KONVERSI LAHAN PERTANIAN SEBAGAI STRATEGI ADAPTASI PETANI (Kasus di RW 02 Desa Gunung Picung, Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor)
Oleh: YOHAN BUDIMAN A14202023
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN YOHAN BUDIMAN. A14202023. KONVERSI LAHAN PERTANIAN SEBAGAI STRATEGI ADAPTASI PETANI. Kasus di RW 02 Desa Gunung Picung, Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor (Di bawah Bimbingan SATYAWAN SUNITO) Konversi lahan pertanian, khususnya sawah, sulit untuk dihindari oleh para pemilik tanah baik petani maupun bukan petani. Hal ini disebabkan oleh alasan ekonomi yaitu setiap orang ingin memperbaiki taraf hidupnya dan mempunyai akses yang mudah terhadap sumber daya yang ada di sekitar mereka. Lahan pertanian yang mereka miliki biasanya dikonversi untuk penggunaan non pertanian, seperti perumahan, jasa, pabrik. RW 02 adalah wilayah paling utara desa sehingga secara tidak langsung merupakan pintu gerbang Desa Gunung Picung dan terletak di daerah yang dilalui oleh jalan utama desa, sehingga perubahan pemanfaatan lahan terjadi secara signifikan khususnya di daerah yang terletak berdekatan dengan jalan. Lahanlahan yang semula sawah produktif lambat laun berubah menjadi rumah, peternakan ayam, kolam ikan, usaha jamur, rumah peristirahatan (villa). Perubahan pemanfaatan lahan pertanian ini dilakukan oleh petani dan pemilik lahan, baik warga lokal maupun pendatang. Berdasarkan luasan lahan, petani dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu petani yang mengkonversi seluruh lahannya, hanya sebagian lahannya dan sebagian kecil lahannya. Dalam mengkonversi lahan pertanian, petani di RW 02 Desa Gunung Picung bisa dibedakan ke dalam dua kelompok besar pertama petani yang mengkonversi lahan pertanian miliknya untuk jangka panjang (permanen). Mereka melihat prospek dari sisi ekonomi, yaitu harapan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga sehingga kehidupan rumah tangganya lebih baik. Kedua, petani yang mengkonversi lahan pertaniannya untuk jangka pendek (sementara). Mereka merespon dengan cepat trend-trend pasar yang sedang berkembang. Mereka biasanya merubah-rubah lahan pertanian miliknya sesuai dengan ‘trend’ yang terjadi di pasar mulai dari ditanami palawija, kemudian beralih ke kolam ikan setelah itu ditanami sayuran kembali. Aktor konversi di RW 02 Desa Gunung Picung selain petani adalah pendatang. Mereka terdiri dari orang yang akhirnya menjadi warga RW 02 dan orang kota yang hanya membangun villa. Mereka mendapatkan lahan lahan pertanian melalui proses jual beli. Pendatang yang akhirnya menjadi warga RW 02 merupakan warga luar desa yang mempunyai hubungan kekerabatan atau pernikahan dengan warga asli RW 02. Selain itu ada juga pendatang dari kota (khususnya Jakarta) yang membeli tanah kemudian mengkonversinya menjadi rumah peristirahatan (villa) dan pabrik air mineral. Pabrik air mineral itu menggunakan air dari mata air yang berada di RW 02 sebagai bahan baku produksinya. Pemerintah desa pun memiliki peran dalam proses konversi lahan, walaupun tidak secara langsung. Pemerintah desa berperan dalam membuat peraturan yang bisa mengendalikan laju konversi lahan pertanian dan mengawasi pelaksanaan peraturan itu. Bentuk-bentuk usaha baru yang digeluti oleh warga RW 02 Desa Gunung Picung setelah dikonversi dari lahan pertanian sangat
beragam, terdiri atas peternakan ayam pedaging, kolam ikan, tempat budidaya tanaman hias, kebun pepaya, kebun singkong, budidaya jamur. Konversi lahan di RW 02 dipengaruhi oleh tidak ada aturan pertanahan yang mengikat warga dalam menahan laju konversi lahan pertanian. Penduduk RW 02 memandang konversi atau alih fungsi lahan pertanian sebagai hal yang wajar dilakukan oleh petani karena hal ini menyangkut hubungan antara pemilik dengan tanahnya. Selain itu pertambahan jumlah penduduk pun lambat laun menuntut lahan untuk dijadikan pemukiman. Faktor internal rumah tangga yang berpengaruh terhadap konversi lahan pertanian adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani yaitu keinginan petani untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga sehingga akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga. Konversi lahan pertanian dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomi dan daya guna lahan sehingga berimbas pada peningkatan pendapatan rumah tangga. Keputusan yang sering diambil oleh petani pemilik lahan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangganya adalah mengkonversi lahan pertanian miliknya menjadi bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan dan memiliki siklus yang pendek. Pemerintah Desa tidak bisa melakukan apa-apa dalam menghadapi fenomena konversi lahan yang terjadi dan hanya bisa mengimbau masyarakat untuk tetap berusaha di bidang pertanian serta melakukan pencatatan ketika ada aktor konversi yang melapor. Pemerintah Desa tidak pernah mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan proses konversi lahan pertanian maupun kebijakan penataan ruang pedesaan karena dinilai masih berada pada ambang normal. Konversi lahan petanian memberikan dampak yang beragam terhadap mata pencaharian atau lapangan pekerjaan warga RW 02 Desa Gunung Picung. Dampak yang terlihat adalah pergeseran mata pencaharian aktor konversi dari bidang pertanian menjadi bidang non pertanian. Konversi lahan pertanian di RW 02 bisa dikatakan sebagai proses diversifikasi sumber mata pencaharian. Di satu sisi menghilangkan pekerjaan dan di sisi lain memunculkan pekerjaan baru. Warga yang kehilangan pekerjaan adalah petani penggarap yang mengusahakan lahan pertanian milik orang lain dengan sistem sewa. Konversi dan pergeseran/perubahan tata guna lahan menciptakan lapangan kerja lain di luar pertanian seperti penjaga villa, pekerja di peternakan ayam. Setelah konversi lahan pertanian, terdapat mata pencaharian baru yang spesifik wanita, yaitu terjadi penyerapan tenaga kerja wanita di nursery milik orang kota. Nursery itu lebih banyak menyerap tenaga kerja wanita untuk merawat tanaman, karena wanita dianggap lebih rapi dan telaten dibandingkan laki-laki. Konversi lahan pertanian memberikan dampak yang besar bagi pendapatan rumah tangga petani. Pendapatan ini digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan anak mereka dan biaya-biaya rumah tangga lainnya. Setelah konversi lahan terjadi, ada beberapa perubahan dalam pendapatan rumah tangga petani. Para petani ini bisa dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu petani dengan pendapatan meningkat dan pendapatan tetap. Konversi lahan pertanian pun memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan. Dampak itu antara lain pencemaran udara yang berupa bau yang tidak sedap, gangguan lalat, dan berkurangnya ketersediaan air untuk kebutuhan seharihari dan untuk irigasi.
KONVERSI LAHAN PERTANIAN SEBAGAI STRATEGI ADAPTASI PETANI (Kasus di RW 02 Desa Gunung Picung, Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor)
Oleh: YOHAN BUDIMAN A14202023
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama
: Yohan Budiman
NRP
: A14202023
Program Studi
: Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul
: Konversi Lahan Pertanian sebagai Strategi Adaptasi Petani (Kasus di RW 02 Desa Gunung Picung, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui Dosen Pembimbing
Dr. Satyawan Sunito NIP. 19520326 199103 1 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 19571222 198203 1 002
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KONVERSI LAHAN PERTANIAN SEBAGAI STRATEGI ADAPTASI PETANI : KASUS DI RW 02 DESA GUNUNG PICUNG KECAMATAN PAMIJAHAN KABUPATEN BOGOR” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH
Bogor, Agustus 2009
Yohan Budiman A14202023
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bogor, 09 Juni 1984 sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara pasangan Tjepi Harun dan Yoyoh. Penulis telah menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar di SD Negeri Gunung Picung IV pada tahun 1996, sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 1 Cibungbulang pada tahun 1999, dan sekolah menengah umum di SMU Negeri 1 Lewiliang pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama Menjadi Mahasiswa, Penulis Aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM – A), dan menjadi Asisten Matakuliah Sosiologi Umum serta Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang tiada henti memberikan rahmat, nikmat dan petunjuknya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya kecil ini. Tak lupa, salam dan shalawat penulis sampaikan kepada pemimpin umat, Nabi Muhammad SAW. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, maka dari itu pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Satyawan Sunito sebagai dosen pembimbing yang telah dengan tulus dan sabar memberikan arahan, bimbingan, perhatian, masukan, motivasi, dan nasehat serta meluangkan waktunya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 2. Martua Sihaloho, SP, M.Si. sebagai Dosen penguji utama atas kritik dan masukannya dalam penulisan skripsi ini. 3. Heru Purwandari, SP, M.Si. sebagai Dosen Komisi Pendidikan atas kritik dan masukannya dalam penulisan skripsi ini. 4. Ratri Virianita, S. Sos. M.Si. sebagai dosen pembimbing akademik atas dorongannya untuk menyelesaikan skripsi. 5. Keluarga tercinta, ayahanda, ibunda, kakanda, dan adinda yang senantiasa memberikan sokongan doa, materi dan kasih sayang. 6. Para petani di RW 02 yang telah bersedia menjadi responden dan telah memberikan data serta informasi untuk penyelesaian skripsi ini. 7. Pemerintah Desa Gunung Picung yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di sana dan juga memberikan informasi yang sangat berharga terkait perubahan pemanfaatan lahan. 8. Pak Atang, Jaya, Izal, Arya, Cep, Ujang, Haryo, Adit yang selalu mengingatkan penulis untuk segera meyelesaikan skripsi ini. (oh ya kang cep kapan ya nyusul???) 9. Pak E. Syamsudin, Pak Ru’yat yang telah mendorong dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan studi.
10. Prince, Eryan yang memberikan dorongan dan bantuan teknis juga tak lupa Tyas, ulhie, mba aji, mba Sinta, Tarjo yang tak lelah untuk mengingatkan dan memberikan semangat penulis baik itu melalui sms, e-mail, facebook. 11. Hanif, R, Faris yang telah meminjamkan laptop kepada penulis walaupun kalian sedang butuh. 12. Teman-teman di al-ihsan (lama dan baru), Batu yang terus mendorong penulis untuk menyelesaikan skripsi. 13. Dan pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-satu...
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, petunjuk, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Konversi Lahan Pertanian sebagai Strategi Adaptasi Petani (Kasus di RW 02 Desa Gunung Picung, Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor)”. Skripsi ini merupakan suatu karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berupaya untuk mengidentifikasi ciri-ciri sosial ekonomi aktor-aktor konversi lahan pertanian dan faktor-faktor penyebabnya, serta menganalisis pengaruh konversi lahan pertanian terhadap rumah tangga petani, pendatang dan lingkungan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengaharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dijadikan referensi penulisan selanjutnya.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .....................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.............................................................................................1 1.2 Perumusan Masalah .....................................................................................5 1.3 Tujuan .........................................................................................................5 1.4 Kegunaan.....................................................................................................6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka..........................................................................................7 2.1.1 Konversi Lahan Pertanian ...................................................................7 2.1.1.1
Pengertian Deskripsi Konversi Lahan Pertanian ...................7
2.1.1.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ............16
2.1.2 Dampak Sosial Ekonomi Konversi Lahan Pertanian .........................26 2.1.3 Langkah-langkah Pencegahan Konversi Lahan Pertanian .................30 2.2 Kerangka Berfikir ........................................................................................36 2.3 Hipotesis .....................................................................................................38 2.4 Definisi Operasional ....................................................................................39
BAB III METODOLOGI 3.1 Metode Penelitian ........................................................................................42 3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian.......................................................................42 3.3 Teknik Pengumpulan Data ...........................................................................43 3.4 Teknik Analisis Data ...................................................................................45
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Geografis ................................................................................46 4.2 Karakteristik Sosial Ekonomi.......................................................................47 4.3 Profil RW 02................................................................................................48
BAB V AKTOR KONVERSI LAHAN PERTANIAN 5.1 Petani Lokal.................................................................................................53 5.2 Pendatang ....................................................................................................59 5.3 Pemerintah...................................................................................................61 5.4 Bentuk Usaha Baru Pasca Konversi .............................................................62 5.5 Ikhtisar.........................................................................................................65
BAB VI FAKTOR-FAKTOR PEMICU KONVERSI LAHAN 6.1 Faktor Eksternal Rumah Tangga Petani........................................................69 6.2 Faktor Internal Rumah Tangga Petani ..........................................................71 6.3 Peran Pemerintah Desa dalam Konversi Lahan.............................................75 6.4 Ikhtisar.........................................................................................................77
BAB VII DAMPAK SOSIAL EKONOMI KONVERSI LAHAN 7.1 Pergeseran dan Diversifikasi Mata Pencaharian............................................80 7.2 Pendapatan Rumah Tangga ..........................................................................85 7.3 Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Lingkungan ...........................90 7.4 Ikhtisar.........................................................................................................92
BAB VIII PENUTUP 8.1 Kesimpulan..................................................................................................95 8.2 Saran............................................................................................................98
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 100 LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Klasifikasi manfaat lahan pertanian ..................................................8 Gambar 2. Kerangka Pemikiran .........................................................................38 Gambar 3. Peta Desa Gunung Picung.................................................................49 Gambar 4. Peta RW 02 Desa gunung Picung......................................................50
DAFTAR TABEL Nomor Tabel 1 Skenario pendorong laju konversi lahan pertanian.................................19 Tabel 2 Peraturan-peraturan pengendalian konversi lahan pertanian ke non pertanian...............................................................................................24 Tabel 3 Profil petani ..........................................................................................54 Tabel 4 Profil pendatang....................................................................................59 Tabel 5 Perubahan penggunaan tanah menjadi perumahan di Desa Gunung Picung .............................................................................................................71 Tabel 6 Motif petani mengonversi lahan ...........................................................73 Tabel 7 Luas tanah di Desa Gunung Picung......................................................76 Tabel 8 Pergeseran mata pencaharian dan bentuk konversi ...............................81 Tabel 9 Pendapatan petani RW 02 ....................................................................86 Tabel 10 Perbandingan peningkatan pendapatan TJ dan OD setelah konversi.....89
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Konversi lahan pertanian, khususnya sawah, sulit untuk dihindari oleh para pemilik tanah baik petani maupun bukan petani. Hal ini disebabkan oleh alasan ekonomi yaitu setiap orang ingin memperbaiki taraf hidupnya dan mempunyai akses yang mudah terhadap sumber daya yang ada di sekitar mereka. Lahan pertanian yang mereka miliki biasanya dikonversi untuk penggunaan non pertanian, seperti perumahan, jasa, pabrik. Keuntungan (land rent) yang diperoleh dari penggunaan non pertanian memang lebih tinggi dari keuntungan yang diperoleh dari sektor pertanian. Selama keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan lahan untuk perkantoran, industri, perumahan lebih tinggi daripada tetap diusahakan untuk pertanian, konversi lahan yang dilakukan oleh perorangan maupun secara masal oleh pengembang akan sulit untuk dihentikan1. Indonesia dikenal luas sebagai negara agraris yang bertumpu pada pertanian sebagai penyumbang devisa terbesar, tetapi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering tidak mendukung pertanian sepenuhnya. Bahkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah pun jarang dijalankan oleh pemerintah sendiri. Selain RTRW, kebijakan yang telah disusun oleh pemerintah tetapi tidak dilaksanakan adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. UUPA menyatakan bahwa
1
Roosita, Elly. 2004. Pertanian Semakin Kehilangan Daya Tariknya. www.kompas.com
tanah-tanah kosong yang tidak bertuan, tanah absentee harus diserahkan kepada penggarap, tetapi pada kenyataannya hal itu tidak pernah dilakukan. Peraturanperaturan yang tidak dilaksanakan dan kontrol pemerintah yang lemah terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah dikeluarkan, berimplikasi kepada laju konversi lahan yang tidak bisa dibendung sehingga mengakibatkan ketersediaan tanah untuk pertanian semakin menipis. Pemerintah Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun di Indonesia menyatakan bahwa negara indonesia berada pada tahap tinggal landas yaitu suatu keadaan di mana proses pertumbuhan ekonomi sangat cepat yang didukung oleh perkembangan industri sehingga kesejahteraan penduduk akan tercapai dengan adanya modernisasi (Rostow, 1960). Ternyata setelah 32 tahun terjadi perkembangan yang tidak seimbang karena pembangunan yang dikembangkan lebih menekankan pada perkembangan teknologi dan ekonomi tetapi tidak pada sisi pertanian seperti pola penguasaan tanah yang tidak rapi dan berkurangnya akses terhadap masyarakat tanah pertanian. Ekspansi industri lambat laun mendesak sektor pertanian. Industrialisasi
digunakan
oleh
Pemerintah
untuk
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional yang pada akhirnya akan memicu peningkatan kesejahteraan masyarakat. Industrialisasi akan membutuhkan lahan untuk mendirikan bangunan pabrik dan kantor, sehingga konversi lahan merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Kesejahteraan masyarakat yang ingin diraih pun tidak seimbang, karena terkesan memihak masyarakat industri yang berada di kota. Petani tidak bisa berusaha di bidang pertanian jika lahan pertanian dikonversi menjadi bentuk penggunaan non pertanian.
Industri dan pertanian harus berkembang dengan seimbang sehingga akan tercapai keseimbangan dalam peningkatan kesejahteraan antara masyarakat urban yang diasosiasikan dengan industri dan jasa dengan masyarakat desa yang diasosiasikan dengan pertanian. Hal ini akan sulit diraih jika pembangunan ekonomi tidak diikuti dengan reforma agraria secara tuntas (Wiradi, 2002). Soetarto dan Shohibudin (2004) menambahkan bahwa dari perspektif perubahan sosial, reforma agrarian merupakan jalur utama transformasi pertanian dari pola ‘eksklusif’ (terpisah dari industri) ke pola ‘inklusif’ (menyatu dengan industry). Salah satu bentuk reforma agraria yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah pembenahan struktur penguasaan dan akses terhadap sumber-sumber daya agraria dan tanah termasuk di dalamnya pencegahan proses konversi lahan dari pertanian menjadi non pertanian. Konversi lahan pertanian adalah perubahan pola penggunaan dan pemanfaatan lahan dari pertanian menjadi pemanfaatan non pertanian. Konversi lahan pertanian memberikan implikasi terhadap kehidupan petani dan pemilik lahan. Salah satu implikasi yang terasa dari konversi lahan pertanian untuk penggunaan non pertanian adalah ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan lahan yaitu lahan dimiliki dan dikuasai oleh sekelompok orang dalam komunitas sehingga terjadi perubahan dalam struktur agraria dalam komunitas tersebut. Proses ini tidak serta merta terjadi setelah konversi lahan tetapi dalam waktu yang lama. Konversi lahan pertanian tidak bisa dilepaskan dari proses transfer pemilikan lahan, khususnya proses jual beli tanah. Para pemilik tanah akan tergiur untuk menjual tanah miliknya karena harga akan semakin melonjak khususnya
tanah-tanah yang berdekatan dengan pusat perkembangan pembangunan (Rustiadi dan Wafda, 2005). Tetapi tidak semua pemilik lahan menjual lahan pertaniannya karena harga yang tinggi, ada juga petani yang menjual lahannya disebabkan oleh kebutuhan rumah tangga yang mendesak, seperti membayar hutang, membiayai pendidikan anak, dan bahkan untuk biaya berobat ke dokter. Mata pencaharian petani di bidang pertanian lambat laun akan berkurang setelah mereka menjual tanah pertanian miliknya yang diikuti oleh proses konversi. Konversi lahan pertanian ini menyebabkan kehilangan pekerjaan di bidang pertanian tanpa ada jaminan pekerjaan di luar pertanian. Bukan hanya pemilik tanah saja yang akan mengalami perubahan, tetapi penduduk sekitar yang menggantungkan hidupnya pada pertanian pun akan berubah. Masyarakat yang semula berprofesi sebagai petani kemudian berubah menjadi buruh tani, buruh pabrik, pedagang dan profesi non pertanian lainnya. Implikasi lebih lanjut dari proses ini adalah peningkatan laju urbanisasi, perpindahan penduduk dari desa ke kota. Alasan yang dikemukakan oleh para migran adalah tidak ada pekerjaan di desa dan tidak ada jaminan pekerjaan di luar pertanian, sedangkan di kota tersedia banyak lapangan pekerjaan dan mereka bisa mencari hiburan. Pemberlakuan Peraturan Presiden no 36 tahun 2005, UUPA yang “di-peti es-kan”, perkembangan industri, perumahan dan perkembangan bidang non pertanian lainnya menjadi faktor-faktor penyebab laju konversi lahan pertanian yang semakin meningkat. Konversi lahan pun berimplikasi pada kehidupan masyarakat, petani dan warga di sekitar lahan pertanian, baik dari sisi sosial
maupun ekonomi yang berupa peningkatan pendapatan dan pergeseran mata pencaharian dari bidang pertanian ke non pertanian. Konversi lahan pertanian pun dilakukan dalam skala kecil di desa oleh para pemilik lahan yang terdiri dari petani dan pendatang. Mereka mengkonversi lahan pertaniannya menjadi bentuk non pertanian. Tujuan dari konversi ini adalah untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan meningkatkan nilai ekonomi lahan pertanian sehingga bisa meningkatkan taraf hidup keluarga. Konversi lahan yang dilakukan oleh petani dan pendatang dalam skala kecil ini belum terlalu banyak diteliti, maka penelitian ini difokuskan pada fenomena tersebut.
1.2 Perumusan Masalah Dari uraian di atas, maka permasalahan yang akan diteliti lebih dalam oleh peneliti tentang konversi lahan pertanian adalah: 1. Bagaimanakah ciri-ciri sosial ekonomi petani dan pemilik lahan yang mengkonversi lahan pertanian di RW 02 Desa Gunung Picung? 2. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi petani dan pemilik lahan dalam
mengkonversi
lahan
pertanian
miliknya
menjadi
bentuk
pemanfaatan lain? 3. Bagaimana dampak sosial ekonomi konversi lahan pertanian terhadap petani, pemilik lahan, dan lingkungan sekitar?
1.3 Tujuan 1. Mengetahui ciri-ciri sosial ekonomi petani dan pemilik lahan yang mengkonversi lahan pertanian di RW 02 Desa Gunung Picung.
2. Mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi petani dan pemilik lahan dalam
mengkonversi
lahan
pertanian
miliknya
menjadi
bentuk
pemanfaatan lain. 3. Mengetahui dampak sosial ekonomi konversi lahan pertanian terhadap petani, pemilik lahan, dan lingkungan sekitar.
1.4 Kegunaan Penelitian 1. Bagi Akademisi, hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sumber data, informasi serta literatur bagi kegiatan-kegiatan penelitian selanjutnya dan
dapat
menambah
atau
mengakumulasi pengetahuan
tentang
permasalahan ketimpangan penguasaan dan konversi lahan serta implikasinya pada struktur agraria yang telah ada. 2. Bagi Pemerintah, diharapkan dapat digunakan sebagai sarana evaluasi, informasi, dan data untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan agraria yang dikeluarkan baik secara substansial maupun pelaksanaan di lapangan. 3. Bagi masyarakat, diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan ketika akan mengkonversi lahan pertanian yang mereka miliki menjadi bangunan atau bentuk suatu usaha tani lain seperti peternakan, perikanan (kolam ikan), dan bahkan pemukiman.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.5 Tinjauan Pustaka 2.5.1 Konversi Lahan Pertanian 2.5.1.1 Pengertian Deskripsi Konversi Lahan Pertanian Lahan pertanian di Indonesia, semakin berkurang jumlahnya akibat konversi yang gencar baik dalam skala kecil oleh petani maupun skala besar oleh pengembang. Padahal lahan pertanian mempunyai banyak manfaat yang sangat penting bagi kehidupan. Salah satu manfaat yang bisa kita dapatkan adalah dalam mempertahankan swa sembada pangan dan ketahanan pangan. Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) menyatakan bahwa lahan pertanian mempunyai sejumlah manfaat yang dibagi ke dalam dua kategori berdasarkan nilai penggunaannya (Use Values), antara lain: 1. Use Values (nilai penggunaan), dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usahatani pada lahan pertanian atau yang biasa disebut sebagai personal use values. Manfaat yang didapatkan adalah output yang dipasarkan dan manfaat lain yang tidak terukur secara empiris (unpriced benefit). 2. Non-Use Values/intrinsic values (manfaat bawaan), tercipta dengan sendirinya meskipun bukan tujuan utama dari eksplotasi yang dilakukan oleh pengelola lahan. Manfaat bawaan dari lahan pertanian seperti pencegah banjir, pengendali keseimbangan tata air, pencegah erosi, dan sebagai pengurang pencemaran lingkungan yang berasal dari
limbah rumah tangga, serta sebagai pencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan.
Klasifikasi manfaat lahan pertanian dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini Total Nilai Ekonomi
Use Values
Manfaat Langsung
Manfaat Tidak Langsung
Marketed Output
Produk pertanian : • Pangan • Ternak/ikan • Kayu Fungsi pendapatan masyarakat/negara
Intrinsic Values
Unpriced Benefit
• Fungsi mempertahankan keragaman hayati • Fungsi pendidikan lingkungan
• Fungsi konservasi tanah dan air • Fungsi pengendalian pencemaran udara • Fungsi pengendali water balance • Fungsi daur ulang limbah
• Fungsi rekreasi • Fungsi sosial-budaya • Fungsi pengendalian urbanisasi • Fungsi kesehatan
Gambar 1. Klasifikasi manfaat lahan pertanian (Sumber : Rahmanto, et al, 2006)
Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa manfaat langsung lahan pertanian (sawah) antara lain: 1. Penghasil bahan pangan 2. Penyedia kesempatan kerja pertanian 3. Sumber Pendapatn Asli Daerah (PAD) melalui pajak lahan dan pajak lainnya
4. Mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerj yang diciptakan 5. Sarana bagi tumbuhnya kebudayaan tradisional 6. Sarana tumbuhnya rasa kebersamaan/gotong royong 7. Sumber pendapatan masyarakat 8. Sarana refreshing 9. Sarana pariwisata.
Sedangkan manfaat tidak langsung dari lahan pertanian (sawah) antara lain: 1. Mengurangi peluang banjir, erosi, dan tanah longsor 2. Menjaga keseimbangan sirkulasi air, terutama di musim kemarau 3. Mengurangi pencemaran lingkungan melalui pengembalian pupuk organik pada lahan sawah
Lahan pertanian yang biasanya dikonversi oleh petani adalah lahan sawah yang subur tempat mereka menggantungkan hidupnya. Lahan sawah itu berfungsi sebagai penghasil produk pertanian khususnya bahan pangan. Ketika petani mengkonversi lahan sawah miliknya maka mata pencaharian mereka akan berubah dan ketersediaan bahan pangan rumah tangga mereka pun akan terancam. Sawah merupakan salah satu lahan pertanian yang dijadikan sebagai objek konversi lahan. Di dalam konteks pembangunan pertanian nasional, sistem sawah merupakan tipologi penggunaan tanah yang sangat strategis. Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa faktor berikut (Nasution et al. 1996):
1. Sawah merupakan media utama pertumbuhan padi, makanan pokok sebagian besar warga negara Indonesia dan mempunyai nilai strategis secara ekonomis dan politis. 2. Lahan yang sesuai untuk pembuatan sawah ditinjau dari sudut pandang fisik, kimia, dan biologis terutama di luar Pulau Jawa sangat terbatas. Hal ini merupakan mempunyai implikasi bahwa penggunaan lahan sawah di Jawa untuk penggunaan non-padi akan meningkatkan opportunity cost (khususnya social opportunity cost). 3. Ditinjau dari sudut pandang lingkungan dan pelestarian sumber daya alam, ekosistem sawah dianggap sebagai suatu ekosistem yang paling stabil dibanding ekosistem budidaya pertanian lainnya. Ciri yang dapat terlihat adalah tingkat erosi dan pencucian hara tanaman pada lahan sawah sangat kecil dan efisiensi tingkat penggunaan air pada lahan sawah relatif tinggi karena berkembangnya claypan pada ekosistem sawah. 4. Biaya investasi fisik untuk pencetakan dan pengembangan sistem pertanian sawah sangat besar, baik dalam kaitannya dengan pembangunan waduk, sistem irigasi, maupun pemantapan ekosistem sawah yang umumnya butuh waktu lebih dari 10 tahun. 5. Biaya investasi pengembangan struktur sosial terutama dalam bentuk pengembangan sistem kelembagaan pertanian, yang menjadi soko guru sistem produksi beras di Indonesia, sangat besar. 6. Kepemilikan/penguasaan lahan mempunyai implikasi kultur politik yang luas. Tidak jarang struktur kepemilikan/penguasaan lahan sawah
(terutama di Pulau Jawa) menjadi pilar dari struktur distribusi kekuasaan masyarakat desa.
Keenam faktor di atas menunjukkan bahwa alih guna lahan pertanian ke non pertanian merupakan suatu proses mahal yang akan dipikul oleh masyarakat mengingat sampai saat ini belum lahir terobosan teknologi dan kelembagaan pertanian yang cukup spektakuler sebagaimana kita alami pada awal revolusi hijau pada tahun 1960-an. Asyik (1996) menyatakan bahwa kegiatan pembangunan terutama yang menyangkut sektor sekunder dan tersier di Pulau Jawa akan terus membutuhkan tanah yang tidak sedikit jumlahnya. Sebagian besar tanah yang dibutuhkan ini bersumber dari lahan pertanian yang memang secara historis, mayoritas terletak disekitar atau di pinggiran kota atau pusat-pusat konsentrasi penduduk. Kustiwan (1997) menyatakan bahwa pengertian konversi, alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Namun dalam kajian land
economycs
pengertian
konversi
lahan
difokuskan
pada
proses
pengalihgunaan lahan dari pertanian atau pedesaan ke penggunaan non pertanian atau perkotaan (Supriyadi, 2004). Sitorus (2005) memberikan pandangan lain tentang konversi lahan pertanian, yaitu bahwa konversi lahan pertanian merupakan bagian dari krisis paradigma pertanahan yang terjadi di Indonesia. proses konversi lahan pertanian itu, untuk sebagian sebenarnya diwarnai dengan sengketa pertanahan. Hal ini merupakan indikasi dari krisis paradigma pertanahan nasional sekarang ini. Selain
itu, penegakan hukum yang tidak efektif pun merupakan Indikator lain dari krisis paradigma pertanahan. Paradigma pertanahan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah paradigma Tanah untuk Negara dan Swasta. Dengan paradigma itu, maka akses rakyat dan para penggarap tanah (petani kecil) menjadi sangat kecil terhadap tanah. Jalan keluar untuk krisis ini adalah dengan pemberlakuan paradigma Tanah untuk rakyat. Konversi lahan mempunyai beragam pola (Sumaryanto dan Sudaryanto, 2005) antara lain: Alih fungsi secara langsung oleh pemilik, dampak konversi secara significant terlihat dalam waktu yang lama. Alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan, dampak konversi terhadap eksistensi lahan sawah berlangsung cepat dan nyata.
Tajerin (2005) menyatakan bahwa ketersediaan lahan secara total bersifat tetap di suatu wilayah, sedangkan permintaan lahan bertambah dengan cepat terutama di sekitar kawasan perkotaan. Desakan peningkatan akan lahan tersebut dapat menjadi salah satu factor yang mendorong konversi lahan. Senada dengan hal ini, Irawan (2005) menambahkan bahwa konversi lahan sawah di pulau Jawa didorong oleh kebutuhan lahan untuk pembangunan perumahan yang dapat dirangsang oleh pertambahan jumlah penduduk yang tinggi, Sedangkan di luar Jawa konversi lahan sawah tersebut terutama disebabkan oleh kebutuhan lahan untuk pembangunan sarana transportasi dan sarana publik lainnya dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, di samping kebutuhan lahan untuk pembangunan perumahan.
Pada banyak kondisi, konversi lahan tidak berdiri sendiri tapi disertai dengan transfer/pemindahan pemilikan lahan dari petani kepada pemilik yang baru. Transfer pemilikan lahan dilakukan dengan cara transaksi jual-beli tanah, warisan, gadai, dan lain sebagainya. Konversi lahan yang dilakukan oleh petani sendiri tidak berpengaruh secara signifikan karena mereka akan tetap mempertahankan bagian dari tanahnya untuk diusahakan di bidang pertanian. Ilham et al. (2005) menyatakan bahwa secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat. Faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah (Syafa’at et al., 2001 dalam Ilham et al., 2005) : (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat. Senada dengan hal itu, Rusastra et al. (1997) dalam Ilham et al. (2005) menyatakan bahwa alasan utama petani petani melakukan konversi lahan adalah karena kubutuhan dan harga lahan yang tinggi, skala usaha yang kurang efisien untuk diusahakan. Pemerintah tidak mempunyai data yang akurat tentang luas lahan pertanian yang telah dikonversi. Kesulitan pengukuran khususnya terjadi pada alih fungsi yang
dilakukan
secara
langsung oleh
pemiliknya
yang
kadang tidak
mendaftarkannya kepada pemerintah setempat. Kerancuan pengukuran laju konversi lahan sawah dapat terjadi akibat perbedaan konsep konversi bruto dan neto. Konversi bruto adalah menghitung total luas areal sawah yang mengalami
alih fungsi ke penggunaan yang lain. Sedangkan konversi neto adalah luas total areal sawah yang beralih fungsi dikurangi dengan penambahan areal sawah akibat ada pencetakan sawah-sawah baru. Sumaryanto et al. (1996) menyatakan seiring luas konversi lahan sawah yang meningkat dan untuk dapat mempertahankan swa sembada beras, maka diperlukan tambahan luas lahan sawah sekitar 108 – 114 ribu hektar pertahun dan bahkan bisa mencapai 150 ribu hektar pertahun. Angka ini untuk mengimbangi pertambahan penduduk, konsumsi per kapita per tahun, dan pengurangan akibat konversi
lahan
sawah
ke
penggunaan
lain.
Angka-angka
ini
belum
mengasumsikan tiga hal pokok berikut : (a) bahwa sumberdaya lahan (dan air) di Indonesia selama tiga dekade terakhir secara umum telah mengalami degradasi; (b) upaya pengembangan lahan sawah secara fungsional melalui intensitas juga sangat terbatas; (c) meningkatnya derajat kerawanan usahatani terhadap kekeringan di musim kemarau (Sumaryanto et al., 1996). Pelaksanaan perolehan tanah oleh pihak swasta merupakan perbuatan hukum yang bersifat perdata, karena itu dalam pelaksanaannya, untuk mencapai besarnya ganti rugi tanah yang terkena objek perolehan, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang membutuhkan tanah (pengembang) dan pihak pemilik, berdasarkan musyawarah dan mufakat atau atas dasar kesepakatan bersama. Pada banyak kenyataan, penetapan biaya ganti rugi tanah oleh pengembang (investor/developer) hanya didasarkan atas harga tanah dan/atau bangunan dan/atau tanam tumbuh saat itu. Variabel-variabel sosial yang kemudian muncul setelah itu antara lain : (a) Kehilangan mata pencaharian utama yang selama ini telah mereka tekuni; (b) Suasana adaptasi lingkungan yang belum
mereka kenal sebelumya; (c) Biaya lain yang menyangkut proses perpindahan keluarga; dan (d) Biaya “tunggu” selama periode sampai mendapatkan pekerjaan dan hasil di tempat yang baru. Asyik (1996) menyatakan bahwa proses perolehan tanah dinilai lancar dan mendukung pelaksanaan pembangunan bila paling tidak memenuhi tujuh kriteria, yaitu: (a) Lokasi tanahnya sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan; (b) Luas areal tanah yang dimohon sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan; (c) Harga ganti rugi yang diberikan cukup wajar bila dibandingkan dengan nilai tambah hasil jual tanah matang yang akan diperoleh nantinya oleh pengembang; (d) Penaksiran nilai ganti rugi bagi penduduk yang dipindahkan juga didasarkan atas variabel-variabel sosial lainnya (social cost) seperti telah diuraikan; (e) Semaksimal mungkin mengupayakan keterlibatan masyarakat/penduduk dalam pembangunan
yang
dilaksanakan
pada
tanah
mereka
sebelumnya;
(f)
Penyediaan/perolehan tanah dan pembangunan fisiknya tepat waktu sehingga tidak menimbulkan kesan “penelantaran tanah”; dan (g) Tidak menimbulkan gejolak, sengketa dan keresahan masyarakat secara umum. Rustiadi dan Wafda (1997) menyatakan bahwa pada prinsipnya mekanisme penyediaan lahan-lahan pertanian dan pengendalian lahan-lahan pertanian dapat dilakukan dengan mengedepankan dua prinsip utama, yaitu: 1
Penggunaan lahan terus diarahkan untuk mencapai Social Net Benefit yang optimal. Berdasarkan asas ini, nilai manfaat lahan-lahan pertanian yang memiliki total manfaat-manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang jauh lebih tinggi melebihi nilai pasarnya harus mendapatkan subsidi.
2
Adanya
sifat
irreversible
di
dalam
proses
konversi
lahan,
mengharuskan kebijakan perubahan-perubahan peruntukan lahan (tata guna lahan) selalu ditempatkan pada perspektif perencanaan jangka panjang dan tidak terjebak pada kebijakan-kebijakan jangka pendek.
Pihak yang berperan dalam proses konversi lahan selain pemilik lahan dan pengusaha adalah pemerintah, baik pemerintah kabupaten (kota), propinsi, maupun pemerintah pusat. Pihak ini harus berperan positif dalam pengendalian konversi dengan membuat program-program bantuan bagi pemilik sawah yang tetap berproduksi tinggi di Jawa sebagai insentif. Jenis bantuan dapat bervariasi antardaerah, misalnya berupa kemudahan mendapat air irigasi, pemberian subsidi pupuk atau pengaturan harga dasar gabah. Persyaratan, insentif, dan peraturan (perundangan) berkaitan dengan dukungan data dan penerapan peraturan (perundangan) yang berlaku secara konsisten.
2.5.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Winoto dalam Nasoetion dan Winoto (1996) menyatakan bahwa alih fungsi ditentukan oleh : •
Faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian: perubahan di dalam “land tenure system” dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian.
•
Faktor luar sistem pertanian: industrialisasi dan faktor-faktor perkotaan lainnya.
Faktor-faktor di atas dibedakan ke dalam tiga kelompok, yaitu faktor eksternal rumah tangga petani, faktor internal rumah tangga petani, dan faktor kebijaksanaan. Ketiga faktor ini akan dijelaskan sebagai berikut :
a)
Faktor Eksternal Kustiwan (1997) dan Sumaryanto et al. (1996) menyatakan bahwa Faktor-
faktor eksternal yang berpengaruh adalah dinamika pertumbuhan perkotaan, baik secara fisik maupun spasial, demografis maupun ekonomi, yang mendorong atau memacu terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Faktor eksternal ini merupakan implikasi langsung dari terjadinya transformasi ekonomi (dari pertanian ke industri) dan demografis (dari perdesaan ke perkotaan). Faktor-faktor yang termasuk dinamika pertumbuhan perkotaan, yaitu Perkembangan kawasan terbangun ditandai dengan pembangunan kawasan industri dan perumahan skala besar di daerah pinggiran kota untuk menyangga kehidupan kota Pertumbuhan penduduk perkotaan Pertumbuhan PDRB yang merupakan implikasi dari pertumbuhan dan pergeseran struktur ekonomi wilayah yang ditandai dengan proses industrialisasi yang berlangsung pesat dengan fokus pertumbuhan sektor industri pengolahan.
Proses alih guna lahan pertanian ke non pertanian secara langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh dua hal (Nasution dan Winoto, 1996) yaitu, pertama sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat (misalnya
subak di Bali) dan Pemerintah (misalnya peraturan pertanahan, tata ruang dan kebijaksanaan fiskal dan moneter). Kedua, sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Konversi lahan yang terjadi di Indonesia, pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor kelembagaan yang belum mantap yang diwarnai oleh lemahnya sistem pengendalian penataan ruang. Rustiadi dan Wafda (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor kelembagaan itu terdiri dari : 1. Belum dikembangkan instrumen pengendalian fiskal yang efektif dan terpadu yang didukung oleh suatu sistempolitik ekonomi yang kuat dan mendasar, terutama pajak pertanahan. 2. Sistem kelembagaan pengendali pemanfaatan ruang yang lemah. 3. Kualitas produk-produk perencanaan yang kurang memperhitungkan biaya implementasi dan pengendalian secara rasional.
b)
Faktor Internal Kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang
mendorong mereka melepaskan pemilikan atau penguasaan lahannya terhadap lahan sawah sehingga potensial mengubah penggunaannya. Semakin tinggi laju pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan, semakin besar perubahan luas penguasaan lahan per-rumah tangga pertanian pengguna lahan, maka semakin besar pengaruhnya terhadap laju penyusutan luas lahan sawah. Kecenderungan konversi lahan pertanian di Jawa Barat terjadi dalam konteks perubahan kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian yang menjadikan lahan sebagai tumpuan hidupnya (Kustiwan, 1997).
Pemecahan Lahan merupakan salah satu faktor yang berasal dari rumah tangga petani yang berpengaruh terhadap laju konversi lahan pertanian. Salah satu contoh pemicu pemecahan lahan (land division) adalah sistem waris dapat menyebabkan lahan yang semula dikuasai oleh satu keluarga petani menjadi dikuasai oleh beberapa keluarga petani ahli warisnya. Selain sistem waris, lembaga perkawinan pun dapat menimbulkan fragmentasi lahan yang kemudian berimplikasi pada penjualan lahan pertanian milik keluarga tani karena alasan kesulitan dalam mengelola usahatani (Witjaksono, 1996). Sumaryanto et al. (1996) menyatakan pendorong laju konversi lahan sawah dibagi ke dalam dua skenario yang dibedakan berdasarkan cakupan unit analisis, desa atau rumah tangga petani. Hal ini dinyatakan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 1. Skenario pendorong laju konversi lahan pertanian Skenario I (unit analisis : desa) Jarak lokasi desa ke pusat pertumbuhan ekonomi Kebijaksanaan Pemerintah
Skenario II (unit analisis : rumah tangga petani) Harga jual lahan sawah yang tinggi Untuk memenuhi sehari-hari
kebutuhan
Sumber : Sumaryanto, 1996
Selain faktor yang mempercepat laju konversi lahan pertanian, Witjaksono (1996) menyatakan bahwa ada faktor yang menghambat laju konversi pertanian. Faktor tersebut adalah Hubungan Pemilik dengan Lahan. Rahmanto et al. (2006) menyatakan ada beberapa faktor perekat petani mempertahankan lahan sawah miliknya, antara lain :
a. Faktor resiko bahwa uang hasil penjualan sawah tidak dapat memenuhi kebutuhan. b. Faktor kepercayaan bahwa tanah warisan tidak boleh dijual. c. Faktor keterbatasan keterampilan. d. Faktor jaminan ketersediaan beras.
Komunitas tertentu kadang-kadang masih memberlakukan tata nilai (local values) yang menganggap bahwa lahan mengandung unsur sakral atau mistis bagi pemiliknya, sehingga perlu dirawat bagaikan pusaka keramat yang harus dipuja karena apabila mengabaikannya berarti akan mendatangkan malapetaka (bebendu). Bagi petani yang menggantungkan kehidupan dan penghidupannya pada usahatani akan sulit dipisahkan dari lahan pertanian yang dikuasainya. Mereka tidak berani menanggung resiko atas ketidakpastian penghidupannya sesudah lahan pertaniannya dilepaskan kepada orang lain. Selain itu, status posisi penduduk pedesaan dalam stratifikasi sosial masih ada yang dikaitkan dengan luas pemilikan lahannya. Petani akan mudah mengkonversi lahan pertanian miliknya menjadi bentuk pemanfaatan lain ketika produktivitas lahannya semakin menurun dan modal yang kecil untuk membiayai proses pertaniannya. Dalam hal ini Pendapatan rumah tangga tidak mengalami peningkatan, tetapi malah semakin menurun. Seiring waktu berjalan, petani akan semakin mudah melepaskan lahan pertaniannya, khususnya ketika muncul berbagai tekanan hidup seperti untuk membayar hutang, membiayai kehidupan sehari-hari, membiayai pendidikan anaknya,
pergi
haji.
Selain
itu,
pembangunan
infra
struktur
yang
mengatasnamakan kepentingan umum pun memberikan tekanan kepada petani untuk melepaskan tanah pertanian miliknya. Witjaksono (1996) menambahkan bahwa Perubahan Perilaku termasuk faktor internal yang mempengaruhi laju konversi lahan pertanian. Pengaruh media massa, khususnya televisi, membawa petani mengubah cara pandang terhadap dirinya sebagai petani. Persepsi penduduk, terutama generasi mudanya, terhadap profesi petani yaitu bahwa profesi petani adalah pekerjaan yang kotor, sengsara, dan kurang bergengsi, meskipun mulia karena pahala dan jauh dari dosa. Jati diri mereka sebagai petani mulai goyah, yaitu yang semula bangga sebagai petani, karena memiliki profesi mulia, sekarang telah tergantikan dengan munculnya perasaan rendah diri sebagai petani.
c) Faktor Kebijaksanaan Faktor pemacu munculnya konversi lahan pertanian yang berhubungan dengan kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, antara lain (Kustiwan, 1997) : 1. Privatisasi pembangunan kawasan industri; tertuang dalam Keputusan Presiden No. 53/1989 yang memberi keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. 2. Pembangunan permukiman skala besar dan kota baru; kecenderungan konversi lahan pertanian dapat dilihat dari indikator izin lokasi yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah.
3. Deregulasi
investasi
dan
perizinan;
Kebijaksanaan
privatisasi
pembangunan kawasan industri dan pembangunan permukiman skala besar diperkuat dengan kebijaksanaan deregulasi tertuang dalam Pakto-23/1993 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 2/1993 yang pada intinya mempermudah perizinan lokasi.
Kebijakan yang tegas untuk menghindari penyusutan lahan pertanian produktif, khususnya sawah beririgasi teknis di Pulau Jawa, merupakan jawaban dan sekaligus keputusan Pemerintah yang didasarkan atas pertimbangan berbagai unsur dalam memantapkan strategi swasembada pangan nasional, khususnya beras pada saat ini dan di masa mendatang (Asyik, 1996). Namun yang terjadi di Indonesia saat ini adalah Pemerintah belum memiliki sistem kelembagaan yang mantap sehingga kebijakan Pemerintah sulit untuk diimplementasikan. Masyarakat mempunyai hak untuk memutuskan apakah mereka akan mengkonversi lahan pertanian miliknya atau tidak. Ada dua pola pengambilan keputusan yaitu keputusan otoritas dan keputusan oposional (individu). Pada keputusan otoritas, pengelola proyek dapat bekerjasama atau meminta bantuan kepada elite anggota sistem sosial yang menduduki posisi atasan guna menekan atau memaksa anggota sistem sosial lain dibawahnya yang merupakan kelompok mayoritas (Witjaksono, 1996). Sedangkan keputusan oposional diambil oleh pemilik lahan untuk mengkonversi lahan pertanian miliknya. Apresiasi Pemerintah terhadap Aspirasi Masyarakat pun merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap laju konversi lahan pertanian. Pemerintah
mempunyai peranan sebagai filter dalam proses pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Filter ini harus dapat mencegah proyek yang sifatnya hanya mengekstraksi potensi wilayah dan menimbulkan ketergantungan permanen dari masyarakat pedesaan kepada pihak luar. Filter ini hanya berfungsi efektif apabila Pemerintah selalu memberikan apresiasi terhadap aspirasi dan inspirasi masyarakat tentang rencana pemenuha kebutuhan, pembangunan desa, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat (Witjaksono, 1996). Peraturan-peraturan
yang
telah
dikeluarkan
oleh
pemerintah
mengendalikan konversi lahan pertanian tertuang dalam tabel 2.
dalam
Tabel 2. Peraturan-peraturan pengendalian konversi lahan pertanian ke non-pertanian No 1
Peraturan Perihal Peraturan Mendagri No. Ketentuan mengenai penyediaan dan pemberian 5/1974 tanah untuk perusahaan. 2 Surat Edaran Mendagri No. Penyediaan tanah untuk kegiatan pembangunan 590/11108/SJ tanggal 24 sedapat mungkin mencegah terjadinya Oktober 1984 perubahan tanah pertanian ke non-pertanian agar tidak mengganggu usaha peningkatan produksi pangan. 3 Keppres No. 53/1989 Larangan penggunaan tanah sawah dan tanah pertanian subur lainnya untuk kawasan industri. 4 Keppres No. 33/1990 Pemberian izin lokasi dan pembebasan tanah untuk kawasan industri tidak boleh mengurangi areal tanah pertanian dan sesuai dengan RTRW Pemda setempat. 5 Keppres No. 55/1995 Penyediaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum 6 Peraturan Menteri Negara Tata cara memperoleh izin lokasi dan hak atas Agraria/Kepala BPN No. tanah bagi perusahaan dalam rangka penanaman 2/1993 modal. Juklak izin lokasi berdasar keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 22/1993 7 Surat Menteri Negara Tentang penyusunan RTRW Daerah Tingkat II Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS kepada Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 8 Surat Menteri Negara Menggariskan bahwa pembangunan kawasan Perencanaan Pembangunan perumahan tidak dilakukan di tanah sawah Nasional/Ketua BAPPENAS beririgasi teknis kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 9 Surat Menteri Negara Perubahan penggunaan tanah pertanian ke nonAgraria/Kepala BPN No. pertanian tidak mengorbankan tanah pertanian 460-3346, tanggal 31 Oktober subur dan berpengairan teknis walaupun lokasi 1994; Surat Menteri Negara tersebut masuk dalam tata ruang wilayah yang Perencanaan Pembangunan telah ada Nasional/Ketua BAPPENAS No. 5417/MK/10/1994, tanggal 4 Oktober 1994; Surat Menteri Dalam Negeri No. 474/4263/SJ, tanggal 27 Desember 1994 Sumber : disarikan dari berbagai sumber
Persepsi dan penilaian pasar terhadap lahan sawah yang cenderung underestimate, di mana nilai ekonomi lahan sawah hanya dilihat dari fungsinya sebagai penghasil komoditas pertanian yang berharga murah dan bernilai tambah rendah menjadi salah satu penyebab kurang efektifnya peraturan-peraturan yang dibuat untuk pengendalian konversi lahan. Selain itu juga, RTRW yang ada mengalokasikan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian, dan lemahnya koordinasi kebijakan serta adanya dualisme kepentingan yang saling bertolak belakang pun menjadi penyebab peraturan pengendalian konversi lahan tidak efektif. Secara umum terdapat 3 kelemahan utama yang melekat pada peraturan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, yaitu: (a) Obyek lahan yang dilindungi dari proses konversi ditentukan berdasarkan kondisi fisik lahan, misalnya lahan sawah irigasi teknis, padahal kondisi fisik lahan tersebut relatif mudah dimodifikasi melalui rekayasa tertentu sehingga konversi lahan sawah irigasi teknis pada akhirnya dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku; (b) Peraturan yang secara umum bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan sangsi yang jelas, baik yang menyangkut besarnya sangsi maupun pihak yang dikenai sangsi; (c) Jika terjadi konversi lahan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri siapakah pihak yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut karena pemberian ijin konversi lahan pada dasarnya merupakan suatu keputusan kolektif dari seluruh instansi/dinas yang terkait dengan masalah lahan (Irawan et al., 2001)
2.5.2 Dampak Sosial Ekonomi Konversi Lahan Pertanian Konversi lahan yang semakin marak dilakukan di negara-negara berkembang
untuk
mendukung
menimbulkan dampak
industrialisasi,
khususnya
Indonesia
yang signifikan terhadap kehidupan petani. Dampak
positif yang didapatkan dari proses konversi lahan pertanian adalah petani atau pemilik tanah bisa meningkatkan pendapatan mereka. Dampak negatif dari konversi lahan pertanian (Sumaryanto dan Sudaryanto, 2005) antara lain : 1. Degradasi Daya Dukung Ketahanan Pangan Nasional Produksi padi akibat konversi lahan sawah bersifat permanen. Semakin tinggi konversi lahan sawah semakin tinggi pula hilangnya kesempatan kapasitas
memproduksi
padi,
hilangnya
kesempatan
kapasitas
memproduksi padi, turunnya produktivitas lahan sawah. 2. Pendapatan Pertanian Menurun dan Meningkatnya Kemiskinan Konversi Lahan Sawah menyebabkan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap dan buruh tani. 3. Pemubaziran Investasi Asumsi pembangunan irigasi. Biaya investasi pembangunan tidak sebanding
dengan
biaya
untuk
pemeliharaan
sistem
irigasi,
pengembangan kelembagaan pendukung. Pemubaziran investasi ini akan berdampak nyata dalam rentang waktu yang lama setelah irigasi itu beroperasi. 4. Dampak Negatif Lainnya Dampak negatif lainnya dari konversi lahan adalah berubahnya struktur kesempatan kerja dan pendapatan komunitas setempat,
berubahnya usaha buru tani ke sektor non pertanian, berubahnya budaya masyarakat dari masyarakat agraris ke budaya urban, meningkatnya kriminalitas, dan net social benefit turun.
Dampak alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian menyangkut dimensi yang sangat luas dari pada sekedar turunnya produksi pertanian saja, karena hal itu terkait dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan olitk masyarakat. Arah perubahan ini secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan nasional (Nasoetion dan Winoto, 1996). Konversi lahan sawah yang terjadi selama ini tidak hanya mengakibatkan lahan sawah berkurang sehingga luas panen menyusut, tetapi juga teknologi usahatani dan perangkat kelembagaan lainnya yang terkait dengan sistem usahatani di lokasi sawah yang terkonversi otomatis juga tercabut sehingga bukan hanya investasi untuk pengembangan perangkat keras yang “hilang”, tetapi juga perangkat lunak dari sistem penunjang proses produksi. Irawan et al. (2001) juga menambahkan bahwa pada tingkat daerah proses konversi lahan sawah dapat mengganggu keseimbangan pangan dan kesempatan kerja di daerah yang bersangkutan. Hal ini juga ditegaskan oleh Zakaria (2006) yang menyatakan bahwa konversi lahan akan berpengaruh pada perubahan struktur kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat pedesaan. Pendapatan yang berasal dari pertanian merupakan porsi dominan dari total pendapatan rumah tangga di pedesaan.
Beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi “bangunan baru” akan dapat menimbulkan multiplier effect, dan salah satu diantaranya adalah harga tanah di sekitar “bangunan baru” tersebut mencuat. Penduduk setempat yang sudah tidak memiliki sisa tanah akan tergusur ke daerah lain melalui urbanisasi atau menjadi kelompok marjinal dalam masyarakat. Sementara itu, penduduk yang masih memiliki sisa lahan akan kejatuhan berkah menikmati mahalnya harga tanah, dan menjadi kaya mendadak. Penduduk pendatang baru yang biasanya berduit dan berasal dari perkotaan juga akan membaur dengan mereka dan menggeser kelompok penduduk marjinal ke posisi yang semakin rendah dan terjepit, sehingga tercipta kesenjangan sosial yang semakin melebar (Witjaksono, 1996). Di pihak lain, manfaat ekonomi yang timbul dari konversi lahan sawah seperti terciptanya kesempatan kerja non pertanian ataupun tersedianya perumahan maupun prasarana lain memang tak dapat dipungkiri. Kelompok penduduk yang paling merasakan dampak konversi lahan sawah adalah petani penggarap yang tak memiliki lahan sawah dan buruh tani, terlebih-lebih pada sub kelompok rumah tangga yang kurang access terhadap kesempatan kerja non pertanian sehingga mereka hanya menghadapi kesempatan kerja pada usahatani yang semakin sempit. Kelompok ini hanya dapat memperbaiki taraf kehidupannya apabila mampu memanfaatkan kesempatan kerja lain yang mungkin tersedia atau mungkin terjangkau. Nasib petani yang sebagian besar atau seluruh lahan sawah miliknya terkonversi sangat bervariasi. Petani berlahan luas, kompensasi (hasil penjualan) dari lahan sawah yang terkonversi digunakan untuk modal usaha dagang dan atau membeli lahan baru di tempat lain. Bagi petani kecil (gurem), konversi lahan
sawah pada umumnya menyebabkan status mereka menjadi buruh tani dan sebagian kecil diantaranya kemudian bermigrasi. Implikasi lain dari pengendalian konversi lahan pertanian (sawah beririgasi teknis) terkait dengan kebijaksanaan penataan ruang, yang mencakup perencanaan tata ruang, pemafaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang. Hal ini berimplikasi perlunya melakukan peninjauan kembali terhadap RTRW yang belum mengakomodasikan kepentingan tersebut serta merevisinya dengan melakukan penyesuaian kembali terhadap rencana pemanfaatan ruang bagi kawasan budidaya sehingga keberadaan lahan sawah berigasi teknis dapat dipertahankan pengembangannya pada masa mendatang sesuai dengan kurun waktu rencana. Penertiban diperlukan sebagai upaya mengambil tindakan agar rencana pemanfaatan ruang dapat terwujud, yang dilakukan melalui pengenaan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan. Implikasi lain dari kebijaksanaan pengendalian konversi lahan sawah dalam konteks mikro adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. Terjadinya konversi pada dasarnya terkait dengan perubahan dalam penguasaan-pemilikan lahan. Penguasaan, pemilikan dan pengalihan hak atas lahan harus menjamin kelangsungan usaha pertanian. Pemilikan lahan pertanian oleh perseorangan secara berlebihan, pemilikan yang terlalu sempit, dan pemilikan lahan secara absentee perlu dicegah agar fungsi lahan sebagai faktor produksi dan sumber kehidupan yang layak bagi rumah tangga pertanian dpat tetap terjaga.
Irawan (2005) menyatakan terdapat empat faktor yang menyebabkan dampak konversi lahan sawah terhadap masalah pangan tidak dapat segera dipulihkan yaitu : Pertama, lahan sawah yang sudah dikonversi ke penggunaan non pertanian bersifat pemanen. Kedua, upaya pencetakan sawah baru dalam rangka pemulihan produksi pangan membutuhkan jangka waktu cukup panjang. Ketiga, sumberdaya lahan yang dapat dijadikan sawah semakin terbatas terutama di daerah pulau Jawa dan anggaran Pemerintah juga semakin sulit. Keempat, stagnasi inovasi teknologi pertanian.
2.5.3 Langkah-langkah Pencegahan Konversi Lahan Pertanian Pengendalian laju konversi lahan pertanian baik lahan basah (sawah) maupun lahan kering membutuhkan strategi dan kebijakan yang tepat sehingga tidak terjadi konflik pertanahan yang berkepanjangan dan tidak ada kesenjangan yang tajam antara orang yang melakukan konversi dengan penduduk di sekitarnya. Dalam rentang tahun 1999-2002 terjadi konversi lahan sawah sekitar 107,482 hektar, hal ini berarti dalam empat tahun pasca reformasi telah terjadi konversi lebih dari 100 hektar (kompas, 2008) sehingga dibutuhkan kebijakan dan strategi untuk mengendalikan laju konversi lahan sawah. Sumaryanto
dan
Sudaryanto
(2005)
menyatakan
bahwa
pengendalian konversi lahan sawah harus bertumpu pada
strategi
pemahaman
konprehensif tentang fungsi dan manfaat lahan sawah dalam arti luas. Laju konversi lahan sawah dapat dikurangi melalui 1. kebijakan dan implementasi pelaksanan tata ruang 2. pembangunan kelembagaan
3. pengembangan sistem kelembagaan non pasar
Rustiadi dan Wafda (2005) dan Kustiwan (1997) menyatkan bahwa ada tiga alasan utama perlunya pencegahan dan pengendalian terhadap kecenderungan alih fungsi lahan sawah, antara lain: 1. Konversi lahan sawah beririgasi teknis adalah merupakan ancaman terhadap upaya untuk mempertahankan swasembada pangan nasional. Besarnya biaya investasi untuk pembangunan prasarana irigasi akan hilang begitu saja. Pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa membutuhkan biaya yang lebih besar mengimbangi penyusutannya di samping membutuhkan waktu yang lama. 2. Dari sudut pandang lingkungan dan pelestarian sumber daya alam (environmental rent), ekosistem sawah ternyata relatif stabil dengan tingkat erosi dan pencucian hara yang kecil, serta tingkat efisiensi penggunaan air lahan sawah yang relatif tinggi karena berkembangnya lapisan kedap air di bawah lapisan top soil. Dengan demikian lahan sawah merupakan sistrem pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture). 3. Dari sudut pandang struktur sosial budaya masyarakat, maka menurut Rambo (1981) dalam Rustiadi dan Wafda (2005) alih fungsi lahan sawah akan mengganggu ketidakseimbangan hubungan sistemik antara petani dengan lahannya. Sawah merupakan salah satu pengikat kelembagaan
pedesaan
sekaligus
menjadi
public
good
yang
mendorong masyarakat pedesaan bekerja sama lebih produktif dalam
sistem gotong royong yang memberikan manfaat pada anggotanya, melalui kegiatan seperti upacara tebar (menanam bibit), penjagaan saluran air (irigasi), upacara panen, menumbuk padi dan lainnya.
Untuk membendung dan mengantisipasi munculnya masalah pertanahan, terutama dalam mengendalikan alih fungsi lahan pertanian (Witjaksono, 1996), maka dapat ditempuh hal-hal sebagai berikut: 1. Menyusun konsep tata ruang kawasan pedesaan sebagai dasar dalam pemanfaatan dan pengembangan potensi desa secara optimal, utamanya potensi lahan pertanian produktif dalam mendukung keberlangsungan swasembada pangan. Selanjutnya, rencana tata ruang tersebut segera disosialisasikan kepada berbagai perancang dan pelaku program pembangunan serta masyarakat melalui sistem kelembagaan yang ada dan fungsional. Selain itu, Penggunaan mekanisme izin lokasi yang tidak mengurangi areal tanah pertanian pun penting untuk dilakukan. 2. Menegakkan perangkat hukum pertanahan yang sudah ada guna memagari pemanfaatan lahan oleh berbagai pihak sesuai dengan konsep tata ruang kawasan pedesaan, seperti Keppres No. 53/1989 tentang kawasan industri dan Keppres No. 33/1990 tentang penggunaan Tanah bagi kawasan Industri. 3. Untuk mengatasi masalah alih fungsi lahan baik secara preventif maupun represif, Pemerintah selayaknya memfungsikan lembagalembaga legitimator tradisional, seperti rembug desa sebagai salah satu
pihak yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang ketentuang alih fungsi lahan. Sedangkan Pemerintah berperan sebagai pihak “ketiga” yang dapat memberi pertimbangan dan apabila perlu juga ikut memutuskan (arbitration) dan tidak hanya sekadar netral (mediation). 4. Pemerintah beserta aparat keamanan seyogyanya tidak segera apriori atau bahkan memvonis bahwa pihak pemilik tanah termasuk dalam kelompok penghambat pembangunan.
Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk melakukan pencegahan dan pengendalian atas konversi lahan pertanian, salah satu langkah yang diambil adalah dengan penerbitan kebijaksanaan yang mencegah konversi lahan pertanian yang subur menjadi non pertanian yang tertuang dalam Keppres No. 53/1989 tentang kawasan industri dan Keppres No. 33/1990 tentang penggunaan Tanah bagi kawasan Industri. Pencegahan dan/atau pengendalian konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian sesungguhnya dapat dilakukan dengan mekanisme izin lokasi yang diterapkan dengan benar (Kustiwan, 1997). Kebijaksanaan pengendalian konversi lahan pun harus memperhatikan implikasinya secara mikro. Dalam perspektif mikro, konversi lahan pertanian yang terjadi, terkait dengan perubahan dalam penguasaan-pemilikan lahan dari rumah tangga pertanian ke aktivitas non pertanian. Hal ini akan menimbulkan implikasi pada rumah tangga pertanian yang selama ini menjadikan sumberdaya olahan sebagai tumpuan kehidupannya. Luas lahan pertanian yang dikuasai oleh
rumah tangga pertanian semakin sempit (proses fragmentasi lahan) yang justru menjadi salah satu faktor yang menyebabkan konversi lahan pertanian. Kebijaksanaan peningkatan produktivitas haruslah didukung dengan dua hal, yaitu: 1. Memberlakukan secara ketat Rencana Tata Ruang Wilayah, khususnya Rencana Tata Ruang pedesaan, dan menerapkan secara konsisten Keppres 5/1993 tentang alokasi lahan untuk pembangunan serta menindaklanjuti semua peraturan yang berkaitan dengan pencegaha alih guna tanah pertanian, khususnya lahan beririgasi. 2. Sampai batas tertentu harus melaksanakan kebijaksanaan”pencetakan sawah dan pembangunan irigasi” dengan memperimbangkan hal-hal berikut: a) Lahan yang dikembangkan haruslah benar-benar sesuai secara fisik, kimia dan biologis untuk tanaman serta mempunyai aksesibilitas yang layak terhadap pusat pasar. b) Kemungkinan
pengembangan
kelembagaan
yang
kondusif
terhadap pengembangan tanaman pangan, khususnya padi. c) Kesesuaian teknologi yang diterapkan dengan kondisi petani yang diharapkan untuk mengadopsi teknologi yang diinovasikan.
Pengendalian konversi lahan pertanian di pantai utara jawa (Pantura), dalam konteks kebijaksanaan makro spasial, mempunyai implikasi perlunya meninjau kembali kedudukan dan peranan yang dibebankan wilayah Pantura sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Wilayah Pantura mempunyai peranan
ganda, yaitu sebagai pusat pertumbuhan ekonomi (sektor industri sebagai sektor unggulan) yang didukung oleh keuntungan komparatif yang tinggi sekaligus sebagai sentra produksi tanaman pangan (beras) untuk menopang keberlanjutan swasembada pangan. Suwarno (1996) menyatakan bahwa pengembangan kebijakan pertanahan untuk pengendalian alih fungsi tanah diperlukan pemikiran dari aspek teknis ekonomi, sosial budaya dan hukum. Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut: a. Dari aspek teknis ekonomi diperlukan pengaturan yang dapat melindungi kawasan potensial untuk pengembangan pertanian dalam satuan agribisnis yang dikaitkan dengan rencana tata ruang dan tata guna tanah daerah setempat, serta didukung dengan prasarana dan sarana ekonomi agar wilayah tersebut mempunyai keunggulan komparatif. b. Dari aspek sosial budaya diperlukan pengaturan pertanahan yang dapat melindungi skala usahatani yang sesuai kondisi luas penguasaan pemilikan tanah masyarakat sesuai lingkungan pertanian setempat. c. Dari aspek hukum diperlukan pengaturan pertanahan yang dapat melindungi wilayah produksi pertanian dari gejala alih fungsi tanah melalui pola kemitraan yang dapat menjamin hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam hubungan kemitraan tersebut serta akibat hokum apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi.
Upaya melindungi lahan yang dicadangkan dari proses konversi, perlu pula dilengkapi dengan upaya pengendalian konversi lahan, melalui kelembagaan
dan atau pendekatan ekonomik. Pendekatan kelembagaan misalnya dapat dilakukan dengan menerbitkan larangan konversi lahan untuk jenis lahan tertentu (yang selama ini terbukti kurang efektif) sedangkan pendekatan ekonomik dapat ditempuh dengan memberikan insentif kepada petani agar mereka tidak menjual lahannya untuk dikonversi oleh investor atau memberikan disinsentif kepada investor yang akan melakukan konversi lahan. Pemberian insentif kepada petani membutuhkan dukungan dana pemerintah yang sangat besar, sejalan dengan luas kawasan yang dilindungi dan proses konversi lahan sedangkan pembebanan disinsentif atau biaya konversi lahan kepada investor tidak membutuhkan dukungan dana pemerintah (Irawan et al. 2001).
2.6 Kerangka Berfikir Pengertian konversi, alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Namun dalam kajian land economycs pengertian konversi lahan difokuskan pada proses pengalihgunaan lahan dari pertanian atau pedesaan ke penggunaan non pertanian atau perkotaan (Kustiwan, 1997). Faktor-faktor pemicu konversi lahan pertanian terdiri dari faktor eksternal rumah tangga petani, faktor internal rumah tangga petani, dan faktor kebijaksanaan pemerintah. Konversi lahan pertanian pun dilakukan dalam skala kecil di desa oleh para pemilik lahan yang terdiri dari petani dan pendatang. Mereka mengkonversi lahan pertaniannya menjadi bentuk non pertanian. Tujuan dari konversi ini adalah untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan meningkatkan nilai ekonomi
lahan pertanian sehingga bisa meningkatkan taraf hidup keluarga. Hal ini akan mempengaruhi terjadinya dinamika perekonomian desa yang semula bertumpu pada pertanian sawah lambat laun bergeser pada non sawah dan bahkan non pertanian. Faktor eksternal rumah tangga petani dalam konversi lahan pertanian adalah perubahan perilaku petani yang disebabkan oleh media komunikasi (TV dan koran) yang berimplikasi pada minat petani berkurang untuk memanfaatkan lahannya untuk pertanian. Selain itu, faktor kelembagaan pun berpengaruh besar terhadap konversi lahan. Kelembagaan yang ada masih perlu di perbaiki baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Faktor internal terdiri dari Kondisi sosial-ekonomi rumah petani pengguna lahan yang mendorong mereka melepaskan pemilikan atau penguasaan lahannya terhadap lahan sawah sehingga potensial mengubah penggunaannya, pemecahan lahan (land fragmentation) yang disebabkan oleh hak waris, dan hubungan pemilik dengan lahan yang merupakan salah satu penghambat laju konversi lahan pertanian. Selain itu terdapat juga faktor penghambat konversi yaitu hubungan petani dengan lahan yang terdiri dari faktor resiko bahwa uang hasil penjualan sawah tidak dapat memenuhi kebutuhan, faktor kepercayaan bahwa tanah warisan tidak boleh dijual, faktor keterbatasan keterampilan, dan faktor jaminan ketersediaan beras. Faktor kebijaksanan pun berpengaruh besar terhadap konversi lahan pertanian. Faktor kebijaksanaan ini terdiri dari kebijaksanaan Pemerintah, pengambilan keputusan oleh masyarakat, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Kebijaksanaan pemerintah terdiri dari peraturan-peraturan
yang disusun dan dikeluarkan untuk mencegah laju konversi lahan pertanian walaupun sampai saat ini belum optimal. Faktor-faktor tersebut akan memicu laju konversi lahan pertanian baik ketika dimanfaatkan untuk pertanian maupun non pertanian. Pertanian di sini adalah pertanian non sawah seperti kolam ikan, peternakan ayam, budidaya tanaman hias. Sedangkan pemanfaatan non pertanian berupa rumah, villa, nursery dan pabrik air mineral. Dampak yang terjadi dari konversi ini adalah berubahnya pendapatan sebagai akibat dari pergeseran mata pencaharian dan dampak terhadap lingkungan sekitar. Internal Rumah tangga Komunitas/Desa
Eksternal rumah tangga
Konversi lahan
Kebijakan pemerintah
Pertanian
Non Pertanian
Pendapatan
Lingkungan
Gambar 2. Kerangka pemikiran
2.7 Hipotesis Berdasarkan perumusan dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan sebelumnya maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Pelaku konversi lahan pertanian adalah petani dan pemilik lahan yang merupakan warga sekitar, pendatang dan pemerintah. 2. Faktor internal rumah tangga petani, eksternal rumah tangga petani dan kebijakan Pemerintah menciptakan kondisi di mana konversi tidak dapat dihindari oleh petani dan warga lokal pemilik tanah. 3. Konversi lahan pertanian memiliki dampak terhadap kondisi sosial ekonomi kehidupan rumah tangga petani dan warga lokal di sekitar lahan tersebut sehingga memaksa mereka membangun strategi hidup baru.
2.8 Definisi Operasional Definisi operasional adalah petunjuk untuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel serta mengaitkannya dengan topik penelitian. Definisi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Konversi lahan pertanian adalah transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari pemanfaatan untuk sawah menjadi pemanfaatan non sawah. 2. Pendapatan adalah total pendapatan per bulan yang diperoleh petani baik dari pertanian maupun non pertanian. Pendapatan ini dibagi menjadi tiga kelompok sebagai dampak dari konversi lahan pertanian yaitu: Pendapatan naik, jika pendapatan rumah tangga naik setelah konversi lahan Pendapatan tetap, jika pendapatan rumah tangga tidak mengalami perubahan setelah konversi lahan
Pendapatan turun, jika pendapatan rumah tangga turun setelah konversi lahan 3. Mata pencaharian atau pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap sinonim dengan profesi. 4. Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk di gunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain (Wikipedia.org) 5. Petani pemilik adalah petani yang memiliki lahan pertanian yang diusahakan baik itu untuk pertanian maupun bukan. 6. Luas lahan adalah total luas lahan yang dimiliki oleh petani. Luas lahan ini diklasifikasikan menjadi: Lahan sempit, dengan total luas kurang dari 300 m2 Lahan Luas, dengan total luas lebih dari 300 m2 7. Dampak sosial ekonomi adalah dampak yang ditimbulkan oleh konversi lahan pertanian alam hal perubahan pendapatan rumah tangga, perubahan mata pencaharian dan perubahan status petani dalam stratifikasi sosial masyarakat.
8. Faktor internal adalah kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong mereka melepaskan pemilikan atau penguasaan lahannya terhadap lahan sawah sehingga potensial mengubah penggunaannya. 9. Faktor eksternal adalah faktor luar rumah tangga petani yang mendorong laju koversi lahan ke penggunaan non pertanian dan merupakan implikasi langsung dari terjadinya transformasi ekonomi (dari pertanian ke industri) dan demografis (dari perdesaan ke perkotaan). 10. Faktor kebijaksanaan adalah peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berpengaruh terhadap laju konversi lahan pertanian. Selain itu, pengambilan keputusan oleh masyarakat dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat dalam menahan laju konversi lahan pertanian.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu menganalisis faktafakta yang didapatkan di lapangan yang tentang suatu kasus dengan menggunakan teori-teori yang ada. Alasan peneliti menggunakan metode ini adalah untuk memahami dan menjelaskan konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh petani menurut pemahaman dan latar belakang mereka melakukan konversi lahan. Penelitian ini pun dilengkapi dengan metode kuantitatif, di mana peneliti menggunakan kuesioner dalam pengumpulan data. Untuk lebih mendalami kajian penelitian, peneliti menggunakan strategi studi kasus yang merupakan strategi penelitian multi-metode yang memadukan pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen. Studi kasus yang digunakan adalah studi kasus intrinsik karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suatu kasus khusus dengan segala keunikan dan kebersahajaannya yang sangat menarik (Sitorus, 1998).
3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Gunung Picung, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah di Gunung Picung banyak lahan pertanian yang produktif tetapi dimanfaatkan untuk usaha tani non tanaman dan bahkan dijadikan pemukiman. Fenomena yang terjadi adalah para petani menjual tanah yang mereka miliki
kepada para pendatang dan orang kota yang tidak bertempat tinggal di desa ini. Petani-petani yang tidak mempunyai tanah pertanian kemudian beralih profesi menjadi buruh tani, buruh bangunan, sopir dan ada juga yang mengadu nasib mencari pekerjaan di Jakarta. Selain itu ada kecenderungan dari para penduduk desa untuk mencari pekerjaan di kota dibandingkan untuk menggarap lahan pertanian yang mereka miliki. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2007.
3.3 Teknik Pengumpulan Data Patton dalam Sitorus (2004) menyatakan bahwa di lapangan pada prakteknya seorang peneliti kualitatif melakukan pengamatan, pembicaraan dengan orang-orang, dan penelusuran dokumen sekaligus. Informasi harus dikumpul dari berbagai sumber, karena tidak ada satu pun sumber informasi tunggal yang dapat memberikan perspektif yang menyeluruh atas suatu permasalahan. Dengan memadukan pengamatan, wawancara, dan penelusuran dokumen, peneliti kualitatif dimungkinkan memanfaatkan beragam sumber data untuk keperluan validasi dan cek silang temuan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah: 1. Pengamatan Berperanserta Pengamatan berperanserta menunjuk pada proses penelitian yang mempersyaratkan interaksi sosial antara peneliti dengan tineliti dalam lingkungan sosial tineliti sendiri, guna keperluan pengumpulan data dengan cara yang sistematis dan bersahaja (unobtrisive). Metode ini
dilakukan untuk mendapatkan penjelasan tentang topik penelitian langsung dari lapangan dan agar sesuai dengan tujuan penelitian. 2. Wawancara Mendalam Wawancara mendalam adalah temu muka berulang antara peneliti dan tineliti dalam rangka memahami pandangan tineliti mengenai hidupnya, pengalamannya, ataupun situasi sosial sebagaimana ia ungkapkan dalam bahasanya sendiri (Taylor dan Bogdan dalam Sitorus, 2004). Wawancara mendalam dilakukan untuk menjawab permasalahan tentang faktor-faktor yang mendasari konversi lahan pertanian. 3. Studi Dokumen Penelusuran dokumen dilakukan sebagai penguatan terhadap data-data yang tidak bisa dilengkapi dari pengamatan berperanserta dan wawancara mendalam. 4. Pemetaan Pemetaan bertujuan untuk mengetahui dinamika konversi lahan yang terjadi di Desa Gunung Picung dari tahun ke tahun. Selain itu juga untuk mengetahui kecenderungan tempat terjadinya konversi lahan pertanian apakah berada di dekat pusat perkembangan atau tidak.
Data-data yang digali dari masyarakat adalah gambaran fisik daerah, keragaman sosial ekonomi masyarakat, kondisi dan potensi sumber-sumber agraria, struktur agraria yang berlaku, pembentukan struktur agraria petani, dan
transfer pemilikan lahan pertanian dan konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh petani. Responden berjumlah 15 orang yang terdiri dari 13 orang petani dan dua orang pendatang. Mereka adalah para pemilik lahan pertanian yang mengkonversi lahan pertaniannya untuk penggunaan non pertanian. Responden dipilih secara purposif (sengaja) dengan alasan untuk mendukung kebutuhan data peneliti di lapangan. Peneliti juga mendapatkan informasi tentang pemanfaatan dan konversi lahan dari informan yang terdiri kepala desa, pamong desa, tokoh masyarakat Desa Gunung Picung, khususnya tokoh di RW 02 dan warga sekitar yang mengetahui dan memahami proses konversi lahan pertanian di RW 02 Desa Gunung Picung.
3.4 Teknik Analisis Data Proses pengumpulan dan analisis data dilakukan dalam waktu yang bersamaan dan diusahakan mengacu pada topik penelitian yaitu “Konversi lahan pertanian sebagai strategi adaptasi petani”. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Data-data yang diperoleh direduksi sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data yang relevan ini didasarkan pada sifat data yang terbuka dan induktif. Data terbuka diartikan bahwa bentuk dan kualitas data masih terus bisa diganti dan disempurnakan melalui data baru. Hal ini bisa dilakukan karena data diproses dan dianalisis segera dan seiring dengan rangkaian kegiatan penelitian sejak awal hingga akhir.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1
Karakteristik Geografis Desa Gunung Picung merupakan salah satu desa dalam wilayah
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat yang berada di ketinggian 600-900 di atas permukaan laut dengan curah hujan 58-34 mm/tahun, sekitar sembilan kilo meter sebelum kawasan wisata gunung salak endah. Jarak Pusat pemerintahan desa dengan kecamatan adalah satu kilometer dan dengan Ibukota Kabupaten 51 km. Jarak ke Ibukota Propinsi 161 km serta 91 km dari ibukota negara Republik Indonesia. Desa Gunung Picung dapat dicapai dengan menggunakan angkot jurusan Gunung Picung dari pertigaan Cibatok dan Terminal Penumpang Leuwiliang. Luas wilayah Desa Gunung Picung sekitar 875,5 Ha terbagi dalam empat Dusun, 12 RW, dan 43 RT dengan jumlah penduduk 12.131 jiwa. Desa ini berada hampir di tengah-tengah kecamatan Pamijahan dan berbatasan dengan Desa-desa lain yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Desa Gunung Menyan, di sebelah selatan dengan Desa Gunung Sari, sebelah barat dengan Desa Pasarean dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Gunung Bunder Satu. Desa Gunung Picung hanya dapat dicapai melalui jalan darat dengan prasarana yang sudah tersedia yaitu jalan aspal sepanjang 8 km, jalan diperkeras 16 km dan jalan tanah 2 km. Sarana angkutan umum yang dapat digunakan adalah angkot yang beroperasi sampai dengan pukul 19.00 wib dan ojek yang beroperasi 24 jam penuh.
4.2
Karakteristik Sosial Ekonomi Desa Gunung Picung memiliki 16 buah masjid dan 44 mushola yang
tersebar di seluruh penjuru desa yang dibangun sebagai sarana ibadah 99,6% penduduk muslim. Rumah yang ada di desa ini terdiri dari rumah permanen (60%), semi permanen (17%) dan rumah bambu (23%). Selain itu, terdapat juga sanggar kesenian sebagai tempat untuk menyalurkan minat dalam kesenian sunda. Jumlah penduduk Desa Gunung Picung sampai akhir tahun 2007 adalah 12.131 jiwa. Penduduk di desa ini terbagi ke dalam 2871 KK yang terdiri dari 6211 jiwa laki-laki dan 5920 jiwa perempuan. Agama Islam dianut oleh 99,6% penduduk dan sisanya Katholik. Menurut buku monografi desa tahun 2007 tidak terjadi migrasi yang signifikan dalam merubah komposisi jumlah penduduk. Tujuh orang melakukan migrasi baik keluar maupun masuk desa, jumlah angka kelahiran sembilan orang dan kematian tiga orang. Mata pencaharian penduduk Desa Gunung Picung sangat beragam dengan mata pencaharian utama sebagai petani (35,5%) yang terdiri dari Pemilik Tanah 215 orang, Petani Penggarap 125 orang dan buruh tani 150 orang. Selain bertani, masyarakat juga bermatapencaharian sebagai pedagang (36,3%), pengemudi (10,5%), dan sisanya Pegawai negeri sipil, pertukangan, TNI/Polisi, pengrajin dan lain-lain. Walaupun jumlah pedagang lebih banyak, warga Gunung Picung tidak melupakan mata pencaharian sebagi petani. kebanyakan dari mereka mempunyai lahan yang mereka usahakan sendiri dan ada juga yang mereka sewakan kepada petani penggarap. Sehingga mata pencaharian di bidang pertanian masih dikatakan sebagai mata pencaharian utama. Luas lahan yang dimiliki masyarakat
rata-rata 0,147 hektar. Tidak semua warga memiliki lahan yang luas, bahkan ada yang tidak memiliki pertanian. Angkatan kerja di Desa Gunung Picung terdiri dari Laki-laki 490 orang dan perempuan 160 orang. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Gunung Picung sebagian besar tidak tamat sekolah yaitu 5755 orang (47,5%), kemudian di susul dengan tamat SD 3564 orang. Penduduk yang menamatkan SMP/sedrajat 905 orang dan tamat SMA/sederajat 412 orang. Selain itu, 25 orang tamat akademi dan 22 orang tamat perguruan tinggi. Dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan penduduk desa gunung picung adalah sedang, walaupun masih ada buta huruf sebanyak 105 orang. Di Desa Gunung Picung hanya terdapat sebuah TK dengan kapasitas 40 siswa dan 6enam buah SD Negeri yang dapat menampung 1700 siswa dan dilengkapi dengan 40 orang guru dan enam perpustakaan. Di desa ini belum ada SMP maupun SMA. Kesehatan di Desa Gunung Picung dapat dikatakan sudah cukup baik. Hal ini ditandai dengan sudah adanya Rumah bersalin, praktek dokter, bidan desa, dan banyak Pasangan Usia Subur yang terdaftar sebagai peserta keluarga berencana. Selain itu, ada juga puskesmas yang terletak di samping kantor kecamatan yang dapat dijangkau dengan angkutan umum. Kesehatan ibu dan Bayi pun diperhatikan dengan baik. Hal ini terlihat dari adanya posyandu sebanyak 12 buah dengan intensitas pertemuan dua kali dalam satu bulan.
4.3
Profil RW 02 RW 02 adalah wilayah paling utara desa sehingga secara tidak langsung
merupakan pintu gerbang Desa Gunung Picung karena terletak di daerah yang
dilalui oleh jalan utama desa, sehingga perubahan pemanfaatan lahan terjadi secara signifikan khususnya di daerah yang terletak berdekatan dengan jalan. Lahan-lahan yang semula sawah produktif lambat laun berubah menjadi rumah, peternakan ayam, kolam ikan, usaha jamur, rumah peristirahatan (villa). Perubahan pemanfaatan lahan pertanian ini dilakukan oleh petani dan pemilik lahan, baik warga lokal maupun pendatang.
U
Skala 1 : 50000
Gambar 3 Peta Desa Gunung Picung Keterangan : : RW 02 (lokasi penelitian)
U
Skala 1 : 20000
Gambar 4 Peta RW 02 Desa Gunung Picung
RW 02 Desa Gunung Picung terdiri dari 3 RT memiliki jumlah penduduk 1.092 jiwa. Penduduk ini terbagi ke dalam 273 KK yang terdiri dari 552 laki-laki dan 540 perempuan. Seluruh penduduk RW 02 beragama Islam. RW 02 berada di paling utara Desa yang berbatasan dengan RW dan desa lain, yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Desa Gunung Menyan, di sebelah selatan dengan RW 03, sebelah barat dengan RW 01 dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Gunung Bunder Satu. Di RW 02 Terdapat 2 Masjid, 2 Mushola, dan satu gedung Sekolah Dasar. Mata pencaharian utama warga RW 02 ini adalah di bidang pertanian. Petani di RW 02 berjumlah sekitar 560 jiwa (60 persen dari warga RW 02) yang terdiri dari buruh tani (50%) dan sebagian kecil petani penggarap dan petani
pemilik lahan (35%). Selain di bidang pertanian, mata pencaharian warga RW 02 adalah pedagang, guru, pamong desa, sopir, pengrajin, peternak, pengusaha ikan, pertukangan. Luas tanah RW 02 sekitar 8,75 hektar atau sekitar 10 persen dari luas tanah total Desa Gunung Picung. Lahan pertanian yang dikonversi oleh pemiliknya menjadi bentuk penggunaan di luar pertanian tanaman sekitar 5, 25 hektar atau 60 persen dari luas total lahan di RW 02. Lahan-lahan yang dikonversi oleh mereka adalah lahan yang berada di dekat jalan utama desa. Pelaku konversi di RW 02 merupakan penduduk asli desa dan pendatang, baik dari desa lain maupun pendatang dari kota. Mereka berprofesi sebagai peternak, pengusaha ikan, petani, penjual tanaman hias, sopir. Aktor konversi ini merupakan orangorang yang termasuk golongan menengah ke atas dalam strata masyarakat desa yang diteliti dalam kata lain memiliki taraf ekonomi yang cukup mapan. Mereka mengonveri lahan untuk meningkatkan taraf hidup rumah tangganya. Konversi lahan pertanian pun tak jarang didahului dengan proses transfer/pemindahan pemilikan lahan dari petani kepada pemilik yang baru. Transfer pemilikan lahan dilakukan dengan cara transaksi jual-beli tanah, warisan, dan gadai. Transfer pemilikan lahan yang terjadi selama ini tak jarang dilakukan secara informal, tanpa pencatatan atau pendaftaran di kantor kepala desa. Transfer secara informal ini terjadi ketika pemilik lahan dan pemilik baru merupakan satu keluarga atau satu kampung. Selain itu, hal ini terjadi ketika pemilik lahan tidak mempunyai sertifikat hak milik tanah. Konversi lahan pun dilaporkan setelah proses selesai. Jarang sekali pemilik lahan mendaftarkan rencana konversi yang akan dilakukan kepada pihak
desa. Menurut pihak pemerintah Desa, yang selama ini mendaftarkan berkas konversi lahan hanya para pemilik yang akan mengkonversinya menjadi rumah atau villa. Pemerintah Desa mengetahui adanya perubahan dari pengamatan yang dilakukan dan laporan dari RT/RW setempat. Konversi lahan ini pada akhirnya mempengaruhi ketersediaan air di RW 02, baik untuk kebutuhan sehari-hari. Setelah konversi lahan, untuk kebutuhan mandi, cuci, kakus (MCK) sehari-hari warga menggunakan fasilitas umum, sumur air bersih dan PAM Desa yang merupakan bantuan dari Bank Dunia (World Bank). Padahal sebelumnya mereka biasa menggunakan air dari mata air yang ada. Warga RW 02 sudah menggunakan kompor gas untuk memasak, walaupun demikian masih ada warga yang masih menggunakan kayu bakar. Warga sudah meninggalkan penggunaan kompor minyak tanah untuk memasak. Hal ini merupakan implikasi dari program konversi minyak tanah ke gas yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sehingga menyebabkan harga minyak tanah semakin mahal.
BAB V AKTOR KONVERSI LAHAN PERTANIAN
Konversi lahan pertanian di RW 02 Desa gunung Picung melibatkan berbagai pihak dalam prosesnya. Aktor konversi lahan pertanian di sini adalah para pemilik lahan yang ingin meningkatkan daya guna lahan pertanian miliknya. Aktor-aktor yang berperan dalam konversi lahan pertanian tersebut terdiri dari petani lokal dan pendatang sebagai pemilik lahan dan pemerintah desa sebagai pembuat kebijakan.
5.1
Petani lokal Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini berjumlah 15 orang
yang merupakan warga RW 02 Desa Gunung Picung yang terdiri dari 13 orang warga asli dan dua orang pendatang. Mereka adalah petani pemilik lahan dan memanfaatkan lahan pertaniannya menjadi sawah dan pertanian lahan kering. Bentuk pokok dari Konversi lahan yang dilakukan oleh petani di RW 02 Desa Gunung Picung adalah konversi lahan pertanian menjadi peternakan ayam pedaging, kolam ikan, tempat budidaya tanaman hias, rumah. Reponden yang mengkonversi lahan pertaniannya menjadi peternakan ayam pedaging dan kolam ikan menyatakan bahwa beternak ayam dan kolam ikan lebih mudah terukur keuntungannya dibandingkan dengan pertanian tanaman. Mereka biasanya tidak mengkonversi seluruh lahan pertanian yang mereka miliki, tapi akan disisakan lahan pertanian untuk tetap diusahakan di bidang pertanian. Walaupun itu hanya cukup untuk kebutuhan rumah tangga.
Tabel 3. Profil Petani No
1
Kategori
a. TJ
Penduduk asli, tanah beli, wiraswasta
Sawah
b. MS
Penduduk asli, tanah waris & beli, peternak Penduduk asli, tanah waris, wiraswasta Penduduk asli, tanah waris, peternak, sopir Penduduk asli, tanah waris & beli, buruh bangunan Penduduk asli, tanah waris & beli, sopir
Sawah
d. CP
e. MH
f.
SL
Budidaya tanaman hias, kolam ikan Peternakan ayam
Sawah
Kolam ikan
Sawah
Peternakan ayam
Sawah
Peternakan ayam
Sawah
Kebun singkong
Petani yang mengkonversi sebagian lahan pertanian miliknya a. OD
b. BS
c. EM
d. AR
e. DN f. 3
Konversi Jangka Jangka panjang pendek
Pemanfaatan lahan sebelum konversi
Petani yang mengkonversi seluruh lahan pertanian miliknya
c. SK
2
Profil petani
DD
Penduduk asli, tanah waris, wiraswasta Penduduk asli, tanah waris & beli, pengusaha ikan Penduduk asli, tanah beli, peternak, petani Penduduk asli, tanah waris, peternak, pedagang Penduduk asli, tanah beli, petani Penduduk asli, tanah beli, petani
Sawah
Sawah
Kebun Budidaya tanaman hias Kolam ikan
Sawah
Peternakan ayam
Kebun/lahan kering
Peternakan ayam
Sawah
Kebun pepaya Kebun pepaya
Sawah
Jamur
Petani yang mengkonversi sebagian kecil lahan pertanian miliknya a. SR
Penduduk asli, tanah waris & beli, pengusaha ikan Sumber : hasil penelitian di lapangan
Sawah Kolam ikan
Warung
Kolam ikan
Berdasarkan tabel 3. profil petani di atas, petani yang mengkonversi lahan pertanian miliknya dapat di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu : a. Petani yang mengkonversi seluruh lahan pertanian miliknya. Kelompok petani ini ingin benar-benar beralih dari pertanian musiman yang selama ini diusahakannya. Responden dari kelompok ini adalah MS, CP, TJ, SR, SK, dan EM. MS, CP dan MH mengkonversi seluruh lahan pertaniannya menjadi peternakan ayam pedaging. Sedangkan SK mengkonversi sawah miliknya menjadi kolam ikan untuk menghidupi keluarganya. Ikan yang diusahakan meliputi lele, ikan mas, nila, mujair. MS, CP, MH dan SK menyatakan bahwa siklus ayam pedaging dan ikan lebih cepat dibandingkan dengan sawah dan lebih menguntungkan dari sisi ekonomi. TJ mengkonversi sawah miliknya menjadi tempat budidaya tanaman hias dan kolam ikan yang digunakan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. TJ berprofesi sebagai wiraswasta di bidang arsitektur lanskap, sehingga ia memutuskan untuk mengkonversi sawah miliknya menjadi tempat budidaya tanaman hias. Lain halnya dengan SL yang mengkonversi sawah miliknya menjadi kebun
singkong.
Hal ini dilatarbelakangi
oleh
kesulitan
dalam
mendapatkan pasokan air untuk mengairi lahannya dan juga profesinya sebagai sopir angkutan umum. b. Petani yang mengkonversi hanya sebagian lahan pertanian miliknya. Kelompok petani ini tidak ingin melepaskan dirinya dari pertanian, mereka berpikir untuk melakukan subsidi silang dalam perawatan dan biaya antar
bidang usaha yang digelutinya. Responden dari kelompok ini adalah DD, DN, AR, OD, BS, EM. DN dan DD mengkonversi sebagian lahan pertaniannya menjadi kebun pepaya. Lahan yang dikonversi ini merupakan lahan yang sulit mendapatkan pasokan air. EM mengkonversi sebagian lahan pertaniannya menjadi peternakan ayam pedaging dan sebagian lainnya tetap dipertahankan
untuk
pertanian.
Lain
halnya
dengan
BS
yang
mengkonversi lahan pertanian miliknya menjadi kolam ikan dan sebagian lainnya tetap dipertahankan menjadi sawah karena lahan pertaniannya berada di dekat sumber air. AR mengkonversi sebagian lahan pertaniannya menjadi peternakan ayam pedaging dan sebagian lainnya dimanfaatkan untuk pertanian lahan kering. Kendati memiliki kesamaan dalam pemilikan lahan kering dengan AR, OD mengkonversi sebagian lahan pertaniannya menjadi tempat budidaya tanaman hias dalam jangka panjang dan tempat budidaya jamur untuk jangka pendek. c. Petani yang mengkonversi hanya sebagian kecil lahan pertanian miliknya. Mereka beranggapan bahwa mata pencaharian utama mereka adalah sebagai petani sehingga konversi yang mereka lakukan hanya untuk sarana rekreasi saja. Responden dari kelompok ini adalah SR yang mengkonversi sebagian
kecil
lahan
pertaniannya
menjadi
warung
dan
kolam
pemancingan umum. Dia menyatakan bahwa banyak orang yang suka memancing di Desa Gunung Picung sehingga ia mengkonversi lahannya menjadi kolam pemancingan umum.
Petani di RW 02 Desa Gunung Picung berdasarkan waktu dalam mengkonversi lahan pertanian, bisa dibedakan ke dalam dua kelompok besar yaitu: pertama petani yang mengkonversi lahan pertanian miiknya untuk jangka panjang. Mereka melihat prospek dari sisi ekonomi, yaitu harapan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga sehingga kehidupan rumah tangganya lebih baik. Semua responden mengkonversi lahan pertaniannya secara permanen untuk jangka panjang. Hanya OD dan SR yang menyiapkan sebagian lahnnya untuk konversi jangka pendek. Para responden itu mengkonversi lahan pertanian miliknya menjadi peternakan ayam pedaging, kolam ikan, warung, tempat budidaya tanaman hias, kebun papaya, kebun singkong. Kedua, petani yang mengkonversi lahan pertaniannya untuk jangka pendek. Mereka merespon dengan cepat trend-trend pasar yang sedang berkembang. Mereka biasanya merubah-rubah lahan pertanian miliknya sesuai dengan ‘trend’ yang terjadi di pasar mulai dari ditanami palawija, kemudian beralih ke kolam ikan setelah itu ditanami sayuran kembali. Mereka tidak memprediksi perubahan yang akan terjadi di masa datang. Responden yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah OD yang mengkonversi sebagian kecil lahannya untuk tempat budidaya jamur dan SR yang mengkonversi sawah miliknya menjadi kolam ikan. Responden yang mengkonversi seluruh lahan pertaniannya cenderung melakukan proses konversi untuk jangka panjang. Ketika ditanya tentang lama waktu konversi, para responden menyatakan bahwa untuk saat ini mereka masih merasa nyaman dengan hasil konversi yang mereka lakukan. Biasanya ketika
mereka mengkonversi seluruh lahan pertaniannya maka bias dipastikan untuk jangka panjang. Para reponden mendapatkan lahan pertanian melalui proses jual beli dan waris. Mereka sudah menyiapkan rencana untuk melakukan konversi atas lahan pertanian yang akan mereka miliki yang bisa meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Selain dikonversi menjadi kolam ikan, peternakan ayam pedaging, tempat budidaya tanaman hias, mereka pun mengkonversi lahan pertaniannya menjadi rumah tempat tinggal mereka bersama keluarganya. Selain mengkonversi lahan pertanian miliknya, tak jarang pula para responden mentransfer lahan pertanian miliknya melalui proses jual beli yang berujung pada konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh pemilik baru. Para responden jarang mewariskan lahan pertanian miliknya tapi lebih banyak menjual dengan harga tinggi kepada warga lain atau kepada orang kota. Hal ini senada dengan pernyataan kepala desa Gunung Picung yang menyatakan bahwa warganya jarang mewariskan tanah milik mereka kepada keturunannya tetapi lebih memilih untuk menjualnya kepada orang lain baik kepada warga desa ataupun warga luar desa. Kisaran harga tanah di Desa Gunung Picung adalah Rp 50.000 – 100.000/m2. Padahal nilai jual objek pajak (NJOP) yang berlaku di sana sekitar Rp 25.000/m2. Hal ini terjadi karena di atas tanah itu sudah ada bangunan dan atau tanaman pertanian yang sedang diusahakan. Petani pun banyak yang menjual lahan pertaniannya karena harga tanah yang cukup mahal. Uang hasil penjualan tanah dipakai untuk membiayai anak sekolah, naik haji, modal usaha di bidang non pertanian. Transfer kepemilikan lahan itu biasanya akan diikuti oleh proses
konversi. Calon pembeli, khususnya orang kota, mencari lahan untuk langsung dikonversi menjadi villa/rumah peristirahatan. Lain halnya dengan warga sekitar yang menjadi pembeli dan pemilik baru, mereka biasanya mengkonversi lahan pertanian menjadi rumah tempat tinggal.
5.2
Pendatang Aktor konversi di RW 02 Desa Gunung Picung selain petani adalah
pendatang. Mereka terdiri dari orang yang akhirnya menjadi warga RW 02 dan orang kota yang hanya membangun villa. Para pendatang ini mulai datang dan membeli tanah di RW 02 sekitar tahun 1990-an. Mereka mendapatkan lahan lahan pertanian melalui proses jual beli. Pendatang yang akhirnya menjadi warga RW 02 merupakan warga luar desa yang mempunyai hubungan kekerabatan atau pernikahan dengan warga asli RW 02. Pendatang yang menjadi responden adalah AS dan AD yang menjadi warga RW 02 setelah menikah dengan warga di sana.
Tabel 4. Profil Pendatang No Petani
1
AS
Profil petani
Pemanfaatan lahan sebelum konversi
Pendatang, tanah Sawah beli, reparator alat elektronik 2 AD Pendatang, tanah Sawah beli, pedagang Sumber : hasil penelitian di lapangan
Konversi Jangka Jangka panjang pendek Rumah
Rumah
AD memiliki profesi di luar bidang pertanian yaitu sebagai pedagang, sedangkan AS berprofesi sebagai reparator alat elektronik. AD dan AS
mengkonversi lahan pertaniannya menjadi rumah untuk tempat tinggal. Selain untuk tempat tinggal, rumah mereka pun dijadikan sebagai tempat usahanya. Selain pendatang yang menjadi warga RW 02, ada juga pendatang dari kota (khususnya Jakarta) yang datang untuk membeli tanah kemudian mengkonversinya menjadi rumah peristirahatan (villa) dan pabrik air mineral. Ada dua pabrik air mineral di RW 02, yang satu belum beroperasi dan yang lainnya sudah mengalami kebangkrutan usaha. Perusahaan air itu berada tidak jauh dari villa yang dibangun oleh pendatang dari kota dan berada tepat di samping jalan utama desa. Pabrik air mineral itu menggunakan air dari mata air yang berada di RW 02 sebagai bahan baku produksinya. Mata air itu biasa digunakan oleh warga untuk memenuhi kebutuhan air minum, mandi, cuci, dan kakus (MCK) seharihari. Ada empat orang pendatang dari kota jakarta yang datang ke RW 02 untuk membeli tanah dan kemudian langsung mengkonversinya. Luas lahan yang mereka konversi sekitar empat Hektar. Mereka ingin mempunyai tempat rekreasi untuk mengurangi kepenatan setelah beraktifitas di kota. Orang kota ini hanya datang ke villa mereka sekali dalam sebulan. Mereka mencari lahan yang mempunyai akses yang baik dengan jalan utama desa sehingga villa mereka berada tak jauh dari jalan utama. Lahan yang dikonversi oleh orang kota itu, sebelumnya merupakan sawah dan lahan pertanian kering yang dimiliki oleh penduduk RW 02. Selain ingin mempunyai tempat peristirahatan di daerah pegunungan yang berudara segar, alasan lain yang mereka kemukakan dalam memilih lokasi pembelian lahan pertanian adalah harga tanah di desa lebih murah dibandingkan
dengan di kota. Villa yang mereka miliki dilengkapi dengan kolam renang, gazebo, kolam ikan hias. Air yang mereka gunakan untuk segala kebutuhan di villanya termasuk kolam renang dan kolam ikan biasanya dialirkan langsung dari mata air pegunungan yang berada tak jauh dari desa.
5.3
Pemerintah Aktor konversi lahan pertanian di RW 02 Desa Gunung Picung selain
petani dan pemilik lahan baik itu warga lokal maupun pendatang adalah Pemerintah Desa. Pemerintah Desa mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap laju konversi lahan pertanian di RW 02 karena dalam hal ini pemerintah adalah pihak yang menyusun peraturan pertanahan yang mengatur tentang pemanfaatan, peruntukan dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) desa. Selain itu, pemerintah desa pun berperan dalam pengawasan pelaksanaan peraturan, pengawas penggunaan dan pemanfaatan lahan, dan bahkan memberikan sanksi kepada pemilik lahan yang melanggar aturan pertanahan yang telah ditetapkan. Pemerintah berperan dalam menegakkan perangkat hukum pertanahan yang sudah ada guna memagari pemanfaatan lahan oleh berbagai pihak sesuai dengan konsep tata ruang kawasan pedesaan. Pada kenyataannya Pemerintah Desa Gunung Picung hanya bisa mengimbau petani dan pemilik lahan dalam penggantian pola pemanfaatan lahannya tetapi tidak bisa melarang mereka untuk mengkonversinya menjadi penggunaan lain baik itu untuk pertanian maupun non pertanian. Pemerintah desa tidak memiliki data yang akurat tentang laju perubahan pemanfaatan lahan pertanian, hal ini disebabkan peraturan yang ada tentang pola
pemanfaatan lahan tidak pernah dijalankan. Para pelaku konversi seperti petani dan pendatang tidak pernah melaporkan perubahan pemanfaatan lahan yang telah mereka lakukan.
5.4
Bentuk Usaha Baru Pasca Konversi Bentuk-bentuk usaha baru yang digeluti oleh warga RW 02 Desa Gunung
Picung setelah dikonversi dari lahan pertanian sangat beragam, terdiri atas peternakan ayam pedaging, kolam ikan, tempat budidaya tanaman hias, kebun pepaya, kebun singkong, budidaya jamur. Bentuk konversi ini dibedakan menjadi konversi/tata guna jangka panjang tata guna jangka pendek. Tata guna jangka panjang karena petani merencanakan bentuk usaha ini untuk jangka waktu yang lama. Bentuk usaha yang termasuk dalam kelompok ini meliputi peternakan ayam pedaging, kolam ikan, tempat budidaya tanaman hias, kebun pepaya, kebun singkong. Tata guna jangka pendek disebabkan oleh petani yang ingin melihat trend yang berkembang di masyarakat. Mereka biasanya merubah-rubah lahan pertanian miliknya sesuai dengan ‘trend’ yang terjadi di pasar mulai dari ditanami palawija, kemudian beralih ke kolam ikan setelah itu ditanami sayuran kembali dan seterusnya. Yang termasuk tataguna jangka pendek terdiri dari kolam ikan dan budidaya jamur. Bentuk usaha baru yang berkembang di masyarakat terdiri dari :
1. Peternakan ayam Peternakan ayam pedaging merupakan bentuk usaha kerjasama antara pemilik lahan dan perusahaan dari kota2. Pemilik lahan menyediakan lahan, kandang, air, alat pemanas, pekerja. Sedangkan perusahaan menyediakan bibit dan pakan ternak. Pembagian penghasilan merata 50-50 antara peternak dengan perusahaan.
Artinya
peternak
dan
perusahaan
mendapat
pembagian
keuntungan sama rata yaitu masing-masing 50%. Peternakan ayam pedaging ini pada akhirnya menjadi lapangan pekerjaan bagi warga RW 02 yang tidak memiliki mata pencaharian. Peternakan ayam juga menimbulkan beberapa dampak negatif pada lingkungan seperti membuat polusi udara yang berupa bau tidak sedap dan memunculkan lalat. Peternakan ayam berada tidak jauh dari pemukiman warga. Jarak antara peternakan dan kandang ayam tidak sampai 300 meter. Selain itu, peternakan ini juga terdapat di dekat jalan utama desa. 2. Tempat budidaya tanaman hias Tempat budidaya tanaman hias merupakan bentuk konversi lahan yang dilakukan oleh TJ. Tujuannya adalah untuk membudidayakan dan menyiapkan bibit tanaman hias termasuk tanaman yang siap untuk dijual. Selain itu tanaman hias itu digunakan sebagai tanaman pelengkap pada usaha jasa membuat taman. 3. Kolam ikan Petani mengkonversi lahan pertanian menjadi kolam ikan mujair, lele, ikan mas. Siklus hidup ikan sampai ke panen lebih cepat bila dibandingkan siklus 2
Para peternak itu hanya menyatakan mereka bekerjasama dengan PT, tanpa menyebutkan nama perusahaan.
padi sawah. Siklus panen ikan rata-rata 2,5 bulan sedangkan siklus padi sawah sekitar empat bulan. Kolam ikan dijadikan sebagai bentuk usaha pasca konversi untuk jangka panjang dan jangka pendek. Konversi jangka panjang (permanen) dilakukan oleh SK & BS terhadap sawah miliknya yang bertujuan untuk menghidupi keluarganya, sedangkan SR mengkonversi lahan miliknya untuk jangka pendek sehingga ia bisa merubah kembali menjadi bentuk penggunaan lain seperti warung dan kolam pemancingan umum. Ciri fisik kolam ikan permanen dan sementara ada pada bahan baku pembuatannya. Kolam permanen biasanya menggunakan semen sehingga akan sulit untuk memanfaatkan menjadi bentuk lain setelah dikonversi. Sedangkan kolam sementara strukturnya tidak diperkuat semen, hanya menggunakan tanah. Kolam sementara ini bisa dibongkar atau dimanfaatkan menjadi bentuk lain kapan pun petani mau. Tidak ada perbedaan mendasar antara petani yang mengusahakan lahannya menjadi kolam ikan baik untuk sementara maupun permanen. Yang membedakan hanya luasan lahan yang mereka manfaatkan untuk kolam ikan. Selain luas lahan, perbedaan yang mereka miliki terletak pada rencana pemanfaatan lahan. SK dan BS tidak mempunyai rencana pemanfaatan lahan selain untuk dijadikan dan diusahan sebagai kolam ikan. Sedangkan SR mempunyai kebebasan untuk merencanakan pemanfaatan lahan pertaniannya untuk dijadikan bentuk lain seperti warung dan kolam pemancingan umum. 4. Kebun pepaya, Kebun singkong Petani mengambil keputusan untuk merubah penggunaan lahan pertanian miliknya menjadi kebun singkong dan kebun pepaya disebabkan oleh
persediaan air untuk irigasi yang semakin menipis sehingga sulit untuk mengairi sawah mereka. Terbatasnya persediaan air ini merupakan dampak dari konversi sebelumnya yang dilakukan oleh petani di RW 03. Petani di sana mengkonversi sawah miliknya menjadi peternakan sehingga aliran air dibelokkan ke arah lain. Hal ini pada akhirnya berpengaruh pada terbatasnya air untuk irigasi di RW 02. Responden yang tergabung dalam kelompok ini adalah DD, DN, dan SL. 5. Budidaya Jamur Petani membudidayakan jamur sebagai usaha sampingan dari usaha pokok yang mereka geluti. Budidaya jamur tidak membutuhkan lahan yang luas untuk pelaksanaannya sehingga bisa dikatakan petani tidak mengalokasikan lahan untuk budidaya jamur. Luas lahan yang dibutuhkan untuk budidaya jamur hanya sekitar 15 m2. Selain itu petani memasukkan budidaya jamur sebagai bentuk tataguna lahan jangka pendek yang bersifat sementara. Responden yang mempunyai tempat budidaya jamur adalah OD. Beberapa responden baik itu petani maupun pendatang seperti MS, AD, dan AS mengkonversi lahan pertaniannya untuk pemanfatan non pertanian. Mereka mengkonversi lahannya menjadi rumah tempat tinggal mereka bersama keluarganya.
5.5
Ikhtisar Konversi lahan RW 02 Desa Gunung Picung terjadi di lahan-lahan
pertanian yang berada di dekat jalan utama desa. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan akses terhadap tranportasi. Lahan-lahan yang semula sawah lambat laun berubah pemanfaatan menjadi non pertanian. Petani yang mengkonversi sebagian besar dan seluruh lahannya menjadi bentuk pemanfaatan baru cenderung melakukannya untuk jangka panjang, atau bisa dikatakan bahwa mereka melakukan konversi permanen. Sedangkan petani yang mengkonversi hanya sebagain kecil lahannya cenderung melakukannya untuk jangka
pendek atau
konversi
sementara sehingga
mereka
bisa
mengkonversinya lagi menjadi bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Proses konversi lahan pertanian di RW 02 Desa Gunung Picung memunculkan proses diversifikasi mata pencaharian petani, di mana mereka kemudian bermata pencaharian sesuai dengan bentuk konversi yang mereka lakukan. Aktor-aktor yang mengkonversi lahan pertanian di RW 02 Desa Gunung Picung terdiri dari petani pemilik lahan dan para pendatang. Mereka mengkonversi lahan pertaniannya untuk tujuan konsumtif seperti menjadi pemukiman yang terdiri dari rumah tempat tinggal, rumah peristirahatan (villa), dan tujuan perdagangan yang terdiri atas kolam ikan, peternakan, warung, kebun pepaya, kebun singkong. Petani melakukan konversi lahan dilatarbelakangi motif ekonomi. Mereka ingin meningkatkan pendapatan dan taraf hidup rumah tangganya dengan cara membuka usaha baru. Para pendatang memiliki profesi di luar bidang pertanian. Mereka berprofesi sebagai pedagang, reparator alat elektronik. Selain untuk tempat tinggal, rumah mereka pun dijadikan sebagai tempat usahanya. Pendatang
ada yang berasal dari kota (khususnya Jakarta). Mereka mengkonversi lahan menjadi rumah peristirahatan (villa) dan perusahaan air mineral. Pemerintah desa pun merupakan salah satu aktor konversi lahan pertanian, walaupun tidak secara langsung menjadi pelaku di lapangan. Pemerintah berperan dalam menyusun peraturan pertanahan yang mengatur tentang pemanfaatan, peruntukan dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) desa. Selain itu, pemerintah desa pun berperan dalam pengawasan pelaksanaan peraturan, pengawas penggunaan dan pemanfaatan lahan, dan bahkan memberikan sanksi kepada pemilik lahan yang melanggar aturan pertanahan yang telah ditetapkan Para reponden mendapatkan lahan pertanian melalui proses jual beli dan waris. Selain mengkonversi lahan pertanian miliknya, tak jarang pula para responden mentransfer lahan pertanian miliknya melalui proses jual beli yang berujung pada konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh pemilik baru. Harga tanah yang berlaku di Desa Gunung Picung rata-rata Rp 100.000,-/m2 (seratus ribu rupiah per meter persegi) untuk tanah yang berada di dekat jalan utama desa dan bisa kurang dari itu untuk tanah-tanah yang jauh dari jalan utama (berada di pelosok). Padahal nilai jual objek pajak (NJOP) yang berlaku di sana sekitar Rp 25.000,-/m2 (dua puluh lima ribu rupiah per meter persegi).
BAB VI FAKTOR-FAKTOR PEMICU KONVERSI LAHAN
Konversi lahan pertanian di RW 02 Desa Gunung Picung banyak berhubungan dengan keinginan petani meningkatkan nilai ekonomi dan daya guna lahan, sehingga bisa merubah taraf hidup mereka. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju konversi lahan berkaitan dengan sistem pertanian yaitu terletak pada perubahan pola pemanfaatan lahan pertanian. Dampak dari konversi lahan secara umum adalah terjadi diversifikasi pola mata pencaharian yang semula berbasis padi, ke pemanfaatan lahan yang lebih beragam sebagai respon terhadap pasar, seperti sawah dirubah menjadi peternakan, kolam ikan, dan rumah tempat tinggal petani. Proses konversi lahan pertanian pun tidak bisa dilepaskan dari transfer pemilikan lahan antara petani dan calon pemilik baru yaitu melalui proses jual beli. Hal yang mendorong petani melepaskan lahan pertanian miliknya adalah harga jual lahan sawah yang tinggi dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah terjadi transfer pemilikan, kemudian diikuti konversi oleh pemilik baru. Perbedaan antara konversi lahan setelah transfer dan konversi tanpa transfer kepemilikan lahan terlihat pada aktor konversi, pemanfaatan lahan dan luasan lahan yang dikonversi. Konversi yang disertai proses transfer biasa dilakukan oleh pemilik baru yang berasal dari kota besar seperti Jakarta. Mereka mengkonversi seluruh lahan yang dibelinya untuk dijadikan villa. Sedangkan proses konversi lahan tanpa disertai transfer kepemilikan dilakukan oleh petani dan pemilik lahan yang
merupakan warga Desa Gunung Picung. Konversi lahan yang diawali dengan proses transfer pemilikan lahan biasanya berujung pada pola pemanfaatan lahan menjadi non pertanian seperti rumah, villa dan pabrik air mineral. Sedangkan konversi lahan yang tidak disertai proses transfer pemilikan tetap diusahakan di bidang pertanian seperti tempat budi daya tanaman hias, peternakan ayam, kolam ikan, kebun pepaya dan singkong. Dalam tulisan ini, hanya akan dikemukakan tentang konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh petani pemilik lahan yang tidak diikuti proses transfer kepemilikan lahan. Faktor-faktor yang menjadi pemicu konversi lahan dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu internal rumah tangga petani, eksternal rumah tangga petani, dan peran pemerintah desa.
6.1
Faktor Eksternal Rumah Tangga Petani Konversi lahan pertanian di RW 02 pada dasarnya dipengaruhi oleh tidak
ada aturan pertanahan yang mengikat warga dalam menahan laju konversi lahan pertanian. Penduduk RW 02 memandang konversi atau alih fungsi lahan pertanian sebagai hal yang wajar dilakukan oleh petani karena hal ini menyangkut hubungan antara pemilik dengan tanahnya. Selain itu pertambahan jumlah penduduk pun lambat laun menuntut lahan untuk dijadikan pemukiman. Faktor-faktor eksternal rumah tangga petani yang mempengaruhi laju konversi lahan pertanian di RW 02 Desa Gunung Picung terdiri dari faktor kelembagaan pertanahan, sistem tata ruang desa, dan pertambahan jumlah penduduk. Salah seorang responden, menyatakan sulit untuk memberikan saran dan masukan kepada pemilik lahan pertanian yang ingin mengkonversi lahannya
karena para pemilik akan mengatakan itu urusan mereka dengan lahannya. Dengan kata lain masyarakat tidak bisa ikut campur dan berperan dalam menahan serta mengendalikan laju konversi lahan pertanian. Pemilik lahan mempunyai ruang yang luas untuk melakukan perubahan terhadap lahannya, dalam hal ini konversi lahan sangat mungkin terjadi. Hal ini senada dengan pernyataan para petani pemilik lahan yang menjadi responden bahwa mereka mempunyai kebebasan untuk mengkonversi lahan pertanian miliknya, warga lain jarang menunjukkan atau menyatakan keberatan ketika konversi lahan terjadi. Konversi lahan di Desa Gunung Picung pun dipengaruhi oleh tidak ada sistem penataan ruang. Masyarakat dan Pemerintah desa tidak memiliki konsep penataan ruang desa sehingga proses konversi lahan yang dilakukan oleh para pemilik lahan bisa bebas dilakukan. Daerah yang sebelumnya sawah khususnya yang berada di dekat jalan utama desa lambat laun berubah menjadi peternakan, kolam ikan, rumah penduduk, dan villa. Pertambahan jumlah penduduk juga mempengaruhi laju konversi lahan. Sebagian lahan pertanian di Desa Gunung Picung berubah menjadi perumahan. Jumlah penduduk Desa Gunung Picung pada tahun 2008 mencapai 12.134 jiwa, meningkat 23,5 persen dari sepuluh tahun sebelumnya yaitu berjumlah 9823 jiwa. Terjadi peningkatan jumlah penduduk yang signifikan sehingga lambat laun memaksa petani dan pemilik lahan untuk mengkonversi lahan pertaniannya menjadi rumah. Persawahan yang memiliki luas 225 Ha menyusut seluas 10,5 Ha untuk menjadi perumahan. Belum lagi tegalan (150 Ha) dan perkebunan (138 Ha) yang menyusut masing-masing 5 Ha menjadi rumah.
Tabel 5 Perubahan penggunaan tanah menjadi perumahan di Desa Gunung Picung No Lahan Luas 1 Tanah persawahan 10,5 Ha 2 Tegalan 5 Ha 3 Perkebunan 5 Ha Sumber : data monografi Desa Gunung Picung semester 2 tahun 2007
Konversi lahan pertanian menjadi perumahan pun terjadi di RW 02. Petani dan pemilik lahan seperti MS, AD, AS mengkonversi sawah milik mereka menjadi rumah tempat tinggal. Alasan yang dikemukakan ketika sawah, tegalan dan perkebunan dikonversi menjadi perumahan adalah kebutuhan lahan untuk perumahan meningkat seiring penambahan jumlah anggota keluarga. Rumah itu dibangun untuk digunakan sendiri dan tidak untuk dijual. Konversi lahan pertanian pun dipengaruhi oleh kesulitan dalam mengakses infrastruktur pertanian seperti ketersediaan air untuk irigasi. Hal ini dapat dilihat dari motif yang dikemukakan oleh DD, DN, dan SL yang mengkonversi sawah mereka menjadi kebun singkong dan kebun pepaya disebabkan oleh kesulitan untuk mendapatkan air untuk sawah mereka.
6.2
Faktor Internal Rumah Tangga Petani Faktor internal yang paling berpengaruh adalah kondisi sosial ekonomi
rumah tangga petani dan pemicu utama adalah faktor ekonomi, yaitu pendapatan rumah tangga sehingga akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga. Konversi lahan pertanian dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomi dan daya guna lahan sehingga berimbas pada peningkatan pendapatan rumah tangga.
Keputusan yang sering diambil oleh petani pemilik lahan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangganya adalah mengkonversi lahan pertanian miliknya menjadi bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan dan memiliki siklus yang pendek. Tujuan akhir konversi lahan pertanian menjadi peternakan, kolam ikan, tempat budidaya tanaman hias. SR dan SK mengatakan bahwa siklus hidup ikan untuk dipanen lebih singkat dari pada siklus padi sawah. Siklus padi rata-rata empat bulan sedangkan siklus ikan hanya 2,5 bulan sampai bisa dipanen. Senada dengan mereka, MS mengatakan bahwa siklus ternak ayam pedaging lebih singkat daripada padi di sawah bahkan bila dibandingkan dengan budidaya ikan. siklus peternakan ayam pedaging sampai bisa dipanen hanya 45 hari (1,5 bulan). Siklus yang pendek ini lebih bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Siklus peternakan ayam pedaging yang lebih singkat dibandingkan dengan sawah dan kolam ikan ini, tidak membuat semua responden mengkonversi sawah miliknya menjadi peternakan ayam. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan modal yang tinggi untuk peternakan ayam pedaging sehingga mengharuskan kerjasama dengan pemodal atau pengusaha ternak ayam yang besar. Sehingga pasca konversi terjadi diversifikasi budidaya dan penggunaan tanah lain, seperti budidaya tanaman hias, kebun papaya, kebun singkong. Budidaya tanaman hias dilakukan oleh TJ sebagai bentuk konversi lahan pertaniannya. Tanaman hias ini untuk dijual dan digunakan sebagai salah satu bahan dalam proyek pembuatan taman (landscape). Hal ini ternyata bisa menghemat biaya operasional proyek pembuatan dalam hal penyediaan tanaman hias.
Tabel 6 Motif Petani mengkonversi lahan No 1
TJ
Nama Petani
alih fungsi lahan Sawah menjadi tempat budidaya tanaman hias dan kolam ikan
2
MS
3
SR
4
SK
5
OD
5
CP
Sawah menjadi peternakan ayam
7
AS
Sawah menjadi rumah
8
MH
Sawah menjadi peternakan ayam dan kolam ikan
9
AD
10
BS
11
AR
Sawah miliknya menjadi rumah Sawah menjadi kolam ikan Sawah menjadi peternakan ayam
12
EM
13
DD
Sawah menjadi peternakan ayam pedaging, rumah Sawah menjadi kolam budidaya ikan dan warung
Sawah menjadi kolam ikan lele Sawah menjadi rumah dan kebun
Sawah menjadi peternakan ayam
Sawah menjadi kebun pepaya 14 DN Sawah menjadi kebun pepaya 15 SL Sawah menjadi kebun singkong Sumber : hasil penelitian di lapangan
Keterangan Tanaman hias dijual dan digunakan sebagai pendukung usaha arsitektur pertamanan (landscape), sedangkan ikan untuk dikonsumsi sehari-hari. Motif yang dimiliki adalah untuk menambah penghasilan rumah tangga. Hal ini dilakukan karena budidaya ikan lebih menjanjikan dibandingkan dengan menanam padi di sawah, dan siklus lebih pendek. Siklus ikan lebih pendek dan pendapatan pun lebih besar Hal ini dilakukan setelah ia beralih profesi dari sopir menjadi petani. Hal ini dilakukan untuk menambah pendapatan rumah tangga Selama ini memang dia tidak pernah bersawah dan menggantungkan hidupnya dari usaha memperbaiki peralatan elektronik. Dilakukan untuk membantu menghidupi keluarganya. Profesi yang dijalani sebagai buruh bangunan. Dari awal berwiraswasta di bidang penjualan bahan bakar Siklus ikan lebih pendek dan pendapatan pun lebih besar Siklus lebih singkat dan pendapatan lebih besar dibandingkan pertanian. Siklus lebih singkat dan pendapatan lebih besar dibandingkan pertanian Sulit untuk mendapatkan air Sulit untuk mendapatkan air Sulit untuk mendapatkan air
Motif petani dan pemilik lahan dalam mengkonversi lahan pertanian adalah untuk meningkatkan daya guna dan nilai ekonomi lahan pertaniannya sehingga mereka bisa meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Ketika poendapatan rumah tangga meningkat, maka secara tidak langsung kebutuhan rumah tangga pun akan terpenuhi. Mereka menyatakan pendapatan tidak serta merta berubah tapi setelah melalui proses pengulangan siklus sampai akhirnya usaha yang baru itu bisa mapan. Harga tanah, termasuk didalamnya sawah dan tegalan yang berlaku di Desa Gunung Picung pada tahun 2008, khususnya di RW 02 berkisar antara Rp 50.000 – 100.000 per meter persegi. Harga tanah meningkat setiap tahun. Pada hal harga yang berlaku tahun 1998, 10 tahun yang lalu hanya sekitar Rp. 20.000 – 30.000 per meter persegi. Hal ini pun secara tidak langsung berpengaruh pada pelepasan kepemilikan lahan yang berujung pada konversi oleh pemilik baru. Faktor lain yang berpengaruh terhadap proses konversi lahan pertanian adalah pemecahan (fragmentasi) lahan. Di desa Gunung Picung tidak terjadi proses pemecahan lahan pertanian yang kentara. Di RW 02, proses pemecahan lahan terjadi ketika seorang petani membagikan tanahnya kepada anak-anaknya. Pemilik baru tanah itu, akan tetap mengusahakan tanahnya untuk pertanian atau mengkonversinya menjadi bentuk usaha lain seperti peternakan, kolam ikan, dan rumah. Sebagai contoh adalah SR yang mendapatkan tanah berupa sawah dari orang tuanya. Sawah itu hanya bertahan selama lima tahun kaena setelah itu dikonversi menjadi kolam ikan lele. Alasan yang dikemukakan adalah ingin mempercepat siklus pendapatan rumah tangga.
Proses diversifikasi mata pencaharian melalui konversi lahan pertanian, tidak berarti membuat petani meninggalkan pertanian pangan sama sekali. Para petani ini biasanya tidak ingin lepas secara total dari pertanian. Mereka akan menanam komoditas pertanian seperti cabe, tomat, yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari walaupun hanya di pekarangan rumah.
6.3
Peran Pemerintah Desa Dalam Proses Konversi Lahan Pemerintah Desa tidak bisa melakukan apa-apa dalam menghadapi
fenomena konversi lahan yang terjadi dan hanya bisa mengimbau masyarakat untuk tetap berusaha di bidang pertanian serta melakukan pencatatan ketika ada aktor konversi yang melapor. Pemerintah Desa tidak pernah mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan proses konversi lahan pertanian maupun kebijakan penataan ruang pedesaan karena dinilai masih berada pada ambang normal. Warga harus melaporkan rencana konversi lahan pertaniannya kepada pemerntah desa untuk mendapatkan izin. Tapi hal ini tidak pernah dilakukan oleh warga. Batasan konversi lahan yang harus dilaporkan untuk perizinan adalah konversi lahan menjadi bangunan baru, seperti rumah, villa, kandang ayam. Sedangkan konversi lahan menjadi kolam ikan, tempat budidaya tanaman hias, kebun pepaya, singkong tidak menjadi perhatian pemerintah desa karena dianggap masih diusahakan dalam bidang pertanian. Selain itu, pemerintah pun tidak mempunyai kebijakan tata ruang sehingga warga bebas mengkonversi lahan pertanian miliknya menjadi bentuk pemanfaatan lain di luar pertanian. Pemerintah
selama ini hanya menginventaris luas sawah dan pemanfaatan lahan lainnya yang berada di desa. Pertanyaan yang mengganjal adalah mengapa warga tidak pernah melaporkan konversi lahan yang mereka lakukan? Mengapa pemerintah desa tidak memberikan teguran dan bahkan sanksi terhadap warga yang mengkonversi lahan pertaniannya tanpa izin?
Tabel 7 luas tanah di Desa Gunung Picung No 1
Sawah
Lahan
2
Tanah Kering
Jenis Irigasi Stengah Teknis Irigasi Sederhana Tegalan/Kebun Ladang/Tanah Huma Pekarangan/Bangunan
3 Hutan Heterogen 4 Perkebunan Rakyat Sumber : data monografi Desa Gunung Picung semester II tahun 2007
Luas 150 ha 75 Ha 150 ha 138 ha 83 Ha 147 Ha 125 ha
Tabel 7 di atas memuat tentang luas dan pemanfaatan tanah di Desa Gunung Picung pada akhir tahun 2007. Luas lahan ini pun semakin berkurang karena banyak dikonversi oleh para pemilik lahan, termasuk di dalamnya adalah petani. Pemerintah desa tidak memiliki data yang akurat tentang luas pemanfaatan tanah dan jumlah lahan yang dikonversi karena pelaku konversi, dalam hal ini petani jarang melaporkan konversi lahan yang akan dan telah mereka lakukan. Pemerintah yang seyogyanya berperan sebagai filter3 dalam proses pengendalian alih fungsi lahan pertanian, tidak bisa berbuat apa-apa ketika ada masyarakat (pemilik lahan) yang melakukan transfer (menjual lahannya) dan atau 3
Filter ini hanya berfungsi efektif apabila Pemerintah selalu memberikan apresiasi terhadap aspirasi dan inspirasi masyarakat tentang rencana pemenuhan kebutuhan, pembangunan desa, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat (Witjaksono, 1996).
mengkonversi lahan pertanian miliknya. Salah seorang pamong desa menyatakan pihaknya selama ini hanya bisa mengimbau para pemilik lahan, baik warga lokal (termasuk petani) maupun pendatang untuk memikirkan ulang rencana pemanfaatan lahan pertanian yang melalui proses konversi lahan. Selain kebijakan dari Pemerintah, warga desa pun mempunyai hak untuk memutuskan apakah mereka akan mengkonversi lahan pertanian miliknya atau tidak. Warga desa biasanya mengambil keputusan secara individu dalam menentukan peruntukan dan pemanfaatan lahan miliknya termasuk dalam menentukan untuk mengkonversi lahan pertaniannya. Proses konversi lahan sangat mudah dilakukan oleh pemilik lahan dan masyarakat setempat tidak bisa mencegahnya karena tidak ada kelembagaan masyarakat yang mengatur peruntukan, pola pemanfaatan lahan dan pola penataan ruang. Sebagai contoh, adalah konversi yang dilakukan oleh MS, MH, CP, dan AR dari sawah dan lahan kering menjadi peternakan ayam yang berada tidak jauh dari pemukiman penduduk sehingga berdampak pada pencemaran udara dan menimbulkan lalat. Hal ini tidak bisa dicegah oleh pemerintah atau masyarakat sekitar.
6.4
Ikhtisar Konversi lahan di RW 02 Desa Gunung Picung banyak berhubungan
dengan keinginan petani meningkatkan nilai ekonomi dan daya guna lahan, serta meningkatkan pendapatan rumah tangga sehingga bisa merubah taraf hidup mereka. Dampak dari konversi lahan secara umum adalah terjadi diversifikasi pola mata pencaharian yang semula berbasis padi, ke pemanfaatan lahan yang lebih
beragam sebagai respon terhadap pasar, seperti sawah dirubah menjadi peternakan, kolam ikan, dan rumah tempat tinggal petani. Konversi lahan tidak bisa dilepaskan dari proses transfer pemilikan lahan. Konversi lahan yang diawali dengan proses transfer pemilikan lahan biasanya berujung pada pola pemanfaatan lahan menjadi non pertanian seperti rumah, villa dan pabrik air mineral. Sedangkan konversi lahan yang tidak disertai proses transfer pemilikan tetap diusahakan di bidang pertanian seperti tempat budi daya tanaman hias, peternakan ayam, kolam ikan, kebun pepaya dan singkong. Faktor-faktor yang menjadi pemicu konversi lahan pertanian di Desa Gunung Picung meliputi dua hal yang besar yaitu faktor internal rumah tangga petani dan faktor eksternal yang mencakup kebijakan pemerintah, baik pemerintah lokal maupun pusat. Faktor eksternal konversi lahan pertanian di desa gunung picung antara lain tidak ada peraturan pertanahan yang mengatur dan mengikat masyarakat dalam menahan laju konversi lahan pertanian, tidak ada sistem penataan ruang, dan pertambahan jumlah penduduk. Faktor internal yang paling berpengaruh adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani dan pemicu utamanya adalah faktor ekonomi. Petani ingin meningkatkan nilai ekonomi dan daya guna lahan. Selain itu, mereka juga ingin mengefisiensikan penggunaan lahan untuk mendapatkan pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketika masih diusahakan sebagai sawah. Hasil akhir yang ingin dicapai adalah peningkatan taraf hidup rumah tangga petani.
Faktor internal lain yang berpengaruh terhadap proses konversi lahan pertanian adalah pemecahan lahan. Selain faktor yang memicu konversi lahan pertanian, terdapat juga faktor penghambat konversi yang dimiliki oleh petani, seperti keterbatasan keterampilan dan keraguan tentang keberhasilan dan keuntungan usaha baru yang mereka geluti sehingga beresiko tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Pemerintah Desa Gunung Picung tidak pernah mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan proses konversi lahan pertanian maupun kebijakan penataan ruang pedesaan karena konversi yang terjadi di sana dinilai masih berada pada ambang normal. Selain kebijakan dari Pemerintah, masyarakat pun mempunyai hak untuk memutuskan apakah mereka akan mengkonversi lahan pertanian miliknya atau tidak. Masyarakat mengambil keputusan secara oposional (individu) dalam menentukan peruntukan dan pemanfaatan lahan miliknya termasuk dalam menentukan untuk mengkonversi lahan pertaniannya.
BAB VII DAMPAK SOSIAL EKONOMI KONVERSI LAHAN
Konversi lahan pertanian yang terjadi di RW 02 Desa Gunung Picung memberikan dampak yang besar bagi rumah tangga petani, warga sekitar dan bagi lingkungan. Dampak ini terlihat pada pergeseran mata pencaharian, pendapatan rumah tangga dan dampak terhadap lingkungan. Pertanyaan yang akan dicoba dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana dampak konversi lahan pertanian terhadap aktor konversi dan warga sekitar dalam hal pendapatan dan mata pencaharian? Selain itu bagaimana dampak konversi lahan pertanian terhadap lingkungan sekitar?
7.1 Pergeseran dan Diversifikasi Mata Pencaharian Konversi lahan petanian memberikan dampak yang beragam terhadap mata pencaharian atau lapangan pekerjaan warga RW 02 Desa Gunung Picung. Dampak yang terlihat adalah pergeseran mata pencaharian aktor konversi dari bidang pertanian menjadi bidang non pertanian. Dampak konversi bagi warga sekitar di satu sisi menghilangkan satu pekerjaan tapi di sisi lain menimbulkan pekerjaan yang baru. Kelompok penduduk yang paling merasakan dampak konversi lahan sawah adalah petani penggarap yang tak memiliki lahan sawah dan buruh tani, terlebih-lebih pada sub kelompok rumah tangga yang kurang access terhadap kesempatan kerja non pertanian sehingga mereka hanya menghadapi kesempatan kerja pada usahatani yang semakin sempit. Kelompok ini hanya dapat
memperbaiki taraf kehidupannya apabila mampu memanfaatkan kesempatan kerja lain yang mungkin tersedia atau mungkin terjangkau.
Tabel 8 Pergeseran mata pencaharian dan bentuk konversi
1
TJ
Luas Tanah (m2) 7120
2
MS
6120
3
SR
1600
Sopir
4
SK
1900
5
OD
1200
Petani Palawija Sopir, petani
6
CP
400
7
AS
200
Petani, Sopir Petani
8
MH
400
Petani
9
AD
200
Petani
10
BS
500
Petani
11
AR
300
Petani
12
EM
7250
Petani
13
DD
300
14
DN
500
15
SL
300
Petani (sawah) Petani (sawah) Petani
No
Nama
Mata Pencaharian Sebelum Setelah Konversi Konversi Petani, Penjual pengrajin tanaman hias Pengusaha Peternak Ikan
Sumber : hasil penelitian di lapangan
Pengusaha Ikan Pengusaha Ikan Penjual tanaman hias Peternak, sopir Reparator Elekronik Peternak, Buruh bangunan Pedagang Pengusaha Ikan Peternak, pedagang Petani, Peternak Petani (kebun) Petani (kebun) Sopir
Bentuk konversi Sawah menjadi tempat budidaya tanaman hias dan kolam ikan Sawah dan kolam ikan menjadi peternakan ayam pedaging, rumah Sawah menjadi kolam budidaya ikan dan warung Sawah menjadi kolam ikan lele Sawah menjadi rumah dan kebun Sawah menjadi peternakan ayam Sawah menjadi rumah Sawah menjadi peternakan ayam dan kolam ikan Sawah miliknya menjadi rumah Sawah menjadi kolam ikan Sawah menjadi peternakan ayam Sawah menjadi peternakan ayam Sawah menjadi kebun pepaya Sawah menjadi kebun pepaya Sawah menjadi kebun singkong
Para petani yang menjadi responden adalah petani yang mempunyai keahlian di luar bidang pertanian sehingga konversi lahan merupakan hal yang wajar dilakukan oleh mereka. Usaha baru yang mereka geluti itu bisa meningkatkan pendapatan rumah tangga. Tabel 8 menunjukkan bahwa terjadi pergeseran mata pencaharian yang dialami oleh petani responden setelah proses konversi lahan pertanian terjadi. Mata pencaharian baru itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bidang pertanian dan non pertanian. Pertama di bidang pertanian, petani berusaha di bidang budidaya tanaman hias, peternakan ayam pedaging, pengusaha ikan, dan petani lahan kering dengan singkong dan pepaya sebagai tanaman yang diusahakan. Budidaya tanaman hias diusahakan oleh TJ dan OD setelah mereka mengkonversi sawah miliknya. Alasan yang mereka kemukakan adalah usaha tanaman hias lebih menguntungkan dan tidak memerlukan perawatan yang intensif dibandingkan sawah. TJ dan OD melakukan sendiri proses budidaya mulai dari pembibitan sampai penjualan. Selain dijual, TJ menggunakan tanaman hias miliknya untuk proyek pembuatan taman. MS, AR, CP, MH, dan EM beralih profesi menjadi peternak ayam setelah mengkonversi sawah miliknya menjadi peternakan ayam pedaging. Alasan mereka mengkonversi lahannya adalah peternakan ayam memiliki siklus lebih cepat dengan pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan sawah. Peternakan ayam ini merupakan hasil kerja sama antara petani pemilik lahan dengan pemodal dan perusahaan peternakan dari kota. Pengusaha perikanan digeluti oleh SK, SR, dan BS setelah sawahnya dikonversi menjadi kolam ikan. Alasan mereka mengkonversi sawah menjadi
kolam ikan adalah siklus ikan lebih pendek bila dibandingkan dengan sawah. Pendapatan yang mereka terima dari penjualan ikan pun lebih tinggi dibandingkan dengan sawah. DD dan DN beralih menjadi petani kebun setelah mereka mengkonversi sawahnya menjadi kebun pepaya. Alasan mereka mengkonversi lahan adalah kesulitan mendapatkan air untuk mengairi sawahnya. Kesulitan air ini merupakan dampak dari konversi lahan yang terjadi di RW 05. SL mengusahakan lahan pertaniannya pasca konversi sawah menjadi kebun singkong. Alasan SL sama dengan DD dan DN dalam mengkonversi sawahnya yaitu kesulitan untuk mendapatkan irigasi untuk sawahnya. Kedua kelompok petani yang beralih mata pencaharian dari pertanian menjadi non pertanian setelah mengkonversi sawah miliknya menjadi rumah. Petani yang tergabung dalam kelompok ini adalah AD dan AS. AD kemudian beralih menjadi pedagang dan AS menjadi reparator alat elektronik. Dari awal AD dan AS memang tidak berprofesi sebagai petani. Mereka mengusahakan lahannya untuk sawah hanya sebagai jeda waktu sebelum mengkonversinya menjadi rumah. Selain itu, SL yang mengkonversi sawahnya menjadi kebun singkong. Pertanian lahan kering dengan tanaman singkong tidak intensif seperti sawah sehingga SL mempunyai kesempatan untuk bermata pencaharian ganda sebagai sopir. Selain menjadi peternak, MH pun berprofresi sebagai buruh bangunan. Pergeseran mata pencaharian ini terjadi sebagai respon dari proses konversi lahan yang dilakukan oleh petani dan pemilik lahan. Walaupun telah beralih mata pencaharian ke non pertanian, mereka tetap menanam tanaman pertanian seperti cabe, tomat untuk kebutuhan sehari-hari.
Konversi lahan pertanian di RW 02 merupakan proses diversifikasi sumber mata pencaharian. Di satu sisi menghilangkan pekerjaan dan di sisi lain memunculkan pekerjaan baru. Warga yang kehilangan pekerjaan adalah petani penggarap yang mengusahakan lahan pertanian milik orang lain dengan sistem sewa. Setelah pemilik lahan mengkonversi lahan pertanian miliknya, petani penggarap tidak bisa menyewa lahan lagi untuk diusahakan di bidang pertanian. Hal ini ditegaskan oleh MS yang menyatakan bahwa petani penggarap yang biasa menyewa lahannya untuk pertanian beralih menjadi buruh tani. Konversi dan pergeseran/perubahan tata guna lahan menciptakan lapangan kerja lain di luar pertanian seperti penjaga villa, pekerja di peternakan ayam. Peternakan ayam merupakan salah satu bentuk usaha yang digeluti warga setelah mengkonversi sawah miliknya. Peternakan ini diusahakan oleh warga yang mempunyai modal untuk membangun kandang dan menyiapkan prasarana lain yang dibutuhkan peternakan. Peternakan ayam pedaging di RW 02 merupakan usaha yang dijalankan secara bekerjasama antara pemilik lahan dan pemodal dari luar yang menyediakan bibit. Peternakan ayam pedaging bisa menyerap 2 – 10 orang tenaga kerja, tergantung luas dan jumlah kandang yang dimiliki. MS dan EM memiliki 5 buah kandang dengan luas tiap kandang sekitar 1000 m2, bisa menyerap masing-masing 10 orang untuk mengurus peternakannya. CP, MH, dan AR yang memiliki sebuah kandang dengan ukuran sekitar 400 m2, menyerap tenaga kerja sebanyak 2 orang untuk setiap kandang. Villa milik orang kota pun menyerap tenaga kerja dari warga sekitar. Para pemilik villa mempekerjakan seorang warga untuk menjadi penjaga dan villanya.
Pada beberapa kasus, penjaga villa adalah pemilik lama lahan tempat villa itu berdiri. Selain itu, istri penunggu villa akhirnya mendapatkan pekerjaan tambahan yaitu menjadi juru masak ketika pemilik villa datang berkunjung dan berlibur. Konversi lahan pertanian menjadi kolam ikan dan kebun singkong tidak menciptakan lapangan kerja baru karena bisa dijalankan langsung oleh pemiliknya. Hal ini sangat berbeda dengan konversi lahan menjadi peternakan dan villa yang menciptakan lapangan kerja baru di luar pertanian. Bentuk konversi lahan ini menghilangkan kesempatan petani penggarap untuk bekerja di lahan itu. Diversifikasi mata pencaharian sebagai dampak dari konversi lahan pertanian pada akhirnya berpengaruh terhadap isu gender di RW 02. Setelah konversi lahan pertanian, terdapat mata pencaharian baru yang spesifik perempuan. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Desa Gunung Picung yang menyatakan bahwa konversi lahan pertanian pun berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang terjadi di nursery milik orang kota. Nursery itu lebih banyak menyerap tenaga kerja wanita untuk merawat tanaman, karena wanita dianggap lebih rapi dan telaten dibandingkan laki-laki. Warga lokal yang berprofesi sebagai PNS, ABRI, Pensiunan tidak terlalu terpengaruh oleh proses konversi lahan pertanian karena mereka tidak pernah berusaha di bidang pertanian.
7.2
Pendapatan Rumah Tangga Konversi lahan pertanian memberikan dampak yang besar bagi pendapatan
rumah tangga petani. Pendapatan ini digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan anak mereka dan biaya-biaya rumah tangga lainnya. Setelah
konversi lahan terjadi, ada beberapa perubahan dalam pendapatan rumah tangga petani. Para petani ini bisa dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu petani dengan pendapatan meningkat dan tetap.
Tabel 9 Pendapatan petani RW 02 Pendapatan per bulan Sebelum konversi Setelah konversi 1 TJ 700.000 3.000.000 2 MS 5.000.000 16.000.000 3 SR 350.000 600.000 4 SK 750.000 1.000.000 5 OD 400.000 400.000 6 CP 450.000 1.000.000 7 AS 500.000 700.000 8 MH 400.000 750.000 9 AD 500.000 1.500.000 10 BS 500.000 2.000.000 11 AR 500.000 1.000.000 12 EM 6.000.000 20.000.000 13 DD 450.000 1.000.000 14 DN 500.000 1.500.000 15 SL 400.000 700.000 Sumber : hasil penelitian di lapangan No
Nama
Keterangan Naik Naik Naik Naik Tetap Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik
Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga petani meningkat setelah mereka mengkonversi lahan pertaniannya menjadi bentuk pemanfaatan lain di luar pertanian. Hanya satu orang saja yang memiliki pendapatan tetap yaitu OD yang mengkonversi sawah miliknya menjadi rumah dan tempat budidaya tanaman hias. Petani yang berhasil meningkatkan pendapatannya adalah petani yang mengkonversi lahan menjadi peternakan, kolam ikan, pembibitan tanaman hias. SR, SK, dan BS menyatakan bahwa alasan mereka mengkonversi sawah miliknya menjadi kolam ikan adalah untuk menghasilkan pendapatan lebih tinggi dari pada
padi sawah dengan siklus yang lebih singkat. Siklus sawah dari penanaman sampai panen memakan waktu sekitar 4 bulan sedangkan budidaya ikan hanya 2,5 bulan. Selain siklus yang pendek, pendapatan dari kolam ikan pun lebih besar dari sebelumnya. Ikan yang dibudidayakan adalah ikan mas, lele, nila, mujair. Senada dengan mereka, MS pun menyatakan hal yang sama yaitu mengkonversi sawah miliknya menjadi bentuk pemanfaatan lain yang mempunyai siklus pendek dan memberikan pendapatan yang lebih besar. MS menjatuhkan pilihannya pada peternakan ayam pedaging. Siklus ayam pedaging mulai dari bibit sampai siap jual untuk konsumsi adalah 45 hari (1,5 bulan). TJ yang berprofesi sebagai wiraswastawan di bidang arsitektur lanskap pun menyatakan hal yang sama. Pendapatannya meningkat setelah mengkonversi sawah miliknya menjadi tempat budidaya tanaman hias. Tanaman hias ini dijual kepada konsumen dan juga dijadikan bagian dari proyek lanskap. TJ tidak perlu membeli tanaman dari tempat lain karena bisa langsung memanfaatkan tanaman hias yang ada di tempat budidayanya sehingga dia bisa menghemat pengeluaran. Ada juga petani yang meningkat pendapatan rumah tangganya setelah mereka mengkonversi sawah menjadi rumah. Contoh dari kasus ini adalah AS dan AD. Pendapatan mereka bertambah setelah mereka memiliki rumah sendiri yang sekaligus dijadikan sebagai tempat usaha baru. AD dan AS merupakan pendatang dari desa lain yang menikah dengan wanita lokal. Mereka mendapatkan tanah melalui proses jual beli dengan mertuanya. Pada awalnya AD dan AS mengusahakan tanahnya sebagai sawah. Mereka tidak langsung mengkonversi sawah miliknya menjadi rumah dengan alasan waktu itu belum mempunyai biaya yang cukup untuk membangun rumah. Walaupun mengusahakan lahannya untuk
sawah, mereka mempunyai profesi lain di luar pertanian. AD berprofesi sebagai pedagang sedangkan AS sebagai reparator alat elektronik. Petani yang memiliki keterampilan lain di luar bidang pertanian, seperti industri rumah tangga meubel, pembibitan tanaman hias, pembuatan taman (landscape), sopir pun mempunyai kesempatan untuk dapat meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Petani kelompok kedua adalah petani yang tidak mengalami peningkatan pendapatan setelah konversi lahan pertanian terjadi. Petani yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah OD. Dia mengkonversi sawah miliknya menjadi rumah dan tempat budidaya tanaman hias. OD dan TJ mempunyai usaha yang sama pasca konversi lahan yaitu mengusahakan tempat budidaya tanaman hias. Pendapatan TJ meningkat setelah mengkonversi lahan sedangkan pendapatan OD tetap. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu TJ mempunyai lahan yang lebih luas dibandingkan OD. TJ memiliki luas lahan 7200 m2 sedangkan OD hanya 1200 m2. Jenis dan jumlah tanaman hias yang dimiliki oleh TJ pun lebih banyak bila dibandingkan OD. Faktor yang lain adalah TJ memiliki keahlian lain yaitu dalam bidang arsitektur lanskap dan kerajinan tangan yang berupa kursi, meja, tempat tidur dan rak yang terbuat dari bambu, sedangkan OD tidak mempunyai keahlian selain merawat tanaman hias. Hal ini dirangkum dalam tabel 7.2.2. Seiring waktu berjalan, OD tidak mengalami peningkatan pendapatan rumah tangga setelah konversi lahan pertanian terjadi. Sebelum dan sesudah konversi lahan, pendapatan rumah tangganya sekitar Rp 400.000 per bulan.
Tabel 10 Perbandingan peningkatan pendapatan antara TJ dan OD setelah konversi lahan Kriteria Luas lahan Pendapatan per bulan Jenis dan jumlah tanaman
TJ 7200 m2 Rp 3.000.000,Sekitar 300 jenis dengan jumlah total tanaman sekitar 1000 tanaman. Keahlian lain selain Arsitektur lanskap dan merawat tanaman hias kerajinan bambu Sumber : hasil penelitian di lapangan
OD 1200 m2 Rp 400.000 ,100 jenis tanaman dengan jumlah total sekitar 400 tanaman Tidak memiliki keahlian lain
Konversi lahan dari sawah ke pemanfaatan lain di luar pertanian yang terjadi di RW 02 menyebabkan terjadinya diversifikasi mata pencaharian petani sehingga mempunyai dampak yang sangat luas bagi warga baik dalam hal pendapatan, mata pencaharian dan bahkan dampak terhadap lingkungan sekitar. Konversi lahan di satu sisi menghilangkan pekerjaan sedangkan di sisi lain menimbulkan pekerjaan baru. Pekerjaan yang hilang adalah di bidang pertanian, sedangkan pekerjaan yang muncul setelah konversi lahan adalah pekerjaan di peternakan ayam, penjaga villa, pekerjaan di nursery. Konversi lahan pertanian merupakan hal yang wajar dilakukan oleh petani di desa gunung picung untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka. Para petani mengkonversi sawah miliknya menjadi bentuk pemanfaatan lain di luar bidang pertanian, seperti peternakan ayam pedaging,kolam ikan, tempat budidaya tanaman hias, rumah,villa. Pendapatan rumah tangga petani meningkat setelah mereka mengkonversi lahan pertaniannya menjadi bentuk pemanfaatan lain yang lebih efektif dibandingkan menanam padi di sawah.
7.3
Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Lingkungan Konversi lahan pertanian menjadi bentuk usaha baru di RW 02 berdampak
besar terhadap lingkungan sekitar. Peternakan ayam mempunyai dampak berupa pencemaran udara, gangguan lalat dan berkurangnya air untuk pertanian. Sedangkan pembangunan villa dan pabrik air minum menyebabkan berkurangnya ketersediaan air bersih untuk kebutuhan warga sekitar. Peternakan
ayam
pedaging
tidak
mempunyai
hubungan
dengan
perencanaan desa tentang tata guna lahan sehingga peternakan terletak secara acak di dekat pemukiman penduduk. Peternakan ayam pedaging ini adalah keinginan petani untuk memanfaatkan lahannya selain untuk sawah. Peternakan ini merupakan kerja sama antara petani pemilik lahan dengan pemodal/perusahaan dari kota. Peternakan ayam memberikan dampak terhadap lingkungan yang berupa bau tidak sedap yang menyebar ke pemukiman warga di sekitar peternakan. Bau ini muncul pada pertengahan siklus ayam pedaging, sekitar hari ke-20. Pada saat itu, ayam pedaging yang berada di peternakan sudah cukup besar dan mempunyai bobot sekitar 1 kg sehingga membutuhkan air dan pakan yang cukup banyak. Bau itu berasal dari kotoran ayam pedaging yang bercampur dengan air dan sisa-sisa pakan. Bau ini menyebar ke seluruh wilayah RW 02 terbawa oleh angin. Bau itu tercium dengan jelas karena peternakan ayam pedaging RW 02 terletak tidak jauh dari pemukiman penduduk. Pemilik peternakan itu adalah MS, MH, CP, dan AR. Hanya EM yang mempunyai peternakan ayam yang jauh dari pemukiman penduduk.
Peternakan ayam pun memberikan dampak yang lain yaitu menyebabkan gangguan lalat. Gangguan ini terjadi pada pertengahan siklus ayam pedaging bersamaan dengan pencemaran udara. Pencemaran udara dan gangguan lalat itu lebih parah terjadi pada saat musim hujan. Lalat menyebar ke daerah sekitar peternakan, bisa dipastikan bahwa di setiap rumah pasti ada lalat. Respon yang diberikan oleh pemilik peternakan adalah mereka langsung membersihkan peternakan setelah selesai satu siklus. Mereka juga menyemprot lalat dengan disinfektan. Pembersihan kandang dan sarana peternakan ini dilakukan pada peralihan siklus peternakan. Pencemaran udara dan gangguan lalat berkurang dan bahkan hilang setelah pembersihan kandang dilakukan. Dampak lain konversi lahan pertanian terhadap lingkungan adalah berkurangnya ketersediaan air bersih yang berasal dari mata air. Warga RW 02 biasanya menggunakan air dari mata air itu untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk konsumsi, mandi, cuci, dan kakus. Mata air yang semula dimanfaatkan oleh warga sebagai milik publik berubah menjadi sistem pemanfaat private setelah lahan pertanian tempat mata air itu keluar dijual kepada orang kota yang langsung mengkonversinya menjadi pabrik air mineral. Air bersih semakin menipis pun disebabkan oleh mata air yang digunakan oleh warga dipakai untuk mencukupi kebutuhan villa milik orang kota. Setelah mata air itu dimanfaatkan dalam sistem private, warga sekitar tidak mempunyai akses untuk memanfaatkannya lagi. Kini warga menggunakan air dari sumur dan PAM Desa untuk kebutuhan air bersih dan mandi, cuci, kakus. Ketersediaan air yang berupa irigasi pun berkurang seiring konversi lahan pertanian yang terjadi di RW 02. Air untuk pertanian ini bukan berasal dari mata
air yang biasa digunakan oleh warga untuk kebutuhan sehari-hari tapi merupakan aliran air dari RW 05 dan RW 06. Setelah petani pemilik lahan (warga RW 05 dan RW 06) yang dilalui oleh aliran air itu mengkonversi sawah miliknya menjadi peternakan ayam, aliran air dibelokkan ke arah barat dari RW 02 (padahal RW 02 terdapat di sebelah utara dari RW 05 dan 06) sehingga beberapa petani di RW 02 mengalami kesulitan untuk mengairi sawah miliknya. Sebagai contoh dalam kasus ini adalah DN, DD, dan SL yang akhirnya mengkonversi sawah milik mereka menjadi kebun pepaya dan kebun singkong karena kesulitan untuk mendapatkan air untuk mengairi sawahnya. Sama halnya dengan mereka, salah satu alasan TJ mengkonversi sawahnya menjadi tempat budidaya tanaman hias disebabkan oleh berkurangnya ketersediaan air untuk pengairan.
7.4
Ikhtisar Konversi lahan dari sawah ke pemanfaatan lain di luar pertanian yang
terjadi di RW 02 menyebabkan terjadinya diversifikasi mata pencaharian petani sehingga mempunyai dampak yang sangat luas bagi warga baik dalam hal pendapatan, mata pencaharian dan bahkan dampak terhadap lingkungan sekitar. Konversi lahan di satu sisi menghilangkan pekerjaan sedangkan di sisi lain menimbulkan pekerjaan baru. Pekerjaan yang hilang adalah di bidang pertanian, sedangkan pekerjaan yang muncul setelah konversi lahan adalah pekerjaan di peternakan ayam, penjaga villa, pekerjaan di nursery. Konversi lahan pertanian merupakan hal yang wajar dilakukan oleh petani di desa gunung picung untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka. Para petani mengkonversi sawah miliknya menjadi bentuk pemanfaatan lain di
luar bidang pertanian, seperti peternakan ayam pedaging,kolam ikan, tempat budidaya tanaman hias, rumah,villa. Diversifikasi mata pencaharian yang terjadi sebagai bentuk respon dari konversi lahan pertanian ini pun memiliki aspek gender di dalamnya. Setelah konversi lahan terjadi muncul mata pencaharian khusus untuk wanita yaitu merawat tanaman di nursery milik orang kota. Nursery ini menyerap lebih banyak tenaga kerja wanita karena beranggapan wanita lebih telaten dan rapi dalam merawat tanaman dibandingkan laki-laki. Pendapatan petani pemilik lahan setelah konversi terjadi cukup beragam. Rata-rata pendapatan mereka naik, walaupun ada yang memiliki pendapatan tetap. Hal ini disebabkan oleh petani mempunyai keahlian yang terbatas di luar bidang pertanian. Secara umum, peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian hanya terjadi pada pihak-pihak (petani) yang memiliki lahan yang cukup luas yang bisa mereka rubah pola pemanfaatannya menjadi bentuk lain selain sawah. Konversi lahan pertanian pun memberikan dampak terhadap lingkungan sekitar seperti pencemaran udara yang berupa bau, gangguan lalat, berkurangnya ketersediaan air bersih, dan berkurangnya air untuk pertanian. Warga menggunakan air bersih yang bersumber dari mata air yang berada di tidak jauh dari pemukiman mereka untuk kebutuhan sehari-hari. Setelah transfer pemilikan lahan yang berujung pada konversi lahan, mata air itu mengalami perubahan pola pemanfaatan dari sistem publik menjadi sistem private. Mata air itu akhirnya digunakan oleh pemilik baru sebagai bahan baku pabri air mineral sehingga warga sekitar tidak mempunyai akses untuk memanfaatkannya.
Konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh pemiilik lahan bertujuan untuk menambah pendapatan rumah tangga dan mengefisiensikan serta meningkatkan nilai ekonomi lahan pertanian yang mereka miliki.
BAB VIII PENUTUP
8.1
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan konversi lahan sebagai bagian dari dinamika
ekonomi desa yang telah diulas pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Aktor Konversi Lahan Aktor konversi lahan di RW 02 Desa Gunung Picung adalah pemilik lahan yang terdiri dari petani dan pendatang dan Pemerintah Desa. Petani pelaku konversi dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan luasan lahan yang dikonversi, yaitu pertama petani yang mengkonversi seluruh lahan miliknya, kedua petani yang mengkonversi sebagian besar lahannya. Kedua kelompok ini cenderung mengkonversi lahannya secara permanen (jangka panjang). Ketiga petani yang mengkonversi sebagian kecil lahannya. Mereka mengkonversi lahannya untuk sementara (jangka pendek). Pendatang di RW 02 dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu pendatang yang kemudian menjadi warga setempat dan pendatang yang hanya membangun villa. Pendatang yang menjadi warga RW 02 mengkonversi sawah miliknya menjadi rumah tempat tinggal yang sekaligus merupakan tempat usaha. Pemerintah desa mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap proses konversi lahan. Pemerintah bertugas untuk membuat peraturan pertanahan, melakukan pengawasan penggunaan dan pemanfaatan lahan, dan memberikan sanksi atas peraturan yang telah dikeluarkan. Pemerintah Desa Gunung Picung
hanya bisa mengimbau petani dan pemilik lahan dalam pemanfaatan lahannya tetapi tidak bisa melarang mereka untuk mengkonversinya.
Diversifikasi Ekonomi Desa Konversi lahan pertanian di RW 02 lambat laun menyebabkan terjadinya diversifikasi ekonomi desa yang semula berbasis pertanian (sawah) kemudian bergeser menjadi bentuk non pertanian. Bentuk-bentuk usaha baru yang dijalankan oleh petani pemilik lahan setelah proses konversi terjadi antara lain, budidaya tanaman hias, peternakan ayam pedaging, kolam ikan, kebun pepaya, dan kebun singkong. Pemerintah Desa menganggap belum terjadi perubahan yang mendasar dari ekonomi desa yang bergeser dari sawah menjadi non sawah karena masih bergerak di bidang pertanian secara luas.
Diferensiasi Sosial Konversi lahan pertanian pun menyebabkan terjadi diferensiasi sosial di RW 02. Diferensiasi sosial ini terjadi sebagai respon dari diversifikasi mata pencaharian petani. Setelah proses konversi lahan berlangsung, petani pelaku konversi lambat laun berubah mata pencaharian dari yang berbasis sawah menjadi non sawah. Mata pencaharian yang digeluti oleh petani setelah konversi lahan adalah pengusaha (pembibitan dan penjualan) tanaman hias, peternak ayam, pengusaha ikan, pedagang, petani kebun. Bahkan ada petani yang beralih menjadi buruh bangunan, sopir, buruh tani. Konversi lahan pun menciptakan lapangan kerja baru yaitu, pekerjaan di peternakan ayam dan penjaga villa. Diversifikasi mata pencaharian yang terjadi
sebagai bentuk respon dari konversi lahan pertanian ini pun memiliki aspek gender di dalamnya yaitu muncul mata pencaharian khusus untuk wanita yaitu merawat tanaman di nursery milik orang kota. Selain itu, konversi lahan pun menghilangkan pekerjaan di bidang pertanian. Hal ini terjadi pada rumah tangga yang kurang akses terhadap tanah pertanian, dan para petani penggarap. Pergeseran mata pencaharian pada akhirnya memberikan dampak di sisi pendapatan rumah tangga. Para petani dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu pertama petani dengan pendapatan meningkat dan petani yang tidak mengalami peningkatan pendapatan. Secara umum, peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian hanya terjadi pada pihak-pihak (petani) yang memiliki lahan yang cukup luas yang bisa mereka rubah pola pemanfaatannya menjadi bentuk lain selain sawah.
Perubahan Agroekosistem Desa Selain dampak terhadap petani dan warga sekitar, konversi lahan pertanian pun memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan. Setelah konversi terjadi, lahan-lahan yang semula dimanfaatkan untuk pertanian (sawah) lambat laun berubah menjadi peternakan ayam, tempat budidaya tanaman hias, kolam ikan. Perubahan ini kemudian mempengaruhi ketersediaan air untuk irigasi, yang pada akhirnya memaksa petani untuk mengkonversi sawahnya menjadi pertanian kering seperti ditanami pepaya, singkong. Dampak lain terhadap lingkungan antara lain pencemaran udara yang berupa bau yang tidak sedap dan gangguan lalat.
Privatisasi Sumber-Sumber Agraria Privatisasi
sumber-sumber
agraria
khususnya
terjadi
pada
pola
pemanfaatan mata air yang semula digunakan warga sebagai milik publik kemudian beralih menjadi private yaitu dikuasai oleh pihak swasta. Mata air ini digunakan untuk kebutuhan air di villa-villa milik orang kota dan juga digunakan sebagai bahan baku produksi pabrik air mineral. Warga sekitar mata air akhirnya menggunakan air dari sumur dan PAM desa untuk memenuhi kebutuhan seharihari seperti untuk air minum, mandi, cuci, dan kakus (MCK).
8.2
Saran Penulis mengajukan beberapa saran kepada berbagai pihak, yaitu : 1. Bagi Pemerintah agar bisa membuat dan menyusun peraturan tentang konversi lahan pertanian yang mengatur masyarakat desa dan pendatang sehingga bisa kendalikan laju konversi lahan pertanian khususnya konversi menjadi bentuk lain di luar pertanian. Jika peraturan itu sudah ada, agar pemerintah mengoptimalkan peraturan itu dalam mengendalikan laju konversi lahan pertanian. 2. Bagi aparat pemerintah Desa Gunung Picung agar lebih bisa mengawasi proses-proses konversi lahan pertanian dan bisa memberikan saran kepada masyarakat tentang penggunaan dan pemanfaatan lahan milik mereka. 3. Bagi Masyarakat agar bisa memikirkan ulang ketika akan mengkonversi lahan pertanian miliknya menjadi bentuk pemanfaatan lain sehingga tidak mengganggu keseimbangan alam. Selain itu juga diharapkan masyarakat memiliki kelembagaan yang mengatur konversi lahan pertanian.
4. Menggunakan mekanisme konsolidasi lahan untuk mengatur ulang tata guna lahan tanpa merugikan para aktor konversi lahan namun mencegah dampak-dampak lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Tol Picu Konversi Lahan Sawah. Kompas no 140 thn ke-44. 17 November 2008. Asyik, Masri. 1996. Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan, Kondisi Lahan Pertanian Dan Penanggulangan Permasalahannya : Suatu Tinjauan Di Propinsi Jawa Barat dalam Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Lahan dan Air : Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Penyunting : Hermanto et.all. Ilham, Nyak, Yusman Syaukat, dan Supena Friyanto. 2005. Perkembangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya. Jurnal Sosial-ekonomi dan Agribisnis (SOCA) volume 5 no 2 tahun 2005. Faperta Universitas Udayana. Irawan, Bambang. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, Dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 1 – 18 Kustiwan, Iwan. 1997. Konversi Lahan Pertanian Di Pantai Utara Jawa. Prisma 1, Januari 1997. -------------------.1997. Permasalahan Konversi Lahan Pertanian dan Implikasinya Terhadap Penataan Ruang Wilayah Studi Kasus : Wilayah Pantai Utara Jawa. Jurnal PWK Vol.8 No. 1/Januari 1997. Nasoetion, Lutfi I. dan Joyo Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan dalam Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Lahan dan Air : Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Penyunting : Hermanto et.all. Rahmanto, Bambang, Bambang Irawan, dan Nur Khoiriyah Agustin. 2006. Persepsi Mengenai Multi Fungsi Lahan Sawah dan Implikasinya Terhadap Alih Fungsi Ke Penggunaan Non Pertanian. Jurnal Sosialekonomi dan Agribisnis (SOCA) volume 6 no 2 tahun 2006. Faperta Universitas Udayana. Roosita, Elly. 2004. Pertanian Semakin Kehilangan www.kompas.com (diakses tanggal 11 Mei 2006)
Daya
Tariknya.
Rostow, W. W. 1960. The Stage Of Economic Growth in Roberts, J.T. and Amy Hite/Eds. 2000. From Modernization to Globalization : Perspective on Development and Social Change. Massachusetts-USA : Blackwell.
Rustiadi, Ernan dan Reti Wafda. 2005. Masalah Ketersediaan Lahan dan Konversi Lahan Pertanian. Makalah yang disampaikan pada Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. Sitorus, MT Felix. 1998. Penelitian Kualitatif : Suatu Perkenalan. Bogor : Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Anthropologi, dan Kependudukan Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian. Sitorus, MT Felix. 2005. Krisis Paradigma Pertanahan : Masalah Konversi Lahan Pertanian di Indonesia dari Sudut Pandang Sosiologi Agraria. Makalah yang disampaikan pada Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. Soetarto, Endriatmo dan Moh. Shohibudin. Menegaskan Kembali Keharusan Reforma Agraria sebagai Basis Pembangunan Pertanian dan Pedesaan : Agenda untuk Pemerintahan 2004-2009. Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria, Volume 01/Tahun I/2004. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama. Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto. 2005. Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan Sawah Sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya. Makalah yang disampaikan pada Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. Sumaryanto, Hermanto, dan Efendi Pasandaran. 1996. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Pelestarian Swasembada Beras dan Sosial Ekonomi Petani dalam Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Lahan dan Air : Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Penyunting : Hermanto et.all. Supriyadi, Anton. 2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Proses Konversi Lahan Pertanian (Studi Kasus ). Skripsi. Bogor : IPB Suwarno, P. Suryo. 1996. Alih Fungsi Tanah Pertanian Dan Langkah-Langkah Penanggulangannya dalam Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Lahan dan Air : Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Penyunting : Hermanto et.all. Tajerin. 2005. Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Tambak di Jawa Timur. Jurnal Studi Indonesia: Kajian Sosial Humaniora volume 15 no 1 Maret 2005. Lembaga Penelitian Universitas Terbuka. Wiradi, Gunawan. 2002. Reforma Agraria : Perjalanan Yang Belum Berakhir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Insist Pers dan KPA. Witjaksono, Roso. 1996. Alih Fungsi Lahan : Suatu Tinjauan Sosiologis dalam Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Lahan dan Air : Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Penyunting : Hermanto et.all.
Zakaria, Amar K. 2006. Keragaan Kesempatan Kerja Di Sektor Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan: kasus di Desa Tarusa dan Kalabeso, Kabupaten Sumbawa, NTB. Jurnal Sosialekonomi dan Agribisnis (SOCA) volume 6 no 2 tahun 2006. Faperta Universitas Udayana.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Lokasi
Peta RW 02 Desa Gunung Picung
Lampiran 2 Teknik Pengumpulan Data Pertanyaan penelitian
Pokok penelitian Gambaran fisik daerah penelitian
Siapakah pemilik dan pengguna lahan yang mengkonversi lahan pertanian di RW 02 Desa Gunung Picung? Apa faktor-faktor yang melatarbelakangi konversi lahan pertanian menjadi bentuk pemanfaatan lain?
Keragaman sosial ekonomi masyarakat
Jenis-jenis usaha ekonomi penduduk Pemukiman Tenaga kerja
Konversi Lahan Pertanian
Pemanfaatan lahan pertanian yang dimiliki Perubahan penggunaan lahan pertanian Faktor-faktor pemicu konversi lahan pertanian Luas dan ragam sumber-sumber agraria Kualitas dan pemanfaatan sumber-sumber agraria Komposisi dari : Pemilikan lahan Penguasaan lahan Pengolahan dan pemanfaatan Cara memperoleh tanah Transaksi tanah antar penduduk Faktor-faktor penyebab transfer pemilikan lahan Dampak konversi lahan
Kondisi dan potensi sumbersumber agraria
Struktur agraria
Transfer pemilikan lahan
Bagaimana
Data yang dikumpulkan Kondisi geografi dan iklim Fasilitas sosial ekonomi
Dampak konversi
Teknik pengumpulan data a. Pemetaan b. Pengamatan berpartisipasi c. Wawancara mendalam d. Data monografi dan potensi (profil) desa a. Pengamatan berpartisipasi b. Wawancara mendalam
a. Pemetaan b. Pengamatan berpartisipasi c. Wawancara mendalam
a. Pemetaan b. Pengamatan berpartisipasi c. Wawancara mendalam
a. Pemetaan b. Wawancara mendalam
a. Pemetaan b. Wawancara
mendalam
a. Wawancara
dampak konversi lahan lahan pertanian terhadap petani, pemilik lahan dan lingkungan?
terhadap warga sekitar lahan pertanian
mendalam b. Pengamatan berpartisipasi
Apakah ada pencatatan setiap kali konversi dan trasfer lahan pertanian terjadi di Desa ini?
Wawancara mendalam
Lampiran 3. Kuisioner Penelitian Kepada Yth. Responden Penelitian Kuisioner ini digunakan untuk meneliti ”Konversi Lahan Sebagai Startegi Adaptasi Petani”. Mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara (i) untuk mengisi dengan sebenarbenarnya. No. Responden : A. DATA DIRI RESPONDEN 1. Nama Lengkap : 2. Alamat : 3. Jenis Kelamin : 4. Status : 5. Pendidikan : 6. Pekerjaan : 7. Asal : □Penduduk asli 8. Jumlah anggota keluarga. No. Anggota Keluarga Pekerjaan 1. Istri/suami 2. Anak/tanggungan: 1. 2. 3. 4. 5.
□Pendatang Penghasilan/bulan
9. Luas tanah yang dimiliki Bangunan/pemanfaatan a. Rumah b. Sawah c. Kebun d. Kolam ikan e. Lainnya....
Keterangan
Luas
B. MATA PENCAHARIAN Sebelum konversi 1. Mata pencaharian
2. Pendapatan
C. SEJARAH PEMILIKAN TANAH 1.
Cara memperoleh tanah
a. b. c. d.
Jual beli Waris Gadai Lainnya .......
Setelah konversi
2.
Luas lahan yang diperoleh
3.
Harga tanah per m2
4.
Dari mana mendapatkannya
a. Warga lokal ....... b. Pendatang .......
D. SEJARAH PEMANFAATAN TANAH
1. Pemanfaatan
a. b. c. d. e.
2. Berapa kali dirubah
Jumlah a. b. c. d.
3. Tujuan pembelian
Pemilik awal Sawah Kebun Rumah Kolam ikan Lainnya..........
Sekali Dua kali Tiga kali Lainnya....
a. b. c. d. e.
Pemilik baru Sawah Kebun Rumah Kolam ikan Lainnya..........
Luas (m2)
Bentuk
Lampiran 4. Panduan Pertanyaan Penelitian Kepada Yth. Informan Penelitian Panduan Pertanyaan ini digunakan untuk meneliti ”Konversi Lahan Sebagai Startegi Adaptasi Petani”. STAF PEMERINTAH DESA A. DATA DIRI INFORMAN 1. Nama Lengkap 2. Alamat 3. Jenis Kelamin 4. Status 5. Pendidikan 6. Pekerjaan
: : : : : :
B. KONVERSI LAHAN PERTANIAN 1. Bagaimana pola pemanfaatan lahan di desa ini? 2. fasilitas sosial ekonomi dan infrastruktur apa saja yang terdapat di desa? 3. Apakah pekerjaan penduduk desa lebih banyak sebagai pemilik dan penggarap atau hanya sebagai penggarap saja? 4. Apakah di desa ini sering terjadi transfer pemilikan lahan pertanian? 5. Apakah transfer hanya terjadi di kalangan penduduk setempat atau ke tangan pendatang? 6. Apakah ada laporan ke desa atau dilakukan pencatatan setelah terjadi transfer? 7. Apakah di desa ini banyak terjadi konversi lahan pertanian? Siapa yang paling banyak melakukan konversi? 8. Biasanya konversi lahan pertanian menjadi bentuk penggunaan apa? 9. Apakah ada laporan ke desa atau dilakukan pencatatan setelah terjadi konversi? 10. Apakah dampak yang terlihat dari transfer dan konversi lahan yang terjadi terhadap pendapatan dan mata pencaharian penduduk? 11. Apakah ada perbedaan kondisi saat ini dengan 10 atau 5 tahun yang lalu dalam hal pola pemanfaatan lahan pertanian? 12. Apakah ada perubahan dalam hal pendapatan, mata pencaharian, dan struktur masyarakat? 13. Bagaimana strategi hidup pemilik dan pengguna tanah setelah ia mengkonversi tanah pertaniannya? 14. Bagaimana dampak konversi lahan pertanian terhadap warga lain di sekitar lahan pertanian tersebut?
TOKOH MASYARAKAT A. DATA DIRI INFORMAN 1. Nama Lengkap 2. Alamat 3. Jenis Kelamin 4. Status 5. Pendidikan 6. Pekerjaan
: : : : : :
B. KONVERSI LAHAN PERTANIAN 1. Bagaimana pola pemanfaatan lahan di RW 02 ini? 2. Apakah penduduk RW 02 lebih banyak sebagai pemilik dan penggarap atau hanya sebagai penggarap saja? 3. Apakah di RW 02 ini sering terjadi transfer pemilikan lahan pertanian? 4. Apakah transfer hanya terjadi di kalangan penduduk setempat atau ke tangan pendatang? 5. Apakah di RW 02 ini terjadi banyak konversi lahan pertanian? Siapa yang paling banyak melakukan konversi? 6. Biasanya konversi lahan pertanian menjadi bentuk penggunaan apa? 7. Apakah dampak yang terlihat dari transfer dan konversi lahan yang terjadi terhadap pendapatan dan mata pencaharian penduduk? 8. Apakah ada perbedaan kondisi saat ini dengan 10 atau 5 tahun yang lalu dalam hal pola pemanfaatan lahan pertanian? 9. Bagaimana strategi hidup pemilik dan pengguna tanah setelah ia mengkonversi tanah pertaniannya? 10. Bagaimana dampak konversi lahan pertanian terhadap warga lain di sekitar lahan pertanian tersebut?
Lampiran 5 Tabel Jadwal penelitian
Kegiatan
April 2008 1
Lapangan Pengolahan, Analisis data Pengajuan hasil penelitian Perbaikan hasil penelitian Persiapan ujian akhir Ujian Akhir Perbaikan laporan akhir
2
3
4
Mei 1
2
3
Juni 4
1
2
3
Juli 4
1
2
3
Agustus 4
1
2
3
4
Lampiran 6 Rekap Data Responden No
1
TJ
7120
Beli
Mata Pencaharian Sebelum Setelah Konversi Konversi Wiraswasta Wiraswasta
2
MS
6120
Waris, beli
Pengusaha Ikan
Peternak
3
SR
1600
Waris, beli
Sopir
4
SK
1900
Waris, sewa
5
OD
1200
Waris
6
CP
400
7
AS
8
MH
9
AD
10
BS
11
AR
12
Nama
Luas Tanah (M2)
Cara Memperoleh
Pendapatan Sebelum Setelah Konversi Konversi 700.000 3.000.000
bentuk konversi Sawah menjadi tempat budidaya tanaman hias dan kolam ikan Sawah dan kolam ikan menjadi peternakan ayam pedaging, rumah
5.000.000
16.000.000
Pengusaha Ikan
350.000
600.000
Petani Palawija
Wiraswasta
750.000
1.000.000
Wiraswasta
400.000
400.000
Sawah menjadi rumah dan kebun
waris
Sopir, wiraswasta Petani, Sopir
Peternak, sopir
450.000
1.000.000
Sawah menjadi peternakan ayam
200
waris
Petani
500.000
700.000
Sawah menjadi rumah
400
Waris, beli
Petani
400.000
750.000
200
waris
Petani
Reparator Elekronik Peternak, Buruh bangunan Pedagang
500.000
1.500.000
Sawah menjadi peternakan ayam dan kolam ikan Sawah miliknya menjadi rumah
500
Waris, beli
Petani
Pengusaha Ikan
500.000
2.000.000
Sawah menjadi kolam ikan
300
waris
Petani
500.000
1.000.000
Sawah menjadi peternakan ayam
EM
7250
Waris, beli
Petani
Peternak, pedagang Petani, Peternak
6.000.000
20.000.000
Sawah menjadi peternakan ayam
13
DD
300
waris
Petani (sawah)
Petani (kebun)
450.000
1.000.000
14
DN
500
Waris, beli
Petani (sawah)
Petani (kebun)
500.000
1.500.000
15
SL
300
Waris, beli
Petani
Sopir
400.000
700.000
Sawah menjadi kolam budidaya ikan dan warung Sawah menjadi kolam ikan lele
Sawah menjadi kebun pepaya Sawah menjadi kebun pepaya Sawah menjadi kebun singkong