ANALISIS PERAN GENDER DALAM PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA
DISERTASI
SITTI AIDA ADHA TARIDALA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul “ANALISIS PERAN GENDER DALAM PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Maret 2010
SITTI AIDA ADHA TARIDALA NRP. A161050041
ii
ABSTRACT SITTI AIDA ADHA TARIDALA. The Analysis of Gender Roles in the Achievement of Food Security in Farm Household Levels at South Konawe District, South East Sulawesi (HARIANTO as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARDINSYAH as members of the Advisory Committee). Two of the eight goals of the Millennium Development are to eradicate extreme poverty and hunger and to promote gender equality and empower women. Mostly in developing countries both women and men are responsible for family food availability, and it is determined by their roles in the family which can be revealed from their working time allocation both in productive and reproductive (domestic) activities. The high rate of malnutrition problems in South Konawe indicated food insecurity at the household level. Since food is the basic human right, its fulfillment should be considered. The objectives of this study were (1) to analyze gender roles in the achievement of family food security, (2) to analyze factors determining working decision making on working on non-farm and off-farm in farm household level, and (3) to analyze determining factors of food security at household levels. Descriptive-qualitative analysis were employed to examine the objectives while econometric approaches were used to analyze the second and the last objectives. Since the dependent variable was a biner, a logit model was employed, and since the cumulative distribution of dependent variable was nonlinear, the maximum likelihood was employed to estimate the parameter. There are three results. First, gender roles in the achievement of household’s food security were determined by their working time allocation and their income. Most of women’s time, except for leisure, was allocated for their domestic works, while most of men’s time was allocated for their farming activities. Men contribute more income from non-farm activities compared to women. Second, decisions on working on non-farm and off-farm by both genders were determined by economic variables such as gender income, on-farm income, human resources capability, such as education and skills, and job opportunity. Three, the determinant factors of household food security were economic variables, such as gender income and farm income, and family size. Key words: Farm households, gender roles, food security, logit model, income, South East Sulawesi
iii
RINGKASAN SITTI AIDA ADHA TARIDALA. Analisis Peran Gender dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara (HARIANTO sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan HARDINSYAH sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Dua diantara delapan Tujuan Pembangunan Millenium (Millennium Development Goals, MDGs) adalah memerangi kelaparan dan memperbaiki ketimpangan gender. Ketahanan pangan menjadi semakin penting, karena pangan bukan hanya merupakan kebutuhan dasar (basic need), tetapi juga merupakan hak dasar (basic right) bagi setiap umat manusia yang wajib dipenuhi (Hariyadi, 2009). Dilihat dari aspek gender, pentingnya pencapaian kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam pembangunan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai suatu negara, serta membaiknya kesejahteraan masyarakat. Leadbetter (2008) menegaskan bahwa manfaat ekonomi dari kesamaan gender akan meningkatkan output dan mengembangkan kapasitas masyarakat. Fenomena tingginya kasus gizi buruk di Kabupaten Konawe Selatan merupakan indikasi terjadinya ketidaktahanan pangan (food insecurity) di tingkat rumahtangga. Pencapaian ketahanan pangan dalam rumahtangga sangat ditentukan oleh peran perempuan dan laki-laki, yang merupakan fihak paling bertanggung jawab dalam penyediaan pangan bagi seluruh anggota rumahtangganya. Peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki, dapat dilihat dari alokasi waktu yang mereka curahkan terutama dalam aktivitas produksi dan reproduksi dalam rumahtangga. Dari kegiatan-kegiatan tersebut akan dihasilkan produk natura dan atau pendapatan tunai yang akan meningkatkan kepemilikan sumberdaya, sehingga dapat meningkatkan kemampuan keluarga dalam penyediaan pangan bagi seluruh anggotanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menganalisis peran perempuan dan laki-laki dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga, dan (3) menganalisis faktor-faktor yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam penelitian ini analisis dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatif dan kuantitatif dengan model logit. Model logit merupakan pendekatan yang digunakan untuk model ekonometrik yang variabel dependennya bersifat biner (dikotomi). Untuk mengestimasi model logit yang distribusi kumulatifnya tidak linier, digunakan maximum likelihood estimation (MLE). Karakteristik sosiodemografi responden secara umum adalah berumur produktif (42.49 tahun untuk laki-laki dan 36.70 tahun untuk perempuan) dengan rata-rata pendidikan tertinggi hanya mencapai 7.68 tahun untuk laki-laki dan 6.77 tahun untuk perempuan. Rata-rata umur laki-laki ketika menikah adalah 23.73 tahun dan perempuan adalah 19.53 tahun. Rata-rata ukuran rumahtangga adalah 4-5 orang. Secara umum dapat dikatakan bahwa dilihat dari tingkat pendidikan
iv
responden, terjadi ketimpangan gender, dimana rata-rata tingkat pendidikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Berdasarkan data usia suami dan isteri saat penelitian, serta usia saat menikah, dimana usia laki-laki lebih tua daripada perempuan, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan tidak berbeda dengan di daerah lain di Indonesia. Ukuran rumahtangga yang lebih besar di desa-desa rawan pangan dan lebih tingginya jumlah anak yang berusia dibawah 10 tahun dalam rumahtangga, dapat berdampak negatif dalam pencapaian ketahanan pangan, serta juga dapat menjadi penyebab kurangnya alokasi waktu perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang bernilai ekonomis. Rata-rata luas lahan yang dikuasai responden di desa tahan pangan lebih tinggi daripada responden di desa rawan pangan. Disini dapat dikatakan bahwa rata-rata kepemilikan lahan pertanian cukup tinggi, yaitu di atas 1 hektar dengan pendapatan per kapita rata-rata berada di bawah batas garis kemiskinan (kurang dari Rp. 182 000). Sumber pendapatan keluarga terbesar berasal dari usahatani keluarga. Dibanding laki-laki, pangsa pendapatan perempuan dari bekerja di luar usahatani keluarga adalah lebih kecil. Secara umum nampak bahwa pendapatan total rumahtangga di desa tahan pangan mencapai lebih dari dua kali lipat pendapatan rumahtangga responden di desa rawan pangan. Dari data mengenai luas lahan yang dikuasai responden yang lebih dari satu hektar per keluarga, sebenarnya ini merupakan aset sangat penting, yang bila dimanfaatkan seoptimal mungkin bisa menjadi sumber utama pendapatan rumahtangga. Dengan demikian ada harapan untuk meningkatkan pendapatan/kapita yang saat ini rata-rata berada di bawah garis kemiskinan nasional, yaitu kurang dari Rp. 182 000/bulan. Untuk menambah pendapatan keluarga, perempuan dan laki-laki bekerja dan atau berusaha di luar usahatani keluarga, baik di usahatani tetangga, maupun di luar sektor pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang umumnya dilakukan laki-laki adalah menjadi buruh mengolah lahan, memperbaiki pematang dan buruh panjat kelapa di usahatani tetangga, sedangkan perempuan menjadi buruh menanam atau buruh panen. Di luar pertanian, laki-laki melakukan berbagai pekerjaan seperti menjadi buruh bangunan, tukang ojek, menambang emas, dan berdagang, sedangkan perempuan umumnya berdagang di pasar dan di rumah, ada juga yang menjadi guru, dan tukang pijat. Dari analisis alokasi waktu gender diketahui bahwa laki-laki lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk bekerja di dalam usahatani keluarga, yaitu sebesar 23.54 persen untuk responden di desa rawan pangan dan 30.46 persen untuk responden di desa tahan pangan. Sebaliknya, perempuan lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk pekerjaan dalam rumahtangga, yaitu 22.42 persen untuk responden di desa rawan pangan dan 15.88 persen untuk responden di desa tahan pangan. Alokasi waktu kerja gender untuk aktivitas pertanian di luar usahatani keluarga sangatlah kecil. Responden perempuan di desa rawan pangan hanya mengalokasikan 0.17 persen dari waktunya dan di desa tahan pangan sebesar 1.46 persen. Responden laki-laki di desa rawan pangan mengalokasikan waktunya sebesar 2.83 persen dan di desa tahan pangan hanya sebesar 0.83 persen. Ini menjadi gambaran kurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian di perdesaan. Selain untuk kegiatan reproduksi dan produksi, responden juga mengalokasikan waktunya untuk aktivitas waktu luang dan istrahat. Nampaknya,
v
kedua kegiatan ini merupakan porsi terbesar dari alokasi waktu gender, baik perempuan dan laki-laki, terutama untuk istrahat yang mencapai sekitar 40 persen dari alokasi waktu perempuan dan laki-laki. Alokasi waktu untuk aktivitas waktu luang perempuan dan laki-laki di desa rawan pangan jauh lebih tinggi daripada responden di desa tahan pangan, yaitu sekitar 26 persen di desa rawan pangan dan 22 persen di desa tahan pangan. Dalam hal kontrol terhadap sumberdaya, khususnya usahatani keluarga, hasil analisis menunjukkan bahwa laki-laki merupakan penanggung jawab utama untuk kedua lokasi penelitian, yaitu mencapai 86 persen. Meskipun dengan dominasi yang berkurang, namun dalam hal pengambilan keputusan terkait hasil produksi usahatani keluarga, suami tetap merupakan pengambil keputusan utama, terutama di desa rawan pangan yang mencapai 51.43 persen dari responden. Terkait pengambil keputusan dalam proses penjualan hasil produksi, terdapat keseimbangan dalam hubungan suami isteri, yaitu lebih menekankan pada kompromi, tidak didominasi oleh salah satu gender. Dalam hal penggunaan pendapatan usahatani, perempuan di desa rawan pangan lebih dominan sebagai penentu keputusan (40 persen), sedangkan di desa tahan pangan, kompromi bersama suami isteri lebih dominan, yaitu 59.46 persen dari responden rumahtangga. Terdapat tiga kesimpulan yang dapat diambil dari analisis yang dilakukan dalam penelitian ini. Pertama, perempuan dan laki-laki memegang peran penting dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, karena disamping mengalokasikan waktunya dalam pengelolaan usahatani keluarga dan dalam kegiatan reproduktif di dalam rumah, juga dari sumbangan pendapatan masingmasing gender dari pekerjaan di luar usahatani keluarga terhadap total pendapatan keluarga. Laki-laki lebih banyak berperan dalam pengelolaan usahatani keluarga dan perempuan lebih besar peranannya dalam pelaksanaan aktivitas domestik. Sumbangan pendapatan laki-laki terhadap pendapatan total keluarga lebih besar daripada sumbangan pendapatan perempuan. Kedua, keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga dipengaruhi oleh variabelvariabel ekonomi, yaitu pendapatan gender dan pendapatan usahatani, kapabilitas dari human resources, yaitu pendidikan dan keterampilan, serta aspek di luar gender, yaitu kesempatan kerja. Ketiga, pencapaian ketahanan pangan rumahtangga terutama ditentukan oleh variabel-variabel ekonomi, yaitu pendapatan gender dan pendapatan usahatani, serta variabel ukuran rumahtangga. Untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga, selain aspek ekonomi juga perlu mempertimbangkan segi non ekonomi seperti besarnya ukuran rumahtangga. Dalam hal in pemerintah dapat membantu rumahtangga menahan laju peningkatan jumlah anggota rumahtangga dengan kebijakan di bidang demografi, yaitu berupa menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB). Disamping itu, karena perdagangan menjadi salah satu bidang usaha ekonomi yang banyak digeluti perempuan dan laki-laki, dan memberikan sumbangan signifikan terhadap pendapatan keluarga, maka kemudahan dalam memperoleh modal dengan syarat ringan dan adanya pelatihan yang dapat memberi keterampilan terkait usaha-usaha produktif yang sesuai dengan sumberdaya lokal, akan mendorong peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penelitian. Seiring dengan upaya itu, pembangunan infrastruktur yang mendukung jalannya roda perekonomian, seperti jalan, jembatan, dan pasar penting dilakukan.
vi
ANALISIS PERAN GENDER DALAM PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Oleh : SITTI AIDA ADHA TARIDALA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya imiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karyatulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
Judul Disertasi
: Analisis Peran Gender dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara
Nama Mahasiswa
: Sitti Aida Adha Taridala
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Nomor Pokok
: A161050041
Menyetujui, Komisi Pembimbing :
Dr. Ir. Harianto, M.S. Ketua
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Anggota
Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, M.S. Anggota
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, M.A.
Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 1 Februari 2010
Tanggal Lulus :
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira Dr. Ir. Rita Nurmalina, M.S. Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis Dr. Ir. Handewi P.S. Rahman
KATA PENGANTAR
Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan kasih dan hidayah-Nya, sehingga penulisan disertasi ini dapat terselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi llmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dua diantara delapan tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals, MDGs) adalah terkait aspek penanggulangan kelaparan dan mendorong pencapaian kesetaraan gender. Pentingnya pemenuhan pangan bagi setiap individu telah disadari oleh bangsa-bangsa di dunia. Berbagai pertemuan tingkat dunia telah diselenggarakan untuk menyatukan komitmen bersama. Salah satunya adalah KTT Milenium yang diselenggarakan pada Tahun 2000, dimana tujuan pertama adalah mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Pada Tahun 2002 juga dilaksanakan Pertemuan Puncak Pangan Dunia di Roma yang disebut World for Summit, yang semakin mempertegas tentang pentingnya masalah pangan dan keharusan mencapai ketahanan pangan demi memenuhi hak paling mendasar bagi manusia, yaitu hak akan pangan. Disisi lain, pentingnya pencapaian kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam pembangunan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai suatu negara, serta membaiknya kesejahteraan masyarakat. Terselesaikannya seluruh proses pendidikan doktor ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
xi
1. Dr. Ir. Harianto, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau yang padat untuk memberikan arahan, masukan dan bimbingan sejak tahap awal penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini. 2. Prof. Dr. Ir.Hermanto Siregar, M.Ec. sebagai Anggota Komis i Pembimbing yang selalu menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan penulis disela-sela kesibukan beliau yang sangat padat. Banyak koreksi, arahan, masukan dan bimbingan yang telah diberikan, terutama dalam ’focussing’ topik penelitian ini, mensinergikan antara masalah, tujuan dan simpulan penelitian, pemahaman mengenai alat analisis ekonometrik yang digunakan, penyusunan sintesis hasil penelitian dan kesimpulan. 3. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, M.S. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau yang padat untuk memberikan koreksi, arahan, masukan dan bimbingan terutama terkait berbagai hal mengenai ketahanan pangan, penyusunan sintesis hasil penelitian dan implikasi kebijakan. 4. Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira selaku Penguji Luar Komisi saat Ujian Prelim Lisan dan Ujian Tertutup yang telah memberikan apresiasi dan banyak masukan, pertanyaan, dan kritik atas tulisan yang telah disusun. 5. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S. sebagai Moderator pada Seminar Hasil Penelitian, reviewer Jurnal Forum Pascasarjana, dan sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup atas pertanyaan, masukan, dan kritik untuk perbaikan tulisan ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para peserta atas pertanyaan, masukan dan kritik pada saat seminar hasil penelitian.
xii
6. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas pertanyaan dan saran-saran untuk perbaikan pada Ujian Tertutup, Ujian Terbuka, dan atas ilmu-ilmu yang telah diwariskan kepada penulis selama perkuliahan serta atas layanan administrasi dan akademik selama ini. Bapak adalah salah seorang dosen yang patut diteladani, atas komitmen dalam proses belajar mengajar, untuk memperoleh lulusan yang berkualitas baik. 7. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri selaku Wakil Dekan FEM dan Ketua Sidang pada Ujian Tertutup atas pertanyaan, masukan dan saran-saran perbaikan yang diberikan. 8. Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis yang telah memberi pemahaman terkait gender dalam Mata Kuliah Komunikasi Gender dan atas apresiasi, kritik, masukan, dan pertanyaan-pertanyaan pada waktu Ujian Terbuka Doktor. 9. Dr. Handewi P.S. Rahman atas apresiasi, kritik, masukan, dan pertanyaan-pertanyaan pada Ujian Terbuka Doktor, juga diskusi yang sangat berharga terkait gender dan ketahanan pangan. 10. Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, Ir. Yeti Lies Purnamadewi, M.Sc., dan Ir. Rita Nursuhaeti, M.S. atas diskusi terkait gender dan ketahanan pangan, juga drg. Dian Hayati atas data dan beberapa referensi kesehatan yang diberikan, serta diskusi terkait permasalahan gender dan gizi di Kabupaten Konawe Selatan. 11. Rektor Universitas Haluoleo dan Ir. Taane La Ola, M.P. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo atas izin yang telah diberikan
xiii
kepada penulis untuk menempuh Program Doktor. 12. Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional Indonesia atas beasiswa BPPS yang telah diberikan kepada penulis pada penyelesaian studi Program Doktor. 13. Bapak Nur Alam, S.E. (Gubernur Sulawesi Tenggara) dan Bapak Drs. Imran, M.Si (Bupati Konawe Selatan) atas bantuan biaya pendidikan yang diberikan. 14. PROGRAM MITRA BAHARI–COREMAP II TAHUN 2009 atas Beasiswa Bantuan Penulisan Disertasi yang telah diberikan. 15. Pimpinan dan Karyawan BPS Pusat Jakarta, BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara, Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan, dan Kantor BP3KP Kabupaten Konawe Selatan yang telah banyak membantu penulis dalam pencarian dan penelusuran data-data sekunder, serta informasi lainnya terkait aspek gender dan ketahanan pangan. 16. Para Kepala Desa/Kelurahan dan responden di Lamooso,
Andinete,
Matandahi dan
Desa Sandarsi
Ngapawali,
Jaya,
serta Kelurahan
Punggaluku dan Rambu-Rambu atas data-data dan informasi yang diberikan. 17. Enumerator yang telah membantu dalam pengambilan data di lapangan : Awaluddin Hamsah, M.Si., La Ode Alwi, M.Si., Gufirlan, S.P., Agustono Slamet, S.P., Bastian Bahrun, S.P., La Ode Jabuddin, S.P., Arus Sondang, S.P., Sugeng, S.P. dan Imran Moita, S.P. 18. Rekan yang
telah membantu
dalam
diskusi-diskusi yang
sangat
bermanfaat, antara lain Dr. Rasidin Sitepu, Dr. Darsono, M.Si., Ir. Hali-
xiv
matus Sa’diyah, M.Sc., dan Iwan Hermawan, M.Si. yang juga banyak membantu dalam pembuatan power point. 19. Rekan I Gusti Ayu Putu Mahendri, M.Si. dan Mbak Rina (Statistic Centre) yang membantu dalam pengolahan dan analisis data, serta membagi ilmu tentang Model Logit dan Maximum Likelihood Estimator, serta Nia yang banyak membantu antara lain dalam pengetikan dan pembuatan gambar data-data penelitian. 20. Kedua orang tua penulis Papa Dr. M. Taridala dan Mama Hanami L. atas asuhan, bimbingan, kasih sayang, dan didikan yang penuh disiplin, serta penanaman nilai-nilai kehidupan yang tak ternilai harganya. Mertua penulis Papa (Alm) Bongga Sitau dan Mama Riti, yang dalam keyakinan yang berbeda, menjadi orang tua yang selalu penuh perhatian, kasih, dan cinta. 21. Suami penulis Demianus alias Hilmy Syaddad dan putra-putri penulis Arifiana Shima Ekaputri, si kembar Noor Moh. Anwary dan Noor Moh. Asy’ari, Moh. Nabil, Sitti Nabilah dan Sitti Ramadhanti atas pengertian, bantuan, dukungan, motivasi dan pengorbannya selama ini. Juga untuk Mama Dua (Kak Sarah), Mama Etti, dan Kak Ade yang telah dengan setia merawat, mengasuh, dan menemani anak-anak Penulis. 22. Kakak-kakak dan adik-adik penulis, serta Om, Tante, sepupu, dan keluarga lainnya atas bantuan, dukungan, motivasi, dan perhatiannya selama ini, termasuk membantu dalam mengasuh anak-anak Penulis. 23. Rekan-rekan penulis di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, khususnya Angkatan 2004, 2005, dan 2006, yang menjadi sahabat dalam suka duka
xv
pada masa perkuliahan dan belajar bersama dalam menghadapi ujian prelim, antara lain Elys Fauziah, M.Si., Ir. Halimatus Sa’diyah, M.Sc. sekeluarga, dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc sekeluarga, yang telah menjadi teman terbaik dalam banyak hal. 24. Rekan-rekan penulis lainnya, baik yang tergabung dalam Hiwacana Sultra di Bogor, teman-teman satu kos di jalan Raya Darmaga Km.7 No.4 Bogor, teman-teman Alumni SMAN Mandonga Kendari, teman-teman Alumni Sosek IPB, teman-teman di jaringan sosial facebook atas perhatian, dukungan dan motivasinya. 25. Rekan-rekan di Sekretariat EPN : Ruby Sunaryani, Suryani, Aam Amelia, Anggraini, Teh Kokom, dan Pak Husen atas semua perhatian, bantuan adminsitrasi, dan layanan lainnya. 26. Pada semua kerabat, teman dan sahabat yang senantiasa melimpahkan kasih, perhatian, dan motivasi, serta pihak-pihak lain yang tidak sempat penulis sebutkan satu per satu, yang telah membantu selama masa kuliah hingga saat proses pembuatan proposal, pengambilan data lapang, analisis data, penulisan laporan sampai pada tahap akhir penyelesaian studi ini.
Bogor, Maret 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kendari, Sulawesi Tenggara pada Tanggal 9 Maret 1968 dari pasangan Bapak Drs. H. Marhum Taridala dan Ibu Hj. Hanami L. Penulis bersuamikan Demianus alias Hilmy Syaddad dan dikaruniai enam orang putera-puteri, yaitu Arifiana Shima Ekaputri, si kembar Noor Moh. Anwary dan Noor Moh. Asy’ari, Moh. Nabil, Sitti Nabilah dan Sitti Ramadhanti. Pendidikan penulis sejak dari pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas di selesaikan di Kota Kendari, yaitu masing-masing pada SDN I Wua-Wua, SMPN III Wua-Wua dan SMAN I Mandonga, Pada Tahun 1986 atas undangan khusus yang dikirimkan Rektor IPB Yang Terhormat Bapak (Alm.) Andi Hakim Nasution, penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama di Institut Pertanian Bogor. Pendidikan sarjana pada PS Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian diselesaikan pada Bulan Januari 1991. Pada Tahun 1994 penulis diterima sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo (Unhalu) di Kendari. Pendidikan magister yang juga ditempuh di Institut Pertanian Bogor diselesaikan pada Tahun 1999. Tahun 2002-2003 penulis menjabat sebagai Sekretaris Perpustakaan Fakultas Pertanian Unhalu. Pada Tahun 2003 penulis diangkat sebagai Ketua Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian pada Fakultas Pertanian Unhalu. Pada Tahun 2005 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan mendapatkan beasiswa dari Program BPPS Dirjen Dikti. Pada tahun 2009 penulis terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana asal Sulawesi Tenggara (Hiwacana-Sultra) di Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................
xxi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xxiv
I. PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2. Permasalahan ................................................................................
4
1.3. Tujuan ...........................................................................................
9
1.4. Manfaat .........................................................................................
10
1.5. Lingkup dan Keterbatasan ..............................................................
10
1.6. Kebaruan Penelitian ........................................................................
13
KAJIAN PUSTAKA .............................................................................
15
2.1. Seks, Gender dan Analisis Gender ................................................
15
2.1.1. Seks ....................................................................................
16
2.1.2. Gender ...............................................................................
17
2.1.3. Analisis Gender ..................................................................
19
2.2. Pangan, Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan ..............
22
2.2.1. Peranan Pangan dalam Pembangunan ..................................
22
2.2.2. Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan ..................
24
2.2.3. Sistem Ketahanan Pangan ..................................................
26
2.2.4. Indikator Ketahanan Pangan ...............................................
29
2.3. Tinjauan Studi Terdahulu .............................................................
31
2.3.1. Studi di Mancanegara ........................................................
31
2.3.1.1 Gender dan Ketahanan Pangan ...............................
31
2.3.1.2 Perempuan, Ketahanan Pangan dan Pembangunan .
36
2.3.1.3 Gender, Pembagian Tenaga Kerja, Penggunaan Waktu dan Partisipasi di Pasar Tenaga Kerja .........
37
2.3.2. Studi di Indonesia ................................................................
41
2.3.2.1 Faktor-Faktor Penentu Partisipasi Perempuan dalam Sektor Ekonomi ..........................................
41
II.
xviii 2.3.2.2 Analisis Pasar Tenaga Kerja ...................................
43
2.3.2.3 Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga ..........................................
45
2.3.2.4 Gender dan Sistem Usahatani ....................................
49
2.3.2.5 Analisis Faktor Penentu Ketahanan Pangan dan Ekonomi Rumahtangga Pertanian ...........................
51
2.3.2.6 Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumahtangga ..
55
2.4. Sintesis Hasil Studi Terdahulu ........................................................
56
III. KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................
59
3.1. Kerangka Teoritis ..........................................................................
59
3.1.1. Input Produksi dan Pasar Tenaga Kerja .............................
59
3.1.2. Keputusan Angkatan Kerja dan Utilitas Tenaga Kerja ..
61
3.1.3. Konsep Analisis Peran Gender dalam Rumahtangga .....
65
3.1.3.1 Pemisahan Tenaga Kerja Berdasar Gender........
66
3.1.3.2 Reproduksi dan Produksi ......................................
66
3.1.3.3 Alokasi Waktu ......................................................
67
3.1.3.4 Perempuan sebagai Pekerja yang Tidak Diupah .....
68
3.1.3.5 Subordinasi Perempuan ........................................
68
3.1.4 Pasar Tenaga Kerja sebagai Kelembagaan Gender ..........
68
3.1.5 Ketidaksetaraan Gender, Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi .......................................................
70
3.2. Kerangka Konseptual Penelitian ..................................................
74
3.3. Hipotesis ......................................................................................
79
IV. METODOLOGI PENELITIAN ...........................................................
81
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian .....................................................
81
4.2. Jenis dan Sumber Data ...............................................................
81
4.3. Metode Pengambilan Contoh .....................................................
82
4.4. Metode Analisis .........................................................................
88
4.4.1. Peran Gender, Kegiatan, dan Alokasi Waktu ....................
93
4.4.2. Analisis Keputusan Gender dalam Pasar Tenaga Kerja .....
94
4.4.3. Pencapaian Ketahanan Pangan Rumahtangga dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya .............................
97
4.5. Konsep Operasional ....................................................................
99
xix V. KARAKTERISTIK WILAYAH PENELITIAN, USAHATANI DAN LATAR BELAKANG SOSIODEMOGRAFI PETANI........................
106
5.1. Karakteristik Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara .....................
107
5.1.1. Situasi Kerawanan Pangan.................................................
109
5.1.2. Penduduk Berdasar Gender, Umur, Pendidikan dan Ketenagakerjaan ................................................................
111
5.1.3. Pembangunan Sektor Pertanian di Sultra ...........................
112
5.2. Karakteristik Wilayah Kabupaten Konsel ....................................
114
5.2.1. Penduduk Berdasar Gender, Umur, dan Lapangan Kerja....
114
5.2.2. Pembangunan Sektor Pertanian di Konsel ..........................
115
5.3. Karakteristik Kecamatan Contoh .................................................
116
5.3.1. Kecamatan Kolono ............................................................
116
5.3.2. Kecamatan Angata ...........................................................
118
5.3.3. Kecamatan Laeya ..............................................................
119
5.4. Karakteristik Sosiodemografi dan Usahatani Responden ..............
120
5.4.1. Karakteristik Sosiodemografi Responden ..........................
121
5.4.2. Penguasaan Lahan Pertanian..............................................
127
5.4.3. Pendapatan Rumahtangga ..................................................
130
VI. ANALISIS PERAN GENDER DALAM RUMAHTANGGA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN GENDER UNTUK BEKERJA DI LUAR USAHATANI KELUARGA
138
6.1. Pembagian Tenaga Kerja Berdasar Gender...................................
139
6.1.1. Pembagian Kerja dalam Usahatani Keluarga .....................
139
6.1.2. Pembagian Kerja dalam Keluarga ......................................
141
6.1.3. Pembagian Kerja di Luar Usahatani Keluarga ....................
145
6.1.4. Pembagian Kerja di Luar Pertanian....................................
145
6.2. Alokasi Waktu Berdasar Gender ..................................................
146
6.2.1. Aktivitas dalam Usahatani Keluarga ..................................
148
6.2.2. Aktivitas Pertanian di Luar usahatani Keluarga..................
149
6.2.3. Aktivitas Ekonomi di Luar Pertanian .................................
150
6.2.4. Aktivitas dalam Rumahtangga ...........................................
151
6.2.5. Aktivitas Waktu Luang ......................................................
154
6.2.6. Istirahat ............................................................................
155
xx 6.3. Kontrol terhadap Sumberdaya dan Pendapatan Rumahtangga ......
155
6.4. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Gender untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga ...................................
160
6.4.1. Analisis Keputusan Kerja Perempuan ................................
161
6.4.2. Analisis Keputusan Kerja Laki-Laki ..................................
167
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI ..............................................
173
7.1. Pengaruh Variabel Sosiodemografi Gender ..................................
179
7.1.1. Ukuran Rumahtangga .........................................................
180
7.1.2. Pendapatan Gender ............................................................
182
7.2. Pengaruh Variabel Karakteristik Usahatani ..................................
184
VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS ...........................................................
187
8.1. Ringkasan ....................................................................................
187
8.2. Sintesis ........................................................................................
192
IX. SIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN PENELITIAN LANJUTAN .........................................................................................
198
9.1. Simpulan.......................................................................................
198
9.2. Implikasi Kebijakan ......................................................................
199
9.3. Saran Penelitian Lanjutan..............................................................
200
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
201
LAMPIRAN .........................................................................................
215
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Jumlah Rumahtangga Contoh Menurut Desa/Kelurahan Rawan Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 ..............
86
2. Distribusi Rumahtangga Contoh menurut Kriteria Tidak Tahan Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009...............
87
3. Kategori Tingkat Kerawanan Pangan Kabupaten di Sulawesi Tenggara Tahun 2007 ...........................................................................
110
4. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk, Jumlah Rumahtangga dan Jumlah Rata-Rata Jiwa per Rumahtangga di Kecamatan Kolono Tahun 2009 ...............................................................................................
117
5. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk, Jumlah Rumahtangga dan Jumlah Rata-Rata Jiwa per Rumahtangga di Kecamatan Angata Tahun 2009 ...............................................................................................
119
6. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk, Jumlah Rumahtangga dan Jumlah Rata-Rata Jiwa per Rumahtangga di Kecamatan Laeya Tahun 2009 ...............................................................................................
120
7. Nilai Rata-Rata, Standar Deviasi, dan P-Value Beberapa Karakteristik Responden di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 ..
121
8. Nilai Rata-Rata Beberapa Karakteristik Responden di Desa Rawan Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
123
9. Nilai Rata-Rata, Standar Deviasi, dan P-Value Penguasaan Sumberdaya Lahan Responden di Desa Rawan Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 ........................................ 127 10. Nilai Rata-Rata, Standar Deviasi dan P-Value Pendapatan Rumahtangga di Desa Rawan pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009............................................................................................
132
11. Sumber-Sumber Pendapatan dan Pangsanya terhadap Total Pendapatan Rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan (Rp/tahun) Tahun 2009 ....
134
12. Perbandingan Alokasi Waktu menurut Gender dalam Berbagai Aktivitas 24 Jam Lalu di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 ........................
147
13. Penanggung Jawab Kegiatan Usahatani dan Pengambil Keputusan terhadap Hasil Produksi di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 .................... 156
xxii 14. Pihak Penentu dalam Proses Penjualan Hasil dan Alokasi Pendapatan Usahatani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009............................
158
15. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Perempuan untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
163
16. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Laki-Laki untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
169
17. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 .................................
176
xxiii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Hubungan antara Gizi dan Pembangunan .....................................................
24
2. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan .............................................................
28
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga .........
35
4. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja ....................................................... 60 5. Utilitas Individu Bukan Peserta Angkatan Kerja ...................................... 62 6. Variasi Siklus Hidup dalam Bentuk Nilai Waktu Perempuan dan Laki-Laki................................................................................................ 64 7. Kerangka Pemikiran Konseptual ...................................................................
77
8. Keterkaitan Keputusan Perempuan untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga dengan Variabel yang Mempengaruhinya .....................................
78
9. Keterkaitan Keputusan Laki-Laki untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga dengan Variabel yang Mempengaruhinya ...................................... 78 10. Keterkaitan Variabel Ketahanan Pangan dengan Variabel yang Mempengaruhinya..........................................................................................
79
11. Kurva Logistik P(Z) .......................................................................................
92
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan seluruh masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir dan batin. Dalam rangka mencapai tujuan luhur tersebut, pembangunan dilakukan pada seluruh bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang ekonomi, sosial budaya, politik, dan pertahanan keamanan, serta ideologi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia (KPP RI) menegaskan bahwa pembangunan di berbagai bidang tersebut ditujukan untuk seluruh penduduk, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan, namun kenyataannya hasil pembangunan ini belum dirasakan sama antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan gender masih terjadi di berbagai bidang pembangunan. Kondisi ini dapat ditunjukkan dari adanya perbedaan akses, kontrol, dan manfaat pembangunan di berbagai bidang antara laki-laki dan perempuan (KPP RI, 2007a). Ketimpangan gender merupakan masalah global. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks pembangunan yang berkaitan dengan gender, yaitu gender-related development index (GDI) yang dibandingkan dengan nilai human development index (HDI). Indeks ini menangkap ketidaksetaraan pencapaian dalam pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Semakin besar kesenjangan gender dalam pembangunan manusia dasar, semakin rendah GDI sebuah negara secara relatif terhadap HDI negara tersebut. Nilai GDI Indonesia, yaitu 0.704 harus diperbandingkan dengan nilai HDI Indonesia, yaitu 0.771. Disini nampak bahwa
2 nilai GDI Indonesia adalah 99 persen dari nilai HDI-nya. Dari 136 negara yang memiliki nilai HDI dan GDI, 80 negara mempunyai rasio yang lebih baik daripada Indonesia (UNDP, Undated). Ketimpangan gender tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, namun juga ditemui di negara-negara maju seperti Jepang. Yoshio (2000) menyebutkan bahwa meskipun Jepang telah memiliki konstitusi (dideklarasikan pada 3 November 1946) yang di dalamnya secara tegas menetapkan persamaan hak laki-laki dan perempuan, namun setengah abad setelah pengumuman konstitusi tersebut, realita dalam masyarakat Jepang menunjukkan bahwa persamaan gender yang ideal seperti yang diungkapkan dalam konstitusi, belum tercapai. Pentingnya pencapaian kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam pembangunan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai suatu negara, serta membaiknya kesejahteraan masyarakat. Leadbetter (2008) menegaskan bahwa manfaat ekonomi dari kesamaan gender akan meningkatkan output dan mengembangkan kapasitas masyarakat. Pemberdayaan ekonomi perempuan memberikan kemungkinan bagi semua negara untuk mempunyai beberapa kombinasi dari peningkatan poduktivitas, lebih sedikit tekanan, dan kesehatan yang lebih baik. Oleh sebab itu pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang dilandaskan pada Pasal 27 UUD tahun 1945 dan diperkuat melalui ratifikasi Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman, CEDAW) ke dalam UU No. 7 tahun 1984, serta Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing hasil Konferensi Dunia tentang Perempuan
3 Keempat di Beijing pada Tahun 1995 (KPP RI, 2000). Untuk lebih memberi ketegasan pada pentingnya pengarusutamaan gender di Indonesia, pada tahun 2000 lahir Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini lalu diikuti dengan terbitnya aturanaturan yang lebih rendah dan lebih operasional, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 Tahun 2003 yang merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 050/1232/SJ Tanggal 26 Juni 2001 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender. Sebagai panduannya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah menerbitkan Panduan Pelaksanaan Inpres No.9 Tahun 2000. Perempuan memiliki peran yang besar dalam pembangunan, khususnya dalam sektor pertanian yang merupakan penghasil pangan bagi keperluan manusia. Meier (1995) mengemukakan bahwa setidaknya terdapat 3 (tiga) kontribusi penting perempuan di negara berkembang, yaitu (1) sebagai penyumbang pendapatan dalam rumahtangga, (2) menjaga status nutrisi anak, dan (3) berperan penting ketika terjadi krisis ekonomi. Gender dan ketahanan pangan saling berhubungan. Penelitian FAO (Undated) memberikan gambaran umum mengenai perubahan dan peranan mutakhir perempuan dalam ketahanan pangan pada wilayah yang berbeda di dunia, khususnya dalam produsen pangan dan wilayah pertanian. Dalam hal tidak terpenuhinya hak atas pangan yang layak, perempuan dan anak perempuan adalah kelompok yang paling menderita. Dalam kondisi pangan tersedia dan dapat diperoleh sekalipun, belum tentu perempuan dapat menggunakannya. Data FAO (Undated) menunjukkan bahwa di banyak negara, anak
4 perempuan yang meninggal jumlahnya dua kali lebih banyak dibandingkan anak laki-laki yang meninggal. Penyebab utamanya adalah kurang gizi dan penyakitpenyakit yang sebenarnya dapat dicegah. Demikian juga pada perempuan dewasa, jumlah yang menderita malnutrisi dua kali lebih banyak dibandingkan laki-laki (Esterlianawati, 2008). Pentingnya pemenuhan pangan bagi setiap individu telah disadari oleh bangsa-bangsa di dunia. Berbagai pertemuan tingkat dunia telah diselenggarakan untuk menyatukan komitmen bersama. Salah satunya adalah KTT Milenium yang diselenggarakan pada Tahun 2000, dimana tujuan pertama adalah mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Pada Tahun 2002 juga dilaksanakan Pertemuan Puncak Pangan Dunia di Roma yang disebut World for Summit, yang semakin mempertegas tentang pentingnya masalah pangan dan keharusan mencapai ketahanan pangan demi memenuhi hak paling mendasar bagi manusia, yaitu hak akan pangan. Ketahanan pangan menjadi semakin penting, karena pangan bukan hanya merupakan kebutuhan dasar (basic need), tetapi juga merupakan hak dasar (basic right) bagi setiap umat manusia yang wajib dipenuhi (Hariyadi, 2009). 1.2.
Permasalahan International Labor Organization (1999) dalam Adioetomo et al. (2000)
menyebutkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah bagian dari perekonomian, merupakan konsumen sekaligus pekerja, sebagai anggota rumahtangga dan anggota masyarakat. Nilai-nilai tradisional Indonesia menempatkan laki-laki sebagai pekerja dan perempuan di rumah hingga beberapa waktu terakhir, bahkan di perdesaan nilai-nilai ini masih dipegang. Kondisi ini juga direfleksikan di
5 dalam pasar tenaga kerja, dimana perempuan Indonesia masih dianggap sebagai pekerja kelas dua. Sektor pertanian yang meskipun pangsanya terhadap GNP nasional cenderung menurun, tetapi tetap memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran perempuan di pertanian sangatlah besar karena perempuan terlibat hampir di seluruh sub sistem agribisnis. Namun fakta menunjukkan bahwa upah yang dibayarkan pada perempuan lebih rendah dari laki-laki. Perempuan menerima penghargaan lebih rendah daripada laki-laki walaupun untuk pekerjaan dan tanggung jawab yang sama. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan gender di sektor pertanian. Beberapa masalah gender yang menonjol terjadi di Indonesia Timur di antaranya adalah rendahnya status kesehatan dan pendidikan perempuan dibandingkan laki-laki. Di Sulawesi Tenggara, tingkat buta aksara lebih banyak dialami perempuan daripada laki-laki. Data BPS dan BPM Sulawesi Tenggara (2006) menunjukkan bahwa pada tingkat universitas angka partisipasi sekolah perempuan di Sulawesi Tenggara lebih rendah daripada laki-laki, tetapi tidak berbeda untuk pendidikan dasar. Angka rata-rata putus sekolah perempuan juga lebih tinggi dari pada laki-laki. Sedangkan di bidang ketenagakerjaan jumlah perempuan usia produktif lebih banyak daripada laki-laki, tetapi lebih banyak laki-laki yang memasuki pasar kerja. Pada periode tahun 2002-2005, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan di Sulawesi Tenggara selalu lebih rendah (30-46 persen) daripada TPAK laki-laki (70-76 persen). Menurut Meier (1995), diskriminasi pekerja berkaitan dengan gender dapat dikurangi dengan mempertinggi tingkat pendidikan.
6 Indikasi ketimpangan gender di Sulawesi Tenggara dapat juga dilihat dari rendahnya nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG). Data Tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 30 provinsi di Indonesia, nilai IPG Sulawesi Tenggara adalah sebesar 56.8 yang berada diurutan ke-13, sedangkan nilai IPG rata-rata Indonesia sebesar 59.2. Nilai IPG tertinggi di Indonesia adalah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebesar 66.7 (BPS, BAPPENAS dan UNDP, 2004). Venny (2004) menegaskan bahwa diskriminasi yang terjadi antara perempuan dan laki-laki menunjukkan adanya ketidakadilan dalam masyarakat, dan pembangunan tanpa keadilan gender berakibat pada hasil yang dicapai sampai kapanpun tidak akan pernah maksimal. Sektor pertanian memberikan sumbangan terbesar 1 terhadap PDRB Sulawesi Tenggara yaitu sebesar 42.37 persen (BPS Sulawesi Tenggara, 2007a). Perempuan juga banyak terlibat di sektor pertanian sebagai tenaga kerja yaitu sebesar 54.25 persen dari total penduduk yang berusia 10 tahun ke atas. Meskipun demikian lebih dari separuhnya berstatus sebagai pekerja yang tidak dibayar. Sementara laki-laki bekerja dengan status berusaha dan dibantu oleh tenaga kerja tak dibayar (BPS dan BPM Sulawesi Tenggara, 2006). Meskipun pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan untuk mencapai ketahanan pangan di Indonesia, namun sampai saat ini upaya itu belum memberikan hasil yang optimal. Banyaknya kasus kelaparan, kekurangan pangan, dan kasus busung lapar di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tenggara, menjadi indikasi kuat belum berhasilnya pemerintah memenuhi salah satu hak paling asasi dari seorang manusia, yaitu hak atas pangan. Terlebih lagi 1
Dua lapangan usaha menyumbang 13-14 persen, sedangkan lima lapangan usaha lainnya sumbangannya di bawah 10 persen terhadap PDRB total Sulawesi Tenggara
7 kondisi akhir-akhir ini, ketika harga BBM dunia yang terus meningkat yang juga diikuti oleh meningkatnya harga-harga bahan pangan domestik, memungkinkan terjadinya kerawanan pangan di masyarakat semakin besar dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial ekonomi dan politik. Kondisi tersebut dapat membahayakan
ketahanan
nasional,
karena
ketahanan
pangan
sangat
mempengaruhi ketahanan dan stabilitas nasional. Terdapat beberapa indikator yang menggambarkan kondisi belum tercapainya ketahanan pangan yang terjadi dalam masyarakat, antara lain dapat dilihat dari kondisi status gizi balita (usia dibawah lima tahun), anak usia sekolah (usia 6-15 tahun) dan status gizi penduduk umur 15 tahun ke atas. Dilihat dari Persentase Balita Menurut Status Gizi, dari 10 kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara, Konawe Selatan (Konsel) merupakan kabupaten dengan jumlah kasus gizi buruk tertinggi (Lampiran 1-3). Berdasarkan Kategori Status Gizi BB/U 2, kasus gizi buruk di Konsel mencapai 11.4 persen. Dilihat dari Kategori Status Gizi TB/U, di Konsel terdapat sebanyak 28.8 persen kasus gizi buruk. Demikian juga bila dilihat dari Persentase Balita Menurut Status Gizi BB/TB, kasus gizi buruk di Konsel mencapai 10 persen (Departemen Kesehatan, 2008). Untuk mencapai ketahanan pangan dalam rumahtangganya, perempuan dan laki-laki melakukan berbagai aktivitas untuk memperoleh penghasilan, baik berupa produk (natura) yang dapat dijadikan bahan pangan bagi anggotanya, atau produk lainnya yang dapat dijual, maupun penghasilan berupa uang tunai yang dapat digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan terutama bahan makanan
2
Status gizi diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB anak ini disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
8 yang diperlukan seluruh anggota rumahtangga. Upaya-upaya memperoleh penghasilan tersebut dilakukan dengan mengalokasikan waktunya untuk bekerja di dalam usahatani keluarga (on-farm), atau bekerja di luar usahatani keluarga (off-farm), bahkan di luar sektor pertanian (non-farm). Sebagian besar petani di Sulawesi Tenggara bukanlah petani pangan, yang hasil produksinya dapat langsung dikonsumsi sebagai bahan pangan bagi seluruh anggota rumahtangga. Sebagian petani mengusahakan padi sawah, padi ladang, ubi kayu, jagung, sagu, sayuran, dan nelayan/petambak, namun umumnya petani di daerah ini mengusahakan tanaman perkebunan seperti kakao, jambu mete, dan lada. Komoditas ini harus dijual terlebih dahulu untuk memperoleh penghasilan. Dengan demikian, akses ekonomi menjadi syarat penting untuk memenuhi kebutuhan terhadap pangan. Kenapa ini menjadi penting, karena mereka umumnya harus membeli komoditas pangan yang diperlukan, karena umumnya tidak tersedia di dalam usahataninya. Bila usahatani mereka tidak memberikan pendapatan yang memadai, maka rumahtangga akan menghadapi kerentanan pangan. Upaya apa yang dilakukan dalam menghadapi kondisi seperti ini? Apakah pendapatan yang diperoleh dari usahatani non pangan tersebut cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan rumahtangga mereka, terutama kebutuhan akan pangan? Ketahanan pangan juga sangat terkait dengan beberapa aspek lain di luar ketersediaan pangan itu sendiri. Nainggolan (2007) 3 menyebutkan bahwa masalah kelaparan dan kurang gizi disebabkan bukan hanya oleh kekurangan pangan, tetapi kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan kurangnya akses terhadap
3
Harian Suara Pembaruan (2007)
9 fasilitas kesehatan, pendidikan, air bersih, dan lingkungan yang saniter. Hal ini menjelaskan bahwa hak atas pangan berkorelasi kuat antara lain dengan hak atas pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan. Terkait pemenuhan kebutuhan pangan, menarik untuk dikaji mengenai kapabilitas masyarakat (perempuan dan laki-laki), serta peran gender dalam memenuhi kebutuhan tersebut dalam rangka mencapai ketahanan pangan setiap anggota rumahtangganya. Menurut Saliem et al. (2002), memantapkan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Berdasarkan kenyataan yang ditunjukkan dengan terjadinya ketimpangan gender dan belum tercapainya ketahanan pangan di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, maka menarik untuk dipertanyakan yaitu : 1. Bagaimana peran perempuan dan laki-laki dalam mencapai ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara? 2. Faktor-faktor apa yang menentukan keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga? 3. Faktor-faktor apakah yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara? 1.3. Tujuan Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengalisis peran gender dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kabupaten Konawe Selatan. Secara spesifik, beberapa tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.
10 1. Menganalisis peran perempuan dan laki-laki dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2. Menganalisis faktor-faktor penentu keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga. 3. Menganalisis faktor-faktor yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 1.4.
Manfaat Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut.
1. Sebagai rujukan bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, dalam rangka pencapaian kesetaraan gender dan ketahanan pangan di Indonesia. 2. Sebagai bahan pembanding dan referensi untuk studi-studi dengan isu yang relevan. 3. Bagi penulis, di samping untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam penyelesaian studi doktor, penelitian ini juga merupakan latihan dalam penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. 1.5. Lingkup dan Keterbatasan Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga. Dari berbagai kajian diketahui bahwa ketersediaan pangan di tingkat nasional ataupun wilayah tidak menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya, terutama pangan, laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga akan melakukan aktivitas baik di dalam usahataninya, di luar usahataninya ataupun di luar sektor pertanian.
11 Rumahtangga petani merupakan fokus utama penelitian ini, karena pertanian merupakan sektor penting di Sulawesi Tenggara yang melibatkan curahan kerja perempuan dan laki-laki serta penyedia pangan bagi masyarakat. Data menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kerawanan pangan terjadi di daerah perdesaan yang menjadi basis sektor pertanian. Ketahanan pangan nasional akan tercapai bila setiap individu dalam rumahtangga sebagai unit sosial terkecil telah mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Peran gender dalam pencapaian ketahanan pangan diukur dari : (1) pendapatan yang diperoleh masing-masing gender dari aktivitas produktif di luar usahatani keluarga, dan (2) alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif dan reproduktif dalam rumahtangga. Dalam rumahtangga petani, terdapat bermacam-macam jenis usahatani yang dikelola petani dan keluarganya, baik pertanian tanaman pangan, pertanian non pangan, maupun kombinasi keduanya. Di Sulawesi Tenggara, di samping terdapat rumahtangga petani yang menanam komoditas pangan seperti padi, jagung, singkong, juga terdapat petani yang hanya menanam komoditas perkebunan seperti kakao dan lada, ataupun kombinasi keduanya, ataupun petani yang mengelola usaha perikanan (nelayan dan petambak). Dalam penelitian ini, rumahtangga contoh yang diambil meliputi petani tanaman pangan, pekebun dan nelayan. Untuk menangkap perbedaan perilaku yang mungkin ada antara rumahtangga yang tinggal di daerah yang masuk kategori rawan pangan dan tahan pangan, maka diambil rumahtangga sebagai contoh pada beberapa desa/kelurahan di daerah rawan pangan dan tahan pangan. Perlu disampaikan bahwa di desa yang masuk kriteria rawan pangan, di samping terdapat rumahtangga yang rawan
12 pangan, juga terdapat rumahtangga yang tahan pangan. Demikian juga di desa tahan pangan, di samping terdapat rumahtangga tahan pangan, juga terdapat rumahtangga rawan pangan. Dalam penelitian ini akan dianalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja dan atau berusaha di luar usahatani keluarganya. Dalam analisis gender, keputusan seorang perempuan atau laki-laki juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi, misalnya aspek sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. Dalam analisis keputusan gender untuk bekerja, kajian dibatasi hanya untuk keputusan perempuan (isteri) dan laki-laki (suami) dalam melakukan aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga. Terdapat dua alasan utama yang mendasari hal ini, yaitu (1) sebagai petani dipastikan bahwa melakukan berbagai aktivitas di dalam usahatani, merupakan kegiatan utama petani dan keluarganya, dan (2) meskipun kegiatan dalam usahatani keluarga merupakan hal yang penting, tetapi dari berbagai studi diketahui bahwa sumber pendapatan utama masyarakat petani dan keluarganya sebagian besar berasal dari luar usahatani. Fenomena ini juga terjadi di lokasi penelitian. Untuk mengukur pencapaian ketahanan pangan rumahtangga dapat digunakan banyak ukuran. Indikator yang digunakan dalam penelitian adalah frekuensi makan anggota
dalam sehari.
Ukuran ini merupakan ’indikator
langsung’ yang menggambarkan kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggotanya. Dalam keadaan normal, sesuai dengan kebiasaan makan masyarakat di Indonesia (termasuk pada masyarakat Kabupaten Konawe Selatan), dalam sehari frekuensi makan adalah tiga kali (sarapan, makan
13 siang dan makan malam). Bila kebiasaan makan tersebut berubah, misalnya menjadi dua kali sehari, ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk penyesuaian yang dilakukan rumahtangga untuk tetap menjaga keberlangsungan ketersediaan pangan seluruh anggota rumahtangga. Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah (1) indikator ketahanan pangan yang digunakan adalah ukuran kualitatif, yaitu frekuensi makan anggota rumahtangga, bukan intake (konsumsi) energi dan protein, dan (2) meskipun dalam penelitian ini unit analisisnya adalah rumahtangga, namun fokus kajian hanya pada peran suami dan isteri saja, tidak untuk anggota keluarga lainnya. Keterbatasan ini terjadi karena (1) mengukur kandungan gizi yang dikandung keseluruhan jenis pangan yang dikonsumsi dalam sebuah rumahtangga di samping merupakan pekerjaan yang memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang tidak sedikit, juga diperlukan tenaga pencacah dengan keahlian yang memadai, dan (2) dari pengamatan di lapangan nampak bahwa suami dan isteri merupakan pihak yang paling berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga, baik dari sisi sumbangan pendapatan, maupun dari alokasi waktu. 1.6. Kebaruan Penelitian Analisis gender merupakan suatu analisis sosial yang memfokuskan perhatian pada relasi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan rumahtangga dan masyarakat secara lebih luas, yaitu terkait peran dan fungsinya masing-masing. Dengan demikian nampak bahwa analisis seharusnya dilakukan secara seimbang terhadap kedua pihak tersebut. Dari analisis gender yang dilakukan beberapa peneliti nampak bahwa pembahasan lebih difokuskan pada perempuan saja. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa fenomena ketimpangan
14 gender yang terjadi dalam rumahtangga dan masyarakat, lebih banyak dialami kaum perempuan. Dalam penelitian ini, pembahasan yang dilakukan difokuskan untuk kedua pihak, yaitu perempuan dan laki-laki secara seimbang tentang peran mereka dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Dengan demikian, analisis peran masing-masing gender akan dilihat secara lebih adil dan obyektif. Penelitian yang menganalisis peran gender yang mengaitkannya dengan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga petani, merupakan penelitian yang masih langka dilakukan. Analisis peran yang dilakukan masing-masing gender dengan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, disamping menggunakan analisis kualitatif, juga dilakukan analisis kuantitatif dengan menggunakan model logit. Dari kajian beberapa literatur nampak bahwa pada penelitian peran gender sebelumnya, analisis yang dilakukan lebih cenderung bersifat deskriptif-kualitatif.
II. KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dikemukakan beberapa konsep penting dan aspekaspek lain seperti seks, gender, analisis gender, pangan, peran pangan dalam pembangunan, ketahanan pangan dan indikatornya, serta kaitan antara gender dan ketahanan pangan. Disamping itu juga dipaparkan mengenai kajian pustaka yang dilakukan, baik oleh peneliti di mancanegara maupun di dalam negeri. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh pemahaman yang lebih baik terkait aspek gender dan ketahanan pangan dalam rumahtangga. 2.1.
Seks, Gender dan Analisis Gender Menurut Sumiarni (2004) istilah gender sudah dikenal sejak tahun 1977 di
London, dimana kaum feminis tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan istilah gender. Sedangkan di Indonesia istilah ini mulai banyak dipergunakan dan dikaji pada dekade tahun 90-an. Hal ini dapat dilihat pada penelitian Sajogyo (1983) tentang Peranan Perempuan dalam Perkembangan Masyarakat Desa yang belum menggunakan istilah gender, meskipun penelitian tersebut telah meneliti secara mendalam tentang peran perempuan (bersama pria) di perdesaan. Menurut Fakih (1999) konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep jenis kelamin dan gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalanpersoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Terdapat kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differents) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas.
16 Menurut Lindsey (1990) yang dikutip Sumiarni (2004), gender digunakan untuk mengindentifikasi laki-laki dan perempuan
dari segi sosial budaya,
sementara seks digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah seks lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, seperti perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, dan reproduksi. Sedangkan gender lebih banyak terkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya. 2.1.1. Seks Pengertian jenis kelamin atau seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, misalnya manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Adapun manusia jenis perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan, secara permanen tidak berubah, dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat (Fakih, 1999). Sumiarni (2004) menjelaskan bahwa perbedaan secara biologis antara lakilaki dan perempuan tidak menimbulkan perbedaan pendapat, tetapi efek dari perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan pada perilaku manusia, khususnya
17 dalam relasi gender.
Kalangan feminis berpendapat bahwa perbedaan peran
gender bukan karena kodrat atau biologis, tetapi karena faktor budaya. 2.1.2. Gender Dalam membahas persoalan pembangunan, gender sebagai suatu konsep lebih tepat digunakan daripada istilah ‘jenis kelamin’ (sex) wanita dan pria (Achmad, 1991). Konsep gender merujuk pada suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun budaya. Keadaan ini akan berubah-ubah menurut waktu, lokasi, dan lingkungan sosial budaya yang berbeda pula. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Perubahan juga bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Pada suku tertentu perempuan kelas bawah di perdesaan lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya maupun berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain itulah yang dikenal dengan konsep gender. Selama 1980-1990, perhatian terhadap isu gender dalam pembangunan ditandai dengan pergeseran teoritis dari pendekatan struktural ke penggunaan isu gender sebagai kategori sentral yang merupakan faktor kunci dalam formulasi teoritikal baru pembangunan (Beneria, 2003). Pengertian gender terkait dengan
18 peran perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial, sebagai lawan dari karakteristik biologi dan fisik (Bouta et al., 2005). Gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman (KPP RI, 2006). Mosse (1996) menjelaskan bahwa secara mendasar gender berbeda dari pengertian jenis kelamin (biologis). Setiap masyarakat memiliki ’naskah’ untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin atau maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak kita bayi hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktekkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Perangkat perilaku seperti penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumahtangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga secara bersama-sama memoles ’peran gender’. Sadli (2000) yang dikutip Sumiarni (2004) mengatakan bahwa gender adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seseorang. Gender adalah hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap, dan perilaku yang dipelajari seseorang. Hal-hal yang dipelajari biasanya berkaitan dengan
sifat dan perilaku yang dianggap
pantas bagi dirinya karena ia berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Selanjutnya Sumiarni (2004) menjelaskan bahwa di Inggris abad ke sembilan belas ada anggapan bahwa kaum perempuan tidak pantas bekerja di luar rumah guna mendapatkan upah, khususnya bagi perempuan kelas menengah dan kelas atas. Sedangkan kaum perempuan kelas bawah diharapkan bekerja sebagai pembantu (servants) bagi kaum perempuan yang dilahirkan tidak untuk bekerja sendiri. Kini keadaan serupa juga terdapat di beberapa negara berkembang.
19 Di Bangladesh banyak perempuan muslim yang menganggap bahwa tidak pantas untuk terlibat dalam lapangan kerja yang dibayar. Namun ada banyak perempuan muslim lainnya terpaksa bekerja, seringkali sebagai pembantu rumahtangga. Dengan kata lain, kelas (class) nyaris selalu berkaitan dengan urusan memutuskan peran gender yang pantas karena memiliki jenis kelamin (seks) biologis tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa gender seseorang diperoleh melalui suatu proses yang panjang, sebagai hasil belajar sejak usia dini. Gender juga merupakan hasil interaksi faktor internal (apa yang secara biologis tersedia) dan faktor eksternal (apa yang diajarkan oleh lingkungannya, termasuk tujuan dan harapan lingkungan terhadapnya karena ia berjenis kelamin perempuan atau laki-laki). Gender dapat juga berubah walaupun sulit karena telah mengalami proses yang panjang dalam perkembangan seseorang. 2.1.3. Analisis Gender Memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan selalu menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatan di masa mendatang. Sejarah manusia dalam memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis dan teori sosial yang hingga saat ini masih berpengaruh dalam membentuk sistem kemasyarakatan umat manusia. Dari berbagai gugatan terhadap ketidakadilan tersebut, terdapat satu analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin yang belum pernah disinggung oleh teoriteori sebelumnya, yaitu analisis gender (Fakih, 1999). Sebagaimana layaknya teori sosial lainnya seperti analisis kelas, kultural dan diskursus, analisis gender bermaksud memahami realitas sosial. Sebagai teori,
20 tugas utama analisis gender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi, dan praktek hubungan baru antara laki-laki dan perempuan, serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, dan kultural), yang belum dianalisis oleh teori ataupun alat analisis sosial lainnya (Fakih, 1999). Terdapat beberapa sumber terjadinya ketimpangan gender dalam masyarakat. KPP RI (2005) menyebutkan sumber bias gender berasal dari faktor (1) sosial atau lingkungan, (2) agama, (3) adat istiadat, (4) ekonomi, (5) peraturan peundang-undangan, (6) kebijakan, dan lain-lain. Pada saat ini analisis gender (Gender-Based Analysis) sudah diterapkan dalam penyusunan kebijakan dan perundang-undangan di beberapa negara. Status of Woman Canada (1996) memaparkan bahwa pada tahun 1995 pemerintah federal mengadopsi analisis gender untuk kebijakan dan perundang-undangan yang akan diambil. Analisis berdasarkan gender adalah sebuah proses yang menilai dampak yang berbeda dari yang diusulkan dan/atau kebijakan yang ada, program dan perundang-undangan terhadap laki-laki dan perempuan. Hal ini memungkinan kebijakan yang diambil memberi penghargaan atas perbedaan gender, dari hubungan alami antara laki-laki dan perempuan dan dari kenyataan perbedaan sosial mereka, harapan hidup, dan keadaan ekonomi. Dengan analisis gender dapat dibandingkan bagaimana dan mengapa perempuan dan laki-laki dipengaruhi oleh isu kebijakan. Analisis ini menentang asumsi bahwa setiap orang dipengaruhi oleh kebijakan, program, dan perundangundangan dalam cara yang sama tanpa memperhatikan gender, atau sering dikenal sebagai ‘kebijakan netral gender’.
21 KPP RI (2005) menjelaskan bahwa dalam melakukan analisis atau perencanaan anggaran berbasis gender, para perencana dapat menggunakan berbagai metode yang tersedia. Setiap metode memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Penggunaannya tergantung pada kebutuhan dan kecocokan dengan situasi yang dihadapi. Terdapat beberapa model teknik analisis gender yang pernah dikembangkan oleh para ahli, antara lain (1) Model Harvard, (2) Model Moser, (3) Model GAP (Gender Analysis Pathway), dan (4) Model Pro BA (Problem Based Approach). Metode Harvard yang dikembangkan oleh Harvard Institute didasarkan pada pendekatan efisiensi WID (women in development) yang merupakan kerangka analisis gender dan perencanaan gender yang paling awal. Model Mosher merupakan tehnis analisis yang didasarkan pada pendapat bahwa perencanaan gender bersifat ‘tehnis’ dan ‘politik’.
Kerangka ini
mengasumsikan adanya konflik dalam proses perencanaan dan proses transformasi serta mencirikan perencanaan sebagai suatu ‘debat’. Metode GAP bertujuan untuk mengetahui ada-tidaknya kesenjangan gender, dengan melihat aspek akses, peran, manfaat, dan kontrol yang diperoleh perempuan dan laki-laki dalam program pembangunan. Metode ini telah banyak digunakan di Indonesia, terutama dalam proses perencanaan program-program responsif gender. Analisis model PROBA didasarkan pada masalah yang ada di setiap instansi atau wilayah, lalu membandingkan dengan rencana yang dicanangkan. Menurut Ellis (1988), peran perempuan dalam aktivitas pertanian sangat besar, namun analisis ekonomi yang ada belum mampu meliput kontribusi tersebut secara tepat. Oleh karena itu, beberapa konsep yang relevan digunakan untuk bisa melihat peran perempuan secara lebih
22 obyektif, adalah (1) gender division of labor (pemisahan tenaga kerja berdasar gender), (2) dampak pemisahan tenaga kerja terhadap alokasi waktu perempuan dan laki-laki, (3) kekakuan dalam pemisahan tenaga kerja, (4) kontrol terhadap sumberdaya, dan (5) dampak dari faktor-faktor di atas terhadap hubungan produktivitas, hasil tenaga kerja, dan distribusi pendapatan rumahtangga pertanian. 2.2.
Pangan, Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan Pangan merupakan kebutuhan yang sangat azasi, yang bila tidak dipenuhi
dapat menyebabkan seseorang tidak dapat beraktivitas dan berprestasi, bahkan bila kekurangan pangan terus berlanjut dapat menyebabkan kematian (Taridala, 1999). Di Indonesia, aturan tentang pangan dituangkan di dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang antara lain menyebutkan bahwa hak atas pangan dilaksanakan secara bersama-sama oleh negara dan masyarakat dalam konteks pembangunan ketahanan pangan. Berdasar pertimbangan bahwa (1) ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, dan (2) sebagai pelaksanaan Pasal 50 Undang-Undang
tentang
pangan
tersebut,
telah
diundangkan
Peraturan
Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. 2.2.1. Peranan Pangan Dalam Pembangunan Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Pangan sebagai sumber zat gizi
23 (karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air) menjadi landasan utama bagi manusia untuk mencapi kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus hidup. Janin dalam kandungan, bayi, balita, anak remaja, dewasa maupun usia lanjut membutuhkan pangan yang sesuai dengan syarat gizi untuk mempertahankan hidup, tumbuh dan berkembang, serta mencapai prestasi kerja (Karsin, 2004). Dari kondisi di atas menunjukkan bahwa pangan (dan gizi) merupakan indikator hidup masyarakat yang berkelanjutan, yang memungkinkan anggotanya mencapai mutu kehidupan melalui cara yang secara ekologi berkelanjutan, antara lain melalui pembangunan pertanian berkelanjutan. Dengan demikian, setiap pemerintah suatu negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi kebutuhan pangan (dan gizi) tersebut. Kegagalan pemerintah memenuhi kewajiban tersebut berarti melanggar hak asasi. Hubungan antara pangan (gizi) dengan pembangunan memiliki kaitan yang erat. Berg (1986) menunjukkan hubungan tersebut dalam Gambar 1. Pangan (dan gizi) yang memadai merupakan kebutuhan penting untuk menurunkan angka kematian bayi dan Balita, menurunkan angka kesakitan, meningkatkan kemampuan belajar anak sekolah, dan daya tahan fisik orang dewasa. Dengan demikian akan dicapai kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Dari Gambar 1 tersebut dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan di suatu negara sangat ditentukan oleh ketersediaan pangan yang bergizi, yang dapat dikonsumsi oleh setiap warga negara yang membutuhkannya.
24
Angka kematian Bayi dan balita
Angka kesakitan
Mendorong KB
Hari kerja
Gizi yang Memadai
Kualitas Kemampuan belajar
Produktivitas
hidup
Anak sekolah Prestasi kerja Daya tahan fisik
Pembangunan berhasil
Orang dewasa
Sumber : Berg, 1986 Gambar 1. Hubungan antara Gizi dan Pembangunan 2.2.2. Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesempatan kerja guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan menjadi lebih baik, merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan (Saliem et al., 2003). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu hal yang sangat penting dalam pembangunan suatu negara adalah bagaimana menyediakan pangan bagi rakyatnya. Negara yang berhasil memenuhi kebutuhan pangan bagi seluruh rakyatnya atau telah mencapai kondisi ’tahan pangan’ (food security) adalah negara yang berhasil dalam pembangunan nasionalnya.
25 Sesuai Undang-Undang No 7/1996 tentang pangan bahwa pangan mencakup pangan dan minuman hasil tanaman dan ternak serta ikan, baik produk primer maupun olahan. Dengan definisi pangan seperti itu tingkat ketersediaan pangan nasional untuk konsumsi diukur dalam satuan energi dan protein, dimana pada tahun 2000 sebesar 2992 Kkal/kapita/hari dan 80 gr protein/kapita/ hari. Angka tersebut telah melebihi standar kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2000 yang masing-masing sebesar 2500 Kkal/kapita/hari dan 55 gr protein/kapita/hari. Walaupun secara nasional ketersediaan pangan telah melebihi standar kecukupan energi dan protein, namun tidak menjamin kecukupan konsumsi di tingkat individu. Ini sejalan dengan Stamoulis et al. (2003) yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan sektor pertanian tidak selalu memiliki dampak besar terhadap ketahanan pangan. Potensi pertanian dan pembangunan pertanian untuk mendorong ketahanan pangan bervariasi berdasarkan relatif pentingnya pertanian dalam matapencaharian masyarakat. Seperti diketahui bahwa tingkat konsumsi rata-rata per kapita per hari penduduk Indonesia pada tahun 1999 adalah sebesar 1849 Kkal atau 82.2 persen dari standar kecukupan. Ketidakcukupan pangan ini mencerminkan pula fakta bahwa (1) prevalensi balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk masingmasing 24.9 persen dan 7.7 persen pada tahun 1999, dan (2) proporsi rumahtangga rawan pangan di lndonesia yang diukur dengan indikator silang antara tingkat konsumsi energi ≤ 80 persen dari standar kecukupan dan pangsa pengeluaran pangan > 60 persen dari total pengeluaran mencapai sekitar 30
26 persen, serta (3) jumlah penduduk miskin di Indonesia (yang juga dapat diidentikkan dengan penduduk yang tidak atau kurang tahan pangan) pada tahun 1998 sebesar 24.23 persen (Jayawinata, 2005). Keadaan ini menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya berhasil dalam pembangunan nasionalnya, karena belum berhasil memenuhi kebutuhan pangan seluruh warga negaranya. 2.2.3. Sistem Ketahanan Pangan Pada tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi isu internasional. Pada tahap ini, konsep ketahanan pangan (food security) difokuskan pada ketersediaan pangan di tingkat nasional maupun internasional, terutama padipadian, karena adanya krisis pangan dunia tahun 1972-1974. Oleh karena itu sejak awal orde baru kebijakan ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyediaan pangan yang dikenal sebagai FAA (food availability approach). Pendekatan ini tidak memperhatikan aspek distribusi dan akses terhadap pangan. Asumsi yang mendasarinya adalah jika pasokan pangan tersedia, maka para pedagang akan menyalurkan pangan tersebut ke seluruh wilayah secara efisien. Selain itu harga pangan akan tetap stabil pada tingkat yang wajar, sehingga dapat dijangkau oleh seluruh keluarga (Setiawan, 2004). Meskipun tersedia pangan yang cukup, sebagian orang masih menderita kelaparan karena tidak mempunyai cukup akses terhadap pangan. Fenomena ini disebut sebagai hunger paradoks. Hal seperti itulah yang menyebabkan pendekatan
ketersediaan
pangan
gagal
mencapai
ketahanan
pangan
berkelanjutan di beberapa negara. Pada tahun 1980-an terjadi pergeseran konsep ketahanan pangan yang ditekankan pada akses pangan di tingkat rumahtangga dan individu. Dimana
27 kerangka ketahanan pangan berada dalam suatu jenjang, yaitu ketahanan pangan wilayah, rumahtangga, dan individu. Ketahanan pangan wilayah tidak menjamin ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan rumahtangga tidak akan menjamin ketahanan pangan individu. Ketahanan pangan individu akan menjamin ketahanan pangan di semua jenjang. Setiawan (2004) mengemukakan definisi ketahanan pangan yang telah diterima secara luas oleh praktisi maupun akademisi adalah acces for all people at all times to enough
food for an active and healthy life. Makna yang
terkandung dalam definisi tersebut adalah setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat. Dalam konteks rumahtangga, definisi tersebut didasarkan pada konsep entitlement atau kemampuan untuk menguasai pangan. Indonesia telah mengadopsi rumusan ketahanan pangan tersebut dan dituangkan dalam UU RI Nomor 7/1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Implementasi dari Undang-Undang tersebut ditindaklanjuti dengan mengkristalkan konsep ketahanan pangan sebagai suatu sistem seperti terdapat pada Gambar 2 (Dewan Ketahanan Pangan [DKP], 2006). Kinerja dari ketiga subsistem ketahanan pangan akan terlihat pada status gizi masyarakat dan dapat dideteksi antara lain dari status gizi anak Balita (bawah lima tahun). Apabila salah satu atau lebih dari ke tiga subsistem tersebut tidak berfungsi dengan baik maka akan terjadi masalah kerawanan pangan yang berdampak pada
28 peningkatan kasus gizi kurang dan/atau gizi buruk. Dalam kondisi demikian negara atau daerah dapat dikatakan belum mampu mewujudkan ketahanan pangan.
INPUT Kebijakan dan Kinerja Sektor Ekonomi, Sosial, Politik
NASIONAL, PROPINSI, KABUPATEN
Ekonomi - Pertanian , Perikanan, Kehutanan / - Perdagangan Jasa - Industri
KETERSEDIAAN
Prasarana / Sarana - Lahan/pertanahan - Sumber daya air, Irigasi - Perhubungan/ transportasi - Permoda lan
RUMAH TANGGA
PENDAPATAN DAN
KONSUMSI SESUAI KEBUTUHAN
AKSES PANGAN
GIZI
PENGELOLAAN KONSUMSI & POLA ASUH KELUARGA
OUTPUT
S T A T U S G I Z I
DISTRIBUSI SANITASI & KESEHATAN
Kesra - Kependudukan - Pendidikan - Kesehatan
INDIVIDU
Pemenuhan Hak Atas Pangan
Sumberdaya Manusia Berkualitas
PEMANFAATAN OLEH TUBUH
Ketahanan Nasional
KONSUMSI
Stabilitas dan Keamanan Nasional
Sumber : DKP, 2006 Gambar 2. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan Setiawan (2004) menyatakan bahwa sistem ketahanan pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu: (1) ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability, and stability),(2) kemudahan memperoleh pangan (food accessibility, dan (3) pemanfaatan pangan (food utilization). Dengan demikian faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan adalah faktorfaktor yang mempengaruhi ketiga komponen ketahanan pangan tersebut. Komponen ketersediaan dan stabilitas pangan dipengaruhi oleh sumberdaya (alam, manusia, dan sosial) dan produksi pangan (on-farm and off-farm). Akses pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap rumahtangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai
29 dengan norma gizi. Kondisi tersebut tercermin dari kemampuan rumahtangga untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga dan produksi pangan. Hal ini tergantung pada harga pangan maupun tingkat sumberdaya yang terdapat dalam keluarga, yaitu meliputi tenaga kerja (labor) dan modal (capital). Ketersediaan tenaga kerja merupakan dimensi fisik dari sumberdaya keluarga yang diperlukan untuk proses produksi. Se1ain itu juga tergantung pada pengetahuan atau dimensi sumberdaya manusia (human capital), serta sumberdaya sosial. Pemanfaatan pangan mencerminkan kemampuan tubuh untuk mengolah pangan dan mengubahnya ke dalam bentuk energi yang dapat digunakan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari atau disimpan. Dimensi pemanfaatan pangan meliputi konsumsi pangan dan status gizi. Keluaran yang diharapkan dari pembangunan sistem ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak atas pangan (food entitlement) dan berkembangnya sumberdaya manusia yang berkualitas serta meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional, dimana hal tersebut akan berdampak pada manusia Indonesia yang sehat (Setiawan, 2004). 2.2.4. Indikator Ketahanan Pangan Ukuran keberhasilan pembangunan ketahanan pangan, baik di tingkat makro maupun mikro, dapat dilihat dari beberapa indikator berikut : (1) produksi pangan, baik di tingkat rumahtangga, wilayah, regional, dan nasional, (2) tingkat ketersediaan pangan di rumahtangga, wilayah, regional, dan nasional, (3) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumahtangga, (4) fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumahtangga, (5) keadaan konsumsi pangan, (6) status gizi, (7) angka indeks ketahanan
30 pangan rumahtangga, (8) angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah, (9) skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi, (10) kondisi keamanan pangan, (11) keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat, (12) tingkat cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan, (13) kemampuan untuk melakukan stok pangan, (14) indeks diversifikasi pangan, dan (15) indeks kemandirian pangan (Saliem et al., 2002). Maxwell dan Frankenberger (1992) yang dikutip Setiawan (2004) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung. Selanjutnya dijelaskan bahwa indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan dan akses terhadap kredit modal. Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumahtangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Strategi tersebut dikenal sebagai coping ability indicator. Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan. Indikator dampak secara tidak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi. Untuk menganalisis ketahanan pangan, FAO merekomendasikan penggunaan indikator outcome yang meliputi : (1) umur harapan hidup (UHH),
31 (2) prevalensi anak kurang gizi, dan (3) angka kematian bayi (BAPPENAS, 2002). Gervais (2004) dalam Edralin dan Collado (2005) mengadopsi definisi bank dunia dan menggunakan indikator untuk mengukur ketahanan pangan yaitu : (1) ketersediaan pangan – cukupnya ketersediaan pangan secara fisik, (2) akses pangan – akses secara fisik dan ekonomi oleh seluruh rumahtangga dan individu, dan (3) pemanfaatan pangan – penggunaan pangan yang layak secara biologis yang tersedia bagi rumahtangga dan individu yang sesuai dengan pola makan dan kebutuhannya. Indikator ketahanan pangan alternatif menurut Ilham (2006) adalah pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran. 2.3.
Tinjauan Studi Terdahulu
2.3.1. Studi di Mancanegara Pada bagian ini dikemukakan beberapa hasil kajian terkait aspek gender dan ketahanan pangan, juga terkait partisipasi angkatan kerja dan pembagian kerja gender dalam rumahtangga yang dilakukan oleh beberapa peneliti di mancanegara. Beberapa literatur yang dirujuk dalam penelitian ini, ringkasannya disajikan dalam Lampiran 4. 2.3.1.1. Gender dan Ketahanan Pangan Gender dan ketahanan pangan saling berhubungan. Penelitian FAO (Undated) memberikan gambaran mengenai perubahan dan peranan mutakhir perempuan dalam ketahanan pangan pada wilayah yang berbeda di dunia, khususnya produsen pangan pada konteks global dan kecenderungan pertanian wilayah. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Keadaan yang tidak merata mengenai informasi pada wilayah dan negara disebabkan adanya gap atau kemiskinan data gender yang tidak terkumpul. Hal ini mengindikasikan perlunya
32 informasi lebih lanjut dan koleksi data dibutuhkan mengenai hal tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa perempuan memegang peranan penting sebagai produsen pangan. Menurut perkiraan FAO (Undated), perempuan menghasilkan lebih dari 50 persen pangan yang tumbuh di dunia secara keseluruhan. Peranan perempuan di bidang pertanian bervariasi, baik antar wilayah maupun negara. Perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang saling melengkapi, berbagi tugas dalam produksi hasil panen, peningkatan peternakan, dan perikanan. Pada kasus lain, perempuan dan laki-laki mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berbeda dalam pemanenan dan peternakan, perikanan, dan kehutanan. Walaupun pemanenan langsung dalam skala besar telah diperkenalkan namun keterlibatan laki-laki lebih diutamakan, khususnya dalam pertanian dengan mekanisasi tinggi. Tanggung jawab perempuan meningkat terhadap produksi pangan dalam skala rumahtangga dan pemanenan langsung dalam skala kecil dengan menggunakan teknologi rendah. Kontribusi perempuan lainnya adalah (1) pemelihara biodiversity, serta (2) pengolah dan penyaji makanan. Peran lain perempuan adalah dalam pengolahan pangan yang berkontribusi terhadap ketahanan pangan melalui penurunan kehilangan pangan, penganekaragaman diet, dan mensuplai vitamin penting bagi tubuh. Perempuan juga bertanggung jawab terhadap waktu konsumsi, penggilingan, pengasapan ikan dan daging, mengolah dan memelihara buah dan sayur yang dihasilkan dari pekarangan rumah, bertanggung jawab secara universal dalam penyiapan makanan keluarga, dan menjamin kualitas gizi seluruh anggota keluarga. Sebagai penerima gaji, perempuan bertanggung jawab dalam penyediaan pangan untuk keluarga. Jika tidak sebagai penghasil, maka sebagai penerima
33 penghasilan, perempuan tetap berkewajiban membeli pangan. Pada perempuan desa dan kota, proporsi terbesar dari upah mereka digunakan untuk membeli makanan bagi anggota keluarga. Selain itu perempuan desa dan kota memiliki tanggung jawab yang berbeda dalam penyediaan makanan. Hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan keluarga mereka. Ketika perempuan mempunyai kontrol terhadap kelebihan penghasilan, maka mereka dapat mempertahankan tingkat kesejahteraan keluarga, khususnya pada perbaikan kualitas gizi anggota keluarga. Faktor yang mempengaruhi ketidakleluasaan peranan perempuan dalam ketahanan pangan adalah ’kebutaan gender dan ketidakmampuan melihat peranan perempuan dalam ketahanan pangan’. Kurangnya kesadaran terhadap peran spesifik yang berbeda pada laki-laki dan perempuan dalam produksi pertanian dan ketahanan pangan menghasilkan ’kebutaan gender’. Ketidaksadaran terhadap adanya perbedaan ini menyebabkan adanya persepsi bahwa kebutuhan petani lakilaki dan perempuan sama, sehingga mereka lebih memilih petani laki-laki daripada perempuan. Secara khusus Horenstein (1989) melakukan penelitian tentang perempuan dan ketahanan pangan di Kenya. Tujuannya adalah mempelajari hubungan kritis melalui penilaian beberapa pengaruh ketahanan pangan rumahtangga dan juga peran spesifik perempuan dan kendalanya di Kenya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas perempuan Kenya (9 dari 10 orang) tinggal di daerah perdesaan. Mereka melakukan peran penting dan menyangkut berbagai bidang di sektor perdesaan sebagai petani kecil, penerima pendapatan, dan sebagai kepala rumahtangga, karena pria berpindah atau
34 merantau ke daerah lain untuk mencari pekerjaan. Hal ini meningkatkan komitmen dan tanggung jawab seorang perempuan. Berhubungan dengan peran mereka sebagai petani, perempuan terlibat dalam memasarkan hasil pertanian. Sebagai penyedia makanan untuk keluarga, perempuan mempunyai peran ganda, yaitu sebagai pembeli dan penjual. Peran lainnya adalah dalam penyimpanan hasil panen, dimana ini sangat mempengaruhi pencapaian ketahanan pangan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Perempuan merupakan penghasil pendapatan (income earners), baik yang diperoleh dari hasil usahatani maupun non usahatani, juga dari kiriman keluarga mereka yang bekerja di luar daerah. Perempuan mempunyai tanggung jawab utama dalam pembelian makanan, kemampuan mereka dalam mengontrol penghasilan menjadi sangat penting dalam pencapaian ketahanan pangan. Perempuan memegang peranan kritis sebagai penyedia makanan : memilih jenis makanan yang tersedia di pasar atau yang dihasilkan dari kebun, mengalokasikan jumlah makanan untuk anggota keluarga, mempersiapkan makanan, dan membuat variasi pada setiap makanan (Clark, 1985 dalam Horenstein, 1989). Gambar 3 di bawah ini menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Rumahtangga pertanian
menyumbangkan
berbagai
bahan pangan.
Penghasilan pangan domestik (makanan yang menjalani proses secara umum, penyiapan, dan penyimpanan) dapat dikonsumsi oleh rumahtangga dan sebagaian lagi dijual ke pasar atau keseluruhan hasil panen langsung dijual. Penghasilan yang diperoleh dari hasil penjualan makanan atau hasil panen dapat juga digunakan untuk membeli bahan makanan yang lain. Sumber penghasilan lain
35 (kiriman, dari pekerjaan sambilan di luar pertanian, upah sebagai tenaga kerja musiman) juga dapat digunakan untuk membeli makanan atau untuk meningkatkan produksi domestik. Kebijakan Pangan Nasional dan Pertanian (harga, pemasaran, insentif produksi, bantuan pangan, subsidi, input, dll)
Akses terhadap lahan, tenaga kerja, pelayanan, input, dan pemasaran
Pengolahan, Penyiapan, Penyimpanan
Produksi Pertanian Rumahtangga
Ketahanan Pangan Rumahtangga
Konsumsi
Kerja di Luar Pertanian
Dijual
Uang Kiriman
Pendapatan
Akses Intra-Rumahtangga Kontrol dan Alokasi Sumberdaya
Belanja Pangan
Belanja Non Pangan Informasi Nutrisi dan Pelayanan
Informasi Kesehatan dan Pelayanan
Sumber : Horenstein, 1989 Gambar 3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga
Akses informasi mengenai gizi dan kesehatan serta pelayanannya, status gizi, dan kesehatan masing-masing individu akan berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian
penghasilan
keluarga
untuk
membeli
makanan
dan/atau
memperoleh manfaat dari makanan yang dikonsumsi. Ketersediaan waktu untuk melakukan berbagai tugas yang berhubungan dengan produksi dan konsumsi makanan
akan
mempengaruhi
tingkat
ketahanan
pangan
dalam
skala
rumahtangga. Oleh karena itu diperlukan penghematan teknologi pada beberapa titik dalam siklus makanan. Adanya hubungan antara semua faktor menjadi hal
36 yang kritis dan dinamis terhadap pencapaian ketahanan pangan pada skala rumahtangga. Hal ini terkait dengan pengetahuan dan pemahaman para pelaku rumahtangga yang diperlukan oleh pelaku rumahtangga terkait bagaimana cara mendapatkan, mengawasi, mengalokasikan, dan menggunakan sumberdaya secara proporsional. Fokusnya adalah apa dan berapa banyak tanaman yang dialokasikan untuk dijual dan dibeli, seiring dengan penambahan pengetahuan mengenai siapa yang memperoleh penghasilan dan bagaimana penghasilan tersebut digunakan merupakan variabel kunci untuk mencapai ketahanan pangan dalam rumahtangga. 2.3.1.2. Perempuan, Ketahanan Pangan dan Pembangunan Untuk menguji peran perempuan dalam pembangunan terhadap kelaparan dan kematian anak-anak, Scanlan (2004) menggunakan Ordinary Least Square (OLS) dan data cross-sectional tahun 2000. Untuk mengukur partisipasi perempuan dalam pembangunan digunakan Gender-Related Development Index (GDI) atau Indeks Pembangunan Gender (IPG), untuk membangun dua ukuran ’pendekatan bagi kesetaraan gender’ dalam masyarakat di tahun 2000. Dalam penelitian ini diukur
gap antara GDI dan HDI, yang
mengindikasikan adanya perbedaan rasio atau skor antara keduanya. Tujuannya adalah untuk mengisolasi komponen gender dari HDI (HDI mengukur kualitas pembangunan masyarakat secara keseluruhan). Dengan menggunakan perbedaan nilai antara GDI dan HDI dapat dipastikan bahwa dampak pembangunan yang ada menimbulkan ketimpangan gender dan bukan disebabkan oleh pembangunan ekonomi yang rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan memberi kontribusi yang sangat besar atas pencapaian kesejahteraan manusia dalam pembangunan
37 masyarakat dan oleh karena itu harus dimasukkan ke dalam program dan kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan, khususnya yang terkait dengan kelaparan dan kematian anak-anak (keduanya memiliki keterkaitan spesifik). Peran perempuan yang sangat vital dalam pembangunan di negara-negara less-industrialized, dapat dilihat dari level pembangunan ekonomi, tekanan populasi, demokratisasi, globalisasi atau wilayah. Pemberdayaan perempuan dan menginkorporasikan gender ke dalam program pembangunan tidak hanya akan meningkatkan kesempatan hidup perempuan, tetapi juga memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, khususnya bagi kelompok yang paling rawan dari populasi dunia, yaitu anak-anak. Hasil analisis yang diperoleh merupakan evaluasi empiris atas kontribusi perempuan terkait aspek kelaparan dan kematian anak-anak. Pemahaman mengenai ketahanan pangan dan pembangunan terkait aspek perempuan dalam perspektif pembangunan, harus secara terus menerus diinkorporasikan dalam inisiatif penelitian dan kebijakan. Negara-negara yang mengintegrasikan gender ke dalam pertimbangan kebijakan dan program akan memperoleh manfaat dalam bentuk outcomes pembangunan dalam bidang sosial dan ekonomi. Temuan lain adalah dengan memasukkan aspek gender ke dalam analisis maka akan dapat menangkap dinamika pembangunan ekonomi yang penting.
2.3.1.3. Gender, Pembagian Tenaga Kerja, Penggunaan Waktu dan Partisipasi di Pasar Tenaga Kerja Survei mengenai penggunaan waktu anggota rumahtangga merupakan input penting ditujukan untuk keluarga dan sikapnya terkait gender, juga tentang informasi bagi analisis kebijakan, karena memberikan informasi tentang alokasi waktu rumahtangga untuk kegiatan produksi rumahtangga sebagai substitusi
38 output pasar, juga informasi atas alokasi kegiatan santai (leisure). Sudah jelas bahwa analisis ekonomi dari kebijakan yang didasarkan pada model perilaku individu dan rumahtangga menunjukkan bahwa kesejahteraan tergantung pada konsumsi dan leisure (Apps, 2004). Lewin-Epstein dan Stier (2006) menggunakan bagian dari data Program Survey Sosial Internasional tahun 2002, di mana respondennya berusia di atas 18 tahun. Dalam kuesioner yang diajukan kepada responden terutama mengenai pembagian tenaga kerja rumahtangga dan curahan waktu atas pekerjaan di rumah. Variabel dependen yang digunakan, yaitu pembagian tenaga kerja keluarga, yang dalam hal ini menunjukkan adanya pemisahan dalam tenaga kerja rumahtangga, atau sebaliknya adanya sharing pasangan dalam tugas rumahtangga, diukur sebagai respon rata-rata untuk 4 (empat) item yang merepresentasikan tugas utama harian rumahtangga, yaitu mencuci, membersihkan, menyiapkan makan, dan belanja. Skala untuk setiap item adalah 1 bila hanya isteri yang bertanggung jawab untuk aktivitas tersebut dan 5 (lima) bila hanya suami yang bertanggung jawab. Rendahnya skor total menunjukkan bahwa perempuan merupakan pengatur utama pekerjaan di rumah. Sebaliknya, nilai skor yang tinggi menggambarkan bahwa laki-laki lebih bertanggung jawab atas pekerjaan seharihari yang dilakukan oleh rumahtangga tradisional. Bila nilainya intermediate, berarti bahwa pembagian tenaga kerja dalam rumahtangga lebih egalitarian. Hasil penelitian adalah perempuan dan laki-laki Israel mencurahkan waktu yang lebih sedikit dalam pekerjaan rumahtangga dan pekerjaan rumahtangga di Jerman lebih terpisah. Hal ini disebabkan karena kedua negara berbeda dalam karakteristik
demografi
penting
yang
selalu
mempengaruhi
pekerjaan
39 rumahtangga, yaitu umur, pendidikan istri, pendidikan suami, isteri dalam angkatan kerja, suami dalam angkatan kerja, jam kerja mingguan isteri di pasar, jam kerja mingguan suami di pasar, anak < 6 tahun, anak 6-17 tahun, ketergantungan pendapatan, ideologi gender, dan outsourcing housework. Keputusan untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja secara umum dimodelkan sebagai maksimisasi individu atas lifetime utility (happiness) dengan kendala anggaran dan waktu yang tersedia. Bila utilitas dari upah marjinal harapan lebih tinggi daripada jam marjinal pada pekerjaan non pasar, maka individu akan memasuki angkatan kerja (Cunningham, 2001). Tetapi dalam kenyataannya, terdapat variabel non ekonomi yang berpengaruh. Misalnya variabel yang terkait dengan agama atau kepercayaan. Glass dan Nath (2006) menguji pengaruh dari konservatisme agama terhadap perilaku angkatan kerja perempuan yang menikah atau menambah anak terhadap rumahtangganya. Data yang digunakan adalah Survei Nasional Keluarga dan Rumahtangga. Paper ini fokus pada pengaruh ideologi agama konservatif dan afiliasi agama terhadap pekerjaan dan penghasilan perempuan seperti transisi mereka dalam peran keluarga (isteri, ibu) dimana partisipasi tenaga kerja sangat dilarang. Dalam hal ini diukur peran agama dan kepercayaan dalam keputusan perempuan untuk mengurangi keterlibatan mereka di pasar setelah menikah dan melahirkan. Ukuran yang digunakan dengan 3 (tiga) indikator adalah perubahan dalam jam kerja, komposisi gender dari pekerjaan yang dilakukan dan upah per jam. Pada saat ini, perkembangan peran perempuan di pasar tenaga kerja terus berkembang, meskipun tetap saja terjadi ketimpangan gender pada beberapa aspek. Maume (2006) menyebutkan bahwa dalam keluarga yang egalitarian,
40 diharapkan perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan pekerjaan prioritas dan kewajiban keluarga. Penelitian Maume (2006) menganalisis faktor-faktor penentu dari kendala tempat atas usaha kerja (misalnya mengurangi jam kerja, menolak untuk perjalanan) untuk kepentingan kehidupan keluarga. Fokus penelitian ini adalah untuk mengukur apakah laki-laki akan lebih fokus atas kehidupan keluarga ketika perempuan mengejar karirnya. Data yang digunakan adalah dua sampel dari pekerja penuh-waktu yang telah menikah (studi nasional perubahan angkatan kerja). Hasil menunjukkan bahwa perempuan lebih memilih menukar pekerjaan dalam merespon usaha kerja suami, dimana kendala pekerjaan laki-laki tidak responsif terhadap karakteristik keluarga. Disimpulkan bahwa pekerjaan prioritas dan kewajiban keluarga adalah lebih dipengaruhi oleh tradisionalisme gender daripada egalitarianisme. Binswanger dan Rosenzweig (1981) menemukan bahwa peran perempuan di pasar tenaga kerja perdesaan juga memperoleh sedikit perhatian. Aspek menarik adalah terkait pertanyaan ‘mengapa pola pekerjaan dan tingkat upah perempuan, dalam tugas atau jabatan tertentu, berbeda dengan laki-laki?’ Bardhan (1979) dan Rosenzweig (1979) dalam Binswanger dan Rosenzweig (1981) menguji perbedaan perilaku penawaran tenaga kerja perempuan dan laki-laki. Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa penelitian yang dikutip Binswanger dan Rosenzweig (1981) adalah bahwa di negara-negara berkembang seperti juga di negara-negara maju, pasar tenaga kerja perdesaan menunjukkan perbedaan pola antara pekerjaan dan penghasilan laki-laki dan perempuan. Upah perempuan secara umum lebih rendah dan tingkat pengangguran lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perempuan juga sering tidak mendapat tempat pada segmen tertentu di pasar tenaga kerja. Di
41 Banglades, perempuan tidak berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan secara keseluruhan, karena hambatan sosial dari sisi agama (tetapi di Indonesia, perempuan muslim berpartisipasi pada berbagai lapangan pekerjaan, sehingga agama secara sendiri tidak cukup untuk menjelaskan tak adanya partisipasi perempuan Banglades). Pada banyak lokasi di India, adanya fakta bahwa perempuan kelas atas tidak berpartisipasi di pasar tenaga kerja adalah berhubungan dengan larangan terkait kasta. Pola-pola yang ada di berbagai negara dengan corak sosial budaya yang berbeda, tidak mudah dijelaskan, baik dengan pembagian tenaga kerja (division of labor) terkait kemampuan melahirkan anak dan produksi rumahtangga, ataupun dengan perbedaan produktivitas pasar. Fakta bahwa terdapat keterbatasan pekerjaan dan mobilitas dari usahatani ke usahatani oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki berimplikasi pada efisiensi produksi dan menciptakan kesulitan dalam mengevaluasi kesejahteraan dari mekanisme pasar tenaga kerja perdesaan. 2.3.2. Studi di Indonesia Dalam bagian berikut disajikan hasil-hasil penelitian terkait aspek ketahanan pangan, kesempatan kerja dan alokasi waktu perempuan dan laki-laki berdasar gender yang dilakukan oleh peneliti-peneliti di Indonesia. Literaturliteratur yang dilakukan di Indonesia yang dirujuk dalam penelitian ini, ringkasannya disajikan dalam Lampiran 5. 2.3.2.1. Faktor-Faktor Penentu Partisipasi Perempuan dalam Sektor Ekonomi Keputusan seorang perempuan atau laki-laki untuk bekerja atau tidak bekerja di sektor produktif, merupakan hak individu tersebut. Dilihat dari aspek
42 gender, keputusan seseorang untuk masuk ke pasar tenaga kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor ekonomi maupun non ekonomi. Dengan demikian, ketika seorang perempuan atau laki-laki mengambil keputusan untuk bekerja atau tidak bekerja di sektor produksi, maka perlu dipertanyakan lebih lanjut mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusannya tersebut. Widarti (1998) melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan partisipasi perempuan menikah di pasar tenaga kerja (sisi penawaran). Analisis didasarkan pada data SUPAS Jakarta Tahun 1985. Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan analisis multivariat, dimana variabel dependennya bersifat dikotomi, sehingga digunakan model logit. Diasumsikan bahwa perempuan dapat memilih satu dari dua alternatif ekslusif mutualisme, yaitu berpartisipasi atau tidak berpartisipasi di pasar tenaga kerja. Probabilitas untuk memilih ditentukan oleh karakteristik individual dan karakteristik keluarga, yang dalam studi ini dikelompokkan menjadi : (1) variabel sosiodemografi, yaitu umur, umur ketika pertama menikah, pendidikan, etnis, lama bermigrasi, adanya anak, dan (2) variabel status ekonomi, yaitu pendidikan suami, pekerjaan suami, pengeluaran rumahtangga, indeks rumah, dan status pekerjaan suami. Variabel upah tidak dimasukkan, karena tidak terdapat di dalam data SUPAS. Juga data pendapatan, penggantinya digunakan data pengeluaran rumahtangga. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keputusan perempuan menikah di Jakarta untuk bekerja atau tidak bekerja ditentukan oleh tingkat pendidikannya. Variabel lain yang juga berpengaruh pada semua kelompok pendidikan adalah adanya anak berumur di bawah lima tahun. Variabel ini berpengaruh negatif terhadap partisipasi perempuan menikah di pasar tenaga kerja.
43 Senada dengan itu, Rachman et al. (1988) melakukan penelitian tentang faktor-faktor penentu curahan kerja ibu rumahtangga di perdesaan. Dengan menggunakan data Patanas, disusun model regresi linear berganda untuk menjawab tujuan yang ingin dicapai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curahan kerja ibu rumahtangga di sektor ekonomi perdesaan dipengaruhi oleh umur ibu rumahtangga, jumlah anggota keluarga, total jam kerja dalam keluarga, dan luas lahan garapan. Hasil penelitian Koesoemowidjojo (2000) menunjukkan bahwa alokasi waktu isteri di sektor publik dipengaruhi secara signifikan oleh besar penerimaan rumahtangga, pendapatan suami, kehadiran Balita, dan pola perkreditan (Kredit Usaha Mandiri, KUM). Variabel penerimaan rumahtangga berpengaruh positif, sedangkan variabel lainnya berpengaruh negatif. 2.3.2.2. Analisis Pasar Tenaga Kerja Kajian mengenai pasar tenaga kerja di Indonesia telah dilakukan para peneliti, hal ini karena tenaga kerja merupakan salah satu faktor krusial yang mempengaruhi peningkatan output atau Produk Domestik Bruto (PDB). Perubahan struktur ekonomi dari pertanian ke industri berdampak antara lain terhadap peningkatan output, penyerapan tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, dan kesejahteraan tenaga kerja. Penelitan Margono (2005) bertujuan menganalisis produktivitas dan ketenagakerjaan. Untuk analisis makro ekonomi digunakan data time series tahun 1972-2002, sedangkan untuk analisis mikro digunakan data SAKERNAS tahun 2002, SUSENAS tahun 2002, dan data hasil survei penulis. Hasil penelitiannya adalah bahwa peningkatan output antara lain dipengaruhi secara
44 signifikan oleh tenaga kerja dan barang modal. Tenaga kerja sendiri dipengaruhi oleh upah riil, investasi, dan output. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja di wilayah JABODETABEK adalah usia, jam kerja, jenis kelamin, pengalaman, tingkat pendidikan, dan wilayah kota-desa. Kesejahteraan tenaga kerja dipengaruhi oleh pendapatan, wilayah kota-desa dan tingkat pendidikan. Mobilitas antar sektor di wilayah JABODETABEK dipengaruhi oleh jenis kelamin, pengalaman kerja, dan tingkat upah di bawah Rp 1 (satu) juta. Menurunnya kinerja pasar tenaga kerja akan berpengaruh terhadap meningkatnya pengangguran, bila tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan berbagai masalah sosial. Sukwika (2003) tertarik mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi keragaan pasar tenaga kerja dan migrasi, dengan menggunakan model ekonometrika dalam bentuk sistem persamaan simultan. Data yang digunakan adalah pooled data. Dalam peneli-tian ini dilakukan analisis kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor yang secara langsung dapat mempengaruhi variabel eksogen, yaitu kesempatan kerja, pengangguran, dan migasi. Hasil penelitian antara lain adalah (1) upah bukan merupakan faktor pendorong utama peningkatan angkatan kerja dan (2) peningkatan kesempatan kerja sektor pertanian lebih responsif terhadap perubahan upah riil sektor pertanian, investasi sektor pertanian, dan jumlah pengangguran. Untuk mencapai tingkat kesempatan kerja yang tinggi, pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan di sektor ketenagakerjaan. Kebijakan tersebut secara langsung mempengaruhi pasar tenaga kerja dan kondisi perekonomian makro. Lisna (2007) menggunakan model sistem persamaan simultan berdasarkan data time series tahun 1980-2004 untuk meneliti dampak kebijakan
45 ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia. Hasil penelitiannya antara lain adalah meskipun upah minimum ditargetkan bagi buruh tanpa pengalaman dan nol masa kerja, dalam pelaksanaannya telah menyebabkan kenaikan upah rata-rata bagi buruh di semua tingkatan, mendorong tingkat pengangguran, dan inflasi yang pada akhirnya menurunkan GDP. 2.3.2.3. Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga Produksi usahatani merupakan sumber pendapatan tunai (cash income) dan sekaligus menjadi sumber ketersediaan pangan natura bagi rumahtangga pertanian. Soepriati (2006) melakukan penelitian tentang peranan produksi usahatani dan gender dalam ekonomi rumahtangga petani lahan sawah di Kabupaten Bogor. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah primer yang diperoleh dari wawancara dengan petani contoh terpilih dan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Metode pendugaan perilaku ekonomi rumahtangga petani adalah model ekonometrika. Metode pendugaan model persamaan digunakan Two Stage Least Squares (2 SLS). Hasil analisis menunjukkan bahwa peran anggota rumahtangga yang terdiri dari suami, istri, anak lakilaki, dan perempuan memberikan kontribusi curahan kerja bagi keluarga pada kegiatan usahatani. Kontribusi curahan kerja istri pada usahatani lebih kecil dibandingkan suami dan anak laki-laki. Peran istri dalam kegiatan reproduktif lebih tinggi dari pada suami, karena istri melakukan pekerjaan rumahtangga, kegiatan sosial dan kegiatan pribadi termasuk mengurus anak, memasak, pengaturan konsumsi pangan,
46 dan non pangan. Hal yang sama juga berlaku bagi anak perempuan dewasa yang dituntut untuk melakukan pekerjaan domestik. Alokasi waktu reproduktif suami dan anak laki-laki lebih banyak untuk kegiatan sosial dan waktu luang. Pendapatan rumahtangga merupakan kontribusi pendapatan suami, istri, anak laki, dan anak perempuan. Sitorus (1994) menyebutkan bahwa peran ekonomi perempuan pada rumahtangga nelayan miskin di Indonesia sangat besar. Terdapat dua peran, yaitu (1) berpartisipasi secara substansial dalam bentuk strategi nafkah ganda dan strategi
ekonomi
kesejahteraan
asli,
rumahtangga, dimana
dan
(2)
rumahtangga
partisipasinya mereka
dalam
lembaga
memperoleh
beberapa
penyelesaian untuk kesulitan ekonomi dan jaminan nafkah. Meskipun belum seperti di pedesaan sawah, untuk memenuhi kebutuhan hidup, rumahtangga miskin menerapkan strategi nafkah ganda, yaitu suami, isteri dan anak-anak usia kerja terlibat mencari nafkah di dalam dan di luar perikanan/pertanian sekaligus. Kalau pada rumahtangga menetap, peran suami dan isteri relatif tegas, namun tidak demikian pada rumahtangga sirkulator. Pada rumahtangga yang lelakinya merupakan sirkulator, pembagian peran tidak setegas keluarga menetap, banyak pekerjaan produktif yang ditangani perempuan, sebaliknya laki-laki sirkulator mau melakukan pekerjaan rumahtangga. Pada musim hujan, sebagian pendapatan dihasilkan dari kerja bersama dalam bidang pertanian. Pada musim kemarau, pendapatan keluarga berasal dari suami sendiri dan isteri sendiri (Sajiharjo, 1990). Koesoemowidjojo (2000) meneliti peran gender dalam rumahtangga penerima kredit peningkatan pendapatan petani kecil di Bogor. Data primer
47 yang digunakan dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif, yaitu menggunakan model regresi berganda. Hasil penelitian antara lain adalah (1) rata-rata lama pendidikan istri (5.9 tahun) lebih rendah daripada suami (7.3 tahun), (2) sekitar 29 persen isteri sepenuhnya hanya mengurus rumahtangga, selebihnya bekerja di sektor publik, dan (3) rumahtangga dengan keadaan ekonomi minim, isteri yang hanya mengurus rumahtangga mencapai 36 persen. Sedangkan rumahtangga yang lebih mampu, isteri yang mengurus rumahtangga hanya mencapai 16.7 persen. Ini merupakan indikasi bahwa adanya usaha industri rumahtangga mendorong isteri mengalokasikan waktunya untuk bekerja memperoleh pendapatan. Untuk menganalisis pengaruh dari variabel-variabel dependen, Setyawati (2008) menggunakan Model Regresi Berganda. Hasil penelitian menunjukkan peran yang dilakukan perempuan adalah selain aktivitas domestik, di luar rumah juga mengerjakan aktivitas produktif (bekerja) dan juga melakukan pekerjaan sosial kemasyarakatan. Peran perempuan dalam ekonomi rumahtangga diukur dari sumbangan pendapatan yang diperoleh perempuan, kontribusi perempuan berupa keputusannya dalam kegiatan rumahtangga, kegiatan sosial dan koperasi. Sedangkan kaum laki-laki, hanya melakukan aktivitas produktif dan sosial kemasyarakatan. Penelitian Soenarno (2007) dengan menggunakan data primer
dan
menganalisis data dengan mengkombinasikan analisis SWOT (Strenghts, Weakness, Opportunities, Threats) dan AHP (Analytical Hierarchy Process). Hasil penelitian antara lain adalah isteri bertanggung jawab dan lebih dominan sebagai pengambil keputusan dalam urusan rumahtangga dan keuangan,
48 sedangkan suami lebih dominan dalam pengambilan keputusan terkait kegiatan produksi dan urusan kemasyarakatan. Hasil penelitian Ariyanto (2004) tentang ‘alokasi waktu dan ekonomi rumahtangga pekerja pada sektor industri formal’ menunjukkan bahwa dalam hal mencari nafkah, suami merupakan pemegang kendali yang dominan, namun peran isteri dalam mencari nafkah sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan rumahtangganya terutama ketika pendapatan suami menurun. Selanjutnya ditemukan bahwa perempuan yang bekerja di sektor publik memiliki beban kerja yang sangat berat, karena disamping harus bekerja di luar rumah, juga masih harus menyelesaikan pekerjaan rumahtangga. Meskipun suami turut membantu pekerjaan domestik, tetapi waktu yang dicurahkan suami untuk pekerjaan rumahtangga relatif lebih sedikit dibanding perempuan.
Dengan
demikian, waktu senggang isteri cenderung lebih sedikit dibandingkan suami. Hasil analisis Ariyanto (2004) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dominan mempengaruhi alokasi waktu dan ekonomi rumahtangga pekerja lakilaki adalah umur anak terkecil, gaji pokok, jenis industri, alokasi waktu suami untuk bekerja di luar industri, jenis pekerjaan isteri, pendapatan disposibel, konsumsi pangan, konsumsi selain pangan, jumlah anak yang sekolah, dan tabungan rumahtangga. Sedangkan faktor-faktor yang dominan mempengaruhi alokasi waktu dan ekonomi rumahtangga pekerja perempuan adalah pendapatan isteri dari luar industri, umur anak terkecil, gaji pokok, jam lembur, alokasi waktu isteri untuk bekerja di luar industri, pendidikan suami, total pendapatan rumahtangga,
ukuran
rumahtangga,
rumahtangga, dan konsumsi rumahtangga.
pendapatan
disposibel,
tabungan
49 Peran gender dalam pengolahan dan pemasaran hasil perikanan menunjukkan bahwa kegiatan produktif masih didominasi oleh laki-laki. Sedangkan untuk kegiatan reproduktif, perempuan lebih banyak mencurahkan waktunya dibandingkan laki-laki. Bias gender pada beban kerja ini terjadi karena adanya pandangan masyarakat bahwa semua pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan, sehingga sejak dini perempuan terisolasi untuk melakukan peran domestik. Profil akses dan kontrol menunjukkan bahwa perempuan tersubordinasi pada tiga macam keputusan, yaitu pada peralatan nelayan, hasil tangkapan, dan hasil penjualan (Munaf, 2004). Subordinasi yang dialami perempuan pada beberapa aspek kehidupan tidak
mengurangi
peran
pentingnya
dalam
pencapaian
kesejahteraan
rumahtangga. Prihatini (2006) menganalisis peran pendapatan perempuan secara deskriptif dan analisis statistik (chi-squares dan korelasi). Hasil analisis menunjukkan : (1) pendapatan ibu rumahtangga memiliki kaitan positif yang sangat signifikan dengan kesehatan dan kesejahteraan keluarga, dan (2) adanya kredit dapat memberikan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan ibu rumahtangga. 2.3.2.4. Gender dan Sistem Usahatani Perempuan dan laki-laki masing-masing memegang peranan penting dalam setiap usahatani yang dikelola oleh rumahtangga petani. Peran tersebut dipengaruhi oleh persepsi, pengetahuan, sikap dan tindakan. Hasil penelitian Mugniesyah et al. (2002) pada petani lahan kering di Desa Kemang Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa perempuan maupun laki-laki memiliki akses terhadap lahan usahatani sawah dan lahan kering. Namun demikian, meskipun perempuan memiliki lahan sawah yang lebih luas daripada laki-laki, status perempuan tetap dikategorikan sebagai
50 pekerja keluarga. Ini terkait dengan sistem nilai yang dianut masyarakat, bahwa suamilah yang menjadi kepala keluarga, sedangkan anggota keluarga lainnya berstatus sebagai pekerja keluarga. Meskipun demikian, Hendratno (2006) menemukan bahwa dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan produksi dan konsumsi dalam rumahtangga, selalu ada kompromi kooperatif antara suami dan isteri. Meskipun dalam kegiatan produksi secara umum suami lebih dominan. Hasil temuan Mugniesyah et al. (2002) menunjukkan setidaknya terdapat enam siklus tahapan suksesi lahan kering yang telah dikembangkan rumahtangga pertanian di desa ini, dimana pemilihan pola tersebut oleh suami-isteri sangat tergantung pada luasan lahan usahatani yang dimiliki, dukungan pendapatan non pertanian dan kebutuhan akan padi huma (ladang). Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat perilaku merusak hutan oleh petani berlahan sempit atau tidak tidak memiliki lahan, yang dilakukan karena kebutuhan mendesak untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Ini tentu saja tidak diharapkan. Penelitian Fausia dan Nasyiah (2005) menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam yang berakibat pada kerusakan lingkungan ternyata sangat dirasakan oleh kaum perempuan, yaitu menyebabkan meningkatkan beban kerja perempuan di sektor reproduktif. Karena sebagian besar pekerjaan rumahtangga sangat terkait dengan sumberdaya alam, seperti air dan kayu bakar untuk memasak. Sebaliknya, peran domestik perempuan tersebut juga dapat berpengaruh terhadap kerusakan atau menurunnya kualitas alam. Terkait pembangunan yang berkelanjutan, dimana petani perlu mengelola usahatani yang memperhatikan aspek lingkungan (di samping aspek sosial dan ekonomi), Hartomo (2007) dan Sitepu (2007) melakukan penelitian tentang sistem
51 usahatani berkelanjutan yang responsif gender. Hartomo (2007) menggunakan data primer yang digunakan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan instrumen Socio Economic and Gender Analysis (SEAGA), AHP serta Indeks Kesetaraan dan Keadilan
gender
(IKKG).
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
untuk
mengembangkan sistem usahatani yang berkelanjutan, maka faktor yang paling menentukan adalah aspek sosial (kelembagaan), lingkungan (jenis komoditas), dan aspek ekonomi (produksi). Dari enam pola usahatani yang diteliti, yang paling memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan responsif gender adalah pola usahatani tanaman hias, dilihat dari bobotnya yang paling besar dibandingkan bobot pola usahatani lainnya. Hasil penelitian Sitepu (2007) menunjukkan bahwa pola relasi gender pada dimensi ekologi dan sosial umumnya didominasi oleh laki-laki. Pada dimensi ekonomi, karena terbatasnya air pada pengelolaan lahan kering, sehingga mendorong laki-laki mencari pekerjaan lain di kota. Pada kondisi demikian, perempuan dominan perannya pada seluruh atribut dimensi ekonomi. 2.3.2.5. Analisis Faktor Penentu Ketahanan Pangan dan Ekonomi Rumahtangga Pertanian Ketahanan pangan merupakan permasalahan lintas sektoral yang muncul sebagai isu nasional seiring dengan merebaknya berbagai kasus rawan pangan di sejumlah daerah di Indonesia (Muflich, 2006). Upaya mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumahtangga bukan persoalan yang sederhana. Sulitnya menanggulangi sumber-sumber distorsi akses terhadap pangan mengakibatkan kasus-kasus rawan pangan dalam bentuk Kekurangan Energi dan Protein (KEP) senantiasa terjadi dan bahkan menjadi salah satu masalah utama peningkatan kualitas sumberdaya manusia dari aspek gizi (Hardono, 2003).
52 Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian ketahanan pangan. Saliem et al. (2005) menguraikan beberapa karakteristik inheren pada tiap subsistem ketahanan pangan yang mempengaruhi pencapaiannya, yaitu : (1) terkait subsistem ketersediaan, diantaranya adalah bahwa produksi pangan tidak dapat dihasilkan sepanjang tahun, kapasitas produksi beras nasional cenderung stagnan, sedangkan kebutuhan masyarakat terus meningkat, dan harga gabah cenderung rendah dalam beberapa tahun terakhir, (2) pada subsistem distribusi, antara lain adalah konflik kepentingan antara konsumen dengan produsen berkenaan dengan harga, dan (3) karakteristik inheren dalam mewujudkan ketahanan pangan terkait aspek konsumsi, diantaranya adalah tingginya tingkat pengangguran dan daya beli masyarakat. Karakteristik sosial ekonomi keluarga sangat menentukan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Yuliana et al. (2002) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi bayi di Kota Bogor. Hasil temuan dari studi ini adalah bahwa besar keluarga berpengaruh negatif terhadap status gizi. Artinya, semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka semakin besar resiko terjadinya gizi kurang. Karena semakin banyak anggota keluarga, maka semakin banyak makanan yang harus disediakan. Hardono (2003) menganalisis dampak perubahan faktor-faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan rumahtangga pertanian dengan metode simulasi menggunakan data PATANAS tahun 1999. Penelitian ini menggunakan pendekatan Model Rumahtangga Pertanian (RTP). Dalam hal ini, skala produksi usahatani ditentukan oleh tingkat pemanfaatan sumberdaya seperti luas lahan garapan, tenaga kerja, maupun modal, disamping pengaruh faktor eksternal pasar input
53 dan output. Penerimaan usahatani dan usaha produktif lain secara bersama-sama akan menentukan tingkat pendapatan rumahtangga. Peningkatan kecukupan gizi atau energi berarti peningkatan terhadap derajat sehat. Semakin tinggi derajat sehat menunjukkan kualitas sumberdaya manusia yang makin baik, yang akan dapat mengurangi pengeluaran lain dalam rumahtangga, khususnya biaya kesehatan. Tabungan rumahtangga mempunyai beberapa peran, pada konteks ketahanan pangan, perannya adalah sebagai stabilisator konsumsi dalam menghadapi ancaman rawan pangan. Spesifikasi model menghubungkan dua subsistem, yaitu produksi dan pengeluaran (konsumsi). Subsistem pertama mencakup keputusan usahatani dan usaha produktif lain pembentuk struktur pendapatan. Subsistem kedua mencakup keputusan penggunaan output produksi, pengeluaran rumahtangga (pangan, tabungan dan investasi sumberdaya manusia), serta pembentukan modal rumahtangga. Dalam subsistem ini termasuk perilaku kecukupan energi sebagai proksi kecukupan gizi. Model disusun secara linear aditif. Hasil analisis menunjukkan kenaikan alokasi sumberdaya internal rumahtangga (waktu berburuh dan luas garapan) berdampak positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga pertanian. Dampak negatif akibat kenaikan harga-harga input (pupuk dan upah buruh tani) dapat dikompensasi bila kenaikan harga tersebut diikuti dengan kenaikan harga output secara proporsional. Model ekonomi rumahtangga juga digunakan oleh Asmarantaka (2007) dalam menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga petani di Provinsi Lampung. Karena terdapat perbedaan karakteristik rumahtangga yang spesifik antara pertanian tanaman pangan (padi dan ubikayu) dengan tanaman perkebunan (kopi), maka
54 diduga akan memberi dampak yang berbeda terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani, terutama dalam curahan kerja, pendapatan, pengeluaran konsumsi,
investasi
maupun tabungan keluarga.
Analisis
ekonomi
RTP
mempergunakan tabulasi, uji beda, dan ekonometrika melalui persamaan simultan. Hasil analisis ekonomi antara lain menunjukkan pendapatan dari desa padi dan perkebunan terutama berasal dari pertanian, sedangkan desa ubikayu berasal dari non pertanian. Penggunaan tenaga kerja keluarga untuk mencari nafkah belum memenuhi kriteria waktu kerja penuh BPS, meskipun sudah memenuhi kriteria tahan pangan. Produksi padi tidak responsif terhadap perubahan harga (kecuali di desa kebun), tetapi responsif terhadap penggunaan tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja di desa pangan dipengaruhi oleh tingkat upah sedangkan desa kopi sangat dipengaruhi dan responsif terhadap nilai produksi kopi. Konsumsi pangan di tiga desa dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, meskipun hanya desa padi yang responsif. Di desa kebun, konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh nilai produksi kopi. Kenaikan penggunaan tenaga kerja keluarga yang diiringi dengan kenaikan harga input dan output, mempunyai dampak positif terhadap produktivitas usahatani dan pendapatan RTP terutama di desa pangan padi. Dengan menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif (regresi berganda), Sauqi (2002) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi dan ketahanan pangan rumahtangga di daerah rawan pangan di Kabupaten Lombok. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Hasil penelitiannya antara lain adalah faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga keluarga prasejahtera yaitu ketersediaan pangan dan daya beli rumahtangga. Ketiga penelitian di atas secara implisit berasumsi bahwa petani
55 menghadapi pasar bersaing sempurna, baik di pasar input maupun output. Hal yang berbeda dilakukan Kusnadi (2005) yang juga menggunakan model RTP, tetapi dengan asumsi bahwa petani menghadapi pasar yang bersaing tidak sempurna. Ketidaksempurnaan pasar ditangkap dengan penggunaan harga bayangan untuk tenaga kerja dalam keluarga dan lahan. Dalam kondisi ini, perilaku ekonomi rumahtangga petani lebih responsif terhadap perubahan harga produk dibandingkan perubahan harga input. Rindayati (2009) melakukan studi tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di Jawa Barat. Untuk mengukur pencapaian ketahanan pangan, digunakan enam indikator ketahanan pangan rumahtangga, yaitu : (1) jumlah konsumsi beras, (2) konsumsi energi, (3) konsumsi protein, (4) prevalensi anak gizi kurang, (5) Angka Kematian Bayi, dan (6) Usia Harapan Hidup. Salah satu hasil dari analisis yang dilakukan penulis adalah bahwa pendapatan/kapita merupakan variabel yang berpengaruh signifikan dan positif terhadap jumlah konsumsi beras, konsumsi energi, konsumsi protein, dan prevalensi anak gizi kurang. 2.3.2.6. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumahtangga Penelitian yang dilakukan oleh Baliwati (2001) ini didasari oleh pemikiran bahwa ketahanan pangan rumahtangga petani perlu mendapat perhatian serius karena
mempunyai
nilai
strategis
dalam
mendukung
terselenggaranya
pembangunan nasional yang berkelanjutan serta merupakan indikator penting keberhasilan
pembangunan
karena
mencerminkan
tingkat
kesejahteraan
masyarakat. Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan meliputi data primer dan
56 sekunder. Analisis secara deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui keragaan rumahtangga petani berdasarkan peubah pada setiap komponen ketahanan pangan. Hasil analisis validitas dan sensitivitas yang diperoleh merupakan justifikasi bahwa model konseptual dapat digunakan sebagai instrumen untuk menilai situasi ketahanan pangan rumahtangga petani. Hasil penerapan model tersebut pada kasus di desa hulu menunjukkan bahwa sebagian besar (82 persen) rumahtangga petani berada pada kondisi ketidaktahanan pangan. 2.4. Sintesis Hasil Kajian Studi Terdahulu Kajian-kajian yang dilakukan para peneliti, baik di Indonesia maupun di mancanegara menganalisis aspek yang beragam tentang keterkaitan peran gender (perempuan dan laki-laki) dalam pembangunan dan ketahanan pangan. Namun demikian terdapat benang merah yang dapat ditarik bahwa peran perempuan dan laki-laki dalam pembangunan, yang dapat dilihat dari perannya dalam aktivitas produksi dan reproduksi adalah sangat penting, terutama dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Pencapaian ketahanan pangan di tingkat rumahtangga akan menentukan pencapaian ketahanan pangan di tingkat wilayah yang lebih tinggi dan seterusnya hingga tingkat nasional. Peran gender tersebut dapat dilihat dari alokasi waktu yang dicurahkan untuk berbagai aktivitas, baik aktivitas di dalam rumahtangga, dalam usahatani keluarga, di luar usahatani keluarga, maupun yang dilakukan di luar sektor pertanian. Keseluruhan aktivitas tersebut akan memberikan penghasilan, baik berupa pendapatan tunai maupun natura, yang akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Bagi keluarga petani yang hidup di perdesaan, pemenuhan kebutuhan pangan masih merupakan prioritas utama,
57 akibat rendahnya kemampuan ekonomi yang dimiliki. Dengan demikian, sebagian besar pendapatan yang diperoleh perempuan dan laki-laki dari berbagai aktivitas tersebut, merupakan penentu utama pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Disamping pendapatan dari usahatani keluarga, sumber pendapatan penting keluarga adalah dari alokasi waktu gender pada berbagai kegiatan di luar usahatani keluarga. Dalam hal ini, keputusan gender (perempuan dan laki-laki) untuk bekerja di luar usahatani keluarga dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik ekonomi (misalnya upah) maupun non ekonomi (misalnya budaya, tingkat pendidikan, umur). Oleh karena itu, analisis terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi keputusan gender dalam partisipasinya di luar usahatani keluarga tersebut, akan memberikan masukan yang berarti dalam rangka mendukung pencapaian ketahanan pangan rumahtangga pertanian. Dari kajian pustaka yang dilakukan nampak bahwa baik dalam aktivitas produksi maupun reproduksi, terdapat peran-peran yang cenderung lebih umum dilakukan oleh perempuan atau laki-laki, yang dapat berbeda pada tempat dan masyarakat yang berbeda. Hal umum yang ditemui adalah terdapat banyak aktivitas yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki, hanya dengan pola alokasi waktu yang berbeda, yaitu perempuan yang lebih besar perannya, atau laki-laki yang lebih berperan dalam suatu jenis aktivitas. Dari berbagai kajian tersebut nampak bahwa secara khusus perempuan mempunyai kontribusi esensial dalam aktivitas reproduksi, terutama terkait aspek akses, jumlah, dan kualitas pangan keluarga. Sedangkan laki-laki lebih berperan dalam aspek produksi, terutama dalam usahatani keluarga. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa penelitian-penelitian tersebut masih memungkinkan untuk
58 dikaji lebih mendalam, baik terkait dengan tujuan penelitian, cakupan, dan juga metode penelitian. Oleh sebab itu penelitian yang dilakukan ini berusaha untuk mengkaji peran gender terhadap ketahanan pangan dengan mengkhususkan pada wilayah di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Analisis gender ini akan dilakukan berdasarkan alokasi waktu perempuan dan laki-laki, terutama dalam kegiatan produktif dan reproduktif pada rumahtangga pertanian, serta
sumbangan
pendapatan
yang
diperoleh
dari
aktivitas
ekonomi.
Bagaimanapun, budaya masyarakat Indonesia memandang bahwa perempuan memiliki peran tradisional sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik dalam rumahtangga. Sedangkan laki-laki mempunyai tugas utama sebagai pencari nafkah bagi seluruh anggota keluarga. Salah satu hal menarik dalam penelitian ini adalah dari kajian yang menyeluruh terhadap peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki dalam seluruh alokasi waktunya, sehingga dapat dihasilkan sintesis yang utuh dan terintegrasi tanpa mengabaikan peran salah satu gender.
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Input Produksi dan Pasar Tenaga Kerja Salah satu aspek yang digunakan dalam mengukur kinerja ekonomi adalah seberapa efektif suatu perekonomian menggunakan sumberdaya. Tenaga kerja, baik perempuan dan laki-laki, di suatu perekonomian adalah sumberdaya utama. Oleh karena itu, menjaga agar para pekerja tetap dapat bekerja menjadi pusat perhatian para pembuat kebijakan (Mankiw, 2003). Dua faktor produksi penting yang digunakan dalam proses produksi adalah modal (K) dan tenaga kerja (L). Untuk menghasilkan output (Y) dari penggunaan modal dan tenaga kerja, digunakan teknologi produksi yang digambarkan dengan ’fungsi produksi’, seperti berikut ini : Y = F (K, L) ....................................................................... (1) Perekonomian dalam keadaan full employment adalah kondisi dimana seluruh sumberdaya digunakan sepenuhnya, tidak ada yang menganggur. Dalam kenyataannya sebagian dari sumberdaya tidak sepenuhnya digunakan dalam proses produksi, termasuk tenaga kerja. Henderson dan Quandt (1980); Bellante dan Jackson (1990) menjelaskan bahwa permintaan tenaga kerja sebagai input merupakan permintaan turunan (derived demand) dari produk yang dihasilkan perusahaan. Dengan demikian, permintaan terhadap tenaga kerja tergantung pada permintaan konsumen akan produk tersebut. Dalam pasar tenaga kerja, permintaan dan penawaran tenaga kerja secara bersama-sama menentukan jumlah yang akan diperkerjakan serta upah yang akan diterima. Pasar tenaga kerja memiliki kekhasan tersendiri,
60 dimana peran pelaku pasar dibalik, yaitu rumahtangga menjadi pemilik faktor-faktor produksi, sedangkan perusahaan berperan sebagai pihak pembeli tenaga kerja (Bellante dan Jackson, 1990). Gambaran mengenai keadaan pasar tenaga kerja, yang menunjukkan hubungan antara jumlah tenaga kerja dengan tingkat upah ditunjukkan dalam Gambar 4. Bila pasar tenaga kerja berada dalam keseimbangan, maka permintaan tenaga kerja oleh perusahaan akan sama dengan penawaran tenaga kerja oleh rumahtangga (titik A). Kondisi ini sering tidak tercapai, bila penawaran tenaga kerja lebih besar daripada jumlah yang diminta oleh perusahaan, maka akan terjadi pengangguran sebesar U. SL
U
W1
A
W0
DL 0
L1
L0
L2
L
Sumber : Nicholson, 2000 (dimodifikasi) Gambar 4. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja dimana : D L = Permintaan tenaga kerja (0-L 1 ); S L = Penawaran tenaga kerja (0L2) L0 = Jumlah tenaga kerja dalam keseimbangan L1 = Jumlah permintaan tenaga kerja setelah kenaikan upah L2 = Jumlah penawaran tenaga kerja setelah kenaikan upah U = L 2 -L 1 (Jumlah tenaga kerja yang menganggur) W = Tingkat upah; W 0 = Upah awal; W 1 = Upah meningkat Terdapat hubungan antara pengangguran dan GDP riil. Para pekerja
61 adalah pihak yang memproduksi barang dan jasa, sedangkan para penganggur tidak. Oleh karena itu, jika terjadi peningkatan pengangguran, maka akan terjadi penurunan output (GDP) riil. Hubungan negatif ini disebut sebagai Hukum Okun (Mankiw, 2003). Branson (1979) mengemukakan bahwa kurva tenaga kerja memiliki kemiringan garis menurun, yang menunjukkan bahwa perusahaan yang ingin mencapai keuntungan maksimum dapat memilih jumlah tenaga kerja yang optimal. Kondisi ini dicapai saat nilai produk marjinal dari tenaga kerja (MP L ) sama dengan tingkat upah, yang merupakan biaya marjinal untuk setiap unit tenaga kerja. Karena itu, perusahaan akan menyesuaikan penggunaan tenaga kerja dengan upah yang berlaku. Bila terjadi kenaikan upah, maka perusahaan akan mengurangi penggunaan tenaga kerja, yang akan menyebabkan penurunan permintaan jumlah tenaga kerja. 3.1.2. Keputusan Angkatan Kerja dan Utilitas Tenaga Kerja Dalam jangka pendek perubahan dalam partisipasi angkatan kerja sangat ditentukan oleh perubahan yang terjadi pada kelompok dalam masyarakat yang berusia layak kerja. Misalnya bila terjadi kenaikan upah dan kondisi pasar prospeknya cerah, maka sejumlah kaum wanita yang telah menikah dan mahasiswa, akan memasuki angkatan kerja; sebaliknya ketika kondisi pasar tenaga kerja terbalik keadaannya, mereka akan meninggalkan pasar tenaga kerja. Individu-individu seperti ini yang partisipasinya dalam angkatan kerja terputusputus dikenal dengan istilah ’pekerja sekunder’. Sedangkan mereka yang tetap berada dalam angkatan kerja, tanpa mengikuti kecenderungan perubahan upah dan kondisi pasar tenaga kerja, dikenal sebagai ’pekerja primer’. Umumnya mereka
62 adalah suami atau perempuan yang merupakan kepala rumahtangga (Bellante dan Jackson, 1990). Selanjutnya dijelaskan bahwa dengan selera dan preferensi serta upah yang dihadapi individu dalam pasar tenaga kerja tertentu, maka jumlah tenaga kerja terbaik yang dapat disediakan kemungkinan adalah nol jam. Gambar 5 mengilustrasikan hal tersebut. Seorang individu yang ingin memaksimalkan utilitasnya memilih kombinasi di titik T, yang mencakup OX untuk waktu non pasar dan nol untuk barang-barang pasar. Kondisi ini disebut sebagai ’corner solution’, karena individu memilih menggunakan semua waktunya sebagai waktu non pasar. Berarti individu tersebut tidak berada dalam angkatan kerja. Barang-barang pasar
Y
IC 1
IC 2 IC 3
T
0
X
Waktu non pasar
Sumber : Bellante dan Jackson, 1990. Gambar 5. Utilitas Individu Bukan Peserta Angkatan Kerja Gambar 5 juga dapat membantu memberi penjelasan mengenai hubungan antara tingkat upah dengan perubahan dalam angkatan kerja. Pada tingkat upah yang berlaku, individu tersebut memilih untuk tidak menjadi peserta dalam angkatan kerja, tetapi ketika terjadi sedikit saja peningkatan
63 tingkat upah (dalam gambar tidak diperlihatkan), dapat mendorong individu tersebut untuk masuk angkatan kerja. Hal ini dapat terjadi, jika biaya waktu untuk kegiatan non pasar individu tersebut meningkat ketika upah pasar naik. Hal ini akan menarik individu-individu untuk masuk angkatan kerja. Perilaku individu-individu sangat berbeda, baik dalam menilai kegiatan yang dilakukan di luar angkatan kerja maupun terkait upah di pasar tenaga kerja. Individu yang termasuk dalam ‘pekerja primer’ cenderung menghasilkan produktivitas rendah dalam produksi non pasar bila dibandingkan dengan upah yang dapat diperoleh di pasar. Contohnya kepala rumahtangga laki-laki. Sebaliknya, ’pekerja sekunder’ lebih cenderung mempunyai penghasilan bernilai tinggi di luar angkatan kerja dibandingkan dengan upah yang dapat diperoleh di pasar tenaga kerja. Contohnya perempuan yang sudah menikah dan mempunyai anak, dimana mereka cenderung memberi nilai tinggi untuk pekerjaan di dalam rumah. Ini selaras dengan anak sekolah yang memberi nilai tinggi untuk kegiatan pendidikan dan kaum pensiunan yang memberi nilai tinggi untuk waktu senggang mereka. Dengan demikian, bila upah pasar yang berlaku dinilai lebih rendah dari nilai kegiatan non pasar, maka mereka akan memilih tidak masuk angkatan kerja. Ini merupakan pilihan yang memaksimalkan utilitas. Terkait aspek gender, Becker (1981) menjelaskan hubungan antara umur dengan nilai waktu (upah) perempuan dan laki-laki, juga hubungan antara umur dengan produktivitas perempuan bila seluruh waktunya dialokasikan untuk mengurus rumahtangga. Hubungan tersebut dijelaskan dalam Gambar 6.
64 Nilai waktu laki-laki dan perempuan
Produk marjinal untuk perempuan bila seluruh waktu untuk kegiatan rumahtangga Tingkat upah laki-laki
Tingkat upah perempuan
t1 t3
t4
t2
0
Umur
Sumber : Becker, 1981 Gambar 6. Variasi Siklus Hidup dalam Bentuk Nilai Waktu Perempuan dan Laki-Laki Gambar 6 menunjukkan bahwa perempuan berada di sektor publik sebelum berumur t1 dan sesudah t2, yaitu pada periode dimana tingkat upah perempuan melebihi nilai produksi marjinal rumahtangga. Pada periode usia tersebut, perempuan mengalokasikan waktunya di sektor publik lebih panjang, karena harus mengganti nilai produksi marjinal rumahtangga ditambah dengan nilai upah yang mereka terima. Dengan demikian, nilai waktu perempuan di sektor publik lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan tidak bekerja di sektor publik pada usia antara t 1 dan t 2 karena nilai waktunya lebih tinggi apabila digunakan dalam rumahtangga. Terlebih pada usia antara t 3 (> t 1 ) dan t 4 (> t 2 ), waktu di rumah nilainya lebih tinggi dibandingkan nilai waktu laki-laki di sektor publik. Oleh karena itu, nilai waktu perempuan selama hidupnya secara agregat tidak lebih rendah dibandingkan dengan nilai waktu laki-laki, tetapi nilai waktu perempuan menjadi lebih rendah daripada laki-laki apabila mereka masuk ke pasar tenaga kerja.
65 3.1.3. Konsep Analisis Peran Gender dalam Rumahtangga Perempuan memainkan banyak peran di dalam rumahtangga. Menurut Sajogyo (1979) peran perempuan ada dua, yaitu (1) sebagai isteri, ibu, ibu rumahtangga, dan (2) sebagai pencari nafkah. Ellis (1988) menyebut perempuan sebagai the invisible peasant. Dalam masyarakat pertanian, perempuan berkontribusi dalam pekerjaan fisik produksi pertanian, sekaligus menyangga kehidupan rumahtangga pertanian dalam banyak hal. Meskipun peran perempuan sangat besar, namun analisis ekonomi yang ada belum mampu meliput kontribusi tersebut secara tepat. Hal ini disebabkan karena sebagian besar data aktivitas ekonomi perdesaan yang dipublikasikan, diperoleh dari sensus dengan laki-laki kepala rumahtangga sebagai sumberdata utama. Karena itu, peran perempuan dalam pekerjaan usahatani, pengolahan pangan dan banyak kegiatan produktif lainnnya adalah underestimate. Dalam hal ini, asumsi neoklasik menganggap rumahtangga sebagai satu unit analisis, dimana keputusan perilaku ekonomi berlaku bagi seluruh anggota rumahtangga tanpa diferensiasi. Beberapa konsep yang relevan untuk bisa melihat peran perempuan secara lebih obyektif, agar menjadi lebih visible to peasant economic analysis adalah (1) gender division of labor (konsep pemisahan tenaga kerja berdasar gender), (2) dampak pemisahan tenaga kerja terhadap alokasi waktu perempuan dan laki-laki, (3) kekakuan dalam pemisahan tenaga kerja, (4) kontrol terhadap sumberdaya (yang sering dipegang laki-laki sebagai kepala rumahtangga), efeknya terhadap kebebasan ekonomi, akses terhadap sumberdaya dan bagian pendapatan perempuan, dan (5) dampak dari faktor-
66 faktor di atas terhadap hubungan produktivitas, hasil tenaga kerja, dan distribusi pendapatan rumahtangga pertanian. 3.1.3.1. Pemisahan Tenaga Kerja Berdasarkan Gender Konsep pemisahan tenaga kerja (division of labor) digunakan untuk menjelaskan alokasi aktivitas antara perempuan dan laki-laki dalam ekonomi pertanian. Pemisahan ini tidak secara alamiah disebabkan adanya perbedaan biologis di antara keduanya, namun lebih mengacu pada adat istiadat, kebiasaan sosial, norma, dan kepercayaan yang merupakan ruang lingkup perilaku individual. Dengan anggapan bahwa pembedaan tenaga kerja perempuan dan laki-laki cenderung ditetapkan secara sosial bukan biologis, konsep gender digunakan sebagai rujukan makna sosial untuk mengenali aturan yang berlaku dalam berbagai karakteristik masyarakat. 3.1.3.2. Reproduksi dan Produksi 1. Aktivitas Reproduksi Sosial Reproduksi sosial adalah cara suatu masyarakat, baik dalam aspek sosial maupun ekonomi, untuk memperbaharui diri sepanjang waktu. Dimensi reproduksi yang penting tentu saja berkaitan dengan reproduksi masyarakat dengan berbagai kepentingan yang antara lain meliputi : (1) reproduksi biologis, yaitu aktivitas perawatan dan pemberian nutrisi awal pada anak (hamil dan menyusui), (2) reproduksi generasional: yaitu aktivitas yang meliputi pemeliharaan anak, membesarkan, mensosialisasikan, serta mendidik anak, dan (3) reproduksi harian, yaitu aktivitas perempuan terkait dengan penyelenggaran kelangsungan rumahtangga, seperti memasak, mencari air dan
67 kayu bakar, menjahit dan mencuci pakaian, serta membersihkan rumah. 2. Aktivitas Produksi Perempuan di perdesaan umumnya juga berpartisipasi dalam aktivitas produks i yang dapat diklasifikasikan menjadi : (1) produksi langsung (produk akhir untuk konsumsi keluarga), meliputi pengolahan makanan seperti menumbuk padi, mengasin telur atau ikan dan sebagainya; menganyam tikar, membuat gerabah, dan membuat pakaian, (2) aktivitas non-farm income earning, yaitu produksi rumahtangga berupa kerajinan tangan atau produk-produk lain beserta pemasarannya di luar aktivitas pertanian, (3) aktivitas usahatani keluarga, antara lain menyiapkan lahan, menyemai, memupuk, memanen, dan (4) aktivitas off-farm wage labor, yaitu berburuh tani di usahatani milik tetangga, sebagai pembantu dalam kegiatan domestik para pemilik lahan, sebagai pekerja penuh di pabrik penggilingan lokal atau industri, dan menjadi TKI atau tenaga kerja migran ke luar daerah asalnya. 3. Aktivitas Waktu Luang Dalam hal ini meliputi semua aktivitas pribadi mulai dari konsumsi nutrisi, perawatan kesehatan, peranan sosial, dan sebagainya. 3.1.3.3. Alokasi Waktu Alokasi waktu merupakan konsep operasional yang menjadi dasar bagi penelitian diferensiasi gender. Konsep ini merujuk pada jumlah waktu rata-rata yang dicurahkan anggota rumahtangga secara individual untuk kategori aktivitas yang berbeda. Alokasi waktu telah menjadi bahan kajian yang secara eksplisit membuka perbedaan lelaki-perempuan dalam hal produktivitas, jam kerja, dan penerimaan. Hal ini merupakan langkah awal untuk mengenal lingkup kerjasama,
68 konflik, kemandirian serta peranan dalam po la kerja lelaki-perempuan. 3.1.3.4. Perempuan sebagai Pekerja yang Tidak Diupah Gambaran umum yang harus dipahami tentang perempuan tani adalah posisinya dalam usahatani keluarga sebagai tenaga kerja yang tidak dibayar. Hal ini berkaitan erat dengan kategori aktivitas reproduktif yang diperaninya. Istilah kerja tanpa upah muncul, karena aktivitas domestik perempuan tidak dihadapkan secara langsung dengan harga pasar, dimana sebagian besar aktivitas tersebut digunakan secara langsung, dan tidak dipertukarkan. 3.1.3.5. Subordinasi Perempuan Masih dalam kaitannya dengan konsep pembedaan gender dan kerja tanpa upah, ada satu hal yang harus disadari yaitu besarnya kontrol lelaki terhadap kehidupan perempuan, sebagaimana alokasi aktivitas rumahtangga. Konsep ini berusaha menjelaskan status sosial inferior perempuan dalam berbagai manifestasi subordinasi perempuan oleh lelaki. Salah satunya dapat dilihat dalam bentuk masyarakat patrilineal, dimana hubungan lelaki-perempuan dicerminkan oleh kontrol lelaki atas harta, sumberdaya dan pendapatan rumahtangga pertanian, juga atas waktu kerja, kebebasan gerak, dan tingkat konsumsi perempuan. 3.1.4. Pasar Tenaga Kerja sebagai Kelembagaan Gender Pasar tenaga kerja sebagai kelembagaan
gender
bekerja pada
perpotongan (intersection) antara ekonomi produktif dan reproduktif, yaitu pasar yang terbentuk oleh praktek, persepsi, norma, dan jaringan, yang merupakan bearers of gender. Pada waktu yang bersamaan, praktek, persepsi, norma, dan jaringan tersebut merupakan aspek dari proses yang dinamis, yang mengandung elemen kontinyuitas dan transformasi (Elson, 1999).
69 Selanjutnya dipaparkan bahwa para ahli ekonomi cenderung mendekati pasar tenaga kerja sebagai arena yang netral, dimana pembeli dan penjual berinteraksi. Pembeli dan penjual mungkin berbeda berdasarkan jenis kelamin dan berbeda dalam faktor bawaan (endowment), serta preferensinya. Terdapat pengakuan dalam diskriminasi jenis kelamin pada pasar tenaga kerja, yaitu terkait perbedaan penghasilan per waktu yang tidak dapat ‘dibukukan’ dalam variabel, seperti pendidikan dan pengalaman kerja pada pekerjaan tersebut. Di samping itu terdapat cara yang berbeda dalam pendekatan pasar tenaga kerja, yang tidak dimulai dari premis arena yang netral, yaitu bahwa pasar tenaga kerja adalah kelembagaan yang ‘membawa pesan gender’, dalam pengertian adanya stereotip sosial yang berhubungan dengan sifat laki-laki (maskulin) yang mempunyai kekuasaan atas mereka di tempat bekerja (menjadi bos) dan stereotype sosial tentang apa ‘pekerjaan laki-laki’ dan ‘pekerjaan perempuan’. Stereotip seperti itu tidak menjadi masalah dalam preferensi individu, tetapi tertulis dalam kelembagaan. Peraturan formal dan informal dalam struktur operasi pasar tenaga kerja merupakan hubungan gender dalam masyarakat, yang merefleksikan masalah yang ada dari dominasi gender dan subordinasi, dan juga ketegangan, kontradiksi dan potensi untuk merubah karakteristik berbagai pola hubungan gender, tidak menjadi soal bagaimana kekuatan yang
tidak sama
tersebut didistribusikan. Adanya legislasi tenaga kerja, pemeriksa standar tenaga kerja pemerintah, serikat buruh, jaringan bisnis dan profesional, sistem evaluasi kerja, sistem organisasi kerja, struktur penentuan bayaran, semua itu membawa pesan gender, meskipun tidak ada referensi yang jelas dibuat dalam ‘buku peraturan’ terhadap perbedaan gender dan ketidaksamaan gender. Analisis di atas
70 menunjukkan bahwa kelembagaan pasar tenaga kerja tidak hanya membawa ’pesan gender”, tetapi juga menguatkan adanya ketidaksamaan gender. 3.1.5. Ketidaksetaraan Gender, Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi Sumberdaya manusia yang terdiri atas perempuan dan laki-laki merupakan sumberdaya yang sangat penting dalam proses produksi maupun kegiatan reproduktif. Menurut Jhingan (2004) proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor, yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi antara lain : sumber alam, akumulasi modal, organisasi, dan kemajuan teknologi. Sedangkan faktor non ekonomi antara lain : faktor sosial, manusia, serta politik dan administrasi. Sumberdaya manusia merupakan faktor terpenting dalam proses pertumbuhan ekonomi yang tidak semata-mata jumlahnya tetapi lebih ditekankan pada efisiensi sumberdaya manusia tersebut. Peningkatan GNP per kapita erat kaitannya dengan pengembangan faktor manusia, yang meliputi peningkatan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan seluruh penduduk negara tersebut. Proses peningkatan itu mencakup kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial pada umumnya. Pada saat ini statistik pasar tenaga kerja di banyak negara menunjukkan penurunan gap gender dalam partisipasi angkatan kerja. Gap berkurang karena meningkatnya partisipasi perempuan dan menurunkannya partisipasi laki-laki. Pengurangan gap ini diintrepretasikan dengan adanya lebih sedikit pekerjaan pada ekonomi yang produktif yang dibayar untuk laki-laki dan lebih banyak pekerjaan dalam ekonomi produktif yang dibayar untuk perempuan (Elson, 1999). Meskipun terjadi kemajuan survei statistik, namun sebagian besar aktivitas ekonomi perempuan masih tersembunyi. Statistik status angkatan kerja cenderung
71 mempunyai proporsi yang lebih tinggi untuk perempuan daripada laki-laki dengan status ’tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar’. Pada tahun 1991 Sensus di Uganda mengindikasikan bahwa sekitar 69 persen angkatan kerja laki-laki di sektor pertanian bekerja untuk diri sendiri, 1 persen sebagai tenaga kerja orang lain, dan hampir 30 persen sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar. Tenaga kerja perempuan di pertanian hampir 27 persen bekerja sendiri, persentase yang dapat diabaikan untuk yang bekerja dan di atas 73 persen sebagai pekerja yang dibayar. Sama halnya di Pakistan, diperkirakan bahwa 65 persen pekerja perempuan desa adalah tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar, dibandingkan 20 persen dengan laki-laki. Ini sejalan dengan Todaro (1998) bahwa PAK perempuan meningkat tetapi pada pekerjaan yang tidak banyak menghasilkan pendapatan. Perluasan dalam pertumbuhan ekonomi akan mengurangi ketimpangan gender. Ini terlihat pada negara-negara di Selatan-Timur dan Asia timur, bahwa pertumbuhan pada tahun 1970an dan 1980an yang meningkat dengan cepat mendorong pertumbuhan partisipasi laki-laki dan perempuan di pasar tenaga kerja (Horton, 1996 dalam Elson, 1999). Fenomena ini akan sangat berarti bagi perempuan jika persamaan gender lebih besar dalam pasar tenaga kerja. Todaro (1998) mengemukakan perempuan memegang peran penting dalam sektor produksi pertanian disamping fungsi lainnya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sering terabaikan. Keragaman tugas perempuan menyulitkan dalam perhitungan porsi sumbangan mereka dalam produksi pertanian, apalagi untuk menaksir nilai ekonominya. Terlebih karena mereka tidak menerima upah atas pekerjaan yang dilakukan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan di Asia dan Afrika menyediakan sekitar 60-80 persen waktunya untuk produksi pertanian.
72 Peran penting perempuan lainnya adalah dalam penyediaan makanan untuk keluarga. Meskipun terkesan sederhana, banyak waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk mencari (membeli), memasak serta menghidangkan makanan. Oleh karena itu pemenuhan gizi keluarga sangat ditentukan oleh peran perempuan dan juga ditopang oleh penghasilan yang diperolehnya. Para ibu rela menghabiskan lebih banyak pendapatannya untuk kesejahteraan keluarganya daripada yang disediakan oleh suami mereka. Ketika terjadi kemerosotan status ekonomi perempuan maka tingkat kesejahteraan keluarga juga bisa menurun. Dalam hal ini pemerintah harus lebih jeli dalam merumuskan programprogramnya, khususnya dalam melibatkan peranan perempuan. Kesenjangan gender dalam bidang pendidikan merupakan fakta yang menyolok di negara-negara miskin. Padahal pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan produktivitas pekerja, terutama perempuan. Todaro (1998) mengemukakan alasan mengapa pendidikan bagi perempuan sangat penting. Terjadinya diskriminasi tersebut turut menjadi sebab terhambatnya pembangunan ekonomi yang memperburuk ketimpangan kesejahteraan sosial. Data-data statistik menunjukkan bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara barat, bukan dipacu oleh pengembangan modal fisik, tetapi pengembangan sumberdaya manusia. Menurut Chen (2003),
terdapat asosiasi positif yang secara statistik
signifikan mengenai hubungan antara kesetaraan gender dengan pendidikan dan pembangunan ekonomi. Beberapa penelitian yang dikutip Chen (2003) berikut ini memperkuat argumen tersebut. Abu-Ghaida dan Klasen (2002) dalam Chen (2003) mengemukakan bahwa negara yang gagal mengurangi kesenjangan gender
73 dalam pendidikan akan dapat menurunkan pendapatan per kapita sebesar 0.1-0.3 persen. Klasen (1999) dalam Chen (2003) juga mendapatkan bahwa jika negaranegara Asia Selatan, Afrika Sub-Sahara serta Middle East dan Afrika Utara dapat meningkatkan kesetaraan gender dalam kesempatan sekolah selama tahun 19601992 secepat yang dilakukan negara-negara di Asia Timur, maka pendapatan per kapita negara-negara tersebut akan tumbuh dengan tambahan sebesar 0.5-0.9 persen per tahun. Dollar dan Gatti (1999) juga menemukan bahwa pencapaian pendidikan menengah yang lebih besar bagi perempuan akan membawa pada laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, ketika pencapaian pendidikan laki-laki cenderung menurunkan laju pertumbuhan ekonomi. Hill dan King (1993) dalam Chen (2003) menemukan bahwa ketidaksetaraan gender dalam pendidikan memiliki efek terhadap output agregat, yaitu rendahnya rasio pendidikan dasar dan menengah perempuan-lelaki berhubungan dengan GNP yang lebih rendah. United Nations (2002) dalam Chen (2003) menyebutkan bahwa rendahnya pemberdayaan perempuan merupakan satu faktor yang secara serius menghambat pembangunan sumberdaya manusia di beberapa wilayah pada beberapa waktu terakhir. Pentingnya pendidikan juga terkait dengan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Ariani et al. (2003) menemukan bahwa salah satu karakteristik yang sangat menyolok pada rumahtangga rawan pangan adalah tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki yang rendah. Ini menjadi petunjuk pentingnya pendidikan dalam mempengaruhi berbagai aspek penting dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam pencapaian ketahanan pangan.
74 3.2.
Kerangka Konseptual Penelitian Salah satu hak asasi manusia yang juga merupakan kebutuhan yang sangat
asasi adalah pemenuhan akan pangan. Belum tercapainya ketahanan pangan di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu indikator belum tercapainya tujuan pembangunan, yaitu mencapai masyarakat yang sejahtera, yang tercukupi segala kebutuhannya, terutama kebutuhan primer (pangan, sandang dan papan). Disamping masalah kerawanan pangan, adanya masalah ketimpangan gender juga terjadi di Kabupaten Konawe Selatan. Strategi pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan nasional Indonesia bertujuan agar terjadi kesetaraan gender dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam partisipasi pelaksanaan pembangunan, maupun dalam menikmati hasil-hasil pembangunan itu sendiri. Ini merupakan konsekuensi dari azas demokrasi yang diadopsi dan dalam rangka memenuhi hak asasi setiap warga negara Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki. Dalam rumahtangga, perempuan dan laki-laki memegang peran penting, selain peran dalam proses produksi (baik produksi langsung dalam menghasilkan produk yang dapat dikonsumsi anggota rumahtangga, aktivitas non-farm earning, aktivitas usahatani dan aktivitas off-farm wage labor), perempuan dan laki-laki juga memegang peranan penting dalam kegiatan reproduksi sosial di dalam rumahtangga (reproduksi biologis, generasional dan harian), yang juga sangat menentukan pencapaian kualitas sumberdaya manusia yang bermutu. Dengan keterbatasan input waktu yang dimiliki perempuan dan laki-laki, akan dialokasikan untuk berusaha atau kegiatan produktif di pasar tenaga kerja,
75 kegiatan produksi dan reproduksi sosial dalam rumahtangga dan selebihnya digunakan untuk leisure dan istirahat. Dalam rumahtangga juga terjadi pembagian tenaga kerja (division of labor) oleh perempuan dan laki-laki. Alokasi waktu yang merupakan input terbatas yang dimiliki perempuan dan laki-laki, dicurahkan untuk berbagai kegiatan produksi dan reproduksi, di dalam rumahtangga (housework, domestic activities), dalam usahatani keluarga (on-farm activities), di luar usahatani keluarga (off-farm activities) dan di luar sektor pertanian (non-farm activities). Dengan menganalisis pembagian kerja perempuan dan laki-laki, serta banyaknya waktu yang dialokasikan untuk kegiatan reproduksi sosial, produksi dan leisure, serta istirahat, akan diketahui peran masing-masing gender dalam hubungan suami-isteri dalam keluarga. Dari peran produktif dan reproduktif yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki akan dihasilkan pendapatan, baik berupa uang maupun produk yang dihasilkan dalam rumahtangga, dari upah natura, dan produk pangan dari usahatani yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga, khususnya untuk memenuhi kebutuhan akan pangan. Seluruh pendapatan tersebut akan disumbangkan ke dalam rumahtangga, termasuk pemberian dari keluarga lain, yang menentukan besarnya pendapatan total rumahtangga. Pendapatan rumahtangga merupakan sumber akses ekonomi sangat penting, yang akan menentukan daya beli rumahtangga terhadap berbagai kebutuhan yang diperlukan seluruh anggota keluarga, terutama kebutuhan akan pangan. Oleh karena itu peran gender (suami dan isteri) tersebut sangat menentukan pencapaian ketahanan pangan dalam rumahtangga.
76 Sumberdaya manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan merupakan input paling penting dalam proses produksi. Dengan demikian perempuan dan laki-laki merupakan penentu utama pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dengan syarat sumberdaya manusia tersebut harus berkualitas tinggi agar tercapai produktivitas yang tinggi. Kondisi ini sangat terkait dengan faktor pendidikan dan kesehatan perempuan dan laki-laki. Peran perempuan dan laki-laki dalam perekonomian ini akan tergambar dalam suatu lembaga dimana masing-masing memainkan peran sebagai input produksi terpenting. Pasar tenaga kerja merupakan lembaga yang membawa ’pesan gender’. Maksudnya, keragaan pasar tenaga kerja tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh aspek sosial budaya masyarakat. Peran ini akan dilihat dari partisipasi tenaga kerja masing-masing perempuan dan laki-laki dalam sektor pertanian dan non pertanian. Misalnya perempuan yang tidak berpartisipasi di pasar tenaga kerja, bisa saja bukan karena tidak adanya insentif ekonomi yang menarik (misalnya tingkat upah), tetapi dapat disebabkan oleh pengaruh budaya setempat yang tidak memberi kebebasan bagi perempuan untuk masuk ke pasar tenaga kerja atau bekerja/berusaha di luar rumah. Indikator yang digunakan sebagai ukuran pencapaian ketahanan pangan adalah frekuensi makan anggota rumahtangga dalam sehari. Frekuensi makan merupakan indikator langsung yang dapat menjadi petunjuk apakah rumahtangga telah dapat memenuhi kebutuhan pangannya atau tidak. Secara garis besar, kerangka pemikiran konseptual penelitian ini digambarkan dalam skema pada Gambar 7.
77
Kerawanan Pangan dan Ketimpangan Gender di Kabupaten Konsel
Sektor Pertanian
Pendidikan Aspek Ekonomi
Aspek Non Ekonomi
Kesehatan
Budaya Sektor Non Pertanian
Peran Gender
Alokasi Waktu
Produksi
Leisure
Reproduksi sosial
Kegiatan : produksi langsung, non-farm income earning, usahatani, dan offfarm wage labor
Reproduksi biologis, generasional dan harian
Aktivitas pribadi (konsumsi nutrisi, peranan sosial, dll)
KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA :
Frekuensi Makan Gambar 7. Kerangka Pemikiran Konseptual
Secara rinci, keterkaitan antara variabel endogen dan eksogen pada model keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga di sajikan pada Gambar 8 dan 9. Sedangkan pada Gambar 10 disajikan gambaran keterkaitan
variabel
ketahanan
pangan
dengan
variabel-variabel
yang
mempengaruhinya. Masing-masing model tersebut disusun atas dasar tinjauan teoritis dan empiris.
78
Keputusan Perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga
Masuk atau tidak garis kemiskinan
Pendidikan laki-laki
Umur perempuan saat menikah
Jumlah Anak umur < 10 Tahun Pembeda desa rawan pangan dan tahan pangan
Pendidikan perempuan
Ada-tidaknya keterampilan perempuan
Gambar 8. Keterkaitan Keputusan Perempuan untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga dengan Variabel yang Mempengaruhinya
Keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga
Pendapatan/kapita
Pembeda desa rawan pangan dan tahan pangan
Ada-tidaknya kesempatan kerja
Umur laki-laki saat menikah
Umur laki-laki
Ada-tidaknya keterampilan laki-laki
Gambar 9. Keterkaitan Keputusan Laki-Laki untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga dengan Variabel yang Mempengaruhinya
79
Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani : Frekuensi Makan
Ukuran rumahtangga Pendidikan laki-laki Pendapatan usahatani keluarga Pendidikan perempuan Pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan
Pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga Pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga Pendapatan bersama gender dari luar usahatani keluarga
Gambar 10. Keterkaitan Ketahanan Pangan dengan Variabel yang Mempengaruhinya 3.3.
Hipotesis Beberapa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut. 1. Keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga secara umum ditentukan oleh faktor sosiodemografi gender, karakteristik rumahtangga dan lokasi. Secara khusus : a. keputusan perempuan ditentukan oleh variabel pendidikan, usia saat menikah, dan ada tidaknya keterampilan perempuan, pendidikan pasangan, rumahtangga masuk garis kemiskinan atau tidak, jumlah anak berusia < 10 tahun, dan lokasi tempat tinggal. Variabel pendidikan perempuan, ada tidaknya keterampilan perempuan, pendidikan pasangan, dan lokasi tempat tinggal diduga berpengaruh positif terhadap keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga.
80 Sedangkan variabel usia perempuan saat menikah, rumahtangga masuk garis kemiskinan atau tidak, dan jumlah anak berusia < 10 tahun yang ada dalam keluarga diduga berpengaruh negatif terhadap keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga. b. keputusan laki-laki ditentukan oleh variabel umur, usia saat menikah, dan ada tidaknya keterampilan laki-laki, pendapatan/kapita keluarga, adatidaknya kesempatan kerja di desa, dan lokasi tempat tinggal keluarga. Keseluruhan variabel tersebut diduga berpengaruh positif terhadap keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga. 2. Perempuan dan laki-laki memiliki peran penting dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, dimana : a. perempuan berperan dominan dalam pengelolaan pekerjaan rumahtangga dan mengasuh anak, laki-laki berperan dominan dalam pekerjaan di usahatani keluarga b. sumbangan pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga lebih besar daripada sumbangan pendapatan perempuan. 3. Ketahanan pangan rumahtangga ditentukan oleh faktor-faktor pendidikan gender, pendapatan gender, ukuran keluarga, pendapatan usahatani, dan lokasi tempat tinggal keluarga. Keseluruhan variabel tersebut diduga berpengaruh positif terhadap pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, kecuali variabel ukuran rumahtangga.
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Penentuan lokasi ditentukan secara sengaja (purposive), karena secara umum dari delapan (8) daerah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara seluruhnya termasuk kriteria ’tahan pangan’ (Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007). Pada satu kabupaten yang tahan pangan, tidak berarti semua kecamatan dan desa dalam kabupaten tersebut tahan pangan (Badan Ketahanan Pangan, 2007). Demikian juga di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), terdapat beberapa kecamatan dan desa yang rawan pangan. Sebagian besar rumahtangga di desa rawan pangan termasuk dalam kategori rawan pangan, namun terdapat juga beberapa rumahtangga yang tahan pangan. Demikian juga di kelurahan tahan pangan, sebagian besar rumahtangga termasuk kategori tahan pangan, namun terdapat juga beberapa rumahtangga rawan pangan. Kabupaten Konsel merupakan daerah dengan kepadatan penduduk tertinggi di Sulawesi Tenggara, yaitu 230 jiwa per km2. Pengambilan data di lapangan dilaksanakan mulai bulan Februari - Maret Tahun 2009. 4.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Data primer bersumber dari hasil survei, melalui wawancara pada responden yang dipilih, yaitu suami dan isteri pada rumahtangga petani. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan. Daftar pertanyaan disusun sesuai dengan informasi atau variabel yang diperlukan.
82 Wawancara mendalam terhadap responden terpilih dilakukan oleh 9 (sembilan) orang enumerator secara serentak di semua desa yang menjadi lokasi penelitian pada minggu terakhir Bulan Februari 2009 sampai minggu pertama Bulan Maret 2009, agar data yang dikumpulkan berada pada rentang waktu yang relatif sama. Data sekunder bersumber dari beberapa instansi terkait, yaitu BPS Pusat Jakarta, Dewan Ketahanan Pangan Nasional, Departemen Kesehatan RI, Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sultra, Kantor BPS Provinsi Sultra, Kantor BPM Provinsi Sultra, Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan, Kantor BP3KP Kabupaten Konsel dan dari beberapa publikasi lainnya. 4.3. Metode Pengambilan Contoh Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka responden yang diwawancarai adalah suami dan isteri dari rumahtangga petani. Umumnya petani di lokasi penelitian mengelola tanaman pangan, perkebunan dan perikanan (nelayan dan perikanan darat). Pada awalnya direncanakan akan dilakukan analisis secara terpisah berdasarkan jenis usahatani yang dikelola tersebut, karena diperkirakan akan ada perbedaan perilaku peran gender dalam usaha mencapai ketahanan pangan rumahtangga. Namun setelah pengambilan data di lapang, ternyata jarang sekali petani dan keluarganya yang mengelola satu jenis usahatani secara eksklusif. Dengan demikian, analisis tersebut tidak dilaksanakan karena nampaknya hasilnya akan bias. Kabupaten Konawe Selatan merupakan kabupaten yang memiliki 22 kecamatan (BPS Sultra, 2007b). Penelitian ini dilaksanakan di tiga kecamatan di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) Provinsi Sultra, yang dipilih secara sengaja.
83 Pemilihan kecamatan sampel berdasarkan kriteria bahwa daerah tersebut adalah kecamatan ‘rawan pangan’ dan ‘tahan pangan’. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan (BP3KP) Kabupaten Konsel (2008) menyebutkan bahwa Kecamatan Kolono dan Angata adalah dua kecamatan yang termasuk rawan pangan. Sedangkan Kecamatan Laeya yang merupakan daerah paling ‘tahan pangan’ diantara kecamatan yang ada di Konsel, dipilih secara sengaja sebagai pembanding untuk daerah rawan pangan. Terdapat tiga indikator yang digunakan dalam pengelompokkan ini, yaitu (1) prevalensi gizi kurang pada Balita, (2) persentase keluarga miskin, dan (3) rasio produksi pangan beras terhadap kebutuhan pangan penduduk. Indikator ini hanya sebagian kecil dari ukuran yang digunakan secara nasional dan juga telah diadopsi oleh Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sultra. Terdapat 12 indikator yang menggambarkan kinerja dari tiga sub-sistem ketahanan pangan, yang meliputi dimensi (1) ketersediaan pangan [indikatornya adalah rasio konsumsi per kapita normatif terhadap ketersediaan bersih komoditi padi (beras), jagung, umbi-umbian dan sagu], (2) akses terhadap pangan dan penghasilan [indikatornya ada empat : persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (KK miskin), persentase KK yang bekerja < 15 jam/minggu, persentase KK yang tidak tamat sekolah dasar dan persentase KK yang tidak memiliki akses ke fasilitas listrik], dan (3) pemanfaatan dan penyerapan pangan [indikatornya ada tujuh, yaitu persentase wanita buta huruf, persentase rumahtangga yang tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan, persentase jumlah penduduk per dokter, persentase rumahtangga yang tidak memiliki akses ke air bersih, persentase Angka Harapan Hidup saat lahir, persentase anak Balita dengan
84 berat badan di bawah standar dan persentase Angka Kematian Bayi] (Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007). Indikator-indikator tersebut baru dapat diterapkan pada level propinsi, sedangkan di tingkat kabupaten belum dapat diterapkan akibat terbatasnya data (daftar urutan kerawanan pangan 100 kabupaten di Indonesia ditampilkan dalam Lampiran 6). Pada saat ini, Kabupaten Konsel baru dalam tahap mengumpulkan berbagai data terkait untuk penyusunan Peta Kerawanan Pangan kabupaten indikatornya akan disesuaikan dengan acuan nasional seperti di atas. Informasi yang diberikan mengenai kecamatan dan desa-desa rawan pangan baru didasarkan pada 3 (tiga) indikator, yaitu (1) prevalensi gizi kurang pada Balita, (2) banyaknya keluarga miskin berdasarkan alasan ekonomi dan (3) rasio produksi pangan beras terhadap kebutuhan pangan penduduk (BP3KP Konsel, 2008). Dari data yang ada dan informasi dari BP3KP Kabupaten Konsel, yang termasuk kecamatan rawan pangan adalah Kecamatan Kolono, Angata dan Laonti. Dalam penelitian ini dipilih Kecamatan Kolono dan Angata, yang terletak di daratan Kendari. Pada saat penelitian sedang terjadi angin musim barat (ombak besar), sehingga sulit untuk mencapai Kecamatan Laonti yang dapat dicapai dengan naik kapal kayu. Sebagian masyarakat di Kecamatan Kolono adalah nelayan atau petambak (karena separuh
daerah ini berbatasan langsung dengan lautan), disamping
sebagai petani tanaman pangan dan pekebun. Sedangkan masyarakat di Kecamatan Angata umumnya berusahatani di bidang tanaman pangan, perkebunan dan perikanan darat. Disamping daerah-daerah rawan pangan, di Kabupaten Konawe Selatan terdapat beberapa kecamatan yang masuk kriteria tahan pangan, diantaranya
85 adalah Kecamatan Laeya, yang merupakan kecamatan paling tahan pangan. Pengambilan data di daerah tahan pangan dilakukan sebagai pembanding bagi kecamatan rawan pangan. Pada Kecamatan ini terdapat irigasi tehnis, yaitu Bendungan Laeya yang dibangun sejak Tahun 1970-an dan sekarang masih dapat dimanfaatkan sebagai sumber air untuk areal persawahan di daerah ini. Dengan demikian tidak mengherankan jika beberapa desa/kelurahan di kecamatan ini masuk kriteria tahan pangan. Sebagian besar petani di Kecamatan Lainea adalah petani padi sawah, sehingga tidak mengherankan jika daerah ini termasuk lumbung beras untuk Kabupaten Konsel. Disamping tanaman padi, petani juga mengusahakan berbagai tanaman pangan lainnya seperti jagung, ubi, pisang dan sayuran, serta tanaman perkebunan seperti kakao dan lada. Untuk daerah rawan pangan dipilih 5 desa, yaitu tiga desa di Kecamatan Kolono (Desa Andinete, Matandahi dan Ngapawali), dan dua desa di Kecamatan Angata (Desa Sandarsi Jaya dan Lamooso). Untuk kecamatan tahan pangan, dipilih kelurahan Punggaluku dan Rambu-Rambu.
Pada
masing-masing
desa/kelurahan yang dipilih tersebut, dilakukan pemilihan sampel dengan metode acak sederhana (simple random sampling), yaitu sebanyak 20 persen dari total populasi rumahtangga petani yang ada di masing-masing desa/kelurahan. Dengan demikian terdapat 75 rumahtangga contoh di Kecamatan Kolono, dengan perincian 20 rumahtangga di Desa Matandahi, 30 rumahtangga di Desa Andinete dan 25 rumahtangga di Desa Ngapawali. Untuk Kecamatan Angata, dipilih 71 rumahtangga contoh dengan perincian 42 rumahtangga di Desa Lamooso dan 29 rumahtangga di Desa Sandarsi Jaya. Dengan demikian, total rumahtangga contoh di desa-desa rawan pangan berjumlah 146. Kecamatan Laeya yang merupakan
86 daerah yang termasuk kategori tahan pangan di Kabupaten Konsel, dipilih sebanyak 54 rumahtangga contoh, yaitu 24 rumahtangga di Punggaluku dan 30 rumahtangga di Rambu-Rambu. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani (petani pangan, pekebun dan nelayan). Karena penelitian ini analisisnya dalam perspektif gender, maka rumahtangga sampel haruslah keluarga lengkap (ada suami dan isteri). Wawancara mendalam hanya dilakukan terhadap perempuan (isteri) dan laki-laki (suami), karena suami dan isteri merupakan pengambil keputusan utama dalam rumahtangga. Dengan demikian total responden yang diwawancarai berjumlah 400 orang dari 200 rumahtangga contoh (146 rumahtangga di daerah rawan pangan dan 54 rumahtangga di daerah tahan pangan) 1. Ringkasan mengenai jumlah rumahtangga contoh menurut desa rawan pangan dan tahan pangan disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 1. Jumlah Rumahtangga Contoh Menurut Desa/Kelurahan Rawan Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 Kategori Nama Desa/kelurahan Kecamatan Rawan Pangan Kolono
Angata
Tahan Pangan
Laeya
Jumlah
1
Nama Desa/ Kelurahan Contoh Matandahi
Jumlah Rumahtangga Sampel 2 20
Andinete
30
Ngapawali
25
Lamooso
42
Sandarsi Jaya
29
Punggaluku
24
Rambu-Rambu
30
7 Desa/Kelurahan
200
Dalam pengolahan data, karena ketidaklengkapan beberapa kuesioner, maka sebanyak enam kuesioner datanya tidak dimasukkan dalam analisis (hanya 194 yang digunakan) 2 Yang menjadi responden adalah suami (laki-laki) dan isteri (perempuan) dalam setiap rumahtangga contoh
87 Tabel di atas juga menunjukkan bahwa sebagian besar rumahtangga contoh di desa rawan pangan merupakan rumahtangga tidak tahan pangan (79), namun jumlah rumahtangga yang tahan pangan juga cukup banyak (65). Di daerah tahan pangan, rumahtangga yang terpilih dalam penelitian ini hampir seluruhnya merupakan rumahtangga tahan pangan (47), hanya ada tiga (3) rumahtangga yang tidak tahan pangan. Untuk mengetahui distribusi rumahtangga contoh yang masuk kriteria ‘tidak tahan pangan’ dan ‘tahan pangan’ pada setiap kategori desa/kelurahan rawan pangan dan tahan pangan, datanya disajikan dalam tabel berikut. Tabel 2. Distribusi Rumahtangga Contoh menurut Kriteria Tidak Tahan Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 Kategori Desa/ Kelurahan Rawan
Jumlah Rumahtangga Tidak Tahan Pangan
Jumlah Rumahtangga Tahan Pangan
79
65
3
47
82
112
Pangan Tahan Pangan Jumlah
Disamping data dari beberapa kuesioner yang tidak dimasukkan dalam analisis, beberapa variabel juga ada yang datanya tidak dimasukkan ke dalam analisis. Yang pertama adalah variabel konservatisme agama yang terdapat dalam model persamaan keputusan gender untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani. Variabel ini dihilangkan karena semua responden memberikan jawaban yang sama, sehingga tidak adanya variasi jawaban responden, yaitu bahwa agama apapun yang dianut (Islam, Kristen, Hindu) tak ada yang bersikap konservatif dalam hal boleh tidaknya perempuan dan atau laki-laki untuk bekerja atau
88 berusaha di luar rumah.
Variabel lain yang dihilangkan adalah pengeluaran
rumahtangga dalam model ketahanan pangan rumahtangga. Ini dilakukan karena banyaknya data pengeluaran rumahtangga responden yang tidak logis, atau tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh rumahtangga. Selain hal di atas, juga terdapat variabel yang mengalami perubahan, yaitu (1) upah yang seharusnya menggambarkan harga tenaga kerja di pasar, namun dalam penelitian ini variabel upah tidak sepenuhnya menggambarkan hal tersebut. Hal ini dilakukan karena hanya beberapa responden yang bekerja di luar usahatani keluarga yang menerima pembayaran dalam bentuk upah, baik tunai maupun natura. Umumnya responden bekerja mandiri di sektor jasa, seperti menjadi tukang ojek, penambang emas, dan menjual di pasar. Variabel upah tersebut akhirnya menggambarkan rata-rata upah dan pendapatan per hari dari pekerjaanpekerjaan yang dilakukan perempuan dan laki-laki di luar usahatani keluarga, dan (2) jumlah produksi usahatani diganti dengan variabel pendapatan usahatani. Hal ini dilakukan karena terdapat beberapa responden, terutama untuk petani pangan yang menghasilkan padi ladang, ubi, jagung dan sayuran yang dikonsumsi sendiri, tidak dapat memberikan data jumlah produksi secara fisik (satuan output) yang dihasilkan dari usahataninya, tetapi dapat memberikan kisaran nilai jualnya. 4.4.
Metode Analisis Model ekonometrika pada umumnya memiliki variabel dependen yang
sifatnya kuantitatif, namun adakalanya variabel dependen tersebut bersifat kualitatif. Models of qualitative choice atau qualitative response (QR) models adalah model yang variabel dependennya melibatkan dua atau lebih pilihan kualitatif. Data kualitatif ini biasanya bersifat diskrit (discrete) atau jumlahnya
89 sedikit dan terbatas (limited). Data kualitatif dengan dua hasil (outcome/response) disebut binary atau dichotomous atau dummy variable. Jika tiga hasil disebut trichotomous variables dan selebihnya disebut polychotomous atau multinomial variables model (Anonim, 2009). Pada model yang variabel dependennya kuantitatif, tujuannya adalah untuk mengestimasi expected value atau mean value-nya dengan nilai regressor tertentu, sedangkan pada model yang variabel dependennya kualitatif, tujuannya adalah mengetahui probabilita dari suatu peristiwa akan terjadi, sehingga model QR sering juga disebut probability model (Gujarati, 2006). Jadi tujuan dari model ini adalah untuk menentukan probabilita seseorang dengan atribut/karakteristik tertentu akan membuat satu pilihan atas alternatif yang lain. Ada tiga pendekatan model probabilita untuk qualitative response yaitu: linear probability model, logit model, dan probit model (Anonim, 2009). Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis deskriptif (penggambaran fenomena) dan analisis kuantitatif dengan menggunakan model ekonometrika. Untuk menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi keputusan perempuan dan laki-laki untuk mencari nafkah di luar usahatani keluarga, serta faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga petani digunakan qualitative dependent variable (QDV). Pendekatan ini dipilih karena variabel dependen yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah variabel dummy atau oleh Verbeek (2000) disebut sebagai ‘pilihan biner’ atau ‘dikotomi univariat’, dimana ada dua pilihan diskrit yang diberi nilai 1 dan 0. Gujarati (2006) disamping menyebutnya sebagai variabel boneka, dalam literatur lainnya variabel ini disebut sebagai variabel indikator, biner, kategori atau
90 variabel dikotomi. Kennedy (1998) menjelaskan bahwa bila dependen variabel dibuat dalam nilai 0-1 dan diregresikan terhadap variabel penjelasnya, maka diharapkan nilai prediksi dari dependen variabel akan bernilai antara 0 dan 1. Ini berarti bahwa nilai prediksi tersebut harus diinterpretasikan sebagai peluang (probability) dipilihnya keputusan gender untuk mencari nafkah di luar usahatani keluarga, pada kondisi variabel penjelas tertentu. Demikian juga untuk model ketahanan pangan rumahtangga, nilai dependen variabel tersebut diartikan sebagai peluang rumahtangga petani untuk mencapai ketahanan pangan dengan dipengaruhi oleh variabel penjelas. Dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi kapas transgenik di Provinsi Sulawesi Selatan, Siregar (2004) menggunakan tiga alternatif model QDV, yaitu model logit, probit dan tobit. Perbedaan ketiga model tersebut terletak pada perbedaan asumsi dalam sebaran peluang variabel dependennya, yang sebenarnya tidak teramati (unobservable). Beberapa penelitian lain yang menggunakan model logit dalam analisis datanya adalah (1) Atmojo (1997) yang melakukan studi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak Balita di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, (2) Widarti (1998), dengan tujuan penelitian untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan menikah dalam pasar kerja di Jakarta, (3) Rahmawati et al. (1999) yang penelitiannya bertujuan untuk menganalisis perubahan konsumsi pangan dan bukan pangan pada keluarga miskin di perdesaan dan perkotaan di masa krisis ekonomi, (4) Tanziha et al. (2005) yang menganalisis mengenai determinan kelaparan di Provinsi Jawa Barat,
91 (5) Krisnatuti et al. (2006), yang penelitiannya bertujuan melihat pengaruh adanya program JPS terhadap status gizi Baduta di beberapa kabupaten di Indonesia, serta (6) Alvarez and Miles (Undated), yang meneliti tentang efek gender atas alokasi waktu untuk pekerjaan rumahtangga pada pasangan suami-isteri pekerja di Spanyol. Dalam penelitian ini digunakan model logit, suatu model yang digunakan untuk variabel dependen yang hanya memiliki 2 nilai (binary logit), bernilai peringkat atau skala (ordinal logit) maupun pengkategorian lebih dari dua nilai (multinomial logit). Regresi logit menggunakan asumsi hubungan antara variabel independen dan variabel dependen sebagai kurva S. Pada nilai variabel independen yang sangat rendah, variabel dependen mendekati nol, sedangkan pada variabel independen yang sangat tinggi, variabel dependen mendekati 1(asimtotik) [Wulung, 2007]. Menurut Kennedy (1998), model logit lebih umum digunakan oleh para peneliti, disamping mudah dalam estimasinya, juga kemungkinan alasan sejarah, yaitu biaya penghitungan yang murah (sebelum ditemukannya software modern). Model logit dinyatakan berikut ini : ln[p/(1-p)] = α + βX + e ..........................................................................(2) dimana : p p/(1-p) ln[p/(1-p)]
= peluang terjadinya Y, p(Y=1) = odds ratio = log odds ratio, atau disebut juga sebagai ‘logit’
Model logit memiliki distribusi kumulatif yang berdasarkan distribusi logistik yang bentuknya seperti huruf S (Cramer, 2003), seperti yang dilukiskan pada Gambar 11. Kurva sigmoid pada gambar tersebut menunjukkan titik-titik
92 (traced) fungsi logistik (logit). Sebagai akibat dari bentuk distribusi tersebut, maka nilai peluang gender untuk mengambil keputusan mencari nafkah di luar usahatani keluarga, serta peluang untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga, dapat ditentukan sebagai berikut : ln[pi/(1-pi)] = α + βX + ei .......................................................................(3) dimana Pi ialah nilai variabel dependen yang nilainya berkisar dari 0 sampai dengan 1.
Sumber : Cramer, 2003 Gambar 11. Kurva Logistik P(Z) Untuk
mengestimasi
koefisien
model
pada
persamaan-persamaan
ekonometrika yang distribusi kumulatifnya non linear, digunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Fungsi likelihood (L) mengukur kemungkinan nilai dari sekumpulan dependen variabel yang diobservasi (p1, p2, ..., pn) yang terjadi dalam sampel : L = Prob (p1* p2* ... * pn)
93 Nilai tertinggi dari L, merupakan peluang terbesar dari observasi p dalam sampel. MLE memerlukan koefisien (α, β) yang merupakan hasil estimasi, yang membuat log dari fungsi likelihood (LL < 0) sebesar mungkin, atau memperoleh koefisien yang membuat log dari fungsi likelihood (-2LL) sekecil mungkin. Estimasi maximum likelihood diselesaikan dengan kondisi seperti berikut ini : {Y - p(Y=1)}Xi = 0, untuk semua observasi : i = 1,…, n. Dari fungsi ln[p/(1-p)] = α + βX + e diperoleh nilai koefisien dari slope (β) yang diinterpretasikan sebagai laju dari perubahan ‘log odds’ akibat perubahan variabel-variabel X . Nilai ini tidak begitu berguna. Dari fungsi p = 1/[1 + exp(-α - β X)], diperoleh Marginal Effect (ME) dari perubahan X atas peluang seperti berikut ini : Μp/ΜX = f(β X) β ....................................................................................(4) Interpretasi dari koefisien logit selalu disebut secara intuitif sebagai ‘odds ratio’, karena [p/(1-p)] = exp(α + βX), dimana exp(β) adalah efek dari variabel independen atas ‘odds ratio’. 4.4.1. Peran Gender, Kegiatan, dan Alokasi Waktu Untuk menjawab tujuan pertama penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap jenis kegiatan dan alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif, reproduktif dan leisure, yang akan dianalisis secara deskriptif kualitatif berdasarkan konsep analisis gender dalam rumahtangga yang dikemukakan Ellis (1988). Dalam penelitian ini analisis dilakukan terhadap semua kegiatan yang dilakukan perempuan dan laki-laki selama 24 jam, yang meliputi kegiatan (1) dalam usahatani keluarga, (2) pertanian di luar usahatani keluarga, (3) pekerjaan rumahtangga, (4) leisure, dan (5) istirahat. Dengan analisis seperti ini akan diketahui
94 seluruh alokasi waktu oleh perempuan dan laki-laki serta untuk kegiatan apa saja. Dari hasil ini juga akan diketahui apakah terjadi ketimpangan gender atau tidak. Studi tentang alokasi atau penggunaan waktu pada dasarnya memiliki satu fokus, yaitu mempelajari frekuensi dan durasi kegiatan manusia (Stinson, 1999). Terdapat banyak metode untuk menghitung alokasi waktu tersebut. Salah satunya adalah dengan mencatat semua aktivitas yang dilakukan contoh penelitian selama 24 jam dalam sehari semalam, mulai dari bangun pagi hari ini hingga bangun lagi esok harinya. 4.4.2. Analisis Keputusan Gender dalam Pasar Tenaga Kerja Beberapa penelitian terkait partisipasi gender di pasar tenaga kerja telah dilakukan, antara lain analisis mengenai faktor-faktor penentu partisipasi perempuan menikah di pasar tenaga kerja di Jakarta yang telah dilakukan Widarti (1998). Sejalan dengan itu, Rachman et al. (1988) telah meneliti tentang faktorfaktor penentu curahan kerja ibu rumahtangga di perdesaan, sedangkan Koesoemowidjojo (2000) menganalisis faktor-faktor penentu alokasi waktu isteri di sektor publik. Beberapa studi di mancanegara, seperti Emran et al. yang fokus pada determinan ‘intangible’ dari kaitan antar generasi dalam partisipasi pada pekerjaan di luar usahatani. Paternostro dan Sahn (1999) melakukan studi untuk memahami fungsi pasar tenaga kerja di Rumania, dengan fokus untuk memahami penentu upah secara umum dan secara luas tentang diskriminasi upah berdasar gender. Newman dan Canagarajah (2000) meneliti pentingnya aktivitas di luar usahatani, karena dengan cepat dapat menurunkan tingkat kemiskinan di perdesaan Uganda dan Ghana, terutama bagi bagi kepala keluarga perempuan yang bekerja di luar usahatani (merupakan aktivitas sekunder).
95 Dengan melakukan modifikasi sesuai referensi yang telah dikaji, serta disesuaikan dengan tujuan penelitian ini, maka untuk menjawab tujuan kedua dalam penelitian ini, yaitu terkait faktor-faktor penentu keputusan gender untuk bekerja di luar usahatani keluarga, digunakan model persamaan berikut : Y P = f (D P , SD P , KRT, D 1 ) ...................................................................... (5) Y L = f (D L , SD L , KRT, D 2 ) ...................................................................... (6) dimana : Yp
= Keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga (ya=1, lainnya=0) YL = Keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga (ya=1, lainnya=0) SD P = Vektor variabel sosiodemografi perempuan SD L = Vektor variabel sosiodemografi laki-laki KRT = Vektor variabel karakteristik rumahtangga D 1 , D 2 = Variabel dummy pembeda lokasi penelitian Variabel-variabel sosiodemografi perempuan dan laki-laki meliputi usia saat penelitian, usia ketika menikah pertama, pendidikan, pendapatan masingmasing gender, pendapatan bersama gender, dummy ada tidaknya keterampilan yang dimiliki, dan dummy kesempatan kerja. Sedangkan variabel karakteristik rumahtangga meliputi pendapatan/kapita, jumlah anak berumur < 10 tahun, dan ukuran rumahtangga. Model ekonometrika persamaan keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja (dan atau berusaha) di luar usahatani keluarga disajikan berikut ini : (1) Model keputusan perempuan K Pn
= a 0 + a 1 PddP n + a 2 PddL n + a 3 KETp n + a 4 Ymis n + a 5 UMp1 n +
96 a 6 DA n + a 7 D 1n + u 1.. ................................................................. (7) Koefisien regresi yang diharapkan : a 1 , a 2 , a 3 , a 4 , a7 > 0; a 5 , a 6 < 0 dimana : K Pn
= Dummy keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga (ya=1, lainnya=0) PddP n = Pendidikan perempuan (tahun) PddLn = Pendidikan laki-laki (tahun) KETp n = Dummy memiliki keterampilan tertentu (ada=1; tidak ada=0) Ymis n = Dummy keluarga masuk garis kemiskinan atau tidak (Bila pendapatan/kapita rumahtangga > Rp.182,000/bulan=1, bila ≤ Rp.182,000/bulan 3=0) UMpn1 n = Dummy umur saat menikah (UMpn1=1 bila menikah ketika usia < 19 tahun dan Lainnya=0) DA n = Jumlah anak berumur < 10 tahun di rumah (jiwa) D 1n = Dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan (Desa tahan pangan=1, desa rawan pangan=0) ul = Error term
(2) Model keputusan laki-laki K Ln
= b0 + b1 Ykap n + b 2 Uln + b 3 UM ln + b 4 DKK ln + b5 KETl n + b6 D 2n + u 2.. ................................................................................
(8) Koefisien regresi yang diharapkan : b1 , b2 , b 3 , b4 , b5 , b 6 > 0 dimana : K Ln
= Dummy keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga (ya=1, lainnya=0) Ykap n = Pendapatan/kapita (Rp/orang/tahun) Uln = Umur laki-laki saat penelitian (tahun) UM Ln = Umur saat menikah (tahun) DKK Ln = Dummy kesempatan kerja laki-laki (1 = ada; 0 = tidak ada) KETln = Dummy memiliki keterampilan tertentu (ada=1; tidak ada=0) D 2n = Dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan (Desa tahan pangan=1, desa rawan pangan=0) u2 = Error term
3
Garis kemiskinan versi BPS = Rp 182.000/bulan/orang
97 4.4.3. Pencapaian Ketahanan Pangan Rumahtangga dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Untuk mengukur pencapaian ketahanan pangan, berbagai indikator dapat digunakan. Menurut Hardinsyah (2007) ukurannya bisa kuantitatif maupun kualitatif. Ukuran kuantitatif yang meliputi (1) kecukupan energi rumahtangga, (2) tingkat kecukupan energi, (3) keanekaragaman makanan, dan (4) persen pengeluaran untuk pangan sangat kompleks dan tidak aplikatif bagi pemantauan situasi ketahanan (kerawananan) pangan di masyarakat. Dalam hal ini, diperlukan ukuran kualitatif yang lebih sederhana, tetapi tetap bermakna memberikan gambaran sesungguhnya yang terjadi dalam masyarakat. Haddad et al. (1994) mengemukakan bahwa indikator ketahanan pangan dan gizi tradisional seperti kecukupan kalori dan antropometrik, sulit digunakan dan diinkorporasikan ke sistem monitoring dan evaluasi yang ada, Susanto (1987) juga menyebutkan bahwa tidak mudah memperoleh informasi tentang konsumsi pangan keluarga dan individu. Sanjur (1982) dalam Susanto (1987) menegaskan bahwa dari banyak cara untuk mengukur konsumsi pangan keluarga dan individu, tidak ada satu carapun yang bebas dari penyimpangan. Selanjutnya Haddad et al. (1994) menegaskan bahwa penggunaan indikator ketahanan pangan yang lebih sederhana (simple) bisa mempunyai performansi yang bagus, hemat dalam biaya dan waktu, berpotensi lebih friendly, asal disesuaikan dengan keadaan lokasi penelitian dan ini perlu diujikan pada lokasi yang lebih luas. Adi et al. (1999) menyebutkan bahwa salah satu indikator ketahanan pangan kualitatif adalah frekuensi makan.
98 Dalam penelitian ini, indikator ketahanan pangan yang digunakan adalah frekuensi makan anggota keluarga dalam sehari, bila paling tidak dapat makan tiga kali sehari, maka rumahtangga tersebut termasuk tahan pangan. Sedangkan bila frekuensi makan dalam sehari hanya dua kali atau kurang, maka rumahtangga tersebut tidak tahan pangan. Beberapa penelitian yang menggunakan frekuensi makan sebagai salah satu indikator ketahanan pangan dalam rumahtangga antara lain dilakukan oleh Madanijah et al. (2006), Sa’diyyah dan Briawan (1999), serta Tim Penelitian Ketahanan Pangan dan Kemiskinan dalam Konteks Demografi (Undated). Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga adalah pendidikan laki-laki, pendidikan perempuan, ukuran rumahtangga, pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga, pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga, pendapatan bersama perempuan dan laki-laki dari luar usahatani keluarga, pendapatan usahatani, dan dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan. Model ekonometrika persamaan ketahanan pangan rumahtangga petani dirumuskan berikut ini : KP n
= c 0 + c 1 PddL n + c 2 PddP n + c 3 URT n + c 4 Elnutkeln + c 5
Epnutkeln + c 6 Eplnutkeln + c 7 YUT n + c 8 D 3n + u 3 ............................. (9) Koefisien regresi yang diharapkan : c 1 , c 2 , c 4 , c 5 , c 6 , c 7 , c 8 > 0; c 3 , < 0 dimana : KP n
= Dummy ketahanan pangan rumahtangga petani (Tahan pangan=1, lainnya=0) PddLn = Pendidikan laki-laki (tahun) PddP n = Pendidikan perempuan (tahun) URT n = Ukuran rumahtangga (jiwa)
99 Elnutkel n = Pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun) Epnutkel n = Pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun) Eplnutkel n = Pendapatan bersama perempuan dan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun) YUT n = Pendapatan usahatani keluarga (Rp/tahun) D 3n = Dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan (Desa tahan pangan=1, desa rawan pangan=0) u3 = Error term n = Responden (1, 2, ......n)
4.5. Konsep Operasional Pengertian dari beberapa konsep yang digunakan, disajikan berikut ini : 1. Dalam penelitian ini kata ‘keluarga’ dan ‘rumahtangga’ dipertukarkan penggunaannya. Keduanya menunjukkan suatu unit sosial terkecil dalam masyarakat yang anggotanya terikat oleh adanya suatu hubungan perkawinan, darah atau adopsi, maupun yang tidak ada hubungan seperti itu, tetapi tinggal serumah dan keperluan hidupnya menjadi tanggung jawab kepala keluarga tersebut. 2. Gender adalah pembedaaan perempuan dan laki-laki dilihat dari sifat, peran dan tanggung jawab yang sepantasnya dilakukan laki-laki maupun perempuan, yang ada dan berlaku dalam budaya masyarakat Kabupaten Konawe Selatan, bukan berdasarkan perbedaan biologis diantara keduanya. Dalam penelitian ini, analisis gender hanya dilakukan untuk suami dan isteri dalam setiap rumahtangga responden. Perempuan dan laki-laki lainnya dalam rumahtangga (anak dan anggota keluarga lainnya), tidak menjadi responden dalam penelitian ini.
100 3. Bentuk peran gender dalam penelitian ini adalah alokasi waktu dan sumbangan pendapatan suami dan isteri dari kegiatan produktif dan reproduktif. 4. Kesetaraan gender adalah kondisi kesetaraan dalam peran, fungsi dan tanggung jawab dalam rumahtangga oleh suami dan isteri di Kabupaten Konsel. 5. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. 6. Daerah Rawan Pangan adalah suatu daerah atau wilayah yang secara terus menerus atau secara periodik diamati, ditemu-kenali mengalami masalah kerawanan pangan. Dalam penelitian ini, pembedaan kecamatan dan desa rawan pangan berdasarkan pada kriteria (1) prevalensi gizi kurang pada Balita, (2) persentase keluarga miskin, dan (3) rasio produksi pangan beras terhadap kebutuhan pangan penduduk. Dalam penelitian ini istilah daerah atau rumahtangga ‘rawan pangan’ disamakan artinya dengan istilah ‘tidak tahan pangan’, sehingga penggunaannya dipertukarkan. 7.
Kerawanan pangan adalah kondisi masyarakat atau rumahtangga di suatu daerah/wilayah yang tingkat ketersediaan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakat.
8. Umur perempuan (Up) dan laki-laki (Ul) adalah usia respoden perempuan dan laki-laki pada saat penelitian (tahun). 9.
Umur saat menikah untuk perempuan (UMp) dan laki-laki (Uml) adalah usia responden perempuan dan laki-laki saat pertama kali menikah (tahun),
101 dibagi dalam dua kelompok umur yaitu bila menikah pada usia≤
19
tahun=1, lainnya=0; bila usia di atas 19 tahun=1, lainnya=0). 10.
Pendidikan responden perempuan (PddP) dan laki-laki (PddL) adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang dicapai perempuan dan laki-laki (tahun).
11.
Pendapatan/kapita (Ykap) adalah jumlah pendapatan/kapita yang diperoleh anggota rumahtangga dalam setahun (Rp/kapita/tahun).
12.
Dummy pendapatan pada garis kemiskinan (Ymis) adalah variabel yang menunjukkan apakah pendapatan rata-rata yang diperoleh rumahtangga berada pada garis kemiskinan atau tidak (bila ≤ Rp. 182 000=1, lainnya=0).
13.
Adanya anak di rumah yang berusia < 10 tahun (DA) adalah jumlah anak dalam rumahtangga yang berumur di bawah 10 tahun (jiwa).
14.
Dummy keterampilan (KET) menunjukkan ada-tidaknya keterampilan khusus yang dimiliki responden yang memudahkannya untuk mencari pekerjaan (ada=1, tidak ada=0).
15.
Dummy ketahanan pangan rumahtangga (KP) diukur dari indikator konsumsi (dampak langsung) anggota rumahtangga, yaitu frekuensi makan anggota rumahtangga petani dalam sehari. Bila dapat makan paling tidak 3 kali dalam sehari=tahan pangan, bila kurang dari itu=tidak tahan pangan (tahan pangan=1, lainnya=0).
16.
Dummy keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga (KP) merupakan variabel yang menggambarkan apakah perempuan berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan ekonomi di luar usahatani keluarga atau tidak (berpartisipasi=1, tidak berpartisipasi=0).
102 17.
Dummy keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga (KL) merupakan variabel yang menggambarkan apakah laki-laki berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan ekonomi di luar usahatani keluarga atau tidak (berpartisipasi=1, tidak berpartisipasi=0).
18.
Pendapatan usahatani (YUT) adalah jumlah pendapatan bersih yang diperoleh rumahtangga dari aktivitas usahatani keluarga (Rp/tahun).
19.
Frekuensi makan
adalah seberapa seringnya rumahtangga melakukan
kegiatan konsumsi pangan secara lengkap (idealnya pada setiap saat makan tersebut tersedia pangan sumber karbohidrat, protein, lemak dan vitamin). Ukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah pada saat makan paling tidak terdapat sumber karbohidrat, protein dan lemak. Frekuensi makan normal di Konawe Selatan adalah tiga kali sehari, yaitu makan pagi, makan siang dan makan malam. 20.
Pendapatan gender (gender income) 4 atau penghasilan gender (gender earning) adalah pendapatan atau penghasilan yang diperoleh perempuan atau laki-laki dari kegiatan produktif yang dilakukan.
21.
Pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga (Epnutkel) adalah jumlah pendapatan perempuan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga (Rp/tahun).
22.
Pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Elnutkel) adalah jumlah pendapatan laki-laki yang diperoleh dari aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga (Rp/tahun).
4
Penggunaan istilah gender income antara lain dapat dibaca pada tulisan A. Svenning (2006), sedangkan istilah gender earning antara lain dapat dibaca pada tulisan Y. Chu Ng (2006), C. Weinberger and P. Kuhn (2006), dan P. Rice (1999).
103 23.
Pendapatan bersama gender dari luar usahatani keluarga (Eplnutkel) adalah jumlah pendapatan perempuan dan laki-laki yang diperoleh dari aktivitas ekonomi yang dilakukan bersama di luar usahatani keluarga (Rp/tahun).
24.
Ukuran rumahtangga (URT) adalah banyaknya anggota rumahtangga yang tinggal bersama di bawah satu atap dan pemenuhan semua kebutuhannya menjadi tanggung jawab keluarga tersebut, termasuk kepala keluarga (jiwa).
25.
Dummy desa (D) adalah variabel pembeda untuk desa tahan pangan dan desa rawan pangan (desa tahan pangan=1, desa rawan pangan=0)
26.
Dummy kesempatan kerja perempuan (DKKp) dan laki-laki merupakan pendapat subyektif perempuan dan
(DKKl)
laki-laki tentang ada
tidaknya kesempatan kerja di daerahnya (ada=1; lainnya=0). 27.
Reproduksi sosial adalah cara suatu masyarakat, baik dalam aspek sosial maupun ekonomi, untuk memperbaharui diri sepanjang waktu. Aktivitas reproduksi sosial dalam penelitian ini meliputi : (1) reproduksi biologis, yaitu aktivitas perawatan dan pemberian nutrisi awal pada anak (hamil dan menyusui), (2) reproduksi generasional, yaitu aktivitas seperti pemeliharaan anak, membesarkan, mensosialisasikan, serta mendidik anak, dan (3) reproduksi harian, yaitu aktivitas perempuan dan laki-laki terkait dengan penyelenggaran kelangsungan rumahtangga, seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, menyiapkan makanan untuk ke sawah atau ke kebun, mencari air, dan mencari sayuran di kebun.
28.
Aktivitas produksi dapat diklasifikasikan menjadi : (1) produksi langsung (produk akhir untuk konsumsi keluarga), meliputi pengolahan makanan seperti menumbuk padi dan membuat pakaian, (2) aktivitas non-farm income
104 earning, yaitu produksi rumahtangga berupa kerajinan tangan atau produkproduk lain beserta pemasarannya di luar aktivitas pertanian, menjual makanan yang dimasak sendiri. Dalam kelompok ini juga termasuk usaha mandiri yang dilakukan responden, seperti membuat atap, mendulang emas, berjualan sembako di rumah (kios) atau di pasar, menjual sayur di pasar, menjual asesoris di pasar, tukang ojek motor, menjual sayur keliling, dan membuat bata merah, (3) aktivitas usahatani keluarga (on-farm activities), antara lain menyiapkan lahan, menyemai, memupuk, memanen, mencari ikan ke laut dan danau, dan (4) aktivitas off-farm wage labor, yaitu berburuh di usahatani milik tetangga, buruh nelayan, buruh panjat kelapa, guru sekolah, buruh bangunan, tukang pijit, menjaga kios, SATPAM dan guru mengaji. 29.
Aktivitas dalam usahatani keluarga (on-farm activities) adalah pekerjaanpekerjaan yang dilakukan perempuan dan laki-laki di dalam usahatani keluarga (ladang, kebun, sawah, nelayan laut, nelayan air tawar), seperti menyiapkan lahan, menyemai, memupuk, memanen, menyiapkan alat pancing, mencari ikan ke laut dan danau.
30.
Aktivitas pertanian di luar usahatani keluarga (off-farm avtivities) adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan perempuan dan laki-laki di luar usahatani keluarga, seperti menjadi buruh di sawah milik tetangga, buruh nelayan, dan buruh panjat kelapa.
31.
Aktivitas ekonomi di luar pertanian (non-farm activities) adalah aktivitasaktivitas yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki di luar sektor pertanian, yang mendapatkan pendapatan berupa uang tunai, seperti
105 membuka kios, menjual makanan yang dimasak sendiri, membuat atap, mendulang emas, berjualan sembako di rumah (kios) atau di pasar, menjual sayur di pasar, menjual asesoris di pasar, tukang ojek motor, menjual sayur keliling, dan membuat bata merah. 32.
Aktivitas dalam rumahtangga (housework, domestic activities) adalah keseluruhan aktivitas reproduksi sosial yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki di dalam rumahtangga, seperti perawatan dan pemberian nutrisi awal pada anak, pemeliharaan anak, membesarkan anak, memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, menyiapkan makanan untuk ke sawah atau ke kebun, mencari air, dan mencari sayuran di kebun.
33.
Aktivitas waktu luang (leisure) adalah aktivitas pribadi dan peranan sosial yang dilakukan perempuan dan laki-laki. Dalam penelitian ini, aktivitas waktu luang responden meliputi nonton TV, mandi, makan, sholat, berkunjung kerumah saudara, menjenguk saudara di rumah sakit, pergi ke hajatan, bercerita (ngobrol) dengan keluarga atau tetangga.
34.
Istirahat merupakan aktivitas di luar kegiatan reproduksi dan produksi yang harus dilakukan responden. Dalam penelitian ini meliputi tidur dan sakit.
35.
Kegiatan ekonomi adalah aktivitas yang dilakukan perempuan dan laki-laki yang menghasilkan pendapatan, baik tunai maupun natura.
V. KARAKTERISTIK WILAYAH PENELITIAN, USAHATANI DAN LATAR BELAKANG SOSIODEMOGRAFI RESPONDEN Karakteristik suatu wilayah, akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan wilayah tersebut. Suatu daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah, yang dibarengi dengan pengelolaan yang memperhatikan kaidahkaidah kelestarian alam, yang dilakukan oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, tentu akan memberikan manfaat yang besar bagi seluruh masyarakat di daerah tersebut. Karakteristik wilayah juga akan sangat menentukan jenis usahatani yang dikelola oleh masyarakat setempat. Pada akhirnya, kesemua aspek tersebut di atas, bersama-sama dengan latar belakang sosiodemografi gender, akan menentukan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Berbagai masalah terkait pangan (dan gizi) sangat erat kaitannya dengan potensi yang dimiliki suatu daerah, dimana daerah-daerah yang miskin dan penduduknya mempunyai daya beli yang rendah, akan sangat peka terhadap goncangan faktor-faktor yang mempengaruhinya dan dapat menimbulkan masalah konsumsi pangan (Berg, 1986; World Bank, 1986 dalam Suharjo dan Riyadi, 1988). Keadaan gizi masyarakat suatu desa dipengaruhi oleh keadaan atau potensi desa, yang dapat dicirikan oleh karakteristik desa dimana mereka tinggal (Suhardjo dan Riyadi, 1988). Dalam bagian ini akan dikemukakan mengenai karakteristik wilayah penelitian, yaitu Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), termasuk ketiga kecamatan yang terpilih, karakteristik usahatani rumahtangga contoh dan latar belakang sosiodemografi perempuan dan laki-laki yang menjadi responden dalam penelitian ini.
107 5.1. Karakteristik Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Dilihat dari indikator ekonomimakro, pembangunan di Sulawesi Tenggara menunjukkan pertumbuhan yang positif, dimana nilai PDRB daerah ini dari tahun 2002-2006 menunjukkan peningkatan sebesar rata-rata 7.26 persen per tahun. PDRB per kapita juga menunjukkan kenaikan, dimana pada tahun 2004 mencapai Rp 5 340 427.95 dan pada tahun 2005 mencapai angka 6 627 398.90 atau naik 24.10 persen (BPS Sultra, 2007a). Pertumbuhan PDRB positif tidak bermakna banyak bila di tingkat mikro masyarakat banyak yang tidak memenuhi kebutuhan yang paling mendasar sekalipun. Nainggolan (2008) menyebutkan bahwa aspek ketersediaan pangan di tingkat makro saja tidak cukup, yang paling penting adalah pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat mikro untuk setiap anggota rumahtangga untuk dapat hidup sehat dan aktif. Dalam pemenuhan pangan masyarakat Sultra, khususnya beras, sebagian besar masih didatangkan dari luar daerah, terutama dari Sulawesi Selatan. Daerah ini belum berswasembada padi (beras). Selain tanaman pangan, tanaman lain yang umumnya diusahakan oleh para petani di daerah ini merupakan komoditas perkebunan, seperti kakao, jambu mete, dan lada. Propinsi Sulawesi Tenggara merupakan daerah ‘net impor’ untuk beras. Meskipun terdapat sumber makanan lain selain beras yang umumnya dihasilkan dan dikonsumsi oleh masyarakat di daerah ini, seperti ubi, jagung, dan sagu, namun permintaan yang semakin meningkat akan komoditas beras, menuntut kesiapan berbagai pihak terkait dalam pengadaannya.
Terjadinya
perubahan
pola
konsumsi
masyarakat
dari
mengkonsumsi pangan lokal beralih ke beras, akibat kebijakan pemerintah selama ini yang terlalu bias ke komoditas beras, menambah beratnya beban pemerintah
108 untuk mampu menyediakan beras yang cukup bagi seluruh warganya. Bila pemerintah tidak mampu mengambil langkah-langkah konkrit di lapangan, akan membawa masyarakat di daerah ini pada kondisi rawan pangan. Sesuatu yang tentu saja sangat tidak diharapkan terjadi. Kerawanan pangan merupakan masalah multi-dimensional dan secara umum dapat diartikan sebagai kondisi suatu masyarakat atau rumahtangga di suatu daerah/wilayah yang tingkat ketersediaan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian masyarakat. Kondisi tersebut dapat terjadi pada daerah/wilayah atau rumahtangga yang terganggu aksesnya terhadap pangan baik dilihat dari aspek produksi, aspek distribusi maupun aspek konsumsi. Kejadian kerawanan pangan dapat bersifat kronis maupun sementara (transien) diupayakan agar dapat dideteksi sedini mungkin sehingga dapat diketahui faktor penyebab terjadinya kerawanan pangan tersebut dan selanjutnya dapat ditetapkan langkah-langkah penanganannya (Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007). Kerawanan pangan dapat terjadi pada individu dimana sejak janin mengalami kurang gizi (dapat berupa bayi yang lahir dengan berat badan kurang), anak dan orang dewasa. Jadi kerawanan pangan merupakan manifestasi dan kombinasi dimensi atau faktor-faktor ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan penghasilan, pemanfaatan atau penyerapan pangan serta kerentanan pangan. Interaksi dari keempat dimensi atau faktor-faktor tersebut pada akhirnya menentukan apakah suatu daerah/wilayah atau individu tersebut rawan pangan atau tidak.
109 5.1.1. Situasi K erawanan Pangan Salah satu kebutuhan manusia yang sangat asasi adalah pemenuhan pangan. Pada saat ini, seperti juga banyak dialami oleh negara-negara di dunia, Indonesia masih berkutat pada permasalahan kebutuhan pokok yang masih belum terpenuhi secara adil, merata dan cukup bagi seluruh masyarakat, perempuan dan laki-laki, serta anak-anak. Terlebih dengan semakin meningkatnya harga BBM dunia, yang diikuti dengan semakin mahalnya harga pangan disamping barang kebutuhan masyarakat lainnya, fenomena kekurangan pangan dan kelaparan telah menjadi fakta nyata. Hal ini akan semakin mengancam ketahanan pangan nasional. Ini sesuai dengan kekhawatiran Rosegrant dan Ringler (2000) bahwa krisis ekonomi pada tahun 1997 akan mempunyai efek yang sangat besar terhadap ketahanan pangan negara-negara di Asia. Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat krusial, Hardinsyah (1999) dalam Saliem (2002) menegaskan bahwa krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Ini terjadi di beberapa negara berkembang. Meskipun belum seperti itu, tetapi di Indonesia masalah panganpun (khususnya beras) telah menjadi komoditas politik yang dapat mempengaruhi pamor penguasa yang sedang berkuasa. Menurut Nainggolan 1 (2007), masalah kerawanan pangan, kemiskinan dan kurang gizi umumnya terkosentrasi di perdesaan. Sekitar 75 persen penduduk miskin di dunia berada di perdesaan yang tidak memiliki akses terhadap sumberdaya produktif seperti lahan, jalan, air dan listrik. Jadi peluang pengembangan kapasitas individu dan kolektif sangat terbatas.
1
Harian Suara Pembaruan (2007)
Ini berarti bahwa penurunan
110 angka kekurangan pangan tidak mungkin terjadi tanpa perhatian khusus terhadap pembangunan pertanian dan perdesaan. Pengalaman menunjukkan bahwa pertanian merupakan sektor kunci mencapai kemajuan ekonomi dan penurunan prevalensi kurang gizi. Investasi di sektor pertanian dan pedesaaan dalam arti luas merupakan syarat utama untuk percepatan pengurangan rawan pangan. Sektor pertanian merupakan mesin pertumbuhan bagi ekonomi pedesaaan dan peningkatan produktivitas akan meningkatkan pasokan pangan dengan harga terjangkau, meningkatkan pendapatan petani dan memicu ekonomi lokal secara keseluruhan. Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (2007) telah melakukan pemetaan kerawanan pangan terhadap delapan kabupaten di Sulawesi Tenggara. Dari analisis tersebut, terdapat daerah yang masuk kategori tahan pangan, cukup tahan pangan, dan agak rawan pangan. Berdasarkan indeks komposit kerawanan pangan, maka penggolongan tingkat kerawanan untuk delapan (8) kabupaten di Sulawesi Tenggara disajikan dalam tabel berikut : Tabel 3. Kategori Tingkat Kerawanan Pangan Kabupaten di Sulawesi Tenggara Tahun 2007 Kabupaten
Indeks (Persen)
Kategori
Buton
0.26
Tahan Pangan
Muna
0.52
Agak rawan pangan
Konawe
0.37
Cukup tahan pangan
Kolaka
0.29
Tahan pangan
Kolaka Utara
0.36
Cukup tahan pangan
Konawe Selatan
0.27
Tahan pangan
Bombana
0.21
Tahan pangan
Wakatobi
0.48
Agak rawan pangan
Sumber : Dimodifikasi dari Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (2007)
111 Berdasarkan Analisis Kerawanan Pangan diperoleh Peta Rawan pangan Sultra, dimana dua (2) Kabupaten yakni Kabupaten Muna dan Wakatobi masuk kategori Agak Rawan Pangan dan Kabupaten Buton, Konsel, Kolaka dan Bombana dengan kategori Tahan Pangan sedangkan Kabupaten Konawe dan Kolaka Utara Cukup Tahan Pangan. Meskipun demikian bukan berarti di Kabupaten Muna dan Wakatobi sudah kesulitan bahan pangan bahkan kelaparan, namun perlu diwaspadai mungkin saja bisa terjadi apabila terjadi perubahan musim atau gejolak sosial atau bencana alam lainnya berpeluang terjadi kerawanan pangan karena daerah tersebut sangat rentan. 5.1.2. Penduduk Berdasar Gender, Umur, Pendidikan, dan Ketenagakerjaan Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2007, jumlah penduduk Provinsi Sultra berjumlah 2 029 656 jiwa, terdiri dari laki-laki sebesar 1 009 858 jiwa dan perempuan 1 019 798 jiwa. Dilihat dari struktur umur, proporsi penduduk usia muda (di bawah 15 tahun) sebesar 40.01 persen, proporsi penduduk tua (usia di atas 65 tahun) kurang dari 5 persen (4.09 persen). Sementara proporsi penduduk dewasa (usia produktif) yang berumur 15-64 tahun sebesar 59.9 persen (BPS Sulawesi Tenggara, 2008). Hasil SUSENAS Tahun 2007 juga menunjukkan masih ada sekitar 8 persen penduduk Sultra usia 10 tahun ke atas yang tidak atau belum pernah bersekolah, yang sementara sekolah sekitar 24 persen, dan yang tidak sekolah lagi sebanyak 67 persen. Berdasar pendidikan yang ditamatkan, jumlah penduduk yang tidak atau belum tamat SD dan yang sederajat berjumlah 29 persen, tamat SD sekitar 27 persen, tamat SLTP dan SMU masing-masing sekitar 18 persen, dan yang tamat Diploma ke atas sekitar 5 persen.
112 5.1.3. Pembangunan Sektor Pertanian di Sultra Secara umum total penggunaan tanah di Provinsi Sulawesi Tenggara seluas 3 814 000 Ha dengan jenis penggunaan tanah terluas adalah hutan negara, yaitu 1 753 121 Ha (45.97 persen) atau hampir dari separuh luas tanah di Provinsi Sulawesi Tenggara. Tanah perkebunan seluas 381 604 Ha atau 10.01 persen, tanah yang sementara tidak diusahakan seluas 314 093 Ha atau 8.24 persen, tanah lainnya seluas 313 255 Ha atau sekitar 8.21 persen, lahan tanaman kayu-kayuan sebesar 306 314 Ha atau 8.03 persen dan tanah tegal/kebun seluas 214 306 Ha atau 5.62 persen. Adapun luas lahan yang terkecil adalah tambak/kolam/tebat dan empang seluas 19 161 Ha atau 0.50 persen (BPS Sulawesi Tenggara, 2008). Produksi padi tertinggi terdapat di Kabupaten Konawe, yaitu mencapai 124 247 ton atau 35.56 persen dari produksi padi di seluruh wilayah Provinsi Sultra. Sedangkan untuk Kabupaten Kolaka, Konawe Selatan, Bombana, Buton dan Muna, masing-masing sebesar 85 629 ton (24.51 persen), 69 734 ton (19.96 persen), 31 998 ton (9.16 persen), 12 725 ton (3.64 persen) dan 9 196 ton (2.63 persen). Produktivitas tanaman padi sawah tertinggi dicapai Kabupaten Konawe yaitu mencapai 40.18 Ku/Ha, disusul Kabupaten Kolaka Utara sebesar 39.20 Ku/Ha. Sedangkan produktivitas pada Kabupaten Konawe Selatan, Kolaka, Bombana, Buton dan Muna, masing-masing mencapai 39.18 Ku/Ha, 38.97 Ku/Ha, 38.14 Ku/Ha, 38.00 Ku/Ha dan 29.38 Ku/Ha. Sedangkan untuk produktivitas padi ladang, yang tertinggi adalah di Kabupaten Kolaka sebesar 31.00 Ku/Ha, disusul Kota Bau-bau sebesar 29.89 Ku/Ha, Kabupaten Buton sebesar
113 25.97 Ku/Ha, Kabupaten Konawe sebesar 24.32 Ku/ha dan Kabupaten Konawe Selatan sebesar 22.88 Ku/Ha. Untuk tanaman Pangan Setara Beras (PSB), produksi terbesar yaitu tanaman ubi kayu dengan produksi sebanyak 238 038 ton dengan luas panen sebesar 14 825 Ha, selanjutnya tanaman jagung sebanyak 74 672 ton dengan luas panen sebesar 33 343 Ha. Untuk tanaman perkebunan rakyat, setidaknya terdapat 19 jenis yang banyak diusahakan warga di Sulawesi Tenggara, yaitu kelapa dalam, kopi, kapuk, lada, pala, cengkeh, jambu mete, kemiri, coklat, enau, panili, pinang, asam jawa, tembakau, kelapa hibrida, kapas rakyat, tebu, jahe dan sagu. Yang sedang dikembangkan karena produksinya sangat potensial untuk ekspor baru tujuh jenis, yaitu kelapa, kopi, lada, cengkeh, jambu mete, coklat dan sagu. Produksi tanaman perkebunan tahun 2006 yang tertinggi adalah kakao, mencapai 124 921 ton, diikuti jambu mete dengan produksi sebanyak 40 325 ton. Luas areal tanaman perkebunan rakyat terluas adalah tanaman kakao, yakni seluas 196 884 Ha, kemudian jambu mete seluas 120 196 Ha, kelapa dalam seluas 50 938 Ha, kopi 10 703 Ha, lada 10 430 Ha, cengkeh dan sagu masing-masing seluas 8 323 Ha dan 5 607 Ha. Kegiatan penangkapan ikan di Sulawesi Tenggara dilaksanakan melalui perikanan laut dan perikanan darat (perairan umum, tambak dan kolam). Produksi ikan di Sulawesi Tenggara Tahun 2006 tercatat sebanyak 217 693.9 ton (senilai Rp. 1 524.50 milyar) naik sebesar 12.79 persen dibanding Tahun 2005.
114 5.2. Karakteristik Wilayah Kabupaten Konsel Kabupaten Konsel dengan Ibukota Andoolo, merupakan salah satu wilayah daerah tingkat II di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang baru dimekarkan dari Kabupaten Kendari dan berdiri sendiri secara definitif pada Tahun 2005 (BPS Sulawesi Tenggara, 2007b). Luas wilayah Kabupaten Konawe Selatan meliputi 4 514 Km2 (Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, 2008). 5.2.1. Penduduk Berdasar Gender, Umur, dan Lapangan Kerja Penduduk Kabupaten Konsel berjumlah 234 400 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebesar 120 182 jiwa (51.27 persen) dan perempuan 114 218 jiwa atau 48.72 persen dari total populasi. Dilihat dari struktur umur, sebagian besar penduduk Konsel termasuk dalam kategori penduduk dewasa (usia 15-64 tahun), yaitu mencapai 143 526 jiwa atau 61.23 persen, sebanyak 80 564 jiwa atau 34.37 persen anak-anak (di bawah usia 15 tahun) dan penduduk usia lanjut sebanyak 10 310 jiwa (4.40 persen) [BPS Sulawesi Tenggara, 2007b]. Proporsi penduduk yang masuk angkatan kerja dikenal sebagai Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Dari 98 050 jiwa angkatan kerja di Konsel, sebanyak 88 874 jiwa (90.64 persen) bekerja secara ekonomis dan selebihnya sebanyak 9 176 jiwa (9.36 persen) merupakan pencari kerja, yang terdiri atas 5 550 jiwa laki-laki (60.48 persen) dan 3 626 jiwa perempuan (39.52 persen).
TPAK di Konsel sebesar 54.30 persen,
dimana TPAK laki-laki lebih tinggi dari perempuan, yaitu masing-masing sebesar 75.37 persen dan 33.03 persen. Dilihat dari status pekerjaan utama, bagian terbesar penduduk Konsel bekerja atau berusaha sendiri, yaitu sebanyak 23 902 orang (26.89 persen),
115 kemudian pekerja yang tidak dibayar sebanyak 23 606 orang (26.56 persen), berusaha dibantu buruh tidak dibayar sebanyak 21 164 orang (23.81 persen), buruh/karyawan sebanyak 11 618 (13.07 persen), pekerja bebas non pertanian sebanyak 3 774 orang (4.25 persen), pekerja bebas pertanian sejumlah 2 590 orang (2.91 persen) dan usaha dibantu buruh yang dibayar sejumlah 2 220 orang (2.50 persen). 5.2.2. Pembangunan Sektor Pertanian di Konsel Data BPS Sulawesi Tenggara (2007b) menunjukkan bahwa dari 481,009 Ha luas wilayah daratan Kabupaten Konsel, 432 820 Ha (95.88 persen) merupakan lahan kering dan sisanya seluas 18 601 Ha (4.12 persen) adalah lahan sawah. Pada Tahun 2006, produksi tanaman pangan (kecuali jagung kacang tanah dan padi ladang), seperti ubi kayu, kacang hijau, kedelai, ubi jalar, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebagai akibat menurunnya areal panen. Selama ini produksi bahan makanan yang diusahakan oleh penduduk Kabupaten Konsel digunakan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat, Badan Urusan Logistik (BULOG) Provinsi Sulawesi Tenggara setiap saat hanya berusaha mengadakan bahan makanan pokok berupa beras. Setidaknya terdapat 15 jenis tanaman perkebunan yang umumnya diusahakan masyarakat di Kabupaten Konsel, namun jenis tanaman perkebunan rakyat terluas adalah jambu mete meliputi 17 646 Ha, selanjutnya kakao 17 287 Ha, sagu seluas 2 283 Ha, kelapa 6 694 Ha, lada 102 Ha dan kopi seluas 1 477 Ha. Dari sisi produksi, jenis tanaman perkebunan rakyat terbesar adalah kakao, yaitu mencapai 8 334 ton, jambu mete sebanyak 5 163 ton, serta lada dan kelapa
116 masing-masing sebesar 990 ton dan 2 144 ton. Jenis tanaman perkebunan lainnya, produksinya di bawah 1.00 ton. Produksi perikanan selama Tahun 2005 sebesar 19 607 ton dengan nilai sebesar Rp. 70 607 juta, terdiri atas hasil budidaya sebanyak 11 383.1 ton dengan nilai Rp. 45 752 juta, serta hasil penangkapan di laut dan perairan umum sebanyak 8 224 ton dengan nilai Rp. 24 371 juta. 5.3. Karakteristik Kecamatan Contoh Tiga kecamatan yang merupakan lokasi penelitian adalah Kecamatan Kolono dan Kecamatan Angata yang merupakan kecamatan yang termasuk rawan pangan dan Kecamatan Lainea yang merupakan kecamatan tahan pangan. 5.3.1. Kecamatan Kolono Luas wilayah Kecamatan Kolono meliputi 335.27 Km2 atau 7.43 persen dari luas wilayah Kabupaten Konsel. Kecamatan Kolono dengan Ibukota Kelurahan Kolono memiliki 26 desa/kelurahan. Dilihat dari letak topografinya, sebagian besar desa-desa di kecamatan ini adalah dataran (ada 14 desa) dan sebagian lagi merupakan pesisir/tepi laut (12 desa). Seluruh jalan utama desa di Kecamatan Kolono belum diaspal. Kondisi jalan utama desa diperkeras, tetapi ada juga desa yang kondisi jalan utamanya masih tanah. Meskipun demikian kondisi jalan tersebut masih dapat dilalui oleh kendaraan, baik roda dua maupun roda empat (BPS Konawe Selatan, 2008). Kecamatan Kolono merupakan salah satu daerah yang masuk kategori rawan pangan. Dalam penelitian ini dipilih Desa Matandahi, Ngapawali dan Andinete sebagai lokasi penelitian. Dua desa yang disebut pertama terletak di tepi pantai, sedangkan Desa Andinete terletak di daerah dataran. Karena terletak di
117 tepi pantai, sehingga warga masyarakat di Desa Matandahi dan Ngapawali sebagian besar adalah petani nelayan, yang disamping memiliki lahan-lahan kebun, juga bekerja sebagai nelayan. Sebaliknya, masyarakat di Desa Andinete, sebagian besar adalah petani pekebun, yang menanam tanaman perkebunan seperti kakao, merica dan kelapa. Beberapa aspek kependudukan untuk masing-masing desa penelitian di Kecamatan Kolono disajikan berikut ini : Tabel 4. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk, Jumlah Rumahtangga dan Jumlah Rata-Rata Jiwa per Rumahtangga di Kecamatan Kolono Tahun 2007 Desa
Jumlah Penduduk (Jiwa) 372
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2 ) 127.74
Jumlah Rumahtangga 86
Rata-rata Jiwa per Rumahtangga (Jiwa) 3.34
Andinete
392
79.31
104
3.76
Ngapawali
270
23.77
79
3.43
Matandahi
Data di atas menunjukkan bahwa dari tiga desa penelitian di Kecamatan Kolono, Desa Andinete adalah yang jumlah penduduknya terbanyak dengan rata-rata 3.76 jiwa per rumahtangga. Dilihat dari tingkat kepadatan penduduk, Desa Matandahi adalah yang paling padat, yaitu sekitar 128 jiwa/Km2. Ketenagakerjaan dan Sektor Pertanian Dari segi ketenagakerjaan, sebagian besar penduduk di Kecamatan Kolono bekerja pada sektor perkebunan, lalu perikanan laut. Adapun produk unggulan pada sektor perkebunan adalah jambu mete dan kakao (BPS Konawe Selatan, 2008). Lahan sawah hanya terdapat di Desa Matandahi dan Andinete, masing-masing seluas 55 Ha dan 150 Ha. Sedangkan luas lahan bukan sawah di masing-masing desa penelitian adalah 767 Ha di Desa Matandahi, 1 195 Ha di Desa Andinete dan di Desa Ngapawali seluas 3 255 Ha.
118 5.3.2. Kecamatan Angata Luas wilayah Kecamatan Angata meliputi 437 Km2 atau 9.69 persen dari luas wilayah Kabupaten Konsel. Ibukota Kecamatan Angata adalah Desa Motaha. Kecamatan Angata memiliki 20 desa/kelurahan, dimana keseluruhan desa-desa tersebut adalah dataran. Meskipun kondisi jalan di Kecamatan Angata tidak semua beraspal, namun akses dari ibukota kecamatan ke seluruh desa di wilayah Kecamatan Angata relatif mudah, karena semua desa dapat dilewati dengan kendaraan roda empat dan roda dua sepanjang tahun dengan menggunakan jalan darat (BPS Konawe Selatan, 2009a). Kecamatan Angata merupakan salah satu daerah yang masuk kategori rawan pangan di Kabupaten Konsel. Dalam penelitian ini dipilih Desa Lamooso dan Sandarsi Jaya sebagai lokasi penelitian. Sebagian besar masyarakat di kecamatan ini adalah adalah petani pekebun, dengan tanaman perkebunan unggulan lada dan kakao. Desa Lamooso ini terletak di sepanjang jalan raya yang telah beraspal, sementara Desa Sandarsi Jaya seluruh wilayahnya terletak di jalan yang baru mengalami pengerasan dengan kerikil dan bukan berada di jalan raya. Dengan demikian akses masyarakat di Desa Sandarsi Jaya relatif lebih terbatas dibandingkan penduduk di Desa Lamooso. Kependudukan Beberapa aspek kependudukan untuk masing-masing desa penelitian disajikan dalam Tabel 5. Dari tabel tersebut nampak bahwa jumlah penduduk di Desa Lamooso lebih banyak, namun dengan tingkat kepadatan yang lebih rendah dibandingkan Desa Sandarsi Jaya.
119 Tabel 5. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk, Jumlah Rumahtangga dan Jumlah Rata-Rata Jiwa per Rumahtangga di Kecamatan Angata Tahun 2008 Desa
Lamooso Sandarsi Jaya
Jumlah Penduduk (Jiwa) 806
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2 ) 17.61
Jumlah Rumahtangga 219
Rata-rata Jiwa per Rumahtangga (Jiwa) 3.68
522
56.71
144
3.63
Ketenagakerjaan dan Sektor Pertanian Dari segi ketenagakerjaan, seperti juga di Kecamatan Kolono, sebagian besar penduduk di Kecamatan Angata bekerja pada sub sektor perkebunan, lalu tanaman pangan. Yang agak berbeda adalah di kecamatan ini sebagian masyarakatnya mencari ikan di rawa-rawa yang banyak terdapat di sekitar daerah ini. Salah satu rawa terbesar adalah Rawa Aopa, yang merupakan Taman Nasional (BPS Konawe Selatan, 2009a). Disamping lahan perkebunan, di desa-desa penelitian di Kecamatan Angata ini terdapat lahan sawah, yaitu masing-masing seluas 280 Ha di Desa Lamooso dan seluas 73 Ha di Desa Sandarsi Jaya. Sedangkan luas lahan bukan sawah di masing-masing desa penelitian adalah 2 100 Ha di Desa Lamooso dan di Desa Sandarsi Jaya seluas 462 Ha. 5.3.3. Kecamatan Laeya Luas wilayah Kecamatan Laeya adalah 316.32 Km2 atau 11.25 persen dari luas wilayah Kabupaten Konsel. Ibukota Kecamatan Lainea adalah Kelurahan Punggaluku. Kecamatan Laeya terdiri atas 2 desa pantai dan 14 bukan desa pantai, yang secara umum memiliki topografi berbukit. Luas areal lahan sawah adalah 3 110 hektar, sedangkan lahan bukan sawah mencapai 11 760 hektar (BPS Konawe Selatan, 2009b).
120 Kecamatan Lainea merupakan salah satu daerah yang masuk kategori tahan pangan. Dalam penelitian ini dipilih Kelurahan Punggaluku dan RambuRambu sebagai lokasi penelitian. Kedua kelurahan ini memiliki akses jalan beraspal, yang merupakan jalan provinsi. Sebagian besar masyarakat di wilayah ini memiliki lahan kebun seperti mete, lada, dan kakao, disamping lahan sawah yang dapat ditanami dua kali dalam setahun. Hal ini dimungkinkan, karena di daerah ini terdapat irigasi tehnis yang dibangun sejak Tahun 1970-an dan masih berfungsi dengan baik hingga kini. Kependudukan Beberapa aspek kependudukan untuk masing-masing lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 6. Dari tabel tersebut nampak bahwa jumlah penduduk di Kelurahan Punggaluku lebih banyak, dengan tingkat kepadatan yang sama dengan Kelurahan Rambu-Rambu. Tabel 6. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk, Jumlah Rumahtangga dan Jumlah Rata-Rata Jiwa per Rumahtangga di Kecamatan Laeya Tahun 2009 Kelurahan
Punggaluku Rambu-Rambu
Jumlah Penduduk (Jiwa) 2 657
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2 ) 17.61
Jumlah Rumahtangga 625
Rata-rata Jiwa per Rumahtangga (Jiwa) 4
956
156
234
4
5.4. Karakteristik Sosiodemografi dan Usahatani Responden Peluang gender untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga, serta peluang
rumahtangga contoh untuk
mencapai ketahanan
pangan
rumahtangga diduga dipengaruhi oleh sejumlah karakteristik, yaitu yang dikelompokkan dalam karakteristik sosial, ekonomi, demografi dan karakteristik
121 usahatani responden. Secara umum, karakteristik yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap peluang gender untuk bekerja di luar usahatani keluarga, demikian juga peluang pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Gambaran mengenai karakteristik beberapa variabel yang mempengaruhi variabel dependen dalam penelitian ini disajikan dalam bagian berikut, sedangkan hasil analisis statistik deskriptif untuk keseluruhan variabel yang digunakan dalam penelitian ini, disajikan dalam Lampiran 7. 5.4.1. Karakteristik Sosiodemografi Responden Hasil analisis statistik deskriptif (rata-rata, standar deviasi dan t-test) beberapa karakteristik responden (umur perempuan dan laki-laki saat penelitian, lama masa sekolah perempuan dan laki-laki, serta umur perempuan dan laki-laki ketika pertama menikah), nampak bahwa keseluruhan variabel tersebut berbeda nyata pada tingkat kesalahan (α) sebesar 5 persen. Artinya, nilai-nilai variabel umur dan tingkat pendidikan antara perempuan dan laki-laki memang berbeda secara signifikan. Hasil analisis tersebut diringkaskan dalam tabel berikut : Tabel 7. Nilai Rata-Rata, Standar Deviasi dan P-Value Beberapa Karakteristik Responden di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
Rata-rata
Standar Deviasi
P-value
Umur suami (tahun)
42.49
11.55
<0.0001*
Umur istri (tahun)
36.70
10.01
Pendidikan suami (tahun)
7.68
3.43
Pendidikan istri (tahun)
6.77
3.93
Umur suami saat menikah (tahun)
23.73
3.96
Umur isteri saat menikah (tahun)
19.53
3.89
Uraian
Keterangan : * Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05.
<0.017*
<0.0001*
122 Dari keseluruhan responden, nampak bahwa umur rata-rata responden laki-laki lebih tinggi (42.49 tahun) daripada umur perempuan (36.70 tahun). Demikian juga dengan rata-rata tingkat pendidikan laki-laki yang mencapai 7.68 tahun, lebih tinggi daripada rata-rata tingkat pendidikan perempuan (6.77 tahun). Rata-rata umur saat menikah suami juga lebih tinggi daripada perempuan, yaitu laki-laki saat berumur 23.73 tahun dan perempuan saat berumur 19.53 tahun. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa responden di lokasi penelitian memiliki beberapa karakteristik seperti yang umumnya terjadi dalam budaya masyarakat di Indonesia, yaitu bahwa dalam hubungan suami-isteri, umur laki-laki sering lebih tinggi daripada perempuan. Fenomena lain adalah adanya indikasi ketimpangan gender dalam hal tingkat pendidikan responden, yaitu tingkat pendidikan laki-laki umumnya lebih tinggi daripada tingkat pendidikan perempuan. Hasil penelitian Koesoemowidjojo (2000) menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan istri adalah 5.9 tahun, lebih rendah daripada suami (7.3 tahun). Ini semakin menguatkan pendapat dalam masyarakat bahwa laki-laki lebih diutamakan dalam menempuh pendidikan formal daripada perempuan. Fenomena di atas umumnya terjadi di negara-negara miskin, padahal pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan produktivitas pekerja, terutama bagi perempuan. Menurut Todaro (1998), pendidikan bagi perempuan sangat penting. Terjadinya diskriminasi tersebut merupakan salah satu penyebab terhambatnya pembangunan ekonomi yang memperburuk ketimpangan kesejahteraan sosial. Data-data statistik menunjukkan bahwa pencapaian
123 pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara barat, terutama bukan dipacu oleh pengembangan modal fisik, tetapi oleh pengembangan sumberdaya manusia. Hasil analisis atas beberapa karakteristik rumahtangga responden yang dipilah menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, disarikan dalam Tabel 8. Dalam tabel tersebut nampak umur rata-rata responden laki-laki dan perempuan di desa tahan pangan lebih tinggi daripada responden di desa rawan pangan. Dilihat dari aspek gender, rata-rata umur laki-laki (suami) selalu lebih tinggi daripada usia perempuan (isteri), baik di desa rawan pangan maupun di desa tahan pangan. Umur laki-laki yang lebih tinggi daripada perempuan pada pasangan suami-isteri merupakan hal yang lumrah di Indonesia. Ini merupakan salah satu produk budaya di Indonesia, dimana secara umum yang dianggap lebih wajar adalah usia suami lebih tinggi daripada usia isteri. Tabel 8. Nilai Rata-Rata Beberapa Karakteristik Responden di Desa Rawan Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 Responden di Desa Rawan Pangan n=144 41.88
Responden di Desa Tahan Pangan n=50 44.22
35.76
39.40
Pendidikan suami (tahun)
7.16
9.16
Pendidikan istri (tahun)
6.22
8.38
(tahun)
23.95
23.10
Umur isteri saat menikah (tahun)
19.71
19.02
4.69
4.90
1.23
0.94
Uraian Umur suami (tahun) Umur istri (tahun)
Umur suami saat menikah
Ukuran rumahtangga (orang) Jumlah anak usia di bawah 10 tahun (orang)
124 Dilihat dari umur saat menikah, diketahui bahwa rata-rata usia responden di desa rawan pangan lebih tinggi daripada usia responden di desa tahan pangan, baik untuk perempuan maupun laki-laki. Artinya, responden di desa-desa rawan pangan menikah dalam usia rata-rata yang lebih tua daripada responden di desa tahan pangan. Dari rata-rata usia responden pada saat menikah tersebut menunjukkan bahwa secara umum responden di kedua wilayah penelitian menikah pada usia yang wajar seperti umumnya terjadi di Indonesia, yaitu ketika berusia sekitar 20-an tahun. Usia saat menikah, dimana umur perempuan biasanya lebih muda daripada usia laki-laki merupakan hal yang dianggap normal dalam budaya masyarakat di Indonesia, termasuk di lokasi penelitian. Dari aspek pendidikan, secara umum dapat dikatakan bahwa responden di desa tahan pangan, baik perempuan maupun laki-laki, telah mencapai pendidikan dasar (9 tahun). Sedangkan di desa rawan pangan, secara umum responden perempuan maupun laki-laki berpendidikan
lebih rendah,
yaitu
belum
menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun. Rata-rata masa sekolah laki-laki mencapai 9.16 tahun di desa tahan pangan dan 7.16 tahun di desa rawan pangan. Sedangkan masa sekolah perempuan di desa tahan pangan dan rawan pangan masing-masing adalah 8.38 tahun dan 6.22 tahun. Menurut KPP RI (2007b), lama masa sekolah dapat dijadikan salah satu indikator terjadinya ketimpangan gender dalam masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di lokasi penelitian terjadi ketimpangan gender, dimana masa sekolah perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini dapat disebabkan karena dalam masyarakat lebih mengutamakan pendidikan untuk anak laki-laki
125 dibandingkan anak perempuan. Fenomena ini sering terjadi dalam masyarakat, termasuk di Sulawesi Tenggara (BPS dan BPM Sulawesi Tenggara, 2006). Secara umum, rata-rata ukuran rumahtangga (jumlah anggota rumahtangga) responden di kedua wilayah penelitian tidak berbeda jauh, yaitu 4.69 di desa rawan pangan dan 4.90 di desa tahan pangan.
Artinya, dalam setiap
rumahtangga contoh, disamping suami dan isteri, juga terdapat anggota keluarga lain sekitar tiga orang, yang umumnya adalah anak dari pasangan suami-isteri responden. Rata-rata jumlah anak yang berusia di bawah 10 tahun yang ada dalam rumahtangga responden di desa rawan pangan lebih tinggi, yaitu sebesar 1.23 orang dan di desa tahan pangan sebesar 0.94. Bila dibandingkan dengan hasil studi sebelumnya, dimana adanya anak kecil di rumah berpengaruh negatif terhadap partisipasi perempuan untuk bekerja di luar rumah (Widarti, 1998), maka dapat dikatakan bahwa kemungkinan partisipasi perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga di desa rawan pangan akan lebih rendah dibandingkan perempuan di desa tahan pangan. Hal ini disebabkan adanya nilai-nilai dalam masyarakat bahwa tanggung jawab utama dalam pengasuhan anak-anak terutama merupakan tanggung jawab perempuan sebabagi ibu. Dengan demikian akan menyebabkan aktivitas mereka di luar rumahtangga akan berkurang. Menurut Alvarez dan Miles (Undated), jumlah anak yang besar dalam rumahtangga, akan menyebabkan tingginya aktivitas perempuan dalam rumahtangga. Terkait aspek gender, secara ekonomi Becker (1981) menjelaskan bahwa selama selang umur perempuan dalam hidupnya, ada saat-saat tertentu dimana mereka memberi nilai yang tinggi pada pekerjaan rumahtangga, misalnya ketika
126 anak-anak masih kecil sampai pada usia tertentu. Setelah anak-anak beranjak besar, dimana nilai waktu untuk aktivitas di luar rumahtangga menjadi lebih tinggi dibandingkan pekerjaan dalam rumah, maka perempuan akan memilih untuk beraktivitas di luar rumahtangga. Hasil penelitian Suprihatin (1986) memperkuat Teori Becker ini, yaitu semakin bertambah umur anak dalam rumahtangga, maka semakin banyak waktu untuk mencari nafkah. Meskipun sangat jarang dilakukan perhitungan terhadap nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga, namun dari Teori Becker tersebut di atas menunjukkan bahwa pekerjaan mengasuh anak, yang menurut Ellis (1988) termasuk dalam aktivitas reproduksi sosial merupakan pekerjaan yang sebenarnya bernilai ekonomi tinggi, karena menyangkut penentuan kualitas anak dalam rumahtangga, yang pada akhirnya di suatu waktu akan menjadi generasi penerus bangsa. Bila ibu dapat berperan dengan baik dan benar dalam proses pertumbuhan anak tersebut, maka akan dihasilkan anak dengan kualitas yang tinggi. Karena dalam proses pengasuhan tersebut, bukan hanya ditanamkan nilai-nilai sosial yang akan senantiasa mewarnai perilaku anak tersebut di masa depan, namun juga dalam penyiapan pangan yang dikonsumsi anak dalam proses pertumbuhannya. Bila pangan yang dikonsumsi adalah pangan yang memenuhi syarat-syarat sebagai makanan yang baik dan sehat, maka dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan tumbuh dengan baik. Yuliana et al. (2002), Madanijah et al. (2006) dan Krisnatuti et al. (2006) menunjukkan dalam penelitiannya bahwa makanan sangat berpengaruh terhadap kualitas anak.
127 5.4.2. Penguasaan Lahan Pertanian Selain faktor petani sebagai human resources beserta endowment yang dimilikinya, lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi petani dan keluarganya. Rumahtangga yang memiliki lahan garapan yang lebih luas akan memberikan pilihan dan kesempatan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan yang terbaik, baik terkait alokasi waktu suami dan isteri, maupun jenis usahatani yang akan dikelola. Dengan demikian, semakin luas penguasaan lahan pertanian, maka semakin besar kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Informasi mengenai penguasaan lahan responden di masing-masing desa rawan pangan dan tahan pangan disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9. Nilai Rata-Rata, Standar Deviasi dan P-Value Penguasaan Sumberdaya Lahan Responden di Desa Rawan Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
Uraian
Luas lahan yang dikuasai (ha)
Responden di Desa Rawan Pangan n=144 ---------------------------Rata-rata SD* 1.38 1.06
Responden di Desa Tahan Pangan n=50 ----------------------Rata-rata SD* 2.27 5.27
P-Value
0.243
Luas lahan milik sendiri (ha)
1.32
1.09
1.94
5.29
0.416
Luas lahan milik orangtua (ha)
0.03
0.20
0.05
0.25
0.580
orang (ha)
0.03
0.20
0.31
0.86
0.028**
Luas lahan sewa (ha)
0.00
0.00
0.02
0.14
0.322
0.18
0.38
1.64
3.26
0.003**
(ha)
1.16
1.06
0.33
0.57
0.0001**
Luas lahan kosong (ha)
0.06
0.25
0.26
1.84
0.443
Luas lahan bagi hasil/milik
Rata-rata luas lahan tanaman pangan (ha) Luas lahan tanaman perkebunan
Keterangan : * SD = Standar Deviasi (simpangan baku) ** Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05
128 Informasi yang terdapat dalam Tabel 9 menunjukkan dengan jelas penguasaan lahan rumahtangga responden petani, baik di desa rawan pangan maupun tahan pangan adalah di atas satu hektar. Jadi sebenarnya, dilihat dari luas lahan rata-rata yang dimiliki, dapat dikatakan bahwa rumahtangga petani responden memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraannya, jika lahan yang ada benar-benar dimanfaatkan dan dikelola seoptimal mungkin. Dengan demikian mereka memiliki kesempatan untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga yang berkelanjutan. Jika lahan dijadikan sebagai salah satu penggolongan petani, maka temuan Suprihatin (1986) menunjukkan bahwa umumnya petani golongan ekonomi tinggi, yaitu yang antara lain memiliki lahan lebih luas di perdesaan, memiliki kesempatan kerja yang lebih besar, sehingga memiliki kesempatan memiliki penghasilan yang lebih besar. Hasil analisis statistik deskriptif menunjukkan bahwa dari delapan variabel terkait penguasaan lahan responden di desa rawan pangan dan tahan pangan, hanya variabel lahan bagi hasil, lahan untuk tanaman pangan dan lahan untuk tanaman perkebunan yang berbeda nyata diantara kedua kategori daerah tersebut. Artinya, tidak ada perbedaan signifikan dari luas lahan yang dikuasai, dimiliki, milik orang tua, lahan sewa dan lahan kosong, antara rumahtangga di desa rawan pangan dan tahan pangan. Padahal dilihat dari rata-rata luas lahan yang dikuasai, responden di desa tahan pangan menguasai lahan yang lebih luas dibandingkan responden di desa rawan pangan, dimana di desa tahan pangan keluarga petani responden penguasaan lahannya mencapai 2.27 hektar, sedangkan di desa rawan pangan lebih rendah, yaitu 1.38 hektar.
129 Luas lahan rata-rata yang dimiliki sendiri oleh rumahtangga responden sebenarnya cukup luas dibandingkan dengan kepemilikan lahan petani tuna kisma yang menurut Sunarti (1996) kurang dari 0.5 hektar per rumahtangga. Dengan kepemilikan lahan rata-rata seluas 1.43 hektar untuk responden di desa rawan pangan dan 1.94 hektar di desa tahan pangan, ini merupakan sumberdaya yang sangat potensil untuk menjadi sumber produksi dan atau pendapatan bagi rumahtangga responden. Karena sebagian besar lahan adalah milik sendiri, sehingga petani dan keluarganya akan lebih leluasa dalam pengambilan keputusan terkait alternatif penggunaan lahan tersebut yang paling menguntungkan. Dengan demikian, dilihat dari kepemilikan sumberdaya lahan, sebenarnya responden memiliki kesempatan untuk meningkatkan pendapatannya, yang akhirnya akan meningkatkan daya belinya. Dengan daya beli yang meningkat, maka petani responden akan lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya, sehingga dapat mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Dari data mengenai penguasaan lahan responden terdapat hal lain yang menarik, yaitu adanya fakta bahwa luas lahan yang ditanami tanaman pangan (padi sawah, padi ladang, ubi, sayuran, jagung, pisang) di desa tahan pangan lebih luas, yaitu mencapai rata-rata 1.64 hektar dibandingkan di desa rawan pangan yang hanya mencapai rata-rata 0.18 hektar. Sebaliknya untuk tanaman perkebunan (kakao, merica, kelapa, jambu mete, kopi, cengkeh, jati), lebih luas di desa rawan pangan, yaitu mencapai rata-rata 1.16 hektar dibandingkan di desa tahan pangan yang hanya mencapai rata-rata 0.33 hektar. Fenomena di atas menunjukkan bahwa di desa-desa tahan pangan lebih banyak lahan yang diperuntukkan untuk tanaman pangan, dimana produk pangan
130 yang dihasilkan dapat langsung digunakan untuk konsumsi seluruh anggota rumahtangga. Keadaan ini nampaknya yang mendorong rumahtangga responden di desa tahan pangan lebih mungkin untuk mencapai ketahanan pangan, karena faktor
ketersediaan pangan
yang
lebih
terjamin,
dibandingkan dengan
rumahtangga di desa-desa rawan pangan yang lebih banyak menanam tanaman perkebunan. Meskipun tanaman perkebunan merupakan sumber pendapatan yang penting, namun dilihat dari aspek ketersediaan yang mendesak, hasil dari tanaman pangan yang dihasilkan merupakan cadangan pangan yang sangat menentukan pencapaian ketahanan rumahtangga yang berkelanjutan. Hasil penjualan dari produk perkebunan yang dihasilkan dalam usahatani responden bisa saja bernilai besar, namun bila tidak dikelola dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya, terlebih bila tidak ada bagian dari pendapatan tersebut yang ditabung, atau tergoda untuk dibelanjakan pada hal-hal yang sifatnya konsumtif, maka hal ini dapat menghadapkan rumahtangga pada situasi rawan pangan. Dari tabel di atas juga nampak adanya lahan kosong dikedua wilayah penelitian. Keadaan ini sangat disayangkan, karena membiarkan sumberdaya yang sangat berharga terbengkalai begitu saja. Padahal dengan memanfaatkan lahan tersebut seoptimal mungkin, akan dapat meningkatkan produk yang dihasilkan, yang akan dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga. 5.4.3. Pendapatan Rumahtangga Pendapatan rumahtangga merupakan sumberdaya ekonomi yang sangat penting, yang memungkinkan keluarga petani responden memiliki akses ekonomi untuk memperoleh segala kebutuhan anggota rumahtangga, termasuk kebutuhan
131 akan pangan. Pendapatan ini bisa berasal dari dalam usahatani keluarga, penghasilan dari luar usahatani keluarga, atau dari luar sektor pertanian. Secara umum dapat dikatakan bahwa di lokasi penelitian, akses ekonomi merupakan aspek terpenting dalam pemenuhan kebutuhan pangan responden dan keluarganya. Dari data potensi wilayah yang dikemukakan pada bagian 5.1 sampai 5.3 diketahui bahwa secara fisik kendala yang ada tidak begitu parah dalam akses pengadaan pangan, kecuali pada saat musim penghujan (karena beberapa ruas jalan di desa-desa rawan pangan merupakan jalan tanah yang menjadi sangat licin saat musim penghujan, sehingga sulit dilalui kendaraan). Data mengenai pendapatan rata-rata, standar deviasi dan p-value dari variabel-variabel terkait pendapatan yang diperoleh anggota rumahtangga, baik dari usahatani yang merupakan usaha bersama seluruh anggota keluarga, termasuk pendapatan dari luar usahatani yang diperoleh perempuan dan laki-laki, disajikan dalam Tabel 10. Dalam tabel tersebut secara umum dapat dilihat bahwa variabelvariabel terkait pendapatan rumahtangga adalah berbeda nyata antara desa rawan pangan dan tahan pangan, kecuali variabel pendapatan bersama perempuan dan laki-laki dari luar usahatani keluarga. Informasi dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan yang diperoleh dari usahatani keluarga, pendapatan suami dari luar usahatani keluarga dan pendapatan isteri dari luar usahatani keluarga responden di desa tahan pangan lebih tinggi daripada responden di desa rawan pangan. Ketiga sumber pendapatan ini, yang melibatkan peran suami dan isteri, merupakan penyumbang terbesar ke dalam pendapatan total rumahtangga. Ini sesuai temuan Mangkuprawira (1985) bahwa suami dan isteri merupakan sebuah tim dalam
132 mencari nafkah, yang memperkuat pendapat Koentjaraningrat (1967), Hart (1976), dan Sajogjo (1981). Di daerah perdesaan, karena kebutuhan keluarga yang meningkat, mendorong suami dan isteri untuk bekerja lebih giat untuk memperoleh pendapatan (Suprihatin, 1986). Tabel 10. Nilai Rata-Rata, Standar Deviasi dan P-Value Pendapatan Rumahtangga di Desa Rawan pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
Uraian
Pendapatan dari
Responden di Desa Rawan Pangan n=144 ----------------------------------Rata-rata SD* 4 382 343.75 3 800 000
Responden di Desa Tahan Pangan n=50 ----------------------------------Rata-rata SD* 10 389 290.00 12 000 000
P-Value
0.0011**
usahatani Pendapatan isteri dari luar usahatani
348 263.89
1 230 000
3 731 000.00
5 890 000
0.0002**
2 620 729.17
3 700 000
3 931 800.00
4 590 000
0.0732**
544 097.22
2 780 000
260 400.00
1 330 000
0.3439
317 638.89
951 682 72 000.00
509 117
0.0246**
keluarga Pendapatan suami dari luar usahatani keluarga Pendapatan bersama dari luar usahatani keluarga Pemberian anak/ keluarga lain Pendapatan total rumahtangga
8 213 072.92
4 470 000
18 384 490.00 14 100 000
0.0001**
Pendapatan/kapita
1 896 629.83
1 200 000
3 913 447.75 2 550 000
0.0001**
Keterangan : * SD = Standar Deviasi (simpangan baku) ** Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05. Dari informasi dalam tabel di atas juga nampak bahwa pendapatan total rumahtangga responden di desa tahan pangan jauh lebih tinggi daripada responden di desa rawan pangan. Dengan pendapatan yang lebih tinggi, rumahtangga akan
133 memiliki akses (ekonomi) yang lebih mudah dalam memenuhi semua kebutuhan anggotanya, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Bila masing-masing sumber pendapatan tersebut dibuat dalam bentuk persentase (pangsa) dari total pendapatan rumahtangga seperti dalam Tabel 11, maka tampak bahwa sumber pendapatan terbesar keluarga responden adalah dari usahatani keluarga, yaitu masing-masing sebesar 53.36 persen di desa rawan pangan dan 56.51 persen di desa tahan pangan. Ini merupakan indikasi betapa pentingnya peran usahatani keluarga dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga responden, baik di desa-desa rawan pangan maupun di desa tahan pangan. Bahkan di desa tahan pangan sumbangan pendapatan dari usahatani keluarga terhadap pendapatan total rumahtangga lebih besar dibandingkan di desa rawan pangan. Perlu dijelaskan disini bahwa hal ini dapat disebabkan karena di desa tahan pangan produktivitas usahatani yang umumnya dikelola petani, yaitu padi sawah, memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan usahatani di desa rawan pangan. Salah satu faktor pendukung tercapainya produktivitas yang lebih tinggi adalah adanya sarana irigasi di daerah ini, sehingga ketersediaan air untuk pertanian relatif lebih terjamin. Sumber pendapatan terbesar kedua adalah yang berasal dari kegiatan gender dari luar usahatani keluarga, terutama untuk laki-laki. Pangsa dari rata-rata pendapatan laki-laki di luar usahatani keluarga yang terbesar mencapai 31.91 persen untuk responden di desa rawan pangan. Sedangkan responden di desa tahan pangan porsi pendapatan laki-laki hanya mencapai 21.39 persen dari pendapatan total rumahtangga. Fenomena ini menunjukkan masih besarnya peran pendapatan laki-laki dibandingkan perempuan dalam pencapaian ketahanan
134 pangan rumahtangga responden pada kedua wilayah penelitian, terutama untuk responden di desa rawan pangan. Ini menunjukkan bahwa suami masih tetap memegang tanggung jawab utama dalam memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya. Hasil analisis di atas sesuai dengan temuan Mangkuprawira (1985) yang mengemukakan bahwa suami merupakan penyumbang utama dalam ekonomi keluarga. Tabel 11. Sumber-Sumber Pendapatan dan Pangsanya terhadap Total Pendapatan Rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
Uraian Rata-rata pendapatan dari usahatani (Rupiah/tahun)
Responden di Desa Rawan Pangan n=144 4 382 343.75
Responden di Desa Tahan Pangan n=50 10 389 290.00
(53.36)
(56.51)
348 263.89
3 731 000.00
(4.24)
(20.29)
2 620 729.17
3 931 800.00
(31.91)
(21.39)
544 097.22
260 400.00
(6.62)
(1.42)
317 638.89
72 000.00
(3.87)
(0.39)
8 213 072.92
18 384 490.00
1 896 629.83
3 913 447.75
Rata-rata pendapatan isteri dari luar usahatani keluarga (Rupiah/tahun) Rata-rata pendapatan suami dari luar usahatani keluarga (Rupiah/tahun) Rata-rata pendapatan bersama dari luar usahatani keluarga (Rupiah/tahun) Rata-rata pemberian dari anak/ keluarga lain (Rupiah/tahun) Pendapatan total rumahtangga (Rupiah/tahun) Pendapatan per kapita (Rupiah/tahun)
Keterangan : Angka dalam kurung adalah besar persentase masing-masing sumber pendapatan terhadap pendapatan total rumahtangga petani
135 Peran tersebut akan semakin besar bila diperhatikan bahwa dalam pekerjaan di usahatani keluarga, alokasi waktu laki-laki jauh lebih besar dibandingkan alokasi waktu perempuan. Disisi lain juga harus dicermati bahwa pekerjaan di usahatani merupakan pekerjaan kolektif yang dilakukan oleh anggota rumahtangga, khususnya oleh suami dan isteri, sehingga sulit untuk memilah secara pasti sumbangan masing-masing pelaku tersebut terhadap nilai produk usahatani keluarga yang diperoleh. Dengan demikian, waktu yang dalokasikan oleh masing-masing gender dapat dijadikan ukuran besarnya peran tersebut. Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh responden laki-laki adalah mendulang emas, mengojek, buruh bangunan, buruh panjat kelapa, membuat atap, berdagang di pasar dan lain-lain. Nampaknya, kesempatan kerja yang tersedia bagi laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Ini sesuai dengan penilaian subyektif laki-laki bahwa kesempatan kerja di desanya tersedia, dimana sekitar 56 persen responden laki-laki di desa tahan pangan menyatakan bahwa ada kesempatan untuk bekerja dan atau berusaha di desanya. Sedangkan di desa rawan pangan, 48 persen responden menyatakan ada kesempatan kerja di desanya. Dari keadaan di atas memperkuat pendapat masyarakat selama ini bahwa kesempatan kerja untuk perempuan sangat terbatas dibandingkan laki-laki. Selalu lebih banyak kesempatan kerja bagi laki-laki daripada perempuan, termasuk di daerah perdesaan di Kabupaten Konawe Selatan. Hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa 38 persen dari responden perempuan di desa tahan pangan mengatakan bahwa ada kesempatan kerja di desa mereka, sedangkan di desa rawan pangan hanya 31 persen perempuan yang mengatakan bahwa ada kesempatan kerja di desa mereka.
136 Di sisi lain, pangsa pendapatan perempuan dari aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga terhadap pendapatan total rumahtangga, lebih tinggi di daerah tahan pangan (20.29 persen) dibandingkan responden di desa rawan pangan (4.24 persen). Nampaknya, di desa tahan pangan lebih banyak kesempatan bekerja dan atau berusaha bagi perempuan. Dari wawancara dengan responden diketahui bahwa pekerjaan-pekerjaan yang biasa mereka lakukan disamping melakukan pekerjaan rumahtangga adalah menjual sayur di pasar, buruh pada usahatani, berjualan sayur di pasar desa, mengelola kios sembako, guru honorer dan menjual kue-kue/makanan untuk responden di desa tahan pangan, sedangkan di desa rawan pangan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan perempuan antara lain adalah tukang pijat, mengelola kios, dan berjualan di pasar. Disamping bekerja secara sendiri-sendiri, terdapat juga beberapa rumahtangga dimana suami-isteri melakukan pekerjaan di luar usahatani keluarga secara bersama-sama, seperti menjual di pasar desa. Pendapatan yang diperoleh dari aktivitas tersebut merupakan pendapatan bersama. Sumbangan pendapatan bersama terhadap pendapatan rumahtangga tidak berbeda signifikan antara responden di kedua kategori desa, dimana di desa rawan pangan pendapatan bersama gender menyumbang sekitar 6.61 persen, sedangkan di desa tahan pangan pangsa pendapatan bersama tersebut adalah 6.42 persen dari total pendapatan rumahtangga responden. Meskipun porsinya sedikit, namun terdapat juga responden yang memperoleh pemberian dari orang tua atau keluarga lainnya, pangsanya terhadap pendapatan total rumahtangga mencapai 3.87 persen di desa rawan pangan dan hanya 0.39 persen di desa tahan pangan.
Ini menunjukkan relatif seringnya
137 responden di desa rawan pangan mengalami kekurangan pangan, sehingga harus meminta bantuan pada keluarga lainnya. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa keluarga lainnya memiliki tanggung jawab atas keberlangsungan hidup keluarga lainnya. Ini adalah produk budaya yang sangat positif, yaitu untuk membantu meringankan beban hidup masyarakat lainnya. Pendapatan total rata-rata yang diperoleh rumahtangga responden di desa tahan pangan mencapai lebih dua kali lipat dari pendapatan total rata-rata yang diperoleh responden di desa rawan pangan, yaitu masing-masing sebesar Rp. 18 384 490/tahun untuk desa tahan pangan dan Rp. 8 213 072.92/tahun untuk responden di desa rawan pangan. Ini sangat logis, karena di desa tahan pangan rata-rata penguasaan lahan lebih tinggi, sehingga memperoleh pendapatan usahatani yang lebih tinggi dan juga terdapat lebih banyak kesempatan bekerja atau berusaha di luar usahatani keluarga. Bila pendapatan total rumahtangga tersebut dibagi dengan jumlah jiwa dalam setiap rumahtangga responden, maka diperoleh nilai pendapatan per kapita responden di masing-masing desa, yaitu sebesar Rp. 3 913 447.75/tahun untuk desa tahan pangan dan Rp. 1 896 629.83/tahun untuk desa rawan pangan. Nilai ini sangat besar perbedaannya. Hasil ini juga dapat memberi gambaran bagaimana keadaan ketahanan pangan keluarga di masing-masing daerah yang diteliti. Dengan pendapatan/kapita yang lebih tinggi, berarti kemampuan ekonominya lebih tinggi. Dengan daya beli yang lebih tinggi, maka responden di desa tahan pangan memiliki akses ekonomi yang lebih besar untuk mencapai ketahanan pangan dalam rumahtangganya daripada responden di desa rawan pangan.
VI. ANALISIS PERAN GENDER DALAM RUMAHTANGGA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN GENDER UNTUK BEKERJA DI LUAR USAHATANI KELUARGA Dalam bagian ini akan dipaparkan mengenai hasil analisis peran gender (perempuan dan laki-laki) menurut konsep-konsep yang dikemukakan oleh Ellis (1988), terutama terkait pembagian tenaga kerja dan alokasi waktu berdasar gender, yaitu pada sub bab 6.1., 6.2. dan 6.3. Dengan analisis ini, diharapkan akan diperoleh gambaran menyeluruh mengenai peran perempuan dan laki-laki dalam rumahtangga pertanian. Dalam bagian 6.4. dibicarakan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga. Ellis (1988) menyebut perempuan sebagai the invisible peasant. Dalam masyarakat pertanian, perempuan berkontribusi dalam pekerjaan fisik produksi pertanian, sekaligus menyangga kehidupan rumahtangga pertanian dalam banyak hal. Meskipun peran perempuan sangat besar, namun analisis ekonomi yang ada belum mampu meliput kontribusi tersebut secara tepat. Hal ini disebabkan karena sebagian besar data aktivitas ekonomi perdesaan yang dipublikasikan, diperoleh dari sensus dengan laki-laki kepala rumahtangga sebagai sumberdata utama. Karena itu, peran perempuan dalam pekerjaan usahatani, pengolahan pangan dan banyak kegiatan produktif lainnnya adalah underestimate. Dalam hal ini, asumsi neoklasik menganggap rumahtangga sebagai satu unit analisis, dimana keputusan perilaku ekonomi berlaku bagi seluruh anggota rumahtangga tanpa diferensiasi.
139 6.1. Pembagian Tenaga Kerja Berdasar Gender Konsep pemisahan tenaga kerja (gender division of labor) digunakan untuk menjelaskan alokasi aktivitas antara perempuan dan laki-laki dalam ekonomi pertanian. Pemisahan ini tidak secara alamiah disebabkan adanya perbedaan biologis diantara keduanya, namun lebih mengacu pada adat istiadat, kebiasaan sosial, norma, dan kepercayaan yang merupakan ruang lingkup perilaku individual (Ellis, 1988). Oleh karena itu, dengan anggapan bahwa pembedaan tenaga kerja perempuan dan laki-laki cenderung ditetapkan secara sosial bukan biologis, konsep gender digunakan sebagai rujukan makna sosial untuk mengenali aturan yang berlaku dalam berbagai karakteristik masyarakat. 6.1.1. Pembagian Kerja dalam Usahatani Keluarga Seperti juga di daerah lain, dalam rumahtangga pertanian di Kabupaten Konawe Selatan, melakukan pekerjaan di dalam usahatani keluarga merupakan aktivitas penting yang dilakukan petani dan keluarganya, baik itu dalam usahatani pangan (padi, jagung, sayuran), perkebunan maupun perikanan (darat dan laut). Suami dan isteri yang menjadi fokus dalam penelitian ini, melakukan pekerjaanpekerjaan dalam usahatani dengan aktivitas yang relatif berbeda. FAO (Undated) menjelaskan bahwa di pertanian, perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang bervariasi, baik antar wilayah maupun negara. Pada beberapa kasus, perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang saling melengkapi, berbagi tugas dalam produksi hasil panen, peningkatan peternakan, perikanan, dan pemanfaatan hutan. Pada kasus lain, perempuan dan laki-laki mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berbeda dalam pemanenan dan peternakan, perikanan, dan kehutanan. Walaupun pemanenan langsung dalam skala besar telah diperkenalkan namun
140 keterlibatan laki-laki lebih diutamakan, khususnya dalam pertanian dengan mekanisasi tinggi. Tanggung jawab perempuan meningkat terhadap produksi pangan dalam skala rumahtangga dan pemanenan langsung dalam skala kecil dengan menggunakan teknologi rendah. Hasil wawancara terhadap responden di lokasi penelitian menunjukkan bahwa
umumnya
laki-laki
melakukan
pekerjaan
yang
relatif
banyak
membutuhkan curahan tenaga yang besar, sebaliknya perempuan melakukan pekerjaan yang relatif sedikit membutuhkan curahan fisik.
Misalnya dalam
usahatani pangan, umumnya laki-laki melakukan pekerjaan mengolah lahan, memperbaiki pematang, memupuk dan memberantas hama penyakit, sedangkan perempuan lebih banyak melakukan kegiatan penanaman padi, penyiangan gulma pada usahatani pangan, dan pemanenan. Pada usahatani kebun, laki-laki merupakan pihak yang umumnya melakukan pembuatan lubang untuk penanaman bibit tanaman, penyiapan lahan, membuat ajir untuk tanaman merica, melakukan pemangkasan dahan pohon kakao, dan pembersihan gulma. Sedangkan perempuan lebih banyak melakukan pemanenan dan penanganan pasca panen, hingga pemasaran hasil. Dalam rumahtangga nelayan, laki-laki umumnya melakukan kegiatan penyiapan peralatan tangkap ikan, penangkapan dan atau pemancingan ikan, baik di laut maupun di danau, lalu juga melakukan pemasaran hasil yang diperoleh. Perempuan umumnya menyiapkan bekal makanan untuk suami, juga melakukan pemasaran terhadap hasil ikan yang diperoleh, dan penanganan pasca panen. Hasil di atas secara umum menunjukkan bahwa suami merupakan pelaku utama dalam melakukan aktivitas usahatani keluarga. Hasil ini sesuai dengan
141 temuan Sitepu (2007) dan Hendratno (2006) bahwa kegiatan usahatani didominasi laki-laki. Demikian juga Mangkuprawira (1985) berpendapat bahwa dilihat dari aspek budaya, peran untuk mencari nafkah dalam rumahtangga lebih banyak dilakukan oleh suami, sedangkan pekerjaan rumahtangga lebih banyak dilakukan oleh perempuan (isteri). Todaro (1998) mengemukakan perempuan memegang peran penting dalam sektor produksi pertanian disamping fungsi lainnya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sering terabaikan. Keragaman tugas perempuan menyulitkan dalam perhitungan porsi sumbangan mereka dalam produksi pertanian, apalagi untuk menaksir nilai ekonominya. Terlebih karena mereka tidak menerima upah atas pekerjaan yang dilakukan. Untuk melihat lebih jauh mengenai peran perempuan dalam aktivitas di rumahtangga, pada bagian di bawah ini akan disajikan analisis terkait alokasi waktu gender (perempuan dan laki-laki) dalam melakukan pekerjaan rumahtangga. 6.1.2. Pembagian Kerja dalam Rumahtangga Selain melakukan pekerjaan dalam usahatani keluarga, perempuan dan laki-laki juga melakukan pekerjaan-pekerjaan reproduktif di dalam rumahtangga, demi keberlangsungan kehidupan keluarga. Meskipun pekerjaan rumahtangga lebih banyak dilakukan oleh perempuan (isteri), namun suami juga terlibat dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, meski dengan alokasi waktu yang lebih sedikit. Seperti juga di daerah lain, nilai-nilai budaya yang berlaku di daerah ini memang memberi tanggung jawab yang besar kepada isteri dalam penyelesaian pekerjaan-pekerjaan reproduksi dalam rumahtangga. Sedangkan suami hanyalah membantu sekedarnya saja. Hasil penelitian Ariyanto (2004) menguatkan hal ini, yaitu bahwa perempuan lebih banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan
142 reproduksi dibandingkan laki-laki. Bahkan Setyawati (2008) menegaskan bahwa laki-laki hanya melakukan aktivitas produksi dan sosial kemasyarakatan. Terkait hal ini, Maume (2006) menyatakan bahwa kewajiban terhadap keluarga lebih dipengaruhi oleh tradisionalisme gender daripada egalitarianisme. Hasil di atas bertentangan dengan temuan Lewin-Epstein dan Stier (2006), dimana perempuan dan laki-laki Israel mencurahkan waktu yang lebih sedikit dalam pekerjaan rumahtangga, sedangkan pekerjaan rumahtangga di Jerman lebih terpisah, mirip di Indonesia. Hal ini disebabkan karena kedua negara berbeda dalam karakteristik demografi. Hasil studi Binswanger dan Rosenzweig (1981) menyimpulkan bahwa pola-pola yang ada di berbagai negara dengan corak sosial budaya yang berbeda, tidak mudah dijelaskan, baik dengan pembagian tenaga kerja (division of labor), ataupun dengan perbedaan produktivitas pasar. Temuan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan responden dalam rumahtangga antara lain adalah mencuci pakaian, memasak, mengurus anak, menyiapkan bekal untuk ke kebun, mengambil air, membersihkan pekarangan, mencari sayur ke kebun, ke warung, dan menyetrika. Dari wawancara dengan responden diketahui bahwa suami juga melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut (meski dengan porsi waktu yang jauh lebih sedikit), kecuali mencari sayur ke kebun.
Memasak, mengurus anak,
mencuci, dan membersihkan pekarangan merupakan kegiatan utama yang dilakukan perempuan dalam kehidupan sehari-hari, disamping pekerjaanpekerjaan domestik lainnya. Disini nampak besarnya peran perempuan dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, terkait dengan penyiapan pangan yang akan dikonsumsi
143 seluruh anggota rumahtangga. Mulai dari mencari bahan pangan di kebun, menyiapkannya, dan menghidangkan makanan. Keseluruhan proses tersebut sangat menentukan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Dengan alokasi waktu dan tenaganya, perempuan melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, karena secara tradisional perempuan memegang tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan pangan seluruh anggota rumahtangga. Peran tersebut sesuai dengan pendapat Todaro (1998) bahwa peran penting perempuan lainnya adalah dalam penyediaan makanan untuk keluarga. Meskipun terkesan sederhana, banyak waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk mencari (membeli), memasak, serta menghidangkan makanan. Oleh karena itu pemenuhan gizi keluarga sangat ditentukan oleh peran perempuan dan juga ditopang oleh penghasilan yang diperolehnya. Ini sesuai dengan FAO (Undated) bahwa peran perempuan lainnya adalah dalam pengolahan pangan yang berkontribusi terhadap ketahanan pangan melalui penurunan kehilangan pangan, penganekaragaman diet, dan mensuplai vitamin penting bagi tubuh. Perempuan juga bertanggung jawab terhadap waktu konsumsi, penggilingan, pengasapan ikan dan daging, mengolah, dan memelihara buah dan sayur yang dihasilkan dari pekarangan rumah, bertanggung jawab secara universal dalam penyiapan makanan keluarga, dan menjamin kualitas gizi seluruh anggota keluarga. Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagai penerima gaji, perempuan bertanggung jawab dalam penyediaan pangan untuk keluarga. Jika tidak sebagai penghasil, maka sebagai penerima penghasilan, perempuan tetap berkewajiban membeli pangan. Pada perempuan desa dan kota, proporsi terbesar dari upah
144 mereka digunakan untuk membeli makanan bagi anggota keluarga. Ketika perempuan mempunyai kontrol terhadap kelebihan penghasilan, maka mereka dapat mempertahankan tingkat kesejahteraan keluarga, khususnya pada perbaikan kualitas gizi anggota keluarga (FAO, Undated). Perempuan merupakan penghasil pendapatan (income earners), baik yang diperoleh dari hasil usahatani maupun non usahatani. Perempuan mempunyai tanggung jawab utama dalam pembelian makanan, kemampuan mereka dalam mengontrol penghasilan menjadi sangat penting dalam pencapaian ketahanan pangan. Perempuan memegang peranan kritis sebagai penyedia makanan, yaitu dalam memilih jenis makanan yang tersedia di pasar atau yang dihasilkan dari kebun, mengalokasikan jumlah makanan untuk anggota keluarga, mempersiapkan makanan, dan membuat variasi pada setiap makanan (Horenstein, 1989). Dengan pembahasan yang dilakukan di atas dapat dikatakan bahwa peran perempuan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga, nampaknya sepele dan tidak bernilai ekonomis, namun ternyata sangatlah menentukan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga petani. Dengan ditunjang oleh penghasilan yang diperolehnya sendiri dan dari suami, serta kemampuan mengelola pendapatan tersebut, dibarengi dengan curahan fikiran dan tenaga dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik, maka kemungkinan untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga akan lebih besar. Dengan demikian tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa peran perempuan tersebut sangat menentukan kualitas kehidupan anak dan anggota keluarga secara keseluruhan. Peran yang dilakukan saat ini akan memberi dampak pada kehidupan seluruh anggota keluarga saat ini dan dimasa yang akan datang.
145 6.1.3. Pembagian Kerja di Luar Usahatani Keluarga Karena kebutuhan keluarga yang meningkat, sementara pendapatan dari usahatani keluarga tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh keperluan dalam rumahtangga, mendorong perempuan dan laki-laki untuk bekerja lebih giat (Suprihatin, 1986). Karena kesempatan kerja di sektor pertanian yang sangat terbatas di perdesaan, sehingga perempuan hanya bisa menjadi buruh tanam atau panen di usahatani tetangga. Kesempatan kerja ini menjadi semakin langka, karena masa tanam dan panen paling tidak hanya dapat dilakukan dua kali dalam setahun, yaitu sesuai dengan musim tanam untuk tanaman pangan. Laki-laki nampaknya mempunyai kesempatan kerja yang lebih beragam, karena dapat memperoleh upah dari pekerjaan-pekerjaan, seperti buruh cangkul, buruh nelayan, memperbaiki pematang, dan buruh panjat kelapa. Karena pertimbangan fisik, maka suami tidak hanya dapat bekerja di usahatani pangan, namun juga di perkebunan atau menjadi buruh nelayan, dimana pekerjaanpekerjaan ini relatif lebih sering dilakukan. 6.1.4. Pembagian Kerja di Luar Pertanian Karena dorongan untuk memperoleh pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga dan didorong oleh kurangnya kesempatan kerja dan atau berusaha di sektor pertanian, maka perempuan dan laki-laki berupaya mencarinya di luar sektor pertanian. Untuk itu, perempuan menjadi pedagang, baik di rumah maupun di pasar (menjual sayur dan sembako), menjadi guru, tukang pijat, guru mengaji, bahkan ada yang ikut mendulang emas. Di sisi lain, responden laki-laki umumnya menjadi tukang ojek, membuat atap, buruh bangunan, guru mengaji, pedagang, mendulang emas, Satpam, dan tukang pijit.
146 Pekerjaan-pekerjaan di luar pertanian ini umumnya merupakan pekerjaanpekerjaan yang tidak melibatkan aspek upah, tetapi lebih merupakan usaha mandiri yang dikelola responden dengan keterbatasan modal dan pengetahuan. Dengan demikian, hasil yang diperoleh juga sangat ditentukan oleh besarkecilnya modal yang ditanamkan dan kemampuan manajerial dari responden. Pekerjaan-pekerjaan upahan seperti menjadi Satpam dan guru mengaji sangat jarang dan memerlukan persyaratan yang umumnya tidak dimiliki responden. 6.2. Alokasi Waktu Berdasar Gender Dalam rumahtangga petani, disamping lahan sebagai aset paling berharga, juga waktu (24 jam) yang dimiliki masing-masing perempuan dan laki-laki merupakan sumberdaya keluarga yang dapat dialokasikan pada berbagai aktivitas, baik untuk pekerjaan di dalam rumahtangga, di usahatani maupun pada berbagai kegiatan di luar usahatani. Alokasi waktu pada berbagai kegiatan tersebut, disamping untuk tujuan ekonomi, kepentingan sosial, dan leisure. Dengan menghitung dan membandingkan pola curahan kerja (waktu) antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aktivitas produktif dan reproduktif, maupun leisure, akan dapat diketahui gambaran mengenai posisi dan status sosial perempuan dan laki-laki dalam perekonomian rumahtangga. Ini akan mempertajam konsepsi peran masing-masing gender dalam rumahtangga, serta dalam masyarakat secara lebih luas. Ini sesuai dengan pendapat (Doyle, 1985 dalam Sajiharjo, 1990) bahwa analisis gender merupakan suatu analisis tentang hubungan (relasi) antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, analisis gender dapat digunakan untuk mengamati hubungan perempuan dan laki-laki melalui hubungan suami-isteri dalam keluarganya.
147 Untuk menjawab tujuan pertama penelitian ini, akan dilakukan pengamatan terhadap jenis kegiatan dan alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif, reproduktif, dan leisure, yang akan dianalisis secara deskriptif kualitatif berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Ellis (1988). Analisis yang dilakukan adalah dengan membandingkan alokasi waktu dari semua kegiatan yang dilakukan perempuan dan laki-laki selama 24 jam, yang dipilah menurut kegiatan (1) dalam usahatani keluarga, (2) pertanian di luar usahatani keluarga, (3) kerja di luar pertanian, (4) pekerjaan rumahtangga, (5) waktu luang, dan (6) istirahat. Hasil analisis secara ringkas mengenai aktivitas perempuan dan laki-laki yang dilakukan selama 24 jam terakhir disajikan dalam tabel berikut ini : Tabel 12. Perbandingan Alokasi Waktu menurut Gender dalam Berbagai Aktivitas 24 Jam Lalu di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
Kategori Desa/ Kelurahan
Perempuan Kelompok Aktivitas
Laki – Laki
Jumlah Persentase Jam (%) Kerja 1.63 6.79
Jumlah Jam Kerja 5.65
Persentase (%)
Rawan
Kerja di usahatani kel.
Pangan
Kerja diluar usahatani kel.
0.04
0.17
0.68
2.83
n=136
Kerja diluar pertanian
0.74
3.08
1.51
6.29
Pekerjaan rumahtangga
5.38
22.42
0.63
2.63
Waktu luang
6.26
26.08
6.39
26.63
Istirahat
9.96
41.50
9.14
38.08
24.00
100.00
24.00
100.00
Jumlah
23.54
Tahan
Kerja di usaha tani kel.
3.81
15.88
7.31
30.46
Pangan
Kerja diluar usahatani kel.
0.35
1.46
0.20
0.83
Kerja diluar pertanian
1.48
6.17
0.37
1.54
Pekerjaan rumahtangga
3.81
15.88
1.37
5.71
Waktu luang
5.13
21.38
5.35
22.29
Istirahat
9.42
39.25
9.41
39.21
Jumlah
24.00
100.00
24.00
100.00
n=49
148 6.2.1. Aktivitas dalam Usahatani Keluarga Pada tabel di atas tampak untuk daerah rawan pangan, besar alokasi waktu perempuan untuk kegiatan dalam usahatani keluarga (on-farm activities) rata-rata hanya sebesar 1.63 jam atau hanya 6.79 persen dari total 24 jam yang dimiliki. Sedangkan laki-laki mengalokasikan 5.65 jam dari waktunya untuk mengelola usahatani keluarga, atau sekitar 23.54 persen dari 24 jam yang dimilikinya. Hasil ini menunjukkan bahwa pengelolaan usahatani keluarga secara langsung masih didominasi oleh suami, sedangkan isteri perannya lebih kecil. Hasil penelitian Soepriati (2006) memper-kuat hal ini bahwa peran istri pada usahatani lebih kecil dibandingkan suami. Hasil analisis menunjukkan keadaan yang agak berbeda untuk desa tahan pangan, dimana alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam usahatani keluarga lebih tinggi dibandingkan di desa rawan pangan, yaitu mencapai 3.81 jam (15.88 persen) untuk perempuan dan 7.31 jam (30.46 persen) untuk laki-laki. Ini menunjukkan bahwa di desa tahan pangan, para responden memberi perhatian yang besar terhadap usahatani keluarga, dan usahatani ini bisa diandalkan sebagai sumber penghidupan yang utama dalam pemenuhan kebutuhan anggota rumahtangga. Hal ini diperkuat dengan data bahwa dari keseluruhan responden penelitian (n=190), hanya 75 orang isteri (39.47 persen) yang bekerja atau membantu suami secara langsung dalam usahatani keluarga. Jumlah responden perempuan yang tidak ikut bekerja dalam usahatani keluarga mencapai 60.53 persen. Temuan Kimhi dan Rapaport (2004) sejalan dengan hasil penelitian ini, bahwa penawaran tenaga kerja perempuan lebih rendah daripada laki-laki, baik di dalam usahatani maupun di luar usahatani.
149 Bila dipilah menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, hasil di atas mirip keadaannya dengan responden di desa rawan pangan, dimana hanya sekitar 31.43 persen dari 140 responden perempuan yang bekerja langsung dalam usahatani keluarga. Bandingkan dengan responden di desa tahan pangan (n=50), yang persentase partisipasi perempuan dalam usahatani keluarga mencapai 62 persen. Rendahnya curahan waktu perempuan dalam usahatani keluarga adalah karena responden perempuan lebih banyak mencurahkan waktunya untuk pekerjaan domestik dalam rumahtangga, seperti mengurus keperluan anak dan suami, memasak, dan kegiatan lainnya, termasuk menyiapkan berbagai keperluan suami untuk bekerja di usahatani, misalnya untuk bekal makan siang. Hasil-hasil yang diperoleh di atas sesuai dengan temuan Sitepu (2007) yang menunjukkan pola relasi gender yang umumnya didominasi oleh laki-laki dan Hendratno (2006) yang hasil penelitiannya membuktikan adanya dominasi suami dalam kegiatan produksi. 6.2.2. Aktivitas Pertanian di Luar Usahatani Keluarga Alokasi waktu perempuan dan laki-laki untuk kegiatan pertanian di luar usahatani keluarga (off-farm activities) merupakan curahan waktu paling kecil diantara keenam kelompok aktivitas, baik di daerah rawan pangan maupun di daerah tahan pangan. Di desa rawan pangan, alokasi waktu perempuan hanya sebesar 0.04 jam (0.17 persen), sedangkan laki-laki adalah 0.68 jam (2.83 persen). Alokasi waktu perempuan di desa tahan pangan lebih tinggi dibandingkan responden di desa rawan pangan, yaitu mencapai 0.35 jam (1.46 persen), sedangkan laki-laki lebih rendah, yaitu 0.20 jam (0.83 persen). Hasil ini juga mengindikasikan kecilnya kesempatan kerja di sektor pertanian di luar usahatani
150 keluarga. Hal ini memang fenomena yang umum terjadi di perdesaan, dimana kesempatan kerja yang tersedia sangat terbatas. Inilah salah satu yang mendorong arus urbanisasi ke kota-kota besar, dalam rangka mendapatkan alternatif pendapatan dari berbagai kegiatan informal di perkotaan. Padahal sebenarnya, alokasi waktu di luar usahatani keluarga sebenarnya bisa menjadi alternatif penting dalam perolehan pendapatan, seperti yang dikemukakan oleh Newman dan Canagarajah (2000) bahwa aktivitas di luar usahatani penting karena dapat menyebabkan penurunan kemiskinan rumahtangga petani di Ghana dan Uganda. 6.2.3. Aktivitas Ekonomi di Luar Pertanian Seperti juga di sektor pertanian, sektor non pertanian di desa juga tidak cukup menyediakan kesempatan bagi para responden untuk bekerja, baik di desadesa rawan pangan maupun tahan pangan. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam kegiatan ekonomi non pertanian (nonfarm activities). Dalam hal ini, perempuan mengalokasikan waktunya hanya sebesar 0.74 jam (3.08 persen), sedangkan laki-laki mencapai 1.51 jam (6.29 persen). Keadaannya agak lebih baik bagi perempuan di daerah tahan pangan, dimana alokasi waktu perempuan dalam kegiatan non pertanian mencapai 1.48 jam (6.17 persen). Kebalikannya bagi para suami, alokasi waktunya hanya mencapai 0.37 jam atau hanya 1.54 persen dari total waktu yang dimilikinya. Ini menunjukkan adanya kesempatan bekerja dan atau berusaha yang lebih besar bagi perempuan di daerah tahan pangan. Hal ini diindikasikan oleh Setyawati (2008), yang menunjukkan peran yang dilakukan perempuan selain aktivitas domestik, adalah juga kegiatan di luar rumah dan mengerjakan
151 aktivitas produktif (bekerja), serta melakukan pekerjaan sosial kemasyarakatan. Sitorus (1994) menyebutkan bahwa peran ekonomi perempuan pada rumahtangga nelayan miskin sangatlah besar, yaitu disamping bekerja di dalam usahatani keluarga dan atau usahatani tetangga, juga di luar sektor pertanian atau perikanan. Pentingnya aktivitas di luar pertanian sebagai sumber pendapatan bagi rumahtangga telah banyak diketahui. Oleh karena itu, alokasi waktu responden yang ditujukan untuk kegiatan di luar pertanian merupakan upaya untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar bagi rumahtangganya. Mishra et al. (2002) dalam Goodwin dan Mishra (2004) menyatakan bahwa 92 persen pendapatan petani di Amerika Serikat berasal dari non usahatani. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan di luar pertanian adalah berjualan di pasar, membuka kios sembako dan menjual makanan bagi perempuan, sedangkan bagi laki-laki adalah mengojek, menjual di pasar dan menambang emas. 6.2.4. Aktivitas dalam Rumahtangga Alokasi waktu perempuan yang rendah dalam usahatani keluarga, maupun dalam kegiatan ekonomi lainnya, ternyata karena perempuan lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam rumahtangga (housework, or domestic activities), seperti memasak, mencuci, mengurus anak, termasuk menyiapkan berbagai keperluan suami untuk ke kebun, misalnya untuk bekal makan siang. Waktu yang dialokasikan responden perempuan di desa rawan pangan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga mencapai 5.38 jam atau 22.42 persen dari total waktunya, sedangkan laki-laki sangat sedikit, yaitu hanya sebesar 0.63 jam (2.63 persen). Hasil ini sesuai temuan Soepriati (2006) bahwa peran isteri dalam kegiatan reproduktif di rumahtangga lebih tinggi
152 daripada suami, bahkan Koesoemowidjojo (2000) menyimpulkan bahwa sekitar 29 persen isteri sepenuhnya hanya mengurus rumahtangga, selebihnya bekerja di sektor publik. Keadaan yang mirip terjadi juga di desa tahan pangan meski ada sedikit peningkatan dalam alokasi waktu suami dalam pekerjaan rumahtangga dan menurunnya alokasi waktu perempuan dalam melakukan pekerjaan rumahtangga. Ini berarti bahwa di daerah tahan pangan, peran perempuan dan laki-laki dalam penyelesaian pekerjaan rumahtangga lebih berimbang. Hasil ini sesuai dengan temuan Megawangi dan Sumarwan (1996), yaitu pada daerah yang berbeda peran suami dalam rumahtangga bisa berbeda, di Sulawesi Utara suami lebih banyak terlibat dalam pekerjaan rumahtangga dibandingkan dengan suami pada rumahtangga di Jawa Timur. Hasil ini juga menunjukkan bahwa dalam rumahtangga responden, para lelaki lebih banyak memusatkan kegiatannya pada pengelolaan usahatani keluarga, sedangkan perempuan alokasi waktunya lebih pada tanggung jawab menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan domestik di dalam rumahtangga. Kurangnya responden laki-laki yang membantu melakukan pekerjaan dalam rumahtangga adalah karena mereka menganggap itu adalah pekerjaan perempuan dan anak-anak di rumah. Terkecuali bila isteri dalam kondisi yang tidak mampu melakukannya, misalnya setelah melahirkan atau dalam keadaan sakit, maka suami akan membantu pekerjaan rumahtangga. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan, pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga terutama masih menjadi tanggung jawab isteri. Sedangkan kegiatan mencari nafkah, terutama masih menjadi tanggung jawab suami. Kalaupun isteri membantu, itu merupakan
153 inisiatif dan keinginan kuat dari isteri sendiri untuk menambah penghasilan. Dengan adanya tambahan penghasilan, maka kebutuhan pangan dalam rumahtangga akan lebih terjamin ketersediaannya. Namun terdapat juga beberapa orang responden yang harus bekerja mencari nafkah sendiri, karena suaminya sakit. Meskipun kegiatan dalam rumahtangga tidak menghasilkan pendapatan tunai, namun perempuan menganggap bahwa pekerjaan dalam rumahtangga merupakan pekerjaan yang penting, terutama ketika anak-anak masih berumur di bawah 10 tahun. Temuan ini sesuai dengan teori Becker (1981) tentang nilai waktu perempuan, dimana pada saat tertentu nilai waktu perempuan lebih tinggi daripada upah di pasar tenaga kerja atau penghasilan yang mungkin diperoleh bila melakukan aktivitas di luar pekerjaan domestik, sehingga mereka lebih memilih mencurahkan waktunya dalam pekerjaan domestik, daripada bekerja di luar rumah. Hal ini senada dengan Cunningham (2001), bahwa keputusan untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja secara umum dimodelkan sebagai maksimisasi individu atas lifetime utility (happiness) dengan kendala anggaran dan waktu yang tersedia. Bila utilitas dari upah marjinal harapan lebih tinggi daripada jam marjinal pada pekerjaan non pasar (pekerjaan rumahtangga), maka individu akan memasuki angkatan kerja (Cunningham, 2001). Terkait dengan alokasi waktu perempuan, Alvarez dan Miles (Undated) menyebutkan bahwa temuan-temuan empiris dari berbagai kajian di negara maju secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan tetap merupakan penanggung jawab atas pekerjaan rumahtangga. Para responden perempuan di Kabupaten Konsel juga menganggap bahwa pekerjaan rumahtangga merupakan kewajiban utama bagi perempuan, sedangkan laki-laki mempunyai tanggung jawab utama
154 sebagai pencari nafkah.
Kecuali dalam kondisi suami sakit, maka isteri
mempunyai peran yang lebih berat, karena disamping tetap harus merawat suami dan mengerjakan berbagai pekerjaan domestik, juga tetap harus mencari nafkah untuk keperluan keluarga. Terkait ketimpangan gender dalam rumahtangga di lokasi penelitian, meskipun perempuan telah ikut mencari nafkah, namun tanggung jawab utama dalam penyelesaian berbagai pekerjaan rumahtangga tetap menjadi tugas isteri. Ini adalah beban ganda yang harus ditanggung perempuan, karena faktor budaya yang masih kuat di kalangan masyarakat, yang beranggapan bahwa tugas utama penyelesaian berbagai pekerjaan rumahtangga adalah tanggung jawab perempuan. 6.2.5. Aktivitas Waktu Luang Kegiatan yang termasuk dalam aktivitas waktu luang (leisure) adalah sholat, menonton, mengunjungi tetangga yang sakit, dan ‘ngobrol’ dengan tamu atau tetangga. Dalam hal ini, alokasi waktu perempuan dan laki-laki, baik di desa tahan pangan maupun di desa rawan pangan, tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok. Alokasi waktu perempuan di desa rawan pangan untuk aktivitas ini sebesar 6.26 jam (26.06 persen) dan laki-laki sebesar 6.39 jam (26.63 persen). Di desa tahan pangan, alokasi waktu perempuan untuk kegiatan ini adalah sebesar 5.13 jam (21.38 persen), sedangkan laki-laki sebesar 5.35 jam (22.29 persen). Hasil ini menunjukkan bahwa waktu yang dialokasikan untuk kegiatan leisure cukup seimbang bagi seluruh responden di kedua wilayah penelitian, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut Apps (2004), disamping konsumsi, waktu yang dialokasikan untuk leisure merupakan salah satu indikator kesejahteraan. Bila leisure dijadikan sebagai salah satu ukuran kesejahteraan, maka seluruh
155 responden telah menikmati waktu yang cukup untuk aktivitas yang disukainya. Nampaknya, tingginya alokasi waktu untuk leisure bagi responden di lokasi penelitian, tidak menunjukkan bahwa mereka telah sejahtera, namun lebih disebabkan oleh kurangnya kesempatan kerja dan atau berusaha yang tersedia. 6.2.6. Istirahat Istirahat merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap manusia. Secara normal, waktu yang cukup untuk istirahat adalah sekitar 1/3 dari total waktu yang dimiliki, atau 8 jam. Nampaknya porsi waktu untuk istirahat merupakan alokasi waktu paling tinggi diantara seluruh kelompok aktivitas responden. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa seluruh responden dikedua lokasi penelitian telah menikmati istirahat yang cukup, yang mencapai 9 jam lebih dalam sehari-semalam. Besarnya alokasi waktu untuk istirahat ini bisa saja bukan hal yang diinginkan oleh responden, namun disebabkan oleh ketiadaan lapangan kerja dan atau berusaha yang umumnya terjadi di perdesaan. Dilihat dari aspek gender, tidak ada perbedaan menyolok antara waktu istirahat yang dialokasikan oleh laki-laki dan perempuan dalam aktivitasnya selama 24 jam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam hal kesempatan untuk menikmati istirahat, tidak ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. 6.3. Kontrol terhadap Sumberdaya dan Pendapatan Rumahtangga Dalam rumahtangga pertanian, salah satu aspek penting dalam analisis gender menurut Ellis (1988) adalah terkait kontrol terhadap sumberdaya dan pendapatan rumahtangga. Terkait ketahanan pangan, Horenstein (1989) menjelaskan bahwa keputusan mengenai apa dan berapa banyak tanaman yang dialokasikan untuk dijual dan dibeli, seiring dengan penambahan pengetahuan
156 mengenai siapa yang memperoleh penghasilan dan bagaimana penghasilan tersebut digunakan, merupakan variabel kunci untuk mencapai ketahanan pangan dalam rumahtangga. Hasil analisis menunjukkan bahwa penanggung jawab utama seluruh kegiatan dalam usahatani keluarga adalah laki-laki (suami), baik rumahtangga di desa rawan pangan maupun tahan pangan. Hasil ini sesuai dengan hasil pembahasan pada bagian sebelumnya, di mana laki-laki merupakan pihak yang lebih banyak mengalokasikan waktunya dalam pelaksanaan aktivitas usahatani keluarga. Hasil pengolahan data mengenai pihak-pihak yang menjadi pengambil keputusan dalam pelaksanaan kegiatan usahatani dan produksi usahatani di Kabupaten Konawe Selatan disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13. Penanggung Jawab Kegiatan Usahatani dan Pengambil Keputusan terhadap Hasil Produksi Usahatani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 Kategori Desa/ Kelurahan
Pengambil Keputusan
Rawan
Suami sendiri
Pangan
Suami isteri
Penanggung Jawab Kegiatan Usahatani Keluarga Jumlah Persentase Responden (%) 123 86.01
Pengambil Keputusan terhadap Produksi Usahatani Jumlah Persentase Responden (%) 72 51.43
11
7.69
38
27.14
Suami dominan
1
0.70
3
2.14
Isteri dominan
3
2.10
2
1.43
Isteri sendiri
5
3.50
25
17.86
Jumlah
143
100.00
140
100.00
Tahan
Suami sendiri
50
92.59
8
27.59
Pangan
Suami isteri
2
3.70
8
27.59
Suami dominan
0
0.00
4
13.79
Isteri dominan
0
0.00
8
27.59
Isteri sendiri
2
3.70
1
3.45
54
100.00
29
100.00
Jumlah
157 Sementara itu, hanya sekitar 3.00 persen responden perempuan yang mempunyai tanggung jawab terhadap seluruh aktivitas dalam usahatani keluarga, baik di desa tahan pangan maupun rawan pangan. Hasil ini juga sesuai dengan temuan pada bahasan sebelumnya bahwa alokasi waktu perempuan dalam aktivitas usahatani keluarga lebih kecil dibandingkan laki-laki. Terkait keputusan terhadap produksi usahatani yang diperoleh keluarga, apakah akan dikonsumsi atau dijual, serta berapa bagian yang akan dikonsumsi atau dijual, nampaknya suami merupakan penentu keputusan yang lebih dominan di desa rawan pangan (51.43 persen) dibandingkan dengan responden di desa tahan pangan (27.59 persen). Ini dapat menjadi gambaran terjadinya subordinasi perempuan oleh pihak laki-laki, yaitu bahwa status sosial perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hasil temuan ini juga menegaskan kembali mengenai budaya patrilineal yang terjadi dalam masyarakat Konawe Selatan, seperti juga yang umum ditemui di daerah lain di Indonesia, dimana hubungan lelakiperempuan dicerminkan oleh kontrol lelaki atas harta, sumberdaya, dan pendapatan rumahtangga pertanian, disamping juga atas aspek-aspek kehidupan perempuan lainnya. Khusus di desa tahan pangan, terdapat keseimbangan peran antara suami dan isteri dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan produksi usahatani keluarga. Nampaknya, hasil ini juga mendukung temuan-temuan sebelumnya mengenai peran perempuan yang cenderung meningkat dalam usahatani keluarga di desa tahan pangan dibandingkan di desa rawan pangan. Artinya, di desa tahan pangan, kontrol atas aktivitas usahatani keluarga tidak lagi didominasi oleh laki-
158 laki, namun perempuan memiliki peran yang lebih seimbang dengan laki-laki dalam pengelolaan usahatani keluarga. Terkait keputusan dalam proses penjualan hasil usahatani dan alokasi penggunaan dari pendapatan usahatani tersebut, ringkasan hasilnya disajikan dalam Tabel 14. Informasi dalam tabel tersebut mengindikasikan bahwa dalam keputusan terkait proses penjualan hasil usahatani, baik di desa rawan pangan maupun tahan pangan, peran bersama antara suami dan isteri lebih dominan dibandingkan peran masing-masing gender, yaitu di desa rawan pangan mencapai 44.59 persen dan 48.78 persen didesa tahan pangan. Ini berarti bahwa dalam hal proses penjualan produk usahatani, suami, dan isteri lebih kompromistis dibandingkan pada keputusan lainnya dalam proses produksi usahatani keluarga. Tabel 14. Pihak Penentu dalam Proses Penjualan Hasil dan Alokasi Pendapatan Usahatani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 Kategori Desa/ Kelurahan
Pengambil Keputusan
Penentu Keputusan Penjualan Hasil Usahatani Jumlah Persentase Responden (%)
Penentu Alokasi Penggunaan Pendapatan Usahatani Jumlah Persentase Responden (%)
Rawan
Suami sendiri
12
16.22
15
21.43
Pangan
Suami isteri
33
44.59
27
38.57
Suami dominan
0
0.00
0
0.00
Isteri dominan
0
0.00
0
0.00
29
39.19
28
40.00
Jumlah
74
100.00
70
100.00
Tahan
Suami sendiri
8
19.51
4
10.81
Pangan
Suami isteri
20
48.78
22
59.46
Suami dominan
1
2.44
0
0.00
Isteri dominan
0
0.00
0
0.00
Isteri sendiri
12
29.27
11
29.73
Jumlah
41
100.00
37
100.00
Isteri sendiri
159 Hal yang juga menarik dari tabel di atas, yaitu bahwa peran perempuan secara sendiri di kedua lokasi penelitian terkait pengambilan keputusan dalam proses penjualan hasil usahatani adalah lebih dominan dibandingkan laki-laki. Namun bila dipilah menurut lokasi penelitian, peran perempuan secara sendiri dalam proses penjualan hasil usahatani lebih besar untuk responden di desa rawan pangan daripada responden perempuan di desa tahan pangan. Dari hasil penjualan produk usahatani, akan diperoleh pendapatan usahatani yang merupakan hasil kerja bersama anggota keluarga, terutama suami dan isteri. Hasil pendapatan ini dapat digunakan untuk memenuhi berbagai keperluan rumahtangga. Dalam hal ini, penentu utama penggunaan pendapatan usahatani di desa rawan pangan adalah perempuan (40 persen), sedangkan di desa tahan pangan diputuskan atas kompromi bersama suami dan isteri, yaitu mencapai 59.46 persen. Ini menunjukkan bahwa terdapat keseimbangan peran antara lakilaki dan perempuan dalam kontrol terhadap pendapatan usahatani keluarga. Terkait ketahanan pangan, dengan besarnya kontrol perempuan terhadap pendapatan yang diperoleh keluarga, maka ini akan berdampak besar terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Seperti diketahui bahwa perempuan merupakan penanggung jawab utama dan pihak yang terlibat langsung dalam pengadaan, pengolahan, penyimpanan dan penyiapan pangan dalam rumahtangga, sehingga dengan kontrol atas pendapatan yang dimilikinya, akan memberinya keleluasaan dalam keseluruhan proses penyediaan dan konsumsi pangan untuk seluruh anggota keluarga. Ini sesuai temuan FAO (Undated) bahwa bila perempuan mempunyai kontrol terhadap pendapatan, maka ini akan dapat mempertahankan tingkat kesejahteraan keluarga, khususnya pada perbaikan kualitas gizi anggota keluarga.
160 6.4. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Gender untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga Pada rencana awal penelitian, kajian ini sebenarnya untuk menduga faktorfaktor yang mempengaruhi keputusan gender (perempuan dan laki-laki) untuk masuk atau tidak masuk ke pasar kerja. Setelah pengambilan data di lapangan, ternyata hanya 22.16 persen dari keseluruhan responden yang benar-benar menerima upah dari aktivitas kerja yang dilakukan. Artinya, kurang dari separuh dari total responden yang terlibat dalam pasar kerja yang melibatkan variabel upah. Sebagian responden lainnya, yaitu sekitar 20.62 persen dari total responden melakukan pekerjaan atau usaha mandiri di luar usahatani keluarga untuk memperoleh pendapatan, antara lain mengojek motor, berdagang, menambang emas, buruh bangunan, buruh nelayan, dan membuat atap. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan diluar sistem upah, sehingga dalam penelitian ini, digunakan pendapatan/hari dari aktivitas yang dilakukan di luar pertanian sebagai proksi dari upah di luar pertanian. Pengukuran seperti ini juga digunakan oleh Castagnini et al. (2004). Dalam bagian ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi keputusan masing-masing perempuan dan laki-laki untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga.
Menurut Kimhi
(1996) dalam Kimhi dan Rapaport (2004), variabel demografi rumahtangga mempengaruhi
penawaran
tenaga
kerja.
Disamping
variabel
demografi
(Mangkuprawira, 1985), alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam mencari nafkah juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan ekologi. Secara khusus, Widarti (1998) menunjukkan bahwa keputusan perempuan menikah untuk bekerja atau tidak bekerja ditentukan oleh tingkat pendidikannya
161 dan adanya anak berumur di bawah lima tahun di rumah. Variabel terakhir ini berpengaruh negatif terhadap partisipasi perempuan menikah di pasar tenaga kerja. Hal senada dikemukakan Damanik (2003) bahwa faktor utama yang mendorong perempuan untuk bekerja adalah untuk mendapatkan penghasilan, karena penghasilan yang diperoleh suami masih kurang dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan faktor pendorong bagi perempuan untuk tidak bekerja adalah karena perempuan harus mengasuh anak di rumah. 6.4.1. Analisis Keputusan Kerja Perempuan Pada awalnya diduga bahwa peluang perempuan untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga dipengaruhi oleh variabel-variabel tingkat upah di sektor pertanian, tingkat upah di luar pertanian, umur saat penelitian, umur ketika pertama menikah, pendidikan, dummy akses jalan, dummy akses kredit, ukuran rumahtangga, jumlah anak di rumah yang berumur < 10 tahun, pengeluaran rumahtangga, dummy konservatisme agama, dummy kesempatan kerja, dummy dukungan pasangan, luas lahan (milik, garapan, sewa, pinjam, lahan untuk pangan, lahan untuk kebun), biaya total usahatani, penerimaan total usahatani, dan dummy pembeda desa. Dalam proses pengolahan data, beberapa variabel dikeluarkan dari model persamaan, karena terjadi korelasi yang tinggi antar variabel independen, sehingga menyebabkan performansi model secara keseluruhan menjadi kurang bagus. Ini ditunjukkan oleh tanda dari beberapa variabel yang tidak sesuai dengan teori, jumlah variabel yang pengaruhnya tidak signifikan meningkat, serta nilai persen Concordant yang menurun.
162 Setelah re-spesifikasi yang dilakukan berkali-kali terhadap model persamaan yang dibangun, dalam model akhir yang diperoleh diduga bahwa peluang perempuan untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga dipengaruhi oleh variabel-variabel (1) pendidikan laki-laki, (2) pendidikan perempuan, (3) dummy keterampilan yang dimiliki, (4) dummy keluarga masuk garis kemiskinan atau tidak, (5) usia saat pertama menikah, (6) jumlah anak di rumah yang berusia < 10 tahun, dan (7) dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan. Program dan hasil estimasi model keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga dengan menggunakan metode MLE, masing-masing disajikan dalam Lampiran 8 dan 9. Dari analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode penduga maximum likelihood terhadap model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga, dapat dikatakan bahwa secara umum model yang disusun memiliki performansi yang cukup bagus. Indikatornya dapat dilihat dari nilai Persen Concordant yang nilainya sebesar 82.2 1. Dengan demikian, penentuan peluang untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga pada nilai Y=1 adalah konsisten pada nilai Y = 1. Dari tujuh variabel yang dimasukkan ke dalam model tersebut, terdapat empat variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang perempuan untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga pada taraf kepercayaan 95 persen atau tingkat kesalahan yang ditolerir (α) sebesar 5 persen. Keempat variabel tersebut adalah (1) pendidikan perempuan, (2) pendidikan laki-laki, (3) dummy keterampilan yang dimiliki, dan (4) dummy pembeda desa/kelurahan 1
Persen concordant menunjukkan banyak pengamatan pada kategori Y=1, yaitu peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga, yang memiliki peluang lebih besar pada Y=1 (konsisten pada Y=1) adalah sebesar 82.2 persen
163 tahan pangan dan rawan pangan. Sedangkan variabel : (1) usia perempuan ketika pertama menikah, (2) dummy keluarga masuk garis kemiskinan atau tidak, dan (3) jumlah anak di rumah yang berusia < 10 tahun, pengaruhnya tidak signifikan terhadap peluang perempuan untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga. Hasil analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga ringkasannya disajikan dalam Tabel 15 berikut ini. Tabel 15. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Perempuan untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga di Konawe Selatan Tahun 2009 No.
Variabel
P-Value
PddP
Parameter Estimasi 0.2436
0.0178*
Nilai Marginal Effect (ME) 0.0600
1. 2.
PddL
-0.2184
0.0338*
-0.0539
3.
KETp
1.5354
0.0310*
0.2239
4.
UMp1
0.6904
0.1856
0.1536
5.
Ymis
0.9686
0.1172
0.1932
6.
DAn
-0.0292
0.9137
-0.0073
7.
D1
1.2477
0.0332*
0.2163
Keterangan : * Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05 dimana : KETp n = Dummy perempuan memiliki keterampilan tertentu (ada=1; tidak ada=0) Ymis n = Dummy keluarga masuk garis kemiskinan atau tidak (Bila pendapatan/kapita rumahtangga > Rp.182,000/bulan=1, bila ≤ Rp.182,000/bulan 2=0) UMpn1 n = Dummy usia menikah (UMpn1=1 bila menikah ketika usia < 19 tahun dan Lainnya=0) Up1 n = Dummy usia perempuan saat penelitian (Upn1=1 bila usia 15-24 tahun, Lainnya=0) DA n = Jumlah anak berumur < 10 tahun di rumah (jiwa) D 1n = Dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan (Desa tahan pangan=1, desa rawan pangan=0) 2
Garis kemiskinan versi BPS = Rp 182 000/bulan/orang
164 Variabel pendidikan perempuan mempunyai pengaruh yang signifikan dan positif terhadap peluang perempuan untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga. Nilai ME dari variabel pendidikan perempuan adalah sebesar 0.060. Ini berarti bahwa jika pendidikan perempuan bertambah satu tahun, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga akan meningkat sebesar 0.060. Hasil ini sangat logis, karena dengan meningkatnya pendidikan, maka akan memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi di luar usahataninya. Karena dengan meningkatnya pendidikan, perempuan akan memiliki kapabilitas yang lebih baik, sehingga ketika masuk ke dunia kerja akan lebih mudah diterima dan bila berusaha secara mandiri, maka ia akan mampu mengelola usahanya tersebut dengan lebih baik. Hasil ini sejalan dengan temuan Kimhi dan Rapaport (2004) bahwa faktor pendidikan memiliki efek yang positif terhadap pekerjaan di luar usahatani, tetapi tidak berpengaruh terhadap pekerjaan dalam usahatani. Ini dapat terjadi, karena hal-hal yang dipelajari di bangku pendidikan formal, tidak terkait langsung dengan pekerjaan-pekerjaan dalam usahatani. Alasan lain adalah bahwa aktivitas dalam usahatani tidak memerlukan tingkat pendidikan formal tertentu, tetapi dapat dipelajari dan dilakukan dengan relatif lebih mudah. Adanya keterampilan khusus yang dimiliki perempuan mempunyai pengaruh yang signifikan dan positif terhadap peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga. Nilai ME dari variabel dummy keterampilan perempuan adalah sebesar 0.224. Ini berarti bahwa jika perempuan memiliki keterampilan khusus, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga akan meningkat sebesar 0.224.
165 Hasil ini sangat logis, karena dengan adanya keterampilan khusus yang dimiliki, maka akan memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi di luar usahataninya, baik di sektor upah maupun mengelola suatu usaha mandiri. Disamping peluang untuk memperoleh pekerjaan yang lebih besar, dengan adanya keterampilan khusus tersebut, biasanya seseorang juga akan memperoleh upah yang lebih tinggi dibanding seseorang yang tidak mempunyai keterampilan khusus. Di dunia usaha juga demikian, seseorang yang memiliki keterampilan tertentu, akan lebih mudah untuk menyelenggarakan suatu usaha mandiri dan mengelolanya dengan lebih baik, karena ia mengetahui cara-cara menjalankan usaha tersebut. Dari keseluruhan responden perempuan (n=194), hanya 7.22 persen yang memiliki keterampilan khusus, yaitu antara lain berupa keterampilan menjahit, membuat kue, dan mengajar (guru). Sedangkan 92.78 persen diantaranya tidak mempunyai keterampilan khusus. Bila dianalisis menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, maka keadaannya juga cukup memprihatinkan. Dari keseluruhan responden perempuan di desa rawan pangan (n=144), hanya sekitar 5.56 persen yang memiliki keterampilan. Persentase perempuan yang tidak memiliki keterampilan jauh lebih besar, yaitu sebesar 94.44 persen. Sedangkan di desa tahan pangan (n=50), persentase perempuan yang memiliki keterampilan khusus lebih besar, yaitu sebesar 12 persen. Dari gambaran di atas nampak adanya korelasi positif antara keterampilan perempuan dengan partisipasinya dalam aktivitas ekonomi diluar usahatani keluarga.
Ketika jumlah responden yang
mempunyai keterampilan khusus cukup rendah, maka partisipasinya pada aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga juga rendah.
166 Variabel pendidikan laki-laki (suami) mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga. Nilai ME dari variabel pendidikan laki-laki adalah sebesar -0.054. Ini berarti bahwa jika pendidikan suami bertambah satu tahun, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga akan menurun sebesar 0.054. Hasil ini dapat saja terjadi, yaitu ketika pendidikan suami meningkat, maka isterinya dilarang untuk berpartisipasi pada kegiatan ekonomi di luar usahatani keluarga. Pola-pola seperti ini bisa berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda, karena sangat dipengaruhi oleh faktor budaya dan kondisi suatu masyarakat pada saat tertentu. Variabel dummy pembeda desa rawan pangan dan tahan pangan berpengaruh signifikan dan positif terhadap peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga. Nilai ME dari variabel dummy pembeda desa adalah sebesar 0.216. Ini berarti bahwa di desa tahan pangan, responden perempuan mempunyai peluang yang lebih besar untuk bekerja di luar usahatani keluarga sebesar 0.216. Perlu dijelaskan bahwa dua desa/kelurahan yang masuk kategori tahan pangan dalam penelitian ini, merupakan daerah yang relatif lebih maju dibandingkan dengan desa-desa rawan pangan yang menjadi lokasi penelitian. Di kedua kelurahan ini (salah satu kelurahan ini merupakan ibu kota Kecamatan Laeya), disamping usahatani sawah dan perkebunan yang memberikan hasil cukup tinggi bagi petani, juga terdapat beberapa kantor instansi pemerintah dan sekolah-sekolah (SD, SMP dan SMA). Keadaan potensi desa/kelurahan dan infrastuktur di daerah tahan pangan memang jauh lebih baik dibandingkan dengan desa-desa di daerah rawan pangan.
167 Sarana dan prasarana yang terdapat di daerah tahan pangan antara lain adalah jalan beraspal yang merupakan jalan provinsi, sehingga arus lalu lintas sangat lancar. Disamping itu juga terdapat irigasi yang dilengkapi saluran primer dan sekunder, pasar, Koperasi Unit Desa, dan sumber penerangan dari PLN. Ini merupakan faktor pendorong untuk lebih berkembangnya perekonomian di daerah ini, sehingga dapat menyediakan kesempatan kerja dan berusaha yang lebih besar bagi warga masyarakatnya. 6.4.2. Analisis Keputusan Kerja Laki-Laki Seperti juga pada model keputusan perempuan untuk berpartisipasi di pasar kerja, pada rencana awal penelitian ini beberapa variabel yang diduga mempengaruhi keputusan laki-laki untuk berpartisipasi pada aktivitas ekonomi diluar usahatani keluarga adalah variabel-variabel tingkat upah di sektor pertanian, tingkat upah di luar pertanian, umur saat penelitian, umur ketika pertama menikah, pendidikan, dummy akses jalan, dummy akses kredit, ukuran rumahtangga, pengeluaran rumahtangga, dummy konservatisme agama, dummy kesempatan kerja, dummy dukungan pasangan, luas lahan (milik, garapan, sewa, pinjam, lahan untuk pangan, lahan untuk kebun), biaya total usahatani, penerimaan total usahatani, dan dummy pembeda desa. Dalam proses pengolahan data, beberapa variabel dikeluarkan dari model persamaan, karena terjadi korelasi yang tinggi antar variabel independen, sehingga menyebabkan performansi model secara keseluruhan menjadi kurang bagus. Ini ditunjukkan oleh tanda dari beberapa variabel yang tidak sesuai dengan teori, jumlah variabel yang pengaruhnya tidak signifikan meningkat, serta nilai persen Concordant yang menurun.
168 Dengan melakukan beberapa kali spesifikasi kembali terhadap model persamaan yang dibangun, dalam model akhir yang diperoleh diduga bahwa peluang laki-laki untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga dipengaruhi oleh variabel-variabel (1) pendapatan/kapita, (2) umur, (3) usia saat pertama menikah, (4) dummy kesempatan kerja di desa, (5) dummy keterampilan yang dimiliki, dan (6) dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan. Program dan hasil estimasi model keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga dengan menggunakan metode MLE, masing-masing disajikan dalam Lampiran 10 dan 11. Hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode penduga maximum likelihood terhadap model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga, dapat dikatakan bahwa secara umum model yang disusun memiliki performansi yang cukup bagus. Indikatornya dapat dilihat dari nilai Persen Concordant yang nilainya sebesar 92.9 3. Dengan demikian, penentuan peluang untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga pada nilai Y=1 adalah konsisten pada nilai Y = 1. Dari enam variabel yang dimasukkan ke dalam model tersebut, terdapat empat variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang laki-laki untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga pada taraf kepercayaan 90 persen dan 95 persen atau tingkat kesalahan yang ditolerir (α) sebesar 10 persen dan 5 persen. Keempat variabel tersebut adalah (1) pendapatan/kapita rumahtangga, (2) dummy ada-tidaknya kesempatan kerja di desa, (3) dummy ada-
3
Persen concordant menunjukkan banyak pengamatan pada kategori Y=1, yaitu peluang laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga, yang memiliki peluang lebih besar pada Y=1 (konsisten pada Y=1) adalah sebesar 92.9 persen
169 tidaknya keterampilan yang dimiliki, dan (4) dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan. Dua variabel lainnya, yaitu umur laki-laki saat penelitian dan umur laki-laki saat pertama menikah tidak mempunayi pengaruh yang signifikan terhadap keputusan laki-laki untuk berpartisipasi pada aktivitas ekonomi diluar usahatani keluarga. Ringkasan hasil analisis disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Laki-Laki untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga di Konawe Selatan Tahun 2009 No.
Variabel Ykap
Parameter Estimasi -0.0000003
1.
P-Value 0.0657**
Nilai Marginal Effect (ME) -0.0000001
2.
Uln
-0.0268
0.2438
-0.0067
3.
UMln
0.0710
0.2447
0.0177
4.
DKKln
5.5445
<.0001*
0.0215
5.
KETln
1.0523
0.0425*
0.2019
6.
D2
1.7981
0.0079*
0.2192
Keterangan : * Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05 ** Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.10 dimana : Ykap Ul UM L DKK L KETl D2
= Pendapatan/kapita (Rp/orang/tahun) = Umur laki-laki saat penelitian (tahun) = Umur pertama menikah (tahun) = Dummy kesempatan kerja laki-laki (1 = ada; 0 = tidak ada) = Dummy memiliki keterampilan tertentu (ada=1; tidak ada=0) = Dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan (Desa tahan pangan=1, desa rawan pangan=0)
Dari Tabel 16 nampak bahwa pada taraf kepercayaan 90 persen, variabel pendapatan per kapita keluarga berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga. Ini berarti bahwa bila pendapatan/kapita dalam keluarga meningkat, maka peluang laki-laki untuk bekerja/berusaha di luar usahatani keluarga akan berkurang. Nilai ME dari variabel pendapatan/kapita adalah sebesar -0.0000001, ini berarti bahwa jika
170 pendapatan/kapita bertambah Rp. 1 000 000, maka peluang laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga akan berkurang sebesar 0.1. Hal ini dapat saja terjadi, yaitu bila responden telah merasa bahwa pendapatan yang diperoleh sekarang telah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga ketika pendapatan per kapita meningkat, responden akan mengurangi alokasi waktunya pada kegiatan di luar usahatani keluarga. Pada taraf kepercayaan 95 persen, variabel dummy kesempatan kerja di desa berpengaruh signifikan dan positif terhadap keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga. Ini berarti bahwa bila laki-laki (suami) merasa bahwa ada kesempatan kerja di desanya, maka peluang laki-laki untuk bekerja/berusaha di luar usahatani keluarga akan meningkat. Nilai ME dari variabel dummy kesempatan kerja laki-laki adalah sebesar 0.022, ini berarti bahwa jika ada kesempatan kerja di desa, maka peluang laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga akan bertambah sebesar 0.022. Hasil ini sangat logis terjadi. Fenomena kurangnya kesempatan kerja di perdesaan tentu saja merupakan sesuatu yang sudah banyak diketahui, sehingga ketika ada kesempatan kerja di daerahnya, maka responden akan memiliki peluang yang lebih besar untuk bekerja di luar usahatani. Dari tabel di atas nampak bahwa pada taraf kepercayaan 95 persen, variabel keterampilan yang dimiliki suami berpengaruh signifikan dan positif terhadap keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga. Ini berarti bahwa bila suami mempunyai keterampilan tertentu, maka peluang laki-laki untuk bekerja/berusaha di luar usahatani keluarga akan lebih tinggi. Nilai ME dari variabel keterampilan laki-laki adalah sebesar 0.202, ini berarti bahwa jika laki-
171 laki mempunyai keterampilan, maka peluangnya untuk bekerja di luar usahatani keluarga akan bertambah sebesar 0.202. Seperti juga pada persamaan keputusan perempuan, hasil ini juga sangat logis, karena dengan adanya keterampilan khusus yang dimiliki, maka akan memberikan peluang yang lebih besar bagi laki-laki untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi di luar usahataninya, baik di sektor upah maupun mengelola suatu usaha mandiri. Disamping peluang untuk memperoleh pekerjaan yang lebih besar, dengan adanya keterampilan khusus tersebut, biasanya seseorang juga akan memperoleh upah yang lebih tinggi dibanding seseorang yang tidak mempunyai keterampilan khusus. Di dunia usaha juga demikian, seseorang yang memiliki keterampilan tertentu, akan lebih mudah untuk menyelenggarakan suatu usaha mandiri dan mengelolanya dengan lebih baik, karena ia mengetahui cara-cara menjalankan usaha tersebut. Dari keseluruhan responden laki-laki (n=194), sebanyak 34.54 persen yang memiliki keterampilan khusus, yaitu antara lain berupa keterampilan pertukangan (kayu dan batu), memanjat kelapa, membuat atap dan guru mengaji. Sedangkan 65.46 persen diantaranya tidak mempunyai keterampilan khusus. Bila dianalisis menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, maka keadaannya juga mirip dengan yang dialami perempuan, yaitu kurangnya partisipasi laki-laki pada kegiatan ekonomi di luar pertanian, meskipun nilainya di atas persentase partisipasi perempuan. Dari keseluruhan responden laki-laki di desa rawan pangan (n=144), hanya sekitar 29.86 persen yang memiliki keterampilan, sedangkan yang tidak memiliki keterampilan jauh lebih besar, yaitu sebesar 70.14 persen. Partisipasi laki-laki di desa tahan pangan (n=50) lebih
172 tinggi, yaitu sebesar 48 persen, sekitar 52 persen lainnya tidak berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga. Seperti juga pada model keputusan perempuan, dalam analisis inipun nampak
adanya
korelasi
positif
antara
keterampilan
laki-laki
dengan
partisipasinya dalam aktivitas ekonomi diluar usahatani keluarga. Ketika jumlah responden yang mempunyai keterampilan khusus meningkat, maka partisipasinya pada aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga juga meningkat. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan sebesar 95 persen, variabel dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan berpengaruh signifikan dan positif terhadap keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani. Ini berarti bahwa bila responden tinggal di desa tahan pangan, maka peluang laki-laki untuk bekerja/berusaha di luar usahatani keluarga akan meningkat. Nilai ME dari variabel dummy adalah sebesar 0.219, ini berarti bahwa jika responden tinggal di desa tahan pangan, maka peluang laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga akan bertambah sebesar 0.219. Keadaan potensi desa/kelurahan dan infrastuktur di daerah tahan pangan memang jauh lebih baik dibandingkan dengan desa-desa di daerah rawan pangan. Ini menjadi salah satu dorongan untuk lebih berkembangnya perekonomian didaerah tersebut, sehingga dapat menyediakan kesempatan kerja dan berusaha yang lebih besar bagi warga masyarakatnya.
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI
Pangan (dan gizi) merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan, khususnya dalam upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia (Yulianti et al., 2002). Pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia merupakan indikator utama kesejahteraan sosial (Khumaidi, 1989). Pangan merupakan salah satu faktor penentu dalam mencerdaskan bangsa. Di Indonesia, munculnya masalah gizi buruk yang terjadi di masyarakat, menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan merupakan masalah yang belum sepenuhnya tuntas. Munculnya hal ini sangat merugikan bangsa, karena dapat menyebabkan lahirnya generasi yang tidak berkualitas (Fauzi, 2007). Banyak organisasi dunia seperti Bank Dunia, FAO, WFP dan Save the Children telah berkontribusi dalam pemahaman mengenai konsep ketahanan pangan di negara berkembang.
Bank Dunia mendefinisikan
ketahanan pangan sebagai ’akses bagi semua masyarakat di setiap waktu untuk memperoleh pangan yang cukup, bagi kehidupan yang aktif dan sehat’. Ini berarti bahwa rumahtangga dan individu harus memiliki ketersediaan pangan, akses ke pangan dan kemampuan untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan (Edralin and Collado, 2005). Mendefinisikan
dan
menginterpretasikan
ketahanan
pangan,
dan
mengukurnya sehingga dapat dipercaya, valid, dan dengan biaya yang efektif ternyata telah menjadi masalah yang sulit yang dihadapi oleh para peneliti dan program yang berencana memonitor resiko ketahanan pangan (Maxwell, 1996).
174 Untuk menganalisis masalah ketahanan pangan, terdapat sekitar 200 indikator. Rindayati (2009) menegaskan bahwa mana yang akan dipilih tergantung tujuan dan kepentingan penelitian, serta ketersediaan data. Indikator ketahanan pangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah frekuensi makan, yaitu bila anggota suatu rumahtangga bisa makan paling tidak tiga kali dalam sehari, maka masuk kriteria tahan pangan. Sedangkan rumahtangga yang anggotanya makan dua kali atau kurang dari itu, masuk kriteria tidak tahan pangan. Dalam bab ini akan didiskusikan mengenai faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga petani di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), yang dikelompokkan sebagai variabel sosiodemografi gender, karakteristik rumahtangga, dan variabel usahatani. Pada awalnya diduga bahwa peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan dipengaruhi oleh variabel-variabel jumlah produksi usahatani utama, jumlah produksi usahatani lainnya, biaya usahatani, penghasilan perempuan dari luar usahatani keluarga, penghasilan laki-laki dari luar usahatani keluarga, ukuran rumahtangga, harga pangan pokok, akses ke pasar, akses kredit, pengetahuan pangan dan gizi ibu rumahtangga, luas lahan (milik, garapan, sewa, pinjam, lahan untuk pangan, lahan untuk kebun), dan dummy pembeda desa rawan pangan dan tahan pangan. Dalam proses pengolahan data, beberapa variabel tersebut dikeluarkan dari model persamaan, karena : (1) berkorelasi tinggi dengan paling tidak satu variabel independen lainnya, dan atau (2) performa variabel kurang bagus (misalnya tanda yang tidak sesuai dengan teori).
175 Setelah re-spesifikasi yang dilakukan berkali-kali terhadap model persamaan yang dibangun, dalam model akhir yang diperoleh diduga bahwa ketahanan pangan dipengaruhi oleh variabel-variabel (1) pendidikan laki-laki, (2) pendidikan perempuan, (3) ukuran rumahtangga, (4) penghasilan laki-laki dari luar usahatani keluarga, (5) penghasilan perempuan dari luar usahatani keluarga, (6) penghasilan laki-laki dan perempuan dari kerja bersama di luar usahatani keluarga, (7) pendapatan usahatani, dan (8) dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan. Program dan hasil estimasi model ketahanan pangan rumahtangga petani dengan menggunakan metode MLE, masing-masing disajikan dalam Lampiran 12 dan 13. Dari analisis yang dilakukan terhadap model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga, dapat dikatakan bahwa secara umum model yang disusun memiliki performansi yang cukup bagus. Indikatornya dapat dilihat dari nilai Persen Concordant yang nilainya sebesar 94 1. Dengan demikian, penentuan peluang untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga pada nilai Y=1 adalah konsisten pada nilai Y = 1. Dari delapan variabel yang dimasukkan ke dalam model tersebut, terdapat lima variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan pada taraf kepercayaan 95 persen atau tingkat kesalahan yang ditolerir (α) sebesar 5 persen. Kelima variabel tersebut adalah (1) ukuran rumahtangga, (2) pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga, (3) pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga, (4) pendapatan laki-laki dan
1
Persen concordant menunjukkan banyak pengamatan pada kategori Y=1, yaitu peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan, yang memiliki peluang lebih besar pada Y=1 (konsisten pada Y=1) adalah sebesar 94 persen
176 perempuan dari kerja bersama di luar usahatani keluarga, dan (5) pendapatan usahatani. Sedangkan variabel : (1) pendidikan laki-laki, (2) pendidikan perempuan, dan (3) dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan pengaruhnya tidak signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga. analisis
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
ketahanan
Hasil pangan
rumahtangga disajikan dalam Tabel 17 di bawah ini : Tabel 17. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 No.
Variabel
Parameter Estimasi
P-Value
1.
PddL
0.1094
0.1923
0.0273
2.
PddP
-0.0023
0.9803
-0.0006
3.
URT
-0.5131
0.0036*
-0.1202
4.
Elnutkel
0.0000005
<.0001*
0.0000001
5.
Epnutkel
0.0000007
0.0013*
0.0000002
6.
Eplnutkel
0.0000007
0.0022*
0.0000002
7.
YUT
0.0000007
<.0001*
0.0000002
8.
D3
0.9179
0.2952
Nilai Marginal Effect (ME)
0.1872
Keterangan : * Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05. dimana : PddL PddP URT Elnutkel Epnutkel Eplnutkel YUT D3
= Pendidikan laki-laki (tahun) = Pendidikan perempuan (tahun) = Ukuran rumahtangga (jiwa) = Pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun) = Pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun) = Pendapatan bersama gender dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun) = Pendapatan usahatani keluarga (Rp/tahun) = Dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan
177 Variabel pendidikan perempuan dan laki-laki tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peluang keluarga untuk mencapai ketahanan pangan. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang tinggi, namun jika pengetahuan yang diperoleh dalam proses pendidikan tersebut tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka pendidikan tetap saja menjadi sesuatu yang berdiri sendiri tanpa memiliki pengaruh terhadap peluang pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Variabel dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan pengaruhnya tidak signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Artinya, tidak ada perbedaan peluang bagi rumahtangga yang tinggal di desa/kelurahan yang masuk kriteria tahan pangan ataupun rawan pangan untuk mencapai tahan pangan atau rawan pangan. Hasil ini sebenarnya kurang diharapkan, karena dugaan semula adalah akan ada perbedaan peluang antara desa/kelurahan tahan pangan dengan rawan pangan, dimana rumahtangga di desa/keluarahan tahan pangan akan lebih besar peluangnya untuk mencapai ketahanan pangan dibandingkan dengan rumahtangga yang ada di desa-desa rawan pangan. Namun hal tersebut di atas bisa saja terjadi, karena meskipun suatu daerah termasuk kategori tahan pangan, namun diantara warganya ada yang termasuk rawan pangan. Demikian juga sebaliknya, di daerah yang rawan pangan, tidak seluruh warganya termasuk kategori rawan pangan. Ini sesuai dengan pendapat Hayami (2000) yang menyatakan bahwa masalah kerawanan pangan dapat dialami oleh siapa saja, bahkan warga di negara-negara industri yang sudah maju dan mempunyai tingkat pendapatan yang tinggi, seperti Jepang dan Taiwan. Karena ketahanan pangan bukan hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan, tetapi
178 oleh banyak faktor. Salah satu fakta dikemukakan oleh Republika Newsroom (2009)2, dimana terdapat 3.5 juta orang atau sekitar 4.4 persen dari penduduk Italia hidup di bawah garis ’kemiskinan pangan’. Terlebih di Indonesia, dimana indikator dalam penentuan kategori suatu daerah termasuk tahan pangan atau rawan pangan masih menggunakan ukuran makro (kurang spesifik), tentu saja kemungkinan adanya warga yang sebenarnya tahan pangan ditemukan di daerah rawan pangan sangat mungkin terjadi. Sebaliknya juga begitu, ada kemungkinan untuk menemukan warga tidak tahan pangan di daerah-daerah yang masuk kategori tahan pangan. Terkait hal ini, BKP (2007) menyatakan bahwa suatu daerah yang termasuk dalam kelompok rawan pangan tidak berarti bahwa semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan. Sebaliknya, daerah-daerah yang masuk dalam kelompok relatif tahan pangan, tidak berarti semua penduduknya bercukupan pangan. Pemetaan yang dilakukan hanya menggambarkan kecenderungan prevalensi kerawanan pangan secara relatif. Dengan perkataan lain, daerah-daerah yang rawan pangan cenderung memiliki tingkat kerawanan pangan yang lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah yang relatif tahan pangan. Benar apa yang dikemukakan Khumaidi (1989) bahwa adalah suatu ironi karena banyak rumahtangga di daerah perdesaan, yang sebenarnya merupakan produsen bahan pangan, mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan bahan makanan. Situasi yang sangat berat ini banyak dialami petani miskin di perdesaan. Hal ini juga didukung oleh Fauzi (2007) bahwa masalah rawan pangan juga bisa terjadi di daerah-daerah subur dan Kinseng (2009) yang menyebutkan bahwa di 2
Republika Newsroom, 09 Oktober 2009 : 3.5 Juta Rakyat Italia Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Pangan
179 negara agraris seperti Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam pendukung pertanian, juga tidak lepas dari persoalan krisis pangan. 7.1. Pengaruh Variabel Sosiodemografi Gender Hasil analisis menunjukkan bahwa dari seluruh rumahtangga responden (n=194), sekitar 42.27 persen (82 rumahtangga) masuk kategori tidak tahan pangan. Artinya, hampir separuh rumahtangga di daerah penelitian hanya makan dua kali dalam sehari. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, mengingat bahwa kebutuhan pangan merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar pemenuhannya. Bila keadaan ini terus berlanjut, artinya keadaan kekurangan pangan ini bukanlah sementara, tetapi berlangsung terus menerus, maka dampaknya akan sangat besar terhadap keseluruhan proses biologis dalam tubuh, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan prestasi seseorang. Adi et al. (1999) menyebutkan bahwa frekuensi makan secara langsung akan mempengaruhi asupan zat gizi melalui konsumsi makan. Sedangkan menurut Martorell (1995) dalam Pranadji et al. (2001) bahwa konsumsi makanan itu sendiri merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Hasil yang ditemukan Harefa et al. (2001) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa 75 persen rumahtangga di dua desa penelitiannya di Kabupaten Cianjur Jawa Barat frekuensi makannya hanya dua kali dalam sehari. Ini merupakan salah satu penyesuaian yang dilakukan rumahtangga akibat kekurangan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan makan yang normal. Maxwell (1996) juga sependapat bahwa mengurangi konsumsi pangan merupakan
180 salah satu strategi yang dilakukan rumahtangga agar bisa tetap memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga. Bila dianalisis menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, maka hasil analisis menunjukkan bahwa di desa rawan pangan (n=144) terdapat 79 rumahtangga (54.86 persen ) yang masuk kategori tidak tahan pangan. Sebaliknya di desa tahan pangan (n=50), sebanyak 47 responden rumahtangga (94 persen) masuk kategori tahan pangan. Kondisi di kedua daerah penelitian menunjukkan situasi ketahanan pangan rumahtangga yang sangat berbeda. Nampaknya, faktor potensi sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan ketersediaan berbagai infrastuktur di desa/kelurahan tahan pangan, merupakan hal yang mendorong pencapaian ketahanan pangan di daerah tersebut dibandingkan dengan desa-desa rawan pangan. Variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pencapaian ketahanan pangan rumahtangga adalah ukuran rumahtangga dan penghasilan masing-masing gender, serta penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan bersama oleh suami-isteri. Hasil ini sesuai dengan pendapat Berg (1986) bahwa pendapatan dan ukuran rumahtangga merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas pangan. 7.1.1. Ukuran Rumahtangga Informasi dalam Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa variabel ukuran rumahtangga (URT) atau jumlah anggota rumahtangga berpengaruh signifikan terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga di perdesaan dengan tanda negatif. Nilai ME dari variabel ukuran rumahtangga adalah sebesar -0.12, ini berarti bahwa jika anggota rumahtangga bertambah satu
181 orang, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan akan berkurang sebesar 0.12. Hasil ini berarti bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka peluang untuk mencapai ketahanan pangan akan semakin kecil. Madanijah et al. (2006) dan Yuliana et al. (2002) juga menemukan hasil yang sama, bahwa jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi status gizi anggota rumahtangga, yang merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Hasil penelitian Asmarantaka (2007) juga menunjukkan bahwa konsumsi pangan di tiga desa, yaitu desa pangan (padi dan ubi kayu) dan bukan pangan (desa perkebunan kopi) sangat dipengaruhi oleh jumlah keluarga. Ini sangat logis terjadi. Bila terjadi penambahan jumlah anggota keluarga tanpa dibarengi dengan peningkatan penghasilan rumahtangga, baik itu dari usahatani maupun dari luar usahatani, maka akan menyebabkan rumahtangga menghadapi resiko kekurangan pangan. Karena sejumlah sumberdaya yang dimiliki rumahtangga, harus dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang lebih banyak, akibatnya jumlah pangan yang dapat disediakan tidak akan mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga untuk dapat hidup sehat dan berprestasi. Temuan ini sesuai dengan Suhardjo (1996) dalam Pranadji et al. (2001) yang mengemukakan bahwa tingkat pendapatan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih baik dalam jumlah maupun jenis makanan, sedangkan besar keluarga berhubungan erat dengan distribusi dalam jumlah maupun ragam pangan yang dikonsumsi anggota keluarga. Terkait dengan hasil ini, nampaknya perlu upaya-upaya membatasi besar keluarga, agar ketahanan pangan rumahtangga lebih terjamin. Program yang dijalankan pemerintah selama ini, seperti Keluarga Berencana merupakan salah
182 satu alternatif yang dapat ditempuh dan digalakkan kembali. Program seperti ini sangat sesuai dengan hasil temuan dalam penelitian ini, yaitu perlunya upaya pembatasan jumlah anggota keluarga. 7.1.2. Pendapatan Gender Dari hasil analisis nampak bahwa pendapatan gender (gender income) dari luar usahatani keluarga, baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri (perempuan saja atau laki-laki saja), maupun hasil dari usaha/pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama berpengaruh signifikan dan positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga.
Ini berarti bahwa bila penghasilan gender dari luar usahatani
keluarga meningkat, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan semakin besar. Temuan ini sesuai dengan hasil-hasil studi terdahulu yang dilakukan di beberapa negara berkembang lainnya, dimana masing-masing gender memiliki peran penting dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga pertanian (FAO, Undated; Horenstein, 1989). Nilai ME variabel pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Elnutkel) adalah sebesar 0.0000001, yang berarti bahwa jika pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani akan bertambah sebesar 0.1. Nilai ini sangat kecil, yang menunjukkan bahwa pertambahan yang besar dalam penghasilan laki-laki dari luar usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan. Nilai ME variabel pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga (Epnutkel) adalah sebesar 0.0000002, yang berarti bahwa jika pendapatan
183 perempuan dari luar usahatani keluarga bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani akan bertambah sebesar 0.2. Meskipun nilai ini lebih tinggi dari ME variabel pendapatan laki-laki dari luar usahatani, namun seperti juga nilai ME variabel pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga, nilai ini sangat kecil, yang menunjukkan bahwa pertambahan yang besar dalam penghasilan perempuan dari luar usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan. Tabel 17 di atas juga menunjukkan nilai ME variabel pendapatan bersama perempuan dan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Eplnutkel) adalah sebesar 0.0000002, yang berarti bahwa jika pendapatan bersama gender dari luar usahatani keluarga bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani akan bertambah sebesar 0.2. Seperti juga nilai ME variabel pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga, nilai ME variabel Eplnutkel sangat kecil, yang menunjukkan bahwa pertambahan yang besar dalam penghasilan bersama perempuan dan laki-laki dari luar usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan. Seperti diketahui bahwa untuk meningkatkan pendapatan keluarganya, maka 34.54 persen dari responden laki-laki dan 12.89 persen dari responden perempuan bekerja di luar usahatani untuk memperoleh tambahan penghasilan rumahtangga. Pendapatan merupakan sumberdaya yang dapat meningkatkan daya beli rumahtangga dalam pemenuhan kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga. Ini menunjukkan bahwa di lokasi penelitian, faktor ekonomi tetap merupakan
184 variabel yang sangat penting yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga. Ini sejalan dengan Sauqi (2002) dan Horenstein (1989) bahwa daya beli (pendapatan) rumahtangga merupakan salah satu faktor yang signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Bahkan Hardinsyah (1996) secara eksplisit menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga, maka semakin tinggi mutu gizi makanan (MGM) keluarga, yang merupakan salah satu aspek penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga. Sementara itu, di negara-negara maju yang tingkat pendapatannya sudah tinggi, penentu utama pencapaian ketahanan pangan bukan lagi terutama pada aspek pendapatan. Hayami (2000) menegaskan bahwa setidaknya terdapat empat krisis yang dapat menyebabkan masyarakat di suatu negara mengalami kerawanan pangan, yaitu : (1) krisis kontingen, (2) krisis siklikal, (3) krisis politik, dan (4) krisis Malthusian. Yang pertama adalah krisis yang terjadi karena adanya gangguan impor pangan secara tiba-tiba akibat adanya perang atau bencana. Yang kedua dapat terjadi ketika berkurangnya suplai pangan dan meningkatnya harga akibat hasil panen yang kurang di seluruh dunia sepanjang siklus cuaca. Yang ketiga berupa embargo dari ekportir pangan karena alasan politik dunia. Yang keempat adalah penurunan suplai pangan sementara jumlah populasi meningkat, yang dapat menyebabkan terjadinya kelaparan pada skala dunia. 7.2. Pengaruh Variabel Karakteristik Usahatani Dalam analisis ini, hanya terdapat satu variabel yang dimasukkan ke dalam model dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Pada taraf kepercayaan sebesar 95 persen, variabel pendapatan usahatani berpengaruh signifikan dan positif terhadap peluang pencapaian ketahanan pangan
185 rumahtangga. Semakin besar pendapatan yang diperoleh dari usahatani keluarga, semakin besar peluang untuk bisa mencapai ketahanan pangan rumahtangga. Karena semakin besar pendapatan yang diperoleh, maka semakin besar kemungkinan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga. Tabel 17 di atas menunjukkan nilai ME variabel pendapatan usahatani keluarga (YUT) adalah sebesar 0.0000002, yang berarti bahwa jika pendapatan usahatani bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan akan bertambah sebesar 0.2. Seperti juga nilai-nilai ME pada variabel-variabel pendapatan gender, nilai ME variabel pendapatan usahatani juga nilainya kecil, yang menunjukkan bahwa pertambahan yang besar dalam pendapatan usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan. Bila
ditelusuri,
pendapatan
usahatani
tersebut
merupakan
hasil
pengurangan dari nilai produk usahatani keluarga dengan biaya usahatani yang harus dikeluarkan rumahtangga. Dengan kata lain, pendapatan usahatani tersebut sebenarnya merupakan gambaran dari keseluruhan nilai produk usahatani, yang di dalamnya meliputi nilai produk usahatani yang dikonsumsi sendiri oleh rumahtangga, yang dijual dan pemberian anak dan keluarga lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa faktor ketersediaan produk pangan dari usahatani memegang peranan penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga. Hasil ini sesuai dengan temuan Sauqi (2002) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga di daerah rawan pangan di Lombok Tengah adalah ketersediaan pangan dalam rumahtangga, yang bisa berasal dari produksi usahatani sendiri, pemberian keluarga, pembelian maupun barter. Adi et al. (1999)
186 menegaskan bahwa ketersediaan pangan dan daya beli pangan merupakan faktor penentu ketahanan pangan. Senada dengan itu, Horenstein (1989) juga menegaskan pentingnya produksi pertanian rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga di Kenya. Bila dipilah menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, perbedaan proporsi responden di masing-masing desa yang mengkonsumsi hasil produksinya menjadi lebih jelas, yaitu 10.96 persen dari total responden di desa rawan pangan dan 88.46 persen dari total responden di desa tahan pangan. Hasil ini memberi kejelasan besarnya peran produk usahatani dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga petani responden. Hasil ini sesuai dengan Alderman dan Garcia (1994) bahwa ketersediaan pangan rumahtangga mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga, yang diukur dari status gizi anak-anak di perdesaan Pakistan. Demikian juga dengan Asmarantaka (2007) bahwa di desa kebun, konsumsi pangan dipengaruhi oleh nilai produksi kopi.
VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS
Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa ringkasan hasil dari pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya. Selanjutnya akan dikemukakan sintesis dari keseluruhan pembahasan yang telah dilakukan. 8.1. Ringkasan Untuk mengetahui beberapa hasil yang telah diperoleh dari pembahasan yang telah dilakukan, di bawah ini disajikan beberapa ringkasan hasil. Dengan adanya ringkasan ini akan memberikan gambaran singkat mengenai keseluruhan hasil yang telah diperoleh dari penelitian ini. 1.
Data di Tingkat Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Konawe Selatan menunjukkan indikasi terjadinya ketimpangan gender, terutama di bidang pendidikan dan ketenagakerjaan.
2.
Secara umum telah tercapai ketahanan pangan di tingkat nasional, Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Konawe Selatan, namun secara khusus masih terjadi kerawanan pangan pada level rumahtangga, terutama petani yang bertempat tinggal di desa-desa yang masuk kategori rawan pangan.
3.
Desa-desa rawan pangan di lokasi penelitian secara umum memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup baik untuk pengembangan pertanian, namun sangat kekurangan infrastruktur umum terutama jalan dan pertanian terutama pengairan. Desa-desa rawan pangan ini bisa saja berlokasi di dataran dengan jenis usahatani utama yang dikelola petani adalah pertanian pangan (padi sawah, padi ladang, jagung, ubi, sayuran), perkebunan (kakao, jambu mete, kelapa), dan perikanan darat (rawa), atau terletak di dekat
188 pantai dengan pekerjaan sebagai nelayan, disamping sebagai petani (pangan atau pekebun). 4.
Desa/kelurahan tahan pangan dalam penelitian ini terletak di daratan yang jauh dari pantai, dengan usahatani utama adalah membudidayakan padi sawah, disamping tanaman perkebunan seperti kakao, jambu mete, dan kelapa. Dua ciri khas daerah tahan pangan ini adalah terdapat jaringan irigasi tehnis yang dapat digunakan sepanjang tahun, serta tersedianya sarana dan prasarana jalan yang bagus (beraspal dan terletak di ruas jalan provinsi).
5.
Karakteristik sosiodemografi responden secara umum adalah berumur produktif (42.49 tahun untuk laki-laki dan 36.70 tahun untuk perempuan) dengan rata-rata pendidikan tertinggi hanya mencapai 7.68 tahun untuk lakilaki dan 6.77 tahun untuk perempuan. Rata-rata umur laki-laki ketika menikah adalah 23.73 tahun dan perempuan adalah 19.53 tahun. Rata-rata ukuran rumahtang-ga adalah 4-5 orang. Secara umum, dilihat dari tingkat pendidikan responden, terjadi ketimpangan gender, dimana rata-rata tingkat pendidikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Berdasarkan data usia suami dan isteri saat penelitian, serta usia saat menikah, dimana usia laki-laki lebih tua daripada perempuan, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan tidak berbeda dengan di daerah lain di Indonesia. Ukuran rumahtangga yang lebih besar di desa-desa rawan pangan dan lebih tingginya jumlah anak yang berusia dibawah 10 tahun dalam rumahtangga, berdampak negatif dalam pencapaian ketahanan pangan, serta juga menjadi penyebab kurangnya alokasi waktu perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang bernilai ekonomis.
189 6.
Rata-rata luas lahan yang dikuasai responden di desa tahan pangan lebih tinggi daripada responden di desa rawan pangan. Disini dapat dikatakan bahwa rata-rata kepemilikan lahan pertanian cukup tinggi, yaitu di atas 1 hektar dengan pendapatan/kapita rata-rata berada di bawah batas garis kemiskinan (< Rp.182 000). Sumber pendapatan keluarga terbesar berasal dari usahatani keluarga. Dibanding laki-laki, pangsa pendapatan perempuan dari bekerja di luar usahatani keluarga adalah lebih kecil. Secara umum nampak bahwa pendapatan total rumahtangga di desa tahan pangan mencapai lebih dari dua kali lipat pendapatan rumahtangga responden di desa rawan pangan. Dari data mengenai luas lahan yang dikuasai responden yang lebih dari satu hektar per keluarga, sebenarnya ini merupakan aset sangat penting, yang bila dimanfaatkan seoptimal mungkin bisa menjadi sumber utama pendapatan rumahtangga. Dengan demikian ada harapan untuk meningkatkan pendapatan/kapita yang saat ini rata-rata berada di bawah garis kemiskinan nasional, yaitu < Rp. 182 000/bulan.
7.
Hasil pengamatan terhadap pembagian tenaga kerja berdasar gender (gender division of labor) dalam rumahtangga, menunjukkan bahwa pekerjaanpekerjaan dalam usahatani yang umumnya dilakukan laki-laki adalah yang memerlukan curahan kerja fisik yang relatif besar, seperti mengolah lahan dan memperbaiki pematang sawah.
Sedangkan perempuan melakukan
pekerjaan yang relatif sedikit mengeluarkan tenaga fisik, seperti menanam padi, menyiangi gulma di sawah, dan melakukan pemanenan. 8.
Pekerjaan-pekerjaan di dalam rumahtangga seperti mencuci pakaian, memasak, dan mengurus anak, merupakan tanggung jawab utama perempuan,
190 namun laki-laki juga membantu bila diperlukan, seperti untuk mengambil air dan
membersihkan
pekarangan.
Untuk
penyiapan
pangan
dalam
rumahtangga, peran perempuan sangat besar, yaitu mulai dari mencari bahan pangan, mengolah, dan menghidangkannya untuk seluruh anggota keluarga. 9.
Untuk menambah pendapatan keluarga, perempuan dan laki-laki bekerja dan atau berusaha di luar usahatani keluarga, baik di usahatani tetangga, maupun di luar sektor pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang umumnya dilakukan lakilaki adalah menjadi buruh mengolah lahan, memperbaiki pematang, dan buruh panjat kelapa di usahatani tetangga, sedangkan perempuan menjadi buruh menanam atau buruh panen. Di luar pertanian, laki-laki melakukan berbagai pekerjaan seperti menjadi buruh bangunan, tukang ojek, menambang emas, dan berdagang, sedangkan perempuan umumnya berdagang di pasar dan di rumah, menjadi guru, dan juga tukang pijat.
10. Hasil analisis terhadap alokasi waktu gender diketahui bahwa laki-laki lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk bekerja di dalam usahatani keluarga, yaitu sebesar 23.54 persen untuk responden di desa rawan pangan dan 30.46 persen untuk responden di desa tahan pangan. Sebaliknya, perempuan lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk pekerjaan dalam rumahtangga, yaitu 22.42 persen untuk responden di desa rawan pangan dan 15.88 persen untuk responden di desa tahan pangan. 11. Alokasi waktu kerja gender untuk aktivitas pertanian di luar usahatani keluarga sangatlah kecil. Responden perempuan di desa rawan pangan hanya mengalokasikan 0.17 persen dari waktunya dan di desa tahan pangan sebesar 1.46 persen. Responden laki-laki di desa rawan pangan mengalokasikan
191 waktunya sebesar 2.83 persen dan di desa tahan pangan hanya sebesar 0.83 persen.
Ini menjadi gambaran kurangnya kesempatan kerja di sektor
pertanian di perdesaan. 12.
Selain
untuk
kegiatan
reproduksi
dan
produksi,
responden
juga
mengalokasikan waktunya untuk aktivitas waktu luang dan istirahat. Kedua kegiatan ini mengambil porsi terbesar dari alokasi waktu gender, baik perempuan dan laki-laki, terutama untuk istirahat yang mencapai sekitar 40 persen dari alokasi waktu perempuan dan laki-laki. Alokasi waktu untuk aktivitas waktu luang perempuan dan laki-laki di desa rawan pangan jauh lebih tinggi daripada responden di desa tahan pangan, yaitu sekitar 26 persen di desa rawan pangan dan 22 persen di desa tahan pangan. 13. Dalam hal kontrol terhadap sumberdaya, khususnya usahatani keluarga, hasil analisis menunjukkan bahwa laki-laki merupakan penanggung jawab utama untuk kedua lokasi penelitian, yaitu mencapai 86 persen. Meskipun dengan dominasi yang berkurang, namun dalam hal pengambilan keputusan terkait hasil produksi usahatani keluarga, suami tetap merupakan pengambil keputusan utama, terutama di desa rawan pangan yang mencapai 51.43 persen dari responden. 14. Terkait pengambil keputusan dalam proses penjualan hasil produksi, terdapat keseimbangan dalam hubungan suami isteri, yaitu lebih menekankan pada kompromi, tidak didominasi oleh salah satu gender. Dalam hal penggunaan pendapatan usahatani, perempuan di desa rawan pangan lebih dominan sebagai penentu keputusan (40 persen), sedangkan di desa tahan pangan,
192 kompromi bersama suami isteri lebih dominan, yaitu 59.46 persen dari responden rumahtangga. 15.
Dilihat dari Percent Concordant model logit yang digunakan, dapat dikatakan bahwa performansi model keputusan kerja berdasar gender secara umum baik, begitu juga dengan model ketahanan pangan rumahtangga.
16. Keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga ditentukan secara signifikan oleh pendidikan perempuan, pendidikan laki-laki, keterampilan dan dummy pembeda desa rawan pangan dan tahan pangan. Sedangkan keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga dipengaruhi secara signifikan oleh pendapatan per kapita, umur saat pertama menikah, ada tidaknya keterampilan khusus, dan dummy pembeda desa tahan pangan/rawan pangan. 17. Ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi secara signifikan oleh variabel pendapatan gender, ukuran rumahtangga, dan pendapatan usahatani keluarga. 8.2. Sintesis Pada bagian ini disajikan sintesis dari keseluruhan hasil yang telah diperoleh. Dengan adanya sintesis ini akan dapat dilihat kaitan (benang merah) dari hasil-hasil yang diperoleh, mengenai keterkaitan gender dan ketahanan pangan, serta peran masing-masing gender dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan. Undang-Undang RI Nomor 7/1996 tentang Pangan mendefinisikan ketahanan
pangan
sebagai
suatu
kondisi
terpenuhinya
pangan
bagi
rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah
193 maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dari definisi tersebut nampak bahwa upaya pencapaian ketahanan pangan masih difokuskan pada tingkat rumahtangga. Sementara itu, rumahtangga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan kumpulan-kumpulan individu yang umumnya memiliki hubungan keluarga (suami, isteri, anak, saudara, orang tua), maupun yang tidak memiliki hubungan darah ataupun hukum. Kumpulan dari rumahtangga-rumahtangga akan membentuk masyarakat yang lebih luas. Gender adalah pembedaaan perempuan dan laki-laki dilihat dari sifat, peran dan tanggung jawab yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang ada dan berlaku dalam budaya masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan, bukan berdasarkan perbedaan biologis diantara keduanya. Suami dan isteri memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan seluruh anggota rumahtangga, terutama kebutuhan akan bahan pangan. Peran ini dapat dilihat dari alokasi waktu yang dicurahkan untuk berbagai kegiatan (baik aktivitas produksi maupun reproduksi), dan sumbangan pendapatan dari aktivitas produktif yang dilakukan. Selain aktivitas dalam usahatani keluarga, melakukan aktivitas di luar itu juga merupakan hal penting bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pendapatan tambahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan anggota rumahtangga. Ini sejalan dengan Mangkuprawira (1985) bahwa suami dan isteri merupakan satu tim dalam mencari nafkah. Suprihatin (1986) menyatakan bahwa dorongan bagi suami dan isteri untuk bekerja lebih giat adalah untuk memperoleh pendapatan akibat kebutuhan rumahtangga yang meningkat. Bahkan menurut Newman dan Canagarajah (2000) bahwa aktivitas di luar
194 usahatani dapat menurunkan kemiskinan rumahtangga petani, yang pada akhirnya akan memperbaiki ketahanan pangan rumahtangga, bahkan Kimhi dan Rapaport (2004) menyatakan bahwa 90 persen pendapatan petani di Amerika Serikat berasal dari luar usahatani. Padahal diketahui bahwa skala usahatani keluarga di negara itu jauh lebih besar dibandingkan di Indonesia. Menurut Kimhi dan Rapaport (2004), variabel demografi rumahtangga mempengaruhi penawaran tenaga kerja. Mangkuprawira (1985) menyatakan bahwa disamping variabel demografi, alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam mencari nafkah juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan ekologi. Khususnya perempuan, Damanik (2003) menegaskan bahwa faktor utama yang mendorong perempuan untuk bekerja adalah untuk mendapatkan penghasilan, karena penghasilan yang diperoleh suami masih kurang dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan faktor pendorong bagi perempuan untuk tidak bekerja adalah karena perempuan harus mengasuh anak di rumah. Terkait variabel pendidikan, hasil penelitian ini dikuatkan oleh temuan Kimhi dan Rapaport (2004) bahwa faktor pendidikan memiliki efek positif terhadap pekerjaan di luar usahatani. Terkait aspek gender, Todaro (1998) menegaskan bahwa pendidikan bagi perempuan sangatlah penting untuk mendorong tercapainya kesetaraan gender pada berbagai aspek kehidupan. Hasil pengamatan terhadap pembagian tenaga kerja berdasar gender (gender division of labor) dalam rumahtangga, dapat dikatakan bahwa pekerjaanpekerjaan dalam usahatani yang umumnya dilakukan laki-laki adalah yang memerlukan curahan kerja fisik yang relatif besar, seperti mengolah lahan dan memperbaiki pematang sawah. Sedangkan perempuan melakukan pekerjaan yang
195 relatif sedikit mengeluarkan tenaga fisik, seperti menanam padi, menyiangi gulma di sawah dan pemanenan.
Hal ini sesuai dengan FAO (Undated) bahwa di
pertanian, perempuan dan laki-laki mempunyai peranan yang bervariasi. Pada beberapa kasus bekerja saling melengkapi, tetapi pada kasus lainnya perempuan dan laki-laki mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berbeda. Hasil analisis alokasi waktu gender diketahui bahwa laki-laki lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk bekerja di dalam usahatani keluarga. Sebaliknya, perempuan lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk pekerjaan dalam rumahtangga. Hasil ini sesuai dengan temuan Sitepu (2007) dan Hendratno (2006) bahwa kegiatan usahatani didominasi laki-laki. Demikian juga Mangkuprawira (1985) berpendapat bahwa dilihat dari aspek budaya, peran untuk mencari nafkah dalam rumahtangga lebih banyak dilakukan oleh suami, sedangkan pekerjaan rumahtangga lebih banyak dilakukan oleh perempuan (isteri). Hasil penelitian Ariyanto (2004) dan Soepriati (2006) menguatkan hasil penelitian ini, yaitu bahwa perempuan lebih banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan reproduksi dibandingkan laki-laki. Maume (2006) menegaskan bahwa kewajiban terhadap keluarga lebih dipengaruhi oleh tradisionalisme gender daripada egalitarianisme. Aktivitas yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dengan mengalokasikan waktu yang dimilikinya, serta karakteristik rumahtangga mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Hasil analisis menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi secara signifikan oleh variabel pendapatan gender, ukuran rumahtangga dan pendapatan usahatani keluarga. Terkait variabel ukuran rumahtangga yang berpengaruh negatif terhadap
196 pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, temuan ini sesuai dengan Suhardjo (1996) dalam Pranadji et al. (2001) yang mengemukakan bahwa besar keluarga berhubungan erat dengan distribusi dalam jumlah maupun ragam pangan yang dikonsumsi anggota keluarga. Madanijah et al. (2006) dan Yuliana et al. (2002) juga menemukan hasil yang sama, bahwa jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi status gizi anggota rumahtangga, yang merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Hasil penelitian Asmarantaka (2007) juga menunjukkan bahwa konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh jumlah anggota rumahtangga. Untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga, maka salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menjaga agar jumlah anggota rumahtangga tidak meningkat cepat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB) yang selama ini pelaksanaannya tidak seperti saat pemerintahan Orde Baru. Pendapatan gender berpengaruh positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Ini sejalan dengan Sauqi (2002) dan Horenstein (1989) bahwa daya beli (pendapatan) rumahtangga merupakan salah satu faktor yang signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Bahkan Hardinsyah (1996) secara eksplisit menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga, maka semakin tinggi mutu gizi makanan (MGM) keluarga, yang merupakan salah satu aspek penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga. Variabel pendapatan usahatani keluarga juga berpengaruh positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Hasil ini sesuai dengan temuan Sauqi (2002) bahwa salah satu variabel yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga di daerah rawan pangan di Kabupaten Lombok Tengah adalah ketersediaan pangan
197 dalam rumahtangga. Demikian juga dengan Adi et al. (1999) menegaskan bahwa ketersediaan pangan dan daya beli pangan merupakan faktor penentu ketahanan pangan. Senada dengan itu, Horenstein (1989) juga menegaskan pentingnya produksi pertanian rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani. Hasil ini juga sesuai dengan Alderman dan Garcia (1994) yang mengukur status gizi anak-anak di perdesaan Pakistan. Demikian juga dengan Asmarantaka (2007) bahwa konsumsi pangan dipengaruhi oleh nilai produksi usahatani kopi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan usahatani merupakan sumber pendapatan utama bagi rumahtangga pertanian di Kabupaten Konawe Selatan. Oleh karena itu, upaya-upaya meningkatkan keberhasilan dalam proses produksi usahatani tetap perlu ditingkatkan, antara lain kegiatan penyuluhan kepada petani. Dalam kegiatan ini harus memperhatikan aspek gender, karena ternyata bahwa dalam setiap aktivitas dalam usahatani keluarga, ada aktivitas yang dominan dilakukan oleh perempuan atau laki-laki saja. Akibat ketidakcukupan pendapatan dari usahatani keluarga, maka perempuan dan laki-laki melakukan aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga untuk memperoleh pendapatan tambahan, yang umumnya adalah di sektor perdagangan. Disamping perlunya upaya-upaya peningkatan kesempatan kerja dan berusaha, serta penyediaan modal dengan syarat ringan yang dilakukan pihak di luar petani, aspek keterampilan dan pendidikan gender memegang peranan penting untuk memudahkan dalam meraih kesempatan bekerja/berusaha di luar usahatani keluarga. Untuk memperlancar kegiatan perekonomian di perdesaan, maka penyediaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi.
IX. SIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN PENELITIAN LANJUTAN
Pada bab ini akan dikemukakan beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran untuk penelitian lanjutan berdasarkan pembahasan dan sintesis yang telah dilakukan pada Bab V, VI, VII dan VIII. 9.1.
Simpulan Kesimpulan dari penelitian ini disampaikan pada bagian di bawah ini.
1. Keputusan perempuan dan laki-laki dalam melakukan pekerjaan di luar usahatani keluarga dipengaruhi oleh variabel-variabel ekonomi, yaitu pendapatan gender dan pendapatan usahatani; kapabilitas dari human resources, yaitu pendidikan, memiliki keterampilan; dan aspek di luar gender, yaitu kesempatan kerja. 2. Perempuan dan laki-laki memegang peran penting dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, karena disamping mengalokasikan waktunya dalam pengelolaan usahatani keluarga dan dalam kegiatan reproduktif di dalam rumah, juga dari sumbangan pendapatan masing-masing gender dari pekerjaan di luar usahatani keluarga terhadap total pendapatan keluarga. Dalam hal ini, laki-laki lebih banyak berperan dalam pengelolaan usahatani keluarga dan perempuan lebih besar penanannya dalam pelaksanaan aktivitas domestik dalam rumahtangga. Sumbangan pendapatan laki-laki terhadap pendapatan total keluarga lebih besar daripada sumbangan pendapatan perempuan. 3. Pencapaian ketahanan pangan rumahtangga di lokasi penelitian terutama dipengaruhi oleh variabel-variabel ekonomi, yaitu pendapatan gender dan pendapatan usahatani; serta ukuran rumahtangga
199 9.2. Implikasi Kebijakan Dari analisis yang telah dilakukan, beberapa implikasi kebijakan yang dapat disampaikan adalah : 1. Pemerintah berperan penting dalam rangka mempengaruhi keputusan perempuan dan laki-laki dalam bekerja di luar usahatani. Secara umum, kebijakan pemerintah dapat dibagi ke dalam beberapa rentang waktu karena terkait dengan tujuan dan implikasinya terhadap ekonomi rumahtangga. Adapun kebijakan pemerintah dalam jangka pendek dapat berupa bantuan kredit usahatani sehingga menstimulasi perkembangan kegiatan ekonomi usahatani agar menjadi lebih tinggi lagi. Sedangkan kebijakan pemerintah dalam jangka menengah dan atau panjang berbentuk pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan akan mendukung proses peningkatan kualitas diri perempuan dan laki-laki, yang akan mendukung pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. 2. Untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga, selain aspek ekonomi juga perlu mempertimbangkan segi non ekonomi seperti besarnya ukuran rumahtangga. Aspek ekonomi menyangkut upaya yang berkelanjutan dalam menciptakan kesempatan kerja dan berusaha bagi anggota rumahtangga untuk mendapatkan pendapatan. Terkait aspek non ekonomi, pemerintah dapat membantu upaya pencapaian ketahanan pangan ini dengan membantu rumahtangga menahan laju peningkatan jumlah anggota rumahtangga dengan kebijakan di bidang demografi, yaitu berupa menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB). Jika upaya ini berhasil, akan mampu menunjang terwujudkan ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan.
200 3. Perdagangan menjadi salah satu bidang usaha ekonomi yang banyak digeluti perempuan dan laki-laki, dan memberikan sumbangan signifikan terhadap pendapatan keluarga. Kemudahan dalam memperoleh modal dengan syarat ringan dan adanya pelatihan yang dapat memberi keterampilan terkait usahausaha produktif yang sesuai dengan sumberdaya lokal, akan mendorong peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penelitian. Seiring dengan upaya itu, pembangunan infrastruktur yang mendukung jalannya roda perekonomian, seperti jalan, jembatan, dan pasar penting dilakukan agar distribusi barang menjadi relatif lebih mudah, murah, dan efisien. 9.3. Saran Penelitian Lanjutan Dari beberapa simpulan dan implikasi kebijakan di atas, beberapa saran untuk penelitian lanjutan adalah : 1. Peran perempuan dan laki-laki yang dianalisis perlu dilakukan untuk seluruh anggota keluarga, tidak hanya suami dan isteri. 2. Indikator ketahanan pangan dikembangkan dengan tidak hanya mempertimbangkan frekuensi makan tetapi juga jumlah dan kualitas asupannya. 3. Jenis rumahtangga petani pangan, perkebunan, dan nelayan dimungkinkan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan disagregasi jenis rumahtangga sehingga akan menambah kedalaman analisis hasil penelitian.
LAMPIRAN
216 Lampiran 1. Persentase Balita Menurut Status Gizi (BB/U)* dan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2007 Kabupaten/Kota Buton Muna Konawe Kolaka Konawe Selatan Bombana Wakatobi Kolaka Utara Kota Kendari Kota Bau Bau
Kategori Status Gizi BB/U Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik 9,4 18,8 68,6 2,3 12,7 79,2 10,8 10,5 75,2 4,4 18,4 75,0 11,4 14,8 71,7 6,9 19,8 66,8 8,0 22,3 68,4 8,2 11,0 71,8 3,0 15,9 77,9 6,4 17,3 73,9
Keterangan : *) BB/U = Berat Badan menurut Umur
Gizi Lebih 3,2 5,7 3,4 2,2 2,1 6,5 1,4 9,0 3,3 2,4
217 Lampiran 2. Persentase Balita Menurut Status Gizi (TB/U)* dan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2007 Kabupaten/Kota Buton Muna Konawe Kolaka Konawe Selatan Bombana Wakatobi Kolaka Utara Kota Kendari Kota Bau Bau Sulawesi Tenggara
Kategori Status Gizi TB/U Sangat Buruk Pendek Normal 28,4 21,7 49,9 21,7 18,5 19,8 16,3 15,4 68,3 22,9 16,9 60,2 28,8 16,7 54,5 13,3 17,7 69,0 23,3 29,4 47,3 17,9 17,0 65,1 15,2 17,4 67,4 18,6 23,7 57,9 21,6 18,9 59,5
Keterangan : *) TB/U = Tinggi Badan menurut Umur
218 Lampiran 3. Persentase Balita Menurut Status Gizi (BB/TB)* dan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2007 Kabupaten/Kota Buton Muna Konawe Kolaka Konawe Selatan Bombana Wakatobi Kolaka Utara Kota Kendari Kota Bau Bau Sulawesi Tenggara
Kategori Status Gizi BB/TB Sangat Kurus Kurus Normal 4,8 7,6 78,3 3,2 8,2 74,9 8,1 9,9 76,2 3,7 10,2 77,8 10,0 10,3 67,3 9,6 13,1 67,6 3,5 4,0 84,5 6,9 6,9 67,4 4,9 11,2 70,5 2,6 9,3 81,7 5,4 9,2 74,9
Keterangan : *) BB/TB = Berat Badan menurut Tinggi Badan
Gemuk 9,3 13,7 5,8 8,3 12,4 9,7 8,0 18,8 13,4 6,4 10,4
219 Lampiran 4. Ringkasan Kajian Pustaka terkait Ketahanan Pangan dan Alokasi Waktu Kerja Berdasar Gender di Mancanegara No.
Peneliti, Tahun
1.
Alvarez and Miles, Undated
Metoda/Model Topik Analisis Model logit, data Analisis efek gender atas sekunder alokasi pekerjaan dalam rumahtangga pasangan di Spanyol
2.
FAO, Undated
Deskriptif
Kaitan gender dan ketahanan pangan (terutama perempuan)
3.
Horenstein, 1989
Deskriptif
Kaitan perempuan dan ketahanan pangan (terutama perempuan)
4.
Emran et al., 2003
Model probit, data Kaitan antara gender, generasi sekunder dan partisipasi kerja di non pertanian
5.
Alderman and Model Ekonometrik Ketahanan pangan dan Garcia, 1994 (regresi berganda), ketahanan kesehatan : tingkat data sekunder status gizi di Pakistan
6.
Paternostro and Model Heckman Faktor penentu upah dan Sahn, 1999 Selection, data diskriminasi gender pada sekunder perekonomian transisi di Rumania
7.
Newman and Model probit, data Analisis mengenai gender, Canagarajah, sekunder kemiskinan dan pekerjaan non 2000 pertanian di Ghana dan Uganda
8.
Castagnini al., 2004
9.
Goodwin and Model ekonometrik Mishra, 2004 Data sekunder
10.
Kimhi and Rapaport, 2004
et Gini ratio, statistik Kajian mengenai extended and deskrptif, full incomes pada level data sekunder rumahtangga dan individu di rumahtangga pertanian di Italia Kajian terhadap hubungan antara efisiensi usahatani dengan faktor penentu banyaknya pekerjaan lain di luar usahatani
Model Ekonometrik Mempelajari pola alokasi waktu Data Sekunder antara pekerjaan usahatani dan non usahatani
220 11.
Scanlan, 2004
OLS, data cross- Perempuan, ketahanan pangan section dan pembangunan di beberapa negara (menggunakan HDI, GDI).
12.
Lewin-Epstein Regresi berganda, Ada-tidaknya pemisahan atau dan Stier, 2006 data Program sebaliknya sharing berdasar Survey Sosial gender dalam rumahtangga. Internasional
13.
Glass dan Regresi berganda, Nath, 2006 Data Survei Nasional Keluarga dan Rumahtangga
14.
Maume, 2006
Pengaruh konservatisme agama terhadap perilaku angkatan kerja perempuan menikah atau menambah anak.
Ekonometrik, Studi Peran perempuan dan laki-laki nasional perubahan serta pengaruhnya terhadap angkatan kerja hubungan keluarga-kerja.
221 Lampiran 5. Ringkasan Kajian Pustaka terkait Ketahanan Pangan, Partisipasi Kerja dan Alokasi Kerja Berdasar Gender di Indonesia No.
Peneliti, Tahun
Metoda/Model Topik Analisis Analisis deskriptif Analisis alokasi dan kontribusi dan regresi linear kerja anggota keluarga dalam berganda, data primer ekonomi rumahtangga di Jawa Barat.
1.
Mangkuprawira, 1985
2.
Suprihatin, 1986
Analisis deskriptif, Analisis alokasi waktu regresi linear ber- keluarga di pedesaan dan desa ganda, data primer kota di Jawa Barat.
3.
Sajiharjo, 1990
Analisis gender dan Pengaruh sirkulasi suami struktural fungsional terhadap struktur dan fungsi Levy, deskriptif kuali- keluarga di D.I. Yogyakarta). tatif, data primer
4.
Rachman dan Regresi berganda, Faktor-faktor yang mempeRachman, 1988 data Patanas ngaruhi curahan kerja ibu rumahtangga di perdesaan.
5.
Sitorus, 1994
Analisis kualitatif, Analisis peranan ekonomi data primer non survei wanita dalam rumahtangga nelayan miskin di pedesaan.
6.
Hardinsyah, 1996
Regresi berganda, Analisis tentang status data Susenas pekerjaan ibu dan pendapatan dalam hubungannya dengan mutu gizi makanan keluarga di daerah perkotaan.
7.
Widarti, 1998
Regresi berganda, Faktor-faktor penentu partidata Patanas sipasi perempuan dalam angkatan kerja.
8.
Adi et al., 1999
Regresi logistik, data primer
9.
Khomsan, 1999
Regresi berganda, Indikator Ketahanan Pangan di data Susenas Jawa
10.
Koesoemowidjojo, 2000
Analisis deskriptif Peranan gender dalam rumahdan regresi ber-ganda, tangga penerima kredit data primer peningkatan pendapatan kecil.
Konsumsi dan ketahanan pangan rumahtangga menurut tipe agroekologi di kabupaten pasuruan, Jawa Timur
222 11.
Baliwati, 2001
Analisis deskriptif, Model evaluasi ketahanan data cross section pangan rumahatangga petani.
12.
Sauqi, 2002
Regresi berganda, Faktor-faktor yang mempedata primer dan ngaruhi konsumsi dan ketasekunder hanan pangan rumahtangga.
13.
Mugniesyah et Analisis deskriptif Gender dan perilaku petani al., 2002 (PRA), data primer lahan kering dalam pembangunan pertanian berkelanjutan.
14.
Hardono, 2003
Persamaan simul-tan, Dampak perubahan faktorData Patanas faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan rumahtangga pertanian.
15.
Ariani dan Rachman, 2003
Analisis deskriptif Analisis tingkat ketahanan (tabulasi silang), pangan rumahtangga di Data Susenas Indonesia.
16.
Damanik, 2003
Analisis deskriptif Analisis faktor-faktor yang (tabulasi silang), mendorong perempuan bekerData primer ja dan tidak bekerja pada rumahtangga petani dan nelayan di Ambon.
17.
Sukwika, 2003
Persamaan simultan, Faktor-faktor yang mempepolled data ngaruhi keragaan pasar tenaga kerja dan migrasi.
18.
Ariyanto, 2004
Persamaan simultan, Alokasi waktu dan ekonomi Data primer rumahtangga pekerja pada sektor industri formal berdasarkan gender.
19.
Munaf, 2004
Analisis deskriptif Peran gender dalam (SWOT dan AHP), pengolahan dan pemasaran data primer hasil perikanan.
20.
Kusnadi, 2005
Persamaan simul- Perilaku ekonomi tan,data PATANAS rumahtangga petani dalam pasar persaingan tidak sempurna.
21.
Fausia dan Nasyiah, 2005
Analisis gender Kajian aktivitas reproduktif (SEAGA), data cross dan produktif perempuan section dalam sumberdaya alam.
223 22.
Margono, 2005
Persamaan simultan dan perhitungan total Factor pro-ductivity, data SAKERNAS dan SUSENAS
Analisis produktivitas dan ketenagakerjaan dengan menggunakan pendekatan makro dan mikro ekonomi.
23.
Adriani, 2006
Persamaan simultan Keragaan pasar kerja data SAKERNAS pertanian-non pertanian dan (pooling data) migrasi desa-kota saat krisis ekonomi.
24.
Hendratno, 2006
Model kolektif (eko- Kompromi kooperatif dan nometrika), data pri- alokasi sumberdaya intra mer dan sekunder rumahtangga petani karet di Sumatera Selatan.
25.
Prihatini, 2006
Analisis deskriptif Kaitan pendapatan ibu dan statistik, data rumahtangga dengan kesehatprimer an dan kesejahteraan keluarga.
26.
Soepriati, 2006
Persamaan simultan, Peranan produksi usahatani data Patanas dan gender dalam ekonomi rumahtangga.
27.
Asmarantaka, 2007
Persamaan simultan, Analisis perilaku ekonomi data primer & rumahtangga petani di desa sekunder pangan dan perkebunan.
28.
Baliwati, 2007
Content analysis
29.
Lisna, 2007
Persamaan simultan, Dampak kebijakan ketenagaData sekunder kerjaan terhadap pengangguran dan perekonomian.
30.
Hartomo, 2007
Analisis gender Analisis kebijakan sistem SEAGA, AHP dan usahatani berkelanjutran yang IKKG), data primer responsif gender.
31.
Sitepu, 2007
Analisis : MDS, Disain sistem pengelolaan gender, prospektif lahan kering berkelanjutan data primer berbasis gender.
32.
Soenarno, 2007
Analisis gender (GAP Kesetaraan gender dalam dan Mosher), SWOT, pembangunan perikanan AHP, data primer pantai.
Pengarusutamaan dalam kebijakan pangan.
gender ketahanan
224 33.
Setyawati, 2008
Analisis regresi, data Peran aktivitas perempuan sekunder pesisir dalam peningkatan ekonomi keluarga di Kabupaten Tangerang.
34.
Rindayati, 2009
Analisis deskripsi dan ekonometrik (persamaan simultan), data sekunder (pooled data)
Kajian terhadap dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di Jawa Barat.
Lampiran 6. Daftar Urutan Kerawanan Pangan 100 Kabupaten Prioritas I, II, dan III
225
Lanjutan Lampiran 6. Daftar Urutan Kerawanan Pangan 100 Kabupaten Prioritas I, II, dan III
226
Lanjutan Lampiran 6. Daftar Urutan Kerawanan Pangan 100 Kabupaten Prioritas I, II, dan III
227
228 Lampiran 7. Nilai Rata-Rata, Standar Deviasi, Nilai Minimum, Nilai Maksimum, dan P-Value Variabel-Variabel Penelitian menurut Desa Rawan Pangan dan Tahan Pangan
Lokasi Desa Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan
Variabel Npu Npu
Rata-Rata 5200000.00
Standar deviasi
Nilai Minimum
Nilai PMaksimum value
4860000.00
-8.00E+05
2.59E+07
15100000.00 17200000.00
1.50E+06
1.09E+08
Bun
813635.00
1800000.00
0
1.34E+07
Bun
4740000.00
5500000.00
0
3.28E+07
URT
4.69
1.56
2
9
URT
4.90
1.33
2
9
HBn
4510.80
1402.00
0
5645.2
HBn
1456.80
2251.10
0
5000
Epnutkel
348264.00
1230000.00
0
8.00E+06
Epnutkel
3730000.00
5890000.00
0
2.40E+07
Elnutkel
2620000.00
3700000.00
-1.80E+05
1.66E+07
Elnutkel
3930000.00
4590000.00
0
2.16E+07
Eplnutkel
544097.00
2780000.00
0
2.16E+07
Eplnutkel
260400.00
1330000.00
0
9.00E+06
Eo
317639.00
951682.00
0
4.80E+06
Eo
72000.00
509117.00
0
3.60E+06
4380000.00
3800000.00
-1.60E+06
1.76E+07
10400000.00 12000000.00
1.09E+06
7.59E+07
4470000.00
950000
2.52E+07
18400000.00 14100000.00
2.75E+06
9.99E+07
YUT YUT Ykel Ykel
8210000.00
PddL
7.16
3.39
0
16
PddL
9.16
3.12
3
17
0.0002
0.0001
0.3715
0.0001
0.0002
0.0732
0.3439
0.0246
0.0011
0.0001
0.0003
229 Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan
PddP
6.22
3.10
0
15
PddP
8.38
5.41
0
38
LLT
1.38
1.06
0
6
LLT
2.27
5.27
0.25
38
LMK
1.32
1.09
0
6
LMK
1.94
5.29
0
38
LMO
0.03
0.20
0
2
LMO
0.05
0.25
0
1.5
LBH
0.03
0.20
0
2
LBH
0.31
0.86
0
4.5
LS
0.00
0.00
0
0
LS
0.02
0.14
0
1
LLP
0.18
0.38
0
2
LLP
1.64
3.26
0
23
LLKb
1.16
1.06
0
6
LLKb
0.33
0.56
0
2.7
LLKs
0.06
0.25
0
2
LLKs
0.26
1.84
0
13
UPln
1263.90
5555.80
0
35000
UPln
11164.00
22400.00
0
100000
UNln
5738.10
13754.00
0
60000
UNln
5033.30
12236.00
0
50000
Uln
41.88
11.81
18
73
Uln
44.22
10.70
29
72
UMln
23.95
3.99
15
37
UMln
23.10
3.85
16
30
0.0098
0.243
0.416
0.5803
0.0277
0.3222
0.0027
0.0001
0.4431
0.0033
0.7354
0.2
0.1868
230 Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan Rawan pangan Tahan pangan
DAn
1.23
1.06
0
4
DAn
0.94
0.96
0
3
UPpn
243.06
2916.70
0
35000
UPpn
7328.60
13547.00
0
42857
UNpn
324.07
2479.70
0
25000
UNpn
700.00
3160.30
0
20000
Upn
35.76
10.00
17
62
Upn
39.40
9.61
22
65
UMpn
19.71
3.63
12
35
UMpn
19.02
4.57
12
40
Ykap
1900000.00
1220000.00
190000
7.20E+06
Ykap
3910000.00
2550000.00
343750
1.66E+07
0.0781
0.0006
0.4484
0.0259
0.3388
0.0001
231
Lampiran 8. Program Estimasi Model Logit Keputusan Perempuan untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga dengan Metode MLE, Prosedur Logistic
option ls=133 nodate nonumber; PROC IMPORT OUT= WORK.ketahanan DATAFILE= "D:\Disertasi_AIDA\Terbaru Oktober 2009\olah data.xls" DBMS=EXCEL REPLACE; SHEET="Data gabung"; GETNAMES=YES; MIXED=NO; SCANTEXT=YES; USEDATE=YES; SCANTIME=YES; data work.ketahanan1; set work.ketahanan; /* create data */ /*membuat deskripsi variabel */ label
KP PddL PddP KETp Ymis UMp DA D
= 'dummy keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga' = 'pendidikan laki-laki' = 'pendidikan perempuan' = 'dummy keterampilan perempuan' = 'dummy keluarga masuk garis kemiskinan atau tidak' = 'dummy umur perempuan saat menikah' = 'jumlah anak umur < 10 tahun di rumah' = 'dummy desa'
run; proc logistic descending data=work.ketahanan1; model KP = PddL PddP KETp Ymis UMp DA D; run;
232 Lampiran 9. Hasil Estimasi Model Logit Keputusan Perempuan untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga dengan Metode MLE, Prosedur Logistic The SAS System The LOGISTIC Procedure Model Information Data Set Response Variable Number of Response Levels Model Optimization Technique Number of Observations Read Number of Observations Used
: WORK.KETAHANAN1 : KPn :2 : Binary logit : Fisher's scoring : 194 : 194
Response Profile Ordered Value 1 2
KPn 1 0
Total Frequency 25 169
Probability modeled is KPn=1. Model Convergence Status : Convergence criterion (GCONV=1E-8) satisfied.
Model Fit Statistics Criterion
Intercept Only
Intercept and Covariates
AIC SC -2 Log L
151.079 154.347 149.079
129.000 155.143 113.000
Testing Global Null Hypothesis: BETA=0 Test
Chi-Square
DF
Pr > ChiSq
Likelihood Ratio Score Wald
36.0793 40.5169 24.7060
7 7 7
<.0001 <.0001 0.0009
233 The SAS System The LOGISTIC Procedure Analysis of Maximum Likelihood Estimates
Parameter
DF
Estimate
Standard Error
Intercept PddP PddL KETpn UMpn1 Ymis DAn D
1 1 1 1 1 1 1 1
-3.5660 0.2436 -0.2184 1.5354 0.6904 0.9686 -0.0292 1.2477
0.8226 0.1028 0.1029 0.7117 0.5216 0.6183 0.2694 0.5857
Wald Chi-Square 18.7930 5.6171 4.5046 4.6541 1.7521 2.4544 0.0117 4.5373
Pr > ChiSq <.0001 0.0178 0.0338 0.0310 0.1856 0.1172 0.9137 0.0332
Odds Ratio Estimates
Effect
Point Estimate
PddP PddL KETpn UMpn1 Ymis DAn D
1.276 0.804 4.643 1.995 2.634 0.971 3.482
95% Wald Confidence Limits 1.043 0.657 1.151 0.718 0.784 0.573 1.105
1.561 0.983 18.735 5.544 8.850 1.647 10.976
Association of Predicted Probabilities and Observed Responses Percent Concordant Percent Discordant Percent Tied Pairs
: 82.2 ; : 17.0 ; : 0.9 ; : 4225;
Somers' D Gamma Tau-a c
: 0.652 : 0.658 : 0.147 : 0.826
234
Lampiran 10. Program Estimasi Model Logit Keputusan Laki-Laki untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga dengan Metode MLE, Prosedur Logistic
option ls=133 nodate nonumber; PROC IMPORT OUT= WORK.ketahanan DATAFILE= "D:\Disertasi_AIDA\Terbaru Oktober 2009\olah data.xls" DBMS=EXCEL REPLACE; SHEET="Data gabung"; GETNAMES=YES; MIXED=NO; SCANTEXT=YES; USEDATE=YES; SCANTIME=YES; data work.ketahanan1; set work.ketahanan; /* create data */ /*membuat deskripsi variabel */ label
KL
= 'dummy keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga' Ykap = 'pendapatan per kapita' Ul = 'umur laki-laki' UMl = 'umur laki-laki saat menikah' DKKl = 'dummy kesempatan kerja laki-laki' KETl = 'dummy keterampilan laki-laki' D = 'dummy desa'
run; proc logistic descending data=work.ketahanan1; model KLn = Ykap Ul UMl DKKl KETl D; run;
235 Lampiran 11. Hasil Estimasi Model Logit Keputusan Laki-Laki untuk Bekerja diLuar Usahatani Keluarga dengan Metode MLE, Prosedur Logistic The SAS System The LOGISTIC Procedure Model Information Data Set Response Variable Number of Response Levels Model Optimization Technique Number of Observations Read Number of Observations Used
: WORK.KETAHANAN1 : Kln (keputusan laki-laki untuk bekerja) :2 : Binary logit : Fisher's scoring : 194 : 194
Response Profile Ordered Value 1 2
Total Frequency 67 127
Kln 1 0
Probability modeled is Kln=1. Model Convergence Status Convergence criterion (GCONV=1E-8) satisfied. Model Fit Statistics Criterion Intercept Only
Intercept and Covariates
AIC SC -2 Log L
130.269 153.144 116.269
252.077 255.344 250.077
Testing Global Null Hypothesis : BETA=0 Test Chi-Square DF Pr > ChiSq Likelihood Ratio Score Wald
133.8079 105.6860 34.1122
6 6 6
<.0001 <.0001 <.0001
236
Parameter
The SAS System The LOGISTIC Procedure Analysis of Maximum Likelihood Estimates Standard Wald DF Estimate Error Chi-Square Pr > ChiSq
Intercept Ykap Uln UMln DKKln KETln D
1 1 1 1 1 1 1
-5.4333 1.9604 7.6811 0.0056 -2.57E-7 1.396E-7 3.3873 0.0657 -0.0268 0.0230 1.3584 0.2438 0.0710 0.0611 1.3530 0.2447 5.5445 1.0752 26.5934 <.0001 1.0523 0.5188 4.1139 0.0425 1.7981 0.6768 7.0576 0.0079
Odds Ratio Estimates Point Effect Estimate
95% Wald Confidence Limits
Ykap Uln UMln DKKln KETln D
1.000 0.931 0.953 31.100 1.036 1.602
1.000 0.974 1.074 255.825 2.864 6.038
1.000 1.018 1.210 >999.999 7.918 22.752
Association of Predicted Probabilities and Observed Responses Percent Concordant Percent Discordant Percent Tied Pairs
: 92.9 ; Somers' D : 0.860 : 7.0 ; Gamma : 0.860 : 0.1 ; Tau-a : 0.391 : 8509 ; c : 0.930
237
Lampiran 12. Program Estimasi Model Logit Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani dengan Metode MLE, Prosedur Logistic
option ls=133 nodate nonumber; PROC IMPORT OUT= WORK.ketahanan DATAFILE= "D:\Disertasi_AIDA\Terbaru Oktober 2009\olah data.xls" DBMS=EXCEL REPLACE; SHEET="Data gabung"; GETNAMES=YES; MIXED=NO; SCANTEXT=YES; USEDATE=YES; SCANTIME=YES; data work.ketahanan1; set work.ketahanan; /* create data */ /*membuat deskripsi variabel */ label
KTP = 'ketahanan pangan rumahtangga petani' PddL = 'pendidikan laki-laki' PddP = 'pendidikan perempuan' URT = 'ukuran rumahtangga' Elnutkel = 'pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga' Epnutkel = 'pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga' Eplnutkel = 'pendapatan bersama gender dari luar usahatani keluarga' YUT = 'pendapatan usahatani keluarga' D = 'dummy desa'
run; proc logistic descending data=work.ketahanan1; model KTP = PddL PddP URT Elnutkel Epnutkel Eplnutkel YUT D; run;
238 Lampiran 13. Hasil Estimasi Model Logit Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani dengan Metode MLE, Prosedur Logistic The SAS System The LOGISTIC Procedure Model Information Data Set Response Variable Number of Response Levels Model Optimization Technique Number of Observations Read Number of Observations Used
: WORK.KETAHANAN1 : KTPn (ketahanan pangan RT) :2 : Binary logit : Fisher's scoring : 194 : 194
Response Profile Ordered Value 1 2
KPn 1 0
Total Frequency 112 82
Probability modeled is KTPn=1. Model Convergence Status : Convergence criterion (GCONV=1E-8) satisfied. Model Fit Statistics Criterion AIC SC -2 Log L
Intercept Only 266.283 269.551 264.283
Intercept and Covariates 133.789 163.199 115.789
Testing Global Null Hypothesis: BETA=0 Test
Chi-Square
DF
Likelihood Ratio Score Wald
148.4947 69.3391 44.7376
8 8 8
Pr > ChiSq <.0001 <.0001 <.0001
239 The SAS System The LOGISTIC Procedure Analysis of Maximum Likelihood Estimates
Parameter ChiSq
DF
Estimate
Standard Error
Intercept PddL PddP URT Elnutkel Epnutkel Eplnutkel YUT D
1 1 1 1 1 1 1 1 1
-3.3923 0.1094 -0.00232 -0.5131 4.932E-7 6.792E-7 7.33E-7 7.286E-7 0.9179
0.9893 0.0839 0.0940 0.1761 9.885E-8 2.113E-7 2.396E-7 1.265E-7 0.8768
Wald Chi-Square
Pr > ChiSq
11.7581 1.6998 0.0006 8.4930 24.8884 10.3370 9.3582 33.1556 1.0959
Odds Ratio Estimates
Effect
Point Estimate
PddL PddP URT Elnutkel Epnutkel Eplnutkel YUT D
1.116 0.998 0.599 1.000 1.000 1.000 1.000 2.504
95% Wald Confidence Limits 0.946 0.830 0.424 1.000 1.000 1.000 1.000 0.449
1.315 1.200 0.845 1.000 1.000 1.000 1.000 13.963
Association of Predicted Probabilities and Observed Responses Percent Concordant Percent Discordant Percent Tied Pairs
: 94.0 ; Somers' D : 5.9 ; Gamma : 0.1 ; Tau-a : 9184 ; c
: 0.881 : 0.882 : 0.432 : 0.941
0.0006 0.1923 0.9803 0.0036 <.0001 0.0013 0.0022 <.0001 0.2952
vii