ANALISIS DAMPAK KONVERSI LAHAN PERTANIAN KE NON-PERTANIAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI DI KELURAHAN MULYAHARJA, KOTA BOGOR
GILANG PUTRI REMBULAN
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian ke Non-Pertanian terhadap Pendapatan Petani di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013
Gilang Putri Rembulan NIM H44090055
ABSTRAK GILANG PUTRI REMBULAN. Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian ke Non-Pertanian terhadap Pendapatan Petani di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. Dibimbing oleh NINDYANTORO. Konversi lahan pertanian dapat mempengaruhi pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat seperti yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor kebijakan penyebab konversi lahan pertanian, mengkaji potensi manfaat dan kerugian dari konversi lahan pertanian, serta menganalisis dampaknya terhadap pendapatan petani. Penelitian ini menggunakan metode content analysis, deskriptif, serta melihat aspek peluang kerja, produktivitas, dan perubahan pendapatan petani. Pengamatan dan wawancara dilakukan kepada stakeholder pemerintah Kota Bogor dan kepada petani yang melakukan usaha tani pada lahan pertanian. Sampel diambil dengan metode simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktorfaktor penyebab konversi lahan pertanian adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah akibat tingginya jumlah penduduk Kota Bogor, adanya pengembangan lahan untuk kegiatan jasa dan perdagangan yang merupakan salah satu implementasi visi Kota Bogor sebagai Kota Jasa, dan tingginya investasi pada non-sektor pertanian. Manfaat dari konversi lahan pertanian ini yaitu memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor, terutama terhadap Pajak Bumi Bangunan (PBB) Kelurahan Mulyaharja dengan persentase 75% dari total PBB per tahun. Sebaliknya, potensi hilangnya nilai fungsi tenaga kerja akibat konversi lahan pertanian pada petani lahan sawah yaitu Rp 51 814 366.67/tahun dengan kehilangan upah sebesar Rp 1 656 638 095.24/tahun. Pada petani lahan kering yaitu Rp 15 703 442.11/tahun dengan kehilangan upah Rp 550 235 714.29/tahun. Perubahan produktivitas hasil pertanian pada petani lahan sawah sebesar Rp 20 325 200/ha dengan kehilangan pendapatan Rp 1 623 989.60/ton/ha. Pada petani lahan kering nilai turunnya produktivitas yaitu Rp 16 836 480/ha dengan kehilangan pendapatan Rp 1 312 288.77/ton/ha. Kata kunci: konversi lahan pertanian, petani, pendapatan petani
ABSTRACT GILANG PUTRI REMBULAN. The Impact Analysis of Conversion of Agricultural Land to Non-Agricultural on Farmer's Income in Mulyaharja Regency, Bogor City. Supervised by NINDYANTORO. Conversion of agricultural land can affect to the social and economic aspects of society, as happened in Mulyaharja Regency, Bogor City. The purposes of study were to identify the policy factors conversion of agricultural land, to examine the benefits and disadvantages of conversion of agricultural land, and to analyze the impact on farmer's income. This survey used several tools, such as the content analysis, descriptive, and then the aspect of job opportunities, productivity, and changes on farmer’s income. Observations and interviews were conducted to stakeholders in Bogor City government and the farmers who farm on agricultural land. Samples were taken by simple random sampling method. The results showed that the cause factors of the conversion of agricultural land were the expansion of housing and service sectors. The benefits of conversion of agricultural land are contributes to the Gross Regional Domestic Product (GRDP) Bogor City, especially to Land and Building Tax (LBT) in Mulyaharja Regency with a percentage is 75% of the total LBT per year. In contrast, the potential loss from conversion to function of labor on wetland is Rp 51 814 366.67/year with lost wage is Rp 1 656 638 095.24/year. Then, in the dryland farmer is Rp 15 703 442.11/year with loss of wage is Rp 550 235 714.29/year. The changes in agricultural productivity on the wetland farmer is Rp 20 325 200/hectar and the loss of income is Rp 1 623 989.60/ton/hectar. In the dryland farmer, decreasing of productivity value is Rp 16 836 480/hectar and the loss of income is Rp 1 312 288.77/ton/hectar. Key words: conversion of land agricultural, farmer, farmers' income
ANALISIS DAMPAK KONVERSI LAHAN PERTANIAN KE NON-PERTANIAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI DI KELURAHAN MULYAHARJA, KOTA BOGOR
GILANG PUTRI REMBULAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi: Analisis Oampak Konversi Lahan Pertanian ke Non-Pertanian terhadap Pendapatan Petani di Kelurahan Mulyaharja. Kota Bogor. Nama
; Gilang Putri Rembulan
NIM
: H44090055
Disetujui oleh
. Nindyantoro, MSP Pembimbing
Tanggal lulus:
1 2 SEP 2013
Judul Skripsi: Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian ke Non-Pertanian terhadap Pendapatan Petani di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. Nama
: Gilang Putri Rembulan
NIM
: H44090055
Disetujui oleh
Ir. Nindyantoro, MSP Pembimbing
Diketahui oleh
Dr.Ir.Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Bidang penelitian yang menjadi fokus penulis adalah Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian ke Non-Pertanian terhadap Pendapatan Petani di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:
Kedua orang tua tercinta yaitu Ibu Siti Halimah dan Bapak Agus Mucharom Kuswara, beserta kedua kakak (Ir. Anggraeni Kusumah dan Dessy Lestari, SE) yang selalu memberikan didikan, dukungan, doa, dan kasih sayangnya.
Bapak Ir. Nindyantoro, MSP selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta Ibu Dr. Mety Ekayani, SHut, MSc dan Bapak Benny Osta Nababan, SPi, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
Kantor Kesbang, DPRD, Dinas Pertanian, Bappeda, BPN, Dispenda, BPS, PPL, Kelurahan, Kepala RT/RW, dan petani-petani yang telah memberikan masukan dan bantuan selama pengumpulan data.
Keluarga besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM IPB khususnya dosen-dosen ESL dan rekan-rekan ESL 46 atas semua dukungan dan bantuannya.
Romil Sudin yang selalu memberikan dukungan dan motivasi dalam situasi dan kondisi apapun.
Teman terdekat, Arum, Aisya, Intan, Bida, April, Adin, Reyna, Putri, dan Nadia yang selalu menjadi teman baik dan selalu memberikan semangat. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini, sehingga segala saran dan kritik penulis terima. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak terkait dan para pembaca.
Bogor, September 2013
Gilang Putri Rembulan
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ..... ..................................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
iv
PRAKATA........... .............................................................................................
v
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR . .....................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xi
I.
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah..........................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian..............................................................................
5
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
7
2.1. Konsep Lahan dan Manfaat Lahan Pertanian ..................................
7
2.2. Konsep Petani ...................................................................................
9
2.3. Konversi Lahan ................................................................................
9
II.
2.4. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 11 III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................... 14 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................... 14 3.1.1. Teori von Thunen (1826-1850) ............................................ 14 3.1.2. Conflicting Land Use............................................................ 16 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional..................................................... 17 IV. METODE PENELITIAN........................................................................ 21 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................ 21 4.2. Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 21 4.3. Metode Pengambilan Contoh ........................................................... 21 4.4. Metode dan Prosedur Analisis Data ................................................. 22 4.4.1. Content Analysis ................................................................... 23 4.4.2. Deskriptif Kuantitatif ........................................................... 23 4.4.3. Dampak terhadap Peluang Kerja Petani ............................... 23
4.4.4. Pendekatan Produktivitas dan Perubahan Pendapatan ......... 25 V.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .................................. 30 5.1. Kondisi Geografis Kelurahan Mulyaharja ....................................... 30 5.2. Kependudukan ................................................................................. 32 5.3. Kondisi Pertanian............................................................................. 33 5.4. Karakteristik Umum Responden...................................................... 34 5.4.1. Usia Petani ........................................................................... 34 5.4.2. Pendidikan ........................................................................... 35 5.4.3. Pengalaman Usaha Tani....................................................... 36 5.4.4. Luas Lahan Pertanian........................................................... 37 5.4.5. Status Lahan Pertanian......................................................... 38
VI. KEBIJAKAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN ............................ 40 VII. MANFAAT DAN KERUGIAN KONVERSI LAHAN ........................ 47 7.1
Perkembangan Penggunaan Lahan Pertanian di Kota Bogor .......... 47
7.2
Manfaat Ekonomi dari Konversi Lahan Pertanian .......................... 48 7.2.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) .......................... 48 7.2.2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ....................................... 51
7.3
Potensi Kerugian terhadap Peluang Kerja Petani ............................ 53
VIII. PENDEKATAN
PRODUKTIVITAS
DAN
PERUBAHAN
PENDAPATAN ....................................................................................... 58 IX.
SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 61 9.1
Simpulan .......................................................................................... 61
9.2
Saran… ............................................................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 63 LAMPIRAN ...................................................................................................... 65
DAFTAR TABEL Halaman
Nomor 1
Luas lahan menurut jenis pengairan dan penggunaannya di Provinsi Jawa Barat Tahun 2006-2010 .......................................
2
Perkembangan jumlah penduduk Kota Bogor hasil sensus penduduk 1971–2010 ..................................................................
3
2
3
Perkembangan jumlah dan kepadatan penduduk di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2010-2011 .................................
4
4
Sintesis penelitian terdahulu .......................................................
13
5
Jenis dan sumber data serta metode analisis yang digunakan.....
22
6
Matriks perubahan pendapatan petani ........................................
28
7
Penggunaan lahan di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2011.............................................................................................
8
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2011 ..........................................
9
35
Pengalaman usaha tani responden lahan sawah dan lahan kering Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013..............
11
32
Usia petani responden lahan sawah dan lahan kering Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 ..........................................
10
31
37
Content analysis Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2009 .................................................................................
42
12
Proyeksi jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2013-2031 ..........
43
13
Content analysis Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 .................................................................................
14
Perkembangan penggunaan tanah pertanian di Kota Bogor tahun 2006-2011 .........................................................................
15
46
47
Perubahan penggunaan tanah pertanian di Kota Bogor tahun 2006-2011 ...................................................................................
48
16
Perkembangan PDRB Kota Bogor tahun 2006-2011 (Rp) .........
49
17
Kontribusi sektor terhadap PDRB Kota Bogor tahun 20092011 (%)......................................................................................
50
18
Kontribusi sektor terhadap PDRB Kecamatan Bogor Selatan atas dasar harga berlaku tahun 2010-2011 (%) ...........................
51
19
Pertumbuhan PAD dan APBD Kota Bogor tahun 2009-2011 ....
51
20
Target dan realisasi bagi hasil PBB Kota Bogor tahun 20062011 .............................................................................................
21
Kebutuhan tenaga kerja pada lahan sawah di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 ...........................................
22
56
Perubahan pendapatan petani lahan sawah di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 ...........................................
25
55
Potensi upah yang dapat hilang akibat konversi lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 .....................
24
54
Kebutuhan tenaga kerja pada lahan kering di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 ...........................................
23
52
58
Perubahan pendapatan petani lahan kering di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 ...........................................
58
DAFTAR GAMBAR Halaman
Nomor 1
Pola pemanfaatan lahan ..............................................................
2
Perbedaan land rent dan jarak berdasarkan penggunaan lahan
15
menurut jenis komoditi ...............................................................
16
3
Perbedaan penggunaan lahan ......................................................
18
4
Alur kerangka pemikiran ............................................................
21
5
Persentase pendidikan petani responden lahan sawah dan lahan kering Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013..............
6
Luas tanam lahan sawah dan lahan kering oleh petani responden Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 .......
7
36
38
Status kepemilikan lahan sawah dan lahan kering petani responden Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 .......
39
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Nomor 1
Peta wilayah Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor.......................
65
2
Waktu pelaksanaan penelitian .....................................................
66
3
Tahapan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Bogor Tahun 2005-2025 .....................................
4
67
Peta rencana pengembangan lahan di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor ..................................................................................
69
5
Nilai fungsi lahan sawah sebagai penyedia lapangan kerja ........
70
6
Nilai fungsi lahan kering sebagai penyedia lapangan kerja ........
71
7
Produktivitas padi lahan sawah ...................................................
73
8
Produktivitas palawija pada lahan kering ....................................
74
1
I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Sumber daya lahan merupakan modal dasar dan utama dalam mendukung suatu kegiatan produksi pertanian. Secara umum, lahan pertanian memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung baik yang berhubungan dengan ekonomi, sosial, maupun dengan lingkungan. Adanya peningkatan jumlah penduduk dan tuntutan pertumbuhan ekonomi membuat lahan semakin memberikan arti penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian, misalnya
menjadi
areal
pemukiman, industri, jasa, dan
perdagangan merupakan bentuk nyata dari konsekuensi kebutuhan manusia yang terus mengalami peningkatan. Hal tersebut karena sumber daya lahan memiliki nilai yang semakin tinggi, terutama di sekitar wilayah urban maupun yang terkena dampak urbanisasi. Konversi lahan pertanian yang terus-menerus berlangsung selain dapat menyebabkan dampak negatif yang signifikan terhadap ketahanan pangan, juga dapat mempengaruhi pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat, serta masalah lingkungan. Hal ini dapat terjadi karena konversi lahan pertanian sebagian besar hanya
berorientasi
pada
kepentingan
ekonomi
jangka
pendek
tanpa
memperhitungkan berbagai jenis dan besaran manfaat penting, seperti nilai pasif yang melekat pada lahan pertanian yang bisa saja berkurang atau bahkan hilang pada beberapa tahun kemudian. Dengan kata lain, konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang dapat terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung (Munir 2008). Data hasil audit lahan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa sepanjang tahun 2008 hingga 2010 laju konversi lahan sawah di Pulau Jawa sebesar 600 ribu hektar atau secara rata-rata mencapai 200 ribu hektar per tahun1. Selain itu khusus di daerah Jawa Barat sendiri, luas lahan pertanian menurut jenis pengairan dan penggunaannya
1
http://bbppbatu.bppsdmp.deptan.go.id. diakses pada tanggal 6 November 2012.
2 mengalami penurunan saat memasuki tahun 2009 dan 2010 (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan lahan pada sektor pertanian di Pulau Jawa khususnya di Provinsi Jawa Barat sudah beralih fungsi untuk kepentingan sektorsektor lain yang lebih memberikan manfaat ekonomi. Pada Tabel 1 tersebut lahan pertanian dibagi menjadi dua kategori, yaitu lahan sawah dan lahan kering. Lahan sawah adalah lahan pertanian berpetak-petak yang dibatasi oleh pematang dan terdapat saluran untuk menahan/menyalurkan air, biasanya ditanami tanaman padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status tanah tersebut. Berdasarkan pengairannya, lahan sawah dibedakan menjadi lahan sawah irigasi dan lahan sawah non-irigasi. Sebaliknya, lahan kering digunakan untuk usaha pertanian yang membutuhkan air dalam jumlah terbatas dan bergantung pada hujan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman. Contoh lahan kering adalah tegalan dan ladang. Tabel 1 Luas lahan menurut jenis pengairan dan penggunaannya di Provinsi Jawa Barat tahun 2006-2010 Penggunaan lahan (ha)
No A
B
Luas lahan sawah Sawah irigasi Sawah non-irigasi Luas lahan kering Tegal/kebun Ladang/huma
2006 926.782 750.487 176.295 791.617 548.182 243.435
2007 934.845 756.991 177.854 850.158 610.660 239.498
Tahun 2008 945.544 762.594 182.950 798.314 576.565 221.749
2009 937.426 759.552 177.874 797.087 563.015 234.072
2010 930.268 755.956 174.312 787.951 561.150 226.801
Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat (2011)
Tabel 1 memperlihatkan bahwa sifat kelangkaan sumber daya lahan pertanian jelas semakin meningkat dari waktu ke waktu, sehingga penilaian manfaat lahan pertanian harus mempertimbangkan keberlanjutannya. Perlunya perencanaan jangka panjang dalam pengaturan penggunaan lahan pertanian secara proporsional sesuai dengan potensi dan daya saing wilayah dapat berguna untuk meningkatkan efekftivitas pemanfaatan sumber daya lahan secara lestari dan menguntungkan. Kondisi yang demikian dapat tercapai salah satunya dari peran andil positif pemerintah daerah dalam mempertahankan fungsi lahan sesuai dengan
penggunaannya.
Untuk
itu,
komitmen
pemangku
kepentingan
3 (stakeholder) dalam mengelola sumber daya secara lestari sangat penting untuk dilaksanakan. Kota Bogor memiliki luas wilayah sekitar 118.50 km² dengan rata-rata kepadatan penduduknya sebesar 8 020 jiwa/km² (BPS Kota Bogor 2011). Berdasarkan perkembangan jumlah penduduk Kota Bogor dari hasil sensus penduduk tahun 1971 sampai dengan tahun 2010 (Tabel 2), menunjukan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor dari tahun ke tahun semakin meningkat. Peningkatan pertumbuhan penduduk yang lebih tajam yaitu pada saat memasuki tahun 2000 yang mencapai 750 819 jiwa. Hal ini terjadi karena salah satunya pada tahun yang sama terdapat penambahan kecamatan baru di wilayah Kota Bogor yaitu Kecamatan Tanah Sareal yang memiliki jumlah penduduk tertinggi ketiga sebesar 136 542 jiwa (BPS Kota Bogor 2011). Tabel 2 Perkembangan jumlah penduduk Kota Bogor hasil sensus 1971-2010 Tahun Kecamatan 1971 1980 1990 2000 Bogor Selatan 39 388 50 924 52 061 147 507 Bogor Timur 35 617 51 531 62 403 77 000 Bogor Utara 38 760 39 472 81 046 132 113 Bogor Tengah 36 842 40 750 35 393 91 230 Bogor Barat 45 275 64 269 40 808 166 427 Tanah Sareal 136 542 Kota Bogor 195 882 246 946 271 711 750 819
penduduk
2010 181 392 95 098 170 443 101 398 211 084 190 919 950 334
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bogor (2011)
Kenaikan pertumbuhan jumlah penduduk tersebut karena Kota Bogor merupakan salah satu daerah penyangga ibu kota negara dan didukung oleh letaknya yang strategis dari pusat pemerintahan, sehingga membuat Kota Bogor menjadi daerah yang memberikan daya tarik kepada para pendatang untuk tinggal menetap ataupun menginvestasikan usaha-usaha ekonominya. Hal ini dibuktikan pula dari berkembangnya sarana sosial dan infrastruktur. Oleh sebab itu, kemampuan Kota Bogor yang berpotensi untuk berkembang dalam upaya meningkatkan sumber ekonomi dan pembangunan wilayah daerah, menjadi salah satu penyebab terjadinya konversi lahan pertanian, yang ditunjang pula oleh sumber daya lahan yang masih cukup tersedia.
4 Peningkatan jumlah penduduk di Kota Bogor secara cepat ataupun lambat dapat menyebabkan pergeseran kebutuhan terhadap lahan dari pertanian ke nonpertanian. Hal ini terbukti dari banyaknya lahan di sektor pertanian di Kota Bogor yang beralih fungsi menjadi penggunaan lain di luar sektor pertanian. Seperti yang tertulis pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 bahwa, “makin meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan”2. Kota Bogor memiliki lahan pertanian seluas 3 125 ha, yang terdiri dari lahan bukan sawah seluas 2 374 ha dan lahan sawah seluas 750 ha. Lahan sawah tersebut paling banyak terdapat di Kecamatan Bogor Selatan yaitu seluas 283 ha atau sebesar 37.73% (Kota Bogor dalam angka 2012). Kelurahan Mulyaharja yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan adalah salah satu wilayah yang memiliki potensi pertanian produktif di Kota Bogor. Hal ini karena wilayah Kelurahan Mulyaharja memiliki luas lahan dengan struktur tanah halus lebih besar dibandingkan kelurahan-kelurahan lain yang ada di Kecamatan Bogor Selatan yaitu 418.21 ha (Kecamatan Bogor Selatan dalam angka 2012), sehingga kondisi tanah yang demikian membuat Kelurahan Mulyaharja menjadi cocok untuk kegiatan pertanian, khususnya lahan pertanian sawah. Adapun perkembangan jumlah dan rata-rata kepadatan penduduk di Kelurahan Mulyaharja pada tahun 2010 sampai tahun 2011 berdasarkan data statistik daerah Kecamatan Bogor Selatan dalam angka 2012 sebagai berikut. Tabel 3 Perkembangan jumlah dan kepadatan penduduk di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2010-2011 Luas wilayah Jumlah penduduk Kepadatan penduduk Tahun (km²) (jiwa) (jiwa/km²) 2010 4.79 18 164 3 792 2011 4.79 18 739 3 912 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bogor (Hasil Sensus Penduduk 2010 dan Angka Proyeksi Penduduk)
2
Dikutip dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009d Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
5 Akibat pertumbuhan penduduk yang terus mengalami peningkatan tersebut serta didukungnya oleh kemajuan wilayah pada sektor ekonomi yang dominan di Kecamatan Bogor Selatan, secara perlahan telah mempersempit lahan pada sektor pertanian yang ada di Kelurahan Mulyaharja. Perubahan luas areal pertanian ini khususnya disebabkan karena adanya alih fungsi lahan menjadi perumahan di sekitar wilayah tersebut. Selain itu, dengan kondisi tanah Kelurahan Mulyaharja yang seluruh luas lahannya peka terhadap erosi, dampak pengalih fungsian lahan pertanian dalam jangka panjang dapat menyebabkan lahan yang masih bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi terganggu bahkan menurunkan hasil produksi usaha tani. 1.2
Perumusan Masalah
Meningkatnya kelangkaan lahan akibat pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meningkatnya permintaan lahan yang relatif tinggi untuk kegiatan nonpertanian menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian. Lahan pertanian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan sawah dan lahan kering untuk tanaman palawija yang umumnya produktif dimanfaatkan dalam usaha tani di wilayah objek penelitian. Penulis merumuskan permasalahan yang menyebabkan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian sehingga berpengaruh pada pendapatan petani di Kelurahan Mulyaharja yaitu: 1. Faktor-faktor kebijakan apa yang menjadi penyebab konversi lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor? 2. Bagaimana potensi manfaat dan kerugian dari konversi lahan pertanian ke non-pertanian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor? 3. Bagaimana dampak konversi lahan pertanian ke non-pertanian terhadap pendapatan petani? 1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah:
6 1. Mengidentifikasi faktor-faktor kebijakan penyebab konversi lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. 2. Mengkaji potensi manfaat dan kerugian dari konversi lahan pertanian ke nonpertanian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. 3. Menganalisis dampak konversi lahan pertanian ke non-pertanian terhadap pendapatan petani. 1.4
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan hanya dalam ruang lingkup sebagai berikut: 1. Lahan pertanian yang dikonversi adalah lahan sawah untuk tanaman padi dan lahan kering untuk tanaman palawija dengan jenis tanaman satu musim tanam. 2. Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan lahan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kota Bogor. 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor untuk mengkaji hubungan antara lahan pertanian dengan pendapatan dari hasil pertanian, perumahan, dan jasa lainnya. 4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kota Bogor dan Kelurahan Mulyaharja untuk mengkaji manfaat dari adanya pembangunan perumahan. 5. Kebijakan pemerintah Kota Bogor adalah salah satu faktor eksternal yang memiliki peran besar terhadap perubahan fungsi lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja. 6. Faktor sosial-ekonomi yang menjadi pengaruh dari adanya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. 7. Pendapatan bersih usaha tani padi dan palawija (net farm income) yang merupakan selisih dari pendapatan kotor usaha tani dan pengeluaran total usaha tani.
7
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Konsep Lahan dan Manfaat Lahan Pertanian
Dalam rangka pembangunan ekonomi wilayah, salah satu sumber daya yang pasti akan digunakan adalah lahan. Lahan dan tanah merupakan dua jenis istilah yang berbeda. Tanah merupakan sumber daya alam yang mempunyai sifat fisik, kimia, dan biologi tertentu yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia, misalnya dapat dijadikan sebagai tempat kegiatan usaha seperti pertanian dan mendirikan bangunan. Sebaliknya, lahan secara ekonomi sudah siap untuk diusahakan dan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Lahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan memiliki kualitas seperti topografi, struktur, dan kandungan mineral (Musthikaningtyas 2009). Berdasarkan pengertian lahan tersebut ada beberapa tujuh konsep lahan (Jayadinata 1999), yaitu: 1. Sebagai ruang, memiliki sifat tetap dalam kuantitasnya, tidak dapat dihancurkan, memiliki latitude dan longitude tertentu, serta bersifat tiga dimensi. 2. Sebagai nature, mempunyai akses terhadap sinar matahari, hujan, angin, perubahan iklim, evaporasi, dan kondisi topografi. Selain itu, lahan sebagai nature juga dapat diubah dan dimodifikasi oleh manusia. 3. Sebagai faktor produksi, lahan dapat menghasilkan sumber pangan, papan, bahan bangunan, mineral, dan energi. 4. Sebagai situasi, lahan dapat bermanfaat untuk memberikan akses dan fasilitas transportasi. 5. Sebagai properti, lahan memiliki dasar ketentuan hukum atau legal. Maksudnya adalah suatu area di mana kelompok/individu/negara dapat memperoleh hak milik atau penggunaan dengan tanggung jawab. 6. Sebagai barang konsumsi, lahan dapat dimanfaatkan sebagai ruang parkir, apartemen, ataupun ruang bangunan sewa. 7. Sebagai kapital, dalam hal ini terdapat perbedaan antara lahan dan kapital. Lahan merupakan pemberian alam sedangkan kapital adalah buatan manusia. Selain itu, lahan bersifat tetap dan kapital dapat menyusut.
8 Utomo et al. (1992) dalam Astuti (2011) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan memiliki dua fungsi dasar, yaitu: 1. Fungsi kegiatan budidaya, memiliki makna suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, perkebunan, perkotaan maupun pedesaan, hutan produksi, dan lain-lain. 2. Fungsi lindung, memiliki makna suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan, nilai sejarah, dan budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya. Irawan (2005) menyatakan dalam penelitiannya bahwa secara garis besar manfaat lahan pertanian dibagi atas dua kategori. Pertama, use values atau nilai penggunaan yang dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usaha tani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. Manfaat use values juga dibedakan atas manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung dapat berupa output yang dapat dipasarkan dan berupa manfaat yang nilainya tidak terukur secara empirik atau harganya tidak dapat ditentukan secara eksplisit. Sebaliknya, manfaat tidak langsung berkaitan dengan aspek lingkungan. Kedua, non-use values yang disebut sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan. Maksudnya adalah berbagai manfaat yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik lahan. Selanjutnya, manfaat lahan pertanian yang bersifat tidak langsung atau memiliki fungsi lingkungan dapat disebut sebagai multifungsi lahan pertanian, seperti sebagai pengendali banjir, pencegah erosi dan sedimentasi, pemasok sumber air tanah, pelestari keanekaragaman hayati, pelestari budaya pedesaan, pembersih dan penyejuk udara, tempat rekreasi, dan kesenangan (Yoshida dan Goda 2001) dalam (Irawan et al. 2006). 2.2
Konsep Petani
Petani erat kaitannya dengan lahan pertanian, di mana untuk melakukan usaha taninya diperlukan lahan sebagai faktor utama dan penting sehingga dapat
9 menghasilkan produksi yang diharapkan. Luas lahan pertanian yang digunakan ataupun dimiliki oleh petani sangat menentukan seberapa besar petani dapat berproduksi. Terutama dengan semakin tingginya tingkat industrialisasi, perubahan wilayah menjadi pengkotaan, dan perluasan daerah pemukiman seperti sekarang ini menjadikan petani harus bersaing ketat untuk dapat mempertahankan lahan pertaniannya. Terkait dengan struktur pemilikan lahan, Elizabeth (2007) menjelaskan perubahan struktur sosial petani sebagai akibat dari adanya pengaruh pelaksanaan pembangunan menjadi dua lapisan petani, yaitu: 1. Petani lapisan atas, merupakan petani yang akses pada sumber daya lahan, kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan. 2. Petani lapisan bawah, sebagai golongan mayoritas di pedesaan yang merupakan petani yang relatif miskin dari segi lahan dan kapital, serta hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja. Menurut Shanin (1971) dalam Subali (2005) mencirikan ada empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga (family farm). Kedua, sebagai usaha tani mereka menggantungkan hidupnya kepada tanah. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya yaitu sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas, solidaritas sosial yang kental, dan bersifat meanistik. Keempat, cenderung sebagai pihak yang selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya, dan politik eksternal yang mendominasi mereka. 2.3
Konversi Lahan
Konversi lahan atau disebut juga alih fungsi lahan merupakan suatu bentuk aktivitas yang menyebabkan adanya perubahan struktur penggunaan lahan dari kondisi semula atau awalnya, misalnya dari penggunaan untuk lahan pertanian menjadi lahan industri atau pemukiman. Sumaryanto et al. (1995), menyatakan bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dari dua aspek yaitu menurut pelaku
10 konversi dan menurut prosesnya. Berdasarkan pelaku konversinya dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan dengan motif tindakan yang terdiri dari tiga bagian, yaitu; (a) untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, (b) dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, dan (c) adalah kombinasi antara kedua hal motif tersebut seperti pembangunan rumah tinggal yang sekaligus dijadikan sebagai tempat usaha. Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan. Dalam hal ini, pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha nonsawah atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara tersebut terjadi dalam hamparan yang lebih luas, terkonsentrasi, dan umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Sebaliknya, jika ditinjau menurut prosesnya, konversi lahan sawah dapat pula terjadi secara gradual dan seketika (instant). Alih fungsi secara gradual disebabkan fungsi sawah yang tidak optimal. Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu irigasi atau usaha tani padi di lokasi tersebut tidak dapat berkembang karena kurang menguntungkan. Alih fungsi secara instant pada umumnya berlangsung di wilayah sekitar urban yakni berubah menjadi lokasi pemukiman atau kawasan industri. Berdasarkan faktor penyebab terjadinya konversi lahan, Rusli (1995) dalam Munir (2008) mengungkapkan bahwa adanya keterkaitan antara hubungan pertambahan jumlah penduduk dengan pengalihfungsian lahan. Menurutnya dengan meningkatnya jumlah penduduk, rasio manusia-lahan menjadi semakin besar sekalipun pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan
kebudayaan
suatu
masyarakat.
Pertumbuhan
penduduk
menyebabkan makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, mereka yang tidak memiliki lahan diperkirakan semakin bertambah. Keadaan tekanan penduduk yang berat ini memberikan peluang bagi berkembangnya bentuk-bentuk hubungan penguasaan lahan yang kurang menguntungkan penggarap, sehingga persaingan antara sesama buruh tani semakin sengit dalam mendapatkan kesempatan kerja.
11 Secara ekonomi, Nugroho dan Dahuri (2004) menjelaskan bahwa alih fungsi lahan merupakan sebuah mekanisme yang mempertemukan permintaan dan penawaran terhadap lahan dan menghasilkan kelembagaan lahan baru dengan karakteristik sistem yang berbeda. Alih fungsi lahan dapat berjalan secara sistematis dan sporadis. Peralihan secara sistematis memuat karakter perencanaan dan keinginan publik sehingga luasan lahan hasil peralihan dapat lebih terkendali dan terkonsolidasi dalam kerangka perencanaan tata ruang. Pertemuan permintaan dan penawaran diputuskan dalam suatu kelembagaan yang bertujuan dapat memberikan kepuasan antara pembeli dan penjual atau stakeholder lainnya, seperti pada mekanisme pembangunan kawasan industri, pemukiman, dan sarana infrastrukturnya. Sebaliknya, peralihan lahan secara sporadis lebih kepada individual atau oleh sekelompok masyarakat, sehingga luasan tidak dapat diprediksi dan tidak terkonsolidasi. Selain itu, permintaan dan penawaran yang diputuskan tanpa melalui kelembagaan menyebabkan terjadinya kerugian pada salah satu pihak dan disertai penggunaan lahan yang tidak optimal. 2.4
Penelitian Terdahulu
Subali (2005) melakukan penelitian mengenai pengaruh konversi lahan terhadap pola nafkah rumah tangga petani di Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan adanya konversi lahan pertanian menyebabkan terjadinya perubahan struktur kerja rumah tangga petani. Konversi lahan yang dilakukan penduduk Batujajar tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendidikan, peluang kerja, dan pendapatan. Sebaliknya, faktor eksternal meliputi pengaruh investor, pengaruh tetangga yang menjual lahan terlebih dahulu, aparat desa, dan juga dari calo tanah. Musthikaningtyas
(2009)
melakukan
penelitian
mengenai
dampak
pembangunan properti terhadap kesejahteraan masyarakat di Kota Bogor. Melalui penelitian ini diperoleh bahwa dengan adanya pembangunan properti dapat menguntungkan Pemerintah Kota Bogor karena selain menyerap tenaga kerja di sektor non-pertanian, juga dapat memberikan kontribusi terhadap PDRB melalui sektor konstruksi dan menambah Pendapatan Asli Daerah melalui pajak. Namun
12 di sisi lain, pembangunan properti tersebut cenderung merugikan masyarakat karena dengan adanya pembebasan lahan mengakibatkan masyarakat kehilangan mata pencaharian. Hal ini umumnya dirasakan oleh masyarakat yang bekerja sebagai petani atau petani penggarap. Selain itu, pengembang selaku pengusaha melakukan pembangunan properti untuk kalangan atas, karena keuntungan yang besar dibandingkan pangsa konsumen lainnya. Sadikin (2009) melakukan penelitian tentang analisis dampak konversi lahan pertanian terhadap produksi padi dan land rent di Perumahan Pakuan Regency, Bogor Barat, Kota Bogor. Dari hasil penelitian dinyatakan bahwa adanya pembangunan pemukiman di Kota Bogor ditujukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman dan memenuhi kebutuhan perumahan. Akan tetapi, konversi lahan pertanian menjadi perumahan di Pakuan Regency telah menyebabkan hilangnya akses air irigasi bagi lahan pertanian di bagian hilir aliran air irigasi, hilangnya produksi padi, hilangnya pemasukan dari usaha tani padi, dan menyebabkan terjadinya perubahan nilai land rent. Faktor-faktor yang mempengaruhi land rent pertanian di kawasan perumahan Pakuan Regency adalah luas lahan, penerimaan, dan biaya operasional. Biaya operasional pertanian tersebut merupakan penjumlahan dari biaya sarana produksi dan biaya tenaga kerja, baik tenaga kerja keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga. Sebaliknya, faktor-faktor yang mempengaruhi land rent pemukiman adalah luas lahan, luas bangunan, total penerimaan, biaya operasional, dan pajak. Biaya operasional pada pemukiman merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemilik rumah untuk membiayai rumah yang disewakan.
Filosofianti (2010) melakukan penelitian mengenai kebijakan penataan ruang dan alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Penyelenggaraan penataan ruang di tingkat pelaksana mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian terhadap aturan tata ruang yang telah ditetapkan. Pelaksanaan penataan ruang Kota Bogor dapat disoroti secara spesifik dengan mengacu pada ketersediaan dana pembangunan. Oleh sebab itu, pemanfaatan yang dilakukan oleh swasta pada aspek kebijakan penataan ruang di tingkat pelaksana dan petani tersebut memicu terjadinya perubahan penggunaan lahan di Kampung Cibereum Sunting, yakni dari lahan pertanian menjadi kompleks perumahan. Faktor yang paling
13 mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebut adalah faktor luar,
yakni pihak swasta dan intervensi pemerintah daerah. Dari penelitian di atas maka dapat digolongkan di Tabel 4. Pada tabel ini disimpulkan bahwa penyebab konversi lahan pertanian dapat dilihat dari dua sisi, yaitu berdasarkan daya tarik dan daya dorong. Pada umumnya, daya tarik merupakan faktor yang ditimbulkan dari ruang lingkup eksternal yang memiliki peran/pengaruh lebih besar. Sebaliknya, daya dorong merupakan faktor penyebab yang secara otomatis timbul akibat adanya pengaruh eksternal tersebut. Tabel 4 Sintesis penelitian terdahulu Penyebab konversi Daya tarik
Daya dorong
Variabel konversi Tata ruang, pendapatan non-pertanian, harga tanah yang tinggi, usaha non-pertanian, pajak, dan keuntungan pengembang. Luas lahan pertanian, kesuburan lahan pertanian, harga komoditas pertanian, perubahan tenaga kerja, pendapatan pertanian, besar keluarga, biaya operasional petani, dan faktor sosial.
Sumber: Hasil análisis data (2013)
14
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis pada penelitian ini berisi tentang landasan teori yang dapat mendukung dan membantu memecahkan permasalahan penelitian. Teori-teori yang menjadi landasan berfikir peneliti yaitu teori von Thunen dan teori yang berhubungan dengan conflicting land use. Pada umumnya, kedua teori ini menjelaskan mengenai penggunaan lahan dan kaitannya dengan tata ruang wilayah (lahan). 3.1.1 Teori von Thunen (1826-1850) Von Thunen adalah seorang ahli Ekonomi Pertanian dari Jerman yang mengidentifikasi teori lokasi. Pada teori tersebut, von Thunen menjelaskan bahwa terdapat perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian dan suatu pola produksi pertanian berhubungan dengan pola tata guna lahan di wilayah sekitar pusat pasar atau kota. Pola pemanfaatan lahan merupakan konsep tata ruang yang dikemukakan oleh von Thunen, di mana pada lahan yang berbeda terdapat berbagai penggunaan lahan sesuai dengan lokasi berdasarkan peruntukannya. Pola pemanfaatan lahan tersebut digambarkan sebagai berikut.
1
2 3 4
Gambar 1 Pola pemanfaatan lahan Keterangan gambar: 1. Pusat pertumbuhan (pasar, rumah, palawija, dan ternak kecil) 2. Hutan untuk bahan bakar 3. Gandum dan padi 4. Ternak besar
15 Gambar 1 tersebut menunjukan bahwa lingkaran pertama merupakan wilayah yang berada di pusat kota dan cenderung kepada aktivitas perekonomian. Sebaliknya, untuk lingkaran yang berada pada daerah dua sampai dengan empat adalah wilayah yang lahannya digunakan untuk kegiatan pertanian secara luas. Oleh karena itu, dengan adanya pola penggunaan lahan pada Gambar 1 secara umum menerangkan bahwa setiap lahan memiliki fungsi pemanfaatan yang berbeda tergantung dari keberadaan lahan itu sendiri. Selanjutnya, pola pemanfaatan lahan yang dikemukakan oleh von Thunen di atas dapat digambarkan melalui kurva permintaan berdasarkan jenis komoditi yang berkaitan dengan land rent dan jarak. Kurva permintaan di sini memiliki slope negatif yang menunjukan bahwa semakin jauhnya jarak dari pusat pertumbuhan (titik 0), maka nilai land rent suatu komoditi akan semakin kecil. Hal tersebut terjadi karena semakin besarnya biaya transportasi yang dikeluarkanuntuk menuju pusat kota. Asumsi yang digunakan yaitu setiap komoditi memiliki kesuburan lahan yang sama di setiap jarak. LR housing tomat indifferent point padi
0 X4 X6 X1 Pusat pertumbuhan
kelapa
X2
X3
Jarak (X)
Gambar 2 Perbedaan land rent dan jarak berdasarkan penggunaan lahan menurut jenis komoditi Pada
Gambar
2
di
atas
terdapat
komoditi
housing
(perumahan/pemukiman) yang memiliki land rent lebih besar karena jaraknya yang lebih dekat dengan pusat pertumbuhan (kota). Hal ini sejalan bahwa dengan
16 kota yang akan terus berkembang, menyebabkan terjadinya intensitas perubahan atau spekulasi penggunaan lahan yang memiliki nilai land rent tinggi. Oleh karena itu, jika terjadinya kenaikan pada harga perumahan maka lahan untuk perumahan akan semakin luas sehingga menyebabkan lahan pada sektor pertanian menjadi semakin sempit. 3.1.2 Conflicting Land Use Secara umum, land use (guna lahan) adalah lahan yang dapat digunakan oleh manusia untuk dapat dialokasikan atau dimodifikasi sesuai dengan kebutuhannya, seperti untuk kegiatan pembangunan, pertanian, konservasi, ataupun sebagai akses dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Fungsi guna lahan direpresentasikan untuk dilibatkan dalam aktivitas-aktivitas ekonomi, seperti produksi, konsumsi, perumahan, transportasi, dan kegiatan yang berkaitan dengan ruang lingkup sosial-ekonomi3. Guna lahan adalah hasil kemampuan membayar sewa dari fungsi ekonomi yang memiliki nilai rent berbeda di wilayah kota, seperti industri dan perumahan. Lokasi yang optimal atau kondisi di mana aksesibilitas juga optimal adalah lokasi yang terletak di daerah pusat pertumbuhan ekonomi (CBD). Setiap aktivitas yang mencakup di wilayah desa sekalipun akan selalu berkaitan dengan aktivitas di lokasi pusat ekonomi (kota). Akan tetapi, setiap wilayah tersebut memiliki kapasitas yang berbeda dalam mengoptimalkan lokasi. Adanya fungsi kapasitas yang berbeda dalam memanfaatkan dan menggunakan lahan, sering menimbulkan permasalahan bagaimana lahan itu sendiri dialokasikan.
Ringkasnya,
bahwa
setiap
pemanfaatan
lahan
memiliki
kepentingannya masing-masing dan cenderung berupaya untuk memaksimalkan rente ekonomi (economic rent). Seperti pada Gambar 3 yang menggambarkan perbedaan penggunaan lahan berdasarkan fungsi keberadaannya.
3
http://people.hofstra.edu. diakses pada tanggal 28 Februari 2013.
17 Economic rent housing dairy wheat grazing
Pusat kota
Jarak dari kota
Gambar 3 Perbedaan penggunaan lahan 3.2
Kerangka Pemikiran Operasional
Peningkatan jumlah penduduk pada dasarnya memiliki hubungan timbal balik atau feedback dengan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah atau negara. Tingginya jumlah penduduk dapat memberikan peluang bagi upaya peningkatan pembangunan di sektor ekonomi. Para investor akan lebih tertarik menanamkan modalnya pada suatu wilayah yang memiliki tingkat penduduk yang lebih tinggi karena kegiatan ekonomi di wilayah tersebut dapat menciptakan perekonomian yang lebih hidup dan pesat. Adanya kemajuan dan kedinamisan sistem perekonomian juga memicu terjadinya migrasi masyarakat ke wilayah tersebut untuk mencari pekerjaan ataupun melakukan suatu usaha bisnis, sehingga menimbulkan kecenderungan ketidakmerataan pembangunan ekonomi. Selain itu, peningkatan jumlah penduduk berarti kebutuhan akan sumber daya juga terus meningkat, salah satunya adalah sumber daya lahan. Ketidakmerataan yang terjadi di wilayah tertentu akibat pertumbuhan ekonomi yang sentralistik menciptakan opportunity cost dari penggunaan lahan yang tersedia. Dengan situasi yang demikian, maka kebijakan-kebijakan terhadap penggunaan lahan harus mempertimbangkan aspek fungsi dan manfaat lahan untuk jangka panjang dan harus menghindari dari tingginya cost yang dikeluarkan akibat adanya kerugian dari penataan lahan yang tidak bijak.
18 Lahan yang berada pada wilayah yang memiliki tingkat penduduk tinggi dan perekonomian pesat secara tidak langsung membuat nilai lahan baik di wilayah tersebut maupun di sekitarnya juga semakin tinggi karena keberadaannya dianggap menjadi lebih penting. Seperti halnya di Pulau Jawa, banyak para pemilik lahan pertanian yang telah tertarik menjual lahan mereka kepada perusahaan/pemilik usaha dibandingkan dipertahankan untuk kegiatan pertanian. Bahkan di wilayah pedesaan yang telah terkena dampak dari pertumbuhan perekonomian perkotaan, tidak sedikit lahan pertanian yang kalah berkompetisi dengan peruntukan perumahan mewah ataupun kegiatan komersil lainnya. Pengalih fungsian lahan sebenarnya merupakan hal yang wajar terjadi terutama pada kondisi wilayah yang menuju pengkotaan. Akan tetapi, dapat menjadi suatu masalah jika lahan yang dikonversi tersebut adalah lahan yang produktif untuk kegiatan pertanian. Terlebih lagi bahwa lahan merupakan faktor produksi utama untuk sektor pertanian. Jika semakin banyak lahan yang dikonversi untuk kegiatan non-pertanian, maka lahan yang digunakan untuk lahan pertanian juga akan semakin terbatas keberadaannya. Dalam jangka pendek hal ini mungkin tidak berdampak serius, namun dalam jangka panjang pembangunan yang berlebihan dapat mengakibatkan kondisi over-exploited terhadap daya dukung lahan itu sendiri. Selain itu, hal serupa juga akan menjadi suatu dilema bagi pengguna lahan pertanian khususnya petani dalam menghadapi tantangan tersebut. Lahan sebagai salah satu faktor produksi tetap dalam menghasilkan produk pertanian memiliki arti penting bagi petani karena berkorelasi positif dengan tingkat pendapatannya. Dalam hal ini, jumlah luas lahan pertanian yang tersedia untuk kegiatan usaha tani menjadi salah satu ukuran seberapa besar pendapatan yang dapat diperoleh oleh petani. Oleh karena itu, lahan yang terbatas dapat menimbulkan pergeseran pada struktur ekonomi petani. Selanjutnya, lahan yang merupakan bagian dari sumber daya dan lingkungan sangat bergantung pada kualitas dan kesehatan tanah, yang pada akhirnya dapat menentukan hasil produksi pada sektor pertanian. Semakin rendah kualitas tanah yang digunakan untuk sektor pertanian, misalnya akibat erosi dari pengaruh alih fungsi lahan maka
19 hal tersebut berdampak pada lemahnya ketahanan pangan dan produksi pertanian bagi petani. Dari penjelasan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis dampak konversi lahan pertanian yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor sebagai akibat dari adanya pertumbuhan penduduk di Kota Bogor yang menyebabkan tingginya permintaan kebutuhan perumahan. Langkah awal dalam pelaksanaan penelitian yaitu menganalisis faktor-faktor kebijakan yang menyebabkan konversi lahan pertanian dengan menggunakan content analysis. Konversi lahan pertanian juga baik secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan potensi manfaat dan kerugian. Manfaat konversi lahan ini dapat berupa manfaat ekonomi, seperti PBB dan PDRB. Untuk mengkaji manfaat ekonomi tersebut menggunakan teknik deskriptif kuantitatif yang berguna dalam menganalisis data-data kuantitatif. Berikutnya, potensi kerugian menggunakan analisis dampak peluang kerja yang hilang akibat adanya perubahan penggunaan lahan pertanian ke non-pertanian. Konversi lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja juga menyebabkan perubahan pada produktivitas pertanian dan pendapatan petani. Hal ini disebabkan karena penggunaan lahan pertanian yang semakin sempit. Oleh karena itu, untuk menganalisis perubahan tersebut menggunakan pendekatan produktivitas dan perubahan pendapatan berdasarkan dari hasil usaha tani pertanian. Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, alur kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.
20
20 Pertumbuhan Penduduk
Peningkatan Kebutuhan Lahan
Konversi Lahan Pertanian Menjadi Non-Pertanian
Faktor Kebijakan Penyebab Konversi
Potensi Manfaat dan Kerugian Konversi
Dampak terhadap Hasil Usaha Tani
Content Analysis
Deskriptif Kuantitatif dan Dampak Peluang Kerja Petani
Pendekatan Produktivitas dan Perubahan Pendapatan
Rekomendasi Kebijakan Gambar 4 Alur kerangka pemikiran Keterangan:
Batasan penelitian
21
IV METODE PENELITIAN 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. Pemilihan Kelurahan Mulyaharja sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pengetahuan penulis bahwa sebagian besar lahan pertanian sudah maupun sedang dikonversikan menjadi peruntukan lain, khususnya menjadi perumahan. Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu April hingga Juni 2013. Peta wilayah Kelurahan Mulyaharja dan waktu pelaksanaan penelitian disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. 4.2
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan kuesioner pada petani yang melakukan usaha tani dan kepada beberapa instansi pemerintah Kota Bogor yang memiliki hubungan langsung dengan konversi lahan di lokasi penelitian. Sebaliknya, data sekunder digunakan untuk melengkapi data yang tidak dapat dijelaskan oleh data primer yang dapat diperoleh dari berbagai instansi pemerintah, seperti Dinas Pertanian Kota Bogor, Badan Pertanahan Nasional Kota Bogor, Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor, Badan Pusat Statistik Kota Bogor, Kantor Kelurahan Mulyaharja, instansi-instansi pemerintahan terkait, serta beberapa studi literatur. 4.3
Metode Pengambilan Contoh
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil 60 responden petani yang melakukan usaha tani pada lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor dari total populasi ± 188 petani. Jumlah 60 responden tersebut terdiri dari 30 responden untuk lahan sawah dan 30 responden untuk lahan kering. Penulis mengacu pada Roscoe (1975) dalam Sekaran (2006) bahwa minimal 30 untuk setiap sub-sampel adalah tepat. Teknik pengambilan sample yang dilakukan dengan menggunakan simple random sampling yaitu sample yang diambil secara
22 acak tanpa memperhatikan tingkatan yang ada dalam populasi. Simple random sampling termasuk ke dalam teknik pengambilan probability sampling yang memiliki bias paling sedikit dan memberikan generalisasi paling luas (Sekaran 2006). Teknik wawancara mendalam dengan kuesioner juga ditujukan kepada beberapa tokoh instansi pemerintah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. 4.4
Metode dan Prosedur Analisis Data
Konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja ini dilakukan dengan beberapa analisis data. Metode-metode yang digunakan antara lain deskriptif kualitatif, deskriptif kuantitatif, nilai fungsi tenaga kerja, analisis pendekatan produktivitas, dan perubahan pendapatan petani. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dibantu dengan menggunakan alat bantu berupa kalkulator dan Microsoft Excel 2007. Tabel 5 Matriks metode analisis No 1
2
Tujuan Mengidentifikasi faktor kebijakan penyebab konversi lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. Mengkaji potensi manfaat dan kerugian dari konversi lahan pertanian ke nonpertanian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor.
Jenis data Data Primer dan data sekunder
Sumber data 1. Wawancara dan kuesioner kepada stakeholder 2. Literatur
Metode analisis Content Analysis
Data Primer dan data sekunder
1. Dinas
1. Deskriptif Kuantitatif 2. Dampak terhadap Peluang Kerja Petani
2. 3.
3
Menganalisis dampak konversi lahan pertanian ke non-pertanian terhadap pendapatan petani.
Data Primer dan data sekunder
1.
2.
Sumber: Penulis (2013)
Pemerintah Kota Bogor terkait Kantor Kelurahan Mulyaharja Wawancara dan kuesioner untuk petani Wawancara dan kuesioner pada petani yang melakukan usaha tani Kantor Kelurahan Mulyaharja
Pendekatan Produktivitas dan Perubahan Pendapatan
23 4.4.1 Content Analysis Pada penelitian ini, content analysis atau analisis isi adalah salah satu metode kualitatif yang digunakan untuk membahas secara mendalam mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor dan peraturan daerah yang berkaitan dengan faktor kebijakan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. Dengan diketahuinya hasil dari content analysis, maka dapat mengidentifikasi faktor kebijakan konversi lahan pertanian yang selanjutnya berguna untuk mengetahui dampaknya di lokasi penelitian. 4.4.2 Deskriptif Kuantitatif Data kuantifikasi manfaat dari konversi lahan pertanian ini sangat diperlukan karena untuk mengetahui dan menganalisis besaran manfaat ekonomi, sehingga dapat memperkuat faktor ekonomi terjadinya konversi lahan pertanian. Manfaat dari adanya konversi lahan pertanian menjadi perumahan di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor ini ditinjau dari dua indikator ekonomi, yaitu PBB dan PDRB. PDRB adalah salah satu indikator ekonomi yang digunakan untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan struktur perekonomian, baik secara makro maupun secara sektoral menurut lapangan usaha yang terdapat pada wilayah tersebut. Sebaliknya, PBB adalah suatu jenis pajak yang dipungut kepada orang pribadi ataupun badan yang memiliki hak, menguasai, dan memperoleh manfaat atas tanah atau bangunan. Jika kedua hal tersebut memiliki nilai positif atau meningkat, maka dengan adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dapat memberikan kontribusi ekonomi untuk wilayah Kota Bogor maupun Kelurahan Mulyaharja. 4.4.3 Dampak terhadap Peluang Kerja Petani Sektor pertanian memiliki fungsi sebagai penyedia lapangan kerja, baik yang berkaitan dalam produksi usaha tani (on-farm) maupun yang berkaitan di luar aktivitas usaha tani (off-farm). Kondisi di lokasi penelitian menunjukkan bahwa adanya konversi lahan pertanian menyebabkan kehilangan kesempatan kerja petani pada lahan pertanian. Oleh karena itu, penulis mengkaji potensi kerugian pada lahan pertanian sebagai fungsi sosial. Pada awalnya, untuk
24 mengetahui kebutuhan tenaga kerja pertanian (lahan sawah dan lahan kering) dan proporsi jenis serta sumber tenaga kerjanya, dapat menggunakan persamaan sebagai berikut (Irawan 2007): 1.
Kebutuhan tenaga kerja Petani lahan sawah TK ls =
HK x IP … … … … … … … … … … … … … … … . . … … … … . . … … … (1)
Keterangan: TK ls = tenaga kerja petani lahan sawah (HKP/ha/tahun) HK = banyaknya jumlah hari kerja (HOK)/ha IP
= indeks pertanaman (%/tahun) pada lahan sawah
Petani lahan kering TK lk =
HK x IP … … … … … … … … … … … … … … … . . … … … … … . . … … (2)
Keterangan: TK lk = tenaga kerja petani lahan kering (HKP/ha/tahun) HK = banyaknya jumlah hari kerja (HOK)/ha IP 2.
= indeks pertanaman (%/tahun) pada lahan kering
Proporsi tenaga kerja petani Berdasarkan sumber tenaga kerja TKW Keluarga + TKP Keluarga x 100% … … . … … … … … … … . (3) TKP + TKW TKW Upahan + TKP Upahan TKU = x 100% … … … … … … … … … … … (4) TKP + TKW
TKK =
Keterangan: TKK = tenaga kerja keluarga (%) TKU = tenaga kerja upahan (%) Berdasarkan jenis tenaga kerja TKP (keluarga + upahan) x 100% … … … . . … … … … … … . … . . . (5) TKP + TKW TKW (keluarga + upahan) TKW = x 100% … … … … … … … … … . … . . . (6) TKP + TKW TKP =
25 Keterangan: TKP
= tenaga kerja pria (%)
TKW = tenaga kerja wanita (%) Selanjutnya, untuk menghitung nilai lahan pertanian sebagai penyedia lapangan kerja yang hilang akibat konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian, penulis juga mengacu pada Irawan (2007) yang disesuaikan berdasarkan pada kondisi di lokasi penelitian yaitu: 𝑛
𝑁𝐹𝑇𝐾 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑤𝑎ℎ =
(𝑇𝑖 𝑥 𝑊𝑖 𝑥 𝐼𝑃𝑖 𝑥 𝐿𝑠𝑖 ) … … … … … … … … … … … … … (7) 𝑖=1
Di mana: 𝑁𝐹𝑇𝐾𝑙𝑠 = Nilai fungsi tenaga kerja pada lahan sawah 𝑇𝑖
= Kebutuhan tenaga kerja usaha tani (HOK/ha)
𝑊𝑖
= Upah kerja (Rp/HOK)
𝐼𝑃𝑖
= Indeks pertanaman (%/tahun)
𝐿𝑠𝑖
= Luas lahan sawah pada unit lahan-i (ha)
𝑛
= Jumlah responden 𝑛
𝑁𝐹𝑇𝐾 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 =
𝑇𝑗 𝑥 𝑊𝑗 𝑥 𝐼𝑃𝑗 𝑥 𝐿𝑘𝑗 … … … … … … … … … . … … … (8) 𝑗 =1
Di mana: 𝑁𝐹𝑇𝐾𝑙𝑘 = Nilai fungsi tenaga kerja pada lahan kering 𝑇𝑗
= Kebutuhan tenaga kerja usaha tani (HOK/ha)
𝑊𝑗
= Upah kerja (Rp/HOK)
𝐼𝑃𝑗
= Indeks pertanaman (%/tahun)
𝐿𝑘𝑗
= Luas lahan kering tanaman palawija pada unit lahan-j (ha)
𝑛
= Jumlah responden
4.4.4 Pendekatan Produktivitas dan Perubahan Pendapatan Pendekatan produktivitas atau yang disebut juga pendekatan nilai pasar adalah pendekatan yang digunakan untuk menilai dampak penurunan produksi. Pada penelitian ini yaitu penurunan produksi pertanian akibat adanya alih fungsi lahan menjadi perumahan. Pendekatan produktivitas mengacu pada penentuan
26 ganti rugi berdasarkan perubahan produktivitas sebelum dan setelah terjadinya kerusakan. Oleh karena itu, peneliti menggunakan metode yang digunakan Sihite (2001) dalam menilai penurunan produktivitas yang telah disesuaikan berdasarkan kondisi di lokasi penelitian, yaitu: 1.
Produktivitas pada lahan sawah 𝑛
𝑛
𝑃𝐻𝑃𝑇𝑠 =
𝑃𝐻𝑃𝑇𝐵𝑖𝑗 − 𝑃𝐻𝑃𝑇𝑆𝑖𝑗 𝑥 𝐿𝑇𝑃𝑖𝑗 𝑥 𝐻𝑃𝑇𝑖𝑗 … … … … … . . (9) 𝑖=1 𝑗 =1
Di mana: 𝑃𝐻𝑃𝑇𝑠
= Nilai kerugian turunnya hasil panen tanaman pertanian lahan sawah
𝑃𝐻𝑃𝑇𝐵𝑖𝑗 = Jumlah hasil panen tanaman ke-i per hektar sebelum konversi pada setiap lahan j (kg/ha) 𝑃𝐻𝑃𝑇𝑆𝑖𝑗 = Jumlah hasil panen tanaman ke-i per hektar setelah konversi pada setiap lahan j (kg/ha) 𝐿𝑇𝑃𝑖𝑗
= Luas tanaman ke-i sekarang pada setiap lahan j (ha)
𝐻𝑃𝑇𝑖𝑗
= Harga produksi tanaman ke-i sekarang pada setiap lahan j (Rp/kg)
2.
𝑖
= Jenis tanaman pada lahan sawah
𝑗
= Areal pertanian di Kelurahan Mulyaharja
Produktivitas pada lahan kering 𝑛
𝑛
𝑃𝐻𝑃𝑇𝑘 =
𝑃𝐻𝑃𝑇𝐵𝑖𝑗 − 𝑃𝐻𝑃𝑇𝑆𝑖𝑗 𝑥 𝐿𝑇𝑃𝑖𝑗 𝑥 𝐻𝑃𝑇𝑖𝑗 … … … . … (10) 𝑖=1 𝑗 =1
Di mana: 𝑃𝐻𝑃𝑇𝑘
= Nilai kerugian turunnya hasil panen tanaman pertanian lahan kering
𝑃𝐻𝑃𝑇𝐵𝑖𝑗 = Jumlah hasil panen tanaman ke-i per hektar sebelum konversi pada setiap lahan j (kg/ha) 𝑃𝐻𝑃𝑇𝑆𝑖𝑗 = Jumlah hasil panen tanaman ke-i per hektar setelah konversi pada setiap lahan j (kg/ha) 𝐿𝑇𝑃𝑖𝑗
= Luas tanaman ke-i sekarang pada setiap lahan j (ha)
27 𝐻𝑃𝑇𝑖𝑗
= Harga produksi tanaman ke-i sekarang pada setiap lahan j (Rp/kg)
𝑖
= Jenis tanaman pada lahan kering
𝑗
= Areal pertanian di Kelurahan Mulyaharja Adanya alih fungsi lahan pertanian sebagai lahan usaha tani, secara
langsung dapat mempengaruhi perubahan hasil produksi yang diterima oleh petani. Dengan demikian, berdasarkan hasil yang diperoleh dari pendekatan produktivitas tersebut selanjutnya dampak kerugian ekonomi terhadap pendapatan petani dapat diestimasi. Di bawah ini adalah metode yang digunakan untuk menilai hilangnya produksi pada lahan pertanian akibat konversi lahan4 dengan membandingkan nilai dan biaya produksi usaha tani pada sebelum dan sesudah terjadinya alih fungsi lahan pertanian, yaitu: 1.
Nilai Produksi Tanaman (NPT) Produksi Padi 𝑁𝑃𝑇𝑖𝑗 = 𝑃𝑅𝑇𝑖𝑗 𝑥 𝐻𝑃𝑖 𝑥 𝐿𝑆 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (11) Di mana: 𝑁𝑃𝑇𝑖𝑗
= Nilai produksi tanaman ke-i (Rp/thn)
𝑃𝑅𝑇𝑖𝑗
= Produk rata-rata tanaman jenis-i pada unit lahan-j (ton/ha)
𝐻𝑃𝑖
= Harga per jenis produksi ke-i (Rp/kg)
LS
= Luas sawah seluruh unit lahan (ha)
𝑖
= Jenis tanaman pada setiap unit lahan
𝑗
= Unit lahan sawah
Produksi Tanaman Palawija 𝑁𝑃𝑇𝑖𝑞 = 𝑃𝑅𝑇𝑖𝑞 𝑥 𝐻𝑃𝑖 𝑥 𝐿𝐾 … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (12) Di mana:
4
𝑁𝑃𝑇𝑖𝑞
= Nilai produksi tanaman ke-i (Rp/thn)
𝑃𝑅𝑇𝑖𝑞
= Produk rata-rata tanaman jenis-i pada unit lahan-q (ton/ha)
𝐻𝑃𝑖
= Harga per jenis produksi ke-i (Rp/kg)
marno.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/METODE-VALUASI-EKONOMI-EKOSISTEM-LAHANPERTANIAN.doc. diakses pada tanggal 1 Januari 2013.
28
2.
𝐿𝐾
= Luas lahan kering tanaman palawija seluruh unit lahan (ha)
𝑖
= Jenis tanaman pada setiap unit lahan
𝑞
= Unit lahan kering tanaman palawija
Biaya Produksi Tanaman (BPT) Biaya Produksi Padi 𝐼𝑅𝑇𝑖𝑗 =
𝐽𝐼𝑇𝑖 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (13) 𝐿𝑆𝑗
𝐵𝑃𝑇𝑖𝑗 = 𝐼𝑅𝑇𝑖𝑗 𝑥 𝐻𝐼𝑖 𝑥 𝐿𝑆 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (14) Di mana: 𝐵𝑃𝑇𝑖𝑗 = Biaya produksi tanaman ke-i (Rp/thn) 𝐼𝑅𝑇𝑖𝑗 = Input rata-rata tanaman jenis-i pada unit lahan-j (kg/ha) 𝐽𝐼𝑇𝑖
= Jumlah input produksi tanaman jenis-i (kg)
𝐿𝑆𝑗
= Luas sawah pada unit lahan-j (ha)
𝐻𝐼𝑖
= Harga per jenis input produksi ke-i (Rp/kg)
LS
= Luas sawah seluruh unit lahan (ha)
𝑖
= Jenis input produksi pada setiap unit lahan
𝑗
= Unit lahan sawah
Biaya Produksi Tanaman Palawija 𝐼𝑅𝑇𝑖𝑞 =
𝐽𝐼𝑇𝑖 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . … … (15) 𝐿𝐾𝑞
𝐵𝑃𝑇𝑖𝑞 = 𝐼𝑅𝑇𝑖𝑞 𝑥 𝐻𝐼𝑖 𝑥 𝐿𝐾 … … … … … … … … … … … … … … … … … . … … (16) Di mana: 𝐵𝑃𝑇𝑖𝑞 = Biaya produksi tanaman ke-i (Rp/thn) 𝐼𝑅𝑇𝑖𝑞 = Input rata-rata tanaman jenis-i pada unit lahan-q (kg/ha) 𝐽𝐼𝑇𝑖
= Jumlah input produksi tanaman jenis-i (kg)
𝐿𝐾𝑞
= Luas lahan kering tanaman palawija pada unit lahan-q (ha)
𝐻𝐼𝑖
= Harga per jenis input produksi ke-i (Rp/kg)
LK
= Luas lahan kering tanaman palawija seluruh unit lahan (ha)
𝑖
= Jenis input produksi pada setiap unit lahan
𝑞
= Unit lahan kering tanaman palawija
29 Dengan diketahuinya nilai ekonomi produksi pada usaha tani padi dan palawija, peneliti dapat mengidentifikasi perubahan pendapatan yang diperoleh petani dari sebelum dan setelah terjadinya konversi lahan pertanian. Nilai perubahan pendapatan tersebut diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh petani. Untuk memudahkan dalam mengetahui besarnya perubahan pendapatan yang diterima petani, digunakan matriks seperti Tabel 6. Tabel 6 Matriks perubahan pendapatan petani Nilai Produksi Tanaman (Rp/ton/ha) Padi Palawija Sebelum konversi Setelah konversi Selisih perubahan Sumber: Data primer diolah (2013)
Biaya Produksi Tanaman (Rp/ton/ha) Padi Palawija
Pendapatan (Rp/ton/ha)
30
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1
Kondisi Geografis Kelurahan Mulyaharja
Kelurahan Mulyaharja merupakan Kelurahan yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Jarak dari kelurahan menuju pemerintahan kecamatan hanya 5 km, sedangkan jarak menuju pusat pemerintah Kota Bogor yaitu ± 7 km. Kelurahan yang berada di kaki Gunung Salak ini memiliki suhu udara rata-rata 15 ◦C sampai 25 ◦C dan merupakan Kelurahan yang berada pada ketinggian tanah tertinggi di antara kelurahan-kelurahan yang ada di Kecamatan Bogor Selatan, yaitu 600 meter di atas permukaan laut. Selanjutnya, Kelurahan Mulyaharja yang memiliki luas wilayah sekitar 479.005 ha, rata-rata sebagian besar lahannya memiliki kedalaman efektif lahan >100 cm yaitu dengan luas 417.97 ha dan memiliki kondisi hydro-geologi muda mencapai 438.40 ha. Berdasarkan batas wilayahnya, Kelurahan Mulyaharja diapit oleh dua sungai yaitu sungai Cibeureum dan sungai Cipinanggading, yang merupakan batas wilayah alam dengan kelurahan lain. Adapun batas wilayah administratif Kelurahan Mulyaharja menurut data monografi kelurahan sebagai berikut: 1). Sebelah utara
: Kelurahan Cikaret
2). Sebelah selatan : Desa Sukaharja 3). Sebelah barat
: Kelurahan Pamoyanan
4). Sebelah timur
: Desa Sukamantri
Dari informasi yang diperoleh, dahulu Kelurahan Mulyaharja adalah salah satu desa yang berada di bawah pemerintahan Kabupaten Bogor. Pemekaran Kota Bogor berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1995 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri tahun 1995 tanggal 24 Agustus 1995 tentang Perubahan Batas–batas Wilayah Kotamadya DT. II Bogor, serta Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2001 tentang Perubahan Desa Menjadi Kelurahan, mencantumkan Desa Mulyaharja dalam wilayah Kota Bogor sehingga statusnya berubah menjadi Kelurahan pada tanggal 1 September 2001. Lahan yang berada di Kelurahan Mulyaharja ini sebagian besar dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi, yaitu pertanian dan perdagangan. Luas lahan yang diperuntukan untuk sektor pertanian itu sendiri memang lebih besar dibandingkan dengan lahan untuk peruntukan lain,
31 yaitu sekitar 90 ha untuk lahan sawah dan 20 ha untuk lahan kering (ladang). Hal tersebut dikarenakan potensi Kelurahan yang sangat cocok untuk aktivitas usaha tani. Ada beberapa jenis penggunaan lahan yang digunakan di Kelurahan Mulyaharja yang dirinci pada Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7 Penggunaan lahan di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2011 Luas lahan Persentase Jenis penggunaan lahan (ha) (%) a. Pertokoan/Perdagangan 1.00 0.88 b. Perkantoran 0.08 0.07 c. Tanah wakaf 0.50 0.44 d. Tanah sawah 1) Irigasi teknis 70.00 61.63 2) Sawah pasang surut 16.00 14.09 e. Tanah kering 1) Pekarangan 4.00 3.52 2) Tegalan 20.00 17.61 3) Tempat rekreasi 2.00 1.76 Jumlah 113.58 100.00 Sumber: Data monografi Kelurahan Mulyaharja (2011)
5.2
Kependudukan
Kelurahan Mulyaharja memiliki jumlah penduduk sebesar 16 381 jiwa, yang didominasi oleh penduduk berjenis kelamin laki-laki sebesar 8 523 jiwa sedangkan untuk perempuannya 7 858 jiwa. Kelurahan Mulyaharja dibagi menjadi 55 Rukun Tetangga (RT) dan 12 Rukun Warga (RW). Mayoritas agama penduduk adalah Islam. Sebagian besar penduduk Mulyaharja adalah lulusan Sekolah Dasar/MI dengan jumlah 6 435 jiwa, disusul dengan lulusan SMA/SLTA/Aliyah 1 150 jiwa, Taman Kanak-kanak 984 jiwa, SMP/SLTP/MTS 900 jiwa, Akademi/D1-D3 120 jiwa, dan Sarjana (S1-S3) 70 jiwa. Selain itu, jumlah penduduk di Kelurahan Mulyaharja menurut mata pencahariannya dapat dilihat pada Tabel 8. Pada tabel tersebut, sebagian besar penduduk berprofesi sebagai wiraswasta/pedagang dan buruh tani. Jumlah buruh tani yang cukup besar tersebut dikarenakan adanya kepemilikan lahan pertanian yang semakin berkurang akibat kegiatan pengalihfungsian lahan pertanian yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja. Hal ini juga ditunjukan oleh kecilnya jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani yaitu sebesar 100 jiwa.
32 Tabel 8 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2011 Jumlah penduduk Persentase Jenis pekerjaan (jiwa) (%) Pegawai Negeri Sipil 205 6.09 TNI 4 0.12 POLRI 15 0.45 Swasta/BUMN/BUMD 5 0.15 Wiraswasta/Pedagang 2 414 71.72 Petani 100 2.97 Pertukangan 122 3.62 Buruh tani 400 11.88 Pensiunan 59 1.75 Jasa/lain-lain 42 1.25 Jumlah 3 366 100.00 Sumber: Data monografi Kelurahan Mulyaharja (2011)
Penduduk Kelurahan Mulyaharja adalah berasal dari warga negara Indonesia yang sebagian besar penduduknya bersuku Sunda. Mobilitas penduduk Kelurahan Mulyaharja yang datang dan pergi pada tahun 2011 juga bervariasi. Sebanyak 353 penduduk yang datang, terdiri dari 178 orang laki-laki dan 175 orang untuk perempuan. Sebaliknya, penduduk yang pindah sebanyak 198 yang terdiri dari 99 orang laki-laki dan 99 orang perempuan. Berdasarkan tingkat usianya mayoritas penduduk Mulyaharja berada pada usia produktif, yaitu umur 0-4 tahun sebanyak 2 292 jiwa, 5-9 tahun sebanyak 1 742 jiwa, 10-14 tahun sebanyak 1 657 jiwa, 15-19 tahun sebanyak 1 359 jiwa, kemudian 20-29 tahun sebanyak 1 437 jiwa, 30-34 tahun sebanyak 1 093 jiwa, selanjutnya 35-39 tahun sebanyak 1 098 jiwa, 40-44 tahun sebanyak 1 037 jiwa, 45-49 tahun sebanyak 910 jiwa, 50-54 tahun sebanyak 860 jiwa, dan umur >60 tahun sebanyak 415 jiwa. 5.3
Kondisi Pertanian
Kelurahan Mulyaharja adalah salah satu daerah di Kecamatan Bogor Selatan yang memiliki lahan pertanian produktif, salah satunya disebabkan karena kondisi geografi wilayah yang sangat mendukung. Kegiatan usaha tani pada lahan sawah dan lahan kering sampai saat ini masih aktif dilakukan oleh petani yang bergabung dalam kelompok tani, walaupun kepemilikan lahan pertanian sebagian besar sudah bukan lagi milik mereka. Hal ini disebabkan karena adanya
33 pengembangan perubahan fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dan infrastruktur lainnya yang terjadi di sekitar wilayah Kelurahan Mulyaharja. Oleh sebab itu, petani yang tidak memiliki lahan pertanian tersebut hanya bekerja sebagai petani penggarap. Kelompok tani yang ada di Kelurahan Mulyaharja terdiri dari tiga yaitu, Kelompok Tani Dewasa, Kelompok Wanita Tani, dan Taruna Tani. Kelompok Wanita Tani adalah kelompok tani yang anggotanya merupakan ibu-ibu rumah tangga yang melakukan kegiatan pengolahan dari hasil pertanian, seperti membuat jamur dan makanan-makanan olahan lain. Kemudian Kelompok Taruna Tani yaitu kelompok yang anggotanya aktif dalam melakukan kegiatan pengumpulan dan pengolahan sampah. Sampah-sampah ini berasal dari sampah rumah tangga yang nantinya dipisah berdasarkan jenis sampahnya, yaitu organik dan anorganik. Sampah organik tersebut kemudian diolah untuk dijadikan pupuk organik dan dijual kembali, khususnya kepada masyarakat Mulyaharja yang melakukan budidaya pada tanaman hias. Sebaliknya, sampah anorganik langsung dijual setelah dilakukan pemisahan jenis sampahnya, seperti botol plastik, kaleng, dan kertas-kertas. Hal ini karena Kelompok Taruna Tani masih berfokus pada pengolahan untuk sampah organik. Berikutnya adalah Kelompok Tani Dewasa yang terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok tani Pandawa dan kelompok tani Lemah Duhur. Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tani Pandawa ini tidak lagi pada lahan pertanian, karena lahan yang dulunya digunakan untuk mencari nafkah tersebut sudah beralihfungsi menjadi peruntukan lain. Perubahan kepemilikan lahan dan pengalihfungsian yang terjadi setiap tahunnya terutama sejak direncanakannya pengembangan untuk wilayah Kecamatan Bogor Selatan sebagai perumahan baru dengan koefisien dasar bangunan (KDB) rendah yaitu 70% kawasan tidak terbangun dan 30% kawasan terbangun, menyebabkan sebagian lahan pertanian dialihfungsikan. Akibat kondisi yang demikian, aktivitas yang masih dilakukan oleh kelompok tani Pandawa hanya sebatas pada kegiatan penggilingan padi. Untuk memenuhi penggilingan tersebut, 90% gabah diperoleh dari luar daerah Kota Bogor seperti Cianjur dan Sukabumi, kemudian 10% lagi berasal dari Bogor Barat dan Bogor Timur.
34 Di sisi lain, kelompok tani Lemah Duhur yang berdiri tahun 2003 dengan jumlah anggota 82 orang masih aktif melakukan kegiatan usaha tani pada lahan pertanian sawah, walaupun hanya 30% lahan yang digunakan adalah lahan milik sendiri dan sisanya sebesar 70% merupakan lahan garapan. Sampai saat ini luas lahan sawah yang dibudidayakan adalah seluas ± 25 ha. Meskipun dengan sistem budidaya pertanian konvensional, untuk setiap kali panen kelompok tani ini dapat menghasilkan empat sampai enam ton gabah. Pada lahan sawah tersebut dimanfaatkan pula untuk jenis tanaman lain yaitu palawija yang merupakan tanaman kedua, seperti jagung manis dan kacang-kacangan. Luas lahan kering yang masih dibudidayakan di Kelurahan Mulyaharja yaitu sekitar ± 20 ha. Hasil pertanian yang diperoleh dari lahan kering juga sangat beragam, yaitu padi ladang, palawija, sayur-sayuran, maupun buah-buahan. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan bahwa tenaga kerja petani yang sampai saat ini masih aktif melakukan budidaya di lahan kering berjumlah ± 106 orang. Seperti halnya pada lahan sawah, lahan kering di Kelurahan Mulyaharja juga sebagian besar sudah menjadi milik pengembang perumahan komersil yang ada di wilayah tersebut. Oleh sebab itu, hanya sekitar 20% sampai 30% saja petani lahan kering yang masih memiliki lahan pertanian. 5.4
Karakteristik Umum Responden
Karakteristik umum responden pada lahan sawah dan lahan kering di Kelurahan Mulyaharja yaitu berdasarkan kategori usia petani, pendidikan, pengalaman usaha tani, luas lahan pertanian, dan status lahan pertanian. Kategori tersebut diasumsikan dapat mempengaruhi petani dalam melakukan usaha tani. Penjelasan masing-masing kategori sebagai berikut. 5.4.1 Usia Petani Tabel 9 menerangkan karakteristik usia petani responden pada lahan sawah dan lahan kering di Kelurahan Mulyaharja. Dari jumlah responden yang terpilih berdasarkan simple random sampling yaitu 30 orang untuk lahan padi sawah dan 30 orang untuk lahan kering tanaman palawija, sebagian besar usia petani tersebut adalah 40 sampai 49 tahun yang memiliki persentase masing-masing sebesar 37%
35 dan 34%. Pada lahan sawah, masih terdapat petani berusia 70 sampai 79 tahun dengan persentase 26% atau menempati urutan terbanyak kedua. Karakteristik usia petani tersebut merupakan usia yang paling tua di antara usia responden lain di lahan sawah. Berbeda pada lahan sawah, usia petani responden pada lahan kering yang tertua adalah 80 sampai 89 tahun yang memiliki persentase terendah sebesar 3%. Tabel 9 Usia petani responden lahan sawah dan lahan kering Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 Kategori usia (tahun) 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 – 69 70 – 79 80 – 89 Total
Lahan sawah
Lahan kering
13% 37% 17% 7% 26% 100%
34% 23% 30% 10% 3% 100%
Sumber: Hasil analisis data (2013)
5.4.2 Pendidikan Dapat dilihat pada Gambar 5 bahwa sebagian besar pendidikan petani responden adalah lulusan sekolah dasar (SD) dengan persentase masing-masing 76% pada lahan sawah dan 47% pada lahan kering. Selain itu, ada pula petani responden yang tidak dapat menyelesaikan sekolah dasar (SD) hingga selesai. Hal tersebut dikarenakan adanya kendala ekonomi yang dialami oleh petani tersebut pada masa itu. Pada lahan sawah terdapat petani responden yang sampai pada jenjang pendidikan sekolah menengah atas (SMA), walaupun persentase yang dimiliki sama dengan persentase sekolah menengah pertama (SMP) yaitu sebesar 7%.
36 Lahan sawah SMA 7% SMP 7%
Lahan kering Tidak tamat SD 10%
SMP 13%
Tidak tamat SD 40%
SD 47% SD 76%
Sumber: Hasil analisis data (2013)
Gambar 5
Persentase pendidikan petani responden lahan sawah dan lahan kering Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013
5.4.3 Pengalaman Usaha Tani Responden petani pada lahan sawah dan lahan kering memiliki pengalaman usaha tani lebih dari 1 tahun. Mayoritas petani lahan sawah memiliki pengalaman bertani pada skala 1 sampai 10 tahun dengan persentase 34%. Sebaliknya, jumlah responden lahan sawah yang memiliki pengalaman bertani selama 21 sampai dengan 40 tahun hanya sekitar 3% yang merupakan persentase terkecil. Selain itu, pada lahan kering pengalaman bertani responden yang lebih besar juga terdapat pada skala 1 sampai 10 tahun yang memiliki persentase 40% dari total jumlah responden pada lahan kering. Sebaliknya, persentase terkecil terdapat pada skala 31 sampai 40 tahun yaitu sebesar 0%. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa selama 10 tahun terakhir ini lahan pertanian pada lahan sawah dan lahan kering masih memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja petani baru dan nilai kearifan budaya bertani masih diminati secara turun-temurun. Lamanya pengalaman usaha tani pada lahan sawah dan lahan kering yang sudah dijelaskan sebelumnya terdapat pada Tabel 10.
37 Tabel 10 Pengalaman usaha tani responden lahan sawah dan lahan kering Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 Pengalaman bertani (tahun)
Lahan sawah
Lahan kering
1 – 10 11 – 20 21 – 30 31 – 40 41 – 50 51 – 60 Total
34% 30% 3% 3% 20% 10% 100%
40% 13% 23% 0% 17% 7% 100%
Sumber: Hasil analisis data (2013)
5.4.4 Luas Lahan Pertanian Luas lahan pertanian yang dibudidayakan oleh responden petani lahan sawah dan lahan kering sekarang ini tidak lebih dari 1 ha. Hal ini diakibatkan adanya perubahan fungsi lahan pertanian menjadi perumahan. Jika dilihat pada Gambar 6, maka dapat dilihat bahwa sebagian besar lahan sawah yang dibudidayakan oleh petani lebih dari 0.5 ha (tetapi kurang dari 1 ha) yaitu sebesar 37%. Pada lahan sawah, tidak ada petani responden yang membudidayakan lahan pertanian kurang dari 0.1 ha, sehingga untuk persentasenya adalah sebesar 0%. Kemudian, pada lahan kering sebagian besar lahan yang dibudidayakan adalah sekitar 0.1 hingga 0.15 ha dengan persentase 30% dan persentase terkecil sebesar 3% pada luas lahan 0.4 sampai 0.45 ha. Sama halnya pada lahan sawah, lahan kering yang dibudidayakan untuk tanaman palawija oleh petani responden tidak lebih dari 1 ha, walaupun sekitar 13% lahan yang dibudidayakan tersebut lebih dari 0.5 ha.
38
Luas lahan (ha)
≥ 0.5 0.4 - 0.45 0.3 - 0.35 0.2 - 0.25
Lahan Kering
0.1 - 0.15
Lahan Sawah
< 0.1 0
10
20
30
40
Persentase (%) Sumber: Hasil analisis data (2013)
Gambar 6
Luas tanam lahan sawah dan lahan kering oleh petani responden Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013
5.4.5 Status Lahan Pertanian Dilihat dari sejarah status kepemilikan lahan pertanian yang terjadi pada petani Kelurahan Mulyaharja merupakan lahan warisan yang diturunkan secara turun-temurun oleh nenek moyang masyarakat petani. Biasanya, lahan pertanian tersebut akan diwariskan berdasarkan jumlah anggota keluarga yang dimiliki. Selanjutnya, setelah hak kepemilikan berganti tidak sepenuhnya lahan pertanian yang diwariskan tersebut masih bertahan dengan luasan yang tetap. Ada yang dijual maupun dibangun menjadi tempat tinggal. Terutama dengan adanya pembebasan lahan yang sudah terjadi sejak tahun 1980-an yaitu sebelum masuknya Kelurahan Mulyaharja sebagai bagian dari Kota Bogor, menyebabkan kepemilikan lahan pertanian dari tahun ke tahun berganti dari milik petani menjadi milik developer. Oleh karena itu, hingga kini sudah sebagian besar lahan pertanian yang bukan lagi menjadi milik petani. Hal ini terbukti pada jumlah responden petani lahan sawah dan lahan kering yang memiliki lahan hanya sekitar masing-masing adalah 10% dan 17% saja seperti yang digambarkan pada Gambar 7 di bawah ini.
39 Lahan sawah milik pribadi
Lahan kering
bukan milik pribadi 10%
90%
milik pribadi 83%
bukan milik pribadi 17%
Sumber: Hasil analisis data (2013)
Gambar 7
Status kepemilikan lahan sawah dan lahan kering petani responden Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013
40
VI KEBIJAKAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN Banyaknya pembangunan kawasan perumahan dan industri jasa baru, serta infrastruktur yang memadai menandakan kondisi ekonomi Kota Bogor mengalami pertumbuhan yang positif. Hal ini diperkuat oleh PDRB Kota Bogor pada tahun 2009 dan 2010 yang mengalami peningkatan mencapai 61% hingga 66%. Kemudian halnya pada tahun 2011 hingga tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Kota Bogor meningkat secara signifikan dikarenakan tingginya investasi pada sektor tersier yang mencapai ± 200%5. Sektor tersier yang dimaksud adalah sektor yang dapat menghasilkan jasa. Tingginya investasi pada sektor tersebut terjadi karena adanya insentif bagi para investor dalam berperan mengembangkan struktur ekonomi Kota Bogor, mengingat bahwa potensi wilayah Kota Bogor yang memiliki aksesibilitas yang terjangkau dan dapat dijadikan sebagai kota transit sehingga cocok untuk dikembangkan khususnya pada sektor perdagangan, hotel, restoran, dan industri. Dengan timbulnya insentif ekonomi tersebut, maka tidak dapat dihindari bahwa penduduk Kota Bogor akan semakin bertambah, baik yang berasal dari pendatang maupun penduduk asli. Kondisi yang demikian menyebabkan persaingan penggunaan lahan menjadi semakin tinggi, sehingga diprioritaskan pada pembangunan dan pengembangan sektor-sektor yang memiliki kontribusi ekonomi lebih besar. Sesuai Peraturan Daerah Nomor 8 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011-2031, perkembangan ruang wilayah Kota Bogor diarahkan salah satunya untuk pembangunan perumahan dengan koefisien dasar bangunan (KDB) rendah dan infrastruktur pendukung lainnya sehingga dapat memfasilitasi pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah. Adapun aspek-aspek yang berkaitan dengan menariknya posisi Kota Bogor dalam lingkup nasional, provinsi, aksesibilitas, dan perwilayahannya berdasarkan RTRW Kota Bogor adalah: 1) Dalam lingkup nasional, Kota Bogor ditetapkan sebagai kawasan dengan fungsi pusat kegiatan nasional.
5
Berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder pemerintah Kota Bogor. Tanggal 7 Mei 2013.
41 2) Kota Bogor termasuk dalam salah satu dari enam kawasan andalan yang telah ditetapkan dalam RTRW Nasional. 3) Kota Bogor merupakan kawasan strategis nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. 4) Kota Bogor merupakan salah satu bagian dari wilayah pengembangan di Provinsi Jawa Barat dengan tema pengembangan untuk mengendalikan perkembangan fisik wilayah. 5) Kota Bogor ditetapkan sebagai kota satelit Jakarta bersama dengan Kota Depok, Tanggerang, Bekasi, dan kota lainnya. 6) Kedudukan Kota Bogor yang strategis dan memiliki arti cukup penting dalam lingkup global berimplikasi terhadap munculnya pola/arus migrasi yang masuk ke Kota Bogor cukup besar. Dari keenam poin di atas, secara umum dapat menjelaskan faktor-faktor penyebab pertumbuhan penduduk di Kota Bogor yang terus mengalami peningkatan. Oleh sebab itu, untuk menyeimbangi tantangan tersebut mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2005-2025 Pasal 2 Bab IV mengenai arah, tahapan, dan prioritas pembangunan, bahwa Kota Bogor berkomitmen salah satunya yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui sektor jasa dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada melalui empat tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) seperti yang disajikan pada Lampiran 3. Penyusunan RPJPD ini merupakan hasil pedoman dari adanya RTRW Kota Bogor. Secara ekonomi, seluruh tahapan RPJPD lebih diprioritaskan kepada peningkatan nilai tambah dan daya saing pada seluruh sektor ekonomi terutama sektor jasa yang menjadi basis aktivitas ekonomi di Kota Bogor. Content analysis dari Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2009 tersebut dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini.
42 Tabel 11 Content analysis Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2009 Pasal Pasal 2 Bab IV
Keterangan Mengembangkan perekonomian masyarakat dengan titik berat pada jasa yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada.
Content analysis Arah pembangunan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi yang aktivitas masyarakatnya bergerak terutama pada sektor jasa. Sektor jasa merupakan sektor yang mendukung bagi berkembangnya aktivitas-aktivitas yang ada di masyarakat, baik aktivitas budaya, ekonomi, penataan fisik kota, maupun penanganan masalah kota.
Sumber: Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2009 Seri E
Kemudian, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (2) tentang kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang, bahwa pemantapan pusat pelayanan kegiatan yang memperkuat kegiatan perdagangan dan jasa berskala regional di Kota Bogor, meliputi penetapan hirarki sistem pusat pelayanan secara berjenjang, pengembangan pusat perdagangan, kegiatan jasa, dan kegiatan pariwisata. Sub-sektor yang diprioritaskan untuk mendorong perekonomian Kota Bogor adalah jasa perdagangan, hotel dan restoran, jasa angkutan dan komunikasi, jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, jasa pendidikan, jasa akomodasi, ekowisata, dan jasa-jasa lain. Pada umumnya, adanya pengaruh positif dari pertumbuhan ekonomi dan dihidupkan pula oleh jumlah penduduk yang terus berkembang maka wilayahwilayah yang masih memiliki lahan dengan ekonomi yang tidak begitu berperan dibandingkan sektor sekunder maupun tersier, dialih fungsikan menjadi sarana dan prasarana yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi sesuai dengan RTRW Kota Bogor. Jelasnya bahwa lahan yang dialih fungsikan tersebut adalah lahan pertanian yang merupakan sektor primer. Berdasarkan PDRB Kota Bogor tahun 2010 sampai tahun 2011, kontribusi sektor pertanian ini tidak lebih dari 1%. Selanjutnya berdasarkan RPJPD tahun 2005-2025, perkembangan sektor primer khususnya sub-sektor pertanian tanaman pangan diproyeksikan 20 tahun mendatang akan menghadapi masalah utama yaitu berupa lahan pertanian yang akan semakin sempit seiring dengan perkembangan Kota Bogor. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap PDRB yang terus menurun, yaitu 0.2113%
43 tahun 2010, 0.2085% tahun 2015, 0.2036% tahun 2020, dan 0.1966% tahun 2025. Tercantum dalam RPJPD tersebut bahwa tantangan yang dilakukan pada subsektor pertanian tanaman pangan adalah meningkatkan produksi dengan luas lahan yang terbatas atau cara ini disebut juga sebagai intensifikasi lahan. Selain itu, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 Pasal 14 ayat (2) butir (d) bahwa luasan lahan pertanian kota yang dipertahankan hanya dalam wilayah Bogor Barat saja. Hal ini dapat menjelaskan arah pembangunan sektor pertanian di RPJPD dalam mewujudkan ketahanan pangan, hanya berupa bentuk intensifikasi dari terbatasnya lahan pertanian di Kota Bogor. Kecilnya kontribusi yang diberikan oleh pertanian menjadikan opportunity bagi pemerintah Kota Bogor dalam mengembangkan sektor-sektor unggulan yang berpotensi dalam meningkatkan PDRB secara keseluruhan. Berdasarkan hasil rencana pola ruang RTRW Kota Bogor Pasal 49 ayat (2), penggunaan lahan untuk kawasan perumahan di Kota Bogor sampai tahun 2031 adalah sekitar 5 400 ha atau 45.57% dari total luas wilayah Kota Bogor. Penggunaan lahan tersebut lebih besar dibandingkan kawasan bangunan lainnya, dikarenakan proyeksi jumlah penduduk Kota Bogor yang akan terus mengalami peningkatan mencapai lebih dari 1.8 juta jiwa pada tahun 2031. Proyeksi peningkatan jumlah penduduk dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 12 Proyeksi jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2013-2031 Kecamatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Kota Bogor
Tahun 2013 207 064 108 896 210 223 112 472 231 186 203 901 1 073 742
2019 243 481 129 444 273 540 116 013 269 532 246 694 1 278 703
2025 286 303 153 870 355 927 119 665 314 237 298 467 1 528 469
2031 336 656 182 905 463 129 123 432 366 358 361 106 1 833 586
Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Bogor dan hasil perhitungan, Bappeda Kota Bogor (2010)
Bogor Selatan yang merupakan salah satu pusat pelayanan baru di Kota Bogor yaitu dengan adanya pembangunan perumahan komersil oleh developer yang ditunjang dengan fasilitas pelayanan untuk skala kota maupun regional, seperti yang tercantum pada Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 Pasal 16
44 butir (e) yang diarahkan untuk kegiatan utama sentra otomotif, wisata belanja, jasa akomodasi, ekowisata, serta
meeting-incentive-convention-exhibition (MICE).
Hal ini menjadikan kawasan Bogor Selatan sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor. Kelurahan Mulyaharja yang merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Bogor Selatan adalah wilayah yang terkena dampak dari perubahan struktur ruang tersebut. Wilayah ini merupakan salah satu bagian dari wilayah pelayanan di Bogor Selatan yang diarahkan untuk perumahan berkepadatan rendah dengan kelengkapan infrastruktur komersil. Akibat peningkatan permintaan kebutuhan lahan dalam menyesuaikan sistem ekonomi dan tata ruang Kota Bogor tersebut, sehingga lahan pertanian yang terdapat pada Kelurahan Mulyaharja ini beralih fungsi menjadi kawasan terbangun yang sebagian besar menjadi kawasan perumahan komersil. Jika dilihat dari kondisi daerah Kelurahan Mulyaharja itu sendiri, pemandangan Gunung Salak dan udara yang sejuk menjadikan wilayah ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi developer perumahan komersil yang ada di wilayah Kelurahan Mulyaharja. Oleh karena itu, tidak sedikit lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja yang sampai saat ini sudah maupun sedang dibangun untuk perluasan pembangunan perumahan dan infrastruktur komersil lainnya. Luas lahan pertanian yang tersisa saat ini di Kelurahan Mulyaharja adalah sekitar ± 80 ha. Luas lahan tersebut semakin berkurang karena pembangunan untuk perumahan dan sarana infrastruktur yang melengkapinya selalu terjadi setiap tahun. Sementara itu, luas lahan yang direncanakan untuk pembangunan perumahan komersil di Mulyaharja adalah seluas 100 ha, dengan luas lahan yang sudah terkonversi sampai saat ini 60 ha atau sebesar 60% dari total luas lahan yang direncanakan. Mengingat bahwa hampir 80% lahan pertanian yang masih ada saat ini di Kelurahan Mulyaharja merupakan milik developer, maka dapat dipastikan bahwa dalam beberapa tahun kemudian lahan pertanian tersebut berpotensi beralih fungsi menjadi peruntukan lain yang memiliki nilai manfaat ekonomi lebih besar dibandingkan pada sektor pertanian. Adapun peta rencana pengembangan lahan di Kelurahan Mulyaharja sesuai dengan RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031 yang disajikan pada Lampiran 4.
45 Merujuk pada hasil penelitian Musthikaningtyas (2009) bahwa dapat terjadi pemburuan rente yang dilakukan oleh developer perumahan dengan cara memanfaatkan regulasi pemerintah. Pemburuan rente perumahan tersebut tergantung pada jenis perumahan itu sendiri. Salah satu contohnya yaitu dengan adanya pembangunan perumahan mewah, developer dapat menghasilkan keuntungan sebesar 32.58%. Kondisi demikian menunjukan bahwa secara ekonomi lahan memberikan nilai yang lebih besar untuk dibangun menjadi perumahan mewah atau komersil dibandingkan untuk dipertahankan sebagai lahan pertanian, walaupun sebenarnya nilai manfaat ini bersifat sementara karena perubahan fungsi lahan pertanian dalam jangka panjang dapat memberikan kerugian secara sosial dan lingkungan. Kerugian tersebut misalnya krisis kebutuhan sub-sektor tanaman pangan, peningkatan jumlah pengangguran di pedesaan akibat berkurangnya tenaga kerja yang terserap dari sektor pertanian ke non-pertanian, maupun masalah banjir akibat tidak adanya lahan resapan air. Oleh sebab itu, meskipun perubahan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan maupun sektor non-pertanian lainnya yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja dapat memberikan kontribusi dalam meningkatan pertumbuhan ekonomi Kota Bogor, tetapi jika dilihat pada beberapa tahun kemudian pertumbuhan ekonomi tersebut akan semakin tumpul karena harus berusaha untuk mensinergikan kepincangan dari sektor sosial dan lingkungan. Dari penjelasan di atas, maka simpulan hasil content analysis berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang RTRW dicantumkan pada Tabel 13. Dengan demikian, analisis ini dapat berguna untuk mengidentifikasi faktor kebijkan penyebab konversi lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor.
46 Tabel 13 Content analysis Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 No Pasal Keterangan Content analysis 1 Pasal 7 Kebijakan dan strategi Pada pasal ini bahwa strategi ayat (2) pengembangan struktur pengembangan struktur ruang di Kota ruang. Bogor dengan memfokuskan pelayanan yang memperkuat kegiatan perdagangan dan jasa berskala regional. Maksud dari skala regional adalah interaksi kegiatan-kegiatan pelayanan di Kota Bogor yang berkaitan dengan perdagangan dan jasa. 2 Pasal 14 Rencana penataan Pasal ini membahas mengenai ayat (2) wilayah Bogor Barat rencana pengembangan sistem pusat butir (d) ditetapkan untuk tetap pelayanan di Kota Bogor yang terdiri mempertahankan luasan dari Bogor Tengah, Bogor Barat, lahan pertanian kota. Tanah Sareal, Bogor Utara, Bogor Timur, dan Bogor Selatan. Dari seluruh wilayah pelayanan tersebut, hanya ada satu butir yang membahas untuk mempertahankan luasan lahan pertanian kota yang terdapat pada wilayah Bogor Barat yaitu ayat (2) butir (d). Sebagian besar, butir-butir yang ada pada pasal ini membahas mengenai perdagangan, jasa, perumahan, dan sarana infrastruktur lain. 3 Pasal 49 Sebaran kawasan untuk Sebaran kawasan untuk perumahan ayat (2) perumahan di wilayah ini terdiri dari perumahan kepadatan Kota Bogor yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Kondisi dengan luas ± 5 400 ini disesuaikan berdasarkan hektar. karakteristik kawasan dan daya dukung lingkungan Kota Bogor. 4 Pasal 16 Arahan pengembangan Bahwa arahan pengembangan wilayah butir (e) Bogor Selatan sebagai Bogor Selatan seperti yang tercantum wilayah perkembangan pada pasal ini sebagian besar ekonomi terbatas, untuk diperuntukkan untuk kegiatan jasa kegiatan wisata belanja, dan perdagangan. Hal ini disebabkan sentra otomotif, jasa karena Bogor Selatan merupakan akomodasi, ekowisata, salah satu wilayah di Kota Bogor dan MICE. yang memiliki topografi wilayah yang dekat dengan Gunung Salak dan beriklim sejuk, sehingga memberikan peluang bagi kegiatan perdagangan dan jasa, seperti khususnya jasa ekowisata. Sumber: Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011
47
VII MANFAAT DAN KERUGIAN KONVERSI LAHAN 7.1
Perkembangan Penggunaan Lahan Pertanian di Kota Bogor
Selama tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 di Kota Bogor telah terjadi perubahan fungsi lahan menjadi penggunaan lain, salah satunya yang terjadi pada lahan pertanian. Hal ini disebabkan karena ketersediaan lahan di Kota Bogor tidak dapat mencukupi permintaan yang tinggi pada aktivitas non-sektor pertanian, sehingga menimbulkan opportunity dalam penggunaan lahan itu sendiri. Pada tahun 2006, luas pertanian tanah basah di Kota Bogor adalah 1 758.73 ha dan berkurang menjadi 953.69 ha. Selanjutnya, untuk pertanian tanah kering juga berkurang luasannya dari 4 600.60 ha pada tahun 2006 menjadi 3 278.90 ha pada tahun 2011. Dari perubahan tersebut dapat dilihat bahwa setiap tahunnya pertanian tanah basah dan kering berkurang luasnya dengan rata-rata per tahun masing-masing adalah -161.01 ha dan -264.34 ha. Perubahan penggunaan tanah yang terjadi dari tahun 2006 sampai tahun 2011 dijabarkan di Tabel 14. Tabel 14 Perkembangan penggunaan tanah pertanian di Kota Bogor tahun 20062011
No
1 2
Jenis penggunaan tanah Pertanian tanah basah Pertanian tanah kering
Luas penggunaan tanah 2006 (ha)
2011 (ha)
1 758.73
953.69
4 600.60
3 278.90
Perubahan penggunaan tanah tahun 2006-2011 RataPerubahan Luas (ha) rata/thn (%) (ha) - 805.04 - 45.77 - 161.01 -1 321.69
- 28.73
- 264.34
Sumber: Badan Pertanahan Nasional RI (2011)
Dari perubahan yang dialami oleh lahan pertanian selama periode lima tahun tersebut, terdapat beberapa jenis peruntukkan yang digunakan dari alih fungsi lahan sampai tahun 2011. Fungsi pertanian tanah basah pada tahun 2006 berubah menjadi fungsi pertanian tanah kering seluas 458.92 ha dan menjadi perumahan dengan total luas 307.20 ha pada tahun 2011. Sementara untuk pertanian tanah kering, berubah fungsi menjadi perumahan dengan total luas yaitu 1 638.17 ha. Perubahan yang terjadi pada lahan pertanian di Kota Bogor sebagian besar diperuntukan untuk perumahan. Mengingat bahwa pertumbuhan penduduk
48 Kota Bogor selalu bertambah setiap tahunnya, maka kebutuhan lahan untuk perumahan juga semakin tinggi. Tabel 15 menjabarkan jenis penggunaan tanah yang terjadi dari alih fungsi pertanian tanah basah dan kering. Tabel 15 Perubahan penggunaan tanah pertanian di Kota Bogor tahun 2006-2011 Luas Penggunaan tanah Penggunaan tanah Luas perubahan tahun 2006 tahun 2011 (ha) (ha) Pertanian tanah basah 805.04 Industri non-pertanian 0.30 Jasa pelayanan umum 0.35 Jasa pendidikan 0.11 Perdagangan umum 38.17 Pertanian lahan kering 458.92 Perumahan teratur 74.75 Perumahan tidak teratur 232.45 Pertanian tanah kering 1 838.38 Industri non-pertanian 27.78 Jasa kesehatan 0.98 Jasa pelayanan umum 55.50 Jasa pemerintahan 7.45 Jasa pendidikan 2.90 Jasa peribadatan 1.34 Pemakaman umum 38.28 Perdagangan umum 65.97 Perumahan teratur 469.61 Perumahan tidak teratur 1 168.56 Sumber: Badan Pertanahan Nasional RI (2011)
7.2
Manfaat Ekonomi Konversi Lahan Pertanian
Konversi lahan pertanian menjadi perumahan dan fasilitas infrastruktur lainnya yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja secara langsung memberikan insentif dalam meningkatkan penghasilan daerah Kota Bogor. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator ekonomi sebagai berikut: 7.2.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB
adalah
indikator
ekonomi
yang
dapat
digunakan
untuk
menggambarkan kegiatan perekonomian yang dilakukan masyarakat suatu wilayah yang pada akhirnya menggambarkan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Akan tetapi, pertumbuhan PDRB yang cukup tinggi belum menjamin tingkat kesejahteraan yang tinggi bagi masyarakat. Hal ini masih terkait dengan laju pertumbuhan penduduk dan sifat kegiatan perekonomiannya. Nilai PDRB dapat
49 dilihat dari dua bentuk, yaitu berdasarkan atas harga berlaku dan harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku merupakan nilai yang berdasarkan harga pada tahun berjalan. Sebaliknya, PDRB atas dasar harga konstan adalah PDRB riil atas dasar harga tetap yang terjadi pada tahun dasar dan kenaikannya tidak dipengaruhi oleh adanya kenaikan harga. Keadaan PDRB Kota Bogor secara keseluruhan atas dasar harga berlaku dan harga konstan (2000) dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 16 berikut. Tabel 16 Perkembangan PDRB Kota Bogor tahun 2006-2011 (Rp) Tahun PDRB atas dasar harga berlaku PDRB atas dasar harga konstan 2006 7 257 742.09 3 782 273.71 2007 8 558 035.70 4 012 743.17 2008 10 089 943.96 4 252 821.78 2009 11 904 599.66 4 508 601.05 2010 13 908 899.57 4 785 434.36 2011*) 15 487 433.93 5 081 482.69 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bogor tahun 2011 dan 2012, *) angka sementara
Perkembangan PDRB Kota Bogor pada Tabel 16 tersebut menunjukan bahwa kondisi ekonomi Kota Bogor mengalami pertumbuhan positif dalam lima tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi Kota Bogor dalam meningkatkan ekonomi wilayah sesuai dengan visinya yaitu sebagai Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani dan Pemerintahan yang Amanah”, dapat dikatakan sesuai dengan yang diharapkan. Dari adanya pertumbuhan ekonomi yang signifikan tersebut, terdapat kontribusi sektoral dalam mendukung tercapainya PDRB yang tetap memiliki perkembangan positif dari setiap tahunnya yang dirinci pada Tabel 17.
50 Tabel 17 Kontribusi sektor terhadap PDRB Kota Bogor tahun 2009-2011 (%) PDRB atas dasar harga PDRB atas dasar harga No. Sektor berlaku konstan 1 2
3 4 5
A. PRIMER Pertanian Pertambangan dan penggalian B. SEKUNDER Industri pengolahan Listrik, gas, dan air bersih Bangunan
C. TERSIER Perdagangan, hotel, dan restoran 7 Angkutan dan komunikasi 8 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 9 Jasa-jasa PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 6
2009 0.20 0.20 0.00
2010 2011*) 0.19 0.18 0.19 0.18 0.00 0.00
2009 0.30 0.30 0.00
2010 2011*) 0.29 0.29 0.29 0.28 0.00 0.00
33.12 25.57 2.06
33.57 26.20 2.02
34.02 26.85 2.00
38.42 28.25 3.24
38.38 28.32 3.27
38.27 28.32 3.29
5.49
5.35
5.16
6.92
6.79
6.66
66.68 38.40
66.24 37.01
65.80 36.65
61.28 29.54
61.33 29.22
61.44 28.97
14.45
15.53
15.29
10.06
10.18
10.28
10.22
9.53
10.14
14.39
14.69
15.00
3.97
3.77
3.72
7.29
7.24
7.19
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bogor tahun 2011 dan 2012. *) angka sementara
Pada Tabel 17 terlihat jelas bahwa kontribusi sektor primer lebih kecil dibandingkan dengan sektor sekunder dan tersier. Khusus untuk sub-sektor pertanian terjadi penurunan dari tahun 2009 sampai tahun 2011. Jika dilihat dari luas lahan pertanian yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa luas tersebut semakin berkurang sampai tahun 2011 yang sebagian besar berubah menjadi peruntukan perumahan. Perumahan itu sendiri berada pada sektor sekunder yaitu sub-sektor bangunan. Jika diamati pada Tabel 17 bahwa PDRB sub-sektor bangunan tidak mengalami peningkatan karena selama pada tahun tersebut tidak terlalu banyak perubahan perkembangan pembangunan fisik, baik oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta. Demikian pula kontribusi sektor terhadap PDRB Kecamatan Bogor Selatan seperti pada Tabel 18, yang mana pada sub-sektor pertanian lebih kecil kontribusinya dibandingkan sub-sektor bangunan, maupun pada sub-sektor perdagangan dan jasa. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2010 hingga tahun
51 2011, luas lahan pertanian telah semakin berkurang luasannya akibat dialih fungsikan menjadi non-pertanian. Tabel 18 Kontribusi sektor terhadap PDRB Kecamatan Bogor Selatan atas dasar harga berlaku tahun 2010-2011 (%) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas, dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel, dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Jasa-jasa Jumlah
Tahun 2010 2011 0.38 0.38 0.00 0.00 32.16 32.10 2.08 2.09 5.49 5.35 38.23 38.19 12.07 12.04 5.78 6.03 3.81 3.82 100.00 100.00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bogor (2012)
Dengan menurunnya proporsi lahan pertanian akibat dialih fungsikan menjadi pemukiman dan jasa, menyebabkan lahan pada non-sektor pertanian tersebut semakin bertambah. Hal ini menyebabkan pertambahan dalam kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui PBB. Dengan adanya peningkatan pendapatan pemerintah dari pemasukan tersebut, dapat memberikan insentif bagi meningkatnya belanja pemerintah Kota Bogor. Dengan demikian, pengaruhnya konversi lahan pertanian terhadap PDRB dapat dikaji dari sisi Anggaran Belanja Pemerintah Daerah (APBD) Kota Bogor. Dapat dilihat hubungan pertumbuhan PAD dan APBD tahun 2009 hingga tahun 2011 seperti pada Tabel 19. Tabel 19 Pertumbuhan PAD dan APBD Kota Bogor tahun 2009-2011 (Rp) Persentase PAD Tahun PAD APBD terhadap APBD (%) 2009 115 921 660 827 882 204 026 594 13.14 2010 127 488 089 831 956 682 000 000 13.33 2011 230 449 644 620 1 145 586 157 771 20.12 Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor (2012)
52 7.2.2 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Besarnya tarif pajak yang dikenakan pada bangunan adalah 0.5% dari nilai jual objek pajak (NJOP). Salah satu contoh objek pajak tersebut adalah bangunan perumahan. Nilai PBB dari suatu bangunan akan semakin besar jika NJOP-nya juga tinggi. Perumahan mewah yang memiliki NJOP yang tinggi, maka dapat menyumbang terhadap peningkatan nilai PBB itu sendiri. Pasar properti seperti perumahan real estate di Kota Bogor mengalami perkembangan positif. Hal tersebut karena kemudahan aksesabilitas Kota Bogor yang dekat dengan Kota Jakarta, sehingga menjadikan Kota Bogor sebagai peluang bisnis perumahan untuk hunian yang nyaman baik bagi warganya, maupun bagi penduduk pendatang. Tabel 20 merupakan perkembangan PBB Kota Bogor yang mengalami peningkatan dari tahun 2006 sampai tahun 2011. Tabel 20 Target dan realisasi bagi hasil PBB Kota Bogor tahun 2006-2011 Tahun Target (Rp) Realisasi (Rp) Pencapaian (%) 2006 24 453 912 556 33 345 281 522 136.36 2007 28 613 064 592 35 734 260 221 124.89 2008 32 345 281 522 39 877 387 385 123.29 2009 35 845 281 522 46 259 548 911 129.05 2010 49 945 281 522 57 281 068 914 114.69 2011 50 945 281 522 65 873 117 029 129.30 Sumber: Bidang Penetapan Dinas Pendapatan Daerah (2012)
Perkembangan pembangunan perumahan di Kota Bogor juga telah bergeser ke daerah pedesaan, seperti yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja. Dari total luas lahan Kelurahan Mulyaharja 479.005 ha, terdapat sekitar 20.88% pembangunan yang direncanakan untuk perumahan real estate. Dengan adanya pembangunan perumahan tersebut, telah menyumbang sebesar 75% dari 98% PBB yang terealisasi pada tahun 2012 di Kelurahan Mulyaharja. Persentase tersebut merupakan kontribusi terbesar yang diberikan oleh perumahan kepada Kelurahan Mulyaharja. Hal ini karena ada 6 061 objek wajib pajak yang berasal dari perumahan dan infrastruktur pendukungnya, seperti sarana rekreasi dan restoran. Untuk ketetapan pajak per tahunnya yaitu Rp 3 736 200 557 milyar. Sebaliknya, ketetapan pajak untuk rumah penduduk asli Kelurahan Mulyaharja yang paling tinggi hanya sekitar ± Rp 300 000/tahun, bahkan ada yang tidak membayar pajak
53 karena kondisi perekonomiannya yang rendah. Oleh sebab itu, pada tahun 2012 realisasi PBB Kelurahan Mulyaharja tidak mencapai 100%. Jumlah objek pajak pada perumahan real estate di Kelurahan Mulyaharja merupakan yang terbesar di antara kelurahan-kelurahan lain yang ada di Kecamatan Bogor Selatan. Besarnya jumlah objek pajak pada perumahan real estate, menyebabkan perolehan PBB yang diterima Kelurahan Mulyaharja juga cukup besar. Dengan demikian, konversi lahan pertanian menjadi perumahan real estate yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja telah memberikan peran positif dalam meningkatkan pendapatan daerah yang berasal dari PBB. 7.3
Potensi Kerugian terhadap Peluang Kerja Petani
Lahan pertanian khususnya lahan sawah dan lahan kering merupakan aset usaha penting yang dimanfaatkan oleh petani. Sebagian besar, usaha tani ini melekat kuat di daerah pedesaan yang pada umumnya menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan di daerah perkotaan. Dilatarbelakangi oleh minimnya tingkat pendidikan di daerah pedesaan, keahlian yang hanya dimiliki dalam berusaha tani menjadikan lahan pertanian sebagai lahan kerja tetap untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terutama jika pertanian tersebut tidak hanya bergerak pada kegiatan on-farm saja tetapi juga pasca panen (off-farm), maka tenaga kerja yang mungkin saja dibutuhkan akan semakin besar lagi. Mengingat bahwa sebagian besar tenaga kerja tersebut adalah masyarakat lokal, sehingga penyerapan tenaga kerja yang diberikan oleh lahan pertanian dapat membantu dalam meningkatkan nilai ekonomi rumah tangga petani. Pada lahan sawah, kebutuhan tenaga kerja untuk usaha tani on-farm adalah lebih besar karena dibutuhkannya curahan tenaga yang lebih lama untuk setiap kali masa tanam per hektar. Sesuai kondisi di lokasi penelitian, lahan sawah yang dimanfaatkan membutuhkan tenaga kerja seperti untuk perbaikan pematang, pengolahan tanah, tanam, penyiangan, pemupukan, panen, dan pasca panen (penjemuran dan pengangkutan). Kebutuhan tenaga kerja akan semakin besar ataupun lebih lama jika lahan yang dibudidayakan semakin luas. Dari hasil wawancara dengan pengurus kelompok tani dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), kegiatan penanaman padi yang dilakukan selama setahun hanya dilakukan
54 selama dua setengah kali masa tanam (MT), yaitu MT1: Januari-awal April, MT2: Juni-awal Agustus, dan MT3: Oktober-awal Januari. Penanaman padi selama tiga kali dalam setahun jarang dilakukan, karena petani mempertimbangkan kondisi tanah yang memperlukan waktu recovery. Jika dipaksakan untuk dilakukan tiga kali penanaman selama setahun, maka dikhawatirkan produksi padi pada akhir tahun akan semakin turun sehingga petani yang akan mengalami kerugian. Tenaga kerja yang dibutuhkan pada lahan sawah tersebut terdiri dari dua yaitu tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja upah. Perbandingan kedua sumber tenaga kerja ini lebih besar digunakan pada tenaga kerja upah dengan mengalokasikan curahan tenaga pada kondisi yang berbeda. Pada tenaga kerja laki-laki dibutuhkan untuk kegiatan pengolahan tanah, pemupukan, dan pengangkutan pada pasca panen. Sementara itu, untuk tenaga kerja wanita biasa digunakan hanya untuk kegiatan tanam, penyiangan, dan panen. Kegiatan budidaya pada lahan sawah di lokasi penelitian masih konvensional, yaitu tanpa menggunakan tenaga mesin seperti traktor. Oleh karena itu, kegiatan pada pengolahan tanah dilakukan secara tradisional menggunakan hewan kerbau dengan bantuan tenaga kerja pria. Dengan menggunakan persamaan (1) maka keperluan tenaga kerja pada usaha tani padi sawah menyerap 362.5 hari kerja pria (HKP/ha/tahun) dan 254.3 hari untuk kerja wanita (HKW/ha/tahun). Jika dipersentasikan, dengan menggunakan persamaan (3) dan (4) maka berdasarkan sumber tenaga kerjanya, lahan sawah menyerap tenaga kerja keluarga sebesar 17% dan tenaga kerja upahan sebesar 83%. Sebaliknya, dengan menggunnakan persamaan (5) dan (6) berdasarkan jenis tenaga kerjanya yaitu tenaga pria 33% dan tenaga wanita 67%. Adapun curahan tenaga yang dibutuhkan pada lahan sawah dijabarkan seperti pada Tabel 21. Tabel 21 Kebutuhan tenaga kerja pada lahan sawah di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 No. 1 2 3 4 5 6
Jenis dan sumber tenaga kerja Tenaga kerja (TK) pria Tenaga kerja (TK) wanita Proporsi TK pria keluarga Proporsi TK pria upahan Proporsi TK wanita keluarga Proporsi TK wanita upahan
Sumber: Hasil analisis data (2013)
Satuan HKP/ha/thn HKW/ha/thn % % % %
Jumlah 362.5 254.3 27 73 13 87
55 Pada umumnya, upah yang diterima oleh tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja wanita pada lahan sawah berturut-turut adalah Rp 35 000 dan Rp 20 000. Sebaliknya, Rp 70 000 adalah upah yang dibayarkan oleh petani untuk membajak dengan hewan kerbau. Jika kebutuhan tenaga kerja pada lahan sawah tetap untuk setiap tahunnya, maka dengan menggunakan persamaan (7) nilai fungsi lahan sawah sebagai penyedia lapangan kerja petani adalah Rp 51 814 366.67 (tahun ke1), Rp 57 944 330.08 (tahun ke-2), Rp 76 632 470.45 (tahun ke-7), kemudian Rp 101 347 888.90 (tahun ke-12), dan sebesar Rp 141 741 479.93 (tahun ke-18). Nilai fungsi lahan sawah tersebut disajikan pada Lampiran 5. Pada lahan kering, tanaman yang dibudidayakan adalah palawija, seperti singkong, jagung, kacang tanah, padi ladang, dan talas. Curahan tenaga yang dibutuhkan pada tanaman padi ladang sama seperti tenaga kerja pada lahan sawah, yaitu tenaga kerja laki-laki dan wanita. Selanjutnya khusus untuk tanaman kacang tanah, singkong, dan talas, tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja lakilaki. Curahan tenaga kerja ini lebih banyak digunakan pada saat pengolahan tanah. Semakin luas lahan yang dibudidayakan, maka tenaga yang dibutuhkan juga semakin besar. Dengan menggunakan persamaan (2), kebutuhan tenaga kerja tersebut yaitu 162.5 hari kerja pria (HKP/ha/tahun) dan 67.1 hari kerja wanita (HKW/ha/tahun). Berdasarkan sumbernya, dengan menggunakan persamaan (3) dan (4) maka tenaga kerja yang digunakan pada lahan kering di lokasi penelitian adalah tenaga kerja keluarga (27%) dan tenaga kerja upahan (73%). Kemudian dengan menggunakan persamaan (5) dan (6) proporsi berdasarkan jenis tenaga kerjanya adalah 56% untuk tenaga kerja pria dan 44% untuk tenaga kerja wanita. Adapun curahan tenaga kerja pada lahan kering dijabarkan seperti pada Tabel 22. Tabel 22 Kebutuhan tenaga kerja pada lahan kering di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 No. 1 2 3 4 5 6
Jenis dan sumber tenaga kerja Tenaga kerja (TK) pria Tenaga kerja (TK) wanita Proporsi TK pria keluarga Proporsi TK pria upahan Proporsi TK wanita keluarga Proporsi TK wanita upahan
Sumber: Hasil analisis data (2013)
Satuan HKP/ha/thn HKW/ha/thn % % % %
Jumlah 162.5 67.1 36 64 14 86
56 Besar upah yang diberikan untuk tenaga kerja pria dan wanita pada lahan kering sama dengan upah tenaga kerja pada lahan sawah, yaitu Rp 35 000 untuk tenaga kerja pria, Rp 20 000 untuk tenaga kerja wanita, dan Rp 70 000 untuk membajak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tanaman palawija yang dibudidayakan pada lahan kering beragam, maka indeks pertanaman (IP) yang dimilliki tanaman tersebut pun berbeda. Pada lokasi penelitian, IP tanaman palawija adalah 1% (singkong), 3% (jagung), 4% (kacang tanah), 2.5% (padi ladang), dan 1% (talas). Dengan menggunakan persamaan (8), maka fungsi lahan kering sebagai penyerap tenaga kerja petani adalah Rp 15 703 442.11 (tahun ke1), Rp 17 561 257.45 (tahun ke-2), Rp 23 225 094.52 (tahun ke-7), kemudian Rp 30 715 625.96 (tahun ke-12), dan Rp 42 957 759.93 (tahun ke-18). Nilai fungsi tenaga kerja pada lahan kering tersebut disajikan pada Lampiran 6. Nilai fungsi lahan sawah dan lahan kering sebagai penyedia lapangan kerja di atas adalah nilai sosial yang dapat diterima oleh petani. Dengan adanya konversi lahan pertanian menjadi peruntukan lain seperti perumahan, maka nilai tersebut adalah nilai yang akan hilang sebagai fungsi sosial dari lahan pertanian. Oleh karena itu, konversi lahan pertanian menyebabkan hilangnya kesempatan kerja yang kemudian menyebabkan hilangnya penerimaan upah yang diterima petani. Berdasarkan nilai upah yang berlaku, maka potensi upah yang hilang akibat konversi lahan sawah dan lahan kering dicantumkan pada Tabel 23. Tabel 23 Potensi upah yang dapat hilang akibat konversi lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 Tahun Ke-1 Ke-2 Ke-7 Ke-12 Ke-18
Upah petani (Rp) Lahan sawah 1 656 638 095.24 1 852 628 735.89 2 450 136 478.52 3 240 351 748.35 4 531 838 376.72
Lahan kering 550 235 714.29 615 332 038.26 813 788 237.29 1 076 250 307.12 1 505 204 627.01
Sumber: Hasil analisis data (2013)
Nilai potensi upah yang dapat hilang ini diperoleh dari jumlah hari kerja pada setiap jenis tenaga kerja dikalikan dengan upah masing-masing tenaga kerja. Selanjutnya, nilai tersebut dirata-ratakan yang kemudian dikali dengan jumlah populasi petani di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. Nilai yang diperoleh pada
57 tahun ke-1 di-discount factor untuk melihat berapa besar upah petani yang akan hilang pada beberapa tahun kemudian. Pemilihan waktu tersebut berdasarkan dari rencana pembangunan jangka pendek dan jangka panjang wilayah Kota Bogor, serta berdasarkan RTRW sampai tahun 2031. Dengan demikian, dapat diketahui potensi upah petani yang dapat hilang akibat konversi lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor.
58
VIII PERUBAHAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN PETANI Sebagian besar petani di Kelurahan Mulyaharja adalah petani penggarap. Secara teoritis kedudukan petani penggarap paling lemah sehingga akan berpengaruh terhadap keragaan usaha tani. Hal ini berkaitan dengan kepemilikan lahan yang menyebabkan adanya proses bagi hasil yang dilakukan oleh petani kepada pemilik lahan, sehingga hasil yang diperoleh adalah produk marjinal dari input yang sudah dikeluarkan. Jumlah/proporsi input yang digunakan oleh petani lahan sawah dan lahan kering adalah sama untuk setiap musim panen. Input yang digunakan adalah benih, pupuk, dan tenaga kerja. Pupuk yang biasa digunakan oleh petani adalah pupuk organik (pupuk kandang dan sekam) dan pupuk anorganik (Urea, TSP, KCL). Penggunaan pestisida pada tanaman jarang dilakukan oleh petani, hal tersebut karena petani lebih memilih proses alami dalam struktur jejaring makanan pada hama. Konversi lahan pertanian menjadi perumahan di Kelurahan Mulyaharja selain menyebabkan penurunan pada luas areal tanam, juga mengubah produktivitas yang selanjutnya berpengaruh terhadap pendapatan petani. Adanya konversi lahan tersebut membuat kondisi Kelurahan Mulyaharja juga berubah. Terutama pada saat ini sedang dilakukannya perluasan lahan untuk pembangunan perumahan dan infrastruktur pendukungnya, menyebabkan udara di sekitarnya terkontaminasi dengan debu. Selain itu, lahan tanam yang berdekatan dengan pembangunan tersebut secara tidak langsung menyebabkan perubahan pada kondisi tanah. Dengan seluruh luas lahan di Kelurahan Mulyaharja yang memiliki kondisi tanah relatif peka terhadap erosi, menyebabkan perubahan produktivitas lahan dalam memproduksi hasil usaha tani semakin dirasakan oleh petani. Pada lahan sawah, dengan menggunakan persamaan (9) maka nilai penurunan produktivitas pada tanaman padi adalah sebesar Rp 20 325 200/ha. Nilai tersebut merupakan hasil perbandingan pada tahun sebelumnya dengan hasil panen pada tahun ini. Sama halnya pada lahan sawah, dengan menggunakan persamaan (10) maka dapat diketahui penurunan produktivitas tanaman palawija pada lahan kering sebesar Rp 16 836 480/ha. Perubahan produktivitas pada lahan sawah dan lahan kering tersebut disajikan pada Lampiran 7 dan Lampiran 8.
59 Adanya perubahan produktivitas pada lahan sawah dan lahan kering yang dialami oleh petani sebagai dampak dari konversi lahan, menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani mengalami penurunan. Jika dilihat dari kondisi yang terjadi pada petani lahan sawah, kehilangan pendapatan yang diperoleh dari selisih antara persamaan (11) dan (14) adalah sebesar Rp 1 623 989.60/ton/ha seperti yang hasilnya tercantum pada Tabel 24. Tabel 24 Perubahan pendapatan petani lahan sawah di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 Nilai Produksi Biaya Produksi Tanaman Tanaman Pendapatan (Rp/ton/ha) (Rp/ton/ha) (Rp/ton/ha) Padi Padi Sebelum konversi 5 818 760.00 2 211 239.31 3 572 432.69 Setelah konversi 4 194 770.40 2 211 239.31 2 042 011.09 Selisih perubahan 1 623 989.60 0 1 623 989.60 Sumber: Hasil analisis data (2013)
Kemudian, hal serupa juga terjadi pada petani lahan kering. Konversi lahan pertanian menyebabkan kehilangan pendapatan yang diterima petani dari hasil usaha tani yaitu sebesar Rp 1 312 288.77/ton/ha. Nilai tersebut didapat dari selisih antara persamaan (12) dan (16). Perubahan pendapatan pada lahan kering dapat dilihat pada Tabel 25. Penurunan pendapatan pada petani lahan kering lebih kecil dibandingkan dengan petani lahan sawah. Hal ini karena sebagian besar petani lahan kering menggarap jenis tanaman yang memiliki indeks pertanaman (IP) 1%, seperti singkong. Jika dipersentasekan, kehilangan pendapatan petani lahan kering tersebut pada jenis tanaman padi ladang adalah 46.99%, sebaliknya pada tanaman palawija yaitu sebesar 53.01%. Tabel 25 Perubahan pendapatan petani lahan kering di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor tahun 2013 Nilai Produksi Tanaman (Rp/ton/ha) Padi ladang Palawija Sebelum konversi Setelah konversi Selisih perubahan
Biaya Produksi Tanaman (Rp/ton/ha) Padi ladang Palawija
Pendapatan (Rp/ton/ha)
1 402 041.27
4 654 936.00
428 170.78
3 709 650.33
9 338 456.82
785 447.17
3 959 241.33
428 170.78
3 709 650.33
8 026 168.05
616 594.10
695 694.67
0
0
1 312 288.77
Sumber: Hasil analisis data (2013)
60 Dari hasil data tersebut menunjukkan bahwa implikasi dari konversi lahan pertanian (lahan sawah dan lahan kering) yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor, telah berdampak pada pendapatan petani yang diperoleh dari hasil pertanian. Oleh sebab itu, perlu adanya suatu kebijakan dari pemerintah Kota Bogor untuk dapat melindungi nasib petani dari kerugian yang ditimbulkan tersebut. Hal ini dapat berupa solusi untuk mensubtitusi pendapatan yang hilang. Dengan demikian, kerugian sosial maupun ekonomi yang dirasakan petani dari konversi lahan pertanian dapat diminimalisir.
61
IX SIMPULAN DAN SARAN 9.1
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, penulis dapat mensimpulkan yaitu: 1.
Merujuk dari Peraturan Daerah Kota Bogor mengenai RPJPD tahun 20052025 dan RTRW tahun 2011-2031 bahwa faktor-faktor kebijakan konversi lahan pertanian menjadi perumahan di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor adalah (1) dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah akibat tingginya jumlah penduduk Kota Bogor dengan perumahan berkepadatan rendah, (2) didukung dengan adanya pengembangan lahan untuk kegiatan jasa dan perdagangan yang merupakan salah satu implementasi visi Kota Bogor sebagai Kota Jasa, serta (3) tingginya investasi pada non-sektor pertanian yang diperoleh Kota Bogor beberapa tahun terakhir ini memberikan insentif ekonomi dalam rangka meningkatkan pengembangan lahan dengan potensi ekonomi yang lebih besar.
2.
Manfaat ekonomi dari konversi lahan pertanian yaitu dapat memberikan kontribusi terhadap PDRB Kota Bogor dilihat dari sisi peningkatan belanja pemerintah, dan meningkatnya PBB Kelurahan Mulyaharja dengan persentase 75% dari total PBB per tahunnya. Sebaliknya, potensi kerugian ekonomi berdasarkan hilangnya nilai fungsi tenaga kerja petani akibat konversi lahan pertanian, yaitu (1) pada lahan sawah Rp 51 814 366.67/tahun dengan total kehilangan upah sebesar Rp 1 656 638 095.24/tahun, dan (2) pada lahan kering adalah Rp 15 703 442.11/tahun dengan total kehilangan upah sebesar Rp 550 235 714.29/tahun.
3.
Konversi lahan pertanian yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja juga menyebabkan perubahan produktivitas hasil pertanian dan hilangnya pendapatan yang diterima petani. Pada petani lahan sawah nilai turunnya produktivitas yaitu Rp 20 325 200/ha dengan kehilangan pendapatan sebesar Rp 1 623 989.60/ton/ha. Sebaliknya, pada petani lahan kering nilai turunnya produktivitas yaitu Rp 16 836 480/ha dengan pendapatan yang hilang sebesar Rp 1 312 288.77/ton/ha.
62 9.2
Saran
Dari simpulan di atas maka rekomendasi kebijakan yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah Kota Bogor adalah: 1.
Dikarenakan hampir 80% kepemilikan lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja merupakan milik developer, sehingga peluang beralih fungsi menjadi peruntukan lain akan semakin besar. Oleh karena itu, perlu adanya penyerapan tenaga kerja rumah tangga petani di sub-sektor pertanian dalam hal ini adalah off-farm, maupun di non-sektor pertanian. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi
peluang
tingginya
tingkat
pengangguran
yang
tersentralistik akibat minimnya penyerapan tenaga kerja. 2.
Lahan pertanian yang masih ada sekarang sebaiknya dipertahankan, melihat bahwa Kelurahan Mulyaharja sangat berpotensi terhadap kegiatan pertanian. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menjadikan lahan pertanian tersebut sebagai tempat agrowisata. Kegiatan pertanian yang bersifat agrowisata tidak hanya memberikan kesempatan kerja kepada petani, tetapi juga dapat memberikan peluang profit yang diterima khususnya oleh developer dalam memanfaatkan jasa pada kegiatan pertanian.
3.
Berdasarkan RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031 bahwa pengembangan wilayah Bogor Selatan diarahkan untuk tetap mempertahankan dan melindungi kawasan resapan air. Mengingat bahwa lahan pertanian memiliki multifungsi salah satunya dalam mengendalikan banjir, sehingga kebijakan yang tercantum dalam RTRW tersebut dalam mengatur struktur ruang penataan fungsi lahan sepantasnya dapat diperhatikan secara serius. Dengan demikian, pengembangan lahan yang dilakukan di Kelurahan Mulyaharja tetap dapat memperhatikan keberlanjutan dari fungsi ekologis lahan itu sendiri.
63
DAFTAR PUSTAKA Astuti DI. 2011. Keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu sungai Ciliwung Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dinas Pendapatan Daerah. 2012. Target dan realisasi bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) Kota Bogor. Bidang Penetapan Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2010. Peraturan daerah nomor 7 tahun 2009 tentang rencana pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025 seri E. Bappeda Kota Bogor. ________________. 2008. Materi teknis rencana tata ruang Kota Bogor tahun 2011-2031. Bappeda Kota Bogor. Badan Pertanahan Nasional. 2012. Neraca penatagunaan tanah Kota Bogor tahun 2011. BPN Kota Bogor. Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik daerah Kota Bogor dalam angka 2012. BPS Kota Bogor. ________________. 2012. Statistik daerah Kecamatan Bogor Selatan dalam angka 2012. BPS Kota Bogor. ________________. 2012. Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Bogor tahun 2007-2011. BPS Kota Bogor. ________________. 2011. Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Bogor tahun 2006-2010. BPS Kota Bogor. ________________. 2011. Luas lahan menurut jenis pengairan dan penggunaannya di Provinsi Jawa Barat tahun 2006-2010. BPS Jawa Barat. ________________. 2011. Perkembangan jumlah penduduk Kota Bogor hasil sensus penduduk 1971-2010. BPS Kota Bogor. Barokah U, Supardi S, H Mulya S. 2011. Dampak konversi lahan pertanian terhadap pendapatan rumah tangga petani di Kabupaten Karanganyar. Ebookbrowse [Internet]. [diunduh 2012 Okt 2]. Tersedia pada: http://ebookbrowse.com/um/umi-barokah. Elizabeth R. 2007. Fenomena sosiologis metamorphosis petani ke arah keberpihakan pada masyarakat petani di pedesaan yang terpinggirkan terkait konsep ekonomi kerakyatan. PSE [Internet]. [diunduh 2012 Des 25];25(1):29–42. Tersedia pada: http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles /FAE25-1c. Filosofianti L. 2010. Kebijakan penataan ruang dan alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Irawan SB, H Siregar, U Kurnia. 2006. Evaluasi ekonomi lahan pertanian: pendekatan nilai manfaat multifungsi lahan sawah dan lahan kering. Repository [Internet]. [diunduh Nov 6];11(3):31-41. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52121. Irawan. 2007. Nilai ekonomi lahan pertanian berdasarkan manfaat multifungsinya. Jurnal Sumberdaya Lahan. 1(3):21-32. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
64 Irawan. 2007. Valuasi ekonomi lahan pertanian pendekatan nilai manfaat multifungsi lahan sawah dan lahan kering: studi kasus di sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Irawan B. 2005. Konversi lahan sawah: potensi dampak, pola pemanfaatannya, dan faktor determinan. PSE [Internet]. [diunduh 2012 Nov 6];23(1):1-18. Tersedia pada: http//pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE23-1a.pdf. Jayadinata JT. 1999. Tata guna tanah dalam perencanaan pedesaan perkotaan dan wilayah. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Maulana M. 2004. Peranan luas lahan, intensitas pertanaman dan produktivitas sebagai sumber pertumbuhan padi sawah di Indonesia 1980-2001. PSE [Internet]. [diunduh 2013 Feb 27]:22(1):74-95. Tersedia pada: pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE-22-1-4.pdf. Munir M. 2008. Pengaruh konversi lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Musthikaningtyas NR. 2009. Dampak pembangunan properti terhadap kesejahteraan masyarakat di Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nugroho I, Dahuri R. 2004. Pembangunan wilayah: perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Jakarta (ID): Pustaka LP3ES Indonesia. Hlm 130-141. Sadikin IM. 2009. Analisis dampak konversi lahan pertanian terhadap produksi padi dan land rent kasus perumahan Pakuan Regency, Bogor Barat, Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sekaran U. 2006. Metode penelitian untuk bisnis. Jakarta (ID): Salemba Empat. Hlm 128. Sihite JHS. 2001. Evaluasi dampak erosi tanah model pendekatan ekonomi lingkungan dalam perlindungan DAS: kasus Sub-DAS Besai–DAS Tulang Bawang, Lampung [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Subali A. 2005. Pengaruh konversi lahan terhadap pola nafkah rumahtangga petani studi kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sumaryanto, Friyatno S, Irawan B. 1995. Konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dan dampak negatifnya. Paddy Field Conversion to NonAgriculture Utilization and its Negative Impacts Prosiding [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID): BALIT TANAH. hlm 1-18; [diunduh 2012 Nov 6]. Tersedia pada: http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/prosiding/mflp2001/su maryanto.pdf.
65 Lampiran 1 Peta wilayah Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor
U
66
Lampiran 2 Waktu pelaksanaan penelitian JADWAL PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN APRIL – AGUSTUS 2013 DAN JANUARI 2014 No 1
Kegiatan
April 1
2
3
Mei 4
1
2
3
Juni 4
1
2
3
Juli 4
1
2
Agustus 3
4
1
2
3
Januari 4
1
2
3
4
Pra-Kegiatan Survei lokasi Pembuatan proposal penelitian Approval proposal Persiapan turun lapang
2
Kegiatan Penelitian Pengambilan data Evaluasi data
3
Pasca-Kegiatan Pengolahan dan analisis data Penyelesaian skripsi Seminar Revisi skripsi Approval skripsi Sidang skripsi Perbaikan Wisuda
4
65 6
65
4 6
Lampiran 3 Tahapan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Bogor Tahun 2005-2025 Misi 1. Mengembangkan perekonomian masyarakat dengan titik berat pada jasa yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada No 1
2
Arah pembangunan Perekonomian dikembangkan dengan memperkuat perekonomian lokal agar berdaya saing tinggi untuk menghadapi tantangan global. Menciptakan iklim investasi yang kondusif guna mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkualitas melalui regulasi perizinan yang lebih efektif dan efisien, serta peningkatan infrastruktur sebagai penunjang investasi.
●
●
●
2005-2009 Pemetaan potensi ekonomi lokal.
Mewujudkan sistem pelayanan terpadu. Terciptanya iklim investasi yang kondusif.
●
●
●
●
●
2010-2014 Meningkatkan sektor tersier, khususnya perdagangan sebagai sektor unggulan. Penyiapan sarana dan prasarana ekonomi (termasuk regulasi) yang mendukung peningkatan investasi. Mempertahankan iklim investasi yang kondusif. Terciptanya dan tersedianya paket-paket insentif bersaing bagi investasi. Peningkatan promosi investasi untuk menarik investor.
●
●
●
●
●
2015-2019 Mengembangkan sektor tersier sebagai sektor unggulan.
Pemantapan regulasi bagi peningkatan investasi. Mempertahankan iklim investasi yang kondusif. Terciptanya dan tersedianya paketpaket insentif bersaing bagi investasi. Peningkatan promosi investasi untuk menarik investor.
●
●
●
●
●
2020-2024 Memantapkan sektor tersier sebagai sektor unggulan.
Pemantapan regulasi bagi peningkatan investasi. Mempertahankan iklim investasi yang kondusif. Terciptanya dan tersedianya paketpaket insentif bersaing bagi investasi. Peningkatan promosi investasi agar Kota Bogor menjadi salah satu tujuan investor.
67
65 68
Lampiran 3 (Lanjutan) No 3
4
Arah pembangunan Di sektor primer, diarahkan pada peningkatan nilai tambah dan daya saing produk-produk pertanian melalui pelaksanaan pertanian yang baik berkenaan dengan penguatan ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan. Di sektor sekunder, diarahkan pada peningkatan daya saing industri pengolahan dengan cara peningkatan kualitas.
●
●
●
●
5
Di sektor tersier, diprioritaskan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian di Kota Bogor di setiap sub-sektornya.
●
●
2005-2009 Menjaga tingkat ketahanan pangan dan mengembangkan agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, dan berkelanjutan.
●
Penerapan standar kualitas. Penerapan teknik pengendalian kualitas Perencanaan wilayah industri yang berwawasan lingkungan.
●
Perancangan kawasan bisnis dan perdagangan. Penataan sektor jasa perdagangan informal (PKL).
●
●
●
●
2010-2014 Menjaga tingkat ketahanan pangan dan mengembangkan agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, dan berkelanjutan.
Penerapan standar kualitas. Penerapan teknik pengendalian kualitas Penyediaan sarana dan prasarana pendukung guna terciptanya wilayah industri yang berwawasan lingkungan. Terwujudnya kawasan bisnis dan perdagangan. Penataan sektor jasa perdagangan informal (PKL).
●
●
●
●
●
2015-2019 Menjaga tingkat ketahanan pangan dan mengembangkan agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, dan berkelanjutan.
●
Penerapan standar kualitas. Penerapan teknik pengendalian kualitas. Pembangunan wilayah industri yang berwawasan lingkungan.
●
Pengelolaan kawasan bisnis dan perdagangan.
●
Sumber: Dirangkum dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Bogor Tahun 2005-2025 Seri E
●
●
2020-2024 Menjaga tingkat ketahanan pangan dan mengembangkan agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Penerapan standar kualitas. Penerapan teknik pengendalian kualitas Pengelolaan wilayah industri yang berwawasan lingkungan.
Terpeliharanya keberlanjutan kawasan bisnis dan perdagangan.
69 Lampiran 4 Peta rencana pengembangan lahan di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor
Sumber: Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor Tahun 2011-2031
Keterangan gambar: Sungai
Sempadan infrastruktur
Danau/Situ
Perumahan kepadatan rendah
Jalan lokal
Perdagangan dan jasa
Jalan arteri primer
Ruang terbuka hijau
Rencana jalan kolektor sekunder
Fasilitas pendidikan
Sempadan sungai
Fasilitas olah raga dan rekreasi
70 Lampiran 5 Nilai fungsi lahan sawah sebagai penyedia lapangan kerja
No
Luas lahan (ha)
Kebutuhan tenaga kerja (HOK/Ha)
Upah (Rp/HOK)
Bajak
Pria
Wanita
Bajak
Pria
Wanita
IP* (%)/th n
Nilai fungsi tenaga kerja (Rp/tahun)
1
0.3
1
2
5
70 000
35 000
20 000
2.5
180 000
2
0.5
1
3
9
70 000
35 000
20 000
2.5
443 750
3
0.5
1
2
5
70 000
35 000
20 000
2.5
300 000
4
0.2
1
2
5
70 000
35 000
20 000
2.5
120 000
5
0.2
1
2
5
70 000
35 000
20 000
2.5
120 000
6
0.5
1
3
9
70 000
35 000
20 000
2.5
443 750
7
0.2
1
2
5
70 000
35 000
20 000
2.5
120 000
8
0.12
1
2
5
70 000
35 000
20 000
2.5
72 000
9
0.2
1
2
5
70 000
35 000
20 000
2.5
120 000
10
0.3
1
2
5
70 000
35 000
20 000
2.5
180 000
11
0.2
1
2
5
70 000
35 000
20 000
2.5
120 000
12
0.2
1
2
5
70 000
35 000
20 000
2.5
120 000
13
0.5
1
3
9
70 000
35 000
20 000
2.5
443 750
14
0.5
1
3
9
70 000
35 000
20 000
2.5
443 750
15
0.6
1
4
9
70 000
35 000
20 000
2.5
585 000
16
0.3
1
4
7
70 000
35 000
20 000
2.5
262 500
17
0.5
1
4
8
70 000
35 000
20 000
2.5
462 500
18
0.4
1
4
9
70 000
35 000
20 000
2.5
390 000
19
0.3
1
2
7
70 000
35 000
20 000
2.5
210 000
20
0.3
1
2
7
70 000
35 000
20 000
2.5
210 000
21
0.3
1
2
7
70 000
35 000
20 000
2.5
210 000
22
0.5
1
4
11
70 000
35 000
20 000
2.5
537 500
23
0.5
1
2
7
70 000
35 000
20 000
2.5
350 000
24
0.2
1
4
7
70 000
35 000
20 000
2.5
175 000
25
0.2
1
1
4
70 000
35 000
20 000
2.5
92 500
26
0.2
1
2
4
70 000
35 000
20 000
2.5
110 000
27
0.2
1
3
4
70 000
35 000
20 000
2.5
127 500
28
0.5
1
4
7
70 000
35 000
20 000
2.5
437 500
29
0.4
1
4
7
70 000
35 000
20 000
2.5
350 000
30
0.5
1
5
9
70 000
35 000
20 000
2.5
531 250
Rata-rata x populasi
51 814 366.67
Diketahui suku bunga (i) = 5.75%, maka nilai fungsi tenaga kerja untuk tahun ke-2, ke-7, ke-12, dan ke-18 adalah: Tahun Nilai fungsi tenaga kerja (Rp/tahun)
Ke-2
Ke-7
Ke-12
Ke-18
57 944 330.08
76 632 470.45
101 347 888.90
141 741 479.93
*) Keterangan: Indeks pertanaman (IP) dihitung dari banyaknya masa tanam tanaman padi sawah dalam 1 tahun
69
Lampiran 6 Nilai fungsi lahan kering sebagai penyedia lapangan kerja
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Luas Lahan (Ha) 0.5 0.05 0.01 0.1 0.1 0.2 0.5 0.04 0.1 1
Tanaman singkong singkong jagung singkong singkong singkong singkong singkong padi ladang singkong
0.3 kacang tanah 0.1 padi ladang
Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK/ha) Bajak Pria Wanita
Upah (Rp/HOK) Bajak
Pria
Wanita
Nilai fungsi tenaga kerja (Rp/tahun)
IP* (%)/tahun
1 1
35 000 35 000
1 3
1 750 1 050
3
35 000
1
52 500
1
3 4
6
70 000
35 000 35 000
20 000
2.5 1
73 750 140 000
1
3
6
70 000
35 000
20 000
2.5
73 750
13 14
0.06 jagung 0.2 singkong
1 2
35 000 35 000
1
14 000
15 16 17
0.25 jagung 0.1 singkong 0.2 singkong
2
35 000
3
52 500
2
35 000
1
14 000
71
66 72
Lampiran 6 (Lanjutan)
No
Luas lahan (Ha)
Tanaman
18
0.03 singkong
19 20 21 22 23 24 25 26
0.15 0.6 0.4 0.3 0.1 0.09 0.1 0.15
27 28
0.06 kacang tanah 0.07 padi ladang
29 30
padi ladang singkong padi ladang padi ladang padi ladang padi ladang singkong padi ladang
Kebutuhan tenaga kerja (HOK/ha) Bajak Pria Wanita 1
Upah (Rp/HOK)
Nilai fungsi tenaga kerja (Rp/tahun)
IP* (%)/tahun
Bajak
Pria
Wanita 20 000 20 000 20 000 20 000 20 000 20 000
2.5 1 2.5 2.5 2.5 2.5
110 625 42 000 425 000 292 500 60 000 49 500
6
70 000
1 1 1 1
3 2 5 4 2 2
9 9 5 4
70 000 70 000 70 000 70 000
35 000 35 000 35 000 35 000 35 000 35 000
1
3
6
70 000
35 000
20 000
2.5
110 625
1
2
4
70 000
35 000
20 000
2.5
38 500
1 1
14 000 21 000
0.2 talas 0.2 singkong
2 3
35 000 35 000
15 703 442.11
Rata-rata x populasi Diketahui suku bunga (i) = 5.75%, maka nilai fungsi tenaga kerja untuk tahun ke-2, ke-7, ke-12, dan ke-18 adalah: Tahun Nilai fungsi tenaga kerja (Rp/tahun)
Ke-2
17 561 257.45
Ke-7
Ke-12
Ke-18
23 225 094.52
30 715 625.96
42 957 759.93
*) Keterangan: Indeks pertanaman (IP) dihitung dari banyaknya masa tanam tanaman palawija dalam 1 tahun
73 Lampiran 7 Produktivitas padi lahan sawah
No
Tanaman
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi padi
Luas tanam (ha) 0.3 0.5 0.5 0.2 0.2 0.5 0.2 0.12 0.2 0.3 0.2 0.2 0.5 0.5 0.6 0.3 0.5 0.4 0.3 0.3 0.3 0.5 0.5 0.2 0.2 0.2 0.2 0.5 0.4 0.5
Sebelum konversi (kg/ha)
Setelah konversi (kg/ha)
Harga (Rp/kg)
750 1 500 1 000 200 300 250 100 300 700 400 400 300 1 000 750 1 500 1 000 1 500 1 250 600 1 000 750 1 250 1 250 1 500 450 500 300 1 250 1 000 1 250 Jumlah
500 1 200 750 120 200 200 70 200 500 300 300 200 750 500 1 500 700 1 000 800 400 750 500 800 800 1 000 300 500 200 800 750 800
6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800 6 800
Nilai turunnya hasil panen (Rp/ha) 510 000 1 020 000 850 000 108 800 136 000 170 000 40 800 81 600 272 000 204 000 136 000 136 000 850 000 850 000 2 040 000 612 000 1 700 000 1 224 000 408 000 510 000 510 000 1 530 000 1 530 000 680 000 204 000 136 000 136 000 1 530 000 680 000 1 530 000 20 325 200
74 Lampiran 8 Produktivitas palawija pada lahan kering
No
Tanaman
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
singkong singkong jagung singkong singkong singkong singkong singkong padi ladang singkong kcg tanah padi ladang jagung singkong jagung singkong singkong singkong padi ladang singkong padi ladang padi ladang padi ladang padi ladang singkong padi ladang kcg tanah padi ladang talas singkong
Luas tanam (ha)
Sebelum konversi (kg/ha)
Setelah konversi (kg/ha)
Harga (Rp/kg)
0.5 3 000 0.05 500 0.01 300 0.1 1 000 0.1 1 000 0.2 2 000 0.5 1 800 0.04 200 0.1 500 1 20 000 0.3 750 0.1 500 0.06 400 0.2 1 500 0.25 5 500 0.1 3 000 0.2 4 500 0.03 150 0.15 400 0.6 6 000 0.4 2 000 0.3 800 0.1 200 0.09 200 0.1 600 0.15 400 0.06 4 500 0.07 400 0.2 700 0.2 1 500 Jumlah
2 000 400 250 850 800 1 500 1 500 100 300 10 000 700 300 350 1 300 5 000 2 000 4 000 100 100 5 000 700 750 90 160 500 300 4 000 200 680 1 200
1 000 1 000 3 000 1 000 1 000 1 000 1 000 1 000 6 800 1 000 5 000 6 800 3 000 1 000 3 000 1 000 1 000 1000 6 800 1 000 6 800 6 800 6 800 6 800 1 000 6 800 5 000 6 800 2 000 1 000
Nilai turunnya hasil panen (Rp/ha) 500 000 5 000 1 500 15 000 20 000 100 000 150 000 4 000 136 000 10 000 000 75 000 136 000 9 000 40 000 375 000 100 000 100 000 1 500 306 000 600 000 3 536 000 102 000 74 800 24 480 10 000 102 000 150 000 95 200 8 000 60 000 16 836 480
73 Bukti dokumentasi penelitian 1). Wawancara dengan stakeholder dan petani
2). Kondisi pertanian tanaman padi sawah dan palawija
tanaman padi
tanaman jagung
tanaman talas
tanaman singkong
71 3). Jenis pupuk yang digunakan
pupuk urea
pupuk kandang 4). Konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian
pupuk TSP
69
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bogor pada tanggal 18 Januari 1992 dan merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis dibesarkan dan dididik dengan kasih sayang yang melimpah oleh orang tua kandung yaitu dari pasangan Agus Mucharom Kuswara dan Siti Halimah. Penulis menjalani pendidikan sejak tahun 1996 sampai 1997 di TK Nurul Umat, setelah itu melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Bangka 4 dari tahun ajaran 1996/1997 sampai tahun ajaran 2002/2003. Setelah lulus, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 18 Kota Bogor pada tahun ajaran 2003/2004 sampai tahun ajaran 2005/2006. Pada tahun ajaran 2006/2007, penulis melanjutkan pendidikan di SMA PGRI 1 Bogor dengan peringkat lulusan sebagai siswa berprestasi tahun ajaran 2008/2009. Selama menjalani pendidikan di SMP dan SMA, penulis mengikuti berbagai kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi di dalam lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, yaitu Paduan Suara, OSIS, PASKIBRA, FK-PSKB (Forum Komunikasi Paskibra Sekolah Kota Bogor) tahun 2007, dan sempat mengikuti kegiatan Marching Band Kota Bogor pada tahun 2007. Penulis juga menjalani pendidikan non-formal di LIA Bogor mulai dari Elementary Levels pada Juli 2007, sampai dengan High Intermediate 3 pada April 2009. Kemudian penulis melanjutkan di perguruan tinggi negeri Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Selektif Masuk IPB (USMI). Saat masih menjadi mahasiswa TPB IPB, penulis ikut terlibat sebagai anggota Gentra Kaheman di divisi tari tahun 2010. Setelah melewati semester dua, penulis menjadi salah satu civitas akademika dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Melalui organisasi REESA (Resource Environmental and Economics Student Assosiation) sebagai himpunan profesi departemen, penulis ikut aktif berpatisipasi dalam berbagai kegiatan kepanitiaan selama periode 2010/2011 dengan menjabat sebagai sekretaris divisi Public Relation.