Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008
POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGAN PADA RUMAHTANGGA PETANI PADI oleh
Tri Bastuti Purwantini dan Mewa Ariani
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2008
POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGAN PADA RUMAHTANGGA PETANI PADI Tri Bastuti Purwantini1 dan Mewa Ariani2 1
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten
ABSTRAK Pangan merupakan hak azasi manusia dan perbaikan pola konsumsi pangan sebagai sarana mewujudkan kualitas sumberdaya manusia. Tulisan ini mengkaji pola pengeluaran dan konsumsi pangan rumahtangga petani padi. Data yang digunakan adalah PATANAS 2007 dengan jumlah contoh sekitar 350 rumahtangga petani padi di 5 Propinsi (Jawa dan Luar Jawa). Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan tabel-tabel. Hasil analisis menunjukkan bahwa : 1) Tingkat kesejahteraan rumahtangga petani padi di Propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah lebih baik dibandingkan dengan di propinsi yang lainnya; 2) Pengeluaran pangan rumahtangga terbesar adalah pengeluaran makanan pokok, kemudian diikuti dengan pengeluaran tembakau/sirih dan pangan hewani; 3) Beras adalah pangan pokok petani padi dan bersifat tunggal, yang bersumber dari hasil sendiri, berkisar 38 – 63 % di Jawa dan 53-94 % di Luar Jawa; 4) Tingkat konsumsi energi dan protein bervariasi antar desa atau wilayah, namun pada umumnya masih dibawah angka kecukupan. Sumbangan energi terbesar dari kelompok padi-padian (44 – 69 %). Implikasinya adalah masih diperlukan upaya perbaikan pola konsumsi pangan pada rumahtangga petani padi secara terus menerus dan terarah agar pola pangannya sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan. Upaya tersebut dilakukan melalui Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dengan memanfaatkan berbagai media seperti penyuluhan, leaflet, demonstrasi dan lain-lain. Kata kunci : pola pengeluaran, konsumsi pangan, petani padi
PENDAHULUAN
Ketahanan pangan yang dibangun di Indonesia, disamping sebagai prasyarat untuk memenuhi hak azasi pangan masyarakat juga merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu bangsa (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Pembangunan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan diarahkan untuk menopang kekuatan ekonomi domestik sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup secara berkelanjutan bagi seluruh penduduk terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman dan terjangkau dari waktu ke waktu. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu (Saliem, dkk; 2002). Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin,
1
mineral dan air) menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Masalah gizi tidak terlepas dari masalah makanan karena masalah gizi timbul sebagai akibat kekurangan atau kelebihan kandungan zat gizi dalam makanan. Salah satu masalah gizi yang sering dijumpai khususnya di pedesaan adalah kurang energi protein (KEP).
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis
konsumsi pangan pada
rumahtangga petani padi di Indonesia. Aspek yang dianalisis adalah struktur pengeluaran pangan dan non pangan, tingkat partisipasi dan pola pangan pokok serta konsumsi energi dan protein.
MATERI DAN METODE
Sumber Data yang digunakan untuk menganalisis pola konsumsi rumahtangga petani padi adalah data Panel Petani Nasional (PATANAS) tahun 2007 yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Data tersebut mencakup 5 propinsi, yakni 2 propinsi luar Jawa (Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan) dan 3 propinsi Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang meliputi
14 desa
contoh. Pengumpulan data rumahtangga dilakukan melalui survey rumahtangga yang melibatkan 25 rumahtangga contoh untuk setiap desa atau total
responden 350
rumahtangga. Rumahtangga yang terpilih adalah rumahtangga petani padi baik pemilik maupun penggarap Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dalam bentuk tabel-tabel berdasarkan daerah dan kelompok pangan. Untuk mengetahui posisi perkembangan konsumsi pangan rumah tangga petani padi dibandingkan antar daerah, maka dalam analisis ini juga dibandingkan data konsumsi pangan untuk tingkat propinsi masing-masing menurut data SUSENAS 2007
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengeluaran Pangan Sebagai Indikator Kesejahteraan Secara garis besar kebutuhan rumahtangga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yaitu kebutuhan akan pangan dan bukan pangan. Dengan demikian, pada tingkat pendapatan tertentu, rumahtangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan 2
seseorang akan mencapai titik jenuh sementara kebutuhan bukan pangan, termasuk kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Dengan demikian, besaran pendapatan (yang diproksi dengan pengeluaran total) yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumahtangga dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumahtangga tersebut. Atau dengan kata lain semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan, berarti semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumahtangga tersebut semakin sejahtera. Tabel 1. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumahtangga Perdesaan, 2007 Propinsi Jatim Jateng Jabar Sumut Sulsel
Pengeluaran pangan (%) 59.61 59.16 60.80 55.56 54.61
Pengeluaran total (Rp/kap/bulan) 257157 218042 281752 225439 224046
Sumber : SUSENAS, 2007
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata kesejahteraan rumahtangga perdesaan di Jawa lebih rendah dibandingkan dengan di Luar Jawa. Pangsa pengeluaran pangan di luar Jawa sekitar 55 persen, sedangkan di Jawa sekitar 59-61 persen. Beberapa kajian menggunakan data SUSENAS antar waktu menunjukkan bahwa rataan pengeluaran pangan di kota relatif lebih rendah dibandingkan di perdesaan. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata penduduk kota lebih sejahtera dibanding di perdesaan. Adanya kesenjangan pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan yang berdampak pada tingkat kesejahteraannya. Daerah perdesaan mengalami keterbatasan pengembangan infrastruktur (fisik dan kelembagaan), disamping itu kebijakan pembangunan bias pada daerah perkotaan khususnya untuk sektor industri, perdagangan dan jasa (Sayogyo, 2002). Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan yang lebih cepat sedangkan daerah perdesaan relatif tertinggal. Ketertinggalan wilayah pedesaan juga disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas dan kualitas petani dan pertanian, terbatasnya akses petani terhadap sumberdaya permodalan, serta rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur pertanian dan perdesaan. Pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin sebesar 39.1 juta orang, dan sebagian besar (24.8 juta orang) berada di pedesaan dengan sumber matapencaharian utama di sektor pertanian terutama tanaman pangan.
3
Berdasarkan Tabel 2, terlihat tidak ada pola yang jelas antara pengeluaran total dengan pangsa pengeluaran pangan, dalam arti kedua variabel tersebut tidak selalu berbanding lurus atau berbanding terbalik. Dalam arti semakin besar pengeluaran total tidak selalu diikuti dengan semakin rendahnya pangsa pengeluaran pangan. Hal ini berbeda dengan pola yang ada dalam data SUSENAS, yaitu semakin tinggi pengeluaran total rumahtangga, pangsa pengeluaran pangan akan semakin rendah. Hanya pada rumahtangga di Propinsi Jawa Barat yang mengikuti pola SUSENAS. Di Desa Simpar, pengeluaran total paling besar yaitu Rp.360 690/kapita/ bulan dan pangsa pengeluaran pangannya juga paling kecil (49.4%) dibandingkan dengan desa lain Propinsi Jawa Barat. Kondisi ini diduga rumahtangga dalam menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi tidak selalu mengacu pada pendapatannya. Dalam arti, aspek pendapatan tidak selalu mempengaruhi dalam pola konsumsi pangan tetapi aspek lain seperti kebiasaan makan dan adanya pola hidup sederhana dalam rumahtangga. Temuan ini sangat menarik dan perlu dilakukan kajian lebih mendalam dalam kaitannya dengan aspek sosial budaya yang melekat pada masyarakat. Tabel 2. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumahtangga Petani Padi di Pedesaan Jawa dan Luar Jawa Propinsi/Desa Jawa Barat
Jawa Tengah Jawa Timur Sulsel Sumut -
Tugu Simpar Sindangsari Tambahmulyo Demangan Mojorejo Padangsari Padomasan Sungegeneng Kaligondo Carawali Salu Jambu Lidah Tanah Kwala Gunung
Pengeluaran Pangan (%) 49.7 49.4 58.2 48.2 44.5 47.8 53.0 60.5 58.5 48.3 55.2 48.6 59.2 57.3
Pengeluaran Total (Rp/kap/bulan) 332 460 360 690 220 560 235 660 275 940 265 100 167 970 241 960 225 570 210 700 282 610 203 990 393 630 234 540
Dengan memperhatikan pangsa pengeluaran pangannya, terlihat tingkat kesejahteraan rumahtangga petani padi di Propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah lebih baik dibandingkan dengan di propinsi yang lainnya. Bahkan di Desa Demangan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, tingkat kesejahteraan rumahtangga petani padi paling sejahtera
4
dibandingkan dengan di desa lain dalam propinsi yang sama. Klaten termasuk salah satu sentra produksi besar di Jawa tengah, karena lahan yang diusahakan adalah irigasi teknis, yang dapat ditanami padi tiga kali dalam satu tahun. Tabel 3 menyajikan pangsa pengeluaran pangan menurut kelompoknya. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran pangan rumahtangga terbesar digunakan untuk pengeluaran makanan pokok yang termasuk dalam kelompok padi-padian atau pangan sumber karbohidrat. Selain pangan pokok, pengeluaran pangan dominan adalah tembakau/sirih dan pangan hewani. Tampak bahwa pangsa pengeluaran pangan sumber karbohidrat berkisar antara 22.4 persen (Jabar) sampai 44.5 persen (Jatim) untuk di Jawa, sedangkan di Luar Jawa berkisar antara 17.2 persen (Sumut) sampai 44.9 persen (Sulsel). Dalam kelompok tembakau/sirih sebetulnya yang dominan adalah pengeluaran untuk pembelian rokok. Hampir semua Kepala Keluarga (KK) merokok setiap hari, bahkan sebagian besar mampu menghabiskan lebih dari satu bungkus rokok, walaupun harga rokok bervariasi dan relatif mahal Rp.4000-Rp.7000/bungkus. Kecenderungan ini tentu memprihatinkan ditinjau dari segi kesehatan, namun hasil wawancara dengan KK (petani) belum tentu semua rokok yang dibeli digunakan sendiri karena rokok juga sebagai media interkasi sosial dengan teman atau saudara. Masih rendahnya pengeluaran untuk makanan/minuman jadi menunjukkan bahwa pola pangan rumahtangga petani masih lebih sederhana dibandingkan dengan rumahtangga secara umum. Konsep mengutamakan makan makanan yang dimasak dirumah masih kuat, hal ini selain pola hidup yang sederhana juga sebagai akibat pola pekerjaan petani yang tidak terlalu komplek, sehingga masih memungkinkan mereka pulang untuk makan siang di rumah. Atau yang terlihat jelas, pola pekerjaan wanita tani juga tidak komplek seperti pola pekerja wanita terutama di perkotaan. Para ibu masih punya waktu untuk memasak di rumah untuk kebutuhan keluarganya dan masih punya waktu untuk mengantarkan makanan untuk suaminya di sawah. Di sisi lain tentu saja makanan/minuman jadi harganya lebih mahal dengan makanan yang dimasak sendiri, sehingga biasanya memilih untuk memasak sendiri daripada membeli.
5
Tabel 3. Proporsi Pengeluaran Pangan Menurut Kelompoknya Pada Rumahtangga Petani Padi di Pedesaan Jawa dan Luar Jawa (%) Jawa Barat Kelompok Pangan Sumber Karbohidrat Pangan Hewani Kacang- kacangan Sayuran Buah-buahan Minyak + Lemak Bahan Minuman Makanan/minuman Jadi Tembakau + sirih Lainnya Total
Tugu
Simpar
23.5 13.6 6.4 11.1 2.5 3.6 5.4 9.2 18.5 6.3 100.0
22.4 21.5 4.5 9.8 4.8 4.1 5.6 6.1 12.8 8.6 100.0
Sindang sari 33.3 8.2 4.0 8.2 5.1 4.0 5.7 4.7 11.2 5.9 100.0
Tambah mulyo 27.8 17.4 4.8 8.0 3.6 5.6 6.1 7.1 12.7 7.9 100.0
Jawa Tengah Mojo Dema rejo ngan 23.0 26.0 13.7 18.4 5.7 6.8 13.4 8.8 3.4 5.6 5.8 4.8 7.7 9.1 7.0 1.5 13.2 12.2 6.9 6.5 100.0 100.0
Padang sari 32.1 10.0 8.4 9.6 2.0 4.5 6.4 7.4 13.5 6.3 100.0
Pado masan 25.4 10.6 5.3 8.2 2.3 6.0 6.8 2.0 6.0 27.6 100.0
Jawa Timur Kali Sunge gondo geneng 26.0 44.5 23.6 13.7 5.1 5.1 8.3 7.8 2.3 3.9 3.7 8.0 6.5 5.1 13.2 2.9 15.5 2.9 5.9 6.1 100.0 100.0
Sulsel Carawali 19.4 19.2 3.5 13.0 2.0 4.2 6.6 6.1 18.4 7.2 100.0
Salu Jambu 44.9 17.3 2.9 8.7 5.6 2.8 6.7 3.1 1.3 5.2 100.0
Sumut Kwala Lidah Gunung Tanah 17.6 30.2 28.7 17.3 4.7 3.5 12.1 8.6 2.5 5.6 3.7 4.3 9.7 6.7 5.5 6.8 10.4 13.7 5.0 4.3 100.0 100.0
6
Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan dan Pola Pangan Pokok Tingkat partisipasi konsumsi pangan menunjukkan proporsi rumahtangga yang mengkonsumsi jenis pangan tertentu terhadap total populasi rumahtangga yang diamati. Jenis pangan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah pangan sumber karbohidrat yang sebagian besar merupakan pangan pokok, sumber protein, sumber lemak dan sumber vitamin/mineral. Keragaan tingkat partisipasi konsumsi pangan tersebut dapat disimak pada Tabel 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat partisipasi konsumsi beras di lokasi contoh hampir mencapai 100 persen. Tingkat partisipasi konsumsi beras sebagian besar mencapai 100 persen. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi beras ini terkait dengan tingkat ketersediaannya. Karena rumahtangga contoh adalah rumahtangga yang mengusahakan tanaman padi dan menjadikan beras sebagai makanan pokok utama. Berkaitan dengan definisi tersebut, pangan pokok yang dimaksud umumnya berupa pangan sumber karbohidrat yang sekaligus merupakan pangan sumber energi. Sementara, jenis pangan sumber karbohidrat lain yang sebelumnya juga menjadi pangan pokok di berbagai propinsi tergeser oleh beras, yang ditunjukkan oleh partisipasi konsumsi pangan sumber karbohidrat lainnya seperti jagung dan ubikayu relatif kecil. Dari tingkat partisipasi konsumsi pangan sumber karbohidrat tersebut, menunjukkan bahwa beras memang sudah menjadi pola pangan pokok dominan dan cenderung bersifat tunggal. Telah terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam pola pangan pokok, rumahtangga sudah jarang mengkonsumsi pangan lokal selain beras dalam pola pangan pokoknya. Dalam arti masyarakat telah meninggalkan pola pangan lokal seperti jagung, umbi-umbian dan sagu beralih ke pola pangan pokok nasional yaitu beras. Memang masih ditemukan pola pangan pokok selain beras seperti sagu di Desa Salu Jambu (Kabupaten Luwu) dan jagung di Desa Sungegeneng (Kabupaten Lamongan), namun kedua pangan ini hanya dikonsumsi dalam jumlah kecil dan lebih bersifat karena adanya ikatan emosional dengan pangan tersebut. Sehingga dari tiga kali frekuensi konsumi pangan pokok, minimal satu kali mengkonsumsi sagu atau jagung terutama pada siang hari. Sementara untuk pagi dan malam hari mengkonsumsi beras (Tabel 5). Khusus di Desa Sindangsari (Kabupaten Karawang), rumahtangga yang terbiasa mengkonsumsi beras di pagi hari atau sarapan pagi, umumnya berasal dari pembelian berupa nasi uduk.
7
Tabel 4. Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan Pada Rumahtangga Petani Padi di Jawa dan Luar Jawa (%) Kelompok Bukan Pangan
Jawa Barat Tugu
Sumber Karbohidrat Beras 96.0 Jagung 4.0 Ubikayu 26.0 Ubijalar 12.0 Mie Instan 36.0 Gula Pasir 100.0 Sumber Protein Daging Sapi 16.0 Daging ayam 64.0 Ikan 22.0 Telur 28.0 Susu 6.8 Tahu 88.0 Tempe 96.0 Sumber Lemak M. goreng 100.0 Sumber Vitamin & Mineral Bayam 56.0 Kangkung 96.0 D. singkong 36.0 Pisang 20.0 Jeruk 76.0
Jawa Tengah Mojo Demangrejo an
Padang sari
Pado masan
Jawa Timur Sungegen Kaligon do eng
Sulsel Salu Carawa Jambu li
Sumut Kwala Lidah Tanah Gunung
Simpar
Sindang sari
Tambah Mulyo
100.0 12.0 4.0 4.0 56.0 96.0
100.0 0 0 0 26.0 92.0
100.0 4.0 4.0 0 56.0 88.0
72.0 12.0 36.0 4.0 84.0 100.0
100.0 12.0 24.0 4.0 52.0 96.0
100.0 5.9 5.9 0 58.8 100.0
100.0 38.0 4.0 0 56.0 92.0
100.0 16.0 8.0 0 44.0 92.0
100.0 8.0 28.0 4.0 24.0 96.0
96.0 40.0 4.0 8.0 48.0 100.0
100.0 8.0 28.0 8.0 12.0 92.0
100.0 8.0 28.0 4.0 32.0 100.0
100.0 4.0 20.0 0 40.0 96.0
16.0 72.0 22.0 32.0 13.8 88.0 72.0
4.0 40.0 16.0 29.3 4.8 78.0 80.0
64.0 76.0 17.0 26.7 10.4 80.0 84.0
40.0 80.0 16.0 28.0 11.2 88.0 84.0
20.0 80.0 28.0 32.0 9.6 92.0 92.0
47.1 82.4 25.0 27.4 7.1 100.0 100.0
24.0 72.0 20.0 24.0 6.4 80.0 88.0
24.0 76.0 22.0 28.0 8.8 64.0 72.0
52.0 64.0 25.0 29.3 4.0 88.0 100.0
16.0 56.0 25.0 26.7 19.2 56.0 88.0
24.0 64.0 19.0 24.0 5.6 60.0 80.0
44.0 76.0 38.0 28.0 13.6 88.0 92.0
24.0 44.0 22.0 32.0 7.2 92.0 92.0
100.0
88.0
100.0
96.0
96.0
100.0
96.0
96.0
96.0
96.0
96.0
100.0
96.0
36.0 44.0 32.0 18.8 92.0
36.0 40.0 4.0 5.3 72.0
80.0 68.0 40.0 12.0 64.0
64.0 44.0 44.0 14.7 64.0
60.0 48.0 48.0 26.7 72.0
76.5 76.5 29.4 19.6 58.8
36.0 20.0 32.0 12.0 68.8
64.0 72.0 12.0 16.0 48.0
72.0 52.0 68.0 17.3 56.0
66.0 44.0 20.0 17.3 28.0
60.0 60.0 40.0 16.0 28.0
72.0 72.0 68.0 17.3 68.0
52.0 84.0 64.0 20.0 64.0
8
Pola pangan pokok berupa beras tampaknya sulit diubah walaupun rumahtangga menghadapi musim paceklik. Petani tidak akan mengganti beras sebagai pangan pokok walaupun harga beras meningkat. Persepsi ini menunjukkan bahwa apabila pemerintah menaikkan harga beras dengan tujuan agar masyarakat menurunkan konsumsi beras atau melakukan diversifikasi konsumsi pangan pokok, maka tujuan tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Kenaikan harga beras akan berdampak kecil terhadap penurunan konsumsi beras. Tabel 5.Pola Konsumsi Pangan Pokok Rumahtangga Petani Padi di Jawa dan Luar Jawa Wilayah Jabar -Subang -Karawang -Indramayu Jateng -Sragen -Cilacap -Pati -Klaten Jatim -Lamongan -Jember -Banyuwangi Sulsel -Sidrap -Luwu Sumut - Deli Serdang - Asahan
Frekuensi konsumsi Normal Paceklik
Jenis pangan pokok Normal Paceklik
3 2-3 3
3 2-3 3
Beras Beras Beras
Beras Beras Beras
3 3 3 3
3 3 3 3
Beras Beras Beras Beras
Beras Beras Beras Beras
3
3
3 3
3 3
Beras Beras +Jagung Beras Beras
Beras Beras +Jagung Beras Beras
3 3
3 3
Beras Beras Beras+Sagu
Beras Beras Beras+Sagu
3 3
3 3
Beras Beras
Beras Beras
Sejak Orde Baru, beras menjadi komoditas strategis secara politis, sehingga peranan pemerintah terhadap perkembangan produksi dan konsumsi beras sangat intensif. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan perberasan, mulai dari industri hulu sampai industri hilir. Kebijakan tersebut dilakukan secara terus menerus, termasuk diantaranya kebijakan beras untuk orang miskin yang dikenal dengan ‘raskin’ yang diberlakukan untuk semua propinsi. Dampak dari kebijakan yang bias pada komoditas beras adalah terjadinya pergeseran pola konsumsi pangan pokok masyarakat.
9
Pada masa kini peranan mi instan sangat dominan di setiap rumahtangga petani, hampir semua responden menyatakan mengkonsumsi mie instan hampir setiap hari, sehingga tingkat partisipasi konsumsi mi instant juga lebih tinggi daripada ubikayu dan jagung. Kecenderungan yang demikian, lagi-lagi juga karena kuatnya peranan pemerintah di masa lalu yang memberi subsidi besar pada insdustri pengolahan tepung terigu dan fasilitas kemudahan lainnya sehingga masyarakat dari belum kenal mie instan sampai menyenangi makanan tersebut. Selain itu juga gencarnya media massa dalam mempromosikan makanan tersebut, sehingga mi instan digemari oleh semua kalangan dan semua golongan umur, tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak. Terdapat kecenderungan frekuensi anak-anak lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa. Tingkat partisipasi konsumsi gula pasir juga hampir 100 persen. Hal ini karena hampir semua masyarakat mengkonsumsi gula pasir terutama sebagai bahan minuman seperti untuk minum kopi, teh dan susu. Selain itu juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan beranekaragam jenis kue, roti dan masakan jenis lainnya. Dari sisi ketahanan pangan, tingginya partisipasi konsumsi gula pasir kurang baik karena Indonesia merupakan net importer gula pasir, dengan rasio ketergantungan impor cukup tinggi, sekitar 42 persen. Tingkat partisipasi konsumsi tempe dan tahu lebih tinggi dibandingkan dengan pangan sumber protein hewani seperti daging atau ikan. Hal ini menunjukkan bahwa tempe dan tahu dikenal cukup luas oleh masyarakat Indonesia. Banyaknya rumahtangga mengkonsumsi tahu dan tempe adalah baik ditinjau dari segi kesehatan karena pangan ini merupakan sumber protein nabati dan termasuk makanan fungsional yang sangat berguna untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Tingginya partisipasi konsumsi tahu dan tempe tidak hanya terjadi di wilayah Jawa yang mempunyai trade mark menjadikan tahu dan tempe sebagai lauk-pauk utama dan selalu ada dalam hidangan sehari-hari, tetapi partisipasi konsumsi tahu dan tempe juga tinggi di wilayah Luar Jawa (Sulsel dan Sumut) seperti pada Tabel 4. Di antara jenis pangan sumber protein hewani, tingkat partisipasi konsumsi daging ayam paling tinggi dibandingkan dengan jenis pangan hewani yang lainnya. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa makanan pokok rumahtangga petani padi adalah beras yang dikonsumsi setiap hari. Sementara untuk jenis pangan lain baik berupa lauk-pauk terkesan makan seadanya. Jenis dan jumlah lauk-pauk sangat terbatas. Untuk pangan hewani terutama pangan asal ternak yang sering dikonsumsi adalah daging ayam dan telur, sedangkan yang jarang dikonsumsi adalah daging sapi. Pada 10
umumnya mereka mengkonsumsi daging sapi apabila ada hajatan atau pada waktu perayaan seperti Idul Fitri atau Idul Adha. Jenis ikan yang dikonsumsi memang banyak dipengaruhi oleh pola penyediaan ikan dan kebiasaan. Sebagai gambaran, petani di Kabupaten Sidrap dan Lamongan, yang wilayahnya dekat dengan laut banyak mengkonsumsi ikan laut atau ikan segar, sedangkan di Kabupaten Subang atau Karawang terbiasa mengkonsumsi ikan asin atau ikan awetan (seperti pindang) sebagai lauk-pauk utama. Sementara itu, jenis sayur mayur yang dikonsumsi juga terbatas pada sayuran yang banyak ditanam di daerah dataran rendah seperti kangkung, bayam dan kacang panjang atau sayur asem terutama di wilayah Jawa Barat. Jarang sekali rumahtangga mengkonsumsi sayur sop-sop-an yang terdiri dari kubis, wortel, selederi dan lain-lain. Tingkat partisipasi konsumsi sayuran yang paling tinggi adalah bayam dan kangkung, sementara untuk buah-buahan adalah jeruk (Tabel 4.). Jeruk banyak dikonsumsi oleh rumahtangga, karena memang jeruk banyak tersedia di pasaran dalam ukuran yang beragam dan harga yang beragam pula. Pada umumnya jeruk yang dikonsumsi adalah jeruk yang ukurannya kecil dengan harga sebesar Rp.2000-Rp.4000 per kilogram. Jenis buah-buahan yang dikonsumsi tergantung dari apa yang dihasilkan oleh petani terutama dari lahan pekarangannya dan tentu saja bersifat musiman. Sebagai produsen padi, pada umumnya rumahtangga contoh mengkonsumsi beras berasal dari hasil sendiri, namun demikian proporsi jumlah beras yang berasal dari dari hasil sendiri bervariasi antar lokasi yakni berkisar 38 – 63 persen di Jawa, proporsi tersebut lebih rendah dibanding dil Luar Jawa yang mencapai 53-94 persen (Tabel 6 dan 7). Perbedaan tersebut antara lain karena di luar Jawa rataan pengusaan lahan sawah relatif lebih besar, selain itu pola panen tebasan yang banyak ditemukan di Jawa menyebabkan petani menerima hasil dalam bentuk uang, sehingga tidak ada gabah yang dibawa ke rumah. Sementara itu pada sebagian rumahtangga menyisihkan sebagian lahan untuk dipanen sendiri sebagai cadangan kebutuhan konsumsi sendiri, kasus di Desa Simpar, Kabupaten Subang dimana sebagian besar petani menanam jenis padi ketan, sehingga untuk kebutuhan konsumsi biasanya petani membeli gabah atau menukar sebagian hasil panen ketan tersebut dengan gabah (beras). Selain hasil sendiri rumahtangga memperoleh beras dari membeli baik melalui raskin atau di pasar, hanya sebagian kecil terutama di Jawa yang memperoleh dari pemberian atau lainnya, sedangkan di Luar Jawa tidak ditemukan. 11
Tabel 6. Pola Pengadaan Pangan Pokok (Beras) Rumahtangga Petani Padi di Jawa (%) Jawa Barat Asal perolehan -Produksi sendiri -Membeli raskin -Membeli di pasar -Pemberian/ Lainnya
Tambah Mulyo 38.3
Jawa Tengah Mojo Dema rejo ngan 63.2 63.3
Padang sari 38.2
Pado masan 41.9
Jawa Timur Sunge geneng 62.5
Kali gondo 50.0
59.6
48.6
Sindang sari 43.8
28.6
28.6
31.3
27.7
15.8
3.3
20.6
9.7
17.5
2.8
4.4
20.0
20.8
19.2
21.1
26.7
23.5
41.9
12.5
41.7
0
2.7
4.2
14.9
0.0
6.7
17.7
6.5
7.5
5. 6
Tugu
Simpar
Tabel 7. Pola Pengadaan Pangan Pokok (Beras) Rumahtangga Petani Padi di Luar Jawa (%) Asal perolehan -Produksi sendiri -Membeli raskin -Membeli di pasar -Pemberian/ Lainnya
Sulawesi Selatan Carawali Salujambu 94.4 5.6 0.0 0.0
54.6 30.3 15.1 0.0
Sumatera Utara Lidah Tanah Kwala Gunung 53.1 15.6 31.3 0.0
62.5 20.0 17.5 0.0
12
Di Desa Carawali, Kabupaten Sidrap bahkan dominan berasal dari produksi sendiri, hal ini wajar karena rata-rata penguasaan lahan sawah relatif luas, hanya sekitar 5.56 persen di luar produksi sendiri yakni berasal dari raskin, ini terbatas juga pada rumahtangga yang kurang mampu atau relatif miskin, sedangkan di Salujambu, Luwu proporsi dari raskin cukup besar (30%), hal ini bukan berarti sebagian besar rumahtangga miskin, tetapi pendistribusian beras miskin (raskin) tidak terbatas pada rumahtangga miskin bahkan di beberapa lokasi pendistribusian raskin cenderung diratakan untuk semua warga. Konsumsi Energi dan Protein Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII, 2004, tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein adalah 2200 Kalori/kapita/hari (AKE) dan 57 gram/kapita/hari (AKP). Mengacu pada standar anjuran tersebut dan data pada Tabel 8, terlihat tingkat konsumsi energi rumahtangga petani padi di Jawa 60 persen (6 desa dari 10 desa) masih dibawah stadar kecukupan. Wilayah yang tingkat kecukupan energio kurang adalah: Cilacap, Pati, Lamongan, Karawang. Banyuwangi dan Indramayu sedangkan tingkat kecukupan energi berkisar 78 – 99 persen. Sementara di luar jawa kondisinya lebih baik, dimana 50 persen masih dibawah stadar yakni Desa Kwala Gunung (Kabupaten Asahan) dan Desa Carawali (Sidrap) masing-masing tingkat kecukupan energi 84 dan 99 persen. Pada umumnya pada rumahtangga petani padi, beras merupakan pangan pokok yang dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi maka sumbang yang menyumbang energi terbesar adalah berasal dari kelompok padi-padian yakni berkisar 44 – 69 persen. Sementara itu hasil rumusan Semiloka Penyusunan Kebijakan Perberasan (2000) menyebutkan bahwa beras menyumbang sekitar 60-65 persen dari total konsumsi energi, berarti sumbangan padi-padian terhadap konsumsi energi di lokasi contoh dibawah kisaran tersebut, kecuali yang ditemukan di Karawang (66 %) dan Luwu (69 %). Berbeda dengan data Susenas yang menyatakan bahwa rata-rata tingkat konsumsi protein d perdesaan Indonesia sudah melebihi tingkat kecukupan yang dianjurkan, sementara ini hasil penelitian masih ditemukan rumahtangga petani padi dengan tingkat konsumsi protein dibawah angka kecukupan yang dianjurkan, yakni untuk di Jawa antara lain ditemukan di Cilacap (86 %), Karawang (96 %), Pati (99 %) dan Lamongan (88 %), sedangkan di Luar Jawa ditemukan di Luwu (88 %) dan Asahan (83 %). Fenomena di atas menunjukkan ada kecenderungan bahwa bila tingkat konsumsi protein 13
kurang diikuti juga dengan tingkat konsumsi energi kurang. Beberapa wilayah lainnya menunjukkan bahwa tingkat konsumsi protein sudah melebihi tingkat kecukupan yang dianjurkan, bahkan yang ditemukan di Serdang Pedagai lebih dari 200 persen. Fenomena lain bahwa tingkat konsumsi protein sudah melebihi yang dianjurkan, sedangkan tingkat konsumsi energi masih kurang sebagai contoh yang ditemukan di Sidrap, Banyuwangi dan Indramayu. Pola konsumsi seperti tersebut tidak baik dan mahal, karena apabila energi yang dikonsumsi belum sesuai dengan kebutuhan yang dianjurkan maka protein akan dibakar oleh tubuh untuk menutupi kekurangan energi. Padahal harga per satuan energi yang berasal dari protein lebih mahal dibandingkan dengan energi yang berasal dari pangan sumber karbohidrat atau pangan pokok seperti beras, ubikayu dan lain-lain. Tabel 8. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Wilayah Jabar -Subang -Karawang -Indramayu Jateng -Sragen -Cilacap -Pati -Klaten Jatim -Lamongan -Jember -Banyuwangi Sulsel -Sidrap -Luwu Sumut - Deli Serdang - Asahan
Pangsa Energi Energi Padi(Kkal/kap/hr) padian (%)
Protein (gr/kap/hr)
Pangsa Protein Hewani (%)
3594 1968 2172
47.50 66.53 53.14
98.22 54.69 74.00
37.87 31.93 31.50
2970 1711 1875 2207
43.45 58.99 51.13 49.74
82.88 49.13 56.50 69.50
28.69 23.96 32.00 33.12
1957 2384 1975
52.39 50.10 57.99
50.03 72.18 72.18
25.94 19.86 19.86
2178 2443
45.81 69.14
75.31 50.36
41.00 21.74
3560 1853
44.30 56.09
135.36 47.48
39.55 27.19
14
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
1. Berdasarkan pangsa pengeluaran pangan, tingkat kesejahteraan rumahtangga petani padi di Propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah lebih baik dibandingkan dengan di propinsi yang lainnya. Rumahtangga petani padi di Desa Demangan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah paling sejahtera. 2. Pengeluaran pangan rumahtangga terbesar adalah pengeluaran makanan pokok, kemudian diikuti dengan pengeluaran tembakau/sirih dan pangan hewani. Masih rendahnya pengeluaran untuk makanan/minuman jadi menunjukkan bahwa pola pangan rumahtangga petani masih lebih sederhana dibandingkan dengan rumahtangga secara umum. 3. Beras merupakan pangan pokok petani padi dan bersifat tunggal. Tingkat partisipasi konsumsi beras hampir mencapai 100 persen. Sementara untuk jagung dan ubikayu relatif kecil, bahkan lebih kecil dari tingkat partisipasi mie. Pola pangan pokok sagu di Kabupaten Luwu dan jagung di Kabupaten Lamongan masih ada, namun kedua pangan ini hanya dikonsumsi dalam jumlah kecil dan lebih bersifat karena adanya ikatan emosional. 4. Karena sebagai produsen padi, sebagian besar beras yang dikonsumsi berasal dari hasil sendiri, pangsa beras yang dikonsumsi dari hasil sendiri lebih tinggi di luar Jawa daripada di Jawa Perbedaan tersebut karena di luar Jawa rataan pengusaan lahan sawah relatif lebih besar, dan pola panen tebasan yang banyak ditemukan di Jawa menyebabkan petani menerima hasil dalam bentuk uang, sehingga tidak ada gabah yang dibawa ke rumah. 5. Tingkat konsumsi energi dan protein bervariasi antar desa atau wilayah, namun pada umumnya masih dibawah angka kecukupan. Tingkat konsumsi energi rumahtangga petani padi di Jawa lebih rendah daripada di Luar Jawa. Sumbangan energi terbesar dari kelompok padi-padian. 6. Implikasinya adalah masih diperlukan upaya perbaikan pola konsumsi pangan pada rumahtangga petani padi secara terus menerus dan terarah agar pola pangannya sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan Upaya tersebut dilakukan melalui Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dengan memanfaatkan berbagai media seperti penyuluhan, leaflet, demonstrasi dan lain-lain.
15
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M. 2003. Dinamika Konsumsi Beras Rumahtangga dan Kaitannya dengan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Penyunting : Kasryno, et al. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta. Martianto, D. dan M. Ariani. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Dalam Dekade Terakhir. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII ”Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan. 2006. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Badan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Saliem, H.P.,M. Ariani, Y. Marisa dan T.B.Purwantini. 2002. Analisis Kerawanan Pangan Wilayah Dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor Sayogyo. 2002. Pertanian dan kemiskinan. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun I No. 2 Jakarta.
16