16
KERANGKA PEMIKIRAN Karakteristik sebuah rumah tangga akan mempengaruhi strategi dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Karakteristik rumah tangga itu antara lain besar rumah tangga, usia kepala rumah tangga dan istri, pendidikan kepala rumah tangga dan istri, serta pengeluaran. Karakteristik inilah yang akan diteliti hubungannya dengan tingkat kerumitan food coping strategy. Konsumsi pangan rumah tangga menentukan tingkat kecukupan energi rata-rata rumah tangga. Tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga dikatakan kurang jika rata-rata TKE rumah tangga <70% atau rumah tangga tersebut hanya mampu mengkonsumsi kurang dari 70% kecukupan energi dan dikatakan cukup jika rata-rata TKE rumah tangga 70-90%, serta dikatakan baik jika rata-rata TKE rumah tangga >90%. Tingkat konsumsi ini merupakan indikator untuk mengukur tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Menurut Suryana (2004), kerawanan pangan terjadi manakala rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya Rumah tangga di tengah kondisi rawan pangan melakukan berbagai macam strategi untuk mempertahankan dirinya untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan pangannya, hal ini disebut dengan food coping strategy. Pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga di tengah kondisi kekurangan pangan ini dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang yang diambil tergantung dari dukungan faktor sosial ekonomi dan masalah yang dihadapi rumah tangga. Bentuk-bentuk food coping yang dilakukan antara lain merubah kebiasaan makan, merubah frekuensi makan, menambah akses pangan, dan langkah drastis. Perubahan kebiasaan makan berkaitan dengan pengalihan jenis pangan pokok utama ke jenis lain yang kurang disukai, seperti dari beras beralih ke jagung. Perubahan frekuensi makan berkaitan dengan pengurangan frekuensi makan dalam sehari. Tindakan penambahan akses terhadap pangan meliputi penjualan aset rumah tangga yang dimiliki, meminjam uang pada saudara atau orang lain. Tahap akhir dalam pemenuhan kebutuhan pangan di tengah kondisi kekurangan pangan adalah mencari pekerjaan di tempat lain serta mengeluarkan anak dari sekolah.
17
Menurut kerangka pikir UNICEF (1998) faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi adalah asupan pangan dan adanya penyakit. Tingkat ketahanan pangan berdampak pada status gizi balita. Rumah tangga yang tahan pangan ditunjukkan dengan tingkat konsumsi pangan yang baik, sehingga asupan gizi anggota keluarga, terutama balita dapat terpenuhi.
Karakteristik dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga 1. Besar rumah tangga 2. Usia ayah dan ibu 3. Jenjang pendidikan ayah dan ibu 4. Pengeluaran
Pengalaman Rawan Pangan
Food Coping Strategy :
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Status Gizi Balita
Gambar 2 Food coping strategy pada rumah tangga di daerah rawan pangan dan gizi
Variabel yang diteliti Hubungan yang diteliti Hubungan yang tidak diteliti
18
METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari penelitian dengan judul Kajian Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Kaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah, kerja sama FEMA IPB dengan Neys van Hoogstraten Foundation (NHF), Belanda. Desain penelitian yang digunakan adalah crosssectional study. Penelitian dilakukan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Penentuan tempat dipilih secara purposive. Berdasarkan peta ketahanan pangan yang dikembangkan oleh World Food Program dan Departemen Pertanian, pada tahun 2004/2005 dan peta situasi pangan dan gizi propinsi Jawa Tengah 2006 (Deptan 2007), Banjarnegara masih memiliki wilayah yang rumahtangganya dikategorikan beresiko rawan pangan dan gizi. Pengambilan data dilakukan dari bulan Februari hingga Maret 2009. Jumlah dan Cara Pengambilan Sampel Sampel pada studi ini adalah keluarga yang memiliki balita, dengan ayah, ibu, dan anak tinggal dalam rumah tangga yang sama. Survei pendahuluan dilakukan untuk melakukan sampling, yang akan mengelompokkan keluarga yang memiliki balita. Pemilihan sampel dengan metode acak sederhana dilakukan untuk memilih sampel dari kerangka sampel. Total sampel pada studi ini adalah 300 sampel (6 desa). Pemilihan Kabupaten Banjarnegara dilakukan secara purposive, karena merupakan wilayah rawan pangan dan gizi. Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan, dari kecamatan tersebut dipilih dua kecamatan yang termasuk dalam wilayah berisiko tinggi rawan pangan, yaitu kecamatan Pejawaran, dan wilayah berisiko sedang, yaitu kecamatan Punggelan. Setiap kecamatan, diambil tiga desa yang sesuai dengan kondisi umum kecamatan. Sampel di setiap desa berjumlah 50 rumah tangga. Jumlah ini diambil karena sesuai dengan jumlah data yang dapat dianalisis secara statistik, yaitu ≥30 sampel. Selain itu setiap desa memiliki tingkat keragaman yang rendah sehingga persentase sampel yang diambil dari populasi balita di tiap desa sudah bisa mewakili kondisi balita secara umum di desa tersebut.
19
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder berupa keadaan umum wilayah Banjarnegara. Data primer dikumpulkan melalui observasi dan wawancara. Data primer terdiri dari karakteristik sosial ekonomi rumah tangga (besar keluarga, umur orang tua, pengeluaran), kepemilikan aset rumah tangga, antropometri balita (berat badan dan tinggi badan), konsumsi pangan rumah tangga, tingkat ketahanan pangan rumah, serta food coping strategy rumah tangga. Data sekunder meliputi keadaan umum geografis, karakteristik demografi, dan sosial ekonomi masyarakat yang diperoleh dari Kantor Kecamatan masingmasing lokasi penelitian. Tabel 3 merangkum jenis dan cara pengumpulan data yang diteliti. Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data No
Variabel
1.
Karakteristik rumah tangga
2.
Kepemilikan tangga
3.
Pengalaman rawan pangan
4.
Tingkat ketahanan pangan rumah tangga
Data jumlah anggota rumah tangga, umur, pendidikan, dan pengeluaran Kepemilikan rumah, lahan, hewan ternak dan ikan, serta barang berharga masa kekurangan pangan Konsumsi pangan selama seminggu
5.
Status gizi balita
BB, TB, U
6.
Food coping strategy
Pelaksanaan strategy
aset
rumah
coping
Cara pengumpulan data Wawancara menggunakan kuesioner
Wawancara menggunakan kuesioner wawancara menggunakan kuesioner Wawancara menggunakan FFQ Pengukuran antropometri (BB dan TB) dengan penimbangan dan pengukuran Wawancara menggunakan kuesioner
Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul diolah dengan proses pengolahan meliputi coding, entry, dan editing. Analisis secara deskriptif meliputi karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, konsumsi pangan rumah tangga dan food coping strategy. Hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dengan food coping strategy serta hubungan Food coping strategy dengan tingkat ketahanan pangan rumah tangga dianalisis dengan korelasi Spearman. Besar rumah tangga. Data besar rumah tangga diklasifikasikan berdasarkan BKKBN (1998), yaitu rumah tangga kecil adalah rumah tangga yang
20
jumlah anggotanya kurang atau sama dengan 4 orang. Rumah tangga sedang adalah rumah tangga yang memiliki anggota antara lima sampai tujuh orang, sedangkan rumah tangga besar adalah rumah tangga dengan jumlah anggota lebih dari tujuh orang. Pendidikan orang tua. Data pendidikan orang tua meliputi pendidikan formal yang pernah ditempuh orang tuadan dikelompokkan menjadi enam, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat, dan Perguruan tinggi. Pengeluaran. Data pengeluaran dikelompokkan menjadi pengeluaran total dan pengeluaran pangan yang dihitung per kapita per bulan. Kepemilikan aset. Aset rumah tangga dibedakan menjadi dua, yaitu nonproductive assets dan productive assets. Non-productive assets adalah berupa simpanan rumah tangga dalam bentuk tabungan, perhiasan, perabot rumah tangga, dan asuransi yang mudah ditukarkan dengan uang. Productive assets adalah aset rumah tangga yang tidak mudah ditukarkan dengan uang, Food coping strategy. Data food coping strategy dikelompokkan menjadi dua tahapan, yaitu tahap adaptasi dan tahap divestasi. Tabel 3 merinci perilaku food coping strategy yang biasa dilakukan rumah tangga sesuai dengan tahapannya. Tabel 4 Tahapan dan perilaku food coping strategy Tahap coping Adaptasi
Divestasi
Perilaku 1. Mengalihkan pangan pokok utama ke jenis lain yang kurang disukai 2. Mengurangi frekuensi makan 3. Pinjam uang/makanan dari warung 4. Pinjam uang/beras dari tetangga/saudara 5. Mencari pekerjaan di tempat lain
6. Menjual aset tidak produktif 7. Menjual aset produktif 8. Menggadaikan tanah 9. Migrasi/pindah selamanya 10. Mengeluarkan anak dari sekolah
Tingkat kerumitan food coping strategy rumah tangga dikategorikan berdasarkan tahapan food coping strategy yang telah dilewati rumah tangga
21
selama mengatasi kekurangan pangan. Tingkat kerumitan dikategorikan menjadi rendah jika rumah tangga hanya melewati tahap adaptasi dan dikatakan tinggi jika rumah tangga telah melewati tahap divestasi. Tingkat kerumitan food coping strategy dihubungkan dengan karakteristik dan keadaaan sosial ekonomi rumah tangga serta tingkat ketahanan pangan rumah tangga dengan menggunakan korelasi Spearman. Tingkat kecukupan energi rumah tangga. Untuk menilai tingkat kecukupan energi rata-rata suatu rumah tangga diperlukan Angka Kecukupan Energi Rata-Rata Rumah Tangga. Angka tersebut merupakan hasil penjumlahan angka kecukupan energi dari setiap anggota rumah tangga yang mengkonsumsi makanan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga itu sendiri. AKE dapat dihitung dengan rumus (Hardinsyah&Martianto 1992) : AKERK =ΣAKEI n AKERK
=
Angka
Kecukupan
Energi
Rata-rata
Rumah
Tangga
(Kal/Kap/hari) AKEI
= Angka Kecukupan Energi Individu
n
= Jumlah anggota rumah tangga Tingkat Kecukupan energi dihitung dengan membandingkan konsumsi
dengan kecukupan yang dianjurkan dengan menggunakan rumus : TKE
= Rata-rata Konsumsi energi aktual rumah tangga x 100% Rata- rata Angka Kecukupan Energi rumah tangga Tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga dibagi
menjadi tiga kategori, yaitu defisit berat jika rata-rata TKE rumah tangga <70%, atau rumah tangga tersebut hanya mampu mengkonsumsi kurang dari 70% kecukupan energi yang dianjurkan, dikatakan defisit sedang jika rata-rata TKE rumah tangga 70-90%, sedangkan cukup jika rata-rata TKE rumah tangga >90 %. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan pada kecukupan intake energi rumah tangga yang didapat dari konsumsi pangan rumah tangga dengan metode Food Frequencies Questionaire (FFQ) selama seminggu Pengklasifikasian tingkat ketahanan pangan secara kuantitatif ditentukan dengan cut off jumlah kalori rumah tangga menurut Zeitlin& Brown (1990) dalam Purlika (2004), yaitu :
22
1. Tahan pangan, jika rata-rata TKE anggota rumah tangga lebih besar dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE>90%). 2. Rawan pangan, jika rata-rata TKE anggota rumah tangga antara 70-90% (70%≤TKE≤90%). 3. Sangat rawan pangan, jika rata-rata TKE anggota rumah tangga kurang dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE<70%). Status gizi balita. Penilaian status gizi balita dilakukan dengan cara perhitungan z-score, selanjutnya, hasil perhitungan z-skor diklasifikasikan berdasarkan baku NCHS-WHO yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kategori status gizi balita berdasarkan baku WHO-NCHS Indeks BB/U
TB/U BB/TB
z-score z>2 -2 ≤ z ≤ 2 -3 ≤ z < -2 z < -3 z ≥ -2 z < -2 z>2 -2 ≤ z ≤+2 -3 ≤ z < -2 z < -3
Kategori Gizi lebih Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk Normal Pendek/ stunted Gemuk Normal Kurus/wasted Sangat kurus
(sumber: baku WHO-NCHS oleh Riyadi 2001)
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : z-score = x- median SD Keterangan : x Median SD
= Berat badan (kg) untuk BB/U atau BB/TB Tinggi badan (cm) untuk TB/U = Nilai median baku rujukan = Nilai simpang baku rujukan
Definisi Operasional Aset adalah materi yang dimiliki rumah tangga yang dapat digunakan dalam pemenuhan kebutuhan pangan baik itu dengan cara ditukar dengan uang (dijual) maupun yang memiliki peran dalam pencapaian pendapatan rumah tangga. Food coping strategy adalah strategi yang dilakukan rumah tangga untuk mengatasi keadaan kekurangan pangan
23
Adaptasi adalah tahapan food coping strategy yang meliputi perubahan pola diet, pengurangan frekuensi makan, konsumsi pangan yang tidak lazim, berhutang, serta mencari pekerjaan di tempat lain untuk sementara. Divestasi adalah tahapan food coping strategy yang meliputi menjual aset liquid dan aset produktif, migrasi (pindah selamanya). Ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan yang dinilai secara kuantitatif. Rumah tangga sangat rawan pangan adalah kondisi rumah tangga dengan rata-rata TKE anggota rumah tangga <70%. Rumah tangga rawan pangan adalah kondisi rumah tangga dengan ratarata TKE anggota rumah tangga 70-90%. Rumah tangga tahan pangan adalah kondisi rumah tangga dengan ratarata TKE anggota rumah tangga lebih besar dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE>90%). Pengeluaran pangan adalah pengeluaran yang dinilai dengan uang yang dikeluarkan oleh semua anggota rumah tangga untuk kebutuhan pangan dan non pangan dalam sebulan. Status gizi balita adalah keadaan fisik anak di bawah umur lima tahun yang diukur secara antropometri dengan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB berdasarkan WHO-NCHS. Tingkat kecukupan energi adalah penilaian yang digunakan untuk rumah tangga dengan membandingkan rata-rata konsumsi energi aktual rumah tangga dengan rata-rata angka kecukupan energi rumah tangga yang dinyatakan dalam persen.