31
IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA 4.1. Pengeluaran dan Konsumsi Rumahtangga
Kemiskinan tidak terlepas dari masalah tingkat pendapatan yang masih rendah dan hal ini umumnya terjadi di wilayah pedesaan Distribusi pendapatan merupakan dimensi yang perlu mendapat perhatian terutama untuk melihat tingkat pendapatan masyarakat. Untuk memperoleh gambaran tingkat pendapatan selama ini sudah banyak penelitian menfokuskan diri didalam mengkaji aspek-aspek pendapatan rumahtangga. Secara teoritis aspek pendapatan sangat erat kaitannya dengan tingkat pengeluaran atau konsumsi rumahtangga. Pengeluaran atau konsumsi erat kaitannya dengan tingkat pendapatan, harga, serta status sosial suatu rumahtangga. Rumahtangga merupakan konsumen atau pemakai barang dan jasa sekaligus juga pemilik faktor-faktor produksi tenaga kerja, lahan, modal dan kewirausahaan. Rumahtangga mengelola faktor-faktor tersebut untuk memperoleh balas jasa. Salah satu bentuk balas jas adalah upah yang menjadikannya pendapatan rumahtangga. Dalam hal membelanjakan pendapatan belum tentu semuanya dikonsumsi atau menjadi komponen pengeluaran. Pengeluaran konsumsi secara riil berupa aktifitas yang ditujukan untuk mempertahankan taraf hidup, seperti pembelian barang atau jasa (BPS 2008). Dalam uraian selanjutnya disajikan gambaran umum nasional konsumsi komoditi terpilih dan disajikan juga pola konsumsi menurut kelompok pengeluaran makanan dan non makanan, tipologi wilayah perkotaan dan pedesaan, serta tingkat pendidikan kepala rumahtangga berdasarkan data Susenas 2007 & 2008
4.2. Gambaran Umum Konsumsi Komoditi
Berdasarkan penelitian Setiawan (2006), konsumsi kelompok makanan yaitu padi-padian terutama beras terus mengalami penurunan dari tahun 1999 sd 2004 terhadap total konsumsi yaitu dari 51,4% tahun 1999 menjadi 44,0% tahun 2004. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia mulai mengalihkan konsumsi padi-padian terutama beras ke konsumsi komoditi lainnya. Konsumsi ikan, daging, telur, dan susu relatif lebih stabil terutama dalam kurun waktu dari tahun 2002 sd 2004. Sementara itu, konsumsi sayur-sayuran selama kurun waktu 1999-2004 hanya bergerak sedikit dan juga relatif stabil. Hal tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah.
32
Tabel 1. Persentase Rata-rata Konsumsi Beberapa Komoditi Protein Penduduk Indonesia tahun 1999-2004 Komoditi
1999
2002
2003
2004
Beras
51,4
44,8
43,9
44,0
Ikan
12,5
13,2
14,9
14,0
Daging
2,7
4,2
4,7
4,6
Telur Susu
3,0
4,3
4,0
4,4
Sayuran
4,6
4,6
5,0
4,7
Sumber : BPS (2005), Susenas 1999-2004 Konsumsi komoditi kelompok protein hewani yang terdiri atas ikan, daging, telur, dan susu selama periode 1999-2004 mengalami peningkatan dari 18,2% menjadi 23%. Sebaliknya konsumsi komoditi kelompok protein nabati yang diantaranya terdiri atas beras dan sayuran mengalami sedikit penurunan dari 65,9% tahun 1999 menjadi 58,8% tahun 2004. Peningkatan konsumsi ikan, daging, dan telur susu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya peningkatan gizi makanan terus tumbuh semakin baik. Konsumsi kelompok non makanan yaitu pendidikan berupa partisipasi masyarakat untuk bersekolah sejak tahun 2000 sd 2005 terus mengalami peningkatan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang secara terus menerus meningkatkan anggaran pendidikan dan infrastruktur sekolah. Tabel 2 memperlihatkan angka partisipasi murni sekolah pada berbagai jenjang pendidikan dari tahun 2000-2005. Angka partisipasi murni SMP mengalami peningkatan cukup tinggi dari 61,7% th 2000 menjadi 65,2% tahun 2005, begitu juga untuk angka partisipasi murni SMA yang juga mengalami peningkatan dari 39,5% th 2000 menjadi 41,7% th 2005 (World Bank, 2007).
Berdasarkan pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa angka partisipasi juga menggambarkan kemampuan masyarakat, dimana peningkatan biaya pendidikan sejalan dengan peningkatan jenjang pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan angka partisipasi untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu Sekolah Menengah Atas jauh lebih rendah dari Sekolah Dasar. Kondisi memperlihatkan bahwa kemampuan masyarakat dalam mengakses sektor pendidikan khususnya jenjang pendidikan lebih
33 tinggi masih cukup terbatas. Seberapa besar kontribusi suatu rumahtangga dalam mengakses sektor pendidikan sangatlah tergantung pada tingkat pendapatan. Tabel 2. Angka Partisipasi Murni berdasarkan Jenjang Pendidikan, th 2000-2005 Jenjang Pendidikan
2000
2002
2004
2005
Sekolah Dasar
92,4
92,7
93,0
93,2
Sekolah Menengah Pertama
61,7
60,9
65,2
65,2
Sekolah Menengah Atas
39,5
36,8
42,9
41,7
Sumber : Tinjauan World Bank untuk Pendidikan hasil Susenas Sektor kesehatan Indonesia sudah mengalami peningkatan sepanjang beberapa tahun terakhir ini. Meskipun demikian kinerja sistem kesehatan belum cukup memadai untuk mencapai sasaran sektor kesehatan. Hal ini terlihat dari tingkat pemanfaatan layanan kesehatan di Indonesia yang masih rendah dan tingkat pelayanan publik yang masih inefisien. Infrastruktur, obat-obatan, dan fasilitas kesehatan yang buruk terutama di wilayah terpencil dan pedesaan memberikan dampak penurunan partisipasi masyarakat untuk berobat (World Bank, 2007). Partisipasi masyarakat yang masih rendah terlihat dari besaran kontribusi pengeluaran untuk biaya kesehatan yang rendah dibandingkan pengeluaran lainnya seperti untuk biaya pendidikan dan transportasi. Data BPS tahun 2007 menunjukkan persentase pengeluaran rata-rata untuk sektor kesehatan sekitar 2%, masih rendah dibandingkan sektor pendidikan sekitar 3-4% dan transportasi sekitar 4-7%.
4.3. Pola Konsumsi menurut Tipologi Wilayah
Pola pengeluaran konsumsi masyarakat di daerah perkotaan dan pedesaan cenderung berbeda. Keterbatasan sarana dan prasarana membuat pola konsumsi di daerah pedesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan. Secara umum tingkat pendapatan
yang
lebih
baik
akan
membuat
masyarakat
perkotaan
dapat
membelanjakan lebih banyak dibandingkan masyarakat pedesaan yang memiliki pendapatan jauh lebih rendah.
34 Dari data diperoleh bahwa rata-rata pengeluaran komoditi terpilih daerah perkotaan mengalami peningkatan dari tahun 2007 sd 2008, begitu juga rata-rata pengeluaran komoditi terpilih (padi-padian, ikan/daging/telur/susu, sayur buah, pendidikan, kesehatan, barang tahan lama) daerah pedesaan juga mengalami peningkatan. Peningkatan rata-rata pengeluaran rumahtangga sebulan yang terbesar terjadi di perkotaan seperti gambar di bawah ini:
1200000
1015238
1000000 800000
614458
564820
600000 400000
384580
200000 0
mean 2007
mean 2008
urban
rural
Sumber : Susenas, data diolah Gambar 2. Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga menurut Tipologi Wilayah
Perbedaan pola konsumsi yang terjadi secara total maupun berdasarkan tipologi wilayah menunjukkan bahwa intensitas permintaan terhadap kebutuhan barang dan jasa antara daerah perkotaan dan pedesaan cukup berbeda jauh.
4.4. Pola Konsumsi menurut Kelompok Pengeluaran
Semakin tinggi pengeluaran biasanya semakin baik pula pola konsumsi masyarakat, termasuk asupan kecukupan gizinya. Secara teori semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula proporsi konsumsi non makanan. Hal tersebut disebabkan oleh kenaikan pendapatan dialihkan untuk konsumsi selain barang kebutuhan pokok. Dari data komoditi terpilih menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola pengeluaran makanan dan non makanan yang cukup signifikan. Terjadi perbedaan
35 pengeluaran makanan dan non makanan yang cukup tinggi di pedesaan jika dibandingkan dengan perbedaan yang cukup rendah di perkotaan, seperti gambar berikut: 90.00
80.07
80.00 70.00
62.73
60.00 50.00 37.27
40.00 30.00
19.93
20.00 10.00 0.00 Urban
Rural Makanan
Non Mak
Sumber : Susenas, data diolah Gambar 3. Persentase Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga menurut kelompok Makanan dan Non Makanan Di daerah perkotaan (urban) persentase rata-rata pengeluaran rumatangga untuk kelompok makanan (padi-padian, ikan/daging/telur/susu, sayuran buahan) sebesar 62,73% dan kelompok non makanan (pendidikan, kesehatan, barang tahan lama) sebesar 37,27%. Sebaliknya di daerah pedesaan (rural) persentase rata-rata pengeluaran rumahtangga kelompok makanan sebesar 80,07% dan kelompok non makanan sebesar 19,93%. Ini menunjukkan bahwa kontribusi pengeluaran non makanan masih tinggi di perkotaan, sedangkan kontribusi pengeluaran makanan paling tinggi terjadi di pedesaan. Sesuai teori ekonomi maka hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat pedesaan masih mengutamakan konsumsi pokok yaitu konsumsi makanan
dibandingkan
non
makanan.
Sebaliknya
masyarakat
perkotaan
mengalokasikan tambahan pendapatan selain bahan pokok untuk membeli atau mengkonsumsi komoditi lainnya seperti sektor pendidikan dan kesehatan.
4.5. Pola Konsumsi menurut Pendidikan Kepala Rumahtangga
Tingkat pendidikan kepala rumahtangga dapat mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga. Pendidikan kepala rumahtangga disini dibedakan berdasarkan kepala
36 rumahtangga berpendidikan menengah ke bawah (<SMA) dan kepala rumahtangga berpendidikan menengah ke atas (≥SMA). Tabel 3. Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga menurut Tingkat Pendidikan KRT (Rp) Tingkat Pendidikan
Perkotaan
Pedesaan
Total
Makanan menengah ke bawah
418.655
366.913
386.827
menengah ke atas
592.698
531.971
591.642
menengah ke bawah
181.529
83.914
121.610
menengah ke atas
401.681
290.491
395.736
Non Makanan
Sumber : Susenas, data diolah Tabel 3 memperlihatkan rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk komoditi terpilih. Peningkatan konsumsi yang cukup signifikan terjadi untuk pengeluaran barang non makanan di perkotaan dari kepala rumahtangga berpendidikan menengah bawah ke menengah atas. Sedangkan untuk pengeluaran makanan baik di perkotaan maupun di pedesaan relatif tidak jauh berbeda antara tingkat pendidikan. Ini menunjukkan bahwa kelompok makanan masih merupakan kebutuhan pokok utama baik kepala rumahtangga berpendidikan menengah ke bawah maupun berpendidikan menengah ke atas, sebaliknya untuk non makanan merupakan barang yang cukup mewah terutama untuk kepala rumahtangga pendidikan menengah ke bawah khususnya di pedesaan. Tabel 4 menunjukkan persentase rata-rata pengeluaran rumahtangga terhadap total komoditi terpilih dan masing-masing kelompok (makanan dan non makanan). Untuk kelompok makanan terjadi perbedaan yang cukup berarti khususnya antara komoditi padi-padian dan ikan/daging/telur/susu. Di daerah perkotaan untuk rumahtangga KRT berpendidikan menengah ke atas persentase kedua komoditi berbeda cukup jauh dimana komoditi ikan/daging/telur/susu jauh lebih tinggi. Di daerah pedesaan komoditi padi-padian masih merupakan komoditi utama khususnya untuk rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke bawah.
37 Tabel 4. Persentase Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga per Komoditi menurut Tingkat Pendidikan KRT Pendidikan KRT Komoditi
Perkotaan
Pedesaan
Total
< SMA
≥ SMA
< SMA
≥ SMA
< SMA
≥ SMA
padi-padian
11,69
5,13
26,02
12,08
18,77
5,69
ikn/dging/tlur/susu
16,16
15,27
15,02
17,81
15,59
15,47
8,72
5,80
11,19
8,80
9,94
6,04
36,57
26,20
52,22
38,69
44,30
27,21
pendidikan
15,16
21,91
8,81
11,28
12,03
21,05
kesehatan
17,12
24,25
15,80
18,27
16,47
23,77
barang tahan lama
31,15
27,64
23,17
31,76
27,21
27,97
Sub Total Non Mak
63,43
73,80
47,78
61,31
55,70
72,79
Total
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Makanan
sayur & buah Sub Total Makanan Non Makanan
Sumber : Susenas, data diolah