KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI PENGHASIL BERAS ORGANIK
ANANG SUHARDIANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Penghasil Beras Organik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2007 Anang Suhardianto NIM A551030101
ABSTRACT ANANG SUHARDIANTO. Household Food Security of Farmers Who Yielding Organic Rice. Under direction of YAYUK FARIDA BALIWATI and DADANG SUKANDAR. Organic farming is very emphasized in using local input and decreasing external input. Therefore, farmers, who applied organic farming, were expected having a chance to increase their access of food. The study was designed to analyze level of household food security of farmers who yielding organic rice and identify landholding that supporting household food security. For that purposes, 61 samples of household were selected from farming households whose practicing organic farming in Ciburuy Village, Bogor Regency. The gathered data are including data on landholding, working capital, cooperation, education, purposes of practicing on organic farming, wasted management, knowledge of organic farming, organic rice productivity, income, food consumption and level of household food security. Food consumption is recalled in 1 X 24 hours and food frequency (weekly, monthly, and yearly) is used to obtain food consumption data. Household food security was determined based on level of energy consumption. Landholding that supporting household food security is determined based on rice consumption and household productivity. The analyses result of household food security showed that 85.2% of households were secure and 14.8% were insecure. Variables that significantly influenced household food security were income, knowledge of organic farming, organic rice productivity, purposes of practicing on organic farming, landholding, and waste management. Pearson correlation analyses showed that income, knowledge of organic farming, organic rice productivity, and landholding had significant effect toward household food security. Spearman correlation analyses showed that purposes of practicing on organic farming and waste management had significant association with household food security too. Based on daily average of energy sufficiency, land-man ratio should be 318 m2/person. Keywords: household food security, organic farming, land-man ratio
RINGKASAN ANANG SUHARDIANTO. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Penghasil Beras Organik. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI dan DADANG SUKANDAR. Pertanian organik lebih menekankan pada sumber daya alam lokal yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan, menggunakan teknologi lokal dan sederhana, serta sedapat mungkin mengurangi input eksternal. Dengan demikian, penerapan pertanian organik akan memangkas biaya produksi, sehingga petani organik memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatannya guna mengakses pangan yang cukup. Namun demikian, permasalahannya adalah luas lahan yang dikuasai oleh petani tidak memadai. Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik dan mengidentifikasi penguasaan lahan dalam mendukung ketahanan pangan rumah tangga. Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga peserta Program Pemberdayaan Petani Sehat yang diselenggarakan oleh Lembaga Pertanian Sehat bekerjasama dengan Gabungan Kelompok Tani Silih Asih di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Sampel dipilih secara acak dengan ukuran sebesar 61 rumah tangga. Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden yang berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya dan telah diujicobakan. Data konsumsi pangan dilakukan dengan cara recall konsumsi pangan 1 X 24 jam, dan food frequency (seminggu, sebulan, dan setahun). Indikator yang digunakan untuk mengukur ketahanan pangan rumah tangga adalah tingkat kecukupan konsumsi energi (TKE). Suatu rumah tangga disebut tahan pangan jika tingkat kecukupan energi = 70%, dan jika < 70% disebut tidak tahan pangan. Untuk melihat hubungan antar peubah digunakan analisis korelasi dan untuk menentukan faktor-faktor determinan dari peubahpeubah bebas yang mempengaruhi ketahanan pangan digunakan analisis regresi lenear berganda. Analisis terhadap variabel bebas menunjukkan bahwa: (1) rata-rata luas lahan yang dikuasai petani adalah 0,244 ± 0,106 ha dan rumah tangga petani tegolong petani gurem karena sebagian besar (96,7%) hanya menguasai lahan < 0,5 ha. Hal ini terjadi karena petani yang melakukan usahatani padi organik ini memang berasal dari petani miskin, yang bekerja sebagai buruh tani; (2) rata-rata modal kerja yang dimiliki petani sekitar Rp 7.454.000,00 ± 1.750.000,00. Berdasarkan distribusinya maka sebagian besar petani (72,1%) termasuk bermodal kerja rendah. Hal ini terjadi karena modal kerja yang dimiliki petani di luar subsidi hanyalah tenaga kerja; (3) dalam hal kerjasama, sebagian besar petani (57,4%) tergolong agak aktif, artinya petani tersebut melakukan kerjasama dengan dua mitra kerja sama. Salah satu mitra kerjasa tersebut adalah LPS dan mitra kerjasama yang lain adalah sesama petani; (4) temuan yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal petani termasuk rendah. Gambaran tersebut terlihat dari tidak adanya petani yang berhasil menyelesaikan pendidikan lebih tinggi dari sekolah dasar. Sebagian besar petani (62,3%) hanya berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, bahkan 37,7
persen tidak pernah mengenyam bangku sekolah; (5) untuk pendidikan non formal, dalam satu tahun terakhir, sebagian besar petani (59,0%) hanya mengikuti satu kali pendidikan non formal; (6) sebagian besar petani (50,9%) telah memahami dengan baik bahwa penerapan pertanian organik adalah demi pelestarian sumberdaya alam (pertanian yang berkelanjutan). Petani telah melihat kenyataannya bahwa lahan pertanian yang tadinya sulit ditemukan cacing tanah, kini mudah mendapatkannya; (7) dalam mengelola limbah, 88,6% termasuk menyokong berlangsungnya pertanian organik (60,7% menyokong dan 27,9% sangat menyokong). Petani mengelola dan mengolah dengan baik limbah yang tersedia baik limbah dari sisa tanaman, kotoran ternak, maupun limbah rumah tangga. Dilihat dari sumber limbah yang dijadikan pupuk organik, sebagian besar (45,8%) berasal dari sisa-sisa tanaman, 39,3% berasal dari kotoran hewan, dan sebagian kecil (14,9%) berasal dari sampah rumah tangga; (8) penguasaan petani dalam bertani secara organik, setengahnya (52,5%) tergolong kategori sedang (rata-rata memperoleh nilai 76,7 ± 9,0). Untuk menguasai pengetahuan seperti ini, tingkat pendidikan formal dan non formal petani ikut berperan. Mengingat tingkat pendidikan formal dan non formal yang kurang menyebabkan sebagian petani (14,8%) masih berpengetahuan bertani secara organik rendah; (9) rata-rata produktivitas beras per ha per tahun 73,29 ± 12,56 ku atau setara dengan padi kering giling 117,26 ± 20,09 ku. Produktivitas ini lebih besar daripada ratarata produktivitas padi sawah non organik di Kabupaten Bogor; dan (10) sebagian besar (85,2%) rumah tangga petani tergolong tidak miskin, dengan rata-rata pendapatan per kapita per bulan sekitar Rp 462.500,00 ± 161.000,00 atau Rp 15.500,00 ± 5.500,00 per kapita per hari. Walaupun demikian, pendapatan tersebut belum menggambarkan kondisi perekonomian rumah tangga yang sesungguhnya. Pada kehidupan nyata sehari-hari, petani masih harus terbebani oleh beberapa bentuk pengeluaran, seperti sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan anak-anak. Analisis terhadap peubah tidak bebas menunjukkan bahwa rumah tangga petani mengkonsumsi energi rata-rata per kapita per hari sebesar 1759 Kal dengan tingkat kecukupan energi (TKE) 87,2% dan sebagian besar (57,4%) rumah tangga petani memiliki status konsumsi yang normal, atau berada pada selang 90 – 119% AKG. Berdasarkan tingkat kecukupan konsumsi energi tersebut dapat ditampilkan situasi ketahanan pangan rumah tangga petani; hasilnya, sebagian besar rumah tangga petani (85,2%) teridentifikasi sebagai tahan pangan dan yang tidak tahan pangan sebesar 14,8%. Hasil uji regresi linear berganda menunjukkan bahwa secara signifikan (p < 0,0001) terdapat pengaruh dari peubah bebas dengan nilai R2 sebesar 0,9597. Hasil Backward Elimination dari SAS untuk memperoleh variabel bebas yang berpengaruh nyata diperoleh enam variabel yaitu penguasaan lahan, tujuan penerapan pertanian organik, pengelolaan limbah, pengetahuan bertani secara organik, produktivitas beras organik, dan pendapatan. Dengan demikian untuk memprediksi (meramalkan) kondisi ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik dapat digunakan keenam peubah bebas tersebut. Analisis terhadap variabel bebas yang berpengaruh nyata menunjukkan bahwa ketahanan pangan dipengaruhi positif nyata (p < 0,05) oleh variabel bebas penguasaan lahan dan tujuan penerapan pertanian organik, dan dipengaruhi positif sangat nyata (p < 0,01) oleh variabel bebas pengelolaan limbah, pengetahuan
bertani secara organik, produktivitas beras organik, dan pendapatan. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat derajat keeratan hubungan yang positif sangat nyata (p < 0,01) antara ketahanan pangan dengan: (1) pendapatan dengan r sebesar 0,954; (2) pengetahuan bertani secara organik dengan r sebesar 0,866; (3) produktivitas beras organik dengan r sebesar 0,705; dan (4) penguasaan lahan dengan r sebesar 0,395. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat derajat keeratan hubungan yang positif sangat nyata (p < 0,01) antara ketahanan pangan dengan: (1) tujuan penerapan ketentuan-ketentuan dalam pertanian organik dengan r sebesar 0,866; dan (2) pengelolaan limbah dengan r sebesar 0,815. Land-man ratio untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal adalah 1.735 ± 459 m persegi per orang dengan kisaran 1.369 – 4.057 m persegi dan untuk rumah tangga harus menguasai lahan seluas 9.492 ± 4.306 m persegi per rumah tangga dengan kisaran 3.423 – 20.283 m persegi. Land-man ratio untuk memenuhi kebutuhan rata-rata kecukupan energi adalah 318 ± 84 m persegi per orang dengan kisaran 251 – 744 m persegi dan untuk rumah tangga harus menguasai lahan seluas 1.740 ± 789 m persegi per rumah tangga dengan kisaran 627 – 3.718 m persegi. Kata kunci: ketahanan pangan rumah tangga, pertanian organik, land-man ratio
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI PENGHASIL BERAS ORGANIK
ANANG SUHARDIANTO
Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Siti Madanijah, M.S.
Judul Tesis : Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Penghasil Beras Organik Nama : Anang Suhardianto NIM : A551030101
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, M.S. Ketua
Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S.
Tanggal Ujian: 17 Juli 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2006 ini ialah ketahanan pangan rumah tangga, dengan judul Katahanan Pangan Rumah Tangga Petani Penghasil Beras Organik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, M.S. dan Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc. selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Universitas Terbuka selaku pemberi beasiswa, serta pimpinan dan rekan sejawat di FMIPA Universitas Terbuka yang telah me mberi dorongan selama studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, istri, dan anak-anak (Maya, Kika, Syakira) tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2007 Anang Suhardianto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 18 Juni 1960 sebagai anak sulung dari pasangan Bapak Soeradi dan Ibu Soewarsih. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 1985. Pada tahun 2003, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke program magister sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Universitas Terbuka. Penulis telah menikah dengan Ir. Semie Ardarita pada tanggal 12 Januari 1992. Saat ini penulis telah dikaruniai tiga orang putri, yaitu Maya Rahmanita Hardianti, Nabilah Rizkika Hardianti, dan Syakira Nisrina Hardianti. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Program Studi S-1 Teknologi Pangan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Terbuka. Sejak 25 Juni 2007, penulis menjabat sebagai Ketua Program Studi pada program studi, jurusan, fakultas, dan perguruan tinggi yang sama.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.............................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
xvi
I
II
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang....................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian................................................................................
4
1.3 Manfaat Penelitian..............................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan...............................................................................
6
2.2 Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Organik……….....................
13
2.3 Land-man Ratio ............……………………………..........................
18
2.4 Kerangka Pemikiran......……………………………..........................
20
III METODE PENELITIAN 3.1 Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian...............................................
24
3.2 Cara Penentuan Responden.................................................................
24
3.3 Jenis dan Cara Pengumpulan Data......................................................
24
3.4 Pengolahan dan Analisis Data............................................................
25
3.5 Definisi Operasional Peubah Penelitian..............................................
26
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ................……………………...............
31
4.2 Karakteristik Rumah Tangga Contoh..................................................
32
4.3 Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga........................................
33
4.4 Luas Penguasaan Lahan.........………………….................................
45
4.5 Status Luas Penguasaan Lahan Ditinjau dari Ketahanan Pangan Rumah Tangga....................................................................................
48
4.6 Status Luas Lahan Sawah Di Desa Ciburuy, Di Kecamatan Cigombong, dan Di Kabupaten Bogor................................................
50
V
SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan.............................................................................................
52
5.2 Saran....................................................................................................
53
VI DAFTAR PUSTAKA................................................................................
54
LAMPIRAN......................................................................................................
59
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perbandingan biaya operasional per ha pembudidayaan padi organik dan non organik...................................................................
17
2
Land-man ratio beberapa negara di Asia tahun 1980 – 2000...........
19
3
Dasar pengkategorian peubah...........................................................
26
4
Karakteristik rumah tangga contoh...................................................
33
5
Sebaran rumah tangga menurut kategori peubah yang menentukan ketahanan pangan..............................................................................
38
Hasil uji regresi linear berganda dan korelasi antara peubah bebas dan tidak bebas..................................................................................
41
Hasil uji regresi linear berganda untuk peubah berpengaruh nyata..................................................................................................
41
Keragaan rumah tangga petani berdasarkan peubah yang berpengaruh nyata.............................................................................
43
Keragaan rumah tangga petani tidak tahan pangan berdasarkan peubah yang berpengaruh nyata.......................................................
44
10 Keragaan rumah tangga petani tahan pangan berdasarkan peubah yang berpengaruh nyata....................................................................
45
11 Keragaan unsur-unsur penentu luas lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal.................................................................
46
12 Luas lahan (ha) yang diperlukan keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimal menurut jumlah anggota rumah tangga................................................................................................
46
13 Keragaan unsur-unsur penentu luas lahan untuk memenuhi ratarata kecukupan energi.......................................................................
47
14 Luas lahan (m2) yang diperlukan keluarga untuk dapat memenuhi rata-rata kecukupan energi menurut jumlah anggota rumah tangga................................................................................................
48
15 Keragaan status luas penguasaan lahan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal dan rata-rata kecukupan energi ditinjau dari status ketahanan pangan rumah tangga.............
49
16 Kebutuhan lahan sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal dan rata-rata kecukupan energi...........................................
50
6 7 8 9
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka konseptual ketahanan pangan dan indikator generik.................
11
2 Kerangka konseptual kurang gizi pada anak.............................................
12
3 Sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak beserta karakteristiknya..............................................................................
18
4 Kerangka pemikiran penelitian: Peubah dalam ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik.......................................................
23
5 Peningkatan aktivitas cacing tanah............................................................
35
6 Pengomposan aerobik................................................................................
37
7 Pengomposan anaerobik............................................................................
37
8 Lokasi pengomposan.................................................................................
37
9 Sebaran proporsi sumber pendapatan terhadap total pendapatan...............
49
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat ................................................................................................
60
2
Peta Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat......
61
3
Hasil uji Korelasi Pearson antara peubah bebas dan tidak bebas ..............
62
4
Hasil uji Korelasi Spearman antara peubah bebas dan tidak bebas ..........
63
5
Hasil uji regresi dengan posedur stepwise untuk memperoleh peubah bebas yang berpengaruh nyata...................................................................
64
I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pertambahan penduduk yang melaju dengan cepat perlu diimbangi dengan
kualitas dan kuantitas makanan sebagai bahan pokok, paling tidak sama dengan laju pertumbuhan penduduk. Tuntutan ini mendorong munculnya sistem pertanian modern yang memiliki ciri-ciri ketergantungan yang tinggi pada: (1) pupuk sintetis; (2) bahan kimia sintetis untuk pengendalian hama, penyakit, dan gulma; dan (3) varietas unggul untuk tanaman monokultur. Sistem pertanian modern tersebut memang terbukti ampuh dalam menjawab tantangan tersebut. Menurut FAO (1989) dalam Sutanto (2002), penggunaan pupuk yang sepadan dan seimbang di negara-negara sedang berkembang dapat meningkatkan hasil pangan 50 hingga 60 persen; bahkan seorang pengamat pertanian dunia mengemukakan bahwa kenaikan produksi pangan dunia sejalan dengan penggunaan pupuk kimia. Namun, penggunaan bahan kimia sintetis yang intensif tersebut bukan tanpa risiko. Allen dan Dusen (1988) mengemukakan bahwa pertanian modern ini telah menyebabkan kemerosotan sifat-sifat tanah, percepatan erosi tanah, penurunan kualitas tanah, dan kontaminasi air bawah tanah. Hal ini menunjukkan bahwa tuntutan untuk meningkatkan produksi pertanian ternyata memiliki keterbatasan. Reijntjes et al. (1992) mengemukakan bahwa produktivitas ekosistem memiliki batas maksimal. Jika batas ini dilampaui, ekosistem akan mengalami degradasi bahkan kemungkinan akan runtuh sehingga hanya sedikit orang yang bisa bertahan hidup dengan sumberdaya yang tersisa. Melihat kondisi tersebut, salah satu ancaman yang besar terhadap kualitas dan kuantitas pertanian adalah hilangnya kesuburan tanah karena cara-cara bertani yang tidak memperhatikan kesehatan lingkungan. Untuk itu diperlukan sistem pertanian yang sesuai dengan asas-asas lingkungan sehingga dapat menjamin kesehatan lingkungan dan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam bagi generasi yang akan datang. Ciri utama pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah: (1) mampu meningkatkan hasil pertanian dan menjamin kebutuhan masyarakat; (2) mampu menghasilkan gizi dengan kualitas yang tinggi dengan meminimalisasi
bahan kimia yang membahayakan bagi yang mengkonsumsinya; dan (3) tidak mengurangi dan merusak terhadap kesuburan lahan pertanian, termasuk di dalamnya tidak menimbulkan erosi tanah (Saepurrohman, 2005).
Salah satu
tawaran solusi untuk menciptakan sistem pertanian yang ramah lingkungan adalah pertanian organik. Menurut FAO (2002), pertanian organik didefinisikan sebagai sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan ekosistem, termasuk siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan pada meminimalkan input eksternal seperti menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kesuburan tanah dijaga dan ditingkatkan dengan cara mengoptimalkan aktivitas biologis tanah.
Hama dan penyakit
tanaman dikendalikan dengan merangsang adanya hubungan seimbang antara inang/predator, peningkatan populasi serangga yang menguntungkan, dan penggunaan pestisida organik. Beberapa keuntungan yang dapat dipetik dari penerapan pertanian organik, khususnya yang berkaitan dengan kesuburan tanah, adalah pengaruhnya terhadap sifat fisik dan kimia tanah, serta populasi mikroba tanah. Hasil penelitian di Taiwan seperti yang dilaporkan Yamada (1988), menunjukkan bahwa pemakaian kotoran sapi dalam jangka panjang akan memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu meningkatkan porositas tanah, dan cenderung menurunkan kerapatan padatan tanah dibandingkan dengan pemakaian pupuk sintetis yang menyebabkan peningkatan kepadatan permukaan tanah. Terhadap sifat kimia tanah, Lin et al. (1973) menemukan bahwa tingkat Mg, Ca, dan K yang dapat dipertukarkan pada perlakuan pupuk kandang dan pupuk hijau lebih tinggi daripada hanya menggunakan pupuk sintetis. Reganold (1989) menyatakan bahwa dalam jangka panjang, pertanian organik dapat meningkatkan ketersediaan P, K, dan Ca dibandingkan dengan pertanian konvensional. Untuk pemakaian pupuk organik pada lahan tanaman padi, Lin et al. (1973) dan Reganold (1989) sama-sama menyimpulkan bahwa kandungan N lebih tinggi dibandingkan dengan pemakaian pupuk sintetis. Keuntungan pertanian organik terhadap populasi mikroba tanah erat kaitannya dengan ketersediaan karbon dalam tanah. Pupuk organik yang 2
ditambahkan ke dalam tanah akan menjadi sumber karbon dan energi bagi mikroba tanah untuk kelanjutan metabolisme, pertumbuhan, dan reproduksi. Menurut Fraser et al. (1988), peningkatan aktivitas mikroba berbanding lurus dengan peningkatan kandungan karbon organik tanah, nitrogen, dan air dalam pori-pori tanah. Keuntungan lain yang diperoleh petani organik adalah dari segi keamanan pangan, produk organik tidak menggunakan bahan pembasmi sintetis untuk hama dan penyakit, sehingga manusia terbebas dari dampak negatif akumulasi residu bahan sintetis tersebut dalam tubuhnya. Selain itu, juga adanya kaitan antara praktek pertanian organik dengan peningkatan ketahanan pangan rumah tangga. Badan dunia FAO (2002) mengemukakan bahwa karena tidak tersedianya input dan teknologi pertanian yang murah, sederhana, dan lokal maka sebagian besar petani tetap saja miskin, termarjinalkan, dan kelaparan.
Dengan pertanian
organik, permasalahan tersebut dapat diatasi karena pertanian organik sangat menekankan pada sumberdaya alam lokal yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan, menggunakan teknologi lokal dan sederhana, serta sedapat mungkin mengurangi input eksternal. Hal ini berarti penerapan pertanian organik mampu memangkas biaya produksi.
Menurut perhitungan Andoko (2004), biaya
operasional pembudidayaan padi secara organik hanya sebesar 72% dibandingkan dengan non organik. Selain itu, FAO (2002) juga melaporkan bahwa melalui proyek Jajarkot Permeaculture Programme di Nepal, pertanian organik yang diterapkan pada lahan seluas 350 ha menunjukkan peningkatan hasil panen padi dari 1.8 menjadi 2.4 ton/ha dan jagung dari 1.2 menjadi 1.6 ton/ha. Dengan biaya produksi yang menurun dan hasil yang cenderung meningkat maka petani organik memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatannya sehingga akses petani terhadap pangan juga meningkat.
Jika dilihat definisi
ketahanan pangan menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1996 tentang pangan, akses terhadap pangan tersebut penting bagi rumah tangga petani karena hal itu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup secara produktif dan sehat. Dalam konsep food entitlement, Sen mengemukakan bahwa akses rumah tangga terhadap pangan merupakan dimensi terpenting dari ketahanan pangan rumah tangga (Maxwell & Frankerberger, 1992).
Konsep 3
tersebut menekankan pada kemampuan rumah tangga untuk memproduksi pangan atau pertukarannya guna memperoleh pangan yang cukup. Di antara berbagai jenis pangan yang dibutuhkan rumah tangga, salah satunya adalah beras.
Beras yang dihasilkan dari tanaman padi merupakan
makanan pokok lebih dari setengah penduduk Asia. Sekitar 1.750 juta jiwa dari sekitar tiga miliar penduduk Asia, termasuk sekitar 200 juta penduduk Indonesia, menggantungkan kebutuhan kalorinya dari beras (Andoko, 2004). Penduduk Indonesia demikian tergantung pada beras, sedikit saja terjadi ganguan pasokan, harga jual beras meningkat. Karena itu, pemerintah sangat berkeinginan untuk berswasembada beras. Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil; pada tahun 1985, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras.
Namun, untuk meningkatkan produksi hingga
tercapai swasembada beras tersebut segala daya upaya ditempuh oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan intensifikasi pertanian di seluruh Indonesia. Para petani di Bogor pun hingga saat ini masih menerapkan kabijakan tersebut. Teknik bercocok tanam tradisional yang ramah lingkungan benar-benar ditinggalkan dan digantikan dengan cara bertani modern dengan penggunaan pupuk dan pestisida sintetis yang ternyata berdampak buruk terhadap kesuburan tanah. Menyadari hal tersebut, pada tahun 2002, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Silih Asih mencoba menerapkan cara bertani padi secara organik. Namun demikian permasalahannya adalah penguasaan lahan oleh petani tidak memadai.
Rumah tangga petani di Kabupaten Bogor hanya menguasai
lahan rata-rata 0,34 ha (BPS, 2004).
Masalah lain adalah tingginya balita
penyandang gizi buruk di Kabupaten Bogor. Telah terjadi peningkatan balita penyandang gizi buruk sebesar 79,1%, yaitu dari 3.313 balita pada tahun 2005 menjadi 5.934 balita pada tahun 2006. Sedangkan balita penyandang gizi kurang pada 2006 telah mencapai 10.000 balita (BKKBN, 2006).
1.2
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari katahanan pangan rumah tangga
petani penghasil beras organik. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 4
1. Menganalisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik. 2. Mengidentifikasi penguasaan lahan dalam mendukung ketahanan pangan rumah tangga.
1.3
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan (informasi) bagi
pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, tentang kondisi ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik.
Dengan masukan tersebut,
diharapkan pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang tepat mengenai penerapan sistem pertanian pangan organik.
5
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Ketahanan Pangan 2.1.1 Konsep Ketahanan Pangan Konsep ketahanan pangan untuk pertama kalinya berkembang bersamaan
dengan terjadinya krisis pangan global, yaitu pada dekade
70-an.
Konsep
ketahanan pangan yang berkembang saat itu lebih tertuju pada ketersediaan pangan secara nasional dan global. Pada dekade 80-an terjadi perubahan konsep ketahanan pangan. Konsep ketahanan pangan lebih mengarah pada unit analisis yang lebih spesifik yaitu ketersediaan dan konsumsi pangan di tingkat rumah tangga atau individu dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi (Braun et al. 1992; Maxwell & Frankenberger 1992; Martianto 1999). Penyebab dari perubahan pemahanan tersebut terkait dengan kenyataan bahwa ketersediaan pangan pada skala wilayah (daerah atau nasional) tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga atau individu. Hal ini disebabkan adanya faktor lain yang menghambat akses perolehan pangan di tingkat rumah tangga atau individu.
Menurut Maxwell dan Frankenberger
(1992), Amartya Sen mengemukakan bahwa faktor penghambat tersebut terkait dengan entitlement (faktor kepemilikan). Level entitlement yang rendah pada individu/rumah tangga menyebabkan mereka tidak punya akses terhadap pangan. Handewi dan Ariani (2002) mengungkapkan bahwa pada awalnya pertanyaan seputar ketahanan pangan adalah berkisar pada ”dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup”, kemudian pertanyaan tersebut dipertajam lagi oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) menjadi “dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin”.
Namun sejak awal 1990-an pertanyaan
tersebut telah jauh lebih lengkap dan komplek menjadi “dapatkah dunia memproduksikan pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan hidup”. Sejalan dengan perkembangan konsep ketahanan pangan, pengertian ketahanan pangan juga mengalami perkembangan. Saat ini, pengertian ketahanan pangan yang telah diterima oleh kalangan secara luas adalah terjaminnya akses
pangan pada segenap rumah tangga serta individu setiap waktu sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat (Braun et al. 1992; Suhardjo 1996, Soetrisno 1997); yang selanjutnya oleh Baliwati (2001), akses pangan dalam pengertian tersebut dimaknakan sebagai aksesbilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan. Namun sebelum sampai pada pengertian tersebut, seperti yang diungkapkan Soetrisno (1995), pada tahun 1984 konferensi FAO mencetuskan dasar-dasar ketahanan pangan yang pada intinya adalah menjamin kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan terjaminnya setiap individu untuk dapat memperoleh pangan. Pengertian tersebut selanjutnya disempurnakan pada waktu International Congress of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 dalam Suhardjo (1996) yang memberikan definisi ketahanan pangan rumah tangga sebagai berikut:
“Ketahanan pangan rumah tangga (household food
security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari”.
Kemudian dalam sidang Committee on World Food
Security 1995 dalam Soetrisno (1997), definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “dapat diterima oleh budaya setempat” (acceptable within given
culture).
Berkenaan
dengan
budaya
setempat,
Hasan
(1995)
mengemukakan bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat.
Selanjutnya, seperti yang diungkapkan
Handewi dan Ariani (2002), pengertian tersebut dipertegas lagi pada Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia dan Rencana Tindak Lanjut Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia tahun 1996 menjadi ketahanan pangan terwujud apabila semua orang, setiap saat, memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Di Indonesia, deklarasi Roma tentang ketahanan pangan tersebut dapat diterima, yang kemudian dilegitimasi pada rumusan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan (Bab I, Pasal 1), yang 7
menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Sementara itu, Lokakarya
Ketahanan Pangan Nasional (Deptan 1996) memberikan rumusan ketahanan pangan rumah tangga sebagai berikut: ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu dan berkelanjutan baik dari produksi sendiri ataupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragam yang sesuai dengan lingkungan setempat serta sosial budaya rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif. Dengan demikian, pada hakekatnya ketahanan pangan rumah tangga adalah seperti yang dikemukakan oleh Chung (1977) dan Haddad (1997), yaitu merupakan rangkaian dari tiga komponen utama, yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan, kemudahan memperoleh pangan, dan pemanfaatan pangan.
2.1.2 Indikator Ketahanan Pangan Mengingat
pengertian
katahanan
pangan
yang
berubah-ubah
dan
menyangkut aspek yang sangat luas, maka indikator yang digunakan para peneliti atau pakar untuk mengukur ketahanan pangan pun sangat beragam. Ketahanan pangan dapat diukur tidak hanya pada tingkat agregatif nasional dan regional tetapi juga dapat diukur pada tingkat rumah tangga dan individu (Soekirman 1996). Menurut Sayogyo (1991), indikator pertanian dan sosial ekonomi yang digunakan untuk menganalisis ketahannan pangan meliputi pendapatan rumah tangga, harga pangan, harga barang konsumsi lain, sistem irigasi, status gizi, dan pelayanan kesehatan. Menurut Sutrisno (1997), dengan mengacu pada pengertian ketahanan pangan dalam Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan dan rencana aksi KTT Pangan Dunia, maka beberapa indikator yang dapat digunakan meliputi: (1) angka ketersediaan pangan setara energi, protein, dan lemak dibandingkan dengan angka kecukupan berdasarkan rekomendasi; (2) angka konsumsi energi, protein, dan lemak penduduk dibandingkan dengan angka kecukupan berdasarkan rekomendasi; (3) persentase jumlah penduduk yang 8
mengalami rawan pangan; (4) angka indeks ketahanan pangan rumah tangga; (5) angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah; (6) tingkat harga pangan pokok penduduk setempat; (7) skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk tingkat ketersediaan atau konsumsi; (8) kondisi keamanan pangan; (9) keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat; dan (10) tingkat cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan. Sementara itu, Suhardjo (1996), mengungkapkan bahwa kondisi ketahanan pangan rumah tangga dapat tercermin dari indikator: (1) tingkat kerusakan tanaman, ternak, perikananan; (2) penurunan produksi pangan; (3) tingkat ketersediaan pangan dalam rumah tangga; (4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran atau pendapatan total; (5) fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsusmsi; (6) perubahan kehidupan sosial (seperti: migrasi, menjual/menggadaikan aset, pinjam meminjam); (7) keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas), serta (8) status gizi. Menurut Susanto (1995), ketahanan pangan rumah tangga yang menurun dapat diramalkan dengan menggunakan gejala-gejala alam dan gejala-gejala sosial yang dapat diamati dan dicatat. Gejala-gejala alam yang terkait dengan kemungkinan terjadinya rawan pangan dan menurunnya ketahanan pangan rumah tangga antara lain: (1) daundaun pohon di hutan mengering dan berjatuhan; (2) binatang hutan (babi hutan, dan lain-lain) turun ke desa-desa; (3) sumber-sumber air mengering; (4) anjinganjing perumahan banyak berkeliaran di pasar; dan (5) binatang/cacing-cacing laut banyak bergerombol di pantai.
Gejala-gejala sosial yang terkait dengan
kemungkinan menurunnya ketahanan pangan rumah tangga antara lain adalah terjadinya peningkatan jumlah: (1) penduduk yang melakukan urbanisasi; (2) murid/siswa yang putus sekolah; (3) pedagang asongan; (4) pengemis dan pemulung; (5) WTS dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah; (6) kasus pencurian dan perampokan; dan (7) tuna karya. Maxwell dan Frankenberger (1992) membagi indikator ketahanan pangan ke dalam dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator hasil. Indikator proses (process indicators) mencerminkan derajat kerentanan karena faktor ketersediaan pangan dan akses fisik pangan.
Indikator yang mencerminkan ketersediaan
pangan di antaranya adalah: data meteorologi, informasi sumberdaya alam, data 9
produksi pertanian, model agroekologi, Neraca Bahan Makanan, informasi sebaran hama penyakit tanaman, struktur pasar, dan kelembagaan penunjang. Indikator hasil (outcomes indicators) merupakan proksi dari konsumsi pangan. Indikator ini terdiri atas indikator langsung (direct indicators) dan tidak langsung (indirect indicators).
Termasuk dalam indikator langsung adalah:
pengeluaran pangan rumah tangga, persepsi rumah tangga terhadap ketahanan pangan dan frekuensi pangan. Ada pun kategori indikator tidak langsung antara lain mencakup kajian tentang simpanan (cadangan) pangan, rasio potensi subsisten dan status gizi. Sebagai rangkuman dari berbagai indikator yang digunakan dalam studi ketahanan pangan rumah tangga, Chung et al. (1997) memberikan kerangka konseptual ketahanan pangan beserta penggolongan indikator generiknya (Gambar 1). Dalam kerangka konseptual ketahanan pangan tersebut terdapat tiga komponen ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan. Uraian dari ketiga komponen ketahanan pangan beserta indikatornya adalah sebagai berikut: (1) komponen ketersediaan pangan meliputi sumberdaya (alam, fisik, manusia) dan produksi (pertanian dan non pertanian).
Indikator yang
digunakan untuk menjelaskan sumberdaya alam adalah curah hujan, kualitas tanah, ketersediaan air, dan akses terhadap sumberdaya hutan; untuk menjelaskan sumberdaya fisik adalah pemilikan ternak, sarana pertanian, dan tanah, serta akses infrastruktur; dan untuk sumberdaya manusia adalah rasio ketergantungan, pendidikan, besar keluarga, dan umur kepala keluarga.
Adapun indikator
produksi meliputi total luas lahan garapan, luas lahan beririgasi dan diberakan, akses terhadap input dan penggunaannya, pola tanam, keragaman tanaman, produksi pangan, dan produksi non pertanian; (2) komponen akses pangan tergantung pada pendapatan baik dari pertanian maupun non pertanian. Indikator yang digunakan adalah total pendapatan, pendapatan dari tanaman dan ternak, upah, harga jual, pasar, akses jalan, dan kiriman uang; dan (3) komponen pemanfaatan pangan yang meliputi konsumsi (pangan dan non pangan) dan status gizi (anak dan dewasa). Indikator yang digunakan untuk konsumsi adalah total pengeluaran, pengeluaran untuk pangan dan non pangan, harga beli, konsumsi dan frekuensi pangan. Indikator status gizi meliputi antropometri, kadar serum, 10
kesakitan, kematian, kelahiran, akses pelayanan kesehatan, air bersih, serta sanitasi yang memadai.
Ketersediaan pangan
Sumberdaya • Alam • Fisik • Manusia
Akses pangan
Produksi • Pertanian • Non pertanian
Pendapatan • Pertanian • Non Pertanian
Pemanfaatan pangan
Konsumsi • Pangan • Non Pangan
Status gizi • Anak • Dewasa
INDIKATOR GENERIK
Sumberdaya Alam Curah hujan Kualitas tanah Ketersediaan air Akses terhadap sumberdaya hutan Fisik Pemilikan ternak Pemilikan sarana pertanian Pemilikan tanah Akses infrastruktur
Produksi Total luas lahan garapan Luas lahan beririgasi Luas lahan diberakan Akses terhadap input dan penggunaannya Pola tanam Keragaman tanaman Produksi pangan Produksi non pertanian
Pendapatan Pendapatan dari tanaman Pendapatan dari ternak Upah Harga jual Pasar Akses jalan Kiriman uang
Konsumsi Total pengeluaran Pengeluaran pangan Pengeluaran non pangan Harga beli Konsumsi pangan Frekuensi pangan
Status gizi Antropometri Kadar serum Angka kesakitan Angka kematian Angka kelahiran Akses pelayanan kesehatan Akses terhadap air bersih Sanitasi yang memadai
Manusia Rasio ketergantungan Pendidikan Besar keluarga Umur kepala keluarga
Gambar 1 Kerangka konseptual ketahanan pangan dan indikator generik (Chung 1997)
UNICEF (1997) menyetakan bahwa ketidakterjaminan akses pangan merupakan faktor penyebab tidak langsung munculnya masalah gizi kurang pada anak selain oleh penyakit infeksi terutama diare (Gambar 2). Gambaran dari 11
UNICEF (1997) di atas memperlihatkan bahwa jumlah dan kualitas sumber daya yang dicerminkan oleh ketersediaan dan produksi pangan akan menentukan kemampuan rumah tangga mengakses pangan.
Masalah gizi kurang pada anak
Ketidakcukupan Konsumsi Pangan
Ketidakcukupan akses terhadap pangan
Dampak
Penyakit
Ketidakcukupan perawatan ibu dan anak
Kualitas air dan sanitasi dan pelayanan kesehatan tidak memadai
Penyebab langsung di tingkat individu
Penyebab tidak langsung di tingkat rumah tangga
Ketidakcukupan dan/atau ketidaktepatan pengetahuan atau sikap diskriminatif yang membatasi akses rumah tangga terhadap sumber daya aktual Kuantitas dan kualitas sumber daya aktual – manusia, ekonomi, dan organisasi – dan cara mereka mengontrolnya. Pokok masalah Politik, budaya, agama, ekonomi, dan sistem sosial, termasuk status wanita yang membatasi pemanfaatan sumber daya potensial Sumber daya potensial: lingkungan, teknologi, dan penduduk
Gambar 2 Kerangka konseptual kurang gizi pada anak (UNICEF 1997)
12
2.2
Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Organik Menurut Manguiat (1995), ada dua peristiwa penting yang menandai
kelahiran paradigma baru sistem pertanian berkelanjutan.
Peristiwa pertama
adalah laporan dari Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development) pada tahun 1987, yang mendefinisikan yang berupaya mempromosikan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Peristiwa kedua adalah konferensi
Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang membahas Agenda 21 dengan mempromosikan program Sustainable Agriculture and Rural Development. Di kalangan para pakar ilmu tanah atau agronomi, istilah pertanian berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input Sustainable Agriculture), yaitu sistem pertanian yang berupaya meminimalkan penggunaan input (benih, pupuk kimia, pestisida, dan bahan bakar) dari luar ekosistem, yang dalam jangka panjang dapat membahayakan kelangsungan hidup sistem pertanian
(Salikin 2003).
Menurut Reijntjes et al. (1992), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumbar daya alam. Menurut FAO (1989) seperti yang diacu dalam Salikin (2003), menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan dan konservasi sumber daya alam yang berorientasi pada perubahan teknologi dan kelembagaan yang dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Selanjutnya, Nasution (1995) mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah kegiatan pertanian yang berupaya untuk memaksimalkan manfaat sosial dari pengelolaan sumber daya biologis dengan syarat memelihara produktivitas dan efisiensi produksi komoditas pertanian, memelihara lingkungan hidup, dan produktivitas sumber daya sepenjang masa. Dari berbagai definisi di atas, pertanian berkelanjutan berkaitan dengan dimensi waktu dan kapasitas sistem usaha tani untuk mendukung kehidupan dalam jangka waktu tidak terbatas. Keadaan tersebut dapat dicapai berdasarkan dua elemen kunci, yaitu (1) penggunaan bahan kimia terutama pupuk dan 13
pestisida secara minimal, dan (2) sistem usaha tani dipandang sebagai satu kesatuan sehingga pengambilan keputusan harus memperhatikan dampak terhadap sistem yang lain (Baliwati 2001). Dengan demikian, keterkaitan antara pertanian berkelanjutan dengan ketahanan pangan dapat dilihat pada tujuan dari penerapan sistem pertanian berkelanjutan yang mengarah pada peningkatan kualitas kehidupan. Zamora (1995) merinci tujuan pertanian berkelanjutan sebagai berikut: (1) untuk mewujudkan ketahanan pangan, (2) pengembangan sumber daya manusia, (3) meningkatkan kualitas hidup, dan (4) menjaga kelestarian sumber daya alam. Untuk menilai keberlanjutan dari suatu sistem usaha tani diperlukan indikator. Indikator pertanian berkelanjutan yang dikembangakan Conway (1987) seperti yang diacu dalam Salikin (2003) meliputi produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, dan ekuitabilitas. Produktivitas sistem pertanian merupakan upaya peningkatan
produksi
per
satuan
waktu.
Stabilitas
sistem
pertanian
menggambarkan fluktuasi produksi hasil panen setiap waktu yang disebabkan oleh perubahan agroekosistem atau serangan hama dan penyakit. Sustainabilitas merupakan gambaran ketahanan sistem budi daya pertanian terhadap perubahan lingkungan atau ekonomi.
Perubahan ini dapat bersifat menekan karena
memberikan efek yang akumulatif, seperti erosi atau penurunan permintaan atas produk pertanian; atau bersifat mengejutkan karena tak terduga dan memberikan dampak
yang
sangat
berarti,
seperti
terjadinya
krisis
ekonomi
yang
mengakibatkan peningkatan harga input pertanian secara tajam. Ekuitabilitas atau kesamarataan menggambarkan bahwa produksi pertanain dapat dapat memberikan keuntungan yang merata atau sebaliknya. Ekuitabilitas usaha tani yang tinggi akan membuat sebagian besar orang orang dapat menikmati keuntungan dari produk pertanian. Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa macam model sistem. Salah satunya adalah sistem pertanian organik. Pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah (no-tillage) yang merupakan salah bentuk penerapan pertanian berkelanjutan, jika dikombinasikan dengan sistem pertanian organik akan memberikan hasil yang memuaskan. Hasil penelitian Teasdale et al (2007) yang dilakukan selama 9 tahun menunjukkan 14
bahwa produksi jagung yang diperoleh dari lahan no-tillage dengan kombinasi pertanian organik memberikan hasil 18% lebih besar daripada lahan no-tillage dengan sistem pertanian non organik. Pengertian sistem pertanian organik menurut IFOAM (2004) adalah sistem pertanian yang mengedepankan daur ulang unsur hara dan proses alami dalam pemeliharaan kesuburan tanah dan keberhasilan produksi.
Di Indonesia,
pengertian sistem pertanian organik lebih dirinci oleh Badan Standardisasi Nasional yang dituangkan dalam SNI (2002) tentang Sistem Pangan Organik, yaitu sebagai sistem pertanian yang menerapkan praktek-praktek manajemen yang bertujuan untuk memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan, dan didasarkan pada penggunaan masukan eksternal yang minimum, serta menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Kesuburan tanah dijaga dan ditingkatkan melalui suatu sistem yang mengoptimalkan aktivitas biologis tanah dan keadaan fisik dan mineral tanah yang bertujuan untuk menyediakan suplai nutrisi yang seimbang bagi kehidupan tumbuhan dan ternak serta menjaga sumberdaya tanah. Manajemen hama dan penyakit dilakukan dengan
merangsang
adanya
hubungan
seimbang
antara
inang/predator,
peningkatan populasi serangga yang menguntungkan, pengendalian biologis serta pembuangan secara mekanis hama maupun bagian tumbuhan yang terinfeksi. Lebih jauh menurut SNI (2002), sistem pertanian organik merupakan suatu sistem produksi pangan organik yang dirancang untuk: (1) mengembangkan keanekaragaman hayati dalam sistem secara keseluruhan; (2) meningkatkan aktivitas biologis tanah; (3) menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang; (4) mendaur ulang limbah yang berasal dari tumbuhan dan hewan untuk mengembalikan nutrisi ke lahan sehingga meminimalkan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui; (5) mengandalkan sumberdaya yang dapat diperbaharui
pada
sistem
pertanian
yang
dikelola
secara
lokal;
(6)
mempromosikan penggunaan tanah, air dan udara secara sehat, serta meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan oleh praktek-praktek pertanian; (7) menangani produk pertanian dengan penekanan pada cara pengolahan yang hati-hati untuk menjaga integritas organik dan mutu produk pada seluruh tahapan; dan (8) bisa diterapkan pada seluruh lahan pertanian yang ada 15
melalui suatu periode konversi, dimana lama waktunya ditentukan oleh faktor spesifik lokasi seperti sejarah lahan serta jenis tanaman dan hewan yang akan diproduksi. Menurut Andoko (2004), yang dimaksud dengan beras organik adalah beras yang berasal dari padi yang dibudidayakan secara organik; artinya padi tersebut ditumbuhkembangkan dengan mengikuti prinsip-prinsip pertanian organik. Beras organik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan beras non organik. Andoko (2004) mengungkapkan bahwa nasi dari beras organik lebih empuk dan pulen, memiliki kenampakan lebih putih, serta memiliki daya tahan hingga 24 jam sementara nasi dari beras non organik hanya 12 jam.
Dari alasan keamanan
pangan, konsumen merasa tidak terancam kesehatannya dengan memilih padi organik karena tiadanya pemakaian pestisida dalam budidayanya.
Alasan
kesehatan ini juga diungkapkan oleh Pranasari (8 Nov 2004), yang menulis bahwa pemilihan pangan organik antara lain disebabkan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan. Persepsi positif terhadap beras organik ditambah dengan masih terbatasnya pasokannya merupakan penyebab utama harga jual beras organik lebih mahal daripada beras non organik.
Dalam tulisannya Andoko (2004) menyebutkan
ketika harga beras non organik varietas pandan wangi sekitar Rp 3.300/kg, harga beras organik dapat mencapai Rp 3.600/kg untuk varietas yang sama. Selisih tersebut memang tidak banyak, namun tetap berada di atas harga beras non organik. Hal inilah yang membuat nilai ekonomis beras organik lebih tinggi dibanding beras non organik. Melihat kenyataan tersebut, wajar apabila sebagian petani bersedia beralih dari penghasil beras non organik ke organik.
Apalagi jika dilihat dari biaya
operasional pembudidayaan padi organik yang lebih rendah daripada non organik. Dengan asumsi sama-sama tidak ada gangguan alam atau serangan hama penyakit, Andoko (2004) menyebutkan untuk padi organik, petani hanya membutuhkan biaya operasional pembudidayaan sebesar Rp 3.375.000,- per ha padahal untuk padi non organik petani harus mengeluarkan uang sebesar Rp 4.677.500,- untuk luasan lahan yang sama.
Rincian biaya operasional
pembudidayaan padi organik dan non organik disajikan pada Tabel 1. 16
Pendapatan petani dari beras organik tersebut dapat lebih ditingkatkan lagi jika kondisi petani memungkinkan untuk menerapkan sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak.
Sayangnya, sistem usahatani ini
mensyaratkan kepemilikan ternak dalam jumlah yang memadai dan tersedia lahan dengan luasan yang mampu menopang sistem pertanian terpadu tersebut. Namun jika persayaratan tersebut dapat terpenuhi, maka salah satu pertimbangan dalam mengembangkan pertanian organik, yaitu memanfaatkan sumberdaya terbarukan (renewable resources) yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri, akan dapat dipenuhi (IFOAM 1990, diacu dalam Sutanto 2002). Tabel 1. Perbandingan biaya operasional per ha pembudidayaan padi organik dan non oganik (Andoko 2004) Uraian Benih Pupuk dasar Pupuk susulan: - Organik - Non organik Pestisida: - Organik - Non organik Tenaga kerja Jumlah
Biaya Budidaya (Rp) Organik 150.000 750.000
Non organik 150.000 -
200.000 -
1.532.500
50.000 2.225.000 3.375.000
750.000 2.225.000 4.677.500
Shivashankara dan Hedge (1996) dalam Sutanto (2002) mengungkapkan walaupan sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak ini memiliki karakteristik membutuhkan tenaga kerja labih banyak sepanjang tahun, namun produk pertanian yang diperoleh menjadi beragam yaitu berupa produk hewani dan nabati. Sistem usahatani ini menuntut penggantian biomassa dalam jumlah banyak melalui pengembalian sisa tanaman dan kotoran ternak ke dalam tanah, maka terjadi peningkatan proses daur ulang, kesehatan tanah diperbaiki, produksi meningkat, dan lingkup pertanian organik terpenuhi. Secara ringkas, hubungan sistem usahatani tersebut dengan karakteristiknya disajikan pada Gambar 3. 17
2.3
Land-man Ratio Land-man ratio berkaitan erat dengan pertumbuhan penduduk.
Sebagai
contoh kasus di Bangladesh seperti yang dikemukakan Spillmann dan Bachler, (2004), pertumbuhan penduduk menurunkan land-man ratio menjadi 0,117 ha pada tahun 1990 dari 0,134 ha pada tahun 1981. Selain itu, land-man ratio juga menurun sebagai akibat dari terjadinya fragmentasi kepemilikian lahan karena budaya sistem pewarisan yang memecah-mecah kepemilikan lahan. Akibatnya, kepemilikan lahan semakin mengecil sehingga tidak efektif lagi sebagai lahan pertanian (Hussain 2004).
Produksi dianekaragamkan: memanfaatkan residu dan limbah
Daur ulang ditingkatkan dan dipertahankan
Lingkup pertanian organik ditingkatkan
Produktivitas diperbaiki; kesehatan tanah lebih baik
SISTEM USAHATANI MEMADUKAN KOMPONEN TANAMAN DAN TERNAK
Menggantikan biomassa dalam jumlah banyak; sisa tanaman dan ternak didaur ulang
Diperlukan tenaga kerja lebih banyak sepanjang tahun
Gambar 3 Sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak beserta karakteristiknya (Shivashankara & Hedge 1996, diacu dalam Sutanto 2002). Menurut FAO (1994), wilayah Asia-Pasific memiliki land-man ratio terendah (0,23 ha/orang), sementara setengah penduduk dunia bermukim di sini dan menurut Pookpakdi (2002) 61%-nya adalah orang-orang yang kehidupannya 18
tergantung pada pertanian. Walaupun begitu, ternyata wilayah ini hanya memiliki 31% dari lahan pertanian di dunia. Kondisi land-man ratio rendah ini nampaknya akan terus menjadi lebih rendah, sementara jika dibandingkan dengan rata-rata land-man ratio dunia menurut laporan FAO, pada tahun 1991 adalah sebesar 1.62 ha/orang dan hasil pengolahan dari FAO (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2000 land man ratio di Indonesia sebesar 0,0969 ha/orang atau 969 m2/orang. Kondisi ini terus menurun, menurut Shahyuti (2004), land-man ratio di Indonesia pada tahun 2004 dengan jumlah penduduk diperkirakan 215 juta jiwa dan luas lahan pertanian 7,8 juta ha adalah 362 m2/orang. Angka ini jauh lebih rendah misalnya dibandingkan dengan Thailand yang mencapai 1.870 m2/orang dan Vietnam 1.300 m2/orang. Tabel 2 Land-man ratio beberapa negara di Asia tahun 1980 – 2000 Negara Banglades China Filipina India Indonesia Jepang Malaysia Myanmar Pakistan Thailand Vietnam
Land man ratio (m2/orang ) 1980 1990 1.046 835 965 1.065 1.087 897 2.365 1.923 1.199 1.112 417 386 726 952 1.357 2.362 2.473 1.848 3.565 3.217 2.124 1.767
2000 586 1.030 746 1.576 969 352 791 2.084 1.493 2.604 1.427
Sumber: Diolah dari FAO (2007)
Kondisi fisik kehidupan di pedesaan menjadi lebih buruk. Sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk, sektor pertanian menjadi sangat terbebani. Pada waktu yang bersamaan, terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan di pedesaan mengakibatkan penurunan land-man ratio di seluruh wilayah Indonesia, dan yang paling signifikan adalah yang terjadi di daerah irigasi di Jawa (Hussain 2004). Di sisi lain, petani dituntut menaikkan produktivitas. Untuk meningkatkan hasil pertanian tidak dapat dengan ekstensifikasi melainkan dengan penggunaan tekologi atau pengaturan sistem manajemen pertanian yang lebih baik. 19
Penggunaan sistem pertanian organik merupakan salah satu jalan keluar yang dapat dijadikan alternatif.
2.4
Kerangka Pemikiran Landasan berfikir penelitian ini didasarkan pada gambaran yang diberikan
UNICEF (1997) bahwa terdapat keterkaitan antara sumber daya potensial dan aktual, ketidaktahanan pangan rumah tangga, dan kurang gizi (Gambar 2). Dari Gambar 2 tersebut terlihat bahwa yang menentukan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan selanjutnya berpengaruh terhadap konsumsi pangan individu adalah ketersediaan dan produksi pangan yang merupakan cerminan dari jumlah dan kualitas sumber daya. Sumber daya yang terkait dengan pokok masalah timbulnya kurang gizi dikelompokkan sebagai sumber daya potensial dan aktual. Agar rumah tangga terhindar dari masalah akses terhadap pangan karena ketidaktersediaan pangan yang selanjutnya akan berakibat pada ketidakcukupan konsumsi pangan pada individu maka petani harus melalukan kegiatan produksi usaha tani. Mengingat sistem usaha tani konvensional yang selama ini dilakukan petani berdampak pada kemerosotan tingkat kesuburan tanah maka petani harus meningkatkan kualitas dengan memanipulasi sumber daya potensial dengan menerapkan teknologi yang memungkinkan. Dalam hal ini petani memilih sistem pertanian berkelanjutan yang salah satu model pelaksanaannya adalah sistem pertanian organik.
Dengan pertanian berkelanjutan, mutu lahan menjadi
dipertahankan pada kondisi optimal sehingga akan menjamin produktivitas dalam jangka waktu lama untuk mewujudkan ketahanan pangan. Yang termasuk dalam sumber daya aktual adalah manusia, ekonomi, dan organisasi.
Secara umum yang termasuk
sumber daya manusia adalah
keterampilan, motivasi, kemauan, pengetahuan, pengalaman, dan komitmen. Sumber daya ekonomi meliputi lahan, sumber daya alam, produksi, teknologi, pendapatan, dan kredit. Sumber daya organisasi melibatkan organisasi formal dan non formal seperti keluarga, suku, organisasi masa, LSM, dan struktur administrasi dan institusi (Yambi & Kavishe 2002). Dalam penelitian ini, sumber daya manusia dicerminkan oleh beberapa variabel, yaitu pendidikan formal dan 20
non formal, pengelolaan limbah, tujuan penerapan pertanian organik, dan pengetahuan bertani secara organik. Pendidikan non formal yang diterima kepala keluarga adalah dalam bentuk pelatihan-pelatihan terutama yang berkaitan dengan sistem pertanian organik, khususnya dalam menghasilkan beras organik. Pelatihan ini diperlukan petani dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, selain sebagai ajang bertukar informasi dan mendiskusikan permasalahan yang ditemui selama mengelola sistem pertanian organik. Dalam mengelola sistem pertanian organik, petani dituntut untuk mentaati ketentuanketentuan seperti yang dituangkan dalam SNI Sistem Pangan Organik, yaitu antara lain menggunakan sumberdaya lokal dan meminimalkan masukan eksternal. Untuk itu, petani dituntut untuk mampu mengelola sebaik mungkin sumberdaya yang mereka miliki termasuk limbah yang dihasilkan oleh aktivitasnya sehingga ia dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik. Limbah tersebut dapat berupa sisa-sisa panen tanaman, kotoran ternak, atau sampah rumah tangga. Khusus untuk sampah rumah tangga, yang diperhitungkan adalah sampah yang dapat didekomposisikan. Berkaitan dengan hal itu, peubah berikutnya yang perlu dicermati adalah pengelolaan limbah oleh petani. Dengan mengidentifikasi bentuk pengelolaan limbah yang dilakukan petani akan dapat diketahui tingkat sokongannya terhadap sistem pertanian organik yang sedang ia lakukan.
Selain itu, dalam sumberdaya manusia juga menelaah tujuan dari
penerapan pertanian organik.
Tujuan atau harapan petani ketika menerapkan
sistem pertanian organik dapat berupa pelestarian sumberdaya alam atau harapan dalam kaitannya dengan peningkatan ekonomi atau sosial. Agar petani dapat menerapkan sistem pertanian organik dengan benar maka petani harus memiliki pengetahuan yang cukup; khususnya berkenaan dengan persiapan lahan, pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan hama dan penyakit, pemakaian benih, dan penanganan pasca panen. Sumber daya ekonomi ditelaah berdasarkan variabel-variabel berikut: penguasaan lahan, modal kerja, produktivitas beras organik, dan pendapatan. Ukuran luas lahan yang dikuasai dan diusahakan untuk bertanam padi organik akan menentukan produktivitas padi organik, modal kerja merujuk pada peralatan yang dimiliki dan uang. Pendapatan rumah tangga petani selain diperoleh dari 21
produksi beras, tanaman lain, dan ternak, juga dari hasil ‘menjual jasa’ baik di bidang maupun di luar pertanian dan transfer uang yang dapat berupa kiriman uang atau bantuan dari pemerintah (misalnya, bantuan langsung tunai). Dengan pendapatan ini, petani akan memiliki kemampuan untuk mengakses pangan. Variabel yang berkaitan dengan sumber daya organisasi adalah kerjasama. Peralihan usahatani dari pertanian non organik ke organik mengharuskan rumah tangga petani belajar kepada pihak-pihak yang terlebih dahulu menguasai teknikteknik bertani organik. Rumah tangga petani harus melakukan hubungan dan kerjasama dengan organisasi sosial lainnya dalam sistem usahataninya (dalam penelitian ini terutama dengan Lembaga Pertanian Sehat).
Lembaga tersebut
memberikan transfer pengetahuan bertani organik seperti
pembuatan pupuk
organik dan pembuatan pestisida nabati termasuk penerapannya. Lembaga ini juga melakukan supervisi mulai dari masa pertumbuhan padi hingga penanganan pasca panen, dan yang terakhir adalah membeli hasil panen serta memasarkannya. Hubungan sosial tersebut selain dengan lembaga, tidak tertutup kemungkinan adanya hubungan dan kerjasama antara petani dengan pemerintah, swasta, perguruan tinggi, maupun antar petani. Kuantitas dan kualitas sumber daya akan menentukan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan yang dicerminkan oleh konsumsi pangan. Karena menurut Maxwell & Frankenberger (1992) ketahanan pangan adalah akses terhadap pangan yang cukup untuk beraktivitas dan hidup sehat bagi seluruh anggota rumah tangga maka dengan menjadikan konsumsi pangan anggota rumah tangga sebagai variabel dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketahanan pangan rumah rangga. Secara ringkas, kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar 4.
22
Status gizi
KETAHANAN PANGAN
Penyakit
Konsumsi pangan
Akses terhadap pangan
Perawatan ibu dan anak
Lingkungan dan pelayanan kesehatan
Sumber daya manusia: − Pendidikan formal dan non formal − Tujuan penerapan pertanian organik − Pengelolaan limbah − Pengetahuan bertani secara organik
Sumber daya ekonomi: − Penguasaan lahan − Modal kerja − Produktivitas beras organik − Pendapatan
Sumber daya organisasi: − Kerjasama dengan sesama petani, penyuluh pertanian, LSM, dan perguruan tinmggi
Sistem pertanian organik
Keterangan
: : Peubah yang diteliti : Peubah yang tidak diteliti : Alur hubungan antar peubah
Gambar 4 Kerangka pemikiran penelitian: Peubah dalam ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik 23
III METODE PENELITIAN 3.1
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional. Tempat penelitian
adalah di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Tempat penelitian sengaja dipilih dengan pertimbangan kekhususan dari jenis usahatani penghasil beras organik dan lamanya menerapkan sistem pertanian organik. Petani di tempat penelitian telah menerapkan pertanian organik minimal 3 (tiga) tahun. Menurut SNI (2002), untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip produksi pangan organik, lahan harus telah mengalami masa konversi dari pertanian konvensional ke pertanian organik paling sedikit 2 (dua) tahun sebelum penebaran benih. Penelitian ini dilakukan mulai Mei sampai dengan Agustus 2006.
3.2
Cara Penentuan Responden Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga peserta Program
Pemberdayaan Petani Sehat yang diselenggarakan oleh Lembaga Pertanian Sehat bekerjasama dengan Gabungan Kelompok Tani Silih Asih di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Sampel dipilih secara acak dengan ukuran sebesar 61 rumah tangga dengan pertimbangan agar nilai-nilai yang diperoleh berdistribusi normal. Menurut Mantra dan Kasto (1989), sampel yang tergolong sampel besar yang distribusinya normal adalah sampel yang jumlahnya > 30 kasus, yang diambil secara acak (random).
3.3
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer
meliputi peubah: penguasaan lahan, modal kerja, kerjasama, pendidikan formal dan non formal kepala keluarga, tujuan penerapan pertanian organik, pengelolaan limbah, pengetahuan bertani secara organik, produktivitas beras organik, pendapatan rumah tangga, dan tingkat konsumsi pangan rumah tangga. Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden yang berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya dan telah diujicobakan. Data konsumsi pangan diperoleh dengan cara recall
konsumsi pangan 1 X 24 jam, dan food frequency (seminggu, sebulan, dan setahun). Menurut Sukandar et al. (2001), konsumsi pangan rumahtangga yang diukur berdasarkan data frekuensi konsumsi pangan lebih menggambarkan pola konsumsi selama periode waktu tertentu, dimana terdapat kemungkinan rata-rata konsumsi pangan rumahtangga pada hari-hari tertentu lebih rendah atau lebih tinggi daripada rata-rata konsumsi pada hari-hari lainnya. Ketika pengumpulan data konsumsi pangan dilakukan, petani sedang dalam kondisi dua minggu setelah panen. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi monografi desa dan kecamatan, curah hujan, zona agroklimat dan data-data lain yang menunjang penelitian. Datadata tersebut diperoleh dari Kantor Desa Ciburuy, Kantor Kecamatan Cigombong, Dinas Pertanian Kehutanan Kabupaten Bogor, dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Untuk lebih mendalami aspek-aspek kualitatif dari masalah dan tujuan penelitian, dilakukan penggalian informasi melalui wawancara secara mendalam terhadap tokoh masyarakat, aparat desa, petugas lapangan dari instansi terkait. Penggalian informasi juga dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan.
3.4
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan perangkat
lunak komputer SPSS 11.5 for Windows dan SAS 9 for Windows. Untuk melihat hubungan antar variabel digunakan analisis korelasi dan untuk menentukan faktorfaktor determinan dari variabel-variabel bebas yang mempengaruhi ketahanan pangan digunakan analisis regresi linear berganda.
Persamaan umum yang
digunakan adalah sebagai berikut: Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + β9X9 + b10X10 + Ε
Y
= peubah tidak bebas (ketahanan pangan yang diukur berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi)
β
= koefisien regresi
X1 = peubah bebas pertama (penguasaan lahan) X2 = peubah bebas kedua (modal kerja) 25
X3 = peubah bebas ketiga (kerjasama) X4 = peubah bebas keempat (pendidikan formal kepala keluarga) X5 = peubah bebas kelima (pendidikan non formal kepala keluarga) X6 = peubah bebas keenam (tujuan penerapan pertanian organik) X7 = peubah bebas ketujuh (pengelolaan limbah) X8 = peubah bebas kedelapan (pengetahuan bertani secara organik) X9 = peubah bebas kesembilan (produktivitas beras organik) X10 = peubah bebas kesepuluh (pendapatan) Ε
= galat
Pengkategorian peubah dilakukan dengan mengikuti ketentuan seperti yang tertera pada Tabel 2.
Tabel 3 Dasar pengkategorian peubah Peubah Penguasaan lahan Modal kerja Kerjasama Pendidikan formal kepala keluarga Pendidikan non formal kepala keluarga Tujuan penerapan pertanian organik Pengelolaan limbah Pengetahuan bertani secara organik Produktivitas beras organik Pendapatan Tingkat Kecukupan Energi Tingkat Ketahanan Pangan
3.5
Dasar pengkategorian Standar BPS Distribusi nilai Justifikasi Justifikasi Justifikasi Justifikasi Distribusi nilai Justifikasi Distribusi nilai Bank Dunia Standar Depkes Basal metabolism
Definisi Operasional Peubah Penelitian
− Luas penguasaan lahan diperoleh berdasarkan informasi dari responden mengenai total luas lahan yang dikuasai dan diusahakan, baik berupa sawah, tegalan, atau pekarangan dalam satuan hektar.
Sawah yang
dikuasai dan diusahakan petani dapat milik sendiri atau orang lain (disewa atau disakap). Sawah milik sendiri pun dapat digarap sendiri atau digarapkan.
Untuk dapat menghitung lahan bukan milik sendiri 26
disetarakan dengan milik sendiri atau lahan digarapkan disetarakan dengan digarap sendiri, digunakan faktor penimbang (pembobot) seperti yang dikemukakan Syamsuddin (1984), diacu dalam Baliwati (2001). Faktor penimbang tersebut adalah sebagai berikut: Untuk tanah garapan (milik plus): Milik: Sawah
=1
Tegalan
= 2/3
Pekarangan
= 1/3
Sewa (sawah)
= 1/2
Sakap, tergantung besarnya bagi hasil, yaitu: Bagi dua (maro)
= 1/2
Bagi tiga (mertelu) = 1/3 Untuk tanah bukan garapan sendiri (milik minus): Sawah milik yang disewakan
= 1/2
Sawah milik yang disakapkan, tergantung besarnya bagi hasil, yaitu: Bagi dua (maro)
= 1/2
Bagi tiga (mertelu)
= 1/3
Untuk pengelompokannya dibuat ukuran interval dengan ketentuan: bagi rumah tangga yang menguasai lahan kurang dari 0.5 hektar disebut petani gurem/lapisan bawah, jika menguasai 0.5 – 0.9 hektar disebut petani sedang/lapisan menengah, dan jika menguasai lebih atau sama dengan 1.0 hektar disebut petani kaya/lapisan atas. − Modal kerja dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh sumberdaya yang dimiliki petani yang digunakan untuk membiayai dan menyokong usahatani mulai dari persiapan hingga pasca panen.
Modal kerja
dinyatakan dalam rupiah per hektar untuk satu musim tanam selama satu tahun terakhir. − Kerjasama merupakan bentuk kerjasama yang dilakukan petani dengan pihakpihak lain selama 1 (satu) tahun yang lalu guna mendapatkan sarana produksi, ilmu, dan jasa dalam lingkup pengelolaan usahatani padi organik.
Petani bekerjasama dengan mitra atas perannya sebagai 27
penyedia input (bibit, pupuk organik, pestisida organik, air irigasi, tenaga kerja, modal kerja), pemberi ilmu mengenai tata cara mengelola tanah hingga penanganan pasca panen, atau sebagai penyedia jasa, seperti pelabelan, sertifikasi, pemasaran, dan promosi. Berdasarkan informasi yang diberikan, maka responden dapat distrata berdasarkan tingkat keaktifannya. − Pendidikan formal kepala keluarga adalah lama dan jenis pendidikan formal yang diikuti kepala keluarga. Jenis pendidikan dikelompokkan menjadi tidak pernah sekolah, lulus SD, lulus SMTP atau lebih tinggi. Pendidikan non formal kepala keluarga adalah macam-macam pelatihan yang diikuti oleh kepala keluarga dalam satu tahun terakhir. Pelatihan yang dimaksudkan adalah jenis pelatihan yang berada dalam lingkup pertanian organik, seperti pemilihan varietas, pembuatan pupuk dan pestisida organik, hingga penanganan pasca panennya. − Tujuan penerapan pertanian organik merupakan gambaran dari harapan petani penghasil beras organik selama dan setelah mengelola usaha taninya yang berbasis sistem pertanian organik. −
Pengelolaan limbah merupakan kegiatan yang dilakukan petani guna menyokong pertanian organik yang sedang mereka kerjakan dengan cara mendekomposisikan limbah menjadi sumber pupuk organik. Menurut Seymour (1997), kriteria sistem pertanian organik yang diberikan IFOAM setidaknya harus memenuhi enam prinsip standar; salah satunya adalah mendayagunakan potensi lokal yang ada sebagai suatu agroekosistem yang tertutup dengan memanfaatkan bahan-bahan baku atau input dari sekitarnya. Dengan demikian, petani yang memanfaatkan limbah rumah tangganya sebagai pupuk organik berarti telah menyokong prinsip-prinsip dalam bertani organik.
− Pengetahuan bertani secara organik menunjukkan tingkat penguasaan kepala keluarga terhadap ketentuan-ketentuan dalam mengelola pertanian organik sehingga menghasilkan beras yang diakui sebagai produk pangan organik. Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan persiapan lahan, pengelolaan
kesuburan
tanah,
pengelolaan
hama dan penyakit, 28
pemakaian benih, dan penanganan pasca panen, termasuk pelabelan dan pengakuan. − Produksi beras organik merupakan produksi beras organik selama satu tahun dalam satuan kuintal. − Pendapatan rumah tangga merupakan jumlah pendapatan rumah tangga untuk jangka waktu satu tahun dalam satuan rupiah. Pendapatan rumah tangga diperhitungkan berdasarkan perolehan dari tanaman pangan, ternak, berburuh tani, dan selain dari berburuh tani termasuk transfer uang. −
Tingkat konsumsi pangan rumah tangga adalah jumlah makanan yang dikonsumsi anggota rumah tangga dalam satu hari agar mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Yang diukur adalah tingkat konsumsi energi yang diperoleh dari kuesioner frekuensi pangan yang telah dikonversi menjadi energi yang dikonsumsi dalam satu hari.
Tingat
Konsumsi Energi (TKE) dihitung dengan rumus:
TKE =
Konsumsi Energi Kecukupan Energi
X 100%
− Ketahanan pangan rumah tangga merupakan penilaian atau evaluasi terhadap situasi ketahanan pangan rumah tangga petani. Indikator yang digunakan untuk mengukur ketahanan pangan rumah tangga adalah tingkat kecukupan konsumsi energi (TKE). Suatu rumah tangga disebut tahan pangan jika tingkat kecukupan energi = 70%, dan jika < 70% disebut tidak tahan pangan. Cut-off point sebesar 70% didasarkan pada Angka Kecukupan Energi (AKE) yaitu sebesar 1.4 Basal Metabolism Rate (BMR) yang merupakan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Zeitlin & Brown 1990, diacu dalam Baliwati 2001). − Luas penguasaan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal merupakan penguasaan lahan oleh rumah tangga petani yang luasnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Oleh karena pada kenyataannya kebutuhan hidup manusia tidak hanya makan maka kebutuhan hidup minimal di sini sudah termasuk kebutuhan hidup 29
lainnya. Untuk menghitung luas lahan yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidup minimal tersebut diasumsikan bahwa seluruh hasil panen beras organik digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal, yaitu sebesar Rp 10.000,00 per orang per hari − Luas penguasaan lahan untuk memenuhi rata-rata kecukupan energi merupakan penguasaan lahan oleh rumah tangga petani yang luasnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rata-rata kecukupan energi penduduk Indonesia sebesar 2.000 kkal. Dengan memperhitungkan ratarata tingkat produksi, maka dapat ditentukan luas lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan rata-rata kecukupan energi tersebut. Konsumsi Beras Rumah tangga Luas lahan / keluarga = Produksivitas Beras / Rumah tangga
30
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Deskripsi Daerah Penelitian Lokasi penelitian terletak di Desa Ciburuy, yang secara administratif
termasuk dalam wilayah Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Desa Ciburuy terletak 1 km arah Utara dari Desa Cigombong,
Ibukota Kecamatan Cigombong. Desa Ciburuy sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Desa Ciadeg, sebelah Selatan dengan wilayah Desa Wates Jaya, sebelah Barat dengan wilayah Desa Cisalada, dan sebelah Timur dengan wilayah Desa Srogol. Desa Ciburuy yang terletak di antara Gunung Salak dan Gunung Pangrango memiliki ketinggian 600 m dari permukaan laut. Letak dan ketinggian tersebut memiliki pengaruh terhadap iklim setempat. Suhu maksimum di desa tersebut tercatat sebesar 32 °C dan suhu minimum 26 °C. Curah hujan tahunan rata-rata sebesar 3.360 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata 90 hari. Bulan basah terjadi antara bulan September sampai dengan Mei, sedangkan bulan kering antara Juni sampai dengan Agustus. Desa Ciburuy pada umumnya memiliki bentuk wilayah datar sampai bergelombang dengan kemiringan 0 – 15%. Bentuk yang dominan adalah datar sampai berombak (55%), kemudian berombak sampai bergelombang (45%). Bentuk topografi ini mempengaruhi pola usaha tani yang dikembangkan. Lokasi dengan kemiringan sedang umumnya digunakan sebagai lahan tegalan, sedangkan daerah yang relatif datar untuk lahan sawah dan kolam ikan. Lokasi pemukiman tersebar, sebagian berada di wilayah bergelombang, sebagian berada di wilayah datar bersebelahan dengan kolam ikan. Data Monografi Desa tahun 2006 menunjukkan bahwa luas wilayah Desa Ciburuy adalah 160 ha. Dari luasan tersebut sebagian besar berupa lahan sawah (sekitar 80 ha), sisanya berupa pemukiman (sekitar 50 ha) dan lahan untuk fasilitas umum, seperti jalan, lapangan olah raga, pemakaman, dan lain-lain (sekitar 30 ha). Sawah yang ada sebagian berasr berupa sawah dengan iriggasi sederhana (sekitar 45 ha), dan selebihnya berupa sawah tadah hujan (sekitar 35 ha). Kondisi ini berpengaruh terhadap frekuensi panen dan jenis tanaman yang
umumnya ditanam oleh petani.
Tanaman yang umunya ditanam oleh petani
adalah padi dan palawija dengan frekuensi tanam sebanyak dua kali setahun. Kondisi penduduk Desa Ciburuy pada tahun 2006, menurut Data Monografi Desa tahun 2006, tercatat jumlah penduduk sebanyak 9.293 orang, yang terbagi menjadi laki-laki sebanyak 4.758 orang dan perempuan 4.535 orang. Jumlah kepala keluarga yang tercatat sebanyak 2.015 KK, dengan kepadatan 58,08 jiwa per km2. Dari jumlah angkatan kerja (3.210 orang), hanya 32,4% yang berprofesi sebagai petani, lebih banyak yang memilih sebagai buruh industri, yaitu 38,9%. Bila dikaitkan dengan kelompok usia, dari yang memilih menjadi petani tersebut rata-rata beusia di atas 25 tahun, sedangkan yang muda (18 – 25 tahun) memilih menjadi bruruh industri. Banyaknya angkatan kerja yang memilih pekerjaan yang tidak terlalu mensyaratkan jenjang pendidikan tertentu tersebut tidak terlepas dari sedikitnya penduduk yang tamat akademi dan perguruan tinggi, yaitu 6,9% dari angkatan kerja atau 2,4% dari jumlah penduduk.
4.2
Karakteristik Rumah Tangga Contoh Tingkat pendidikan kepala rumah tangga lebih rendah daripada ibu rumah
tangga. Hal ini terlihat dari Tabel 4, bahwa sebagian besar ibu rumah tangga (96,7%) telah berhasil menamatkan sekolah dasarnya, bahkan 14,8% di antaranya berhasil melanjutkan ke SLTP walaupun tidak sampai tamat. Walaupun orang tuanya berpendidikan rendah, namun tidak ada di antara anak-anak mereka yang tidak bersekolah. Sampai dengan penelitian ini dilakukan, pendidikan tertinggi anak-anak baru sampai SLTA, belum ada yang mencapai akademi atau perguruan tinggi. Rata-rata umur kepala rumah tangga 46,6 ± 13,5 tahun dengan selang 24 – 82 tahun. Rata-rata umur ibu rumah tangga 38,3 ± 10,3 tahun dengan selang 18 – 60 tahun. Sedangkan jumlah anggota rumah tangga 5,4 ± 1,9 orang dengan selang 2 – 12 orang.
32
Tabel 4 Karakteristik rumah tangga contoh Peubah
n
%
Total
18 43 61
29,5 70,5 100,0
Total
2 50 9 61
3,3 81,9 14,8 100,0
Total
23 32 6 61
37,7 52,5 9,8 100,0
Total
18 26 17 61
29,5 42,6 27,9 100,0
Total
9 35 17 61
14,8 57,4 27,9 100,0
Pendidikan Kepala Rumah Tangga Tidak tamat SD Tamat SD
Pendidikan Ibu Rumah Tangga Tidak tamat SD Tamat SD Tidak tamat SLTP
Umur Kepala Rumah Tangga 24 – 42 tahun 43 – 61 tahun 62 – 82 tahun Rata-rata = 46,6 ± 13,5 tahun Umur Ibu Rumah Tangga 18 – 31 tahun 32 – 45 tahun 46 – 60 tahun Rata-rata = 38,3 ± 10,3 tahun Jumlah Anggota Rumah Tangga < 4 orang 4 – 6 orang > 6 orang Rata-rata = 5,4 ± 1,9 orang
4.3
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rata-rata luas lahan yang dikuasai petani 0,244 ± 0,106 ha. Tabel 5
menunjukkan bahwa berdasarkan luas lahan yang dikuasai, maka rumah tangga petani tegolong petani gurem karena sebagian besar (96,7%) hanya menguasai lahan < 0,5 ha. Hal ini terjadi karena petani yang melakukan usahatani padi organik ini memang berasal dari petani miskin, yang bekerja sebagai buruh tani. 33
Untuk mendukung berlangsungnya usaha tani diperlukan modal kerja. Dalam hal ini, rata-rata modal kerja yang dimiliki petani sekitar Rp 7.454.000,00 ± 1.750.000,00. Dari sejumlah modal kerja yang dimiliki petani, Rp 5.199.000,00 merupakan subsidi yang diberikan oleh Lembaga Pertanian Sehat (LPS). Berdasarkan distribusinya maka sebagian besar petani (72,1%) termasuk bermodal kerja rendah. Hal ini terjadi karena modal kerja yang dimiliki petani di luar subsidi hanyalah tenaga kerja. Dalam hal kerjasama, sebagian besar petani (57,4%) tergolong agak aktif. Artinya petani tersebut melakukan kerjasama dengan dua mitra kerja sama. Karena LPS dalam menjalankan programnya, selain melakukan monitoring juga melakukan pendampingan, maka salah satu mitra kerjasama tersebut adalah LPS. Mitra kerjasama yang lain adalah sesama petani. Hal ini pasti terjadi karena para petani tersebut tergabung dalam kelompok-kelompok tani yang kemudian dikoordinasikan oleh gabungan kelompok tani (gapoktan) yang bernama Silih Asih. Gapoktan ini sangat aktif dalam membina anggotanya. Kualitas sumberdaya manusia pada rumah tangga petani diukur dari tingkat pendidikan formal dan non formal kepala keluarga. Temuan yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani, baik formal maupun non formal termasuk rendah. Gambaran tersebut terlihat dari tidak adanya petani yang berhasil menyelesaikan pendidikan lebih tinggi dari sekolah dasar. Sebagian besar petani (62,3%) hanya berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, bahkan 37,7 persen tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Dalam satu tahun terakhir, sebagian besar petani (59,0%) hanya mengikuti satu kali pendidikan non formal. Peranan tokoh informal, dalam hal ini Ketua Gapoktan Silih Asih sangat menonjol dalam mengubah persepsi petani di lokasi penelitian tentang cara bertani. Sebagai seorang inovator, ia mencoba menerapkan cara bertani secara organik sejak tahun 2002.
Karena itu, sebagian besar petani (50,9%) telah
memahami dengan baik bahwa penerapan pertanian organik adalah demi pelestarian sumberdaya alam (pertanian yang berkelanjutan). Petani telah melihat kenyataannya bahwa lahan pertanian yang tadinya sulit ditemukan cacing tanah,
34
kini mudah mendapatkannya. Keberadaan cacing tanah dapat ditandai dengan adanya “kascing” (kotoran cacing) pada permukaan lahan pertanian (Gambar 5).
Gambar 5 Peningkatan aktivitas cacing tanah Pupuk organik mutlak diperlukan dalam praktek pertanian organik. Karena itu petani harus mengelola limbah untuk dijadikan pupuk organik dalam bentuk kompos.
Kompos dibuat dengan metoda tumpukan dengan dua macam
fermentasi, aerobik dan anaerobik. Pembuatan kompos metoda tumpukan dengan fermentasi aerobik (Gambar 6) dapat dilakukan dengan penambahan bioaktivator ataupun tidak. Untuk pembuatan kompos tanpa bioaktivator, jerami padi atau sisasasa tanaman lainnya yang telah dicampur dengan kotoran sapi atau kambing ditumpuk dan dibiarkan.
Tumpukan ini secara periodik dibalik-balik dengan
tujuan untuk mempercepat proses pelapukan oleh mikroba pengurai. Waktu yang dibutuhkan dengan cara ini hingga terbentuk kompos matang relatif lama, sekitar 3 – 4 bulan. Dengan penambahan bioaktivator proses pembuatan kompos dapat dipersingkat hingga hanya selama satu bulan. Bioaktivator yang digunakan untuk pembuatan kompos aerobik memiliki nama dagang Orgadex.
Petani dapat
mengenal bioaktivator tersebut dari salesman perusahaan yang bersangkutan yang sengaja mendatangi Ketua Gapoktan Silih Asih untuk memperkenalkan produknya. Dalam pengenalan produk tersebut biasanya mereka memberikan satu sampai dua kemasan untuk dicobakan secara cuma-cuma. Cara pembuatan kompos yang lain adalah metode tumpukan dengan fermentasi anaerobik (Gambar 7).
Cara ini membutuhkan bioaktivator untuk
membantu proses fermentasinya. Bioaktivator yang selama ini digunakan adalah LOF 10 dan Katalex. Cara ini hanya membutuhkan waktu sekitar satu bulan sampai diperoleh kompos matang. 35
Tempat pembuatan kompos tidak dilakukan di suatu tempat bangunan tertentu yang khusus untuk membuat kompos, yang biasanya agak jauh dari area persawahan. Lokasi pengomposan adalah di pematang-pematang sawah seperti yang tampak pada Gambar 8. Pertimbangan pemilihan lokasi tersebut adalah kemudahan mobilisasi, sehingga dapat memangkas biaya pengangkutan. Karena itu, kompos anaerobik harus ditutup dengan plastik, karena pada lokasi pembuatan tidak mungkin dibuat bangunan khusus pembuatan kompos anaerobik. Dalam mengelola limbah, 88,6% termasuk menyokong berlangsungnya pertanian organik (60,7% menyokong dan 27,9% sangat menyokong). Petani mengelola dan mengolah dengan baik limbah yang tersedia baik limbah dari sisa tanaman, kotoran ternak, maupun limbah rumah tangga. Dilihat dari sumber limbah yang dijadikan pupuk organik, sebagian besar (45,8%) berasal dari sisasisa tanaman, 39,3% berasal dari kotoran hewan, dan sebagian kecil (14,9%) berasal dari sampah rumahtanga. Kecilnya proporsi limbah yang bersumber dari sampah rumah tangga menunjukkan bahwa petani belum terbiasa menggunakan sampah rumah tangga sebagai bahan baku pupuk organik.
Mereka masih
memperlakukan sampah rumah tangga dengan dibakar. Penguasaan petani dalam bertani secara organik, setengahnya (52,5%) tergolong kategori sedang (rata-rata memperoleh nilai 76,7 ± 9,0).
Untuk
menguasai pengetahuan seperti ini, tingkat pendidikan formal dan non formal petani ikut berperan. Mengingat tingkat pendidikan formal dan non formal yang kurang menyebabkan sebagian petani (14,8%) masih berpengetahuan bertani secara organik rendah. Produktivitas beras organik yang termasuk kategori tinggi memiliki proporsi terbesar, yaitu 80,3%. Ada pun rata-rata produktivitas beras per ha per tahun 73,29 ± 12,56 ku atau setara dengan padi kering giling 117,26 ± 20,09 ku. Produktivitas ini lebih besar daripada rata-rata produktivitas padi sawah non organik di Kabupaten Bogor sebesar 105,62 ku per ha per tahun (BPS Jawa Barat, 2005).
36
Gambar 6 Pengomposan aerobik
Gambar 7 Pengomposan anaerobik
Ganbar 8 Lokasi pengomposan
37
Tabel 5
Sebaran rumah tangga menurut kategori peubah yang menentukan ketahanan pangan (UNICEF 1997; Yambi & Kavishe 2002) Peubah
n
%
59
96,7
2
3,3
61
100,0
Total
44 9 8 61
72,1 14,8 13,1 100,0
Total
7 35 19 61
11,5 57,4 31,1 100,0
Total
23 38 61
37,7 62,3 100,0
Total
9 36 16 61
14,8 59,0 26,2 100,0
Total
6 31 24 61
9,8 39,3 50,9 100,0
Penguasaan lahan Gurem (< 0,5 ha, dengan rasio luas/anggota rumah tangga 0,014 – 0,125) Menengah (0,5 – 0,9 ha, dengan rasio luas/anggota rumah tangga 0,125 – 0,175) Total Modal kerja Rendah (Rp 6.003.000,00 – Rp 7.975.066,00) Sedang (Rp 7.975.067,00 – Rp 9.948.332,00) Tinggi (Rp 9.948.333,00 – Rp 11.921.000,00)
Kerjasama Pasif (nilai 1) Agak aktif (nilai 2) Aktif (nilai 3)
Pendidikan formal kepala keluarga Tidak sekolah SD
Pendidikan non formal kepala keluarga Tidak pernah (nilai 1) Pernah sedang (nilai 2) Pernah baik (nilai 3)
Tujuan penerapan pertanian organik Tidak berkelanjutan (nilai 3,0 – 4,9) Kurang berkelanjutan (nilai 5,0 – 6,9) Berkelanjutan (nilai 7,0 – 9,0)
38
Tabel 5 Lanjutan Peubah
n
%
7
11,5
37
60,7
17
27,9
61
100,0
Total
9 32 20 61
14,8 52,5 32,8 100,0
Total
8 6 49 61
9,8 9,8 80,3 100,0
Total
9 52 9 61
14,8 85,2 14,8 100,0
Total
9 17 35 61
14,8 27,9 57,4 100,0
Pengelolaan limbah Kurang menyokong pertanian organik (nilai 3,0 – 4,9) Menyokong pertanian organik (nilai 5,0 – 6,9) Sangat menyokong pertanian organik (nilai 7,0 – 9,0) Total Pengetahuan bertani secara organik Rendah (nilai < 60) Sedang (nilai 60 – 80) Tinggi (nilai > 80)
Produktivitas beras organik Rendah (30,00 – 49,62 ku/ha/th) Sedang (49,63 – 69,25 ku/ha/th) Tinggi (69,26 – 88,89 ku/ha/th)
Pendapatan Miskin (< Rp 300.000,00/kapita/bulan) Tidak miskin (= Rp 300.000,00/kapita/bulan) Miskin (< Rp 300.000,00/kapita/bulan)
Tingkat Kecukupan Energi (TKE) < 70% (tidak tahan pangan) 70 – 90% (tahan pangan) > 90% (tahan pangan)
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar (85,2%) rumah tangga petani tergolong tidak miskin, dengan rata-rata pendapatan per kapita per bulan sekitar Rp 462.500,00 ± 161.000,00 atau Rp 15.500,00 ± 5.500,00 per kapita per hari. Pendapatan ini lebih besar daripada batas yang diberikan Bank Dunia, yaitu US$ 1,00 atau Rp 10.000,00 per kapita per hari agar orang tidak disebut miskin (dengan asumsi 1 dolar AS = Rp 10.000,00). Walaupun demikian, pendapatan tersebut belum menggambarkan kondisi perekonomian rumah tangga yang 39
sesungguhnya. Pada kehidupan nyata sehari-hari, petani masih harus terbebani oleh beberapa bentuk pengeluaran, seperti sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan anak-anak. Disamping itu, ketika petani tidak lagi mendapat subsidi modal kerja dari LPS, maka petani harus menyediakan biaya produksi sendiri. Biaya produksi tersebut diambil dari pendapatan. Dilihat dari konsumsi energi, rumah tangga petani hanya mengkonsumsi energi rata-rata per kapita per hari hanya sebesar 1759 Kal dengan tingkat kecukupan energi (TKE) 87,2%. Dengan menggunakaan pengelompokan status konsumsi rumah tangga seperti yang diberikan oleh Departemen Kesehatan (seperti dikutip Sumarwan dan Sukandar, 1998), maka Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar (57,4%) rumah tangga petani memiliki status konsumsi yang normal, atau berada pada selang 90 – 119% AKG. Berdasarkan tingkat kecukupan konsumsi energi dapat ditampilkan situasi ketahanan pangan rumah tangga petani. Sebagian besar rumah tangga petani (85,2%) teridentifikasi sebagai tahan pangan dan yang tidak tahan pangan sebesar 14,8%. Dengan masih adanya rumah tangga petani yang tidak tahan pangan, menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya. Padahal, semua rumah tangga petani peserta Program Pemberdayaan Petani Sehat diperlakukan sama oleh Lembaga Pertanian Sehat dalam memproduksi beras organik. Untuk mengetahui faktor-faktor (peubah bebas) yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga maka dilakukan analisis korelasi/ketergantungan dan regresi terhadap peubah-peubah yang diduga berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani. Hasil uji regresi linear berganda yang disajikan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa secara signifikan (p < 0,0001) terdapat pengaruh dari peubah bebas (penguasaan lahan, modal kerja, kerjasama, pendidikan formal kepala keluarga, pendidikan non formal kepala keluarga, tujuan penerapan pertanian organik, pengelolaan limbah, pengetahuan bertani secara organik, produktivitas beras organik, dan pendapatan) dengan nilai R2 sebesar 0,9597.
Nilai R2 ini
menunjukkan koefisien determinasi sehingga 95,97% kondisi ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik dapat dijelaskan oleh kesepuluh peubah bebas tersebut. Sisanya (4,03%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain yang 40
tidak dimasukkan dalam model seperti harga pangan, kebijakan pemerintah dalam hal pertanian, lingkungan, pola asuh, kesehatan/sanitasi, maupun pengetahuan gizi. Tabel 6 Hasil uji regresi linear berganda dan korelasi antara peubah bebas dan tidak bebas Regresi
Peubah Intercept Penguasaan lahan Modal kerja Kerjasama Pendidikan formal kepala keluarga Pendidikan non formal kepala keluarga Tujuan penerapan pertanian organik Pengelolaan limbah Pengetahuan bertani secara organik Produktivitas beras organik Pendapatan R2 = 0,9597
Korelasi r Pr > F
β 45,834 5,637 1,438E-07 0,116
Pr > F < 0,0001 0,0482 0,3563 0,9205
0,395 0,065 0,811
0,002 0,620 0,000
-0,163
0,7843
-0,064
0,622
0,546
0,4405
0,656
0,000
1,870
0,0272
0,866
0,000
1,641
0,1800
0,815
0,000
0,152
0,0080
0,866
0,000
0,099 2,759E-05
0,0021 < 0,0001
0,705 0,954
0,000 0,000
Tabel 7 Hasil uji regresi linear berganda untuk peubah berpengaruh nyata Kode X1 X2 X3 X4 X5 X6
Peubah Intercept Pendapatan Pengetahuan bertani secara organik Produktivitas beras organik Tujuan penerapan pertanian organik Penguasaan lahan Pengelolaan limbah
Parameter Estimate 46,870 2,74E-05 0,146
R2 Parsial
Peluang
0.4674
< 0,0001 < 0,0001 0,0079
0,103
0.1013
0,0009
1,963
0.1141
0,0125
5,794 2,173
0.0270 0.1217
0,0357 0,0044
0.1271
Hasil Backward Elimination dari SAS untuk memperoleh variabel bebas yang berpengaruh nyata diperoleh enam variabel yaitu penguasaan lahan, tujuan penerapan pertanian organik, pengelolaan limbah, pengetahuan bertani secara organik, produktivitas beras organik, dan pendapatan (Tabel 7). Dengan demikian 41
untuk memprediksi (meramalkan) kondisi ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik dapat digunakan keenam peubah bebas tersebut. Model regresi ketahanan pangan rumah tangga penghasil beras organik adalah sebagai berikut:
Y = 46,870 + 2,74E-05X1 + 0,146X2 + 0,103X3 + 1,963X4 + 5,794X5 + 2,173X6 Dari Tabel 7 terlihat bahwa R2 parsial untuk peubah pendapatan merupakan yang terbesar.
Hal ini menunjukkan bahwa di antara enam peubah
yang berpengaruh nyata, peubah pendapatan merupakan peubah yang paling menentukan. R2 parsial untuk peubah pendapatan sebesar 0.4674 menunjukkan bahwa 46,74% kondisi ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik dapat dijelaskan oleh peubah pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan sebagai salah satu faktor determinan dari ketahanan pangan memberikan hasil uji regresi yang positif nyata (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan dipengaruhi secara nyata oleh pendapatan. Hasil uji korelasi Pearson juga menunjukkan adanya derajat keeratan hubungan yang positif sangat nyata (p < 0,01; r = 0,954). Rumah tangga tidak tahan pangan, ratarata pendapatannya hanya sekitar Rp 4.500,00 ± 200,00 per kapita per hari, lebih rendah daripada batas Bank Dunia. Penyebabnya adalah luas lahan yang dimiliki keluarga tidak tahan pangan lebih kecil, yaitu 48,5% luas lahan keluarga tahan pangan (Tabel 8 dan 10). Hal ini akan menurunkan pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan beras organik bagi keluarga tidak tahan pangan. Hal ini juga terlihat dari rata-rata B/C ratio untuk keluarga tidak tahan pangan sebesar 1.07 (Tabel 9); yang menunjukkan bahwa hasil penjualan penjualan beras organik hampir sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksinya. Sementara rata-rata B/C ratio untuk keluarga tahan pangan sebesar 1,63 (Tabel 10) dan ratarata B/C ratio untuk keseluruhan 1,54 (Tabel 8). Hasil uji regresi menunjukkan bahwa ketahanan pangan dipengaruhi positif sangat nyata (p < 0,01) oleh pengetahuan bertani secara organik. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penguasaan bertani secara organik yang semakin baik akan meningkatkan ketahanan pangan. Demikian halnya dengan uji korelasi 42
Pearson antara ketahanan pangan dengan pengetahuan bertani secara organik yang menunjukkan derajat keeratan hubungan yang positif sangat nyata (p < 0,01; r = 0,866).
Jika dianalisis berdasarkan uji korelasi Pearson antara pengetahuan
bertani secara organik dengan produktivitas beras organik, diperoleh hasil yang positif sangat nyata (p < 0,01; r = 0,674). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat derajat keeratan hubungan yang nyata antara pengetahuan bertani secara organik dengan produktivitas beras organik. Artinya, semakin petani menguasai pengetahuan untuk bertani organik, produktivitasnya akan semakin meningkat. Tabel 8 Keragaan rumah tangga petani berdasarkan peubah yang berpengaruh nyata Peubah Pendapatan (Rp/kapita/bulan) - Biaya operasional bertani beras organik (Rp/ha/musim tanam) - Hasil penjualan beras organik (Rp/ha/musim tanam) - B/C ratio Pengetahuan bertani secara organik (nilai) Produktivitas beras organik (ku/ha/th) - Produksi beras organik (ku/th) Tujuan penerapan pertanian organik (nilai) Penguasaan lahan (ha) Pengelolaan limbah (nilai)
Rata-rata
SD
Min
Max
462.374,00
160.843,00
127.600,00
660.675,00
7.453.656,00
1.749.247,00
6.003.000,00
11.921.000,00
10.992.861,00
1.883.810,00
4.500.000,00
13.333.500,00
1,54
0,40
0,51
2,20
76,74
9,04
59,00
89,00
73,29
12,56
30,00
88,89
18,25
8,75
4,50
40,00
2.30
0,64
1,00
3,00
0,244 2,16
0,106 0,61
0,125 1,00
0,525 3,00
Hasil uji regresi menunjukkan adanya pengaruh produktivitas beras organik terhadap ketahanan pangan yang positif sangat nyata (p < 0,01). Uji korelasi Pearson menunjukkan adanya derajat keeratan hubungan antara produksi beras organik dengan ketahanan pangan yang positif sangat nyata (p < 0,01; r = 0,705). Hal ini menunjukkan bahwa semakin meningkat produksi beras organik, semakin meningkat pula ketahanan rumah tangga tersebut.
Rata-rata
43
produktivitas beras organik akan menjadi lebih besar apabila yang dihitung hanya produksi rumah tangga yang tahan pangan saja, yaitu 77,55 ± 6,80 ku/ha/tahun. Hasil uji regresi mengindikasikan bahwa ketahanan pangan dipengaruhi secara positif nyata (p < 0,05) oleh peubah bebas tujuan penerapan pertanian organik. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan adanya derajat keeratan hubungan yang positif sangat nyata (p < 0,01; r = 0,866) antara ketahanan pangan dengan peubah tujuan penerapan ketentuan-ketentuan dalam pertanian organik. Tabel 9 Keragaan rumah tangga petani tidak tahan pangan berdasarkan peubah yang berpengaruh nyata Peubah Pendapatan (Rp/kapita/bulan) - Biaya operasional bertani beras organik (Rp/ha/musim tanam) - Hasil penjualan beras organik (Rp/ha/musim tanam) - B/C ratio Pengetahuan bertani secara organik (nilai) Produktivitas beras organik (ku/ha/th) - Produksi beras organik (ku/th) Tujuan penerapan pertanian organik (nilai) Penguasaan lahan (ha) Pengelolaan limbah (nilai)
Rata-rata
Tidak tahan pangan SD Min
Max
133.905,00
6.424,00
127.600,00
147.111,00
7.251.222,00
1.982.310,00
6.003.000,00
11.779.000,00
7.300.000,00
1.407.125,00
4.500.000,00
9.600.000,00
1,07
0,32
0,51
1,60
59,00
0,00
59,00
59,00
48,67
9,38
30,00
64,00
6,17
1,00
4,50
8,00
1,33
0,50
1,00
2,00
0,128 1,22
0,008 0,44
0,125 1,00
0,150 2,00
Hasil uji regresi terhadap penguasaan lahan memberikan hasil yang positif nyata (p < 0,05), yang menunjukkan bahwa ketahanan pangan dipengaruhi oleh peubah penguasaan lahan. Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa antara ketahanan pangan dan peubah penguasaan lahan memiliki derajat keeratan hubungan yang positif sangat nyata (p < 0,01, r = 0,395). Rumah tangga tidak tahan pangan menguasai lahan (rata-rata 0,128 ± 0,008 ha) lebih kecil daripada rumah tangga tahan pangan (rata-rata 0,264 ± 0,102 ha).
44
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang positif sangat nyata antara pengelolaan limbah dengan ketahanan pangan (p < 0,01; r = 0,815), merupakan hal yang wajar. Penyebabnya adalah petani harus mengelola limbah untuk dijadikan pupuk organik. Semua petani melakukan pengelolaan limbah baik limbah dari sisa tanaman, kotoran ternak, maupun limbah rumah tangga. Tabel 10 Keragaan rumah tangga petani tahan pangan berdasarkan peubah yang berpengaruh nyata Peubah Pendapatan (Rp/kapita/bulan) - Biaya operasional bertani beras organik (Rp/ha/musim tanam) - Hasil penjualan beras organik (Rp/ha/musim tanam) - B/C ratio Pengetahuan bertani secara organik (nilai) Produktivitas beras organik (ku/ha/th) - Produksi beras organik (ku/th) Tujuan penerapan pertanian organik (nilai) Penguasaan lahan (ha) Pengelolaan limbah (nilai)
4.4
Rata-rata
Tahan pangan SD Min
Max
519.225,00
89.968,00
316.917,00
660.675,00
7.488.692,00
1.724.806,00
6.003.000,00
11.921.000,00
11.632.010,00
1.020.447,00
6.922.500,00
13.333.500,00
1,63
0,36
0,79
2,20
79,81
5,58
70,00
89,00
77,55
6,80
46,15
88,89
20,35
7,73
10,00
40,00
2,46
0,50
2,00
3,00
0,264 2,33
0,102 0,47
0,125 2,00
0,525 3,00
Luas Penguasaan Lahan 4.4.1 Untuk Memenuhi Kebutuhan Hidup Minima l Luas penguasaan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal diartikan
sebagai penguasaan lahan oleh rumah tangga petani yang luasnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Oleh karena pada kenyataannya kebutuhan hidup manusia tidak hanya makan maka kebutuhan hidup minimal di sini sudah termasuk kebutuhan hidup lainnya. Untuk menghitung luas lahan yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidup minimal tersebut diasumsikan bahwa 45
seluruh hasil panen beras organik digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal, yaitu sebesar Rp 10.000,00 per orang per hari. Tabel 11 Keragaan unsur-unsur penentu luas lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal Ideal Unsur-unsur Produksi beras rumah tangga (ku/tahun) Produktivitas beras rumah tangga (ku/ha/tahun) Jumlah anggota keluarga (orang) Penguasaan lahan per kapita (m2) Penguasaan lahan per rumah tangga (m2)
Ratarata 18,25
SD
Min
Max
8,75
4,50
40,00
73,29
12,56
30,00
88,89
5,4 1.735 9.492
1,9 459 4.306
2,0 1.369 3.423
12,0 4.057 20.285
Tabel 12 Luas lahan (ha) yang diperlukan keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimal menurut jumlah anggota rumah tangga Klasifikasi jumlah anggota rumah tangga
Jumlah anggota rumah tangga (n)
Kecil 2–3 Sedang 4–5
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Besar 6 – 12
Luas lahan yang diperlukan dengan rumus n x 0,17 ha 0,34 0,51 0,68 0,85 1,02 1,19 1,36 1,53 1,70 1,87 2,04
Dengan harga jual beras organik sebesar Rp 3.000,00 per kg maka setiap anggota rumah tangga harus memiliki beras sebanyak 3.333 g setiap hari atau sekitar 12,17 ku/kapita/tahun.
Dengan rata-rata produktivitas sebesar 73,29
ku/ha/tahun seperti yang disajikan pada Tabel 11, maka setiap anggota keluarga harus menguasai lahan seluas 1.735 ± 459 m persegi dengan kisaran 1.369 – 4.057 m persegi. Dengan memperhitungkan jumlah anggota rumah tangga, maka untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal, tiap rumah tangga hendaknya menguasai lahan seluas 9.492 ± 4.306 m persegi atau 0,95 ± 0,43 ha dengan kisaran 0,34 – 46
2.02 ha.
Pada Tabel 12 disajikan rincian luas lahan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimal menurut jumlah anggota rumah tangga. Bantuan subsidi lahan dari Lembaga Pertanian Sehat yang diterima petani dengan luas penguasaan lahan hanya 1.125 m persegi atau 0,11 ha per rumah tangga sementara yang dibutuhkan rata-rata 0,95 ha per rumah tangga. Karena itu, jika dikaitkan dengan kebutuhan hidup manusia seutuhnya, mulai dari pangan, sandang, dan papan, sekali pun pada taraf minimal (dengan asumsi Rp 10.000,00 per kapita per hari) maka luas lahan subsidi tersebut belum memadai.
4.4.2 Untuk Memenuhi Kebutuhan Rata-rata Kecukupan Energi Luas penguasaan lahan untuk memenuhi kebutuhan rata-rata kecukupan energi diartikan sebagai penguasaan lahan oleh rumah tangga petani yang luasnya mencukupi untuk memproduksi beras guna memenuhi rata-rata kecukupan energi penduduk Indonesia sebesar 2.000 kkal. Tabel 13 Keragaan unsur-unsur penentu luas lahan untuk memenuhi rata-rata kecukupan energi Ideal Unsur-unsur Produksi beras rumah tangga (ku/tahun) Produktivitas beras rumah tangga (ku/ha/tahun) Jumlah anggota keluarga (orang) Penguasaan lahan per kapita (m2) Penguasaan lahan per rumah tangga (m2)
Ratarata 18,25
SD
Min
Max
8,75
4,50
40,00
73,29
12,56
30,00
88,89
5,4 318 1.740
1,9 84 789
2,0 251 627
12,0 744 3.718
Jika kebutuhan energi diasumsikan hanya dari beras, maka untuk memenuhi rata-rata kecukupan energi sebesar 2.000 kkal setiap anggota rumah tangga, dibutuhkan beras sebanyak 611 g setiap hari atau sekitar 2,23 ku/kapita/tahun. Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas sebesar 73,29 ku/ha/tahun. Dengan demikian, setiap anggota keluarga harus menguasai lahan seluas 318 ± 84 m persegi dengan kisaran 251 – 744 m persegi.
Dengan memperhitungkan
jumlah anggota rumah tangga, maka untuk memenuhi kebutuhan rata-rata kecukupan energi, tiap rumah tangga hendaknya menguasai lahan seluas 1.740 ± 47
789 m persegi dengan kisaran 627 – 3.718 m persegi. Karena itu, bantuan subsidi dari Lembaga Pertanian Sehat dengan luas penguasaan lahan 1.125 m persegi belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan energi rata-rata. Pada Tabel 14 disajikan rincian luas lahan yang diperlukan untuk memenuhi rata-rata kecukupan energi menurut jumlah anggota rumah tangga. Tabel 14 Luas lahan (m2) yang diperlukan keluarga untuk dapat memenuhi rata-rata kecukupan energi menurut jumlah anggota rumah tangga Klasifikasi jumlah anggota rumah tangga
Jumlah anggota rumah tangga (n)
Kecil 2–3 Sedang 4–5
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Besar 6 – 12
4.5
Luas lahan yang diperlukan dengan rumus n x 318 m2 636 954 1.272 1.590 1.908 2.226 2.544 2.862 3.180 3.498 3.816
Status Luas Penguasaan Lahan Ditinjau dari Ketahanan Pangan Rumah Tangga Tabel 15 menunjukkan bahwa rumah tangga petani penghasil beras organik
yang termasuk kategori tidak tahan pangan ternyata luas penguasaan lahannya memang
tidak
mencukupi
untuk
memenuhi
kebutuhan
pangannya.
Ketidakcukupan penguasaan lahan ini terjadi baik untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal mau pun rata-rata kecukupan energi bagi penduduk Indonesia. Di antara rumah tangga petani penghasil beras organik yang termasuk tahan pangan, terdapat 17,3% yang luas penguasaan lahannya tidak mencukupi untuk memenuhi rata-rata kecukupan energi. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal, rumah tangga yang tergolong tahan pangan pun hampir semua (98,1%), luas penguasaan lahannya tidak mencukupi.
Hal ini mengindikasikan bahwa
konsumsi pangan rumah tangga tersebut sebagian diperoleh dari konversi 48
pendapatan di luar produksi beras organik.
Gambar 10 menunjukkan bahwa
memang betul proporsi pendapatan terbesar kedua (13,9%) diperoleh dari non usahatani seperti berjualan di warung atau berdagang di pasar, menjadi sopir, karyawan pabrik, dan kiriman uang oleh anggota keluarga yang bekerja di luar kota, terutama di Jakarta. Jadi walaupun nampaknya rumah tangga tersebut tahan pangan dilihat dari konsumsi pangannya, sebenarnya rumah tangga tersebut masih mengalami masalah finansial untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup rumah tangga yang pada kenyataanya tidak hanya pangan. Tabel 15 Keragaan status luas penguasaan lahan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal dan rata-rata kecukupan energi ditinjau dari status ketahanan pangan rumah tangga
Status ruma h tangga Tidak Tahan Pangan Tahan Pangan
Kebutuhan hidup minimal Defisit Surplus % n % n 100,0 9 0,0 0 98,1 51 1,9 1
13,9% Pendapatan dari non usahatani
Rata-rata kecukupan energi Defisit Surplus % n % n 100,0 9 0,0 0 17,3 9 82,7 43
1,9% Pendapatan dari berburuh tani
2,3% Pendapatan dari ternak
81,9% Pendapatan dari beras organik
Gambar 9 Sebaran proporsi sumber pendapatan terhadap total pendapatan
49
4.6
Status Luas Lahan Sawah Di Desa Ciburuy, Di Kecamatan Cigombong, dan Di Kabupaten Bogor Untuk memenuhi kebutuhan beras berdasarkan kebutuhan hidup minimal
dan rata-rata kecukupan energi, Desa Ciburuy, yang menurut Data Monografi Desa tahun 2006 memiliki jumlah penduduk 9.293 orang dan luas sawah 80 ha, menurut Tabel 16 mengalami defisit lahan sawah berturut-turut sebesar 1.915 dan 269%.
Pada tingkat Kecamatan Cigombong yang berpenduduk 68.504 orang
(BPS, 2006), dengan luas lahan sawah aktual 1.065 ha (Distanhut, 2007), maka untuk memenuhi kebutuhan beras berdasarkan kebutuhan hidup minimal dan ratarata kecukupan energi, berturut-turut terjadi defisit 1.016 dan 105%. Pada tingkat Kabupaten Bogor yang berpenduduk 3.700.207 orang dengan luas lahan sawah yang hanya 48.425 ha (BPS, 2006), untuk memenuhi kebutuhan beras berdasarkan kebutuhan hidup minimal dan rata-rata kecukupan energi, berturutturut terjadi defisit 1.226 dan 143%. Tabel 16 Kebutuhan lahan sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal dan rata-rata kecukupan energi Untuk pemenuhan Kebutuhan hidup minimal Rata-rata kecukupan energi
Desa Ciburuy (luas sawah 80 ha) Kebutuhan Defisit (ha) (%)
Kecamatan Cigombong (luas sawah 1.065ha) Kebutuhan Defisit (ha) (%)
Kabupaten Bogor (luas sawah 48.425 ha) Kebutuhan Defisit (ha) (%)
1.612
1.915
11.885
1.016
641.986
1.226
296
269
2.178
105
117.667
143
Melihat kondisi defisit penguasaan lahan tersebut, maka upaya alih fungsi lahan pertanian harus dikendalikan melalui penegakan peraturan secara lebih tegas dan penguatan status kepemilikan lahan, ada pun lahan pertanain yang tersisa ditetapkan sebagai lahan abadi.
Hal ini sesuai dengan arah kebijakan
pembangunan ketahanan pangan seperti yang tertuang dalam buku Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006 – 2009. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa pada sisi ketersediaan, salah satu arah kebijakan ketahanan pangan adalah meningkatkan kapasitas produksi nasional dengan menetapkan lahan abadi untuk produksi pangan. Sejalan dengan hal tersebut, salah satu tujuan ketahanan pangan 50
adalah meningkatkan rasio lahan per orang (land-man ratio) melalui penetapan lahan abadi beririgasi dan lahan kering.
Salah satu elemen kebijakan umum
ketahan pangan menyebutkan bahwa untuk menjamin ketersediaan pangan dilakukan kegiatan antara lain penetapan kawasan pertanian dan pengendalian alih fungsi lahan pertanian.
51
V SIMPULAN DAN SARAN 5.1
Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka disimpulkan hal-hal sebagai
berikut: 1. Rumah tangga petani penghasil beras organik yang termasuk tahan pangan sebesar 85,2% dan yang tidak tahan pangan 14,8%. 2. Faktor-faktor determinan yang mempengaruhi ketahanan pangan adalah pendapatan, pengetahuan bertani secara organik, produktivitas beras organik, tujuan penerapan ketentuan dalam pertanian organik, penguasaan lahan, dan pengelolaan limbah. 3. Agar rumah tangga petani penghasil beras organik terpenuhi kebutuhan: a. Hidup minimal maka luas penguasaan lahan tiap anggota rumah tangga sekitar 1.735 m persegi dan tiap rumah tangga sekitar 9.492 m persegi. b. Rata-rata kecukupan energi maka luas penguasaan lahan tiap anggota rumah tangga sekitar 318 m persegi dan tiap rumah tangga sekitar 1.740 m persegi. 4. Luas penguasaan lahan oleh rumah tangga petani penghasil beras organik yang tergolong tahan pangan, tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seutuhnya, mulai dari pangan, sandang, dan papan, sekali pun pada taraf minimal (dengan asumsi Rp 10.000,00 per kapita per hari). 5. Luas lahan sawah baik di tingkat Desa Ciburuy, di tingkat Kecamatan Cigombong, maupun di tingkat Kabupaten Bogor tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan beras.
5.2
Saran Berdasarkan simpulan tersebut maka disarankan agar: 1) Pengalihan petani
dari penghasil beras non organik ke organik dilakukan dengan melibatkan LSM dan kelompok-kelompok tani sebagai pendamping agar proses peralihan berjalan lancar; 2) Pemberian subsidi lahan bagi petani miskin memperhitungkan jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan, dengan dasar perhitungan 318 m persegi untuk tiap anggota rumah tangga; 3) Karena saat ini telah terjadi defisit penguasaan lahan baik di tingkat Desa Ciburuy, di tingkat Kecamatan Cigombong, maupun di tingkat Kabupaten Bogor, maka perlu dilakukan pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan lahan pertanian yang tersisa ditetapkan sebagai lahan abadi.
53
VI DAFTAR PUSTAKA Allen P, Dusen D van. 1988. Sustainable Agriculture:Choosing the Future. In:Global Perspective on Agroecology and Sustainable Agricultural Systems. USA: University of California, Santa Cruz, CA. Andoko A. 2004. Budi Daya Padi Secara Organik. Depok: Penebar Swadaya. Baliwati YF. 2001. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani (Desa Sukajadi Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor) [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut pertanian Bogor. Braun JV, Bouis H, Kumar S, Lorch RP. 1992. Improving Food Security of The Poor: Concept, Policy and Program. Washington DC: International Food Policy Reserch Institute. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2006. Balita Gizi Buruk di Kabupaten Bogor Meningkat 79 Persen. http://www.bkkbn.go.id./print.php? tid=2&rid=680. [28 November 2006]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Sensus Pertanian 2003, Angka Propinsi Jawa Barat, Hasil Pendaftaran Rumah Tangga. Bandung: Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Kabupaten Bogor dalam Angka 2006. Bogor: BPS. Chung KL, Haddad L, Ramakrishna J, Riely F. 1997. Identifying The Food Insecure, The Apllication on Mixed – Method Approaches in India. Washington DC: International Food Policy Reserch Institute. [Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 2000. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. [Deptan] Departemen Pertanian. 1996. Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumahtangga 26 – 30 Mei 1996. Yogyakarta: Deptan. [Distanhut] Dinas Pertanian dan Kehutanan. 2007. Monografi Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Tahun 2006. Bogor: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor. [FAO] Food Agriculture Organization. 1994. Technology assessment and transfer for sustainable agriculture and rural development the Asia-Pacific Region: a research management perspective. Rome: FAO, The United Nations. [FAO] Food Agriculture Organization. 2002. Organic Agriculture, Environment and Food Security. Rome: FAO, The United Nations.
[FAO] Food Agriculture Organization. 2007. FAO Statistical Yearbook. Rome: FAO, The United Nations. Fraser DG, Doran JW, Sahs WW, Lesoing GW. 1988. Soil Microbial Populations and Activities Under Conventional and Organic Management. Journal of Environmental Quality 17:585-590. Haddad L, editor. 1997. Achieving Food Security in Southern Africa, New Challenges, New Opportunities. Washington DC: International Food Policy Reserch Institute. Hardono GS. 2002. Dampak Perubahan Faktor-faktor Ekonomi Terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Pertanian [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut pertanian Bogor. Hasan I. 1995. Aku Cinta Makanan Indonesia dalam Rangka Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumahtangga [Makalah Pengarahan Kursus Penyegar Ilmu Gizi dan Kongres Nasional PERSAGI X, 21-23 Nopember]. Bandung. Hussain I. (Ed.) 2004. Poverty in irrigated agriculture in developing Asia: Issues, linkages, options and pro-poor interventions, Indonesia. Colombo, Sri Lanka: IWMI. 231p. (Country report Indonesia). [IFOAM] International Federation of Organic Agriculture Movements. 2004. Organic Agriculture and Food Security. http://www.ifoam.org [12 Desember 2005] [IFPRI] International Food Policy Research Institute. 1999. Technical Guides for Operationalizing Household Food Security in Development Projects. Washington DC: IFPRI. Lin CF, Wang TSL, Chang AH, Cheng CY. 1973. Effect of Some Long Term Fertilizer Treatments on Chemical Properties of Soil and Yield of Rice. Journal of Taiwan Agricultural Research 22:241-292. Manguiat IJ. 1995. In Search of Alternative Fertilizers for Sustainable Agriculture: The Sestania Option. Philippines: SEAMEO-SEARCA, Los Banos. Mantra IB, Kasto. 1989. Penentuan Sampel. Di dalam: Singarimbun M, Effendi S, editor. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. hlm 171. Martianto D. 1999. Magnitude, Determinants, and Indicators of Household Food and Nutrition Security in Rural West Java and East Nusa Tenggara, Indonesia [Desertasi]. Philippines: University of The Philippines Los Banos.
55
Maxwell S, Frankenberger TR. 1992. Household Food Security: Concepts, Indocators, Measurements, A Technical Review. Rome: International Fund for Agricultural Development-United Nations Children’s Fund. Nasution LI. 1995. Pertanian Berkelanjutan dan Kaitannya dengan Pelaksanaan Kegiatan Pendidikan Tinggi Pertanian. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Pookpakdi P. 2002. Sustainable Agriculture for Small-Scale Farmers: A Farming System Perspective Aphiphan. Thailand: Department of Agronomy, Faculty of Agriculture, Kasetsart University Bangkok. Pranasari ME. 8 Nov 2004. Perdagangan Produk Pertanian Organik – Peluang dan Tantangan bagi Petani Kecil. Kompas: 46 (kolom 5-8). Rachman HPS, Ariani M. 2002. Ketahanan Pangan: Konsep, Pengukuran, dan Strategi. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol 20, No. 1, Juli 2002:12 – 24. Reganold JP. 1989. Comparison of Soil Properties as Influenced by Organic and Conventional Farming System. American Journal Alternative Agriculture 3:144-145. Reijntjes C, Haverkort B, Waters-Bayer A. 1992. Pertanian Masa Depan, Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Sukoco Y, penerjemah. Fliert E van de, Hidayat B, Flemish Organization for Assistance in Development, editor. London: The Macmillan Press. Terjemahan dari: Farming for The Future, An Introduction to LowExternal-Input and Sustainable Agriculture. Saepurrohman. 29 Sep 2005. Menggagas pertanian ramah lingkungan. Pikiran Rakyat: 35 (kolom 1-4). Salikin KA. 2003. Kanisius.
Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Penerbit
Sayogyo. 1991. Kebijakan Mengatasi Kemiskinan sebagai Salah Satu Upaya Perbaikan Gizi [Makalah pada Seminar Studi Kebijakan Pangan dan Gizi, Pengalama n dan Harapan]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2002. Sistem Pangan Organik. Badan Standarisasi Nasional. http://www.biocert.or.id/download/SNI_ORG.pdf [12 Juni 2004] Soetrisno N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia: Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan. Majalah Pangan No. 21, Vol. IV. Jakarta: Badan Urusan Logistik. 56
Soetrisno, N. 1997. Konsep dan Kebijakan Ketahanan Pangan dalam Repelita VII [Makalah Seminar Pra Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 26-27 Juni]. Jakarta. Spillmann KR, Bachler G. 2004. Environmental and Conflicts Project ENCOP Occasional Papers. Zurich/Swiss: Center for Security Studies, ETH Zurich/Swiss Peace Foundation. Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumahtangga [Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan]. Jakarta: Deptan – UNICEF. Sukandar D, Briawan D, Heryanto Y, Ariani M, Andrestian MD. 2001. Kajian Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumahtangga di Propinsi Jawa Tengah. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi, Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Sumarwan U, Sukandar D. 1998. Analisis Ketahanan Pangan Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga. Media Gizi & Keluarga. Tahun XXII No. 1 Juli 1998. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB, hlm 31-38. Susanto D. 1995. Aspek Pengetahuan dan Sosio Budaya dalam Rangka Ketahanan Pangan Rumahtangga [Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumahtangga]. Deptan – UNICEF. Sutanto R. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Syahyuti. 2004. Kendala pelaksanaan Landreform di Indonesia: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Bebrbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 22, No. 2, Desember 2004: 89 – 101. Teasdale JR, Coffman CB, Mangum RW. 2007. Potential Long-Term Benefits of No-Tillage and Organic Cropping Systems for Grain Production and Soil Omprovement. Agron J 99:1297 – 1305 (2007). [UNICEF] United Nations Children’s Fund. 1997. The Progress of Nations. New York: UNICEF. UU RI No. 7 th. 1996. Undang-undang Pangan. Jakarta: Sinar Grafika. Yamada H. 1988. Some Experimental Results Obtained from the Studies on Technological Evaluation of Organic Farming and Gardening. Agricultural Technology 43:433-437. Yambi O, Kavishe FO. 2002. Determinants of Malnutrition: Household Food Security, Care and Health. Nairobi: UNICEF ESARO, Kenya. 57
Zamora BO. 1995. Contextualizing The Indicator for Sustainable Agriculture. Di dalam: Sustainable Agriculture Indicator. Philippines: SEAMEOSEARCA, Los Banos.
58
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat
60
Lampiran 2 Peta Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat
61
Lampiran 3 Hasil uji Korelasi Pearson antara peubah bebas dan tidak bebas Peubah TKE
PENG_LHN
MODL_KRJ
PENGE_PO
PRO_BRSO
P_DPT_AN
PENG_L HN
TKE Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
MODL_ KRJ
PENGE_ PO
PRO_BR SO
P_DPT_ AN
1
,395(**)
-,020
,866(**)
,705(**)
,954(**)
61
,002 61
,879 61
,000 61
,000 61
,000 61
,395(**)
1
,031
,341(**)
,277(*)
,366(**)
,002 61
61
,810 61
,007 61
,031 61
,004 61
-,020
,031
1
-,048
-,107
-,048
,879 61
,810 61
61
,715 61
,410 61
,716 61
,866(**)
,341(**)
-,048
1
,674(**)
,809(**)
,000 61
,007 61
,715 61
61
,000 61
,000 61
,705(**)
,277(*)
-,107
,674(**)
1
,651(**)
,000 61
,031 61
,410 61
,000 61
61
,000 61
,954(**)
,366(**)
-,048
,809(**)
,651(**)
1
,000 61
,004 61
,716 61
,000 61
,000 61
61
Keterangan : 1. (**) Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-tailed) 2. (*) Korelasi signifikan pada level 0,05 (2-tailed) 3. Peubah tidak bebas: TKE (Tingkat Kecukupan Energi) 4. Peubah bebas : PENG_LHN (penguasaan lahan) MODL_KRJ (modal kerja) PENGE_PO (pengetahuan bertani secara organik) PRO_BRSO (produktivitas beras organik) P_DPT_AN (pendapatan)
62
Lampiran 4 Hasil uji Korelasi Spearman antara peubah bebas dan tidak bebas
Peubah TKE
KRJ_SAMA
P_FORMAL
P_NFORML
TUJUA_PO
PLAAN_LB
KRJ_SA MA
P_FOR MAL
P_NFO RML
TUJUA _PO
PLAAN _LB
1,000
,811(**)
-,064
,656(**)
,866(**)
,815(**)
61
,000 61
,622 61
,000 61
,000 61
,000 61
,811(**)
1,000
,163
,775(**)
,726(**)
,920(**)
,000 61
61
,209 61
,000 61
,000 61
,000 61
-,064
,163
1,000
,221
-,027
,080
,622 61
,209 61
61
,088 61
,838 61
,542 61
,656(**)
,775(**)
,221
1,000
,673(**)
,778(**)
,000 61
,000 61
,088 61
61
,000 61
,000 61
,866(**)
,726(**)
-,027
,673(**)
1,000
,757(**)
,000 61
,000 61
,838 61
,000 61
61
,000 61
,815(**)
,920(**)
,080
,778(**)
,757(**)
1,000
,000 61
,000 61
,542 61
,000 61
,000 61
61
TKE Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Keterangan : 1. (**) Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-tailed) 2. Peubah tidak bebas: TKE (Tingkat Kecukupan Energi) 3. Peubah bebas : KRJ_SAMA (kerjasama) P_FORMAL (pendidikan formal kepala keluarga) P_NFORML (pendidikan non formal kepala keluarga) TUJUA_PO (tujuan penerapan pertanian organik) PLAAN_LB (pengelolaan limbah)
63
Lampiran 5 Hasil uji regresi dengan posedur stepwise untuk memperoleh peubah bebas yang berpengaruh nyata
Parameter Standard Type II SS Estimate Error Intercept 46,86972 2,77935 1062,60966 PENG_LHN 5,79375 2,68922 17,34375 TUJ UA_PO 1,96318 0,76014 24,92359 PLAAN_LB 2,17285 0,73057 33,05343 PENGE_PO 0,14617 0,05297 28,44960 PRO_BRSO 0,10274 0,02928 45,98975 P_DPT_AN 0,00002740 0,00000372 202,53818 Variable
F Value
Pr > F
284,38 4,64 6,67 8,85 7,61 12,31 54,20
<,0001 0,0357 0,0125 0,0044 0,0079 0,0009 <,0001
R-Square = 0,9585 Keterangan: 1. PENG_LHN (penguasaan lahan) 2. TUJUA_PO (tujuan penerapan pertanian organik) 3. PLAAN_LB (pengelolaan limbah) 4. PENGE_PO (pengetahuan bertani secara organik) 5. PRO_BRSO (produktivitas beras organik) 6. P_DPT_AN (pendapatan)
64