PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI (Kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)
MISBAHUL MUNIR A14204001
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN MISBAHUL MUNIR. PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI. Studi Kasus Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah (Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO). Penelitian ini menggunakan konsep tentang konversi lahan dan tingkat kesejahteraan sebagai bahan analisisnya. Konversi lahan pertanian dalam hal ini erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Berangkat dari pandangan umum bahwa konversi lahan pertanian akan menyebabkan penurunan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Penelitian ini mencoba mengungkap kebenaran dari hal tersebut atau minimal sebagai pembanding dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis lebih dalam mengenai: (1) Faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi lahan pertanian, (2) Pengaruh konversi lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Berkaitan dengan tujuan penelitian, studi ini juga berusaha menganalisis secara singkat mengenai dampak dari kegiatan konversi lahan tersebut baik dilihat dari segi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Pilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja yaitu di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei hingga Juni 2008. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa kajian atas lokasi penelitian dapat menjawab permasalahan pokok studi ini secara lebih spesifik. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan didukung data kualitatif. Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan penyebaran kuesioner kepada 30 responden, cara wawancara mendalam dan pengamatan selama penelitian berjalan. Data sekunder diperoleh dari dokumen, baik dokumen pemerintah desa maupun tokoh dan lembaga desa yang ada. Mayoritas penduduk Desa Candimulyo adalah petani dan buruh tani yaitu 2353 jiwa (70.4 %). Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa pertanian masih merupakan mata pencaharian yang utama bagi penduduk di sini selain menjadi pedagang dan wiraswasta. Mayoritas petani yang menjadi responden adalah petani yang tidak mengkonversikan lahannya yang rata-rata kepemilikan lahannya antara 0.25-0.5 hektar. Hal ini didasarkan pada proporsi dari populasi. Konversi lahan yang terjadi di desa penelitian telah terjadi sejak tujuh tahun silam. Konversi lahan tersebut adalah konversi lahan pertanian menjadi pertambangan pasir dan batu. Hal ini berawal dari jatuhnya harga komoditas pertanian mereka di samping kelangkaan saprotan. Tiap tahun, terdapat pengurangan luas lahan pertanian di desa ini secara progresif. Lahan pertanian dikepres habis pasir dan batunya sehingga kini tampak seperti bukit berongga. Faktor-faktor pendorong terjadinya konversi lahan di Desa Candimulyo sebenarnya berawal dari keinginan para petani untuk mempertahankan hidupnya karena penghasilan dari bercocok tanam dirasa tidak dapat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kondisi ini memacu petani untuk mengkonversikan lahan mereka menjadi pertambangan pasir dan batu dengan
dukungan faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal meliputi umur petani, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas kepemilikan lahan, dan tingkat ketergantungan pada lahan. Tingkat ketergantungan pada lahan dalam hal ini tidak berhubungan dengan konversi lahan yang terjadi di sini. Sedangkan faktor eksternalnya meliputi pengaruh tetangga, pengaruh investor, dan kebijakan pemerintah daerah. Dalam hal ini, faktor eksternal yang berhubungan dengan konversi lahan di desa ini adalah kebijakan pemerintah daerah. Petani yang mengkonversikan lahan pada umumnya berumur antara 30-40 tahun, memiliki lebih dari empat orang tanggungan keluarga, tidak sekolah atau berpendidikan rendah, dan memiliki lahan sempit atau di bawah 0.25 hektar. Selain itu, petani-petani ini biasanya belum pernah menerima bantuan pemerintah dalam hal pengembangan pertanian misalnya pupuk dan bibit. Perhitungan statistik menunjukkan bahwa konversi lahan dalam kasus ini berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Dalam hal ini, sebuah rumahtangga petani akan lebih sejahtera ketika mengkonversikan lahannya menjadi pertambangan pasir dan batu. Hal ini dapat terjadi karena hasil pertambangan tersebut dapat dinikmati setiap hari sedangkan untuk hasil pertanian harus menunggu sampai musim panen yang paling tidak tiga sampai empat bulan. Dampak dari kegiatan konversi lahan tersebut dapat dilihat pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Antara lain dampak positif dan negatif. Dampak positif yang kini dirasakan masyarakat adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan rumahtangga petani, tingkat keamanan yang meningkat, serta bekurangnya tingkat pengangguran karena kebanyakan masyarakat yang pada awalnya menganggur kini ikut bekerja menjadi buruh penambangan pasir dan batu. Sedangkan dampak negatif yang dirasakan masyarakat adalah perubahan sikap sebagian masyarakat yang selalu ingin mengambil keuntungan dari orang lain dan dampak bagi lingkungan. Akibat penambangan tersebut, lahan pertanian menjadi rusak sehingga akan rawan banjir dan tanah longsor.
PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI (Kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)
Oleh MISBAHUL MUNIR A142004001
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Misbahul Munir
No. Pokok
: A14204001
Judul
:
Pengaruh
Konversi
Kesejahteraan
Lahan
Rumahtangga
Pertanian Petani
terhadap
(Studi
Kasus
Tingkat Desa
Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA NIP. 131 610 288 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian:_____________
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN
RUMAHTANGGA
PETANI
(KASUS
DESA
CANDIMULYO, KECAMATAN KERTEK, KABUPATEN WONOSOBO, PROPINSI JAWA TENGAH)” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA SUMBER DATA DAN INFORMASI DINYATAKAN
YANG
DIGUNAKAN
DENGAN
JELAS
DALAM DAN
TULISAN DAPAT
TELAH
DIPERIKSA
KEBENARANNYA.
Bogor, Agustus 2008
Misbahul Munir NRP. A 14204001
UCAPAN TERIMA KASIH Segala Puji dan Syukur hanya dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesabaran, dan pengetahuan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Dalam kesempatan ini, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada: 1. Keluarga besarku tercinta, Mama yang telah memberikan kasih dan doanya, adikku (Almi, Ilma), serta saudara-saudara, yang senantiasa memberikan aku semangat. Karya kecil ini kepersembahkan bagi kalian. Selamanya kalian hal yang paling indah yang pernah kumiliki. 2. Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA., selaku pembimbing utama yang telah mengarahkan dan memberi masukan sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga memohon maaf jika terdapat kesalahan dalam prilaku dan ucapan selama masa bimbingan yang kurang berkenan di hati Bapak. 3. Bapak Dr. Satyawan Sunito sebagai dosen penguji utama yang telah bersedia meluangkan waktu dan kritikan untuk memperbaiki skripsi ini. Penulis juga mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam prilaku dan ucapan yang kurang berkenan. 4. Bapak Martua Sihaloho, SP. MSi., selaku penguji dari Departemen KPM yang telah banyak mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi ini. 5. Ibu Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubbeis, MS., selaku pembimbing akademik yang banyak memberikan bimbingan dan nasehat.
6. Yunda Pramuchtia yang selalu mendukung, mendoakan, dan memberikan semangat selama penelitian yang penuh suka dan duka. 7. Ilham, Leonard, Adi, Nceq, Sani, Ami, Mira, Oline, Yoyo, Wulan, Mei, Artha, Nani, Eno, Pangkau, Tyas. Terima kasih untuk semangat dan doanya. 8. Teman-teman seperjuangan KPM 41, yang telah banyak membantu merasa sepenanggungan. Yulia, Ubi, Hadim, Bangjay, Yudi, Bayu, Udin, Depu, Ayu, Elin, Andini, Ina, Dini, Lala, Ani, Ria, Uma, Dewi, Qori, Dessy, Tutc, Nessa. 9. Pak Dede, Ibu Neni, Deni, Kiki, serta seluruh penghuni Pondok Girma, Aida, Gigit, Mela, Takur, Tile, Amaw, Aryo, Skum, Yuda, Viki, Wahid, Iyan, Anto, Aan, A’ Fahad, terima kasih telah menjadi keluarga bagiku. 10. Agria Swara IPB, terima kasih atas pengalaman luar biasa yang telah kau berikan padaku. 11. Tim dosen KPM SOSEK IPB, terimakasih telah memberikan pengajaran yang terbaik, juga untuk seluruh staff KPM yang telah membantu selama perkuliahan. 12. Pak Ashuri, Pak Warsidi, dan segenap masyarakat Desa Candimulyo. Terima kasih atas sambutan dan dukungan selama penelitian. 13. Angke Tiande Putri, semangat dan doamu selalu mengiringiku walau kau berada jauh di sana. 14. Tidak lupa rasa terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu atas bantuannya dalam penyusunan dan penyelesaian Skripsi ini. Bogor, Agustus 2008 Penulis
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmannirrohim. Alhamdulliah segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Robbi atas ridho, kasih sayang, izin dan hidayah-Nya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul Pengaruh Konversi Lahan terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani dengan studi kasus Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah merupakan karya ilmiah yang bertujuan untuk memahami sekaligus mengkaji kaitan antara kegiatan pengalihfungsian lahan pertanian dengan kondisi kesejahteraan masyarakat khususnya petani secara sosial, ekonomi dan ekologis. Penulisan skripsi terselesaikan dengan bimbingan, saran dan sumbangan pemikiran yang menarik dari berbagai pihak. Dengan rasa kekaguman dan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubbeis, MS sebagai pembimbing akademik dan Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai pembimbing studi pustaka sekaligus pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati Penulis menerima kritikan dan saran yang membangun untuk penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi dikemudian hari. Akhirnya, Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Bogor, Agustus 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Wonosobo, 26 Juni 1985 sebagai anak tunggal dari pasangan suami istri Moch. Mukmin dan Siti Aisyah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di Sekolah Kebangsaan Pogoh, Segamat, Johor, Malaysia pada tahun 1997. Pada awal tahun 1998, penulis melanjutkan lagi ke Sekolah Menengah Kebangsaan Dato’ Bentara Dalam, Segamat, Johor, Malaysia. Selanjutnya pertengahan tahun 2001, penulis melanjutkan lagi ke SMU Muhammadiyah Wonosobo dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima di Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Semasa kuliah, Penulis pernah aktif dalam beberapa organisasi, baik di dalam maupun luar kampus. Penulis pernah menjabat sebagai staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa di Badan Eksekutif Mahasiswa Faperta, staf Divisi Infokom di Keluarga Muslim Sosek, dan staf Divisi Musik di Ladang Seni Faperta. Prestasi yang pernah penulis raih yaitu juara I MTQ tingkat IPB pada tahun 2005 serta menjadi staf terbaik pada bulan Februari 2005 di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas pertanian. Prestasi terbaik yang pernah penulis peroleh yaitu mengikuti “The 11th International Choir Competition and Festival Hungary 2007” 2-5 April, dengan memperoleh dua predikat emas untuk kategori “Mix Choir” dan “Folklor” dan The Winner dalam kategori “Mix Choir”.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI...................................................................................... DAFTAR GAMBAR ......................................................................... DAFTAR TABEL.............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN......................................................................
ii iv v vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian ..................................................................
1 5 7 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Fungsi Utama Lahan .............................. 2.2 Tata Guna: Penggunaa dan Penguasaan Lahan 2.2.1 Penggunaan Lahan ............................................................ 2.2.2 Penguasaan Lahan............................................................. 2.3 Konversi Lahan dan Faktor Penyebab 2.3.1 Konversi Lahan ................................................................. 2.3.2 Faktor Penyebab................................................................ 2.4 Konsep Petani ............................................................................ 2.5 Tingkat Kesejahteraan................................................................ 2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian ke Penggunaan Non Pertanian ................................................... 2.7 Pengaruh Konversi Lahan terhadap Pola Nafkah Rumahtangga ............................................................................. 2.8 Kerangka Pemikiran Operasional .............................................. 2.9 Hipotesis Penelitian.................................................................... 2.10 Definisi Operasional ..................................................................
9 10 14 18 20 25 30 35 36 36 38 40
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 3.2 Teknik Pemilihan Responden .................................................... 3.3 Pendekatan Penelitian ................................................................ 3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data .......................................
44 44 45 46
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CANDIMULYO 4.1 Letak Geografis Desa Candimulyo ............................................ 4.2 Kependudukan, Sarana, dan Prasarana ...................................... 4.3 Ekonomi dan Potensi Desa......................................................... 4.4 Masalah Utama ..........................................................................
48 48 50 51
4.5 Ikhtisar .......................................................................................
53
BAB V PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP LAHAN 5.1 Lahan Sebagai Fungsi Ekonomi ................................................ 5.2 Lahan Sebagai Fungsi Sosial ..................................................... 5.3 Keterkaitan Antara Fungsi Ekonomi dan Sosial Lahan ............. 5.4 Ikhtisar .......................................................................................
55 56 58 60
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONVERSI LAHAN 6.1 Kondisi Konversi Lahan di Desa Candimulyo .......................... 6.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konversi Lahan........ 6.2.1 Karakteristik Petani 6.2.1.1 Umur Petani ................................................................... 6.2.1.2 Tingkat Pendidikan ........................................................ 6.2.1.3 Jumlah Tanggungan Keluarga ....................................... 6.2.1.4 Luas Kepemilikan Lahan ............................................... 6.2.1.5 Tingkat Ketergantungan pada Lahan ............................. 6.2.2 Faktor Eksternal 6.2.2.1 Pengaruh Tetangga......................................................... 6.2.2.2 Pengaruh Investor .......................................................... 6.2.2.3 Kebijakan Pemerintah Daerah........................................ 6.3 Ikhtisar .......................................................................................
78 81 83 86
BAB VII PENGAUH KONVERSI LAHAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI 7.1 Hubungan Antara Konversi Lahan dengan Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani .................................................................. 7.2 Dampak Konversi Lahan di Desa Candimulyo.......................... 7.3 Ikhtisar .......................................................................................
88 94 97
PENUTUP Kesimpulan ........................................................................................ Saran...................................................................................................
99 99
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ LAMPIRAN.......................................................................................
101 103
62 65 67 69 71 73 76
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................................ 38
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman Teks
1. Total Produksi Pertanian di Wonosobo Menurut Jenis Tanaman Pada Tahun 2006........................................................................................ 2. Perubahan Luas Lahan Sayuran Utama di Kabupaten Wonosobo Periode 2004-2007 ..................................................................................... 3. Jumlah Penduduk Lima Tahun ke Atas Dirinci Menurut Tingkat Pendidikan.................................................................................................. 4. Penduduk Desa Candimulyo Menurut Jenis Mata Pencaharian ................ 5. Jumlah Responden Menurut Umur dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008............................................................................ 6. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008 ............................................................... 7. Jumlah Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008 .................................... 8. Jumlah Responden Menurut Luas Kepemilikan Lahan dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008.................................................... 9. Jumlah Responden Menurut Tingkat Ketergantungan pada Lahan dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008 ............................. 10. Jumlah Responden Menurut Pengaruh Tetangga dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008............................................................... 11. Jumlah Responden Menurut Pengaruh Investor dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008 ............................................................... 12. Jumlah Responden Menurut Penerimaan Dukungan Pemerintah di Bidang Pertanian dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008............................................................................................................ 13. Analisis Chi Square dari Faktor-faktor yang Diduga Berhubungan dengan Konversi Lahan di Desa Candimulyo............................................ 14. Jumlah Responden Menurut Petani yang Mengkonversi Lahan dan Tingkat Kesejahteraan................................................................................ 15. Contoh Hasil Survei terhadap Responden tentang Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konversi Lahan dan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani ................................................................................
4 4 49 50 68 69 72 74 77 79 82
85 86 92
94
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian ........................................................................... 2. Gambar Komoditas Utama Petani di Desa Candimulyo....................... 3. Gambar Kondisi Konversi Lahan di Desa Candimulyo........................ 4. Kuesioner .............................................................................................. 5. Panduan Pertanyaan ..............................................................................
Halaman 104 105 106 108 112
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Lahan bagi penduduk Indonesia adalah sumber daya yang paling penting (Tjondronegoro, 1999). Seiring dengan meningkatnya kepadatan penduduk, keberadaan lahan terutama lahan pertanian menjadi semakin terancam dikarenakan kebutuhan yang lebih penting yaitu untuk tempat tinggal. Fenomena ini memacu terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian baik itu untuk kompleks perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, bahkan sarana publik. Menurut Utomo (1992), alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan didefinisikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Agus (2004) mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta hektar di Jawa dan 0,62 juta hektar di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta hektar di Jawa dan sekitar 2,7 juta hektar di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan
ketergantungan Indonesia terhadap beras impor 1 . Suman (2007) menambahkan bahwa pada rentang tahun 1992 sampai 2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektar. Angka itu melonjak pada empat tahun terakhir menjadi 145.000 hektar. Kini, ada permohonan dari pemerintah daerah kepada Badan Pertanahan Negara (BPN) untuk mengalihkan lahan pertanian seluas 3,099 juta hektar. Dari jumlah itu 1,6 juta hektar atau 53,8 persen adalah lahan subur yang berada di Jawa dan Bali. Kebutuhan pangan dalam hal ini beras terus mengalami peningkatan akibat pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita yang dirangsang oleh kenaikan pendapatan rumahtangga. Untuk mengimbangi peningkatan tersebut, produksi beras nasional harus meningkat secara memadai dalam rangka mempertahankan kecukupan pangan. Namun, berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa laju pertumbuhan produksi beras akhir-akhir ini justru semakin melambat. Pada kondisi di mana produktivitas usahatani padi sulit ditingkatkan, peningkatan luas panen padi merupakan upaya yang terpaksa dilakukan untuk meningkatkan produksi padi nasional. Namun demikian, keterbatasan sumber daya lahan dan anggaran pembangunan menyebabkan upaya tersebut semakin sulit diwujudkan. Pada situasi di mana produksi padi sulit ditingkatkan akibat meningkatknya kendala perluasan sawah dan stagnasi teknologi usahatani, konversi lahan sawah akan memperbesar masalah pangan (Irawan, 2004).
1
Fahmudin Agus. 2004. Konversi dan Hilangnya Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. http://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi.com [diakses tanggal 2 November 2007].
Konversi lahan pertanian merupakan ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan nasional karena dampaknya bersifat permanen. Lahan pertanian yang telah dikonversi ke penggunaan lain di luar pertanian sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi lahan pertanian. Demikian pula upaya untuk membangun lahan pertanian baru di luar Jawa tidak dengan sendirinya dapat mengkompensasi kehilangan produksi di Jawa, karena diperlukan waktu yang lama untuk membangun lahan pertanian dengan tingkat produktivitas yang tinggi 2 . Keberadaan lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu hilangnya lahan pertanian akibat dikonversi ke penggunaan non pertanian dapat menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan. Salah satu dampak konversi lahan yang sering mendapat sorotan masyarakat adalah terganggunya ketahanan pangan yang merupakan salah satu tujuan pembangunan nasional (Irawan, 2004). Hal yang sangat disesalkan adalah ketika konversi lahan tersebut dilakukan pada lahanlahan produktif atau bahkan ada yang telah dilengkapi dengan saluran irigasi. Kabupaten Wonosobo sebagian besar wilayahnya berada di dataran tinggi yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit. Dengan topografi demikian serta didukung oleh kesuburan tanah dan iklim yang sejuk, pertanian terutama jenis palawija dan sayuran menjadi mata pencaharian utama penduduk Wonosobo. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini menjadi penghasil utama sayur-mayur di Jawa Tengah. Di Wonosobo, sektor pertanian memberi kontribusi terbesar bagi
2
E. Pasandaran. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor. http//pse.litbang.deptan.go.id/publikasi.com. [diakses tanggal 2 Desember 2007].
kegiatan ekonomi daerah ini dari tahun ke tahun. Tahun 1999, kontribusinya mencapai 56,61 persen 3 . Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat produksi pertanian bagi daerah Wonosobo menurut jenis tanaman. Tabel 1. Total Produksi Pertanian di Kabupaten Wonosobo Menurut Jenis Tanaman Pada Tahun 2006. Jenis Tanaman
Total Produksi (ton)
Persentase (%)
Tanaman pangan utama (padi sawah, padi gogo)
151.370
26,45
Palawija (jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai)
259.862
45,41
160.999
28,14
572.231
100
Sayuran (kentang, kobis, sawi ketimun, kangkung, wortel, buncis, kacang merah, kacang panjang, cabe, tomat, bawang daun, bawang putih, bawang merah,) Jumlah Sumber: Dinas Pertanian Wonosobo, diolah.
Belakangan ini fenomena konversi lahan pertanian marak terjadi di sejumlah daerah di Wonosobo. Hal tersebut ditunjukkan dengan penurunan luas lahan sayuran utama selama empat tahun terakhir. Tabel 2 menunjukkan penurunan luas lahan pertanian sayuran utama selama periode 2004-2007 di Kabupaten Wonosobo. Tabel 2. Perubahan Luas Lahan Sayuran Utama di Kabupaten Wonosobo Periode 2004-2007. Tahun 2004 2005 2006 2007
Kentang 3.418 3.144 3.045 3.000
Luas lahan sayuran (ha) Sawi 1196 934 928 862
Kubis 3.920 3.789 3.615 3.600
Sumber: Dinas Pertanian Wonosobo, diolah.
3
Dikutip dari Retno Setyowati, Koran Kompas 6 Februari 2001, diakses melalui http://bankdata.depkes.go.id/kompas/Kabupaten%20Wonosobo.
Fenomena konversi lahan yang sedang marak terjadi di Wonosobo adalah berubahnya lahan sayuran menjadi lahan untuk pertambangan pasir dan batu. Salah satu daerah di Wonosobo terkait fenomena ini adalah di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek. Para petani di sana lebih memilih mengkonversikan lahan mereka karena penghasilan dari bercocok tanam dirasa sudah tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Banyak juga yang merelakan lahan mereka kepada investor karena tergiur dengan iming-iming harga lahan yang tinggi. Belum lagi petani yang melakukan bagi hasil dari pertambangan pasir dan batu itu. Melihat kondisi tersebut, logikanya konversi lahan pertanian artinya mengkonversi sumber penghasilan petani atau bahkan menghilangkan pekerjaan petani. Oleh karena itu, fenomena menarik yang dapat diteliti di sini adalah faktor-faktor pemicu petani untuk mengkonversikan lahan pertaniannya serta hubungan antara konversi lahan pertanian tersebut dengan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani.
1.2 Perumusan Masalah Lahan merupakan wadah faktor produksi yang strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan pola penggunaan lahan pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah. Akan tetapi perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan tidak terencana dapat berpengaruh buruk terhadap pembangunan itu sendiri. Pembangunan semacam ini tidak akan berkelanjutan.
Konversi lahan pada dasarnya tidak dapat dihindarkan dalam pelaksanaan pembangunan. Kebutuhan konversi lahan tersebut terjadi karena dua hal pokok, yaitu pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya, dan yang kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Permintaan efektif terhadap lahan juga menentukan konversi lahan. Pertambahan penduduk di suatu wilayah akan meningkatkan kepadatan penduduk di wilayah yang bersangkutan. Hal ini secara langsung meningkatkan permintaan efektif terhadap lahan di wilayah tersebut. Pertambahan jumlah penduduk memerlukan lahan yang lebih luas untuk perluasan pemukiman dan kegiatankegiatan perekonomian guna menunjang kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya tersebut. Sedangkan peningkatan tuntutan mutu hidup yang lebih baik pada dasarnya merupakan dampak positif dari keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan. Peningkatan kebutuhan lahan di beberapa wilayah berarti pengurangan terhadap luas lahan-lahan pertanian. Inti permasalahannya selain pengurangan luas lahan pertanian adalah, konversi lahan sering terjadi pada wilayah-wilayah yang subur dan pada tempat-tempat di mana telah dilaksanakan investasi untuk pembangunan irigasi. Desa Candimulyo merupakan daerah yang subur untuk pertanian. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila lahan pertanian letaknya berada dekat dengan sumber pertumbuhan ekonomi seperti perkotaan, maka akan menggeser penggunaan lahan pertanian ke bentuk lain seperti perumahan, lokasi pabrik, dan lain-lain. Hal lain yang terjadi adalah
adanya
keperluan
untuk
memenuhi
kebutuhan
yang
berkaitan
dengan
meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Ketika ada pandangan bahwa kegiatan di bidang nonpertanian lebih baik dari bidang pertanian, maka secara tidak langsung mendorong petani untuk mengkonversikan lahannya. Fenomena konversi lahan tersebut akhirnya dapat menyebabkan berkurangnya lahan pertanian, hilangnya pekerjaan dari sebagian petani, berkurangnya produksi pertanian, serta berkurangnya pendapatan sebagian masyarakat yang terkait dalam sektor pertanian tersebut. Dari uraian di atas, maka permasalahan penelitian yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah: 1. Apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan petani untuk mengkonversi lahan pertanian? 2. Bagaimana pengaruh konversi lahan pertanian tersebut terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan petani untuk mengkonversi lahan pertanian. 2. Menganalisis pengaruh konversi lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi peneliti untuk memahami permasalahan yang menjadi topik kajian dan mencari penguatan teori yang telah didapat di perkuliahan. Selain itu juga memberikan manfaat terhadap perkembangan literatur tentang penelitian agraria bagi para akademisi, peneliti lain, pihak penyelenggara proyek, dan institusi pemerintah yang berkaitan dengan proyek pembangunan pertanian. Secara praktis dapat memberikan informasi pada masyarakat, pihak swasta maupun pemerintah sebagai pihak pengambil kebijakan dalam membantu masyarakat untuk menyokong kebutuhan masyarakat khususnya petani.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Lahan dan Fungsi Utama Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan bumi yang ciri-cirinya mencakup semua tanda pengenal (attributes) atmosfer, lahan, geologi, timbulan (relief), hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun yang bersifat mendaur, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, sejauh hal-hal tadi berpengaruh murad (significant ) atas penggunaan lahan pada masa kini dan masa mendatang 4 . Jadi, lahan mempunyai ciri alami dan budaya. Menurut Notohadikusumo (2005), lahan adalah jabaran operasional kawasan. Lahan (land) ialah hamparan darat yang merupakan suatu keterpaduan sejumlah sumberdaya alam dan budaya. Lahan mengandung sejumlah ekosistem dan sekaligus juga menjadi bagian dari ekosistem-ekosistem yang dikandungnya 5 . Menurut Utomo dkk. (1992), lahan memiliki ciri-ciri yang unik dibanding sumber daya lainnya, yakni lahan merupakan sumber daya yang tidak habis, namun jumlahnya tetap dan dengan lokasi yang tidak dapat dipindahkan. Sebagaimana dipaparkan
oleh Jayadinata (1999), tanah berarti bumi (earth),
sedangkan lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukannya dan umum ada pemiliknya, baik perseorangan atau lembaga. Membahas mengenai keterkaitan lahan dengan agraria, Sitorus (2004) mengulas kembali isi UUPA 1960 pasal 1 4
Tejoyuwono Notohadiprawiro. 1996. Lahan Kritis dan Bincangan Pelestarian Lingkungan Hidup. Seminar Nasional Penanganan Lahan Kritis di Indonesia tanggal 7-8 November. INAGRO (PT. Intidaya Agrolestari), Desa Cibeuteung Udik, Parung, Bogor. http://www.FORUM.co.id [diakses tanggal 28 Desember 2007]. 5 Tejoyuwono Notohadikusumo. 2005. Implikasi Etika dalam Kebijakan Pembangunan Kawasan. http://www.FORUM.co.id [diakses tanggal 28 Desember 2007].
(ayat 2,4,5,6) di mana tanah atau lahan merupakan salah satu sumber atau objek agraria yang memiliki posisi sentral yang mewadahi semua kekayaan alami dan merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan dan penghidupan, menurut Utomo (1992) memiliki dua fungsi dasar, yakni fungsi kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan hutan produksi, dan lain-lain. Fungsi yang kedua adalah fungsi lindung; kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.
2.2 Tata Guna: Penggunaan Lahan dan Penguasaan 2.2.1 Penggunaan lahan Penggunaan lahan sangat terkait dengan tata guna lahan. Tata guna lahan menurut Jayadinata (1999) adalah pengaturan penggunaan lahan itu sendiri. Hal yang dibicarakan dalam tata guna lahan tidak hanya penggunaan permukaan bumi di daratan, tetapi juga mengenai penggunaan permukaan bumi di lautan. Aspekaspek penting dalam tata guna lahan adalah lahan dengan unsur alami lain, yaitu tubuh lahan (soil, air, iklim, dan sebagainya) serta mempelajari kegiatan manusia, baik dalam kehidupan sosial, maupun dalam kehidupan ekonomi. Dalam istilan tata guna lahan, terdapat dua unsur penting, antara lain:
a) Tata guna lahan yang berarti penataan/pengaturan penggunaan (merujuk kepada Sumber Daya Manusia), dan b) Lahan (merupakan Sumber Daya Alam), yang berarti ruang (permukaan lahan serta lapisan batuan di bawahnya dan lapisan udara di atasnya), serta memerlukan dukungan berbagai unsur alam lain, seperti air, iklim, tubuh lahan, hewan, vegetasi, mineral, dan sebagainya. Faktor geografi budaya (faktor geografi sosial) dan faktor geografi alam serta relasi antara manusia dengan alam perlu diperhitungkan dalam membahas tata guna lahan Penggunaan permukaan bumi di daratan dan di lautan, yaitu terutama penggunaan lahan dan permukaan air di suatu wilayah tertentu merupakan kegiatan penduduk yang berhubungan dengan ruang. Tata guna lahan dapat juga ditinjau menurut suatu wilayah dalam keseluruhan. Wilayah dalam pengertian geografi merupakan kesatuan alam, yaitu alam yang serba sama atau homogen dan kesatuan manusia (yaitu masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama yang mempunyai ciri khas), sehingga wilayah tersebut dapat dibedakan dengan wilayah lain (Jayadinata, 1999). Pertimbangan mengenai kepentingan atas lahan di berbagai wilayah mungkin berbeda, yakni bergantung kepada struktur sosial penduduk tertentu yang mempengaruhi prioritas bagi fungsi tertentu kepada lahan. Aturan-aturan dalam penggunaan lahan tergantung kepada kesepakatan yang berlaku di masyarakat. Beberapa kategori yang dapat membandingkan aturan tata guna lahan wilayah satu dengan lainnya, antara lain kepuasan, kecenderungan untuk kegiatan dalam tata guna lahan, luas kesadaran akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi, dan pemanfaatan/pengaturan estetika. Sehubungan dengan hal itu, Chapin (1995)
seperti dikutip oleh Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori, yakni: 1) Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli lahan di pasaran bebas. 2) Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat. 3) Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya. Utomo dkk (1992) kemudian menjelaskan bahwa secara garis besar penggunaan lahan dapat digolongkan menjadi dua, yakni: 1) Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan potensi alaminya, seperti kesuburan, kandungan mineral atau terdapatnya endapan bahan galian di bawah permukaannya. 2) Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan sebagai ruang pembangunan, di mana tidak memanfatkan potensi alaminya, tetapi lebih ditentukan oleh adanya hubungan-hubungan tata ruang dengan pengunaanpenggunaan lain yang telah ada, di antaranya ketersediaan prasarana dan fasilitas umum lainnya. Terkait hal tersebut, Utomo dkk (1992) menjelaskan tentang faktor-faktor yang menentukan karakteristik penggunaan lahan, antara lain: 1) Faktor sosial dan kependudukan; faktor ini berkaitan erat dengan peruntukan lahan bagi pemukiman atau perumahan secara luas. Secara khusus mencakup penyediaan fasilitas sosial yang memadai dan
kemudahan akses akan sarana dan prasarana kehidupan, seperti sumber ekonomi, akses transportasi, akses layanan kesehatan, rekreasi, dan lainlain. 2) Faktor ekonomi dan pembangunan; faktor ini apabila dilihat lebih jauh mencakup penyediaan lahan bagi proyek-proyek pembangunan pertanian, pengairan, industri, penambangan, transmigrasi, perhubungan, dan pariwisata. 3) Faktor penggunaan teknologi; faktor ini dapat mempercepat alih fungsi lahan ketika penggunaan teknologi tersebut bersifat menurunkan potensi lahan. Misalnya penggunaan pestisida dengan dosis yang terlalu tinggi di suatu kawasan dapat menyebabkan kerusakan lahan tersebut sehingga perlu untuk dialih fungsi. 4) Faktor kebijaksanaan makro dan kegagalan institusional; kebijakan makro yang diambil oleh pemerintah akan sangat mempengaruhi seluruh jalannya sistem kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Misalnya kebijakan makro yang memicu terjadinya transformasi struktur penguasaan lahan (struktur agraria) sebagaimana diungkapkan oleh Fauzi (1999) seperti revolusi hijau, program agro-industri, dan eksploitasi hutan. Penggunaan lahan yang merupakan tuntutan bagi manusia sebagai penopang hidup, menjelaskan bahwa alih fungsi lahan merupakan hal yang lazim dan harus terjadi. Hal tersebut didukung dengan kegagalan institusional, di mana pelaksanaan peraturan-peraturan atas sumber agraria masih lemah, serta kurang jelas
batasan-batasan
peruntukan
mempengaruhi konversi lahan.
lahan.
Faktor-faktor
tersebut
turut
2.2.2 Penguasaan Lahan Aspek penguasaan lahan seperti yang dikutip oleh Syahyuti (2005) tertuang dalam UUPA No. 5 tahun 1960. Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek ‘penguasaan dan pemilikan’ dan aspek ‘penggunaan dan pemanfaatan’. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek ‘penguasaan dan pemilikan’ jelas berbeda dengan aspek ‘penggunaan dan pemanfaatan’, karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan lahan, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana lahan (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumberdaya ekonomi 6 . Wiradi (1984) juga menjelaskan batasan pola-pola penguasaan lahan dengan menelaah istilah pemilikan, penguasasan, dan pengusahaan lahan. Kata ‘pemilikan’ merujuk kepada penguasaan formal, sedangkan ‘penguasaan’ menunjuk kepada penguasaan efektif, dalam artian mengusahakan lahan secara efektif. ‘Pengusahaan’ menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang lahan diusahakan secara produktif.
6
Syahyuti. 2005. Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. http//pse.litbang.deptan.go.id/publikasi.com. [diakses tanggal 10 Januari 2008].
Planck (1990) menyebutkan bahwa untuk menguasai lahan dapat dilakukan dengan sewa, gadai, bagi hasil, dan sebagainya. Pemilik lahan sempit dapat menggarap lahan orang lain melalui sewa atau sakap, di samping menggarap lahannya sendiri. Berdasarkan cara penguasaan tersebut, maka terdapat penggolongan penduduk pedesaan sebagai berikut: 1) Pemilik penggarap murni, yaitu petani yang menggarap lahannya sendiri. 2) Pemilik dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan tetapi memiliki garapan melalui sewa atau bagi hasil. Golongan ini termasuk ke dalam kelompok tunakisma, tetapi jika dilihat dari garapan, maka mereka termasuk pengusaha lahan efektif. 3) Pemilik penyewa dan atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya sendiri, juga menggarap lahan milik orang lain. 4) Pemilik bukan penggarap, umumnya pemilik lahan luas. 5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan dan tidak mempunyai lahan garapan. Sebagian besar mereka adalah buruh tani. Terkait dengan pola hubungan agraria (lahan), Sihaloho (2004) menggolongkan penguasaan lahan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) Masyarakat yang memiliki lahan luas dan menggarap lahannya kepada orang lain; pemilik lahan ini menerapkan sistem sewa ataupun bagi hasil. Bagi hasil yang umum disepakati adalah maro dan mertelu. 2) Pemilik lahan sempit yang melakukan pekerjaan usahatani dengan tenaga kerja keluarga. Pola ini umumnya tidak memanfaatkan tenaga kerja buruh
tani karena seluruh kegiatan usahatani dilakukan sendiri sehubungan luas lahan yang dimiliki juga sempit. 3) Pemilik lahan yang melakukan usahatani sendiri tetapi banyak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani. Petani yang dimaksud di sini adalah petani berlahan sempit maupun berlahan luas. Fenomena pemilikan lahan terkait erat dengan pertumbuhan penduduk. Makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang, sejalan dengan pertumbuhan penduduk, mereka yang tak berlahan diperkirakan semakin bertambah (tunakisma). Dalam keadaan tekanan penduduk yang berat ini memberikan peluang bagi berkembangnya bentuk-bentuk hubungan penguasaan lahan yang kurang menguntungkan penggarap. Persaingan antara sesama buruh tani semakin sengit dalam mendapatkan kesempatan kerja (Rusli, 1995). Melihat kondisi di atas, terkait dengan perencanaan penggunaan lahan, satu hal yang sering dilupakan adalah hak atas lahan. Pengaturan mengenai hak atas lahan tersebut merupakan jaminan bagi anggota masyarakat tentang penguasaannya atas sebidang lahan dan merupakan penghalang bagi anggota masyarakat yang satu untuk mengambil lahan orang lain tanpa persetujuan atau persyaratan yang bersangkutan. Masalah penguasaan lahan di pedesaan merupakan masalah yang rumit, karena ia menyangkut berbagai aspek seperti ekonomi, demografi, hukum politik, dan sosial. Hubungan penguasaan lahan bukan saja menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam kaitannya hubungan antara manusia dengan lahan sebagai benda, hanya mempunyai arti jika hubungan itu merupakan hubungan aktivitas. Dalam hal ini aktivitas itu adalah penggarapan dan
pengusahaannya. Misalnya jika seseorang memiliki sebidang lahan tertentu, ini mengandung implikasi bahwa orang lain tidak boleh memilikinya, atau boleh menggarapnya dengan syarat-syarat tertentu. Implikasi selanjutnya adalah bahwa hal itu mencakup hubungan antara pemilik dan buruhnya, antara sesama buruh tani dan antara orang-orang yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi di mana lahan merupakan salah satu faktornya (Wiradi, 1984) Sihaloho (2004) mengemukakan bahwa pola penguasaan dapat diketahui pertama dari pemilikan lahan dan bagaimana lahan tersebut diakses oleh orang lain. Menurutnya, penguasaan dapat dibagi dua yaitu, pertama, pemilik sekaligus penggarap. Pemilik penggarap umumnya dilakukan oleh petani berlahan sempit, karena ketergantungan ekonomi dan kebutuhan akan rumahtangga maka pemilik sekaligus menggarap lahannya dengan menggunakan tenaga kerja keluarga dan atau
memanfaatkan
tenaga
buruh
tani.
Kedua
adalah
pemilik
yang
mempercayakan kepada penggarap. Seperti ungkapan Scheltema (1985) yang dikutip oleh Sihaloho (2004), pola ini merupakan pola yang khas terjadi di Indonesia sejak tahun 1931 dan telah ditemukan di 19 daerah hukum adat. Hal ini menunjukkan ketimpangan struktur agraria telah terjadi sejak lama dan sistem bagi hasil dan atau sewa menjadi solusi ketimpangan ini khususnya dalam hal penguasaan dan atau akses terhadap lahan. Secara umum, konversi lahan menyebabkan perubahan struktur agraria. Perubahan ini dilihat dari pemilikan lahan yang makin sempit bagi masyarakat setempat. Konversi juga menyebabkan hilangnya akses terhadap lahan bagi petani penggarap dan buruh tani.
2.3 Konversi Lahan dan Faktor Penyebab 2.3.1 Konversi Lahan Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan sumber hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Dalam pertanian terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, faktor produksi lahan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima dari lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Dari situlah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan berternak. Karena lahan merupakan faktor produksi dalam berusaha tani, maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani yang diusahakan. Utomo dkk. (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazim disebut dengan konversi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin banyak jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Irawan (2004) mengungkapkan bahwa konversi lahan berawal dari permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan yang kurang elastis terhadap pendapatan dibanding permintaan komoditas non pertanian. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi yang berdampak pada peningkatan pendapatan penduduk cenderung menyebabkan naiknya permintaan komoditas non pertanian dengan laju lebih tinggi dibanding permintaan komoditas pertanian. Konsekuensi lebih lanjut adalah, karena kebutuhan lahan untuk memproduksi setiap komoditas merupakan turunan dari permintaan komoditas yang bersangkutan, maka pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan akan menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibanding kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Kuantitas atau ketersediaan lahan di setiap daerah relatif tetap atau terbatas walaupun secara kualitas sumberdaya lahan dapat ditingkatkan. Pada kondisi keterbatasan tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk memproduksi komoditas tertentu akan mengurangi ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk memproduksi komoditas lainnya. Oleh karena pembangunan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan di luar sektor pertanian dengan laju lebih besar dibanding permintaan lahan di sektor pertanian, maka pertumbuhan ekonomi cenderung mengurangi kuantitas lahan yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian. Pengurangan kuantitas lahan yang dialokasikan untuk kegiatan pertanian tersebut berlangsung melalui konversi lahan pertanian, yaitu perubahan pemanfaatan lahan yang semula digunakan untuk kegiatan pertanian ke pemanfaatan lahan di luar pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan perdagangan, kawasan industri, dan seterusnya (Irawan 2004).
Pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Konversi lahan pertanian ini tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Di negara-negara yang sedang berkembang konversi lahan tersebut umumnya dirangsang oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial. Proses transformasi ekonomi tersebut selanjutnya merangsang terjadinya migrasi penduduk ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan kompleks perumahan. Secara umum pergeseran atau transformasi struktur ekonomi merupakan ciri dari suatu daerah atau negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari (Kustiawan, 1997). 2.3.2 Faktor Penyebab Alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang produktif. Berdasarkan hal tersebut, Pakpahan (1993) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh
pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah. Faktor langsung dipengaruhi oleh faktor tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan di pinggiran kota. Alih fungsi lahan menjadi isu penting karena sebagian besar terjadi pada lahan pertanian produktif dan adanya indikasi pemusatan penguasaan lahan di satu pihak dan proses fragmentasi lahan di pihak lain (Pakpahan, 1993). Konversi lahan tersebut umumnya dirangsang oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Proses transformasi ekonomi tersebut selanjutnya merangsang terjadinya migrasi penduduk ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan kompleks perumahan. Secara umum pergeseran atau transformasi struktur ekonomi merupakan ciri dari suatu daerah atau negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk
terus mengalami
peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari (Kustiawan, 1997).
Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Dari hasil penelitiannya yang dilakukan di Kelurahan Mulaharja, dia memaparkan bahwa konversi lahan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni (1) faktor pada arus makro yang meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan ‘marjinalisasi’ ekonomi atau kemiskinan ekonomi. (2) faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumahtangga (struktur ekonomi rumahtangga), kesejahteraan rumahtangga (orientasi nilai ekonomi rumahtangga) dan strategi bertahan hidup rumahtangga (tindakan ekonomi rumahtangga). Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan, Sihaloho (2004) membagi konversi lahan ke dalam tujuh pola atau tipologi yaitu: 1) Konversi Gradual-Berpola Sporadis; pola konversi yang diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama (lahan yang kurang produktif/bermanfaat secara ekonomi dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi). 2) Konversi Sistematik Berpola ‘enclave’; pola konversi yang mencakup wilayah dalam bentuk ‘sehamparan lahan’ secara serentak dalam waktu yang relatif sama. 3) Konversi
Adaptasi
Demografi
(Population
growth
driven
land
conversion); pola konbersi yang terjadi karena kebutuhan tempat tinggal atau pemukiman akibat pertumbuhan penduduk. 4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (Social Problem driven land conversion); pola konversi yang terjadi karena motivasi untuk
berubah dari masyarakat meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian (utama). 5) Konversi ‘Tanpa Beban’; pola konversi yang dilakukan oleh pelaku (baik warga lokal) untuk melakukan aktivitas menjual lahan kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan lain. 6) Konversi Adaptasi Agraris; pola konversi yang terjadi karena keinginan meningkatkan hasil pertanian dan juga minat untuk bertani di suatu tempat tertentu sehingga lahan dijual dan membeli lahan baru di tempat lain yang lebih bernilai produktif dan merupakan tempat yang ‘dipandang tepat’ untuk berusaha. 7) Konversi Multi Bentuk atau Tanpa Pola; konversi yang diakibatkan oleh berbagai faktor khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, untuk perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak spesifik dijelaskan dalam konversi adaptasi demografi. Konversi lahan erat kaitannya pula dengan kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Rusli (1995) mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk, rasio manusia-lahan menjadi semakin besar, sekalipun pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Pertumbuhan penduduk menyebabkan makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, mereka yang tak berlahan diperkirakan semakin bertambah. Dalam keadaan tekanan penduduk yang berat ini memberikan peluang bagi berkembangnya bentuk-bentuk hubungan penguasaan lahan yang kurang
menguntungkan penggarap. Persaingan antara sesama buruh tani semakin sengit dalam mendapatkan kesempatan kerja. Kemiskinan sangat bertalian dengan kesempatan kerja. Penduduk yang lebih padat dan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif cepat menghendaki jumlah dan tingkat pertumbuhan kesempatan kerja yang cepat pula. Dalam keadaan kurang berkembangnya kesempatan kerja non-pertanian, dan persedian lahan pertanian rata-rata per orang sudah semakin terbatas, tidak saja sebagian dari angkatan kerja bertambah sulit memperoleh pekerjaan, tetapi juga banyak yang terlibat dalam pengangguran terselubung dilihat dari jumlah jam kerja maupun dari sangat rendahnya tingkat penghasilan yang diterima. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan meluasnya kemiskinan di daerah-daerah tertentu. Tidak heran, melihat kondisi ini, masyarakat yang memiliki lahan sekecil apapun sangat memungkinkan untuk dikonversi atau dijual demi mempertahankan hidupnya (Rusli 1995).
2.4 Konsep Petani Hingga kini, belum ada kesepakatan antara para ahli sosial pedesaan dalam mendefinisikan petani, sebagaimana diungkapkan Barrington Moore Jr, yang menyatakan bahwa: Tak mungkin mendefinisikan petani dengan ketepatan yang mutlak karena batasnya memang kabur pada batasan kenyataan sosial itu sendiri. Pengakuan adanya sejarah subordinasi kelas atas tuan tanah yang diperkuat dengan hukum kekhususan kultural serta kepemilikan lahan secara de facto, semua itu merupakan ciri-ciri pokok yang membedakan petani dengan yang
lainnya 7 . Bahari (2002) menyatakan bahwa secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan lahan secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural. Lahan bagi petani bukan hanya memiliki arti materil-ekonomi melainkan lebih dari itu, memiliki arti sosial budaya. Luas lahan yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial-ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki lahan adalah lapisan masyarakat yang paling rendah status sosialnya 8 . Wolf (1985) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis sepeti upeti, pajak, atau pasar bebas. Persoalan tidak hanya pemilikan lahan secara de facto, tetapi lebih berfokus pada lepasnya penguasaan produksi dan tenaga kerja kepada pihak lain9 . Dia kemudian membedakan antara petani pedesaan atau petani tradisional (peasant) dengan petani pengusaha pertanian atau petani modern (farmer). Menurutnya perbedaan utama antara petani peasant dengan pecocok tanam primitif terletak pada orientasi dan distribusi hasil, di mana pada pecocok tanam primitif sebagian besar dari hasil produksi digunakan untuk penghasilannya sendiri atau untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kekerabatan, bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh barang-barang lain yang tidak dihasilkan sendiri. Sebaliknya perbedaan yang utama dengan farmer terletak pada tujuan produksinya, di mana farmer berorientasi bisnis, pasar dan mencari laba dalam mengelola usahataninya. Secara garis besar golongan pertama adalah kaum petani yang masih tergantung pada alam dan menggunakan pengetahuan
7
Syaiful Bahari. 2002. Petani dalam Perspektif Moral Ekonomi dan Politik Ekonomi dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Gunawan Wiradi Hal. 161. 8 Ibid. 9 Ibid. Hal. 162
serta teknologi tradisional dalam pengembangan produksinya. Produksi mereka lebih ditujukan untuk sebuah usaha menghidupi keluarga, bukan untuk mencari keuntungan. Sebaliknya farmer adalah golongan petani yang usahanya ditujukan untuk mengejar keuntungan. Mereka menggunakan teknologi dan sistem pengelolaan usaha modern dan menanam jenis tanaman yang laku di pasar. Petani adalah penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam pengelolaan lahan dan membuat keputusan otonomi mengenai proses pengelolaan lahan. Kategori ini dengan demikian meliputi para penyewa dan pemanen bagi hasilnya sebagaimana kategori untuk pemilik-pengelola sepanjang mereka dalam suatu posisi membuat keputusan yang relevan mengenai bagaimana tanaman mereka dibudidayakan 10 . Petani peasant tidaklah melakukan usahatani dalam arti ekonomi, sebab yang mereka kelola adalah sebuah rumahtangga, bukan sebuah perusahaan bisnis. Tujuan kegiatan produksi hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga (subsisten), sedangkan surplus produksi dipergunakan untuk dana pengganti, dana seremonial, dan dana untuk sewa lahan. Dalam kehidupan masyarakat petani, pasar dan struktur atas desa secara relatif telah menjadi bagian yang mempengaruhi tingkah laku sosial dan ekonomi mereka 11 . Menurut Shanin (1971) seperti yang dikutip Subali (2005), terdapat empat karakterisitik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, selaku petani mereka menggantungkan hidup mereka kepada lahan. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya yakni sebagai 10
Agus Subali. 2005. Pengaruh Konversi Lahan terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Hal. 6 dikutip dari Eric Wolf dalam 2004. Perang Petani. Yogyakarta. 11 Redfileld (1982) dalam bukunya menyatakan bahwa masyarakat tani sebagai masyarakat yang terbelah (part society). Agusta {Dinamika Pembangunan Desa} memberi penjelasan tentang masyarakat terbelah yaitu mereka sebenarnya sudah mengembangkan kelembagaan ekonomi, pendidikan dan agama. Akan tetapi mereka senantiasa membandingkan dan mencari orientasi kemajuan dari warga kota.
sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial mereka kental. Keempat, cenderung sebagai pihak selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka. Kedua rumusan oleh kedua ahli (Shanin dan Wolf) di atas dapat dirangkum bahwa secara umum petani (peasant) mempunyai ciri yang membedakan dengan komunitas lainnya yakni (i) petani tidak dilihat sebagai pengusaha pertanian atau pebisnis di bidang pertanian, (ii) usaha yang dilakukan petani adalah usaha keluarga atau usaha rumahtangga yang menghasilkan produk subsisten, serta menghasilkan kewajiban yang dibayarkan pada kekuatan politik yang mengklaim sebagian dari hasil petani, (iii) rumahtangga petani berfungsi sebagai unit ekonomi, sosial serta religius yang utama. Hal ini berpengaruh pada keputusan untuk produksi dan juga investasi yang dilakukan dengan keputusan dari anggota keluarga, (iv) fungsi produksi dan konsumsi tidak dapat dipisah, dalam artian bahwa kebanyakan petani berproduksi sekaligus untuk kebutuhannya sendiri maupun untuk pasar, (v) petani dalam berproduksi tidak selalu didasari oleh prinsip mencari keuntungan namun lebih mengarah pada keinginan untuk mengurangi resiko, dan (vi) adanya dominasi oleh kekuatan dari luar dalam bentuk ekonomi, politik maupun sosial budaya. Dengan kata lain petani selalu berada dalam hubungan yang asimetris 12 .
12
Satyawan Sunito {Dinamika Pembangunan Desa} dalam Subali (2005), Rangkuman dari Theodore Shanin, Eric R Wolf, Hayami dan Kikuchi. Asimetris berarti hubungan yang tidak setara antara petani dengan dunia luar (hubungan eksploitasi).
Melihat kondisi petani di Indonesia, maka pola hidup petani dapat digolongkan cenderung subsisten. Namun subsisten dalam pengertian ini bukan berarti makan secukupnya dari suatu usaha tertentu dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, melainkan harus pula melihat pandangan petani terhadap orientasi kerjanya. Berdasarkan hal tersebut, tiga indikator untuk memahami pola subsistensi petani dirumuskan oleh Suhender dan Yohana (1998) yaitu: 1) Sikap atau cara petani memperlakukan faktor-faktor produksi yakni lahan dan sumber agraria. Jika bersikap tidak komersial, tidak eksploitatif terhadap lahan dan sumberdaya agraria, menganggap peningkatan produksi tidak perlu dan hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarganya (sekalipun dengan penguasaan lahan luas), petani tersebut termasuk petani subsisten. Sebaliknya jika sikapnya didasari oleh orientasi surplus produksi dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk petani komersial. 2) Besar kecilnya skala usaha petani, sekalipun hanya menguasai lahan dalam skala kecil, jika didasari pemikiran yang cenderung berorientasi pasar (mengejar surplus) petani itu dapat disebut sebagai petani komersial. Sebaliknya, pada umumnya petani yang berlahan sempit dengan skala usaha yang terbatas tergolong petani subsisten karena dalam usahanya itu tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk memaksimalkan produksi karena keterbatasan tersebut. 3) Jenis komoditas yang dibudidayakan petani, walaupun mengusahakan komoditas komersial, jika hasil produksi tersebut hanya digunakan untuk
kebutuhan sendiri, maka ia tetap disebut sebagai petani subsisten. Sebaliknya jika usaha komoditas komersial tersebut walaupun diusahakan di lahan sempit, namun orientasinya untuk memperoleh surplus, tidak dapat dikatakan sebagai petani subsisten melainkan petani komersial. Hampir tidak ada petani yang melakukan usahataninya dengan pola subsisten mutlak jika pola subsistensi tersebut diterapkan dengan kondisi petani di Indonesia saat ini. Akan tetapi jika digunakan indikator besar kecilnya skala usaha, jelas bahwa sebagian besar petani di Indonesia hidup dalam pola subsisten. Kesimpulannya, ciri petani Indonesia saat ini berbeda dengan ciri-ciri petani seperti yang dikemukakan Shanin ataupun Wolf. Perbedaan tersebut antara lain: (i) mengusahakan lahan yang sempit, (ii) produk yang dihasilkan cenderung untuk kebutuhan pasar, dengan tujuan dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, (iii) penerapan teknologi modern sudah dilakukan di dalam usahataninya, (iv) berpenghasilan ganda (tidak selalu menggantungkan sumber nafkahnya di sektor pertanian saja), (v) fungsi lahan pertanian lebih sebagai penenang ekonomi mereka dan bukan sebagai sumber ekonomi satu-satunya sebagaimana dicirikan Shanin (1971) yang dikutip Subali (2005).
2.5 Tingkat Kesejahteraan Tingkat kesejahteraan (welfare) merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu. Menurut Yosep seperti yang dikutip Maharani (2006), kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan
kecil misalnya keluarga dan individu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain. Menurut Sawidak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya. Menetapkan kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ini disebabkan permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan perbidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang kehidupan yang sangat kompleks. Untuk itu diperlukan pengetahuan di berbagai bidang disiplin ilmu di samping melakukan penelitian atau melalui pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik (BPS, 1995). Tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumahtangga tersebut. Mengingat data yang akurat sulit diperoleh, maka pendekatan yang sering digunakan adalah melalui pendekatan pengeluaran rumahtangga. Pengeluaran rata-rata per kapita
per tahun adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumahtangga selama setahun untuk konsumsi semua anggota rumahtangga dibagi dengan banyaknya anggota rumahtangga. Determinan utama dari kesejahteraan penduduk adalah daya beli. Apabila daya beli menurun maka kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup menurun sehingga tingkat kesejahteraan juga akan menurun (BPS, 1995). Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar propinsi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (1995), antara lain: 1) Kependudukan Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk
merupakan
masalah
yang
perlu
diperhatikan
dalam
proses
pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam penanganan masalah kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan
pada
upaya
pengendalian
jumlah
penduduk,
tetapi
juga
menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Di samping itu, program perencanaan pembangunan sosial di segala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.
2) Kesehatan dan Gizi Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu, aspek penting lainnya yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. 3) Pendidikan Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Dengan itu, dapat diasumsikan bahwa, semakin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera. 4) Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting tidak hanya untuk mencapai kepuasan individu, tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumahtangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. 5) Taraf dan Pola Konsumsi Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteaan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut diredistribusi di antara kelompok penduduk. Indikator distrubusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberi petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan
tentang pola konsumsi rumahtangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. 6) Perumahan dan Lingkungan Rumah dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan bagi pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumahtangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas buang air besar rumahtangga dan tempat penampungan kotoran akhir (jamban). 7) Sosial dan Budaya Pada umumnya semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar. BPS (2008) kemudian memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumahtangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan menghitung pola konsumsi rumahtangga. Pola konsumsi rumahtangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumahtangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumahtangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan
rumahtangga tersebut. Rumahtangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar
untuk
konsumsi
makanan
mengindikasikan
rumahtangga
yang
berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumahtangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumahtangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumahtangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan 13 .
2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian ke Penggunaan Non Pertanian Solihah (2002) dalam penelitiannya mencoba menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian baik di tingkat wilayah maupun di tingkat petani. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji regresi linear berganda. Berdasarkan analisis tersebut, peubah yang berpengaruh positif terhadap penurunan luas lahan jika dilihat dari sudut pandang pembangunan wilayah adalah jumlah penduduk, panjang jalan kabupaten, dan jumlah sarana pendidikan. Sementara peubah yang berpengaruh negatif adalah penurunan produktivitas padi sawah. Analisis kemudian dilanjutkan dengan menggunakan dugaan fungsi logit tentang faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengkonversikan lahannya. Dugaan fungsi logistik digunakan p-value 0,2. Hasil analisis tersebut menyatakan bahwa peubah yang berpengaruh positif terhadap pengambilan keputusan petani untuk mengkonversi lahannya adalah tingkat pendidikan, umur, jumlah tanggungan anggota keluarga, persentase pendapatan pertanian terhadap 13
Dikutip dari Badan Pusat Statistik terkait cara menghitung pola konsumsi rumahtangga dan diakses melalui www.datastatistik-indonesia.com. Diakses tanggal 3 Maret 2008.
pendapatan total, jarak lahan dari pusat pertumbuhan ekonomi, dan pengaruh tetangga petani yang mengalih fungsi lahannya. Sedangkan peubah yang tidak berhubungan dengan keputusan petani untuk mengkonversi lahannya adalah usia petani,luas lahan yang dimiliki, serta jarak lahan dari jalan raya. Terkait dengan pengaruh konversi lahan tersebut, Solihah (2002) menemukan fenomena bahwa pertanian lebih menguntungkan dibanding usaha lain di luar pertanian yang belum mereka kuasai, artinya, konversi lahan berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan petani.
2.7 Pengaruh Konversi Lahan terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Agus Subali (2005) dalam penelitiannya menggunakan analisis kualitatif untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan. Pada penelitian tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh positif terhadap konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian terdiri dari dua yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern meliputi tingkat pendidikan, pengalaman kerja, tingkat pendapatan rumahtangga, dan tingkat ketergantungan pada lahan. Sedangkan faktor eksternal meliputi investor, pemerintah desa, calo, dan tetangga. Dalam penelitian ini tidak menganalisis pengaruh konversi lahan tersebut terhadap kesejahteraan rumahtangga petani namun lebih kepada perubahan pola nafkah dalam sebuah rumahtangga.
2.8 Kerangka Pemikiran Operasional Penjelasan-penjelasan di atas dapat dirangkai menjadi sebuah kerangka pemikiran yang selanjutnya dapat dirangkai lagi menjadi satu permasalahan baru
yang mengangkat tema mengenai konversi lahan pertanian terkait dengan faktorfaktor yang mempengaruhinya serta pengaruh dari kegiatan konversi lahan tersebut terhadap kesejahteraan keluarga petani. Merujuk penelitian-penelitian terdahulu, dalam penelitian ini konversi lahan diduga dapat terjadi karena dua faktor pendukung yang langsung berhubungan dengan pengambilan keputusan petani untuk mengkonversi lahan yaitu faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal petani dalam penelitian ini diduga mencakup umur petani, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan anggota keluarga, luas lahan yang dimiliki, serta tingkat ketergantungan kepada lahan, sedangkan faktor eksternal meliputi jumlah tetangga yang mengkonversi lahan, pengaruh investor, serta kebijakan pemerintah daerah dalam hal ini kebijakan yang mendukung atau tidaknya terhadap pengembangan pertanian. Setelah melihat keterhubungan antara faktor internal petani dan faktor eksternal dengan keputusan petani mengkonversi lahan pertanian, maka dilihat pula pengaruh konversi lahan pertanian tersebut terhadap tingkat kesejahteraan petani. Diduga bahwa konversi lahan berhubungan erat dengan tingkat kesejahteraan petani. Dalam hal ini kesejahteraan petani diukur melalui indikator kesejahteraan menurut masyarakat lokal mengingat pengambilan data mengenai pola konsumsi sangat sulit didapatkan. Menurut masyarakat lokal, sebuah rumahtangga dikatakan sejahtera apabila bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, bisa menyekolahkan anak, serta memiliki kendaraan bermotor. Penjelasan ini dapat disederhanakan melalui gambar kerangka pemikiran operasional (Gambar 1).
Faktor Eksternal: - Jumlah Tetangga yang mengkonversi lahan - Pengaruh Investor - Kebijakan pemerintah daerah
Karakterisitik Petani: - Umur petani - Tingkat pendidikan - Jumlah tanggungan anggota keluarga - Luas lahan yang dimiliki - Tingkat ketergantungan pada tanah
Konversi lahan Penggunaan lahan di luar kegiatan pertanian. Contoh: penambangan pasir dan batu
Tingkat kesejahteraan petani Indikator kesejahteraan menurut masyarakat lokal Contoh: memiliki kendaraan, mampu menyekolahkan anak Gambar 1. Kerangka pemikiran operasional Keterangan : : Hubungan
2.9 Hipotesis Penelitian 2.9.1 Hipotesis Umum 1. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara karakteritik petani dengan konversi lahan. 2. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara faktor eksternal dengan konversi lahan.
3. Diduga
konversi
lahan
pertanian
berpengaruh
terhadap
tingkat
kesejahteraan rumahtangga petani.
2.9.2 Hipotesis Khusus Faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi lahan adalah faktorfaktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi lahan. Adapun faktor-faktor (variabel) yang diduga berhubungan dengan konversi lahan di tingkat petani dijabarkan dalam hipotesis khusus berikut: 1. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara umur petani dengan pengambilan keputusan mengkonversi lahan. 2. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan petani dengan pengambilan keputusan mengkonversi lahan. 3. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendapatan rumahtangga dengan pengambilan keputusan mengkonversi lahan. 4. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara jumlah tanggungan anggota keluarga petani dengan pengambilan keputusan mengkonversi lahan. 5. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara luas lahan yang dimiliki petani pengambilan keputusan mengkonversi lahan. 6. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara tingkat ketergantungan pada lahan dengan pengambilan keputusan mengkonversi lahan. 7. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara pengaruh tetangga dengan pengambilan keputusan mengkonversi lahan. 8. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara pengaruh investor dengan pengambilan keputusan mengkonversi lahan.
9. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara kebijakan pemerintah daerah dengan pengambilan keputusan mengkonversi lahan.
2.10 Definisi Operasional Pengukuran variabel-veriabel yang akan digunakan dalam penelitian ini akan dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional. Variabel-variabel tersebut adalah: 1. Umur adalah lamanya hidup responden yang diukur berdasarkan usia. Pengukuran: 1. 30-40 tahun 2. 41-50 tahun 3. > 50 tahun 2. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dilakukan oleh responden. Pengukuran: 1. tidak sekolah 2. tidak tamat SD/sederajat 3. tamat SD/sederajat 3. Jumlah tanggungan anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih menjadi tanggungjawab responden dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Pengukuran: 1. sedikit: ≤ 4 orang 2. banyak: > 4 orang
4. Luas lahan yang dimiliki adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh suatu rumahtangga responden dalam satuan hektar. Pengukuran: 1. sempit: < 0,25 hektar 2. sedang: 0,25-0,49 hektar 3. luas: ≥ 0,5 hektar 5. Tingkat ketergantungan terhadap lahan adalah sejauh mana lahan dianggap penting yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian terhadap total pendapatan tumah tangga. Pengukuran: 1. rendah: < 0,75 persen pendapatan rumah rumahtangga 2. tinggi: ≥ 0,75 persen pendapatan rumah rumahtangga 6. Pengaruh tetangga adalah ada tidaknya tetangga yang mengkonversi lahan yang diukur dari banyaknya petani yang lahannya berada di sekitar responden yang telah mengalih fungsi lahannya. Pengukuran: 1. rendah: ≤ 5 orang 2. tinggi: > 5 orang 7. Pengaruh investor adalah ada tidaknya orang yang berkepentingan untuk membangun usaha di bidang non pertanian yang mempengaruhi responden agar mengkonversi lahan. Pengukuran: 1. Ada pengaruh: investor menemui responden untuk negosiasi 2. Tidak ada pengaruh: tidak ada investor yang menemui responden.
8. Kebijakan pemerintah daerah adalah ada tidaknya dukungan pemerintah daerah tersebut dalam hal pengembangan pertanian yang dilihat melalui pemberian bantuan saprotan kepada petani. Pengukuran: 1. Ada dukungan: responden menerima bantuan saprotan 2. Tidak ada dukungan: responden tidak menerima bantuan saprotan. 9. Konversi lahan adalah adanya penggunaan lahan di luar kegiatan pertanian baik sebagian maupun seluruhnya. Dalam hal ini, penggunaan yang dimaksud adalah penggalian pasir dan batu. 10. Tingkat kesejahteraan rumahtangga petani adalah ukuran sejahtera atau tidaknya sebuah rumahtangga petani yang diukur berdasarkan indikator kesejahteraan menurut masyarakat setempat. Dikatakan sejahtera apabila sebuah kepala rumahtangga dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari rumahtangganya, bisa menyekolahkan anak, dan memiliki kendaraan bermotor. 11. Rumahtangga pertanian: Rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggotanya melakukan kekgiatan berkebun/bertani.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposif), yaitu di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo. Desa Candimulyo sebagai lokasi penelitian di kawasan kaki gunung Sindoro dan Sumbing adalah salah satu desa di Kabupaten Wonosobo yang kebanyakan masyarakatnya terutama petani mengalih fungsi lahan pertanian mereka menjadi pertambangan pasir dan batu. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka lokasi ini dirasa relevan dengan tujuan penelitian. Pengumpulan data dilakukan selama satu bulan, yaitu pada bulan April 2008 sampai dengan bulan Mei 2008. Pengolahan data dan penulisan hasil laporan selanjutnya dilakukan selama dua bulan, yaitu pada bulan Mei 2008 sampai dengan bulan Juli 2008.
3.2 Teknik Pemilihan Responden Populasi dari penelitian ini adalah petani di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo. Responden yang diambil pada penelitian ini adalah petani yang memiliki lahan tetapi telah mengkonversikan lahannya yaitu dengan mengubah fungsinya untuk usaha di luar bidang pertanian baik seluruh lahan maupun sebagian, serta petani yang tidak mengkonversi lahan.
Pemilihan responden dilakukan dengan teknik pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling). Sampel random (acak) sederhana adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit elementer memliliki peluang yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Dalam hal ini, sampel yang diambil berjumlah 30 orang yang terdiri dari 8 petani yang mengkonversi lahan dan 22 petani yang tidak mengkonversi lahan. Masing-masing angka tersebut didapatkan dari proporsi dari jumlah populasi dikali dengan 30. Angka 30 diambil dari standar minimal penelitian survei yaitu berdasarkan asumsi bahwa populasi yang diambil memiliki sebaran normal. Untuk data kualitatif, diperlukan informan sebagai pendukung hasil analisis data kuantitatif. Informan dalam hal ini adalah perangkat desa, tokoh masyarakat, warga setempat, pemda setempat, atau bahkan responden yang telah menjawab kuesioner. Pada tahap ini dilakukan wawancara dengan pendekatan personal.
3.3 Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian survei. Metode penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun, 1989). Penelitian ini menggunakan penelitian bentuk deskriptif korelasional. Penelitian deskriptif korelasional adalah bentuk penelitian untuk mempelajari pengaruh satu variabel terhadap variabel lain. Data yang terkumpul melalui
metode
deskriptif
kemudian
diteliti
menggunakan metode korelasional (Rakhmat, 2005).
keterhubungannya
dengan
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif, hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang akurat. Data kuantitatif diperoleh melalui hasil kuesioner sebagai instrumen utama (lihat Lampiran 4). Data kualitatif diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dan observasi langsung di lapangan. Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali informasi yang lebih mendalam dari para informan. Informan tersebut didapatkan dari para responden yang hasil kuesionernya mendekati tujuan penelitian. Selain itu, informan yang akan diwawancara adalah pihak yang mengetahui keadaan sekelilingnya yang dalam hal ini misalnya aparat desa, tokoh masyarakat, atau bahkan warga setempat. Sebelum wawancara dilakukan, dibuat panduan pertanyaan agar wawancara yang dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian (lihat Lampiran 5). Data dalam penelitian ini dibagi menjadi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui pengisian kuesioner dan hasil wawancara mendalam. Sementara data sekunder adalah data yang diperoleh melalui dokumentasi Kantor Desa Candimulyo.
Hal ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan informasi mengenai gambaran umum lokasi penelitian. Selain itu data sekunder juga diperoleh melalui literatur-literatur penunjang lainnya seperti buku, artikel dari internet, serta makalah yang berkaitan dengan topik penelitian ini.
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif yang telah terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan program komputer SPSS, sebagai uji statistik non-parametrik. Uji
statistik yang digunakan adalah tabulasi silang dan uji statistik chi-square atau khi-kuadrat. Hal ini untuk melihat adanya hubungan antara variabel-variabel dengan skala minimal nominal. Sedangkan untuk analisis data kualitatif tidak menggunakan model matematik, hanya terbatas pada teknik pengolahan data seperti membaca grafik, tabel, dan gambar, yang kemudian dilakukan penafsiran atau analisis.
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CANDIMULYO
4.1 Letak Geografis Desa Candimulyo Desa Candimulyo merupakan desa pertanian di Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Desa Candimulyo berbatasan langsung dengan Desa Sumberdalem di sebelah selatan. Sedangkan batas desa di sebelah utara yaitu Desa Candiyasan, sebelah timur Desa Purbosono dan sebelah barat Desa Pagerejo (lihat Lampiran 1). Jarak desa ini dari ibukota kecamatan (Kecamatan Kertek) yaitu 2.8 kilometer yang membutuhkan waktu 10 menit untuk lama tempuhnya. Sedangkan jarak dengan ibukota kabupaten yaitu 12 kilometer yang membutuhkan 25 menit untuk lama tempuhnya. Bentang wilayah Desa Candimulyo berupa dataran tinggi. Lebih dari 80 persen wilayah Desa Candimulyo seluas 413.000 hektar tersebut merupakan lahan pertanian baik itu pertanian sawah maupun bukan sawah. Lebih dari 65 persen lahan pertanian tersebut merupakan lahan bukan sawah yaitu lahan tegalan dan kebun. Wilayah Desa Candimulyo yang beriklim sejuk dengan ketinggian 900 mdpl dan memiliki suhu rata-rata harian 20˚C sangat cocok untuk pertanian sayuran dan palawija. Oleh karena itu, lahan pertanian di desa ini lebih banyak ditanami komoditas sayuran dan palawija, antara lain kubis, cabe, dan jagung.
4.2 Kependudukan, Sarana dan Prasarana Masyarakat Desa Candimulyo seluruhnya beragama islam dengan jumlah penduduk 5914 jiwa. Sarana kesehatan merupakan sarana yang paling maju di
Desa Candimulyo. Desa Candimulyo memiliki satu unit rumah bersalin, dan lima buah posyandu. Desa ini belum memiliki sarana pendidikan yang memadai. Namun, banyak dari penduduk yang sudah mengenyam pendidikan walaupun masih tingkat dasar. Tingkat pendidikan warga desa ini pada umumnya menamatkan SD/sederajat. Berikut ini disajikan tabel distribusi jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan: Tabel 3. Jumlah Penduduk 5 Tahun ke Atas Dirinci Menurut Tingkat Pendidikan No. Tingkat Pendidikan 1 belum sekolah 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tidak pernah sekolah taman kanak-kanak Tidak Tamat SD/sederajat belum tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMU/sederajat Tamat akademi Tamat S1 Jumlah
Jumlah (orang) 366
Persentase (%) 7.3
315 154 1398 666 1854 178 98 9 9 5047
6.2 3.1 27.7 13.2 36.7 3.5 1.9 0.2 0.2 100
Sumber: Daftar Isian Tingkat Perkembangan Desa Candimulyo Tahun 2007
Tabel 1 menunjukan penduduk yang tamat SD/sederajat memiliki persentase terbesar yakni 36,7 persen dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tingkat pendidikan lainnya. Kemudian disusul dengan penduduk yang tidak tamat SD yaitu 27,7 persen. Hal ini terjadi karena kebanyakan penduduk Desa Candimulyo merupakan mayoritas petani berlahan sempit yang berakibat, penghasilan dari lahan sempit tersebut tidak mencukupi untuk menanggung biaya pendidikan anakanak mereka.
4.3 Ekonomi dan Potensi Desa Masyarakat Desa Candimulyo umumnya memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Berikut ini disajikan tabel komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian: Tabel 4. Penduduk Desa Candimulyo Menurut Jenis Mata Pencaharian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Mata Pencaharian Buruh tani Petani maro/penggarap Petani sendiri Peternak ayam pedagang Peternak sapi > 10 Penggalian batu, pasir, dsb Bangunan pedagang Ojek Sopir/kernet Industri kecil PNS Pensiunan Lainnya
Jumlah Penduduk 1287 213 853 11 3 234 164 341 53 43 11 12 8 112
Persentase (%) 38.5 6.4 25.5 0.3 0.1 7.0 4.9 10.2 1.6 1.3 0.3 0.4 0.2 3.3
Jumlah
3344
100
Sumber: Daftar Isian Tingkat Perkembangan Desa Candimulyo Tahun 2007
Tabel 2 menunjukan bahwa persentase petani, petani penggarap/maro, dan buruh tani sebesar 70,4 persen. Oleh karena itu, hasil pertanian menjadi sangat dominan antara lain padi, jagung, cabe, dan kubis (lihat Lampiran 2). Sebenarnya angka ini telah mengalami penurunan akibat maraknya galian pasir dan batu sejak beberapa tahun lalu sehingga para buruh tani dan petani banyak yang beralih profesi menjadi buruh serta pengusaha pasir dan batu. Dengan hasil pertanian yang demikian, berimbas kepada makanan pokok bagi penduduk desa ini. Ternyata, sebagian besar penduduk memilih nasi jagung sebagai makanan pokok yaitu sebesar 1028 KK, sedangkan yang memilih nasi beras hanya 421 KK.
Di Desa Candimulyo, suatu hal yang menjadi ukuran ekonomi dan kebanggaan penduduk adalah rumah, lahan, dan kendaraan. Kesadaran untuk investasi terhadap pendidikan bagi anak-anaknya masih belum membudaya. Kondisi rumah di Desa Candimulyo secara keseluruhan cukup bagus, dengan artian, sudah tidak terlalu banyak penduduk yang rumahnya berlantai tanah dan berdinding anyaman. Umumnya yang bekerja adalah kepala rumahtangga. Tiap kepala rumahtangga menanggung empat sampai delapan orang. Kondisi rumahtangga yang tidak mampu akan mendorong tenaga kerja dari pihak istri dan anak-anak untuk mencari uang. Tinggi rendahnya taraf hidup sebuah rumahtangga ditentukan oleh pendapatan perkapita rumahtangga tersebut. Namun, mengingat sulitnya memperoleh
data
pendapatan
rumahtangga
secara
akurat,
masyarakat
menggolongkan taraf hidup mereka berdasarkan indikator kesejahteraan yang dibuat mereka sendiri. Sebuah rumahtangga dapat dikatakan sejahtera apabila dalam rumahtangga tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, memiliki kendaraan bermotor, serta mampu menyekolahkan anak-anak mereka.
4.4 Masalah Utama Desa Candimulyo yang masyoritas penduduknya bermata pencaharian petani ini pada kenyataannya memiliki masalah yang sudah lama belum terpecahkan. Pertama, terkait sulitnya pemasaran produk pertanian mereka. Misalnya, pada musim tanam harga produk pertanian melambung sehingga banyak petani yang bermimpi akan menjadi kaya setelah menjual hasil panen mereka. Tetapi yang terjadi tidak demikian. Harga produk-produk pertanian
tersebut jatuh seketika saat musim panen tiba. Mau tidak mau, para petani harus tetap menjual hasil panen mereka walaupun dengan rasa kekesalan. Permainan harga pasar pada hakekatnya sudah mulai menyiutkan semangat para petani ini untuk tetap mengadu nasib di bidang pertanian. Banyak petani yang mengeluh, mengesalkan peran pemerintah daerah yang konon menjunjung tinggi pengembangan pertanian di Kabupaten Wonosobo. Namun, jika pertanian ditinggalkan, mereka merasa tidak mampu untuk tetap hidup tanpa dukungan pertanian tersebut karena bagi mereka, pertanian inilah yang telah berjasa menghidupi mereka sejak turun-temurun sehingga beralih di bidang yang tidak mereka kuasai belum tentu dapat memperbaiki keadaan ini. Kedua, masalah kelangkaan saprotan terutama pupuk urea. Harga pasar pertanian yang tidak mendukung sudah cukup membuat para petani menderita. Kini ditambah lagi dengan masalah pengadaan saprotan. Keluhan terhadap harga pupuk yang mahal sudah biasa terdengar oleh petani-petani pada umumnya. Tetapi para petani khususnya di Desa Candimulyo semakin berteriak karena sulitnya mendapatkan pupuk tersebut. “Saya bingung gimana maksud pemerintah. Ngomongnya saja program utama mereka pengembangan pertanian di Wonosobo, tapi nyatanya kami mau nyari pupuk saja susah. Bukan masalah harganya saja, Mending kalo mahal saja, mungkin kami tetep ngusahain uang untuk membeli, tapi ini sudah harganya mahal, pas dicari pun barangnya nggak ada. Gimana petani-petani di sini nggak pada stress? Satu hal lagi yang kami harapkan sebenarnya masalah pasar pertanian. Saya makin nggak ngerti saja. Misalnya nih, saya lagi nanam kubis, harga kubis waktu itu lagi mahal. Petani-petani lain juga nanam kubis. Kita sudah ngrawat dengan baik sehingga hasil panennya pun baik. Namun pas masa panen, harganya tiba-tiba jatuh.Ya petani mau nggak mau tetep harus menjual hasil penennya juga walaupun rugi kalo dihitung-hitung.”
Keluhan petani ini membuktikan bahwa, pertanian di Desa Candimulyo semakin terancam. Banyak yang mengeluh dengan sistem pemerintahan sekarang. Mereka berpendapat bahwa, pemerintah daerah yang konon menjunjung tinggi
pengembangan pertanian di Wonosobo, namun pada kenyataannya hanya kebijakan demi kebijakan yang diagung-agungkan, bukan implementasi. Para petani merasa tertindas dan tidak dipedulikan. Dengan ketidakpedulian ini, pertanian akhir-akhir ini semakin ditinggalkan oleh sebagian petani di Desa Candimulyo yang ditunjukkan dengan maraknya konversi lahan pertanian di Desa ini menjadi pertambangan pasir dan batu.
4.5 Ikhtisar Sub bab ini merupakan ikhtisar atau isi pokok-pokok penting bab 4. Ikhtisar ini terdiri dari kondisi umum desa penelitian yang mencakup topografi, demografi, dan permasalahan utama yang terjadi di desa tersebut. Bentang wilayah Desa Candimulyo berupa dataran tinggi. Lebih dari 80 persen wilayah Desa Candimulyo seluas 413.000 hektar tersebut merupakan lahan pertanian baik itu pertanian sawah maupun bukan sawah. Lebih dari 65 persen lahan pertanian tersebut merupakan lahan bukan sawah yaitu lahan tegalan dan kebun. Wilayah Desa Candimulyo yang beriklim sejuk dengan ketinggian 900 mdpl dan memiliki suhu rata-rata harian 20˚C sangat cocok untuk pertanian sayuran dan palawija. Masyarakat Desa Candimulyo yang berjumlah penduduk 5914 jiwa ini sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani yang komoditas utama mereka adalah kubis, jagung, dan cabe. Oleh karena itu, sebagian besar penduduk memilih nasi jagung sebagai makanan pokok, sedangkan sebagian kecilnya memilih nasi beras.
Desa Candimulyo yang masyoritas penduduknya bermata pencaharian petani ini pada kenyataannya memiliki masalah yang sudah lama belum terpecahkan. Pertama, terkait sulitnya pemasaran produk pertanian mereka Kedua, masalah kelangkaan saprotan terutama pupuk urea. Masalah ini membuat pertanian di Desa Candimulyo akhir-akhir ini semakin ditinggalkan oleh sebagian petani, yang ditunjukkan dengan maraknya konversi lahan pertanian di Desa ini menjadi pertambangan pasir dan batu.
BAB V PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP LAHAN
5.1 Lahan Sebagai Fungsi Ekonomi Masyarakat Desa Candimulyo khususnya petani menilai lahan sangat bermakna secara ekonomis. Makna ekonomis yang dimaksud adalah sejauh mana pemenuhan kebutuhan hidup petani sangat tergantung pada lahan. Lahan adalah faktor produksi yang menentukan pendapatan dan kelangsungan hidup keluarga petani. Makna ekonomis lahan juga dicirikan oleh penilaian yang tinggi secara ekonomis pada lahan (harga lahan) dengan kriteria kesuburan dan kedekatan dengan sarana perhubungan. Lahan dianggap sebagai bentuk harta yang dengan mudah dilepas jika harga jualnya tinggi. Lahan dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan taraf hidup petani melalui pengembangan usahataninya. Mereka menambahkan bahwa harga jual lahan harus lebih tinggi daripada harga beli lahan tersebut. Ini menunjukkan adanya perhitungan ekonomi (keuntungan) dalam menilai lahan. Perbedaan nilai lahan didasarkan pada kesuburan, kedekatan dengan sarana perhubungan, bahkan ada juga yang menambahkan kriteria fisik lainnya yaitu ketersediaan air, jenis lahan, serta adanya permintaan dari konsumen. Nilai lahan juga kemudian ditentukan oleh seberapa baik pengelolaan atau pengolahan yang dilakukan pada lahan tersebut. Jika harga lahan cukup memungkinkan, maka pemilik lahan akan memilih menjual lahan untuk membeli kembali dalam jumlah yang lebih besar agar dapat mengembangkan usahatani mereka.
Ketergantungan secara ekonomi terhadap lahan terlihat jelas di desa penelitian. Para petani mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup seharihari mereka sangat tergantung pada lahan. Oleh karena itu, kerusakan pada lahan dapat menurunkan hasil produksi pertanian dan akan menjadi ancaman bagi petani karena sebagian besar petani di desa ini tidak memiliki sumber pendapatan lain dari luar sektor pertanian. Berikut ungkapan seorang petani terkait informasi ini: “Petani-petani di sini mah jarang yang punya usaha lain. Ya cuma tanah itulah satu-satunya harta mereka. Kalo ngga punya tanah, kita ngga akan bisa hidup, soalnya cuma itu yang kita bisa.”
Ketergantungan petani pada lahannya serta kecemasan petani akan adanya penurunan produksi memperlihatkan bahwa lahan adalah salah satu faktor produksi dalam usahatani yang mereka kelola. Kondisi mendorong masyarakat khususnya petani untuk mempunyai pandangan bahwa tanah yang mereka garap harus dapat menghasilkan sesuatu yaitu yang bermanfaat dan bernilai secara ekonomi. Hasil dari produktivitas lahan akan sangat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup baik bagi dirinya maupun bagi rumahtangganya.
5.2 Lahan Sebagai Fungsi Sosial Pandangan umum menyatakan bahwa lahan atau penguasaan lahan adalah salah satu simbol kedudukan seseorang dan menjadi dasar pelapisan sosial dalam suatu masyarakat. Gejala tersebut terutama terlihat pada masyarakat desa atau masyarakat
pertanian
yang
menggantungkan
hidup
pada
lahan
dan
produktivitasnya. Lahan juga menjadi sarana pengikat kekerabatan melalui pola pewarisan lahan dalam keluarga, pengelolaan bersama dalam keluarga, maupun kerjasama dengan petani lain. Oleh karena itu, lahan memiliki makna sosiologis
ditinjau dari status yang akan melekat pada seseorang akibat penguasaan lahan serta fungsi sosial lahan yang memperkuat ikatan kekerabatan. Fenomena makna sosiologis yang dimiliki petani tergambar pada pola pewarisan lahan yang umumnya terjadi pada masyarakat pedesaan. Hal ini juga terlihat dari petani Desa Candimulyo. Lahan merupakan aset yang menjadi tujuan untuk dimiliki oleh petani agar dapat diwariskan pada keturunannya sehingga ikatan keluarga tidak terlepas dengan mudah ketika salah satu anggota keluarga meninggalkan keluarga tersebut. Petani juga merasakan kebanggaan tersendiri apabila dapat mewariskan sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh anak cucu mereka. Dengan kata lain, lahan tidak hanya bernilai ekonomi tetapi juga memiliki nilai sosial bagi orang tua dan anaknya. Ada yang menambahkan bahwa lahan yang diwariskan tidak boleh diperjualbelikan karena menyangkut ikatan keluarga. “Tanah warisan kalo bisa sih jangan sampai dijual..Itu kan titipan nenek moyang, berarti jimat dari mereka.”
Fungsi sosial dari lahan sebagai penguat ikatan kekerabatan dirasakan oleh sebagian besar petani. Bentuk ikatan kekerabatan itu pun tidak hanya terbatas pada kalangan keluarga, tetapi juga mencakup petani lain yang tinggal di wilayah desa tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keterbukaan petani berlahan luas untuk mempekerjakan petani lain yang tidak memiliki lahan atau berlahan sempit untuk menggarap lahan yang dimilikinya. Ikatan kekerabatan yang masih cukup terlihat di desa penelitian dicirikan oleh adanya kegiatan bersama dan adanya kenyataan bahwa antara sesama warga di desa tersebut saling mengenal. Fungsi sosial lahan terlihat pula pada penetapan status seseorang berdasarkan penguasaan lahan walaupun di desa ini sudah jarang menggunakan
pengukuran kekayaan berdasarkan luas lahan yang dimiliki. Kedudukan atau status seseorang terlihat pada adanya perlakuan yang berbeda berdasarkan penguasaan lahannya. Namun, pada kenyataannya, penghargaan itu muncul lebih dikarenakan adanya efek yang dihasilkan dari penguasaan lahan seseorang yaitu makin tingginya tingkat kesejahteraan dan kemapanan hidup, baik secara ekonomi maupun sosial yang sejalan dengan makin luasnya penguasaan lahan. Dengan kata lain, luas lahan yang dimiliki seseorang tidak menentukan status sosial seseorang dalam masyarakat secara langsung.
5.3 Keterkaitan Antara Fungsi Ekonomi dan Sosial Lahan Secara umum, pemaknaan terhadap fungsi lahan ini sangat beragam. Namun, masyarakat Candimulyo lebih berpendapat bahwa lahan lebih dominan memiliki fungsi ekonomi. Makna ekonomis yang dimiliki para petani pada lahannya terbentuk sebagai akibat nilai ekonomis di desa penelitian. Sama halnya dengan wilayah desa-desa di Pulau Jawa pada umumnya, desa penelitian juga mempunyai ciri adanya kelangkaan sumber daya lahan. Maka diperlukan pengorbanan yang cukup besar untuk memperoleh lahan tersebut. Fungsi sosial dari lahan pada hakekatnya memiliki keterkaitan dengan fungsi ekonomis lahan. Pada dasarnya, pandangan umum yang menyatakan bahwa lahan atau penguasaan lahan adalah salah satu simbol kedudukan seseorang dan menjadi dasar pelapisan sosial dalam suatu masyarakat merupakan akibat dari makna ekonomis lahan tersebut. Di desa penelitian, lahan sebenarnya tidak lagi dianggap sebagai penentu status sosial, melainkan tingkat kesejahteraanlah yang justru diperhitungkan. Namun, lahan khususnya di wilayah
pedesaan masih merupakan penentu kesejahteraan tersebut karena tingkat kesejahteraan dilihat dari kemapanan ekonomi sebuah rumahtangga yang sumber ekonominya berasal dari lahan. Dalam hal ini, petani pada umumnya sangat menggantungkan hidupnya pada lahan mereka sehingga status sosial yang dimiliki petani (kesejahteraan), merupakan akibat dari fungsi ekonomi lahan tersebut. “Dia terpandang karena hartanya banyak. Wajar saja sih, wong lahannya luas.”
Sistem pewarisan lahan yang sampai sekarang masih dijunjung tinggi tersebut pun sebenarnya merupakan akibat dari makna ekonomis dari lahan. Fenomena perebutan warisan lahan masih sering terjadi khususnya di pedesaan dengan alasan bahwa, lahan yang akan diwariskan tersebut sangat bernilai dan merupakan penentu kelangsungan hidup mereka. Dapat dikatakan pula bahwa, sistem pewarisan lahan tersebut sebenarnya merupakan penguat ikatan kekerabatan. Hal ini dapat terjadi ketika sistem pewarisan tersebut dilakukan dengan seadil-adilnya tanpa adanya perebutan. Ini menunjukkan bahwa fungsi sosial lahan pada hakekatnya merupakan akibat dari fungsi ekonomis dari lahan tersebut. Tingginya nilai lahan baik dilihat dari sisi ekonomi maupun sosial membuat para pemilik lahan memaksimalkan penggunaan lahan tersebut untuk berbagai bidang usaha. Apapun mereka lakukan demi mempertahankan hidup atau bahkan meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Namun, tidak semua orang dapat memanfaatkan nilai lahan ini dengan benar. Misalnya yang terjadi di Desa Candimulyo. Lahan yang umumnya bermanfaat untuk pertanian kini dirusak dengan aktivitas penggalian pasir dan batu demi mengejar keuntungan. Hal ini
bukan karena mereka menganggap lahan ini tidak bernilai, melainkan ada desakan ekonomi yang membuat petani-petani ini mengorbankan lahan mereka. “Saya sih sangat menyayangkan, lahan saya dijadikan pertambangan pasir dan batu. Tapi kalo nggak seperti ini, saya nggak bisa hidup. Cita-cita saya sih ingin membeli lahan yang lebih baik dan luas setelah saya dapat uang banyak dari penggalian ini.”
5.4 Ikhtisar Sub bab ini merupakan ikhtisar atau isi pokok-pokok penting bab 5. Ikhtisar ini terdiri dari pandangan umum masyarakat terhadap lahan. Pandangan masyarakat tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu lahan sebagai fungsi ekonomi dan lahan sebagai fungsi sosial. Makna ekonomis yang dimaksud adalah sejauh mana pemenuhan kebutuhan hidup petani sangat tergantung pada lahan. Lahan adalah faktor produksi yang menentukan pendapatan dan kelangsungan hidup keluarga petani. Makna ekonomis lahan juga dicirikan oleh penilaian yang tinggi secara ekonomis pada lahan (harga lahan) dengan kriteria kesuburan dan kedekatan dengan sarana perhubungan. Lahan dianggap sebagai bentuk harta yang dengan mudah dilepas jika harga jualnya tinggi. Lahan dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan taraf hidup petani melalui pengembangan usahataninya. Fenomena makna sosiologis yang dimiliki petani tergambar pada pola pewarisan lahan yang umumnya terjadi pada masyarakat pedesaan. Hal ini juga terlihat dari petani Desa Candimulyo. Fungsi sosial dari lahan sebagai penguat ikatan kekerabatan dirasakan oleh sebagian besar petani. Bentuk ikatan kekerabatan itu pun tidak hanya terbatas pada kalangan keluarga, tetapi juga mencakup petani lain yang tinggal di wilayah desa tersebut. Fungsi sosial lahan terlihat pula pada penetapan status seseorang berdasarkan penguasaan lahan
walaupun di desa ini sudah jarang menggunakan pengukuran kekayaan berdasarkan luas lahan yang dimiliki. Fungsi ekonomi dan fungsi sosial bagi lahan tersebut sebenarnya saling berkaitan. Pada hakekatnya fungsi sosial dari lahan merupakan akibat dari nilai ekonomis pada lahan tersebut. Kerusakan lahan akibat penggalian pasir dan batu bukanlah karena mengabaikan nilai lahan, melainkan desakan ekonomi yang tidak bersahabat.
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONVERSI LAHAN
6.1 Kondisi Konversi Lahan Di Desa Candimulyo Pertanian di Desa Candimulyo merupakan tonggak kehidupan bagi masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan dengan mata pencaharian utama bagi desa ini yaitu di bidang pertanian. Namun, kegiatan pertanian yang telah dijalankan turuntemurun itu beberapa tahun terakhir ini semakin berkurang. Masyarakat petani desa ini, yang awalnya mengunggulkan tembakau sebagai komoditas utama mereka, kini berubah tak menentu. Banyak yang beralih ke pertanian tanaman pangan, banyak pula yang berubah profesi, tidak lagi petani. Hal ini berawal dari jatuhnya harga tembakau pada akhir tahun 1990-an yang membuat banyak petani tembakau di Candimulyo, bahkan di Kabupaten Wonosobo pun turut mengalami kebangkrutan. Turunnya harga tembakau tersebut menyiutkan semangat para petani waktu itu untuk terus menanam tembakau. Berikut ini penjelasan Pak Ashuri, 54 tahun, salah seorang petani yang mengeluhkan masalah tersebut. “Saya pikir wajar saja para petani di sini banyak yang nggak mau lagi nanam tembakau. Saya saja sempet stress. Gimana nggak? Waktu itu, saya pernah nanam tembakau ngabisin modal sekitar 20 jutaan. Tapi pas saya panen, cuma dapat 800 ribu. Siapapun bisa gila kalau dapat musibah seperti ini.”
Akhirnya, banyak petani yang mengambil keputusan untuk mengganti komoditas pertanian yang mereka tanami menjadi tanaman jagung dan sayuran kobis. Pada awalnya, harga sayuran ini sangat menjanjikan karena masih langka. Dengan demikian, semakin hari semakin banyak petani yang mengubah
komoditas tanamannya dari tanaman tembakau tersebut menjadi tanaman jagung dan kobis. Menurut mereka, tanaman tersebut dapat dijadikan sandaran perut karena jagung dapat dikonsumsi sebagai makanan pokok, sedangkan kobis sebagai lauknya. Jika lauk sudah mencukupi, sisa panen dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Permainan harga pasar muncul lagi setelah volume komoditas jagung dan kobis meluap di pasaran. Harganya sangat jauh dari harapan para petani. Bahkan petani sempat merasakan harga kobis sampai dua ratus perak per kilogram. Para petani kembali menjadi mangsa permainan harga pasar tersebut. Ada yang berpendapat bahwa pemerintah tidak pernah peduli dengan nasib mereka. Bukan hanya pemasaran yang menjadi permasalahan, tetapi kelangkaan pupuk yang justru menentukan untung ruginya usahatani, juga membuat para petani resah. Berikut penjelasan, sebut saja Pak Surjoyo, 47 tahun, salah seorang petani Desa Candimulyo, berkaitan hal tersebut: “Saya bingung gimana maksud pemerintah. Ngomongnya saja program utama mereka pengembangan pertanian di Wonosobo, tapi nyatanya kami mau nyari pupuk saja susah. Bukan masalah harganya saja, Mending kalo mahal saja, mungkin kami tetep ngusahain uang untuk membeli, tapi ini sudah harganya mahal, pas dicari pun barangnya nggak ada. Gimana petani-petani di sini nggak pada stress? Satu hal lagi yang kami harapkan sebenarnya masalah pasar pertanian. Saya makin nggak ngerti saja. Misalnya nih, saya lagi nanam kobis, harga kobis waktu itu lagi mahal. Petani-petani lain juga nanam kobis. Kita sudah ngrawat dengan baik sehingga hasil panennya pun baik. Namun pas masa panen, harganya tiba-tiba jatuh.Ya petani mau nggak mau tetep harus menjual hasil penennya juga walaupun rugi kalo dihitung-hitung.”
Minimnya penghasilan yang didapat dari bercocok tanam akhirnya membuat para petani pemilik lahan berinisiatif mengubah fungsi lahan pertanian mereka menjadi pertambangan pasir dan batu. Menurut warga sekitar pertambangan, penggalian itu sudah mulai terjadi sejak tujuh tahun silam yang berawal dari seorang petani yang tidak sengaja menemukan pasir dan batu di
lahannya pada saat sedang mencakul. Petani tersebut terus mencangkul ke dalam, dan semakin banyak pasir yang muncul. Akhirnya, petani tersebut berinisiatif untuk menjual pasir tersebut ke pengusaha bahan bangunan. Melihat hasil yang memuaskan, dia terus melakukan hal yang sama dari tahun ke tahun. Kini petani tersebut, sebut saja Pak Supyan, menjadi seorang yang kaya raya dengan penghasilannya yang milliaran. Berikut penjelasan Pak Ahmad Sujadi, 54 tahun, seorang warga yang mengetahui keadaan petani tersebut: “Sebenarnya, penggalian pasir dan batu ini berawal dari Pak Supyan. Dulu dia orang yang nggak punya apa-apa (miskin). Punya lahan pun nggak nyampe seribu meter. Udah gitu, jumlah tanggungannya banyak pula. Sepertinya buat nyukupin kebutuhan sehari-hari saja kurang. Tapi sekarang, dia sudah bisa dibilang menjadi orang yang paling kaya di desa ini. Gimana nggak, penghasilan dari galian pasir di lahannya sehari saja bisa buat nyukupin kebutuhan keluarga untuk seminggu. Melihat Keuntungan yang didapat Pak Supyan, petani-petani terutama yang lahannya sempit mencoba-coba mencangkul lahannya dengan harapan ada pasirnya.”
Kini, para petani pemilik lahan banyak juga yang memilih menjual lahan mereka kepada pengusaha untuk kemudian digali untuk diambil kandungan pasir dan batunya. Akibat penambangan tersebut, lahan pertanian menjadi rusak. Untuk mengambil batu dan pasir, lahan pertanian dikeruk dan dikepras hingga setinggi 14 meter. Sejumlah lahan pertanian kini menjadi tampak seperti keprasan bukit berongga (lihat Lampiran 3). Semula hanya satu atau dua petani pemilik lahan yang menjual lahannya ke pengusaha pasir dan batu, namun, karena harga tanah yang ditawarkan untuk lahan yang akan dipakai sebagai pertambangan dapat mencapai hampir sepuluh kali lipat dari harga normal, banyak pemilik lahan yang ikut-ikutan menjual. Pengusaha pasir dan batu berani membeli lahan di area pertanian yang mengandung pasir dan batu dengan harga per meter persegi antara Rp 350.000 sampai Rp 400.000. Padahal, normalnya harga lahan itu hanya Rp 35.000 sampai Rp 40.000. Berikut ungkapan salah seorang pelaku penggalian,
sebut saja Waris, 39 tahun, yang mengaku seperempat hektar lahannya kini dijadikannya pertambangan pasir dan batu: "Sekarang kalau lahan itu ditanami jagung atau tembakau, sulit dijadikan sandaran untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Panen tembakau belum tentu ada hasilnya, itu pun setahun sekali. Panen jagung hanya cukup untuk makan sehari-hari, kadang kurang, Namun, bila lahan itu dijadikan pertambangan pasir dan batu, hanya duduk saja para petani ini bisa mengeruk keuntungan Rp 60.000 sampai Rp 80.000 per hari."
Kini ada puluhan petani yang merelakan tanahnya dibeli pengusaha pasir dan batu untuk dikeruk dan dijadikan penambangan pasir serta batu. Belum lagi petani yang memilih melakukan penambangan sendiri atau bahkan bagi hasil untuk diambil pasir dan batunya. Kondisi konversi lahan yang terjadi di Desa Candimulyo ini jika digolongkan berdasarkan pola konversi menurut Sihaloho (2004) tergolong pada konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (Social Problem driven land conversion) yaitu, masyarakat mengkonversi lahan karena memiliki motivasi untuk berubah meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian (utama). Dalam hal ini, motivasi tersebut muncul karena keinginan untuk bertahan hidup bahkan meningkatkan mutu kehidupan mereka.
6.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konversi Lahan Minimnya penghasilan dari bercocok tanam oleh sebagian besar petani berlahan sempit membuat mereka semakin terhimpit dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga. Kondisi ini membuat banyak petani yang mengamalkan prinsip pola nafkah ganda, dalam hal ini tidak hanya kepala keluarga yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Istri atau anak juga diminta untuk mencari nafkah dengan menjadi buruh (buruh tani) demi menutupi
kekurangan dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga mereka. Namun, usaha tersebut dirasa sia-sia karena biaya hidup sekarang semakin meningkat. Oleh karena itu, konversi lahan menjadi lahan pertambangan pasir dan batu dirasa dapat menjadi solusi dari permasalahan yang mereka hadapi. Dalam hal ini, mereka mengkonversi lahan demi mempertahankan hidup mereka dengan asumsi bahwa konversi lahan yang mereka lakukan akan lebih menghasilkan. Konversi lahan yang mereka lakukan pada awalnya bukanlah untuk mengejar kekayaan semata, melainkan mencari sumber penghasilan yang dapat menyokong kehidupan mereka. Fakta sekarang menunjukkan tidak demikian. Kini para petani yang mengkonversi lahan lebih bermaksud mengejar kekayaan (lifestyle). Banyak petani yang telah berhasil mengeruk keuntungan dari konversi lahan yang mereka lakukan, kini mengamalkan budaya konsumtif. Artinya, gaya hidup kini menjadi motif utama para petani yang mengkonversikan lahan mereka. Kondisi tersebut pada hakekatnya merupakan faktor utama mengapa para petani di Desa Candimulyo khususnya petani-petani berlahan sempit. Faktor ini kemudian didukung dengan faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan konversi lahan. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor internal petani itu sendiri dan faktor eksternal. Faktor internal petani adalah karakteristik petani yang dalam penelitian ini mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.
6.2.1 Faktor Internal Faktor internal petani merupakan faktor yang diduga berhubungan dengan konversi lahan. Dalam kasus ini, aspek-aspek karakteristik petani yang berhubungan dengan konversi lahan adalah umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, dan luas kepemilikan lahan. Sedangkan aspek yang tidak berhubungan adalah tingkat ketergantungan pada lahan.
6.2.1.1 Umur Petani Umur merupakan salah satu faktor penentu para petani Desa Candimulyo mengkonversikan lahan mereka. Seperti yang telah diketahui, konversi lahan yang terjadi pada kasus ini adalah perubahan fungsi lahan dari pertanian menjadi tambang pasir dan batu. Menambang pasir dan batu merupakan sebuah pekerjaan yang sangat membutuhkan tenaga. Oleh karena itu, pekerjaan ini banyak dilakukan oleh kaum muda. Dari hasil wawancara kepada beberapa petani yang tidak mengkonversi lahan, alasan mereka adalah sudah tidak kuat lagi untuk melakukan penggalian pasir dan batu tersebut sehingga memilih untuk tetap bertahan menjadi petani. Berikut penjelasan salah seorang petani, sebut saja Pak Mahuri, 75 tahun, berkaitan hal tersebut: “Sebenarnya saya pengen juga sih punya galian pasir itu. Soalnya, kalo dilihat dari penghasilan, sepertinya lebih menguntungkan. Tapi mau gimana lagi, wong saya sudah tua gini, kayaknya sih nggak kuat. Kalo nyuruh orang buat gali lahan saya, percuma saja, saya harus bayar orang lagi. Sekarang masalah galian ini sudah jadi ribet. Orang-orang yang nggak punya lahan galian kadang-kadang suka ngiri. Sampai-sampai, mereka meminta bagian dari hasil galian bagi yang lahannya bersebelahan dengan lahan galian. Bisa-bisa, ada yang meminta semeter persegi lahan galian sebagai bagiannya.”
Mereka menambahkan bahwa, hal yang membuat mereka semakin enggan untuk mengkonversi adalah kebiasaan masyarakat yang selalu ingin mengambil
keuntungan dari orang lain. Menurut mereka, ketika lahan galian tersebut bersebelahan dengan lahan yang tidak digali, milik orang lain, maka yang memiliki lahan yang tidak digali tersebut dapat meminta bagian dari hasil galian dengan alasan lahan mereka jadi rusak karena sering dilewati para penggali. Dari fenomena tersebut, banyak juga petani yang sebenarnya mampu dan berkeinginan untuk mengkonversi lahannya menjadi tambang pasir dan batu berubah pikiran untuk melakukan hal tersebut setelah memperhitungkan untung dan ruginya. Hubungan pada penjelasan di atas akan dibuktikan dengan menggunakan perhitungan statistik. Tabel 5 menunjukkan hubungan antara umur petani dengan konversi lahan. Tabel 5. Jumlah Responden Menurut Umur dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008. Umur 30 – 39 40 – 49 > 49 Total
Konversi Lahan Konversi Tidak Konversi 8 1 0 12 0 9 8
22
Total 9 12 9 30
Tabulasi silang di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara umur petani dengan konversi lahan. Dapat dilihat pada tabel, dari sembilan petani golongan umur 30-39 tahun, delapan di antaranya mengkonversi lahan, namun tidak ada satupun dari golongan umur 40-49 dan 50-59 yang mengkonversi lahan. Nilai hubungan tersebut diperkuat dengan menggunakan analisis chisquare. Analisis chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara umur petani dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar
0,00 yang nilainya lebih kecil dari 0,05 (α =0.05). Hal ini menunjukkan bahwa, pada kasus konversi lahan di desa ini, petani akan cenderung mengkonversi lahan ketika umur mereka masih muda. Hal terjadi karena kasus konversi lahan di desa ini merupakan pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi tambang pasir dan batu yang pada proses penggaliannya membutuhkan tenaga lebih besar dari bertani. Jadi, diduga bahwa petani golongan umur muda lebih mampu untuk melakukan pekerjaan menambang pasir dan batu tersebut sehingga akan lebih cenderung melakukan konversi lahan.
6.2.1.2 Tingkat Pendidikan Demikian halnya dengan tingkat pendidikan. Pada kasus konversi lahan di Desa Candimulyo, tingkat pendidikan diduga berhubungan dengan konversi lahan. Tabel 6 menunjukkan hubungan antara tingkat pendidikan petani dengan konversi lahan. Tabel 6. Jumlah Responden menurut Tingkat Pendidikan dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008. Tingkat Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Total
Konversi Lahan Konversi Tidak Konversi 7 5 0 5 1 12 8
22
Total 12 5 13 30
Dapat dilihat pada Tabel 6, dari delapan petani yang mengkonversi lahan, tujuh di antaranya merupakan petani yang tidak sekolah, sedangkan hanya satu orang yang tamat SD. Berbeda halnya dengan petani yang tidak mengkonversi lahan. Dari 22 petani yang tidak mengkonversi lahan tersebut, hanya lima orang
petani yang tidak sekolah, sedangkan 17 lainnya berpendidikan sampai dengan tamat SD walaupun lima lainnya tidak tamat SD. Analisis kemudian dilanjutkan dengan menggunakan analisis chi-square pada tabulasi silang di atas yang hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar 0,006 yang nilainya lebih kecil dari 0,05 (α =0.05). Hal ini menunjukkan bahwa, pada kasus konversi lahan di desa ini, konversi lahan lebih banyak dilakukan oleh petani yang belum pernah mengenyam pendidikan. Hal ini diduga karena, petani yang berpendidikan akan lebih bijak dalam mengambil keputusan untuk mengkonversi lahan atau tidak. Pada hakekatnya, konversi lahan sebenarnya mengkonversi sumber penghasilan para petani. Petani yang bijak tentu akan lebih memilih tidak mengkonversi lahan mereka karena mereka belum tentu bisa berhasil dalam melakukan pekerjaan yang belum mereka kuasai. Namun berbeda halnya jika ditinjau dari analisis kualitatif. Sebenarnya pendidikan bukanlah faktor penentu petani mengkonversi lahan. Menurut informasi masyarakat setempat, pendidikan tidak ada hubungannya dengan konversi lahan, tetapi berhubungan dengan latar belakang ekonomi keluarga. Pada umumnya, petani yang tidak berpendidikan tersebut berasal dari keluarga yang tergolong kurang mampu. Dengan ketidakmampuan tersebut, sekarang lebih memilih mengkonversi lahan karena menurut mereka, dengan mengkonversi akan lebih bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Berikut penjelasan seorang warga, sebut saja pak Ashuri, 54 tahun, berkaitan hal ini. “Memang petani-petani di sini, yang mengubah lahan mereka menjadi galian pasir dan batu kebanyakan tak berpendidikan. Ya itu sih sebenarnya cuma kebetulan saja. Yang jadi masalah sebenarnya bukan pendidikannya, tapi latar belakang ekonominya. Menurut saya sih, mereka mengkonversi karena kepepet.”
Dari penjelasan tersebut dapat simpulkan bahwa, petani yang berasal dari keluarga tidak mampu lebih cenderung untuk mengkonversi lahan. Sedangkan faktor pendidikan merupakan
faktor kebetulan karena tingkat pendidikan tersebut
ditentukan oleh latar belakang ekonomi keluarga.
6.2.1.3 Jumlah Tanggungan Keluarga Selain faktor umur dan tingkat pendidikan, konversi lahan yang terjadi di Desa Candimulyo jika ditinjau dari perspektif petani, juga disebabkan oleh beban jumlah tanggungan keluarga. Logikanya, semakin banyak jumlah anggota keluarga yang ditanggung petani tersebut, maka semakin banyak pula kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi sedangkan lahan mereka tetap tidak semakin luas. Dengan penghasilan yang didapat dari lahan pertanian yang sempit tersebut dirasa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang semakin membengkak. Akhirnya, masalah ini menekan mereka untuk tidak lagi bercocok tanam melainkan menjadikan lahan mereka sebagai pertambangan pasir dan batu. Berikut penjelasan salah seorang petani Desa Candimulyo, Pak Warisman, 30 tahun, yang mengaku sebagian dari lahannya dikonversi menjadi tambang pasir dan batu. “"Sekarang kalau lahan saya ditanami jagung atau kobis, sulit dijadikan sandaran untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Apalagi tanggungan saya banyak. Belum lagi anak yang minta sekolah. Panen jagung hanya cukup untuk makan sehari-hari, kadang kurang, Kobis nggak ada harganya. Namun, bila lahan itu dijadikan pertambangan pasir dan batu, hanya duduk saja, saya bisa mengeruk keuntungan Rp 60.000 sampai Rp 80.000 per hari. Tentu saja ini lebih dari cukup."
Hal ini menunjukkan bahwa, akibat tekanan ekonomi, petani-petani ini tidak lagi mampu mengimbangi kebutuhan sehari-hari rumahtangga mereka sehingga para petani ini merasa bahwa, hal yang paling baik dilakukan adalah
dengan tidak bertani lagi. Penjelasan tersebut memperkuat dugaan bahwa ada hubungan yang nyata antara jumlah tanggungan keluarga dengan konversi lahan yang dilakukan oleh para petani di Desa Candimulyo. Keakuratan hubungan tersebut dapat dibuktikan melalui perhitungan statistik. Dari hasil survei pada 30 responden, nilai hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 akan menjelaskan hubungan antara jumlah tanggungan keluarga petani dengan konversi lahan. Tabel 7. Jumlah Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008. Jumlah Tanggungan Keluarga ≤ 4 orang > 4 orang Total
Konversi Lahan Konversi Tidak Konversi 2 18 6 4 8
22
Total 20 10 30
Berdasarkan informasi masyarakat setempat, seorang kepala keluarga yang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang banyak adalah kepala keluarga yang jumlah tanggungannya lebih dari empat orang termasuk dirinya. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa, kepala keluarga tersebut memiliki lebih dari dua orang anak. Dari 30 responden yang diteliti, terdapat perbedaan jumlah responden yang mengkonversi lahan dan tidak, dilihat dari jumlah tanggungan anggota keluarganya. Dari delapan orang yang mengkonversi lahan, enam di antaranya merupakan petani yang jumlah tanggungan keluarganya banyak (> 4 orang), sedangkan dari 22 petani yang tidak mengkonversi lahan, 18 orang di antaranya memiliki jumlah tanggungan keluarga yang sedikit (≤ 4 orang). Hal ini menunjukkan bahwa, konversi lahan lebih cenderung dilakukan oleh petani yang jumlah tanggungan keluarganya banyak atau lebih dari empat orang.
Analisis chi-square kemudian dilakukan pada tabel 7 yang hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara jumlah tanggungan keluarga petani dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar 0,004 yang nilainya lebih kecil dari 0,05 (α =0.05). Analisis ini memperkuat dugaan bahwa konversi lahan yang dilakukan oleh petani di Desa Candimulyo ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarganya. Hal ini diduga karena, dengan pekerjaan hanya sebagai petani dirasa tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga apa lagi jumlah yang ditanggungnya semakin banyak. Dengan demikian, konversi lahan dirasa dapat memecahkan masalah tersebut dengan asumsi bahwa melakukan konversi lahan lebih menguntungkan dibanding kegiatan pertanian.
6.2.1.4 Luas Kepemilikan Lahan Luas kepemilikan lahan juga menjadi faktor penentu petani mengkonversi lahan. Petani di Desa Candimulyo memiliki lahan yang luasnya sangat beragam. Namun, kepemilikan lahan oleh para petani ini didominasi oleh petani yang memiliki lahan dengan luasan antara 0,25 hektar sampai dengan 0,5 hektar. Oleh karena itu, masyarakat setempat menggolongkan petani di Desa Candimulyo ke dalam tiga golongan yaitu; petani yang memiliki lahan lebih dari 0,5 hektar tergolong ke dalam petani yang berlahan luas, petani yang memiliki lahan antara 0,25 sampai dengan 0,5 hektar tergolong petani yang berlahan sedang, sedangkan untuk petani yang memiliki lahan kurang dari 0,25 hektar tergolong ke dalam petani yang berlahan sempit. Dengan demikian, penggolongan ini digunakan untuk menguji dugaan bahwa ada hubungan yang nyata antara luas kepemilikan
lahan dengan koversi lahan. Tabel 8 akan menjelaskan hubungan antara luas lahan yang dimiliki petani dengan konversi lahan. Tabel 8. Jumlah Responden Menurut Luas Kepemilikan Lahan dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008. Luas Kepemilikan Lahan Sempit Sedang Luas
konversi lahan konversi tidak konversi 7 4 1 10 0 8
Total
8
22
Total 11 11 8 30
Dapat dilihat dari tabulasi silang di atas bahwa, sebagian besar dari petani yang mengkonversi lahan merupakan petani berlahan sempit. Dari delapan petani yang mengkonversi lahan, tujuh di antaranya merupakan petani berlahan sempit. Sebaliknya, sebagian besar petani yang tidak mengkonversi lahan merupakan petani berlahan sedang dan luas yaitu, hanya satu dari 11 petani berlahan sedang yang mengkonversikan lahannya sedangkan tidak ada satupun petani berlahan luas yang mengkonversikan lahannya. Analisis Chi Square pada Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara luas lahan yang dimiliki petani dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar 0,002 yang nilainya lebih kecil dari 0,05 (α = 0.05). Analisis ini memperkuat dugaan bahwa konversi lahan yang dilakukan oleh petani ada hubunganya dengan luas lahan yang dimiliki. Dalam hal ini, konversi lahan sangat potensial dilakukan oleh petani berlahan sempit. Hal ini diduga karena, hasil panen dari pengolahan lahan yang sempit tersebut tidak sebanding dengan modal usahatani (pupuk, bibit) yang dikeluarkan petani yang secara tidak langsung menimbulkan masalah dalam hal mencukupi kebutuhan keluarga. Ketika
mengkonversi lahan yang dalam hal ini mengalih fungsi lahan pertanian mereka menjadi tambang pasir dan batu tersebut lebih menguntungkan, maka tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk tetap bertahan di bidang pertanian yang ditambah masalah kecukupan kebutuhan sehari-hari mereka yang terus meningkat yang akhirnya memicu mereka untuk beralih sumber mata pencaharian. Dengan demikian, petani berlahan sempit tersebut lebih memilih untuk mengkonversikan lahannya dengan asumsi bahwa konversi lahan tersebut lebih menguntungkan. Salah seorang warga setempat menjelaskan bahwa, petani-petani yang mengkonversi lahan pada umumnya berlahan sempit. Menurut mereka, lahan sempit yang mereka miliki sama sekali tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga mereka yang semakin meningkat. Dengan alasan itu, mereka mencoba mencari usaha lain di bidang non pertanian yaitu dengan mengubah lahan mereka menjadi pertambangan pasir dan batu. Alasan mereka adalah, setelah mendapatkan hasil dari penambangan pasir dan batu dari lahan yang mereka konversi, mereka ingin membeli tanah lagi yang kemudian akan diusahakan untuk kegiatan pertanian. Mereka beranggapan demikian karena menyadari bahwa keuntungan yang berlimpah ini tidak akan berlangsung lama. Berikut penjelasan petani tersebut (Pak Warisman, 30 tahun) terkait pengakuan ini: “Sebenarnya cita-cita saya nanti pengen membeli tanah lagi untuk usaha pertanian. Walaupun saya tahu sekarang saya lebih berhasil ketika tanah saya dijadikan tambang pasir dan batu, tetapi kalo sudah tua, saya mau makan apa kalo tanah saya sudah habis digali.”
6.2.1.5 Tingkat Ketergantungan pada Lahan Petani
pada
umumnya
sangat
tergantung
pada
lahan
demi
mempertahankan hidupnya. Namun, tingkat ketergantungan tersebut berbeda-beda sesuai kebutuhannya dalam mengolah lahan tersebut. Ada yang sepenuhnya
menggantungkan hidupnya pada lahan, tetapi ada pula yang hanya menjadikan pertanian sebagai sumber penghasilan sampingan. Logikanya, perbedaan tingkat ketergantungan pada lahan ini akan mempengaruhi petani untuk mengkonversi lahan. Artinya, ketika petani tidak terlalu tergantung pada lahannya, kemudian memiliki usaha lain, kecenderungan petani tersebut untuk mengkonversi lahan lebih tinggi. Begitu juga sebaliknya, petani yang sangat tergantung pada lahannya akan berfikir berkali-kali sebelum mengkonversikan lahan mereka. Kenyataan menunjukkan hal yang berbeda yaitu pada kasus konversi lahan di Desa Candimulyo. Sebagian besar petani di desa ini sangat menggantungkan hidupnya pada lahan mereka. Logikanya, ketika seorang petani tersebut sangat tergantung pada lahannya, kemungkinan petani tersebut mengkonversi lahan sangatlah kecil. Tetapi yang terjadi adalah, sebagian besar petani yang mengkonversi lahan di desa ini adalah petani yang sangat bergantung pada lahannya di bidang pertanian. Ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan pada lahan ini tidak ada hubungannya dengan keputusan petani untuk mengkonversi lahan. “Saya sudah lama menjadikan lahan saya sebagai galian pasir dan batu. Sebelum saya melakukan ini, saya memang sangat menggantungkan hidup saya pada lahan ini (pertanian). Wong dari dulu saya cuma bisa bertani. Tapi sekarang kan saya sudah berkeluarga, tanggungan nambah, lahan tetep segini-segini aja. Akhirnya terpaksa saya korbankan lahan saya demi keluarga saya.” (Pak Ngadiman)
Ungkapan seorang petani yang kini menjadikan lahannya sebagai tambang pasir dan batu tersebut membuktikan bahwa, sebenarnya tingkat ketergantungan pada lahan bukanlah faktor pendorong para petani tersebut mengkonversi lahan, melainkan ada faktor lain yang lebih mendesak, misalnya jumlah tanggungan keluarga, dan himpitan ekonomi.
Kesimpulannya, dugaan bahwa tingkat ketergantungan pada lahan berhubungan dengan konversi lahan, tidak berlaku untuk kasus konversi lahan di Desa Candimulyo. Hal ini turut dibuktikan dengan melihat hasil survei dari 30 responden yang hasilnya tercantum pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah Responden Menurut Tingkat Ketergantungan pada Lahan dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008. Konversi Lahan konversi tidak konversi 1 1 7 21
Tingkat Ketergantungan pada Lahan Rendah Tinggi Total
Tabulasi
8
silang
di
atas
menunjukkan
Total 2 28
22
hubungan
30
antara
tingkat
ketergantungan petani pada lahan dengan konversi lahan. Dapat dilihat pada tabel bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat ketergantungan pada lahan dengan konversi lahan. Dari delapan petani yang mengkonversi lahan, hanya satu orang yang memiliki tingkat ketergantungan yang rendah pada lahannya. Begitu juga dengan petani yang tidak mengkonversi lahan. Dari 22 petani yang tidak mengkonversi lahan, hanya satu di antaranya yang memiliki ketergantungan yang rendah pada lahannya. Analisis kemudian dilanjutkan dengan analisis chi-square pada Tabel 9 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat ketergantungan pada lahan dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar 0,44 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0.05). Analisis ini menolak dugaan yang menyatakan bahwa konversi lahan yang dilakukan oleh petani ada hubunganya tingkat ketergantungan pada lahan. Memang pada faktanya tingkat ketergantungan pada lahan tidak ada kaitannya dengan konversi lahan yang
banyak terjadi di Desa Candimulyo. Secara umum, petani sangat menggantungkan hidupnya pada lahan pertaniannya baik petani berlahan sempit maupun luas. Jadi, konversi lahan yang terjadi di Desa Candimulyo ini bukanlah karena petani memiliki tingkat ketergantungan yang rendah pada lahannya, melainkan ada faktor lain yang menekan mereka misalnya kesulitan ekonomi dan tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
6.2.2 Faktor Eksternal Faktor eksternal juga merupakan faktor yang diduga berhubungan dengan konversi lahan. Dalam kasus ini, aspek-aspek faktor eksternal yang berhubungan dengan konversi lahan kebijakan pemerintah dalam hal pengembangan pertanian, sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah pengaruh investor dan tetangga. 6.2.2.1 Pengaruh Tetangga Jumlah petani Desa Candimulyo yang telah mengkonversikan lahan mereka semakin banyak dari tahun ke tahun. Menurut informasi perangkat desa, fenomena konversi lahan ini diperkirakan akan terus bertambah pada tahun-tahun mendatang. Tidak hanya di Desa Candimulyo, bahkan di desa-desa sekitarnya. Sangat dimungkinkan bahwa, pesatnya perkembangan konversi lahan di desa ini disebabkan karena pengaruh tetangga yang telah mengkonversikan lahan mereka. Melihat jumlah petani yang mengkonversikan lahannya semakin banyak, tidak menutup kemungkinan, petani-petani yang lain akan ikut mengkonversi juga, apa lagi mereka yang telah mengkonversi tadi telah terlihat keberhasilannya.
Analisis statistik dilakukan untuk menguji kebenaran dari fenomena ini yaitu dengan melakukan survei pada 30 responden yang hasilnya tertuang pada Tabel 10. Tabel 10. Jumlah Responden Menurut Pengaruh Tetangga dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008. Pengaruh Tetangga Rendah Tinggi Total
Konversi Lahan Konversi Tidak Konversi 5 18 3 4 8 22
Total 23 7 30
Tabulasi silang di atas menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara jumlah tetangga yang mengkonversi dengan konversi lahan. Dapat dilihat pada tabel bahwa, dari delapan petani yang mengkonversi lahan, hanya tiga petani yang pengaruh tetangganya tinggi. Begitu juga dengan petani yang tidak mengkonversi lahan, dari 22 petani, hanya empat petani yang pengaruh tetangganya tinggi. Analisis chi-square juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengaruh tetangga dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai nilai probabilitas sebesar 0,269 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0.05). Analisis ini menolak dugaan yang menyatakan bahwa konversi lahan yang dilakukan oleh petani dipengaruhi oleh jumlah tentangga yang mengkonversi lahan. Hal ini karena, petani-petani ini mungkin mengkonversi lahan bukan karena dorongan tetangga mereka, melainkan ada faktor lain yang lebih mendesak. Berbeda dengan fakta di lapangan. Pada kenyataannya, petani-petani yang mengkonversikan lahan mereka disebabkan karena mengikuti jejak langkah
tetangga mereka. Walaupun sebagian besar dari mereka mengaku bahwa, kegiatan mengkonversi lahan ini merupakan inisiatif sendiri, tetapi inisiatif itu dilakukan setelah melihat tetangga-tetangga mereka yang telah berhasil. “Saya melakukan penggalian ini bukan dorongan siapa-siapa. Memang atas keinginan saya sendiri. Saya cuma ngiri melihat teman-teman saya jadi kaya mendadak setelah menjadikan lahannya sebagai pertambangan pasir dan batu.” (Pak Warisman, 30 tahun)
Demikian ungkapan salah seorang petani, sebut saja Pak Yatno, yang telah merelakan seperenam hektar lahannya dijadikan pertambangan pasir dan batu. Ini menunjukkan bahwa, jumlah tetangga petani yang mengkonversi lahan, pada hakekatnya memiliki pengaruh bagi petani-petani lain untuk ikut-ikutan mengkonversikan lahan mereka. Jika ditinjau dari sejarah maraknya konversi lahan yang terjadi di desa ini juga menunjukkan bahwa pada hakekatnya konversi lahan yang dilakukan oleh petani-petani ini merupakan akibat pengaruh tetangga yang ditunjukkan dengan semakin pesatnya perkembangan konversi lahan ini dari tahun ke tahun. Ada juga yang sempat berpendapat bahwa, jika kegiatan konversi lahan ini tidak ada yang memulai, kemungkinan besar kegiatan pertanian di desa ini masih tetap seperti tujuh tahun silam. 6.2.2.2 Pengaruh Investor Maraknya konversi lahan di desa ini turut menarik perhatian para investor yang dalam hal ini pengusaha pasir dan batu. Awalnya, konversi lahan dilakukan oleh para petani yang memiliki lahan terutama lahan-lahan sempit. Melihat hasil yang sangat menjanjikan, banyak pengusaha pasir dan batu yang berkepentingan membeli lahan-lahan petani yang mengandung pasir dan batu. Kebanyakan pengusaha ini juga merangkap sebagai pengusaha beton dan batako. Mereka merasa sangat diuntungkan karena bahan baku beton dan batako ini mudah
didapatkan yaitu dengan mengeruk langsung dari lahan yang telah dibelinya. Kini semakin banyak pengusaha yang ingin membeli lahan-lahan petani dengan tujuan menjadikan lahan tersebut sebagai penghasil bahan baku beton dan batako. Belum lagi pengusaha yang ingin bekerjasama dengan petani, yaitu dengan meminta petani tersebut mengeruk pasir dari lahannya, lalu pasir tersebut dijual kepada pengusaha beton dan batako tersebut. Para pengusaha ini kini memberikan iming-iming harga tanah yang tinggi kepada petani yang memiliki lahan agar mau menjual lahannya. Dampaknya, petani-petani ini banyak yang mengambil kesempatan dengan iming-iming tersebut. Sekarang permainan harga lahan di Desa Candimulyo sudah tidak wajar lagi. Dulu, harga lahan sawah jauh lebih mahal daripada lahan kering apa lagi mengandung pasir atau kerikil. Tetapi sekarang, harga lahan yang berkerikil tersebut justru dapat mencapai sepuluh kali lipat dari harga asal. Sekarang banyak petani yang tidak mau merelakan lahannya dengan mudah kepada pengusaha. Mereka mengambil kesempatan dengan menaikkan harga lahan mereka setinggi mungkin karena mereka tahu bahwa, jika lahan mereka ingin dijadikan pertambangan pasir dan batu, hasilnya akan jauh lebih menguntungkan. Berikut penjelasan salah seorang warga yang mengetahui hal tersebut: “Petani-petani sekarang banyak yang mengambil kesempatan dengan permainan harga tanah di desa ini. Tetangga saya pernah ada yang menawarkan tanahnya kepada seorang pengusaha. Tanahnya kalau dihargai normal sih paling cuma 35 juta. Wong cuman 1000 meter kok. Tapi dia ngasih harga ke pengusaha itu dengan harga 350 juta karena tahu tanah itu mau dijadikan pertambangan pasir dan batu. Memang sih banyak pasirnya, tapi pengusaha itu jadi mikir-mikir lagi.”
Fenomena ini sangat memungkinkan para petani untuk mengkonversikan lahan mereka. Dengan kata lain, konversi lahan yang banyak dilakukan oleh petanipetani di Desa Candimulyo ada hubungannya juga dengan pengaruh para investor.
Namun, jika ditinjau dari hasil survei, hasilnya tidak menunjukkan demikian. Tabel 11 akan menjelaskan hubungan antara pengaruh investor dengan konversi lahan yang terjadi di Desa Candimulyo. Tabel 11. Jumlah Responden Menurut Pengaruh Investor dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008. Pengaruh Investor Ada Pengaruh Tidak Ada Pengaruh Total
Konversi Lahan Konversi Tidak Konversi 1 0 7 22 8 22
Total 1 29 30
Tabulasi silang di atas menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengaruh investor dengan konversi lahan. Dapat dilihat pada tabel bahwa, dari delapan petani yang mengkonversi lahan, tujuh di antaranya mengkonversi tanpa pengaruh investor. Begitu juga dengan petani yang tidak mengkonversi lahan. Dari 22 petani yang tidak mengkonversi lahan, semuanya belum pernah dipengaruhi oleh investor agar mengkonversi lahan. Analisis kemudian dilanjutkan dengan menggunakan analisis chi-square pada Tabel 11 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara pengaruh investor dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar 0,92 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0.05). Analisis ini menolak dugaan yang menyatakan bahwa konversi lahan yang dilakukan oleh petani ada hubunganya dengan pengaruh investor. Pada kenyataannya memang investor sama
sekali
tidak
berpengaruh
terhadap
kecenderungan
petani
untuk
mengkonversi lahan. Hal ini diduga karena, faktor internal lebih dapat mempengaruhi petani untuk melakukan konversi lahan.
6.2.2.3 Kebijakan Pemerintah Daerah Kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan pertanian dirasa tidak mampu menanggulangi konversi lahan yang dianggap sebagai sebuah masalah bagi sebagian masyarakat Desa Candimulyo. Selain dampak sosial, yang paling ditakutkan adalah dampak bagi lingkungan akibat konversi lahan tersebut. Masyarakat menganggap bahwa kebijakan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah daerah kurang tepat sasaran. Menurut mereka, yang dipedulikan pemerintah hanyalah petani-petani dengan usahatani skala besar. Misalnya masalah pemberian bantuan bibit dan pupuk. Beberapa tahun yang lalu, pemerintah daerah gencar membagi-bagikan pupuk dan bibit tanaman baru kepada petani-petani di Desa Candimulyo. Namun, yang sangat disesalkan masyarakat adalah, sebagian besar petani yang menerima bantuan tersebut adalah petani berlahan luas yaitu yang memiliki lahan lebih dari 0.5 hektar. Bahkan ada sebagian petani yang benar-benar tidak tahu tentang adanya bantuan tersebut. Menurut warga setempat, yang merupakan salah seorang anggota kelompok tani mengungkapkan bahwa pemerintah daerah telah dianggap gagal dalam melaksanakan program pengembangan pertanian di Wonosobo karena program tersebut lebih tertumpu pada pertanian skala besar. Menurutnya lagi, hal ini justru menjadi salah satu penyebab petani-petani kecil di desa ini mengkonversikan lahan mereka. Selain karena tidak mampu untuk membeli saprotan, ada unsur kekesalan kepada pemerintah dengan anggapan bahwa pemerintah bersikap pilih kasih. Berikut pengakuan anggota kelompok tani tersebut, sebut saja Pak Surjoyo, 47 tahun, terkait masalah ini: “Akhir-akhir ini banyak petani yang mengeluh ke saya. Menurut mereka, pemerintah pilih kasih. Soalnya bantuan kebanyakan dikasih ke petani-petani berlahan luas. Tapi saya sih nerima bantuan itu, walaupun lahan saya cuma
seperempat hektar. Mungkin karena saya anggota kelompok tani. Tapi, karena sikap pemerintah yang seperti ini, petani-petani kecil banyak yang pasrah. Makanya di sini banyak petani yang nggak mau lagi mengolah lahannya, mendingan digali pasirnya lebih jelas hasilnya.”
Pengakuan di atas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dalam hal pengembangan pertanian di Wonosobo ada hubungannya dengan konversi lahan yang terjadi di Desa Candimulyo ini. Hal ini sekaligus membuktikan hipotesis penelitian ini yaitu ada hubungan yang nyata antara kebijakan pemerintah daerah ada hubungannya dengan konversi lahan. Analisis lebih lanjut dilakukan dengan melihat keterhubungan tersebut melalui perhitungan statistik. Hasil survei melalui 30 responden tertuang pada Tabel 12. Tabulasi silang tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara kebijakan pemerintah dalam hal pengembangan pertanian dengan konversi lahan.
Tabel 12.
Jumlah Responden Menurut Penerimaan Dukungan Pemerintah di Bidang Pertanian dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008.
Kebijakan Pemerintah Mendukung pertanian Tidak mendukung pertanian Total
Konversi Lahan Konversi Tidak Konversi 1 17 7 5 8 22
Total 18 12 30
Dapat dilihat pada tabel, dari delapan petani yang mengkonversi lahan, tujuh di antaranya merupakan petani yang belum pernah mendapat dukungan dari pemerintah. Sebaliknya, dari 22 petani yang tidak mengkonversi lahan, 17 di antaranya merupakan petani yang pernah mendapat dukungan pemerintah dalam hal pengembangan pertanian.
Analisis chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara kebijakan pemerintah dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar 0,01 yang nilainya lebih kecil dari 0,05 (α = 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa, dukungan pemerintah daerah bagi petani juga termasuk faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani untuk mengkonversi lahan. Ketika petani-petani tersebut tidak mendapat dukungan pemerintah, seolah-olah pertanian yang mereka usahakan tidak berarti ditambah lagi dengan masalah meningkat dan langkanya harga saprotan sehingga mereka akirnya mengambil keputusan untuk berhenti bercocok tanam. Hasil penelitian yang menjelaskan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi lahan di Desa Candimulyo secara keseluruhan dapat dirinci dalam Tabel 13. Untuk nilai perhitungan statistik yang menunjukkan angka kurang dari 0.05 (α = 0.05) merupakan faktor yang berhubungan nyata dengan konversi lahan, yang menunjukkan angka lebih dari 0.05 (α = 0.05) merupakan faktor yang tidak berhubungan dengan konversi lahan.
Tabel 13. Analisis Chi Square dari Faktor-faktor yang Diduga Berhubungan dengan Konversi Lahan di Desa Candimulyo.
konversi
kesejahteraan
Pearson Chi‐Square umur
Asymp. sig.
0.000
tk pendidikan
Asymp. sig.
0.006
jumlah tanggungan Asymp. sig.
0.004
kepemilikan lahan
Asymp. sig.
0.002
tk ketergantungan
Asymp. sig.
0.440
tetangga
Asymp. sig.
0.269
investor
Asymp. sig.
0.092
kebijakan
Asymp. sig.
0.001
konversi
Asymp. sig.
kesejahteraan
Asymp. sig.
0.001
6.3 Ikhtisar Sub bab ini merupakan ikhtisar atau isi pokok-pokok penting bab 6. Ikhtisar ini terdiri dari kondisi konversi lahan di Desa Candimulyo dan faktorfaktor yang berhubungan dengan konvesi lahan yang mencakup faktor internal dan eksternal petani. Konversi lahan yang terjadi di Desa Candimulyo ini berawal dari jatuhnya harga produk pertanian unggulan mereka yaitu tembakau. Komoditas tersebut kemudian diganti menjadi komoditas pangan yaitu jagung dan kubis. Namun sulitnya pemasaran bagi komoditas tersebut membuat para petani semakin cenderung meninggalkan pertanian yaitu dengan mengubah fungsi lahan mereka menjadi pertambangan pasir dan batu. Konversi lahan di atas diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari petani itu sendiri. Faktor internal tersebut meliputi umur petani, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan anggota keluarga,
luas kepemilikan lahan, dan tingkat ketergantungan pada lahan. Dalam hal ini, tingkat ketergantungan pada lahan tidak ada hubungannya dengan konversi lahan yang terjadi di desa penelitian. Faktor internal ini merupakan faktor pendorong dari dalam diri petani itu sendiri untuk mengkonversikan lahan mereka. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh tetangga, pengaruh investor, dan pengaruh kebijakan pemerintah daerah. Dilihat dari perhitungan statistik, hanya kebijakan pemerintah daerah yang menjadi penyebab terjadinya konversi lahan di desa penelitian, namun jika ditinjau dari anlisis kualitatif, pengaruh tetangga dan investor turut mempengaruhi hal tersebut.
BAB VII PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI
7.1 Pengaruh Konversi Lahan Pertanian terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Lahan pada hakekatnya merupakan aset terpenting bagi petani Desa Candimulyo karena merupakan sumber mata pencaharian utama bagi petani tersebut. Namun, ketika lahan ini kemudian dikonversi fungsinya ke penggunaan nonpertanian, logikanya sumber matapencaharian bagi petani tersebut juga turut terkonversi dari pertanian ke non pertanian. Di desa Candimulyo, banyak petani terutama petani berlahan sempit yang telah mengkonversikan lahannya menjadi tambang pasir dan batu, dengan alasan meningkatkan kesejahteraan mereka. Tingkat kesejahteraan (welfare) merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu. Menurut Yosep seperti yang dikutip Maharani (2006), kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan kecil misalnya keluarga dan individu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain. Masyarakat Desa Candimulyo mendefinisikan makna sejahtera dalam sebuah rumahtangga yaitu rumahtangga yang telah berhasil memenuhi
kebutuhan sehari-hari (primer) seluruh anggotanya (kebutuhan sandang, pangan, papan) baik pada hari tersebut maupun untuk hari-hari berikutnya serta kebutuhan penunjang (sekunder) misalnya pendidikan, kendaraan, dan perabotan rumah. Masyarakat akhirnya menentukan indikator kesejahteraan sebuah rumahtangga berdasarkan definisi tersebut yaitu, sebuah rumahtangga dapat dikatakan sejahtera apabila pendapatan rumahtangganya telah dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam hal sandang, papan, dan pangan, memiliki kendaraan bermotor, serta mampu menyekolahkan anaknya. Sebaliknya, salah seorang tokoh masyarakat berpendapat bahwa kesejahteraan sebuah rumahtangga tidak hanya dapat diukur dari unsur materi saja. Tetapi juga ada unsur rohani yang harus diperhitungkan. Berikut penjelasan tokoh masyarakat tersebut, sebut saja Ustaz Isman, 49 tahun, terkait masalah ini: “Bagi saya, kesejahteraan itu bukanlah memiliki kekayaan harta semata, tetapi lebih kepada ketenangan batin. Memang sih, kebanyakan warga desa ini menganggap bahwa, sejahtera itu berarti bisa hidup serba mencukupi. Tapi, kadang-kadang manusia itu kan tidak pernah merasa puas dengan apa yang didapatnya. Berarti dia belum mensyukuri apa yang didapatkannya. Nah, menurut saya, ini bukanlah tergolong sejahtera. Kalo menurut saya, sejahtera itu adalah merasa cukup dengan apa yang didapatkannya walaupun hanya sedikit yang didapatkannya.” Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, kesejahteraan dapat diukur dengan indikator materi. Mereka beranggapan bahwa, ketenangan batin yang dimaksud Ustaz Isman dapat terwujud ketika kebutuhan jasmani dan materi telah tercukupi. Oleh karena itu, kebanyakan masyarakat Desa Candimulyo, khususnya petani giat membanting
tulang
demi
memenuhi
tuntutan
kesejahteraan.
Walau
bagaimanapun, mereka tidak bisa berbuat banyak karena hanya lahan-lahan sempit itulah kunci kesejahteraan mereka. Dengan demikian, mereka mencoba ingin mengubah nasib mereka dengan mengubah pula fungsi lahan mereka dari penggunaan di bidang pertanian menjadi tambang pasir dan batu.
Minimnya penghasilan yang didapat dari bercocok tanam akhirnya membuat para petani pemilik lahan terutama lahan sempit berinisiatif mengubah fungsi lahan pertanian mereka menjadi pertambangan pasir dan batu. Menurut warga sekitar pertambangan, penggalian itu sudah mulai terjadi sejak tujuh tahun silam yang berawal dari seorang petani yang tidak sengaja menemukan pasir dan batu di lahannya pada saat sedang mencakul. Petani tersebut terus mencangkul ke dalam, dan semakin banyak pasir yang muncul. Akhirnya, petani tersebut berinisiatif untuk menjual pasir tersebut ke pengusaha bahan bangunan. Melihat hasil yang memuaskan, dia terus melakukan hal yang sama dari tahun ke tahun. Kini petani tersebut, sebut saja Pak Supyan, menjadi seorang yang kaya raya dengan penghasilannya yang milliaran. Berikut penjelasan seorang warga yang mengetahui keadaan petani tersebut (Pak Ahmad Sujadi, 51 tahun): “Sebenarnya, penggalian pasir dan batu ini berawal dari Pak Supyan. Dulu dia orang yang nggak punya apa-apa (miskin). Punya lahan pun nggak nyampe seribu meter. Udah gitu, jumlah tanggungannya banyak pula. Sepertinya buat nyukupin kebutuhan sehari-hari saja kurang. Tapi sekarang, dia sudah bisa dibilang menjadi orang yang paling kaya di desa ini. Gimana nggak, penghasilan dari galian pasir di lahannya sehari saja bisa buat nyukupin kebutuhan keluarga untuk seminggu. Melihat Keuntungan yang didapat Pak Supyan, petani-petani terutama yang lahannya sempit mencoba-coba mencangkul lahannya dengan harapan ada pasirnya.”
Fenomena penggalian pasir dan batu di lahan pertanian yang telah terjadi lebih dari tujuh tahun silam ini pada akhirnya memberi perubahan yang signifikan pada petani khususnya dilihat dari aspek sosial ekonomi. Dilihat dari sisi ekonomi, perubahan tersebut terlihat dari sikap konsumtif masyarakat. Petani yang awalnya mangalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, setelah mengkonversi lahan dapat memenuhi kebutuhan sekunder seperti kendaraan dan perabotan rumah. Kini, para pemilik tanah yang dikonversi tersebut tidak lagi berjalan kaki untuk menuju ke lahan mereka melainkan
mengendarai sepeda motor yang mereka beli dari hasil galian pasir dan batu tersebut. Anak-anak usia sekolah yang awalnya terlantar karena penghasilan orang tuanya sebagai petani tidak mampu untuk membiayai pendidikan mereka, kini mereka bisa mengenyam pendidikan layaknya anak-anak mampu lainnya. Memiliki telepon seluler sudah menjadi hal biasa bagi petani-petani ini. Selain itu, masalah pengangguran yang sering diperdebatkan kini sedikit teratasi dengan adanya pertambangan pasir dan batu ini. Banyak anak muda yang tadinya malas untuk ke kebun atau sawah, kini banyak yang berminat menjadi buruh pertambangan. Tidak saja anak usia remaja, bahkan ada juga anak-anak usia SD ikut menjadi buruh pertambangan ini. Anak-anak yang hanya luntang-lantung karena tidak sekolah, kini turut bergabung mengadu nasib di pertambangan ini. Jika dilihat dari aspek sosial, perubahan terlihat pada interaksi antar sesama masyarakat terutama masyarakat petani. Awalnya, para petani sering mengeluh dengan sikap sebagian masyarakat yang menurut mereka kurang bermoral. Hal ini karena, hasil panen yang mereka tinggalkan untuk dijemur di lahan mereka dalam beberapa hari seringkali hilang. Dengan demikian, para petani ini terpaksa menginap di lahan untuk menjaga hasil panen mereka. Namun setelah adanya pertambangan ini, tidak ada lagi keluhan dari para petani tentang kehilangan hasil panen mereka. Sekarang mereka sudah lebih tenang walaupun meninggalkan hasil panen mereka selama beberapa hari. “Saya merasa senang sejak adanya galian pasir dan batu ini. Dulu waktu belum ada galian ini, paling nggak kalo habis panen, saya harus nginep di lahan saya selama tiga hari. Soalnya hasil panen saya sering hilang. Kadang jagung 10 karung tinggal delapan karung. Saya curiga, pasti yang mencuri tetep orang-orang sini yang pada nganggur. Tapi sekarang mau ditinggal seminggu juga aman.” (Pak Warsidi, 58 tahun) Perubahan-perubahan ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Candimulyo terutama petani yang mengkonversi lahan semakin baik.
Penjelasan di atas dapat membuktikan hipotesis penelitian ini bahwa ada hubungan yang nyata antara konversi lahan dengan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Hal ini karena, para petani yang telah mengkonversi lahan pada umumnya telah berhasil memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka jika dilihat dari aspek ekonomi dan sosial. Dengan demikian, pada kasus konversi lahan di Desa Candimulyo ini, tingkat kesejahteraan rumahtangga petani dipengaruhi oleh pengubahan fungsi lahan pertanian mereka menjadi tambang pasir dan batu khususnya bagi para petani berlahan sempit. Nilai hubungan tersebut dapat dibuktikan melalui perhitungan statistik. Untuk menguji hubungan antara konversi lahan dengan tingkat kesejahteraan rumahtangga
petani
dengan
perhitungan
statistik,
digunakan
indikator
kesejahteraan menurut masyarakat setempat mengingat sulitnya memperoleh data terkait pola konsumsi rumahtangga. Dari hasil survei pada 30 responden, nilai hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah Responden Menurut Petani yang Mengkonversi Lahan dan Tingkat Kesejahteraan Konversi Lahan Konversi Tidak Konversi Total
Tingkat Kesejahteraan Sejahtera Tidak Sejahtera 8 0 7 15 15
15
Total 8 22 30
Tabel 14 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara konversi lahan dengan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Dapat dilihat pada tabel bahwa, dari delapan petani yang mengkonversi lahan, semuanya tergolong sejahtera. Sedangkan dari 22 petani yang tidak mengkonversi lahan, hanya tujuh petani yang tergolong sejahtera. Kita dapat melihat bahwa tidak ada
satupun petani yang telah mengkonversikan lahannya yang tergolong tidak sejahtera. Analisis dilanjutkan dengan menggunakan analisis chi-square. Analisis chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara konversi lahan dengan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar 0.001 yang nilainya lebih kecil dari 0,05 (α = 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa, pada kasus konversi lahan di desa ini, petani akan lebih sejahtera apabila mereka mengkonversikan lahan mereka menjadi pertambangan pasir dan batu. Hal ini karena, jika dilihat dari perspektif ekonomi, hasil dari penggalian pasir dan batu tersebut selain tidak membutuhkan biaya yang banyak, tetapi juga lebih menguntungkan. Hasil tersebut juga dapat dirasakan setiap harinya. Sedangkan untuk kegiatan pertanian, selain harus mengeluarkan biaya yang besar, hasilnya hanya dapat dirasakan setelah menunggu masa panen yang paling tidak tiga sampai empat bulan sekali. "Sekarang kalau lahan itu ditanami jagung atau tembakau, sulit dijadikan sandaran untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Panen tembakau belum tentu ada hasilnya, itu pun setahun sekali. Panen jagung hanya cukup untuk makan sehari-hari, kadang kurang, Namun, bila lahan itu dijadikan pertambangan pasir dan batu, hanya duduk saja para petani ini bisa mengeruk keuntungan Rp 60.000 sampai Rp 80.000 per hari." (Pak Warisman, 30 tahun)
Hasil survei yang menunjukkan bahwa konversi lahan yang dilakukan di Desa Candimulyo meningkatkan kesejahteraan petani sedikit dipaparkan pada Tabel 15.
Tabel 15. Contoh Hasil Survei terhadap Responden tentang Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konversi Lahan dan Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani
No
Nama
Usia
1
Hermanto
35
2
Ismail
48
3
Muhalim
52
4
Kusbari
32
5
Sakurman
42
6
Komar
45
7
Witnyo
43
8
Ashuri
54
9
Sodiqin
38
10
Muhyanto
45
11
Wiyatmo
48
12
Sukardi
48
13
Moh. Isman
49
14
Warisman
30
Pendidikan Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SD Tidak Sekolah Tamat SD Tidak Sekolah Tidak Sekolah Tamat SD Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SD
Konversi
Tingkat Kesejahteraan Tidak Sejahtera sejahtera
Jumlah Tanggungan
Luas Lahan (ha)
Tingkat Ketergantungan
ya
6
0.13
tinggi
√
4
0.25
tinggi
√
√
5
0.25
tinggi
√
√
5
0.15
tinggi
4
0.15
rendah
√
4
0.5
tinggi
√
4
0.25
tinggi
√
2
2
tinggi
√
4
0.1
tinggi
4
0.07
tinggi
√
5
0.5
tinggi
√
4
0.25
tinggi
√
3
0.5
tinggi
√
6
0.25
tinggi
tidak
√
√
√
√
√
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
7.2 Dampak Konversi Lahan di Desa Candimulyo. Perubahan penggunaan lahan dari bidang pertanian ke penggunaan non pertanian yang terjadi di Desa Candimulyo pada kenyataannya tidak hanya memberi dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Dampak positif dari konversi lahan tersebut antara lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Hal ini ditunjukkan oleh perubahan pola hidup mereka yang kini berubah menjadi masyarakat yang konsumtif.
Selain itu, dampak positif yang dirasakan masyarakat setempat setelah adanya konversi lahan ini adalah tingkat keamanan yang meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah petani yang mengalami kecurian hasil panennya. Hal ini diakibatkan oleh bekurangnya tingkat pengangguran karena kebanyakan masyarakat yang pada awalnya
menganggur kini ikut bekerja
menjadi buruh penambangan pasir dan batu. Di samping itu, gejala negatif remaja misalnya kluyuran, turut berkurang karena para remaja tersebut sangat berkeinginan memiliki uang dengan keringat sendiri. Dengan demikian, para remaja tersebut juga ikut mengadu nasib dengan menjadi buruh pertambangan pasir dan batu. Tidak hanya dampak positif yang ditimbulkan oleh kegiatan konversi lahan ini, tetapi juga dampak negatif. Ditinjau dari perspektif sosial, dampak negatif yang sekarang dirasakan adalah perubahan sikap sebagian masyarakat yang selalu ingin mengambil keuntungan dari orang lain. Hal ini ditunjukkan dari masyarakat yang memiliki lahan di sekitar tambang pasir dan batu tersebut yang berusaha mengambil bagian keuntungan dari proses penggalian itu. Menurut informasi salah seorang masyarakat yang mengeluhkan masalah ini, ketika lahan galian tersebut bersebelahan dengan lahan yang tidak digali, milik orang lain, maka yang memiliki lahan yang tidak digali tersebut dapat meminta bagian dari hasil galian dengan alasan lahan mereka jadi rusak karena sering dilewati para penggali. Berikut penjelasannya (Pak Surjoyo, 47 tahun): “Sekarang masalah galian ini sudah jadi ribet. Orang-orang yang nggak punya lahan galian kadang-kadang suka ngiri. Sampai-sampai, mereka meminta bagian dari hasil galian bagi yang lahannya bersebelahan dengan lahan galian. Bisa-bisa, ada yang meminta semeter persegi lahan galian sebagai bagiannya.”
Selain itu, dampak yang paling terlihat akibat penambangan pasir dan batu ini adalah dampak bagi lingkungan. Akibat penambangan tersebut, lahan pertanian menjadi rusak. Untuk mengambil batu dan pasir, lahan pertanian dikeruk dan dikepras hingga setinggi 14 meter. Pemerintah pernah berkali-kali mengingatkan para petani tersebut agar berhenti mengeruk karena dapat membahayakan tidak hanya bagi mereka, tetapi juga bagi masyarakat sekitar pertambangan. Namun, peringatan-peringatan ini tidak pernah diabaikan. Mereka terus mengeruk lahan-lahan tersebut sampai jauh ke dalam, mendekati kaki Gunung Sindoro. Alasan mereka adalah, jika mereka tidak mengeruk lahan ini, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Wawancara dengan salah seorang pelaku penggalian yang mengaku pernah diingatkan oleh pemda setempat memberikan gambaran betapa pentingnya penggalian pasir dan batu ini bagi mereka. “Ya pemerintah sih nggak cuma sekali ngingetin kami. Mereka bilang, kembali saja ke pertanian, itu lebih baik. Saya berhenti bertani kan gara-gara hasil panen saya sering nggak ada harganya. Mereka tetep tinggal diam. Kalo mereka mau kita berhenti, mereka mau ngasih kita makan? Wong ini lahan saya kok.” (Pak Sodikin, 38 tahun)
Campur tangan pemerintah dalam hal ini dirasa tidak berguna karena menurut petani-petani ini, mereka hanya pandai berbicara, tapi tidak ada implementasinya. Pemerintah hanya menyuruh mereka untuk berhenti menggali tetapi tidak ada solusi untuk mengatasi pengangguran, atau setidaknya mengatasi masalah pemasaran hasil pertanian yang selama ini dikeluhkan. Akhirnya, petani-petani penggali pasir dan batu ini tetap dengan penggalian mereka walaupun mendapat tentangan dari pemda setempat.
7.3 Ikhtisar Sub bab ini merupakan ikhtisar atau isi pokok-pokok penting bab 7. Ikhtisar ini terdiri dari hubungan antara konversi lahan pertanian yang terjadi di Desa Candimulyo dengan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani, serta dampak dari kegiatan konversi lahan tersebut. Konversi lahan yang terjadi di desa candimulyo yang umumnya dilakukan oleh petani-petani tersebut umumnya berhubungan positif dengan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Artinya, petani di desa ini akan lebih sejahtera ketika mengkonversikan lahan mereka menjadi pertambangan pasir dan batu. Hal ini dikarenakan, dengan menambang pasir dan batu di lahan mereka, hasil dapat dirasakan tiap harinya, sedangkan jika hanya berpegang teguh pada pertanian, hasil hanya dapat dirasakan setelah masa panen tiba. Konversi lahan yang marak ini akhirnya memberi dampak pada segenap aspek kehidupan masyarakat. Dampak yang dirasakan tidak hanya dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Dampak positif yang dirasakan masyarakat setempat setelah adanya konversi lahan ini adalah tingkat keamanan yang meningkat. Di samping itu, gejala negatif remaja misalnya kluyuran, turut berkurang karena para remaja tersebut sangat berkeinginan memiliki uang dengan keringat sendiri. Dengan demikian, para remaja tersebut juga ikut mengadu nasib dengan menjadi buruh pertambangan pasir dan batu. Dampak negatif dari kegiatan konversi lahan tersebut tidak hanya dampak bagi lingkungan, tetapi juga dampak sosial. Selain lingkungan menjadi rusak yang dapat memperbesar resiko banjir dan longsor akibat pengepresan lahan tersebut, justru yang membuat masyarakat kurang senang adalah berubahnya intreaksi
sesama masyarakat ke arah interaksi yang negatif yaitu perubahan sikap sebagian masyarakat yang selalu ingin mengambil keuntungan dari orang lain.
PENUTUP
Kesimpulan 1. Ada hubungan antara faktor internal dan eksternal petani dengan pengambilan keputusan untuk mengkonversi lahan. 2. Konversi lahan berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani khususnya di Desa Candimulyo. Dalam hal ini, petani tersebut akan lebih sejahtera setelah mengkonversikan lahan mereka menjadi pertambangan pasir dan batu. Akan tetapi, jika dilihat sisi negatifnya, petani tersebut pada hakekatnya menghancurkan lingkungan sendiri. 3. Tipe konversi lahan yang terjadi di Desa Candimulyo tergolong ke dalam tipe konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (Social Problem driven land conversion); pola konversi yang terjadi karena adanya motivasi untuk berubah dari masyarakat, meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian (utama).
Saran Saran yang dapat direkomendasikan sebagai berikut ini: 1. Peneliti lanjutan lebih mempertajam bahasan mengenai dampak konversi lahan bagi sosial ekonomi masyarakat dan lingkungan. Hal itu dapat memperjelas kondisi pertanian di Indonesia umumnya, dan Desa Candimulyo khususnya, jika dilihat dari aras mikro.
2. Pemerintah memperhatikan kepentingan petani terutama dalam hal penentuan titik keseimbangan harga pasar produk-produk pertanian lokal sehingga eksistensi petani sebagai pelaku pertanian tidak hilang. 3. Konversi lahan harus diminimalisir demi menjamin ketahanan pangan. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan program diversivikasi pangan sehingga produk pertanian lokal tidak dijual secara mentah, tetapi sudah diolah (Contoh: keripik kentang, keripik sawi).
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 1995. Indikator Kesejaheraan Rakyat. Jakarta: BPS Fauzi, N. 1999. Petani dan Penguasa. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. Irawan, B. 2004. Solusi Konversi Lahan Melalui Pendekatan Sosial Ekonomi. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Irmayani, A. 2007. Analisis Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani di Desa Purwasari, Kecamatan Dgramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Bogor: Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Jayadinata, Johana T. 1999. Tana Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah. Edisi Ketiga. Bandung: ITB. Kustiawan, I. 1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara dalam Prisma No. 1. Jakarta: Pustaka LP3ES. Maharani, T. 2006. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Transmigrasi di Unit Pemukiman Transmigrasi Propinsi Lampung. Skripsi. Bogor: Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pakpahan, et. al. 1993. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non-Pertanian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Planck, U. et. al. 1990. Sosiologi Pertanian. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rakhmat, J. 2005. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Redfield, Robert. 1982. Mayarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Rajawali Press. Rusli, S. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Sawidak, M. 1985. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Petani Transmigrasi di Delta Upang, Sumatra Selatan. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. Bogor: Tesis Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Subali, A. 2005. Pengaruh Konversi Lahan terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani. Skripsi. Bogor: Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Suhender, Endang dan Yohana Budi W. 1998. Petani dan Konflik Agraria. Bandung: Yayasan AKATIGA. Suman, A. 2007. Konversi Lahan Pertanian. Artikel. Koran Sindo: 1 November 2007. Tjondronegoro, S. M.P. 1999. SOSIOLOGI AGRARIA: Kumpulan Tulisan Terpilih. Bandung: AKATIGA. Tjondronegoro, Sediono dan Gunawan Wiradi ed. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: PT Gramedia. Utomo, M., Eddy Rifai dan Abdulmutalib Thahir. 1992. Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan. Lampung: Universitas Lampung. Wiradi, G. 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Penyunting. Endang Suhendar et. al. Bandung: AKATIGA
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
Kabupaten Wonosobo
Kecamatan Kertek
Lampiran 2. Komoditas Utama Petani di Desa Candimulyo
Tanaman Kubis
Tanaman Jagung
Tanaman Cabe
Lampiran 3. Kondisi Konversi Lahan di Desa Candimulyo
Pengerukan sampai 14 meter
Pengerukan skala besar
Anak-anak turut menjadi buruh pertambangan pasir dan batu
Ibu-ibu menjadi buruh pertambangan
Konversi lahan yang terus meluas
Pemandangan dari pinggir jalan utama Wonosobo – Semarang
Bahan baku beton dan batako ini berasal dari konversi lahan Desa Candimulyo
Lampiran 4. Kuesioner KUESIONER
PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI (Kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo)
No. Responden
: …………………………
Lokasi Wawancara
: …………………………
Hari/Tanggal
: …………………………
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
KUISIONER I Petunjuk: Isilah jawaban pada titik-titik (.....) serta berilah tanda (√) pada setiap kolom ( ) yang sesuai di bawah ini IDENTITAS RESPONDEN Nama : .................................................. Umur : .................................................. Jenis Kelamin : .................................................. Tempat Tinggal : .................................................. Lokasi bekerja : .................................................. Faktor-faktor yang mendorong pengambilan keputusan petani untuk mengkonversi lahan A. KARAKTERISTIK RESPONDEN 1. Usia:…………………. 2. Pendidikan terakhir: ( ) Tidak sekolah ( ) Tidak tamat SD ( ) Tamat SD/Sederajat ( ) Tamat SMP/Sederajat ( ) Tamat SMA/Sederajat B. EKONOMI RESPONDEN a. Jumlah tanggungan 3. Berapa jumlah anggota keluarga Anda (termasuk Anda)? ………….orang 4. Berapa jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungjawab Anda (termasuk Anda)? ………….orang 5. Apakah ada anak (usia sekolah) Anda yang masih bersekolah? ( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 7) Jika tidak, apa alasannya:.......................................................................... 6. Berapa jumlah anak Anda yang masih sekolah? …………..orang b. Tingkat pendapatan rumah tangga 7. Apakah ada dari anggota keluarga Anda (tidak termasuk Anda) yang sudah bekerja? ( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 11) 8. Berapa jumlah anggota keluarga Anda yang sudah bekerja? …………..orang
9. Apakah anggota keluarga Anda yang sudah bekerja tersebut membantu Anda dalam memenuhi kebutuhan keluarga? ( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 11) 10. Berapa proporsi bantuan yang dilakukan oleh anggota keluarga Anda yang sudah bekerja tersebut? ………….% kebutuhan keluarga 11. Berapa total pendapatan rumah tangga Anda? Rp.……………../bulan 12. Apakah dari pendapatan tersebut dapat mencukupi kebutuhan keluarga Anda (terutama dalam hal konsumsi)? ( ) Ya ( ) Tidak Jelaskan………………………………………………………………. c. Kepemilikan Lahan 13. Apakah status lahan yangAnda miliki? ( ) Sewa ( ) Sakap ( ) Milik
( ) Gadai
14. Berapa luas lahan yang Anda miliki? ………….ha 15. Apakah Anda hanya bergantung pada lahan tersebut untuk sumber penghasilan? ( ) Ya (langsung ke no. 18) ( ) Tidak 16. Berapa persentase pendapatan pertanian yang berasal dari lahan tersebut terhadap total pendapatan tumah tangga. ……………..% pendapatan rumah tangga. 17. Apakah ada bagian dari lahan Anda yang Anda konversi? ( ) Ya ( ) Tidak (Langsung ke nomor 20) 18. Berapa persentase lahan yang Anda konversi dari lahan yang Ada miliki? ………………% lahan 19. Berapa total pendapatan rumah tangga Anda sebelum mengkonversi lahan?
C. FAKTOR EKSTERNAL 20. Apakah ada dari tetangga yang memiliki lahan pertanian di sekitar lahan Anda yang mengkonversi lahan pertaniannya menjadi tambang pasir dan batu? ( ) Ya ( ) Tidak
21. Berapa banyak? ……………orang 22. Apakah ada pengusaha di bidang non pertanian yang mempengaruhi Anda agar mengkonversi lahan? ( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 24) 23. Berapa kali pengusaha tersebut datang menemui Anda untuk kepentingan tersebut? …………kali 24. Apakah pemerintah daerah mendukung pengembangan pertanian di sini? ( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 26) 25. Apakah bentuk dukungan pemerintah daerah tersebut? …………………………………………………………………………… E. KESEJAHTERAAN KELUARGA RESPONDEN No. 26. 27. 28. 29. 30.
Indikator Kesejahteraan Kecukupan kebutuhan pangan per hari Dinding & lantai rumah Perabotan (Elektronik) Kendaraan Jumlah anak sekolah
Keterangan
Lampiran 5. Panduan Pertanyaan a) Panduan Pertanyaan (responden/petani yang mengkonversi lahan) 1. Sejak kapan Anda menjadi petani? 2. Mengapa Anda menjadi petani? 3. Tanaman apa yang paling menjanjikan? 4. Apa orientasi Anda bertani?Jelaskan. 5. Apakah dengan bertani, Anda bisa memenuhi kebutuhan keluarga Anda terutama dalam hal konsumsi? 6. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menangani masalah pertanian di desa ini?Apakah pernah memberi bantuan saprotan dll?Jelaskan. 7. Bagaimana cara Anda mendapatkan lahan tersebut? 8. Seberapa penting lahan yang Anda miliki bagi Anda? 9. Menurut Anda, apa fungsi utama lahan bagi Anda? 10. Sejak kapan Anda membuka usaha tambang pasir dan batu? 11. Mengapa demikian? 12. Mengapa Anda mengkonversikan lahan Anda? Jika mungkin, ceritakan latar belakang/proses bagaimana Anda mengkonversikan lahan Anda. 13. Apakah ada yang mendorong Anda untuk mengkonversi lahan Anda? Jika ya, bagaimana prosesnya? 14. Setelah Anda mengkonversi lahan, pernahkah pemerintah daerah mengingatkan untuk kembali menanami lahan Anda? 15. Menurut Anda, apakah ada perbedaan sebelum Anda mengkonversikan lahan Anda dengan sesudah mengkonversi dilihat dari aspek kesejahteraan. Jelaskan. 16. Menurut Anda, apa dampak dari kegiatan penambangan batu dan pasir bagi lahan Anda? 17. Apakah mungkin, setelah hasil tambang tersebut telah habis, Anda tanami lagi?
b) Panduan Pertanyaan (responden/petani yang tidak mengkonversi lahan) 1. Sejak kapan Anda menjadi petani? 2. Mengapa Anda menjadi petani? 3. Tanaman apa yang paling menjanjikan? 4. Apa orientasi Anda bertani?Jelaskan. 5. Apakah dengan bertani, Anda bisa memenuhi kebutuhan keluarga Anda terutama dalam hal konsumsi? 6. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menangani masalah pertanian di desa ini?Apakah pernah memberi bantuan saprotan dll?Jelaskan. 7. Bagaimana cara Anda mendapatkan lahan tersebut? 8. Seberapa penting lahan yang Anda miliki bagi Anda? 9. Menurut Anda, apa fungsi utama lahan bagi Anda? 10. Mengapa Anda tidak mengkonversi lahan Anda seperti yang dilakukan oleh tetangga-tetangga Anda? c) Panduan Pertanyaan (Aparat desa/tokoh masyarakat/warga setempat) 1. Apa rata-rata jenis mata pencaharian utama bagi masyarakat desa ini?
2. Kira-kira berapa jumlah petani di desa ini? 3. Siapa saja petani yang memiliki lahan sendiri? 4. Siapa saja petani yang kini mengubah lahannya menjadi tambang pasir dan batu? 5. Sejak kapan fenomena konversi lahan mulai banyak terjadi di desa ini? 6. Menurut Anda, mengapa petani di sini banyak yang mengkonversikan lahannya? Kira-kira, apa faktor utama yang mendorong mereka mengkonversi lahan? 7. Apakah ada pengusaha atau perusahaan yang bergerak di bidang non pertanian yang membeli lahan-lahan para petani atau mempengaruhi para petani untuk menambang pasir dan batu? 8. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menangani masalah pertanian di desa ini? 9. Bagaimana reaksi pemerintah daerah terhadap fenomena konversi lahan yang marak terjadi di desa ini? 10. Menurut Anda, bagaimana tingkat kesejahteraan petani yang telah mengkonversi lahan? 11. Menurut Anda, apa dampak dari kegiatan penambangan batu dan pasir yang banyak dilakukan oleh masyarakat desa ini bagi lingkungan? 12. Apakah ada penanganan lebih lanjut? 13. Menurut Anda, apa fungsi utama lahan bagi masyarakat di sini? d) Panduan Pertanyaan Tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Lahan (masyarakat/petani/tokoh masyarakat/perangkat desa) 1. Menurut Anda, apakah lahan sangat bernilai ekonomi? 2. Seberapa besar ketergantungan masyarakat khususnya petani terhadap lahan? 3. Ciri-ciri apa yang membuat lahan bernilai tinggi? 4. Mengapa sering terjadi jual beli lahan? 5. Apa yang membuat nilai lahan menurun? 6. Apakah lahan merupakan alat penentu taraf hidup? 7. Bagaimana sistem pewarisan lahan di desa ini? 8. Bagaimana jika lahan yang diwariskan itu diperjualbelikan? Bolehkah? 9. Apakah kepemilikan lahan menentukan status sosial di desa ini? Jelaskan.