1
PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA N AFKAH RUMAHTANGGA PETANI. (Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)
Oleh : Agus Subali A14201061
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
2 RINGKASAN AGUS SUBALI. PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI. Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. (Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO) Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan melakukan analisa terhadap pengaruh konversi lahan terhadap pola nafkah rumahtangga petani. Dalam penelitian ini penulis berusaha meneliti penggunaan uang hasil dari penjualan
lahan oleh
rumahtangga petani dan untuk mengetahui juga perubahan struktur rumahtangga petani yang lahannya terkonversi. Aspek-aspek yang dikaji meliputi analisis ditingkat rumahtangga petani. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk (1) Mengetahui dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani (2) Mengetahui penggunaan uang hasil konversi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui studi kasus. Data-data dan informasi yang didapatkan di lapangan disajikan secara deskriptif dan eksploratif dengan berdasarkan informasi atau keterangan dari objek penelitian. Data dan informasi dalam penelitian ini didapatkan
dengan
menggunakan kombinasi strategi pendekatan yaitu wawancara, observasi dan analisa dokumen. Responden terdiri dari petani yang menjual lahan di desa Batujajar yang berjumlah 20 orang. Konversi
lahan yang dilakukan penduduk Batujajar dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendidikan, peluang kerja, dan pendapatan. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh investor, pengaruh tetangga yang menjual lahan terlebih dahulu , aparat desa dan juga dari calo tanah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa
terjadi perubahan struktur kerja
rumahtangga, dan juga terjadi perbedaan pemanfaatan dalam alokasi dana hasil penjualan lahan
antar petani. Ada perbedaan yang nyata antara petani lapisan atas,
menengah, dan bawah dalam pengelolaan dana hasil penjualan lahan. Petani kaya atau petani lapisan atas cenderung ke arah penggunaan produktif, sedangkan petani miskin cenderung ke arah konsumtif. Akibat tekanan ekonomi, dana yang didapat dari hasil penjualan lahan oleh petani lapisan bawah, lebih cenderung dialokasikan ke arah yang sifatnya konsumtif, seperti memperbaiki rumah, membeli peralatan rumahtangga dan juga untuk makan.
3 Sedangkan petani yang berada pada lapisan atas mengalokasikan uang hasil penjualan lahan untuk kegiatan yang sifatnya produktif, yakni untuk tambahan modal usaha. Kondisi kemiskinan juga lah yang mendor ong petani lapisan bawah untuk melakukan berbagai
cara untuk bertahan hidup, salah satunya dengan menerapkan pola nafkah
ganda dan juga memaksimalkan tenaga kerja keluarga, baik anak maupun istri. Pola nafkah ganda dilakukan
melalui penganekaraga man bidang mata
pencaharian sedangkan pemaksimalan tenaga kerja dilakukan dengan melibatkan anakanak dan wanita (istri) untuk turut serta dalam usaha produktif. Selain itu sebenarnya rumahtangga petani di desa penelitian
juga memanfaatkan jaringan sosial dalam
bentuk kelembagaan yang sudah ada semisal arisan, pengajian untuk membantu ekonomi mereka, namun pembahasan secara detil tidak penulis lakukan karena kurangnya data yang berhasil dikumpulkan.
4
PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI ( Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Oleh : Agus Subali A14201061
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PEGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
5 Judul
: KONVERSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI ( Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)
Nama
: Agus Subali
NRP
: A14201061
Mengetahui Pembimbing
Dr. Endriatmo Soetarto,MA NIP. 131 610 288
Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham,M.Agr NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus :_____________________________
6 PERNYATAAN. DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ” KONVERSI LAHAN
DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA NAFKAH
RUMAHTANGGA PETANI ”
BELUM PERNAH DIAJUKAN
PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU TUJUAN
PADA
LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK
MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN
DITULIS ATAU DITERBITKAN
YANG
PERNAH
OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI
BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Desember 2005 Agus Subali NRP.A14201061
7 RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di kota Banyuwangi, Jawa timur pada tanggal 20 Agustus 1982 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Munawar dan Siti Fatimah. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar pada tahun 1995 di SD 05 Wonosobo dan pada tahun yang sama pula penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Lanjutan Menengah Tingkat Pertama di SLTPN 01 Rogojampi. Kemudian pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Umum di SMUN 01 Rogojampi dan selesai pada tahun 2001. Pada tahun tersebut pula penulis diterima di Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN.
8
PRAKATA Dengan memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tulisan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini diberi judul Penga ruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani (Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor , Jawa Barat). Pilihan atas topik ini berawal dari minat penulis untuk lebih memahami konversi lahan dari pertanian ke non pertanian dan dampaknya bagi rumah tangga
petani. Banyak kasus masalah agraria muncul, karena pihak pengambil
keputusan dalam hal ini pemerintah “ mengubur” UUPA 1960, sehingga persoalan alih kepemilikan
lahan
menjadi
masalah
yang
berlarut-larut
antara
pihak
yang
berkepentingan, dalam hal ini pemerintah, swasta dan masyarakat. Posisi masyarakat (petani) tidak selalu menguntungkan, sebagai akibat tekanan dari pihak eksternal yakni pemilik modal (swasta) dan juga dari pemerintah sendiri, yang pada ujungnya kepemilikan lahan beralih hak dari petani pemilik ke pihak pengusaha. Keinginan rumahtangga petani menjual lahan juga dipengaruhi oleh faktor internal petani sendiri, yakni pendidikan, pengalaman kerja, pendapatan dan ketergantungan pada tanah, yang kalau boleh di ringkas penyebab utama dari persoalan penjualan lahan adalah masalah kemiskinan. Demikian skripsi ini di buat setelah penulis berada di lapangan selama dua bulan. Kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat di harapkan untuk
penyempurnaan skripsi ini sebagaimana ungkapan orang bijak ” di atas langit masih ada langit”
9 Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Kedua Orangtua, Bapak dan Ibu, Mbak Yuli dan adik-adik atas dukungan dan do’anya. 2. Bapak Dr. Endriatmo Soetarto,MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak Ir. Saharudin, Msi dan Ibu Ir. Ninuk Purnaningsih,MSi selaku dosen penguji. Atas bimbingan dan ”coretannya” yang mendorong penulis untuk berfikir kembali atas sebuah kesalahan. 4. Ibu Dra. Winati Wigna,MDS, selaku pembimbing akademik yang dengan telaten menyempatkan waktu untuk mendengar keluh kesah penulis disaat penulis jenuh dengan rutinitas perkuliahan. 5. Bapak Drs. Satyawan Sunito, selaku pembimbing SP yang dengan tekunnya mengoreksi tulisan kata perkata. Terima kasih banyak atas ide -ide radikalnya tentang konsep berfikir. 6. Bapak Ivanovich Agusta, SP.Msi atas kritikannya yang menggelitik, tentang agama, budaya dan kebijakan pemerintah. 7. Ibu Dr.Ir Ekawati S.Wahyuni,MS. Dengan kedisiplinan dan ketegasannya sehingga memacu semangat untuk secepatnya menyelesaikan skripsi ini. 8.
Sobat-sobat terbaikku, Ema, Indra, Taufiq, Anto, Edi, Menot, Oshin, Anis, Yuni, Eni, Zedi, Zeplin, Ali, Ibnu, Bang Mugiono, jeng Shinta, Mpok Agni, Uni Wydia, Bang Heri, Bang David, Kang Ari, Neng Pretty, Kang Nanang, Kang Rizal, Teh Nonos, Ilham, Igbal, Teh Uji, Mpok Mega dan semua KPM’ers yang senasib sepenanggungan.
10 9. Teman-teman kost “Dolphin”: Subekh, Agung P, Agung R, Mas Insan, Dekri, Mulyadi, Syah, Heri, Iden, Jamal, Mada, Mas Lilik, Ikin, Sandi, Dukik, Adit, dan juga Yanuar. Makasih banyak atas semua tawa dan kebersamaannya selama ini. 10. Pemikir -pemikir dunia, Sidharta Gautama, Sartre, Hegel, Nietzsche, Soekarno, Mirza Ghulam Ahmad, Che Guevara, Nostradamus, Al_Hallaj, Hamzah Fansuri, Shekh Siti Jenar dan Sunan Kali Jogo, meskipun sudah tiada, pemikiran dan contoh hidupnya menjadi rujukan penulis untuk memahami realitras dunia dengan lebih bermakna. 11. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Kepada Allah SWT jualah penulis serahkan balasan kebaikan semua pihak yang telah membantu pembuatan tulisan ini. Harapan penulis tulisan ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca tulisan ini.
11 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
...........................................................................
x
DAFTAR ISI
...........................................................................
xii
DAFTAR TABEL
...........................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR
........................................................................... xvii
BAB I . PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
...........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ...........................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian
...........................................................................
4
1.4. Manfaat Penulisan
...........................................................................
4
2.1 Konsep Petani
...........................................................................
5
2.2 Penguasaan Lahan
...........................................................................
9
2.3 Pola Nafkah Ganda
...........................................................................
12
2.4 Konversi Lahan
...........................................................................
14
2.5 Pola Adaptasi
...........................................................................
19
2.6 Kerangka Pemikiran
...........................................................................
22
2.7 Definisi Konseptual
...........................................................................
26
2.8 Definisi Operasional
...........................................................................
27
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian..................................................................
29
3.2 Pengambilan Sampel ...........................................................................
29
3.3 Metode Penelitian
...........................................................................
29
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ....................................................
30
BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak dan Geografis Batujajar .................................................................
31
4.1.1. Lingkungan Alam..........................................................................
32
1. Topografi
...........................................................................
32
2. Temperatur Udara ..........................................................................
32
3. Tanah
...........................................................................
33
4. Tata Air
...........................................................................
33
4.1.2. Lingkungan Fisik .........................................................................
34
1. Tata Guna tanah ...........................................................................
34
2. Perumahan
35
...........................................................................
12 4.1.3 Demografi Desa Batujajar.............................................................
36
1. Penduduk .......................................................................................
36
2. Ketenagakerjaan............................................................................
38
3. Pendidikan .....................................................................................
39
4.2 Kehidupan Ekonomi Sosial dan Budaya ..................................................
40
1. Kehidupan Ekonomi ......................................................................
40
2. Kehidupan Sosial Budaya ..............................................................
43
3. Teknologi Bercocok Tanam...........................................................
43
BAB V. STRUKTUR AGRARIA DI DESA BATUJAJAR 5.1 Pemilikan dan Pemanfaatan Lahan.........................................................
47
5.2 Kelembagaan Agraria ...........................................................................
49
5.2.1 Ceblokan
...........................................................................
49
5.2.2 Maro
...........................................................................
49
5.2.3 Aturan Sewa Menyewa ................................................................
50
5.3 Sejarah Agraria Loka l ...........................................................................
50
5.4 Tanah Absentia
52
...........................................................................
BAB VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI 6.1 Faktor Internal
...........................................................................
54
6.2 Faktor Eksternal
...........................................................................
59
6.3 Mekanisme Konversi
...........................................................................
59
BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN DI DESA BATUJAJAR 7.1 Penguasaan Lahan
...........................................................................
63
7.2 Adaptasi Rumahtangga Petani yang Terkonversi Lahannya .................
64
7.2.1. Pola Nafkah Ganda .....................................................................
64
7.2.2. Optimalisasi Penggunaan Tenaga Kerja .....................................
67
7.3 Pola Pengggunaan Uang Hasil Penjualan Lahan.....................................
70
7.4 Pengaruh terhadap Kesempatan Kerja .....................................................
72
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
...........................................................................
75
Saran
...........................................................................
76
DAFTAR PUSTAKA
...........................................................................
77
LAMPIRAN
...........................................................................
79
13 DAFTAR TABEL Nomor
Halaman Teks
Tabel 1.
Penguasaan Lahan Oleh PT di Desa Batujajar Tahun 2005 ......................
32
Tabel 2.
Perkembangan Produktivitas Lahan di Desa Batujajar .............................
34
Tabel 3.
Bentuk Penggunaan Lahan di Desa Batujajar 2005 ..................................
35
Tabel 4.
Jumlah dan persentase Pria dan Wanita menurut umur ...........................
37
Tabel 5.
Kondisi Ketenagakerjaan Masyarakat Batujajar Menurut Umur Tahun 2005 .......................................................................
38
Tabel 6.
Jumlah Penduduk Usia Kerja Desa Batujajar Menurut Mata Pancaharian
39
Tabel 7.
Jumlah dan Persentase Tingkat Pendidikan Desa Batujajar Tahun 1994 dan 2005...........................................................................................................
39
Tabel 8.
Jumlah dan Persentase Pendapatan Responden.........................................
41
Tabel 9.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Dusun di Desa Batujajar
42
Tabel 10. Luas Kepemilikan Lahan Sawah Responden............................................
47
Tabel 11. Jenis Pembagian Pemanfaatan Lahan di Desa Batujajar Tahun 2003.......
48
Tabel 12. Penjualan Lahan Bukit oleh Warga Batujajar menurut Tahun dan Harga
52
Tabel 13. Alasan Responden Melakukan Konversi .................................................
55
Tabel 14. Jawaban Responden Terhadap Hasil Usaha Tani .....................................
56
Tabel 15. Karakteristik Sumberda ya Manusia Responden .......................................
58
Tabel 16. Tahun Pembelian dan Luas Lahan Yang di Kuasai PT di Desa Batujajar tahun 2004 .................................................................................................
60
Tabel 17. Proses Pendekatan dalam Pembebasan Lahan..........................................
61
Tabel 18. Besarnya Ganti Rugi Lahan Responden di Lihat Dari Tahun Penjualan
62
Tabel 19. Rata-rata Perkembangan Penguasaan Lahan Responden Sebelum dan Sesudah Konversi......................................................................................
63
Tabel 20. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan Aset Tetap dan Aset Lancar................................................................................................
70
Tabel 21. Jumlah Uang Ganti Rugi Lahan Yang Terkonversi ................................
71
Tabel 22. Penggunaan Uang Ganti Rugi Lahan 20 Responden Berdsarkan Produktif konsumtif ...................................................................................................
72
Tabel 23. Perubahan Struktur Kesempatan Kerja Responden ..................................
73
14 DAFTAR GAMBAR No. 1.
Teks Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Pengaruhnya terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani
2.
Halaman
........................................................
25
Mekanisme Pelaksanaan Konversi Lahan......................................................
60
LAMPIRAN No. 1.
Teks
Halaman
Aktivitas Perempuan dalam Mengerjakan Pekerjaan Rumahtangga (Kerja Reproduksi) yang Memanfaatkan Air Sungai.....................................
83
2.
Aktivitas Petani dalam Memanfaatkan Ternak untuk Bekerja di Pertanian ..
83
3.
Aktivitas Perempuan dalam Upaya Membantu Ekonomi R umahtangga dengan Membuka Warung
4.
........................................................
84
Aktivitas Warga Mencari Ikan di Sungai Sebagai Tambahan Penghasilan...
84
15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Batujajar merupakan satu komunitas pertanian
yang terbentuk sejak masa
pemerintahan kolonial. Pola kehidupan masayarakatnya adalah bercocok tanam terutama padi, selain itu mereka juga berdagang, menjadi buruh di pertambangan maupun buruh tani. Banyaknya masyarakat yang bekerja disektor pertanian, yang mencapai 87 persen menunjukkan ba hwa kehidupan mereka sangat tergantung pada sumberdaya lahan. Sebagian besar penduduk memanfaatkan lahan sawah dan ladang dengan menanami padi dan kacang tanah, satu sampai dua kali musim tanam. Padi biasanya ditanam di sawah sedangkan ladang di perbukita n ditanami ketela pohon, pisang maupun durian. Banyaknya bukit yang mengandung batu yang sangat potensial untuk pertambangan, mendorong pihak luar desa (investor) untuk mengincar lahan masyarakat di perbukitan untuk dijadikan pertambangan. Proses pembebasan lahan sudah dimulai sejak tahun 1978 sampai saat ini tahun 2005. Sehingga hampir 272,5 ha lahan di perbukitan kepemilikannya sudah dikuasai oleh pihak luar desa. Berdasarkan luas kepemilikan lahan masyarakat petani desa Batujajar dapat dibedakan menjadi 4 lapisan: petani lapisan atas, menengah, bawah dan tunakisma. Bagi masyarakat agraris tanah tidak hanya menjadi salah satu faktor produksi, tetapi juga memiliki arti penting lainnya, baik menyangkut aspek sosial maupun politik. Oleh karena itu, masalah tanah tidak semata-mata merupakan masalah
hubungan antar
manusia dan tanah lebih dari itu secara normatif merupakan hubungan manusia dengan manusia. Tanah dalam sistem sosial ekonomi apapun, dianggap sebagai faktor produksi
16 utama. Hal yang membedakan hanyalah bagaimana fungsi, mekanisme pengaturan dan cara pandang terhadap tanah itu sendiri (Suhendar dan Winarni,1998) Berkembangnya kepentingan atas tanah pada akhirnya menyebabkan kebutuhan atas tanah pun menjadi semakin bertambah. Sementara jumlah tanah yang tersedia tidak bertambah. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya proses alih fungsi lahan pertanian kepenggunaan non pertanian. Fenomena konversi atau alih fungsi lahan pertanian kepenggunaan non pertanian dibeberapa wilayah Indonesia terjadi dengan pesat terutama di pulau Jawa. Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian mendapat perhatian dari banyak pihak karena berkaitan dengan dimensi persoalan yang luas, baik dalam skala makro maupun mikro (Kustiawan, 1997) Dalam banyak hal pembangunan memang sulit menghindari
resiko, baik
lingkungan fisik maupun pada lingkungan komunitas sosial. Pertumbuhan penduduk yang pesat
berakibat pada upaya
penyediaan lahan, baik untuk pemukiman,
perkantoran, maupun untuk infrastruktur pendukung. Dalam konteks makro, sesungguhnya fenomena ini merupakan dampak proses transformasi struktur ekonomi (dari pertanian keindustri) dan demografis (dari perdesaan ke perkotaan). Namun yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa konversi lahan tersebut dalam prosesnya tidak selalu menguntungkan petani sebagai pemilik lahan1. Sebagai gambaran konversi lahan yang terjadi di Indonesia dapat kita lihat bahwa pada tahun 1997 luas lahan sawah kurang lebih 8,5 juta hektar sedangkan tahun 2000 luasnya menurun me njadi 7.8 juta hektar, sehingga dapat dihitung bahwa dalam waktu tiga tahun telah terjadi penyusutan 0.7 juta hektar atau rata-rata 230 ribu hektar pertahun 2. Sedangkan sensus pertanian tahun 1983 menunjukkan bahwa rata-rata penguasaan lahan pertanian untuk seluruh Indonesia adalah 0,98 hektar perkeluarga 1
Sebagai contoh kasus kedung Ombo, waduk nipah,dan jenggawah di Jember, dimana untuk kasus yang terakhir tidak ada proses ganti rugi .Pemerintah menetapkan tanah sengketa sebagai HGU PTP XXVII yang akibatnya memicu perlawanan Petani. 2 Tempo, 23 Desember 2003
17 petani. Rata–rata penguasaan lahan tersebut menunjukan kecenderungan yang terus mengecil. Pada tahun 1993 rata-rata nasional penguasaan lahan perkeluarga petani adalah 0,83 hektar, dimana rata-rata di Jawa 0,47 hektar dan di luar Jawa 1,27 hektar perkeluarga petani. Perubahan peruntukan lahan masyarakat petani desa Batujajar terjadi ketika ada investor yang masuk untuk melakukan kegiatan penambangan di bukit sebagai hasil pembelian lahan dari masyarakat. Proses alih fungsi lahan yang terjadi tidak selamanya berjalan dengan baik, masyarakat lebih banyak dirugikan dengan adanya proses konversi, pencemaran (udara, suara, dan air) akibat proses pertambangan, serta ganti rugi lahan yang tidak memadai merupakan faktor -faktor yang mendorong masyarakat menilai bahwa adanya pertambangan batu di Batujajar tidak menguntungkan masyarakat setempat. Uang ganti rugi lahan antara petani juga berbeda karena perbedaan luasan lahan yang dijual. Begitu juga dengan alokasi penggunaan uang hasil konversi, antara lapisan atas, menengah, dan bawah cenderung terjadi perbedaan alokasi. Lapisan atas lebih mengarah ke penggunaan produktif sedangkan pada lapisan tengah dan bawah lebih cenderung ke arah penggunaan konsumtif. Berkurangnya lahan yang dimiliki atau bahkan
habisnya lahan garapan,
ditambah lagi terbatasnya akses rumahtangga karena tingkat pendidikan yang rendah (dalam hal ini petani lapisan bawah) terhadap sumberdaya ekonomi (modal) maka banyak diantara mereka memanfaatkan lahan-lahan milik perusahaan untuk ditanami tanaman musiman, selain itu mereka juga
melakukan pola nafkah ganda. Hal itu
mendorong rumahtangga untuk mengkonsolidasikan
seluruh sumberdaya keluarga
untuk bekerja guna mencukupi kebutuhan rumahtangganya.
18 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka persoalan dapat diringkas sebagai berikut. 1. Apa dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani? 2. Bagaimana penggunaan uang hasil konversi
oleh petani lapisan atas
menengah, dan bawah? 1.3 Tujuan Penelitian Mengacu kepada ruang lingkup permasalahan yang dirumuskan di atas, maka tujuan penulisan adalah sebagai berikut : 1. Mempelajari dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani. 2. Mempelajari penggunaan uang hasil konversi oleh petani berbagai lapisan, yaitu petani lapisan atas, menengah dan bawah. 1.4 Kegunaan Penelitian Rumusan yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan bermanfaat secara akademis maupun praktis. Secara akademis penulisan ini akan memiliki arti penting dalam
melengkapi literatur bagi kalangan akademik serta menambah khazanah
pengetahuan untuk memahami konsep-konsep
pola adaptasi
masyarakat petani
terhadap perubahan lingkungannya, dan secara praktis dapat memberikan infor masi penting kepada masyarakat, swasta dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dibidang pertanian bahwa proses pembangunan, langsung atau tidak langsung menjadi ancaman perubahan terhadap kekuatan-kekuatan fungsional yang lama berakar pada tradisi masyarakat dan melahirkan gejala -gejala marginalisasi dikalangan masyarakat asli terutama kaum tani.
19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Petani Dalam perspektif sejarah, masyarakat petani lahir sekitar 10.000 tahun sebelum masehi. Pada saat itu ditandai dengan munculnya kemampuan domistikasi tanaman dan hewan. Sebelumnya manusia hidup dari berburu dan meramu, mereka hanya bisa berburu binatang liar dan mengumpulkan bahan makanan yang tersedia di alam bebas. Kemampuan bertani dapat dipandang sebagai suatu revolusi besar dalam kehidupan umat manusia, karena ia dapat berkembang di permukaan bumi ini dalam waktu yang relatif singkat. Wolf (1985) memberikan gambaran tiga tingkatan perkembangan kehidupan masyarakat, yaitu bercocok tanam primitif, petani peasant dan farmer. Dia menyatakan secara tegas bahwa petani peasant bukan pencocok tanam primitif dan bukan pula pencocok tanam untuk tujuan komersial (farmer). Menurutnya perbedaan utama antara petani (peasant) dengan pencocok tanam primitif terletak pa da orientasi dan distribusi hasil, dimana
pada pencocok tanam primitif sebagian besar dari hasil produksi
dipergunakan untuk penghasilnya sendiri atau untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kekerabatan, bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh barang-barang lain yang tidak dihasilkannya sendiri. Sistem pertukaran di pasar belum dikenal pada kebudayaan mereka, sehingga orientasi produksinya
dikenal dengan
istilah
production for use atau cenderung
membatasi produksi pada barang-barang yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh produsen-produsennya. Sebaliknya perbedaan yang utama dengan farmer terletak pada tujuan produksinya, di mana farmer berorientasi bisnis, pasar dan mencari laba dalam mengelola usaha taninya. Penulisan ini membatasi arti petani pada petani “peasant”
20 Petani adalah penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam pengelolaan tanah dan membuat keputusan otonomi mengenai proses pengelolaan tanah. Kategori ini dengan demikian meliputi
para penyewa dan pemanen bagi hasil seba gaimana
kategori untuk pemilik – pengelola sepanjang mereka dalam suatu posisi membuat keputusan yang relevan mengenai bagaimana tanaman mereka dibudidayakan3. Petani (peasant), tidaklah
melakukan usaha tani dalam arti ekonomi, sebab yang mereka
kelola adalah sebuah rumahtangga, bukan sebuah perusahaan bisnis. Tujuan kegiatan produksi hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga (subsisten), sedangkan surplus produksi dipergunakan untuk kepentingan dana pengganti (replacement fund), untuk dana seremonial (ceremonial fund) dan dana untuk sewa tanah (membayar pajak dan sejenisnya). Dalam kehidupan masyarakat petani, pasar dan struktur atas desa secara relatif telah menjadi bagian yang mempengaruhi tingkah laku sosial dan ekonomi mereka. 4 Shanin (1971), mencirikan empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga (family farm). Kedua, selaku usaha tani mereka menggantungkan hidupnya kepada tanah. Bagi petani lahan pertanian adalah sega lanya
yakni sebagai sumber yang
yang diandalkan
untuk
menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas, solidaritas sosial mereka kental dan bersifat meanistik. Keempat, cenderung sebagai pihak yang selalu kalah (tertindas) namun tak gampang ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.
3 4
Wolf, Perang Petani (yogyakarta : Insist Press,2004) Hal.8 Redfield 1963 dalam bukunya mengatakan masyarakat tani sebagai masyarakat yang terbelah ( Part Society)
21 Dari rumusan kedua ahli tersebut (Shanin dan Wolf) di atas maka secara umum petani (peasant) mempunyai ciri yang membedakan dengan komunitas lainnya yakni (i) Petani tidak dapat dilihat
sebagai pengusaha pertanian atau pebisnis dibidang
pertanian (ii) Usaha yang dilakukan petani adalah usaha keluarga atau usaha rumahtangga yang menghasilkan produk subsisten, serta menghasilkan kewajiban yang dibayarkan pada kekuatan politik yang mengklaim sebagian dari hasil petani (iii) Rumahtangga petani berfungsi sebagai unit ekonomi, sosial serta religius yang utama. Hal ini berpengaruh pada keputusan untuk produksi dan juga investasi yang dilakukan dengan keputusan dari anggota keluarga (iv) Fungsi produksi dan konsumsi tidak dapat dipisah, dalam artian bahwa kebanyakan peta ni berproduksi sekaligus untuk kebutuhannya sendiri maupun untuk pasar (v) Petani dalam berproduksi tidak selalu didasari oleh prinsip mencari keuntungan namun lebih mengarah pada keinginan untuk mengurangi resiko (vi) Adanya dominasi oleh kekuatan dari luar dalam bentuk ekonomi, politik maupun sosial budaya. Dengan kata lain petani selalu berada dalam hubungan yang asimetris. 5 Kalau melihat kondisi petani di Indonesia maka pola hidup petani cenderung subsisten. Namun subsisten dalam pengertian ini buka n berarti makan secukupnya dari suatu usaha tertentu dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, melainkan harus pula melihat pandangan petani terhadap orientasi kerjanya. Suhendar dan Yohana (1998) merumuskan tiga indikator untuk memahami pola subsistensi petani : 1. Adalah sikap atau cara petani memperlakukan faktor -faktor produksi yakni tanah dan sumber agraria. Jika bersikap tidak komersial, tidak eksploitatif terhadap tanah dan sumberdaya agraria, mengangap peningkatan produksi tidak perlu da n hanya memproduksi sebatas
5
kebutuhan keluarganya
Satyawan Sunito –{ Dinamika Pembangunan Desa } Rangkuman dari Theodore Shanin,Eric R Wolf,Hayami dan Kikuchi.Asymetris berarti bentuk hubungan yang tidak setara antara petani dengan dunia luar (hubungan eksploitasi )
22 (sekalipun dengan penguasaan lahan luas), petani tersebut termasuk petani subsisten. Sebaliknya, jika sikapnya didasari oleh orientasi surplus produksi dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk petani komersial. 2. Besar kecilnya skala usaha petani. Sekalipun hanya menguasai lahan dalam skala usaha kecil, jika didasari pemikiran yang cenderung berorientasi pasar (mengejar surplus) petani itu dapat disebut sebagai Sebaliknya petani yang berlahan sempit dengan skala
petani komersial. usaha
terbatas
termasuk berpola hidup subsisten apabila dalam usahanya itu tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk memaksimalkan
produksi karena
keterbatasan skala usaha dan kemampuan berproduksi. 3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani. Walaupun mengusahakan komoditas komersial, jika hanya digunakan sebatas keperluannya, seorang petani disebut petani subsisten. Apabila mengusahakan tanaman komersial dengan tujuan memperoleh surplus, walaupun tanah yang dikuasainya sangat terbatas, petani itu bukanlah seorang petani subsisten, melainkan petani komersial. Jika pola subsistensi petani tersebut diterapkan dengan kondisi petani di Indonesia saat ini, maka dapatlah dikatakan bahwa petani Indonesia dapat dikatakan hampir tid ak ada petani dengan pola subsisten mutlak. Akan tetapi apabila digunakan indikator kecilnya skala usaha dan kemampuan
petani berproduksi, jelas bahwa
sebagian besar petani di Indonesia hidup dalam pola subsisten. Penelitian
Husken (1974) di desa Gondongsari, Pati, Jawa
Tengah bisa
dijadikan rujukan tentang ciri-ciri petani Indonesia saat ini, yaitu (i) Petani bermata pencaharian ganda. Selain bertani masyarakat juga bekerja “sampingan” semisal sebagai sopir, membuka warung/toko, tukang batu dan seba gainya. Melihat kenyataan,
23 pekerjaan yang dikatakan sampingan tersebut dalam arti di luar usaha tani ternyata merupakan pekerjaan pokoknya. (ii) Tanaman yang diproduksi adalah tanaman yang
tidak
beresiko tinggi artinya
teknologinya dapat dikuasai serta secara ekonomi menguntungkan. Serta yang menjadi pertimbangan lain adalah, petani paham ke mana pasar bagi tanaman yang diusahakan (iii) Motif berusaha adalah
mencari keuntungan, yang dilakukan
dengan
mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan uang tunai (iv) Petani adalah bagian dari sistem politik yang lebih besar, yang ditunjukkan dengan adanya partai-partai politik yang berpengaruh juga terhadap kepemimpinan di desa (v) Petani subsisten secara mutlak tidak ada tetapi petani mempunyai hubungan yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli barang di pasar untuk dijual di desanya dengan harapan memperoleh keuntungan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ciri petani Indonesia saat ini berbeda dengan ciri-ciri petani menurut Shanin ataupun Wolf. Yang membedakan antara lain: (i) Mengusahakan lahan yang sempit (ii) Produk yang dihasilkan
cenderung untuk
kebutuhan pasar, dengan tujuan
digunakan untuk
memenuhi
dijual dan hasil penjualannya
kebutuhan pokoknya. (iii) Penerapan teknologi modern sudah dilakukan
didalam usaha taninya (panca usaha tani) (iv) Berpenghasilan ganda (tidak selalu menggantungkan sumber nafkahnya disektor ekonomi saja. (v) Fungsi lahan pertanian lebih sebagai penenang ekonomi 6 mereka dan bukan sebagai sumber ekonomi satusatunya sebagaimana yang dicirikan Shanin (1971) 2.2 Penguasaan lahan. Masalah penguasaan lahan di pedesaan merupakan masalah yang rumit, karena ia menyangkut berbagai aspek seperti: ekonomi, demografi, hukum politik dan sosial. Pandangan ekonomi melihat tanah sebagai 6
faktor produksi. Tetapi karena faktor
Penenang disini diartikan lebih sebagai cadangan /harapan akhir ketika usaha disektor lain diluar usaha tani tidak menghasilkan.
24 produksi yang berupa tanah itu makin lama makin merupakan barang yang langka, maka perbandingan jumlah manusia dengan luas lahan pertanian menjadi semakin timpang. Disitulah masuk sudut pandang demografi. Sedangkan pandangan hukum lebih melihat pola hak dan kewajiban para pemakai tanah dalam kerangka (formal dan nonformal) yang mengatur segala aktivitas ekonomi yang ada hubungannnya dengan tanah. Untuk memungkinkan
agar segala
peraturan ditaati oleh
semua
warga
masyarakat, diperlukan adanya aparatur organisasi yang dapat memaksakan peraturan itu. artinya diperlukan adanya penguasa. Maka disinilah terkait sudut pandang politik. Ke empat sudut pandang ini merupakan simpul-simpul yang penting dalam melihat penguasaan lahan dan melalui simpul-simpul itulah masyarakat dapat dipetakan bagaimana susunan lapisannya. Maka terkaitlah sudut pandang sosiologis. Hubungan penguasaan lahan bukan saja menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam kaitannya
hubungan antara
manusia dengan tanah sebagai benda, hanya
mempunyai arti jika hubungan itu merupakan hubungan aktivitas. Dalam hal ini aktivitas itu adalah penggarapan dan pengusahaannya. Misalnya jika seseorang memiliki sebidang tanah tertentu, ini mengandung implikasi bahwa orang lain tidak boleh memilikinya, atau boleh menggarapnya dengan syarat-syarat tertentu. Implikasi selanjutnya ialah bahwa hal itu mencakup hubungan
antara pemilik dan buruhnya,
antara sesama buruh tani dan antara orang-orang yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi di mana tanah merupakan salah satu faktornya (Wiradi,1984). Selanjutnya Wiradi juga menegaskan bahwa, masalah tanah pa da hakekatnya
adalah
menyangkut
distribusinya, yang pada produksi.
masalah
pembagiannya,
penyebarannya
gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam
atau proses
25 Masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah, dalam undang-undang pokok agraria (UUPA 1960) diatur juga dalam pasal 4, pasal 16, dan pasal 53 yang menyebutkan bahwa : adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang-orang la in serta badan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan
untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah, dalam batas-batas menurut undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4 UUPA 1960). Selanjutnya pasal 16 ayat 1 UUPA 1960, dijelaskan macam-macam hak atas tanah yang meliputi : (a) Hak milik; (b) Hak guna usaha ; (c) Hak guna ba ngunan; (d) Hak pakai; (e) Hak sewa; (f) Hak membuka tanah; (g) Hak memungut hasil hutan serta hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara , diatur dalam pasal 53 UUPA 1960 yang menunjuk pada hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan hapus dalam waktu singkat (UUPA dalam subekti,1990) Hak milik menurut pasal 20 UUPA adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihka n kepada pihak lain. Hak pakai menurut pasal 41 UUPA 1960 adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
26 berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa -menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Selanjutnya mengenai bagi hasil, pada UU No.2 tahun 1960, tentang perjanjian bagi hasil dijelaskan bahwa : Perjanjian bagi hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang disebut penggarap berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak. 2.3 Pola Nafkah Ganda Petani di Indonesia rata-rata penguasaan lahan sekitar 0.83.ha 7. Secara ekonomi pemanfaatan lahan yang sempit tidak akan mampu memenuhi kebutuhan petani. Dengan kondisi yang serba kekurangan, rumahtangga petani menerapkan
strategi
nafkah ganda. Artinya rumah tangga petani tidak hanya mengandalkan hidup pada satu pekerjaan saja. Untuk itu terutama bagi rumahtangga yang mempunyai jumlah anak dalam kategori banyak, mereka mencari sumber pendapatan lain yang dapat menambah penghas ilan rumahtangga mereka. Dalam beberapa penelitian,8 menunjukkan adanya usaha memaksimalkan sumberdaya keluarga, yakni dengan melibatkan peran wanita dan anak-anak sebagai tenaga kerja produktif untuk turut serta menyokong keuangan rumahtangga. Diantaranya ada wanita yang berjualan makanan kecil-kecilan, beternak ayam ataupun bekerja sebagai buruh dibidang pertanian. Agusta dan Tetiani (2000) menunjukkan bahwa ada kecenderungan pola nafkah ganda di desa di Indonesia, yang
7
BPS.1994. Sensus Pertanian 1993 Seri :J.2 . Pada tahun 1993 rata -rata nasional penguasaan lahan perkeluarga petani adalah 0,83 ha;dimana rata-rata di Jawa 0,47 ha dan diluar Jawa 1,27 Ha.sebagai gambaran kasus Jawa dan Madura Lihat Tabel Lampiran 5 8 Penelitian Frans Husken didesa Gondosari,Pati , Jawa Tengah dalam Bukunya Masyarakat desa dan Perubahan Zaman.Hal.157 173
27 biasa dilakukan dengan memanfaatkan tempat tinggal (rumah) tidak hanya sekedar menjadi tempat
tinggal tetapi seringkali juga menjadi lokasi berusaha. Contohnya
untuk menjemur padi, membuka warung ataupun untuk industri rumahtangga. Dalam kaitannya dengan pertanian, studi hubungan a ntara pola distribusi tanah dan distribusi pendapatan diantara petani menemukan perbedaan strategi pola nafkah. Rumahtangga dilapisan buruh (petani gurem) berpola ”dahulukan selamat”, dilapisan menengah berpola konsolidasi dimana pendapatan dari perta nian dengan luas lahan tani sedang, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
subsistensi anggota
rumahtangga, sehingga mereka tidak memiliki modal cadangan yang cukup untuk mengembangkan usaha. Oleh karena itu, anggota rumahtangga pencari nafkah bekerja pada
usaha luar pertanian untuk berjaga -jaga kalau hasil usahatani tidak mencukupi
karena gagal panen misalnya. Untuk petani di lapisan atas (tanah cukup, modal kuat) cenderung berpola akumulasi modal, yaitu mengembangkan usaha produktif, baik dari surplus usaha pertanian keusaha luar pertanian atau sebaliknya (Mawardi,2003). Penelitian yang dilakukan Sayogjo (1978) menunjukkan bahwa
penduduk miskin
hampir seluruhnya berpola nafkah ganda. Penyesuaian kondisi kemiskinan ini berguna untuk
mengurangi resiko manakala salah satu pola nafkah tidak menghasilkan
pendapatan. Jika dikaitkan dengan luas pemilikan atau penguasaan lahan dan tingkat kemiskinan tidak sepenuhnya langsung. Kaitan langsung keduanya (luas penguasaan lahan dan kemiskinan) hanya muncul pada usaha tani berbasis lahan. Masyarakat tani yang berbasis lahan dapat kita lihat dari tulisan Gertz (1964) tentang involusi pertanian di pedesaan Jawa, di mana masyarakat dicirikan oleh suatu sistem usaha tani padi sawah. Gambaran yang diperoleh menunjukkan diantara petani kurang tampak differensiasinya. Walaupun produktivitas padi sawah meningkat dalam jangka lama, namun
karena tekanan penduduk maka lahan tetap harus
menerima
28 tambahan tenaga kerja. Terjadilah involusi yaitu suatu pe rkembangan di mana produktivitas meningkat tapi hasil per individu tidak naik maka yang terjadi adalah kemiskinan berbagi (Share Poverty ). 2.4 Konversi Lahan Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Dalam pertanian terutama di negara berkembang termasuk Indonesia , faktor produksi tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima dari tanah dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Dari situlah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Karena lahan merupakan faktor faktor produksi dalam berusaha tani, maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani yang diusahakan. Jika dikaitkan dengan proses pembangunan pada dasarnya pertumbuhan ekonomi dalam suatu wilayah akan mendorong terjadinya peningkatan permintaan akan lahan untuk berbagai kebutuhan termasuk kebutuhan pertanian, industri jasa dan kegiatan lainnya. Oleh karena persediaan lahan tidak berubah dalam suatu wilayah maka dengan perubahnya struktur ekonomi yang terjadi seperti yang terlihat terutama dalam wilayah perkotaan, perubahan tersebut telah menggeser peranan sektor pertanian kesektor industri yang juga membutuhkan lahan untuk kegiatannya. Dalam keadaan demikina lahan-lahan pertanian akan mendapat tekanan permintaan untuk penggunaan lahan bagi kepentingan kegiatan di luar pertanian (Anwar 1993).
29 Sebelum masuknya perusahaan industri di suatu desa, lahan-lahan dikuasai oleh petani. Berkaitan dengan hak atas lahan, maka di situ (di desa) terdapat dua golongan petani yaitu petani pemilik dan petani bukan pemilik lahan. Di dalam penggarapan lahan tersebut, petani pemilik dapa t menggarap lahannya sendiri (pemilik penggarap), selain itu juga dapat menggarapkan lahannya kepada orang lain melalui sistem sakap, sewa atau dengan memanfaatkan sistem gadai. Di sisi lain, petani yang tidak memilik lahan dapat menggarap lahan ora ng lain (pemilik tanah) melalui sistem sakap (bagi hasil) sehingga disebut petani penyakap, dapat juga melakukan penggarapan tanah ini dengan sistem sewa atau sistem gadai. Setelah masuknya perusahaan industri di suatu desa, penguasaan lahan dapat terpecah menjadi dua bagian besar, yaitu sebagian dari total luas lahan sawah dikuasai oleh perusahaan industri dan digunakan untuk kegiatan di luar pertanian, sedangkan sisanya masih tetap dikuasai petani. Ini berarti bahwa total lahan sawah yang dikuasai petani dan digunakan untuk kegiatan pertanian menjadi lebih sempit. Kaitannya untuk penguasaan lahan, maka akan ada petani pemilik yang berubah statusnya menjadi petani tidak memiliki lahan (karena lahannya dijual) mungkin juga ada petani yang tadinya memiliki lahan yang luas menjadi sempit pemilikannya. Hal ini bisa dilihat dari hasil sensus pertanian tahun 1993 khusus pulau Jawa di mana lahan sawah yang berubah menjadi perumahan 28.603,50 ha, untuk industri 14.481,70 ha dan untuk perkantoran 3.178 hektar. Menurut Kustiawan (1997) pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan kepenggunaan lainnya. Konversi lahan pertanian ini tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan.
30 Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang (hanya mengejar pertumbuhan) menyebabkan beberapa sektor ekonomi terutama industri tumbuh dengan cepat namun disisi lain melumat sektor lain yakni pertanian. Pertumbuhan tersebut akan membutuhkan lahan yang lebih luas, apabila lahan pertanian letaknya berada dekat sumber pertumbuhan ekonomi seperti pinggiran perkotaan maka dengan pertumbuhan ekonomi tersebut akan menggeser penggunaan lahan pertanian kebentuk lain seperti perumahan, lokasi pa brik, jasa, perdagangan, perkotaan, jalan dan lain-lain. Hal ini juga dipengaruhi karena rente lahan persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi dari pada yang dihasilkan sektor pertanian, hal ini biasanya memicu spekulasi lahan dan munculnya percaloan, sehingga memicu pula peningkatan harga lahan secara cepat, yang pada gilirannya justru menjadi pemikat bagi pemilik lahan pertanian menjual dan melepas pemilikan lahannya untuk penggunaan non pertanian (Barlowe,1972 dan Anwar,1993). Demikian juga menurut Crowel (1995) transfer lahan dari lahan pertanian ke lahan Industri atau lahan untuk peruntukan lainnya terjadi sebagai konsekwensi pertumbuhan penduduk kota secara alamiah maupun karena urbanisasi. Dari uraianuraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa dengan meningkatnya kebutuhan lahan di luar sektor pertanian, menyebabkan terjadinya pergeseran lahan pertanian. Sebagai contoh adanya peningkatan penggunaan lahan perkotaan seperti pemukiman, jasa, perdagangan, perkantora, industri, prasarana jalan dan sebagainya, menyebabkan makin sempitnya areal pertanian di sekitar perkotaan. Apabila transformasi lahan pertanian terus berlanjut maka lahan pertanian makin sempit bahkan kemungkinan habis. Konversi lahan pertanian dekat pusat kota (pusat perekonomian) berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan konversi lahan yang lokasinya jauh dari pusat perekonomian, proses konversi lahan pertanian tidak berdasarkan asas keadilan maka
31 dampak negatif bagi petani (peasant) sebagai penggarap tanah hampir bisa dipastikan akan semakin mempersulit keberadaan petani. Berbagai bentuk atau jenis penggunaan lahan yang tercermin dari pola tataguna lahan yang terjadi selama ini, merupakan hasil pilihan keputusan individual maupun kelompok atau oleh pihak organisasi pemerintah yang dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi. Pada prakteknya sebenarnya pemerintah memegang peranan yang sangat penting dalam alokasi lahan, termasuk peranannya yang paling mendasar adalah harus mengakui dan melindugi hak-hak individual atas lahan yang dalam hal ini adalah petani. Kenyataannya terjadi proses akumulasi dan pemusatan pemilikan/penguasaan tanah di tangan segolongan orang yang jumlahnya terbatas, halmana jelas melanggar batas-batas maksimum yang dibenarkan oleh UUPA 1960. Pergeseran pemilikan/penguasaan
tanah disertai akumulasi dan pemusatan
kepemilikan tanah erat hubungannnya dengan gejala pemilikan/penguasaan tanah yang letaknya jauh di luar daerah di mana sipemilik/penguasa tanah yang bersangkutan bertempat tinggal. De ngan perkataan lain, gejala “absentee ownership ” yang meluas atau apa yang dikenal sebagai tanah “ Guntay “ suatu hal yang tidak dibenarkan oleh UUPA 9. Pergeseran penguasaan tanah, akumulasi dan pemusatan milik akan kekuasaan tanah, serta meluasnya tanah guntay, dapat mempertajam pertentangan kepentingan antara pemilik/penguasa tanah dan penggarap tanah, khususnya jika pemilik tanah guntay lebih mementingkan
kenaikan nilai harga tanah itu sendiri daripada
penggarapannya. Dalam rangka umum alokasi sumber-sumber daya produksi dalam
proses
pembangunan, maka harus diusahakan pemanfaatan tanah pertanian secara optimal. Pengertian optimal ini selanjutnya dilihat dalam rangka tujuan pembangunan yang 9
Tahun 1998,Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui kantor-kantor agraria setempat diseluruh Indonesia mengeluarkan izin loka si atas tanah seluas 3,025 juta hektar, tetapi lahan yang dimanfaatkan hanya 481.558 ha atau hanya 16 % saja. Sedangkan sisanya ditelantarkan sebagai obyek spekulasi tanah.
32 mengandung tiga dimensi: peningkatan produksi, pembagian hasil produksi yag adil dan lebih merata dan kestabilan pemerintah. Hal ini sesuai dengan apa yang termaktup dalam piagam petani (The Peasants Charter, FAO, Rome 1981 ’ Bahwa kemajuan nasional yang didasarkan atas pertumbuhan dengan pemerataan
dan partisipasi, memerlukan suatu redistribusi kuasa-
kuasa ekonomi dan politik, integrasi penuh dari pedesaan ke dalam usaha pembangunan kelompok-kelompok petani, koperasi, dan bentuk– bentuk lain dari organisasi petani dan buruh tani yang bersifat sukarela, otonom, dan demokratis’ Dalam kenyataan sekarang ini banyak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tentang batas-batas pemilikan. Batas minimum terpaksa tidak dapat dipatuhi oleh golongan petani kecil karena tekanan ekonomi dan sistem waris yang berlaku menurut adat dan agama. Batas maksimum dilanggar oleh pihak golongan atau kalangan yang bersaing mendapatkan tanah untuk kebutuhan (investasi atau spekulasi) Pihak peminta (pemilik modal) mempunyai kedudukan yang jauh lebih kuat dari pemilik/petani kecil yang sering terdesak oleh kebutuhan akan uang tunai. Gejala semacam ini menurut (Spitz,1979) mencerminkan
bekerjanya sistem sosial ekonomi yang kurang
menguntungkan bagi anggota termiskin masyarakat. Akumulasi dan pemusatan dan penguasaan tanah pada
golongan ata u kalangan dengan jumlah terbatas kasus di
Indonesia ada kaitannya dengan : 1. Fragmentasi tanah sebagai akibat sistem waris dan pemindahan hak walaupun sudah ada larangan
penjualan tanah, hal mana menyebabkan
pemecahan bidang tanah menjadi kurang darai 2 hektar.
33 2. Tanah garapan yang sangat sempit, tidak ekonomis lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga pemilik, kemudian dijual, dilain pihak keluarga pemilik berhadapan dengan kebutuhan uang tunai yang meningkat. 3. Administrasi pendaftaran tanah sering tidak mencerminkan kenyataan, karena banyak transaksi jual beli tanah tidak dilaporkan ataupun karena transaksi-transaksi dilakukan
dengan
cara pemberian surat kuasa mutlak
kepada pihak pembeli. 2.5 Pola Adaptasi Salah satu masalah sosial pedesaan
yang sangat krusial adalah terbatasnya
peluang kerja baru disatu pihak dan peningkatan angkatan kerja dipihak lain. Ketidak seimbangan yang sangat memprihatinkan ini antara lain merupakan dampak negatif dari intensifikasi bidang pertanian serta semakin, menipisnya lahan yang menjadi garapan mereka. Intensifikasi pertanian
dipandang telah menurunkan
daya serap
sektor pertanian, mengubah pola -pola hubungan kerja dan memicu konsentrasi kepemilikan lahan pada segelintir golongan masyarakat. Sementara itu pihak-pihak yang secara langsung merasakan dampak negatif ketimpangan penguasaan maupun kepemilikan agraria adalah rumahtangga petani berlahan sempit dan buruh tani. Untuk mensikapi
tekanan sosial ekonomi dan
kemiskinan yang dihadapinya, kelompok rumahtangga ini biasanya mengembangkan strategi adaptasi. Konsep strategi adaptasi dikemukakan oleh Kusnadi (1996) yang dapat diartikan sebagai sebuah pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial ekonomi, serta ekologi di mana penduduk tersebut tinggal. Pemilihan tindakan yang bersifat kontekstual tersebut dimaksudkan untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungan guna mengatasi
34 tekanan-tekanan sosial
ekonomi. Dengan demikian mereka
tetap dapat menjaga
kelangsungan hidupnya. Dalam konteks pola nafkah ganda, menurut Sayogjo (1978) strategi hidup rumahtangga berbeda antara lapisan bawah, lapisan tengah, dan lapisan atas. Bagi lapisan atas, pola nafkah ganda merupakan strategi akumulasi di mana surplus pertanian mampu membesarkan usaha luar pertaniannya, dan sebaliknya pada lapisan tengah pola nafkah ganda merupakan strategi bertahan
di mana sektor luar pertanian
dipertimbangkan sebagai potensi untuk perkembangan ekonomi. Bagi lapisan bawah, pola nafkah ganda merupakan strategi
survival di mana
sektor luar pertanian
merupakan sumber nafkah penting untuk menutupi kekurangan dari sektor pertanian. Rumahtangga berlahan sempit dan tak bertanah pada umumnya
memperoleh upah
yang rendah disektor luar luar pertanian, bahkan lebih rendah dibandingkan tingkat upah buruh tani disektor pertanian. Seiring dengan kemajuan pendidikan dan informasi tentang kehidupan kota
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berubahnya
persepsi masyarakat pedesaan
tentang pekerjaan yang dikehendakinya. Ada
kecenderungan bahwa makin tinggi pendidikan makin besar keinginan penduduk untuk bekerja di luar desa. Ditambah pula oleh kecenderungan berkurangnya lahan pertanian, sehingga
kesempatan untuk be rtani atau terlibat dalam kegiatan pertanian
makin terbatas. Akhirnya penduduk
desa
mencari pekerjaan
lain
dan kalau
mempunyai modal mereka berjualan atau berdagang, baik di desa maupun di luar desa. Hasil penelitian Jones melaporkan bahwa masyarakat pedesaan di pulau Jawa, berdagang sudah menjadi sumber tambahan pendapatan dan menjadi pekerjaan pokok bagi sebagian lainnya. Penelitian mobilitas tenaga kerja di wilayah pembangunan Sukabumi dan Banten menemukan data
bahwa dalam jangka lima tahun (1974 -1979)
jumlah pelaku mobilitas yang menjadi pedagang naik sampai 64 persen. Studi tentang
35 perubahan ekonomi pedesaan dan mobilitas tenaga kerja di Jawa Barat yang dilakukan Manning melaporkan bahwa mobilitas penduduk dari desa ke kota menyebabkan kenaikan proporsi pedagang antara 1976-1983 sampai dengan dua pertiga dari seluruh pekerjaan
nonpertanian di kecamatan dan kabupaten. Penelitian lain yang dilakukan
di pedesaan kabupaten Garut dan Majalengka memperoleh data yang memperlihatkan perubahan cukup dramatik penduduk yang bekerja disektor perdagangan meningkat dari sekitar 4 persen pada tahun 1979 menjadi lebih 24 persen pada 1989 Menurut hasil penelitian Dharmawan (2001) Ada beberapa
strategi yang
ditempuh petani untuk me njaga kelangsungan hidup rumah tangganya, yaitu ; 1. Mengolah lahan pertanian milik sendiri. 2. Mengolah lahan pertanian milik orang lain 3. Bekerja di luar sektor pertanian 4. Hasil pembayaran dan sumbangan Biasanya petani melakukan kombinasi-kombinasi dari ke empat faktor di atas. Kombinasi untuk setiap strategi nafkah yang dipergunakan akan selalu berbeda untuk setiap lapisan rumahtangga petani, tergantung dari sumberdaya alam yang dipunyai. Sedangkan menurut hasil penelitian Igbal (2004), terdapat empat kategori pola nafkah ganda yang dilakukan rumahtangga petani, yaitu : 1. Suami-istri masing-masing bekerja disektor yang sama 2. Suami istri bekerja tetapi berlainan sektor 3. Salah satu anggota rumahtangga memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan. 4. Masing-masing anggota keluarga memiliki pekerjaan. Bagi rumahtangga petani, kepemilikan lahan yang sempit mendorong mereka melakukan kerja disektor lain
semisal bekerja disektor Informal di kota, dengan
pertimbangan sektor informal yang ada di kota bisa dimasuki tanpa menuntut adanya
36 kualitas sumberdaya manusia yang tinggi seperti umumnya kondisi petani yang berpendidikan rendah. Dalam sektor informal, individu bebas berkreatifitas di luar sistem peraturan yang mengikat dan kepentingan pemerintah, yang berbeda de ngan kondisi kondisi yang terdapat dalam sektor formal. Bentuk kegiatan yang dilakukan petani sebagaimana tercantum di atas merupakan bentuk difersifikasi kerja, di mana sektor pertanian tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan petani. Menurut Darmawan (2001) upaya diversifikasi kerja yang dilakukan petani adalah untuk : 1. Mempertahankan garis batas aman dengan mencukupi kebutuhan subsisten. 2. Meningkatkan status sosial ekonomi dan meningkatkan standar hidup petani. 2.6 Kerangka Pemikiran Penguasaan dan kepemilikan lahan sangat erat dengan masalah kemakmuran dan kemiskinan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih menggantungkan hidupnya disektor pertanian. Semakin sempitnya lahan pertanian yang diusahakan petani (Peasant) sebagai akibat dari perta mbahan jumlah penduduk dan juga kebijakan penataan struktur agraria oleh pemerintah yang tidak adil. Adapun pola penguasaan lahan yang ada sekarang ini dinilai cukup timpang di mana distribusi penguasaan lahan semakin mengalami polarisasi, pemilik modal mengusai lahan yang begitu luas di sisi lain petani miskin semakin miskin akibat terpisah dari sumberdaya ekonominya yakni lahan. Penguasaan, pemilikan dan penggunaan
sebidang lahan menyangkut aspek sosial, ekonomi dan politik. Maka
perubahan yang terjadi pada ketiga aspek tersebut akan menyebabkan perubahan pada pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan lahan. Perubahan itu terjadi disebabkan perubahan dari dalam masyarakat sendiri (faktor internal) dan dari luar masyarakat (eksternal). Faktor internal yakni adanya kecenderungan menjual tanah dari penduduk
37 setempat, sedangkan dari faktor eksternal yakni adanya intervensi modal kapital dari para pemilik modal baik swasta maupun pemerintah sendiri, sebagai wujud kebijakan pertanahan yang tidak populis. Tanah yang dahulu digunakan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga telah
beralih kepihak lain. Dengan tidak adanya sumberdaya tanah yang dimiliki, para petani tentu saja juga
kehilangan mata pencaharian. Kalaupun
masih berusaha disektor
pertanian itupun hanya petani penggarap. Hal ini tentu saja berakibat pada perubahan status petani,
petani yang dulunya mengusahakan tanah milik sendiri atau sebagai
petani pemilik berubah menjadi petani yang menggarap tanah milik orang lain atau sebagai petani penggarap karena sudah tidak memiliki lahan pertanian lagi. Penelitian ini mengkaji pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian yang fokus utamanya untuk menghasilkan pangan yang dimaksudkan
dan hortikultura (usahatani). Konversi lahan
adalah konversi lahan kering (tegalan) yang berupa perbukitan.
Lahan yang semula dijadikan sebagai tambahan penghasilan tanaman
tahunan, setelah terjadi
konversi
lahan
dengan ditanami
dialihfungsikan
untuk
pertambangan batu. Masuknya perusahaan (PT) untuk menanamkan investasinya akan berpengaruh terhadap kondisi sosial
maupun ekonomi masyarakat. Pembelian lahan-lahan
oleh
investor terhadap petani akan berdampak pada perubahan ekonomi masyarakat. Akses masyarakat terhadap lahan sema kin kecil sehingga masyarakat petani yang sebagian besar berpendidikan rendah melakukan berbagai strategi untuk tetap bertahan dari te kanan ekonomi yang dialaminya yakni pola nafkah ganda dan optimalisasi tenaga kerja keluarga. Persoalan lain yang menjadi dampak dari adanya konversi lahan adalah proses konversi dan pengelolaan uang hasil konversi tidak selalu menguntungkan bagi petani,
38 yang pada akhirnya kepemilikan lahan beralih sedangkan uang hasil konversi tidak digunakan untuk alokasi yang produktif sehingga konversi lahan semakin menjadikan masyarakat petani kecil terpuruk dalam kemiskinan. Faktor yang menyebabkan konversi lahan secara mikro dibagi menjadi dua, faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal meliputi pendidikan, pengalaman kerja, tingkat penghasilan dan juga ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal yakni masuknya perusahaan (PT), pengaruh dari tetangga dan juga calo serta pemerintahan desa sendiri. Dampak yang
ingin
dilihat selanjutnya setelah konversi terjadi adalah
bagaimana masyarakat yang menjual lahannya beradaptasi dengan kondisi tersebut. Bagaimana penggunaan uang hasil konversi apakah terjadi perbedaan alokasi dana (uang) hasil konversi antara petani lapisan atas, menengah dan bawah, dan apakah terjadi
perubahan struktur rumahtangga dengan alokasi tenaga kerja. Selain itu
penelitian ini juga ingin
melihat fungsi jaringan
sosial rumahtangga petani yang
diduga merupakan salah satu pola adaptasi untuk mengatasi kesulitan me menuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, akibat ketidak pastian penghasilan.
39
Faktor yang mempengaruhi konversi
Faktor 1. 2. 3. 4.
Faktor Intern. 1. Pendidikan 2. Pengalaman kerja 3. pendapatan 4. Ketergantungan pada tanah
Ekstern. Investor Pemerintah Desa Calo Tetangga
Konversi Lahan
Adaptasi
Berkaiatan dengan Struktur alokasi tenaga kerja rumahtangga) 1. Pola nafkah ganda (memanfaatkan lahan tidur, usaha lain) 2.
Optimalisasi tenaga kerja rumahtangga
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga petani.
40 2.7 Definisi Konseptual a. Petani
: Orang desa yang mengolah lahan dengan bantuan
tenaga kerja keluarga sendiri atau orang lain untuk menghasilkan bahan pangan bagi keperluan hidup sehari-hari b. Komunitas : Suatu satuan sosial yang utuh yang terikat pada suatu tempat dengan ciri-ciri alamiah yang khas. c. Strategi nafkah ganda : Kegiatan mengkombinasikan berbagai aktivitas yang dijalankan oleh rumahtangga untuk
memenuhi
kebutuhan hidup d. Lahan/ Tanah pertanian : Lahan pertanian dalam penelitian ini semua lahan
baik itu produktif maupun tidak yang dimiliki
masyarakat desa. e. Konversi lahan : Proses perubahan fungsi peruntukan lahan f.
Konflik Agraria : Perbedaan kepentingan yang mengarah ke pertentangan terhadap hak kepemilikan/akses terhadap sumberdaya agraria antara (masyarakat-pemerintah-swasta)
g. Struktur Agraria : Kepemilikan dan penguasaan lahan terkait hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya h. Rumahtangga : Sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama ser ta makan dari satu dapur, atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan serta mengurus keperluannya sendiri. i.
Anggota Rumahtangga : Orang yang bertempat tinggal dalam satu rumahtangga baik yang ada pada waktu pencacahan maupun
41 sementara
tidak ada atau
sedang bepergian kurang lebih enam
bulan. j.
Rumahtangga Pertanian : Rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggotanya melakukan kegiatan bertani/berkebun.
k. Sumber Penghasilan Utama : Sumber penghasilan terbesar sebagai sumber penghasilan utama rumahtangga. l.
Kepemilikan lahan : Menunjukkan kepada penguasaan formal.
m. Penguasaan : Menunjukkan pada penguasaan efektif. Contoh, jika tanah disewakan kepada orang lain, maka orang itulah yang secara efektif dikuasainya. n. Struktur Agraria : Sesuatu yang
menunjukkan pada kegiatan
masyarakat di dalam kegiatan produksi pertanian (peternakan, perikanan dll), struktur penguasaan dan peruntukan lahan yang terkait juga dengan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya agraria.
2.8 Definisi Operas ional : 1.Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah atau sedang diikuti oleh responden. Dalam
penelitian ini tingkat pendidikan dibedakan
menjadi tiga tingkat, yaitu : a. Rendah
: responden tidak atau tamat SD
b. Sedang
: Responden tamat SLTP
c. Tinggi
: Responden tamat SLTA atau PT
42 2.Tingkat Pemilikan lahan : Jumlah lahan yang dimiliki oleh suatu rumahtangga dalam penelitian ini tingkat pemilikan lahan dikategorikan menjadi tiga tingkatan yaitu : a. Rendah : Jika memiliki lahan > dari 0,25 Ha b. Sedang :jika memiliki lahan antara 0,25 – 0,5 Ha c. Tinggi : jika responden memiliki lahan lebih dari 0,5 Ha 3.Tingkat pemilikan sarana poduksi pertanian adalah jumlah kepemilikan alatalat yang terkait dengan proses bertani. Dalam penelitian ini tingkat pe milikan sarana produksi pertanian dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Rendah : Jika responden hanya memiliki alat pengolahan saja, atau hanya memiliki peralatan yang relatif tradisional b.Tinggi : jika responden memiliki satu atau lebih sarana pendukung lanjutan produksi pertanian atau memiliki peralatan yang relatif modern. Misalnya, alat untuk menyiangi, alat memanen dan sebagainmya. 4. Tingkat kekayaan : adalah sumber daya yang dimiliki baik berupa uang atau barang yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sebulan. Dalam penelitian ini tingkat kekayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu : 1.
Kaya
: Jika sumberdaya (diuangkan) yang dibelanjakan
sebulan lebih dari Rp1.000.000,00 2.
Sedang : Jika Pengeluran antara Rp432.000-Rp.1.000.000,00
3.
Miskin : jika pengha silan kurang dari < Rp432.000,00
43 BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pelaksanaan penelitian
dilakukan
di desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor. Pemilihan tempat didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan di mana lokasi tersebut adalah daerah pertambangan batu yang dikelola oleh perusahaan swasta. Lahan yang dijadikan pertambangan awalnya adalah lahan penduduk setempat yang dibeli dengan harga yang murah. Dengan pertimbangan di atas diharapkan dapat dilihat dampak konversi lahan bagi penduduk setempat, reaksi penduduk terhadap adanya perusahaan pertambangan dan sejauh mana penduduk melakukan penyesuaian (adaptasi) terhadap intervensi akumulasi modal dari perusahaan pertambangan. Adapun pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2005. 3.2 Pengambilan Sampel Pengambilan sampel/responden dilakukan secara acak (random sampling) dari petani/masyarakat yang tanahnya
dijual kepihak perusahaan. Kerangka sampel
diperoleh dari kantor kelurahan desa Batujajar. Responden adalah masyarakat desa Batujajar yang menjual lahan, dipilih 20 kk dari 55 kk yang menjual lahan. 3.3 Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan untuk menggali fakta dan informasi di lapangan pada penelitian ini adalah gabungan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen utamanya sementara data kualitatif dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi, wawancara maupun
wawancara
tidak
mendalam yang dipandu oleh panduan waw ancara, terstruktur.
Semua
informasi
yang
diperoleh
44 didokumentasikan dalam bentuk catatan harian. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner dengan pertanyaan-pertanyaan yang berbentuk terbuka dan tertutup. Data dalam penelitian ini dibagi kedalam dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh peneliti, baik itu data dari kuesioner, wawancara, maupun hasil pengamatan. Sementara data sekunder meliputi data -data atau informasi yang diperoleh dari sumber-sumber sekunder, seperti data monografi desa atau sumber pustaka lainnya. Adapun tingkat analisis penelitian ini adalah rumahtangga. 3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang digunakan
adalah data primer dan data sekunder. Data
primer
diperoleh melalui survei dan wawancara langsung kepada responden yang ditentukan, dengan mengunakan kuisioner atau daftar pertanyaan yang telah disediakan. Juga hasil pengamatan di lapangan dan wawancara langsung kepada informan kunci di desa, serta aparat desa. Data sekunder diperoleh dari daftar isi potensi desa, serta sumber-sumber lain yang menunjang maksud tujuan penelitian. Data hasil penelitian
diolah dengan
menggunakan metode analisa tabel frekwensi dari hasil pengamatan dan wawancara dengan responden (metode kuantitatif) juga mendeskripsikan dan mengintrepretasikan fenomena hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan responden maupun informan kunci.
45
BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Letak Geografis Batujajar Desa Batujajar, sebagai salah satu desa di Kecamatan Cigudeg, yang terletak antara jalan Bogor dan Jasinga, dengan ketinggian tempat antara 300-400 meter di atas permukaan air laut. Secara administrasi desa Batujajar merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, yang terletak di sebelah barat Gunung Salak. Desa Batujajar terdiri dari 11 dusun, dengan luas wilayah 820 ha, serta berbatasan dengan desa lain yang masih dalam satu kecamatan maupun kecamatan lain. Batas wilayah tersebut adalah dengan desa Rengasjajar di sebelah barat dan selatan, Tegallega di sebelah timur dan desa Dago kecamatan
Parung Panjang di
sebelah utara. Ditinjau dari potensi sosial ekonomi desa Batujajar merupakan desa dengan penghasil hasil tambang terbesar kedua setelah Rengasjajar. Pusat pemerintahan desa Batujajar terletak kurang lebih 16 km sebelah barat ibukota kecamatan, dari ibukota Kabupaten Bogor terletak kurang lebih 60 km. Antara pusat pemerintahan desa dengan ibukota kecamatan dan ibu kota kabupaten maupun ibukota propinsi dihubungkan dengan jalan tanah dan aspal, sedangkan dengan desa lain
dalam satu kecamatan
dihubungkan dengan jalan tanah dan jalan aspal pula. Pada umumnya sebagian besar penduduk desa Batujajar adalah petani dan buruh. Dengan penguasaan lahan yang rata-rata kurang dari 2.500 m2, menjadikan mereka petani subsisten. Hasil utama pertanian di desa Batujajar adalah padi. Adapun
46 komoditas lain seperti palawija, cabe da n tomat belum banyak dikembangkan karena keterbatasan serta penguasaan teknologi budidaya yang masih rendah. 4.1.1 Lingkungan Alam 1. Topografi Wilayah desa Batujajar mempunyai ketinggian antara 300 - 400 meter di atas permukaan laut. Secara umum merupaka n daerah perbukitan dengan lembah-lembah datar untuk persawahan. Karena banyaknya perbukitan yang berisi batu gunung maka banyak daerah perbukitan Batujajar yang dialih fungsikan untuk pertambangan batu gunung. Ada sekitar tujuh perusahanaan yang sudah membeli tanah yang berupa bukit dari masyarakat, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta, yang kesemuanya mencapai 419,5 ha atau sekitar 51,15 persen dari keseluruhan luas Desa Batujajar (Lihat tabel 1). Tabel 1. Penguasaan Lahan Oleh Perusahaan Pertambangan di Desa Batujajar No Nama Perusahaan Luas Lahan Status Tambang Lokasi (ha) 1 PT.Manik Jaya 2 42 Aktif Dukuh Wakaf 2 PT.Indocement 31,5 Non aktif Tipar/Bolangh 3 PT.Batutama 82 Non aktif Wakaf 4 PT.Silkar 10 Non aktif Wakaf 5 PT.SumoBotang 9 Non Aktif Curug 6 PT.Antasari Raya 98 Non Aktif Pasir Kalong 7 Perkebunan 147 Aktif Wakaf Jumlah 419,5 2. Temperatur udara Data mengenai temperatur di wilayah desa Batujajar tidak dapat diperoleh, namun demikian temperatur dapat diketahui dengan cara perhitungan matematika. Sandy (1987:8) menjelaskan bahwa suhu rata-rata tahunan di permukaan daratan pada ketinggian 0 meter di atas permukaan air laut adalah 26 C°. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap kenaikan 100 meter di atas permukaan air laut terjadi penurunan suhu yaitu sebesar 0,6 C°. Wilayah desa Batujajar terletak pada ketinggian 300 meter sampai
47 400 meter di atas permukaan air laut. Dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Dames, maka dapat diperhitungkan
bahwa secara keseluruhan wilayah desa
Batujajar mempunyai temperataur antara 23,6 C ° – 24,2 C°. Menurut Yoshida (1983) bahwa pertumbuhan padi secara optimum memerlukan suhu antara 20 sampai 35 C°. Dengan mendasarkan pada persyaratan tersebut, maka desa Batujajar dapat dikatakan memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi secara optimum. 3. Tanah Tanah merupakan
akumulasi tubuh alam yang bebas, menduduki sebagian
permukaan bumi yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat-sifat sebagai pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula (Darmawidjaja,1970: 9). Jenis tanah yang terdapat di desa Batujajar termasuk jenis tanah latosol, merupakan tanah yang faktor pembentuknya
terdiri dari bahan induk berupa abu
volkanik, tanah liat, dengan topografi berbukit-bukit, dan landai. Dengan jenis tanah semacam itu, tanah di Batujajar sebenarnya sangat cocok untuk lahan pertanian padi sawah dan tanaman budidaya seperti sawit, durian dan kelapa. 4. Tata Air Air pengairan
merupakan
kebutuhan
pokok bagi pertumbuhan
tanaman
khususnya dibidang usaha tani. Wilayah desa Batujajar dilalui beberapa anak sungai serta beberapa mata air, dengan kondisi demikian
maka desa Batujajar dapat
dimanfaatkan untuk usaha pertanian, perikanan darat maupun perkebunan. Kedalaman air di desa Batujajar berkisar antara 4 sampai 6 meter. Lahan pertanian di desa Batujajar sebagian besar memakai irigasi teknis, irigasi sederhana dan juga mengandalkan air hujan. Lahan sawah bisa ditanami padi dua kali
48 selama setahun, namun kalau pasokan air melimpah yang biasanya terjadi pada waktu musim hujan maka panen padi bisa dilakukan sebanyak tiga kali. Namun meskipun pengairan bisa dibilang lancar belum berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas padi.(Tabel 2) Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Lahan di Desa Batujajar Perhektar No Lokasi Tahun 1985 1995 1 Curug 1,5 ton 2 ton 2 Tipar 1,8 ton 1,5 ton 3 Pasir Gedong 1,8 ton 1,8 ton 4 Bolang 1 ton 1,5 ton Rata-Rata 1,67 ton
2005 1,7 ton 2 ton 2 ton 1,5 ton
Sumber : Data primer 2005
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa produktivitas lahan sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain di Jawa semisal
Cirebon utara yang mencapai
produkrivitas lima sampai enam ton perhektar (Breman dan Wiradi,1999). 4.1.2 LINGKUNGAN FISIK 1 Tata Guna Lahan Penggunaan lahan yang dominan di desa Batujajar adalah lahan pertambangan yang luas arealnya sebesar 292,5 ha. Urutan Yang ke dua adalah persawahan yang terbagi menjadi tiga yakni, pertama lahan irigasi teknis 100 ha, kedua sawah irigasi setengah teknis seluas 50 ha dan yang ketiga sawah tadah hujan sejumlah 47 hektar. Urutan
ke tiga, penggunaan
perumahan da n pekarangan
lahan
untuk perkebunan seluas 147 Ha (17,9%)
dengan luas areal 12 ha dan 145,5 ha dari luas desa.
Penggunaan lahan untuk jalan dan sungai menduduki urutan kelima dengan luas areal 20 ha atau 2,4 persen dari luas seluruh desa, kemudian disusul penggunaan lahan untuk kuburan dengan luas areal 5 ha atau 0,6 persen dari luas seluruh desa. Dan yang terakhir adalah penggunaan lahan untuk lapangan dengan luas areal 1 hektare atau 0,12 persen dari luas seluruh desa. Mengenai tersebut disajikan pada tabel di bawah ini
luas
masing-masing penggunaan
lahan
49 Tabel 3. Bentuk Penggunaan Lahan di Desa Batujajar Tahun 2005 Bentuk Penggunaan Luas (ha) 1. Pertambangan 292,5 2. Persawahan 197 3. Perkebunan 147 4. Pekarangan 145,5 5. Jalan dan Sungai 20 6. Pemukiman 12 7. Kuburan 5 8. Lapangan 1
Persen 35,6 24 35,6 17,1 2,4 1,5 0,6 0,12
Sumber : Data Monografi desa Batujajar 2005.
Bila dilihat dari luas lahan, yang dominan adalah pertambangan yaitu 35,62 persen dari luas desa Batujajar, maka dapat dikatakan
bahwa pertambangan
merupakan modal utama untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat desa Batujajar. Sedangkan dengan luas lahan sawah sebesar 197 ha maka dibandingkan dengan jumlah penduduk Batujajar yang mencapai 5.272 (2004) maka kepadatan agraris hanya sekitar 373,4 m², kalau dihitung perkepala keluarga yang mencapai 1.080 maka rata-rata menguasai sebesar 1.869,2 m². Luas sebesar itu dapat dikatakan tergolong sempit. Apabila ditanami padi kemungkinan
untuk mencukupi kebutuhan hidup relatif sulit, kecuali jika ada
ta mbahan penghasilan yang didapat di luar sektor usaha tani semisal perdagangan maupun pertambangan ataupun usaha lainnya. 2. Perumahan Pemukiman penduduk di wilayah Batujajar berciri menyebar dan kurang tertata dengan baik. Batas antara rumah yang satu dengan yang lainnya biasanya hanya berupa pagar tanaman hidup. Namun demikian masyarakat mempunyai hubungan yang baik antar tetangga. Hal ini tercermin
dari adanya
penyelengaraan pesta hajatan atau dalam
kerjasama antar masyarakat dalam kegiatan
upacara kematian. Kondisi
rumah-rumah hunian masyarakat Batujajar cukup beragam, dari keseluruhan jumlah rumah yang ada di desa Batujajar 1.070 buah, terdiri dari 778 buah rumah permanen dan 292 buah rumah tidak permanen. Dari seluruh rumah ter nyata terdapat 284 buah
50 (26,5%) memiliki sanitasi (WC) sendiri, sedangkan keluarga yang menggunakan MCK di sungai mencapai 350 atau sekitar 32,7 persen. Desa Batujajar merupakan salah satu unit pemerintahan terkecil dibawah kecamatan Cigudeg. Desa ini me liputi 11 (sebelas) wilayah administrasi yang disebut dusun. Dusun-dusun itu sendiri meliputi unit-unit administrasi yang disebut kampung. Setiap kampung terbagi dalam rumahtangga-rumahtangga yang didiami oleh penduduk dan secara keseluruhan membentuk suatu lingkungan sosial tersendiri. Pola pemukiman penduduk menyebar diseluruh desa namun kebanyakan pemukiman berada dipinggir jalan besar. Kondisi kawasan berupa perbukitan juga menjadi faktor terpencarnya pemukiman warga. Warga lebih memilih tinggal di daerah dataran rendah dibandingkan daerah dataran tinggi. Hal ini dimungkinkan mempunyai rumah di pinggir jalan lebih mudah aksesnya terhadap kebutuhan sehari-hari. Kalau melihat kondisi rumah untuk mengetahui tingkat kemakmuran masyarakat di desa Batujajar maka dusun Sinengah yang rata-rata dihuni orang-orang berada. Bangunan rumah besar-besar dengan perabotan yang merupakan ciri masyarakat kota, sedangkan dusun yang paling miskin adalah dusun Bolang yang sebagian
besar
masyarakatnya menempati rumah yang sangat sederhana, ukuran kecil dan kebanyakan setengah permanen. Pengelolaan sampah di perkampungan, biasanya sampah dibuang begitu saja di tanah-tanah kosong di sekitar rumah-rumah mereka bahkan juga dibuang ke sungai, tetapi dalam kondisi kering biasanya dibakar. 4.1.3 Demografi Desa Batujajar 1. Penduduk Penduduk Batujajar sebagian besar merupakan komposisi 97 persen masyarakat asli dan
masyarakat asli dengan
tiga persen pendatang, dengan
jumlah
51 penduduk sebanyak 5.272 tahun 2004. Jumlah penduduk laki-laki
lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan yaitu sekitar 2.742 jiwa atau 52 persen penduduk laki-laki dan 2.527 jiwa atau 48 persen penduduk perempuan. Bila dilihat dari komposisi penduduk menurut umur, terlihat bahwa peresentase pendududk usia muda (0-15 tahun) cukup tinggi yaitu
sekitar 39,7 persen dan
penduduk usia belum wajib sekolah (< 6) juga cukup besar sekitar 19,8 persen dari total penduduk. Penduduk usia tua (> 60 tahun) juga cukup tinggi yaitu sekitar 18,4 persen. Sebagian besar penduduk merupakan penduduk usia produktif (16-60) tahun, yaitu sekitar 41,8 persen. Banyaknya penduduk usia non-produktif dan sedikitnya penduduk usia produktif, bisa memberikan kemungkinan yang berbeda, yaitu (angka harapan hidup penduduk Batujajar tinggi; (2) keluarga cenderung mempunyai anak lebih dari satu dengan rentang kelahiran yang
rendah. Bila diasumsikan
bahwa
pendududk usia non produktif adalah usia 0-15 tahun dan > 60 tahun, maka Rasio Beban Tangungan (RBT), jumlah penduduk usia non produktif yang ditanggung oleh penduduk usia produktif adalah sekitar sebesar 139,4 jiwa 10. Rasio beban tanggungan sebesar ini bisa
dikatakan tinggi, karena dari 100 orang penduduk usia produktif
menanggung sekitar 139 orang penduduk usia non produktif. Kepadatan pendududk Batujajar, dengan luas desa sekitar 820 ha, pada tahun 1994 sekitar 5.112 jiwa dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 5.272 jiwa. Tabel. 4. Jumlah dan Persentase Pria dan Wanita Penduduk Batujajar menurut Usia No Usia Pria Persen Wanita Persen 1 0– 6 540 10,2 506 9,6 2 7-15 511 9,7 543 10,2 3 16-60 1 176 22,3 1 026 19,5 4 >60 518 9,8 452 8,6 Jumlah 2 742 52 2 527 48 Sumber: Data monografi desa Batujajar 2005.
10
RBT= Jumlah Pendududk Usia 0-15 Tahun dan Usia>60 tahun Jumlah penduduk Usia 15 tahun - usia 60 Tahun
52 2. Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan disini mengacu kepada sumber nafkah utama penduduk Batujajar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa sebagian besar pendududuk Batujajar adalah petani dan buruh tani. Jumlah pendududk usia kerja di desa Batujajar adalah 28 persen. Penduduk yang belum bekerja adalah 44,9 persen Selanjutnya penduduk yang bukan usia kerja adalah 27,1 persen Dari data ini dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang bukan usia kerja hampir sebanding dengan penduduk usia kerja dan jumlah penduduk yang bekerja lebih el bih banyak dibandingkan penduduk yang tidak bekerja. Tabel 5. Kondisi Ketenagakerjaan Masyarakat Batujajar. No Kategori 1 Penduduk usia kurang dari 15 tahun 3 4 5 6 7 8
Jumlah Angkatan kerja penduduk usia 15-55 Jumla h Penduduk Usia 15-55 yang masih sekolah Jumlah Penduduk usia 15-55 yang menjadi ibu rumahtangga Jumlah Penduduk usia 15-55 yang bekerja penuh Jumlah penduduk usia 15-55 tahun yang bekerja tidak tentu Penduduk usia ≥56 Jumlah Total
Jumlah 2 109
Persen
670 57 1 080
40,0 12,7 1,1 20,5
105 205
1,9 3,8
1 046 5 272
19,8 100,0
Sumber : Data monografi desa Batujajar 2005
Pemilikan dan penguasaan lahan berpengaruh terhadap pilihan kerja masyarakat. Dari data tabel 6 menunjukkan bahwa sektor pertanian (petani, buruh tani) menjadi pekerjaan utama masyarakat Batujajar. Kecenderungan menunjukkan sektor pertanian hanya digeluti oleh orang-orang tua. Sedangkan anak-anak muda lebih cenderung bekerja di kota, sebagai buruh bangunan, buruh pabrik atau berdagang. Sedangkan pemuda yang tetap berada di desa lebih memilih menjadi tukang ojek, atau menjadi buruh di pertambangan sebagai sopir atau Pemantek.1
53 Tabel 6. Jumlah Penduduk Usia Kerja Desa Batujajar Menurut Matapencaharian Tahun 2003 No Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 Karyawan a. Pegawai negeri 12 0,56 sipil/TNI b. Pemsiunan PNS 8 0,37 c. Swasta 108 5,10 2 Pedagang 303 14,31 3 Tani dan Buruh Tani 1 850 87,38 4 Peternakan 2 0,09 5 Penggilingan Padi 5 0,23 6 Pertukangan 7 0,33 7 Penyewaan Traktor 1 0,04 8 Angkutan 7 0,33 9 Ojek 24 1,13 10 Jasa Lainnya 93 4,39 Total 2 117 100 Sumber : Data monografi Desa Batujajar 200 3
3. Pendidikan Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan menggambarkan
tingkat
kemajuan suatu wilayah dalam pembangunan, baik pembangunan pada tingkat pendidikan itu sendiri maupun pembangunan
yang lain seperti dalam bidang ilmu
pengetahun. Penduduk desa Batujajar menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 7 yang menunjukkan bahwa umumnya tingkat pendidikan di desa Batujajar saat ini adalah tidak sekolah atau tidak tamat SD mencapai 6,7 persen, SD 75,2 persen, SLTP 0,76 persen, SLTA 0,57 persen serta perguruan tinggi 0,17 persen. Tabel 7. Jumlah dan Presentase tingkat Pendidikan Desa Batujajar No Tingkat Pendidikan Tahun 1994 Jumlah Jiwa 1 Belum Sekolah 1 006 6,8% 2 Tidak Tamat SD 350 0,7% 3 SD/Sederajat 3 693 72,2% 4 SLTP 37 0,4% 5 SLTA 23 0,05% 6 PT/Akademi 3 19,6% Jumlah 5 112 100
Tahun 1994 dan2004 Tahun 2004 Jumlah Jiwa 924 17,5% 355 6,7% 3 934 75,2% 40 0,76% 30 0,57% 9 0,17% 5 272 100
Sumber : Data monografi Desa Batujajar
1
Pantek. Buruh pemecah batu di daerah pertambangan. Batu yang berdiameter antara 0,5-1 meter dipecah dengan palu besar, menjadi kepingan sebesar kepalan tangan.
54 4.2 Kehidupan ekonomi, Sosial dan Budaya. 1. Kehidupan Ekonomi. Di daerah Batujajar suatu hal yang menjadi ukuran ekonomi dan kebanggaaan penduduk adalah rumah, sawah dan perabotan mewah. Kesadaran untuk investasi terhadap pendididkan bagi anak-anaknya masih belum membudaya. Kondisi rumah di desa Batujajar secara keseluruhan cukup bagus, dengan artian, sudah tidak terlalu banyak penduduk yang rumahnya berlantai tanah dan berdinding anyaman. Sebagian besar besar sudah permanen dan semi permanen, namun kalau dilihat dari kelengkapan sanitasi maka masih kurang. Hampir 90 persen responden masih menggunakan sungai untuk mandi, cuci dan kakus (MCK). Umumnya yang bekerja adalah kepala rumahtangga. Tiap kepala rumahtangga menanggung empat sampai delapan orang. Kondisi rumahtangga yang kurang mampu akan mendororng tenaga kerja dari pihak istri dan anak-anak untuk turut serta mencari uang. Kondisi inilah yang mendororng or ang tua yang kondisi ekonominya sulit untuk melepas/menikahkan anaknya di bawah umur 20 tahun. Kebutuhan pokok yang lain adalah makan. Makanan pokok adalah nasi, yang pada umumnya penduduk makan tiga kali sehari, tetapi ada juga yang hanya makan dua kali sehari. Hal ini karena kebiasaan. Sesuai dengan kemampuannya dalam hal makan, mereka menggunakan sayur. Kebanyakan sayur diperoleh dari pekaranganan, antara lain daun ketela daun mlinjo, terong dan sebagainya, atau dapat diperoleh dari warung secara membeli. Pada saat makan kecuali mengguanakan sayur, juga menggunakan lauk-pauk. Lauk pauk yang digunakan beraneka ragam jenisnya, ini tergantung dari kondisi ekonominya. Kebanyakan lauk pauk yang digunakan adalah ikan asin, tahu, tempe, krupuk, daging/ikan, telor dan sebagainya. Mengenai buah-buahan masyarakat
55 menanamnya di gunung-gunung tanah perusahaan yang belum ditambang yakni biasanya ditanamai pisang dan durian serta kelapa. Sementara itu tinggi rendahnya taraf hidup seseorang ditentukan oleh besar kecilnya pendapatan mereka masing-masing. Pendapatan rata-rata perkapita juga dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah keluarga atau penduduk setempat. Sehubungan dengan hal tersebut pendapatan rata-rata
perkapita di desa Batujajar adalah
Rp9.600.000,00. Untuk mengetahui tingkat kecukupan daerah ini, perlu dikemukakan tentang kriteria pendapatan perkapita
kedalam golongan cukup atau tidak cukup.
Pendapat Sayogyo, yang telah merinci kebutuhan kalori kedalam kelompok garis kemiskinan berdasarkan takaran beras sebagai pengganti sebesar 320 kg pertahun perorang berarti masuk kategori cukup atau tidak miskin. Penghasilan 320 kg sampai 240 kg pertahun perorang adalah miskin; penghasilan antara 240-180 kg pertahun perorang adalah miskin sekali. Berdasarkan
kriteria tersebut yang tergolong cukup
adalah dari yang berpenghasilan 320 kg beras keatas di daerah pedesaan dan 480 di daerah perkotaan. Oleh karena daerah penelitian merupakan daerah pedesaan, maka dalam penulisan digunakan kriteria minimal setara dengan 320 kg beras pertahun perorang berarti cukup dan penghasilan setara dengan kurang dari 320 kg beras berarti tidak cuku Tabel 8. Jumlah dan Persentase Pendapatan Responden No Pendapatan/Bulan Jumlah ( Rp) 1 < 432 000 2 432 000 - 750 000 3 >750 000 Jumlah
persen 15 3 2
75 15 10 100
Pendapatan responden tersebut apabila disetarakan dengan beras bernilai lebih dari 320 kg, yang bila di setarakan kerupiah akan mencapai angka Rp72.000,00/ bulan / kepala, berarti tingkat kecukupan pangan hanya 15 persen cukup dan 10 persen lebih
56 dari cukup dan hampir 75 persen berada dibawah angka kecukupan minimal menurut ukuran Sayogjo. Berdasarkan perkiraan harga rata-rata, beras per kg adalah Rp2.700 maka garis kecukupan pangannya Rp72.000,00/bulan/kepala. Sementara itu jumlah perkepala keluarga enam orang, maka garis kecukupan pangan perkeluarga adalah Rp 5.184.000 pertahun Tabel 9. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Dusun di Desa Batujajar. No Nama Dusun Jumlah Penduduk Persen Miskin 1 Sinengah 12 8,2 2 Tipar 10 6,8 3 Wakap 8 5,47 4 Pasir Gedong 3 2,05 5 Bolang 32 21,9 6 Babakan 47 32,19 7 Curug 3 2,05 8 Pasir Kalong 23 15,75 9 Pabuaran 8 5,479 Jumlah 146 100 Sumber: Data Monogarafi Desa Batujajar Juli 2005
Pengangguran kelihatan mencolok sekali dimasyarakat Batujajar, selama pengamatan penulis, tiap hari bisa melihat pemuda maupun orang tua yang nongkrong tanpa ada kerjaan setiap jam produktif, yakni jam 9-12.00 sehingga akibatnya mereka memanfaatkan adanya uang setoran (upeti) dari truk-truk yang lewat. Pos yang dibangun sepanjang jalan di Batujajar ada sekitar, tujuh pos yang setiap pos mengutip tarif yang berbeda. Nilainya sekitar Rp 2.000-Rp 4.000 per sekali jalan. Setiap hari diperkirakan ada sekitar seratusan truk yang melewati jalan di Batujajar, sehingga bisa dihitung pemasukan kas desa perharinya hampir mencapai Rp300.000-Rp400.000 atau sekitar Rp12.000.000 perbulan. Namun sebagaimana yang penulis konvirmasikan dengan aparat desa yakni pembantu sekretaris desa pemasukan ke desa perharinya sekitar Rp20.000,00 per hari.
57 2. Kehidupan Sosial Budaya Kehidupan
masyarakat yang sebagian besar dipengaruhi adat sunda.
Kehidupan keagamaan tidak terlalu nampak, kalau mengacu pembagian golongan keagamaan oleh Gertz yang membagi menjadi tiga golongan yakni abangan, santri dan priyayi, sebagian besar masyarakat desa Batujajar masuk dalam golongan abangan. Meskipun ada lima lembaga keagamaan (pesantren) dan juga rumah–rumah untuk mengajari ngaji terhadap anak-anak kecil, ciri yang menonjol masih kuatnya adat sunda dalam peri kehidupan sehari-hari. Ada dua golongan tokoh masyarakat terkait dengan pengaruhnya dalam hal keagamaan, yakni yang anti Speker (mengharamkan TV dan pengeras suara) dan ada yang membolehkan. Dua tokoh masyarakat ini punya kecenderungan kuat untuk perang pengaruh di desa Batujajar. Masing-masing pihak memegang keyakinan masing-masing, namun golongan yang anti speker dimasyarakat punya citra yang kurang baik. Semisal Ustadz dari golongan aspek tak akan menghadiri acara perkawinan yang menggunakan speker dalam mendukung kemeriahan acara meskipun sudah diundang. Sedangkan dari pihak yang mendukung pengeras suara biasanya lebih moderat (toleran). 3. Teknologi Penanaman Padi Hampir 98 persen lahan sawah di desa Batujajar ditanami padi. Penanaman biasanya dimulai bulan Desember dan panen sekitar bulan Mei. Lahan sawah rata -rata ditanami 2 kali selama setahun, namun jika air melimpah yakni pada musim penghujan maka panen bisa dilakukan sebanyak 3 kali. Produktivitas lahan buat penanaman padi tergolong rendah yakni sekitar 1,6 ton per hektarnya. Hal ini sebenarnya diakui oleh responden bahwa produktivitas yang rendah sebagai akibat dari minimnya pengetahuan menanam padi serta modal untuk membeli benih pabrik. Benih yang petani gunakan biasanya diambil dari hasil panen. Yang dirasa terbaik (padat berisi dan besar) mereka
58 sisihkan untuk dijadikan benih. Menurut responden sebenarnya pihak desa pernah memberikan penyuluhan tentang pemakaian bibit yang baik namun karena terbatasnya modal maka petani cenderung “berhemat” dengan membuat bibit sendiri. Cara pengolahan lahan di desa Batujajar hampir sama dengan petani-petani Jawa lainnya, alat yang mereka gunakan yakni cangkul, sabit, parang dan alat luku beserta kerbaunya. Pertama kali yang dilakukan untuk membudidayakan tanaman padi adalah dengan membersihkan sisa tanaman hasil panen sebelumnya, yaitu dengan memotong-motong jerami dan membakarnya. Abu dari jerami mereka taburkan keseluruh lahan
yang mau ditanami. Menurut responden cara ini lebih cepat dari pada
dibiarkan membusuk walaupun mereka paham bahwa jerami yang membusuk dapat menjadi
pupuk yang baik buat tanaman padi. Alasan lainnya yakni ketika
menggaru/ngluku jerami yang dibiarkan
akan menghalangi kerja, karena biasanya
menyangkut di alat bajak/luku sehingga beban tenaga menjadi berat. Sekitar 3 sampai 4 minggu sebelum mengerjakan sawah para petani sudah terlebih dahulu membuat persemaian. Dengan demikian pada tiba saatnya menanam, maka bibitnya sudah siap. Setelah itu laha n
mulai
diairi dan didiamkan
selama
beberapa hari. Setelah lahan dirasa cukup gembur maka mulailah dibajak dengan menggunakan luku. Alat ini digunakan
untuk membalik tanah supaya akar-akar
tanaman sebelumnya bisa terangkat dan mati. Di desa Batujajar biasanya luku ditarik kerbau. Pemakaian luku yang ditarik kerbau lebih banyak diminati petani ketimbang traktor mesin, yang kepemilikannya hanya satu orang di desa Batujajar. Alat luku tidak semua petani mempunyai, maka untuk menggarap lahan
sawahnya
dikerjakan dengan mengupah orang lain yang punya luku, dengan
biasanya
bayaran kerja yang
dihitung dengan ukuran mereka sendiri. Pengerjaan ngluku dimulai pukul 07.00-10.00
59 dengan
ongkos Rp 30.000, tanpa tambahan
rokok atau makanan ringan, dan
Rp.25.000,00 jika memberi makan dan rokok. Selanjutnya jika tanahnya sudah diluku atau dibedah maka tanah dibiarkan untuk beberapa hari lamanya dengan harapan supaya akar-akar yang terbalik dan sisasisa tanaman menjadi busuk dan dapat dimanfaatkan untuk pupuk. Selain menungggu waktu petani disibukkan dengan adanya pekerjaan lain seperti memperbaiki saluran air, mencangkuli pematang yaitu ditampingi pada bagian pematang yang tegak selanjutnya pada pematang yang datar mulai diperbaiki dan ditambah tanah dari sawah atau ditemboki. Disamping itu juga mencangkuli pada sawah yang tidak terjangkau oleh luku yang disebut disiku. Didalam mengolah sawah yang akan ditanami padi, pengairannya selalu dijaga dan jangan sampai kekeringan. Sebab bila sampai terjadi maka tanah yang akan diolah menjadi keras. Berikutnya mulai meratakan tanah dengan menggunakan garu yang ditarik oleh sapi dan kerbau. Pada hari berikutnya tanah yang sudah diratakan itu langsung dilumatkan dengan menggunakan garu yang ditarik oleh sapi atau kerbau. Dengan selesainya digaru, maka lahan tersebut siap untuk ditanami, namun sebelumnya lahan tersebut diberi pupuk TSP dan didiamkan selama semalam supaya pupuknya mengendap dan tanahnya tidak panas. Setelah tanamannya kira-kira 2 minggu mulai dibe ri pupuk kimia atau Urea. Memupuk tanaman pada waktu ini dimaksudkan supaya tanamannya bertunas banyak banyak dan dapat tumbuh dengan subur. Sebelum sawah tersebut diberi pupuk lebih dahulu sawahnya dikeringkan atau tidak dialiri sekitar 4 hari. Hal ini dimaksudkan supaya pupuknya mengendap ke tanah dan dimakan oleh akar padi. Dengan diberinya pupuk, maka akan merangsang tumbuhnya rumput liar. Untuk itu setelah rumputnya bermunculan
biasanya langsung disiangi atau di bersihkan. Pada waktu menyiangi
60 biasanya menggunakan alat sabit atau menggunakan tangan dengan
cara dicabuti
rumputnya. Selama perawatan tanaman, selain menjaga pengairan menyiangi dan memberi pupuk bila tanaman padi terserang hama, maka secepatnya harus diberantas. Menurut para responden, bila tanaman terserang hama tikus dan keong mas maka paling susah untuk memberantasnya. Tikus menyerang ketika tanaman hampir panen, biasanya pada malam hari. Sedangkan hama keong menyerang ketika tanamaan baru berumur seminggu sampai sebulan. Yang diserang adalah bagian pangkal tanaman sehingga tanaman akan layu dan mati. Pemberantasannya amat susah karena jumlahnya untuk ukuran lahan sawah 2000m² bisa mencapai ribuan keong mas. Sedangkan obat-obatan di pasaran menurut responden belum ada yang efektif memberantasnya. Untuk itulah petani menggunakan cara konvensioanal dengan memunguti langsung membungkusnya dengan plastik dan membiarkannya supaya mati
dan
61
BAB V STRUKTUR AGRARIA DESA BATUJAJAR
5.1. Sistem Pemilikan dan Praktek Pemanfaatan Lahan Tanah merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam kegiatan perta nian. Luas pemilikan dan penguasaan lahan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan petani. Pemilikan lahan adalah hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang. Hak milik tersebut dapat diperoleh dari warisan, jual beli, hibah, penukaran atau pemberian dari pihak lain. Sedangkan penguasaan adalah lahan yang diperoleh dari menyewa, menggadai atau menyakap lahan pertanian orang lain. Lahan di daerah penelitian terdiri atas sawah, pekarangan dan tegalan. Sawah adalah lahan pertanian yang diairi dengan saluran irigasi atau air hujan. Lahan pekarangan adalah lahan di sekitar rumah, kebanyakan berpagar dan biasanya ditanami dengan
beraneka tanaman musiman dan tanaman tahunan untuk keperluan sendiri
maupun diperdagangkan. Sedangkan lahan tegalan adalah lahan kering di luar pekarangan yang ditanami tanaman musiman dan tanaman tahunan. Tabel 10. Luas Pemilikan Lahan Sawah Responden No Luas Lahan Kepemilikan Lahan Sawah Jumlah Perse n 1 Tidak punya 4 20 2 <0,25 12 60 3 0,25 - <0,50 2 10 4 2 10 ≥0,50 Jumlah 20 100 Sumber : Data Primer 2005
Sistem pemilikan lahan yang berlaku di desa Batujajar adalah terdiri dari tanah bersertifikat, dan tanah belum bersertifikat. Tanah bersertifikat telah memiliki dasar hukum positif yang jelas, yang menunjukkan hak atas tanah dari pemilik tanah. Selain tanah bersertifikat, masih ada sejumlah luasan tanah yang belum bersertifikat. Secara
62 hukum normatif (hukum adat) dapat diakui sebagai hak milik, tetapi secara positif tidak dapat dibuktikan secara jelas. Kecenderungan para pembeli lahan di perbukitan (Pengusaha), setelah membeli lahan segera mengurus sertifikat lahan sedangkan warga desa yang sebelumnya memiliki lahan tersebut tidak mempunyai sertifikat, sebagaimana yang dituturkan Sekretaris desa Batujajar Pak Dadi (40 tahun): “ Biaya pembuatan sertifikat lahan untuk sebagian besar masyarakat Batujajar boleh dibilang mahal, sehingga kebanyakan masyarakat belum punya sertifikat. Beda dengan pengusah, setelah proses jual beli selesai mereka langsung membuat sertifikat. Mungkin untuk jaga -jaga agar dikemudian hari jika ada sengketa lahan, tidak merugikan pihak pengusaha..” Tabel 11. Menunjukkan pembagian pemanfaatan lahan yang terdapat di desa Batujajar. Tanah-tanah ini umumnya dimanfaatkan untuk pemukiman, sawah, ladang dan pertambangan. Tabel 11. Jenis Pembagian Pemanfataan Tanah di Desa Batujajar Tahun 2003 No Jenis Pemanfaatan Luas Lahan (ha) Persentase (%) 1
2
3
4 Sumber
Lahan Sawah a. Sawah irigasi b. Sawah irigasi setengah Teknis c. Sawah tadah hujan Tanah Kering a. Pekarang b.Perladangan c.Pemukiman
100 50 47
12,2 6,09 5,7
145,5 26 12
17,7 3,17 1,46
Pertambangan a. Aktif b. Non aktif Perkebunan Total
42 250,5 147 820
5,12 30,5 17,9 100
: Data Monografi Desa Batujajar 2003
63 5.2 Kelembagaan Pemilikan dan Penguasaan Lahan 5.2.1 Bentuk-bentuk sewa dan sakap-menyakap Beberapa studi kasus di pulau Jawa menunjukkkan di Jawa Barat petani menyakapkan tanah lebih banyak daripada menyewakan. Sebaliknya di Jawa Tengah dan Jawa Timur petani-petani lebih banyak menyewakan dari pada menyakapkan. Di desa Batujajar bentuk sewa dan sakap-menyakap hampir seimbang. Sewa biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu dan mempunyai lahan yang luas, sedangkan sakap-menyakap biasanya dilakukan oleh petani yang tidak punya lahan (tunakisma) atau yang berlahan sempit. Sewa menyewa lebih banyak dilakukan antara petani yang agak jauh hubungan kekeluargaannya, sedangkan sakap-menyakap lebih banyak dilakukan diantara petani yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang lebih dekat. 5.2.2 Ceblokan Ceblokan adalah memanen di sawah orang lain dan menerima dari hasil panenan sebagai upah memanen. Pemanen (penderep) menerima upah memanen (seperlima bagian) 20 persen dari hasil yang dipanen. Di Batujajar besarnya bawon (upah berupa padi)
didapat dengan cara ikut
memanen dan kerja menyiangi lahan orang lain
disamping itu penyeblok juga harus mengolah tanah. Semua pekerjaan tambahan ini dilakukan tanpa dibayar (hanya diberi maka n). Hak panen dengan persyaratanpersyaratan seperti disebut diatas biasa disebut nyeblok atau ceblokan menurut bahasa setempat. 5.2.3 Maro Untuk maro penyakap dan pemilik lahan masing-masing menerima separo bagian dari hasil kotor. Untuk kasus di Batujajar Saprodi ditanggung bersama, penyakap dan pemilik masing-masing mendukung 50 persen, begitupula dengan hasil panen pemilik dan penggarap memperoleh bagian yang sama yakni 50:50.
64 5.2.4 Aturan Sewa-Menyewa Di desa penyewa membayar sewa kepada pemilik lahan yang besarnya sudah ditentukan sebelum pengolahan tanah.Kasus yang terjadi di Batujajar adalah pembayaran sewa ada yang dilakukan menjelang tanah diolah, ada yang dilakukan setelah atau waktu panen dan ada pula pembayaran dilakukan jauh sebelum masa pengolahan. Bentuk pembayaran ada yang dengan uang ada pula dalam bentuk hasil panen. Besarnya sewa antara daerah (dusun) satu dengan lainnya berbeda meskipun dalam desa yang sama. Hal ini tergantung kesuburan lahan, keadaan pengairan dan juga lokasi. Daerah pinggiran jalan lebih mahal dibandingkan lahan yang jauh dari jalan. Besarnya sewa akan dipengaruhi pula oleh harga -harga hasil pertanian yang dapat dihasilkan diatas tanah tersebut. 5.3 Sejarah Agraria Lokal Menurut Kartodiharjo (1992), sejarah merujuk pada cerita sejarah, gambaran sejarah dalam arti subyektif. Subyektif dalam hal ini terkait dengan pemahaman penulis dalam menggambarkan suatu peristiwa dalam wujud penggambaran suatu peristiwa dalam wujud uraian atau cerita. Cerita atau uraian menggambarkan fakta -fakta yang terangkai yang berisi suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur. Selanjutnya sejarah dalam arti obyektif adalah menunjuk pada kejadian atau peristiwa itu sendiri yaitu proses sejarah dalam aktualisasinya. Sejarah juga dapat dipahami sebagai sejarah prosesual yaitu sejarah yang menggambarkan peristiwa dalam bentuk cerita
untuk merekontruksi keingintahuan
terhadap suatu peristiwa (cenderung menampilkan yang terjadi diluar permukaan) selanjutnya sejarah struktural adalah mencakup jangka penjang dan perubahan struktur masyarakat dan lingkungan yang terjadi secara lambat laun.
65 Penelusuran tentang sejarah agraria di Batujajar hanya bisa dilihat setelah tahun 1970-an ke atas. Ini terkait dengan responden yang bisa ditanyai tentang kondisi pada saat tersebut. Kesenjangan kepemilikan lahan sebenarnya sudah terjadi pada waktu itu, hanya saja pada tahun 1970-an kebanyaakan kepemilikan lahan masih berada ditangan warga Batujajar asli. Bukit-bukit yang hampir seluas 272,5 ha, masih dipunyai warga desa asli Batujajar. Di bukit tersebut biasanya warga menanami dengan kelapa, pisang, kopi dan durian. Lahan sawah juga masih terbatas hanya daerah dengan irigasi yang baik bisa memanfaatkan sawahnya dengan maksimal. Sedangkan lahan-lahan lainnya hanya merupakan lahan tegalan yang bisa dimanfaatkan untuk menanam kacang tanah (suuk), terong, dan ubi ketika musim penghujan tiba. Tahun 1990-an dibangun irigasi teknis, sehingga luas lahan sawah bertambah menjadi sekitar 3 Ha. La han sawah pada tahun 1990-an sampai sekarang merupakan ukuran kekayaan yang penting. Namun kepemilikan sawah rata -rata tidak banyak berubah sampai sekarang. Tahun 1978 muncullah perusahaan yang ingin membeli bukit di dusun Wakap dan Bolang. Dengan alasan akan ditambang, ada warga yang setuju dan ada yang tidak setuju. Menurut responden kepala desa waktu itu sering memaksa warga agar melepas tanahnya di bukit yang akan ditambang. Warga kebanyakan tertarik dengan tawaran tersebut namun ada juga yang tidak terlalu tertarik karena lahan tersebut adalah warisan dari
orang tuanya selain itu
penawaran yang terlampau murah. Menurut Pak Tohir, kepala desa dan aparatnya sering memberi ancaman kepada warga agar segera melepas tanahnya, dan akhirnya pada tahun 1987-an bukit di kampung Bolang Batujajar kepemilikannnya berpindah dari warga desa keperusahaan. Sebagaimana yang diuangkapka oleh informan (Pak Tohir 67 tahun)
66 “ Jamannya kepala desa Pak Ahmad, warga yang tidak mau menjual tanahnya akan terus ditakut -takuti. Padahal warga banyak yang tidak berniat menjual lahannya. Saya yakin pihak desa waktu itu kebagian upah untuk pembebasan lahan dari pengusaha . Tahun 1978 harga tanah di bukit Dusu Bolang hanya dihargai Rp 50-75,00/m2.”
Namun menurut kesepakatan sebelum beroperasinya pertambangan diijinkan
warga
untuk menanami bekas lahannya dengan berbagai tanaman yang
menguntungkan seperti bambu, pisang atau sayuran, namun masyarakat tidak diijinkan untuk menanam tanaman tahunan. Selain perusahaan pada tahun 1990-an muncul kepemilikan sawah dari warga di luar Batujajar, karena proses penjualan dari warga desa Batujajar sendiri. Untuk tahun 2005
ada sekitar 13 warga desa lain yang
mempunyai sawah di desa Batujajar hal ini merupakan
akibat dari mendesaknya
ekonomi warga sehingga sawah terpaksa dijual. Tabel.12 Penjualan Lahan Bukit Oleh Warga Batujajar No Nama Tahun Lokasi Perusahaan Pembelian 1 2 3 4 5 6 7
PT.Manik Jaya 2 PT.Indocement PT.Batutama PT.Silkar PT.SumoBotang PT.Antasari Raya Perkebunan -
1982
Dukuh Wakaf
1978 1982 1978 1992 1984
Tipar/Bolang Wakaf Wakaf Curug Pasir Kalong
Harga Lahan/m2 ( Rp) 1 650
Luas Lahan (ha) 42
50 1 650 1 500 2 000 700
31,5 82 10 9 98
Wakaf
147
Dengan masuknya perusahaan, serta masuknya pembeli lahan dari luar batujajar maka perbandingannya kepemilikan lahan adalah 53 persen kepemilikan orang luar dan 47 persen kepemilikannya dikuasai oleh orang Batujajar sendiri 5.4 Tanah Absentia Penguasaan dan pemilikan lahan di desa Batujajar menggambarkan munculnya tanah guntay, yaitu pemilikan dan penguasaan tanah yang
dimiliki oleh orang di luar
67 desa Batujajar. Maraknya perusahaan
yang ingin menanamkan investasinya di
pertambangan batu, mendorong pelaku-pelaku (oknum) untuk
memanfaatkan
kesempatan guna menaikkan harga lahan. Sebelum tahun 1978 yakni ketika pertama kali perusahaan pertambangan mulai proses pembebasan lahan, kepemilikan absentia disaat perusahaan
yang
belum terlalu menggejala, namun
semakin berminat untuk membeli lahan di bukit-bukit di
daerah Batujajar, muncullah calo-calo dari luar maupun dari masyarakat Batujajar sendiri dengan
yang sengaja membeli lahan rencana dijual lagi
dari masyarakat dengan harga yang murah,
ke pihak perusahaan. Tidak menutup kemungkinan
keterlibatan aparat desa yang lebih berpihak kepada pengusaha memudahkan proses alih kepemilikan lahan di Batujajar berjalan sangat cepat. Dalam proses tersebut terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tentang batasbatas pemilikan. Batas maksimum dilanggar oleh pihak atau golongan atau kalangan yang saling bersaing mendapatkan tanah untuk kebutuhan
investasi dan spekulasi.
Dalam kasus Batujajar pihak pembeli mempunyai kedudukan yang jauh lebih kuat dari pemilik/petani kecil yang sering terdesak oleh kebutuhan akan uang tunai.
68
BAB VI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN DI DESA BATUJAJAR
6. 1 Faktor Internal Terjadinya
konversi lahan pertanian
menjadi lahan pertambangan selalu
memunculkan suatu dilema, antara dua kepentingan. Yakni kepentingan petani untuk tidak dirugikan dan kepentingan pengusaha yang
selalu berorientasi keuntungan.
Peralihan fungsi dari lahan kebun ke pertambangan batu dalam kasus Batujajar bukan hanya berpengaruh pada petani pemilik lahan yang menjualnya ke Perusahaan tetapi juga berpengaruh luas terhadap masyarakat Batujajar. Motif pihak pertambangan yang selalu ingin mendapat keuntungan dengan mengabaikan hak-hak warga, memunculkan persoalan baru di bidang kenyamanan lingkungan. Sungai yang tercemar dan juga udara yang kot or akibat pertambangan terpaksa harus “dinikmati” oleh masyarakat desa Batujajar. Dengan munculnya pertambangan, tidak secara otomatis menyejahterakan warga dengan munculnya lapangan kerja baru. Kasus di lapangan menunjukkan terserapnya tenaga kerja dari warga lokal oleh pertambangan boleh di bilang minim, kebanyakan warga lokal hanya
bekerja sebagai
pemecah batu (pantek) dengan penghasilan
perharinya yang tidak tentu, sedangkan posisi yang penting keba nyakan ditempati warga pendatang seperti yang dituturkan Informan berikut ini: “...Sejak mulainya pertambangan, udara dideket jalan penuh dengan debu apalagi kalau musim panas, kalau musim hujan jalan becek dan susah dilewati kendaran seperti sepeda. Ini akibat dari truk-truk besar yang membawa batu dari Tambang. Padahal dulunya pihak PT menjanjikan bahwa kalau musim kemarau akan disiram biar gak ada debu tapi toh kenyataannya lain. Begitu juga dengan air sungai
69 sekarang semakin kotor dengan masuknya debu dan oli dari pertambangan. Warga disini sebenarnya tidak dapat apa-apa, kalaupun ada yang kerja dipertambangan itu pun pada bagian yang tergolong tenaga kasar, semisal pemecah batu. Memang dana konpensasi atau uang debu ada tapi itu jumlahnya tidak sebanding dengan ketidaknyamanan yang kami terima...” Kalau melihat proses bagaimana petani menjual lahannya ke pihak perusahaan maka alasan utama petani untuk melakukan penjualan lahan umumnya karena perekonomian keluarga yang rendah, yaitu sebesar 73,4 persen (tabel 13) Tabel 13. Alasan Responden Melakukan Konversi lahan. No
Uraian
Persentase
1
Hasil pertanian yang tidak menguntungkan.
2
Terpaksa karena kebutuhan
20
3
Harga jual tanah menarik
6,6
4
Ikut-ikutan menjual tanah
33
5
Karena Paksaan oleh pihak desa
Dengan demikian alasan petani
mengkonversi
13,3
26,6
lahannya bukan alasan
ekonomis. Faktor karena paksaan dan ikut-ikutan menjual lahan, lebih dominan daripada harga lahan yang tinggi. Hanya 6,6 persen responden menyatakan tertarik dengan harga yang ditetapkan perusahaan, dan setelah diteliti lebih lanjut responden yang menyatakan tertarik
dengan harga oleh PT adalah Calo yang mendapat
keuntungan dari perusahaan dengan adanya harga yang murah ditingkat petani. Uang hasil konversi dengan harga rendah kebanyakan dialokasikan bukan pada bidang yang produktif, tapi lebih pada kegiatan yang sifatnya konsumtif. Petani sebenarnya merasakan bahwa ganti rugi lahan
yang diterimanya tidak memadai untuk membeli
tanah baru yang sepadan, meskipun lahan di bukit hanya memproduksi hasil seperti buah-buahan dan sedikit tanaman perkebunan.
70 Maraknya kasus jual beli lahan sebenarnya bisa juga di pahami dengan melihat pola
hidup kebanyakan masyarakat tani di Batujajar. Sebagaimana kalau melihat
pemanfaatan lahan di desa Batujajar bahwa musim tanam petani di desa Batujajar dua kali dalam setahun. Tanaman yang mereka usahakan sebagian besar adalah padi yang hasilnya mereka gunakan sendiri dan bukan untuk dikomersilkan atau dijual. Namun kalau hujan terus menerus, lahan pertanian menjadi banjir sehingga tanaman padi atau palawija yang ditanam menjadi rusak. Hasil pertanian menjadi tidak menguntungkan bahkan petani merugi. Berdasarkan data produksi pertanian desa rata-rata produksi pada tahun 2003 adalah 1,6 ton/hektar. Sedangkan target yang diperkirakan oleh PPl bila ada sistem irigasi yang baik adalah tiga sampai empat ton/hektar. Sementara biaya produksi usahatani cukup mahal sebagai contoh untuk pembelian obatan dan lainnya. Dengan demikian tidak jarang
bibit, pupuk, obat-
para petani hanya mendapatkan
modal kembali dan bahkan menjadi rugi. Produksi pertahun yang kurang menguntungkan, mendororng mereka untuk mempertimbangkan penjualan harga lahan di daerah perbukitan walaupun hasil dari penjualan tersebut tidak memuaskan. Hampir 100 persen responden yang menjual lahan ke pertambangan
bermata pencaharian sebagai petani dan kehidupan ekonominya
bergantung pada hasil usaha tani. Namun dari jumlah 20 responden hanya 23 persen yang mempunyai sawah lebih dari 0,25 hektar selebihnya 77 persen petani berlahan sempit. Tabel 14. Jawaban Responden Terhadap Hasil Usaha Tani Untuk Kebutuhan Hidup Sehari-hari. No Jawaban Jumlah (jiwa) Persen 1 Lebih 2 Cukup 1 5 3 Kurang 19 95 Sumber : Data Primer, 2005
Dalam kondisi hampir setiap tahunnya hasil panen kurang menguntungkan juga karena faktor lahan yang sempit, petani merasa sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup
71 sehari-hari. Pada tabel 14 jelas terlihat bahwa usahatani yang dijalankan
responden
kurang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, 95 persen responden mengatakan sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari usaha taninya. Sementara hanya 5 persen mengatakan sedang atau cukup dan tak seorang responden pun yang mengatakan bahwa hasil usaha taninya dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam usaha
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagian besar dari
responden berusaha di luar pertanian dengan membuka warung atau melakukan pola nafkah ganda. Biasanya
usaha dagang kecil-kecilan dilakukan
rumahtangga. Keragaman
sumberdaya manusia
oleh ibu-ibu
di desa Batujajar berkaitan erat
dengan perilaku ekonomi masyarakat di sekitarnya. Umur kepala keluarga, tingkat pendidikan dan jumlah anggota keluarga merupakan suatu faktor yang secara tidak langs ung ikut menentukan terjadinya konversi lahan. Makin tua umur seseorang, maka wawasan dan pengalamannya akan bertambah sehingga akan mempengaruhi sikap dalam pengambilan keputusan. Begitu pula halnya dengan
tingkat pendidikan dan
jumlah tanggungan keluarga. Faktor umur memberikan pengaruh terhadap sikap petani dalam memutuskan untuk menjual lahannya, namun tampaknya bukan hanya faktor umur tetapi juga terpaut dengan faktor bertambah umur tentunya
tuntutan
lain yaitu tanggungan kebutuhan semakin
keluarga semakin banyak dan biaya menyekolahkan
keluarga. Semakin
berat, jumlah
anggota
anak pun semakin besar. Inilah
yang mendorong petani untuk melakukan penjualan lahannya. Konsentrasi terbesar responden berada pada golongan umur yang tua yakni 50 ke atas, tingkat pendidikan rendah dan jumlah tanggungan keluarga yang cukup tinggi, antara empat sampai lima jiwa.
72 Tabel.15 Karakteristik Sumberdaya Manusia Responden No Kategori Tingkat Golongan pendidikan Umur 1 Tinggi 100 2 Sedang 3,3 % 3 Rendah 96,7 % -
Jumlah tanggungan 83,3% 13,3% 3,3%
Rata-rata umur responden yang melakukan konversi lahan adalah 64 tahun. Ketika pelaksanaan konversai lahan petani memutuskan melakukan konversi adalah umur 36 tahun sedangkan jumlah rata -rata tanggungan keluarga responden rata-rata empat jiwa. Faktor pendidikan petani juga mempengaruhi terjadinya konversi lahan, hal ini berkaitan dengan semakin rendahnya tingkat pendidikan mereka, maka makin rendah pula kemampuan ekonominya, sehingga dalam memutuskan untuk mengkonversi lahannya
akan lebih cepat. Dari hasil penelitian
tingkat pendidikan petani yang
melakukan konversi lahan rata-rata berpendidikan SD dan tidak tamat SD. Selain faktor -faktor di atas yang menjadi faktor pendorong petani menjual tanahnya adalah paksaan dari aparat desa dan juga terpengaruh oleh tetangga yang sudah menjual lahan duluan. Tidak bisa dipungkiri bahwa respon “positif” petani terhadap harga ganti rugi lahan adalah kondisi sulit yang dihadapi selama ini, baik karena hasil pertanian yang kurang mampu memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga dengan adanya tawaran harga dari calo suruhan pengembang merupakan suatu tawaran “menarik” dalam pemecahan kesulitan hidup untuk sementara. Alasan lain yang mendorong petani menjual tanahnya adalah mengikuti petani lain yang terlebih dulu menjual lahannya. Adapun alasan responden untuk mengikuti petani lain menjual lahannya , adalah: 1. Melihat petani lain setelah menjual tanahnya merasa senang karena memperoleh uang banyak. 2. Karena merasa bahwa tanah di bukit kurang menguntungkan.
73 Sulit mengatakan faktor dominan terjadinya konversi, secara legalitas hukum dan tataruang bahwa desa Batujajar termasuk kawasan pertambangan. Disisi lain sebagian besar petani atau warga masyarakat pun
secara
implisit ingin menjual
lahannya, karena alasan-alasan tertentu pula, meski ada juga sebagian warga yang tidak menginginkan proses konversi tersebut terlaksana. 6.2 Faktor Eksternal Ada tiga pelaku yang terkait dengan penggunaan dan penguasaan tanah (yakni pemerintah, swasta dan masyarakat). Pemerintah melalui proyek pembangunan membutuhkan sejumlah tanah, begitu pula dengan kapital asing dan kapital domestik dalam mereakumulasi modalnya juga membutuhkan sejumlah tanah. Sedangkan dipihak masyara kat sendiri yakni petani sebagai pemakai tradisional harus rela (terdesak) menyerahkan tanah untuk pembangunan dan reakumulasi kapital dan ganti rugi yang terlalu rendah adalah instrumen pokok alih pemakaian. Sebagaimanan kasus Batujajar bukit-bukit yang dinilai kurang produktif, dibeli oleh perusahaan untuk ditambang, hal ini dapat dipahami
bahwa arti penting tanah sudah mengarah kepada kepentingan
akumulasi modal dan peningkatan surplus. 6.3 Mekanisme Konversi Lahan. Pembebasan lahan di daerah Batujaja r dilaksanakan dalam beberapa tahun yakni mulai tahun 1978 sampai tahun 2005. Adapun mekanisme pelaksanaan konversi lahan pada tahap pembebasan sampai proses ganti rugi tanah dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
74
Pemerintah
Pengembang
- -P
1. 2. 3.
Masyarakat.
Pendekatan Pembebasan tanah ganti rugi lahan
Konversi lahan Gambar 2. Mekanisme Pelaksanaan Konversi lahan.
Sampai tahun 2005 penguasaan lahan oleh pihak pertambangan terlihat pada tabel 16. Tabel 16. Tahun Pembelian dan Luas Lahan Yang Batujajar No Nama Perusahaan Tahun Pembelian 1 PT.Manik Jaya 2 1982 2 PT.Indocement 1977 3 PT.Batutama 1982 4 PT.Silkar 1990 5 PT.SumoBotang 1992 6 PT.Antasari Raya 1984 7 Perkebunan -
Di Kuasai Perusahaan di Desa Lokasi Dukuh Wakaf Tipar/Bolang Wakaf Wakaf Curug Pasir Kalong Wakaf
Luas Lahan (ha) 42 31,5 82 10 9 98 147
Sumber : Data monografi Desa BatujajarTahun 2004
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pendekatan yang dilakukan oleh pihak pengembang dalam mendapatkan tanah masyarakat adalah salah satunya melalui calo diselingi paksaan meskipun pihak pertambangan mengaku telah melakukan rapat terlebih dahulu dengan pihak masyarakat. Namun dalam
pelaksanaan rapat dan
negosiasi, responden bersifat pasif, artinya hanya bisa mengatakan persetujuan dengan ketentuan yang dilakukan oleh perusahaan dan calo. Hal ini karena kurangnya pengetahuan tentang konversi lahan dan rendahnya tingkat pendidikan penduduk
75 yang menjual lahan sebagai mana yang diuangkap kan oleh responden: Pak Sarhan (65 tahun) “...Masyarakat memang diajak rapat, tapi pada waktu rapat tersebut masyarakat tidak semuanya mau menjual lahannya. Tapi tiba-tiba ada panggilan dari pihak desa, pada waktu itu kepala desanya Pak Muhammad, untuk ngambil uang hasil penjualan. Padahal saya dan masyarakat lainnya tidak merasa menjual lahan yang ada di bukit. Mau tidak mau uang itu saya ambil...” Tabel 17. Proses Pendekatan dalam Pembebasan Lahan Responden. Jenis Frekwensi Responden(%) 1. Diajak Rapat 1 20 (100) 2. Negosiasi harga 1 15 (75) Sumber: Data Primer,2005
Peranan pemerintah dalam proses konversi lahan dari tegalan ke pertambangan batu di desa Batujajar tidak berperan aktif, seperti membuat peraturan perundangan yang berkaitan dengan konversi lahan, menetapkan lokasi dan luas areal untuk kawasan pertambangan. Pada proses pembebasan tanah dan ganti rugi pemerintah menciptakan kondisi yang mempermudah pengembang untuk mempermainkan harga lahan dengan merugikan pihak penjual dalam hal ini masyarakat. Pada proses pembebasan
lahan
secara umum terjadi masalah antara pihak
penjual (masyarakat) dan pihak perusahaan, antara lain ganti rugi yang murah, pembayaran yang tidak tepat waktu dan juga karena adanya pembelian yang dipaksakan, namun masyarakat tidak bisa menuntut lebih karena pihak pemerintah desa berada di pihak pengembang. Banyak petani yang merasa di tipu dengan proses jual beli lahan di bukit, terutama Perusahaan Manik Jaya 2 sebagaimana yang diungkapkan oleh Informan (Pak Ngadiman) : “...Masyarakat lebih mengenal Manik Jaya 2 dengan nama Bonen. Bonen itu singkatan dari Rabu dan Senin. Dulu waktu proses jual beli sudah disepakati, masyarakat dijanjikan untuk segera mengambil uang ganti rugi, namun pihak Perusahaan sering ingkar janji, katanya senin, setelah didatangi ..eh...katanya rabu. Be gitu seterusnya. Sehingga masyarakat akhirnya pasrah saja. Dan sampai saat ini masayakat lebih mengenal PT Manik jaya 2 dengan nama Bonen..”
76 Dalam hal ganti rugi lahan pihak perusahaan membayar dengan harga yang bervariasi dari tahun ke tahun sebagai ma na yang tercantum dalam tabel di bawah ini. Tabel.18 Besarnya Ganti Rugi Lahan Responden Jenis lahan Ladang
Tahun pembebasan dan Harga Lahan per m2 1978 Rp50- 70
1987 Rp750-1 650
1996
1998
Rp2 000-3 000
Rp3 000-3 500
2003 4 500-5 000
Sumber: Data Primer, 2005
77
BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN DI DESA BATUJAJAR 7.1 Penguasaan Lahan Penguasaan lahan dapat mengggambarkan kemampuan ekonomi rumahtangga responden. Perubahan luas peguasaan lahan antara sebelum dan sesudah terjadinya konversi pada rumahtangga responden yang melakukan konversi dapat dilihat pada tabel 19. Sebelum konversi, responden yang memiliki luas lahan di bukit lebih dari 0,5 hektar sebanyak 15 persen yang menguasai antara
0,25 hektar hingga 0,5 hektar
sebanyak 45 persen, sedangkan yang kurang dari 0,25 hektar 40 persen. Setelah konversi, hampir 45 persen responden tidak memiliki lahan tegalan lagi. Penguasaan luas lahan persawahan setelah konversi mengalami peningkatan Walaupun tidak terlalu signifikan. Rata -rata penguasaan lahan persawahan sebelum konversi 0,12 hektar meningkat menjadi 0,17 hektar. Sebaliknya penguasaan lahan tegalan mengalami penurunan dari rata-rata 0,4 hektar sebelum konversi menjadi 0,08 hektar. Disamping itu penguasaan lahan pekarangan responden relatif tidak berubah, tidak ada petani yang memiliki lahan lebih dari 0,25 hektar. Tabel 19. Rata-rata Perkembangan Penguasaan Lahan Responden Sebelum dan Sesudah Konversi. Luasan Lahan Sebelum Konversi Sesudah Konversi Jumlah Persen Jumlah Persen Sawah 0 3 15 4 20 < 0,25 14 70 12 60 0,25-0,5 1 5 2 10 > 0,5 2 10 2 10 Jumlah Tegalan 0 9 45 <0,25 8 40 8 40 0,25 – 0,5 9 45 3 15 >0,5 3 15 Jumlah
78 Pekarangan 0 <0,25 0,25 – 0,5 >0,5 Jumlah
20 -
100 -
20 -
Sumber : Data primer, 2005
Lanjutan Tabel 19
7.2 Adaptasi Rumahtangga Petani Yang Terkonversi Lahannya Tekanan ekonomi yang dialami rumahtangga petani lapisan bawah yang terkonversi lahannya
memunculkan cara-cara untuk bertahan hidup, yakni dengan
melakukan optimalisasi tenaga kerja rumahtangga dan juga pola nafkah ganda. Selain itu petani juga pemanfaatan jaringan sosial lewat kelembagaan yang sudah ada di desa. Kasus yang terjadi di desa Batujajar menunjukkan hal yang sama seperti uraian di atas. Terbatasnya penguasaan lahan, pendidikan yang rendah mendorong rumahtangga
kasus untuk mencari terobosan-terobosan agar tetap bisa memenuhi
kebutuhan hidup rumahtangganya. 7.2.1 Pola Nafkah Ganda Penelitian yang dilakukan oleh White (1991) dan Sayogjo (1991) di dalam penelaahan
ekonomi masyarakat tani, yang dimaksud nafkah ganda yakni usaha di
luar sektor pertanian yang bertujuan menutupi kekurangan
dari sektor pertanian.
Sitorus (1991) dan Istiani (1992) menunjukkan bahwa peranan nafkah ganda yang tidak hanya menggantungkan pada satu mata pencaharian saja, bisa membantu rumahtangga miskin untuk tetap bertahan hidup. Kalau melihat rumahtangga kasus yang menunjukkan bahwa penguasaan ratarata lahan sawah 1.705m2 dan tegalan 847,5m2, tidaklah menjamin rumahtangga tersebut untuk untuk mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya, apalagi dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang mengalami tekanan, akibat naiknya harga
79 minyak yang berimbas pada peningkatan harga semua kebutuhan (sembako) yang sangat vital bagi rumahtangga petani miskin. Oleh sebab itu rumahtangga petani berusaha mendorong setiap anggota rumahtangga untuk produktif. Sayogjo (1979) juga menjelaskan bahwa bagi rumahtangga petani miskin, penguasaan aset produksi umumnya bersifat terbatas,
bila dilihat dari pola penguasaan lahan pedesaan, petani
lapisan bawah merupakan buruh tani tak bertanah, petani lapisan menengah merupakan petani yang penguasaan lahannya antara 0,25 - 0,5 ha dan petani lapisan atas adalah petani yang penguasaan lahannya lebih dari 0,5 ha. Berkaitan dengan tingkat pendidikan anggota keluarga petani dari rumahtangga petani miskin kebanyakan berpendidikan rendah. Dari hasil penelitian Prasodjo (1993) di daerah pedesaan Jawa, tingkat pendidikan anggota rumahtangga umumnya hanya sampai SD. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani miskin , merupakan faktor penting mengapa rantai kemiskinnan sulit diputus. Dengan
tingkat pendidikan rendah, para petani tidak bisa bersaing di pasar tenaga
kerja dengan mereka yang memiliki pendididkan yang lebih tinggi. Sehingga bila dikaitkan dengan tingkat upah yang diterimanya, akan tetap rendah. Dari 20 responden yang diwawancarai hampir 80 persen menyatakan bahwa istri juga bekerja walaupun uang yang diperoleh tidak terlalu besar. Pekerjaan seorang istri hanya sebatas pada buruh tani, membuka warung ataupun membuat kue. Sedangkan tenaga kerja anak-anak dari 20 responden hanya 60 persen yang dioptimalkan untuk membantu tambahan pendapatan bagi keluarga. Sebagai gambaran adalah keluarga Pak Saih (57 tahun) Pak Saih (45) bekerja sebagai buruh tani, selain mengerjaka n sawahnya sendiri Pak Saih juga mengerjakan sawah milik orang lain seluas 1500m2. Sebagai buruh tani perharinya dia bisa memperoleh antara Rp7.500-Rp15.000 namun pekerjaan sebagai
80 buruh tani tidak sepanjang tahun ada, tergantung dari permintaan masyarakat. Untuk itu selain mengusahakan lahan sawah Pak Saih
juga mengolah lahan milik PT seluas
4000m², yang ditanami pisang, dan kopi. Istrinya, bekerja dengan membuka warung kecil yang menjual jajanan ringan, seperti minuman es limun, dengan penghasilan perharinya antara Rp4.000-10.000. Sebagaimana penuturannya “... Kalau kerja cuma ngandelin satu pekerjaan saja, tidak akan cukup untuk hidup. Sepertinya kalau sambil tani meskipun hasilnya sedikit, tapi kedepannya tak usah mikirin beras lagi. Kalau istr i ikutan bekerja meski tambahan dari istri kecil tapi sangat membantu. Tentang hasil panen padi warga disini kebanyakan dimakan sendiri dan sebagian besar gak ada yang dijual. Tebasan padi didaerah sini hampir jarang ditemui...”
Lain halnya yang dila kukan oleh Pak tohir (50), sebagai rumahtangga petani miskin, untuk menambah penghasilannya ia bekerja apa saja (menebang pohon, mencangkul, kuli bangunan, bahkan makelar) sedangkan istrinya terkadang membuat kue kalau ada pesanan dari orang. “... Hidup keluarga kami susah, penghasilan perhari tak tentu.Kadang ada kadang enggak. Dulu saya pernah kerja di Jakarta sebagai sopir, tapi sekarang tidak lagi, pingin kumpul bersama keluarga didesa. Sebenarnya saya tidak pernah menyuruh istri kerja, apapun keadaannya, saya seharusnya yang bertanggung jawab. Tapi istri saya kerja yang ringan-ringan saja seperti membuat kue. ..” Namun demikian, kontribusi pendapatan dari luar usaha pertanian juga tidak lebih baik dari kontribusi pendapatan sektor pertanian. Kondisi tersebut mengakibatkan rumah tangga petani lapisan bawah cenderung mengunakan strategi hidup survival atau mengutamakan selamat (safety first) dengan cara memilih jenis pekerjaan lebih aman walaupun hasilnya sedikit, dari pada memulai usaha baru tetapi mengundang resiko kerugian yang dapat menghancurkan mata pencahariannya. Pilihan alternatif yang ditetapkan adalah melakukan beragam pekerjaan bagi petani dan menjadi buruh tani atau membuka warung kecil. Pilihan ini juga dilakukan
81 oleh istri-istri yang tidak tertarik untuk pergi ke kota karena faktor pengalaman dan pendididkan. Akan tetapi bagi rumahtangga petani yang tidak memiliki barang-barang berharga, jaringan sosial merupakan dimanfaatkan
satu-satunya strategi adaptasi yang dapat
untuk mengatasi kesulitan hidup sehari-hari. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Bu Wati (37 tahun) “ Saya terkadang ngutang ke Bu bidan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena menurut saya dialah yang mampu dalam segi keuangan. Biasanya tidak ada perjannjian pengembalian, asal saya punya uang , pasti saya bayar. Selain itu terkadang saya minjem keemak saya. ” . 7.2.2 Optimalisasi Penggunaan Tenaga Kerja 1. Kerja Reproduksi Optimalisasi penggunaan tenaga kerja dibagi menjadi dua yakni kerja produksi dan kerja reproduksi. Menurut Sitorus (1989) kerja reproduksi lebih terkait dengan urusan rumahtangga, yaitu urusan konsumsi dan urusan non-konsumsi. Urusan konsumsi bisa berwujud memasak, mencuci, mengambil air, belanja ataupun mengolah bahan makanan. Sedangkan urusan non-konsumsi bisa dalam bentuk kegiatan membersihkan rumah, mencuci, memperbaiki perabotan dan juga kegiatan pengasuhan anak. Menurut Hubeis (1985) dalam Nurmalinda (2002) , urusan konsumsi punya cakupan yang sangat luas, tidak hanya tertuju pada kegiatan konsumtif saja, melainkan mempunyai arti yang lebih luas yakni terkait juga dengan kecukupan pangan dan gizi dan juga kesehatan rumahtangga. Di rumahtangga kasus di desa Batujajar, kecenderungan kegiatan yang bersifat reproduksi baik itu konsumsi maupun non konsumsi dilakukan Tidak menutup kemungkinan
oleh kaum perempuan.
bahwa kegiatan memasak, mengambil air, belanja
kebutuhan makan dan mengasuh anak adalah terkait masalah gender, dimana dalam hal
82 ini kaum lelaki tidak “wajar” untuk melakukannya sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu responden berikut ini: “.. Tugas perempuan memasak, nyuci, momong anak sedangkan suami bekerja dan jarang mau kalau disuruh mencuci pakaiannya sendiri. Kerja suami biasanya di Sawah, benerin rumah sepe rti buat pagar, benerin genteng yang bocor. Sedangkan anak-anak kalau lakilaki biasanya bekerja membantu Bapaknya di Sawah dan kalau perempuan bantu-bantu di dapur atau menjaga adiknya yang masih kecil..” Bila merujuk pada teori tindakan yang
dikemukakan
oleh Weber dalam
Caupbell,1994. Maka pembagian pekerjaan di rumahtangga petani, di mana seorang wanita diharuskan dapat dikatakan
melakukan
pekerjaan di dapur atau kerja reproduksi (domestik),
bahwa motivasi rumahtangga cenderung pada tindakan tradisional di
sini mengacu pada kegiatan yang dilakukan secara turun temurun dan jika dilanggar akan kelihatan
janggal bagi masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah
satu responden : “.. Dari dulu yang namanya wanita kerjanya di dapur dan ngurus anak. Akan aneh jika ada suami yang kerjanya di dapur, nanti dikira istri tidak bisa ngurus suami..”
Adapun kasus manakala sang istri (wanita) ikut terlibat langsung dalam kerja produktif walaupun tidak akan meninggalkan kerja reproduksinya, motivasinya cenderung pada tindakan rasional instrumental. Gejala ini muncul manakala kebutuhan rumahtangga berpenghasilan minim. Kasus di desa pertanian berbeda dengan kasus di Kota di mana terkadang suami istri juga punya pekerjaan sedangkan kerja reproduksi sudah digantikan
sebagian oleh pembantu rumahtangga. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh responden ibu-ibu: “ Penghasilan Bapak tidak cukup untuk hidup sehari-hari, apalagi harga-harga pada naik, sedangkan kebutuhan untuk makan tidak bisa ditunda. Sehingga mau tidak mau saya juga harus bantu dengan jualan kecil-kecilan di mana perharinya hanya untung Rp5.000,00-
83 Rp8.000,00. Penghasilan segitu lumayanlah untuk membantu keuangan keluarga ”
2. Kerja Produksi. Kerja
produksi merujuk pada kerja
rumahtangga tani di mana penguasaan lahan
yang menghasilkan uang. Di dalam sangat minim yang
rata-rata tidak
mencapai 1.500 m2, akan sangat susah untuk bisa hidup dengan sederhanapun. Maka dengan keterbatasan itulah rumahtangga mendorong istri dan anak-anak yang sudah dewasa (>12 tahun) untuk ikut membantu dalam kerja produktif. Ketiadaan lahan bagi rumahtangga kasus bukan berarti mereka tidak bisa lagi bekerja disektor pertanian, mereka masih bisa bekerja dengan memanfaatkan lahanlahan milik perusahaan yang belum ditambang. Namun itupun dengan catatan, yakni tanaman yang ditanam tidak boleh tanaman
yang berjangka lama, hal ini untuk
menjaga klaim masyarakat dikemudian hari jika perusahaan mulai menambang lahan yang dibeli dari masyarakat. Lahan yang diusahakan tidak lebih dari 2000 m2. Lahanlahan tersebut ditanami dengan tanaman yang berumur pendek seperti sayur -sayuran dan tanaman pangan. Tanaman yang di usahakan adalah terong, jagung dan kacangkacangan. Hasil tanaman tersebut sebagian besar untuk kebutuhan sendiri. Pekerjaan pertanian lebih dominan dilakukan oleh kepala rumahtangga dengan di bantu oleh istrinya, sedangkan anggota
rumahtangga
yang lain (anak-anak)
terkadang saja membantu karena anak-anak kebanyakan be kerja di tempat lain, karena bagi kaum muda pekerjaan bertani tidak menguntungkan
hal ini juga disebabkan
karena ketidaktersediaan lahan yang dimiliki rumahtangga kasus. Kasus di Batujajar menunjukkan
bahwa kaum muda banyak yang bekerja di luar sektor pertanian seperti
menjadi tukang ojek, buruh bangunan atau buruh pabrik di Kota.
84 Pekerjaan bertani dilakukan mulai pukul 06.00-11.30. Selama 1-2 jam mereka istirahat untuk sholat dan makan siang, dan kemudian dilanjutkan lagi sampai pukul 17.30, bahkan terkadang ada juga yang bekerja pada malam hari apabila masih ada pekerjaan yang belum selesai. Pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum pria, mulai dari mencangkul, menanam, menyiram, memupuk dan memanen. Sedangkan kaum wanita biasanya membantu pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlal berat, seperti menanam dan menyiangi. Pekerjaan wanita dilakukan setelah kegiatan reproduksi selesai mereka kerjakan, kecuali pekerjaan menanam dilakukan pada pagi hari yaitu dimulai pada pukul 06.00-selesai. Pekerjaan ini terkadang juga dibantu oleh pria anggota rumahtangga lainnya. 7.3 Penggunaan Uang Hasil Penjualan Tanah Berdasarkan hasil penelitian bahwa masyarakat ada yang puas dan tidak puas dengan uang ganti rugi. Alasan yang mereka kemukakan antara lain dengan adanya konversi lahan mereka bisa menunaikan ibadah haji, membuat rumah baru, membeli tanah baru yang lebih luas, ataupun untuk usaha. Sedangkan yang tidak puas merasa bahwa ganti rugi lahan tidak memadai, untuk membeli lahan di tempat lain. Tabel 20. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan Aset Tetap dan Aset Lancar. Penggunaan Jumlah Uang Persen Aset Tetap
Aset Lancar
Sumber; data primer 2005
Beli sawah Bangun Rumah Beli Tegalan Naik Haji Beli Perabotan Rumah Tangga Modal Usaha Makan (kebutuhan seharihari) Sekolah anak Pengobatan
8 000 000 80 310 602 3 000 000 40 000 000 11 308 331
2,2 22,6 0,8 11,2 3,19
31 625 000 127 811 208
8,9 36,07
3 378 786 18 175 000
0,9 5,1
85 Rata-rata nilai penerimaman
dari hasil penjualan
ke perusahaan
cukup
bervariasi. Hal ini di sebabkan oleh perbedaan luas lahan dan juga waktu penjualan lahan yang dikonversi. Tingkat harga juga dipengaruhi oleh perbedaan tahun penjualan . Data yang disajikan pada tabel 21 menunjukan bahwa besarnya penerimaan hasil penjualan lahan 20 responen sekitar Rp.354.283.361,00 Tabel 21. Jumlah Uang Ganti Rugi Lahan Yang terkonversi No Nama Tahun Luas Harga Penjualan Lahan Jual M2 ( Rp ) 1 Pak Sarhan B 2004 5 000 4 000 2 Pak Asan 2003 2 500 4 000 3 Pak Saih 2004 1 250 4 000 4 Pak Sahari 1996 333 3 000 5 Pak Sarhan A 2000 1 500 4 000 6 Pak Madsuki 2003 2 600 3 000 7 Pak Haji Apak 2004 10 500 5 000 8 Pak Sajim 2004 800 5 000 9 Pak Salmi 1998 1 600 3 000 10 Pak Ahmad 2004 2 500 4 000 11 Pak Sugani 2004 3 000 4 000 12 Pak Rosyid 1996 7 000 2 500 13 Pak Sidik 1990 2 000 750 14 Pak Ramin 1990 5 000 750 15 Pak Rusdi 1990 2 500 750 16 Pak Naman 1990 2 500 750 17 Pak Sapri 1990 1 000 750 18 Pak Didi 1990 15 000 750 19 Pak Jahari 2003 300 4 000 20 Haji Emog 2002 4 000 4 000 Jumlah Total Uang
Jumlah (Rp)
Konversi ke rupiah terbaru
20 000 000 6 000 000 5 000 000 1 000 000 4 750 000 6 000 000 8 000 000 52 500 000 4 000 000 4 800 000 10 000 000 12 000 000 17 500 000 83 125 000 1 500 000 8 636 363 3 750 000 21 590 909 1 875 000 10 795 454 1 875 000 10 795 454 750 000 4 318 181 11 250 000 64 772 727 1 200 000 16 000 000 Rp354 283 361
Tahun 1996=1U$=Rp2000,00 Tahun 1978 =1U$=Rp 974 Tahun 1987=1U$= Rp 1650
Alokasi penggunaan uang hasil penjualan tanahnya menyebar, sebagian besar dialokasikan
untuk keperluan aset tetap sekitar Rp 91.310.602, (36,8 persen) seperti
membeli sawah, tegalan dan membangun rumah tinggal. Pengalokasian pada aset lancar sekitar Rp 232.298.352 (54 persen) seperti melakukan ibadah haji, membeli perabotan rumahtangga dan lainnya. Kebanyakan penduduk yang mendapat uang ganti rugi lebih besar, akan melaksanakan ibadah haji karena unsur keagamaan yang tinggi
86 pada mayoritas penduduk. Berdasarkan informan lapang biasanya hasil penjualan tanahnya yang diperoleh disisihkan sebagian untuk biaya sekolah, 0,9 persen.
Tabel 22. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan ProduktifKonsumtif. No Penggunaan Responden Jiwa Persen Kebutuhan Produktif 3 15 1 Beli Sawah 2 Modal Usaha 5 25 3 Menyekolahkan anak 3 15 Kebutuhan konsumtif 5 Benahi rumah/bangun rumah 6 Naik haji 7 Beli perhiasan 8 Beli Perabotan RT 9 Beli sepeda motor 10 Makan 11 Pengobatan (rumah sakit)
15 1 0 7 0 16 4
75 5 0 35 0 80 20
Alokasi penggunaan uang hasil penjualan tanahnya berdasarkan
alokasi
produktif dan alokasi konsumtif menunjukkan kecenderungan kearah konsumtif seperti terlihat pada tabel 22. Sebagian besar 80 persen
responden menggunakan
untuk
kebutuhan makan, 75 persen responden untuk pembenahan rumah, dan hanya 15 persen responden yang menggunakan uang ganti rugi untuk membeli sawah di tempat lain dan 25 persen menggunakan nya untuk modal usaha dan hanya 15 persen responden menyisihkan untuk biaya sekolah anak. 7.4 Pengaruh Terhadap Kesempatan Kerja Alih fungsi lahan ke pertambangan menyebabkan perubahan pada aspek kesempatan kerja. Pada awalnya
masyarakat sekitar lahan yang terkonversi
desa
Batujajar memiliki mata pencaharian bertani dan berdagang. Sedangkan setelah adanya pertambangan mata pencaharian penduduk menjadi lebih beragam, yaitu selain bertani
87 dan berdagang ada juga yang menjadi sopir, karyawan pertambangan ataupun menjadi tukang pantek. Berdasarkan tabel 23 terlihat bahwa jenis kegiatan yang banyak diisi oleh penduduk setempat adalah kegiatan sebagai petani dan buruh tani.
Tabel 23 . Perubahan Struktur Kesempatan Kerja Responden Waktu Jenis pekerjaan Sebelum Konversi Bertani Berdagang Buruh Sesudah Konversi Bertani Berdagang Buruh/Karyawan Jasa Bertani dan berladang oleh sebagian
Persentase 86,6 13 73 6,6 16,3 3,3
besar masyarakat yang lahannya
terkonversi masih tetap dipertahankan, karena bagi mereka selain tidak ada pilihan pekerjaan lain juga karena tidak ada keahlian untuk bekerja di luar pertanian. Bertani adalah bagian hidup mereka karena sudah bertahun-tahun dan secara turun temurun mereka tekuni. Dari hasil pengamatan lapang, perubahan kesempatan kerja disektor pertanian dari 86,6 persen menjadi 73 persen diseba bkan karena responden tidak punya lahan pertanian dan juga semakin sempitnya lahan sebagai akibat bertambahnya jumlah penduduk, selain itu dengan munculnya pertambangan menambah beragamnya lapangan kerja di desa Batujajar. Adapun masyarakat yang masih mempertahankan bertani sebagai pekerjaan utamanya harus mempunyai lahan sendiri atau melakuka kerja maro atau ceblokan. Responden yang mengalokasikan uang hasil konversi untuk membeli lahan rata rata mereka membeli tanah (sawah atau tegalan) yang baru di daerah lain yang masih di dalam desanya. Harga tanah di daerah ini sebenarnya lebih mahal dibanding ganti rugi
88 lahan yang mereka terima. Adapun harga untuk lahan sawah berkisar Rp 15.000/m² sampai Rp20.000/m² sedangkan uang ganti rugi yang dari pe njualan lahan tegalan di bukit hanya sekitar Rp 3500-4000/m² tahun 2004. Selain itu hasil ganti rugi lahan yang terkena konversi dipergunakan untuk menambah atau memperkuat modal usaha bagi pedagang lama. Sementara bagi petani yang beralih profesi me njadi pedagang menjadikannya sebagai modal tambahan.
89
KESIMPULAN Alih fungsi lahan di perbukitan desa Batujajar ke pertambangan perlu dikaji untung ruginya. Masyarakat pemilik lahan
yang sebagian besar adalah petani
merasakan bahwa proses jual beli lahan merugikan mereka, hal ini terkait dengan masalah harga jual tanah yang rendah dan juga akibat pencemaran baik air, udara dan juga suara, sebagai
akibat
dilakukannya
aktivitas
pertambangan yang tidak
memperhatikan AMDAL. Penguasaan lahan oleh orang luar desa Batujajar yang sudah mencapai sekitar 53 persen dari luas seluruh desa, jika tidak ditangani dengan baik tidak mustahil kedepannya
akan
menimbulkan
konflik
dengan
masyarakat
setempat.
Dari
permasalahan ini seharusnya pemerintah yang berwenang tanggap dan mampu mengendalikan proses jual beli lahan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, baik petani sebagai pemilik lahan dan juga investor. Ada beberapa butir pokok yang dapat disimpulkan dari studi dan analisis “ Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani” yakni : 1. Faktor utama yang menyebabkan
konversi lahan
di desa Batujajar
dibagi menjadi dua yaitu (1) Faktor Internal, yaitu faktor dari dalam diri masyarakat penjual lahan sendiri dalam hal ini, pendidikan, pendapatan, dan pengalaman kerja dan juga ketergantungan
terhadap lahan (2) Faktor
Eksternal, yakni faktor yang muncul dari luar masyarakat desa Batujajar
90 dalam hal ini Investor, pengaruh tetangga, pengaruh aparat desa da n juga calo-calo tanah yang memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan. 2. Konversi lahan di daerah Batujajar meskipun bukan pada lahan sawah, tetapi pada lahan kering (tegalan)
yang ada di perbukitan, secara tidak
langsung mempengaruhi akses dan kontrol masyarakat terhadap lahan yang pada akhirnya penguasaan lahan
mempengaruhi juga aktivitas ekonominya. Minimnya secara perlahan merubah budaya “ berkebun” atau
bertani pada generasi mudanya. Generasi muda lebih senang bekerja di luar sektor pertanian semisal sebagai tukang ojek atau merantau ke kota yang terdekat semisal ke Bogor atau ke Jakarta. 3. Rendahnya pendidikan petani dan juga penguasaan lahan yang sempit baik lahan sawah ataupun tegalan mendorong mereka untuk memaksimalkan tenaga kerja keluarga dan juga menerapkan pola nafkah ganda. SARAN. 1. Aparat yang terkait dalam hal ini pemerintah beserta Stakeholder untuk ikut serta merumuskan model konversi lahan
yang mengedepankan
keadilan
agraria.
Investor juga harus mampu membangun kemandirian masyarakat, agar masyarakat siap setelah konversi lahan terjadi. Pengelolaan uang hasil penjualan lahan yang tidak digunakan ke hal-hal produktif, merupakan faktor yang menjadikan mengapa setelah konversi lahan masyarakat bertambah miskin. Seharusnya ada kepedulian dari pihak investor untuk ikut serta dalam pembinaan pengelolaan uang hasil konversi. 2. Pemerintah daerah dan pusat jangan sampai menutup diri dengan proses konversi yang selalu merugikan bagi pemilik lahan, dan selalu berpihak kepada pengusaha. Kepemilikan yang melampaui batas maksimum dan munculnya tanah guntay yang
91 mengarah ke ketimpangan struktur
agraria
yang sudah menggejala
di desa
Batujajar seharusnya didekati dengan aturan hukum agraria yang tegas.
DAFTA R PUSTAKA Dames, T.W.G.1995. The Soil of Central Java. Balai Besar Penelitian Tanah, Bogor. Dharmawan, Arya H.2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socio-Economic Changes in Rural Indonesia . Disertasi Goettigen University. Germany. Gatot Murniatmo.dkk.1989. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Gertz, C.1976. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia . Bharata Karya Aksara. Jakarta. Harsono, Boedi.1975. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan. Jakarta. Husken, Frans.1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Differensiasi di Jawa 1830 -1980. Grasindo Husken, Frans dan Benjamin White.1989. Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa. Artikel. Prisma Edisi ke -4. I Gusti Ngurah Agung.dkk.1989. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta Iqbal, Moch.2004. Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan, Jawa Timur). Tesis Fakultas Pascasarjana, IPB Bogor. Kustiawan, Iwan.1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara Jawa . Artikel Prisma. Lewis, O. 1995. Kebudayaan Kemiskinan dalam Suparlan Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Moleong, Lexy.2002. Metodologi Penelitian Kualitatif . PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
92 Nurmalinda. 2002. Petani Miskin di Pinggiran Perkotaan Dan Strategi Bertahan Hidup Rumahtangga. (Studi Kasus Petani Lahan Tidur di Kabupaten Bekasi). Tesis Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Redfield, Robert.1982. Masyarakat dan Kebudayaan. Rajawali Press. Jakarta. Sajogyo.1977. Golongan Miskin dan Partisipasinya Dalam Pembangunan Desa. Prisma No. 3 tahun VI. LP3ES. Jakarta. Sajogyo.1978. Lapisan Masyarakat Paling Bawah di Pedesaan Jawa. Prisma. Juni No. 3 LP3ES. Jakarta. Sajogyo dan Pudjiwati.1992. Sosiologi Pedesaan .Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta . Sihaloho, Martua.2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria (Kasus di Kelurahan Mulyaharjo, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Tesis Jurusan Program Pascasarjana Sosiologi Pedesaan. Institut Pertanian Bogor. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi.1995. Metode Penelitian Jakarta.
Survei. LP3ES.
Sitorus, M.T.F. 1989. Struktur Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga Petani di Pedesaan Hulu Jawa . (Studi Kasus Pola Kerja Pria dan Wanita dalam Komunitas Petani di Dusun Jrukung, Jawa Tengah). Jurusan Studi Pembangunan. Program Pasca Sarjana, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Tesis Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Suhendar, Endang dan Yohana Budi W.1998. Petani dan Konflik Agraria. Yayasan AKATIGA. Bandung. Supriyadi, Anton.2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan Pertanian. Studi kasus di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Tjondronegoro,SedionoM.P.1999. Sosioloi Agraria:Kumpulan Tulisan Terpilih.Yayasan AKATIGA Bandung.
Tjondronegoro, Sediono M.P dan Gunawan Wiradi ed. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. PT. Gramedia. Jakarta. White, Benjamin dan Gunawan Wiradi.1979. Pola-pola Penguasaan Tanah di DAS Cimanuk Dulu dan Sekarang. Beberapa Catatan sementara. Prisma No.9 September 1979. Jakarta. Wiradi, Gunawan.2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Insist Press,KPA dan Pustaka Pelajar.Yogyakarta. Wolf, Eric .2004 . Perang Petani. Insisst Press. Bandung
93
__________ 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Ta hun Gunawan Wiradi. Yayasan Akatiga. Bandung.
LAM PI R AN
94
Tabel Lampiran 1. Karakteristik Umur dan Pendidikan Responden No
Nama Responden
Umur
Pendidikan
Jumlah Tanggungan kelurga
1
Pak Sarhan B
60
TTSD
3
2
Pak. Asan
58
SD
4
3
Pak. Saih
50
SD
3
4
Pak.Sahari
61
TTSD
4
5
Pak.Sarhan A
70
TTSD
3
6
Pak.Madsuki
71
TTSD
1
7
Pak.Haji Apak
54
SD
3
8
Pak.Sajim
65
TTSD
4
9
Pak.Salmi
50
SLTP
4
10
Pak.Ahmad
58
SD
4
11
Pak.Sugani
80
SD
5
12
Pak.Rosyid
55
SD
4
13
Pak.Sidik
60
SD
5
14
Pak.Ramin
70
SD
3
15
Pak.Rusdi
63
SD
4
16
Pak.Naman
80
SD
4
17
Pak.Sapri
60
SD
3
18
Pak.Didi
75
SD
4
19
Pak.Jahari
65
SD
3
20
Pak.Haji Emog
65
TTSD
3
Rata -rata Keterangan : TTSD : Tidak Tamat SD
63,5
3,5
95 Tabel Lampiran 2. Perubahan Luas Lahan Sebelum dan Sesudah Konversi. No
Nama Responden
Luas Lahan Pra Konversi Sawah
1 Pak Sarhan B
Tegalan
Luas Lahan Pasca Konversi
Pekarangan
sawah
Tegalan
Pekarangan
-
5 000
40
-
800
40
2 Pak. Asan
1 500
2 500
20
200
200
20
3 Pak. Saih
1 500
1 250
16
2 000
-
16
4 Pak.Sahari
200
333
40
200
-
40
5 Pak.Sarhan A
400
1 500
10
1 000
-
10
6 Pak.Madsuki
800
2 600
20
800
200
20
1 200
10 500
100
2 500
500
100
8 Pak.Sajim
500
800
20
500
4 000
100
9 Pak.Salmi
-
1 600
10
-
-
10
10 Pak.Ahmad
3 000
2 500
80
4 000
1 000
80
11 Pak.Sugani
200
3 000
10
500
250
10
12 Pak.Rosyid
100
7 000
12
1 000
4 000
12
13 Pak.Sidik
2 000
2 000
20
-
-
20
14 Pak.Ramin
10 000
5 000
50
10 000
2 000
50
15 Pak.Rusdi
1 400
2 500
100
1 400
2 500
100
16 Pak.Naman
1 000
2 500
100
1 000
-
100
17 Pak.Sapri
-
1 000
200
-
-
200
18 Pak.Didi
2 000
15 000
300
1 000
1 500
300
500
300
20
500
-
20
20 Pak.Haji Emog
7 500
4 000
20
7 500
-
20
Jumlah Rata-rata
1 690
3 544
59,4
1 705
847,5
59,4
7 Pak.Haji Apak
19 Pak.Jahari
96
Gambar Lampiran 1. Aktivitas Perempuan dalam Mengerjakan Pekerjaan Rumah tangga (Kerja Reproduksi) yang Memanfaatkan Air Sungai yang Telah Tercemar Limbah Pertambangan.
Gambar Lampiran 2. Aktivitas Petani Dalam memanfaatkan Ternak Untuk Kerja di Bidang Pertanian.
97
Gambar Lampiran 3. Aktivitas Perempuan dalam upaya membantu ekonomi Rumahtangga dengan membuka warung.
Tabel Lampiran 4. Aktivitas Warga Mencari Ikan di Sungai Sebagai Tambahan Penghasilan