5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA
5.1
Determinan Ketahanan Pangan Regional Analisis data panel dilakukan untuk mengetahui determinan ketahanan
pangan regional di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur pada tahun 2002,2005 dan 2008. Analisis dilakukan dalam dua tahapan, yaitu tahap pemilihan model terbaik dan tahap pengujian pelanggaran asumsi.
5.1.1 Pemilihan Model Terbaik Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan model regresi. Pengujian kesesuaian model yang dilakukan pertama kali dalam penelitian ini adalah pengujian dengan metode Chow test. Proses ini dilakukan dengan membandingkan pooled model dengan fixed effects model. Selanjutnya dilakukan uji Hausman untuk membandingkan antara fixed effects model dengan random effect model. Hasil uji Chow dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil pengujian yang dilakukan memperoleh nilai Fstatistik sebesar 2,26 dengan nilai p-value sebesar 0.0017. Kesimpulan yang diambil adalah menolak Ho pada taraf α = 1 persen, atau terdapat heterogenitas individu pada model. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model. Proses selanjutnya yaitu membandingkan antara fixed effects model dan random effects model. Untuk memastikan model terbaik yang akan digunakan dalam estimasi persamaan ini maka dilakukan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas dalam persamaan. Hasil uji Hausman (Lampiran 15) menunjukkan nilai p-value (prob.) > 0,0009. Hal ini berarti fixed effects model lebih sesuai digunakan. Dari kedua uji yaitu Chow test, dan Hausman test menunjukkan bahwa fixed effect model merupakan model yang terbaik. Hal ini terlihat dari signifikansi
70
peubah bebas pada fixed effect yang nilainya lebih baik dibandingkan dengan menggunakan model random effect. Peubah bebas yang signifikan pada model fixed effect sebanyak 4 peubah sedangkan pada random effect sebanyak 2 peubah. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka diputuskan bahwa model fixed effect adalah model yang lebih baik untuk mengestimasi.
5.1.2 Pengujian Pelanggaran Asumsi Pengujian asumsi dilakukan untuk melihat apakah model terbebas dari autokorelasi dan heteroskedastisitas 1.
Autokorelasi Pengujian asumsi bebas autokorelasi dilakukan dengan Wooldridge test. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh nilai Prob > F sebesar 0.1038 (Lampiran 15 ). Kesimpulan yang diambil adalah tidak dapat menolak H0 yang artinya tidak terdapat autokorelasi dalam model.
2.
Heteroskedastisitas Berdasarkan hasil pengolahan data dengan modified wald test diperoleh nilai Prob > Chi sebesar 0.000 yang artinya menolak H0. Artinya, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model. Berdasarkan kedua uji asumsi yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa
di dalam model terdapat heteroskedastisitas, tidak ada autokorelasi. Permasalahan heteroskedastisitas pada model mempengaruhi perkiraan nilai parameter yang tidak akan memenuhi sifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimate). Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model terpilih memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model dengan menggunakan pendekatan cross section weights atau disebut juga metode Generalized Least Squared (GLS). Estimasi yang dilakukan dengan fixed effect GLS menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan fixed effect OLS. Model yang diestimasi dengan fixed effect GLS lebih banyak menghasilkan parameter yang signifikan. Hasil estimasi dengan metode fixed effect GLS menunjukkan nilai Wald Chi2 sebesar 711,21 dengan nilai Prob > chi2 sebesar 0,0000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada model yang dipilih paling tidak ada satu koefisien
71
regresi yang signifikan secara statistik yang mampu menjelaskan peubah ketahanan pangan pada taraf nyata (α) 1 persen. Berdasarkan hasil estimasi terhadap model fixed effect dengan metode Generalized Least Squared (GLS) atau disebut juga metode cross section weight diketahui bahwa ada tiga peubah bebas yang menunjukkan hasil tidak signifikan secara statistik pada taraf nyata (α) 5 persen (Tabel 11). Ketiga peubah yang tidak signifikan tersebut adalah PDRB, inflasi dan tingkat pengangguran terbuka. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas t-hitung masing-masing peubah bebas yang lebih besar daripada taraf nyata (α) 10 persen. Tabel 11 Hasil estimasi determinan ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur Notasi Variabel C PROD PDRB INFLASI TPT RLS JALAN PASAR Prop (F-stat) R2
Koefisien -19,7646 0,0057 -0,0280 -0,1094 -0,2483 7,2257 0,0017 0,0305 0,0000
FEM dengan metode GLS Nilai z P-value statistik -5,4000 0,0000 0,0460 ** 1,9900 -0,2800 0,7800 -0,5600 0,5730 -1,2900 0,1980 18,5000 0,0000 *** 1,6600 0,0970 * 2,5100 0,0120 **
elastisitas 0,0439 1,5613 0,0376 0,0787
0,5007
Sumber : pengolahan data Keterangan : * nyata pada α 10 persen, ** nyata pada α 5 persen, *** nyata pada α 1
persen. Salah satu indikator food availability adalah ketersediaan padi yang merupakan komoditi pokok masyarakat Jawa Timur. Salah satu manfaat terjaminnya ketersediaan padi adalah pemerintah dapat menjaga harga pangan dalam batas jangkauan daya beli masyarakat. Harga yang terjangkau akan membuat masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangannya sepanjang waktu (Hardono dan Kariyasa, 2006). Produksi padi berpengaruh signifikan positif terhadap persentase rumah tangga tahan pangan dengan nilai elastisitas sebesar 0,0439. Kenaikan produksi padi sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah rumah tangga yang tahan pangan
72
sebesar 0,0439 persen. Hal ini disebabkan beras masih merupakan komoditi pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Jawa Timur. Pangsa pengeluaran pangan masyarakat untuk padi sekitar 20 persen. Hal ini menyebabkan terjaminnya ketersediaan padi merupakan salah satu faktor yang menentukan ketahanan pangan regional. Ketersediaan padi tidak hanya membuat pangan pokok tersedia secara cukup, namun juga membuka akses bagi pekerja di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa pendapatan dari bekerja di lapangan usaha ini, para pekerja tersebut tidak mungkin memenuhi kebutuhan pangan yang cukup bagi keluarganya. Berdasarkan data SUSENAS, persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian ini cukup besar yaitu 45,12 persen pada tahun 2002, 42,85 persen pada tahun 2005 dan 41,52 pada tahun 2008. Peningkatan produksi padi dapat dicapai melalui revitalisasi pertanian, yaitu menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan konstektual tanpa mengesampingkan sektor lainnya. Pertanian harus dilihat tidak hanya sebagai sektor penghasil komoditas untuk konsumsi, tapi juga sektor multi fungsi karena merupakan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan investasi di bidang infrastruktur pokok dan riset pertanian, peningkatan kemampuan petani dan lembaga pendukungnya, perbaikan dan peningkatan pemanfaatan irigasi, peningkatan akses petani terhadap permodalan, informasi teknologi pengolahan, serta perbaikan iklim usaha khususnya di sektor pertanian dan yang berkaitan. Rata-rata lama sekolah berpengaruh signifikan positif terhadap persentase rumah tangga tahan pangan. Berdasarkan nilai elastisitas rata-rata lama sekolah diperoleh hasil bahwa setiap kenaikan rata-rata lama sekolah sebesar 1 persen akan meningkatkan persentase rumah tangga tahan pangan sebesar 1,5613 persen. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas dan output yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan selanjutnya akan menentukan akses untuk mendapatkan pangan. Peningkatan pendidikan juga akan memberikan pengetahuan yang baik terhadap pemenuhan gizi sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia karena adanya peningkatan produktivitas individu. Hal ini sejalan dengan studi Demeke dan
73
Zeller (2010), Abebaw et al (2010) serta Ilham (2006) yang menyatakan bahwa pendidikan berpengaruh positif terhadap peningkatan ketahanan pangan. Akses pangan dipengaruhi oleh jalan dan pasar. Prasarana transportasi yang memadai diperlukan untuk menjamin distribusi bahan pangan dari produsen ke konsumen. Kemudahan distribusi pangan akan meningkatkan kemudahan akses pangan bagi rumah tangga. Panjang jalan dengan kualitas yang baik dan sedang memberikan pengaruh yang signifikan positif terhadap peningkatan persentase rumah tangga yang tahan pangan. Hal ini sesuai dengan penelitian FAO (2010) dan DKP (2009). Jalan yang memadai juga turut membantu kelancaran distribusi barang, sehingga dapat membantu dalam mempercepat bergeraknya roda perekonomian suatu daerah. Nilai elastisitas untuk peubah panjang jalan adalah 0,0376 yang artinya setiap kenaikan panjang jalan sebesar 1 persen, akan meningkatkan persentase ketahanan pangan rumah tangga sebesar 0,0376 persen. Infrastruktur pasar merupakan salah satu akses pangan. Adanya banyak pasar akan memberikan kemudahan bagi rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi dan beragam. Selanjutnya hal ini akan meningkatkan persentase rumah tangga yang tahan pangan. Nilai elastisitas banyaknya pasar adalah sebesar 0,0787 persen yang artinya jika ada peningkatan jumlah pasar sebesar 1 persen maka akan meningkatkan persentase rumah tangga yang tahan pangan sebesar 0,0787 persen. Hal ini sejalan dengan penelitian FAO (2010) yang menyebutkan bahwa infrastruktur pasar merupakan salah satu determinan pencapaian akses pangan yang selanjutnya akan meningkatkan ketahanan pangan. Dari keempat peubah yang signifikan, maka terlihat bahwa peubah ratarata lama sekolah memiliki elastisitas yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa peubah rata-rata lama sekolah merupakan peubah yang paling responsif dalam meningkatkan persentase rumah tangga yang memiliki ketahanan pangan. Kebijakan peningkatan rata-rata lama sekolah dapat menjadi program utama dalam rangka peningkatan ketahanan pangan.
74
5.2 Determinan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Analisis regresi logistik ordinal Dalam menentukan determinan ketahanan pangan rumah tangga, digunakan. Analisis regresi logistik ordinal digunakan untuk memeriksa hubungan antara peubah respon yang biasanya terdiri atas data kualitatif dengan peubah-peubah penjelas yang terdiri dari data kualitatif dan kuantitatif. Regresi Logistik Ordinal dalam penelitian ini melibatkan peubah respon dengan empat kategori dan delapan peubah penjelas. Asumsi Regresi Logistik Ordinal mensyaratkan bahwa peubah penjelas harus bebas dari multikolinieritas. Lampiran 16 menunjukkan bahwa peubah penjelas dalam model Regresi Logistik Ordinal memiliki VIF dibawah 10 sehingga dapat disimpulkan peubah bebas multikolinieritas. Kombinasi pasangan yang diobservasi adalah sebanyak 301.845.235 yang merupakan kombinasi pasangan dari empat status ketahanan pangan rumah tangga. Nilai concordant adalah sebesar 71,6 persen menunjukkan bahwa 71,6 persen pengamatan dengan kategori tahan pangan mempunyai peluang lebih besar pada kategori tahan pangan. Nilai disconcordant sebesar 28 persen menunujukkan 28 persen pengamatan dengan kategori selain tahan pangan mempunyai peluang lebih besar pada kategori tahan pangan. Ties merupakan persentase pengamatan dengan peluang tahan pangan sama dengan tidak tahan pangan yaitu sebesar 0.4 persen. Semakin tinggi nilai concordant maka model semakin baik mengestimasi. Evaluasi model dilakukan dengan melihat likelihood ratio test pada G statistic (Lampiran 17). Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh hasil nilai statistik G sebesar 5628,255 dengan p value sebesar 0,000. Hal ini berarti H0 ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa minimal ada satu peubah yang dapat menjelaskan persentase rumah tangga dengan ketahanan pangan yang baik. Model Regresi Logistik Ordinal yang dibentuk dari 8 peubah penjelas menunjukkan ada satu peubah yang tidak signifikan yaitu jenis kelamin kepala rumah tangga dengan p value 0,9980 (Tabel 12). Hasil ini sejalan dengan studi Mallick dan Rafi (2009) yang meneliti kerawanan pangan di Bangladesh dan menemukan bahwa gender kepala rumah tangga tidak nyata dalam menentukan kerawanan pangan rumah tangga. Adapun tujuh peubah lainnya yaitu daerah,
75
umur, pendidikan, jumlah ART, pendapatan perkapita,
lapangan usaha dan
dummy penerimaan RASKIN signifikan dengan tingkat α tertentu. Correct Classification Rate (CCR) menunjukkan seberapa tepat model dapat memprediksi status ketahanan pangan rumah tangga. CCR dalam penelitian ini adalah sebesar 0,5154. Hal tersebut menunjukkan ketepatan model memprediksi status ketahanan pangan rumah tangga adalah sebesar 51,54 persen. Tabel 12 Hasil estimasi determinan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur Predictor Const(1) Const(2) Const(3) GenderKRT Laki-laki Daerah Perkotaan UmurKRT PendidikanKRT Menengah Tinggi JumlahART Pperkapita Lapangan Usaha Pertanian Raskin Menerima
Coef -1,4805 0,4081 1,4034 0,0001
P value
Odds Ratio
0,0000 *** 0,0000 *** 0,0000 ***
Statistik Uji G G = 5.628,255 P-Value = 0,0000
0,9980
1,0001
-0,2020 0,0036
0,0000 *** 0,0000 ***
0,8171 1,0036
0,0931 0,1319 -0,1507 0,0036
0,0020 0,0730 0,0000 0,0000
*** * *** ***
1,0975 1,1409 0,8601 1,0036
0,1558
0,0000 ***
1,1686
-0,1601
0,0000 ***
0,8521
CCR 0,5154
Sumber : Pengolahan data Keterangan : * nyata pada α 10 persen, ** nyata pada α 5 persen, *** nyata pada α 1
persen Daerah tempat tinggal rumah tangga berpengaruh terhadap peningkatan ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini berbeda dengan studi Garrett dan Ruel (1999) yang menyatakan bahwa determinan kerawanan pangan di desa maupun di kota memiliki persamaan. Dalam penelitian ini terlihat bahwa peluang rumah tangga di perkotaan untuk meningkatkan status ketahanan pangannya hanya 0,8171 kali dibandingkan masyarakat perdesaan. Daerah dengan kategori perdesaan memiliki peluang yang lebih besar dalam meningkatkan ketahanan pangannya dibanding daerah perkotaan. Hal ini disebabkan mayoritas penduduk perkotaan memiliki status ketahanan pangan yang kurang pangan, yaitu rumah tangga dengan kalori yang kurang dari 80
76
persen dari yang dianjurkan namun pangsa pangannya kurang dari 60 persen. Rumah tangga di perkotaan secara ekonomi lebih baik dengan pangsa pangan yang kurang dari 60 persen, namun kecukupan kalorinya masih banyak yang dibawah 80 persen (<1.600 kkal/hari) dari yang dianjurkan. Penelitian ini sejalan dengan studi Nord (2000) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan ketahanan pangan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Biaya hidup di pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan di perkotaan. Hal ini menyebabkan rumah tangga perdesaan memiliki kemudahan dalam akses pangan. Tercapainya akses pangan yang merupakan salah satu determinan ketahanan pangan akan dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Umur kepala rumah tangga signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga. Semakin bertambah umur kepala rumah tangga maka kehidupan lebih mapan dan lebih baik sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan studi Bogale dan Shimelis (2009) yang menunjukkan bahwa semakin matang umur kepala rumah tangga akan semakin meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Berdasarkan odds ratio, kenaikan satu tahun umur kepala rumah tangga akan dapat meningkatkan peluang untuk memperbaiki status ketahanan pangan meskipun relatif kecil yaitu 1,0036 kali dibandingkan sebelumnya. Pendidikan kepala rumah tangga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga secara signifikan. Hal ini sesuai dengan hasil studi Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa pendidikan kepala rumah tangga menentukan ketahanan pangan rumah tangga. Semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga maka ketahanan pangan rumah tangganya akan semakin baik. Nilai odds ratio menunjukkan bahwa pada rumah tangga yang kepala rumah tangganya berpendidikan menengah (SMP dan SMU) akan memiliki peluang ketahanan pangan yang lebih baik sebesar 1,0975 kali dibandingkan pendidikan dasar. Sedangkan rumah tangga dengan pendidikan kepala rumah tangganya tinggi akan memiliki peluang memiliki ketahanan pangan yang lebih baik sebesar 1,1409 kali dibandingkan pendidikan dasar. Hal ini juga sesuai dengan analisis data panel yang menunjukkan rata-rata lama sekolah di suatu sekolah akan meningkatkan ketahanan pangan.
77
Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh secara signifikan negatif terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Bertambahnya satu orang anggota rumah tangga, akan mengurangi peluang rumah tangga mencapai ketahanan pangan akan berkurang menjadi 0,8601 kali dibandingkan jika anggota rumah tangganya tidak bertambah. Kondisi ini sesuai dengan studi Demeke dan Zeller (2010) yang menyatakan jumlah anggota rumah tangga akan menurunkan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Ukuran rumah tangga merupakan peubah yang menentukan distribusi kecukupan pangan dan gizi secara internal. Adanya asumsi kendala anggaran (budget constraint) akan menyebabkan bertambahnya anggota rumah tangga akan menurunkan derajat kecukupan pangan diantara anggota rumah tangga. Hal ini akan menyebabkan potensi rawan pangan akan lebih tinggi terjadi pada rumah tangga yang memiliki jumlah anggota rumah tangga lebih banyak. Pendapatan perkapita yang merupakan proxy dari pengeluaran per kapita merupakan peubah ekonomi yang berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini disebabkan dengan adanya peningkatan pendapatan akan meningkatkan daya beli rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Odds ratio dari pengeluaran perkapita adalah sebesar 1,0036. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan pendapatan perkapita perbulan akan menghasilkan peningkatan peluang rumah tangga tahan pangan dibandingkan sebelumnya. Klasikasi rumah tangga berdasarkan lapangan usaha kepala rumah tangga dibagi menjadi rumah tangga pertanian dan bukan pertanian. Rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian memiliki peluang untuk meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangganya sebesar 1,1686 kali lebih banyak dibandingkan rumah tangga non pertanian. Hal ini dapat dilihat dari persentase sumber konsumsi rumah tangga pertanian yang berasal dari produksi sendiri adalah sebesar 17,22 persen, sedangkan rumah tangga non pertanian hanya 7,38 persen. Kebijakan subsidi terarah (targeted food subsidy) berupa barang masih diperlukan untuk mengurangi beban pengeluaran dalam mencukupi kebutuhan pokok rumah tangga yang rawan, kurang maupun rentan pangan. Program beras
78
keluarga miskin (RASKIN) adalah implementasi kebijakan subsidi pangan terarah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Secara vertikal, program RASKIN akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan ketahanan pangan rumah tangga. Secara horizontal, program RASKIN merupakan bentuk transfer energi yang mendukung program perbaikan gizi, peningkatan kesehatan, peningkatan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Dummy penerimaan RASKIN ternyata berpengaruh signifikan dalam penentuan ketahanan pangan rumah tangga. Nilai odds ratio sebesar 0,8521 menunjukkan bahwa jika ada rumah tangga yang mendapat RASKIN maka peluang dikategorikan tahan pangan berkurang menjadi 0,8521 persen dibandingkan yang tidak mendapatkan RASKIN. Gambar 19 menunjukkan persentase rumah tangga yang menerima raskin berdasarkan
status
ketahanan
pangan
rumah
tangga.
Gambar
tersebut
menunjukkan pada status rawan pangan persentase rumah tangga yang menerima raskin sangat besar yaitu 77 persen. Hal ini mendukung dengan hasil regresi logistic ordinal yang menyatakan bahwa jika ada rumah tangga yang mendapat RASKIN maka peluang dikategorikan tahan pangan berkurang lebih kecil dibandingkan yang tidak mendapat RASKIN. 90 80 P e r s e n
77,20
77,18
70 60
54,46
49,49 50,51
50
45,54
40 30
Menerima Tidak
22,80
22,82
20 10 0 Rawan
Kurang
Rentan
Tahan
Status Ketahanan Pangan
Gambar 19 Alokasi RASKIN berdasarkan status ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur.