perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN DI KABUPATEN SUKOHARJO
Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Oleh:
WAHYUNI H 0307089
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PANGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur ke hadirat Alloh SWT atas segala limpahan, rahmat, karunia, dan hidayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo” dengan baik. Skripsi ini disusun guna memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penyusunan skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya bantuan dari semua pihak, baik instansi maupun perorangan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Ibu Dr. Ir. Sri Marwanti, M.S., selaku Ketua Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta dan selaku Pembimbing Utama yang telah begitu sabar memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan masukan yang sangat berharga bagi penulis. 3. Ibu Umi Barokah, S.P., M.P., selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan masukannya. 4. Ibu Prof. Dr. Ir. Suprapti S.,MP, selaku penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak Ir. Suprapto selaku Pembimbing Akademik, terima kasih atas saran, nasehat dan arahannya selama ini. 6. Ibu Ir. Sugiharti Mulya Handayani, M.P., selaku Ketua Komisi Sarjana Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis. 7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan. 8. Seluruh karyawan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bantuan. 9. Kepala Kesbangpolinmas, BAPPEDA, BPS, Dinas Pertanian, KPPKBN commit to user Pangan Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Kantor Ketahanan
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kepala Kantor Kecamatan Bulu, Kepala Desa Puron, Kepala Desa Karangasem, dan Kepala Desa Kedungsono serta semua responden yang telah memberikan ijin kepada Penulis untuk melakukan penelitian dan membantu dalam menyediakan data yang dibutuhkan bagi Penulis. 10. Kedua orang tua sekaligus teladanku, Bapak Parno dan Ibu Mulyani, terima kasih atas segala doa, dukungan moril maupun materiil, motivasi, semangat, nasihat, cinta dan kasih sayang, sehingga Penulis dapat menjadi pribadi yang lebih baik, ijinkan aku membanggakan dan membahagiakan kalian. 11. Kakak-kakakku, Agus Priyanto, Hartini dan Poniyem serta tak lupa keponakanku Kireina Mutia As-Syifa Apriyanto, terima kasih atas segala, motivasi, dukungan, semangat, semua saran dan doanya. 12. Keluarga besarku, terima kasih atas bantuan, dukungan serta doa restunya. 13. Teman terdekatku, Susilo Hadi, terima kasih atas doa, dukungan, perhatian, pengertian, semangat, motivasi dan kesabaran yang luar biasa disela kesibukan dan kelelahanmu. 14. Sahabat-sahabatku, Desi, Herlina, Linda, mb phina, dan Sabila, Terima kasih atas persahabatan yang sangat berharga, do’a yang sangat bermakna, dukungan, motivasi, semangat, keceriaan, saran dan bantuannya. 15. Teman-teman “HIBITU” seperjuangan, terima kasih atas persahabatan dan kebersamaan yang indah dari awal kuliah sampai saat ini. 16. Semua pihak yang telah membantu Penulis dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat dijadikan sebagai acuan dan tambahan referensi dalam penulisan skripsi di masa yang akan datang. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Surakarta,
Juni 2012
commit to user Penulis iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................
I
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................
iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
x
RINGKASAN .................................................................................................
xi
SUMMARY ......................................................................................................
xii
I.
PENDAHULUAN ................................................................................. A. Latar Belakang …………………………...……………………….. B. Rumusan Masalah .............................................................................. C. Tujuan Penelitian ............................................................................... D. Kegunaan Penelitian ..........................................................................
1 1 4 7 7
II.
LANDASAN TEORI ............................................................................. A. Penelitian Terdahulu ……………………………………………...... B. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 1. Pangan ......................................................................................... 2. Pengeluaran Pangan dan Non Pangan ………………………… 3. Proporsi Pengeluaran Pangan ….................................................. 4. Konsumsi Pangan …...………………………………………..... 5. Rumah Tangga Miskin ...………………………………............. 6. Kemiskinan................………………………………………....... 7. Ketahanan Pangan .…………………………………………….. C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ………...……………………. D. Asumsi ……...…………………………………………………..….. E. Pembatasan Masalah …...………………………………….............. F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ................................
9 9 11 11 11 12 13 14 15 17 20 21 21 22
III. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... A. Metode Dasar Penelitian .................................................................... B. Metode Pengambilan Daerah Penelitian ............................................ C. Metode pengambilan Sampel ............................................................ D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ................................................. 1. Jenis Data ..................................................................................... to user 2. Teknik Pengumpulancommit Data ..........................................................
25 25 25 27 28 28 29
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Metode Analisis Data …..……………………………..…………… 1. Analisis Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan terhadap Total Pengeluaran ................................................................................. 2. Analisis Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Miskin .......................................................................................... 3. Analisis Hubungan Proporsi Pengeluaran Pangan dari Total Pengeluaran dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE) ............... 4. Analisis Ketahanan Pangan .........................................................
29
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN …………………… A. Keadaan Alam ……………………………………………………... B. Keadaan Penduduk ………………………………………………… 1. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk …………………………... 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin ……... 3. Komposisi Penduduk Menurut Lapangan Usaha Utama ……… C. Keadaan Perekonomian ……………………………………………. D. Keadaan Pertanian …………………………………………………. E. Kondisi Kemiskinan ………………………………………………..
35 35 36 36 37 39 41 42 43
V.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………….. A. Karakteristik Rumah Tangga Responden …………………………... B. Pendapatan Rumah Tangga Responden …………………………… C. Pengeluaran Rumah Tangga Responden …………………………… D. Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan Terhadap Pengeluaran Total Rumah Tangga ……………………………………………….. E. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga …………….. F. Hubungan Proporsi Pengeluaran Pangan dengan Konsumsi Energi dan protein ………………………………………………………….. G. Ketahanan Pangan Rumah Tangga …………………………………
45 45 47 49
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………. A. Kesimpulan ………………………………………………………... B. Saran ………………………………………………………………..
69 69 70
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….
71
commit to user
vi
29 30 33 33
59 61 65 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
No.
Judul
1.
Ketersedian dan Kebutuhan Pangan Berupa Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010 …………………….......................... Data keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I se EksKarisidenan Surakarta Tahun 2009 ………………….................... Data KK Miskin berdasarkan kelompok Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I di Kabupaten Sukoharjo ........................ Indeks Ketahanan Pangan Rumah Tangga …………………........ Data KK Miskin menurut Desa di Kecamatan Bulu Tahun 2009………………………………………………………………. Jumlah Sampel Responden KK Miskin Tiap Kelurahan ………... Daftar Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP) Berdasar Umur dan Jenis Kelamin ……………… Kategori Rumah Tangga Berdasarkan Indikator Ketahanan Pangan ………………………………………………………........ Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010 …………………………………….. Jumlah Kelahiran dan Kematian Penduduk di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010 …………………………………….. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010 …………………. Penduduk Umur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010 …. PDRB Kabupaten Sukoharjo Menurut Lapangan Usaha Atas Harga Berlaku Tahun 2008-2009 (Jutaan Rupiah) ……………… Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010 ……………………………………………………… Jumlah dan Proporsi Kemiskinan menurut BKKBN di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010 …………………………………….. Karakteristik Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo ………………………………………………………... Jumlah Anggota Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo………………………………………………………… Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Responden Di Kabupaten Sukoharjo ………………………………………………………... Rata-Rata Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 …………………… Rata-Rata Pengeluaran Non Pangan Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 ………………… Proporsi Pengeluaran Rumah Tangga Responden di Kabupaten to user Sukoharjo Bulan Desembercommit 2011 ………………………………..
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
vii
Halaman 2 3 5 18 26 27 32 34 36 37 38 40 41 42 43 45 47 48 49 56 60
perpustakaan.uns.ac.id
22.
23.
24.
25.
digilib.uns.ac.id
Rata-rata Konsumsi Energi dan Protein, AKG yang dianjurkan, dan Tingkat Konsumsi Gizi Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 …………………... Sebaran Kategori Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011………………………………………………………………. Hasil Analisis Korelasi Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan dengan Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 ………………... Jumlah Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Menurut Kategori Ketahanan Pangan ............................................
commit to user
viii
61
63
65 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul
Halaman
1.
Skema Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah.......................
21
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Judul
Halaman
1. 2. 3. 4.
Identitas Responden ………………………………………… Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Responden ……………. Pengeluaran Non Pangan Rumah Tangga Responden ………. Proporsi Pengeluaran Pangan dengan Pengeluaran Total Rumah Tangga Responden …………………………………... AKG, Konsumsi Gizi dan TKG Rumah Tangga Responden ... Hubungan Proporsi Pengeluaran Pangan dengan Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Responden ……………… Ketahanan Pangan Rumah Tangga Responden ……………… Sebaran Ketahanan Pangan Rumah Tangga …………………. Peta Kabupaten Sukoharjo …………………………………… Peta Komposit Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo …… Kuesioner …………………………………………………….. Foto Penelitian ……………………………………………….. Surat Ijin Penelitian …………………………………………..
74 75 76
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
commit to user
x
77 78 79 80 81 82 83 84 90 91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN DI KABUPATEN SUKOHARJO RINGKASAN Wahyuni, H0307089. 2012. “Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo”. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sri Marwanti, M.S. dan Umi Barokah S.P., M.P. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap total pengeluaran, besarnya konsumsi energi dan protein, hubungan antara proporsi pengeluaran pangan dengan konsumsi energi dan protein, serta kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo dilihat dari indikator proporsi pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi energi. Metode dasar penelitian ini adalah deskriptif analitis dan pelaksanaannya menggunakan teknik survei. Penelitian dilakukan di Kabupaten Sukoharjo. Penentuan sampel kecamatan dan desa dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan proporsi rumah tangga miskin di Kecamatan dan desa tersebut yang terbesar, yaitu Kecamatan Bulu sedangkan untuk desa terpilih yakni Desa Kedungsono, Desa Karangasem dan Desa Puron. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Analisis data yang digunakan adalah analisis proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga, tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga, hubungan proporsi pengeluaran konsumsi pangan dari total pengeluaran dengan konsumsi energi dan protein, dan ketahanan pangan rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya rata-rata proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap total pengeluaran adalah 75,77%, artinya pengeluaran konsumsi pangan masih mengambil bagian terbesar dari total pengeluaran rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo. Rata-rata Tingkat Konsumsi Energi (TKE) 69,17% dan rata-rata Tingkat Konsumsi Protein (TKP) 92,02%. Hubungan antara proporsi pengeluaran konsumsi pangan dengan konsumsi energi dan protein adalah berlawanan, artinya proporsi pengeluaran konsumsi pangan tinggi, maka konsumsi energi dan proteinnya rendah, dan juga sebaliknya. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo terdiri atas kategori rawan pangan sebesar 80% dan rentan pangan 20%. Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa diperlukan bantuan dari berbagai pihak terutama pemerintah untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga agar lebih kontinyu serta penyuluhan pengetahuan mengenai gizi pada rumah tangga.
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
AN ANALYSIS OF POOR HOUSEHOLD FOOD SECURITY IN SUKOHARJO REGENCY SUMMARY Wahyuni, H0307089. 2012. " An Analysis Of Poor Household Food Security In Sukoharjo Regency ". Faculty Of Agriculture. University of Sebelas Maret Surakarta. Under the guidance of Dr. Ir. Sri Marwanti, M.S. and Umi Barokah, S.P., M.P. This research aim to know the level of expenditure proportion consume the food to totalizeing expenditure, level of consumption of energy and protein, relation between the proportion of food expenditure with the consumption of energy and protein, and the condition of peasant resistance of poor household food security in Sukoharjo Regency seen from the indicators of the proportion of food expenditure and energy consumption levels. The basic method this Research is analytical descriptive and survey method for field implementation. The research conducted in Sukoharjo Regency. Determination of Sampel of subdistrict and village conducted purposive with the poor household proportion consideration is the biggest in the subdistric and village, that is Bulu Subdistrict of while for the countryside of chosen namely Kedungsono Village, Karangasem Village and Puron Vilage. Types and sources of data used consists of primary data and secondary data. The analyse data used by analysis of expenditure proportion consume the food to totalizeing household expenditure, mount the consumption of energy and household protein, relation of expenditure proportion consume the food from totalizeing expenditure with the consumption of energy and protein, and household food security. The result of research indicate that the level of mean of expenditure proportion consume the food to totalizeing expenditure is 75,77%, meaning that food expenditure are still taking the lion's share of total poor household expenditure in Sukoharjo Regency. Amount of household energy consumption (TKE) is 69,17% and amount of household protein consumption (TKP) is 92,02%. Relation of between expenditure proportion consume the food with the consumption of energy and protein is adversative, its meaning high level of food expenditure proportion, indicate low level of energy and protein consumption, conversely. The condition of poor household food security in Sukoharjo Regency are consisted the category of food insecurity equal to 80% and food disturbed security 20%. From this research result can be suggested by that needed by aid from various governmental party especially to increase household earnings, so that more kontinyu and also knowledge counselling of concerning gizi to household.
commit to user
xii
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi alam dan sumber daya manusia yang melimpah dan beragam. Ketersediaan potensi yang melimpah tersebut merupakan modal awal dan bekal yang potensial untuk mendukung pembangunan nasional di segala bidang. Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, termasuk juga pembangunan di bidang pertanian sebagai upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Batasan mengenai ketahanan pangan berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1996 diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan pangan merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan pertanian di Indonesia dengan mengingat bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang besar sehingga membutuhkan ketersediaan pangan dari hasil pertanian yang mencukupi. Akan tetapi, persediaan pangan yang cukup secara nasional maupun secara regional tidak menjamin adanya ketahanan pangan rumah tangga atau individu (Ariningsih dan Rachman, 2008). Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu daerah penghasil padi yang merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, selain itu jumlah penduduk di Kabupaten Sukoharjo mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga kebutuhan akan pangan juga akan meningkat. Akan tetapi hal ini tidak menjadi masalah karena Kabupaten Sukoharjo mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan commit terutama to untuk user komoditas beras. Hal ini dapat
1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilihat dalam tabel ketersediaan dan kebutuhan pangan berupa komoditas beras dibawah ini. Tabel 1. Ketersedian dan Kebutuhan Pangan Berupa Beras di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Penduduk (Jiwa) 826.289 831.613 837.279 843.127 846.978
Ketersediaan 190.038,92 190.174,48 198.772,69 210.726,38 154.040,53
Kebutuhan (Ton) 76.746 77.240 77.766 78.310 78.667
Surplus Minus 113.292,92 112.934,48 121.006,69 132.416,38 75.373,53
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010 Tabel 1 menunjukkan bahwa Kabupaten Sukoharjo mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang semakin bertambah tiap tahunnya, bahkan ketersediaan beras di Kabupaten Sukoharjo selalu mengalami surplus yang rata-rata mengalami peningkatan. Hal ini tentu menunjukkan bahwa perkembangan
produksi
padi
di
Kabupaten
Sukoharjo
mengalami
peningkatan, akan tetapi pada tahun 2010 mengalami penurunan surplus hingga lebih dari setengah dari tahun 2009. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2010, banyak tanaman padi yang terserang hama wereng, selain itu karena faktor iklim yang tidak mendukung. Kondisi ketersediaan pangan yang surplus menunjukkan bahwa kondisi ketahanan pangan di Kabupaten Sukoharjo tinggi. Hal tersebut juga menunjukan bahwa secara regional ketersediaan pangan di Kabupaten Sukoharjo telah mampu memenuhi kebutuhan per kapita penduduknya. Tercapainya ketahanan pangan di tingkat wilayah atau regional tidak menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Hal ini ditunjukkan adanya fakta bahwa walaupun di tingkat nasional dan wilayah (provinsi) memiliki status tahan pangan terjamin, yang berarti secara regional daerah tersebut mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya yang ditunjukkan dengan jumlah produksi dan ketersediaan pangan yang tinggi. Namun di wilayah tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan commit to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Sudaryanto dan Rusastra, 2000; Rachman, 2004 dalam Ilham dan Sinaga 2008). Rawan pangan merupakan kebalikan dari ketahanan pangan, yaitu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat (Ariningsih dan Rachman, 2008). Masalah kerawanan pangan secara mikro disebabkan karena kemiskinan (Media Holdings, 2011). Kerawanan pangan mempunyai korelasi positif dan erat kaitannya dengan kemiskinan. Mereka yang dikategorikan rawan pangan adalah rumah tangga miskin, karena rumah tangga miskin tidak mengkonsumsi pangan yang cukup. selain karena daya beli yang rendah, pengetahuan tentang gizi juga rendah,
sehingga
dalam
mengkonsumsi
makanan
mereka
kurang
mempertimbangkan kandungan gizi pada makanan Kabupaten Sukoharjo yang dianggap mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan regional ternyata masih memiliki penduduk yang dianggap rawan pangan karena tergolong sebagai rumah tangga miskin. Menurut BKKBN yang termasuk sebagai rumah tangga miskin adalah keluarga PraSejahtera (Pra-KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS-I). Berikut merupakan data keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang tergolong sebagai rumah tangga miskin se Eks-Karisidenan Surakarta. Tabel 2. Data keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I se EksKarisidenan Surakarta Tahun 2009. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kabupaten
Jumlah KK
Boyolali Klaten Sukoharjo Karanganyar Wonogiri Sragen Surakarta
288.367 343.396 222.450 241.804 324.584 267.952 119.488
Keluarga Pra-Sejahtera (PS) Jumlah Proporsi(%) 111.317 38,60 78.179 22,27 52.620 23,65 35.140 14,52 70.717 21,79 108.723 40,58 11.952 10,00
Sumber: BPS Jateng, 2010 commit to user
Keluarga Sejahtera I (KS-I) Jumlah Proporsi(%) 54.157 18,78 72.994 21,26 46.232 20,78 23.381 9,67 65.168 20,08 49.528 18,48 24.893 20,83
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
Pada Tabel 2, menunjukkan bahwa jumlah KK miskin di Kabupaten Sukoharjo yang termasuk dalam keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I berada pada tingkat ke lima yaitu sebesar 52.620 KK dan 46.232 KK, dengan proporsi Keluarga Pra-Sejahtera sebesar 23,65% dan Keluarga Sejahtera I sebesar 20,78%, dimana kedua golongan ini berada pada tingkat ke tiga, untuk keluarga Pra-Sejahtera setelah Kabupaten Sragen dan Kabupaten Boyolali sedangkan keluarga Sejahtera I setelah Kabupaten Klaten dan Kota Surakarta. Berdasarkan data dari BKKBN Kabupaten Sukoharjo tahun 2010 jumlah KK yang termasuk dalam kelompok KPS (Keluarga Pra-Sejahtera) dan KS-I (Keluarga Sejahtera-I) tidak dibedakan lagi antara alasan ekonomi dan non ekonomi adalah sebesar 51.180 KK (22,35%) dan 45.598 KK (19,91%). Dari sisi jumlah KK yang termasuk dalam rumah tangga miskin kedua kelompok ini sama-sama mengalami penurunan dari tahun 2009, akan tetapi dari jumlah tersebut terlihat bahwa jumlah KPS dan KS-1 di Kabupaten Sukoharjo masih terbilang tinggi. Dilihat dari kondisi kemiskinan di Kabupaten Sukoharjo yang merupakan produsen padi, dihadapkan pada kenyataan bahwa daerah yang mempunyai basis perekonomian pada sektor pertanian dan produktivitas pertanian yang lebih baik justru memiliki jumlah masyarakat miskin yang tinggi. Hal ini ditunjukan pada Tabel 1, dimana ketersedian pangan berupa beras di Kabupaten Sukoharjo selalu mengalami surplus tiap tahunnya. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diadakan penelitian mengenai ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo. B. Rumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap saat, baik kuantitas maupun kualitas, aman, bergizi dan terjangkau daya beli masyarakat. Kekurangan pangan atau rawan pangan tidak hanya dapat menimbulkan dampak sosial, ekonomi, bahkan dapat mengancam keamanan sosial. Rawan pangan merupakan kebalikan dari ketahanan pangan, yaitu commit to user kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk hidup sehat dan beraktivitas dengan baik untuk sementara waktu dalam jangka panjang, kondisi ini dapat saja sedang terjadi atau berpotensi untuk terjadi (Kompas, 2004 dalam Hendra, 2008). Masalah kerawanan pangan secara mikro disebabkan karena kemiskinan, karena meskipun komoditas pangan tersedia namun apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau daya beli rumah tangga maka rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan yang tersedia dengan tingkat pendapatan yang mereka dapatkan. Kabupaten Sukoharjo yang merupakan salah satu kabupaten sebagai produsen padi ternyata masih memiliki jumlah KK miskin yang bisa di bilang tidak sedikit. Berikut merupakan data jumlah KK miskin menurut kelompok Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I berdasarkan BKKBN di kabupaten Sukoharjo. Tabel 3. Data KK Miskin Berdasarkan Kelompok Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I di Kabupaten Sukoharjo No
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Bulu Weru Tawangsari Bendosari Mojolaban Polokarto Gatak Nguter Sukoharjo Grogol Baki Kartasura
Keluarga PraSejahtera Jumlah Proporsi(%) 4.503 42,08 6.593 41,49 5.670 37,03 6.179 36,67 7.477 32,32 4.973 23,13 3.387 24,18 3.424 21,21 3.067 14,28 3.473 11,27 1.093 6,91 1.341 4,91
Keluarga Sejahtera I Jumlah 3.075 3.944 2.714 3.012 4.564 4.029 2.609 1.842 5.848 5.573 4.080 4.308
Proporsi(%) 28,73 24,82 17,72 17,87 19,73 18,74 18,63 11,41 27,23 18,09 25,80 15,76
KK Miskin Jumlah 7.578 10.537 8.384 9.191 12.041 9.002 5.996 5.266 8.915 9.046 5.173 5.649
Proporsi(%) 70,81 66,32 54,75 54,54 52,04 41,91 42,81 32,62 41,51 29,36 32,71 20,67
Sumber : BKKBN Kabupaten Sukoharjo, 2010. Tabel 3 menunjukkan bahwa Kecamatan Bulu merupakan kecamatan yang memiliki proporsi jumlah rata-rata KK miskin tertinggi yaitu sebesar 70,81%. Kecamatan Bulu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sukoharjo yang rata-rata penduduknya bermata pencahariaan sebagai petani. Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan penduduk di Indonesia sekitar 17,8 persen atau sekitar 40 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sekitar 68 persen tinggal di pedesaan, dan umumnya bekerja pada sektor pertanian commit to user atau berbasis pertanian. Data tersebut tidak jauh berbeda dengan data di
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tingkat dunia, yaitu setengah dari kelompok miskin ini adalah petani kecil, dan seperlima dari kaum miskin tersebut adalah para buruh tani yang tidak mampu memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan keluarganya sendiri (Lamba, 2006). Kecamatan Bulu sendiri terletak pada ketinggian 118 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan luas wilayah 43,86 km2 atau 4.386 hektar yang rata-rata lahannya merupakan lahan kering. Penggunaan lahan di Kecamatan Bulu terbagi menjadi dua yaitu lahan sawah dan lahan kering. Luas yang ada terdiri dari 1.117 hektar atau 25,47% lahan sawah dan 3.269 hektar atau 75,53% lahan kering. Lahan kering menurut Utomo (2002) dalam Wisnu dkk (2005)
mendifinisikan
lahan
kering
sebagai
hamparan
lahan
yang
didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi. Ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah pertanian lahan kering relatif menyebabkan kemiskinan. Upaya mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga bukan persoalan yang sederhana. Keterbatasan pemenuhan kebutuhan pangan dalam rumah tangga antara lain disebabkan karena keterbatasan fisik dan ekonomi, bencana alam serta berbagai faktor sosial masyarakat, terutama untuk rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo dimana jumlah proporsi terbanyak berada pada Kecamatan Bulu dengan kondisi geografis daerah tersebut berdominasi lahan kering dan sebagian masyarakat bermatapencahariaan sebagai petani. Dimana tingkat pendapatan mereka dari kegiatan pertanian akan berpengaruh pada akses pangan dan ketahanan pangan rumah tangga. Menurut Malassis dan Ghersi (1992) dalam Irawan ( 2002) penggunaan nilai kalori dan nilai protein sudah cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi kalori terkait erat dengan kemampuan manusia untuk hidup secara aktif, sedangkan konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak pada usia dewasa atau untuk menjamin pertumbuhan normal pada usia muda. Berdasarkan uraian di atas akan commit to user sebagai berikut : dilakukan penelitian dengan rumusan masalah
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
1. Berapa besarnya proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo? 2. Berapa besarnya konsumsi energi dan protein rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo? 3. Bagaimana hubungan antara proporsi pengeluaran konsumsi pangan dari total pengeluaran dengan konsumsi energi dan protein rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo? 4. Bagaimana kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo dilihat dari indikator proporsi pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi energi? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui besarnya proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo. 2. Mengetahui besarnya konsumsi energi dan protein rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo. 3. Mengetahui hubungan antara proporsi pengeluaran konsumsi pangan dari total pengeluaran dengan konsumsi energi dan protein rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo. 4. Mengetahui kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo dilihat dari indikator proporsi pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi energi. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah : 1. Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengetahuan terutama yang berkaitan dengan topik penelitian dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bagi Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, penelitian ini berguna sebagai sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam pengambilan commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pemantapan ketahanan pangan di Kabupaten Sukoharjo. 3. Bagi pembaca, penelitian ini berguna sebagai wacana dalam menambah pengetahuan mengenai ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo. 4. Bagi peneliti lain, sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
II.
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu Penelitian Rachman, dkk (2003) yang berjudul Distribusi Provinsi di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga menyatakan bahwa secara nasional pada tahun 1999 lebih dari 30% rumah tangga di Indonesia tergolong rawan pangan, di daerah kota sekitar 27% dan di pedesaan sekitar 33%. Dari 26 provinsi di Indonesia 5 provinsi yang memiliki proporsi rumah tangga rawan pangan tertinggi adalah Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari sisi ekonomi rumah tangga rawan pangan diindikasikan oleh pangsa pengeluaran pangan yang tinggi dan dari tingkat konsumsi energinya kurang. Hal ini membuktikan bahwa aspek pendapatan untuk meningkatkan akses terhadap pangan merupakan faktor penting dalam peningkatan ketahanan pangan rumah tangga. Ilham dan Sinaga (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Penggunaan Pangsa Pengeluaran Pangan sebagai Indikator Komposit Ketahanan Pangan, menyatakan bahwa hubungan antara kedua variabel yaitu pangsa pengeluaran pangan berlawanan arah dengan konsumsi energi dan konsumsi protein setiap penduduk. Selain itu mereka juga menyimpulkan bahwa pangsa pengeluaran pangan layak dijadikan indikator ketahanan pangan karena mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai ukuran ketahanan pangan yaitu tingkat konsumsi, keanekaragaman pangan, dan pendapatan serta memiliki ciri dapat diukur dengan angka, cukup sederhana untuk memperoleh dan menafsirkannya, objektif, dan responsive terhadap perubahan-perubahan akibat adanya perubahan kondisi perekonomian, kebijakan dan program pembangunan. Alfiasari (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Modal Sosial dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sereal dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Menyatakan bahwa pada tahun 2003 commit to user terdapat perbedaan yang mencolok antara desa dan kota, yang mana sebagian
9
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
besar wilayah perkotaan (56,2%) tergolong dalam kategori 55-56% pengeluaran total yang digunakan untuk pangan. Sementara itu, sebagian besar wilayah pedesaan (63,0%) tergolong dalam kategori 65-75%pengeluaran total yang digunakan untuk pangan. Apabila diasumsikan bahwa semakin besar persentase pengeluaran untuk pangan menunjukan semakin rendahnya kemampuan ekonomi rumah tanggaa, maka kondisi tersebut menegaskan bahwa kemampuan ekonomi rumah tangga di perkotaan lebih tinggi di banding wilayah pedesaan. Dina (2010), dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Ketersediaan Pangan Pokok Dan Pola Konsumsi Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo menyimpulkan bahwa rata-rata Tingkat Konsumsi Energi (TKE) rumah tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo yaitu 70,08 % dan tergolong tergolong kurang. Sedangkan rata-rata Tingkat Konsumsi Protein (TKP) rumah tangga yaitu 95,36 % dan tergolong sedang. Berdasarkan sebaran kategori TKE, sejumlah 46,67 % rumah tangga termasuk kategori kurang. Sedangkan berdasarkan sebaran kategori TKP, 43,33 % rumah tangga termasuk kategori sedang. Sejumlah 60% rumah tangga termasuk tidak tahan pangan energi dan 53,33 % termasuk rumah tangga tahan pangan protein. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak rumah tangga yang tahan pangan protein daripada rumah tangga tahan pangan energi. Berdasarkan penelitian terdahulu, peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai pola pengeluaran pangan dan pola konsumsi rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi merupakan indikator ketahanan pangan, dimana pengeluaran konsumsi untuk pangan lebih mendominasi. Tinggimya proporsi pengeluaran konsumsi pangan dapat menunjukan bahwa terjadinya penurunan kesejahteraan rumah tangga yang akan mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
B. Tinjauan Pustaka 1. Pangan Pangan menurut Undang-Undang No.7 Tahun 1996 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman (BPOM RI, 1996). Pangan adalah segala bahan yang bila dimakan atau masuk ke dalam tubuh akan membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga atau mengatur semua proses dalam tubuh. Disamping itu makanan juga mengandung nilai tertentu bagi berbagai kelompok manusia, suku/ bangsa atau perseorangan; yakni unsur kesehatan, memberikan rasa kenyang dan nilai yang dikaitkan dengan faktor-faktor lain seperti emosi atau perasaan, tingkat sosial, agama atau kepercayaan dan lain-lain (Handajani, 1994). Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohirat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air) menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Penentu ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional dan lokal dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan pangan. Sementara itu penentu utama ditingkat rumah tangga adalah akses fisik dan ekonomi terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut (Sawit dan Ariani, 1997). 2. Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Secara garis besar kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokan ke dalam dua kategori besar, yaitu kebutuhan akan pangan dan bukan pangan. Dengan demikian, pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan commit to user mencapai titik jenuh, sementara kebutuhan bukan pangan termasuk
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Dengan demikian, besaran pendapatan (yang diproksi dengan pengeluaran total) yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Atau dengan kata lain semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan, berarti semakin kurang sejahtera rumah tangga yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumah tangga tersebut semakin sejahtera (Purwantini dan Ariani, 2008). Secara umum kebutuhan konsumsi atau pengeluaran rumah tangga berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan non pangan, dimana kebutuhan keduanya berbeda. Pada kondisi pendapatan yang terbatas, terlebih dahulu mementingkan kebutuhan konsumsi pangan. Sehingga dapat dilihat pada kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah, sebagian besar pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Namun demikian seiring dengan pergeseran dan peningkatan pendapatan, proporsi pola pengeluaran untuk makan akan menurun dan meningkatnya peneluaran untuk kebutuhan non pangan (Sugiarto, 2008). 3. Proporsi Pengeluaran Pangan Pengeluaran total dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu pengeluaran untuk pangan dan barang-barang bukan pangan. Proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan juga digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga. Dari proporsi pengeluaran pangan dapat diungkapkan bahwa semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan berarti tingkat kesejahteraan atau ketahanan rumah tangga semakin rendah atau rentan. Hukum Engel menyatakan dengan asumsi selera seseorang adalah tetap, proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan akan semakin kecil seiring
dengan
semakin
meningkatnya
pendapatan
(Ariani dan Purwantini, 2008) Berdasarkan data pengeluaran keluarga menurut Badan Pusat commit to userpola konsumsi keluarga dengan Statistik 1997 diungkapkan tentang
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk pangan dan non pangan. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran pangan ke pengeluaran non pangan. Pada umumnya keluarga akan mengalokasikan setiap pendapatannya utuk memenuhi kebutuhan dasarnya terlebih dahulu, yaitu berupa pangan. Apabila kebutuhan dasar tersebut sudah terpenuhi, maka keluarga akan mengalokasikan
pendapatannya
untuk
kebutuhan
non
pangan
(Yulia dkk, 1999). 4. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukan bahwa telaahan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Susunan jenis pangan yang dikonsumsi berdasarkan
kriteria
tertentu
disebut
pola
konsumsi
pangan
(Hardinsyah dan Martianto, 1992). Konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Harper et.al. ada empat factor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu : a. Produksi pangan untuk keperluan rumah tangga b. Pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga c. Pengetahuan gizi (mempengaruhi point a dan b) d. Tersedianya pangan (dipengaruhi oleh point a dan b) (Suhardjo dkk, 1988) Menurut Handajani (1994), tingkat konsumsi pangan kaitanya dengan pendapatan dapat dibagi menjadi 3 yaitu: a. Initial stage, pada tingkat ini makanan yang dibeli semata-mata hanya untuk mengatasi rasa lapar. Makanan yang dikonsumsi hanya kalori, dan biasanya hanya berupa bahan-bahan karbohidrat saja. Dalam hal ini kualitas pangan hampir tidak terpikirkan. Karakteristik tingkat ini, ada korelasi erat antara pendapatan dan tingkat konsumsi pangan. Jika user pendapatan naik, makacommit tingkatto konsumsi pangan akan naik.
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
b. Marginal stage, pada tingkat ini korelasi antara tingkat pendapatan dan tingkat konsumsi pangan tidak linear, artinya kenaikan pendapatan tidak memberi reaksi yang proporsional terhadap tingkat konsumsi pangan. c. Stable stage, pada tingkat ini kenaikan pendapatan tidak memberikan respon terhadap kenaikan konsumsi pangan. Pada tingkat ini ada kecenderungan mengkonsumsi pangan secara berlebihan, tanpa mempertimbangkan gizi. 5. Rumah Tangga Miskin Menurut kegiatan ekonominya, ada rumahtangga miskin yang pasif dan sebagian ada yang aktif. Anak-anak yang terlantar, kemudian gelandangan dan pengemis berbeda sekali karakternya dengan petani misalnya. Komunitas petani seringkali terjebak ke dalam situasi kemiskinan, meski curahan waktu kerjanya lebih intensif. Komunitas petani, meski sebagian besar tergolong miskin, memiliki peran strategis dalam perekonomian regional maupun nasional. Mereka memasok hasil produksi untuk kebutuhan konsumsi dan bahan baku produksi sektor manufaktur (Yukha, 2007). Dimensi pengeluaran untuk kebutuhan pangan diukur berdasarkan standar minimum kebutuhan makanan yang dibutuhkan individu untuk hidup sehat yaitu setara dengan 2.100 kkal energy/kapita/hari dan 50 gram protein/kapita/hari (WNPG, 1978). Berdasarkan standar ini, rumah tangga miskin adalah rumah tangga yang pengeluaran untuk kebutuhan pangannya berada dibawah nilai minimum untuk memenuhi kebutuhan anggota rumah tangganya sesuai dengan standar kebutuhan minimum tersebut (Aswatini dkk, 2004). Pada Program Keluarga Sejahtera sesuai Inpres No.3 tahun 1996, miskin disebut dengan istilah “kurang sejahtera”, yaitu keluarga yang tergolong Pra Sejahtera dan Sejahtera I. Atas dasar batasan ini, BKKBN mengkategorikan semua rumahtangga di Indonesia dalam lima kategori commit to user kesejahteraan, yakni:
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Keluarga Pra Sejahtera, b. Keluarga Sejahtera I, c. Keluarga Sejahtera II, d. Kelauarga Sejahtera III, dan e. Keluarga Sejahtera III plus. Rumah tangga miskin menurut BKKBN berdasarkan indikator Keluarga Sejahtera I (KS-I) : a. Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih. b. Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk dirumah, bekerja/ sekolah dan bepergian c. Rumah yang ditempati keluarga mempunyai atap, lantai, dan dinding yang baik d. Bila ada anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan e. Bila pasangan usia subur ingin ber KB pergi ke sarana pelayanan kontrasepsi f. Semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah Diluar indikator diatas atau jika suatu rumah tangga yang tidak memenuhi salah satu indikator Keluarga Sejahtera I diatas maka rumah tangga
tersebut
dapat
dikatakan
sebagai
keluarga
pra-sejahtera
(BKKBN, 2010). 6. Kemiskinan BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar commit to user masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective (Sahdan, 2005). Kemiskinan bisa diartikan sebagai situasi yang serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Dengan demikian mengentaskan penduduk miskin itu perlu bantuan pihak luar dari si miskin itu sendiri. Orang miskin bukanlah orang yang tidak memiliki apapun, melainkan orang memiliki sesuatu namun sedikit (Shintawati, 2003). World Bank (2000) menyebutkan bahwa kemiskinan mempunyai empat dimensi yaitu kurangnya kesempatan (luck of opportunity), rendahnya kemampuan (low capabilities), rendahnya tigkat ketahanan (low level of security), dan rendahnya pemberdayaan (empowerment). Ciri utama yang terlihat dari keempat dimensi kemiskinan tersebut adalah rendahnya pendapatan dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia akibat ketidakmampuan orang miskin untuk mengakses kesempatan ekonomi dan pendidikan yang tersedia. Terkait dengan upaya-upaya penguatan ketahanan pangan rumah tangga miskin, hal mendasar yang menentukan tercukupinya pangan di tingkat rumah tangga baik jumlah maupun mutunya secara aman dan terjangkau adalah bagaimana mengubah sumberdaya-sumberdaya
yang
pada
rumah
tangga
miskin
dan
lingkungannya menjadi modal-modal ekonomi yang dimanfaatkan untuk mengakses pangan sesuai dengan norma gizi yang berlaku. Modal ekonomi disini tentu tidak hanya dalam bentuk uang yang kasat mata namun juga mencakup modal-modal lain yang ada di dalam masyarakat yang dalam kondisi tertentu dapat dikonversi dalam bentuk uang. Keterbatasan modal berupa uang, modal alam, modal fisik, dan juga modal manusia yang dimiliki rumah tangga miskin khususnya dalam pemenuhan pangan
rumah
tangga
kiranya membutuhkan pendorong berupa to user sumberdaya yang dimilikicommit dari hubunga-hubungan sosial yang dimiliki
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
anggota
masyarakat,
yang
dikenal
sebagai
modal
sosial
(Alfiasari dkk, 2009). 7. Ketahanan Pangan Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi-kondisi berikut : a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tamanan, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, dengan pengertian bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman menurut kaidah agama. c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dengan pengertian bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan setiap saat dan merata di seluruh tanah air. d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mdah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. (Soetrisno, 2005). Definisi ketahanan pangan menurut undang-undang No.7 Tahun 1996 adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersediannya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan dapat dicapai, apabila ada system pangan nasional yang kuat, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan, pembinaan dan pengawasan terhadap commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia (Badan Ketahanan Pangan, 2010). Ketahanan pangan merupakan terjemahan dari food security, secara luas diartikan sebagai terjaminnya akses pangan bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya agar dapat hidup sehat dan beraktivitas (Ariningsih dan Rachman, 2008). Menurut Suhardjo dalam Ilham dan Sinaga (2008), ketahanan pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator, antara lain: (1) tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan, (2) penurunan produksi pangan, (3) tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, (4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, (5) fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, (6) perubahan kehidupan sosial, seperti migrasi, menjual/menggadaikan asset, (7) keadaan konsumsi pangan berupa kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan serta (8) status gizi. Makin besar angka ketersediaan pangan untuk dikonsumsi, makin tersedia pangan di tingkat nasional. Aksesibilitas pangan dapat diproksi dari tingkat konsumsi rumah penduduk yang ada dari data Susenas. Makin tinggi konsumsi penduduk makin tinggi pula akses penduduk tersebut terhadap pangan. Indeks ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dikategorikan seperti terlihat pada tabel berikut: Tabel 4. Indeks Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kontinyuitas ketersediaan pangan Kontinyu Kurang kontinyu Tidak kontinyu
Kualitas/keamanan pangan: Konsumsi protein hewani dan/atau nabati Tidak ada Protein hewani dan Protein nabati konsumsi protein nabati/protein saja hewani, dan hewani saja nabati Tahan Kurang tahan Tidak tahan Kurang tahan Tidak tahan Tidak tahan Tidak tahan
Tidak tahan
commit to user
Tidak tahan
perpustakaan.uns.ac.id
19 digilib.uns.ac.id
Berdasarkan matrik tersebut, maka rumah tangga dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: a.
Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki persedian pangan/makanan pokok secara kontinyu (diukur dari persediaan makan selama jangka masa satu panen dengan panen berikutnya dengan frekuensi makan 3 kali atau lebih per hari serta akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati atau protein hewani saja.
b. Rumah tangga kurang tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki: 1) Kontinyuitas pangan/makanan pokok kontinyu, tetapi hanya mempunyai pengeluaran untuk protein nabati saja 2) Kontinyuitas ketersediaan pangan/makanan kurang kontinyu dan mempunyai pengeluaran untuk protein hewani dan nabati c.
Rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang dicirikan oleh: 1) Kontinyuitas ketersediaan pangan kontinyu, tetapi tidak memiliki pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati 2) Kontinyuitas ketersediaan pangan kontinyu kurang kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein hewani atau nabati, atau tidak untuk kedua-duanya 3) Kontinyuitas ketersediaan pangan tidak kontinyu walaupun memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati 4) Kontinyuitas ketersediaan pangan tidak kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak untuk kedua-duanya (PPK-LIPI, 2004). Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional Tahun 1996,
ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif rumusan, yaitu (i) kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan commit to user anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu, dan ragam sesuai dengan bu-
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
daya setempat dari waktuke waktu agar hidup sehat; (ii) kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari produk sendiri dan atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup; dan (iii) kemampuan
rumah
tangga
untuk
memenuhi
kecukupan
pangan
anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat (Sudrajat, 2010). C. Kerangka Berfikir Pendekatan Masalah Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap saat, baik kuantitas maupun kualitas, aman, bergizi dan terjangkau daya beli masyarakat. Kekurangan pangan tidak hanya dapat menimbulkan dampak sosial, ekonomi, bahkan dapat mengancam keamanan sosial. Persediaan pangan yang cukup secara nasional tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah tangga atau individu. Menurut FAO (1997) dalam Idur (2007), mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi di mana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hal ini berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas dan akses terhadap pangan-pangan utama. Determinan dari ketahanan pangan dengan demikian adalah daya beli atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya hidup. Pada kondisi pendapatan yang terbatas, akan lebih dulu mementingkan kebutuhan konsumsi pangan selain itu juga akan mempengaruhi jumlah pangan yang akan di konsumsi. Seiring dengan pergeseran dan peningkatan pendapatan, proporsi pengeluaran untuk makan akan menurun dan meningkatnya pengeluaran untuk kebutuhan non pangan. Sisa pendapatan untuk pengeluaran pangan dan non pangan akan ditabung untuk investasi. Akan tetapi, pada kelompok masyarakat dengan pandapatan rendah, sebagian besar pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehingga kemungkinan besar mereka tidak menabung. Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari commit to user cukup tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Untuk mengukur derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga, digunakan dua indikator ketahanan pangan, yaitu
proporsi
pengeluaran
pangan
dan
tingkat
konsumsi
energi
(Jonsson dan Toole dalam Rachman dan Ariani, 2002). Adapun skema kerangka teori dan pendekatan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Pendapatan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo Total Pengeluaran Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo
Pengeluaran Bukan Pangan
Pengeluaran Pangan
Proporsi Pengeluaran Pangan Terhadap Total Pengeluaran
Konsumsi Pangan
Tingkat Konsumsi Energi
Tingkat Konsumsi Protein
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo
Gambar 1. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah D. Asumsi Diasumsikan jika energi terpenuhi dari beragam pangan maka zat gizi lain juga terpenuhi. E. Pembatasan Masalah 1. Harga barang baik pangan dan bukan pangan berdasarkan harga saat penelitian dilakukan yaitu pada bulan November-Desember 2011. 2. Pengeluaran pangan dan pengeluaran bukan pangan masing-masing dikonversikan kedalam rata-rata pengeluaran perbulan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman (Undang-Undang No.7 Tahun 1996). 2. Rumah Tangga Miskin menurut BKKBN, Program Keluarga Sejahtera sesuai Inpres No.3 tahun 1996, miskin disebut dengan istilah “kurang sejahtera”, yaitu keluarga yang tergolong Pra Sejahtera dan Sejahtera I. Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data dari Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Sukoharjo. 3. Konsumsi pangan adalah sejumlah makanan atau minuman yang dimakan atau diminum oleh penduduk/seseorang dalam rangka memenuhi kebutuhan fisiknya. Konsumsi pangan dinilai dari konsumsi energi dan protein. 4. Konsumsi non pangan adalah sejumlah barang atau jasa yang dikonsumi oleh rumah tangga miskin yang terdiri dari perumahan, barang dan jasa, pendidikan, kesehatan, sandang, barang tahan lama, pajak, asuransi dan kebutuhan sosial. 5. Pengeluaran pangan adalah sejumlah uang yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangannya dalam satuan rupiah. Pengeluaran pangan rumah tangga terdiri dari pengeluaran untuk padipadian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbubumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, tembakau dan sirih yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. 6. Pengeluaran non pangan adalah sejumlah uang yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan diluar pangannya dalam satuan rupiah. Pengeluaran non pangan terdiri dari pengeluaran untuk perumahan, commit tobiaya user kesehatan, pakaian, alas kaki dan barang dan jasa, biaya pendidikan,
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
tutup kepala, barang tahan lama, pajak dan asuransi, keperluan pesta dan upacara, yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. 7. Pengeluaran total rumah tangga adalah sejumlah uang yang dikeluarkan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya yang diperoleh dari penjumlahan pengeluaran pangan dengan pengeluaran non pangan dalam satuan rupiah per bulan. 8. Proporsi pengeluaran pangan adalah persentase perbandingan antara jumlah pengeluaran yang digunakan untuk pangan dengan jumlah total keseluruhan pengeluaran yang dikeluarkan, yang dinyatakan dalam %. Proporsi atau pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran pangan rumah tangga merupakan indikator ketahanan pangan rumah tangga yang sangat penting. 9. Konsumsi Energi adalah sejumlah energi pangan yang dinyatakan dalam kilokalori (kkal) yang dikonsumsi per orang per hari. 10. Konsumsi Protein adalah sejumlah protein pangan yang dinyatakan dalam gram yang dikonsumsi per orang per hari. 11. Tingkat Konsumsi Energi (TKE) adalah persentase antara perbandingan konsumsi energi dengan Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan dan dinyatakan dalam %. 12. Tingkat Konsumsi Protein (TKP) adalah persentase antara perbandingan konsumsi protein dengan Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan dan dinyatakan dalam %. 13. Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh seseorang atau rata-rata kelompok orang untuk memenuhi kebutuhan. Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.1593/Menkes/SK/IX/2005 yaitu berdasarkan umur dan jenis kelamin. 14. Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) adalah daftar yang menyajikan komposisi bahan makanan untuk menghitung besarnya zat gizi dari bahan makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
15. Ketahanan Pangan Rumah Tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau (UU RI No.7 Tahun 1996). Dalam penelitian ini ketahanan pangan tingkat rumah tangga dilihat dari proporsi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran dan tingkat konsumsi energi (TKE) 16. Recall adalah suatu metode pengukuran konsumsi makanan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Penaksiran jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menyatakan dalam bentuk Ukuran Rumah Tangga (URT), dari URT jumlah pangan dikonversikan kedalam satuan berat (gram) dengan menggunakan daftar URT yang umum berlaku atau dibuat sendiri pada saat survey (Suhardjo dkk, 1988).
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
III.
METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Menurut Surakhmad (1994), metode deskriptif analitis adalah suatu metode yang memusatkan perhatian pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau sekelompok orang tertentu, atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih. Metode deskriptif menurut Surakhmad (1994) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Memusatkan pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalah-masalah yang aktual. 2. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa (karena itu metode ini sering disebut metode analitik). Adapun teknik pelaksanaan penelitian yang digunakan adalah dengan cara survei, penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun dan Effendi, 1995). B. Metode Pengambilan Daerah Penelitian Metode pengambilan daerah sampel dilakukan dengan purposive sampling, yaitu penentuan daerah sampel yang diambil secara sengaja berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tertentu
(Surakhmad,
1994).
Pemilihan daerah penelitian adalah secara purposive sampling berdasarkan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan kecamatan dengan proporsi jumlah KK miskin tertinggi yakni Kecamatan Bulu seperti yang terlihat pada Tabel 3. Penentuan desa dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu to userdaerah sampel kecamatan yaitu sama dengan pertimbangancommit pemilihan
25
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
proporsi jumlah rumah tangga miskin tertinggi. Berikut merupakan data KK miskin menurut desa di Kecamatan Bulu tahun 2009. Tabel 5. Data KK Miskin menurut Desa di Kecamatan Bulu Tahun 2009 Keluarga Pra- Keluarga Sejahtera Sejahtera I 1. Sanggang 323 152 2. Kamal 212 362 3. Gentan 457 250 ) 4. Kedungsono* 397 333 5. Tiyaran 424 361 6. Bulu 305 337 7. Kunden 380 179 ) 8. Puron* 341 261 9. Malangan 418 226 10. Lengking 274 242 11. Ngasinan 477 329 12. Karangasem*) 493 132 Sumber : Kecamatan Bulu dalam Angka 2009/2010. Keterangan : *) : Daerah penelitian No
Desa
Jumlah 475 574 707 730 785 642 559 602 644 516 806 625
Proporsi (%) 64,54 74,64 75,37 75,96 75,85 67,44 64,11 81,02 60,47 68,98 75,05 82,02
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa desa yang mempunyai proporsi jumlah KK miskin tertinggi adalah Desa Karangasem yaitu sebesar 82, 02%, kemudian Desa Puron dengan proporsi KK miskin sebesar 81, 02% dan Desa Kedungsono sebesar 75, 96%. Pemilihan desa dengan melihat proporsi dari jumlah KK miskin tertinggi adalah untuk menghindari kebiasan data, karena untuk jumlah KK miskin tinggi belum tentu menggambarkan keadaan daerah tersebut. Misalkan saja daerah tersebut mepunyai KK miskin tinggi akan tetapi jumlah penduduk di daerah tersebut juga tinggi, jadi akan menjadi wajar, berbeda halnya jika daerah tersebut memiliki KK miskin tinggi akan tetapi jumlah penduduknya sedikit. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dipilih Desa Karangasem, Desa Puron dan Desa Kedungsono. Pemilihan tiga desa di Kecamatan Bulu juga mempunyai maksud agar lebih dapat menggambarkan keadaan di Kabupaten Sukoharjo.
commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Metode Pengambilan Sampel Menurut Singarimbun dan Efendi (1995), data yang dianalisis harus menggunakan jumlah sampel yang cukup besar sehingga dapat mengikuti distribusi normal. Sampel yang jumlahnya besar yang distribusinya normal adalah sampel yang jumlahnya minimal 30. Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo berdasarkan kriteria data dari BKKBN. Penentuan jumlah sampel rumah tangga miskin dari desa terpilih dilakukan secara proporsional, yaitu penentuan jumlah sampel berdasarkan jumlah populasinya dengan menggunakan rumus : Ni =
Nk x 30 N
Dimana : Ni
: Jumlah rumah tangga miskin sampel
Nk
: Jumlah rumah tangga miskin di tiap kelurahan
N
: Jumlah rumah tangga miskin diseluruh kelurahan Berdasarkan rumus tersebut, maka jumlah sampel dari setiap kelurahan
adalah sebagai berikut : Tabel 6. Jumlah Sampel Responden KK Miskin Tiap Kelurahan Kelurahan Karangasem Puron Kedungsono Jumlah
Jumlah KK Miskin 625 605 730 1960
Jumlah Sampel (KK) 10 9 11 30
Sumber: Analisis Data Sekunder Berdasarkan Tabel 6, maka jumlah responden dari Desa Karangasem sebanyak 10 orang, dari Desa Puron sebanyak 9 orang, dan untuk Desa Kedungsono sebanyak 11 orang, sehingga jumlah responden untuk penelitian ini sebanyak 30 orang. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Simple Random Sampling yang merupakan cara pemilihan sampel dimana anggota dari populasi dipilih satu persatu secara acak, sehingga semua commit to user anggota populasi mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih.
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pemilihan rumah tangga sampel ditentukan dengan undian, yaitu dengan cara menuliskan nama masing-masing kepala keluarga yang ada di setiap kelurahan terpilih pada secarik kertas kemudian menggulungnya dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak. Kotak tersebut kemudian dikocok dan diambil satu gulungan kertas. Nama kepala keluarga yang terambil akan menjadi responden yang diteliti. Demikian seterusnya hingga terpenuhi jumlah sampel yang dikehendaki D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 1. Jenis Data a. Data Primer Data primer yaitu data penelitian yang berasal dari sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data dan dilakukan dengan teknik survei menggunakan kuesioner. Kuesioner merupakan instrumen pengumpulan data dengan cara memberi pertanyaanpertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawab. Data primer dalam penelitian ini meliputi identitas rumah tangga responden, pendapatan rumah tangga, serta pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pangan dan non pangan. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data pendukung yang telah tersedia dalam berbagai bentuk, dan diperoleh dengan cara mengutip laporan maupun dokumen lain yang sudah ada pada lembaga atau instansi yang berhubungan dengan penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sukoharjo meliputi data Kabupaten Sukoharjo dalam Angka 2010 dan 2011, Kecamatan Bulu dalam Angka 2009/2010. Selain itu data juga diperoleh dari instansi Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo serta dari Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Sukoharjo. commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Dilakukan dengan cara mengamati secara langsung objek penelitian yang berupa kondisi wilayah dan responden (rumah tangga miskin). b. Wawancara Teknik wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data primer melalui tanya jawab langsung kepada responden (rumah tangga miskin) dengan bantuan daftar pertanyaan atau kuesioner yang sudah disiapkan sebelumnya dan catatan sebagai alat bantu sehingga didapatkan gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti. c. Pencatatan Pengumpulan data dengan cara mencatat data, baik dari responden langsung maupun dari data yang ada pada instansi pemerintah atau lembaga yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian. d. Recall Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh data konsumsi pangan dengan cara mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada masa lalu (24 jam yang lalu). E. Metode Analisis Data 1. Analisis
Proporsi Pengeluaran
Konsumsi Pangan
terhadap Total
Pengeluaran Proporsi pengeluaran konsumsi pangan adalah proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan terhadap total pengeluaran. Total pengeluaran didapatkan dengan menjumlahkan antara besarnya pengeluaran untuk pangan dan non pangan. Untuk mengetahui proporsi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran didapatkan dengan perhitungan rumus :
Qp =
Kp x 100 commit % to user å Pt
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan : Qp = Proporsi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran (%) Kp = Pengeluaran pangan (Rupiah) Pt = Pengeluaran Total (Rupiah) 2. Analisis Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Miskin Konsumsi dapat diketahui dengan melihat besarnya konsumsi pangan
masing-masing
rumah
tangga
miskin
yang
kemudian
dikonversikan kedalam bentuk konsumsi energi (kkal/orang/hari) dan protein
(gram/orang/hari).
Pengkonversian
dilakukan
dengan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Penilaian konsumsi pangan rumah tangga dapat dilihat dari dua sisi, yaitu kualitas dan kuantitas konsumsi pangan. Dalam penelitian ini, penilaian konsumsi pangan akan dilihat dari aspek kuantitas pangan untuk menentukan ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Kuantitas konsumsi pangan dapat diukur dari zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan. Data konsumsi pangan dapat diperoleh menggunakan recall method selama 1 x 24 jam (Supariasa, 2002). Dalam metode ini, responden diminta menceritakan semua pangan yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu. Jumlah konsumsi pangan dinyatakan dengan URT (Ukuran Rumah Tangga) seperti sendok, gelas, potong, dan sebagainya. URT akan dikonversi ke dalam satuan gram sesuai dengan ukuran yang berlaku di daerah penelitian. Secara umum penilaian jumlah zat gizi yang dikonsumsi dihitung sebagai berikut
Gij =
BPj x 100
Bdd j 100
x KGij
Dimana: Gij
: Jumlah energi atau protein yang dikonsumsi dari pangan j (energi dalam satuan kilokalori dan protein dalam satuan gram)
BPj
: Berat pangan j yang dikonsumsi (gram) to dari user100 gram pangan j (%) Bddj : Bagian yang dapatcommit dimakan
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
KGij : Kandungan energi atau protein per 100 gram pangan j yang dikonsumsi (energi dalam satuan kilokalori dan protein dalam satuan gram) Sesuai dengan rumus diatas maka untuk menilai konsumsi energi dapat di gunakan rumus sebagai berikut :
Gej =
BPj x 100
Bdd j 100
x KGej
Sedangkan konsumsi protein dapat dirumuskan sebagai berikut
Gpj =
BPj x 100
Bdd j 100
x KGpj
Kuantitas konsumsi pangan ditinjau dari volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung dalam bahan pangan. Kedua hal ini digunakan untuk mengetahui apakah konsumsi pangan sudah cukup memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat (AKG). Untuk menilai konsumsi pangan secara kuantitatif digunakan parameter Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP). TKE=
TKP=
å KonsumsiEnergi AKE yang dianjurkan
x 100%
å KonsumsiProtein x 100%
AKP yang dianjurkan
Dimana : TKE
: Tingkat Konsumsi Energi (%)
TKP
: Tingkat Konsumsi Protein (%)
Σ Konsumsi Energi
: Jumlah Konsumsi Energi (kkal/orang/hari)
Σ Konsumsi Protein
: Jumlah Konsumsi Protein (gram/orang/hari)
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.1593/Menkes/SK/IX/2005. yaitu berdasarkan umur dan jenis kelamin, yang dapat dilihat pada Tabel 7 : commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 7. Daftar Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP) Berdasar Umur dan Jenis Kelamin No. Kelompok Umur Energi (kkal) Protein (gram) 1. Anak 0 - 6 bulan 550 10 7 - 11 bulan 650 16 1 - 3 tahun 1.000 25 4 - 6 tahun 1.550 39 7 - 9 tahun 1.800 45 2. Laki-Laki 10 - 12 tahun 2.050 50 13 - 15 tahun 2.400 60 16 - 18 tahun 2.600 65 19 - 29 tahun 2.550 60 30 - 49 tahun 2.350 60 50 - 64 tahun 2.250 60 65+ tahun 2.050 60 3. Wanita 10 - 12 tahun 2.050 50 13 - 15 tahun 2.350 57 16 - 18 tahun 2.200 55 19 - 29 tahun 1.900 50 30 - 49 tahun 1.800 50 50 - 64 tahun 1.750 50 65+ tahun 1.600 45 4. Hamil (+an) Trisemester 1 +180 +17 Trisemester 2 +300 +17 Trisemester 3 +300 +17 5. Menyusui (+an) 6 bulan pertama +500 +17 6 bulan kedua +550 +17 Sumber : Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.1593 Tahun 2005 Tingkat konsumsi gizi diklasifikasikan berdasarkan pada nilai ragam kecukupan gizi yang dievaluasi secara bertingkat berdasarkan acuan Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas, Depkes (1990) dalam Supariasa (2002) yaitu: a. Baik
: TKG ≥ 100% AKG
b. Sedang
: TKG 80-99%AKG
c. Kurang
: TKG 70-80%AKG
d. Defisit
: TKG <70commit AKG to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Analisis Hubungan Proporsi Pengeluaran Pangan dari Total Pengeluaran dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE) Proporsi pengeluaran untuk pangan mempunyai hubungan terhadap kecukupan energi yang dikonsumsi oleh setiap rumah tangga. Konsumsi energi akan berbeda pada proporsi pengeluaran yang berbeda. Hal ini dapat diketahui dengan analisis korelasi menggunakan program SPSS. Tingkat keeratan hubungan r memiliki nilai -1 hingga 1. Jika r mendekati 1 maka dapat dikatakan bahwa variabel-variabel memiliki hubungan erat. Tanda positif (+) dan (-) menunjukkan sifat hubungan dimana tanda (+) menunjukkan hubungan positif yaitu searah sedangakan tanda (-) menunjukkan hubungan yang negatif atau berlawanan. Alhusin (2003) mengelompokkan nilai r dalam kategori sebagai berikut : a. 0 – 0,20
: Korelasi sangat rendah (hampir tidak ada hubungan)
b. 0,21 – 0,40 : Korelasi rendah c. 0,41 – 0,60 : Korelasi sedang d. 0,61 – 0,80 : Korelasi cukup tinggi e. 0,91 – 1,00 : Korelasi tinggi Untuk menguji probabilitas (tingkat signifikasi) dari hasil koefisien korelasi menggunakan hipotesis : Ho: probabilitas r > 0,05 Ha: probabilitas r < 0,05 Kriteria pengujian yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Ho diterima jika probabilitas r > 0,05, berarti besarnya konsumsi energi dan protein tidak berhubungan dengan proporsi pengeluaran pangan rumah tangga miskin (tidak terdapat korelasi). b. Ho ditolak dan Ha diterima jika probabilitas r < 0,05, berarti besarnya konsumsi energi dan protein mempunyai hubungan dengan proporsi pengeluaran pangan rumah tangga miskin (terdapat korelasi). 4. Analisis Ketahanan Pangan Indikator yang digunakan untuk mengukur derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga adalah klasifikasi silang dua indikator to user ketahanan pangan, yaitucommit proporsi pengeluaran pangan dan tingkat
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konsumsi energi. Kategori rumah tangga berdasarkan indikator ketahanan pangan dapat dilihat pada Tabel 8 : Tabel 8. Kategori Rumah Tangga Berdasarkan Indikator Ketahanan Pangan Proporsi Pengeluaran Pangan Konsumsi Energi Cukup (> 80% kecukupan energi) Kurang (≤ 80% kecukupan energi)
Rendah (< 60% pengeluaran total) 1. Tahan Pangan
Tinggi (≥ 60% pengeluaran total) 2. Rentan Pangan
3. Kurang Pangan
4. Rawan Pangan
commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
VI. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Keadaan Alam Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang mempunyai luas 46.666 Ha atau sekitar 1,43% luas wilayah Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Polokarto yaitu 6.218 Ha (13%), sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Kartasura seluas 1.923 Ha (4%) dari luas Kabupaten Sukoharjo. Secara geografis Kabupaten Sukoharjo terletak pada koordinat sebagai berikut : Bagian ujung sebelah timur
: 110 57’ 33.70”BT
Bagian ujung sebelah barat
: 110 42’ 6.79”BT
Bagian ujung sebelah utara
:
7 32’ 17.00”LS
Bagian ujung sebelah selatan
:
7 49’ 32.00”LS
Kabupaten Sukoharjo terbagi dalam 12 kecamatan, 150 desa dan 17 kelurahan, 2.071 dukuh, 1.474 Rukun Warga (RW) dan 4.517 Rukun Tetangga (RT). Kecamatan Polokarto merupakan kecamatan dengan jumlah desa terbanyak yaitu 17 desa dan kecamatan dengan jumlah desa terkecil adalah Kecamatan Bulu, Kecamatan Tawangsari dan Kecamatan Kartasura dengan masing-masing jumlah desa sebanyak 12 desa. Adapun batas wilayah Kabupaten Sukoharjo dibatasi oleh enam kabupaten/ kota, diantaranya adalah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar
Sebelah Timur
: Kabupaten Karanganyar
Sebelah Selatan
: Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Gunung Kidul (DIY)
Sebelah Barat
: Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten
Kabupaten Sukoharjo memiliki hari hujan tertinggi adalah 21 hari yaitu pada bulan Januari, sedangkan terendah pada bulan Agustus dan September yaitu 0 hari. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Sukoharjo commit to user pada tahun 2009 terjadi pada bulan Januari yaitu mencapai tinggi 24 mm,
35
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus dan September yaitu 0 mm. B. Keadaan Penduduk Gambaran tentang penduduk Kabupaten Sukoharjo dapat diuraikan dari penjelasan mengenai jumlah dan pertumbuhan penduduk, komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin, serta komposisi penduduk menurut lapangan usaha utama. 1. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Data kependudukan merupakan data pokok yang dibutuhkan baik kalangan pemerintah maupun swasta sebagai bahan untuk perencanaan dan evaluasi hasil-hasil. Gambaran tentang keadaan penduduk di Kabupaten Sukoharjo dapat diuraikan dari jumlah dan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sukoharjo. Berikut merupakan data jumlah dan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sukoharjo. Tabel 9. Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Penduduk (Jiwa) 826.289 831.613 837.279 843.127 846.978
Pertumbuhan Penduduk (%) 0,62 0,64 0,68 0,70 0,46
Sumber : Kabupaten Sukoharjo dalam Angka, BPS Tahun 2011 Tabel 9 menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sukoharjo selama lima tahun rata-rata mengalami peningkatan. Selama kurun waktu 2006 hingga 2010, pertumbuhan penduduk terbesar terjadi pada tahun 2009 yaitu mencapai 0,70%. Pertumbuhan penduduk yang paling kecil terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 0,46%. Pertumbuhan ini disebabkan karena adanya kelahiran, selain itu karena kematian. Sedangkan pada tahun 2010 menunjukan penurunan persentase pertumbuhan penduduk dari 0,70% menjadi 0,46%, hal ini menunjukan bahwa kinerja dari berbagai pihak commit to user jumlah pertumbuhan penduduk yang mendukung program penekanan
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bekerja dengan maksimal. Berikut merupakan data kelahiran dan kematian di Kabupaten Sukoharjo selama kurun waktu lima tahun. Tabel 10. Jumlah Kelahiran dan Kematian Penduduk di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Kelahiran Jumlah 8.658 9.451 10.320 10.490 10.226
% 0 8,39 8,42 1,62 -2,58
Kematian Jumlah 4.590 4.867 5.175 5.243 5.600
% 0 5,69 5,95 1,30 6,38
Sumber : Kabupaten Sukoharjo dalam Angka, BPS Tahun 2011 Tabel 10 menunjukkan pada tahun 2010 jumlah kelahiran mencapai 10.226 jiwa, jumlah ini terbilang tinggi dibanding dengan tahun 2006 dan 2007 yang mencapai 8.658 jiwa dan 9.451 jiwa. Akan tetapi tingkat kelahiran di tahun 2010 memiliki tingkat terendah dibanding dengan tahun-tahun lainnya yaitu mencapai -2,58%, selain itu tingkat kematian pada tahun ini juga tinggi jika dibanding dengan tahun-tahun lainnya. Hal ini merupakan salah satu faktor rendahnya pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2010. 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin Faktor
umur
dan
jenis
kelamin
secara
tidak
langsung
mempengaruhi tingkat produktivitas kerja seseorang, sehingga dapat diketahui jumlah penduduk usia kerja, beban tanggungan, dan struktur penduduk. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sukoharjo, golongan umur nonproduktif adalah golongan umur antara 0-14 tahun dan golongan umur lebih dari atau sama dengan 65 tahun. Sedangkan golongan umur produktif adalah golongan umur 15-64 tahun. Berikut merupakan data jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Sukoharjo.
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 11. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010 Laki-laki Perempuan Laki-Laki + Perempuan Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Presentase (Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%) 104.422 12,33 99.439 11,74 203.861 24,07 283.359 33,45 290.916 34,35 574.275 67,80 31.657 3,74 37.185 4,39 68.842 8,13 419.438 49,52 427.540 50,48 846.978 100
Kelompok umur 0 – 14 15 – 64 ≥ 65 Jumlah
Sumber : Kabupaten Sukoharjo dalam Angka, BPS Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 11, terlihat bahwa kelompok umur produktif yaitu golongan umur 15-64 tahun mendominasi jumlah penduduk di Kabupeten Sukoharjo yakni mencapai 574.275 jiwa (67,80%). Golongan umur produktif merupakan bagian dimana pada rentan umur ini dianggap mampu untuk melakukan suatu aktivitas yang dapat menghasilkan pendapatan. Kemudian diikuti oleh golongan umur 0-14 tahun yaitu sebanyak 203.861 jiwa (24,07%) dan terakhir adalah golongan umur lebih dari sama dengan 65 tahun yaitu sebanyak 68.842 jiwa (8,13%). Angka beban tanggungan di Kabupaten Sukoharjo dapat dihitung dengan rumus : ABT
=
Penduduk (0 - 14 th) + Penduduk (³ 65 th ) x 100% Penduduk (15 - 64 th)
=
203.861+ 68.842 x 100% 574.275
= 47,48 % Angka beban tanggungan penduduk di Kabupaten Sukoharjo adalah 47,48 %. Artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif (antara 15-64 tahun) di Kabupaten Sukoharjo menanggung 47 orang penduduk berusia nonproduktif (usia 0-14 tahun dan usia 65 tahun ke atas) di wilayah tersebut. Menurut jenis kelamin, penduduk perempuan lebih banyak di banding dengan laki-laki, yaitu 427.540 jiwa (50,48%) untuk penduduk perempuan dan 419.438 jiwa (49,52%) untuk laki-laki. Kelompok penduduk untuk usia produktif, penduduk laki-laki lebih commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sedikit dibanding dengan perempuan, yaitu laki-laki sebanyak 283.359 jiwa (33,45%), sedangkan untuk perempuan sebesar 290.916 jiwa (34,35%). Hal ini menunjukkan bahwa penawaran tenaga kerja wanita di Kabupaten Sukoharjo lebih besar dibanding dengan tenaga kerja laki-laki. Dari jumlah penduduk laki-laki dan perempuan, dapat diketahui angka sex ratio di Kabupaten Sukoharjo. Sex ratio adalah suatu angka yang menunjukkan perbandingan jumlah penduduk lakilaki dan perempuan di suatu daerah. Berikut merupakan rumus untuk mencari sex ratio di Kabupaten Sukoharjo : Sex Ratio =
Jumlah penduduk laki - laki x 100% Jumlah penduduk perempuan
=
419.438 x 100% 427.540
= 98,10% Angka sex ratio penduduk di Kabupaten Sukoharjo adalah sebesar 98,10%. Artinya pada setiap orang penduduk perempuan di Kabupaten Sukoharjo terdapat 98 orang penduduk laki-laki. 3. Komposisi Penduduk Menurut Lapangan Usaha Utama Keadaan mata pencaharian penduduk suatu wilayah dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia dan kondisi sosial ekonomi seperti ketrampilan yang dimiliki, tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan dan modal yang ada. Keadaan penduduk menurut lapangan usaha utama di Kabupaten Sukoharjo ditunjukkan tabel berikut.
commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 12. Penduduk Umur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Listrik Gas dan Air Konstruksi Perdagangan Komunikasi Keuangan Jasa Total
Laki-laki (Jiwa) 48.719 0
Perempuan (Jiwa) 27.193 0
Jumlah (Jiwa) 75.912 0
Prosentase (%) 19,19 0
42.277 1.417
61.033 -
103.310 1.417
26,12 0,36
30.118 46.681 14.031 5.460 30.799 219.502
707 54.791 3.545 2.936 25.819 176.024
30.825 101.472 17.576 8.396 56.618 395.526
7,80 25,66 4,44 2,12 14,31 100,00
Sumber : Kabupaten Sukoharjo dalam Angka, BPS Tahun 2011 Tabel 12 menunjukkan bahwa seperempat lebih penduduk umur 15 tahun ke atas di Kabupaten Sukoharjo bekerja pada lapangan usaha di bidang industri yaitu sebesar 103.310 jiwa (26,12%), yang di dominasi oleh penduduk perempuan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar industri yang ada di Kabupaten Sukoharjo adalah perusahaan yang bergerak di bidang garment dan industri rumah tangga yang rata-rata mempekerjakan para perempuan, sehingga perempuan lebih mendominasi dalam bidang ini. Kemudian dikuti oleh lapangan usaha di bidang perdagangan yaitu sebesar 101.472 jiwa (25,66%). Sama halnya dengan di bidang industri, untuk bidang perdagangan lebih di dominasi oleh kaum perempuan yang mencapai 54.791 jiwa. Bidang pertanian menempati urutan ketiga dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar 75.912 jiwa (19,19%). Lain halnya dengan bidang industri dan perdagangan, di bidang pertanian ini lebih di dominasi oleh kaum laki-laki yang mencapai 48.719 jiwa. Rendahnya bidang pertanian menyerap tenaga kerja dibanding dengan bidang usaha lain disebabkan karena semakin banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi non pertanian sehingga mengakibatkan lahan pertanian menjadi sempit dan banyak masyarakat commit to user yang lebih memilih untuk bekerja di bidang industri dibanding di
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bidang pertanian karena semakin luasnya kawasan industri di Kabupaten
Sukoharjo. Sedangkan
lapangan
usaha di bidang
pertambangan dan galian sama sekali tidak ada. C. Keadaan Perekonomian Perkembangan perekonomian dapat dilihat salah satunya dari besarnya Produk Domestik Regional Bruto dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2008 perekonomian Kabupaten Sukoharjo tumbuh sebesar 4,84%, lebih rendah apabila dibandingkan dengan tahun 2007 yang tumbuh sebesar 5,11%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini sejalan dengan perlambatan perekonomian nasional akibat dampak dari krisis finansial di akhir tahun 2008. Berikut merupakan PDRB Kabupaten Sukoharjo menurut lapangan usaha utama atas harga berlaku tahun 2008-2009. Tabel 13. PDRB Kabupaten Sukoharjo Menurut Lapangan Usaha Atas Harga Berlaku Tahun 2008-2009 (Jutaan Rupiah) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
Tahun 2008 1.571.001,22 64.866,44 2.373.783,75 138.731,96 403 303.76 2.072.979,21
% 19,54 0,81 29,52 1,73 5,02 25,78
2009 1.740.526,35 68.794,75 2.595.982,24 156.109,68 463.329,05 2.304.657,31
% 19,51 0,77 29,10 1,75 5,19 25,84
465.071,20 279.174,26
5,78 3,47
507.532,29 318.237,69
5,69 3,57
672.364,56 7.637.972,60
8,36 100
765.592,54 8.920.761,90
8,58 100
Sumber : Kabupaten Sukoharjo dalam Angka, BPS Tahun 2011 Pembangunan di sektor industri merupakan prioritas utama pembangunan ekonomi. Sektor industri memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian Kabupaten Sukoharjo, dengan distribusi terhadap PDRB Kabupaten Sukoharjo tahun 2008 sebesar 29,10%, meskipun mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Sektor pertanian sendiri berada pada urutan ketiga setelah sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 19,51%. Kontribusi PDRB dari sektor pertanian pun turun dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 19,54%. Hal ini disebabkan karena banyaknya lahan pertanian yang dialih fungsikan menjadi sektor commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
non pertanian. Kondisi ini terlihat dengan semakin luasnya kawasan industri di Kabupaten Sukoharjo, selain itu banyak pembangunan untuk pembuatan perumahan yang banyak diantaranya mengalihfungsikan lahan pertanian. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kontribusi dari sektor pertanian terhadap PDRB di Kabupaten Sukoharjo mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. D. Keadaan Pertanian Kabupaten Sukoharjo memiliki luas tanah sebesar 46.666 Ha yang terbagi menjadi 12 Kecamatan, 150 Desa dan 17 Kelurahan, 2.071 Dukuh, 1.474 Rukun Warga (RW) dan 4.517 Rukun Tetangga (RT). Berdasarkan luas tersebut Kabupaten Sukoharjo terdiri dari 21.287 Ha lahan sawah dan 25.379 Ha lahan bukan sawah. Data lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 14. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010 No A.
B.
Penggunaan Lahan Lahan Sawah 1. Irigasi Teknis 2. Irigasi ½ Teknis 3. Irigasi Sederhana 4. Tadah Hujan Lahan Bukan Sawah 1. Pekarangan 2. Tegal/ Kebun 3. Ditanami pohon/ hutan rakyat 4. Tambak 5. HN 6. PBS/ PBN 7. Lain-lain Jumlah Total
Luas (Ha) 21.287 14.930 1.902 2.021 2.434 25.379 16.058 4.445 1.058 38 350 708 2.682 46.666
Persentase (%) 45,62 31,99 4,08 4,33 5,22 54,38 34,41 9,53 2,27 0,08 0,84 1,52 5,75 100
Sumber : Kabupaten Sukoharjo dalam Angka, BPS Tahun 2011 Tabel 14 menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Kabupaten Sukoharjo terbagi menjadi dua yaitu lahan sawah dan lahan bukan sawah, untuk pembagian lahan sawah yang mempunyai luas sebesar 21.287 Ha terbagi menjadi empat lahan dengan urutan luas lahan dari yang terbesar yakni lahan sawah irigasi teknis, sawah irigasi sederhana, sawah tadah hujan dan sawah irigasi ½ teknis. Penggunaan lahan sawah terbesar adalah commit to user sawah irigasi teknis dengan luas 14.930 Ha (31,99%) dari luas keseluruhan
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
wilayah di Kabupaten Sukoharjo. Sedangkan penggunaan luas lahan sawah terkecil adalah sawah irigasi ½ teknis dengan luas sebesar 1.902 Ha (4,08%) dari luas keseluruhan. Penggunaan lahan bukan sawah di Kabupaten Sukoharjo terbagi menjadi enam lahan, diantaranya pekarangan, tegal/ kebun, ditanami pohon/ hutan rakyat, tambak, HN, dan PBS/ PBN. Berdasarkan luas keseluruhan lahan bukan sawah, pekarangan memiliki luas terbesar di banding dengan lahan lain yaitu sebesar 16.058 Ha (34,41%). Pekarangan yang dimiliki biasanya dimanfaatkan pemiliknya untuk ditanami tanaman buah-buahan seperti mangga, sawo, jambu, dan lain-lain. Selain itu mereka memanfaatkan lahan yang ada untuk ditanami tanaman sayur-sayuran. Sedangkan untuk lahan terkecil dari lahan bukan sawah ini adalah tambak. E. Kondisi Kemiskinan Menurut BKKBN kriteria keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin adalah Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS-I). Berikut merupakan data kemiskinan di Kabupaten Sukoharjo selama kurun waktu lima tahun menurut BKKBN. Tabel 15. Jumlah dan Proporsi Kemiskinan menurut BKKBN di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Keluarga PraSejahtera Jumlah Proporsi(%) 48.930 23,00 50.373 23,00 52.060 24,00 52.620 24,00 51.180 22,35
Keluarga Sejahtera I Jumlah 47.241 45.276 46.566 46.232 45.598
Proporsi(%) 22,21 20,92 21,21 20,78 19,91
KK Miskin Jumlah Proporsi(%) 96.171 45,22 95.649 44,20 98.626 44,93 98.852 44,44 96.778 42,27
Sumber: BPS Kabupaten Sukoharjo, 2011 Tabel 15 menunjukkan bahwa kondisi kemiskinan di Kabupaten Sukoharjo menurut data BKKBN selama lima tahun terakhir mengalami fluktuatif. Proporsi terbesar jumlah kemiskinan terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 45,22% dengan jumlah sebanyak 96.171 keluarga. Pada tahun 2010, proporsi kemiskinan di Kabupaten mengalami penurunan menjadi 42,27% dengan commit jumlah tosebanyak 96.778 keluarga. Meskipun user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jumlah kemiskinan bertambah akan tetapi untuk proporsi kemiskinan pada tahun ini berkurang, hal ini disebabkan karena semakin banyaknya jumlah keluarga dari tahun 2006 sampai dengan 2010. Semakin berkurangnya proporsi kemiskinan di Kabupaten Sukoharjo menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga di Kabupaten Sukoharjo semakin meningkat.
commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Rumah Tangga Responden Karakteristik rumah tangga responden merupakan keadaan yang menggambarkan kondisi umum, maupun latar belakang rumah tangga responden. Karakteristik rumah tangga responden meliputi data-data yang mencakup mengenai identitas responden dan seluruh anggota responden. Berikut merupakan data mengenai karakteristik rumah tangga responden di Kabupaten Sukoharjo. Tabel 16. Karakteristik Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo No. Uraian 1. Umur (tahun) a. Suami b. Istri 2. Tingkat Pendidikan (Tahun) a. Suami b. Istri 3. Jumlah anggota keluarga (orang)
Rata-rata 48 35 6 5 3
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 1) Tabel 16 menunjukkan bahwa rata-rata umur suami 48 tahun sedangkan untuk istri 35 tahun. Rata-rata umur suami dan istri responden masih berada pada usia produktif, sehingga mereka masih mampu untuk melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka. Sebagian besar responden bekerja sebagai buruh, baik buruh tani ataupun buruh bangunan, tergantung ada tidaknya pekerjaan. Selain itu, sebagian istri dari responden adalah pedagang yang rata-rata merantau. Pendidikan formal merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap seseorang untuk menguasai suatu pengetahuan dan wawasan. Tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri responden rata-rata adalah lulusan Sekolah Dasar (SD), dan termasuk masih rendah. Hal ini akan mempengaruhi pola pikir serta bagaimana mereka mengambil keputusan. Baik dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka, yang pada commit to user akhirnya akan berpengaruh pada konsumsi dan pola makan. Rendahnya
45
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tingkat pendidikan mereka salah satunya disebabkan karena faktor ekonomi. Tingkat pendidikan dari responden yang rata-rata adalah lulusan SD mampu menggambarkan kondisi tingkat pendidikan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo, hal ini sesuai dengan data tingkat pendidikan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo untuk lulusan SD atau SLTP mencapai 35,57% dari total rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo. Besarnya tingkat lulusan SD atau SLTP ini berada pada tingkat dua setelah tingkat pendidikan tidak tamat SD yakni sebesar 35,68%. Sedangkan sisanya untuk pendidikan SLTA atau lebih yaitu sebesar 28,76%. Tingkat
pendidikan
seorang ibu
akan
sangat
mempengaruhi
bagaimana pola konsumsi pangan suatu rumah tangga, karena biasanya mereka yang menentukan dan mengolah makanan yang akan disajikan, dan tentunya disesuaikan dengan pendapatan rumah tangga mereka. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ibu akan berpengaruh pada pengetahuan yang dimiliki sehingga mereka mampu untuk mengambil keputusan untuk mengolah makanan yang baik untuk keluarganya, karena makanan merupakan sumber energi untuk anggota keluarganya melakukan aktivitas dan pada akhirnya akan menentukan produktivitas mereka. Akan tetapi dalam rumah tangga responden tidak semua keputusan dalam mengolah makanan di ambil oleh ibu rumah tangga mereka. Hal ini disebabkan sebagian dari istriistri responden memiliki pekerjaan di luar wilayah Kabupaten Sukoharjo atau merantau, selain itu karena status mereka yang sebagian sudah tidak memiliki pendamping. Sehingga keputusan dalam rumah tangga dalam mengambil keputusan untuk mengolah makanan di ambil oleh kepala rumah tangga atau anak perempuan mereka yang dianggap sudah mampu untuk mengolah makanan. Terkecuali jika istri dari responden pulang dari merantau, mereka yang akan menentukan jenis konsumsi dan mengolah makanan dalam rumah tangga mereka. Rumah tangga terdiri dari kepala keluarga, istri, anak dan anggota keluarga lain. Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi jumlah user pengeluaran baik pengeluarancommit pangantomaupun non pangan. Semakin banyak
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jumlah anggota keluarga maka akan semakin banyak pula pengeluaran untuk rumah tangga tersebut. Berikut merupakan data distribusi jumlah anggota rumah tangga responden di Kabupaten Sukoharjo. Tabel 17.
Jumlah Anggota Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo
Jumlah Anggota Rumah Tangga 1–2 3–4 ≥5 Total
Jumlah 9 18 3 30
Persentase (%) 30 60 10 100,00
Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 1) Jumlah anggota rumah tangga responden paling banyak adalah antara 3 hingga 4 orang yaitu sebesar 60 % atau 18 rumah tangga. Biasanya terdiri dari ayah sebagai kepala keluarga, ibu, anak dan angota keluarga lain. Sedangkan 30% lainnya atau sebanyak 9 rumah tangga berjumlah 1 hingga 2 orang anggota rumah tangga, untuk sisanya sebesar 10% atau sebanyak 3 rumah tangga berjumlah lebih dari sama dengan 5 orang. B. Pendapatan Rumah Tangga Responden Pendapatan rumah tangga merupakan sejumlah uang yang diperoleh oleh masing-masing anggota rumah tangga dari pekerjaan yang dilakukan dalam satu bulan. Rata-rata pendapatan rumah tangga responden adalah sebesar Rp 1.003.333,33 (lampiran 1). Sumber pendapatan rumah tangga berasal dari suami sebagai kepala rumah tangga, istri, anak, dan anggota keluarga lain. Banyak jenis pekerjaan yang dilakukan untuk para kepala keluarga diantaranya buruh tani, buruh bangunan dan berbagai pekerjaan serabutan yang mampu untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Sedangkan untuk pekerjaan istri rata-rata adalah pedagang. Selain pendapatan dari suami dan istri, pendapatan rumah tangga juga berasal dari anak, baik yang merantau ataupun masih tinggal dalam satu rumah. Pendapatan lain berasal dari anggota keluarga lain yang tinggal dalam satu rumah, diantaranya bekerja sebagai buruh. Pendapatan yang diperoleh rumah tangga ini di dominasi oleh pendapatan dari kepala rumah tangga, commit to user sedangkan ibu dan anak-anak yang sebagian merantau mereka hanya
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengirimkan uang dalam jangka waktu satu bulan atau ketika kepala rumah tangga merasa benar-benar membutuhkan uang karena pekerjaan mereka yang tidak menentu atau mengikuti musim. Berikut merupakan data distribusi pendapatan rumah tangga responden di Kabupaten Sukoharjo Tabel 18. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Responden Di Kabupaten Sukoharjo No. Pendapatan 1 Rp 100.000 – Rp 500.000 2 Rp 600.000 – Rp 1.000.0000 3 Rp 1.100.000 – Rp 1.500.000 Jumlah
Jumlah Rumah Tangga 4 13 13 30
Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 1) Tabel 18 menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga responden rata-rata berada pada tingkat pendapatan antara Rp 600.000,00 hingga Rp 1.000.000,00 dan pada tingkat pendapatan Rp 1.100.000,00 hingga Rp 1.500.000,00 yaitu sejumlah 13 rumah tangga. Sedangkan sisanya sebanyak empat rumah tangga mempunyai tingkat pendapatan antara Rp 100.000,00 hingga Rp 500.000,00. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga ini disebabkan karena di dalam rumah tangga tersebut hanya ada satu orang atau satu anggota rumah tangga, sehingga pendapatan yang diperoleh juga tidak tinggi. Tingkat pendapatan suatu rumah tangga akan sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi atau tingkat pengeluaran baik pangan ataupun non pangan suatu rumah tangga. Rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah akan lebih mengutamakan untuk konsumsi pangan daripada non pangan, selain itu mereka akan lebih mementingkan kuantitas dari makanan yang dianggap dapat mengenyangkan daripada kualitas gizi yang terkandung dalam makanan tersebut. Berbeda halnya untuk rumah tangga dengan pendapatan tinggi mereka tidak hanya mementingkan kuantitas tetapi kualitas atau gizi yang terkandung dalam makanannya. Hal ini sesuai dengan Hukum Engel yang menyatakan dengan asumsi selera seseorang adalah tetap, proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan akan semakin kecil seiring commit to user dengan semakin meningkatnya pendapatan (Ariani dan Purwantini, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
C. Pengeluaran Rumah Tangga Responden Pengeluaran rumah tangga adalah besarnya jumlah uang yang dikeluarkan suatu rumah tangga untuk konsumsi. Pengeluaran rumah tangga terdiri dari dua yaitu pengeluaran pangan dan non pangan. Berikut merupakan rata-rata pengeluaran pangan rumah tangga responden selama satu bulan. Tabel 19. Rata-Rata Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 No. Pengeluaran Pangan Rata-Rata (Rp/Bln) Proporsi (%) 1. Padi-padian 184.425,00 30,07 2. Umbi-umbian 2.550,00 0,42 3. Ikan 8.233,33 1,31 4. Daging 13.316,67 2,17 5. Telur dan susu 17.133,33 2,79 6. Sayur-sayuran 71.100,00 11,55 7. Kacang-kacangan 57.900,00 9,28 8. Buah-buahan 2.033,33 0,33 9. Minyak dan lemak 42.575,00 6,94 10. Minuman 35.383,33 5,77 11. Bumbu-bumbuan 50.780,00 8,28 12. Konsumsi lain 33.310,00 5,43 13. Makanan dan minuman jadi 33.800,00 5,51 14. Tembakau dan sirih 61.866,67 10,09 Jumlah 613.406,67 100,00 Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 2) Pengeluaran pangan untuk rumah tangga dalam penelitian ini di bagi menjadi 14 bagian diantaranya padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lain, makanan dan minuman jadi, dan yang terakhir adalah tembakau dan sirih. Rata-rata pengeluaran untuk konsumsi pangan selama satu bulan rumah tangga responden adalah sebesar Rp 613.406,67. Pengeluaran untuk padi-padian selama satu bulan dalam rumah tangga responden yaitu sebesar Rp 184.425,00 atau mencapai 30,07% dari total pengeluaran untuk pangan. Kelompok ini terdiri dari beras, jagung, tepung beras, tepung terigu dan tepung jagung. Beras sendiri memiliki proporsi pengeluaran terbesar dibanding jenis komoditi lain dalam kelompok padicommit to user padian, karena beras merupakan makanan pokok rumah tangga yang harus
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
ada setiap harinya sebagai sumber energi anggota rumah tangga untuk melakukan aktivitas. Kandungan energi dalam 100 kg beras adalah 360 kkal dan protein sebesar 8,4 gram. Selain itu, sesuai dengan anggapan masyarakat Jawa yang menganggap jika seseorang belum makan nasi yang berasal dari beras bisa dianggap bahwa orang tersebut belum makan. Rumah tangga responden yang merupakan rumah tangga miskin dalam penelitian ini menjadi Rumah Tangga Sasaran (RTS), dimana mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk pemenuhan pangan berupa beras yang dijatah setiap bulannya, istilah lainnya adalah raskin. Setiap rumah tangga penerima bantuan tidak selalu sama jumlah beras yang diterima, karena kesepakatan dari masyarakat sekitar untuk membagi rata raskin kepada setiap keluarga. Akan tetapi, untuk keluarga yang termasuk rumah tangga miskin atau masuk dalam daftar RTS akan mendapatkan jatah raskin setiap bulannya, lain halnya dengan keluarga yang tidak termasuk dalam RTS mereka akan mendapatkan jatah raskin secara bergilir. Hal ini mengakibatkan jumlah jatah beras yang seharusnya diterima oleh RTS tidak sesuai dengan jatah yang seharusnya yakni sebesar 15 Kg per bulan. Sementara besarnya raskin yang diberikan setiap bulannya adalah sebesar 5 Kg dengan harga Rp 8.500,00, yang berarti setiap satu kilogram beras berharga Rp 1.700,00. Harga ini lebih tinggi dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah yakni sebesar Rp 1.635,00. Kualitas dari raskin sendiri yang diberikan kepada RTS setiap bulannya tidak selalu sama, namun lebih sering beras yang diberikan kualitasnya buruk, yaitu dari kenampakan luar putih kehitaman, ketika dimasak masih terasa kasar, berwarna kekuningan, dan muda basi. Hal ini yang mendorong para penerima raskin untuk mencampurnya dengan beras lain saat mengolah, ada juga yang menggilingnya kembali agar warna dari beras menjadi lebih putih bersih sebagai campuran beras lain. Bahkan ada sebagian dari penerima raskin menjualnya kembali karena kualitas beras yang diberikan dari pemerintah dianggap terlalu buruk. Hasil dari penjualan beras ini biasanya mereka gunakan untuk membeli bahan makanan lain atau commit to userdigunakan untuk konsumsi lain. sebagai pendapatan yang nantinya akan
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
Kondisi ini menyebabkan distribusi raskin untuk para penerima raskin tidak tepat, karena jumlah yang harus diberikan tidak sesuai, selain itu harga yang diberikan tidak sesuai meskipun perbedaan dari harga sangat rendah. Sedangkan untuk jenis konsumsi lain dalam padi-padian hanya dianggap sebagai bahan pelengkap bukan sebagai makanan pokok. Seperti tepung beras dan tepung terigu biasanya mereka gunakan untuk membuat lauk seperti bakwan, kemudian adonan untuk mengoreng tempe dan lain-lain. Pengeluaran pangan terbesar kedua adalah sayur-sayuran yaitu sebesar Rp 71.100,00 atau setara dengan 11,55% dari total pengeluaran pangan. Jenis konsumsi pangan ini antara lain bayam, kangkung, kubis, kancang panjang, buncis, tomat, wortel dan lain-lain. Sayur-sayuran merupakan sumber vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan dalam tubuh manusia untuk melakukan aktivitas. Besarnya konsumsi untuk golongan sayur-sayuran ini disebabkan sebagian besar rumah tangga lebih memilih mengolah sayur sendiri untuk dikonsumsi dibanding harus membeli makanan jadi. Biasanya dalam sehari mereka memasak hanya sekali saja. Sayur-sayuran yang mereka olah biasanya di beli dari tukang sayur keliling, warung-warung atau pasar-pasar terdekat, bahkan tidak sedikit dari rumah tangga memanfaatkan sayur-sayuran yang ada di halaman rumah mereka, karena rata-rata dari mereka memanfaatkan lahan pekarangan mereka untuk ditanami sayur-sayuran. Hal ini merupakan salah satu alternatif rumah tangga dalam meminimalisir pengeluaran mereka. Pengeluaran pangan terbesar ketiga adalah kelompok tembakau dan sirih yaitu sebesar Rp 61.866,67 atau sebesar 10,09% dari total pengeluaran pangan. Tingginya pengeluaran pangan dalam kelompok ini disebabkan hampir setiap kepala rumah tangga mempunyai kebiasaan untuk merokok. Tidak jarang dalam satu hari mereka mampu menghabiskan satu bungkus rokok bahkan lebih. Jenis rokok yang dikonsumsi pun beranekaragam bermula dari harga Rp 3.000,00 hingga Rp 7.500,00. Kebiasaan ini sulit untuk mereka hentikan meskipun di dalam bungkus rokok tersebut to user dicantumkan berbagai resikocommit yang akan terjadi jika mengkonsumsinya. Hal
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
ini disebabkan karena anggapan setiap perokok jika selang waktu terlalu lama tidak merokok akan terasa masam di lidah dan aneh jika tidak merokok saat mereka selesai makan, terasa tidak puas jika tidak diakhiri dengan merokok. Pengeluaran pangan untuk kelompok kacang-kacangan menempati urutan ke empat setelah kelompok pangan tembakau dan sirih yaitu sebesar Rp 57.900,00 atau memiliki proporsi sebesar 9,28% dari total pengeluaran pangan. Kelompok ini terdiri dari kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, tahu, dan tempe. Kacang-kacangan merupakan salah satu sumber protein nabati. Dalam kelompok ini jenis pangan yang paling banyak dikonsumsi adalah tahu dan tempe, hasil olahan dari kacang-kacangan. Hampir setiap hari mereka mengkonsumsi jenis pangan ini, selain karena harganya terjangkau, jenis pangan ini mudah dalam pengolahannya dan dapat bervariasi. Meskipun harganya murah, kandungan protein nabati dalam pangan ini tinggi. Kandungan protein pada 100 gram tempe yaitu 20,8 gram. Pengeluaran untuk kelompok bumbu-bumbuan yang terdiri dari garam, merica, ketumbar, terasi, vetsin, kecap, bawang merah, bawang putih, cabai, dan lain-lain ini menempati urutan ke lima yaitu sebesar Rp 50.780,00 atau 8,28% dari total pengeluaran pangan. Proporsi pengeluaran terbesar dalam kelompok ini adalah cabai, bawang merah dan bawang putih. Ketiga bumbu ini merupakan dasar dari suatu masakan terutama bawang merah dan putih, karena setiap masakan akan menggunakan bumbu ini, sedangkan untuk cabai rata-rata rumah tangga mengolahnya menjadi sambal dan campuran olahan makanan lain. Pengeluaran untuk kelompok pangan minyak dan lemak sebesar Rp 42.575,00 atau 6,94% dari total pengeluaran pangan. Kelompok ini terdiri dari minyak goreng dan mentega. Hampir seluruh rumah tangga miskin responden lebih memilih menggunakan minyak goreng dibanding dengan mentega untuk menggoreng dan menumis makanan. Minyak goreng yang mereka konsumsi rata-rata adalah minyak goreng curah. Hal ini disebabkan karena harga minyak goreng curah lebih murah dibanding dengan minyak goreng kemasan dan mentega.commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
Pengeluaran untuk kelompok minuman yang terdiri dari gula, teh, kopi, dan lain-lain ini sebesar Rp 35.383,33 atau proporsi sebesar 5,77% dari total pengeluaran pangan rumah tangga responden. Pengeluaran terbesar digunakan untuk membeli gula, karena gula digunakan sebagai campuran atau pemanis hampir semua minuman baik teh ataupun kopi. Selain itu gula juga dimanfaatkan sebagai bumbu dapur agar rasa masakan lebih gurih. Gula sendiri memiliki sumber karbohidrat yang cukup tinggi. Pengeluaran kelompok makanan dan minuman jadi rumah tangga responden sebesar Rp 33.800,00 atau memiliki proporsi sebesar 5,51% dari total pengeluaran pangan. Kelompok ini terdiri dari roti, biskuit, bakso, dan lain-lain. Rumah tangga responden yang sering mengkonsumsi makanan dan minuman jadi rata-rata mempunyai anak yang masih sekolah. Mereka lebih sering mengkonsumsi roti atau biskuit sebagai camilan setiap harinya. Sedangkan untuk bakso dan makanan olahan lainnya mereka jarang untuk mengkonsumsinya karena mereka lebih sering mengolah makanan sendiri daripada membeli makanan jadi. Pengeluaran kelompok konsumsi lain seperti kerupuk, karak, mie, bihun, dan lain-lain ini adalah sebesar Rp 33.310,00 atau 5,43% dari total pengeluaran pangan. Proporsi terbesar dalam kelompok ini adalah kerupuk, tidak hanya sebagai teman makan kerupuk juga dijadikan sebagai camilan. Mie sendiri, terutama mie instan menjadi alternatif pengganti utama nasi disaat suatu rumah tangga tidak mengolah makanan. Terutama anak-anak yang terkadang memiliki selera tersendiri pada masakan, jika tidak sesuai dengan masakan yang dihidangkan mereka lebih memilih untuk memasak mie instan. Selain mudah memperolehnya, mie instan sangat mudah pengolahannya sehingga banyak keluarga yang menjadikannya sebagai substitusi nasi. Hasil analisis data runtut waktu Susenas yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian serta Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian menunjukkan (Ariani, 2008) bahwa pada tahun 2002, mie merupakan pangan pokok kedua, dan semakin to user masyarakat dikota atau desa dan signifikan pada tahun 2005, commit bahwa semua
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
kaya atau miskin hanya mempunyai satu pola pangan pokok yaitu beras dan mie. Pengeluaran untuk kelompok telur dan susu sebesar Rp 17.133,33 atau 2,79% dari total pengeluaran pangan rumah tangga. Kelompok pangan ini terdiri dari telur ayam, telur itik, telur puyuh, dan susu. Pengeluaran terbesar dalam kelompok pangan ini digunakan untuk membeli telur, terutama telur ayam dibanding yang lain, karena lebih mudah untuk mendapatkannya dibandingkan dengan yang lain. Telur itik dan telur puyuh biasanya didapat sudah dalam bentuk rebusan sehingga harganya lebih mahal, untuk telur asin harganya Rp 1.500,00 per butir, sedangkan telur puyuh Rp 2.000,00 per delapan butir. Telur ayam sendiri memiliki kandungan protein hewani yang sangat tinggi yang sangat berguna untuk pertumbuhan dan pengganti sel tubuh yang rusak. Sedangkan untuk konsumsi susu, rata-rata rumah tangga responden tidak mengkonsumsinya, kecuali rumah tangga yang masih memiliki bayi. Rumah tangga responden tidak setiap hari mengkonsumsi daging. Mereka mengkonsumsi daging hanya tiga atau empat minggu sekali, bahkan tidak sama sekali dalam sebulan. Hal ini terlihat bahwa pengeluaran pangan untuk konsumsi daging hanya sebesar Rp 13.316,67 atau 2,17% dari total pengeluaran pangan. Pengeluaran terbesar dalam kelompok ini digunakan untuk membeli daging ayam dibanding dengan daging sapi atau kambing. Hal ini disebabkan karena harga ayam lebih murah dibanding dengan harga daging lain terutama daging sapi yang mencapai Rp 60.000,00 per Kg. Harga daging ayam sendiri hanya mencapai Rp 22.000.00 per Kg, sehingga mengakibatkan rumah tangga responden lebih memilih daging ayam dibanding dengan daging sapi atau daging kambing. Rumah tangga responden juga jarang sekali mengkonsumsi ikan, hal ini ditunjukan dari pengeluaran pangan untuk kelompok ikan hanya sebesar Rp 8.233,33 atau 1,31% dari total pengeluaran pangan. Kelompok pangan ikan ini terdiri dari ikan segar dan ikan awetan. Rumah tangga responden commit to user lebih sering untuk mengkonsumsi ikan awetan dibanding dengan ikan segar.
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal ini disebabkan untuk ikan awetan mampu digunakan dalam jangka waktu cukup lama, sedangkan untuk ikan segar sebaliknya. Ikan awetan yang mereka konsumsi biasanya berupa ikan layur dan teri. Sedangkan untuk ikan segar yang sering dikonsumsi oleh rumah tangga responden adalah ikan jenis bandeng dan ikan besekan atau ikan asin. Harganya pun beragam, untuk bandeng dari Rp 2.000,00 hingga Rp 5.000,00 per buah tergantung ukuran dan jenisnya, untuk ikan besekan antara Rp 1.000,00 hingga Rp 2.000,00 tergantung ukurannya juga. Pengeluaran
pangan
untuk
kelompok
umbi-umbian
sebesar
Rp 2.550,00 atau 0,42 % dari total pengeluaran pangan. Hal ini menunjukan bahwa rumah tangga responden jarang sekali mengkonsumsi umbi-umbian. Kelompok umbi-umbian ini terdiri dari ketela pohon, ketela rambat, kentang, dan lain-lain. Proporsi terbesar untuk pengeluaran pada kelompok pangan ini berada pada kentang. Rata-rata keluarga mengkonsumsi kentang untuk diolah menjadi lauk. Sedangkan untuk konsumsi ketela pohon dan ketela rambat, biasanya mereka memperoleh dari kebun mereka sendiri sehingga tidak setiap hari mereka mengkonsumsinya. Umbi-umbian merupakan makanan lain sumber karbohidrat. Akan tetapi lebih banyak masyarakat lebih memilih nasi sebagai sumber karbohidrat untuk pemenuhan energi mereka dalam beraktivitas, sehingga hal ini yang menyebabkan konsumsi untuk umbiumbian rendah. Pengeluaran pangan untuk kelompok buah-buahan menjadi prioritas terakhir dalam pemenuhan kebutuhan pangan mereka. Hal ini terbukti bahwa pengeluaran pangan untuk buah-buahan hanya sebesar Rp 2.033,33 atau 0,33% dari total pengeluaran pangan. Buah-buahan memiliki kandungan gizi antara lain vitamin, nutrisi, mineral dan lain-lain yang dibutuhkan dalam tubuh. Meskipun vitamin dan mineral merupakan zat gizi mikro yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, tetapi harus terpenuhi agar tubuh tidak mengalami gangguan. Rendahnya konsumsi buah-buahan ini terjadi karena rumah tangga responden lebih mementingkan pengeluaran untuk konsumsi commit todibanding user energi yang mampu mengenyangkan vitamin atau kandungan gizi
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lainnya. Mereka biasanya hanya mengkonsumsi buah-buahan yang ada di kebun atau halaman mereka, sehingga tidak tentu kapan mereka akan mengkonsumsi buah-buahan tergantung ada tidaknya buah-buahan di pekarangan mereka. Pengeluaran non pangan untuk rumah tangga responden dalam penelitian ini dibagi menjadi delapan kelompok. Antara lain, perumahan, aneka barang dan jasa, biaya pendidikan, biaya kesehatan, sandang, barang tahan lama, pajak dan asuransi, dan keperluan sosial. Berikut merupakan data rata-rata pengeluaran non pangan rumah tangga responden di Kabupaten Sukoharjo. Tabel 20. Rata-Rata Pengeluaran Non Pangan Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pengeluaran Non Pangan Perumahan Aneka barang dan jasa Biaya pendidikan Biaya kesehatan Sandang Barang tahan lama Pajak dan asuransi Keperluan sosial Jumlah
Rata-Rata (Rp/Bln) 67.100,00 65.093,33 15.770,00 7.716,67 7.610,00 1.000,00 5.301,67 26.515,00 196.106,67
Proporsi(%) 34,22 33,19 8,04 3,93 3,88 0,51 2,70 13,52 100,00
Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 3) Berdasarkan Tabel 20 total rata-rata pengeluaran non pangan rumah tangga responden di Kabupaten Sukoharjo mencapai Rp 196.106,67. Pengeluaran terbesar berada pada kelompok perumahan yaitu sebesar Rp 67.100,00 atau 34,22% dari total pengeluaran non pangan. Kelompok perumahan ini terdiri dari sewa/ kontrak, listrik, minyak tanah, kayu bakar, Liquified Petroleum Gas (LPG),dan lain-lain. Hampir seluruh responden menempati rumah mereka sendiri, dengan kata lain tidak menyewa atau mengontrak. Konsumsi terbesar dalam kelompok ini berada pada jenis konsumsi listrik, karena listrik sangat dibutuhkan untuk kegiatan mereka di malam hari. Sedangkan untuk jenis bahan bakar kayu bakar dan LPG, ratarata rumah tangga responden lebih memilih menggunakan kayu bakar untuk keseharian pokoknya dibanding menggunakan LPG. LPG hanya mereka commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
gunakan saat terdesak, misalnya saat mereka ingin membuat mie instan, ataupun membuat lauk-pauk. Pengeluaran non pangan terbesar kedua adalah aneka barang dan jasa yaitu sebesar Rp 65.093,33 atau 33,19% dari total pengeluaran non pangan. Pengeluaran non pangan aneka barang dan jasa ini terdiri dari sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi, sikat gigi, shampo, ongkos transportasi, bensin, perawatan kendaraan, komunikasi, dan lain-lain. Konsumsi terbesar untuk rumah tangga responden adalah untuk kebutuhan mereka sehari-hari yakni sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi, dan shampo. Sedangkan untuk transportasi, hanya beberapa mereka yang mempunyai kendaraan sepeda motor. Sebagian besar responden memilih menggunakan alat transportasi umum atau kendaran sepeda untuk melakukan aktivitas mereka di luar rumah. Sebagai pendukung komunikasi dengan keluarga mereka yang merantau atau kegiatan pekerjaan mereka, sebagian dari rumah tangga responden telah memiliki alat komunikasi berupa handphone. Pengeluaran non pangan berupa keperluan sosial menempati urutan ke tiga yaitu sebesar Rp 26.515,00 atau 13,52% dari total pengeluran non pangan. Kelompok ini terdiri dari perkawinan, kematian, khitanan, perayaan agama, perayaan adat dan lain-lain. Kondisi desa yang masih kuat tradisi dan sosialnya membuat sebagian besar pengeluaran digunakan untuk acara perayaan adat, meskipun sebagian dukuh dari ketiga desa tersebut tidak mengikutinya lagi. Pengeluaran untuk keperluan sosial ini tidak menentu jumlahnya setiap bulan, tergantung ada dan tidaknya suatu aktivitas dan kegiatan di daerah mereka masing-masing. Terutama pengeluaran untuk perkawinan, sangat tergantung dari jumlah masyarakat yang mengadakan acara. Rata-rata pengeluaran terbesar untuk acara perkawinan, rumah tangga responden paling tidak harus menyumbang uang sebesar Rp 20.000,00, akan lebih besar jumlahnya apabila yang mengadakan acara masih memiliki hubungan keluarga. Pengeluaran non pangan untuk kelompok pendidikan menempati urutan commit toatau user8,04% dari total pengeluaran non ke empat yaitu sebesar Rp 15.770,00
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
pangan. kelompok ini terdiri dari uang pangkal, SPP, pramuka, prakarya, buku, alat tulis, dan lain-lain. Pengeluaran terbesar dalam kelompok ini digunakan untuk membeli buku, terutama buku pelajaran dan buku Lembar Kerja Siswa (LKS). Kecilnya proporsi pengeluaran untuk pendidikan bukan berarti mereka tidak menganggap pendidikan anak mereka tidak penting, hal ini disebabkan beberapa sekolah negeri yang ada di Kabupaten Sukoharjo membebasbiayakan biaya sekolah untuk SPP, terutama untuk tingkat SD dan SMP yang juga mendapat bantuan dari pemerintah dengan program sembilan tahun. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Karena akan sangat berpengaruh pada seseorang untuk melakukan aktivitas dan berproduksitivitas. Dilihat dari pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan yang hanya sebesar Rp 7.716,67 atau 3,93% dari total pengeluaran non pangan menunjukan bahwa kepedulian terhadap kesehatan mereka sangat rendah, rendahnya proporsi pengeluaran untuk kesehatan ini bukan disebabkan karena mereka tidak memperhatikan kesehatan mereka akan tetapi karena memang biaya untuk berobat puskesmas gratis atau pada sebagian bidan negeri, kecuali jika mereka harus disuntik, mereka harus membayar uang sebesar Rp 3.000,00. Adapula yang cukup dengan membeli obat di warung untuk mengobati sakit mereka, karena mereka menganggap itu hanya sakit ringan. Pengeluaran non pangan untuk sandang memiliki pengeluaran sebesar Rp 7.610,00 atau sebesar 3,88% dari total pengeluaran non pangan. Kelompok sandang ini terdiri dari pakaian, alas kaki, tutup kepala, dan lainlain. Pengeluaran terbesar digunakan untuk membeli pakaian. Biasanya mereka membeli pakaian untuk anak-anak mereka menjelang Idul Fitri. Selain itu mereka juga membeli pakaian dengan cara kredit. Mereka membayar setiap 5 hari sekali atau mingguan, sesuai dengan hari pasaran tempat penjual pakaian tersebut berjualan. Penjual tersebut akan berkeliling untuk menarik uang cicilan dan menawarkan pada setiap keluarga. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
Pengeluaran untuk pajak dan asuransi sebesar Rp 5.301,67 atau sebesar 2,70% dari total pengeluaran non pangan. Pajak yang dimaksud dalam hal ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Besarnya PBB tergantung dari luas dan kelas tanah menurut lokasinya, semakin luas dan semakin dekat dengan jalan raya akan memiliki nilai PBB yang lebih besar. PBB sendiri biasanya dibayar setahun sekali, sehingga akan mempunyai nominal yang kecil jika di hitung per bulan. Selain PBB, pajak yang dimaksud adalah pajak kendaraan yang biasanya dikeluarkan oleh rumah tangga yang memiliki kendaraan bermotor. Besarnya pajak kendaraan motor juga tergantung dari tahun keluaran kendaraan tersebut. Semakin baru kendaraan tersebut maka akan semakin besar nilai pajak yang akan dikeluarkan. Rendahnya pengeluaran untuk pajak dan asuransi ini disebabkan karena lokasi tanah rumah tangga responden jauh dari dari jalan raya dan sebagian besar dari responden tidak memiliki kendaraan pribadi seperti motor. Mereka menggunakan transportasi umum untuk melakukan aktivitas mereka, selain itu mereka juga menggunakan sepeda. Proporsi pengeluaran terkecil dari pengeluaran non pangan adalah kelompok barang tahan lama yang terdiri dari alat rumah tangga, alat dapur, alat hiburan, dan lain-lain yaitu sebesar Rp 1.000,00 atau sebesar 0,51% dari total pengeluaran non pangan. Sedikitnya proporsi pengeluaran untuk barang tahan lama adalah karena sifat dari barang itu sendiri yang tahan lama sehingga ketika rumah tangga tersebut sudah memiliki barang tersebut mereka tidak memerlukannya lagi, dan akan membeli lagi ketika barang tersebut rusak dan saat mereka membutuhkannya. D. Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan terhadap Total Pengeluaran Rumah Tangga Responden Proporsi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran merupakan persentase besarnya pengeluaran untuk konsumsi pangan dibanding dengan total pengeluaran rumah tangga yakni pengeluaran pangan dan non pangan. berikut merupakan tabel proporsi pengeluaran rumah tangga responden di commit to 2011. user Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
Tabel 21. Proporsi Pengeluaran Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 Pengeluaran Jumlah (Rp/Bulan) Proporsi (%) Pengeluaran Pangan 613.406,67 75,77 Pengeluaran Non Pangan 196.106,67 24,23 809.513,33 100,00 Total Pengeluaran Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 4) Berdasarkan Tabel 21 total pengeluaran rumah tangga responden di Kabupaten Sukoharjo yang terdiri dari pengeluaran pangan dan non pangan mencapai Rp 809.513,00. Pengeluaran pangan sendiri sebesar Rp 613.406,67 atau setara dengan proporsi sebesar 75,77% dari total pengeluaran. Sedangkan untuk konsumsi non pangan sendiri mencapai Rp 196.106,67 atau setara dengan 24,23% dari total pengeluaran rumah tangga. Besarnya pengeluaran rumah tangga responden untuk konsumsi pangan berada di atas rata-rata pengeluaran pangan untuk rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo dalam publikasi umum yang hanya mencapai 64,60% dari pengeluaran total. Perbedaan ini terjadi karena sampel yang digunakan dalam penelitian mempunyai jumlah dan karakteristik yang berbeda sehingga memiliki nilai yang berbeda pula. Proporsi pengeluaran pangan dan non pangan juga digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga. Dari proporsi pengeluaran pangan dapat diungkapkan bahwa semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan berarti tingkat kesejahteraan atau ketahanan rumah tangga semakin rendah atau rentan. Hukum Engel menyatakan asumsi selera seseorang adalah tetap, proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan akan semakin kecil seiring dengan semakin meningkatnya pendapatan (Ariani dan Purwantini, 2008). Pengeluaran pangan dalam rumah tangga responden di dominasi oleh pengeluaran untuk pangan jenis padi-padian terutama beras, karena beras merupakan makanan pokok masyarakat dan jarang sekali beras ini digantikan dengan komoditas makanan lain seperti umbi-umbian atau sumber energi lainnya. Sedangkan pengeluaran untuk konsumsi non pangan terbesar berada commit to user pada perumahan.
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Besarnya proporsi pengeluaran pangan dibanding dengan proporsi pengeluaran non pangan disebabkan karena tingkat pendapatan rumah tangga. Tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan mereka lebih mengutamakan konsumsi pangan dibanding dengan non pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka, karena hal ini mampu untuk mengatasi rasa lapar sehingga kualitas pangan juga jarang diperhatikan. E. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Konsumsi pangan yang dinilai adalah konsumsi energi dan konsumsi protein. Konsumsi gizi rumah tangga diketahui dengan menghitung konsumsi rumah tangga 24 jam yang lalu istilah lainnya adalah recall dengan pedoman Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Selanjutnya, konsumsi gizi ini dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk mengetahui nilai Tingkat konsumsi Gizi (TKG). Besarnya AKG berbeda-beda untuk setiap individu karena AKG ditentukan berdasarkan umur dan jenis kelamin. Rata-rata angka kecukupan gizi, baik energi dan protein rumah tangga responden diperoleh dengan menjumlahkan AKG setiap anggota keluarga menurut golongan umur dan jenis kelamin, kemudian dibagi dengan jumlah total anggota keluarga. Berikut ini merupakan rata-rata konsumsi energi dan protein rumah tangga responden dan tingkat konsumsi gizinya. Tabel 22. Rata-rata Konsumsi Energi dan Protein, AKG yang dianjurkan, dan Tingkat Konsumsi Gizi Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 Kandungan Gizi Energi (kkal/orang/hari) Protein (gram/orang/hari)
Rata-rata 1.459,33 50,22
AKG yang dianjurkan 2.066,06 53,74
TKG (%) 69,17 92,02
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 5) Konsumsi energi adalah sejumlah energi pangan yang dikonsumsi per orang per hari yang dinyatakan dalam kkal/orang/hari dan konsumsi protein adalah sejumlah protein pangan yang dikonsumsi yang dinyatakan dalam commit to user gram/orang/hari. Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui bahwa rata-rata
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
kandungan energi yang di konsumsi oleh rumah tangga responden mencapai 1.459,33 kkal/orang/hari. Sedangkan untuk protein mencapai 50,22 gram/orang/hari. Besarnya rata-rata konsumsi energi dan protein rumah tangga responden masih berada di bawah angka kecukupan gizi yang seharusnya mencapai 2.066,06 kkal/orang/hari untuk energi dan 53,74 gram/orang/hari untuk protein. Sesuai penjelasan diatas diketahuinya jumlah konsumsi rumah tangga dan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan umur dan jenis kelamin maka akan di dapat nilai Tingkat Konsumsi Gizi (TKG) untuk energi dan protein suatu rumah tangga yang dinyatakan dalam bentuk persentase. Tabel di atas menunjukkan bahwa besarnya Tingkat Konsumsi Energi (TKE) rumah tangga mencapai 69,17%, sedangkan untuk Tingkat Konsumsi Protein (TKP) mencapai 92,02%. Besarnya tingkat konsumsi energi dan tingkat konsumsi protein, apabila di lihat pada nilai ragam kecukupan gizi terlihat bahwa untuk tingkat konsumsi energi masuk dalam kategori defisit karena berada pada nilai kurang dari 70% dari angka kecukupan gizi. Sedangkan untuk tingkat konsumsi protein masuk dalam kategori sedang karena berada pada nilai antara 80-99% dari angka kecukupan gizi. Rendahnya rata-rata konsumsi energi dan protein rumah tangga responden dibanding dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan tingkat konsumsi energi yang masuk dalam kategori defisit serta untuk tingkat konsumsi protein masuk dalam kategori sedang, disebabkan karena konsumsi untuk energi rata-rata rumah tangga hanya dipenuhi dari nasi sebagai makanan pokok untuk sumber enegi serta kurangnya konsumsi pangan sumber energi lain. Sedangkan untuk protein, banyak rumah tangga miskin memenuhi kebutuhan protein hanya dengan tahu dan tempe sebagai sumber protein nabati, untuk sumber protein hewani rata-rata hanya berasal dari telur ayam. Hal ini disebabkan karena daya beli meraka yang rendah sehingga konsumsi pangan sumber protein ini masih berada di bawah Angka commitTingkat to userpendapatan merupakan salah satu Kecukupan Gizi yang di anjurkan.
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
faktor terbesar rumah tangga menentukan keputusan untuk membeli konsumsi pangan. Pendapatan yang rendah membuat mereka enggan untuk membeli makanan sumber protein hewani yang lebih mahal seperti daging sapi, daging ayam dan ikan segar lainnya. Menurut hasil kajian Ariningsih (2002) menunjukan bahwa pada rumah tangga berpendapatan rendah di pedesaan konsumsi yang bersumber dari bahan pangan nabati masih sangat dominan. Ditinjau dari aspek mutu gizi, ketergantungan yang tinggi terhadap protein nabati kurang baik karena kurang lengkapnya kandungan asam amino esensial protein nabati. Penduduk dengan pola konsumsi pangan tinggi serelian dan kurang beragam, serta konsumsi pangan hewani yang rendah seperti di Indonesia umumnya mengalami defisit beberapa asam amino dalam menu makanannya. Lima asam amino esensial yang sering defisit dalam pola konsumsi pangan di Indonesia adalah lisin, treonin, triptofan, dan asam amino yang mengandung sulfur, yaitu sistin dan metionin. Hal tersebut menjadi masalah karena kekuranglengkapan asam amino esensial dalam pangan akan menyebabkan mutu cerna dan daya manfaat protein yang dikonsumsi menjadi rendah. Disamping itu, sisa-sisa (racun) dari protein nabati yang dikeluarkan oleh ginjal lebih banyak daripada protein hewani, sehingga lebih memberatkan kerja ginjal. Sebaran kategori tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga responden di Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 23. Sebaran Kategori Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 Kategori Tingkat Kecukupan Gizi Baik (TKG ≥100% AKG) Sedang (TKG 80–99% AKG) Kurang (TKG 70–80% AKG) Defisit (TKG <70% AKG) Jumlah
Energi Jumlah RT % 2 6,67 4 13,33 6 20,00 18 60,00 30 100,00
Protein Jumlah RT % 10 33,33 11 36,67 2 6,67 7 23,33 30 100,00
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 5) Tingkat konsumsi gizi diklasifikasikan berdasarkan pada nilai ragam commit to user kecukupan gizi yang dievaluasi secara bertingkat berdasarkan acuan Buku
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
Pedoman Petugas Gizi Puskesmas, Depkes (1990) dalam Supariasa (2002) yaitu kategori tingkat konsumsi energi dan protein di katakan baik jika tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga berada pada nilai di atas sama dengan 100% dari nilai angka kecukupan gizi (TKG ≥100% AKG). Dikatakan sedang apabila tingkat konsumsi energi dan protei rumah tangga berada pada nilai antara 80-99% dari nilai angka kecukupan gizi (TKG 80– 99% AKG). Dikatakan kurang apabila tingkat konsumsi energi dan protei rumah tangga berada pada nilai antara 70-80% dari nilai angka kecukupan gizi (TKG 70–80% AKG), dan yang terakhir Dikatakan defisit apabila tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga berada pada nilai di bawah 70% dari nilai angka kecukupan gizi (TKG <70% AKG). Tabel 23 menunjukkan bahwa rumah tangga yang berada pada kategori tingkat kecukupan gizi baik untuk konsumsi energi hanya dua rumah tangga atau 6,67% dari total keseluruhan responden. Proporsi terbanyak yaitu pada kategori defisit yaitu sebesar 60% atau sejumlah 18 rumah tangga. Kategori tingkat kecukupan energi untuk tingkat sedang dan kurang memiliki proporsi sebesar 13,33% dan 20% yaitu sejmlah empat dan enam rumah tangga dari total responden. Jumlah terkecil kategori tingkat kecukupan gizi untuk protein berada pada kategori kurang yaitu 6,67% atau sebanyak dua responden. Rumah tangga yang masuk dalam kategori defisit yakni sebesar 20,00% atau sebanyak tujuh rumah tangga. Sedangkan untuk kategori sedang memiliki proporsi tersebar yang mencapai 36,67% atau sebanyak 11 rumah tangga, untuk kategori rumah tangga yang tergolong baik terdapat sebesar 33,33% atau sejumlah 10 rumah tangga. Secara keseluruhan, konsumsi protein memiliki nilai yang lebih besar dibanding dengan tingkat konsumsi energi rumah tangga, hal ini disebabkan karena hampir setiap hari rumah tangga responden mengkonsumsi tahu-tempe yang merupakan sumber protein. Tidak hanya untuk lauk, terkadang tempe atau tahu dijadikan camilan. Kondisi ini disebabkan karena tahu-tempe sendiri merupakan barang yang mudah untuk commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
didapat, harganya murah sehingga terjangkau untuk ekonomi rumah tangga serta mudah untuk mengolahnya. F. Hubungan Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan dengan Konsumsi Energi dan Protein Proporsi pengeluaran konsumsi pangan mempunyai hubungan terhadap konsumsi energi dan protein suatu rumah tangga. Konsumsi
energi dan
protein akan berbeda pada proporsi pengeluaran yang berbeda pula. Dari hasil analisis hubungan korelasi dengan menggunakan program SPSS 16 antara proporsi pengeluaran konsumsi pangan dengan konsumsi energi dan protein rumah tangga, diperoleh data sebagai berikut. Tabel 24. Hasil Analisis Korelasi Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan dengan Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Responden di Kabupaten Sukoharjo Bulan Desember 2011 Hasil Analisis Korelasi Uji Korelasi Proporsi Pengeluaran Pangan dengan Konsumsi Energi Proporsi Pengeluaran Pangan dengan Konsumsi Protein
Nilai Probabilitas
α
Koefisien Korelasi
0,026
0,05
- 0,405
0,047
0,05
- 0,365
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 6) Hasil analisis pada Tabel 24 menunjukkan bahwa nilai probabilitas untuk proporsi pengeluaran pangan dengan konsumsi energi dan protein adalah 0,026 dan 0,047. Nilai probabilitas antara proporsi pengeluaran pangan dengan konsumsi energi dan protein lebih kecil dari tingkat kesalahan yaitu 0,05 (α=0,05). Apabila nilai probabilitasnya kurang dari 0,05 maka Ho ditolak, artinya antara proporsi pengeluaran konsumsi pangan dengan konsumsi energi dan protein mempunyai hubungan yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Korelasi antara proporsi pengeluaran pangan dengan konsumsi energi dan protein memiliki hubungan yang rendah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 21, dimana nilai koefisien korelasi antara proporsi pengeluaran pangan dengan konsumsi energi sebesar -0,405, sedangkan untuk protein sebesar 0,365. Hasil nilai yang negatif pada hubungan proporsi pengeluaran pangan commit to user dengan konsumsi energi dan protein ini menunjukan bahwa antara variabel
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut
mempunyai
hubungan
yang
berlawanan,
apabila
proporsi
pengeluaran pangan bertambah maka konsumsi energi dan protein akan berkurang begitu pula sebaliknya. Tingkat
proporsi
pengeluaran
pangan
dapat
menggambarkan
kesejateraan suatu rumah tangga, dimana suatu rumah tangga memiliki tingkat pendapatan rendah, sedangkan proporsi pengeluaran pangan tinggi hal ini menunjukan bahwa tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut rendah. Pendapatan rumah tangga yang rendah akan lebih memprioritaskan untuk konsumsi pangan tanpa memperdulikan kandungan zat gizi yang terkandung dalam makanan tersebut. Sehingga mengakibatkan konsumsi energi dan protein mereka rendah. Lain halnya dengan kelompok dengan tingkat pendapatan tinggi, semakin tinggi tingkat pendapatan suatu rumah tangga maka proporsi pengeluaran pangan rendah, kondisi ini menggambarkan kesejahteraan rumah tangga tersebut tinggi. Hal ini sesuai dengan hukum Engel bahwa pendapatan seseorang sangat menentukan ketahanan pangan. Menurut Engel, proporsi pengeluaran pangan rumah tangga miskin lebih besar daripada proporsi pengeluaran pangan rumah tangga kaya. Proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator langsung terhadap kesejahteraan rumah tangga (Deaton dan Muelbauer, dalam Ilham dan Sinaga, 2008). G. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan suatu rumah tangga. Ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu ketersediaan, konsumsi, dan distribusi. Dalam penelitian ini ketahanan pangan hanya dilihat melalui konsumsi pangan, terutama pada konsumsi energi. Konsumsi pangan merupakan gambaran dari aspek ketersediaan dan kemampuan keluarga tersebut untuk membeli dan memperoleh pangan, sehingga konsumsi pangan merupakan variabel yang mudah digunakan sebagai indikator ketahanan pangan. selain konsumsi pangan berupa energi, variabel lain yang diamati untuk dijadikan indikator ketahanan pangan suatu commit to useruntuk pangan. Berikut merupakan rumah tangga adalah proporsi pengeluaran
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
data mengenai kategori ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo. Tabel 25. Jumlah Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo Menurut Kategori Ketahanan Pangan Proporsi Tingkat Jumlah Kategori Ketahanan Pangan (%) Pengeluaran Konsumsi RT Pangan (%) Energi (%) Tahan Pangan, jika proporsi pengeluaran pangan <60%, konsumsi energi cukup (>80% kecukupan energi) Rentan Pangan, jika proporsi pengeluaran pangan ≥60%, konsumsi energi cukup (>80% kecukupan energi) Kurang Pangan, jika proporsi pengeluaran pangan <60%, konsumsi energi kurang (≤80% kecukupan energi) Rawan Pangan, jika proporsi pengeluaran pangan ≥60%, konsumsi energi kurang (≤80% kecukupan energi) Jumlah
0
0
0
0
77,98
93,98
6
20
0
0
0
0
76,06
65,33
24
80
30
100
Sumber: Analisis Data Primer (Lampiran 7 dan 8) Pada umumnya, rumah tangga yang dikategorikan miskin adalah rumah tangga yang rawan pangan atau tidak tahan pangan. Berdasarkan tabel di atas sejumlah 30 responden, tidak ada rumah tangga yang termasuk dalam rumah tangga tahan pangan dan kurang pangan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pendapatan yang diperoleh rumah tangga responden digunakan untuk memenuhi kebutuhan berupa kebutuhan pangan. Rata-rata rumah tangga responden masuk dalam kategori rumah tangga rawan pangan, yakni sebesar 80,00% atau setara dengan jumlah sebanyak 24 rumah tangga. Sisanya sejumlah enam rumah tangga responden atau sebesar 20% masuk dalam kategori rentan pangan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
Status rumah tangga yang termasuk dalam kategori rawan pangan memiliki proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumah tangga sebesar 76,06% dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE) sebesar 65,33%. Tingkat proporsi pengeluaran pangan yang melebihi batas nilai indikator ketahanan pangan rumah tangga yaitu sebesar lebih dari sama dengan 60% menunjukan bahwa kesejahteraan rumah tangga tersebut rendah karena sebagian besar pendapatan yang mereka peroleh, mereka gunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sedangkan untuk konsumsi energi yang mereka peroleh berada dibawah batas kecukupan sesuai indikator ketahanan pangan yakni sebesar kurang dari sama dengan 80%. Sebanyak enam rumah tangga atau sebesar 20% keseluruhan responden termasuk dalam rumah tangga rentan pangan, yang memiliki proporsi pengeluaran pangan sebesar 77,98% dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE) sebesar 93,98%. Dikatakan rentan pangan karena rumah tangga tersebut memiliki pengeluaran pangan melebihi batas indikator ketahanan pangan rumah tangga yakni sebesar lebih dari sama dengan 60% dari pengeluaran total. Sedangkan untuk konsumsi energi telah mencapai lebih dari 80% dari kecukupan gizi. Nilai ini telah memenuhi kecukupan gizi yang dianjurkan. Terpenuhinya konsumsi gizi sesuai dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan disebabkan karena ragam pangan yang dikonsumsi berasal dari jenis pangan sumber energi yang terjangkau untuk dikonsumsi responden, sehingga kebutuhan energi rumah tangga responden melebihi dari angka kecukupan yang dianjurkan. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin yang rata-rata masuk dalam kategori rawan pangan sangat dipengaruhi oleh pendapatan suatu rumah tangga itu sendiri. Hal ini sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Rendahnya pendapatan yang mereka peroleh maka akan menyebabkan rumah tangga tersebut lebih mengutamakan kuantitas suatu makanan di banding dengan kualitas, sehingga akan mempengaruhi konsumsi gizi, dan akhirnya akan berpengaruh pada commit to user produktivitas mereka.
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Besarnya rata-rata proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap total pengeluaran adalah 75,77%, artinya sebagian besar pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin di beratkan pada konsumsi pangan. 2. Rata-rata konsumsi energi dan protein rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo adalah 1.459,33 kkal/orang/hari dan 50,22 gram/orang/hari dan masih berada di bawah dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Rata-rata Tingkat Konsumsi Energi (TKE) sebesar 69,17% dan termasuk kategori defisit, sedangkan Tingkat Konsumsi Protein (TKP) sebesar 92,02% dan termasuk kategori sedang. 3. Proporsi pengeluaran konsumsi pangan dengan konsumsi energi dan protein mempunyai hubungan yang signifikan. Nilai koefisien korelasi untuk proporsi pengeluaran pangan dengan konsumsi energi dan protein adalah -0,405 dan -0,365. Nilai koefisen korelasi bernilai negatif menunjukkan bahwa hubungan antara proporsi pengeluaran konsumsi pangan dengan konsumsi energi dan protein adalah berlawanan, artinya proporsi pengeluaran konsumsi pangan tinggi, maka konsumsi energi dan proteinnya rendah. 4. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Sukoharjo adalah rumah tangga kategori rawan pangan sebesar 80% dan sisanya 20% termasuk dalam kategori rentan pangan.
commit to user 69
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Sukoharjo, maka saran yang dapat peneliti sampaikan adalah : 1.
Sebagian besar rumah tangga miskin masuk dalam kategori rumah tangga rawan pangan, hal ini disebabkan karena faktor tingkat pendapatan mereka yang rendah serta pendapatan yang tidak kontinyu tiap bulannya, sehingga diperlukan adanya bantuan dari berbagai pihak terutama pemerintah untuk peningkatan pendapatan, baik dengan pelatihan ataupun pemberian keterampilan, karena banyak diantaranya kepala keluarga rumah tangga miskin berpencahariaan sebagai buruh, sehingga pendapatan yang diterima tidak tetap tiap bulannya hanya tergantung dari ada atau tidaknya pekerjaan yang ada.
2.
Dilihat dari tingkat rata-rata konsumsi energi dan protein rumah tangga miskin yang masih berada dibawah angka kecukupan gizi, maka diperlukan pengeanekaragaman konsumsi pangan agar kebutuhan energi dan
protein
tercukupi,
misalnya
rumah
tangga
dapat
menganekaragamkan konsumsi pangan yang dapat menambah konsumsi energi maupun konsumsi protein untuk mencapai kebutuhan energi dan protein yang dianjurkan seperti umbi-umbian sebagai pangan sumber energi di samping beras. 3.
Selain itu juga pengetahuan mengenai pangan dan kandungan gizi, hal ini dapat dilakukan penyuluhan untuk menambah pengetahuan anggota rumah
tangga mengenai
gizi, yang diharapkan
dapat
mampu
memperbaiki pola pangan yang dibutuhkan dari sisi kuantitas maupun kualitas.
commit to user