terakhir, apakah anak anda pernah merasa lapar tetapi tidak mampu membeli cukup makanan? Dalam 12 bulan terakhir, apakah anak anda pernah tidak makan sepanjang hari karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?
Ya
Tidak
74 7. Coping Mekanisme Apakah anda pernah kekurangan pangan? 1. Ya 2. Tidak Jika Ya, kapan terjadinya: 1, beberapa bulan dalam setahun 2. Beberapa minggu dalam sebulan 2. Bebeapa hari dalam seminggu 4. Setiap hari
75 8. KETERANGAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA No
Nama Pangan Kali 1. Padi-Padian Beras Jagung Lainnya 2. Umbi-umbian Ubi Kayu Ubi Jalar Lainnya 3. Pangan Hewani Daging Sapi Daging Ayam Telur Susu Ikan segar Ikan asin 4. Minyak dan Lemak Minyak Sawit Lainnya 5. Buah/Biji Berminyak Kelapa Lainnya 6. Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Kacang Merah Tahu 7. Gula Gula Pasir Gula Merah 8. Sayur
9. Buah
10. Jajanan
11. MP ASI
9. Lain-lain Bumbu Lainnya(GULA, BUMBU, GARAM, KECAP, TEH, KOPI, KERUPUK, SAUS)
Hari Berat
Rp
Frekuensi pembelian Minggu Kali Berat Rp
Kali
Bulan Berat
Rp
76 9. KETERANGAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA(Lanjutan) Jenis pengeluaran
Dalam satu hari
Dalam satu minggu
Dalam satu bulan
Dalam satu tahun
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1. NON PANGAN 1. Kesehatan Obat/Jamu Sabun Odol Sampo Lainnya
2. Pendidikan SPP Peralatan sekolah Uang saku dan transport Lainnya
3. Dapur Minyak Tanah Kayu Bakar Solar Gas Peralatan dapur Lainnya 4. Perumahan Sewa/cicilan Perbaikan rumah Listrik Lainnya 5. Pakaian Sarung Baju Lainnya 6. Pesta/selamatan 7. lain-lain Sumbangan Tabungan Telpon Rokok Pembantu Lainnya (cukur, dll)
Berat (gr)
Rp
Berat (gr)
Rp
Berat (gr)
Rp
Berat (gr)
Rp
77 10. Penyediaan Pangan (Sebulan Terakhir) Frekuensi Penyediaan Minggu Bulan
Hari No.
Nama Pangan
1
Padi-Padian Beras Jagung Terigu Umbi-umbian Ubi Kayu Ubi Jalar Sagu Kentang Pangan Hewani Daging Sapi Daging Unggas Telur Susu Ikan Minyak dan Lemak Minyak Kacang Tanah Minyak Kelapa Minyak Sawit Lemak Buah/Biji Berminyak Kelapa Biji Berminyak Kacangkacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau
2
3
4
5
6
Asal pangan
Kali
Berat
URT
Harga
Kali
Berat
URT
Harga
Kali
Berat
URT
Tahun Harga
Kali
Berat
URT
Harga
78 Frekuensi Penyediaan Minggu Bulan
Hari No. 7
8
Nama Pangan Kacang Merah Gula Gula Pasir Gula Merah Sayur dan Buah Sayur Ketimun /'Cucumber Kacang Panjang /Cow Peas Kol / Kubis / 'Cabbage Tomat /' Tomatoes Wortel /'Carrots Kangkung / 'Swampcabbage Lobak /Radish Rumput laut Buah Jeruk /'Oranges D u k u /'Lanzon Durian /'Durians Jambu /' Waterapples Mangga / 'Mangoes Nenas / 'Pineapples Pepaya / 'Papayas Pisang /' Bananas
Asal pangan
Kali
Berat
URT
Harga
Kali
Berat
URT
Harga
Kali
Berat
URT
Tahun Harga
Kali
Berat
URT
Harga
79 Frekuensi Penyediaan Minggu Bulan
Hari No. 9
Nama Pangan
Asal pangan
Kali
Berat
URT
Harga
Kali
Lain-lain Minuman Bumbu Lainnya
Keterangan = Asal pangan : 1). Produksi sendiri, 2). Pembelian, 3). Pemberian
Berat
URT
Harga
Kali
Berat
URT
Tahun Harga
Kali
Berat
URT
Harga