TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga Ketahanan
Pangan
Rumah
Tangga
sebagaimana
hasil
rumusan
International Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefenisikan bahwa: “Ketahanan pangan rumah tangga (Household food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari”. Dalam sidang Committee on World Food Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “Harus diterima oleh budaya setempat (acceptable with given culture)”. Hal lain dinyatakan Hasan (1995) bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dinyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Sehubungan dengan itu untuk mewujudkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga diperlukan kelembagaan pangan karena ketahanan pangan mempunyai cakupan luas dan bersifat multisektoral meliputi aspek peraturan perundangan,
organisasi
sebagai
pelaksana
peraturan
perundangan
dan
ketatalaksanaan (Soetrisno, 1996). Secara nasional di Departemen Pertanian
7
terdapat Badan Urusan Ketahanan Pangan sebagai organisasi pelaksana ketahanan pangan. Hal lain yang dapat dilakukan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan penduduk setempat. Kerjasama tersebut dimaksudkan sebagai penguatan sistem pangan lokal sehingga tercapai ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga dapat dicapai melalui berbagai kegiatan seperti peningkatan jaminan ekonomi dan pekerjaan, bantuan pangan melalui jaringan pengaman sosial, peningkatan produksi dan pemasaran pangan, pendidikan dan penyuluhan, penelitian, monitoring dan evaluasi untuk membantu masyarakat menilai dan memperkuat ketahanan pangannya. Secara teoritis, dikenal dua bentuk ketidaktahanan pangan (food insecurity) tingkat rumahtangga yaitu pertama, ketidaktahanan pangan kronis yaitu terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang biasa disebabkan oleh rendahnya daya beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering terjadi di daerah terisolir dan gersang. Ketidaktahanan pangan jenis kedua, ketidaktahanan pangan akut (transitori) terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh antara lain : bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan yang memadai (Atmojo, 1995). Menurut Sutrisno (1996) kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan perhatian secara khusus kepada mereka yang memiliki resiko tidak mempunyai akses untuk memperoleh pangan yang cukup.
8
Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga Dengan semakin disadari pentingnya untuk selalu memantau kondisi ketahanan
pangan,
maka
upaya-upaya
terus
aktif
dilakukan
untuk
mengembangkan berbagai metoda pengukuran dan peramalan agar sedapat mungkin menggambarkan keadaan yang sebenarnya sedang atau akan terjadi. Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan. Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional dari kerusuhan sosial. Sedang akses pangan meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Indikator dampak digunakan sebagai cerminan konsumsi pangan yang meliputi dua kategori yaitu secara langsung yakni konsumsi dan frekuensi pangan dan secara tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi. Penelitian yang telah dilakukan oleh Khomsan (1999) bahwa indikator ketahanan pangan di Jawa di ukur dari indikator tingkat konsumsi energi atau protein yang ditentukan oleh konsumsi beras, tahu dan tempe. Dari uraian diatas menggambarkan bahwa ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi yaitu meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu Chung (1997)
9
merangkum berbagai indikator ketahanan pangan rumah tangga dalam sebuah kerangka konseptual seperti berikut ini: Sumberdaya: Fisik, Manusia, Sosial Ketersediaan pangan Produksi pangan
Akses pangan
Pendapatan: Pertanian dan non pertanian
Konsumsi pangan Pemanfaatan pangan
Status Gizi : Anak dan dewasa
Out put
Gambar 1. Pengembangan Kerangka Pemikiran Ketahanan Pangan Berdasarkan Chung (1997).
10
Pengukuran Ketahanan Pangan Rumah Tangga Salah satu pengkasifikasian ketahanan pangan rumah tangga kedalam food secure (tahan Pangan) dan food insecure (rawan ketahanan pangan) dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran dari indikator out put yaitu konsumsi pangan (intik energi) atau status gizi individu (khususnya wanita hamil dan baduta). Rumah tangga dikategorikan rawan ketahanan pangan jika tingkat konsumsi energi lebih rendah dari cut off point atau TKE < 70 % (Zeitlin & Brown, 1990). Di Indonesia Sumarwan dan Sukandar (1998) juga telah menetapkan pengukuran ketahanan pangan rumah tangga dari tingkat konsumsi energi dan protein. Suatu rumah tangga dikatakan tahan pangan jika jumlah konsumsi energi dari proteinnya lebih besar dari kecukupan energi dan protein yang dibutuhkan (E & P > 100 %). Jika konsumsi energi atau proteinnya lebih kecil dari kecukupan, maka rumah tangga tersebut dikatakan rawan ketahanan pangan (E & P < 100 %). Menurut Hasan (1995) ketahanan pangan tingkat rumah tangga dapat diketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan cara survei pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan pangan melalui survei tersebut dapat pula digunakan data mengenai sosial ekonomi dan demografi untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan, pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga (Sukandar dkk, 2001).
11
Konsep
pengukuran
ketahanan pangan lain yang dikembangkan
Hardinsyah (1996) adalah berdasarkan mutu konsumsi dengan menggunakan skor diversifikasi Pangan. Pada dasarnya konsep pengukuran ketahanan pangan yang dikembangkan
Hardinsyah
relatif sederhana
dan mudah.
Selain
sudah
memperhitungkan jumlah pangan yang dikonsumsi (aspek kuantitas) dan dikelompokkan pada lima kelompok pangan Empat Sehat Lima Sempurna (makanan pokok, lauk pauk, sayur buah dan susu) dan dihitung kuantitasnya menggunakan unit konsumen (UK) agar perbedaan komposisi umur dan jenis kelamin anggota rumah tangga dapat dipertimbangkan. Menurut Sutrisno (1995) dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Maka tingkat ketahanan pangan suatu negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Hal yang sama dinyatakan Sawit dan Ariani (1997) bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Menurut Aziz (1990) ketahanan pangan rumahtangga dapat dicapai dengan pendapatan (daya beli) dan produksi pangan yang cukup. Sementara menurut Hasan (1995) risiko ketidaktahanan pangan tingkat rumah tangga timbul karena faktor rendahnya pendapatan atau rendahnya produksi dan ketersediaan pangan maupun faktor geografis. Sedangkan menurut Susanto (1996) kondisi ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi tidak hanya oleh ketersediaan pangan (pada tingkat makro dan tingkat di dalam pasar) dan
12
kemampuan daya beli, tetapi juga oleh beberapa hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan aspek sosio-budaya. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga tersebut diatas, dapat dirinci menjadi 3 faktor yaitu faktor ketersediaan pangan, daya beli dan pengetahuan pangan dan gizi. Ketersediaan pangan. Menurut Suhardjo (1989) bila kebutuhan akan pangan dipenuhi dari produksi sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak begitu menentukan. Kapasitas penyediaan bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan sendiri. Menurut Djogo (1994) daerah yang memiliki perbedaan kondisi agroekologi, akan memiliki potensi produksi pangan yang berbeda. Namun sebaliknya jika kebutuhan pangan banyak tergantung pada apa yang dibelinya, maka penghasilan (daya beli) harus sanggup membeli bahan makanan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya (Suhardjo, 1989). Sedangkan Soemarwoto (1994) menyatakan keluarga yang lebih suka menjual bahan pangan yang dimilikinya disebabkan oleh pertimbangan ekonomi. Daya beli. Kemampuan membeli atau “daya beli” merupakan indikator dari tingkat sosial ekonomi seseorang atau keluarga. Pembelian merupakan fungsi dari faktor kemampuan dan kemauan membeli yang saling menjalin (Hardjana, 1994). Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII (LIPI, 1998) kurangnya ketersediaan
pangan
keluarga
mempunyai hubungan dengan
pendapatan keluarga, ukuran keluarga dan potensi desa. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sajogyo, 1996). Keluarga dan masyarakat yang berpenghasilan rendah, mempergunakan sebagian besar dari keuangannya
13
untuk membeli makanan dan bahan makanan dan tentu jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah (Suhardjo, 1989). Hal yang sama dinyatakan Soemarwoto (1994) bahwa faktor ekonomi menyebabkan manusia untuk mendapatkan makanan ditentukan oleh harga makanan. Pengetahuan pangan dan gizi. Secara umum perilaku konsumsi makanan seseorang atau keluarga sangat erat dengan wawasan atau cara pandang yang dimiliki terhadap (sistem) nilai tindakan yang dilakukan. Jika ditelusuri lebih lanjut, sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu yang berkaitan dengan pelayanan gizi/kesehatan/KB, ciri-ciri sosial yang dimiliki (umur, jenis/golongan etnik, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya), dan informasi pangan, gizi dan kesehatan yang pernah diterimanya dari berbagai sumber (Susanto, 1994). Kebudayaan memberikan nilai sosial pada makanan karena ada makanan yang dianggap mempunyai nilai sosial tinggi dan ada pula nilai sosial yang rendah (Soemarwoto, 1994). Pengasuhan Anak International Conference on Nutrition (1992) mendefinisikan Pengasuhan sebagai suatu kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dalam rangka tumbuh kembang anak dan anggota keluarga lainnya (Engle et al.1997). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengasuhan dalam prakteknya (biasanya oleh wanita), dapat dibagi ke dalam enam tipe aktivitas yaitu : (1) pengasuhan untuk wanita, seperti menyediakan waktu istirahat yang cukup atau meningkatkan intik makanan selama masa kehamilan; (2) pemberian ASI dan makanan pendamping ASI bagi anak baduta; (3) stimulasi psikososial anak dan pemberian
14
dukungan untuk tumbuh kembang anak; (4) praktek peyimpanan dan persiapan makanan; (5) perawatan anak selama mengalami sakit, termasuk diagnosa penyakit dan pengadopsian praktek kesehatan di rumah. Pada kenyataannya pemberian pengasuhan tergantung pada ketersediaan sumberdaya, pendidikan dan pengetahuan, kondisi kesehatan pengasuh, waktu, dukungan sosial dan sumberdaya ekonomi keluarga. Lebih jauh lagi juga sangat tergantung dari dukungan masyarakat, baik di tingkat regional, nasional bahkan internasional. Secara spesifik Engle (1992) dalam Latham (1997) mendefinisikan pola pengasuhan anak baduta sebagai perilaku pengasuhan yang meliputi pemberian ASI, diagnosa penyakit, pemberian makanan tambahan, stimulasi bahasa dan kemampuan koagnitif lainnya serta pemberian dukungan emosional pada anak. Pada umumnya di negara-negara berkembang, biasanya pelaku utama pengasuhan bagi bayi dan anak baduta dalam rumah tangga adalah ibu. Akan tetapi pada keluarga tipe exetended family, nenek, bibi, ayah dan anggota keluarga lainnya bahkan tetangga di sekitar keluarga tersebut pun memberikan kontribusi dalam pengasuhan anak. Hasil penelitian Rogers dan Youssef (1988) menunjukkan bahwa ibu memberikan alokasi waktu yang lebih banyak dalam pengasuhan anak, selanjutnya adalah wanita lainnya dalam keluarga tersebut misalnya nenek, bibi dan kakak perempuan. Biasanya wanitalah yang berbelanja, menyiapkan
makanan,
mendistribusikan
makanan
dalam
keluarga
serta
memberikan pengasuhan dasar bagi bayi dan anak baduta seperti memberikan ASI dan makanan pendamping ASI, memandikan, memakaikan pakaian, dan mengawasi aktivitas anak (Cassidy, 1987; Piit & Rosenzweig, 1990).
15
Praktek pemberian pengasuhan yang memadai sangat penting tidak hanya bagi daya tahan anak tetapi juga untuk mengoptimalkan perkembangan fisik dan mental anak serta baiknya kondisi kesehatan anak. Pengasuhan juga memberikan kontribusi bagi kesejahteraan dan kebahagiaan serta kualitas hidup yang baik bagi anak secara keseluruhan. Sebaliknya jika pemberian pengasuhan anak kurang memadai, terutama keterjaminan makanan dan kesehatan anak bisa menjadi salah satu faktor yang menghantarkan anak menderita kurang gizi. Pola Asuh Makan Anak Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh kualitas makanan dan gizi yang dikonsumsi. Sementara itu kualitas makanan dan gizi sangat tergantung pada pola asuh makan anak yang diterapkan oleh keluarga. Stare dan William (1981) dalam Karyadi (1985) menyatakan bahwa makanan merupakan kebutuhan fisiologis maupun psikologis untuk anak dan orang tua. Oleh karena itu, perlu diciptakan situasi pemberian makan kepada anak yang memenuhi kebutuhan (a) fisiologis, yaitu memenuhi kebutuhan zat gizi untuk proses metabolisme, aktivitas dan tumbuh kembang anak; (b) psikologis, yaitu untuk memberikan kepuasan kepada anak dan untuk memberikan kenikmatan lain yang berkaitan dengan anak serta (c) edukatif, yaitu mendidik bayi dan anak terampil mengkonsumsi makanan dan untuk membina kebiasaan dan perilaku makan, memilih dan menyukai makanan yang baik, dan dibenarkan oleh keyakinan atau agama orang tua masing-masing (Samsudin, 1993). Karyadi (1985) mendefinisikan pola asuh makan sebagai praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak baduta yang berkaitan dengan cara dan situasi makan. Jumlah dan kualitas makanan yang dibutuhkan untuk
16
konsumsi anak penting sekali dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan oleh ibu atau pengasuhnya. Pola asuh makan anak akan selalu terkait dengan pemberian makan yang akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap status gizinya. Sebagai gate keeper, yaitu orang yang menentukan bahan makanan yang akan dibeli, dimasak dan disiapkan, ibu memainkan peranan penting dalam menatalaksanakan makanan bagi anak khususnya anak baduta serta menjamin terpenuhinya kebutuhan anak akan makanan bergizi. Kekurangan makanan dan zat gizi pada masa ini, membuat anak mudah sekali terserang penyakit dan gangguan kesehatan. Tiga aspek perilaku pemberian makan pada anak oleh ibu atau pengasuhnya yang mempengaruhi asupan adalah: (1) menyesuaikan metoda pemberian makan dengan kemampuan psikomotorik anak; (2) pemberian makanan yang responsif, termasuk dorongan untuk makan, memperhatikan nafsu makan anak, waktu pemberian, kontrol terhadap makanan antara anak dan pemberi makan, dan hubungan yang baik dengan anak selama memberi makan; (3) situasi pemberian makan, termasuk bebas gangguan, waktu pemberian makan yang tertentu, serta perhatian dan perlindungan selama makan (Engle et al. 1997). Pertumbuhan Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yaitu perubahan ukuran dan struktur. Anak tidak saja lebih besar secara fisik, tetapi juga ukuran dan struktur organ dan otak meningkat. Akibat adanya pertumbuhan otak, anak mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk belajar, mengingat dan berpikir sehingga anak tumbuh baik secara fisik maupun mental (Hurlock, 1997)
17
Ada dua faktor
yang saling berinteraksi dalam mempengaruhi
pertumbuhan anak/ bayi adalah faktor bawaan (genetik) dan faktor lingkungan (environmental). Faktor bawaan mengacu pada faktor statik yang menyertai anak sejak pembuahan, sedangkan faktor lingkungan lebih banyak terfokus pada kecukupan gizi dan kesehatan anak/bayi (Satoto, 1997). Lingkungan yang bersih sangat berpengaruh pada pertumbuhan anak/bayi (Pudjiadi, 2001). Penilaian pertumbuhan pada anak/bayi sebaiknya dilakukan dengan jarak yang teratur dan disertai pemeriksaan serta pengamatan fisik (Ebrahim, 1994). Salah satu cara yang umumnya dilakukan untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan metode antropometri, seperti penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas dan sebagainya. Berat badan digunakan untuk mengukur pertumbuhan secara umum atau menyeluruh dan tinggi atau panjang badan digunakan untuk mengukur pertumbuhan linier (Satoto, 1997). Defenisi antropometrik menurut Jellife (1966) dalam Gibson (1990) adalah “pengukuran variasi dimensi fisik dan komposisi kasar dari tubuh manusia pada level umur dan tingkatan-tingkatan gizi yang berbeda”. Beberapa macam indikator yang dapat dipergunakan antara lain berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LLA) disesuaikan dengan usia (U), dan sebagainya. Dari berbagai pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan yang sesuai dengan usia adalah yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Untuk keperluan perorangan di keluarga,
pengukuran berat badan (BB) dan
kadang-kadang tinggi badan (TB) atau panjang badan (PB) adalah yang paling dikenal.
18
Kecepatan pertumbuhan berat badan dan panjang badan tidak sama pada triwulan pertama setelah kelahiran anak lebih cepat dari pada triwulan kedua lebih cepat dibandingkan dengan triwulan ketiga. Pada usia 5-6 bulan pertambahan berat badan mencapai 2 kali dan pada umur 12 bulan sudah 3 kali berat lahir, demikian juga pertambahan panjang badan yang lebih cepat terjadi pada tahun pertama. Kenaikan panjang badan 25 cm terjadi selama tahun pertama dan 12 cm pada tahun kedua dan hanya 7 cm pada tahun ketiga (Pudjiadi, 2001). Konsumsi Pangan Anak Baduta Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Oleh karena itu, pangan harus selalu tersedia pada setiap saat dan tempat dengan mutu yang memadai. Pangan dengan nilai gizi yang cukup dan seimbang, merupakan pilihan terbaik untuk dikonsumsi guna mencapai status gizi dan kesehatan yang optimal. Bagi tubuh nilai suatu bahan pangan ditentukan oleh isinya atau zat gizi apa yang dikandungnya. Zat gizi yang terkandung dalam pangan digunakan untuk memberikan energi pada tubuh, untuk pertumbuhan dan untuk memperbaiki jaringan tubuh yang telah rusak serta mengatur proses dalam tubuh. Jadi nilai gizi pangan menyangkut ketersediaannya secara biologis atau dapat tidaknya zat gizi tersebut digunakan tubuh. Pangan dengan kandungan gizi yang lengkap, dalam jumlah yang proporsional mempunyai potensi yang besar untuk menjadi pangan yang bergizi tinggi. Tinggi rendahnya nilai gizi suatu pangan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menilai mutu pangan tersebut. Selain nilai gizi, mutu pangan juga ditentukan oleh keadaan fisik, mikrobiologis serta penerimaan secara indrawi (organoleptik) (Rimbawan, 1999).
19
Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan konsumsi pangan adalah untuk memperoleh zat gizi yang diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto, 1989). Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula, dan keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis-jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya gizi yang dibutuhkan tubuh (Suhardjo, 1990). Anak baduta merupakan golongan yang berada dalam masa pertumbuhan yang pesat. Dalam usia ini anak memerlukan asupan gizi yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya. Dalam mengkonsumsi pangan, anak baduta sangat tergantung pada konsumsi pangan keluarga/kebiasaan konsumsi pangan keluarga. Kekurangan konsumsi pangan ditingkat keluarga akan dapat menurunkan asupan gizi anak baduta, dan ini ditandai dengan menurunnya kemampuan fisik, terganggunya
pertumbuhan, perkembangan, dan kemampuan berfikir serta
adanya angka kesakitan dan kematian yang tinggi (Winarno, 1990). Konsumsi makanan anak baduta harus memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan yaitu zat gizi esensial (energi, protein, vitamin, mineral dan air) dalam jumlah yang cukup (Pudjiadi, 1999). Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk anak baduta adalah energi (1250 Kkal), protein (23 g), vitamin A (350 RE), vitamin C (40 g), kalsium (500 mg) dan besi (8 mg) (Muhilal, Jalal & Hardinsyah, 1998). Untuk menjamin kebutuhan zat gizi anak baduta dengan mutu gizi yang baik, maka makanan yang biasa dikonsumsi anak baduta harus mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk
20
memberi makanan yang beraneka ragam
mulai umur 4 bulan, di antaranya
sumber tenaga seperti serealia, sumber protein seperti bahan pangan hewani dan kacang-kacangan serta sumber zat pengatur, misalnya sayuran dan buah-buahan (Krisnatuti & Yenrina, 2000). Masalah konsumsi pangan dan gizi bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tapi merupakan bagian dari suatu sistem yang ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Masalah yang berkaitan dengan konsumsi pangan dan gizi seperti tingkat pendapatan, ketersediaan pangan setempat, teknologi, tingkat pengetahuan, kesadaran masyarakat mengenai gizi, kesehatan dan faktor-faktor sosial budaya seperti kebiasaan makan, sikap dan pandangan masyarakat terhadap bahan makanan tertentu dan adat-istiadat (Sanjur, 1982). Status Kesehatan Sehat atau tidaknya seseorang dapat dilihat dari ada atau tidaknya penyakit infeksi yang diderita. Penyakit infeksi sebagai bidang khusus dalam kedokteran dimulai oleh epidemi di Yunani, Romawi dan Ibrani yaitu suatu epidemi yang sangat mengesankan di abad petengahan. Infeksi saat ini lebih sering akibat dari interaksi hospes dengan bakteri yang menyusun flora normal hospes, dan bukan dari mikroorganisme eksogen.
Ini sangat berbeda dengan epidemi penyakit
infeksi pada zaman dahulu, misalnya pes, kolera dan cacar, yang merupakan penyakit-penyakit
yang
disebabkan
oleh
mikroorganisme
yang
mampu
menimbulkan infeksi pada hospes yang rentan dan dengan demikian merupakan bencana pada ras manusia.
Sekarang ancaman infeksi yang paling serius
disebabkan oleh mikrobiota kita sendiri (Shulman, Phair &Sommer, 1994).
21
Untuk mendiagnosis penyakit infeksi, diperlukan pemeriksaan terhadap penderita secara klinis dan laboratoris. Tiap-tiap pemeriksaan terkadang secara timbak balik diperlukan sekali dan tidak dapat diabaikan. Terkadang secara klinis saja sudah dapat diperkirakan penyebabnya, namun pemeriksaan secara laboratoris diperlukan juga. Terkadang kita temukan penyakit dengan sindrom atau gejala-gejala yang sama, tetapi berlainan kuman penyebabnya. Untuk itu diperlukan pemeriksaan laboratorium. Contohnya: penyakit diare atau buang air besar membocor dapat disebabkan oleh kuman-kuman seperti Salmonella, Basil Dysentery atau oleh virus (Prabu, 1998). Jenis-jenis
penyakit
infeksi
pernafasan,batuk, diare dan demam.
antara
lain,
pilek,
radang
saluran
Penyakit pilek adalah penyakit yang
mengganggu kehidupan kita sehari-hari. Gejala-gejala awal dari penyakit pilek adalah rasa tidak enak badan, kadang-kadang langsung dimulai dengan demam, rasa pegal linu, lemas, lesu, bersin-bersin, terasa nyeri diotot-otot dan sendi. Penyebab dari pilek adalah virus (Prabu, 1998). Penyakit radang saluran pernafasan terutama banyak terdapat pada musim hujan atau di daerah tempat udaranya selalu lembab. Penderita penyakit tersebut umumnya adalah anak muda dan orang tua. Selain itu juga ada orangorang tertentu yang mudah terserang oleh penyakit tersebut karena lemahnya badan mereka. Penyebab utama penyakit radang saluran pernafasan adalah akibat penyakit pilek dan akibat perubahan udara. Umpamanya udara panas yang diikuti menurunnya suhu udara, sehingga daya penyesuaian tubuh terhadap perubahan cuaca tidak cukup baik, maka seseorang akan mudah terserang penyakit.
22
Penyakit batuk biasanya banyak terjadi pada anak baduta.
Penyebab
penyakit ini adalah kuman Haemophylus pertusis. Kuman ini biasanya berada di saluran pernafasan.
Bila anak-anak dalam keadaan daya tahan tubuhnya
melemah, maka kuman tersebut mudah sekali menyerang dan menimbulkan penyakit. Penularannya melalui cairan yang keluar dari hidung yang tersembur ke luar waktu batuk atau bersin. Perawatan dan pencegahan penyakit ini tidak terlalu sulit. Bila anak tidak begitu menderita dan cuaca cukup baik, boleh ia dibawa keluar agar dapat menghirup udara segar dan bersih.
Makanan sebaiknya
diberikan yang ringan-ringan dan cukup bergizi. Pencegahan penyakit ini dengan imunisasi DPT (Prabu, 1998). Diare adalah buang air besar yang disertai banyak air dan merupakan kumpulan gejala dari berbagai penyakit.
Diare biasanya bersamaan dengan
peradangan usus. Diare tidak boleh dianggap sepele, keadan ini harus dihadapi dengan serius, mengingat cairan banyak keluar dari tubuh, sedangkan tubuh kita pada umumnya (60%) terdiri dari pada air. Sebab itu bila seseorang menderita diare berat, maka dalam waktu singkat tubuh penderita sudah kelihatan sangat kurus (Shulman, Phair &Sommer, 1994). Sanitasi Lingkungan Sanitasi lingkungan biasanya sangat erat kaitannya dengan kondisi permukiman. Kusnoputranto (1983) mendifinisikan sanitasi lingkungan sebagai usaha-usaha pengendalian dari semua faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia.
Sedangkan
menurut Entjang (1993) sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik,
23
biologis sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak, sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan.
Dari kedua definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa sanitasi lingkungan selalu membicarakan tentang bagaimana mengelola berbagai faktor yang mempengaruhi kesehatan manusia. Pengelolaan sanitasi lingkungan di Indonesia terutama meliputi faktor-faktor (1) penyediaan air rumah tangga yang baik, (2) pengaturan pembuangan kotoran manusia, (3) pengaturan pembuangan sampah, (4) pengaturan pembuangan air limbah, (5) pengaturan rumah sehat, (6) pembasmian binatang-binatang penyebar penyakit seperti lalat dan nyamuk, (7) pengawasan polusi udara dan (8) pengawasan radiasi dari sisa-sisa zat radio aktif. (Entjang, 1993). Sanitasi lingkungan erat kaitannya dengan status gizi seseorang. Syarief (1992) mengatakan status gizi selain ditentukan oleh jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi secara langsung juga dipengaruhi oleh faktor kesehatan dan sanitasi termasuk sanitasi lingkungan permukiman. Permukiman yang sanitasi lingkungannya tidak baik, seperti tidak tersedianya air bersih, jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran pembuangan air kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang menyebabkan seseorang dapat menderita kurang gizi. Penyakit infeksi tersebut antara lain diare dan cacingan. Sediaoetama (1996) menambahkan bahwa penyakit infeksi dari infestasi cacing dapat memberikan hambatan absorpsi dan hambatan utilisasi zat gizi yang menjadi dasar timbulnya penyakit kurang energi-protein. Selain itu Suhardjo dan Riyadi (1990) juga mengatakan adanya hubungan timbal balik antara infeksi bakteri, virus dan parasit dengan gizi kurang.
24
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Pendidikan Ibu Ibu merupakan pendidik pertama dalam keluarga, untuk itu ibu perlu menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan ibu di samping merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga juga berperan dalam pola penyusunan makanan untuk rumah tangga. Sanjur (1982) menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal ibu rumah tangga berhubungan positif dengan perbaikan dalam pola konsumsi pangan keluarga dan pola pemberian makanan pada bayi dan anak . Tingkat pendidikan akan mempengaruhi bahan pangan.
konsumsi melalui pemilihan
Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih
makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah (Moehdji, 1986). Tetapi hasil penelitian lain menyatakan bahwa tingkat pendidikan umum yang lebih tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di bidang gizi terutama ibu, ternyata tidak berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk keluarga (Sediaoetama, 1996). Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Sajogjo (1994) menyatakan bahwa pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain. Pendapatan keluarga mempunyai peran yang penting terutama dalam memberikan efek terhadap taraf hidup mereka. Efek di sini lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, dimana perbaikan pendapatan akan meningkatkan tingkat gizi masyarakat. Pendapatan akan menentukan daya beli
25
terhadap pangan dan fasilitas lain (pendidikan, perumahan, kesehatan, dll) yang dapat mempengaruhi status gizi. Adanya hubungan antara pendapatan dan status gizi telah banyak dikemukakan para ahli. Sanjur (1982) menyatakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan. Hal ini diperkuat oleh Suhardjo (1989) bahwa apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk akan meningkat pula mutunya. Menurut Berg (1986), terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal itu karena tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Sejak lama telah disepakati bahwa pendapatan merupakan hal utama yang berpengaruh terhadap kualitas menu. Pernyataan itu nampak seperti logis, karena memang tidak mungkin orang makan makanan yang tidak sanggup dibelinya. Pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan
ini sangat
berbahaya untuk kesehatan keluarga dan akhirnya dapat berakibat buruk terhadap keadaan status gizi terutama bagi bayi dan baduta.
Dalam kaitannya dengan
status gizi, Sayogyo, Soehardjo, dan Khumaidi (1980) menyatakan bahwa pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan, tetapi pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan gizi yang baik.
Menurut Berg (1986), pertambahan pendapatan tidak selalu
membawa perbaikan pada konsumsi pangan, karena walaupun banyak pengeluaran uang untuk pangan, mungkin akan makan lebih banyak, tetapi belum tentu kualitas pangan yang dibeli lebih baik.
26
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa antara pendapatan dan gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan. Berlaku hampir universal, peningkatan pendapatan akan berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga dan selanjutnya berhubungan dengan status gizi. Namun peningkatan pendapatan atau daya beli seringkali tidak dapat mengalahkan pengaruh kebiasaan makan terhadap perbaikan gizi yang efektif. Besar Keluarga Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (1989) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk
mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.
Seperti juga yang dikemukakan Berg (1986) bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit. Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga, akan mempengaruhi
pengeluaran
rumah
tangga.
Harper
(1988),
mencoba
menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk
27
memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak badutanya lebih sering menderita gizi kurang.