MEPOKOASO DALAM SISTEM BERLADANG DI DESA EEWA, KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA MEPOKOASO IN FARMING SYSTEM AT EEWA VILLAGE, SOUTH KONAWE DISTRICT, PROVINCE OF SOUTHEAST SULAWESI Faisal Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Diterima: 24 Februari 2014; Direvisi: 27 Maret 2014; Disetujui: 12 Mei 2014
ABSTRACT This study aims to describe the principle of mepokoaso in farming system and cultural values underlie the implementation of mepokoaso in farming communities in Eewa Village, South Konawe Regency, Southeast Sulawesi. This is a descriptive qualitative study by using the techniques of data collection through interviews, observation, and literature. The results show that almost all of the activities in the farming system in the village (ranging from clearing land, planting the seeds, and harvesting) is done by the principle of mepokoaso. This principle is reciprocity mutual to help each other between the cultivators, especially relatives who have a relation RIIULHQGVKLSSURIHVVLRQDQGQHLJKERUV7KHPRGHUQLQÀXHQFHRIVRFLDOFXOWXUDOOLIHRI(HZDVRFLHW\GRHVQRW change the quality and the intensity of the principle of mepokoaso. The implementation of mepokoaso is based on the cultural values, that is the value of mendulu (united each others), metelalo-alo (mind cultivated each others), samaturu (mutually participate in togetherness of labor), membeka pona-ponalako (appreciated each others), and mombekamei-meirisako (loved each others). Keywords: Mepokoaso, farming, cultural values ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan prinsip mepokoaso dalam sistem berladang dan nilai budaya yang mendasari pelaksanaan mepokoaso tersebut pada masyarakat peladang di Desa Eewa, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi tenggara. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara, pengamatan, dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa hampir seluruh kegiatan dalam sistem berladang di desa tersebut (mulai dari membuka lahan, menanam bibit hingga panen) dilakukan dengan prinsip mepokoaso. Prinsip ini merupakan resiprositas tolong-menolong antarsesama peladang, terutama yang memiliki hubungan kerabat, persahabatan, profesi, dan tetangga. Pengaruh modernitas terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Eewa tidak menggeser kualitas dan intensitas pelaksanaan prinsip mepokoaso. Pelaksanaan mepokoaso didasari oleh nilai budaya, yaitu nilai mendulu (saling bersatu), metelalo-alo (saling menanam budi), samaturu (saling berpartisipasi dalam usaha kepentingan bersama), membeka pona-ponalako (saling menghargai), dan mombekamei-meirisako (saling mengasihi). Kata kunci: Mepokoaso, berladang, nilai budaya
PENDAHULUAN Masyarakat pedesaan memiliki ciri khas dan karakter yang ditunjukkan pada nilai solidaritas antarsesama warganya. Menurut Koentjaraningrat (1992:171) nilai solidaritas tersebut merupakan penggerak dalam masyarakat pedesaan. Aplikasi nilai solidaritas tidak lahir secara spontanitas untuk berbakti kepada sesamanya, tetapi pada
prinsipnya mereka terdorong oleh perasaan saling butuh-membutuhkan. Hal senada dipaparkan oleh Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1992:172), bahwa sistem tukar menukar kewajiban dan benda dalam banyak kehidupan masyarakat, baik penukaran tenaga dan benda dalam lapangan produksi dan ekonomi, baik sistem 17
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 17—30 penukaran kewajiban pada waktu upacara-upacara keagamaan, merupakan daya pengikat dan daya gerak dari masyarakat. Sistem menyumbang untuk menimbulkan kewajiban membalas itu merupakan suatu prinsip kehidupan masyarakat pedesaan, yang disebutnya sebagai principle of reciprocity. Menurut Polanyi (dalam Sairin, dkk., 2002:42) yang mendasari prinsip resiprositas adalah kebutuhan untuk memenuhi aktivitas sosial dan kebutuhan ekonomi. Demikian pula Scott (1983:255) menyatakan, bahwa perinsip moral tentang resiprositas merembesi kehidupan petani dan kehidupan sosial pada umumnya. Prinsip itu berdasarkan gagasan yang sederhana, bahwa orang harus membantu mereka yang pernah membantunya atau setidak-tidaknya jangan merugikannya. Lebih khusus lagi, prinsip itu mengandung arti bahwa satu hadiah atau jasa yang diterima, menciptakan bagi si penerima satu kewajiban timbal-balik untuk membalas dengan hadiah atau jasa dengan nilai setidak-tidaknya sebanding di kemudian hari. Sejalan dengan perkembangan zaman, berbagai kehidupan sosial budaya termasuk resiprositas mengalami pergeseran atau perubahan. Semakin besar dinamika suatu masyarakat, semakin besar pula perubahan itu terjadi. Penerapan teknologi baru, baik yang diciptakan dan diproduksi sendiri oleh warga masyarakat maupun yang bersumber dari luar atas persebaran unsur-unsur budaya tersebut, akan berdampak terhadap timbulnya perubahan sosial budaya dalam masyarakat itu sendiri. Selain itu, perubahan sosial budaya dalam masyarakat dapat pula ditimbulkan oleh adanya pengaruh dari globalisasi ekonomi, seperti munculnya sistem ekonomi pasar yang menginginkan adanya peningkatan surplus produksi untuk dijual di pasar. Kehadiran teknologi baru utamanya mekanisasi pertanian seperti traktor, menggeser bahkan melenyapkan teknologi tradisional, yaitu bajak. Akibatnya, sistem gotong-royong atau tolong-menolong dalam membajak sawah tidak lagi dilakukan. Pengadaan atau pemilikan suatu traktor membutuhkan dana yang cukup besar, sehingga siapa pun yang membutuhkan tidak dipinjamkan secara gratis, melainkan diperhitungkan dengan nilai ekonomi yaitu dengan sistem sewa. Hal seperti itu juga terjadi 18
pada masyarakat tani lainnya di daerah lain, seperti di Sidrap. Menurut penuturan Bahri (1998:15) bahwa penerapan teknologi baru (mekanisasi) dapat membuka lapangan pekerjaan baru seperti pemilikan traktor, dompeng, dros, karena hal itu dapat dipersewakan kepada petani lain. Adanya sistem sewa dalam penerapan teknologi, mengakibatkan pula munculnya sikap dan perilaku yang mengkondisikan segala keterlibatan dan pengabdiannya di dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang lain senantiasa beriorentasi pada nilai ekonomi. Berbagai aktivitas yang dulunya dapat dikerjakan dengan gotong-royong atau tolong-menolong terutama pada kegiatan menanam padi dengan prinsip resiprositas, tidak ditemukan lagi. Tolong menolong dengan perinsip resiprositas tergeser dan digantikan oleh sistem pengupahan. Sejalan dengan munculnya sistem sewa traktor dan sistem upah dalam berbagai aktivitas pertanian, ditambah lagi pengadaan pupuk dan pektisida, mengakibatkan jumlah biaya produksi setiap petani semakin membengkak. Oleh karena itu, petani yang bermodal kecil akan berusaha mencari dan menambah penghasilan lain di luar dari pekerjaan pokoknya. Salah satu usaha yang tidah membutuhkan modal besar, bahkan tanpa modal pun bisa jadi adalah menjual jasa kepada sesama petani yang membutuhkan. Penjualan jasa biasanya dilakukan pada berbagai aktivitas, seperti kegiatan penanaman, kegiatan penyiangan, kegiatan pada saat panen, dan sebagainya. Hampir semua tahap kegiatan produksi dalam proses pertanian tidak luput dari sistem upah atau sewa. Membengkaknya biaya produksi dalam kegiatan pertanian, mengakibatkan pula petani PHODNXNDQ H¿VLHQVL WHUKDGDS EHUEDJDL NHJLDWDQ yang kurang produktif atau yang bernuansa pemborosan. Dengan demikian, memberi pula pengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku masyarakat. Banyak kegiatan upacara tradisional yang dulunya dilakukan secara meriah dengan menghadirkan segenap tetangga dan anggota kerabat, kini kegiatannya dilakukan secara sederhana khusus dalam lingkungan keluarga sendiri, bahkan ada upacara yang pelaksanaannya ditiadakan karena perhitungan biaya, tenaga dan waktu. Sebaliknya pada kegiatan yang produktif, petani akan berusaha memaksimalkan pengeluaran
Mepokoaso dalam Sistem Berladang... Faisal
biaya, tenaga, dan waktu, bilamana kegiatan tersebut dianggap dapat memberikan hasil dan keuntungan yang maksimal. Hal ini menunjukkan, bahwa kegiatan ekonomi petani telah menganut sistem ekonomi pasar. Faisal, dkk., (1993:120) menyatakan bahwa petani di Desa Leworeng berusaha meningkatkan surplus produktivitasnya untuk dijual di pasar. Untuk mencapai hal itu, VHJDOD XSD\D GLODNXNDQ PHODOXL HNVWHQVL¿NDVL pertanian, yaitu penggunaan teknologi baru, bibit unggul, pupuk, irigasi, pestisida dan herbisida. Konsekuensinya, segala aktivitas gotong royong yang sebelumnya dilakukan dengan prinsip resiprositas, kini sudah diperhitungkan dengan uang. Namun demikian Masgaba (2013:229) menyatakan, bahwa usaha-usaha yang dilakukan ROHKSHWDQLXQWXNPHQLQJNDWNDQSURGXNWL¿WDVQ\D sangat ditentukan oleh tingkat pengetahuan dan pendidikannya, serta pola-pola hubungannya dengan petani lain. Munculnya sistem ekonomi pasar yang memengaruhi kegiatan petani dalam mengejar tingkat produktivitas yang maksimal, menyebabkan berbagai nilai-nilai dalam kehidupan sosial budaya turut mengalami perubahan. Perubahan nilai-nilai itu dapat ditelusuri dan diungkapkan melalui orientasi nilai dalam hubungannya dengan hakikat manusia terhadap hidupnya, karyanya, waktunya, lingkungan alamnya, dan sesama manusia (Faisal, 2013:45). Besarnya pengaruh modernitas terhadap perubahan dalam kehidupan masyarakat, baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan memberi makna bahwa tidak ada satu pun masyarakat yang statis. Namun demikian tidak semua masyarakat mengalami perubahan yang drastis menyentuh seluruh aspek kehidupannya. Misalnya, masyarakat Desa Eewa di Kabupaten Konawe Selatan masih mewujudkan sistem mepokoaso dalam berladang, walaupun mereka juga mengalami penetrasi budaya dari luar. Mepokoaso merupakan sistem tolong menolong dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat terutama dalam berladang, mulai dari kegiatan membuka lahan perladangan, penanaman bibit, hingga kegiatan panen. Perwujudan mepokoaso dalam era modernitas menunjukkan bahwa nilai solidaritas dalam kehidupan masyarakat Eewa masih kuat. Perladangan sering diartikan negatif karena
terkait dengan pengrusakan hutan. Spate (dalam Geertz, 1983:25) menyatakan, bahwa perladangan sering kali diiringi dengan penggundulan dan erosi tanah yang serius. Hal senada dinyatakan oleh Direktur Penghijauan dan Pengendalian Perladangan, bahwa makin meluasnya lahan kritis di Indonesia, sebagian besar sebagai akibat ulah peladang berpindah yang berjumlah lebih dari satu juta kepala keluarga. Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai program kegiatan, seperti pemukiman kembali (resettlement) dan pola nonresettlement. Namun, program kegiatan tersebut dinilai tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Oleh karena penduduk yang telah dimukimkan, meninggalkan pemukimannya dan kembali memperaktekkan perladangan berpindah. Hal tersebut disebabkan karena hutan sangat kuat keterkaitannya dengan sosio kultural dan sosio religius masyarakat peladang. Hutan tidak dipandang sekedar sebagai sumberdaya ekonomi, tetapi merupakan sebuah kosmos yang di dalamnya terdapat interaksi antara dimensi alam profan, alam gaib dan alam religi. Dengan kata lain, hutan adalah kawasan yang menjanjikan mereka peluang untuk melakukan aktivitas perladangan. Sebuah aktivitas yang sekaligus menjadi nafas kehidupan dan aktivitas perladangan itu sendiri terkait dengan dimensi alam magis dan religi. Bagi mereka fungsi hutan demikian penting, sehingga berupaya menciptakan sistem nilai yang menunjang keharmonisan dan keselarasan interasi manusia dengan alam (Sani, 1999:2). Kesadaran akan posisi peladang terhadap makrokosmos dan pentingnya fungsi hutan bagi peladang, menyebabkan masyarakat Eewa memiliki cara-cara tersendiri untuk menanggulangi masalah-masalah dalam kegiatan berladang. Caracara yang mereka lakukan adalah suatu kearifan lokal, agar seluruh warga masyarakat dapat memperoleh akses untuk mendapatkan bantuan secara timbal balik dari sesamanya. Cara-cara tersebut lahir dari sistem budaya mereka, yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Sistem budaya tersebut ada beberapa yang menunjukkan nilai untuk memberi kehidupan dan pertolongan kepada sesama, ada nilai solidaritas, ada rasa 19
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 17—30 empati dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut bukan hanya pada tataran ideal, tetapi tampak dalam tataran empirik yang diatur dalam hukum adat setempat. Kata nilai (value) cendrung digunakan untuk menunjukkan kualitas simbolik yang ditentukan menurut sistem budaya (culturally determined) tertentu. Dalam antropologi kualitas simbolik tersebut menjadi sumber penentu nilai bagi perilaku yang dikaitkan kepada aspek-aspek budaya yang lebih bersifat normatif, seperti keyakinan, kesejarahan, kesenian, emosional dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dikatakan ‘nilai’ adalah gagasangagasan yang ditentukan oleh manusia untuk menggariskan perilaku yang tepat dan dapat diterima bersama. Karena itu nilai mengandung orientasi kepada apa yang salah dan apa yang benar, apa yang baik dan apa yang buruk; apa yang terpuji dan apa yang tercela menurut budaya yang menjadi kerangka acuannya (Hidayah, 2002:3). Relevan dengan itu, Koentjaraningrat (1990:190) membatasi pengertian nilai budaya (cultural value) sebagai konsep abstrak mengenai masalah dasar yang amat bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan warga masyarakat. Hakikat pengertian nilai budaya tersebut menyangkut kompleks idea-idea, gagasan dan pandanganpandangan yang sifatnya abstrak, lokasinya berada dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan hidup. Tang (2002:3) menyebutkan bahwa nilai budaya sangat penting artinya dalam kehidupan masyarakat, yaitu suatu konsep yang mengacu kepada “keadaan yang diinginkan” (desirable) atau “tidak diinginkan” (undesirable) yang menjadi pedoman bagi kelakuan perorangan ataupun kelompok dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, nilai budaya merupakan dasar untuk mendorong terwujudnya sistem mepokoaso. Dengan latar seperti itu, saya ingin mengungkapkan dan mendeskripsikan suatu kehidupan masyarakat peladang yang dapat mengatasi maslah-masalah yang dihadapinya dalam kegiatan berladang melalui sistem mepokoaso. Berdasarkan latar terebut di atas, masalah dalam artikel ini akan difokuskan pada: (1) 20
Mepokoaso dalam sistem berladang pada masyarakat Eewa, dan (2) nilai budaya yang mendasari mepokoaso dalam sistem berladang pada masyarakat Eewa. Dalam artikel ini saya ingin mendeskripsikan perwujudan mepokoaso dalam sistem berladang, dan nilai budaya yang mendasari mepokoaso tersebut dalam masyarakat Eewa. METODE Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, yang difokuskan untuk mengkaji aspek sosial budaya masyarakat Eewa dalam kegiatan ekonomi berladang. Untuk mengungkapkan hal tersebut pembahasan diarahkan pada dua hal, yaitu mepokoaso dalam sistem berladang dan nilai budaya yang mendasari mepokoaso. Data tersebut penulis kumpulkan melalui teknik wawancara, observasi dan studi pustaka. Untuk mengumpulkan data primer dipilih informan secara purposif berdasarkan kebutuhan penelitian. Informan tersebut bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status dan pendidikan, yakni masyarakat peladang di Desa Eewa. Selain itu, Kepala Desa Eewa ditetapkan sebagai informan kunci karena dianggap mampu memberikan petunjuk dan informasi lengkap tentang data yang dibutuhkan. Dalam wawancara ditentukan topik tentang sistem berladang, khususnya menyangkut pemilihan lahan, membuka lahan, menanam bibit hingga panen. Topik lain yang diangkat dalam wawancara adalah pelaksanaan prinsip mepokoaso dalam sistem berladang, serta nilai budaya yang mendasari pelaksanaan mepokoaso tersebut. Sedangkan observasi dilakukan pada setiap tahap kegiatan dalam sistem berladang, mulai pada saat membabat hutan, membuat pagar mengelilingi ladang, membersihkan lahan perladangan, menanam bibit jagung atau padi, menyiangi tanaman dan pada saat panen. Semua data yang terkumpul melalui wawancara dan observasi didiskusikan dengan kelomokkelompok informan (focus group discussion) yang telah dibentuk sebelumnya bedasarkan topik-topik yang dibahas dalam diskusi tersebut. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari hasil wawancara, pengamatan, dan studi pustaka. Setelah data
Mepokoaso dalam Sistem Berladang... Faisal
tersebut dikaji dan ditelaah, dilanjutkan dengan membuat reduksi data dengan jalan membuat abstarksi berupa rangkuman dan pernyataanpernyataan. Langkah selanjutnya adalah menyusun dalam satuan-satuan dan sekaligus membuat kategorisasi. Tahap akhir analisis data dilakukan pemeriksaan ulang terhadap validitas dan hasil interpretasi data untuk memperoses hasil yang ada menjadi sebuah simpulan. PEMBAHASAN Gambaran Umum Desa Eewa /HWDNJHRJUD¿V'HVD(HZDEHUDGDGLMDOXU poros antara Kota Kendari dengan ibu Kota Konawe Selatan, yaitu berjarak sekitar 35 km dari Kota Konawe Selatan atau sekitar 7 km dari ibu Kota Kecamatan Pallangga. Batas wilayah desa ini diapit oleh beberapa desa, yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Desa Aosole, di sebelah timur berbatasan dengan Desa Onembute, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Amondo, sebelah barat berbatasan dengan Desa Watumerembe. Desa Eewa memiliki luas wilayah 378 ha, terbagi atas empat dusun, yaitu Dusun Satu, Dusun Dua, Dusun Tiga dan Dusun Empat. Luas wilayah tersebut sebagian besar merupakan tanah berbukit yang digunakan sebagai areal perladangan penduduk dan perkebunan jati milik pemerintah. Sebagian pula digunakan sebagai permukiman penduduk, yang umumnya berada di sisi kiri dan kanan jalanan kabupaten maupun jalanan desa. Areal perladangan penduduk terletak di sebelah utara permukiman penduduk, sedangkan perkebunan jati milik pemerintah berada di sebelah selatan permukiman penduduk. Sungai Eewa yang merupakan sumber mata air digunakan sebagai air bersih untuk mandi, mencuci dan kebutuhan rumah tungga, terletak di sebelah selatan pemukiman penduduk terbentang dari barat ke timur. Sungai ini tidak dapat dijadikan sumber irigasi, karena posisinya berada di kaki bukit, jauh lebih rendah dibanding areal perkebunan penduduk yang letaknya di bukit atau di lereng-lereng bukit. Konsekuensinya, di desa ini tidak ada areal persawahan. Kondisi topografi areal perladangan di Desa Eewa umumnya berbentuk perbukitan dengan ketinggian mencapai 300-500 meter di
atas permukaan laut. Areal perbukitan tersebut ada yang sambung-menyambung, dan ada yang diselang selingi lereng-lereng atau lembah yang relatif dangkal cocok untuk areal perladangan. Permukaan tanah bergelombang dan berwarna kemerah-merahan yang merupakan kompleks tanah yang subur. Areal perladangan berada di pinggir jalan desa atau jalan setapak, sehingga memungkinkan setiap areal perlandangan dapat dijangkau walaupun ada yang relatif jauh dari pemukiman penduduk. Sebagaimana halnya dengan desa-desa lain di Sulawesi Tenggara, Desa Eewa juga beriklim tropis yang dipengaruhi oleh dua musim selama setahun, yaitu musim timur (kemarau) dan musim barat (penghujan). Musim timur berlangsung pada bulan Mei hingga November. Sedangkan musim barat berlangsung pada bulan Desember hingga April tahun berikutnya. Pada musim kemarau, petani mempersiapkan lahan perladangan dengan membuka hutan atau semak belukar atas tanah leluhurnya atau warisan dari leluhurnya (bukan hutan negara atau hutan lindung). Setelah memasuki musim penghujan, lahan tersebut ditanami jagung, padi dan sayur-mayur. Kegiatan bercocok tanam di ladang hanya dilakukan sekali dalam setahun, yaitu pada musim penghujan. Penduduk Desa Eewa termasuk etnik Tolaki. Di Sulawesi Tenggara, etnik Tolaki mendiami beberapa daerah, seperti Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka, dan Kota Kendari. Orang Tolaki yang tinggal di Kabupaten Kolaka lazim disebut To Mengkongga karena wilayahnya bekas Kerajaan Mengkongga. Sedangkan orang Tolaki yang mendiami Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, dan Kota Kendari disebut To Konawe karena wilayahynya adalah bekas Kerajaan Konawe (Lakebo, dkk., 1978/1979:18). Berdasarkan registrasi penduduk tahun 2012, jumlah penduduk Desa Eewa sebanyak 626 jiwa, terdiri atas 288 laki-laki dan 338 perempuan. Penduduk tersebut berada dalam 123 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk tersebut, terdapat di antaranya 9 orang yang berasal dari Bugis, yaitu sembilan laki-laki dan satu perempuan. Penduduk asal Bugis tersebut sudah lama berdiam di desa ini, mereka telah kawin-mawin dengan penduduk lokal, bahkan sudah ada yang mempunyai cucu. Anak dan cucu 21
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 17—30 mereka lahir dan besar di desa ini, sehingga sudah dianggap juga penduduk lokal. Sementara orang tua mereka yang berasal dari Bugis juga sudah fasi berbahasa Tolaki dan turut terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan masyarakat, termasuk dalam kegiatan mepokoaso dalam bercocok tanam di ladang. Sedikitnya jumlah penduduk pendatang di desa ini membuat kehidupan ekonomi relatif stagnan. Sangat berbeda pada masyarakat Moi yang sangat terpencil di Kabupaten Sorong ternyata telah mengalami perubahan sistem ekonomi akibat pengaruh transmigrasi. Menurut Purwana (2013:192) kehadiran ribuan penduduk transmigrasi di daerah Sorong menjadi ageng perubahan orientasi sistem perekonomian di daerah tersebut. Mata pencaharian penduduk Desa Eewa pada umumnya hidup sebagai peladang, yakni 103 orang. Pekerjaan sebagai petani ladang sangat bergantung pada musim, yakni musim penghujan. Hasil produksi kegiatan berladang hanya sekedar untuk mencukupi kehidupan seharihari. Oleh karena itu, ada pula beberapa petani yang memiliki perkebunan, seperti jambu mete, coklat, merica, dan lainnya walaupun masih dalam skala kecil. Tampaknya komoditas perkebunan ini tidak diusahakan secara maksimal petani, karena pertumbuhannya kurang maksimal, banyak serangan hama, sehingga kurang produktif. Sebagian pula petani melakukan pekerjaan sambilan seperti bertukang, buru bangunan dan sebagainya. Selain petani, penduduk Eewa juga ada yang berprofesi sebagai pedagang atau wiraswasta. Penduduk yang berprofesi pedagang jumlahnya 20 orang, yang kebanyakan dikerjakan oleh orang pendatang (Bugis). Pedagang tersebut umumnya menjajakan barang kebutuhan pokok sehari-hari. Mereka menjajakan barang dagangannya di kios-kios di rumahnya masingmasing atau menjajakan barang dagangannya di pasar-pasar yang ada di desa lain, karena di Eewa tidak ada pasar. Bahkan, para pedagang menjajakan barang dagangannya hingga ke pasarpasar di luar Kecamatan Pallangga, seperti di Pu’unggaluku dan Tinanggea. Sebagian penduduk ada juga yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau guru sebanyak 11 orang, 2 orang polisi dan satu tentara.
22
Mepokoaso dalam Sistem Berladang Lokasi peladangan penduduk terletak di bagian utara Desa Eewa yang relatif jauh dari pemukiman penduduk. Areal peladangan tersebut dimiliki secara adat berupa hutan sekunder atau hutan belukar, yang sebelumnya telah digarap dan dibiarkan menjadi hutan kembali. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Uddin, Kepala Desa Eewa (wawancara, 28 Januari 2013), bahwa areal perladangan tersebut bukan merupakan hutan lindung milik negara atau milik adat, tetapi milik penduduk secara perorangan. Menurut Koentjaraningrat (1992:48), bahwa pada banyak suku bangsa yang melakukan bercocok tanam di ladang, gejala kepemilikan individu terhadap areal perladangan disebabkan karena seringkali seorang individu setelah selesai mengerjakan dan memetik hasil ladang mereka, tidak meninggalkan ladang tersebut dan masih tetap memelihara hubungan dengan ladang tersebut dengan cara menanami pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan jangka panjang. Areal perladangan merupakan suatu kawasan yang terdiri atas sejumlah bidang tanah ladang yang saling berbatasan satu sama lain. Batas yang digunakan adalah pagar kayu pada saat ladang tersebut sedang digarap, atau pohon kayu sebagai penanda bilamana ladang tersebut merupakan semak belukar. Batas-batas tersebut dipahami dan dimengerti oleh masingmasing peladang yang saling berdekatan. Untuk kelancaran pekerjaan di ladang, karena letaknya relatif jauh, maka setiap peladang membangun sebuah pondok (laika), yang letaknya di tengah kebun atau disesuaikan dengan kondisi tanah. Pondok tersebut digunakan oleh petani untuk bermalam selama masa sibuk dalam perladangan. Sebab dengan jarak yang relatif jauh dari ladang, petani akan kehilangan waktu banyak setiap hari hanya jalan pergi-pulang ke ladang. Walaupun keberadaan pondok tersebut sangat penting, tetapi sifatnya sementara, yang ketahanannya hanya bertahan sekali atau dua kali musim tanam padi. Menurut Tarimana (1985:80), bahwa rata-rata di belakang atau di samping pondok orang Tolaki dibangun lumbung padi. Di desa Eewa, sejak tahun 1990-an bangunan lumbung jarang lagi ada di kebun. Petani membawa pulang ke rumah
Mepokoaso dalam Sistem Berladang... Faisal
hasil produksi ladangnya berupa padi atau jagung PHUHND+DOLQLGLVHEDENDQNDUHQDH¿VLHQVLZDNWX petani lebih cendrung untuk melakukan pekerjaan sambilan yang menghasilkan uang dari pada mengurusi hasil panen yang disimpan di ladang. Sebab bilamana hasil panen sudah dibawa ke rumah, istri dan anggota keluarga lainnya dapat mengurusnya. Areal perladangan tersebut sebagian pula telah berubah menjadi areal perkebunan, seperti perkebunan jati, jambu mete dan kakao. Namun perkebunan tersebut kurang berkembang dan produktif, karena tidak terawat dengan baik. Salah satu faktor penyebabnya adalah tanaman kurang subur akibat sering kemarau panjang dan terserang hama. Perkebunan jambu mete dan kakao sudah ada pada pertengahan tahun 1980-an, sedangkan tanaman jati sudah dimulai tahun 1994. Tanaman jati diperkenalkan oleh Dinas Kehutanan agar ladang yang telah digarap tidak dibiarkan terlantar, tetapi dapat menjadikan ladang tersebut lebih produktif pada masa 15-20 tahun yang akan datang. Petani yang melakukan penanaman jati adalah petani yang memiliki areal ladang yang relatif luas, yakni minimal tiga hektar. Dengan pertimbangan, satu hektar ditanami jati, dua hektar dijadikan ladang dengan sistem “buka-tutup”, satu hektar dibuka untuk digarap dan satu hektar ditutup untuk dibiarkan menjadi hutan belukar. Dalam jangka waktu minimal lima tahun kemudian, kedua bentuk lahan tersebut ditukar fungsinya. Ladang yang telah digarap dibiarkan ditumbuhi semak belukar, sedangkan ladang yang sudah menjadi hutan dibuka kembali untuk digarap. Membuka lahan perladangan merupakan suatu tahap awal dalam mengolah ladang. Sebidang tanah yang biasanya berupa hutan belukar akan diolah menjadi areal perladangan terlebih dahulu membabat (monduehi) seluruh pohon yang ada, baik besar maupun kecil. Pembabatan pohon tersebut dilakukan pada musim kemarau agar cepat kering dan mudah terbakar. Kegiatan tersebut merupakan salah satu pekerjaan yang berat, sehingga perlu meminta bantuan kepada orang lain untuk melakukan mepokoaso. Seorang petani yang akan membuka lahan, terlebuh dahulu harus melakukan ritual membuka ladang untuk menolak bala agar semua
orang yang terlibat senantiasa dalam kondisi sehat ZDO¶D¿DW GDQ WHUKLQGDU GDUL PDUDK EDKD\D +DO serupa juga dilakukan pada masyarakat Moronene, sebelum penebangan hutan terlebih dahulu dilakukan mooli witu, semacam minta izin kepada mahluk halus yang menempati hutan tersebut. Minta izin dilakukan dengan persembahan siri, pinang, rokok, sarung dan pakaian agar mahluk halus sudih kiranya meninggalkan hutan tersebut dan pindah di tempat lain (Mutalib, 2013:39). Setelah pelaksanaan ritual, petani harus menandai batas-batas lahan mereka yang akan dibuka menjadi ladang. Pemberian tanda batas lahan dilakukan dengan cara memangkas pohonpohon agar tampak jelas batasnya, terutama batas ladang orang lain agar tidak menimbulkan NHVDODKSDKDPDQ \DQJ EHUDNKLU GHQJDQ NRQÀLN atau sengketa. Pemberian tanda batas tersebut memerlukan waktu beberapa hari, yang dilakukan oleh petani bersama keluarganya. Selain itu, petani juga membangun pondok di dalam lahan tersebut sebagai tempat istirahat. Bilamana hal itu sudah rampung, maka kegiatan mepokoaso sudah siap untuk dilakukan. Kesiapan untuk melakukan kegiatan mepokoaso ditandai dengan mengundang orang lain, yakni tetangga, kerabat dan sahabat untuk membantu dalam membuka lahan perladangan. Kegiatan mengundang dilakukan dengan cara pemilik lahan mendatangi rumah orang yang akan diundang dan menyampaikan secara lisan maksud dan tujuan yang akan dilakukan. Orang yang diundang adalah kepala rumah tangga, tetapi ada kalanya pula melibatkan anak laki-lakinya yang sudah remaja. Orang yang diundang jumlahnya relatif banyak, bergantung pada luasnya lahan yang dikerjakan atau beratnya pekerjaan. Ratarata jumlah orang dalam melakukan kegiatan membuka lahan, yakni 10 sampai 15 orang. Orang tersebut membawa peralatan masing-masing, seperti parang atau kapak untuk digunakan memotong atau menebang kayu. Kaum ibu kadang kala pula memanggil sesamanya kaum ibu untuk membantu mengurusi konsumsi orangorang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Ada kecendrungan bahwa yang diundang itu adalah sesama peladang. Mereka juga sebelumnya sudah saling bantu-membantu dalam berbagai kegiatan, terutama dalam pertanian. 23
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 17—30 Semua orang yang terlibat dalam kegiatan mepokoaso tersebut, adalah orang yang sengaja diundang oleh pemilik lahan. Artinya, orang yang tidak diundang walaupun memiliki hubungan dekat, pasti tidak akan hadir dalam kegiatan tersebut. Oleh karena ada perasaan malu bila seseorang tidak diundang, tetapi hadir dalam acara tersebut. Orang yang berhalangan hadir menyampaikan permohonan maaf secara lisan kepada yang melakukan kegiatan. Dalam hal ini, orang-orang yang sengaja diundang tersebut adalah mereka yang memiliki hubungan simetris di antara mereka. Menurut Polanyi (dalam Sairin, dkk., 2002:44), tanpa adanya hubungan simetris antarkelompok atau antarindividu, prinsip resiprositas cendrung tidak akan berlangsung. Hubungan simetris itu adalah hubungan sosial, yang mana masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung. Sedangkan, resiprositas di luar kegiatan ekonomi, seperti pada peristiwa penyelenggaraan pesta perkawinan, sunatan, upacara kematian dan sebagainya, pesertanya tanpa diundang pun biasanya hadir. Hal yang sama seperti yang terjadi di daerah Bugis (Sulawesi Selatan), yang mana tetangga dekat atau keluarga dekat tanpa diundang pun akan hadir dalam suatu acara, karena merasa tolaing (orang lain) jika tidak hadir. Hal ini banyak dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan bilateral yang cukup luas yang disebut assiajingeng. Setiap anggota kerabat yang terikat dalam hubungan assiajingeng mempunyai ikatan solidaritas yang cukup tinggi. Kalau ada yang berduka cita, maka semuanya akan merasakan hal yang sama. Kalau ada yang bergembira, maka semuanya akan turut bergembira (Faisal, 2013:46). Resiprositas yang berkaitan di luar kegiatan ekonomi umumnya diperankan secara aktif dan intensif bagi orangorang yang mempunyai hubungan kerabat dekat (Sairin, dkk., 2002:52). Prosesi mepokoaso dalam membuka lahan berlangsung pada pagi hingga sore hari selama beberapa hari, bahkan bermingguminggu lamanya pada musim kemarau. Orang yang membawa kapak sasarannya adalah pohon besar, sedangkan yang membawa parang adalah sasarannya pohon kecil dan cabang-cabang kayu. Sebuah pohon kayu besar biasanya 24
beberapa orang yang menebangnya dengan kapak, sedangkan pohon-pohon kecil biasanya hanya seorang saja dengan parang. Mereka yang hadir terlibat bahau-membahu membabat kayu hingga semuanya rata dengan tanah. Pohon-pohon kayu dan cabang-cabang kayu yang lurus dan berukuran besar seperti paha, betis dan lengan orang dewasa dipilah-pilah dan dipotong-potong sepanjang dua sampai tiga meter untuk disiapkan pembuatan pagar. Dalam kegiatan ini, ada beberapa orang yang memilah-milah dan memotong-motong, dan ada juga beberapa orang yang mengangkat dan memindahkan potongan-potongan kayu tersebut ke pinggir ladang. Kayu-kayu yang dipinggirkan disusun dan ditumpuk agar terpisah dengan rangting serta dedaunan kayu yang menumpuk di tengah-tengah ladang. Ada kalanya rantingranting kayu dikumpulkan oleh orang-orang yang hadir, dan dipotong-potong sepanjang satu meter untuk dibawa pulang dijadikan kayu bakar di rumah. Seluruh peserta yang hadir disiapkan makan siang, makanan ringan dan minuman teh atau kopi. Berselang beberapa minggu setelah pembabatan dan pemotongan-pemotongan kayu di lahan perladangan, dilakukanlah pembakaran (humunu) ranting-ranting dan dedaunan yang tersisa dan sudah mengering. Biasanya, sebelum dibakar, dedaunan tersebut sengaja ditaru dan ditumpuk di atas akar kayu yang besar agar ikut terbakar. Pada saat pembakaran sisa-sisa dedaunan dan ranting diupayakan tetap dijaga agar api tidak menyeberang dan membakar ladang orang lain. Setelah pembakaran, biasanya masih ada sisa-sisa ranting, dedaunan dan akar-akar kayu yang belum terbakar. Sisa-sisa tersebut tidak lagi dilakukan mepokoaso, tetapi pemilik ladang bersama keluarganya mengumpulkan dan membakarnya kembali, sehingga areal perladangan bersih dan siap untuk diolah dan ditanami bibit jagung atau padi. Areal perladangan yang sudah bersih kemudian diberi pagar (owala) keliling yang terbuat dari batang kayu atau dahan kayu yang dipasang secara melintang. Pagar keliling di areal perladangan adalah sangat penting untuk melindungi tanaman dari binatang liar, terutama babi. Demikian pula untuk melindungi tanaman dari binatang peliharaan yang digembalakan
Mepokoaso dalam Sistem Berladang... Faisal
secara lepas, seperti sapi, kuda dan kambing. Pagar juga merupakan penghalang bagi orang yang akan melakukan pencurian di ladang. Selain itu, pagar juga merupakan pembatas antara satu kebun dengan kebun lainnya, agar menghindari NRQÀLN DWDX VHQJNHWD WDQDK 'HQJDQ GHPLNLDQ pagar merupakan bingkai yang sangat penting artinya dalam sebuah ladang, sehingga harus ada. Pagar tersebut tidak dilengkapi dengan pintu, yang gunanya untuk memasuki ladang, tetapi dipasang semacam tangga, yaitu batang kayu yang dipasang miring di sisi luar dan di sisi dalam untuk dilalui memasuki atau keluar dari ladang. Di tengah kebun dibangun sebuah pondok yang gunanya sebagai tempat istirahat atau menyimpan peralatan dan hasil panen. Menurut Lemes (peladang, wawancara 7 Januari 2013), bahwa sebelum hutan dibabat untuk lahan perladangan, pemilik ladang terlebih dahulu membangun pondok sebagai tempat kaum wanita untuk mengolah dan menyiapkan konsumsi. Selain itu, pondok tersebut juga akan digunakan sebagai tempat istirahat dan tempat untuk makan bersama selama membuka ladang. Pemasangan pagar dilakukan juga dengan cara mepokoaso. seluruh undangan yang hadir pada kegiatan membuka lahan juga diundang kembali untuk mepokoaso dalam kegiatan membuat pagar. Acara membuat pagar biasanya dimulai oleh seorang dukun (parika) dengan ritual sederhana agar kegiatan membuat pagar dapat terlaksana dengan baik tanpa kurang sesuatu, termasuk semua orang yang terlibat diberi kekuatan, kesehatan dan keselamatan selama proses pembuatan pagar berlangsung. Selain itu, pelaksanaan ritual dapat mempersatukan orang-orang yang hadir dalam wujud solidaritas bersama. Menurut Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat, 1985:24), bahwa pelaksanaan ritual berfungsi untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Prosesi pembuatan pagar, pertama-tama parika memulai menancapkan tiang pagar di dekat jalur yang akan dilalui memasuki ladang. Setelah itu dilanjutkan oleh semua orang yang hadir, ada yang menancapkan tiang dan ada yang menyusun potongan-potongan kayu secara melintang dari bawa ke atas. Mereka bahu membahu bergotongroyong membuat pagar mengelilingi areal
perladangan. Tiang-tiang kayu setinggi 1,5 m ditancapkan dengan menggunakan linggis. Tiangtiang pagar ditancapkan secara berpasangan, satu tiang di bagian dalam dan satu di bagian luar dengan jarak 10 sampai 15 cm. Pasangan tiang pagar berikutnya ditancapkan sekitar dua meter jaraknya dari pasangan tiang sebelumnya, demikian seterusnya hingga mengelilingi areal ladang. Di antara pasangan tiang disusun potonganpotong kayu yang melintang ke pasangan tiang yang lain, sehingga susunan potongan kayu tidak jatuh. Dalam menyusun potongan kayu, diupayakan berukuran besar ditaru pada bagian bawah diurut hingga paling kecil di atas. Untuk menguatkan susunan potongan kayu tersebut, dibuatkan pengikat beberapa buah pada setiap pasangan tiang. Pengikat tiang biasanya terbuat dari rotan atau kulit kayu wunu (waru). Memasuki musim penghujan yang biasanya berlangsung mulai bulan Desember atau awal tahun (Januari), petani rata-rata menanami ladangnya dengan komoditas jagung (gandu) putih yang dapat dikonsumsi sebagai makanan pokok selain beras. Petani di desa ini tidak menanam jagung merah, seperti kebanyakan ditanam oleh petani di Sulawesi Selatan. Jagung merah tidak dikonsumsi oleh petani, tetapi dijual ke pasar untuk pakan ternak. Hasil prodksi jagung merah relatif tinggi, dapat mencapai 8-10 ton perhektar. Hal ini tidak dimanfaatkan oleh petani di desa ini, karena orientasi hasil produksi ladang mereka hanya untuk konsumsi sehari-hari. Dengan kata lain, sistem ekonomi mereka masih bersifat subsisten, yang mana seluruh produksi hasil pertanian mereka hanya diperuntukkan bagi konsumsi keluarga agar tetap survive. Kegiatan menanam jagung ada kalanya dilakukan dengan cara mepokoaso dan ada kalanya tidak, tergantung luas areal perladangan dan jumlah anggota keluarga yang produktif bekerja di ladang. Oleh karena jarak tanam jagung relatif renggang, yakni 2 x 2 meter, maka waktu yang digunakan oleh petani dalam menanam jagung relatif singkat. Namun demikian, bilamana areal ladang relatif cukup luas, dan jumlah anggota keluarga produktif yang dapat bekerja di ladang relatif sedikit, maka mau tidak mau mepokoaso harus dilakukan demi mengejar waktu tanam. Bilamana menanam jagung dilakukan dengan 25
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 17—30 cara mepokoaso, maka jumlah tenaga yang digunakan relatif sedikit dibanding pada saat menanam padi. Hal ini disebabakan karena jarak tanam jagung relatif renggang dibanding tanaman padi, sehingga waktu yang digunakan juga relatif singkat. Dalam satu hektar ladang dibutuhkan tenaga lima sampai 10 orang, dengan perincian lima orang motasu (menugal) dan lima orang mowuwui (memasukkan bibit ke lubang). Tenaga tersebut pada umumnya laki-laki yang motasu dan wanita yang mowuwui. Hal ini disesuaikan dengan pekerjaan yang berat dilakukan oleh laki-laki dan pekerjaan ringan oleh wanita. Mepokoaso dalam kegiatan menanam padi, jumlah tenaga yang terlibat relatif banyak. Oleh karena jarak tanaman padi relatif dekat, yakni sekitar 25 x 25 cm, maka jumlah tenaga dapat mencapai 30 orang. Jumlah tenaga tersebut lebih banyak sebagai tenaga mowuwui. Dalam kegiatan menanam bibit padi, perbandingan antara tenaga motasu dengan tenaga mowuwui, yaitu rata-rata satu berbanding tiga atau empat. Satu tenaga motasu yang kebanyakan dilakukan laki-laki dan tiga atau empat tenaga mowuwui yang kebanyakan dilakukan oleh wanita. Hal ini dimaksudkan agar proses penanaman bibit dapat lebih cepat dan seimbang, karena kegiatan motasu lebih cepat sedangkan mowuwui lebih lambat. Namun demikian tidak selamanya kegiatan mepokoaso dalam menanam bibit padi dilakukan dalam satu hari, tetapi dapat saja berlangsung beberapa hari tergantung luas areal perladangan dan jumlah tenaga yang terlibat. Bercocok tanam jagung di ladang menggunakan sistem tumpang sari dengan padi (pae) dan sayur-mayur (palola). Jagung ditanam dengan jarak relatif renggang, yaitu sekitar dua meter persegi. Hal ini dimaksudkan agar di selahnya ditanami padi atau sayur-mayur. Setelah tanaman jagung berusia sekitar satu bulan atau tingginya sekitar satu jengkal, penanaman padi di lakukan. Jarak tanaman padi antara satu dengan yang lainnya relatif padat dibanding tanaman jagung, yakni sekitar satu sampai dua jengkal. Alat yang digunakan untuk menanam padi, yatu tugal (potasu). Tugal terbuat dari kayu ulangrusa, yang strukturnya keras dan lurus, relatif banyak dijumpai di desa ini. Menurut Jumida (2012:61) kayu ulangrusa, selain strukturnya keras, juga 26
PHQJDQGXQJ PDNQD ¿ORVR¿ \DLWX NHVXEXUDQ Dengan demikian, penggunaan tugal dari kayu ulangrusa merupakan suatu pengharapan agar bibit yang ditanam dapat tumbuh subur sesuai dengan pohon ulangrusa. Untuk membuat tugal dipilih kayu sebesar tongkol jagung dengan garis menengah sekitar dua inci dengan panjang sekitar 150 cm. penggunaan tugal ini dengan cara menancapkan ke tanah, sehingga membentuk lubang untuk diisi bibit padi. Setiap lubang diisi tujuh sampai 15 bulir padi, suatu jumlah relatif banyak bila dibandingkan dengan penanaman padi di sawah, yaitu tiga sampai lima bibit. Hal ini disebabkan karena padi ladang tidak beranak, sedangkan padi sawah akan tumbuh banyak anak setelah berusia satu bulan. Varitas padi yang banyak ditanam oleh petani ladang adalah pae nggaelaru (beras biasa) dan ada pula yang menanam pae dae (beras ketan). Demikian pula jagung, kebanyakan petani menanam gandu baedai (jagung biasa) dibanding gandu nggaelaru (jagung pulut), karena gandu baedai dapat dimasak atau dimasak bersama beras untuk bahan makanan pokok. Pemeliharaan tanaman di ladang hanya menggunakan sabit (saira) untuk penyiangan, atau dengan kata lain tidak menggunakan pacul atau cangkul. Penyiangan tanaman dilakukan 2 sampai 3 kali dalam satu musim tanam. Dalam pemeliharaan tanaman, tidak dilakukan penyiraman atau pengairan walaupun tanah kering tidak ada hujan, karena sumber air agak susah. Oleh karena itu, kadang kala terjadi gagal panen bilamana musim penghujan relatif kurang atau berlangsung sangat singkat. Setelah tanaman sudah berumur tiga sampai empat minggu dilakukanlah pemupukan dengan urea, agar tanaman lebih subur. Pemupukan biasanya hanya berlangsung sekali, tetapi kadang kala dilakukan pemupukan tambahan bilamana kondisi tanaman kurang subur. Tanaman sayur-mayur, terutama bayam biasanya lebih cepat dipanen untuk dijual di pasar. Sedangkan tanaman jagung biasanya setelah 70 sampai 80 hari baru bisa dipanen, dan padi setelah berusia 90 sampai 100 hari baru dipanen. Tanaman jagung yang buahnya sudah berisi, walaupun belum tuah biasanya dijaga siang dan malam. Pada malam hari dijaga dari binatang babi, sedangkan pada siang hari dijaga
Mepokoaso dalam Sistem Berladang... Faisal
dari binatang monyet. Sedangkan tanaman padi biasanya dijaga pada siang hari dari burung pipit. Oleh karena itu, kedua tanaman tersebut membutuhkan tenaga ekstra untuk menjaganya terutama pada saat menjelang panen. Petani harus tinggal sementara waktu bermalam di ladang untuk menjaga tanaman mereka hingga panen. Setelah jagung sudah tua, yang ditandai kulit jagung sudah mulai kering, dilakukanlah pemetikan yang hasilnya dikumpul di lumbung atau di pondok yang ada di ladang. Beberapa hari kemudian, rata-rata petani mengangkutnya ke rumah dengan cara memikul (nirongo) tanpa terlebih dahulu mengupas kulitnya. Menurut Haris (petani, wawancara 7 Januari 2013), bahwa pada tahun 70-an hingga tahun 80-an pengangkutan hasil panen di ladang menggunakan kuda beban. Namun, akhir-akhir ini tidak lagi dilakukan karena jarang lagi orang memelihara kuda. Sebagai gantinya, ada petani yang menggunakan motor atau sepeda bilamana lokasi ladang mereka berada di pinggir jalan raya. Mengenai hasil panen jagung, ada juga petani yang menyimpan hasil panen mereka untuk sementara waktu di ladang sambil menunggu panen padi tiba. Hal ini dimaksudkan agar pengangkutannya nanti dapat dilakukan secara bersamaan dengan padi guna menghemat biaya dan tenaga. Berselang hanya beberapa puluh hari setelah panen jagung, padi pun juga siap dipanen. Panen padi masih menggunakan alat tradisional, yaitu sowi (ani-ani), yang umumnya dilakukan oleh wanita. Kegiatan panen juga dilakukan mepokoaso, hanya saja dalam kegiatan panen sudah mengenal sistem upah, yaitu empat keluar satu. Artinya, empat ikat padi yang dipanen akan keluar satu ikat sebagai upah. Sistem upah tersebut sudah berlangsung sejak lama. Dengan demikian, masyarakat Eewa sudah mengenal ekonomi pasar dalam berladang walaupun hanya terbatas pada kegiatan panen. Menurut Sairin, dkk., (2002:6364), bahwa dalam sejarah perkembangan ekonomi, resiprositas merupakan bentuk pertukaran yang muncul sebelum pertukaran pasar. Lambat laun resiprositas tersebut lenyap dan kehilangan fungsi-fungsinya sebagai akibat masuknya sistem ekonomi uang. Ketergantungan masyarakat terhadap uang untuk memenuhi kebutuhan hidup menyebabkan berbagai pertukaran jasa
yang berkaitan dengan kegiatan produksi diselenggarakan dengan memakai alat tukar berupa uang atau upah. Hasil panen dengan menggunakan sowi menghasilkan padi dalam bentuk ikatan, bukan gabah. Ukuran sebuah ikatan padi relatif kecil, yakni rata-rata 3 sampai 4 genggam orang dewasa. Untuk menguatkan ikatan seikat padi menggunakan kulit kayu waru (wunu), yang kulitnya relatif kuat dan tebal dan tahan lama. Setiap hektar dapat menghasilkan 2000 sampai 3000 ikat padi, tergantung dari tingkat kesuburan padi. Hasil panen tersebut belum dikeluarkan upah panen dan harga pupuk dan festisida. Setelah dikalkulasi, hasil panen tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama setahun. Sebelum padi dibawa pulang ke rumah, ratarata petani menjemur padinya di ladang selama beberapa hari. Sistem penjemuran dilakukan dengan menelungkupkan setiap ikatan di bawah sinar matahari. Setelah kering dilakukanlah pengangkutan ke rumah dengan cara seperti yang dilakukan pada saat mengangkut jagung. Di rumah disiapkan tempat di dalam rumah sebagai lumbung. Hanya ada beberapa rumah yang masih menggunakan lumbung di luar rumah berupa bangunan kecil dengan tiang satu buah. Lumbung tersebut relatif aman dari gangguan tikus. Nilai Budaya yang Mendasari Mepokoaso Ada sejumlah nilai budaya yang mendasari mepokoaso, yaitu mendulu (saling bersatu), metelalo-alo (saling menanam budi), samaturu (saling ikut serta dalam usaha kepentingan bersama), membeka pona-ponalako (saling harga-menghargai), dan mombekamei-meirisako (saling kasih mengasihi). Mendulu merupakan nilai budaya yang mendorong setiap orang Tolaki untuk senantiasa mewujudkan rasa persatuan dalam berbagai kehidupan masyarakat. Menurut Lisungan (2012:78), bahwa orang Tolaki senantiasa bersatu dalam berbagai kegiatan, terutama dalam upacara daur hidup. Nilai persatuan itu memiliki fungsi sosial sebagai pengikat tali persaudaraan bukan hanya dalam lingkungan keluarga atau kerabat, tetapi juga dalam lingkungan tetangga dan sahabat. Oleh karena itu, setiap orang apapun status dan peranannya dalam masyarakat
27
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 17—30 senantiasa merupakan bagian yang integral dalam masyarakat. Nilai budaya yang lain, adalah metelaloalo yang berarti menanam budi dengan orientasi pada tindakan berbuat baik pada sesama manusia. Dalam berbuat baik, tersirat perasaan memupuk persahabatan, rasa kasih dan ingin membantu orang lain. Menanam budi erat kaitannya dengan sifat orang Tolaki yang tahu diri dan mempertahankan harga diri. Orang yang tahu diri dan ingin mempertahankan harga dirinya akan selalu menanam budi. Semakin banyak menanam budi, semakin mulia hati dan martabatnya dihadapan orang. Dengan kata lain, semakin banyak memberi atau menolong, maka semakin tinggi budi seseorang. Sifat suka menanam budi merupakan salah satu sifat menonjol dalam kehidupan pribadi setiap orang Tolaki. Dalam kegiatan memberi atau menolong, mereka senantiasa akan melebihi pemberian atau pertolongan orang lain. Menurut Durkheim (dalam Ritzer, 2012:145), bahwa layanan-layanan ekonomi atau bantuan yang dapat ia berikan tidak begitu penting dibanding dengan efek moral yang ia hasilkan dan fungsinya untuk menciptakan perasaan solidaritas antara dua orang atau lebih. Aplikasi dari nilai metelalo-alo dapat mewujudkankan harmonisasi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam ungkapan Tolaki disebutkan: Morini mbu’u mbundi, monapa mbulundawaro, yaitu suasana laksana dinginnya pohon pisang, dan sejuk laksana sejuknya rumpun sagu. Melotoro oloho, mesuke ndaliawa, yaitu suasana hidup yang subur laksana suburnya pohon kedondong yang ditopang oleh batang kayu yang hidup (Melamba, 2013:151). Ungkapan sebagai simbol kedinginan dan kesejukan mengandung makna sebagai keharmonisan, sedangkan kesuburan mengandung makna kesejahtraan masyarakat. Samaturu juga merupakan salah satu nilai budaya yang dapat mendorong pelaksanaan mepokoaso. Samaturu merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan berbagai kegiatan yang melibatkan banyak orang. Samaturu mengandung pengertian rasa kebersamaan, bahu membahu, dan bekerja sama dalam berbagai aktivitas masyarakat, baik dalam kegiatan perladangan maupun dalam kegiatan sosial dan upacara atau ritual (Rahmad, 2013:13). Atas dasar tersebut, setiap orang akan senantiasa melibatkan 28
diri dalam setiap aktivitas sosial atau aktivitas individual dalam masyarakat. Oleh karena itu, prinsip mepokoaso dapat berlangsung sepanjang hidup seseorang dalam masyarakat, bahkan dapat diteruskan oleh anak keturunannya. Seorang petani, misalnya, sejak kecil dia mewakili atau menemani orang tuanya ikut gotong-royong dalam kegiatan membabat hutan di lahan perladangan tetangganya, kemudian ketika besar dan kawin dia menjalani hubungan kerja sama gotongroyong dengan tetangganya serta keturunan mereka. Kelak ketika dia sudah mati, kerja sama tersebut tetap diteruskan anak keturunan mereka. Menurut Sairin, dkk., (2002:47), situasi seperti itu dapat terjadi karena komunitas tempat hidup peladang tersebut merupakan perwujudan dari nilai kebersamaan. Nilai budaya membeka pona-ponalako dalam masyarakat Tolaki mengandung makna sebagai seseorang yang beradab, tahu adat sopansantun dalam masyarakat. Nilai ini biasanya ditopan oleh nilai mombekamei-meirisako, yaiu nilai kasih-mengasihi. Aplikasi dari nilai membeka pona-ponalako, adalah menghargai dan menghormati orang yang usianya lebih tua, dan mencitai dan menyayangi yang lebih muda. Hal ini terwujud dalam bersikap dan bertutur sapa, seperti bersikap ramah dan santun, serta bertutur kata yang sopan. Sikap seperti ini tampak dalam berbagai aktivitas gotong-royong dan acaraacara ritual yang dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat. Nilai tersebut juga mengandung makna kejujuran dan kedisiplinan yang senantiasa harus diwujudkan oleh setiap orang Tolaki. Misalnya, seseorang yang mengundang untuk melakukan mepokoaso atau kegiatan upacara, orang yang diundang pasti hadir dengan niat jujur dan disiplin. PENUTUP Berladang merupakan salah satu mata pencaharian pokok yang paling banyak digeluti oleh penduduk Desa Eewa. Kegiatan berladang dilakukan secara berpindah-pindah dengan sistem buka-tutup pada kawasan hutan milik mereka sendiri dari warisan leluhurnya. Sistem buka-tutup, yaitu seluruh areal hutan yang diklaim sebagai miliknya dibagi beberapa bagian. Sebagian dibuka
Mepokoaso dalam Sistem Berladang... Faisal
untuk diolah menjadi ladang dalam jangka waktu tiga sampai lima tahun. Sebagian lahan yang lain dibiarkan menjadi hutan lebat untuk meningkatkan kesuburannya. Setelah tiga sampai lima tahun, ladang yang telah diolah berkurang tingkat kesuburannya ditinggalkan oleh pemiliknya menjadi hutan belukar. Kemudian pindah ke hutan yang lain untuk dibuka menjadi lahan perladangan yang baru dan subur. Prosesi sistem berladang mulai dari membabat hutan, membuat pagar mengelilingi ladang, menanam bibit jagung dan padi, hingga panen senantiasa dilakukan dengan prinsip mepokoaso. Prinsip ini bersifat resiprositas tolong-menolong yang dilakukan antara sesama peladang untuk menghemat biaya, tenaga dan waktu. Hasil produksi perladangan hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bagi keluarga petani. Oleh karena itu, setiap peladang senantiasa mencari penghasilan tambahan, seperti bekerja sebagai tukang dan lain-lain. Jika terjadi musim pacekelik karena gagal panen, maka petani terpaksa membeli jagung atau beras di pasar untuk menutupi kebutuhan pangan sehari-hari bagi keluarganya. Prinsip mepokoaso bukan hanya mengandung makna resiprositas tolong-menolong, tetapi sebagai pendorong untuk menguatkan hubungan solidaritas kerabat, sahabat, tetangga dan sekampung. Prinsip tersebut terlaksana atas dasar nilai budaya dalam masyarakat setempat, yaitu mendulu (saling bersatu), metelalo-alo (saling menanam budi), samaturu (saling ikut serta dalam usaha kepentingan bersama), membeka pona-ponalako (saling harga-menghargai), dan mombekamei-meirisako (saling kasih mengasihi). Nilai budaya tersebut masih fungsional hingga sekarang. Oleh karena itu, nilai budaya tersebut perlu dilestarikan, dibina dan dikembangkan dalam rangka pembentukan karakter dan jati diri bangsa. DAFTAR PUSTAKA Bahri, Syamsul. 1998. Dampak Mekanisasi Pertanian Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Petani di Kelurahan Benteng Kabupaten Sidrap. Ujung Pandang: Balai Kajian Jarahnitra. Faisal. 2013. “Perubahan Nilai Solidaritas
Gotong Royong pada Kegiatan Pertanian di Galung Kabupaten Soppeng”, dalam Jurnal Walasuji, Vol.4, N0. 1, Juni 2013, hlm. 1-119. Faisal et al. 1993. Dampak Perkembangan Ekonomi Pasar Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Proyek P2NB Sulawesi Selatan. Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: IPB dan Yayasan Obor. Hidayah, Zulyani. 2002. Fungsi Keluarga dalam Menanamkan Nilai Budaya: Sebuah Panduan Konsepsional untuk Penelitian. Makalah Disampaikan pada Bimbingan Teknis Penelitian, Badang Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata: Jakarta. Jurmida. 2012. “Ritus Bombodai pada Penanaman Padi Ladang di Desa Eewa, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Konawe Selatan”. (Skripsi). Kendari: Fakultas Ilmu Sosial Unhalu. Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Dian Rakyat: Jakarta. Lakebo, Berthijn, dkk. 1978/1979. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud. Lisungan, Joni. 2012. Sistem Gotong Royong di Desa Onembute, Kabupaten Konawe, Provinsi Sultra. Makassar: De La Macca. Masgaba. 2013. “Perubahan Teknologi Tradisional Menjadi Teknologi Moderen dalam Pertanian Padi sawah di Kabupaten Gowa”, dalam Jurnal Walasuji. Vol. 4 No. 2, Hlm. 223 -232. Melamba, Basrin. 2013. Tolaki: Sejarah, Identitas dan Kebudayaan. Yogyakarta: Lukita. Mutalib, Abdul. 2013. “Tradisi Meliuha (Gotong Royong) dalam Kegiatan Pertanian pada Masyarakat Moronene di Desa Pomontoro, Kabupaten Buton”. (Skripsi). Kendari: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhalu.
29
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 17—30 Purwana, Bambang H. Suta. 2013. “Prosesi Perubahan Sosial-Ekonomi yang Memarginalkan Masyarakat Moi di Kabupaten Sorong”, dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. Vol. 8 No. 2. Hlm. 190 – 204. Rahmad, Sutor. 2013. “Perubahan Pelaksanaan Budaya Samaturu (Gotong Royong) dalam Aktivitas Bercocok Tanam Suku Tolaki di Desa Abola, Kabupaten Konawe Utara”. (Skripsi). Kendari: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhalu. Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
30
Sairin, Sjafri, dkk. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sani, M. Yamin. 1999. Dinamika Sosial Ekonomi Komunitas Peladang dan Masa Depan: Studi Kasus Penduduk Dataran Tinggi Tutallu Polmas. Makassar: Puspaintan. Scott, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Tang, Machmud. 2002. Nilai-nilai Budaya yang Mendukung Pengelolaan Sumber Daya Laut yang Berkelanjutan di Sulsel. Makalah yang dipresentasikan dalam rangka Sosialisasi Proyek Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Sulsel. Makassar 14 Januari. Tarimana, Abdurrauf. 1989. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.