DET TERMINA AN KETA AHANAN N PANGA AN REGIO ONAL DA AN RUMAH H TANGG GA DI PR ROVINSI JAWA T TIMUR
NURLAT TIFAH
SEKOL LAH PAS SCASARJJANA I INSTITU UT PERTA ANIAN BOGOR B BOG GOR 201 11
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Determinan Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2011
Nurlatifah NRP H151090164
ABSTRACT NURLATIFAH. Determinant of Regional Food Security and Household Food Security in East Java Province. Under direction of SRI MULATSIH and LUKYTAWATI ANGGRAENI. Food availibility is a necessary but not sufficient condition for regional food security. Regional food security does not guarantee household food security. This study aims is to determine the factors that affect regional food security and households food security in East Java Province. The analysis was done by using the 2002, 2005 and 2008 SUSENAS data and other supporting data. Regional food security analysis was conducted by using panel data regression. Meanwhile, household food security analysis was conducted by using ordinal logistic regression. The results shows improved food security and convergence between districts in East Java Province. Production of paddy, education, roads and market infrastructure significantly affect regional food security. Income per capita, the classification of regional (urban/rural), education of household head, age of household head, household size, occupation of household head, and food aid significantly affect households food security. Keywords : food security, panel data analysis, ordinal logistic regression
.
RINGKASAN NURLATIFAH. Determinan Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan LUKYTAWATI ANGGRAENI. Ketahanan pangan di tingkat nasional atau regional tidak menjamin ketahanan pangan di tingkat rumahtangga dan individu. Ketahanan pangan nasional dan regional merupakan syarat keharusan tapi belum cukup memenuhi ketahanan pangan rumah tangga dan individu (necessary but not sufficient condition). Hal ini ditunjukkan dengan adanya fakta bahwa walaupun di tingkat nasional dan wilayah (provinsi) memiliki status ketahanan pangan yang terjamin, namun di wilayah tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan. Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menerbitkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA 2009) untuk membantu mengidentifikasi ketahanan dan kerentanan pangan di daerah. Data FSVA 2009 menunjukkan dari 100 kabupaten rawan pangan, lima kabupaten berada di Provinsi Jawa Timur. Hal ini adalah suatu kondisi yang ironis, mengingat banyaknya keunggulan karakteristik Provinsi Jawa Timur namun masih terdapat daerah yang rawan pangan. Bertolak dari hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian mengenai determinan ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan (1) menganalisis deskripsi mengenai dinamika pola konsumsi dan ketahanan pangan di Provinsi Jawa Timur, (2) menganalisis determinan ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur, (3) menganalisis determinan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan data susenas modul konsumsi tiga tahunan, yaitu tahun 2002, 2005 dan 2008, serta data sekunder lain yang bersumber dari BPS dan DKP. Cakupan penelitian ini terdiri dari 38 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Derajat ketahanan pangan rumah tangga diidentifikasi dengan dua indikator yaitu ketercukupan kalori yang dikonsumsi dan besarnya pangsa pengeluaran makanan. Kecukupan kalori dan protein yang dianjurkan adalah berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 yaitu 2000 kkal/kapita/hari dan 52 gr/kapita/hari. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, regresi data panel dan regresi logistik ordinal. Pangsa pengeluaran pangan sebagai salah satu indikator penentu ketahanan pangan rumah tangga masih mencapai proporsi yang cukup besar di Jawa Timur. Hasil pengolahan data SUSENAS tahun 2002, 2005 dan 2008 menunjukkan bahwa terjadi penurunan pangsa pengeluaran untuk pangan yang diimbangi dengan kenaikan konsumsi kalori masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan di masyarakat. Jika dibandingkan antara perkotaan dan pedesaan terlihat bahwa pangsa pengeluaran pangan di perkotaan memiliki proporsi yang lebih kecil dibandingkan pedesaan Kecukupan kalori di Provinsi Jawa Timur masih di bawah standar kecukupan kalori yang dianjurkan. Namun, kecukupan protein di Provinsi Jawa Timur telah memenuhi standar kecukupan protein yang dianjurkan. Jika dibandingkan antara pedesaan dan perkotaan terlihat bahwa kecukupan kalori di pedesaan lebih tinggi
dibandingkan perkotaan. Namun di sisi lain, kecukupan protein di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Secara agregat, pengeluaran untuk padi-padian cukup besar namun lambat laun mengecil seiring dengan meningkatnya pengeluaran untuk makanan jadi. Pada masyarakat pedesaan terjadi perubahan komposisi pengeluaran pangan. Pada tahun 2002 padi-padian menjadi konsumsi utama masyarakat pedesaan. Namun kemudian terjadi perubahan dengan mengecilnya pangsa padi-padian dan meningkatnya makanan dan minuman jadi. Bahkan pada tahun 2008 konsumsi makanan dan minuman jadi di pedesaan hampir sama dengan konsumsi padi-padian. Adapun tiga komoditi makanan jadi yang paling besar dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan adalah pecel (19,71 persen), makanan ringan anak-anak (14,60 persen) dan mie rebus/bakso(13,36 persen). Berdasarkan penghitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi Jawa Timur persentase penduduk yang rawan pangan relatif cukup besar. Namun persentase penduduk yang rawan pangan dari tahun ke tahun mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya persentase penduduk yang tahan pangan. Penurunan persentase rumah tangga yang rawan pangan hanya terjadi di pulau Jawa. Hal ini tidak terjadi di Pulau Madura dan pulaupulau kecil di sekitarnya. Ketahanan pangan regional dipengaruhi oleh faktor ketersediaan pangan dan akses pangan. Ketersediaan pangan dicerminkan dari produksi padi karena berdasarkan pola konsumsi, padi merupakan penyumbang kalori terbesar dibandingkan pangan yang lainnya. Ketersediaan padi tidak hanya membuat pangan tersedia secara cukup, namun juga membuka akses bagi pekerja di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa pendapatan dari bekerja di lapangan usaha ini, para pekerja tersebut tidak mungkin memenuhi kebutuhan pangan yang cukup bagi keluarganya. Selain itu, manfaat dari tersedianya padi adalah pemerintah dapat menjaga harga pangan pokok dalam batas jangkauan daya beli masyarakat. Harga yang terjangkau akan membuat masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangannya sepanjang waktu. Rata-rata lama sekolah berpengaruh secara signifikan positif terhadap persentase rumah tangga yang memiliki ketahanan pangan. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktifitas, output serta pendapatan sehingga akan menentukan akses untuk mendapatkan pangan. Peningkatan pendidikan juga akan memberikan pengetahuan yang baik terhadap pemenuhan gizi sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia karena adanya peningkatan produktivitas individu. Salah satu faktor akses pangan adalah terjaminnya distribusi pangan yang baik. Dalam hal ini diperlukan sarana transportasi yang memadai untuk menjamin distribusi bahan pangan dapat sampai dengan baik dari produsen ke konsumen. Panjang jalan dengan kualitas yang baik dan sedang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan persentase rumah tangga yang tahan pangan. Infrastruktur pasar merupakan salah satu akses pangan. Adanya banyak pasar akan memberikan kemudahan bagi rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi dan beragam. Hal ini tentunya akan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Hasil pengolahan regresi logistik ordinal menyatakan dari delapan variabel penjelas ada satu variabel penjelas yang tidak signifikan yaitu gender kepala
rumah tangga. Umur kepala rumah tangga signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga. Semakin bertambah umur kepala rumah tangga maka tingkat kematangan pekerjaan menjadi semakin meningkat. Hal ini akan meningkatkan kehidupan yang lebih mapan dan lebih baik sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Di sisi lain, bertambahnya umur kepala rumah tangga juga akan menambah pengetahuan semakin baik. Pendidikan kepala rumah tangga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga secara signifikan. Semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga maka ketahanan pangan rumah tangganya akan semakin baik. Hal ini konsisten dengan analisis ketahanan pangan regional. Daerah tempat tinggal rumah tangga berpengaruh terhadap peningkatan ketahanan pangan rumah tangga. Data pengolahan SUSENAS menunjukkan banyaknya status rumah tangga yang rentan pangan di pedesaan, sehingga peluang untuk meningkatkan status ketahanan pangannya lebih banyak. Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Bertambahnya satu orang anggota rumah tangga akan mengurangi peluang rumah tangga mencapai ketahanan pangan dibandingkan sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh budget constraint dimana ketika rumah tangga bertambah jumlah anggotanya dengan pendapatan yang tetap maka akan berkurang pemenuhan kebutuhan makanannya (Hardono dan Kariyasa, 2006). Pendapatan perkapita yang merupakan proxy dari pengeluaran per kapita merupakan variabel ekonomi yang berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini disebabkan dengan adanya peningkatan pendapatan akan meningkatkan daya beli rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Berdasarkan lapangan usaha kepala rumah tangga maka klasifikasi rumah tangga dibagi sebagai rumah tangga pertanian dan bukan pertanian. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian memiliki peluang untuk meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangganya lebih banyak dibandingkan rumah tangga non pertanian. Kondisi ini karena adanya food availibility yang lebih baik. Sumber konsumsi rumah tangga pertanian yang berasal dari produksi sendiri adalah sebesar 17,22 persen, sedangkan rumah tangga non pertanian hanya 7,38 persen. Penerimaan raskin ternyata berpengaruh signifikan dalam penentuan ketahanan pangan rumah tangga. Bagi rumah tangga yang mendapat raskin maka peluang dikategorikan tahan pangan berkurang dibandingkan yang tidak mendapatkan raskin. Di sisi lain, hasil analisis menunjukkan masih terdapat penyaluran raskin yang tidak tepat sasaran. Kata Kunci : ketahanan pangan, analisis data panel, regresi logistik ordinal
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI JAWA TIMUR
NURLATIFAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Tesis
: Determinan Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur
Nama
:
Nurlatifah
NRP
:
H151090164
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Mulatsih, MSc. Agr. Ketua
Dr. Lukytawati Anggraeni, SP,MSi. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.
Tanggal Ujian : 31 Mei 2011
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ali Said
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Determinan Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Seiring dengan selesainya penelitian ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Sri Mulatsih, MSc. Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, MSi. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ali Said atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi dan Tanti Novianti, MSi. selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Tak lupa, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para dosen pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Badan Pusat Statistik, Kepala BPS Provinsi Jawa Barat dan Kepala BPS Kabupaten Bogor yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada teman-teman Tugas Belajar Program Studi Ilmu Ekonomi BPS Batch dua yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga terselesainya tesis ini. Ucapan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada kedua orang tua, Bapak Hartojo dan Ibunda Warsini atas semua doa tulus yang telah diberikan. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada suami tercinta, mitra diskusi dan mitra kerja abadi, Dudi Barmana, MSi. yang dengan sabar dan tiada henti memberikan dorongan dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada anak-anak tersayang yaitu Yasminna Dhiya Ulhaq, Farah Bahirotun Nuha dan Ahmad Musyaffa Arkan atas segenap pengertian dan kesabarannya menerima penulis sebagai ibu yang tak sempurna. Karya ini penulis persembahkan untuk mereka. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada pihakpihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Semoga penelitian ini bermanfaat. Bogor, Mei 2011
Nurlatifah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Grobogan pada tanggal 22 Oktober 1978 dari bapak Hartojo dan ibu Warsini. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Dudi Barmana dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Yasminna Dhiya Ulhaq, Farah Bahirotun Nuha dan Ahmad Musyaffa Arkan. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 1 Wirosari kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Wirosari pada tahun 1990 dan lulus pada tahun 1993. Setelah lulus dari SMPN penulis melanjutkan ke SMAN 1 Purwodadi. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan di Akademi Ilmu Statistik Jakarta dan lulus tahun 1999. Setelah lulus dari Akademi Ilmu Statistik Jakarta, penulis bekerja di BPS Kabupaten Bogor. Pada tahun 2003, penulis berkesempatan melanjutkan sekolah ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik dan lulus tahun 2004. Pada tahun 2009 penulis diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi beasiswa tugas belajar kerja sama BPS-IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... xvii 1.
PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah .......................................................................
7
1.3 Tujuan Penelitian ...........................................................................
8
1.4 Manfaat Penelitian .........................................................................
8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
11
2.1 Tinjauan Teori ................................................................................
11
2.1.1 Ketahanan Pangan ..............................................................
11
2.1.2 Kerawanan Pangan ............................................................
13
2.1.3 Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga...............
15
2.1.4 Kemiskinan dan Ketahanan Pangan ..................................
19
2.2 Penelitian Terdahulu ......................................................................
23
2.3 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis ................................................
26
3. METODE PENELITIAN ........................................................................
29
3.1 Jenis dan Sumber Data ...................................................................
29
3.2 Metode Analisis .............................................................................
31
3.2.1 Penghitungan Ketahanan Pangan .......................................
31
3.2.2 Analisis Spasial/Sistem Informasi Geografis (SIG) ...........
32
3.2.3 Regresi Data Panel .............................................................
33
3.2.4 Regresi Logistik Ordinal ....................................................
40
3.3 Definisi Peubah Operasional ........................................................
42
4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN .....
47
4.1 Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein .........................................
47
4.2 Pola Konsumsi Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur ...............
49
4.3 Ketersediaan Pangan di Provinsi Jawa Timur ...............................
50
2.
5.
4.4 Akses Pangan di Provinsi Jawa Timur ...........................................
52
4.5 Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Timur ....................................
57
4.6 Hubungan kemiskinan dan kerawanan pangan ..............................
67
DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA .....................................................................
69
5.1 Determinan Ketahanan Pangan Regional .......................................
69
5.1.1 Pemilihan Model Terbaik....................................................
69
5.1.2 Pengujian Pelanggaran Asumsi ...........................................
70
5.2 Determinan Ketahanan Pangan Rumah Tangga ............................
74
6. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
79
6.1 Kesimpulan ....................................................................................
79
6.2 Saran ...............................................................................................
79
6.3 Saran Penelitian Lanjutan ...............................................................
80
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
81
LAMPIRAN ..................................................................................................
87
xiv
DAFTAR TABEL Nomor 1
Halaman
Jumlah kabupaten berdasarkan ketahanan pangan dan ketersediaan pangan di Provinsi Jawa Timur.........................................................................
5
2
Pengukuran derajat ketahanan pangan rumah tangga .....................................
31
3
Peubah ketahanan pangan rumah tangga .........................................................
42
4
Pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan pangan di Provinsi Jawa Timur ......................................................................................
48
5
Persentase konsumsi makanan di Provinsi Jawa Timur ..................................
49
6
Persentase konsumsi padi-padian di Provinsi Jawa Timur .............................
50
7
PDRB Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 ................................................
53
8
Struktur PDRB di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 .............................
54
9
Persentase status ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur ......................................................................................
59
Perbandingan persentase penduduk miskin dengan rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur.........................................................................
67
Hasil estimasi determinan ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur ..................................................................................................................
71
Hasil estimasi determinan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur .........................................................................................................
75
10 11. 12
xv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Persentase PDB Penggunaan tahun 2009 .....................................................
3
2
Komposisi pengeluaran makanan dan bukan makanan rumah tangga ....
4
3
Kontribusi produksi padi tahun 2009 ................................................................
6
4
Kaitan antara elemen dalam sistem ketahanan pangan ...................................
17
5
Kurva Engle untuk kebutuhan pokok ............................................................
19
6
Efek bantuan pangan berupa pemberian makanan gratis ...........................
21
7
Efek bantuan pangan berupa subsidi .............................................................
22
8
Kerangka pemikiran .........................................................................................
27
9
Produksi padi perkapita di Provinsi Jawa Timur (kg)......................................
51
10
Deflator PDRB Provinsi Jawa Timur 2002-2008 ............................................
55
11
Rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Timur (tahun) ..................................
56
12
Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 ...................................................
58
13
Rumah tangga rawan pangan berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga di Provinsi Jawa Timur ..................................................
14
Rumah tangga rawan pangan berdasarkan lapangan usaha kepala rumah tangga di Provinsi Jawa Timur (persen) ...................................
15
63
Peta persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2002 dan 2005.........................................................................................
17
62
Rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga di Provinsi Jawa Timur (persen) ...................................
16
61
64
Peta persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2005 dan 2008.........................................................................................
66
18
Status ketahanan pangan penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur ..............
68
19
Alokasi RASKIN berdasarkan status ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur..........................................................................................
72
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1 Rata-rata konsumsi kalori perkapita di Provinsi Jawa Timur (kkal) .................
89
2 Rata-rata konsumsi protein perkapita di Provinsi Jawa Timur (gram) .............
90
3 Produksi padi di Provinsi Jawa Timur (ton) .......................................................
91
4 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Provinsi Jawa Timur (milyar rupiah) ......................................................................................................
92
5 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Provinsi Jawa Timur (milyar rupiah) ......................................................................................................
93
6 Rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Timur (tahun) ..............................
94
7 Panjang jalan kualitas baik dan sedang di Provinsi Jawa Timur ...............
95
8. Jumlah pasar di Provinsi Jawa Timur .................................................................
96
9. Persentase rumah tangga tahan pangan di Provinsi Jawa Timur......................
97
10. Persentase rumah tangga rentan pangan di Provinsi Jawa Timur ....................
98
11. Persentase rumah tangga kurang pangan di Provinsi Jawa Timur ...................
99
12. Persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur ...................
100
13. Pengelompokan persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur ...........................................................................................
101
14. Persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur ..................................
102
15. Pengolahan regresi data panel untuk estimasi ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur ................................
103
16. Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk Uji Multikolinieritas ..........
106
17. Pengolahan regresi logistik ordinal untuk estimasi determinan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur.........................
107
xvii
Halaman ini sengaja dikosongkan.
xviii
1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki
dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa pangan merupakan hak asasi bagi setiap individu di Indonesia. Oleh karena itu terpenuhinya kebutuhan pangan di dalam suatu negara merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi. Selain itu pangan juga memegang peranan penting dan strategis di Indonesia berdasarkan pada pengaruh yang dimilikinya baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Konsep ketahanan pangan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap individu dan rumah tangga memiliki akses secara fisik, ekonomi, dan ketersediaan pangan yang cukup, aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Selain itu aspek pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat juga tidak boleh dilupakan. Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk menyatakan situasi pangan pada berbagai tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional, dan tingkat rumah tangga serta individu yang merupakan suatu rangkaian sistem hirarkis. Hal ini menunjukkan bahwa konsep ketahanan pangan sangat luas dan beragam serta merupakan permasalahan yang kompleks. Namun demikian, konsep ketahanan pangan tersebut intinya bertujuan untuk mewujudkan terjaminnya ketersediaan pangan bagi umat manusia. Ketercukupan pangan bagi setiap individu tercermin dari kecukupan energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999). Lebih lanjut Irawan (2002) menyatakan bahwa derajat ketahanan pangan rumah tangga secara sederhana dapat ditentukan dengan mengevaluasi asupan energi dan protein rumah tangga tersebut. Malassis dan Ghersi dalam Irawan (2002) menyatakan bahwa energi dan protein digunakan sebagai indikator status gizi
2
karena penggunaan nilai kalori (energi) dan nilai protein sudah cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi kalori terkait erat dengan kemampuan manusia untuk hidup secara aktif sedangkan konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak. Ketahanan pangan merupakan indikator yang dapat merepresentasikan jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi sesuai norma gizi yang ada. Dalam hal ini ketahanan pangan lebih mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi serta penyerapannya demi pencapaian hidup yang sehat dan produktif. Ketahanan pangan belum tercapai saat ketersediaan pangan saja yang terpenuhi. Ketahanan pangan akan tercapai ketika akses terhadap pangan tersebut memadai serta penyerapan pangannya dapat berlangsung secara baik. Kondisi inilah yang belum tercapai di banyak daerah di Indonesia. Ketersediaan pangan yang memadai atau bahkan berlebih tidak disertai dengan akses pangan yang memadai. Hal ini berakibat pada penyerapan pangan yang tidak maksimal, sehingga banyak daerah di Indonesia yang belum mampu mencapai ketahanan pangan meskipun telah mencapai surplus pangan. Ketahanan pangan rumah tangga yang tercermin dari klasifikasi silang antara ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan mampu dijadikan suatu indikator ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan indikator lain. Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al. (2000) mengklasifikasikan ketahanan pangan rumah tangga melalui perpaduan antara kecukupan pangan dengan pangsa pengeluaran. Kedua indikator ini dinilai cukup sederhana namun mampu merepresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Klasifikasi tersebut menghasilkan empat kategori ketahanan pangan rumah tangga yaitu rumah tangga tahan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan rawan pangan. Ketahanan pangan memiliki kaitan dengan pola konsumsi yaitu dari sisi pangsa pengeluaran makanan. Hukum Engle menyatakan jika selera tidak berbeda, maka persentase pengeluaran untuk makanan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan (Nicholson, 1995;2002). Deaton dan Muellbauer (1980a) menyatakan bahwa semakin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara maka pangsa pengeluaran pangan penduduknya semakin kecil, demikian sebaliknya. Daerah dengan pangsa pengeluaran pangan yang masih besar akan
3
selalu dijumpai permasalahan kekurangan pangan sehingga harus memerlukan perhatian yang lebih banyak. Pangsa pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Semakin besar pangsa pengeluaran untuk pangan berarti ketahanan pangan semakin berkurang (Soehardjo et al., 1986). Meskipun telah banyak kajian tentang pangsa pengeluaran makanan di Indonesia, namun kajian tentang pangsa pengeluaran pangan dengan variabel yang berkaitan langsung dengan ketahanan pangan masih sangat terbatas. Pengeluaran rumah tangga yang di dalamnya mencakup pengeluaran pangan dan bukan pangan merupakan bagian yang memiliki porsi paling besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan penggunaan. Gambar 1 menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi sebesar 57 persen pada PDB berdasarkan penggunaan tahun 2009. Dari persentase yang paling besar ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu konsumsi rumah tangga untuk makanan dan bukan makanan. Ekspor-Impor (10%)
Pembentukan Modal Tetap Bruto (23%)
Konsumsi RT (57%)
Pemerintah (9%)
Sumber : BPS, diolah
Gambar 1 Persentase PDB Penggunaan tahun 2009. Gambar 2 menunjukkan komposisi pengeluaran rumah tangga untuk makanan
dan
bukan
makanan
pada
beberapa
periode.
Jika
dilihat
perbandingannya maka dapat dikatakan bahwa komposisi pengeluaran makanan
4
dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Di sisi lain, pengeluaran untuk bukan makanan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan.
P e r s e n
Tahun
Sumber : Susenas BPS, diolah Gambar 2 Komposisi pengeluaran makanan dan bukan makanan rumah tangga. Untuk membantu mengidentifikasi ketahanan dan kerentanan pangan di daerah, Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menerbitkan Peta Ketahanan Dan Kerentanan Pangan 2009 (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA 2009). FSVA 2009 merupakan pemutakhiran dari Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas/FIA) yang diluncurkan pada tahun 2005. FSVA ini disusun untuk mengidentifikasi titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia, mengidentifikasi penyebab kerawanan pangan di suatu kabupaten dan menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk kerawanan pangan kronis (DKP, 2009). Pada penyusunan FSVA ini, daerah perkotaan belum dimasukkan ke dalam penyusunan peta karena pendekatan ketahanan di wilayah perkotaan memiliki dimensi yang berbeda (DKP, 2009). Berdasarkan
publikasi
FSVA
2009,
ada
enam
kategori
dalam
mengidentifikasi daerah berdasarkan ketahanan pangannya. Keenam kategori tersebut adalah : (1) sangat rawan pangan, (2) rawan pangan, (3) agak rawan pangan, (4) cukup tahan pangan, (5) tahan pangan dan (6) sangat tahan pangan. Tiga kategori yang pertama masuk sebagai kelompok prioritas karena termasuk sebagai kelompok yang rentan terhadap kerawanan pangan. Kabupaten yang
5
dianalisis adalah sebanyak 346 dan 100 kabupaten diantaranya terindikasi rawan pangan. Berdasarkan kondisi ketersediaan pangan, 64 kabupaten dari 100 kabupaten rawan pangan dikategorikan sebagai daerah surplus pangan. Hal ini menjadi suatu kontradiksi karena daerah yang surplus pangan ternyata rawan pangan. Tabel 1 Jumlah kabupaten berdasarkan ketahanan pangan dan ketersediaan pangan di Provinsi Jawa Timur Ketersediaan Pangan
Tahan Pangan
Rawan Pangan
Jumlah
Surplus
206
64
270
Defisit
40
36
76
Jumlah
246
100
346
Sumber : FSVA 2009, diolah
Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa ketersediaan pangan belum cukup untuk menjamin ketahanan pangan. Swasembada pangan hanya berorientasi kepada tersedianya sumberdaya pangan yang mencukupi kebutuhan masyarakat di suatu daerah. Swasembada pangan umumnya diwujudkan dengan tercukupinya komoditi pangan di suatu daerah sehingga tidak perlu lagi mendatangkan komoditi pangan dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan pangan di daerah tersebut. Suatu daerah bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas industri yang bernilai ekonomi tinggi, kemudian membeli komoditas pangan dari luar daerah. Sebaliknya, di daerah yang melakukan swasembada produksi pangan, dapat dijumpai masyarakat yang rawan pangan karena adanya hambatan akses dan distribusi pangan. Jika dilihat dari 100 kabupaten yang teridentifikasi rawan pangan oleh DKP, maka 94 kabupaten diantaranya ada di luar jawa. Hanya 6 kabupaten di Jawa yang teridentifikasi rawan pangan yang terdiri dari 1 kabupaten berada di Provinsi Banten, dan 5 kabupaten berada di Provinsi Jawa Timur. Hal ini merupakan suatu kondisi yang menarik untuk diteliti, mengingat banyaknya potensi yang ada di Provinsi Jawa Timur namun masih terdapat daerah yang rawan pangan.
6
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penduduk terbesar kedua setelah Jawa Barat yaitu sebesar 34,78 juta orang (SP2010, BPS). Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan PDRB tertinggi kedua setelah DKI Jakarta. Selain itu Provinsi
Jawa Timur
mempunyai daerah terluas dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa yaitu 36,92 persen dari luas Pulau Jawa, serta jumlah kabupaten/kota terbanyak yaitu 38 daerah. Provinsi Jawa Timur juga menjadi salah satu lumbung padi nasional karena memiliki produksi padi terbesar kedua setelah Propinsi Jawa Barat yaitu 17,58 persen dari total produksi padi nasional (Statistik Tanaman Pangan, BPS). Jawa Barat (18%)
Lainnya (38%)
Jawa Timur (17%)
Sumut (5%) Sulsel (7%)
Jawa Tengah (15%)
Sumber : Statistik Tanaman Bahan Makanan 2009, BPS
Gambar 3 Kontribusi produksi padi tahun 2009. Selain faktor ketersediaan, akses pangan merupakan determinan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan. Aspek tersebut akan dimiliki bila terdapat faktor kontrol terhadap pangan. Kemampuan melakukan kontrol akan tergantung pada daya beli masyarakat (Maxwell dan Frankenberger, 1992; Hardono dan Kariyasa, 2006). Ketersediaan pangan merupakan faktor eksternal di tingkat rumah tangga atau individu kecuali bagi pemilik sumber daya yang produktif. Apabila faktor pendapatan dianggap ceteris paribus maka daya beli akan sangat ditentukan oleh harga di pasar. Hal itu menyebabkan aspek harga sangat menentukan dalam ketahanan pangan. Pengalaman telah membuktikan bahwa
7
ketersediaan pangan yang melimpah tidak menjamin ketahanan pangan jika daya beli masyarakat rendah (Hardono dan Kariyasa, 2006). Dinamika analisis ketahanan pangan menunjukkan bahwa ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan merupakan dua determinan penting dalam ketahanan pangan tingkat rumah tangga (Braun, 1995). Faktor ketersediaan pangan secara tunggal tidak menjamin ketahanan pangan rumah tangga namun diperlukan akses terhadap pangan baik yang mencakup dimensi fisik maupun ekonomi. akses fisik terkait dengan produksi pangan di tingkat rumah tangga, sedangkan akses ekonomi terkait dengan pendapatan rumah tangga dengan peubah pendapatan sebagai determinan utamanya.
1.2
Perumusan Masalah Ketahanan pangan di tingkat nasional atau regional tidak menjamin
ketahanan pangan di tingkat rumahtangga dan individu. Menurut Simatupang (1999) ketahanan pangan global, nasional, regional, lokal dan rumah tangga serta individu merupakan suatu rangkaian hierarkis. Ketahanan pangan nasional dan regional merupakan syarat keharusan tapi belum cukup memenuhi ketahanan pangan rumah tangga dan individu (necessary but not sufficient condition). Sementara ketahanan pangan individu dan rumah tangga merupakan syarat kecukupan bagi ketahanan pangan nasional. Kecukupan pangan nasional atau regional belum tentu dapat menjamin ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini ditunjukkan dengan adanya fakta bahwa walaupun ditingkat nasional dan wilayah (provinsi) memiliki status ketahanan pangan yang terjamin, namun di wilayah tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan (Saliem et al, 2001; Ariningsih dan Rachman, 2008). Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan 2009 yang dipublikasikan oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menyebutkan terdapat lima kabupaten di Jawa Timur yang masih dalam kondisi rawan pangan yaitu Sampang, Sumenep, Probolinggo, Bangkalan dan Pamekasan. Hal ini adalah suatu kondisi yang ironis, mengingat banyaknya keunggulan karakteristik Provinsi Jawa Timur yang secara umum mampu surplus pangan namun masih terdapat daerah yang rawan pangan. Di sisi lain, ketahanan pangan regional yang sudah tercapai belum tentu dapat
8
menjamin ketahanan pangan rumah tangga. Oleh sebab itu kajian mengenai determinan ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur sangat diperlukan. Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Bagaimana dinamika pola konsumsi dan ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur?
2.
Apa saja determinan ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur?
3.
Apa saja determinan ketahanan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka penelitian ini bertujuan
untuk: 1.
Menganalisis dinamika pola konsumsi dan ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur.
2.
Menganalisis determinan ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur.
3.
Menganalisis determinan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur.
1.4
Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.
Diperolehnya informasi mengenai ketahanan pangan di Propinsi Jawa Timur berdasarkan kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran makanan.
2.
Mendapatkan data dan informasi mengenai faktor-faktor yang menentukan ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Jawa Timur.
3.
Menentukan strategi yang dapat meningkatkan ketahanan pangan di Jawa Timur.
9
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ada empat aspek penting dalam penelitian ini. Pertama, akan dilakukan analisis pola konsumsi dan penghitungan status ketahanan rumah tangga berdasarkan klasifikasi silang antara ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran. Kedua, penyusunan peta tematik berdasarkan hasil pengolahan data kerawanan pangan. Ketiga, akan dilakukan analisis mengenai determinan ketahanan pangan regional di Jawa Timur. Keempat, akan dilakukan analisis determinan yang menentukan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini mencakup kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. Meskipun banyak indikator dalam penentuan ketahanan pangan, namun dalam penelitian ini penghitungan ketahanan pangan rumah tangga adalah dengan menggunakan klasifikasi silang antara ketercukupan jumlah kalori dan pangsa pengeluaran rumah tangga. Hal ini dilakukan karena faktor akses yang tercermin dari kemampuan rumah tangga mengkonsumsi makanan merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga. Penelitian ini mempunyai beberapa batasan penelitian, yaitu bahwa ketahanan pangan rumah tangga diklasifikasikan sebagai kondisi yang saling terkait antara pangsa pengeluaran makanan dengan ketercukupan kalori. Makanan yang dikonsumsi adalah makanan yang dikonsumsi sendiri di rumah tangga baik yang berasal dari pembelian, produksi sendiri maupun pemberian. Kerawanan pangan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kerawanan pangan yang bersifat kronis. Penelitian ini tidak menganalisis kerawanan pangan yang bersifat transien. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data Kor dan Modul Konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), PDRB kabupaten/kota se Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Timur Dalam Angka, dan Potensi Desa (PODES). Data yang digunakan sampai 2008.
meliputi periode tahun 2002
10
Halaman ini sengaja dikosongkan.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis untuk dicapai karena menyangkut kepentingan orang banyak. Selain itu, pencapaian ketahanan pangan juga terkait dengan salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tercantum dalam alinea keempat UUD 1945 yaitu mencapai kesejahteraan umum. Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang konsep ketahanan pangan sangat diperlukan khususnya bagi para pengambil kebijakan. Ketahanan pangan merupakan fenomena yang cukup kompleks karena mencakup banyak aspek sehingga setiap orang mencoba untuk menterjemahkan sesuai dengan tujuan dan ketersediaan data (Rindayati, 2009). Definisi ketahanan pangan berubah dari suatu period ke periode berikutnya (Saliem et al., 2005). Dimulai pada tahun 1970-an, ketahanan pangan menjadi isu internasional karena adanya krisi pangan global. Pada awalnya ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi ketersediaan pangan baik di tingkat internasional maupun nasional yang terfokus kepada padi-padian. Hal ini menyebabkan kebijakan ketahanan pangan pada era Orde Baru terpaku kepada pendekatan penyediaan pangan yang dikenal dengan Food Availibility Approach (FAA) (Rindayati, 2009). Pendekatan ini belum memasukkan unsur distribusi dan aspek akses pangan. Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah bahwa jika persediaan pangan terpenuhi maka para pedagang dapat menyalurkan pangan secara merata dan efisien sehingga harga pangan akan stabil dan dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun yang terjadi adalah, meski persediaan pangan cukup namun sebagian masyarakat masih menderita kelaparan karena tidak memiliki akses terhadap pangan. Hal ini menyebabkan pendekatan ketersediaan gagal dalam mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Selanjutnya konsep ketahanan pangan berkembang lebih luas lagi. Pada tahun 1980-an ketahanan pangan beralih dari konsep ketersediaan pangan kepada konsep akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu. International Food Policy Research Institute (IFPRI) mendefinisikan ketahanan
12
pangan sebagai kondisi dimana setiap orang pada setiap saat memiliki akses secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat. Analisis ketahanan pangan rumah tangga harus memperhatikan unsur kecukupan, akses, keterjaminan dan waktu (Maxwell dan Frankenberger, 1992) World Food Summit yang dilaksanakan pada tahun 1996 memberikan syarat tersendiri dalam ketahanan pangan. Ketahanan pangan tercapai bila semua orang secara terus-menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat (DKP, 2009). Ini menjelaskan bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang menyangkut orang banyak dan harus dipenuhi dalam periode waktu yang kontinu. Ketahanan pangan merupakan cerminan ketersediaan pangan yang cukup, bergizi, dan merata yang mampu diakses setiap individu sehingga penyerapannya dapat dilakukan secara maksimal demi pencapaian hidup yang sehat dan produktif. Tirtosudiro dalam Bulog mendefinisikan ketahanan pangan nasional sebagai kemampuan negara untuk menghasilkan jumlah bahan pangan yang memadai bagi seluruh konsumen dengan harga yang terjangkau (Bulog, 1997). Ketahanan pangan didefinisikan oleh Food Agriculture Organization (FAO) sebagai hak yang dimiliki oleh setiap orang untuk memiliki akses yang cukup untuk kebutuhan nutrisinya agar dapat hidup sehat dengan tiga dimensi yaitu : akses, ketersediaan dan stabilitas (FAO, 1996). Ketahanan pangan terjadi manakala terdapat keseimbangan antara akses pangan nasional dan ketersediaan pangan pada tingkat harga yang terjangkau (FAO, 1996). Suatu negara dikatakan memiliki ketahanan pangan yang baik jika antara permintaan dan penawaran makanan cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori nasional secara stabil dan berkelanjutan. Arifin (2005) mengatakan bahwa aspek distribusi pangan mulai dari sentra produksi di pedesaan sampai pada konsumen di perkotaan dan di pedesaan juga tidak kalah pentingnya dalam upaya memperkuat strategi ketahanan pangan. Demikian pula Kahar (2008) yang mendefinisikan ketahanan pangan sebagai keadaan dimana setiap orang memiliki akses secara fisik dan ekonomi terhadap
13
pangan yang cukup agar hidup sehat dan produktif. Berbagai konsep ketahanan pangan ini menjelaskan bahwa pencapaian ketahanan pangan tidak hanya dilakukan dengan memerhatikan ketersediaan pangan saja, tetapi juga faktorfaktor lainnya, seperti harga pangan yang terjangkau dan distribusi pangan yang merata, sebagai cara untuk mendapatkan komoditi pangan tersebut. Konsep ketahanan pangan menegaskan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang tersusun atas berbagai faktor. Kasryno dalam Bulog (1997) menyatakan bahwa sedikitnya ada empat aspek penting yang perlu diperhatikan demi pencapaian ketahanan pangan: 1.
ketersediaan pasokan
2.
pendistribusian pangan
3.
aksebilitas masyarakat luas (daya beli)
4.
pilihan ragam komoditas oleh rumah tangga
Hal ini sesuai dengan pendapat Arifin (2005) yang menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan satu kesatuan utuh atas dimensi ketersediaan pangan, aksebilitas pangan, dan stabilitas harga pangan. 2.1.2 Kerawanan Pangan Ketahanan pangan memiliki kaitan dengan kerawanan pangan. Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami oleh suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat (Ariningsih dan Rahman, 2008). Oleh karena itu membahas ketahanan pangan dan juga kerawanan pangan pada dasarnya adalah membahas hal-hal yang menyebabkan terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pangan. Ketersediaan pangan yang cukup baik secara nasional maupun regional tidak menjamin ketahanan pangan. Hal ini terlihat dari adanya 64 kabupaten di Indonesia yang surplus pangan namun terindikasi rawan pangan (DKP, 2009). Walaupun pangan tersedia di dalam suatu daerah, namun jika tidak dapat diakses oleh masyarakat maka kinerja ketahanan pangannya rendah. Aksesibilitas tersebut menggambarkan aspek pemarataan dan keterjangkauan. Menurut PP No. 68/2002, pemerataan mengandung makna adanya distribusi pangan ke seluruh wilayah sampai tingkat rumah tangga, sedangkan keterjangkauan adalah keadaan dimana
14
rumah tangga secara berkelanjutan mampu mengakses pangan sesuai dengan kebutuhan untuk hidup yang sehat dan produktif. Siregar
(2009)
menganalisis
tentang
kerawanan
pangan
dan
penanggulangannya di Indonesia. Kerawanan pangan bukan hanya persoalan ketersediaan pangan semata. Hal ini terlihat dari jumlah ketersediaan energi dan protein secara nasional sudah melebihi tingkat yang direkomendasikan, namun masih terdapat adanya masalah gizi buruk dan busung lapar. Akses pangan merupakan satu hal yang sama pentingnya dengan ketersediaan bahan pangan itu sendiri. Salah satu elemen dalam akses pangan adalah distribusi yang terlihat dari sarana dan prasarana transportasi yang diperlukan, pergudangan, pasar, dan yang paling penting adalah daya beli masyarakat. Selain itu perlu juga didorong diversifikasi pangan mengingat adanya stagnasi dalam produksi beras dan penurunan yield usaha tani. Kerawanan pangan terdiri dari kerawanan pangan kronis dan transien (DKP, 2009). Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan yang terjadi dalam jangka panjang. Adapun kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan pangan yang bersifat sementara, misalnya bencana alam, fluktuasi curah hujan,puso, perubahan iklim, dan deforestasi hutan. Adanya kegagalan pasar dalam menciptakan ketahanan pangan merupakan salah satu sebab mengapa pemerintah harus turun tangan dalam mengatasi persoalan kerawanan pangan (Simatupang dan Fleming, 2000; Rindayati, 2009). Hal ini dilakukan agar kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi sesuai dengan amanat Undang Undang. Kegagalan pasar yang dapat menyebabkan kerawanan pangan dapat diuraikan sebagai berikut (Simatupang dan Fleming, 2000): 1. Kegagalan pasar dalam produksi pangan Adanya kegagalan pasar dalam memproduksi makanan disebabkan oleh kurang optimalnya investasi yang dapat meningkatkan panen tanaman pangan, degradasi lingkungan area tanam, dan harga komoditas pangan yang tidak menentu. 2. Kegagalan pasar dalam pemasaran makanan
15
Beberapa hal yang menyebabkan kegagalan pasar dalam pemasaran makanan yaitu : kurang optimalnya infrastuktur, kegiatan pengelolaan pasca panen yang kurang sempurna dan kurangnya penggunaan kekuatan pasar. 3. Kegagalan pasar dalam mengelola makanan Kegagalan pasar dalam mengelola makanan disebabkan antara lain oleh terbatasnya akses teknologi dan pelatihan dalam mengelola makanan. 4. Kegagalan pasar dalam mengkonsumsi makanan Kegagalan pasar dalam mengkonsumsi makanan akan menyebabkan status nutrisi yang kurang
2.1.3 Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga Era desentralisasi sudah dimulai sejak tahun 1999 dengan adanya Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang Undang No. 32 tahun 2004. Adanya perubahan kebijakan dari sentralistik menjadi desentralistik ini menjadi harapan baru untuk mengubah kondisi sosial ekonomi dan politik masyarakat ke arah yang lebih baik. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kinerja ketahanan pangan di daerah baik dalam tingkat wilayah maupun rumah tangga sesuai dengan amanat Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Hal ini menjadi penting karena dengan ketahanan pangan yang kuat maka pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas akan dapat tercapai sehingga akan mempermudah pencapaian tujuan pembangunan nasional Studi Ilham (2006) memperlihatkan bahwa PDRB per kapita merupakan suatu indikator kesejahteraan wilayah misalnya kabupaten/kota. Semakin tinggi PDRB
per
kapita
suatu
wilayah
mengindikasikan
semakin
meningkat
kesejahteraan penduduknya. Namun menurut Soehardjo et al. (1986), PDRB hendaknya jangan digunakan sebagai satu-satunya ukuran pembangunan suatu wilayah, karena ia tidak selalu menunjukkan kualitas hidup rakyat yang bertempat tinggal di situ. Status gizi merupakan suatu komponen kualitas hidup sehingga merupakan indeks pembangunan sosial yang penting.
16
Ilham (2006) dalam analisisnya menunjukkan bahwa semakin tinggi PDRB per kapita maka pangsa pengeluaran pangan cenderung makin menurun. Namun, jika dicermati kondisi tiap propinsi, studi Ilham (2006) menemukan adanya hubungan yang sedikit anomali antara pangsa pengeluaran pangan dengan PDRB per kapita. Ada beberapa provinsi yang PDRB per kapitanya relatif rendah, memiliki pangsa pengeluaran yang juga relatif rendah. Sebaliknya ada provinsi yang memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi, tetapi pangsa pengeluaran pangan penduduknya masih relatif tinggi. Anomali tersebut membuktikan bahwa bukan hanya PDRB per kapita yang menentukan ketahanan pangan atau tingkat kesejahteraan penduduk suatu daerah. Ketersediaan pangan, pengetahuan gizi dan pola konsumsi juga menentukan ketahanan pangan di suatu daerah. Tingginya PDRB per kapita belum menjamin bahwa penduduk di daerah itu memiliki pendapatan riil yang tinggi. Hal ini sangat mungkin terjadi karena PDRB yang tinggi di suatu daerah dinikmati oleh penduduk di luar daerah tersebut. Namun demikian, dari hasil analisis sebelumnya pangsa pengeluaran pangan untuk Indonesia masih relevan untuk digunakan sebagai indikator ketahanan pangan atau tingkat kesejahteraan penduduk baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat provinsi. Hishamunda
dan Ridler (2006) mengungkapkan bahwa diantara
banyaknya faktor-faktor regional, ketahanan pangan memiliki dua komponen utama yaitu akses dan ketersediaan. Penelitian ini menganalisis peranan sektor pertanian swasta dalam peningkatan ketahanan pangan. Apabila dilihat dari sisi akses terhadap pangan, perkembangan pertanian akan menyebabkan penciptaan lapangan kerja. Hal ini mendorong rakyat miskin dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Perkembangan sektor pertanian juga menyebabkan ketersediaan pangan meningkat yang akan digunakan baik untuk kepentingan dalam negeri sendiri maupun ekspor. Ketahanan pangan regional tidak menjamin adanya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga atau individu (Simatupang dan Fleming, 2000; Saliem et al., 2001). Studi Saliem et al. (2001) menunjukkan bahwa meskipun daerah (dalam hal ini provinsi) telah mencapai ketahahanan pangan di tingkat regional, namun masih ditemukan adanya rumah tangga yang terindikasi rawan pangan.
17
Sebaliknya, ketahanan pangan yang baik di tingkat rumah tangga atau individu akan menjamin ketahanan pangan tingkat regional atau nasional. Simatupang dan Fleming (2000) menguraikan bahwa analisis ketahanan pangan memiliki tiga tingkatan sistem yang hierarki yaitu : nasional/regional, rumah tangga dan individu dimana ketahanan pangan nasional dan regional merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi ketahanan pangan masyarakat, rumah tangga dan individu. Sedangkan ketahanan pangan individu merupakan syarat kecukupan (sufficiency condition) bagi ketahanan pangan nasional. Gambar 4 menunjukkan bahwa terdapat banyak elemen dan indikator dalam penentuan ketahanan pangan. Dimulai dari level nasional yang memperkuat ketersediaan pangan (food availability), stabilitas (stability) dan akses untuk pangan (access to food). Adanya ketiga faktor tersebut akan dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan kalori dan protein yang pada gilirannya akan menigkatkan penyerapan makanan yang terlihat dari kondisi kesehatan masyarakat. Indikator outcome ketahanan pangan yang direkomendasikan FAO mencakup umur harapan hidup, prevalensi anak kurang gizi, gizi buruk,dan angka kematian bayi.
Sumber : FAO, 2010 Gambar 4 Kaitan antara elemen dalam sistem ketahanan pangan.
18
Menurut Soehardjo et al. (1986), ketahanan pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator, antara lain: (1) tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan, (2) penurunan produksi pangan, (3) tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga,
(4)
proporsi
pengeluaran pangan
terhadap
pengeluaran total, (5) fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah
tangga,
(6)
perubahan
kehidupan
sosial,
seperti
migrasi,
menjual/menggadaikan asset, (7) keadaan konsumsi pangan berupa kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan, dan (8) status gizi. Determinan yang paling menentukan ketahanan pangan di tingkat nasional, regional dan lokal dapat dilihat dari faktor produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan pangan. Sementara determinan ketahanan pangan rumah tangga adalah akses terhadap pangan,ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut (Saliem et al. 2005 ; Dewan Ketahanan Pangan, 2005). Banyak indikator yang digunakan para ahli untuk mendeteksi apakah suatu rumah tangga sudah memiliki ketahanan pangan sesuai dengan yang diharapkan. Seperti telah diuraikan sebelumnya, salah satu indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang dikemukakan Soehardjo et al. (1986) adalah pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total. Hal yang sama dikemukakan Azwar (2004) bahwa tingkat ketahanan pangan rumah tangga dapat diindikasikan dari proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan. Makin tinggi pangsa pengeluaran pangan maka ketahanan pangan semakin menurun. Penggunaan pangsa pengeluaran dalam menetukan ketahanan pangan rumah tangga juga digunakan oleh Jonsson et al. dalam Maxwell et al. (2000) dengan menggunakan klasifikasi silang antara jumlah ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran makanan. Kedua indikator ini dinilai sederhana namun mampu merepresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Sebuah generalisasi penting yang mengkaitkan antara pangsa pengeluaran pangan dan pendapatan adalah bahwa bagian pendapatan yang digunakan untuk belanja makanan cenderung menurun jika pendapatannya meningkat. Hal ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ekonom yaitu Engle (1821-1896) pada abad kesembilan belas yang dikenal dengan hukum Engle (Nicholson, 1995;
19
2002). Kondisi tersebut disebabkan makanan merupakan bahan kebutuhan pokok yang meningkat lebih lambat dibandingkan pendapatan. Hukum Engle merupakan penemuan empiris yang begitu konsisten sehingga para ekonom menyarankan agar proporsi pendapatan untuk makanan digunakan sebagai indikator kemiskinan. Menurut Deaton dan Muellbauer (1980a), pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator tidak langsung terhadap kesejahteraan. Hubungan antara pengeluaran total dengan kebutuhan pokok (misalnya makanan) terlihat dalam Kurva Engle pada Gambar 5. Kurva Engle yang diturunkan dari kurva kepuasan yang sama dari individu menunjukkan bahwa pada kebutuhan pokok, pangsa pengeluaran untuk barang tersebut akan menurun sementara pendapatan meningkat.
Jumlah X
X3 X2 X1 I1
I2
I3
Pengeluaran total
Sumber : Nicholson, 1995
Gambar 5 Kurva Engle untuk kebutuhan pokok. 2.1.4 Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Pengertian kemiskinan dapat dilihat dari berbagai segi. Sen (1981) mendefinisikan kemiskinan melalui pendekatan kapabilitas (capability approach). Konsep
kemampuan
menunjukkan
adanya
kebebasan
seseorang
untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Seseorang disebut miskin jika dia tidak memiliki kapabilitas dan peluangnya terbatas untuk meningkatkan kesejahteraannya. Todaro (2000) menguraikan kemiskinan dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan pokok minimum yang memungkinkan untuk hidup layak. Bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum maka
20
orang tersebut dapat dikatakan miskin. Jadi tingkat pendapatan minimum merupakan batas antara keadaan miskin dan tidak miskin. BPS menentukan penduduk miskin berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun non makanan yang dianggap ‘dasar’ dan diperlukan selama jangka waktu tertentu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan (1) biaya untuk memperoleh makanan dengan kandungan 2.100 kkalori per kapita per hari, dan (2) biaya untuk memperoleh bahan non makanan yang dianggap dasar, seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan. Kemiskinan memiliki kaitan yang erat dengan pemenuhan kebutuhan pangan (Sudiman, 2008). Kemiskinan dapat mengakibatkan kelaparan yang selanjutnya berdampak pada gizi kurang, bahkan kematian. Sebaliknya penderita gizi kurang produktifitasnya rendah, kehilangan kesempatan bersekolah, kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi, berisiko kelaparan dan selanjutnya miskin. Kemiskinan dinilai dan diyakini berperan sangat penting, mendasar, dan timbal balik di antara berbagai faktor penyebab masalah gizi kurang. Masalah gizi kurang akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya mempercepat pemiskinan. Eratnya hubungan antara kemiskinan dan gizi
kurang,
mengakibatkan
banyak
orang
sering
mengartikan
bahwa
penanggulangan masalah gizi kurang baru dapat dilaksanakan bila keadaan ekonomi sudah baik. Memang diperlukan tingkat pendapatan tertentu untuk dapat memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang. Sebaliknya tidak jarang ditemukan gizi kurang pada masyarakat yang tingkat ekonominya sudah baik atau mapan. Bukti empirik menunjukkan dengan mencegah dan menanggulangi masalah gizi kurang tidak harus menunggu penanggulangan masalah kemiskinan selesai. Mengingat pentingnya pemenuhan kebutuhan minimum bagi rakyat miskin sebagai salah satu langkah peningkatan ketahanan pangan, maka sejak tahun 2002 pemerintah melakukan kebijakan Beras Untuk Keluarga Miskin (RASKIN). Kebijakan RASKIN ini dianggap sebagai subsidi pangan terarah atau
21
income transfer kepada keluarga miskin dalam bentuk beras. Alasan dilaksakannya program ini adalah masih banyaknya masyarakat miskin yang masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan minimumnya yaitu makanan pokok. Orientasi RASKIN adalah lebih kepada bantuan kesejahteraan sosial bagi keluarga miskin. Meski demikian dengan dilaksanakannya program tersebut bukan berarti masalah ketahanan pangan telah selesai. Stiglitz (1999) menyatakan bahwa bantuan pangan (food aid) dapat dilihat dari dua efek yaitu efek pendapatan dan efek substitusi. Kedua efek ini akan terjadi berdasarkan program bantuan pangan yang dipilih oleh pemerintah. Jika pemerintah melaksanakan program bantuan pangan dengan pemberian pangan secara gratis, maka akan terjadi efek pendapatan tanpa adanya efek substitusi seperti dalam Gambar 6. Hal ini identik dengan memberikan pendapatan tambahan kepada masyarakat. Pemberian bantuan pangan gratis kepada masyarakat akan menggeser garis anggaran tanpa adanya perubahan slope. Hal ini disebabkan karena dengan adanya pemberian makanan gratis tidak akan merubah rasio harga, sehingga slope pada garis anggaran tetap. Kondisi ini terlihat dari pergesesan dari titik A berubah ke titik B pada Gambar 6. Konsumsi Non Pangan
Kurva Indiferen
B
Y** Y*
A Garis anggaran sebelum ada bantuan pangan X*
Garis anggaran setelah ada bantuan pangan X**
Konsumsi pangan
Sumber : Stiglitz, 2000
Gambar 6 Efek bantuan pangan berupa pemberian makanan gratis. Pada Gambar 6 terlihat dengan adanya pemberian makanan gratis, maka seolah-olah
masyarakat
mendapatkan
tambahan
pendapatan
yang
akan
22
menyebabkan kuantitas setiap barang yang dibeli akan meningkat dengan asumsi harhga-harga tidak berubah. Garis anggaran akan bergeser ke kanan sehingga akan meningkatkan utilitas. Ketika pemerintah melaksanakan program subsidi pangan dengan membayar sebagian harga pangan sehingga harga pangan menjadi lebih murah, maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan slope. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan rasio harga. Sebagai contoh kebijakan pemberian beras dengan harga murah kepada masyarakat miskin atau RASKIN. Pendapatan yang terbatas membuat masyarakat yang mendapatkan RASKIN dapat mengkonsumsi beras lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dari Gambar 7 berikut ini. Konsumsi non pangan
Kurva Indiferen
Y** Y* Garis anggaran sebelum subsidi pangan pangan X*
Garis anggaran setelah subsidi pangan X**
Sumber : Stiglitz, 2000
Konsumsi pangan
Gambar 7 Efek bantuan pangan berupa subsidi. Melalui subsidi terhadap harga bahan pangan, pemerintah akan membayar sebagian harga pangan sehingga akan terjadi efek substitusi. Masyarakat akan mendapatkan harga pangan yang lebih murah, sehingga konsumsi pangannya bisa lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Efek pendapatan dan efek substitusi terjadi pada kondisi ini. Jika dibandingkan antara efek pendapatan dan efek substitusi, maka bantuan pangan yang hanya menimbulkan efek substitusi tidak efisien (Stiglitz, 2000). Hal ini disebabkan bantuan pangan yang hanya manghasilkan efek
23
substitusi hanya akan merubah slope budget constraint sehingga hanya jumlah makanan saja yang lebih banyak dikonsumsi. Sebaliknya, pada bantuan pangan yang menimbulkan efek pendapatan akan menggeser budget constraint tanpa merubah slope, sehingga tidak hanya jumlah makanan yang dikonsumsi yang lebih banyak namun juga barang-barang lainnya akan dikonsumsi lebih banyak.
2.2 Penelitian Terdahulu Saliem et al. (2001) meneliti ketahanan pangan tingkat rumah tangga dan regional. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ketahanan pangan di wilayah perkotaan ternyata lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Ironisnya rumah tangga rawan pangan paling banyak terdapat pada rumah tangga dengan mata pencarian di sektor pertanian sebagai penghasil bahan pangan. Selain lapangan usaha dan status tempat tinggal di pedesaan atau perkotaan, tingkat pendapatan dan jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh secara nyata terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Hardono dan Kariyasa (2006) mengkaji tentang ketahanan pangan dan pembangunan masyarakat dalam kerangka desentralisasi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa setelah desentralisasi, ketersediaan pangan menunjukkan kinerja yang lebih baik yang terlihat dari indikasi Import Dependency Ratio (IDR) pangan yang lebih kecil, namun ternyata masih terdapat permasalahanan kerawanan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan rawan pangan bukan karena masalah ketersediaan tetapi terkait dengan masalah distribusi, aksesbilitas dan daya beli masyarakat. Ilham (2006) melakukan analisis tentang efektifitas kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan dan dampaknya pada stabilitas ekonomi makro. Ukuran ketahanan pangan yang digunakan adalah tingkat ketersediaan dan konsumsi energi dan protein. Model hubungan antara pangsa pengeluaran dengan konsumsi energi dan konsumsi protein setiap penduduk dibangun dalam penelitian ini. Hasil studi Ilham (2006) menunjukkan adanya hubungan antara pangsa pengeluaran dan konsumsi. Fungsi yang diperoleh berupa hyperbola dengan elastisitas negatif. Tanda elastisitas yang negatif menunjukkan bahwa hubungan
24
antara kedua variabel yaitu pangsa pengeluaran pangan berlawanan arah dengan konsumsi energi dan konsumsi protein setiap penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan layak dijadikan indikator ketahanan pangan karena mempunyai hubungan yang erat dengan indikator ketahanan pangan. Penelitian Ilham (2006) juga menunjukkan bahwa pada jangka pendek maupun jangka panjang kebijakan harga pangan dan PDB ternyata berpengaruh terhadap ketersediaan energi di tingkat nasional. Namun di sisi lain, ketersediaan pangan di tingkat nasional tidak menjamin ketahanan pangan rumah tangga. Tiawon et al. (2008) menganalisis kajian pola konsumsi pangan di Kalimantan Tengah dalam upaya peningkatan ketahanan pangan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ketersediaan pangan utama pada umumnya lebih besar dibandingkan konsumsi pangan, berimplikasi adanya campur tangan pemerintah dalam hal menjaga stabilitas pengadaan pangan. Ditinjau dari keterjangkauan pangan menunjukkan rumah tangga pedesaan strata pendapatan rendah dan sedang pada umumnya memiliki keterjangkauan lebih rendah dibanding perkotaan, berimplikasi adanya kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan dalam mengakses pangan sekaligus menunjukkan bahwa di pedesaan stabilitas harga dan pengadaan pangan relatif kurang dibanding kan perkotaan. Hasil perhitungan nilai elastisitas harga, menunjukkan bahwa pada umumnya nilai elastisitas harga semua pangan utama pada strata pendapatan rendah di pedesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan, berimplikasi bahwa pangan utama di daerah pedesaan pada strata tersebut lebih peka terhadap perubahan harga. Bogale dan Shimelis (2009) meneliti tentang determinan kerawanan pangan di pedesaan Dire Dawa di selatan Ethiopia. Melalui model binary logit diperoleh hasil bahwa jumlah anggota rumah tangga, pendapatan per tahun, jumlah pinjaman yang diterima, akses irigasi, umur kepala rumah tangga, ukuran pertanian, dan jumlah ternak yang dimiliki mempunyai efek yang nyata terhadap kerawanan pangan. Rindayati (2009) meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di wilayah Provinsi Jawa Barat. Hasil analisis yang diperoleh adalah pada masa desentralisasi fiskal terdapat penurunan kinerja ketahanan pangan. Hal ini terlihat dari adanya penurunan rata-rata konsumsi
25
energi dan protein serta terjadi peningkatan jumlah penduduk rawan pangan dan angka penderita gizi buruk meskipun secara makro regional produksi gabah meningkat yang menunjukkan kondisi ketersediaan pangan yang surplus. Hasil analisis ini sejalan dengan temuan Hardono dan Kariyasa (2006) yang menunjukkan bahwa ketersediaan tidak menjamin ketahanan pangan jika tidak diikuti dengan distribusi, aksesibilitas dan daya beli masyarakat yang cukup bak. Demeke dan Zeller (2010) meneliti tentang pengaruh kondisi sosial ekonomi terhadap ketahanan pangan di pedesaan di Ethiopia dengan menggunakan data panel rumah tangga. Dalam penelitian ini dilakukan penghitungan indeks ketahanan pangan rumah tangga dan pengkategorian rumah tangga berdasarkan tiga kategori yaitu : tahan pangan, rentan pangan dan rawan pangan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, gender kepala rumah tangga (lakilaki/perempuan), umur kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dalam rumah tangga, tabungan, pinjaman, income dari pertanian dan jumlah ternak yang dimiliki. Abebaw et al. (2010) meneliti tentang Food Security Program (FSP) terhadap calorie intake rumah tangga di Ethiopia. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa FSP secara nyata berpengaruh positif terhadap peningkatan calorie intake rumah tangga di Ethiopia. Namun penelitian ini juga menunjukkan adanya pengaruh FSP yang berbeda terhadap rumah tangga tergantung dari jumlah anggota rumah tangga, kepemilikan lahan dan gender kepala rumah tangga. Penelitian ini mengacu kepada penelitian Bogale dan Shimelis (2009), Demeke dan Zeller (2010) dalam menentukan ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Adapun perbedaannya adalah terletak pada metode yang digunakan dalam analisis. Bogale dan Shimelis (2009) menggunakan binary logit, Demeke dan Zeller (2010) menggunakan data panel dengan instrument variable serta multinomial logit. Penelitian ini menggunakan regresi data panel untuk menganalisis determinan ketahanan pangan regional dan regresi logistik ordinal untuk menganalisis determinan ketahanan pangan rumah tangga.
26
2.3 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Provinsi Jawa Timur sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar kedua di Indonesia dengan kontribusi PDRB terbesar kedua setelah DKI Jakarta dan penyumbang lumbung padi nasional kedua masih memiliki masalah dalam hal ketahanan pangan. Hal ini terlihat dari Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan yang diluncurkan oleh DKP bahwa terdapat lima kabupaten di Jawa Timur yang masih rawan pangan. Hal ini menarik untuk diteliti agar diperoleh informasi apa saja determinan yang mempengaruhi ketahanan pangan di tingkat regional dan rumah tangga di Jawa Timur. Berdasarkan teori terdahulu telah disebutkan bahwa pangsa pengeluaran untuk makanan memiliki hubungan dengan ketahanan pangan. Oleh sebab itu pada awal analisis akan dilakukan klasifikasi status ketahanan pangan hubungan antara pangsa pengeluaran makanan dengan ketahanan pangan yang dihitung dari konsumsi kalori dan protein. Selanjutnya akan dilakukan klasifikasi rumah tangga yang rawan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan tahan pangan. Hal ini dilakukan karena ketahanan pangan regional tidak menjamin adanya ketahanan pangan rumah tangga. Pada tahap berikutnya dilakukan analisis determinan ketahanan pangan regional dan rumah tangga. Determinan ketahanan pangan ketahanan pangan regional dianalisis dengan regresi data panel, sedangkan ketahanan pangan rumah tangga dianalisis dengan regresi logistik ordinal. Diharapkan dengan analisis ini diperoleh langkah-langkah startegi pembangunan ekonomi yang dapat meningkatkan ketahanan pangan baik di tingkat regional maupun rumah tangga. Hipotesis yang dikembangkan untuk menduga jawaban dari berbagai permasalahan yang telah diuraikan diantaranya adalah: 1. Persentase rumah tangga yang tahan pangan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur dipengaruhi oleh : a. Food availibility : ketersediaan bahan pangan pokok b. Stability : deflator PDRB sebagai proksi IHK, rata-rata lama sekolah, tingkat pengangguran terbuka c. Access to food : PDRB, infrastruktur jalan dan pasar 2. Determinan ketahanan pangan rumah tangga antara lain adalah
27
a. Food availibility : jumlah raskin (food aid) b. Stability : jumlah ART, lapangan usaha c. Access to food : pendapatan, daerah tempat tinggal, gender kepala rumah tangga, pendidikan KRT, Umur KRT Provinsi Jawa Timur sebagai lumbung pangan Indonesia
Ketahanan pangan regional
Ketahanan pangan rumah tangga
persentase rumah tangga tahan pangan
Ketahanan pangan individu
Status ketahanan pangan rumah tangga
Determinan kerawanan pangan regional: a. Food availibility : ketersediaan bahan pangan b. Stability : deflator PDRB sebagai proksi inflasi, rata-rata lama sekolah, tingkat pengangguran terbuka c. Access to food : PDRB, infrastruktur jalan dan pasar
Regresi data panel
Determinan kerawanan pangan rumah tangga a. Food availibility : jumlah raskin (food aid) b. Stability : jumlah ART, lapangan usaha c. Access to food : pendapatan, daerah tempat tinggal,gender kepala rumah tangga,pendidikan KRT, Umur KRT
Regresi Logistik Ordinal
Strategi pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan ketahanan pangan regional dan rumah tangga
Gambar 8 Kerangka pemikiran.
28
Halaman ini sengaja dikosongkan.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2002-2008 dan PDRB kabupaten/kota 2002-2008 yang dikumpulkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik). Daerah yang menjadi analisis studi ini adalah Propinsi Jawa Timur yang mencakup 38 kabupaten dan kota. Data Susenas yang digunakan terdiri dari Susenas Kor dan Susenas Modul. Susenas merupakan survei yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial kependudukan yang relatif sangat luas. Data yang dikumpulkan antara lain menyangkut bidang-bidang pendidikan, kesehatan/gizi, perumahan, sosial ekonomi lainnya, kegiatan sosial budaya, konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumahtangga, perjalanan, dan pendapat masyarakat mengenai kesejahteraan rumahtangganya. Sejak tahun 1992, setiap tahun dalam Susenas tersedia perangkat data yang dapat digunakan untuk memantau taraf kesejahteraan masyarakat, merumuskan program pemerintah yang khusus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sektor-sektor tertentu dalam masyarakat, dan menganalisis dampak berbagai program peningkatan kesejahteraan penduduk (BPS, 2005). BPS melakukan survey ini setiap tahun dan menggunakan proportional random sampling pada saat memilih sampel rumahtangga, pada daerah survey yang disebut Blok Sensus. Penentuan Blok Sensus ini didasarkan pada stratified sampling design. Pada rumahtangga yang terpilih sampel, petugas BPS melakukan wawancara langsung dengan kuesioner yang telah disediakan. Pertanyaan dijawab oleh kepala rumah tangga atau anggota rumahtangga yang berumur 10 tahun ke atas. Ada beberapa pertanyaan yang sifatnya individu dan ada pertanyaan yang hanya untuk anggota rumahtangga yang berumur 10 tahun keatas, dan ada pula yang ditujukan untuk keseluruhan rumahtangga. Meskipun pengumpulan data Susenas dilakukan setiap tahun,
namun
pertanyaan yang rinci mengenai pengeluaran rumahtangga hanya dikumpulkan tiga tahun sekali. Survey ini disebut Susenas Modul Konsumsi, dimana unit observasi adalah rumahtangga. Kepala rumah tangga diwawancarai tentang
30
konsumsi makanan selama seminggu sebelum survey dan tentang komoditi bukan makanan selama satu bulan dan satu tahun sebelum survey. Informasi ini digunakan dalam penghitungan jumlah serta nilai pengeluaran masing-masing komoditi pada rumahtangga yang disurvey. Disamping pengeluaran dan pendapatan, ada beberapa data yang dikumpulkan yang menggambarkan kondisi sosial demografi rumahtangga yang dilihat dari karakteristik individu anggota rumahtangga. Tempat tinggal rumahtangga, jumlah anggota rumahtangga, sumber pendapatan rumahtangga, jumlah balita, umur, jenis kelamin, lama sekolah, jenis pekerjaan, dan karakteristik sosial demografi rumah tangga yang lain. Data karakteristik rumahtangga ini dikumpulkan dalam Susenas Kor dan ditanyakan kepada seluruh anggota rumahtangga dan dilakukan setiap tahun. Data tentang pengeluaran konsumsi makanan mencakup total pengeluaran konsumsi selama seminggu terakhir baik yang berasal dari pembelian (tunai/bon) dan juga yang berasal dari produksi sendiri, pemberian, dan sebagainya. Beberapa rumah tangga yang mengkonsumsi makanan dari hasil tanaman di pekarangan rumahnya atau yang dikenal dengan subsisten agriculture telah tercakup disini. Selain itu, data karakteristik rumahtangga (data kor) yang diduga ikut memengaruhi sistem permintaan makanan juga dimasukkan dalam analisis ini. Data karakteristik rumahtangga tersebut antara lain tipe daerah (perkotaan dan perdesaan), jumlah anggota rumahtangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga, serta lapangan usaha kepala rumah tangga. Salah
satu
indikator
untuk menunjukkan
tingkat
kesejahteraan
penduduk adalah tingkat kecukupan gizi, yang dihitung berdasarkan besar kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan protein dihitung dengan
mengalikan
kuantitas
setiap makanan
yang
dikonsumsi
dengan
besarnya kandungan kalori dan protein setiap jenis makanan , kemudian hasilnya dijumlahkan. Angka kecukupan konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2000 kkal dan 52 gram protein.
31
3.2 Metode Analisis Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis model dengan menggunakan pendekatan ekonometrika. Metoda dan teknik apa yang digunakan tergantung pada tujuan yang ingin dicapai dan jenis data yang dianalisis.
Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang
bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan membaca tabulasi silang antar peubah dan grafik untuk ketahanan pangan di Provinsi Jawa Timur. Pada penelitian ini analisis yang dilakukan dapat dikelompokkan menjadi beberapa tahap dalam satu kerangka analisis sesuai dengan tujuan yang ingin diperoleh. Informasi yang didapatkan dalam tiap tahapan diperlukan untuk menjustifikasi pentingnya kenapa analisis tahap berikutnya perlu dilakukan. Hal ini akan membuat metode analisis lebih terarah dan sistematis.
3.2.1
Penghitungan Ketahanan Pangan Meskipun banyak ahli yang mendefinisikan ketahanan pangan rumah
tangga dengan menggunakan berbagai macam indikator, namun dalam penelitian ini ketahanan pangan rumah tangga diidentifikasi dengan dua indikator yaitu ketercukupan kalori yang dikonsumsi dengan besarnya pengsa pengeluaran makanan. Hal ini adalah berdasarkan klasifikasi silang yang digunakan Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al. (2000). Adapun derajat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan ketercukupan gizi dan pangsa pengeluaran terihat pada Tabel 2 yaitu sebagai berikut : Tabel 2 Pengukuran derajat ketahanan pangan rumah tangga Ketercukupan kalori Cukup > 80 % Kurang < 80 %
Pangsa Pengeluaran Makanan Rendah < 60 %
Tinggi > 60 %
Tahan Pangan
Rentan Pangan
(kategori 0)
(kategori 1)
Kurang Pangan
Rawan Pangan
(kategori 2)
(kategori 3)
Sumber : Jonsson dan Toole et al. (1991) dalam Maxwell (2000)
32
Pada penelitian ini yang dimaksud pangsa pengeluaran pangan adalah rasio pengeluaran untuk belanja pangan dan pengeluaran total penduduk selama sebulan. Pangsa pengeluaran pangan penduduk diperoleh dengan menggunakan data di tingkat rumah tangga kemudian dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Besar pangsa pengeluaran terhadap total pengeluaran diperoleh dari data Susenas BPS. Perhitungan pangsa pengeluaran pangan pada berbagai kondisi, yaitu agregat, desa-kota, dan berbagai kelompok pendapatan penduduk menggunakan formula berikut: PFt = PP t x 100 persen
(3.1)
TPt dimana: PF = Pangsa pengeluaran pangan ( persen) PPt = Pengeluaran untuk belanja pangan (Rp/bulan) TPt = Total pengeluaran (Rp/bulan)
3.2.2
Analisis Spasial/Sistem Informasi Geografis (SIG) Analisis spasial secara sederhana dapat diartikan sebagai analisis yang
menggunakan referensi keruangan (geografi). Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu alat untuk pengambilan, penyimpanan, penganalisisan, dan penampilan data (Sulaeman, 2005). Setiap bagian dari analisis spasial dapat memberikan gambaran tentang suatu fenomena, memberikan informasi mengenai lokasi dan juga persebaran fenomena tersebut dalam suatu wilayah. Penyajian data spasial memerlukan dukungan suatu Sistem Informasi Geografi (SIG). Menurut As-syakur (2006) SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. SIG merupakan suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Disamping itu, SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi.
33
Tujuan penggunaan analisis spasial pada penelitian ini adalah membuat peta tematik yaitu peta yang akan memberikan gambaran data kedalam referensi geografi. Penelitian ini akan menyusun peta tematik kerawanan pangan menurut kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur. Peta tematik yang disusun akan menggunakan peta dasar dari BPS. 3.2.3 Regresi Data Panel Determinan ketahanan pangan regional dianalisis dengan menggunakan regresi data panel. Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Balanced panel adalah jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama. Sebaliknya, jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni. Baltagi (2005) mengungkapkan bahwa penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan, diantaranya sebagai berikut: 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Estimasi pada metode ini dilakukan secara eksplisit dengan memasukkan unsur heterogenitas individu. 2. Memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien. 3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Data panel berkaitan dengan observasi cross section yang berulang sehingga lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. 4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data, metode ini juga memiliki keterbatasan di antaranya adalah: 1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai.
34
3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut: a. Self-selectivity : permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada. b. Nonresponse : permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumahtangga). c. Attrition : jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi 4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu. 5. Cross-section responce. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country responce akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference). Ada dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu Fixed Effect Model
(FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Misalkan diberikan persamaan regresi data panel sebagai berikut: y it = a i + X it β + ε it
(3.2)
dimana: y it : nilai respont variable untuk setiap unit individu i pada periode t dimana i = 1, …, n dan t = 1, …, T ai : unobserved heterogenity X it : nilai penjelast variable yang terdiri dari sejumlah K peubah. Pada one way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:
ε it = λi + uit
(3.3)
dimana: λi : efek individu (time invariant) uit : disturbance yang besifat acak ( u it ~ N (0, σ u2 ) )
Untuk two way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:
ε it = λi + µ t + u it
(3.4)
35
dimana: µ t : efek waktu (individual invariant) Pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu ( λi ). Sedangkan pendekatan two way telah memasukkan efek dari waktu ( µ t ) ke dalam komponen error, u it diasumsikan tidak berkorelasi dangan X it . Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara λi dan µ t dengan X it .
Fixed Effect Model (FEM)
FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intecept. Untuk one way komponen error: y it = a i + λi + X it β + u it
(3.5)
Sedangkan untuk two way komponen error: yit = ai + λi + µ t + X it β + uit
(3.6)
Penduga FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik, yaitu Pooled Least Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy Variable (LSDV), dan Two Way Error Component Fixed Effect Model.
Random Effect Model (REM)
REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat komponen error dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam error. Untuk one way komponen error: y it = a i + X it β + u it + λi
(3.7)
Untuk two way komponen error: y it = a i + X it β + u it + λi + µ t Asumsi yang digunakan dalam REM adalah
(3.8)
36
E (u it | τ i ) = 0
(
(3.9)
)
E u it2 | τ i = σ u2
(3.10)
E (τ i | x it ) = 0 untuk semua i dan t
(3.11)
(
)
E τ i2 | x it = σ τ2
untuk semua i dan t
(3.12)
E (u itτ j ) = 0 untuk semua i, t, dan j
(3.13)
E (u it u js ) = 0 untuk i ≠ j dan t ≠ s
(3.14)
E (τ iτ j ) = 0 untuk i ≠ j
(3.15)
Hausman Test
Dalam memilih apakah fixed atau random effects yang lebih baik, dilakukan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara peubah bebas dan efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan Hausman Test. Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H0 : E(τi / xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1 : E(τi / xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: H = (βREM – βfEM )’(MFEM –MREM)-1 (βREM – βfEM ) ~ χ2 (k)
(3.16)
dimana: M : matriks kovarians untuk parameter β k
: degrees of freedom
Apabila nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effects, demikian juga sebaliknya. Uji Pelanggaran Asumsi
Uji pelanggaran asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan sebuah model yang akan digunakan. Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu
37
model tertentu (FEM atau REM) berdasarkan HAUSMAN Test, maka kita dapat melakukan uji pelanggaran terhadap asumsi yang digunakan dalam model.
1.
Uji Heteroskedastisitas
Nilai estimasi parameter dalam model regresi diasumsikan bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate). Hal ini menyebabkan var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error mempunyai varian yang sama, yang disebut dengan homoskedastisitas. Varian yang tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Metode General Least Square (Cross section Weights) dilakukan dengan membandingkan sum square Resid pada Weighted Statistics dengan sum square Resid unweighted Statistics. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas. Jika sum square Resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari sum square Resid unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas (Greene, 2002).
2.
Uji Autokorelasi
Salah satu asumsi model regresi adalah tidak terjadi autokorelasi, yaitu korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Autokorelasi yang terjadi dalam model regresi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Pengujian ada tidaknya autokorelasi dalam model dapat dilakukan pengujian dengan menggunakan Wooldridge Test. Metode Wooldrigde menggunakan residual dari model regresi pada first differences. Model regresi terbebas dari masalah autokorelasi jika korelasi residual dari model regresi pada first differences terhadap lag-nya adalah -0,05 (Drukker, 2003). Permasalahan heteroskedastisitas dan autokorelasi pada model akan mempengaruhi perkiraan nilai parameter. Hal ini disebabkan model tidak akan memenuhi sifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimate). Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model terpilih memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model dengan menggunakan pendekatan Generalized Least Square (Greene, 2002). Berdasarkan model modifikasi ini berarti telah dilakukan koreksi
38
atas permasalahan heteroskedastisitas, contemporaneously correlated across panel, and first order autokorelasi.
Spesifikasi Model dalam Penelitian
Pada penelitian ini ukuran ketahanan pangan regional yang digunakan sebagai peubah respon adalah persentase rumah tangga yang tahan pangan di tiap kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. Sedangkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan adalah produksi padi, PDRB, inflasi yang diproksi dari deflator PDRB, tingkat pengangguran terbuka, rata-rata lama sekolah, infrastruktur jalan dan pasar. Produksi padi menggambarkan food availibility karena merupakan komoditi pokok yang dikonsumsi masyarakat Jawa Timur. PDRB merupakan salah satu gambaran output yang dihasilkan oleh suatu daerah. Sedangkan penggunaan deflator PDRB sebagai proksi IHK menunjukkan adanya stabilitas harga yang terjadi di masyarakat. Rata-rata lama sekolah menunjukkan akumulasi modal manusia (human capital). Rata-rata lama sekolah dihitung berdasarkan rata-rata jenjang sekolah yang ditamatkan oleh penduduk. Tingkat pengangguran terbuka menunjukkan jumlah penduduk usia kerja yang tergolong pengangguran sehingga akan mengurangi kemampuan untuk mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Infrastruktur merupakan salah satu akses yang menentukan ketahanan pangan regional, karena dengan adanya infrastruktur yang memadai masyarakat dapat mengakses pangan dengan lebih baik. Peubah infrastruktur dalam penelitian ini dilihat dari panjang jalan yang dapat berkualitas baik dan sedang di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Peubah akses pangan lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah banyaknya pasar di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Jumlah pasar menggambarkan kemudahan akses bagi rumah tangga untuk mendapatkan pangan secara terjangkau dan beragam. Model yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan regional diambil dari model Demeke dan Zeller (2010) yang
39
dimodifikasi
dengan sistem ketahanan pangan FAO (2010) sehingga
menghasilkan persamaan sebagai berikut:
TAHAN it = ( β 0 + α i + µ t ) + β 1 PROD it + β 2 PDRBit + β 3 INFLASI it + β 4TPTit + β 5 RLS it + β 6 JALAN it + β 7 PASARit keterangan : TAHANit PRODit PDRBit INFLASIit TPTit RLSit JALANit PASARit βj αi µt uit
(3.17)
= persentase rumah tangga tahan pangan di kabupaten ke-i tahun ke-t. = produksi padi di kabupaten i tahun t (dalam ton) = PDRB di kabupaten ke-i tahun ke-t (dalam milyar rupiah) = inflasi di kabupaten ke-i tahun ke-t (dalam persen) = Tingkat Pengangguran Terbuka di kabupaten ke-i tahun ke-t (dalam persen) = Rata-rata lama sekolah di kabupaten ke-i tahun ke-t(dalam tahun) = Panjang jalan kualitas baik dan sedang di kabupaten i tahun t (dalam km) = Jumlah pasar di kabupaten i tahun t = Parameter yang diestimasi, j = 0, 1, 2, 3, 4,5,6,7 = Efek individual kabupaten ke i. = Efek waktu pada tahun ke t. = Komponen error.
Konsep Elastistitas
Salah satu analisis penting dalam suatu model adalah mengetahui sampai dimana responsifnya perubahan peubah respon sebagai akibat dari perubahan peubah penjelas. Elastisitas mengukur pengaruh satu persen perubahan dalam peubah penjelas X terhadap persentase perubahan peubah respon Y (Juanda, 2009). Besarnya elastisitas dapat digunakan untuk meramalkan perubahan yang akan terjadi pada peubah respon apabila terjadi perubahan peubah penjelasnya. Elastisitas untuk koefisien ke-j dapat dihitung dengan :
∆Y X ∆Y X ≅ βj j Ej = Y = ∆X ∆X Y Y X keterangan : β j = Nilai koefisien parameter yang diestimasi, j = 1, 2, 3, 4,5,6,7
X Y
= Peubah penjelas = Peubah respon
(3.18)
40
∆X = Perubahan peubah penjelas ∆Y = Perubahan peubah respon X j = Rata-rata peubah penjelas j = 1, 2, 3, 4,5,6,7 Y
= Rata-rata peubah respon
3.2.4 Regresi Logistik Ordinal
Estimasi determinan ketahanan pangan rumah tangga akan dianalisis dengan model regresi logistik ordinal.
Model ini memodifikasi model yang
pernah digunakan oleh Bogale dan Shimelis (2009) serta Demeke dan Zeller (2010). Penggunaan model
regresi logistik ordinal adalah untuk mengetahui
peubah-peubah yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Regresi logistik ordinal merupakan regresi dengan peubah respon yang bersifat kategorik dan bertingkat (ordinal). Model logistik untuk data respon ordinal dengan c kategori ( c>2 ) merupakan perluasan dari model logistik untuk data respon nominal dengan dua kategori (model logistik biner). Sebagaimana dalam model regresi lainnya, dua peubah penjelas atau lebih dapat disertakan dalam analisis. Peubah penjelas ini dapat berupa data kuantitatif maupun data kualitatif. Model logistik untuk data respon ordinal ini sering disebut sebagai model logit kumulatif. Respon dalam model logit kumulatif berupa data bertingkat yang diwakili dengan angka 1, 2, 3,…, c, dengan c adalah banyaknya kategori respon. Logit kumulatif untuk tiap kategori j didefinisikan sebagai : ⎛ Fj ( x) ⎞ L j ( x) = ln ⎜ dengan j = 1,2,…c-1 ⎜ 1 − Fj ( x) ⎟⎟ ⎝ ⎠
(3.19)
Model yang secara simultan menggunakan semua logit kumulatif dapat ditulis sebagai : Lˆ j ( x) = αˆ j + βˆ ' x
(3.20)
Tiap logit kumulatif memiliki intersep masing-masing. αˆ j dan βˆ ' adalah estimator dengan metode maksimum likelihood untuk tiap α j dan β ' . Nilai estimasi untuk P P(Y ≤ j | x) dapat diturunkan dengan transformasi inverse
fungsi logit kumulatif, yang menghasilkan :
41
⎛ exp(αˆ j + βˆ ' x) ⎞ P (Y ≤ j | x) = ⎜ ⎟ ⎜ 1 + exp(αˆ j + βˆ ' x) ⎟ ⎝ ⎠
dengan j = 1,2,…c-1
(3.21)
⎛ ⎞ 1 P (Y ≤ j | x) = ⎜ ⎟ ⎜ 1 + exp(−αˆ j − βˆ ' x) ⎟ ⎝ ⎠
sehingga
(3.22)
⎛ ⎞ 1 P (Y ≤ j | x) = ⎜ ⎟ ⎜ 1 + exp(− Lˆ j ( x)) ⎟ ⎝ ⎠
(3.23)
Uji signifikansi model dilakukan dengan menggunakan : 1. Likelihood ratio test
Pengujian dengan Likelihood ratio test adalah metode untuk menguji model secara bersamaan. Hipotesis parameter βi yang diuji adalah : H0 : β1 = …= βp= 0 H0 : minimal ada satu βi ≠ 0, i =1,2,…,p dengan i adalah jumlah peubah penjelas. Likelihood ratio test menggunakan statistik G yang mengikuti distribusi Chi Square dengan derajat bebas p. Keputusan penolakan H0 adalah apabila nilai G > χ2 (p,α) atau p-value < α.
2. Wald Test
Uji Wald digunakan untuk mengetahui signifikansi masing-masing koeisien βi di dalam model. Hipotesisnya adalah: H0 : βi = …= βp= 0 H0 : βi ≠ 0, i =1,2,…,p dengan i adalah jumlah peubah penjelas. Uji Wald adalah berdasarkan statistik W yang dihitung berdasarkan formula : Wβˆ = i
βˆi SE ( βˆi )
(3.23)
Kriteria penolakan H0 adalah jika W > zα /2 atau p-value < α.. (Hosmer dan Lemeshow, 2000)
3. Validasi Model dengan Correct Classification Rate (CCR)
CCR mengindikasikan seberapa tepat model dapat digunakan untuk memprediksi. CCR dapat dihitung dengan :
42
CCR =
jumlah prediksi yang tepat x 100 % jumlah observasi
(3.24)
Semakin besar persentase CCR, maka model semakin akurat (Hosmer dan Lemeshow, 2000).
Asumsi Regresi Logistik Ordinal
Asumsi dalam regresi logistik ordinal berbeda dengan regresi OLS. Asumsi regresi logistik ordinal adalah : 1.
Regresi logistik tidak mengasumsikan hubungan linier antara peubah penjelas dan peubah respon.
2.
Peubah respon dalam regresi logistik tidak harus mengikuti distribusi normal.
3.
Peubah respon tidak memerlukan asumsi homoskedastisitas.
4.
Error term tidak diasumsikan berdistribusi normal
5.
Logistik tidak mengharuskan peubah penjelas dalam skala interval
Asumsi yang harus dipenuhi dalam model regresi logistik adalah antara peubah penjelas harus bebas multikolinieritas. Tabel 3 Peubah ketahanan pangan rumah tangga Variabel
Label
Kategori
Skala
Respon
Tingkat Ketahanan pangan Ordinal rumah tangga
0 = tahan 1 = rentan
2 = kurang 3 = rawan
Penjelas
Gender KRT Daerah Tempat Tinggal Umur KRT Pendidikan KRT
Nominal Nominal Kontinu Ordinal
1 = laki-laki 1 = perkotaan
0 = perempuan 0 = pedesaan
1 = Dasar 2 = Menengah
3 = Tinggi
Jumlah ART Pendapatan perkapita Pekerjaan Raskin
Kontinu Kontinu Nominal Nominal
1 = Pertanian 1 = Menerima
0 = lainnya 0 = Tidak
3.3 Definisi peubah operasional
Batasan/definisi operasional peubah-peubah dan istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
43
1.
Rumahtangga (RT) adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Makan dari satu dapur mempunyai makna bahwa mereka mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu.
2.
Anggota Rumah Tangga (ART) adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu RT, baik yang berada di rumah pada waktu pencacahan maupun sementara sedang tidak ada. ART yang telah bepergian enam bulan atau lebih, dan ART yang bepergian kurang dari enam bulan tetapi dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah enam bulan atau lebih, tidak dianggap sebagai ART. Orang yang telah tinggal di RT enam bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di RT kurang dari enam bulan tetapi berniat pindah/bertempat tinggal di RT tersebut enam bulan atau lebih dianggap sebagai ART.
3.
Kepala Rumah Tangga (KRT) adalah seorang dari sekelompok anggota rumah
tangga
yang
bertanggungjawab
atas
kebutuhan
sehari-hari
rumahtangga, atau orang yang dianggap/ditunjuk sebagai KRT. 4.
Pengeluaran konsumsi rumahtangga sebulan adalah total nilai makanan dan bukan makanan (barang/jasa) yang diperoleh, dipakai, atau dibayarkan rumahtangga sebulan untuk konsumsi rumahtangga, tidak termasuk untuk keperluan usaha rumahtangga atau yang diberikan kepada pihak/orang lain. Untuk konsumsi makanan, yang termasuk konsumsi rumahtangga adalah yang benar-benar telah dikonsumsi selama referensi waktu survei (consumption approach), sedangkan untuk konsumsi bukan makanan konsep yang dipakai pada umumnya adalah konsep penyerahan (delivery approach), yaitu dibeli/diperoleh dari pihak lain, asalkan tujuannya untuk kebutuhan rumah tangga.
5.
Pendapatan perkapita diproksi dari pengeluaran per kapita: total pengeluaran rumah tangga dibagi jumlah anggota rumah tangga dalam ribuan rupiah.
6.
Rumah tangga tahan pangan merupakan rumah tangga dengan kecukupan pangan >80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran makanan < 60 persen.
44
7.
Rumah tangga rentan pangan merupakan rumah tangga dengan kecukupan pangan > 80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran makanan > 60 persen.
8.
Rumah tangga kurang pangan merupakan rumah tangga dengan kecukupan pangan < 80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran makanan < 60 persen.
9.
Rumah tangga rawan pangan: merupakan rumah tangga dengan kecukupan pangan < 80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran makanan > 60 persen.
10. Rata-rata lama sekolah adalah nilai rata-rata bagi tiap penduduk usia lebih dari 15 tahun dalam menempuh pendidikan di sekolah. Peubah rata-rata lama sekolah ini digunakan sebagai proksi tingkat pendidikan. Satuan yang digunakan dalam menghitung rata-rata lama sekolah adalah tahun. 11. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan 2000 (PDRB) adalah jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi yang terjadi di masyarakat yang diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilainya benar-benar mencerminkan jumlah produksi yang terbebas dari pengaruh harga. 12. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran. 13. Penganggur terbuka, terdiri dari : a. Mereka yang tak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan. b. Mereka yang tak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha. c. Mereka yang tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. d. Mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja. 14. Tingkat pengangguran terbuka adalah jumlah pengangguran terbuka dibagi jumlah angkatan kerja. 15. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah tingkat pendidikan yang dicapai seseorang setelah mengikuti pelajaran pada kelas tertinggi suatu tingkatan sekolah dengan mendapatkan tanda tamat (ijazah).
45
16. Lapangan
usaha
adalah
bidang
kegiatan
dari
pekerjaan/usaha/perusahaan/kantor tempat seseorang bekerja. 17. Status pekerjaan adalah jenis kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan. Mulai tahun 2001 status pekerjaan dibedakan menjadi enam kategori : a. Berusaha sendiri, adalah bekerja atau berusaha dengan menanggung resiko secara ekonomis, yaitu dengan tidak kembalinya ongkos produksi yang telah
dikeluarkan
dalam
rangka
usahanya
tersebut,
serta
tidak
menggunakan pekerja dibayar maupun pekerja tak dibayar, termasuk yang sifat pekerjaannya memerlukanteknologi atau keahlian khusus. b. Berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar, adalah bekerja atau berusaha atas resiko sendiri dan menggunakan buruh/pekerja tak dibayar dan atau buruh/pekerja tidak tetap. c. Berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar, adalah berusaha atas resiko sendiri dan mempekerjakan paling sedikit satu orang buruh/pekerja tetap yang dibayar. d. Buruh/Karyawan/Pegawai, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan secara tetap dengan menerima upah/gaji baik berupa uang maupun barang. Buruh yang tidak mempunyai majikan tetap, tidak digolongkan sebagai buruh/karyawan, tetapi sebagai pekerja bebas. e. Pekerja
bebas
adalah
seseorang
yang
bekerja
pada
orang
lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari 1 majikan dalam sebulan terakhir) baik berupa usaha rumah tangga maupun bukan usaha rumah tangga atas dasar balas jasa dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang, dan baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan. f. Pekerja tak dibayar adalah seseorang yang bekerja membantu orang lain yang berusaha dengan tidak mendapat upah/gaji, baik berupa uang maupun barang. Pekerja tak dibayar tersebut dapat terdiri dari: 1. Anggota rumah tangga dari orang yang dibantunya, seperti istri/anak yang membantu suaminya/ayahnya bekerja di sawah.
46
2. Bukan anggota rumah tangga tetapi keluarga dari orang yang dibantunya, seperti famili yang membantu melayani penjualan di warung. 3. Bukan anggota rumah tangga dan bukan keluarga dari orang yang dibantunya, seperti orang yang membantu menganyam topi pada industri rumah tangga tetangganya 18. Kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar untuk makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. BPS (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di perdesaan dan 480 kg/kapita/tahun di perkotaan. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi. 19. Klasifikasi daerah adalah lokasi tempat tinggal rumah tangga yang dikategorikan sebagai perkotaan atau perdesaan. BPS menentukan kategori suatu wilayah desa termasuk perkotaan atau perdesaan dengan menggunakan skoring. Skoring tersebut berdasarkan dari 8 peubah. Suatu wilayah dikategorikan perkotaan apabila skor jumlah ke-8 peubah tersebut ≥ 10 dan dikategorikan perdesaan bila total skor < 10. Ke-8 peubah tersebut adalah: 1.
Peubah kepadatan penduduk : ≤ 500 = skor 1; 500-4000 = skor 2-4; 4000-8500 = skor 5-7; ≥ 8500 = skor 8.
2.
Persentase rumah tangga pertanian : ≥ 70 = skor 1; 50-20 = skor 2-4; 20-5 = skor 5-7; ≤ 5 = skor 8.
3.
Akses fasilitas pendidikan (Taman kanak-kanak, SMP, SMU): ≤ 2,5 km (ada = skor 1).
4.
Akses fasilitas ekonomi (Pasar, Pertokoan ): ≤ 2 km (ada = skor 1).
5.
Akses fasilitas umum (Bioskop, Rumah Sakit):
6.
Hotel/bilyard/diskotek/panti pijat/salon (ada = skor 1).
7.
Persentase pengguna telepon ( ≥8 = skor 1).
8.
Persentase pengguna listrik ( ≥ 90 = skor 1).
≤ 5 km (ada = skor 1).
4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR 4.1 Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein Keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat adalah salah satu aspek penting dalam menentukan standar gizi. Kekurangan konsumsi gizi bagi seseorang dari standar minimum umumnya akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang kekurangan konsumsi pangan dari sisi jumlah dan kualitas (terutama pada anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia. Diantara banyaknya kandungan zat gizi, kecukupan energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999). Jumlah rumah tangga sampel SUSENAS di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2002 adalah 8.621 rumah tangga. Sampel SUSENAS pada tahun 2005 adalah sebesar 8.502 rumahtangga. Penambahan jumlah sampel SUSENAS terjadi pada tahun 2008 yaitu menjadi sebesar 29.646 rumah tangga. Pangsa pengeluaran pangan yang merupakan satu indikator penentu ketahanan pangan rumah tangga masih mencapai proporsi yang cukup besar di Provinsi Jawa Timur. Hasil pengolahan data SUSENAS menunjukkan bahwa terjadi penurunan pangsa pengeluaran untuk pangan yang diimbangi dengan kenaikan konsumsi kalori masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan di masyarakat. Tabel 4 menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan untuk pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan masyarakat perkotaan masih lebih baik dibandingkan masyarakat pedesaan. Selama ini pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maupun sektor swasta masih bias pada perkotaan dan hasilnya lebih dinikmati oleh masyarakat perkotaan. Kondisi ini menyebabkan kesenjangan antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. (Ariani, 2004).
48
Tabel 4 Pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan pangan di Provinsi Jawa Timur 2002 Uraian Pangsa Kalori Pangan (kkal) (%) 1 Kota 2 Desa 3 Total
2005 Protein Pangsa Kalori Protein Pangsa (gr) Pangan (kkal) (gr) Pangan (%) (%)
54,36 1.913,33 54,78 61,99 1.926,50 51,86 57,87 1.920,83 53,12
45,88 1.979,16 57,97 57,35 2.006,78 55,78 50,76 1.995,08 56,71
2008 Kalori Protein (kkal) (gr)
47,43 1.903,50 56,06 57,01 1.913,00 52,99 51,21 1.908,35 54,49
Sumber : BPS, diolah
Kecukupan pangan dan gizi berkaitan erat dengan upaya peningkatan sumberdaya manusia. Pengolahan data SUSENAS menunjukkan, rata-rata konsumsi kalori di Provinsi Jawa Timur masih dibawah rata-rata calorie intake yang dianjurkan (Lampiran 1) yaitu 96 persen pada tahun 2002, 99 persen pada tahun 2005 dan 95 persen pada tahun 2008. Antara tahun 2002, 2005 dan 2008 terdapat penurunan standar deviasi. Hal ini memperlihatkan kondisi antar kabupaten/kota yang semakin konvergen. Jika dilihat antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur (Lampiran 1), maka pada tahun 2002 dan 2005 terdapat 5 kabupaten/kota yang telah melebihi standar kecukupan kalori yang dianjurkan. Tahun 2002, kabupaten/kota yang mencapai ratarata kalori diatas standar yang dianjurkan adalah Sidoarjo, Ngawi, Sumenep, Mojokerto dan Madiun. Pada tahun 2005 terjadi perubahan kabupaten/kota yang telah mencukupi kebutuhan kalori menjadi Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Madiun dan Batu. Pada tahun 2008 terjadi peningkatan kabupaten/kota yang diatas rata-rata kecukupan kalori yang dianjurkan yaitu menjadi 7 kabupaten/kota. Tujuh kabupaten/kota tersebut adalah Pacitan, Trenggalek, Banyuwangi, Bondowoso, Mojokerto, Nganjuk dan Tuban. Selain kecukupan kalori, kecukupan protein juga menjadi indikator kualitas pangan yang perlu diperhitungkan. Berdasarkan data SUSENAS, kecukupan protein yang dikonsumsi masyarakat Jawa Timur telah mencapai standar yang dianjurkan
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004, yaitu 52 gram protein/kapita/hari. Perbandingan antara pedesaan dan perkotaan memperlihatkan bahwa kecukupan protein di pedesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan (Tabel 4).
49
4.2. Pola Konsumsi Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur Pola konsumsi masyarakat Jawa Timur masih didominasi oleh kelompok padi-padian yang mencapai sekitar 20 persen (Tabel 5). Namun, persentase ini lambat laun menurun seiring dengan peningkatan konsumsi makanan dan minuman jadi. Hal tersebut dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup sehingga lebih menyukai komoditas instan dan cepat saji. Tabel 5 Persentase konsumsi makanan di Provinsi Jawa Timur Komoditi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur Kacang-kacangan Buah Minyak dan Lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi TOTAL
Kota 18,98 0,90 7,21 6,53 7,50 7,76 5,34 5,70 4,40 5,27 3,26 3,07 24,09
2002 Desa
Total
29,48 1,29 7,53 3,37 5,04 9,49 6,10 4,48 5,61 6,45 3,68 2,45 15,02
24,10 1,09 7,37 4,99 6,30 8,60 5,71 5,10 4,99 5,85 3,46 2,77 19,67
100,00 100,00 100,00
Kota 14,54 0,75 7,28 6,58 7,98 7,03 4,95 5,47 4,17 4,46 2,99 2,97 30,83
2005 Desa
Total
23,52 1,14 7,74 3,92 5,58 9,26 6,46 4,46 5,34 5,53 3,74 2,98 20,32
18,82 0,94 7,50 5,31 6,84 8,09 5,67 4,99 4,73 4,97 3,35 2,97 25,82
100,00 100,00 100,00
Kota 15,48 0,73 6,14 4,60 7,99 7,34 5,38 4,70 5,49 3,95 2,60 2,91 32,68
2008 Desa
Total
23,29 1,10 6,45 2,46 5,19 9,54 6,21 3,76 7,05 5,47 3,26 3,05 23,17
18,90 0,89 6,28 3,66 6,76 8,30 5,74 4,29 6,17 4,61 2,89 2,97 28,53
100,00 100,00 100,00
Sumber : BPS, diolah
Perbandingan antara perkotaan dan pedesaan menunjukkan bahwa persentase konsumsi padi-padian di daerah pedesaan masih jauh lebih besar daripada di perkotaan. Di sisi lain, persentase konsumsi makanan dan minuman jadi di perkotaan jauh lebih besar daripada di pedesaan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan gaya hidup masyarakat perkotaan dan pedesaan. Di wilayah perkotaan dengan segala aktivitas yang padat, membuat masyarakat lebih mudah mengkonsumsi makanan dan minuman jadi dibandingkan dengan memasak sendiri. Sebaliknya, di daerah pedesaan masyarakat memiliki sumberdaya tenaga maupun waktu yang cukup sehingga lebih memilih memasak makanannya sendiri di rumah. Padi-padian menjadi konsumsi utama masyarakat pedesaan pada awal periode penelitian yaitu tahun 2002. Pada tahun berikutnya, terjadi perubahan dengan mengecilnya pangsa padi-padian dan meningkatnya makanan dan minuman jadi. Pada tahun 2008, konsumsi makanan dan minuman jadi di pedesaan hampir sama dengan konsumsi padi-padian. Hal yang menarik dalam
50
penelitian ini adalah ketika dilihat makanan dan minuman jadi yang menempati porsi terbesar adalah pecel (19,71 persen), makanan ringan anak-anak (14,60 persen) dan mie rebus/bakso (13,36 persen). Kondisi ini sangat ironis mengingat konsumsi sumber protein di pedesaan masih rendah, namun konsumsi makanan dan minuman jadi justru meningkat. Diantara kelompok padi-padian, beras merupakan komoditi terbanyak yang dikonsumsi, mencapai lebih dari 90 persen. Sedangkan komoditi lainnya memiliki persentase yang sangat kecil (Tabel 6). Dari kelompok padi-padian, konsumsi tepung terigu di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan di pedesaan dan lambat laun mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan banyaknya jenis makanan di perkotaan yang pengolahannya membutuhkan tepung terigu. Tabel 6 Persentase konsumsi padi-padian di Provinsi Jawa Timur Komoditi 1 2 3 4 5 6 7 8
Beras Beras ketan Jagung basah Jagung pipilan Tepung beras Tepung jagung Tepung terigu Lainnya TOTAL
Kota 96,73 0,16 0,32 1,23 0,62 0,03 0,89 0,03
2002 Desa 92,73 0,18 0,35 5,91 0,32 0,03 0,45 0,03
Total 94,35 0,17 0,34 4,01 0,44 0,03 0,63 0,03
100,00 100,00 100,00
Kota 95,71 0,11 0,88 0,69 0,95 0,09 1,46 0,11
2005 Desa 91,62 0,27 0,38 6,14 0,61 0,06 0,86 0,05
Total 94,37 0,17 0,34 3,99 0,44 0,03 0,63 0,03
100,00 100,00 100,00
Kota 95,72 0,13 0,81 1,41 0,69 0,04 1,14 0,06
2008 Desa 91,31 0,13 0,56 6,29 0,74 0,09 0,86 0,03
Total 93,35 0,13 0,67 4,04 0,72 0,06 0,99 0,04
100,00 100,00 100,00
Sumber : BPS, diolah
4.3 Ketersediaan Pangan di Provinsi Jawa Timur Salah satu cara untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan menjamin ketersediaan pangan yang diperlukan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu kewajiban pemerintah sesuai dengan amanat Undang Undang No 7 tahun 1996 tentang pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat seharusnya dalam jumlah yang cukup, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Tersedianya pangan yang cukup diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, sehingga akan mendukung suatu daerah untuk mewujudkan masyarakat yang sehat. Masyarakat yang sehat akan menjadi modal atau penggerak dalam pelaksanaan pembangunan suatu daerah selanjutnya dapat
51
mewujudkan kondisi masyarakat yang adil dan makmur. Sebaliknya jika kebutuhan pangan tidak terpenuhi akan menyebabkan penderita gizi kurang, sehingga produktivitasnya rendah, kehilangan kesempatan bersekolah, kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi, berisiko kelaparan dan pada akhirnya akan menjadi miskin. Beras merupakan komoditi pokok dan strategis dibandingkan komoditi pangan lainnya. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia pada umumnya dan di Provinsi Jawa Timur pada khususnya mayoritas mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya. Sehingga, pemerintah memberi perhatian khusus terhadap produksi padi dengan mentargetkan untuk dapat mencapai swasembada beras di sepanjang waktu. Jawa Timur sebagai penghasil padi kedua terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat, memiliki kontribusi produksi padi yang cukup besar dan cenderung semakin meningkat. Secara agregat pada tahun 2002, 2005 dan 2008 produksi padi di Provinsi Jawa Timur mengalami peningkatan (Lampiran 3). Namun jika dibagi dengan data jumlah penduduk di Jawa Timur maka peningkatan ini hanya terjadi pada tahun 2008. Pada tahun 2005 terjadi sedikit penurunan produksi padi perkapita, namun akhirnya meningkat kembali pada tahun 2008 (Gambar 9). 29 28,24
28 27 26 25 24
produksi 23 padi 22 perkapita (kg)
24,82
2002
24,69
2005
2008
Tahun
Gambar 9 Produksi padi perkapita di Provinsi Jawa Timur. Peningkatan produksi padi terkait dua hal utama yaitu luas panen dan produktivitas padi. Kedua hal ini harus diperhatikan sehingga produksi padi dapat
52
terus meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Berbagai riset ditujukan untuk dapat memenuhi bibit-bibit padi yang unggul sehingga dapat meningkatkan produktivitas dari luas lahan yang ada.
4.4 Akses Pangan di Provinsi Jawa Timur Salah satu faktor yang menentukan tercapainya ketahanan pangan selain ketersediaan pangan adalah akses pangan. Meskipun suatu daerah memiliki persediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, namun jika tidak mampu mengakses pangan tersebut maka tidak akan dapat mencapai ketahanan pangan. Sebaliknya, suatu daerah yang tidak memiliki sumberdaya sebagai penghasil bahan pangan, namun masih dapat memenuhi kebutuhan pangannya jika memiliki akses yang cukup kuat untuk mendapatkan makanan. Faktor yang menentukan akses pangan diantaranya adalah pendapatan regional yang tercermin melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), stabilitas harga, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. PDRB menggambarkan kemampuan suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDRB dapat dilihat dari tiga sisi pendekatan yaitu produksi, pengeluaran dan pendapatan. Ketiganya menyajikan komposisi data nilai tambah dirinci menurut sektor ekonomi, komponen penggunaan dan sumber pendapatan. PDRB dari sisi produksi merupakan penjumlahan seluruh nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktivitas produksinya. Sedangkan dari sisi penggunaan menjelaskan tentang penggunaan dari nilai tambah tersebut. Selanjutnya dari sisi pendapatan, nilai tambah merupakan jumlah upah/gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung neto yang diperoleh. Secara makro, besaran PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja ekonomi suatu wilayah seperti provinsi atau kabupaten. Fenomena dan perilaku ekonomi dari berbagai pelaku ekonomi dapat dilihat dari data PDRB. Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 dan direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, diharapkan
53
dapat memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan regional suatu daerah dan menimbulkan multiplier effect terhadap perekonomian Jawa Timur. Jawa Timur merupakan barometer perekonomian nasional setelah DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, sebab kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional mencapai sekitar 16 persen. PDRB Jawa Timur baik Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) maupun Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) pada periode 2002-2008 menunjukkan
kecenderungan
terus
meningkat
sejalan
dengan
semakin
membaiknya kondisi perekonomian. Pada tahun 2002 PDRB Jawa Timur menurut ADHB sebesar 267,158 triliun rupiah, yang kemudian meningkat di tahun 2008 mencapai 621,582 triliun rupiah. PDRB ADHK juga mengalami kenaikan menjadi 304,799 triliun rupiah pada tahun 2008 yang pada tahun 2002 sebesar 218,452 triliun rupiah (Tabel 7). Tabel 7 PDRB Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 Tahun
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (milyar)
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
267.157,72 300.609,86 341.065,25 403.392,35 470.627,49 534.919,33 621.581,96
Atas Dasar Harga Konstan (milyar) 218.452,28 228.884,34 242.228,77 256.374,93 271.244,67 287.817,72 304.798,97
Sumber : BPS, diolah.
Provinsi Jawa Timur terdiri dari 29 kabupaten dan sembilan kota. Masingmasing daerah di Provinsi Jawa Timur mempunyai karakteristik alam, sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan produktivitas perekonomian antar wilayah yang satu berbeda dengan wilayah lainnya. Nilai tambah bruto Jawa Timur sangat dipengaruhi oleh tiga sektor yang paling besar pangsanya dalam pembentukan nilai tambah bruto Jawa Timur. Ketiga sektor tersebut adalah sektor pertanian, sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.
54
Tabel 8 menunjukkan bahwa mulai tahun 2006, terjadi pertukaran posisi antara sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kontribusi industri pengolahan mengalami penurunan, salah satu penyebabnya adanya krisis BBM pada tahun 2005. Sebagaimana diketahui, bahwa sektor industri adalah sektor yang sangat tergantung pada BBM, sehingga jika ada kenaikan harga BBM akan berpengaruh pada sektor industri. Tabel 8 Struktur PDRB di Provinsi Jawa Timur tahun 2002-2008 (persen) Lapangan Usaha
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan , Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa - Jasa
19,04 2,06 29,31 1,62 3,81 25,35 5,67 4,79 8,35
18,24 2,00 29,50 1,76 3,74 26,08 5,71 4,59 8,38
17,58 1,93 29,61 2,05 3,68 26,71 5,52 4,60 8,32
17,24 2,01 29,99 1,89 3,60 27,17 5,53 4,53 8,04
17,16 2,06 29,26 1,86 3,46 27,96 5,58 4,53 8,14
16,72 2,11 28,75 1,92 3,36 28,81 5,55 4,62 8,15
16,57 2,17 28,49 1,91 3,34 29,36 5,32 4,68 8,15
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Produk Domestik Regional Bruto
Sumber : BPS
Kontribusi sektor PDRB terhadap total PDRB untuk masing-masing kabupaten/kota di Jawa Timur sangat bervariatif. Potensi yang beragam di masing-masing wilayah menyebabkan timbulnya perbedaan karakteristik struktur perekonomian yang berbeda di setiap kabupaten/kota. Sebagai contoh aktivitas perekonomian di wilayah kabupaten pada umumnya didorong oleh sektor pertanian dan sektor industri sedangkan wilayah perkotaan oleh sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Beberapa kabupaten didominasi (hampir 50 persen) oleh sektor pertanian seperti Kabupaten Banyuwangi, dan kabupaten-kabupaten di kawasan Madura. Kontribusi dari sektor pertanian di wilayah kota secara umum sangat kecil, kecuali Kota Batu. Sebagian besar wilayah kota didominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pangsa terbesar pada PDRB tahun 2008 disumbangkan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, yang kemudian disusul sektor industri, namun sebagian besar wilayah Jawa Timur masih berbasis sektor pertanian. Sedangkan sektor perdagangan dan industri pengolahan hanya menjadi basis di beberapa kabupaten/kota saja.
55
Selain faktor pendapatan, akses pangan juga ditentukan oleh stabilisasi harga. Dalam hal ini angka inflasi dapat mencerminkan tingkat stabilisasi harga di tingkat konsumen. Meskipun banyak komoditi yang mempunyai kontribusi terhadap inflasi, namun karena lebih dari 50 persen pendapatan masih digunakan untuk pangan, maka pengaruh perubahan harga pangan terhadap inflasi diduga cukup besar.
Dalam penelitian ini, angka inflasi yang digunakan adalah inflasi yang terjadi pada PDRB kabupaten/kota, karena keterbatasan data inflasi di beberapa kabupaten/kota. Gambar 10 menunjukkan fluktuasi harga yang terjadi pada PDRB di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2005 inflasi PDRB mencapai nilai tertinggi diantara tahun 2002 sampai 2008. Hal ini dimungkinkan karena adanya kebijakan kenaikan BBM di tahun 2005. Persen 14.00 11,75
12.00 10.00
9,73
10,27
10,04
8.00 7,39
6.00
7,21
7,12
4.00 2.00
Tahun
0.00 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Gambar 10 Deflator PDRB Provinsi Jawa Timur 2002-2008. Akses pangan juga ditentukan oleh pendidikan. Dengan adanya pendidikan yang cukup baik, masyarakat dapat menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk menentukan jenis pangan yang dikonsumsi sehingga cukup dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Pemilihan dan penentuan dalam penyusunan hidangan konsumsi makanan bukanlah sesuatu yang secara otomatis diturunkan, dalam pengertian heriditer. Susunan hidangan adalah hasil dari manifestasi proses belajar. Susunan hidangan di masyarakat dapat diubah dengan proses pendidikan
56
gizi, penerangan dan penyuluhan meskipun mengubah suatu susunan hidangan adalah relatif sulit. Penelitian ini menggunakan rata-rata lama sekolah (RLS) sebagai cerminan pendidikan yang diraih oleh masyarakat. Rata-rata lama sekolah di Jawa Timur masih dibawah standar pendidikan sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah yaitu berada pada kisaran enam tahun. Namun nilai ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 11 ). Peningkatan rata-rata lama sekolah ini juga terjadi hampir di semua kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. L a m a
7.0
6,95
6.9 6,76
6.8 6.7
S e k o l a h
6.6
6,50
6.5 6.4 6.3
Tahun
6.2 2002
2005
2008
Gambar 11 Rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Timur. Faktor lain yang menentukan ketahanan pangan adalah infrastruktur wilayah. Infrastruktur akan meningkatkan kemudahan dalam distribusi barang pangan dari produsen ke konsumen. Dengan adanya kemudahan distribusi barang pangan, maka harga yang dikenakan kepada konsumen akan lebih murah. Hal ini akan mendukung pencapaian ketahanan pangan rumah tangga. Adapun dua indikator infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini adalah jalan dan pasar. Data infrastruktur jalan yang digunakan adalah panjang jalan dengan kualitas baik dan sedang di Provinsi Jawa Timur. Pada umumnya terjadi peningkatan panjang jalan dengan kualitas baik dan sedang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 panjang jalan yang berkualitas baik dan sedang adalah sepanjang 25.858 km. Tahun 2005 terjadi peningkatan panjang jalan berkualitas baik dan sedang menjadi 26.040 km. Pada akhir periode penelitian yaitu tahun 2008
57
panjang jalan berkualitas baik dan sedang meningkat menjadi 32.563,51 km (Lampiran 6). Jumlah pasar merupakan salah satu indikator kemudahan masyarakat untuk akses pembelian bahan makanan. Berdasarkan data PODES terlihat bahwa jumlah pasar mengalami peningkatan baik di pedesaan maupun perkotaan (Lampiran 7). Peningkatan jumlah pasar ini akan meningkatkan kemudahan akses rumah tangga dalam mencukupi kebutuhan pangan yang beragam.
4.5 Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Timur Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 disusun berdasarkan Indeks Ketahanan Komposit (DKP, 2009). Pilar utama dalam penyusunan Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 ada tiga yaitu: (1) ketersediaan pangan, (2) akses terhadap pangan dan (3) pemanfaatan pangan. Ketiga pilar ini dijabarkan menjadi sembilan indikator yaitu: 1. Ketersediaan pangan yang terdiri dari rasio normatif per kapita terhadap padi+jagung+ubi kayu+ubi jalar 2. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (penduduk miskin) 3. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai 4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik 5. Angka harapan hidup 6. Berat badan balita di bawah standar 7. Perempuan buta huruf 8. Persentase rumah tangga tanpa air bersih 9. Persentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan Ketersediaan pangan dijabarkan dalam indikator pertama. Akses terhadap pangan dijabarkan dalam indikator kedua, ketiga dan keempat. Adapun pemanfaatan pangan terdiri dari indikator kelima sampai kesembilan. Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 menunjukkan ada lima kabupaten di Jawa Timur yang rawan pangan (DKP, 2009) dengan prioritas yang berbeda. Kelima wilayah tersebut adalah Sampang, Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, Probolinggo (Gambar 12). Secara umum wilayah yang rawan pangan
58
adalah wilayah yang terletak di kepulauan kecuali Kabupaten Probolinggo. Masuknya kabupaten Probolinggo dalam prioritas ketiga dalam Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan 2009 adalah karena tingginya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan yaitu sebesar 25,49 persen, jauh di atas rata-rata Provinsi yaitu 18,20 persen. Disamping itu, angka harapan hidup di Kabupaten Probolinggo juga masih rendah yaitu sebesar 60,33 tahun sedangkan rata-rata angka harapan hidup di Provinsi Jawa Timur adalah 68,90 tahun (DKP, 2009). Kedua hal ini merupakan indikator yang menyebabkan Kabupaten Probolinggo masuk ke dalam prioritas ketiga di dalam Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan 2009.
Keterangan : Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi
11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan
21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6
Sumber : FSVA, 2009
Gambar 12 Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009. Ketahanan pangan memiliki dua indikator yang sangat penting yaitu kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan. Menurut hukum Engel, pangsa
59
pengeluaran untuk belanja pangan rumah tangga miskin lebih besar dari rumah tangga kaya. Pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator tidak langsung terhadap kesejahteraan (Deaton dan Muellbauer, 1980).
Berdasarkan penghitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi Jawa Timur persentase penduduk yang rawan pangan relatif cukup besar. Namun, persentase penduduk yang rawan pangan ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2002 persentase penduduk rawan pangan adalah sebesar 16,66 persen yang kemudian menurun pada tahun 2005 menjadi 12,04 persen dan pada tahun 2008 menjadi 11,63 (Tabel 9). Penurunan persentase rumah tangga yang rawan pangan di Jawa Timur diikuti dengan meningkatnya rumah tangga yang tahan pangan. Pada tahun 2002, rumah tangga tahan pangan adalah sebesar 23,65 persen. Nilai ini meningkat pada tahun 2005 menjadi sebesar 35,90 persen dan kembali meningkat pada tahun 2008 menjadi sebesar 36,30 persen. Tabel 9 Persentase status ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur Status Rumah Tangga Rawan Pangan Kurang Pangan Rentan Pangan Tahan Pangan
2002 Desa
Kota 13,85 13,50 41,72 30,93
18,76 6,97 56,06 18,21
Total 16,66 9,77 49,92 23,65
Kota
2005 Desa
Total
Kota
2008 Desa
Total
9,26 18,49 26,82 45,43
13,95 10,17 46,51 29,37
12,04 13,55 38,51 35,90
9,87 18,91 26,52 44,71
12,96 9,12 47,97 29,94
11,63 13,33 38,73 36,30
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan latar belakang daerah tempat tinggal, ternyata persentase rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Pada tahun 2008, rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan sebesar 12,96 persen sedangkan di perkotaan 9,87 persen. Sebaliknya, rumah tangga yang tahan pangan di perkotaan lebih banyak daripada di pedesaan. Rumah tangga tahan pangan di perkotaan pada tahun 2008 mencapai 44,71 persen sedangkan rumah tangga tahan pangan di pedesaan hanya sebesar 29,94 persen. Hal
ini
terkait
dengan
sarana
infrastruktur
yang
digunakan
untuk
mengklasifikasikan apakah pedesaan suatu daerah dikategorikan sebagai pedesaan
60
atau perkotaan. Terbatasnya sarana di pedesaan menyebabkan tingginya kerawanan pangan rumah tangga. Persentase rumah tangga yang rentan pangan di pedesaan ternyata lebih besar dibandingkan di perkotaan. Rumah tangga yang diidentifikasi rentan pangan ini pada dasarnya telah memenuhi kebutuhan kalori minimum, namun secara ekonomi memiliki pangsa pengeluaran pangan yang masih besar. Biaya hidup yang lebih murah di pedesaan menjadi salah satu penyebab terpenuhinya kebutuhan kalori meski pangsa pangannya lebih besar. Rumah tangga yang kurang pangan di perkotaan lebih besar dibandingkan pedesaan. Hal ini menunjukkan rumah tangga di perkotaan masih banyak yang tidak terpenuhi kebutuhan kalori minimumnya meski dari sisi ekonomi pangsa pangannya cukup kecil. Rumah tangga perkotaan lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan non pangan meski kebutuhan kalorinya di bawah standar minimum yang dianjurkan. Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga, terlihat bahwa rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan (Gambar 13). Hal ini sesuai dengan studi Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga akan semakin meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangga. Kepala rumah tangga yang memiliki pendidikan cukup baik, akan lebih mudah dalam mendapatkan pekerjaan sehingga mampu mendapatkan income yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Pendidikan akan dapat meningkatkan produktivitas, yang selanjutnya mampu meningkatkan output sehingga dapat meningkatkan income. Pendidikan yang cukup baik juga akan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki sehingga dapat digunakan untuk menentukan pola makanan yang baik dan bergizi sehingga terhindar dari kerawanan pangan.
61
45
40,12
40
P e r s e n
37,56
35 30 25 20 15
12,04
10
9,60
5
0,67
0 Tidak Lulus SD
SD
SLTP
SLTA
Tingkat Pendidikan
PT
Gambar 13 Rumah tangga rawan pangan berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga adalah sumber penghasilan utama rumah tangga. Sumber penghasilan utama rumah tangga dapat didekati dengan lapangan usaha kepala rumah tangga. Secara umum, setiap rumah tangga di Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya menganut sistem ‘single budget’ dimana kebutuhan seluruh anggota rumah tangga dipenuhi melalui satu pengelolaan manajemen keuangan. Kepala rumah tangga berkewajiban memenuhi kebutuhan rumah tangga sedangkan istri/suami dan anggota rumah tangga lainnya bersifat membantu mencari nafkah. Oleh karena itu, lapangan usaha yang ditekuni oleh kepala rumah tangga dijadikan acuan dalam penentuan kategori sektor dalam penelitian ini. Diantara penduduk rawan pangan pada tahun 2008, ternyata persentase terbesar adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian yaitu sebesar 44,35 persen (Gambar 14). Hal ini merupakan suatu kondisi yang ironis, mengingat pertanian adalah salah satu lapangan usaha yang menghasilkan bahan makanan namun rumah tangga di sektor pertanian merupakan rumah tangga yang rawan pangan. Apabila kondisi ini terjadi terus menerus maka lapangan usaha pertanian akan banyak ditinggalkan oleh masyarakat untuk beralih ke lapangan usaha lainnya yang memberikan
62
pendapatan. Akibatnya, hasil-hasil pertanian yang merupakan salah satu pendukung ketahanan pangan nasional dan sebagai jaminan ketersediaan pangan, ketersediannya akan terancam. Indonesia akan terus tergantung kepada impor bahan makanan dari negara lain sehingga tidak memiliki kemandirian pangan.
jasa (28,29)
industri (15,23)
tidak bekerja (12,14)
pertanian (44,35)
Gambar 14 Rumah tangga rawan pangan berdasarkan lapangan usaha kepala rumah tangga di Provinsi Jawa Timur (persen) Berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangganya, rumah tangga dibedakan menjadi enam kategori yaitu : (1) berusaha sendiri, (2) berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, (3) berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar (4) buruh/karyawan/pegawai, (5) pekerja bebas dan (6) pekerja tidak dibayar. Gambar 15 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga. Status pekerjaan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar merupakan status pekerjaan dengan persentase tertinggi dalam rumah tangga rawan pangan yaitu sebesar 25,70 persen. Tingginya persentase rumah tangga rawan pangan pada status pekerjaan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar menunjukkan tingginya resikonya terkena kerawanan pangan pada status tersebut. Status berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar sebagian besar merupakan pekerja informal dengan jaminan kepastian pekerjaan lebih rendah dibandingkan status lainnya. Kondisi ini disebabkan resiko yang harus ditanggung oleh para pekerja
63
dengan status pekerjaan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar lebih besar dibandingkan status pekerjaan lainnya. Pekerja bebas (15,40) Buruh/ karyawan (21,95)
Berusaha dibantu buruh tetap/dibayar (2,61)
Pekerja tidak dibayar(1,51)
Tidak bekerja (12,12) Berusaha sendiri (20,71)
Berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar (25,70)
Gambar 15 Rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan di Provinsi Jawa Timur (persen). Berdasarkan klasifikasi silang Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al. (2000), maka dapat dibuat peta tematik kerawanan pangan. Peta ini disusun untuk memberikan gambaran dinamika ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur. Peta ini disusun dengan tiga gradasi warna yang menunjukkan semakin gelap warna maka tingkat persentase rumah tangga rawan pangan semakin besar. Perbandingan dinamika kerawanan pangan dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu: (1) membandingkan kondisi kerawanan pangan 2002 dan 2005, (2) membandingkan kondisi kerawanan pangan 2005 dan 2008. Gambar 16 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan yang dibandingkan antara tahun 2002 dan 2005. Perbandingan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) wilayah dengan kondisi membaik yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari gelap ke arah yang lebih terang, (2) wilayah dengan kondisi memburuk yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari terang ke arah yang lebih gelap, (3) wilayah yang tidak berubah warnanya. Sebanyak 17 kabupaten/kota masuk dalam kelompok pertama, yaitu kelompok yang membaik dengan perubahan gradasi dari gelap ke warna yang semakin terang. Kelompok kedua
64
terdiri dari lima kabupaten/kota. Adapun kelompok ketiga terdiri dari 16 kabupaten/kota (Lampiran 13). 2002
2005
Keterangan : Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang
08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan
15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi
22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo
75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 16 Peta persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur tahun 2002 dan 2005.
65
Gambar 17 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan yang dibandingkan antara tahun 2005 dan 2008. Perbandingan persentase rumah tangga rawan pangan pada tahun 2005 dan tahun 2008 juga dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) wilayah dengan kondisi membaik yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari gelap ke arah yang lebih terang, (2) wilayah dengan kondisi memburuk yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari terang ke arah yang lebih gelap, (3) wilayah yang masih dalam kelompok yang sama atau tidak berubah warnanya. Sepuluh kabupaten/kota masuk dalam kelompok pertama, yaitu kelompok yang membaik dengan perubahan gradasi dari gelap ke warna yang semakin terang. Kelompok kedua terdiri dari enam kabupaten/kota. Adapun kelompok ketiga terdiri dari 22 kabupaten/kota (Lampiran 13). Persentase rumah tangga yang rawan pangan pada Gambar 16 dan 17 mengalami penurunan dari tahun ke tahun menuju suatu kondisi yang konvergen. Namun hal ini tidak terjadi pada wilayah kepulauan. Persentase rumah tangga yang rawan pangan di wilayah kepulauan masih cukup tinggi yaitu lebih dari 20 persen. Gambar 16 dan 17 menunjukkan bahwa secara konsisten ada daerah yang selalu membaik dengan perubahan gradasi warna dari arah gelap ke arah yang lebih terang. Daerah yang masuk kelompok ini terdiri dari 11 kabupaten/kota yaitu : Ponorogo, Trenggalek, Blitar, Jember, Mojokerto, Nganjuk, Magetan, Bojonegoro, Tuban, Gresik dan Bangkalan.
Daerah ini mampu menurunkan
kerawanan pangan karena didukung oleh meningkatnya produksi padi sebagai food availability, meningkatnya rata-rata lama sekolah yang merupakan stability dan bertambahnya access to food baik dari sisi panjang jalan maupun jumlah pasar (Lampiran 3, 6, 7 dan 8). Gambar 16 dan 17 juga menunjukkan bahwa terdapat daerah yang secara konsisten semakin memburuk yang ditunjukkan dengan perubahan gradasi dari warna terang ke arah yang lebih gelap. Daerah yang termasuk dalam kategori ini hanya ada satu yaitu Kabupaten Pamekasan. Kabupaten Pamekasan yang tidak dapat menurunkan persentase rumah tangga yang rawan pangan antara lain disebabkan oleh menurunnya produksi padi di tahun 2005 (Lampiran 3) dan
66
rusaknya infrastruktur jalan pada tahun 2008 (Lampiran 7). Kedua hal ini mengurangi food availability dan access to food. 2005
2008
Keterangan Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang
08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan
15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi
22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep
Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo
75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Gambar 17 Peta persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur tahun 2005 dan 2008.
67
Berdasarkan uraian di atas, food availability, access to food dan stability merupakan faktor yang harus dicapai untuk menurunkan persentase rumah tangga rawan pangan di sepanjang waktu. Faktor-faktor tersebut harus terjaga stabilitasnya sehingga penurunan persentase rumah tangga rawan pangan dapat tercapai sepanjang waktu.
4.6 Hubungan Kemiskinan dan Kerawanan Pangan Kemiskinan sering dikaitkan dengan rendahnya tingkat pendapatan sehingga kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum yang memungkinkan untuk hidup layak. Todaro (2000) menguraikan bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Jadi tingkat pendapatan minimum merupakan batas antara keadaan miskin dan tidak miskin. Kemiskinan memiliki kaitan yang erat dengan pemenuhan kebutuhan pangan (Sudiman, 2008). Kemiskinan dapat mengakibatkan kelaparan yang selanjutnya berdampak pada gizi kurang, bahkan kematian. Eratnya hubungan antara kemiskinan dan gizi kurang, mengakibatkan banyak orang sering mengartikan bahwa penanggulangan masalah gizi kurang baru dapat dilaksanakan bila keadaan ekonomi sudah baik. Tabel 10 menunjukkan perbandingan persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan persentase rumah tangga yang rawan pangan. Secara umum, persentase penduduk yang miskin menurun dari tahun ke tahun yang diiringi dengan menurunnya persentase rumah tangga rawan pangan. Hal ini menunjukkan semakin membaiknya kinerja perekonomian dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Tabel 10 Perbandingan persentase penduduk miskin dan rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur Uraian 1 Kota 2 Desa 3 Total
2002 Penduduk RT Rawan Miskin Pangan 21,47 19,31 20,06
13,85 18,76 16,66
2005 Penduduk RT Rawan Miskin Pangan 15,52 24,19 19,95
9,26 13,95 12,04
2008 Penduduk RT Rawan Miskin Pangan 13,15 23,64 18,51
9,87 12,96 11,63
Sumber : Penduduk miskin bersumber dari BPS, rumah tangga rawan pangan dihitung berdasarkan metode Jonsson dan Toole et al. (1991) dalam Maxwell (2000)
68
Gambar 18 menunjukkan kondisi ketahanan pangan rumah tangga pada penduduk miskin. Rumah tangga yang rawan pangan merupakan persentase yang paling besar. Persentase rumah tangga rawan pangan ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2002 persentase penduduk miskin yang terindikasi rawan pangan sebanyak 50,44 persen. Nilai ini menurun menjadi 39,18 persen pada tahun 2005 dan kembali menurun menjadi 39,03 persen pada tahun 2008. 100%
2.66
4.37
6.36
38.11
34.75
90% 80%
P e r s e n
35.70
70% 60%
Tahan
11.20
50%
18.34
19.85
40% 30% 20%
Rentan Kurang
50.44
Rawan 39.18
39.03
2005
2008
10% 0% 2002
Tahun
Gambar 18 Status ketahanan pangan penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur. Pencegahan dan penanggulangan kerawanan pangan tidak harus menunggu penanggulangan masalah kemiskinan selesai. Kerawanan pangan dapat ditanggulangi antara lain dengan peningkatan food availability melalui peningkatan kapasitas produksi pangan dengan perbaikan sistem inovasi teknologi, perbaikan kualitas lahan dan pengembangan sistem irigasi (Hardono dan Kariyasa, 2006). Hal ini tentunya juga harus diikuti dengan upaya peningkatan pemahaman dan pengetahuan tentang pentingnya konsumsi pangan bergizi, beragam dan berimbang. Melalui peningkatan ketahanan pangan yang baik, kebutuhan gizi akan tercapai, produktivitas meningkat dan selanjutnya dapat menurunkan angka kemiskinan.
5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA
5.1
Determinan Ketahanan Pangan Regional Analisis data panel dilakukan untuk mengetahui determinan ketahanan
pangan regional di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur pada tahun 2002,2005 dan 2008. Analisis dilakukan dalam dua tahapan, yaitu tahap pemilihan model terbaik dan tahap pengujian pelanggaran asumsi.
5.1.1 Pemilihan Model Terbaik Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan model regresi. Pengujian kesesuaian model yang dilakukan pertama kali dalam penelitian ini adalah pengujian dengan metode Chow test. Proses ini dilakukan dengan membandingkan pooled model dengan fixed effects model. Selanjutnya dilakukan uji Hausman untuk membandingkan antara fixed effects model dengan random effect model. Hasil uji Chow dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil pengujian yang dilakukan memperoleh nilai Fstatistik sebesar 2,26 dengan nilai p-value sebesar 0.0017. Kesimpulan yang diambil adalah menolak Ho pada taraf α = 1 persen, atau terdapat heterogenitas individu pada model. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model. Proses selanjutnya yaitu membandingkan antara fixed effects model dan random effects model. Untuk memastikan model terbaik yang akan digunakan dalam estimasi persamaan ini maka dilakukan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas dalam persamaan. Hasil uji Hausman (Lampiran 15) menunjukkan nilai p-value (prob.) > 0,0009. Hal ini berarti fixed effects model lebih sesuai digunakan. Dari kedua uji yaitu Chow test, dan Hausman test menunjukkan bahwa fixed effect model merupakan model yang terbaik. Hal ini terlihat dari signifikansi
70
peubah bebas pada fixed effect yang nilainya lebih baik dibandingkan dengan menggunakan model random effect. Peubah bebas yang signifikan pada model fixed effect sebanyak 4 peubah sedangkan pada random effect sebanyak 2 peubah. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka diputuskan bahwa model fixed effect adalah model yang lebih baik untuk mengestimasi.
5.1.2 Pengujian Pelanggaran Asumsi Pengujian asumsi dilakukan untuk melihat apakah model terbebas dari autokorelasi dan heteroskedastisitas 1.
Autokorelasi Pengujian asumsi bebas autokorelasi dilakukan dengan Wooldridge test. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh nilai Prob > F sebesar 0.1038 (Lampiran 15 ). Kesimpulan yang diambil adalah tidak dapat menolak H0 yang artinya tidak terdapat autokorelasi dalam model.
2.
Heteroskedastisitas Berdasarkan hasil pengolahan data dengan modified wald test diperoleh nilai Prob > Chi sebesar 0.000 yang artinya menolak H0. Artinya, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model. Berdasarkan kedua uji asumsi yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa
di dalam model terdapat heteroskedastisitas, tidak ada autokorelasi. Permasalahan heteroskedastisitas pada model mempengaruhi perkiraan nilai parameter yang tidak akan memenuhi sifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimate). Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model terpilih memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model dengan menggunakan pendekatan cross section weights atau disebut juga metode Generalized Least Squared (GLS). Estimasi yang dilakukan dengan fixed effect GLS menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan fixed effect OLS. Model yang diestimasi dengan fixed effect GLS lebih banyak menghasilkan parameter yang signifikan. Hasil estimasi dengan metode fixed effect GLS menunjukkan nilai Wald Chi2 sebesar 711,21 dengan nilai Prob > chi2 sebesar 0,0000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada model yang dipilih paling tidak ada satu koefisien
71
regresi yang signifikan secara statistik yang mampu menjelaskan peubah ketahanan pangan pada taraf nyata (α) 1 persen. Berdasarkan hasil estimasi terhadap model fixed effect dengan metode Generalized Least Squared (GLS) atau disebut juga metode cross section weight diketahui bahwa ada tiga peubah bebas yang menunjukkan hasil tidak signifikan secara statistik pada taraf nyata (α) 5 persen (Tabel 11). Ketiga peubah yang tidak signifikan tersebut adalah PDRB, inflasi dan tingkat pengangguran terbuka. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas t-hitung masing-masing peubah bebas yang lebih besar daripada taraf nyata (α) 10 persen. Tabel 11 Hasil estimasi determinan ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur Notasi Variabel C PROD PDRB INFLASI TPT RLS JALAN PASAR Prop (F-stat) R2
Koefisien -19,7646 0,0057 -0,0280 -0,1094 -0,2483 7,2257 0,0017 0,0305 0,0000
FEM dengan metode GLS Nilai z P-value statistik -5,4000 0,0000 0,0460 ** 1,9900 -0,2800 0,7800 -0,5600 0,5730 -1,2900 0,1980 18,5000 0,0000 *** 1,6600 0,0970 * 2,5100 0,0120 **
elastisitas 0,0439 1,5613 0,0376 0,0787
0,5007
Sumber : pengolahan data Keterangan : * nyata pada α 10 persen, ** nyata pada α 5 persen, *** nyata pada α 1
persen. Salah satu indikator food availability adalah ketersediaan padi yang merupakan komoditi pokok masyarakat Jawa Timur. Salah satu manfaat terjaminnya ketersediaan padi adalah pemerintah dapat menjaga harga pangan dalam batas jangkauan daya beli masyarakat. Harga yang terjangkau akan membuat masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangannya sepanjang waktu (Hardono dan Kariyasa, 2006). Produksi padi berpengaruh signifikan positif terhadap persentase rumah tangga tahan pangan dengan nilai elastisitas sebesar 0,0439. Kenaikan produksi padi sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah rumah tangga yang tahan pangan
72
sebesar 0,0439 persen. Hal ini disebabkan beras masih merupakan komoditi pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Jawa Timur. Pangsa pengeluaran pangan masyarakat untuk padi sekitar 20 persen. Hal ini menyebabkan terjaminnya ketersediaan padi merupakan salah satu faktor yang menentukan ketahanan pangan regional. Ketersediaan padi tidak hanya membuat pangan pokok tersedia secara cukup, namun juga membuka akses bagi pekerja di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa pendapatan dari bekerja di lapangan usaha ini, para pekerja tersebut tidak mungkin memenuhi kebutuhan pangan yang cukup bagi keluarganya. Berdasarkan data SUSENAS, persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian ini cukup besar yaitu 45,12 persen pada tahun 2002, 42,85 persen pada tahun 2005 dan 41,52 pada tahun 2008. Peningkatan produksi padi dapat dicapai melalui revitalisasi pertanian, yaitu menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan konstektual tanpa mengesampingkan sektor lainnya. Pertanian harus dilihat tidak hanya sebagai sektor penghasil komoditas untuk konsumsi, tapi juga sektor multi fungsi karena merupakan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan investasi di bidang infrastruktur pokok dan riset pertanian, peningkatan kemampuan petani dan lembaga pendukungnya, perbaikan dan peningkatan pemanfaatan irigasi, peningkatan akses petani terhadap permodalan, informasi teknologi pengolahan, serta perbaikan iklim usaha khususnya di sektor pertanian dan yang berkaitan. Rata-rata lama sekolah berpengaruh signifikan positif terhadap persentase rumah tangga tahan pangan. Berdasarkan nilai elastisitas rata-rata lama sekolah diperoleh hasil bahwa setiap kenaikan rata-rata lama sekolah sebesar 1 persen akan meningkatkan persentase rumah tangga tahan pangan sebesar 1,5613 persen. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas dan output yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan selanjutnya akan menentukan akses untuk mendapatkan pangan. Peningkatan pendidikan juga akan memberikan pengetahuan yang baik terhadap pemenuhan gizi sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia karena adanya peningkatan produktivitas individu. Hal ini sejalan dengan studi Demeke dan
73
Zeller (2010), Abebaw et al (2010) serta Ilham (2006) yang menyatakan bahwa pendidikan berpengaruh positif terhadap peningkatan ketahanan pangan. Akses pangan dipengaruhi oleh jalan dan pasar. Prasarana transportasi yang memadai diperlukan untuk menjamin distribusi bahan pangan dari produsen ke konsumen. Kemudahan distribusi pangan akan meningkatkan kemudahan akses pangan bagi rumah tangga. Panjang jalan dengan kualitas yang baik dan sedang memberikan pengaruh yang signifikan positif terhadap peningkatan persentase rumah tangga yang tahan pangan. Hal ini sesuai dengan penelitian FAO (2010) dan DKP (2009). Jalan yang memadai juga turut membantu kelancaran distribusi barang, sehingga dapat membantu dalam mempercepat bergeraknya roda perekonomian suatu daerah. Nilai elastisitas untuk peubah panjang jalan adalah 0,0376 yang artinya setiap kenaikan panjang jalan sebesar 1 persen, akan meningkatkan persentase ketahanan pangan rumah tangga sebesar 0,0376 persen. Infrastruktur pasar merupakan salah satu akses pangan. Adanya banyak pasar akan memberikan kemudahan bagi rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi dan beragam. Selanjutnya hal ini akan meningkatkan persentase rumah tangga yang tahan pangan. Nilai elastisitas banyaknya pasar adalah sebesar 0,0787 persen yang artinya jika ada peningkatan jumlah pasar sebesar 1 persen maka akan meningkatkan persentase rumah tangga yang tahan pangan sebesar 0,0787 persen. Hal ini sejalan dengan penelitian FAO (2010) yang menyebutkan bahwa infrastruktur pasar merupakan salah satu determinan pencapaian akses pangan yang selanjutnya akan meningkatkan ketahanan pangan. Dari keempat peubah yang signifikan, maka terlihat bahwa peubah ratarata lama sekolah memiliki elastisitas yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa peubah rata-rata lama sekolah merupakan peubah yang paling responsif dalam meningkatkan persentase rumah tangga yang memiliki ketahanan pangan. Kebijakan peningkatan rata-rata lama sekolah dapat menjadi program utama dalam rangka peningkatan ketahanan pangan.
74
5.2 Determinan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Analisis regresi logistik ordinal Dalam menentukan determinan ketahanan pangan rumah tangga, digunakan. Analisis regresi logistik ordinal digunakan untuk memeriksa hubungan antara peubah respon yang biasanya terdiri atas data kualitatif dengan peubah-peubah penjelas yang terdiri dari data kualitatif dan kuantitatif. Regresi Logistik Ordinal dalam penelitian ini melibatkan peubah respon dengan empat kategori dan delapan peubah penjelas. Asumsi Regresi Logistik Ordinal mensyaratkan bahwa peubah penjelas harus bebas dari multikolinieritas. Lampiran 16 menunjukkan bahwa peubah penjelas dalam model Regresi Logistik Ordinal memiliki VIF dibawah 10 sehingga dapat disimpulkan peubah bebas multikolinieritas. Kombinasi pasangan yang diobservasi adalah sebanyak 301.845.235 yang merupakan kombinasi pasangan dari empat status ketahanan pangan rumah tangga. Nilai concordant adalah sebesar 71,6 persen menunjukkan bahwa 71,6 persen pengamatan dengan kategori tahan pangan mempunyai peluang lebih besar pada kategori tahan pangan. Nilai disconcordant sebesar 28 persen menunujukkan 28 persen pengamatan dengan kategori selain tahan pangan mempunyai peluang lebih besar pada kategori tahan pangan. Ties merupakan persentase pengamatan dengan peluang tahan pangan sama dengan tidak tahan pangan yaitu sebesar 0.4 persen. Semakin tinggi nilai concordant maka model semakin baik mengestimasi. Evaluasi model dilakukan dengan melihat likelihood ratio test pada G statistic (Lampiran 17). Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh hasil nilai statistik G sebesar 5628,255 dengan p value sebesar 0,000. Hal ini berarti H0 ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa minimal ada satu peubah yang dapat menjelaskan persentase rumah tangga dengan ketahanan pangan yang baik. Model Regresi Logistik Ordinal yang dibentuk dari 8 peubah penjelas menunjukkan ada satu peubah yang tidak signifikan yaitu jenis kelamin kepala rumah tangga dengan p value 0,9980 (Tabel 12). Hasil ini sejalan dengan studi Mallick dan Rafi (2009) yang meneliti kerawanan pangan di Bangladesh dan menemukan bahwa gender kepala rumah tangga tidak nyata dalam menentukan kerawanan pangan rumah tangga. Adapun tujuh peubah lainnya yaitu daerah,
75
umur, pendidikan, jumlah ART, pendapatan perkapita,
lapangan usaha dan
dummy penerimaan RASKIN signifikan dengan tingkat α tertentu. Correct Classification Rate (CCR) menunjukkan seberapa tepat model dapat memprediksi status ketahanan pangan rumah tangga. CCR dalam penelitian ini adalah sebesar 0,5154. Hal tersebut menunjukkan ketepatan model memprediksi status ketahanan pangan rumah tangga adalah sebesar 51,54 persen. Tabel 12 Hasil estimasi determinan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur Predictor Const(1) Const(2) Const(3) GenderKRT Laki-laki Daerah Perkotaan UmurKRT PendidikanKRT Menengah Tinggi JumlahART Pperkapita Lapangan Usaha Pertanian Raskin Menerima
Coef -1,4805 0,4081 1,4034 0,0001
P value
Odds Ratio
0,0000 *** 0,0000 *** 0,0000 ***
Statistik Uji G G = 5.628,255 P-Value = 0,0000
0,9980
1,0001
-0,2020 0,0036
0,0000 *** 0,0000 ***
0,8171 1,0036
0,0931 0,1319 -0,1507 0,0036
0,0020 0,0730 0,0000 0,0000
*** * *** ***
1,0975 1,1409 0,8601 1,0036
0,1558
0,0000 ***
1,1686
-0,1601
0,0000 ***
0,8521
CCR 0,5154
Sumber : Pengolahan data Keterangan : * nyata pada α 10 persen, ** nyata pada α 5 persen, *** nyata pada α 1
persen Daerah tempat tinggal rumah tangga berpengaruh terhadap peningkatan ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini berbeda dengan studi Garrett dan Ruel (1999) yang menyatakan bahwa determinan kerawanan pangan di desa maupun di kota memiliki persamaan. Dalam penelitian ini terlihat bahwa peluang rumah tangga di perkotaan untuk meningkatkan status ketahanan pangannya hanya 0,8171 kali dibandingkan masyarakat perdesaan. Daerah dengan kategori perdesaan memiliki peluang yang lebih besar dalam meningkatkan ketahanan pangannya dibanding daerah perkotaan. Hal ini disebabkan mayoritas penduduk perkotaan memiliki status ketahanan pangan yang kurang pangan, yaitu rumah tangga dengan kalori yang kurang dari 80
76
persen dari yang dianjurkan namun pangsa pangannya kurang dari 60 persen. Rumah tangga di perkotaan secara ekonomi lebih baik dengan pangsa pangan yang kurang dari 60 persen, namun kecukupan kalorinya masih banyak yang dibawah 80 persen (<1.600 kkal/hari) dari yang dianjurkan. Penelitian ini sejalan dengan studi Nord (2000) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan ketahanan pangan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Biaya hidup di pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan di perkotaan. Hal ini menyebabkan rumah tangga perdesaan memiliki kemudahan dalam akses pangan. Tercapainya akses pangan yang merupakan salah satu determinan ketahanan pangan akan dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Umur kepala rumah tangga signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga. Semakin bertambah umur kepala rumah tangga maka kehidupan lebih mapan dan lebih baik sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan studi Bogale dan Shimelis (2009) yang menunjukkan bahwa semakin matang umur kepala rumah tangga akan semakin meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Berdasarkan odds ratio, kenaikan satu tahun umur kepala rumah tangga akan dapat meningkatkan peluang untuk memperbaiki status ketahanan pangan meskipun relatif kecil yaitu 1,0036 kali dibandingkan sebelumnya. Pendidikan kepala rumah tangga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga secara signifikan. Hal ini sesuai dengan hasil studi Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa pendidikan kepala rumah tangga menentukan ketahanan pangan rumah tangga. Semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga maka ketahanan pangan rumah tangganya akan semakin baik. Nilai odds ratio menunjukkan bahwa pada rumah tangga yang kepala rumah tangganya berpendidikan menengah (SMP dan SMU) akan memiliki peluang ketahanan pangan yang lebih baik sebesar 1,0975 kali dibandingkan pendidikan dasar. Sedangkan rumah tangga dengan pendidikan kepala rumah tangganya tinggi akan memiliki peluang memiliki ketahanan pangan yang lebih baik sebesar 1,1409 kali dibandingkan pendidikan dasar. Hal ini juga sesuai dengan analisis data panel yang menunjukkan rata-rata lama sekolah di suatu sekolah akan meningkatkan ketahanan pangan.
77
Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh secara signifikan negatif terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Bertambahnya satu orang anggota rumah tangga, akan mengurangi peluang rumah tangga mencapai ketahanan pangan akan berkurang menjadi 0,8601 kali dibandingkan jika anggota rumah tangganya tidak bertambah. Kondisi ini sesuai dengan studi Demeke dan Zeller (2010) yang menyatakan jumlah anggota rumah tangga akan menurunkan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Ukuran rumah tangga merupakan peubah yang menentukan distribusi kecukupan pangan dan gizi secara internal. Adanya asumsi kendala anggaran (budget constraint) akan menyebabkan bertambahnya anggota rumah tangga akan menurunkan derajat kecukupan pangan diantara anggota rumah tangga. Hal ini akan menyebabkan potensi rawan pangan akan lebih tinggi terjadi pada rumah tangga yang memiliki jumlah anggota rumah tangga lebih banyak. Pendapatan perkapita yang merupakan proxy dari pengeluaran per kapita merupakan peubah ekonomi yang berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini disebabkan dengan adanya peningkatan pendapatan akan meningkatkan daya beli rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Odds ratio dari pengeluaran perkapita adalah sebesar 1,0036. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan pendapatan perkapita perbulan akan menghasilkan peningkatan peluang rumah tangga tahan pangan dibandingkan sebelumnya. Klasikasi rumah tangga berdasarkan lapangan usaha kepala rumah tangga dibagi menjadi rumah tangga pertanian dan bukan pertanian. Rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian memiliki peluang untuk meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangganya sebesar 1,1686 kali lebih banyak dibandingkan rumah tangga non pertanian. Hal ini dapat dilihat dari persentase sumber konsumsi rumah tangga pertanian yang berasal dari produksi sendiri adalah sebesar 17,22 persen, sedangkan rumah tangga non pertanian hanya 7,38 persen. Kebijakan subsidi terarah (targeted food subsidy) berupa barang masih diperlukan untuk mengurangi beban pengeluaran dalam mencukupi kebutuhan pokok rumah tangga yang rawan, kurang maupun rentan pangan. Program beras
78
keluarga miskin (RASKIN) adalah implementasi kebijakan subsidi pangan terarah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Secara vertikal, program RASKIN akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan ketahanan pangan rumah tangga. Secara horizontal, program RASKIN merupakan bentuk transfer energi yang mendukung program perbaikan gizi, peningkatan kesehatan, peningkatan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Dummy penerimaan RASKIN ternyata berpengaruh signifikan dalam penentuan ketahanan pangan rumah tangga. Nilai odds ratio sebesar 0,8521 menunjukkan bahwa jika ada rumah tangga yang mendapat RASKIN maka peluang dikategorikan tahan pangan berkurang menjadi 0,8521 persen dibandingkan yang tidak mendapatkan RASKIN. Gambar 19 menunjukkan persentase rumah tangga yang menerima raskin berdasarkan
status
ketahanan
pangan
rumah
tangga.
Gambar
tersebut
menunjukkan pada status rawan pangan persentase rumah tangga yang menerima raskin sangat besar yaitu 77 persen. Hal ini mendukung dengan hasil regresi logistic ordinal yang menyatakan bahwa jika ada rumah tangga yang mendapat RASKIN maka peluang dikategorikan tahan pangan berkurang lebih kecil dibandingkan yang tidak mendapat RASKIN. 90 80 P e r s e n
77,20
77,18
70 60
54,46
49,49 50,51
50
45,54
40 30
Menerima Tidak
22,80
22,82
20 10 0 Rawan
Kurang
Rentan
Tahan
Status Ketahanan Pangan
Gambar 19 Alokasi RASKIN berdasarkan status ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka sesuai dengan tujuan penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Pola konsumsi rumah tangga masih didominasi oleh beras, sedangkan bahan pangan sumber kalori lainnya masih kecil. 2. Secara umum persentase rumah tangga tahan pangan di kabupaten/kota mengalami peningkatan dari tahun ke tahun menuju suatu kondisi yang konvergen dan membaik. Namun di sisi lain, kerawanan pangan juga masih merupakan kondisi yang tidak dapat dihindarkan terutama di wilayah kepulauan. 3. Ketahanan pangan regional dipengaruhi oleh produksi padi, rata-rata lama sekolah, banyaknya pasar dan panjang jalan dengan kualitas baik dan sedang. Tingkat pendidikan yang tercermin dari rata-rata lama sekolah merupakan peubah yang memiliki elastisitas paling besar dalam meningkatkan ketahanan pangan. 4. Ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh daerah (perkotaan /perdesaan), pendidikan kepala rumah tangga, umur kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga usia produktif, lapangan usaha kepala rumah tangga dan dummy penerimaan RASKIN.
6.2 Saran Berdasarkan hasil analisis serta kesimpulan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut : 1. Peningkatan diversifikasi pangan melalui sosialisasi kepada masyarakat agar dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang pentingnya pangan beragam, bergizi dan berimbang. Hal ini perlu dilakukan karena pola konsumsi masyarakat masih didominasi beras, sedangkan sumber kalori lainnya masih belum dikonsumsi secara seimbang. 2. Peningkatan rata-rata lama sekolah harus menjadi program utama karena ratarata lama sekolah di Jawa Timur baru mencapai 6,95 tahun. Elastisitas rata-rata
80
lama sekolah paling besar memengaruhi ketahanan pangan sehingga program wajib belajar 9 tahun perlu diwujudkan. Bukti empiris menunjukkan semakin lama rata-rata lama sekolah maka jumlah rumah tangga rawan pangan akan semakin berkurang. 3. Peningkatan produksi padi perlu dilakukan, mengingat komoditi padi masih merupakan kebutuhan utama bagi masyarakat Jawa Timur. Peningkatan ini dapat dilakukan melalui revitalisasi pertanian yaitu menempatkan kembali arti penting sektor pertanian melalui peningkatan kinerja sektor pertanian yang dapat dicapai melalui riset dan pengembangan di bidang pertanian. 4. Pemerintah baik pusat maupun daerah hedaknya mengalokasikan anggaran belanja untuk pembangunan infrastruktur jalan dan pasar sehingga dapat meningkatkan kemudahan dalam akses pangan. 5. Pemerintah daerah hendaknya kembali menggalakkan program keluarga berencana untuk mengurangi pertambahan jumlah penduduk yang semakin besar dan penerapan standar umur minimal pernikahan.
6.3 Saran Penelitian Lanjutan 1. Perluasan cakupan penelitian tentang ketahanan pangan perlu dilakukan sehingga dapat memiliki gambaran tentang kondisi ketahanan pangan di Indonesia khususnya wilayah kepulauan yang masih banyak terdeteksi rawan pangan. 2. Klasifikasi status ketahanan pangan rumah tangga pada penelitian ini baru memasukkan kecukupan kalori bagi tiap penduduk. Untuk selanjutnya dapat memasukkan variabel lain seperti protein baik hewani maupun nabati agar ketahanan pangan tidak hanya berorientasi kepada kebutuhan kalori tetapi juga zat gizi lainnya
DAFTAR PUSTAKA Abebaw D, Fentie Y, Kassa B. 2010. The impact of a food security program on household food consumption in Northwestern Ethiopia : A matching estimator approach. Food Policy 35: 286-293. Ariani M. 2004. Analisis Perkembangan Konsumsi Pangan dan Gizi. Bogor : ICASERD Working Paper No. 67. Arifin B. 2005. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta: Pustaka LP3ES. Ariningsih E, Rachman HPS. 2008. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6 (3) : 239-255. As-syakur. 2006. Modul Pengenalan Arc View untuk Dasar Analisis Sistem Informasi Geografi. Denpasar. Azwar A. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Dalam: Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”. BPS, Departemen Kesehatan, Badan POM, Bappenas, Departemen Pertanian dan Ristek, Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi. Jakarta : BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi. Jakarta : BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Jawa Timur Dalam Angka 2008. Surabaya : BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Produk Domestik Regional Bruto 2009. Jakarta : BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Tanaman Pangan. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Data dan Informasi Kemiskinan. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik 2002-2009. Data dan Informasi Kemiskinan. Jakarta: BPS. [Bulog] Badan Urusan Logistik. 1997. 30 Tahun Peran Bulog dalam Ketahanan Pangan. Jakarta: Bulog.
82
Baltagi BH. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data 3rd Edition. Chicester: John Wiley & Sons. Ltd. Bogale A, Shimelis A. 2009. Household Level Determinants of Food Insecurity in Rural Areas of Dire Dawa, Eastern Ethiopia. African Journal of Food Agriculture Nutrition and Development 9 : 1914-1926. Braun JV. 1995. Employment for Poverty Reduction and Food Security. Washington DC: International Food Policy Research Institute. Deaton A, Muellbauer J. 1980a. Economics and Consumer Behaviour. Cambridge University Press. Deaton A, Muellbauer J.1980b. An Almost Ideal Demand System. The American Economic Review 70(3) : 312-326. Demeke AB, Zeller M. 2010. Impact of Rainfall Shock on Smallholders Food Security and Vulnerability in Rural Ethiopia : Learning from Household Panel Data. http :// Econpapers.repec.org/paper/agsuhohdp. [16 Desember 2010]. Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Panduan Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan-BKP Deptan. Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Peta Analisis Akses Pangan Pedesaan. Jakarta: Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan- BKP Deptan. Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan- BKP Deptan. Dewan Ketahanan Pangan. 2005. Peta Kerawanan Pangan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan- BKP Deptan. Drukker DM. 2003. Testing for Serial Correlation in Linear Panel-Data Models. The Stata Journal 3 (2) : 168-177. FAO, 1996. Food Security; Some Macroeconomic Dimensions The State of Food and Agriculture. Rome : FAO. FAO. 2010. Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Systems, FAO-FIVIMS. http://www.fivims.org/ [16 Desember 2010] Garrett JL, Ruel MT. 1999. Are Determinants of Rural and Urban Food Security and Nutritional Status Different? Some Insights from Mozambique. World Development 27:1955-1975 Greene WH. 2002. Econometric Analysis. New Jersey : Prentice Hall.
83
Hardono SG, Kariyasa IK. 2006. Ketahanan Pangan dan Pembangunan Masyarakat dalam Kerangka Desentralisasi : Kasus Jawa Timur. Jakarta : Kerjasama Biro Penelitian Biro Perencanaan, Departemen Pertanian dan UNESCAP-CAPSA. Hishamunda N, Ridler NB. 2006. Farming fish for profits: A small step towardsfood security in sub-Saharan Africa. Food Policy 31 : 401–414. Hosmer DW, Lemeshow S. 2000. Applied Logistic Regression. Canada : John Wiley and Sons, Inc. Ilham N, Sinaga BM. 2007. Pengggunaan Pangsa Pengeluaran Pangan Sebagai Indikator Ketahanan Pangan. Jurnal Sosial Ekonomi dan Agribisnis 7 (3): 269-277. Ilham N. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan dan Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro. [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Irawan B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro Ekonomi 20 (1): 25-47. Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor : IPB Press. Kahar M. 2010. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan di Provinsi Banten. [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Makrifah SA. 2010. Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur. [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mallick D, Rafi M. 2010. Are Female-Headed Households More Food Insecure? Evidence from Bangladesh. World Development 38 : 593-605. Mas-Colell A. 1995. Microeconomic Theory. Oxford University Press, Inc. Moeloek F.A. 1999. Gizi Sebagai Basis Pengembangan Sumber daya Manusia Menuju Indonesia Sehat 2000. Dalam Pengembangan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal. Jakarta : Persatuan Peminat Pangan dan Gizi dan Center for Regional Resources Development and Community Empowerment. Maxwell S and Frankenberger TR., 1992. Household Food Security : Concepts, Indicators, Measurements A technical Review. Newyork : UNICEF and IFAD.
84
Maxwell D et al. 2000. Urban Livelihoods and Food and Nutrition Security, in Greater Accra Ghana. Research Report No. 112. Washington DC : IFPRI. Nicholson W. 1995. Teori Mikroekonomi : Prinsip Dasar dan Perluasan. Jakarta: Binarupa Aksara. Nicholson W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga. Nord M. 2000. Does It Cost Less to Live in Rural Areas? Evidence from New Data on Food Security and Hunger. Rural Sociology 65 : 104-125. Rachman HPS. 2004. Indikator Penentu, Karakteristik, dan Kelembagaan Jaringan Deteksi Dini Tentang Kerawanan Pangan. ICASERD WORKING PAPER No. 46. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Rindayati W. 2009. Dampak desentralisasi fiscal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di wilayah Provinsi Jawa Barat. [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saliem HP, Lokollo EM, Ariani M, Purwantini TB, Marisa Y. 2001. Analisis ketahanan pangan tingkat rumah tangga dan regional. Laporan hasil penelitian. Bogor : Pusat Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Saliem HP et al. 2005. Analisis Diversifikasi Usaha Rumah Tangga dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan Kemiskinan. Laporan hasil penelitian. Bogor : Pusat Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Sen AK. 1981. Poverty and Famines : An Essay on Entletements and Deprivation Basil Blackwell, Oxford. Simatupang P. 1999. Toward Sustainable Food Security : The need for new paradigm. Makalah disampaikan dalam Seminar on Agricultural Sector During the Turbulence of Economic Crisis : Lessons and Future Directions. Bogor : CASER, AARD. Simatupang P., Fleming, E. 2000. Policy Priorities to Improve Nutritional Status and Food Security in Southwest Pacific Island Countries. Di dalam : Food Security in Southwest Pacific Island Countries. Proceeding of a workshop held in Sydney, Australia. 12-13 Desember 2000. Bogor : CGPRT Centre. Hlm : 123-144. Siregar H. 2009. Makro-Mikro Pembangunan : Kumpulan Makalah dan Esai. Bogor : IPB Press.
85
Soehardjo LJ, Harper BJ, Deaton dan Driskel JA. 1986. Pertanian. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Pangan, Gizi dan
Stiglitz JE. 2000. Economics of the Public Sektor. Third Ed. New York : W.W. Norton & Company. Sudiman H. 2008. Tantangan Litbang Lintas Disiplin dalam Penanggulangan Masalah Kemiskinan, Kelaparan dan Gizi Kurang di Indonesia. Di Dalam : Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Gizi Masyarakat. Jakarta, 15 Jan 2008. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. hlm 1-59. Sulaeman Y. 2005. Mudah Belajar Arc View GIS 3.x Petunjuk Praktis Untuk Pemula. Bogor : Balai Penelitian Tanah Puslitbang Tanah dan Agroklimat Departemen Pertanian. Tiawon H, Nugroho BA, Mustadjab MM. 2008. Kajian Pola Konsumsi Pangan di Kalimantan Tengah dalam upaya Peningkatan Ketahanan Pangan. Agritek 16 : 2036-2053. Todaro MP. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1 dan 2 edisi ke-9. Jakarta : Erlangga.
LAMPIRAN
88
Halaman ini sengaja dikosongkan
Lampiran 1 Rata-rata konsumsi kalori perkapita di Provinsi Jawa Timur (kkal) Kabupaten/Kota
2002
2005
2008
1.943,53 1.980,44 1.948,95 1.919,68 1.821,17 2.090,38 1.830,55 1.968,48 1.874,24 1.994,25 1.766,02 1.733,80 2.158,68 2.027,17 2.277,71 2.039,01 1.976,91 2.121,19 1.878,08 2.239,17 2.105,40 1.893,48 1.675,37 1.626,85 1.970,75 1.554,48 2.200,36 2.057,21 1.692,30
2.162,09 1.760,68 2.193,79 2.259,84 1.839,15 1.753,16 1.910,06 2.049,73 1.797,71 1.949,85 1.835,40
1918,07 2015,83 1954,58 1918,83 1894,85 1706,23 1819,7 1890,7 1966,32 1908,2 2018,71
1.751,19 2.066,38 2.046,59 2.070,88 1.958,71 2.071,43 1.931,59 1.982,24 1.877,10 1.874,28 2.094,05 1.962,53 2.183,98 2.122,09 1.960,60 2.152,11 2.121,88 1.742,72
2022,84 1953,27 1905,59 1975,86 2009,39 1925,56 1942,23 1917,07 1728,86 1975,39 1933,96 1999,59 1942,51 1858,88 2069,69 1979,6 1779,4 1848,81
1.830,47 2.030,27 1.825,95 1.400,89 1.282,74 2.185,00 1.572,32 1.757,94 2.336,86
2.341,73 2.069,89 2.103,91 1.997,11 2.502,87 2.313,49 2.626,28 2.068,29 2.486,02
1.805,01 1.641,72 1.924,92 1.920,92 1.847,48 1.883,93 1.687,09 1.817,31 2.009,54
1920,83
1.995,08
1.908,35
234,61
211,16
99,13
Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jawa Timur Standar Deviasi Sumber : BPS, diolah
90
Lampiran 2. Rata-rata konsumsi protein perkapita di Provinsi Jawa Timur (gram) Kabupaten/Kota
2002
2005
2008
50,99 48,34 46,80 50,83 46,54 55,89 49,18 53,29 49,05 53,68 49,83 49,97 60,23 55,83 68,12 57,33 55,57 58,80 51,47 61,60 58,04 48,13 48,36 48,50 60,30 44,61 61,18 52,86 49,28
56,04 46,64 57,02 62,50 48,21 46,84 52,19 56,69 49,68 55,27 48,91 51,15 57,83 57,25 58,93 53,77 58,58 55,48 58,97 51,89 53,55 55,61 55,93 65,78 61,96 60,29 65,47 56,59 51,34
46,99 51,30 49,90 53,12 50,15 45,58 50,62 52,79 56,29 53,98 57,02 56,36 53,55 54,81 59,55 56,74 54,90 55,25 54,17 47,47 54,65 51,01 58,63 58,54 55,21 62,38 58,56 50,25 54,94
52,00 55,88 52,19 41,69 33,41 68,84 43,34 52,47 62,68 53,12 7,07
65,03 58,89 64,32 57,80 71,84 71,68 83,74 65,58 79,46 56,71 8,26
56,10 46,44 60,96 56,06 55,19 60,56 49,95 57,17 56,05 54,49 4,10
Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jawa Timur Standar Deviasi Sumber : BPS, diolah
91
Lampiran 3 Produksi padi di Provinsi Jawa Timur (ton) Kabupaten/Kota 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jawa Timur
Sumber : BPS
2002
2005
2008
108.504 318.725 120.082 210.255 216.720 300.564 313.793 313.519 688.123 611.074 266.012 145.575 229.728 406.479 169.832 239.871 335.169 354.266 315.106 186.104 513.618 487.027 392.087 637.867 295.957 181.229 150.495 92.377 117.809
129.077 322.379 108.673 230.247 223.030 324.681 334.838 348.569 703.948 583.016 250.883 179.005 245.017 432.846 154.226 243.737 331.477 385.690 333.342 203.109 523.888 536.651 386.922 643.582 265.420 178.364 117.601 75.610 130.283
137.903 398.225 136.704 261.908 255.273 304.154 416.396 375.280 775.613 644.809 286.984
9.122 7.919 12.381 8.335 16.704 4.758 13.640 9.383 3.668
7.803 6.538 13.897 9.517 14.807 4.379 12.842 6.064 5.307
9.435 10.257 9.953 8.095 15.409 4.474 12.897 8.149 6.766
8.803.877
9.007.265
10.474.773
201.898 253.615 487.554 175.867 288.246 409.156 437.901 398.644 222.836 592.565 693.972 434.454 798.703 301.649 221.891 197.639 126.000 153.499
92
Lampiran 4 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Provinsi Jawa Timur (milyar rupiah) Kabupaten/Kota Kabupaten 1 Pacitan 2 Ponorogo 3 Trenggalek 4 Tulungagung 5 Blitar 6 Kediri 7 Malang 8 Lumajang 9 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jawa Timur
Sumber : BPS
2002
2005
2008
1.098,75 2.398,27 1.641,87 5.254,64 3.943,79 5.128,94 10.207,40 4.451,40 7.627,51 7.757,06 1.621,85 2.487,71 4.752,48 4.651,21 18.556,36 4.296,06 4.363,33 3.379,39 1.982,86 2.298,03 2.209,80 4.171,29 4.437,07 3.484,43 10.192,35 2.478,66 1.978,77 1.491,22 4.041,40
1.213,21 2.716,92 1.838,30 6.224,24 4.608,46 5.762,97 11.745,92 5.119,74 8.863,66 9.025,14 1.849,07 2.901,35 5.450,39 5.413,65 22.179,37 5.070,70 5.077,85 3.956,46 2.223,88 2.615,43 2.491,45 5.140,70 5.161,45 4.050,60 12.480,72 2.800,02 2.211,69 1.686,59 4.376,95
1.404,49 3.193,23 2.133,86 7.390,77 5.421,60 6.623,72 13.881,46 5.962,35 10.537,80 10.708,54 2.166,93 3.384,32 6.432,25 6.471,47 25.939,21 5.932,22 6.028,39 4.717,98 2.538,01 3.037,48 2.904,62 7.255,78 6.281,09 4.792,96 15.230,90 3.213,34 2.519,79 1.944,62 4.942,90
17.342,75 505,27 9.071,28 1.346,59 736,74 849,02 766,84 54.466,39 862,35
19.595,33 602,35 10.807,03 1.577,10 878,15 1.020,06 891,36 65.711,57 1.048,89
22.252,06 721,07 12.865,26 1.895,93 1.046,95 1.201,61 1.059,30 79.495,17 1.269,49
218.452,28
256.374,93
304.798,97
93
Lampiran 5 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Provinsi Jawa Timur (milyar rupiah) Kabupaten/Kota Kabupaten 1 Pacitan 2 Ponorogo 3 Trenggalek 4 Tulungagung 5 Blitar 6 Kediri 7 Malang 8 Lumajang 9 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jawa Timur
Sumber : BPS
2002
2005
2008
1.342,80 2.884,98 1.794,87 6.376,54 4.838,19 5.859,48 12.064,33 5.176,08 9.302,96 9.090,62 2.053,08 3.192,35 5.635,91 5.936,97 21.923,30 5.208,22 5.424,75 3.897,53 2.488,85 2.797,68 2.772,81 5.117,93 5.557,79 3.872,59 12.756,77 2.947,04 2.369,50 1.926,69 5.176,82
1.880,23 4.030,61 2.457,42 9.318,98 7.280,11 8.531,19 17.582,35 7.899,31 13.639,30 13.146,36 2.923,75 4.761,40 8.458,97 8.729,93 35.224,13 8.071,62 7.895,21 5.891,28 3.492,41 4.091,76 3.988,33 7.771,65 8.250,93 5.700,15 19.720,86 4.385,65 3.402,77 2.796,11 6.897,87
2.820,39 6.121,13 3.758,03 14.327,16 11.269,92 12.875,44 27.598,17 11.978,62 20.959,27 20.288,27 4.459,42 7.282,68 13.022,06 13.531,05 52.172,60 12.330,00 12.236,94 9.119,60 5.135,92 6.167,40 6.088,29 13.821,52 13.183,01 8.750,09 31.297,33 6.487,22 5.047,40 4.262,72 10.130,74
23.984,72 591,09 10.864,85 1.719,63 923,83 1.038,47 991,89 68.375,00 1.035,62
34.852,72 861,47 16.627,07 2.591,39 1.404,00 1.591,00 1.463,37 104.361,35 1.643,89
51.318,35 1.329,00 25.548,07 4.055,42 2.227,83 2.435,46 2.312,83 163.277,10 2.555,50
267.157,72
403.392,35
621.581,96
94
Lampiran 6 Rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Timur (tahun) Kabupaten/Kota Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jawa Timur Sumber : BPS
2002
2005
2008
6,00 5,70 6,30 6,60 6,20 6,60 6,40 5,60 5,50 6,00 4,70 4,50 4,90 6,10 9,40 6,60 7,10 6,50 6,40 7,10 5,70 5,50 5,20 6,30 7,40 5,00 2,90 5,30 4,10
6,12 6,16 6,66 7,09 6,45 6,64 6,68 5,91 5,55 6,40 5,22 5,24 5,08 6,41 9,53 7,20 7,39 6,80 6,55 7,20 6,06 6,05 5,64 6,70 8,08 5,01 3,58 5,52 4,88
6,63 6,46 7,05 7,50 7,09 7,45 6,66 5,90 6,29 6,68 5,20
9,30 9,00 10,00 7,20 8,10 9,60 9,90 9,80 6,40
9,17 9,27 9,41 7,98 8,50 9,35 9,95 9,71 8,00
9,66 9,55 10,80 8,29 8,74 9,66 10,17 9,84 8,20
6,50
6,76
6,95
5,68 5,00 6,16 9,49 7,67 7,48 6,83 6,72 7,41 6,14 6,39 6,09 6,76 8,40 5,00 3,77 5,72 5,01
95
Lampiran 7. Panjang jalan kualitas baik dan sedang di Provinsi Jawa Timur Kabupaten/Kota
2002
2005
2008
01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
401,00 597,00 621,00 1.143,00 1.058,00 1.521,00 962,00 983,00 1.139,00 1.227,00 843,00 648,00 626,00 1.239,00 681,00 583,00 633,00 800,00 774,00 236,00 259,00 368,00 720,00 322,00 432,00 530,00 509,00 506,00 1.472,00
401,00 587,00 621,00 119,00 1.059,00 1.554,00 1.017,00 983,00 1.519,00 1.382,00 856,00 648,00 644,00 1.519,00 617,00 561,00 693,00 894,00 796,00 260,00 373,00 398,00 726,00 330,00 432,00 530,00 509,00 506,00 1.472,00
490,00 664,14 500,00 1.090,00 4.149,00 466,98 1.257,52 1008 1.556,00 1.539,00 524,00 895,00 805,23 1.480,13 764,00 775,97 395,00 1.123,00 600,00 408,00 494,00 467,00 726,00 293,00 407,00 573,00 532,00 385,00 1.508,71
146,00 225,00 758,00 163,00 80,00 91,00 250,00 202,00 108,00
155,00 225,00 758,00 157,00 83,00 91,00 250,00 202,00 108,00
297,00 234,00 1.330,83 158,00 84,00 115,00 306,00 1.856,00 298,00
25.858,00
26.040,00
32.563,51
Jawa Timur Sumber : BPS
96
Lampiran 8 Jumlah pasar di Provinsi Jawa Timur Kabupaten/Kota 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jawa Timur
2002
2005
2008
97 107 99 99 95 87 138 59 144 147 42 44 72 58 71 29 53 65 70 83 105 121 112 131 74 99 76 70 157
122 108 118 85 103 75 157 70 150 177 48 43 62 50 65 40 54 71 68 99 111 110 119 141 80 112 86 67 178
131 122 123 90 99 82 168 62 148 242 42 40 88 56 109 29 52 65 74 111 119 102 143 153 108 132 127 83 173
18 6 48 18 11 6 17 151 6
21 6 68 20 11 5 17 181 12
26 6 73 19 17 7 17 175 7
2.885
3.110
3.420
Sumber : PODES 2002,2005 dan 2008
97
Lampiran 9 Persentase rumah tangga tahan pangan di Provinsi Jawa Timur Kabupaten/Kota
2002
2005
2008
17,60 20,18 17,72 30,80 23,23 28,49 25,38 18,58 19,11 27,63 13,23 12,58 23,16 19,41 30,16 26,13 20,43 14,92 11,39 38,99 22,27 22,38 10,09 18,70 18,92 25,81 6,88 22,01 11,79
32,03 32,29 32,28 60,85 39,31 37,03 36,01 27,27 34,83 40,73 14,04 17,31 30,20 29,65 44,07 38,25 32,62 25,00 39,74 34,18 26,29 33,57 19,84 48,42 45,97 22,22 6,81 17,75 15,38
27,78 34,82 32,52 51,11 41,38 34,34 36,90 33,46 33,10 43,14 22,48 24,11 33,54 30,42 48,70 37,20 33,21 34,97 35,61 34,33 27,21 35,07 30,84 40,58 42,56 19,37 12,35 18,72 18,38
34,92 40,63 55,68 21,88 10,00 25,00 65,63 37,20 34,38 23,65
27,63 50,00 44,32 53,19 43,48 43,75 52,08 64,20 53,19 35,90
47,30 43,99 58,63 48,19 35,61 46,74 47,54 52,06 47,61 36,30
Standar Deviasi 12,01 Sumber : Susenas 2002,2005,2008 diolah
13,15
10,46
Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jawa Timur
98
Lampiran 10 Persentase rumah tangga rentan pangan di Provinsi Jawa Timur Kabupaten/Kota
2002
2005
2008
64,00 40,37 60,13 48,21 44,09 45,43 41,98 49,01 52,14 46,21 58,20 69,81 49,12 56,38 49,89 54,05 54,84 58,47 64,56 38,99 63,18 53,85 62,84 58,94 57,21 40,65 58,20 59,75 67,07
53,91 42,71 50,00 25,11 35,11 38,29 29,41 51,08 35,81 37,34 60,23 51,28 47,45 48,26 29,38 42,40 33,33 50,44 35,10 41,77 50,52 47,55 55,47 40,35 28,63 47,09 68,59 53,85 47,37
49,43 44,68 48,03 28,50 33,46 32,83 29,83 43,73 43,52 37,58 61,57 55,75 45,85 46,74 30,84 46,44 48,48 45,71 41,61 36,19 52,05 43,81 43,79 41,83 28,06 57,28 58,02 50,27 51,63
34,92 34,38 26,49 50,00 40,00 59,38 25,00 26,39 43,75 49,92
25,00 12,50 19,46 17,02 15,22 21,88 37,50 9,52 38,30 38,51
16,83 16,93 11,37 24,02 32,11 21,87 16,38 16,19 33,84 38,73
11,55
13,93
13,14
Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jawa Timur Standar Deviasi
Sumber : Susenas 2002,2005,2008 diolah
99
Lampiran 11 Persentase rumah tangga kurang pangan di Provinsi Jawa Timur Kabupaten/Kota
2002
2005
2008
0,80 16,06 3,80 7,59 11,81 9,68 10,88 8,30 9,64 13,94 8,47 0,00 10,18 4,79 11,11 4,95 10,04 6,05 6,96 2,52 6,36 9,09 5,96 6,50 6,31 5,16 4,23 9,43 10,57
7,81 14,06 7,59 9,79 13,74 16,46 22,10 9,09 14,48 14,36 5,26 5,77 13,33 11,34 16,75 9,22 17,20 12,28 18,54 10,13 6,70 6,99 8,10 7,02 14,11 7,41 2,09 10,06 10,93
9,40 13,27 9,66 12,68 14,21 16,82 19,33 10,14 10,12 10,57 6,67 6,30 11,31 8,97 12,34 8,31 8,97 9,22 8,73 16,02 6,21 10,92 11,21 9,55 22,13 8,52 5,21 7,38 8,22
22,22 12,50 14,59 6,25 23,33 3,13 3,13 23,37 12,50 9,77
39,47 31,25 22,16 21,28 30,43 15,63 8,33 22,17 6,38 13,55
26,03 27,22 24,79 22,92 19,87 21,87 25,60 23,06 10,85 13,33
5,57
7,90
6,49
Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jawa Timur Standar Deviasi
Sumber : Susenas 2002,2005,2008 diolah
100
Lampiran 12 Persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur Kabupaten/Kota
2002
2005
2008
17,60 23,39 18,35 13,39 20,87 16,40 21,76 24,11 19,11 12,22 20,11 17,61 17,54 19,41 8,84 14,86 14,70 20,56 17,09 19,50 8,18 14,69 21,10 15,85 17,57 28,39 30,69 8,81 10,57
6,25 10,94 10,13 4,26 11,83 8,23 12,48 12,55 14,87 7,57 20,47 25,64 9,02 10,76 9,79 10,14 16,85 12,28 6,62 13,92 16,49 11,89 16,60 4,21 11,29 23,28 22,51 18,34 26,32
13,39 7,23 9,80 7,71 10,94 16,01 13,94 12,67 13,26 8,71 9,28 13,84 9,30 13,87 8,12 8,05 9,33 10,10 14,05 13,45 14,53 10,19 14,15 8,04 7,25 14,84 24,42 23,63 21,77
7,94 12,50 3,24 21,88 26,67 12,50 6,25 13,04 9,38 16,66
7,89 6,25 14,05 8,51 10,87 18,75 2,08 4,11 2,13 12,04
9,84 11,87 5,21 4,87 12,40 9,52 10,49 8,69 7,70 11,63
6,19
6,22
4,45
Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jawa Timur Standar Deviasi
Sumber : Susenas 2002,2005,2008 diolah
101
Lampiran 13 Pengelompokan persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur Kabupaten/Kota
Perbandingan 2002 dan 2005
Perbandingan 2005 dan 2008
2 1 1 1 2 2 2 2 2 1 1 2 1 2 1 1 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2 3 3 3
Membaik Membaik Tetap Membaik Membaik Membaik Membaik Membaik Tetap Membaik Tetap Memburuk Membaik Tetap Tetap Tetap Tetap Membaik Membaik Tetap Memburuk Tetap Membaik Membaik Tetap Tetap Tetap Memburuk Memburuk
Memburuk Membaik Membaik Tetap Tetap Memburuk Tetap Tetap Tetap Tetap Membaik Membaik Tetap Tetap Tetap Membaik Membaik Tetap Memburuk Tetap Tetap Tetap Tetap Tetap Membaik Membaik Tetap Memburuk Tetap
1 2 1 1 2 1 2 1 1
Tetap Membaik Memburuk Membaik Membaik Tetap Tetap Membaik Tetap
Tetap Memburuk Membaik Tetap Tetap Membaik Memburuk Tetap Tetap
2002
2005
2008
2 3 2 2 3 2 3 3 2 2 3 2 2 2 1 2 2 3 2 2 1 2 3 2 2 3 3 1 2
1 2 2 1 2 1 2 2 2 1 3 3 1 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 3 3 2 3
1 2 1 3 3 2 1 2 1
1 1 2 1 2 2 1 1 1
Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu
Keterangan :
1. rumah tangga rawan pangan < 10 persen 2. rumah tangga rawan pangan 10 persen – 20 persen 3. rumah tangga rawan pangan > 20 persen
102
Lampiran 14 Persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur Kabupaten/Kota
2002
2005
2008
30,65 31,18 24,39 18,65 19,26 17,83 18,97 21,45 22,04 17,00 39,00 26,59 26,43 20,31 6,20 15,55 24,26 25,96 22,91 22,64 20,05 27,96 23,42 21,41 14,13 18,66 44,56 19,47 20,73
24,25 17,60 23,17 17,56 16,11 17,64 16,17 18,95 18,55 15,58 24,31 18,51 26,08 20,16 14,02 16,00 24,07 23,35 21,32 17,12 23,43 27,12 28,28 23,13 22,95 32,81 39,68 32,46 32,50
21,03 16,80 20,56 16,45 14,67 19,15 15,06 18,23 18,01 13,99 22,14 14,12 25,49 18,83 14,34 14,50 20,65 22,39 18,69 15,84 21,02 23,89 25,91 22,88 21,95 27,88 34,72 28,48 29,28
17,04 15,45 9,25 14,84 10,38 14,73 10,55 11,11 11,07 20,34 7,81
13,62 11,67 7,20 17,98 12,43 10,70 9,11 7,35 9,85 19,95 7,46
12,92 11,90 6,78 15,10 13,29 11,12 7,38 8,23 9,48 18,20 6,38
Kabupaten 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Jawa Timur Standar Deviasi Sumber : BPS
103
Lampiran 15 Pengolahan regresi data panel untuk estimasi ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur . xtreg tahan prod pdrbkonstan inflasi tpt rls kualitasjalan pasar, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: kab
Number of obs Number of groups
= =
114 38
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
3 3.0 3
within = 0.4796 between = 0.6410 overall = 0.5007
corr(u_i, Xb)
= -0.9433
F(7,69) Prob > F
= =
9.09 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------tahan | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------prod | .0000481 .0000296 1.63 0.108 -.0000109 .0001071 pdrbkonstan | .0009297 .0004224 2.20 0.031 .0000871 .0017724 inflasi | .3965612 .269139 1.47 0.145 -.1403563 .9334788 tpt | 1.0917 .5249762 2.08 0.041 .044401 2.138999 rls | 15.12259 2.57796 5.87 0.000 9.979705 20.26548 kualitasja~n | -.0027704 .0024348 -1.14 0.259 -.0076277 .0020869 pasar | .0336765 .0692878 0.49 0.628 -.1045488 .1719018 _cons | -105.1402 20.35058 -5.17 0.000 -145.7385 -64.54195 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 22.2612 sigma_e | 7.1244037 rho | .90709236 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(37, 69) = 2.26 Prob > F = 0.0017
HASIL CHOW TEST MENUNJUKKAN TERIMA H0, SHG FIXED BETTER THAN POOLED OLS . est sto fixed . xtreg tahan prod pdrbkonstan inflasi tpt rls kualitasjalan pasar, re Random-effects GLS regression Group variable: kab
Number of obs Number of groups
= =
114 38
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
3 3.0 3
within = 0.3448 between = 0.7614 overall = 0.5950
Random effects u_i ~ Gaussian corr(u_i, X) = 0 (assumed)
Wald chi2(7) Prob > chi2
= =
116.40 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------tahan | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------prod | 6.49e-06 6.38e-06 1.02 0.309 -6.02e-06 .000019 pdrbkonstan | -.0000699 .0001198 -0.58 0.559 -.0003047 .0001648 inflasi | .0978312 .2675091 0.37 0.715 -.426477 .6221394 tpt | -.2784483 .3276446 -0.85 0.395 -.92062 .3637233 rls | 7.534311 .8559454 8.80 0.000 5.856689 9.211934 kualitasja~n | .0007906 .0018095 0.44 0.662 -.002756 .0043372 pasar | .0441097 .0291653 1.51 0.130 -.0130533 .1012726 _cons | -24.16842 7.92282 -3.05 0.002 -39.69686 -8.639981 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 3.8918204 sigma_e | 7.1244037 rho | .22982528 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------. hausman fixed Note: the rank of the differenced variance matrix (6) does not equal the number of coefficients being tested (7); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.
104
---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) | fixed . Difference S.E. -------------+---------------------------------------------------------------prod | .0000481 6.49e-06 .0000416 .0000289 pdrbkonstan | .0009297 -.0000699 .0009997 .000405 inflasi | .3965612 .0978312 .2987301 .0295748 tpt | 1.0917 -.2784483 1.370148 .4101817 rls | 15.12259 7.534311 7.588283 2.431714 kualitasja~n | -.0027704 .0007906 -.003561 .0016291 pasar | .0336765 .0441097 -.0104332 .0628504 -----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(6) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 22.66 Prob>chi2 = 0.0009 (V_b-V_B is not positive definite)
HAUSMAN TEST MENUNJUKKAN TOLAK H0, SHG FIXED BETTER THAN RANDOM . xttest0 Breusch and Pagan Lagrangian multiplier test for random effects tahan[kab,t] = Xb + u[kab] + e[kab,t] Estimated results: | Var sd = sqrt(Var) ---------+----------------------------tahan | 169.4804 13.01846 e | 50.75713 7.124404 u | 15.14627 3.89182 Test:
Var(u) = 0 chi2(1) = Prob > chi2 =
0.58 0.4483
. xtreg tahan prod pdrbkonstan inflasi tpt rls kualitasjalan pasar, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: kab
Number of obs Number of groups
= =
114 38
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
3 3.0 3
within = 0.4796 between = 0.6410 overall = 0.5007
corr(u_i, Xb)
= -0.9433
F(7,69) Prob > F
= =
9.09 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------tahan | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------prod | .0000481 .0000296 1.63 0.108 -.0000109 .0001071 pdrbkonstan | .0009297 .0004224 2.20 0.031 .0000871 .0017724 inflasi | .3965612 .269139 1.47 0.145 -.1403563 .9334788 tpt | 1.0917 .5249762 2.08 0.041 .044401 2.138999 rls | 15.12259 2.57796 5.87 0.000 9.979705 20.26548 kualitasja~n | -.0027704 .0024348 -1.14 0.259 -.0076277 .0020869 pasar | .0336765 .0692878 0.49 0.628 -.1045488 .1719018 _cons | -105.1402 20.35058 -5.17 0.000 -145.7385 -64.54195 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 22.2612 sigma_e | 7.1244037 rho | .90709236 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(37, 69) = 2.26 Prob > F = 0.0017 . xttest3 Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i chi2 (38) = Prob>chi2 =
6314.83 0.0000
MODIFIED WALD TEST MENUNJUKKAN TOLAK HO, SHG TERDAPAT HETEROSKEDASTIS DL DATA.
105
. xtserial tahan prod pdrbkonstan inflasi tpt rls kualitasjalan pasar, output Linear regression
Number of obs = F( 7, 37) = Prob > F = R-squared = Root MSE =
76 13.85 0.0000 0.3849 10.127
(Std. Err. adjusted for 38 clusters in kab) -----------------------------------------------------------------------------| Robust D.tahan | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------prod | D1. | .0000199 .000033 0.60 0.550 -.0000469 .0000867 pdrbkonstan | D1. | .0010186 .0003839 2.65 0.012 .0002408 .0017965 inflasi | D1. | .4258594 .310408 1.37 0.178 -.2030871 1.054806 tpt | D1. | 1.258647 .5278417 2.38 0.022 .1891382 2.328156 rls | D1. | 15.85156 2.923287 5.42 0.000 9.92842 21.77471 kualitasja~n | D1. | -.0049282 .003837 -1.28 0.207 -.0127026 .0028462 pasar | D1. | .0471656 .0720316 0.65 0.517 -.0987843 .1931155 -----------------------------------------------------------------------------Wooldridge test for autocorrelation in panel data H0: no first-order autocorrelation F( 1, 37) = 2.782 Prob > F = 0.1038
WOOLDRIDGE TEST MENUNJUKKAN TIDAK DAPAT MENOLAK HO, SHG TIDAK TERDAPAT MASALAH AUTOKORELASI DALAM DATA
. xtgls tahan prod pdrbkonstan inflasi tpt rls kualitasjalan pasar, panels(hetero) Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients: Panels: Correlation:
generalized least squares heteroskedastic no autocorrelation
Estimated covariances = Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
38 0 8
Number of obs Number of groups Time periods Wald chi2(7) Prob > chi2
= = = = =
114 38 3 711.21 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------tahan | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------prod | 5.66e-06 2.84e-06 1.99 0.046 9.23e-08 .0000112 pdrbkonstan | -.000028 .0000999 -0.28 0.780 -.0002237 .0001678 inflasi | -.1093879 .1939809 -0.56 0.573 -.4895835 .2708076 tpt | -.2482644 .1928584 -1.29 0.198 -.6262599 .129731 rls | 7.225739 .3906508 18.50 0.000 6.460077 7.9914 kualitasja~n | .001749 .0010554 1.66 0.097 -.0003196 .0038176 pasar | .030472 .012122 2.51 0.012 .0067134 .0542306 _cons | -19.76463 3.657925 -5.40 0.000 -26.93404 -12.59523 ------------------------------------------------------------------------------
106
Lampiran 16 Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk Uji Multikolinieritas Model 1 2 3 4 5 6 7 8
Gender KRT Daerah Tempat Tinggal Umur KRT Pendidikan KRT Jumlah ART capita Dummy Raskin Dummy Pertanian
Zero-order -1,211358 4,329336 -5,166976 -8,467145 27,877578 -34,617326 -13,450321 -3,204528
Correlations Partial 0,225768 0,000015 0,000000 0,000000 0,000000 0,000000 0,000000 0,001354
Part 0,043980 -0,056371 -0,007947 -0,131625 0,186272 -0,270205 -0,158990 0,055411
Collinearity Statistics Tolerance VIF -0,007036 -0,006651 0,025140 0,023771 -0,030000 -0,028370 -0,049124 -0,046490 0,159852 0,153067 -0,197137 -0,190073 -0,077892 -0,073852 -0,018611 -0,017595
107
Lampiran 17 Pengolahan regresi logistik ordinal untuk estimasi determinan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur Link Function: Logit
Response Information Variable status
Value 0 1 2 3 Total
Count 10762 11483 3953 3448 29646
Logistic Regression Table
Predictor Const(1) Const(2) Const(3) GenderKR 1 Daerah 1 umurKRT PddkKrt 1 2 JumlART capitari DPertani 1 DUMR 1
Odds Ratio
95% CI Lower Upper
Coef -1.48050 0.408079 1.40340
SE Coef 0.0747266 0.0744144 0.0754429
Z -19.81 5.48 18.60
P 0.000 0.000 0.000
0.0000662
0.0330929
0.00
0.998
1.00
0.94
1.07
-0.202008 0.0036309
0.0261804 0.0008628
-7.72 4.21
0.000 0.000
0.82 1.00
0.78 1.00
0.86 1.01
0.0930506 0.131852 -0.150674 0.0036374
0.0298646 0.0734480 0.0076722 0.0000750
3.12 1.80 -19.64 48.52
0.002 0.073 0.000 0.000
1.10 1.14 0.86 1.00
1.04 0.99 0.85 1.00
1.16 1.32 0.87 1.00
0.155798
0.0259042
6.01
0.000
1.17
1.11
1.23
-0.160064
0.0269888
-5.93
0.000
0.85
0.81
0.90
Log-Likelihood = -34365.427 Test that all slopes are zero: G = 5628.255, DF = 9, P-Value = 0.000
Goodness-of-Fit Tests Method Pearson Deviance
Chi-Square 29772126 68731
DF 88920 88920
P 0.000 1.000
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 216152442 84549399 1143394 301845235
Percent 71.6 28.0 0.4 100.0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0.44 0.44 0.30