DAMPAK TRANSFORMASI KOTA BANJAR TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PENGGARAP
REGINA AGUSTIN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014 Regina Agustin NIM I34100066
3
ABSTRAK REGINA AGUSTIN. Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO. Peningkatan status Banjar menjadi kota menyebabkan pembangunan di wilayah setempat semakin intensif. Akibat pembangunan tersebut menyebabkanterjadinya konversi sehingga lahan pertanian (lahan sawah) menjadi berkurang. Dampak konversi terlihat pada perubahan penguasaan lahan garapan, kesempatan kerja dan perubahan pola kerja, sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap secara materiil dan moriil. Dampak konversi terhadap tingkat kesejahteraan materiil mereka relatif meningkat namun tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan moriil mereka. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dampak konversi lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap menghasilkan dua varian rumahtangga petani penggarap yang tersisih dari sosial dan ekonominya, yaitu (1) tersisih /termaginalisasi dan (2) bertahan atau mirip dengan kondisi sebelumnya (pra konversi). Kata kunci: transformasi, konversi, rumahtangga, penggarap, kesejahteraan
ABSTRACT REGINA AGUSTIN. Impact Transformation Banjar on Household Welfare Farmers Cultivators. Supervised byENDRIATMO SOETARTO. Improved status of Banjar into the city causing major project development in there more intensiv. As a result of the development of agricultural land erosion caused conversionso make decreased of agricultural land (field). The impact of the changes seen in the conversion of arable land tenure, employment and changes in work patterns, thereby affecting the level of household welfare peasants materially and moriil. The impact of the conversion on the level of material well-being of their relatively increased but not followed by an increase in the welfare of their moriil. Based on the analysis it can be concluded that the impact of the conversion of agricultural land to landless household welfare level produces two variants of peasant households are excluded from the social and economic, that (1) excluded / marginalized and (2) similar to the last or previous condition (pre-conversion). Keywords : transformation , conversion , households , farmers , welfare
DAMPAK TRANSFORMASI KOTA BANJAR TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PENGGARAP
REGINA AGUSTIN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
5
Judul skripsi : Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap Nama : Regina Agustin NRP : I34100066
Disetujuioleh
Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk untuk memenuhi syarat kelulusan padaDepartemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis bertujuan untuk melihat dampak dari adanya transformasi Kota Banjar terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap. Untuk mencapai tujuan ini, peneliti terlebih dahulu akan menganalisis perubahan dari peningkatan status Kota Banjar yang mengakibatkan konversi secara vertikal dan horizontal yang terjadi sehingga menyebabkan berbagai dampak yang terjadi, yang pada akhirnya dampak yang ditimbulkan dari konversi tersebut mempengaruhi pada tingkat kesejahteraan baik secara materiil maupun moriil ruamhtangga petani penggarap. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang, Bapak Agus Sutiagraha dan Ratu Rully Irana serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan doa bagi kelancaran penulisan laporam proposal skripsi ini. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada seluruh temanteman terutama kepada teman-teman SKPM angkatan 47sebagai teman yang membantu, memberi semangat, dan memotivasi penulis dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Mei 2014
Regina Agustin
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Masalah Penelitian
3
Tujuan Penelitian
4
Kegunaan Penelitian
4
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka
5 5
Kota
5
Transformasi
6
Konsep Rumahtangga Petani
7
Petani Penggarap (Tunakisma)
8
Konversi Lahan Pertanian
8
Gambaran Umum Kesejahteraan Petani
12
Kerangka Pemikiran
14
Hipotesis Penelitian
15
Definisi Konseptual
16
Definisi Operasional
16
PENDEKATAN LAPANGAN
21
Metode Penelitian
21
Lokasi dan Waktu Penelitian
21
Teknik Pengambilan Informan dan Responden
22
Teknik Pengumpulan Data
23
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
23
BINGKAI POTRET KELURAHAN MEKARSARI
25
Masa Lalu Kelurahan Mekarsari
29
Masa Kini Kelurahan Mekarsari
30
TRANSFORMASI MENUJU KOTA BANJAR
33
Latar Belakang dan Proses Terbentuknya Kota Banjar
33
Tujuan Pembentukan Kota Banjar
36
Ikhtisar
38
KOTA BANJAR DAN PENYUSUTAN LAHAN PERTANIAN
41
Konversi Lahan Pertanian
41
Faktor-faktor Konversi Lahan Pertanian
43
Proses Konversi Lahan Pertanian secara Vertikal di Kelurahan Mekarsari
43
Proses Konversi Lahan Pertanian secara Horizontal di Kelurahan Mekarsari 45 Ikhtisar PELUANG USAHA/ KERJA PASCA KONVERSI LAHAN PERTANIAN
45 47
Tersisihnya Peluang Usaha/ Kerja di Sektor Pertanian
47
Tumbuhnya Peluang Usaha/ Kerja di Sektor Non-Pertanian
48
Ikhtisar
49
DAMPAK TRANSFORMASI KOTA BANJAR TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PENGGARAP
51
Perubahan Penguasaan Lahan Garapan
51
Perubahan Kesempatan Kerja
52
Perubahan Ragam Pekerjaan
53
Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Materiil 56 Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Moriil
58
Perubahan Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap Pasca Konversi Lahan Pertanian
61
Ikhtisar
62
SIMPULAN DAN SARAN
65
Simpulan
65
Saran
67
DAFTAR PUSTAKA
69
LAMPIRAN
73
RIWAYAT HIDUP
93
9
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2014 Luas wilayah menurut penggunaan Kelurahan Mekarsari Jumlah penduduk Kelurahan Mekarsari berdasarkan jenis kelamin Jumlah penduduk Kelurahan Mekarsari berdasarkan kelompok usia Frekuensi jumlah agama berdasarkan jumlah penduduk Luas lahan sawah Kelurahan Mekarsari tahun 2008-2014 Presentase tingkat penguasaan lahan garapan rumahtangga petani penggarap pra konversi dan pasca konversi 8. Jumlah dan persentase rumahtangga petani penggarap menurut tingkat kesempatan kerja pra dan pasca konversi di Kelurahan Mekarsari 9. Jumlah dan persentase rumahtangga petani penggarap menurut ragam pekerjaan pra dan pasca konversi di Kelurahan Mekarsari 10. Tabel tabulasi silang antara variabel dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil responden 11. Tabel tabulasi silang antara variabel dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan moriil responden
22 25 26 26 29 42 51
52 54 56 59
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pemikiran 2. Diagram persentase penduduk berdasarkan mata pencaharian, sumber data potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari 2012 3. Diagram tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Mekarsari, sumber data potensi desa dan Kelurahan Mekarsari 2012 4. Sejarah Kota Banjar
15 27 28 34
DAFTAR LAMPIRAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Peta Kota Banjar Daftar responden Kuesioner Penelitian Pedoman Wawancara Uji statistik Rank Spearman Uji statistik Uji T Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulan Data Dokumen penelitian
73 74 75 84 86 87 89 91
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Agraria berasal dari kata ager yang berarti lahan atau sebidang lahan dan agrarius mempunyai arti yang sama dengan “perladangan, persawahan, dan pertanian”. Secara terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti urusan lahan pertanian dan perkebunan (Supriadi 2007). Agraria mempunyai definisi yang sangat luas. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 mendefinisikan agraria sebagai seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Bumi yang disebutkan meliputi permukaan bumi, bagian tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air. Jadi, dapat dikatakan bahwa lahan termasuk ke dalam kategori bumi dan merupakan bagian dari agraria. Indonesia sebagai negara agraris, memiliki potensi yang besar dalam hal agraria terutama bidang pertanian. Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang sangat strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat. Data luas baku lahan sawah untuk seluruh Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 41 persen terdapat di Jawa, dan sekitar 59 persen terdapat di luar Jawa (BPS 2006 dalam Wahyunto 2009). Berbicara mengenai lahan sama halnya dengan membicarakan kehidupan dari orang-orang yang menggantungkan nasibnya pada sebidang lahan tersebut. Ketika suatu saat lahan tersebut dirampas oleh pihak yang lebih kuat, maka terjadi perampasan lahan yang membut berbagai pihak menjadi kelompok tersisih. Seperti kita ketahui pemerintah melakukan berbagai macam cara untuk meningkatkan fasilitas kepentingan umum serta memenuhi kebutuhan akibat meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, salah satunya adalah perubahan alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian atau biasa disebut konversi lahan pertanian. Pengertian konversi sangat beragam, tergantung dari cara pandang dalam memahami konversi tersebut. Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Pengertian Pembebasan Lahan, menyatakan bahwa pembebasan lahan merupakan pelepasan hubungan hukum yang semula terdapat pada pemegang hak atau penguasa lahan dengan cara memberikan ganti rugi. Ganti rugi atas lahan-lahan yang dibebaskan tersebut, berupa lahan-lahan yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan pada Undangundang No.5 Tahun 1960, lahan-lahan masyarakat hukum adat yang terdapat pada Pasal 1 ayat (5) Permendagri Nomor 15 Tahun 1974 (Supriadi 2007). Setelah pembebasan lahan dilakukan, lahan tersebut menjadi lahan kosong yang siap untuk digunakan kembali sebagaimana diperuntukannya. Sebagaimana menurut pasal 1 ayat (1) Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Lahan, menyatakan bahwa segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan lahan dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas lahan tersebut (Supriadi 2007).
2
Adanya kebijakan pemerintah tersebut menyebabkan lahan pertanian semakin beralihfungsi menjadi non-pertanian. Data menunjukkan bahwa konversi lahan pertanian di Indonesia adalah seluas 2 917 737.5 ha sepanjang tahun 19791999. Tingkat konversi per tahun ini meningkat sepanjang tahun 1999-2002 mencapai 330 000 ha atau setara dengan 110 000 ha per tahunnya. Pada periode 1999-2002 ini, konversi lahan pertanian ke non-pertanian di Jawa mencapai 73.71 ribu ha atau 71.24 persen dari total konversi lahan pertanian di Jawa. Padahal lahan pertanianproduktif pulau Jawa adalah lahan relatif lebih subur yang tentu saja berkontribusi signifikan terhadap produksi pangan nasional. Laju konversi lahan pertanian sepanjang tahun 2002 sampai 2008 diperkirakan berkisarantara 100 000-110 000 ha per tahun (Irawan 2008 : 1 dalam Handoyo 2010) Menurut guru besar Kajian Agraria, konversi dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal. Konversi vertikal merupakan peralihan dari obyek-subyek agraria yang semula merupakan penguasaan individual menjadi obyek-subyek agraria di bawah kuasa koorporasi dan negara (institusional). Sedangkan konversi horizontal merupakan peralihan dari obyeksubyek agraria kuasa individual ke obyek-subyek agraria lainnya yang juga setara kuasa individual ( petani atau bukan petani) 1. Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian hak-hak atas lahan yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu hak-hak lahan menurut kitab undang-undang hukum perdata Barat dan lahan-lahan yang tunduk kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak-hak lahan menurut ketentuan UUPA.Konversi Lahan menurut Sihaloho (2004) adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian atau dari lahan nonpertanian ke lahan pertanian. Konversi lahan dari non-pertanian ke lahan pertanian merupakan proses konversi dalam rangka program ekstensifikasi pertanian. Lahan pertanian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan sawah. Penulis akan memusatkan konversi peralihan obyek-subyek agraria ke obyek-subyek agraria dari pertanian ke non-pertanian, baik secara vertikal maupun horizontal. Kegiatan pemerintah yang bertujuan untuk kepentingan umum menyebabkan petani dan penggarap harus rela kehilangan lahan sawah dan garapannya. Akibat konversi lahan tersebut, berdampak pada pendapatan petani, baik petani pemilik maupun petani penggarap menjadi beragam, ada yang menurun, tetap bahkan menjadi meningkat dari kondisi sebelumnya (Hidayat et al. 2012). Penelitian tersebut melihat perbedaan pendapatan petani dikarenakan perubahan mata pencaharian yang diambil oleh petani, ditunjang dengan bantuan pekerjaan dari pemerintah setelah adanya konversi lahan pertanian. Seiring dengan perkembangan di era sekarang dalam rezim liberalistik di masa ini, banyak praktek-praktek dari pihak yang berkuasa menindas petani yang yang lemah dalam akses terhadap lahan, sehingga akses atas lahan yang dimiliki oleh petani semakin berkurang atau tercabut. Oleh sebab adanya perampasan lahan atau land grabbing yang terjadi di masa sekarang kian meningkat, menyebabkan petani harus rela melepaskan lahannya. Perampasan lahan tersebut dilindungi oleh hukum, seperti contoh pengadaan lahan untuk pembangunan. Land grabbing tersebut termasuk ke dalam konversi lahan secara vertikal, dalam kondisi ini terjadi pemotongan akses petani terhadap lahannya2. 1 2
Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA pada tanggal 2 Desember 2013. Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA pada tanggal 9 Desember 2013 .
3
Kota Banjar yang terbentuk pada tanggal 21 Februari 2003 berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2002, merupakan pecahan dari Kabupaten Ciamis. Sebelum menjadi kota, pada awalnya Kota Banjar merupakan Kota Administratif. Oleh karena itu, transformasi atau peningkatan status Banjar dari Kota Administratif menjadi kota diduga telah terjadi konversi yang bertujuan untuk pemenuhan sarana dan prasarana, perdagangan dan pembangunan perumahan sebagai pelengkap pembangunan Kota Banjar. Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Banjar merupakan salah satu kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kota Banjar, pada daerah ini paling banyak lahan sawah yang terkonversi. Agar terlaksananya pembangunan tersebut, beberapa petani penggarap harus rela kehilangan lahan garapannya dan beralih fungsi dari pertanian menjadi nonpertanian. Perubahan fungsi atau konversi tersebut, mengakibatkan terjadinya perubahan pada tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap yang menggarap sawah tersebut, baik dilihat dari aspek materiil maupun moriil. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat dampak transformasi Kota Banjar terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap.
Masalah Penelitian Ada latar belakang khusus seiring dengan peningkatan status Banjar menjadi kota, sehingga pembangunan pun kian giat dilaksanakan, baik sarana dan prasarana fisik, transfornasi, perdagangan, dan sebagainya sebagai pelengkap pembangunan Kota Banjar. Pembentukan kota sewajarnya menyebabkan proses konversi lahan sawah baik secara vertikal maupun horizontal di berbagai lokasi, khusunya di Kelurahan Mekarsari. Oleh karena itu, dapat dirumuskan pertanyaan, bagaimana latar belakang pembentukan Kota Banjar dan proses konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian terjadi baik secara vertikal dan horizontal di Kelurahan Mekarsari? Melihat semakin giatnya pembangunan yang dilakukan oleh Walikota Banjar untuk melengkapi pembangunan Kota Banjar, pengalihfungsian atau konversi dari lahan pertanian menjadi non-pertanian tidak dapat dihindarkan yang memicu timbulnya konversi, sehingga muncul pertanyaan bagaimana faktorfaktor tertentu dapat menyebabkan konversi lahan pertanian di Kelurahan Mekarsari? Transformasi Kota Banjar menyebabkan timbulnya konversi lahan sawah, hal ini disebabkan untuk melengkapi pembangunan kota dan sebagai imbas dari adanya pendatang, pembangunan di lahan sawah pun tidak dapat dihindarkan. Konversi tersebut menyebabkan berbagai dampak yang terjadi pada rumahtangga petani penggarap, oleh karena itu muncul pertanyaan sejauhmana dampak transformasi Kota Banjar mempengaruhi tingkat kesejahteraan baik secara materiil maupun moriil rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari?
4
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan yang telah dipaparkan yaitu menelaah dampak konversi pemanfaatan lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan petani di Kelurahan Mekarsari. Kemudian, tujuan khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni: 1. Menganalisis bagaimana latar belakang pembentukan Kota Banjar dan proses konversi lahan pertanian menjadi non pertanian baik secara vertikal dan horizontal terjadi di Kelurahan Mekarsari. 2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadi konversi lahan pertanian di Kelurahan Mekarsari. 3. Menganalisis sejauhmanadampak transformasi dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantara lain ialah: 1. Peneliti dan Akademisi. Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman langsung terkait fenomena konversi yang terjadi langsung di lapangan. Sedangkan untuk akademisi hasil penelitian dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai dampak konversi lahan pertanian, baik secara vertikal dan horizontal serta menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan pula dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agrarian. 2. Pemerintah. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai peraturan pemanfaatan lahan, serta membuat solusi dari semakin meningkatnya laju konversi lahan pertanian. 3. Masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat mengenai dampak konversi lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan mereka.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kota Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 1, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah Pasal 3, daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut: a. Kemampuan daerah b. Potensi daerah c. Sosial budaya d. Sosial politik e. Jumlah penduduk f. Luas daerah g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Penjelasan pasal 3 dijelaskan dalam pasal 4 sampai pasal 10 secara berturut-turut, yaitu kemampuan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari: a. Produk domestik regional bruto (PDRB); b. Penerimaan daerah sendiri. Pasal 5, Potensi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, merupakan cerminantersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadappenerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari: a. Lembaga keuangan; b. Sarana ekonomi; c. Sarana pendidikan; d. Sarana kesehatan; e. Sarana transportasi dan komunikasi; f. Sarana pariwisata; g. Ketenagakerjaan. Pasal 6, Sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c merupakan cerminan yangberkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial budayamasyarakat yang dapat diukur dari: a. Tempat peribadatan; b. Tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya; c. Sarana olah raga.
6
Pasal 7, Sosial politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari: a. Partisipasi masyarakat dalam berpolitik; b. Organisasi kemasyarakatan. Pasal 8, Jumlah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, merupakan jumlahtertentu penduduk suatu Daerah.Pasal 9, Luas daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, merupakan luas tertentu suatu Daerah.Pasal 10, Pertimbangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g, merupakanpertimbangan untuk terselenggaranya Otonomi Daerah yang dapat diukur dari: a. Keamanan dan ketertiban; b. Ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan; c. Rentang kendali; d. Propinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten dan/atau Kota; e. Kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan; f. Kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan. Menurut Louis Wirth mendefinisikan Kota sebagai suatu pemukiman permanen yang cukup besar dan padat dari individu-individu yang dari segi sosial bersifat heterogen. Di sini ‘urbanisme’ menganai tata kehidupan Kota, yang ditentukan oleh komponen-komponen yang tercantum dalam definisi di atas. Adanya pendekatan dari gejala pembentukan Kota dan tata kehidupan yang berhubungan dengan itu, dapatkan dengan tegas menyebutkan untuk memandang banyak dan padatnya penduduk serta heterogenitasnya itu sebagai komponenkomponen dari sebuah faktor yang disebut ‘urban’. Nyatanya, terdapat kota-kota yang penduduknya cukup homogen, sedangkan daerah-daerah yang termasuk dalam tipe pedesaan sering susunan penduduknya amat heterogen (Geoge 1980).
Transformasi Menurut kamus Bahasa Indonesia, terdapat berbagai macam pengertian mengenai transformasi, yaitu perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb)3. Menurut Soehoed (2004) pada transformasi Jakarta sebagai ibukota propinsi menjadi ibukota negara, pada waktu itu mengalami proses perubahan bentuk suatu konsep daerah menjadi bentuk lain yang lebih mapan. Dijadikan ibukota nasional karena kota yang berkembang dari masa ke masa secara bertahap dengan suatu rencana. Kota Jakarta harus melintasi suatu reformasi dari ibukota suatu wilayah jajahan menjadi ibukota suatu negara baru yang masih akan berkembang. Ketika mulai membangun, tanda-tanda urbanisasi mulai memperlihatkan diri sehingga menyebabkan kebutuhan tanah meningkat. Menurut Sztompka (2011) memahami transformasi fundamental dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, yakni munculnya tatanan masyarakat urban, industrial dan kapitalis. Proses transformasi (“perubahan dari” dan tidak hanya “perubahan di dalam” saja) lebih baik bila digabungkan dengan 3
http://kamusbahasaindonesia.org/transformasi: diunduh pada tanggal 16 Januari 2014
7
kemajuan. Melihat dari transfomasi yang di dalamnya terdapat proses sosial, begitu proses sosial itu terjadi maka ia meninggalkan bekas yang tidak dapat dihapus dan meninggalkan pengaruh yang tidak terelakan atas proses sosial tahap selanjutnya, contohnya perkembangan sebuah kota. Menurut Sarigih dalam Gunawan (2013), kisah-kisah kelompok atau individu yang memperjuangkan kemajuan desa sudah banyak dilakukan, kesemuanya menunjuk pada satu titik penting, yaitu masyarakat pedesaan itu sendiri yang harus bergerak dan mengupayakan perbaikan. Masyarakat pedesaan, entah sendiri atau bersama dengan kelompok masyarakat lain di luar lingkungan mereka perlu menentukan peran mereka mengenai apa-apa yang perlu dimajukan. Menurut Soemarwoto (1976), banyak pembangunan di pedesaan yang bertujuan untuk meningkatkan hidup di desa malah memperburuk situasi, hal ini terutama berdampak pada sawah yang terletak di dekat kota digunakan untuk industri atau bangunan lain. Lain hal menurut Astuti, Kolopaking dan Pandjaitan (2009), transformasi sosial atau perubahan sosial merupakan hal yang pasti terjadi dalam masyarakat. Sebagian besar pakar sosiologi memandang penting perubahan struktural dalam hubungan, organisasi dan ikatan antara unsur-unsur masyarakat. Menurut Suryo (2009) terdapat proses transformasi sosial dan budaya, sejak berakhirnya penjajahan Belanda dan lahirnya Indonesia menjadi tonggak perubahan dan pergeseran berbagai dimensi kehidupan. Kota-kota di Indonesia sebagai pusat komunitas sosial sekaligus sebagai pusat kebudayaan tidak terlepas dari arus transformasi melalui perubahan pemerintahan dari masa ke masa. Proses pergeseran sepanjang masa tersebut juga diikuti dengan terjadinya proses pergeseran kota-kota di Indonesia menjadi lebih modern. Proses transformasi kota dan kebudayaan kota di Indonesia telah berlangsung semanjak masa lampau, pada masa kini serta mencapai puncak perkembangannya dan menuju ke arah masa depannya. Berdasarkan uraian di atas, transfomasi kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses pergeseran sebuah wilayah rural menjadi urban.
Konsep Rumahtangga Petani Rumahtangga (household) berbeda dengan istilah keluarga (family). Menurut Ellis (1993) dalam Wulan (2014), keluarga adalah sebuah unit sosial yang didefinisikan sebagai hubungan kekeluargaan antar orang namun pada masyarakat petani kecil, keluarga tidak hanya sebatas dua orang dewasa yang hidup bersama anak-anaknya seperti konsep keluarga inti pada konsep Barat. Akan tetapi, rumahtangga adalah sebuah unit sosial yang berbagi tempat tinggal yang sama atau tungku yang sama. Menurut Mattila (1999) dalam Wulan (2014), rumahtangga adalah sebuah grup lebih dari hanya sekedar seorang individu (meskipun seorang individu dapat juga sebagai rumahtangga), yang melakukan berbagai aktivitas ekonomi yang diperlukan untuk bertahannya rumahtangga dan untuk menjaga agar anggota rumahtangga tetap sejahtera. Menurut Nakajima (1986) dalam Wulan (2014), Rumahtangga Petani (farm household) mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan kerja, dan reproduksi. Rumahtangga petani dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian sebagai unit ekonomi
8
Rumahtangga petani akan memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Pola perilaku rumahtangga petani dalam aktivitas pertanian maupun penentuan jenis-jenis komoditas yang diusahakan dapat bersifat subsisten, semi komersial, dan atau sampai berorientasi ke pasar (Ellis 1988 dalam Wulan 2014)
Petani Penggarap (Tunakisma) Menurut hasil penelitian Sitorus et al. (2008) terdapat enam lapisan masyarakat agraris dalam komunitas petani, salah satunya yaitu petani penggarap. Para petani pada lapisan ini mengusasi sumberdaya agraria hanya melalui pola pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain, umumnya melalui sistem bagi hasil). Ditinjau dari kepemilikan lahan, patani penggarap termasuk tunakisma, tetapi tidak mutlak karena dari sisi penggarapan mereka termasuk petani pengusaha tanah. Menurut Planck (1990) dalam Munir (2008) yang menggolongkan penduduk pedesaan berdasarkan cara penguasaan lahan, menjelaskan pemilik dan penyakap murni adalah mereka yang tidak memiliki lahan tetapi memiliki garapan melalui sewa atau bagi hasil. Kelompok ini termasuk dalam tunakisma, namun jika dilihat dari garapan, termasuk pengusaha lahan efektif. Proses kehidupan petani di perdesaan Jawa tidak terlepas dari adanya penguasaan lahan sawah yang jauh dari keadilan. Sebagian kecil warga masyarakat menguasai lahan yang sangat luas, namun disisi lain sebagian besar masyarakat memiliki lahan sawah yang sempit, bahkan tidak memiliki lahan sawah sama sekali. Oleh karena itu, muncul istilah petani berdasi atau petani bersafari yang merupakan segolongan orang yang menguasai lahan sawah di perdesaan dengan jumlah sawah yang cukup luas, petani ini tidak melakukan aktivitas pertaniannya namun hanya menerima setoran uang tunai atau hasil usaha padi miliknya (Sastraatmadja 2010).
Konversi Lahan Pertanian a. Konsep Konversi Lahan Pertanian Utomo et al. tahun 1992 dalam Hidayatet al. (2012) menjelaskan konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/ penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian hak-hak atas lahan yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu hak-hak lahan menurut kitab undangundang hukum perdata barat dan lahan-lahan yang tunduk kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak-hak lahan menurut ketentuan UUPA. Selain itu,konversi lahan menurut Sihaloho (2004) adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian atau dari lahan non-pertanian ke
9
lahan pertanian. Konversi lahan dari non-pertanian ke lahan pertanian merupakan proses konversi dalam rangka program ekstensifikasi pertanian. Menurut Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) konversi lahan sawah tidak dapat dihindarkan. Hal ini dikarenakan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian dari tahun ke tahun. Sawah bukan sekedar sebagai faktor produksi dalam proses produksi pangan, namun merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari eksistensi petani. Oleh karena itu, konversi lahan bukan sekedar berkurangnya luas lahan sawah, tetapi juga merupakan degradasi agroekosistem. Beberapa penelitian yang dilakukan di lapangan, menjelaskan bahwa konversi yang terjadi merupakan konversi atau alih fungsi dari lahan pertanian ke non-pertanian. Sangat langka sekali terjadi konversi lahan non-pertanian menjadi lahan pertanian, oleh karena itu luas lahan pertanian dari tahun ke tahun semakin berkurang. b. Faktor Penyebab Timbulnya Konversi Lahan Pertanian Konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian menimbulkan berbagai dampak yang dirasakan bagi pihak yang tersisih. Dibalik semua itu, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh petani. Menurut Sihaloho (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1. Faktor pada aras makro: meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan marginalisasi ekonomi. 2. Faktor pada aras mikro: meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah tangga). Menurut Nasoetion dan Winonto tahun 1996 dalam Asmara (2011) menggolongkan alih fungsi lahan pertanian ke dalam dua faktor: 1. Berkaitan sistem pertanian, yakni perubahan land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. 2. Faktor di luar sistem pertanian, yaitu industrialisasi dan faktor perkotaan lainnya Faktor-faktor tersebut dikelompokan menjadi faktor eksternal rumahtangga petani, internal rumahtangga petani dan faktor kebijakan. Menurut Kustiwan (1997) dan Sumaryanto (1996) dalam Asmara (2011) faktor eksternal yang menyebabkan konversi ditentukan oleh dinamika perkotaan, seperti pertumbuhan penduduk, pertumbuhan kawasan industrialisasi dan perumahan skala besar. Kustiwan menambahkan faktor internal, yaitu kondisi sosial ekonomi rumahtangga pertanian pengguna lahan yang mendorong mereka melepaskan lahannya. Lanjut menurut Kustiwan, faktor kebijakan meliputi privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru dan deregulasi perijinan dan investasi.
10
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al. (2012) di Kota Banjarbaru, konversi lahan pertanian disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian. Serupa dengan hasil penelitian oleh Rustiadi dan Wafda (2005): 1. Daerah seputar perkotaan aktivitas urban merupakan faktor utama terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Oleh karena itu, proses alih fungsi lahan terjadi di kawasan pedesaan, khususnya diperbatasan desa-kota dan perbatasan budidaya-non-budidaya. 2. Nature atau instristik sumberdaya lahan, dimana penawaran dan permintaan akan lahan mengalami meningkatan akibat permintaan lahan untuk industri dan perumahan. Selanjutnya berkaitan dengan pergeseran struktural dalam perekonomian dan perkembangan pembangunan yang mendorong petani beralih profesi dan menjual aset lahan sawah yang dimilikinya. 3. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi pada sektor industri, namun laju investasi industri belum diikuti dengan laju penetapan peraturan sebagai rujukan dalam mengendalikan konversi lahan petanian. c. Dampak Konversi Lahan Pertanian Menurut penelitian Lestari dan Dharmawan (2011) di Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, memandang dampak negatif konversi lahan pertanian dari segi sosio-ekonomi dan sosio-ekologi. Dampak sosio-ekonomi yaitu: 1. Perubahan pada struktur agraria. Semakin tinggi tingkat konversi yang terjadi, semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan derajat penguasaan lahan. Selain itu, penurunan derajat penguasaan lahan diiringi dengan penurunan derajat luas lahan yang dikuasai oleh rumahtangga petani. 2. Persepsi kesempatan kerja. Terdapat perbedaan kesempatan kerja di sektor pertanian dan non-pertanian di daerah yang mengalami konversi lahan pertanian. Semakin tinggi tingkat konversi, maka kesempatan kerja di sektor pertanian akan menjadi semakin sulit, akan tetapi kesempatan kerja di sektor non-pertanian menjadi mudah, namun tidak semua petani dapat mengakses pekerjaan di sektor non-pertanian. Hal ini dikarenakan kendala dalam perbedaan kemampuan keterampilan masing-masing petani. 3. Pola kerja. Pola kerja berubah seiring dengan perubahan kesempatan kerja. Kebanyakan rumahtangga setempat bermatapencaharian di bidang luar pertanian. Sebagian besar lahan milik warga luar sehingga rumahtangga setempat mengalami kesulitan untuk masuk ke bidang pertanian, kalaupun ada hanya menjadi penggarap atau buruh tani. 4. Struktur pendapatan. Perubahan pola pekerjaan rumahtangga sebagian besar beralih ke sektor non-pertanian adalah keinginan sendiri untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih dari sekor pertanian. Sehingga struktur pendapatan tiap rumahtangga pun menjadi berubah. 5. Kondisi tempat tinggal. Hubungan antara status penguasaan lahan dengan kegiatan konversi terlihat dari semakin tingginya jumlah tempat tinggal maka semakin besar kemungkinan terjadi konversi lahan, karena tempat tinggal yang dimiliki sekarang berasal dari lahan yang dikonversi. 6. Hubungan antar warga. Semakin tinggi konversi yang terjadi di suatu daerah, maka ikatan kekerabatannya menjadi berkurang/menurun dan sebaliknya. Hal
11
ini dikarenakan di tempat yang masih rendah konversi, intensitas warga untuk berkomunikasi, kedekatan tempat tinggal, sama-sama bekerja di sektor petanian sehingga hubungan yang terjalin antar warga bersifat horizontal yaitu sesama warga. 7. Prostitusi. Konversi yang terjadi adalah lahan diperuntukan untuk tempat wisata di kawasan Puncak menjadi vila, hotel dan restoran sehingga menarik perhatian wisatawan untuk menghabiskan liburannya di kawasan ini. Akan tetapi kondisi ini dijadikan kesempatan bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan-kegiatan asusila. Sedangkan dampak sosio-ekologi, yaitu dampak sosio-ekologi konversi lahan adalah adanya perubahan pada akses rumahtangga terhadap air, cara membuang limbah rumahtangga dan degradasi lingkungan, seperti banjir, longsor dan kebisingan. Kebanyakan warga dengan mudah mengakses air dari Sungai Ciliwung. Kebiasaan membuang sampah ke sungai menyebabkan sungai menjadi kotor. Semakin tinggi tingkat konversi lahan, semakin tinggi pula pembangunan di sektor non pertanian, sehingga pengelolaan limbah rumahtangga lebih rendah. Hal ini dikarenakan sampah tidak diolah menjadi pupuk, seperti di Kampung Sukatani dan begitu juga sebaliknya. Menurut Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) dampak negatif dari konversi lahan sawah, terdiri dari : 1. Degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional yang secara tidak langsung menyebabkan turunnya produktivitas lahan sawah serta akibat degradasi ekologi lahan. Hal ini dikarenakan berkurangnya produksi padi akibat konversi lahan bersifat permanen. 2. Penurunan pendapatan pertanian dan meningkatnya kemiskinan. Hal ini dikarenakan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap dan buruh tani karena hanya segelintir golongan saja yang dapat menikmati kesempatan kerja dan pendapatan dari aktivitas ekonomi baru. Adanya senjang permintaan dan penawaran tenaga kerja karena petani biasa kalah bersaing dengan pendatang. 3. Pemubaziran investasi. Anggaran pembangunan irigasi merefleksikan nilai investasi yang dibutuhkan. Sekian biaya yang dikeluarkan untuk pemilihraan sistem irigasi, pembentukan kelembagaan pendukung dan sebagainya juga harus diperhitungkan sebagai akibat dari kerugian akibat konversi lahan sawah. 4. Dampak negatif lainnya adalah akibat lanjutan dari rusaknya ekosistem sawah. Selain itu, konversi lahan sawah yang terjadi pada suatu hamparan yang cukup luas dan masif dengan sendirinya akan mengubah struktur kesempatan kerja dan pendapatan komunitas setempat. Keuntungan yang dirasakan pada golongan atas, yaitu pemilik lahan sedangkan pada golongan bawah (teruama buruh tani dan petani gurem) mereka tidak dapat dengan mudah beralih pekerjaan/usaha ke sektor non pertanian sehingga semakin sempit peluang usaha yang mereka hadapi. Menurut Sihaloho (2004) dalam penelitiannya di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, konversi lahan pertanian berdampak pada perubahan aspek, yaitu: 1. Perubahan pola penguasaan lahan. Perubahan yang terjadi akibat konversi yaitu terjadinya perubahan penguasaan tanah. Petani pemilik berubah menjadi penggarap dan penggarap berubah menjadi buruh tani. Implikasi dari
12
perubahan ini adalah buruh tani sulit untuk mendapatkan lahan dan terjadi proses marginalisasi. 2. Perubahan pola penggunaan lahan. Konversi lahan menyebabkan pergeseran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria. Konversi lahan pertanian menyebabkan perubahan pada pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian yang makin tinggi. 3. Perubahan pola hubungan agraria. Tanah yang semakin terbatas menyebabkan berubahnya sistem pembagian hasil, demikian juga munculnya sistem tanah baru, yaitu sistem sewa dan jual gadai. 4. Perubahan pola nafkah agraria. Keterbatasan lahan pertanian dan keterkelurahankan ekonomi rumahtangga menyebabkan pergeseran mata pencaharian dari pertanian menjadi non pertanian. 5. Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan dapat menyebabkan penurunan atau kemunduran dalam kemampuan ekonomi (pendapatan semakin menurun). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al. (2012) di Kota Banjarbaru yang menyatakan bahwa, konversi lahan pertanian dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak negatifnya adalah menurunnya kapasitas produksi padi yang berimplikasi pada penurunan penghasilan petani dan hilangnya kesempatan kerja bagi buruh tani, pembangunan irigasi yang sia-sia, berubahnya usaha tani baru dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian, dan pendapatan petani menjadi bergantung pada usaha baru yang digelutinya. Setelah adanya konversi, pendapatan petani ada yang meningkat karena berhasil dalam usaha barunya, tetap dikarenakan menjadi buruh bangunan dan menurun karena tidak mempunyai kemampuan selain bertani. Sedangkan Dampak positif adalah petani atau pemilik lahan dapat meningkatkan pendapatan mereka. Penelitian oleh Metera (1996), menyatakan bahwa konversi lahan pertanian berdampak positif, hal ini dikarenakan memanfaatkan uang ganti rugi atas lahan tersebut. Adanya perbaikan keadaan kehidupan petani pada keadaan (jenis dan luas rumah), fasilitas rumah dan pemilikan alat-alat transportasi. Selain itu, dampak negatif dari konversi lahan pertanian yaitu penurunan luas lahan sawah. Menurut Bachriadi dan Lucas (2011), konversi lahan berdampak pada hilangnya nafkah pada buruh tani, hilangnya lahan garapan maka hilang juga persediaan pangan, sehingga menimbulkan pengangguran. Hal tersebut berimplikasi pada mental diri petani yang tadinya sibuk bertani sekarang hanya lebih sering berdiam diri. Sebagai contoh kasus di Cimacan, karena lahannya digusur untuk dijadikan Lapangan Golf Cibodas, beberapa petani lebih sering termenung berdiam diri, hanya sesekali ngobyek di Cibodas.
Gambaran Umum Kesejahteraan Petani Pasal 1 yang tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Sedangkan menurut Yosep (1996) dalam Furi (2007) mengungkapkan dua pendekatan kesejahteraan, yakni :
13
a. Pendekatan mikro, kesejahteraan dinyatakan dengan indikator-indikator yang disepakati secara alamiah, sehingga ukuran kesejahteraan masyarakat berdasarkan data empiris suatu masyarakat. b. Pendekatan mikro, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi individu secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sejahtera. Menurut BKKBN4merujuk pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009yang dimaksud keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Menurut BPS 2006 dalam Utami (2013) untuk mengukur seberapa tinggi tingkat kesejahteraan suatu individu, diperlukan berbagai indikator dari berbagai dimensi. Sama seperti definisi dari konsep kesejahteraan, sebuah indikator yang menyatakan apakah individu sejahtera atau tidak, juga memiliki berbagai versi dari banyak ahli. BPS menyatakan untuk mengetahui kesejahteraan seseorang, maka ada 6 hal yang mengindikasikan, antara lain kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan serta sosial dan budaya. Menurut Sawidack (1985) dalam Lestari (2010) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, akan tetapi dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari mengkonsumsi pendapatan tersebut. Kesejahteraan akan dirasakan bila kebutuhan dasar (sandang, pangan dan papan) dan sekunder telah terpenuhi, disamping kebutuhan batiniah (rasa aman, rasa puas dan rasa bangga). Bila kesejahteraan materiil dan batin atau moriil terpenuhi maka akan terbentang dalam dirinya adalah akutualisasi diri yang lebih tinggi, tercipta full capacity sesuai dengan predikat yang disandangnya.5 Kaitan antara struktur agraria dengan kesejahteraan petani sangat erat karena bagi para petani sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah utama. Melalui pengusahaan sumberdaya lahan diharapkan para petani akan memiliki pengahasilan yang cukup dan berkelanjutan, sehingga tujuan utama para petani untuk dapat memenuhi kelangsungan hidup dan membuat kehidupan yang lebih baik dapat tercapai (Sitorus et al.2008). Arti berkelanjutan menurut Haan (2000) dalam Sitorus et al. (2008) adalah suatu mata pencaharaian dapat dikategorikan sebagai mata pencaharian berkelanjutan bila terdapat kecukupan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar serta menjamin orang untuk dapat menghadapi goncangan dan tekanan.
4
http://aplikasi.bkkbn.go.id/mdk/BatasanMDK.aspx [diakses pada tanggal 13 Maret 2014] Hasil wawancara dengan Prof. Endriatmo Soetarto pada, tanggal 22 April 2014
5
14
Kerangka Pemikiran
Seiring dengan peningkatan status menjadi Kota Banjar, telah terjadi proses transformasi. Transformasi Banjar dari kota administratif menjadi kota akan menyebabkan perubahan serta pembangunan, baik dalam melengkapi pembangunan sarana dan prasana juga untuk pembangunan perumahan karena seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Karena hal tersebut, maka diperlukan sejumlah lahan untuk berdirinya sebuah bangunan, sehingga tidak menutup kemungkinan lahan sawah telah dikonversi menjadi nonpertanian untuk berbagai keperluan pembangunan. Dilihat dari perpindahan lahan tersebut, konversi lahan pertanian dapat terjadi di dua arah, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal yang dijelaskan secara deskriptif. Akibat terjadi konversi lahan pertanian tersebut menyebabkan dampak yang dirasakan bagi petani penggarap yang dilihat dari tingkat penguasaan lahan garapan, tingkat kesempatan kerja dan perubahan pola pekerjaan. Dampak konversi lahan pertanian tersebut mempengaruhi pada tingkat kesejahteraan baik secara materiil yang dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat kepemilikan aset, dan tingkat konsumsi pangan dan kesejahteraan moriil dilihat dari tingkat hubungan antar warga dan keamanan bekerja. Secara garis besar, kerangka pemikiran dapat dilihat pada pada Gambar 1.
15
Transformasi Kota
Konversi Lahan Pertanian: 1. Konversi Vertikal 2. Konversi Horizontal
Dampak Konversi lahan pertanian: 1. Perubahan Penguasaan lahan garapan 2. Perubahan Kesempatan kerja 3. Perubahan ragam pekerjaan
Tingkat Kesejahteraan
Materiil : 1. Tingkat Pendapatan 2. Tingkat Kepemilikan Aset 3. Tingkat Konsumsi Pangan 4. Tingkat Pendidikan 5. Akses terhadap sarana kesehatan
Keterangan
Moril: 1. Frekuensi Hubungan Antar Warga 2. Keamanan pekerjaan
: : Menyebabkan : Penelitian secara deskriptif : Terdiri dari : Mempengaruhi Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian yang didapatkan adalah sebagai berikut: Hipotesis Pengarah 1. Diduga transformasi Kota Banjar menyebabkan konversi lahan pertanian di dua arah, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal
16
2. Diduga konversi lahan pertanian di dua arah, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal menyebabkan dampak pada tingkat penguasaan lahan garapan, tingkat kesempatan kerja dan perubahan pola pekerjaan Hipotesis Uji 1. Terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil rumahtangga petani penggarap 2. Terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan moriil rumahtangga petani penggarap
Definisi Konseptual
1. Transformasi kota adalah perubahan status dariKota Administratif menjadi kota. 2. Konversi vertikal adalah peralihan dari obyek-subyek agraria yang semula merupakan penguasaan individual menjadi obyek-subyek agraria di bawah kuasa koorporasi dan negara (institusional). 3. Konversi horizontal adalah peralihan dari obyek-subyek agraria kuasa individual ke obyek-subyek agraria lainnya yang juga setara kuasa individual ( petani atau bukan petani). 4. Dampak konversi lahan pertanian adalah suatu kondisi atau keadaan setelah terjadinya konversi yang menyebabkan adanya perubahan pada beberapa aspek. 5. Tingkat kesejahteraan adalah suatu ukuran dimana petani dapat memenuhi kehidupannya secara materiil dan moriil.
Definisi Operasional
1. Dampak konversi lahan pertanian adalah akibat dari adanya konversi lahan pertanian yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap pasca konversi yang menyebabkan adanya perubahan pada beberapa aspek, yaitu tingkat penguasaan lahan garapan, tingkat kesempatan kerja dan perubahan ragam pekerjaan. Dampak konversi diukur dengan metode penelitian kuantitatif. Akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori: Berdampak rendah (nilai 6-7) skor 1, berdampak sedang (nilai 8-9) skor 2 dan berdampak negatif (niali 10-12) skor 3. a) Perubahan penguasaan lahan garapan adalah perubahan luas lahan garapan yang digarap oleh petani penggarap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pasca konversi lahan pertanian. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal dengan jenis data ordinal dan penilaian sebagai berikut:
17
Rendah : luas lahan tidak berkurang dan miliki lahan garapan pengganti
(skor 1) Sedang : luas lahan berkurang dan ada lahan garapan pengganti (skor 2) Tinggi : luas lahan berkurang dan tidak ada lahan garapan pengganti
(skor 3) b) Perubahan kesempatan kerja adalah persepsi responden mengenai perubahan peluang untuk mendapatkan pekerjaan pada sektor pertanian atau non-pertanian pasca konversi lahan pertanian. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal, dengan penilaian sebagai berikut:rendah(skor 1) : menganggap sulit bekerja pada sektor pertanian/non-pertanian, sedang (skor 2): menganggap biasa saja bekerja pada sektor pertanian/non-pertanian, tinggi(skor 3) : menganggap mudah bekerja pada sektor pertanian/non-pertanian. Kesempatan kerja sektor pertanian adalah persepsi responden mengenai perubahan peluang untuk mendapatkan pekerjaan pada sektor pertanian pasca konversi lahan pertanian.Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal, dengan penilaian sebagai berikut: - Rendah : menganggap mudah usaha pada sektor pertanian (skor 1) - Tinggi : menganggap sulit usaha pada sektor pertanian (skor 2) Kesempatan kerja sektor non-pertanian adalah persepsi responden mengenai perubahan peluang untuk mendapatkan pekerjaan pada sektor non-pertanian pasca konversi lahan pertanian.Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal, dengan penilaian sebagai berikut: - Rendah : menganggap mudah kerja pada sektor non-pertanian (skor 1) - Tinggi : menganggap sulit kerja pada sektor non-pertanian (skor 2) c) Ragam pekerjaan adalah jumlah kesibukan atau kegiatan responden yang dilakukan setiap hari untuk mencari nafkah pasca konversi lahan pertanian, berikut: Rendah : tidak memiliki pekerjaan (skor 1) Sedang : bekerja pada sektor pertanian/ sektor non-pertanian(skor 2) Tinggi : bekerja pada sektor pertanian dan sektor non-pertanian(skor 3) 2. Tingkat kesejahteraan petani pada hal meteriill adalah perubahan pada ukuran seberapa tinggi atau rendah aspek-aspek kesejahteraan yang dirasakan responden dinilai berdasarkan nilai-nilai ekonomi dan keberadaan aset fisik yang berharga bagi petani. Perubahan tingkat kesejahteraan secara materiil diukur dengan metode penelitian kuantitatif. Akumilasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori: Tingkat kesejahteraan materiil rendah (nilai 28-62) skor 1, sedang (nilai 63100) skor 2, dan tinggi (nilai 101-138) skor 3. a) Tingkat pendapatan adalah seluruh jumlah pemasukan yang diterima oleh responden atas setiap pekerjaan yang dilakukan dari sektor pertanian maupun non-pertanian saat ini pasca konversi. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal. Rendah ≤ Rp 9 436 000 per tahun (skor 1) Sedang Rp 9 436 000-Rp 16 692 000 per tahun (skor 2)
18
Tinggi ≥ Rp 16 693 000 per tahun (skor 3)
b) Tingkat kepemilikan aset adalah kondisi tempat tinggal dan jumlah seluruh barang berharga yang dimiliki oleh responden pasca konversi. Aset-aset yang diperhitungkan antara lain: rendah (nilai 11-24) skor 1, sedang (nilai 25-39) skor 2 dan tinggi (nilai 40-55) skor 3. Kondisi tempat tinggal adalah kondisi dari rumah yang ditempati oleh responden pasca konversi dibandingkan dengan pra konversi. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal. Rendah (nilai 8-18) skor 1 Sedang (nilai 19-29) skor 2 Tinggi (nilai 30-40) skor 3 Kepemilikan barang-barang berharga adalah banyaknya barangbarang berharga yang dimiliki oleh respondenpasca konversi dibandingkan dengan pra konversi. Kepemilikan barang berharga dilihat dari jumlah barang yang dimiliki berupa kendaraan beroda, barang elektronik, dan hewan ternak. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal. Rendah (nilai 3-6) skor 1 Sedang (nilai 7-10) skor 2 Tinggi (nilai 11-15) skor 3 c) Tingkat konsumsi pangan adalah seberapa besar kemampuan petani untuk dapat mengkonsumi dan membeli beras, sayuran, telur, susu, ikan, daging, kacang-kacangan, buah-buahan, dan minyak goreng pasca konversi. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal. Rendah (nilai 8-18) skor 1 Sedang (nilai 19-29) skor 2 Tinggi (nilai 30-40) skor 3 d) Tingkat akses pendidikan adalah kemampuan petani dalam menyekolahkan anak-anaknya pasca konversi. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal. Rendah (nilai 4-8)skor 1 Sedang (nilai 9-14) skor 2 Tinggi (nilai 15-20)skor 3 e) Akses terhadap sarana kesehatan adalah kemampuan petani dalam mengekses fasilitas kesehatan pasca konversi. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal. Rendah (nilai 4-8) skor 1 Sedang (nilai 9-14) skor 2 Tinggi (nilai 15-20) skor 3 3. Tingkat kesejahteraan petani pada hal moriil adalah perubahan pada ukuran seberapa tinggi atau rendah aspek-aspek kesejahteraan yang dirasakan responden dinilai berdasarkan perasaan aman dan nyaman oleh responden atas kehidupan yang sekarang pasca konversi. Kesejahteraan moriil dinyatakan oleh hubungan antara warga dimana terdapat rasa nyaman ketika saling berinteraksi serta keamanan saat bekerja pada pekerjaan yang dijalani pasca konversi. Akumilasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori tingkat
19
kesejahteraan moriil rendah (nilai 6-14) skor 1, sedang (niali 15-23) skor2 dan tinggi (nilai 24-30) skor 3. a) Hubungan antar warga adalah perubahan rasa nyaman yang dirasakan atas responden dengan orang-orang disekitarnya, baik dalam berinteraksi, bekerja sama dan tolong-menolong saat ini pasca konversi lahan pertanian. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal. Rendah (nilai 5-11)skor 1 Sedang (nilai 12-18) skor 2 Tinggi (nilai 19-25) skor 3 b) Keamanan bekerja adalah persepsi rasa aman yang dirasakan responden atas pekerjaan beserta pendapatan yang dihasilkan oleh pekerjaan tersebut pasca konversi. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal. Rendah (nilai 1-2) skor 1 Sedang (nilai 3-4) skor 2 Tinggi (nilai 5) skor 3
20
21
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah studi persepsi penelitian sensus, dengan menggunakan pengujian hipotesis atau penelitian penjelasan (explanatory research). Penelitian explanatory merupakan penelitian dengan menjelaskan hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun 1989). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif untuk memperoleh data yang diperlukan. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner (lampiran 3) sebagai alat pengumpulan data yang utama. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap responden dan informan yang dipilih melalui metode snowball dengan menggunakan panduan wawancara (lampiran 4). Kedua pendekatan tersebut juga dilengkapi dengan penelusuran literatur untuk memperoleh data sekunder.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Banjar, Kota Banjar, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive karena beberapa pertimbangan, diantaranya ialah: 1. Kelurahan Mekarsari termasuk dalam wilayah Kota Banjar yang merupakan salah satu kelurahan yang mendapatkan dampak dari terjadi perubahan status dari kota administratif menjadi kota sejak 21 Februari 2003. 2. Terkait pembangunan yang semakin gencar dan giat dilakukan oleh Walikota Banjar, terdapat konversi lahan pertanian menjadi non pertanian yang terjadi di Kelurahan Mekarsari. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu lima bulan, terhitung mulai bulan Januari 2014 sampai dengan Mei 2014 (tabel 1). Penelitian ini dimulai dengan pra-penelitian, penyusunan proposal penelitian, kolokium penyampaian proposal penelitian, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi.
22
Tabel 1Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2014 Kegiatan
Jan Feb Maret April Mei 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
PraPenelitian Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Skripsi Pengambilan Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Uji Petik Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Skripsi
Teknik Pengambilan Informan dan Responden Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Unit analisa dalam penelitian ini adalah populasi rumahtangga penggarap yang terkena dampak konversi di Kelurahan Mekarsari. Hal ini dikarenakan lahan sawah yang terdapat di Kelurahan Mekarsari dimiliki oleh petani berdasi6, sehingga yang mengalami kerugian yang penggarap. Responden diambil sebanyak jumlah populasi tersebut, yaitu 35 rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari. Hal ini dikarenakan jumlah populasi yang tidak terlalu banyak, oleh karena itu jumlah sampel sama dengan jumlah populasi. Prosesdalam menentukan populasi adalah dengan mensurvey lokasi-lokasi yang saat ini telah berubah menjadi bangunan. Selanjutnya, menanyakan kepada orang-orang yang berada 6
Segolongan orang yang menguasai lahan sawah di pedesaan dengan jumlah sawah yang cukup luas dan petani ini tidak melakukan aktivitas pertaniannya hanya menerima setoran uang tunai atau hasi usaha padi miliknya (Sastraatmadja 2010)
23
pada wilayah setempat siapa yang dahulu menjadi penggarap pada lahan ini. Setalah itu, didapatkan sejumlah nama-nama responden adalah sejumlah 35 penggarap, dan ditentukanlah sebagai responden. Responden akan diwawancarai sesuai dengan kuesioneryang telah dibuat karena jawabannya dianggap dapat mewakili kondisi rumahtangganya.Alasan pemilihan unit analisa ini dikarenakan kesejahteraan erat kaitannya dengan kondisi rumahtangga. Sedangkan untuk mendapatkan informasi lain didapatkan dari informan yang dipilih melalui metode snowball, orang-orang yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah, petugas Dinas Pertanian Kota Banjar, aparatur Kelurahan Mekarsari, anggota DPRD Kota Banjar, Kepala bagian Administrasi Pembangunan Kota Banjar, dan tokoh masyarakat setempat. Informan-informan tersebut dianggap mengetahui dengan jelas mengenai sejarah transformasi Kota Banjar dan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian di Kota Banjar khususnya di Kelurahan Mekarsari.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara observasi untuk melihat lokasi-lokasi yang saat ini telah terkonversi menjadi bangunan. Selain itu, melihat kondisi dari responden saat ini.Selain dengan kuesioner, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada responden maupun informan. Data sekunder diperoleh baik dari dokumen-dokumen tertulis di kantor Dinas Pertanian Kota Banjar, kantor BAPPEDA Kota Banjar, BPS Kota Banjar dan kantor Kelurahan Mekarsari. Data sekunder berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini, seperti dokumen sejarah pembentukan Kota Banjar, data luas sawah di Kota Banjar dan Kelurahan Mekarsari, data monografi dan profil Kelurahan Mekarsari. Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu buku, laporan hasil penelitian, artikel, dan sebagainya. Tabel kebutuhan data dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada lampiran 7.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang diolah dan dianalisis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007 dan SPSS. for windows 20. Menurut Effendi, Tukiran, Sucipto (1989) ada beberapa langkah yang perlu dikerjakan dalam pengolahan data, yaitu memasukan data ke berkas (files) data, membuat tabel frekunsi silang atau tabel silang lalu mengedit yaitu mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi atau tabel silang. Pada pembuatan tabel frekuensi, grafik, diagram, serta tabel tabulasi silang menggunakan aplikasi
24
Microsoft Excell 2007. Kemudian SPSS. for windows 20 digunakan untuk membantu dalam uji statitistik yang akan menggunakan Rank Spearmandan Uji T. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antar dua variabel dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil dan moriil yang berskala ordinal. Uji T digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata penilaian tingkat kesejahteraan materiil dan moriil pra dan pasca konversi serta melihat apakah terdapat perbedaan pada tingkat kesejahteraan materiil dan moriil pra dan pasca konversi. Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Pertama ialah proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Tujuan dari reduksi data ini ialah untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Kedua ialah penyajian data berupa grafik dan tabel untuk menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi.
25
POTRET KELURAHAN MEKARSARI
Kondisi Geografis
Kelurahan Mekarsari merupakan salah satu kelurahan yang termasuk ke dalam wilayah cakupan Kota Banjar. Pada tahun ini Mekarsari berganti nama dari desa menjadi kelurahan, dan terbagi menjadi 25 RW dan 99 RT. Kelurahan ini mempunyai luas wilayah sebesar 285454 ha/m2 dengan curah hujan sekitar 2 645 Mm dan mempunyai tinggi tempat dari permukaan laut sebesar 32 mdl. Batas administrasi Kelurahan Mekarsari adalah sebagai berikut: Sebelah utara : Kelurahan Banjar, Kecamatan Banjar Sebelah selatan : Desa Binangun, Kecamatan Pataruman Sebelah timur : Kelurahan Hegarsari, Kecamatan Pataruman Sebelah barat : Kelurahan Banjar, Kecamatan Banjar Pada tabel di bawah ini akan menunjukkan luas wilayah dari Kelurahan Mekarsari menurut penggunaannya.
Tabel 2 Luas wilayah menurut penggunaan Kelurahan Mekarsari Penggunaan lahan
Luas (ha/m2)
Persentase (%)
Luas pemukiman
131 999
46
Luas persawahan
129 542
45
Luas perkebunan
0.6
0.21
Luas kuburan
0.2
0.79
Luas pekarangan
0
0
Luas taman
0
0
Perkantoran Luas prasarana umum lainnya Total luas
2 931
1
19 981 284 454.8
7 100
Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari 2012
Kelurahan Mekarsari merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Banjar, Kota Banjar, Jawa Barat. Kota Banjar berada di selatan bagian Jawa Barat. Jarak dari kelurahan ke ibukota kecamatan adalah 2 km, jika ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor hanya membutuhkan waktu kurang lebih 0.15 jam. Jarak ke ibukota kabupaten/kota adalah 3 km, jika ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor hanya membutuhkan waktu kurang lebih 0.2 jam. Sedangkan jarak ke ibukota propinsi adalah 148 km, jika
26
ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam.
. Kondisi Demografi Kelurahan Mekarsari
Penduduk Menurut sumber data dari Kelurahan Mekarsari, terdapat perkembangan kependudukan yang terjadi dilihat jumlah penduduk dari tahun sebelumnya.
Tabel 3Jumlah penduduk Kelurahan Mekarsari berdasarkan jenis kelamin Waktu
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Jumlah KK
Jumlah Penduduk
Laki-laki
Perempuan
2012
4 613
16 632
8 368
8 264
2011
4 628
16 404
8 264
8 140
Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari 2012
Berdasarkan kelompok usia, usia penduduk Kelurahan Mekarsari ini sangat beragam tabel di bawah ini menunjukkan sebaran jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia.
Tabel 4 Jumlah penduduk Kelurahan Mekarsari berdasarkan kelompok usia Kelompok Usia
Jumlah
0-4
1 260
5-9
1 516
10-14
1 505
15-19
1 435
20-24
1 207
25-29
1 522
30-34
1 291
35-39
1 074
40 tahun ke atas
5 822
Total Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari 2012
16632
27
Ketenagakerjaan Melihat dari data desa, penduduk usia 18-56 tahun adalah laki-laki sebanyak 4 672 orang dan perempuan sebanyak 4 695 orang, namun penduduk usia 18-56 tahun yang bekerja adalah laki-laki sebanyak 2 261 orang dan perempuan sebanyak 1 249 orang. Terdapat berbagai macam jenis mata pencaharian yang dilakukan oleh warga Mekarsari untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Berikut gambar diagram persentasi penduduk berdasarkan mata pencaharian. Petani 3% 1%
9%
4% Buruh tani
20%
PNS Pedagang Keliling 9% POLRI
9% 45%
Pensiunan PNS/TNI/POLRI Pengusaha Kecil dan Menengah Lainnya
Gambar 2 Diagram persentase penduduk berdasarkan mata pencaharian, sumber data potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari 2012 Berdasarkan gambar 2 dapat terlihat bahwa, mata pencaharian didominasi oleh pedagang keliling, petani disusul dengan buruh tani. Mata pencaharian lainnya adalah terdiri dari pekerjaan yang dilakukan oleh beberapa penduduk, seperti pengrajin, montir, dokter swasta, bidan swasta, perawat swasta, TNI, POLRI, pengacara, dosen dan dukun terlatih kampung.
Pendidikan Tingkat pendidikan yang ditempuh oleh penduduk di Kelurahan Mekarsari juga sangat beragam, mulai dari tamat SD/ sederajat, tamat SMP/ sederajat, tamat SMA/ sederajat, tamat D-1, D-2, D-3, Tamat S-1, S-2, S-3. Hal ini dapat dilihat pada gambar diagram berikut.
Jumlah Penduduk
28
4500 4000 3500 3000 2500 2000 4185 3407 1500 2758 1000 500 113 194 0
3891
867 78
101
13
14
249 145
Tingkat Pendidikan
Gambar 3 Diagram tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Mekarsari, sumber data potensi desa dan Kelurahan Mekarsari 2012 Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan mayoritas tingkat pendidikan di Kelurahan Mekarsari adalah tamat SD. Hal ini dikarenakan masyarakat dahulu tidak terlalu mementingkan pendidikan, adanya faktor biaya dan keadaan ekonomi kelurga yang mengharuskan anak tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Semakin hari kesadaran akan pendidikan pun menjadi berubah. Masyarakat sadar bahwa anaknya kelak harus berusaha dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari orang tuannya. Adanya bantuan pemerintah pusat, yaitu BOS (Bantuan Operasional Sekolah) maka biaya sekolah menjadi gratis, maka semakin bersemangatlah anak-anak untuk bersekolah. Selain itu, setelah Banjar menjadi Kota, walikota Banjar Herman Sutrisno sangat memperhatikan pendidikan, beliau berusaha agar semua masyarakat Kota Banjar dapat bersekolah. Religi Melihat dari sekian penduduk di Kelurahan Mekarsari, mayoritas penduduk di sana adalah beragama Islam sebesar 98 persen, selanjutnya Kristen 1.3 persen, Katholik 0.3 persen, Budha 0.2 persen dan Khonghucu 0.2 persen. Walaupun didominasi oleh agama Islam, rasa toleransi dan tenggang rasa antar agama cukup baik. Hal ini terlihat bila terdapat acara keagamaan salah satu agama terselenggara dengan aman, tentram dan damai. Tidak pernah ada saling menyakiti atau saling intimidasi antar agama. Berikut tabel frekuensi jumlah pemeluk agama berdasarkan jumlah penduduk
29
Tabel5Persentase jumlah agama berdasarkan jumlah penduduk Agama
Persentase (%)
Islam
98
Kristen
1.3
Katholik
0.3
Hindu
0
Budha
0.2
Khonghucu
0.2
Total
100
Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari 2012
Sarana dan Prasarana Prasarana transportasi darat di Kelurahan Mekarsari dimana kondisi jalan kelurahan, jalan kabupaten yang melewati kelurahan dan jalan propinsi yang melewati kelurahan adalah baik. Sarana transportasi darat yang dimiliki oleh Kelurahan Mekarsari adalah ojek dan becak. Selain itu, kelurahan ini juga mempunyai prasarana komunikasi dan informasi, prasarana air bersih yang lebih didominasi oleh pengguna sumur gali dan PAM, serta keadaan sanitasi yang cukup baik. Kelurahan Mekarsari juga memiliki gedung kantor dengan kondisi yang baik karena baru saja selesai dibangun dilengkapi dengan inventaris dan alat tulis kantor. Selain itu, terdapat bangunan untuk peribadatan masing-masing agama, seperti masjid, mushola, gereja Kristen Protestan dan gereja Katholik. Di samping itu, kondisi di sana dilengkapi dengan prasarana olah raga, antara lain terdapat lapangan bulu tangkis, lapangan voli, meja pingpong dan pusat kebugaran. Fasilitas ini bisa digunakan oleh semua warga yang ingin memanfaatkannya. Menangani masalah kesehatan, fasilitas yang dimiliki oleh kelurahan ini adalah puskesmas dan puskemas pembantu, poliklinik/ balai pengobatan, apotek, posyandu, toko obat, balai pengobatan masyarakat yayasan/ swasta, kantor praktek dokter dan rumah bersalin. Fasilitas tersebut juga dilengkapi dengan tenaga kesehatan yang memadai, seperti dokter umum dan spesialis, dokter gigi, dukun bersalin, bidan, perawat, dan pengobatan alternatif.
Masa Lalu Kelurahan Mekarsari
Sekitar tahun 2010 dimana sawah masih terlihat membentang hijau di beberapa daerah menambah cantiknya pemandangan di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Banjar, Kota Banjar. Para petani penggarap masih sibuk untuk mengelola lahan garapannya. Walaupun dengan luas lahan yang berbeda-beda akan tetapi keadaan mereka pada saat itu berkecukupan dengan penghasilan yang mereka dapat dari lahan garapannya untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya.
30
Tidak hanya menjadi penggarap, beberapa responden ada pula yang memiliki pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan rumahtangga. Saat itu, mereka merasakan apa yang disebut sejahtera dan dapat mensyukuri apa yang telah mereka dapatkan. Kondisi tempat tinggal yang dimiliki memang sudah permanen dan ada beberapa yang memiliki kendaraan pribadi seperti sepeda motor. Tidak hanya itu, akses kesehatan dan akses pendidikan pun semakin mudah karena janji program Walikota Banjar yang ingin mensejahterakan masyarakatnya. Menjadi penggarap adalah anugrah bagi mereka, karena ada yang telah menggarap sejak zaman Jepang pada lahan tersebut. Walaupun sempat tersirat untuk bekerja pada sektor non-pertanian namun kembali mereka berfikir minimnya kemampuan mereka bila bekerja di luar sektor pertanian. Sehingga mereka sangat menikmati menjadi penggarap dengan rasa aman pada penghasilan yang mereka dapat dari hasil menggarap dan hanya beberapa saja mempunyai sampingan bekerja pada sektor non pertanian seperti menjadi buruh bangunan, usaha dagang dan tukang becak. Melihat area tempat tinggal yang berdekatan masih satu kampung membuat kualitas hubungan sosial antar mereka terjalin dan terjaga dengan baik. Hal ini diindikasikan dengan ketentraman dan kedamaian yang mereka bangun, tolong menolong ketika ada warga yang membutuhkan terlebih ketika ada kegiatan gotong-royong untuk memperbaiki fasilitas umum di kampungnya. Tidak hanya itu, kebersamaan terjalin ketika musim panen tiba, bersama-sama pergi menuju hamparan kuningnya padi yang siap untuk dipanen. Biasanya, setalah panen selesai mereka mengadakan syukuran bersama-sama, mereka menyebutnya botram,yang artinya makan bersama-sama warga setempat. Sangat terasa kebersamaan dan kedakatan yang terjalin saat itu dan tidak dapat mereka lupakan saat-saat berkumpul dan bercengkrama bersama warga.
Masa Kini KelurahanMekarsari
Saat ini Banjar telah menjadi Kota yang baru menginjak umur 11 tahun. Seiring dengan peningkatan status Banjar tersebut, dalam prosesnya kota baru ini terus melakukan pembangunan di beberapa wilayah Kota Banjar, termasuk di Kelurahan Mekarsari yang memiliki jarak relatif dekat dengan pusat kota. Walikota Banjar terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya, sehingga kebutuhan akan lahan pun menjadi semakin meningkat dan pada akhirnya merampas lahan pertanian, dalam penelitian ini yang dimaksud adalah lahan sawah yang berubah menjadi bangunan baru atau non-pertanian. Musibah ini dialami oleh rumahtangga petani penggarap yang tersisih dari lahan garapannya yang sekarang telah berubah menjadi perumahan (real estate), gedung STISIP (Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) dan gedung DPRD Kota Banjar. Ketidakmampuan dalam mempertahankan lahan garapan dikarenakan lahan tersebut adalah bukan hak milik mereka, tetapi dengan sistem bagi hasil dengan pemilik lahan. Keadaan ini menyebabkan setelah lahan tersebut dijual oleh pemiliknya menyebabkan para penggarap mau tidak mau harus pergi dari
31
lahan garapan yang selama ini telah menghidupi keluarganya. Sedih rasanya mereka harus kehilangan lahan garapan dan tidak mendapat lahan garapan pengganti, hanya beberapa saja yang dapat memperoleh lahan garapan pengganti sehingga saat ini masih menjadi penggarap. Bagi mereka yang sudah kehilangan lahan garapannya, saat ini bekerja pada sektor non-pertanian dengan penghasilan yang tidak tetap, bahkan ada yang sudah tidak lagi bekerja karena terbentur usia yang sudah tua. Merasakan kondisi saat ini, kesejahteraan yang dahulu mereka rasakan kian berubah. Walaupun sebagian mendapat kesempatan bekerja pada sektor nonpertanian dengan upah per hari yang relatif cukup tinggi, akan tetapi pekerjaan yang mereka lakukan sekarang bersifat temporer atau tidak tetap. Sehingga ini belum tentu dapat berkelanjutan pada beberapa tahun yang akan datang. Oleh karena itu, rasa aman yang mereka miliki dalam pekerjaan yang sekarang ini sangat menurun. Jika melihat kondisi akses kesehatan dan akses pendidikan, memang sudah baik dirasakan. Hal ini dikarenakan janji Walikota Banjar yang ingin semakin mensejahterakan dan memajukan masyarakatnya, sehingga dengan adanya program pemerintah dalam hal kesehatan dan pendidikan sangat membantu masyarakat yang kurang mampu, termasuk rumahtangga petani penggarap ini. Melihat penghasilan yang dirasakan relatif meningkat, namun tidak dirasakan bagi semua pihak yang tersisih ini. Bagi yang tidak mampu memanfaatkan kesempatan yang ada mereka hanya dapat hidup dari penghasilan seadaanya. Ketika pekerjaan yang sudah tidak lagi di area tempat tinggal mereka, maka hal ini berimbas pada hubungan antar mereka yang berdampak pada kualitas hubungan antar warga. Kebersaaman yang dahulu mereka rasakan menjadi kian menurun, tatkala beberapa orang tidak lagi bekerja menjadi penggarap dan bekerja pada lokasi di luar tempat tinggalnya. Mereka rindu sekali keadaan seperti dahulu, namun seiring dengan perkembangan Kota Banjar akan terus terdapat perubahan dan lebih bersaing untuk mendapatkan pekerjaan. Ketidaksiapan mental mereka ditakutkan akan menjadi modal awal pasrah untuk mengahapi perubahan hidup yang dinamis.
32
33
TRANSFORMASI MENUJU KOTA BANJAR
Latar Belakang dan Proses Terbentuknya Kota Banjar
Menyandang status kota, Banjar tidak serta-merta langsung terbentuk. Terdapat alur dan proses yang cukup panjang untuk menaikan status Banjar menjadi kota. Berpegang pada regulasi dan dengan usaha yang sangat kuat dari warga Banjar sehingga berbagai macam tahapan untuk menjadikan Banjar menjadi kota dapat terselenggara. Rencana peningkatan status Banjar menjadi Kota/Kabupaten telah tersirat dalam kebijakan Pemerintah Kabupaten Ciamis tahun 1995/1996 dengan membuat evaluasi Rencana Induk Kota Banjar dalam bentuk Rencana Induk Kotif (RIK). RIK ini disusun dengan dua konsep pengembangan Kabupaten DT II Ciamis, salah satunya yaitu Kabupaten DT II Ciamis dan Kabupaten DT II Banjar yang diproyeksikan hingga tahun 2005. Selanjutnya, tidak hanya dengan adanya RIK tersebut, tetapi diperkuat dengan adanya peraturan, yaitu: Menurut UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Pasal 125: (1) Kotamadya Batam, Kabupaten Paniai, Kabupaten Simeulue, dan semua Kota Administratif dapat ditingkatkan menjadi Daerah Otonom dengan memperhatikan Pasal 5 undangundang ini. (2) Selambat-lambatnya dua tahun setelah ditetapkannya undang-undangini, Kotamadya, Kabupaten dan Kota Administratif sebagaimana disebut pada pasal (1), sudah harus berubah statusnya menjadi Kabupaten/Kota jika memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 5 undang-undang ini. (3)Kotamadya, Kabupaten dan Kota Administratif sebagaimana disebut pada pasal (1), dapat dihapus jika tidak memenuhi ketentuan untuk ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonom. Berdasarkan peraturan di atas tepat pada tanggal 7 Mei 2001 status kotif harus ada kejelasan apakah akan ditingkatkan statusnya atau dilebur kembali ke wilayah Kabupaten Ciamis. Hasil kajian Pansus DPRD saat itu akhirnya berujung pada diterbitkannya Surat Keputusan DPRD Ciamis No. 188.4/Kep/DPRD10/2001 tertanggal 9 Maret 2001 yang berisi persetujuan pengkajian Kotif Banjar untuk peningkatan status yang ditandatangi oleh ketua DPRD Ciamis, kemudian disusul dengan terbitnya surat No. 135/720-Pe, tertanggal 17 Mei 2001 yang ditandatangai oleh Bupati Ciamis mengajukan susulan peningktan status Kotif Banjar kepada Gubernur Jawa Barat dengan tembusan Mendagri dan Otda, Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat, dan Ketua DPRD Kabupaten Ciamis. Surat tersebut ditindaklanjut dengan dibentuknya Pansus DPRD Jabar untuk melakukan kajian terhadap Banjar yang diketuai oleh Rizal Fadillah dari Komisi A. Hasilnya tertanggal 14 Juni 2001 Gubernur Jawa Barat R Nuriana menandatangani surat bernomor 135/1502/Des serta surat keputusan DPRD Jawa Barat No. 135/Kep. DPRD-27/2001 yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Jawa Barat sama-sama menyatakan persetujuannya atas peningkatan status Kotif Banjar menjadi Kota Banjar (Sudrajat, Amiruddin, Kuswara 2013).
34
Selanjutnya warga Banjar membuat sebuah forum yang bernama FPSKB (Forum Peningkatan Status Kota Banjar), hal ini dikarenakan warga Banjar tidak ingin statusnya yang sudah menjadi kotif harus turun status mejadi Kota Kewadanaan/ Kecamatan. Keanggotaan dari forum ini berisikan beberapa pihak yang terkait, yaitu tokoh masyarakat yang mewakili masyarakat, alim ulama, kalangan pengusaha dan birokrat. Perjuangan untuk mendirikan Kota Banjar berlangsung selama kurang lebih 1,5 sampai dua tahun lamanya. Akhirnya, dukungan mengalir dari sejumlah elemen masyarakat dan partai politik, kendati ada pula sejumlah elemen masyarakat yang melakukan penolakan atas peningkatan status mejadi Kota Banjar. Hal tersebut tidak menjadi kendala berarti karena kerasnya perjuangan dari Presidium FPSKB melalui lobi politik baik secara personal atau kelembagaan yang ternyata mampu meyakinkan pemerintah pusat. Proses peningkatan status Banjar menjadi Kota nyaris tidak dapat tercipta. Jika pada saat itu salah satu tokoh yang paling berpengaruh, Herman Sutrisno tidak merelakan uang tabungannya dipinjam untuk proses pembuatan undangundang peningkatan status Kotif Banjar, maka keinginan tersebut hanya akan menjadi angan atau harus menunggu waktu lama. Pendanaan sebenarnya dibiayai oleh APBN, namun jika pada saat itu ingin menggunakan dana APBN harus menunggu sekitar 1 tahun lagi. Pada saat itu semua daerah yang akan ditingkatkan statusnya menjadi kota sepakat semua bahwa ikut membantu mendanai termasuk Banjar. Bupati Ciamis pada saat itu tidak sanggup untuk mendanai proses ini, hingga akhirnya berkonsultasi secara pribadi dengan bupati dengan syarat diminta ganti dari APBD Ciamis dan APBD Provinsi Jawa Barat. Pada akhirnya hari Selasa tanggal 12 November 2002 dalam sidang paripurna ke-12 DPR RI dengan agenda Pengesahan RUU Pemkot Banjar, sembilan fraksi di DPR RI menyetujui peningkatan status Banjar. Kemudian tertanggal 21 Februari 2003 Mendagri Hari Subarno meresmikan peningkatan status kotif menjadi Kota Banjar dengan UU No. 27 Tahun 2002 dan melantik Pjs. Walikota Banjar H.M Effendi Taufikurahman, yang dihadiri Gubernur Jawa Barat R Nuriana, Ketua DPRD Jawa Barat Eka Santosa, serta anggota DPR RI, Agun Gunanjar Sudarsa, Chozin Chumaidy, Endang Karman, kemudian Bupati Ciamis Oma Sasmita beserta sejumlah pejabat dan Muspida Kabupaten Ciamis (Sudrajat, Amiruddin, Kuswara 2013). Menurut paparan Bappeda Kota Banjar, sejarah Kota Banjar dapat dilihat pada gambar berikut: 1937-1940 Sebagai ibu Kota Kecamatan
1941-1992 Sebagai ibu Kota Kewedanaan
1992-2003 Sebagai ibu Kota Administratif
21 Februari 2003 Banjar menjadi kota (UU 27/2002)
Gambar 4 Sejarah Kota Banjar
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan
35
Penggabungan Daerah Pasal 3, daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut: a. Kemampuan daerah b. Potensi daerah c. Sosial budaya d. Sosial politik e. Jumlah penduduk f. Luas daerah g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Menurut Pasal 4 yaitu penjelasan Pasal 3 huruf a merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari produk domestik regional bruto (PDRB) dan penerimaan daerah sendiri. Selain itu, menurut Pasal 5, potensi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, merupakan cerminantersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadappenerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata dan ketenagakerjaan. Menurut penuturan mantan Sekjen FPSKB sekaligus sebagai anggota DPRD Kota Banjar Soedrajat Argadireja atau akrab disapa Ajat Doglo, pada awal pembentukan Kota Banjar tidak ada persiapan yang sungguh-sungguh matang, karena Banjar dibuat ”tidak mampu” oleh Ciamis dengan anggaran hanya diberikan 8 juta dalam 1 tahun. Sebagai contoh beberapa fasilitas yang dimiliki Banjar pada waktu itu banyak yang sudah tidak tertata dan kurang mendapat perhatian. Akhirnya hanya dengan modal dari potensi-potensi yang dimiliki Kota Banjar, yaitu letak geografis yang sangat strategis sebagai tempat transit sehingga bisa meningkatnya sektor perdagangan dan jasa sehingga saat ini APBD yang dimiliki Kota Banjar adalah kurang lebih 600 milyar per tahun. Sejalan dengan pendapat Soedrajat, menurut Sahudi selaku Kepala Bagian Administrasi Pembangunan Kota Banjar, selain beberapa potensi yang dimiliki oleh Kota Banjar karena adanya kenaikan status dari Kota kecamatan menjadi Kota Kewedanaan lanjut menjadi Kota Administratif dan akhirnya Banjar menjadi Kota, terdapat beberapa cabang kantor dinas di Banjar, antara lain dinas pendidikan, kejaksaan, dinas kesehatan, dinas pertanian dan lain-lain. Terdapatnya cabang kantor-kantor dinas yang ada di Banjar, memudahkan Banjar untuk semakin siap menjadi kota. Selain itu, bangunan-bangunan sekolah, sarana kesehatan seperti puskesmas, RSUD Kota Banjar, dan beberapa klinik pengobatan dilengkapi dengan tenaga medis, sarana transportasi dan komunikasi, seperti tersedianya akses jalan di tiap daerah, angkutan umum, ojek dan becak, kantor pos, radio dan tv serta koran atau majalah menjadi pelengkap modal dalam peningkatan status Banjar. Menurut Pasal 6, sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c merupakan cerminan yangberkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial budayamasyarakat yang dapat diukur dari tempat peribadatan, tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya dan sarana olah raga. Dilihat dari keadaan disana, sebelum Banjar meningkat status menjadi Kota telah memiliki beberapa tempat peribadatan, seperti mesjid, mushola, gereja dan
36
klenteng. Selain itu, wadah dari kegiatan sosial dan budaya dicirikan dengan adanya organisasi-organisasi masyarakat serta beberapa sarana olah raga, seperti lapangan sepak bola, lapangan tenis, lapangan voli dan lapangan golf . Menurut Pasal 7 dan Pasal 3 huruf d, kondisisosial politik masyarakat dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan organisasi kemasyarakatan. Seperti telah dijaskan sebelumnya, saat awal proses peningkatan status Banjar menjadi kota, terbentuklah sebuah forum yang bernama FPSKB (Forum Peningkatan Status Kota Banjar) yang diinisiasi oleh tokoh Soedrajat. Pembentukan forum ini dilatari oleh keinginan mayoritas warga Banjar yang tidak ingin status daerahnya yang notabene sudah menjadi kotif harus turun kembali menjadi kewedanaan/kecamatan. Keanggotaan forum ini berisikan beberapa pihak yang terkait, yaitu tokoh masyarakat, alim ulama, kalangan pengusaha dan birokrat. Selain itu, partisipasi politik tercermin pula dari partisipasi setiap adanya pemilu. Pasal 8 dan Pasal 3 huruf e parameternya menunjuk pada jumlahtertentu penduduk suatu daerah. Melihat peningkatan jumlah penduduk Banjar dari tahun ke tahun, menjadikan salah satu modal dalam pembentukan kota. Selain itu menurut Pasal 9 dan Pasal 3 huruf f, luas tertentu suatu daerah merupakan salah satu parameternya, dimana luas Banjar mencapai 131 97 km2, sehingga mendukung terselengaranya peningkatan status Banjar. Pasal 10 dan Pasal 3 huruf g, merupakanpertimbangan untuk terselenggaranya otonomi daerah yang dapat diukur dari keamanan dan ketertiban, ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan, rentang kendali, propinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari tiga kabupaten dan/atau kota, Kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari tiga kecamatan, kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari tiga kecamatan. Pada awal mulanya Banjar telah memiliki empat Kecamatan, yaitu Kecamatan Banjar, Kecamatan Purwaharja, Kecamatan Langensari dan Kecamatan Pataruman. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya oleh Sahudi, Kepala Bagian Administrasi Pembangunan Kota Banjar, selain beberapa potensi tertentu yang dimiliki oleh Kota Banjar, terdapat pula beberapa cabang kantor dinas, antara lain cabang dinas pendidikan, cabang kejaksaan, cabang dinas kesehatan, cabang dinas pertanian dan lain-lain, sehingga membuat Banjar semakin siap menjadi kota.
Tujuan Pembentukan Kota Banjar
Setiap adanya pembentukan kota tentu mempunyai tujuan tersendiri, begitu juga dengan pembentukan Kota Banjar. Menurut tokoh Soedrajat tujuan awal setelah Banjar menjadi kota adalah ingin dikembangkan menjadi Kota transit dan pusat perdagangan. Hal ini dikarenakan posisi Banjar berada dipersinggahan transportasi lalu lintas yang akan menuju ke Jawa Tengah dan Pangandaran (salah satu tujuan wisata terkenal di Jawa Barat). Selain itu, Banjar juga merupakan simpul bagi arus perdagangan dari sejumlah daerah lain, yang meliputi Kecamatan/Kota seperti Rancah, Majenang, dan Pamarican. Demikian penuturan
37
beliau yang disanggah oleh Sahudi dengan memperkuat argumen tujuan pembentukan Kota Banjar. Sebagaimana posisinya sebagai Kota Agropolitan di wilayah Priangan Timur, dimaksudkan dengan Kota Agropolitan yaitu berfungsi memberdayakan sentra-sentra produk pertanian dari wilayah sekitarnya. Fungsi ini seperti yang telah dijalankan oleh daerah yang memanfaatkan sentra pertanian sebagai salah satu unggulan dari daerah tersebut, seperti yang berlokasi di Lembang-Bandung dan Garut yang merupakan penghasil makanan olahan. Menurut Sahudi, Kabag Administrasi Pembangunan Kota Banjar, menyandang status barunya sebagai Kota Agropolitan, fungsi sebagai Kota transit dan perdagangan justru mendapatkan penguatan. Posisi Banjar tetap sebagai kota transit namun ditingkatkan menjadi Kota Agropolitan, yang artinya diharapkan Banjar kedepan sebagai pusat Agro, sebagai contoh terdapat toko alat-alat teknologi pertanian lengkap untuk pasarnya adalah Priangan Timur dan Jawa Tengah. Banjar bukan sebagai Kota Agraris, namun sebagai pengelolaan hasil alam dimana potensi sumberdaya alam tersebut boleh dari mana saja, tetapi pengelolaannya dan pemasarannya di Banjar. Bukan mengembangkan sawah, karena sudah cukup banyak sawah yang dikonversi. Lahan sawah yang dikonversi adalah sawah tadah hujan dan sawah teknik dipertahankan. Selama pembangunan menunjang kepada agropolitan, boleh dilakukan di atas lahan sawah teknis, seperti contoh beberapa lokasi sawah teknis yang berubah menjadi kolam ikan untuk melengkapi pembangunan rumah makan. Ikan yang berasal dari kolan tersebut dijual disana sehingga bisa mendukung agropolitan tersebut sebagai wisata kuliner. Pembangunan dalam kota menyebabkan adanya beberapa dampak yang ditimbulkan. Menurut Soedrajat, melihat fakta yang ada setelah Banjar berubah menjadi kota, Banjar akan berubah menjadi pusat jasa dan perdagangan. Hal ini dikarenakan sektor jasa dan perdagangan akan hidup lebih cepat karena Banjar sebagai transit menuju Jawa Tengah dan Pangandaran. Lanjutnya, konsekuensi yang harus diterima Banjar setelah menjadi kota adalah berkurangnya lahan pertanian karena adanya konversi menjadi non-pertanian, seperti kantor-kantor pemerintahan dan swasta, pembangunan perumahan dan lain-lain. Seiring dengan peningkatan status Banjar menjadi kota, menurut Yati selaku Kepala Bagian Ketahanan Pangan di Dinas Pertanian Kota Banjar, walaupun sekarang Banjar telah menjadi kota, kebutuhan pangan masih tetap tercukupi, serta walaupun lahan sawah berkurang namun produksi beras masih surplus, hal ini dikarenakan terdapat lahan sawah di daerah tidak dekat pusat kota masih dijaga untuk tidak dialihfingsikan menjadi non pertanian. Selain itu, telah dihimbau program diversivikasi pangan, serta program one day no rice setiap hari Rabu, akan tetapi, program ini belum berjalan dengan baik, karena pola pikir masyarakat yang masih sulit untuk dirubah apabila tidak makan nasi. Bila dilihat dan dibandingkan dengan Kabupaten Ciamis, Kota Banjar memiliki kelebihan tersendiri. Banjar merupakan Kota baru yang baru memasuki umur 11 tahun. Walaupun terbilang kota kecil namun jangan disangka keramaiannya melebihi Kabupeten Ciamis yang dahulu induk dari Kota Banjar. Hal ini terlihat pada keramaian Kota Banjar yang ramai bila malam hari di daerah alun-alun dan taman Kota yang baru-baru ini menjadi primadona Kota Banjar. Ciamis dan Banjar secara tersirat saling bersaing dalam hal pembangunan kota/kabupaten. Pada saat Banjar membangun taman kota yang sudah akfit
38
sebelum hari raya Idul Fitri kemarin, Ciamis pun pada saat yang bersamaan membangun taman kota yang mirip konsepnya dengan yang ada di Kota Banjar. Namun, bila dilihat dari keramaiannya, lebih ramai taman kota yang ada di Kota Banjar, karena terdapat macam-macam alat transportasi hiburan keluarga yang lebih menarik pengunjung. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Kota Banjar sebagai transit arus lalu lintas menuju Jawa Tengah dan Pengandaran. Sehingga bagi wisatawan yang akan menuju kesana lebih suka bila beristirahat di Kota Banjar. Seiring dengan berjalannya waktu dan perlahan tapi pasti Walikota Banjar terus berusaha mempercantik kota baru ini. Hal ini terlihat dari infrastruktur jalan raya yang semakin bagus dan bila ada kerusakan cepat tanggap dalam menanganinya. Bila melihat bagaimana kondisi di terminal Kota Banjar, terkenal dengan pusat jasa transportasi, hal ini terindikasi oleh banyaknya bis, seperti Budiman, Gapuraning Rahayu dan sebagainya. Banjar menjadi pusat tujuan atau sebagai transit dari kendaraan umum, seperti Banjar-Jakarta, Bandung-Jakarta, TasikYogyakarta, Karang Pucung-Jakarta dan lain-lain. Melihat perkembangan yang semakin pesat di Kota Banjar, mengharuskan adanya pihak yang menjadi korban atau tersisih. Hal ini diakui oleh Sahudi, Kabag Administrasi Pembangunan Kota Banjar bahwa ketika adanya pembangunan di suatu daerah maka memang akan ada dampak positif dan negatif yang terjadi. Seperti di Kota Banjar, untuk memenuhi kebutuhan penduduknya maka permintaan akan lahan pun menjadi semakin meningkat dan menyebabkan ikut tergerusnya lahan pertanian sehingga terjadi konversi lahan pertanian.
Ikhtisar Rencana peningkatan status Banjar menjadi kota ternyata telah tersirat dalam kebijakan Kabupaten Ciamis yang akan mengembangkan menjadi dua konsep, yaitu DT II Kabupten Ciamis dan DT II Kota Banjar. Selain itu, diperkuat dengan peraturan UU No. 22 Tahun 1999 tepat pada tanggal 7 Mei 2001 status kotif harus ada kejelasan apakah akan ditingkatkan statusnya atau dilebur kembali ke wilayah Kabupaten Ciamis. Kemudian tertanggal 21 Februari 2003 Mendagri Hari Subarno meresmikan peningkatan status kotif menjadi Kota Banjar dengan UU No. 27 Tahun 2002. Beberapa syarat yang telah dimiliki Banjar memudahkan dalam terselenggaranya pembangunan Kota Banjar, seperti kemampuan daerah, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah seperti minimal jumlah kecamatan yang dimiliki. Setelah Banjar berubah menjadi kota, Banjar akan berubah menjadi pusat jasa dan perdagangan. Hal ini dikarenakan sektor jasa dan perdagangan akan hidup lebih cepat karena Banjar sebagai transit menuju Jawa Tengah dan Pangandaran. Selanjutnya, konsekuensi yang harus diterima Banjar setelah menjadi kota adalah berkurangnya lahan pertanian karena adanya konversi menjadi non-pertanian, seperti kantor-kantor pemerintahan dan swasta, pembangunan perumahan dan lain-lain. Walaupun terbilang kota kecil namun jangan disangka keramaiannya melebihi Kabupetan Ciamis yang dahulu
39
induk dari Kota Banjar. Hal ini terlihat pada keramaian Kota Banjar yang ramai bila malam hari di daerah alun-alun dan taman kota yang baru-baru ini menjadi primadona Kota Banjar. Ciamis dan Banjar secara tersirat saling bersaing dalam hal pembangunan kota/kabupaten.
40
41
KOTA BANJAR DAN PENYUSUTAN LAHAN PERTANIAN
Konversi Lahan Pertanian
Tertanggal 12 November 2002 dalam sidang paripurna ke-12 DPR RI dengan agenda Pengesahan RUU Pemkot Banjar, kemudian tertanggal 21 Februari 2003 Mendagri Hari Subarno meresmikan peningkatan status kotif menjadi Kota Banjar dengan UU No. 27 Tahun 2002 dan melantik Pjs. Walikota Banjar H.M Effendi Taufikurahman. Sejak saat itu, Banjar mulai berdiri sendiri dan terpisah dari Kabupaten Ciamis. Walaupun umur Kota Banjar masih terbilang seperti bayi baru lahir, akan tetapi beberapa potensi yang menunjang terciptanya Kota Banjar bisa menjadi modal awal dalam menjalankan pemerintahannya. Sejak Banjar berdiri, kinerja Pjs Walikota Banjar pada saat itu belum terlihat perubahan yang terjadi pada Kota Banjar. Kemudian pada tahun 2003 berlangsung pemilihan Walikota Banjar dan terpilihlah Walikota Banjar yang pertama adalah tokoh Herman Sutrisno. Sejak terpilihnya menjadi Walikota Banjar, beliau terus melakukan pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang terselenggaranya fungsi Kota Banjar. Sebagai contoh, dilakukanlah perbaikan gedung walikota, perbaikan gedung-gedung dinas serta pembangunan-pembangunan lain seperti perumahan yang terjadi di beberapa lokasi yang memanfaatkan lahan, baik lahan pertanian maupun lahan kosong. Seiring dengan peningkatan status Banjar menjadi kota, terjadilah peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut menyebabkan kebutuhan akan lahan menjadi semakin meningkat, akan tetapi jumlah lahan yang ada bersifat tetap. Menurut Soetarto, guru besar Kajian Agraria IPB, konversi dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal. Konversi vertikal merupakan peralihan dari obyek-subyek agraria yang semula merupakan penguasaan individual menjadi obyek-subyek agraria di bawah kuasa koorporasi dan negara (institusional). Sedangkan konversi horizontal merupakan peralihan dari obyek-subyek agraria kuasa individual ke obyek-subyek agraria lainnya yang juga setara kuasa individual ( petani atau bukan petani)7. Objek agraria yang diteliti di lapangan adalah lahan pertanian (lahan sawah). Kota Banjar memiliki empat kecamatan, yaitu Kecamatan Banjar, Kecamatan Langensari, Kecamatan, Purwaharja dan Kecamatan Pataruman serta memiliki 22 desa atau kelurahan. Pusat ibukota kabutapen/kota berada di Kecamatan Banjar, sehingga lebih banyak pembangunan terjadi di pusat kota, dan sebagian kecil lainnya tersebar di berbagai desa/ kelurahan. Sebagaimana yang tercantum dalam RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) Kota Banjar, dimana BWK I (Bagian Wilayah Kota) merupakan core atau inti/pusat dari wilayah Kota Banjar, yang cakupannya meliputi wilayah Kelurahan Banjar, Kelurahan Mekarsari, Kelurahan Pataruman (sebagian besar), dan Kelurahan Binangun; dengan luas 2.644,10 ha dan jumlah prediksi penduduk tahun 2014 adalah 71.300 7
Hasil wawancara dengan Prof. Endriatmo Soetarto pada tanggal 2 Desember 2013.
42
jiwa. Tercantum dalam BWK ini meliputi kawasan yang diidentifikasikan sebagai “pusat kota” Kelurahan Mekarsari, di lingkup Kecamatan Banjar merupakan salah satu kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kota Banjar memiliki daya tarik yang relatif tinggi bagi para pengusaha/investor untuk menanamkan usahanya dalam berbagai sektor sehingga memerlukan ketersediaan lahan, yang sebagian harus mengkonversi lahan pertanian. Usaha tersebut antara lain meliputi bangunan perumahan (real estate), kampus universitas dan sarana pemerintahan yaitu bangunan DPRD Kota Banjar. Sebagai salah satu kawasan BWK I adalah kawasan yang dikenal dengan “pusat kota”, sehingga terdapat kawasan dan kegiatan fungsional, seperti pusat perbelanjaan, perkantoran (sebagian), pendidikan tinggi, perumahan dan sebagainya. Sebagai cacatan kelurahan ini hanya berjarak sekitar tiga km ke ibukota kabupaten/kota atau hanya membutuhkan waktu sekitar 0.2 jam jika menggunakan kendaraan bermotor. Menurut Data Potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari tahun 2012, luas lahan sawah sebesar 129 ha/m2, sedangkan tahun 2010 mencapai 132 ha/m2, telah terjadi pengurangan selama dua tahun terakhir. Di sisi lain jumlah luas permukiman menjadi semakin meningkat, tahun 2012 sebesar 131 ha/m2, sedangkan tahun 2010 hanya sebesar 128 ha/m2. Hal ini memberikan gambaran dari tahun ke tahun adanya pengurangan luas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi non-pertanian. Berikut Tabel 6 data luas lahan sawah menurut Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Banjar.
Tabel 6Luas lahan sawah Kelurahan Mekarsari Tahun 2008-2014 Tahun
Luas (ha/m2)
Persentase (%)
2008
132
14.4
2009
132
14.4
2010
132
14.4
2011
132
14.4
2012
129
14.1
2013
129
14.1
2014
129
14.1
Total
915
100
Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Kota Banjar
Terdapat empat lokasi lahan pertanian yang sudah beralihfungsi menjadi non-pertanian di Kelurahan Mekarsari, yaitu tiga lokasi di daerah Sumanding, lahan pertanian seluas kurang lebih 2.5 ha telah berubah menjadi Perumahan Royal Banjar Mansions, gedung STISIP ( Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) dan gedung baru DPRD Kota Banjar. Sedangkan di daerah Sukarame lahan pertanian yang telah beralih fungsi menjadi Perumahan Shappire adalah seluas kurang lebih 1.5 ha.
43
Faktor-faktor Konversi Lahan Pertanian
Sejalan dengan penemuan di lapangan, konversi lahan pertanian di kota Banjar dikarenakan adanya beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya konversi tersebut. Peningkatan status Banjar menjadi Kota menimbulkan berbagai pembangunan dalam melengkapi Kota Banjar yang terjadi berbagai daerah di Kota Banjar, termasuk konversi lahan pertanian yang terjadi Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Banjar. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Kelurahan Mekarsari hanya berjarak sekitar tiga km ke ibukota kabupaten/ kota atau hanya membutuhkan waktu sekitar 0.2 jam jika menggunakan kendaraan bermotor. Melihat jarak yang begitu dekat ke pusat kota serta potensi lahan pertanian yang masih banyak, menyebabkan daya tarik bagi para pengusaha/investor untuk mendirikan bangunan di daerah sana. Tidak hanya itu, penawaran dan permintaan akan lahan mengalami meningkatan akibat permintaan lahan untuk industri dan perumahan. Selanjutnya berkaitan dengan pergeseran struktural dalam perekonomian dan perkembangan pembangunan yang mendorong petani beralih profesi dan menjual aset lahan sawah yang dimilikinya. Hal ini yang terjadi di Kelurahan Mekarsari, dimana pemilik lahan menjual lahannya kepada pihak lain, karena lahan tersebut berada di daerah dekat pusat kota, maka banyak pihak yang menginginkannya berubah menjadi modal usaha. Hal ini menyebabkan terjadinya pembangunan, antara lain dua kawasan perumahan, universitas dan sarana pemerintahan yaitu bangunan DPRD Kota Banjar. Berkaitan dengan faktor di atas, faktor selanjutnya adalahberhubungan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi pada sektor industri, namun laju investasi industri belum diikuti dengan laju penetapan peraturan sebagai rujukan dalam mengendalikan konversi lahan petanian. Selain itu peraturan pemerintah yang memperbolehkan terjadinya pembangunan di lahan sawah tadah hujan membuat semakin maraknya fenomena konversi. Hal ini sebagaimana tercantum dalam RTRW Kota Banjar, yaitu perlu pula diantisipasi untuk jangka panjang sawah tadah hujan tersebut secara selektif akan beralihfungsi menjadi lahan terbangun, terutama yang berdekatan dengan kawasan budidaya perkotaan. Sehingga ini terlihat ketika investor menginventasikan modalnya pada pembangunan perumahan. Kebijakan pemerintah Kota Banjar yang berusaha mengundang investor untuk menunjang pembangunan Kota Banjar menjadi lebih berkembang.
Proses Konversi Lahan Pertanian secara Vertikal di Kelurahan Mekarsari
Seiring dengan peningkatan status Banjar menjadi kota, Walikota Banjar terus melakukan pembangunan untuk melengkapi terciptanya Kota Banjar. Proses perkembangannya dari tahun ke tahun pemerintah setempat terus semangat dalam mempercantik Kota Banjar ini. Perlahan tapi pasti saat ini Kota Banjar telah berbeda seperti waktu dulu. Perjalanan dalam proses pembangunan tersebut
44
membutuhkan area lahan yang tidak sedikit, sehingga lahan sawah pun menjadi kian tergerus oleh maraknya pembangunan. Seperti pembangunan perkantoran pemerintah, perumahan, infrastruktur dan sebagainya. Oleh karena itu telah terjadi konversi baik secara vertikal dan horizontal. Konversi lahan sawah kian terlihat di Kelurahan Mekarsari sekitar tahun 2010 atau 2011 sejak dibangunnya gedung baru DPRD Kota Banjar dan di tahun 2013 dibangun dua perumahan (real estate), yaitu Perumahan Shappire dan Perumahan Royal Banjar Mansions. Bangunan-bangunan tersebut berdiri di atas sebidang lahan sawah yang dijual oleh para pemiliknya, baik kepada pemerintah maupun perorangan. Empat lokasi lahan sawah yang telah dikonversi menjadi non-pertanian, tiga lokasi tersebut adalah gedung DPRD, dua perumahan (real estate, yaitu Perumahan Shappire dan Perumahan Royal Banjar Mansions. Ketiga bangunan tersebut berdiri di atas sebidang lahan sawah yang telah dijual oleh pemiliknya kepada pihak lain, yaitu kepada pemerintah Kota Banjar sebagai aset daerah untuk gedung DPRD Kota Banjar dan kepada pihak swasta untuk dibangun perumahan atau disebut dengan konversi vertikal. Konversi vertikal yang terjadi di Kelurahan Mekarsari berada pada tiga lokasi yang berbeda, berikut juga dengan latar belakang yang berbeda pula mengapa lahan tersebut dijual sehingga menyebabkan konversi. Lokasi selanjutnya adalah lahan sawah seluas kurang lebih 0.5 ha di daerah Sumanding yang telah dikonversi menjadi bangunan baru DPRD Kota Banjar yang dibangun sekitar tahun 2010/ 2011. Pemilik lahan ini yang sekarang telah meninggal dunia dan kemudian dijual oleh anaknya kepada pihak pemerintah untuk dibangun gedung DPRD. Sehingga lahan ini menjadi aset kepemilikan dari pemerintah Kota Banjar. Masih di daerah Sumanding, selain pembangunan DPRD Kota Banjar, terdapat pembangunan perumahan (real estate) yang bernama Perumahan Royal Banjar Mansions. Pembangunan perumahan ini memakan lahan sawah seluas kurang lebih 1.5 ha yang dimiliki oleh pemilik lahan yang akan mencalonkan diri menjadi caleg DPRD Kota Banjar dari salah satu partai. Menurut penuturan salah satu responden yang sangat dekat hubungannya dengan pemilik lahan, pada tahun 2013 kemudian sawah ini dijual kepada pihak lain yaitu salah satu pengembang yang akan menjadikan lokasi ini menjadi kawasan perumahan. Setelah dijual sawah ini tidak langsung dibangun, namun menunggu datangnya panen lalu setelah itu barulah pengembang tersebut memulai proyek pembangunan perumahan tersebut. Berpindah lokasi dari daerah Sumanding ke daerah Sukarame, terdapat pula pembangunan perumahan, yaitu Perumahan Shappire yang memakan lahan sawah seluas kurang lebih 1.5 ha. Konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian ini terjadi pada tahun 2013. Menurut penuturan dari penanggung jawab lahan tersebut, pada awalnya pemilik lahan pertama ini meninggal dan lahan tersebut dibagikan sebagai warisan kepada anak-anaknya. Setelah anaknya meninggal lahan tersebut menjadi hak istrinya yang bertempat tinggal di Jakarta kemudian dijual kepada pihak pengembang untuk dijadikan kawasan perumahan.
45
Proses Konversi Lahan Pertanian secara Horizontal di Kelurahan Mekarsari
Melihat dari empat lokasi konversi tersebut, satu lokasi lahan sawah telah berpindah kepemilikan kepada perorangan atau disebut dengan konversi horizontal. Proses dalam perpindahan kepemilikan lahan tersebut yang memicu awal mula terjadinya konversi. Konversi horizontal yang terjadi di Kelurahan Mekarsari berada di daerah Sumanding, dimana lahan sawah seluas kurang lebih 0.5 ha sekarang telah dibangun STISIP ( Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Hubungan antara pemilik lahan dengan penggarap di lahan yang saat ini telah dibangun STISIP adalah masih berstatus keluarga. Menurut penuturan responden ini, luasan sawah tersebut dimiliki oleh tiga orang8. Lahan yang pertama dijual oleh pemilik ketiga masih kepada salah satu keluarganya yang bekerja pada yayasan untuk dibangun STISIP. Konversi ini menyebabkan rumahtangga petani penggarap menjadi pihak yang dirugikan dan terhempas dari lahan garapannya, tanpa adanya kompensasi dalam penggantian mata pencaharian mereka. Berbagai pranata sosial atau kelembagaan sosial pun ikut hilang seiring dengan hilangnya lahan sawah tersebut. Seperti hilangnya hubungan antara pemilik lahan dan penggarap, sistem dan peraturan dalam pembayaran serta acara syukuran setelah panen tiba. Demikian telah terjadi dua arah konversi di wilayah tersebut baik horizontal maupun vertikal. Terjadi konversi horizontal, namun condong sebagai usaha spekulasi sebagai bahan obyek usaha spekulan tanah. Oleh karena setelah terjadi perpindahan lahan, pada akhirnya hendak dijadikan lokasi untuk pembangunan STISIP (konversi vertikal).
Ikhtisar
Seiring dengan peningkatan status Banjar menjadi kota, pembangunan pun semakin giat dilaksanakan diberbagai daerah dalam rangka untuk melengkapi terbentuknya Kota Banjar, termasuk di Kelurahan Mekarsari. Hal ini sejalan dengan RTRW Kota Banjar, dimana Kelurahan Mekarsari termasuk ke dalam wilayah BWK I (Bagian Wilayah Kota) yang menjadi kawasan “pusat kota”. Sehingga tidak dapat dipungkiri terjadi berbagai macam pembangunan dalam melengkapi kegiatan fungsional dan pada akhirnya terjadi konversi lahan pertanian. Terdapat faktor-faktor yang mendorong terjadinya koversi di Kelurahan Mekarsari, pertama permintaan dan penawaran akan lahan semakin meningkat sehingga menjadikan lahan pertanian ikut terkonversi menjadi bangunan, seperti gedung DPRD Kota Banjar, kampus STISIP, pembangunan dua perumahan real estate , yaitu Perumahan Shappiredan Perumahan Royal Banjar Mansions. Kedua, melihat letak Kelurahan Mekarsari berada pada wilayah BWK I yang menjadi “pusat kota”, maka semakin memicu terajdinya pembangunan di wilayah ini. Terakhir, kebijakan pemerintah setempat yang mengizinkan adanya 8
Pak Dadang, Bu Mumun dan Pak Yayat
46
pembangunan di lahan sawah tadah hujan membuat semakin maraknya konversi lahan pertanian. Hal ini sebagaimana tercantum dalam RTRW Kota Banjar, yaitu perlu pula diantisipasi untuk jangka panjang sawah tadah hujan tersebut secara selektif akan beralihfungsi menjadi lahan terbangun, terutama yang berdekatan dengan kawasan budidaya perkotaan. Terjadi konversi vertikal,dimana sawah terkonversi seluas kurang lebih 3.5 ha yang telah berubah menjadi bangunan DPRD Kota Banjar dan kawasan perumahan (real estate). Konversi ini diawali oleh peralihan objek subjek agraria yang berpindah kepemilikan yang awalnya adalah dikusai oleh individu kemudian dijual oleh pemilik awalnya kepada pihak pemerintah (DPRD) sehingga lahan tersebut menjadi aset pemerintah Kota Banjar. Tidak hanya itu, peralihan objek subjek agraria yang berpindah kepemilikan yang awalnya adalah dikusai oleh individu kemudian dijual oleh pemilik awalnya kepada pihak swasta (kawasan perumahan), sehingga saat ini lahan tersebut menjadi milik swasta. Telah terjadi dua arah konversi di wilayah tersebut baik horizontal maupun vertikal. Terjadi konversi vertikal pada 3 lokasi yang sekarang telah menjadi gedung DPRD Kota Banjar, Perumahan Shappiredan Perumahan Royal Banjar Mansions. Tidak hanya konversi vertikal, tetapi juga terjadi konversi horizontal, namun condong sebagai usaha spekulasi sebagai bahan obyek usaha spekulan tanah. Karena setelah terjadi perpindahan lahan, pada akhirnya hendak dijadikan lokasi untuk pembangunan STISIP (konversi vertikal).
47
PELUANG USAHA/ KERJA PASCA KONVERSI LAHAN PERTANIAN
Tersisihnya Peluang9 Usaha/ Kerja di Sektor Pertanian
Pertanian sangat penting dirasakan bagi mereka yang bermatapencaharian pada usaha tersebut. Terlebih jika usaha pada sektor pertanian menjadi mata pencaharain utama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Riwayat jalan cerita sebagai penggarap telah lama dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari, bahkan ada yang telah menjadi penggarap sejak zaman penjajahan Jepang dan baru berhenti ketika lahan tersebut dijual oleh pemiliknya. Usaha pada sektor pertanian bagi mereka memberikan keamanan tersendiri dalam kelangsungan hidupnya, ditambah dengan selalu ada persediaan beras dan bisa mencapai pada musim panen berikutnya. Pasca konversi lahan sawah yang telah terjadi di Kelurahan Mekarsari menyebabkan dampak bagi pihak yang tersisih yaitu rumahtangga petani penggarap dari mata pencahariannya. Perubahan pun terjadi tatkala pemilik lahan manjual lahannya kepada pihak lain untuk pergunakan di luar pertanian, yaitu sebagai bangunan. Awalnya, sulit bagi mereka untuk menerima kenyataan yang terjadi ketika harus melihat lahan garapannya berubah menjadi bangunan yang sudah tentu mereka tidak dapat lagi akses lahan tersebut. Kesedihan tidak dapat berlarut karena mereka harus segera mencari mata pencaharian pengganti untuk tetap mempertahankan hidup. Sulit bagi mereka saat ini ketika harus mencari lahan garapan pengganti karena semakin maraknya konversi yang terjadi. Selain itu, sulitnya akses terhadap pemilik lahan baru juga menjadi salah satu penghambat mendapatkan lahan garapan pengganti. Biasanya pemilik sawah telah memiliki penggarap yang sudah sejak lama menggarap lahannya, sehingga tidak mudah untuk mencari lahan garapan baru. Hamparan sawah yang masih tersisa cukup luas saat ini letaknya di luar tempat tinggalnya, yaitu di luar desa/ kelurahan bahkan di luar kecamatan. Sehingga cukup sulit bagi mereka yang tidak mendapatkan lahan pengganti ketika ingin menjadi penggarap lagi. Adapun luasan sawah yang masih terdapat di sekitar area tempat mereka adalah sisa atau bahkan bisa saja sebagai calon konversi pada beberapa tahun kedepan. Melihat keadaan di sana, dari sekian responden, hanya 10 orang atau sebesar 29 persen yang saat ini mendapatkan lahan garapan pengganti di tempat lain, namun dengan luasan lahan yang relatif menurun. Walaupun demikian, mereka tetap merasa bersyukur karena masih bisa menggarap kembali. Bagi rumahtangga petani penggarap yang saat ini tidak memiliki lahan garapan pengganti, mereka harus mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Di samping itu, kemampuan dan keahlian terbatas yang dimiliki oleh rumahtangga petani penggarap ini menyebabkan sulitnya bila harus kerja di luar pertanian. Bagi mereka yang berusia yang sudah tua merasa aman dan nyaman 9
Makna peluang dan kesempatan dalam penulisan ini adalah sama, namun digunakan secara bergantian
48
ketika usaha pada sektor pertanian, dan merasa sulit bersaing ketika harus mencari pekerjaan di luar pertanian. Mayoritas responden merasa kesempatan kerja pada sektor pertanian saat ini adalah sulit, karena semakin maraknya fenomena konversi lahan pertanian sehingga semakin tersisihnya peluang/ usaha kerja pada sektor pertanian.
Tumbuhnya Peluang Usaha/ Kerja di Sektor Non-Pertanian
Konversi lahan pertanian yang saat ini terjadi tidak hanya menyebabkan tersisihnya usaha/ kerja pada sektor pertanian, tetapi memicu tumbuhnya peluang usaha/ kerja pada sektor non-pertanian. Hal ini terjadi karena setelah hilangnya lahan garapan, mau tidak mau mereka harus mencari pekerjaan pengganti untuk tetap dapat mempertahankan hidupnya. Sehingga bekerja pada sektor nonpertanian pun menjadi pilihan saat ini. Tidak hanya bagi mereka yang sudah tidak memiliki lahan garapan, yang saat ini menjadi masih dapat menggarap juga ikut memanfaatkan peluang pada sektor non-pertanian. Bagi mereka yang memilih untuk bekerja pada dua sektor tersebut karena merasa saat ini kebutuhan menjadi semakin meningkat diiringi dengan naiknya harga-harga. Sehingga bila hanya mengandalkan dari pertanian saja merasa kurang mencukupi yang kemudian dibantu bekerja pada sektor non-pertanian. Sayangnya, peluang tersebut tidak dimanfaatkan oleh semua rumahtangga petani penggarap yang masih menggarap. Hal ini dikarenakan usia yang sudah tua dan merasa kurang mampu ketika harus bekerja lagi. Tumbuhnya peluang usaha/ kerja pada sektor non-pertanian seperti menjadi buruh bangunan, buruh cuci, berdagang dan sebagainya. Peluang tersebut menyebabkan perubahan pada pendapatan yang diperoleh oleh mereka saat ini. Pekerjaan pada sektor non-pertanian tersebut mayoritas dimiliki oleh responden yang dengan penghasilan yang tidak tetap setiap bulan. Peluang usaha/ kerja pada sektor non-pertanian saat ini sangat tergantung pada beberapa faktor, seperti adanya proyek pembangunan bagi buruh bangunan, pembeli bagi pedagang, penumpang bagi tukang becak dan sebagainya. Selain itu, peluang yang ada saat ini belum tentu terlihat untuk beberapa tahun yang akan datang, seperti buruh bangunan yang cukup menyerap tenaga kerja mereka khususnya bagi laki-laki. Jika proyek pembangunan saat ini telah selesai sulit dapat dibayangkan nasib mereka akan seperti apa. Ketika ingin mendapatkan kesempatan atau peluang untuk bekerja yang lebih baik tidaklah mudah bagi mereka yang memiliki kemampuan dan keahlian yang terbatas. Salah satu contoh anggota rumahtangga petani penggarap yang saat ini ikut bekerja pada salah satu sekolah menjadi tenaga pengajar dengan gaji yang lumayan tiap bulan sehingga dapat membantu ekonomi kelurganya. Lain halnya dengan mereka yang bekerja menjadi pedagang dan tukang becak. Penghasilan ditentukan oleh banyak sedikitnya pembeli dan penumpang. Tumbuhnya peluang usaha/ kerja pada sektor non-pertanian tidak diimbangi oleh kemampuan dan keahlian yang mereka miliki. Sehingga pemanfaatannya pun pada pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan responden.
49
Ikhtisar Usaha pada sektor pertanian bagi mereka memberikan keamanan tersendiri dalam kelangsungan hidupnya, ditambah dengan selalu ada persediaan beras dan bisa mencapai pada musim panen berikutnya. Pasca konversi lahan sawah yang telah terjadi di Kelurahan Mekarsari menyebabkan dampak bagi pihak yang tersisih yaitu rumahtangga petani penggarap dari mata pencahariannya. Sulit bagi mereka saat ini ketika harus mencari lahan garapan pengganti karena semakin maraknya konversi yang terjadi. Selain itu, sulitnya akses terhadap pemilik lahan baru juga menjadi salah satu penghambat mendapatkan lahan garapan pengganti. Hamparan sawah yang masih tersisa cukup luas saat ini letaknya di luar tempat tinggalnya. Adapun luasan sawah yang masih terdapat di sekitar area tempat mereka adalah sisa atau bahkan bisa saja sebagai calon konversi pada beberapa tahun kedepan. Melihat keadaan di sana, dari sekian responden, hanya sepuluh orang atau sebesar 29 persen yang saat ini mendapatkan lahan garapan pengganti di tempat lain, namun dengan luasan lahan yang relatif menurun. Di samping itu, kemampuan dan keahlian terbatas yang dimiliki oleh rumahtangga petani penggarap ini menyebabkan sulitnya bila harus kerja di luar pertanian. Mayoritas responden merasa kesempatan kerja pada sektor pertanian saat ini adalah sulit, karena semakin maraknya fenomena konversi lahan pertanian sehingga semekin tersisihnya peluang/ usaha kerja pada sektor pertanian. Konversi lahan pertanian yang saat ini terjadi tidak hanya menyebabkan tersisihnya usaha/ kerja pada sektor pertanian, tetapi memicu tumbuhnya peluang usaha/ kerja pada sektor nonpertanian. Tidak hanya bagi mereka yang sudah tidak memiliki lahan garapan, yang saat ini masih dapat menggarap juga ikut memanfaatkan peluang pada sektor non-pertanian. Sayangnya, peluang tersebut tidak dimanfaatkan oleh semua rumahtangga petani penggarap yang masih menggarap. Hal ini dikarenakan usia yang sudah tua dan merasa kurang mampu ketika harus bekerja lagi. Tumbuhnya peluang usaha/ kerja pada sektor non-pertanian seperti menjadi buruh bangunan, buruh cuci, berdagang dan sebagainya. Peluang tersebut menyebabkan perubahan pada pendapatan yang diperoleh oleh mereka saat ini. Pekerjaan pada sektor nonpertanian tersebut mayoritas dimiliki oleh responden yang dengan penghasilan yang tidak tetap setiap bulan. Tumbuhnya peluang usaha/ kerja pada sektor nonpertanian tidak diimbangi oleh kemampuan dan keahlian yang mereka miliki. Sehingga pemanfaatannya pun pada pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan responden.
50
51
DAMPAK TRANSFORMASI KOTA BANJAR TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PENGGARAP
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai dampak transfomasi Kota Banjar dilihat dari fenomena konversi lahan pertanian yang menyebabkan dampak yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap yang mempengaruhi terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari. Rumahtangga yang dimaksud adalah petani penggarap yang tersisih dari lahan garapannya, sehingga mempengaruhi pada kesejahteraan mereka. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan materiil dan moriil pada rumahtangga petani penggarap. Berikut uraian dari masing-masing tersebut.
Perubahan Penguasaan Lahan Garapan
Lahan garapan sangat penting bagi penggarap, karena dari lahan tersebut mereka dapat menyambung hidup. Keadaan itu berbeda pada saat ini, ketika pemilik lahan menjual lahannya untuk dijadikan bangunan sehingga petani penggarap mau tidak mau harus merelakan lahan garapannya. Berikut gambar grafik penguasaan lahan garapan rumahtangga petani penggarap. Tabel 7 Presentase tingkat penguasaan lahan garapan rumahtangga petani penggarap pra konversi dan pasca konversi Luas Lahan Garapan
Pra Konversi
Pasca Konversi
∑
%
∑
%
0 ha
0
0
25
71
0,01-,0,5 ha
35
10
29
Total 35 Sumber: Analisi Data Primer, 2014
100 100
35
100
Pada tabel 7 dapat dilihat bahwapasca konversi yang menguasasi lahan garapan berkisar 0.01-0.5 ha hanya tinggal 29 persen dengan catatan luas garapan yang relatif menurun dan sisanya 71 persen sudah tidak memiliki lahan garapan. Padahal pada pra konversi seluruh responden rumahtangga petani penggarap memiliki lahan garapan walaupun dengan luasan yang relatif beda. Faktor yang membuat adanya perbedaan tingkat penguasaan lahan adalah sulitnya mencari lahan yang masih dapat digarap, karena sudah banyak terjadi konversi sehingga harus mencari ke daerah yang masih banyak lahan sawah. Selain kesulitan tersebut, akses terhadap pemilik lahan lain serta kemampuan dalam mengelola lahan pertanian menjadi penunjang penurunan penguasaan lahan garapan.
52
Sebagian besar rumahtangga petani penggarap tidak mempunyai akses kepada pemilik lahan lain, sehingga setelah lahan garapannya terkonversi, mereka sudah tidak mempunyai lahan garapan pengganti. Selain itu, ketidakmampuan dalam mengelola lahan garapan karena faktor usia yang sudah tidak muda lagi memicu ketidakmampuan dalam mengelola lahan. Perasaan sedih yang mereka alami tidak dapat terus berkelanjutan, karena kehidupan yang semakin keras saat ini harus terus dihadapi.
Perubahan Kesempatan Kerja
Dampak konversi lahan pertanian juga terlihat pada kesempatan kerja yang dimiliki oleh rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari. Kesempatan kerja dilihat dari peluang kesempatan kerja responden pada sektor pertanian dan non-pertanian pasca konversi.
Tabel
8
Jumlah dan persentase rumahtangga petani penggarap menuruttingkatkesempatan kerja pra dan pasca konversi di Kelurahan Mekarsari Pra Konversi Pasca Konversi
Tingkat Kesempatan Kerja
Pertanian
Non-pertanian
Pertanian
Non-pertanian
∑
(%)
∑
(%)
∑
(%)
∑
(%)
Rendah
0
0
14
40
25
71
13
37
Tinggi
35
100
21
60
10
29
22
63
Total
35
100
35
100
35
100
35
100
Sumber: Analisis data primer, 2014
Tabel 8 menunjukkan perbandingan gambaran kesempatan kerja di sektor pertanian dan non–pertanian pada saat pra dan pasca konversi. Terlihat perbedaan jelas jika pada saat pra konversi semua responden menganggap kesempatan kerja pada sektor pertanian adalah tinggi dan hanya sebesar 40 persen yang menganggap kesempatan kerja pada sektor non-pertanian tinggi dan 60 persen menganggap kesempatan kerja di sektor non-pertanian rendah. Hal ini dikarenakan hanya beberapa responden saja yang saat itu bekerja pada sektor nonpertanian sebagai pekerjaan sampingan. Kondisi tersebut tidak berlaku untuk saat ini, dimana pasca konversi lahan pertanian, kesempatan kerja di sektor pertanian sebanyak 71 persen rumahtangga petani penggarap memiliki tingkat kesempatan kerja rendah dan 29 persen memiliki tingkat kesempatan kerja tinggi. Di samping itu, kesempatan kerja pada sektor non-pertanian sebanyak 14 persen memiliki tingkat kesempatan kerja rendah dan 86 persen memiliki tingkat kesempatan kerja tinggi. Bila dibandingkan hal yang dapat disimpulkan dari gambar tersebut adalah pada
53
kondisi pra konversi responden menganggap kesempatan kerja di sektor pertanian cukup tinggi sedangkan kesempatan kerja pada sektor non-pertanian saat itu rendah. Saat ini mereka menganggap mayoritas kesempatan kerja di sektor pertanian rendah dan kesempatan kerja di sektor non-pertanian tinggi. Hal ini terjadi karena saat ini mayoritas bekerja pada sektor non-pertanian, bagi yang masih menggarap juga bekerja pada sektor non-pertanian untuk menambah penghasilan rumahtangga. Kurangnya kesempatan kerja pada sektor pertanian saat ini dikarenakan sulitnya untuk mencari lahan garapan pengganti. Sehingga hanya beberapa rumahtangga petani penggarap saja yang saat ini masih memiliki lahan garapan. Sedangkan tingginya kesempatan kerja pada sektor non-pertanian pasca konversi disebabkan sulitnya mencari lahan garapan pengganti dan akhirnya mencari pekerjaan pengganti pada sektor non-pertanian. Bagi mereka yang memiliki kesempatan kerja tinggi pada sektor non-pertanian adalah rumahtangga petani penggarap yang memanfaatkan kesempatan yang ada. Adanya proyek pembangunan perumahan saat ini dapat menyerap tenaga kerja mereka seperti menjadi buruh bangunan, buruh cuci dan usaha/ berdagang. Bagi rumahtangga petani penggarap yang memiliki kesempatan kerja rendah pada non-pertanian adalah mereka yang masih menggarap di tempat lain dan kurang memiliki kemampuan serta kesempatan untuk beralih mata pencaharian. Di samping itu, faktor usia yang membuat beberapa responden sulit mencari mata pencaharian pengganti dan hanya mengandalkan uang kiriman dari anggota keluarga yang bekerja. Setelah terjadi konversi, mayoritas rumahtangga petani penggarap tersisih dari mata pencahariannya dan berusaha mencari mata pencaharian pengganti serta lebih memanfaatkan anggota rumahtangga untuk membantu mencari nafkah. Salah satu contoh responden yang sekarang sudah tidak lagi menggarap saat ini mengandalkan anaknya untuk bekerja, karena terbentur usia sehingga tidak mampu untuk mencari pekerjaan pada sektor nonpertanian yang memerlukan bebarapa keahlian dan modal. “Sekarang setelah lahan garapan jadi bangunan, saya sudah tidak lagi menggarap, usia sudah tau dan sering sakit. Padahal sudah sejak zaman Jepang saya jadi penggarap dan baru berhenti setelah sawah itu dibangun. Jadi mengandalkan uang kiriman dari anak yang sudah berkeluarga dan bekerja d luar Kota.” (SBR, 84 tahun, petani penggarap).
Perubahan Ragam Pekerjaan
Konversi lahan sawah di Kelurahan Mekarsari juga berdampak pada perubahan ragam pekerjaan rumahtangga petani penggarap. Perubahan ragam pekerjaan tersebut adalah perbedaan kesibukan atau kegiatan rumahtangga petani penggarap untuk mencari nafkah pasca konversi lahan pertanian. Mayoritas dari rumahtangga petani penggarap saat ini sudah tidak lagi menggarap, hanya
54
sebagian kecil yang masih menggarap namun dengan luas lahan pengganti yang lebih sempit dari sebelumnya, berikut tabel di bawah ini. Tabel 9Jumlah dan persentase rumahtangga petani penggarap menurut ragam kerja pra dan pasca konversi di Kelurahan Mekarsari Pra Konversi
Pasca Konversi
∑
(%)
∑
(%)
Rendah
0
0
6
17
2
Sedang
20
57
23
66
3
Tinggi
15
43
6
17
4
Total
35
100
35
100
No
Ragam Pekerjaan
1
Sumber: Analisis data primer, 2014
Terlihat pada tabel di atas kondisi pra konversi dimana ragam pekerjaanrumahtangga petani penggarap berada pada tingkat sedang 57 persen dan berada pada tingkat tinggi 43 persen. Dahulu semua mempunyai lahan garapan, namun yang membedakan adalah kepemilikan pekerjaan sampingan. Responden yang memiliki ragam pekerjaan sedang adalah mereka yang hanya menjadi penggarap, namun yang memiliki ragam pekerjaan tinggi adalah mereka yang selain menggarap juga memiliki pekerjaan sampingan pada sektor nonpertanian. Keadaan berubah pasca konversi, dimana rumahtangga petani penggarap yang tersisih dari lahan garapannya berusaha mencari mata pencaharian pengganti untuk dapat tetap mempertahankan hidupnya. Tabel 9 menunjukkan bahwa 17 persen rumahtangga petani penggarap mengalami perubahan ragam pekerjaan rendah, 66 persen mengalami perubahan ragam pekerjaan sedang dan 17 persen mengalami perubahan ragam pekerjaan yang tinggi. Melihat realita yang ada, bagi mereka yang termasuk kategori perubahan ragam pekerjaan rendah adalah rumahtangga petani penggarap yang pada kondisi pasca konversi sudah tidak lagi menggarap dan tidak mempunyai pekerjaan sampingan atau dengan kata lain tidak melakukan aktivitas dalam mencari nafkah. Keadaan ini disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam akses lahan garapan maupun pekerjaan pada sektor non-pertanian karena faktor usia dan minimnya keterampilan serta modal. Uang yang didapatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah mengandalkan anggota rumahtangga yang bekerja atau kiriman dari anggota rumahtangga. Kategori perubahan ragam pekerjaan sedang adalah rumahtangga petani penggarap yang pada kondisi pasca konversi masih menjadi penggarap atau beralih mata pencaharian menjadi non-pertanian atau yang masih menggarap dengan memiliki pekerjaan pada sektor non-pertanian. Melihat data tabel di atas, dari 66 persen yang mempunyai ragam pekerjaan sedang terdiri atas tiga persen yang masih menjadi penggarap, 54 persen yang beralih kerja pada sektor nonpertanian serta sembilan persen yang masih menjadi penggarap sekaligus bekerja pada sektor non-pertanian. Perbedaan ini terjadi karena hanya beberapa rumahtangga saja yang masih dapat akses kepada pemilik lahan lain, sehingga
55
mendapat lahan garapan pengganti. Selain itu, bagi mereka yang tidak memiliki akses tersebut, berusaha mencari mata pencaharian lain pada sektor non-pertanian untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup rumahtangganya, antara lain menjadi buruh bangunan, buruh cuci, usaha/ berdagang dan menjadi tukang becak. Dikategorikan sedang karena tidak begitu banyak ragam pekerjaan yang dilakukan oleh rumahtangga petani penggarap dan hanya beberapa melibatkan anggota rumahtangga. Salah satu faktor yang menyebabkan tidak begitu banyak melibatkan anggota keluarga adalah ketidakmampuan mereka dalam mencari pekerjaan atau hanya melibatkan anggota rumahtangga yang benar-benar mampu untuk membantu dalam mencari nafkah. “Dulu hanya saya yang bekerja menjadi penggarap, karena lahan sudah dibangun dan tidak ada garapan lagi, sekarang saya usaha kayu atau meubel tapi penghasilannya pun tidak tentu, tergantung pada pesanan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup terpaksa istri harus ikut bekerja di luar Kota, dan saya yang menjaga anakanak”. (YSY, 37 tahun, petani penggarap) Kategori perubahan ragam pekerjaan tinggi adalah rumahtangga petani penggarap pada kondisi pasca konversi masih menjadi penggarap ditambah memiliki pekerjaan sektor non-pertanian atau yang bekerja pada sektor nonperranian dengan memiliki pekerjaan sampingan. Melihat dari total 35 responden rumahtangga petani penggarap, hanya 17 persen yang memiliki ragam pekerjaan tinggi. Hal ini menandakan bahwa, untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya mereka harus bekerja lebih banyak sehingga curahan waktu kerjanya pun menjadi meningkat. Selain itu, dengan melibatkan anggota rumahtangga dalam rangka membantu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Latar belakang rumahtangga penggarap mencurahkan alokasi waktu dan tenaga lebih banyak adalah ingin mendapatkan pendapatan dan kondisi yang minimal sama seperti dulu dan berharap bisa lebih baik dari kondisi pra konversi. “Kalau dulu dari hasil menggarap berupa beras bisa sampai dijual karena saking banyaknya persediaan beras, tetapi walaupun sekarang masih manggarap dengan luas garapan yang berkurang lebih mementingkan untuk disimpan dan dimakan oleh keluarga saja. Selain menggarap sawah, sekarang saya jualan lengko dan anak sulung alhamdulillah bisa membantu bekerja di sekolah.”(ARS, 48 tahun, petani penggarap) Melihat kondisi yang terjadi, rumahtangga petani penggarap harus segara mencari mata pencaharian pengganti untuk tetap melanjutkan hidup. Setelah konversi terjadi, mayoritas responden membutuhkan waktu kurang lebih dua tahun untuk mencapai masa stabil dan beradaptasi dengan mata pencaharian baru serta dengan keadaan kehidupan yang baru pula. Hal ini terjadi karena, ketika tersisih dari lahan garapannya tidak mudah bagi mereka untuk merubah kondisi kehidupan dan menyesuaikan dengan berbagai macam perubahan yang terjadi saat ini, dimana Banjar telah menjadi kota dan akan semakin banyak perubahanperubahan yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Sehingga untuk
56
mencukupi kebutuhan hidup, harus mampu bertahan hidup dan bersaing dengan sumberdaya manusia lain untuk mendapatkan nafkah. Oleh karena itu, mata pencaharian pada sektor non-pertanian pun menjadi pilihan. Selain itu, rata-rata responden menggunakan pola nafkah ganda dan memanfaatkan tenaga kerja anggota rumahtangga untuk membantu mencari nafkah. “Setelah tidak lagi menggarap, sekarang saya jadi buruh cuci harian di perumahan yang dulu lahan garapan saya. Alhamdulillah upah per harinya cukup besar Rp 40.000 tapi kalau dari hasil dagang kalau dihitung-hitung ga ada untungnya, malah rugi atau sama aja”.( HNI, 49 tahun, petani penggarap)
Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Materiil
Transformasi Kota Banjar menimbulkan proses pembangunan yang terjadi di dalam kota ini. Proses pembangunan tersebut membutuhkan lahan dan telah memakan lahan pertanian di berbagai wilayah di Kota Banjar, terlebih pada daerah dekat pusat kota. Lahan pertanian yang ikut tergerus seiring dengan perkembangan Kota Banjar kian marak terlihat, seperti yang terjadi di Kelurahan Mekarsari. Lahan sawah telah berubah menjadi bangunan-bangunan baru yang telah menyingkirkan pihak yang memiliki mata pencaharian pada lahan garapannya, yaitu petani penggarap. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pasca konversi lahan sawah, terjadi perubahan yang dialami oleh rumahtangga petani penggarap, baik pada penguasaan lahan garapan, kesempatan kerja dan perubahan ragam pekerjaan. Dampak yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap adalah mayoritas negatif, akan tetapi tidak berhubungan dengan tingkat kesejahteraan materiil, yang mengahasilkan tingkat kesejahteraan materiil mereka saat ini relatif tinggi. Namun, sebelum penghitungan dilakukan, dibuat tabel tabulasi silang untuk melihat korelasi kedua variabel tersebut. Tabel tabulasi silang dapat dilihat dalam tabel 10. Tabel10 Dampak konversi lahan pertanian menurut tingkat kesejahteraan materiil Tingkat Tingkat Kesejahteraan Materiil Dampak Rendah Sedang Tinggi Konversi Lahan Pertanian ∑ (%) ∑ (%) ∑ (%)
Total ∑
(%)
Rendah
-
-
-
-
-
-
-
-
Sedang
-
-
4
11
6
17
10
29
Negatif
-
-
6
17
19
55
25
71
Total
-
-
10
28
25
100
35
100
Sumber: Analisi data primer, 2014
57
Tabel tabulasi silang antara kedua variabel menunjukkan bahwa mayoritas responden berada pada dampak konversi negatif dengan tingkat kesejahteraan materiil tinggi. Selanjutnya berada pada dampak konversi negatif dengan tingkat kesejahteraan materiil sedang. Tidak terdapat responden pada dampak konversi rendah maupun tingkat kesejahteraan rendah. Hal ini membuktikan bahwa tidak terdapat korelasi antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil rumahtangga petani penggarap. Pada tabel juga terlihat dampak konversi sedang dengan tingkat kesejahteraan materiil tinggi dan dampak konversi sedang dengan tingkat kesejahteraan materiil sedang. Hal ini terjadi karena, bila dilihat saat ini dari segi pendapatan pertanian memang relatif menurun karena telah banyak terjadi konversi, tetapi diganti dengan peningkatan pada pendapatan di sektor non-pertanian. Tingginya pendapatan tersebut dikarenakan rumahtangga petani penggarap mendapatkan pekerjaan pengganti pada sektor non-pertanian dengan penghasilan yang tidak menghasilkan gaji yang tetap. Seperti menjadi buruh bangunan, buruh cuci, berdagang dan tukang becak bergantung pada proyek, pembeli, penumpang dan faktor kesehatan yang sangat penting untuk dapat mengerjakan kegiatan seharihari. Seiring dengan peningkatan status Banjar menjadi kota, fenomena konversi telah melanda Kota Banjar di beberapa daerah. Hal ini terjadi dalam rangka untuk melengkapi pembangunan Kota Banjar di berbagai sektor. Selain itu, karena peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal menjadi semakin meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan lahan untuk membangun berbagai keperluan tersebut. Antara lain pembangunan gedung DPRD Kota Banjar, pembangunan kampus STISIP dan pembangunan kawasan dua perumahan (real estate). Setalah Kota Banjar berdiri, Walikota Banjar sangat memperhatikan kesehatan dan pendidikan masyarakatnya. Sehingga, untuk dapat memudahan akses kesehatan dan pendidikan untuk kalangan masyarakat yang kurang mampu, digencarkan program Jamkesmas atau Jaminan Kesehatan Masyarakat dan program bantuan sekolah, yaitu BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Adanya bantuan program Jamkesmas tersebut biaya kesehatan menjadi ringan dan sangat membantu masyarakat yang kurang mampu, termasuk rumahtangga petani penggarap ketika ada anggota rumahtangganya yang sakit dan akan berobat ke puskemas atau ke rumah sakit terdekat. Sehingga, setalah Banjar menjadi kota dan terjadi konversi lahan pertanian tidak berpengaruh terhadap akses kesehatan mereka. Adanya program bantuan sekolah, seperti BOS sangat meringankan beban rumahtangga petani penggarap untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya. Sehingga, program dana bantuan sekolah sangat membantu warga yang khususnya kurang mampu agar dapat menyekolahkan anak-anaknya, termasuk kepada rumahtangga petani penggarap. Walaupun mereka rata-rata tamatan sekolah dasar, tetapi berusaha untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya sampai semampu mereka. Hal ini didasarkan karena ketidakmampuannya jika menurunkan harta benda, sehingga mereka ingin anak-anaknya sekolah agar bisa hidup lebih baik. .
58
Melihat kepemilikan aset mereka saat ini, setelah terjadi konversi relatif tidak perubahan. Hal ini terlihat pada kondisi tempat tinggal mereka yang tetap namun adanya perbedaan kualitas tempat tinggal pada rumahtangga petani penggarap. Jika dilihat pada kepemilikan barang-barang berharga, relatif tidak banyak perubahan, cenderung tetap. Sehingga, setelah terjadi konversi lahan pertanian tidak terjadi perubahan dalam tingkat kepemilikan aset rumahtangga petani penggarap. Pada tingkat konsumsi pangan, setalah terjadi konversi ada yang mengalami penurunan atau bahkan masih dalam kondisi tetap atau sama dengan tingkat konsusmi sebelumnya. Hal ini dipengaruhi juga dari besarnya pendapatan dan mata pencaharian pengganti setelah terjadinya konversi lahan pertanian yang berdampak pada kemampuan daya beli mereka, sehingga tidak ada perubahan yang signifikan. Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa hipotesis ditolak, yaitu tidak ada hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dan tingkat kesejahteraan materiil. Hasil korelasi yang dapat dilihat dari tabulasi silang di atas sejalan dengan hasil korelasi uji statistik Rank Spearman pada spss (lampiran 5), nilai korelasi antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil menunjukkan angka sebesar 0.160 dengan nilai α = 0.05, angka ini menunjukkan korelasi yang sangat lemah. Hal tersebut disebabkan karena nilai hitung berada pada kategori lebih dari 0-0.25. Menurut Sarwono (2009) jika nilai hitung berada pada kategori lebih dari 0-0.25 maka korelasi antar variabel sangat lemah. Korelasi tersebut merupakan korelasi searah dengan ditunjukan oleh nilai hitung yang positif. Searah memiliki makna bahwa jika variabel A rendah, maka variabel B juga rendah, begitupun sebaliknya. Selanjutnya mengenai masalah signifikansi korelasi antar variabel, variabel dampak konversi dengan tingkat kesejahteraan materiil dikatakan tidak signifikan. Hal ini tersebut diperlihatkan dengan nilai signifikan sebesar 0.359 yang berarti lebih dari 0.05. Nilai 0.05 didapat karena tingkat ketepatan sebesar 95 persen yang berarti kesalahan pengambilan sampel sebesar 5 persen atau 0.05. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa variabel dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil memiliki korelasi yang sangat lemah, searah, dan tidak signifikan. Demikian hipotesis penelitian untuk metode kuantitatif ditolak, semakin negatif dampak konversi lahan pertanian, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan materiil, dengan kata laintidak terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil rumahtangga petani penggarap.
Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Moriil
Dampak konversi lahan pertanian tidak hanya berhubungan dengan tingkat kesejahteraan materiil, tetapi juga berhubungan dengan tingkat kesejahteraan moriil rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari. Tingkat kesejahteraan moriil yang diukur adalah bagaimana hubungan antar warga rumahtangga petani penggarap dan keamanan bekerja pasca konversi.
59
Tabel11 Dampak konversi lahan pertanian menurut tingkat kesejahteraan moriil Tingkat Dampak Konversi Lahan Pertanian
Tingkat Kesejahteraan Moriil ∑
(%)
∑
(%)
∑
(%)
∑
(%)
Rendah
-
-
-
-
-
-
-
-
Sedang
-
-
-
-
10
29
10
29
Negatif
-
-
22
63
3
9
25
71
Total
-
-
22
63
13
38
35
100
Rendah
Sedang
Total
Tinggi
Sumber: Analisi data primer, 2014
Tabel tabulasi silang antara dua variabel tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden berada pada dampak konversi negatif dengan tingkat kesejahteraan morill sedang dan dampak konversi sedang dengan tingkat kesejahteraan moriil tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara dampak koversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan moriil. Pada tabel juga terdapat responden berada pada dampak konversi negatif dengan tingkat kesejahteraan maoriil tinggi dan tidak terdapat responden pada dampak konversi sedang dengan tingkat kesejahteraan sedang. Perubahan kesejahteraan moriil yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap dikarenakan setalah terjadi konversi terdapat perubahan pada tingkat penguasaan lahan garapan, tingkat kesempatan kerja dan perubahan ragam pekerjaan, sehingga ketika semua aspek tersebut berubah berdampak pada tingkat kesejahteraan materiil begitu juga moriil yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap. Kondisi saat ini yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap adalah ketika sudah tidak lagi menggarap, kesempatan kerja yang berkurang pada sektor pertanian namun terjadi peningkatan pada sektor non-pertanian dengan perubahan ragam pekerjaan yang beragam untuk mengatasi kondisi rumahtangga. Hal ini berakibat pada penurunan kualitas kesejahteraan moriil yang dirasakan rumahtangga petani penggarap. Walaupun kesejahteraan materiil mereka relatif tinggi, tetapi tidak diikuti dengan kesejahteraan moriil. Perubahan pada hubungan antar warga rumahtangga petani penggarap dilihat dari area usaha mereka saat ini, mereka yang saat ini masih menggarap di tempat lain yang saling berdekatan dan yang bekerja di non-pertanian dengan lokasi kerja masih di sekitar tempat tinggalnya, memiliki hubungan yang baik sehingga masih bisa lebih banyak berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain. Sehingga bagi mereka yang tersisih, berkaitan dengan relasi dan kualitas hubungan yang terbangun, relasi yang tinggi menuntut untuk menjaga dan merawat hubungan dengan baik, serasi dan selaras. Rumahtangga petani penggarap yang bekerja di sektor non-pertanian dengan area usaha di luar tempat tinggalnya, lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja, oleh karena itu interaksi dan komunikasi dengan warga tidak begitu intens. Demikian akan menurunkan relasi dengan warga kampunya yang otomatis menurunkan kualitas dalam hubungan mereka.
60
“Sekarang setelah tidak menggarap lagi, saya kerja jadi buruh bangunan di tempat lain dan istri bagian jaga warung, Jadi kalau sudah pulang kerja saya langsung istirahat, ngobrol dengan tetangga tidak sesering dulu, karena seharian cape kerja.” (EOY, 55 tahun, petani penggarap) Bukan hanya pada bagaimana kualitas dari hubungan antar warga, konversi juga menurunkan keamanan bekerja bagi rumahtangga petani penggarap yang tersisih dari lahan garapannya. Mayoritas responden merasakan tidak aman dengan pekerjaan yang sekarang dilakukan. Hal ini dikarenakan pekerjaan pada sektor non-pertanian saat ini tidak mengahsilkan gaji tetap. Timbul kekhawatiran dari diri mereka tatkala suatu saat pekerjaan itu hilang, bagaimana nasib mereka untuk menyambung hidup yang semakin keras. Seyogyanya, mereka yang bekerja pada kedua sektor haruslah mempunyai keamanan bekerja yang cukup, tetapi tidak demikian mereka rasakan, karena tergantung dari banyak tidaknya jumlah tanggungan serta pekerjaa pada non-pertanian yang tidak menentu. “Sekarang merasa tidak seperti dulu ketika masih menggarap. Ketika musin panen tiba, membawa beras sebagai upah dari menggarap laha. Sekarang, hanya mengandalkan berdagang yang tidak dan penghasilan anaknya yang sudah bekerja, serta beras yang biasanya tersedia dari hasil garapannya sekarang terpaksa harus membeli.” (OPH, 55 tahun, petani penggarap) “Memang sekarang saya masih menggarap dan tambah si bapak jualan lengko buat nambah-nambah uang, tapi tetep aja saya ngerasa kurang aman dengan pekerjaan yang sekarang, dari hasil jualan lengko ga tentu.” (RKY, 54 tahun, penggarap) Hasil korelasi yang dapat dilihat dari tabulasi silang di atas sejalan dengan hasil korelasi uji statistik Rank Spearman pada spss (lampiran 5), nilai korelasi antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil menunjukkan angka sebesar -0.742 dengan nilai α = 0.01, angka ini menunjukkan korelasi kuat. Hal tersebut disebabkan karena nilai hitung berada pada kategori lebih dari 0.5-0.75. Menurut Sarwono (2009) jika nilai hitung berada pada kategori lebih dari 0.5-0.75 maka korelasi antar variabel kuat. Korelasi tersebut merupakan korelasi tidak searah dengan ditunjukan oleh nilai hitung yang negatif. Tidak searah memiliki makna bahwa jika variabel A rendah, maka variabel B juga tinggi, begitupun sebaliknya. Selanjutnya mengenai masalah signifikansi korelasi antar variabel, variabel dampak konversi dengan tingkat kesejahteraan moriil dikatakan signifikan. Hal ini tersebut perlihatkan dengan nilai dignifikan sebesar 0.000 yang berarti kurang dari 0.01. Nilai 0.01 didapat karena tingkat ketepatan sebesar 99 persen yang berarti kesalahan pengambilan sampel sebesar 1 persen atau 0.01. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa variabel dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan moriil memiliki korelasi yang kuat, tidak searah, dan signifikan. Demikian hipotesis penelitian untuk metode kuantitatif diterima, semakin negatif dampak konversi lahan pertanian,
61
maka semakin rendah tingkat kesejahteraan materiil, dengan kata lain terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan moriil rumahtangga petani penggarap.
Perubahan Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap Pasca Konversi Lahan Pertanian
Perubahan kesejahteraan rumahtangga petani penggarap dilihat dari bagaimana kondisi pada saat kesejahteraan materiil dan moriil pra konversi yang dibandingkan dengan saat ini yaitu pasca konversi lahan pertanian. Tingkat kesejahteraan materiil ini diukur berdasarkan 5 dimensi, yaitu tingkat pendapatan, tingkat kepemilikan aset, tingkat akses pendidikan, tingkat akses kesehatan dan tingkat konsumsi pangan. Melihat perubahan kesejahteraan juga dipakai uji statistik yaitu uji t (lampiran 6). Pada uji t ini sebelum melakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu harus ditentukan hipotesisnya. Adapun hipotesis dalam kasus ini adalah : H0: Tidak terdapat perubahan kesejahteraan materiil pra dan pasca konversi H1: Terdapat perubahan kesejahteraan materiil pra dan pasca konversi Bila melihat hasil perhitungan dengan menggunakan uji t, rata-rata penilaian responden terhadap tingkat kesejahteraan materiil pra konversi adalah 99.51, sedangkan pada kondisi pasca konversi adalah sebesar 102.83, terjadi peningkatan sebesar -3.32. Angka tersebut menunjukkan adanya perbedaan ratarata penilaian tingkat kesejahteraan materiil pradan pasca konversi. Nilai signifikansi yang diperoleh untuk perubahan sikap responden tersebut dengan selang kepercayaan α sebesar 0.05 ialah 0.000. Hasil tersebut lebih kecil dari pada α 0.05 atau tolak H0 sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perubahan yang nyata dari kesejahteraan materiil pra dan pasca konversi lahan pertanian. Hal ini diperkuat dengan nilai t hitung dari tabel sebesar -5.569 dan t tabel adalah 2.03224. Artinya rata-rata penilaian antara tingkat kesejahteraan materiil pra dan pasca konversi tidak sama. Perubahan tingkat kesejahteraan materiil yang dirasakan oleh responden adalah karena walaupun saat ini mereka mayoritas sudah tidak lagi menggarap tetapi berhasil memanfaatkan peluang pada dari tumbuhnya kerja pada sektor nonpertanian, sehingga membuat pendapatan mereka menjadi meningkat. Selain itu, dengan adanya program Walikota Banjar, yaitu BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dalam hal akses pendidikan dan Jamkesmas pada kemudahan akses kesehatan, sehingga mereka merasa lebih terlindungi pada kesejahteraan materiil. Tingkat kesejahteraan moriil ini diukur berdasarkan 2 dimensi, yaitu hubungan antar warga dan keamanan bekerja. Melihat perubahan kesejahteraan moriil juga dipakai uji statistik yaitu uji t (lampiran 6). Pada uji t ini sebelum melakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu harus ditentukan hipotesisnya. Adapun hipotesis dalam kasus ini adalah :
62
H0: Tidak terdapat perubahan kesejahteraan moriil pra dan pasca konversi H1: Terdapat perubahan kesejahteraan moriil pra dan pasca konversi Bila melihat hasil perhitungan dengan menggunakan uji t, rata-rata penilaian responden terhadap tingkat kesejahteraan materiil pra konversi adalah 28.8, sedangkan pada kondisi pasca konversi adalah sebesar 16.97, terjadi peningkatan sebesar 11.89. Angka tersebut menunjukkan adanya perbedaan ratarata penilaian tingkat kesejahteraan moriil pra dan pasca konversi. Nilai signifikansi yang diperoleh untuk perubahan sikap responden tersebut dengan selang kepercayaan α sebesar 0.05 ialah 0.000. Hasil tersebut lebih kecil dari pada α 0.05 atau tolak H0 sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perubahan yang nyata dari kesejahteraan moriil pra dan pasca konversi lahan pertanian. Hal ini diperkuat dengan nilai t hitung dari tabel sebesar 16.645 dan t tabel adalah 2.03224. Artinya rata-rata penilaian antara tingkat kesejahteraan moriil pra dan pasca konversi tidak sama. Perbedaan kondisi kesejahteraan moriil pra dan pasca konversi adalah karena saat ini pekerjaan yang responden lakukan mayoritas bersifat sementara dengan penghasilan yang tidak tetap sehingga menyebabkan penurunan dalam hal rasa keamanan bekerja. Tidak hanya itu, penurunan kesejahteraan moriil dikarenakan saat ini area lokasi kerja mereka tidak lagi berdekatan, sehingga menyebabkan penurunan pada hal hubungan antar mereka yang secara otomatis menurunkan kualitas dalam relasi sosial antar mereka. Walaupun tingkat kesejahteraan responden saat ini adalah meningkat, akan tetapi tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan moriil mereka yang pada kenyataannya adalah menurun. . Ikhtisar
Peningkatan status Banjar atau transfomasi Kota Banjar membuat pembangunan semakin digencarkan untuk melengkapi terselangaranya Kota Banjar. Seiring dengan berjalannya waktu, terjadi peningkatan jumlah penduduk, sehingga menyebabkan kebutuhan akan lahan menjadi semakin meningkat. Oleh karena pembangunan di atas lahan pertanian semakin tidak terhindarkan, sehingga terjadi konversi lahan pertanian. Dampak yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap adalah mayoritas negatif, akan tetapi tidak berhubungan dengan tingkat kesejahteraan materiil. Ini berarti bahwa, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil. Hal ini terjadi karena walaupun dampak negatif yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap, tetapi tingkat kesejahteraan materiil tidak menurun, bahkan cenderung meningkat. Hal ini ditunjang dengan beberapa aspek yang mendukung peningkatan kesejahteraal meteriil setelah Banjar menjadi kota. Melihat hasil perhitungan statistik, terdapat hubungan yang kuat, signifikan dan tidak searah antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan moriil. Artinya, semakin negatif dampak konversi lahan pertanian maka semakin rendah tingkat kesejahteraan moriil rumahtangga petani penggarap. Ketika sudah tidak lagi menggarap, kesempatan kerja yang berkurang pada sektor pertanian dan menjadi meningkat pada sektor non-pertanian serta
63
perubahan ragam pekerjaan yang meningkat untuk mengatasi kondisi rumahtangga, berakibat pada penurunan kualitas kesejahteraan moriil yang dirasakan rumahtangga petani penggarap. Walaupun kesejahteraan materiil mereka relatif tinggi, tetapi tidak diikuti dengan kesejahteraan moriil. Bila melihat hasil perhitungan dengan menggunakan Uji T pada spss, dapat disimpulkan terdapat perubahan kenaikan pada kesejahteraan materiil dan penurunan pada kesejahteraan moriil rumahtangg petani penggarap. Hal ini terlihat pada perubahan rata-rata nilai dari hasil perhitungan uji statistik tersebut.
64
65
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dijabarkan seluruhnya dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan ini menjawab masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada pendahuluan serra menjelaskan pengujian hipotesis yang telah disusun sebelumnya. Berdasarkan tujuan dan masalah penelitian yang telah disusun, maka terdapat tiga kesimpulan untuk menjawab hal tersebut, yaitu pertama, latar belakang terbentuknya Kota Banjar didasari oleh adanya rencana peningkatan status Banjar menjadi kota/ Kabupaten ternyata telah tersirat dalam kebijakan Pemerintah Kabupaten Ciamis dalam bentuk Rencana Induk Kotif (RIK) dengan disusun dua konsep penngembangan Kabupaten Ciamis DT II dimekarkan menjadi Kabupaten DT II Ciamis dan Kabupaten DT II Banjar. Di samping itu dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 tepat pada tanggal 7 Mei 2001 pada akhirnya Banjar sekarang menjadi Kota. Transformasi Kota Banjar menyebabkan berbagai pembangunan di beberapa wilayah Kota Banjar, hal ini tertuang dalam RTRW Kota Banjar. Seiring dengan perkembangan Kota Banjar, membutukan lahan untuk melengkapi pembangunan Kota, sehingga membuat kebutuhan akan lahan menjadi semakin meningkat. Oleh karena itu, lahan pertanian pun ikut berubah menjadi berbagai bangunan atau biasa disebut konversi lahan pertanian. Fenomena ini terjadi di berbagai wilayah Kota Banjar, salah satunya di Kelurahan Mekarsari. Melihat fenomena konversi yang terjadi, dengan demikian telah terjadi dua arah konversi di wilayah tersebut baik secara horizontal maupun vertikal. Terjadi konversi horizontal, namun condong sebagai usaha spekulasi sebagai bahan obyek usaha spekulan tanah. Hal ini karena setelah terjadi perpindahan lahan, pada akhirnya hendak dijadikan lokasi untuk pembangunan STISIP (konversi vertikal). Kedua, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi, antara lain jarak yang begitu dekat ke pusat kotasehingga menyebabkan daya tarik bagi para pengusaha/investor untuk mendirikan bangunan di daerah sana, penawaran dan permintaan akan lahan mengalami peningkatan akibat permintaan lahan untuk industri dan perumahan menyebabkan pemilik lahan menjual lahannya kepada pihak lain, karena lahan tersebut berada di daerah dekat pusat kota banyak pihak yang menginginkannya berubah menjadi modal usaha, ini menyebabkan terjadinya berbagai pembangunan. Selanjutnya adalahberhubungan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi pada sektor industri dan kebijakan yang memperbolehkan melakukan pembangunan di atas lahan sawah tadah hujan, terlihat ketika investor menginventasikan modalnya pada pembangunan perumahan. Kebijakan pemerintah Kota Banjar yang berusaha mengundang investor untuk menunjang pembangunan Kota Banjar menjadi lebih berkembang. Ketiga, dampak transformasi Kota Banjar dilihat dari fenomena konversi yang terjadi menimbulkan adanya perubahan pada penguasaan lahan garapan, kesempatan kerja dan perubahan ragam pekerjaan. Penurunan luas lahan
66
garapan, berubahnya kesempatan kerja yang diiringi dengan berubahnya ragam pekerjaan mempengaruhi pada tingkat kesejahteraan baik secara materiil maupun moriil rumahtangga petani penggarap. Walaupun kesejahteraan materiil mereka relatif tinggi akan tetapi tidak diikuti dengan kesejahteraan moriil. Selain itu, berdasarkan hipotesis yang disusun dalam penelitian ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa satu hipotesis ditolak dan satu hipotesis diterima. Hipotesis tersebut adalah pertama terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil rumahtangga petani penggarap. Melihat hasil uji statistik maka dapat disimpulkan semakin negatif dampak konversi lahan pertanian maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan materiil rumahtangga petani penggarap. Kedua, terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat kesejahteraan moriil rumahtangga petani penggarap. Hasil uji statistik menyimpulan semakin negatif dampak konversi lahan pertanian maka semakin rendah tingkat kesejahteraan moriil rumahtangga petani penggarap. Hasil temuan lain dari penelitian ini adalah bila dilihat dari tingkat kesejahteraan dapat disimpulkan bahwa dampak konversi lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap menghasilkan dua varian rumahtangga petani penggarap yang tersisih dari sosial dan ekonominya, yaitu: 1. Tersisih (termarginalisasi). Bagi rumahtangga petani penggarap yang mengalami kondisi ini pasca konversi adalah sebanyak 57 persen. Walaupun jika dilihat dari rincian jumlah absolut pendapatan mereka beragam tergantung dari mata pencaharian penggantinya setelah konversi. Walaupun dari kesejahteraan materiil mereka relatif meningkat, akan tetapi ada kecenderungan lain dari kesejahteraan moriilnya yang relatif menurun. Hal ini dikarenakan pekerjaan yang mereka lakukan sekarang bersifat temporer dengan penghasilan yang belum tentu berkelanjutan atau dengan gaji yang tidak tetap per bulan. Selanjutnya melihat dari pekerjaan mereka yang berada di luar lokasi tempat tinggal (kampungnya) berakibat menurunkan frekuensi hubungan antar sesama warga yang secara otomatis akan mempengaruhi kualitas hubungan mereka. Tidak dapat dibayangkan apabila proyek tersebut sudah selesai bagaimana nasib kehidupan mereka. Secara keseluruhan yang termasuk dalam varian ini mereka dengan tingkat kesejahteraan yang menurun. 2. Bertahan atau mirip dengan kondisi sebelumnya (pra konversi). Jumlah mereka sekitar 43 persen, dengan 2 (dua) varian masing-masing, tetap berpendapatan dengan relatif tinggi sebanyak 26 persen dan tetap berpendapatan relatif sedang sebanyak 17 persen. Rumahtangga petani penggarap yang sampai saat ini dapat mempertahankan kondisinya untuk tetap tinggi adalah mereka yang memiliki pekerjaan dengan usaha dan alokasi waktu kerja yang meningkat. Pekerjaan yang mereka lakukan adalah dengan masih menggarap sekaligus bekerja di sektor non pertanian, seperti usaha/ berdagang, buruh bangunan dan yang hanya bekerja di sektor non pertanian, seperti usaha/ berdagang. Bagi mereka yang bekerja masih di sekitar area tempat tinggal cenderung memiliki kesejahteraan moriil yang sedang. Hal ini dikarenakan frekuensi bertemu dan berkomunikasi masih terjaga dengan baik sehingga mempengaruhi kualitas relasi antar mereka. Selain itu, karena beberapa masih ada lahan garapan sehingga mereka merasa aman dengan pekerjaannya yang sekarang, oleh
67
karena itu pekerjaan pada sektor non-pertanian yang saat ini mereka kerjakan dapat mengganti kondisi yang dulu. Berbeda dengan rumahtangga petani penggarap yang saat ini kondisinya masih tetap sedang seperti dahulu. Pekerjaan yang dilakukan sekarang dapat mempertahankan kondisi hidupnya namun belum mampu untuk memperbaikinya. Mereka adalah yang masih menggarap sekaligus bekerja pada sektor non pertanian atau bekerja pada sektor non pertanian saja. Walaupun sudah memiliki pekerjaan pengganti setelah konversi, dengan menambah pekerjaan dan alokasi waktu kerja yang meningkat, terdapat perbedaan dalam pekerjaan pengganti yang mereka kerjaakan saat ini yang mempengaruhi kondisi tersebut. Demikian setelah Banjar menjadi kota, konversi lahan pertanian pun akan semakin meningkat sehingga akan menimbulkan korban atau pihak yang tersisih dari mata pencahariannya. Konversi lahan pertanian menghasilkan 2 varian rumahtangga petani penggarap yang tersisih dari sosial dan ekonominya, yaitu tersisih (termarginalisasi) dan kondisi yang tetap sama dengan sebelumnya (pra konversi) yang terbagi menjadi 2, yaitu tetap tinggi dan tetap sedang. Namun, kondisi tersebut bersifat sementara, karena saat ini masih terdapat pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja mereka, tidak dapat dibayangkan bila beberapa tahun kemudian kondisi tersebut akan berubah atau tetap. Mereka yang saat ini dalam posisi tersisih (termarginalisasi) selanjutnya bisa saja akan tetap tersisih atau meningkat atau bahkan semakin terpuruk, bagi yang merasa kondisi tetap, bisa saja akan tetap sama kondisinya atau meningkat menjadi berkah atau bahkan menurun ke varian sebelumnya.
Saran
Seiring dengan berkembangnya Kota Banjar, pembangunan pun kian dilaksanakan, sehingga membutuhkan lahan untuk terselenggaranya pembangunan tersebut, maka konversi lahan pertanian pun tidak dapat dihindarkan. Konversi lahan pertanian menyebabkan adanya pihak yang tersisih dari sosial ekonominya, yaitu rumahtangga petani penggarap. Setelah terjadi konversi tidak ada kompensasi mata pencaharian bagi mereka dari pemilik lahan, sehingga dengan sendirinya harus mencari mata pencaharian pengganti untuk tetap dapat mempertahankan hidup. Saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah perlunya bantuan pihak pemerintah dalam mengatasi dampak konversi, agar pihak yang tersingkir dari lahan garapnnya dapat tetap melanjutkan hidupnya dengan memberikan kompensasi pekerjaan baru yang sesuai atau setara dengan penghasilan yang dulu. Demikan perlunya strategi dan kerjasama antara pemilik lahan dan penggarap dibantu dengan pemerintah untuk tetap menjaga kelangsungan sosial dan ekonominya bagi pihak yang tersisih.
68
69
DAFTAR PUSTAKA
Asmara A. 2011. Pendapatan petani setelah konversi lahan: Studi kasus di Kelurahan Mekarwangi, Kabupaten Bogor. [Skrpsi]. [Internet]. [28 November 2013]. Dapat diunduh dari: http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5765/1/ANDIper sen20ASMARA-FST.pdf. Astuti NB, Kolopaking LM, Pandjaitan NK. 2009. Dilema dalam transfomasi Kelurahan ke Nagari. Studi kasus di Kenegarian IV Koto Palembayan, Provinsi Sumatra Barat. J Sodality. 03(02): 167-186. Bachriadi D dan Lucas A. 2001. Merampas lahan rakyat: kasus tapos dan Cimacan. Jakarta (ID): Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Effendi TN, Tukiran, Sucipto HP. 1989. Pengolahan data. Di dalam: Singarimbun M dan Effendi S, editor. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Furi DR. 2008. Implikasi konversi lahan terhadap aksesibilitas lahan dan kesejahteraan masyarakat Kelurahan. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 141 hal. Geoge JHDE. 1974. Urbanisasi dan urbanisme. Soekardijo RG. Schoorl, penerjemah. Dalam Modernisasi Pengantar Sosiolgi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang Jakarta (ID): Gramedia. Terjemahan dari: Sociologie der modernisering een inleiding in de sociologieder nietwesterse volken. Gunawan. 2013. Rural talks ikhtisar memahami transformasi sosial-ekonomi masyarakat kelurahan. Jakarta (ID): Indonesian human rights committee for social justice. Handoyo E. 2010. Konversi lahan pertanian ke non-pertanian: fungsi ekologis yang terabaikan. Forum ilmu sosial. [Internet]. [diunduh 2013 Okt 9]; 37(02): 118-126. Tersedia pada:http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS/article/view/1514/1666. Hidayat AH, Hanafie U, Septiana N. 2012. Dampak konversi lahan pertanian bagi taraf hidup petani di Kelurahan Landasan Ulin Barat Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru. J Agribisnis pekelurahanan.[Internet]. Okt 2 ]; 2(2) : 95-107. Tersedia [diunduh 2013 pada:http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=persen20persen20jurnalp ersen20Konversipersen20Lahanpersen20danpersen20Perubahanpersen20T arafpersen20Hiduppersen20Rumahtanggapersen20Petani&source=web&c d=4&cad=rja&ved=0CEAQFjAD&url=httppersen3Apersen2Fpersen2Fejo
70
urnal.unlam.ac.idpersen2Findex.phppersen2Fagridespersen2Farticlepersen 2Fdownloadpersen2F224persen2F186&ei=abxLUrmZBYXirAfji4CgBA& usg=AFQjCNEciwKSmKAaBMds4iBcvko37ClrzQ&sig2=gL2y0NF3zXJ SI17v8uUV5w&bvm=bv.53371865,d.bmk. Lestari T. 2010. Konversi lahan pertanian dan perubahan taraf hidup rumahtangga petani. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 72 hal. Lestari A, Dharmawan AH. 2011. Dampak sosio-ekonomis dan sosio-ekologis konversi lahan. J Sodality. 05(01): 12. Metera IGM. 1996. Alih fungsi tanah pertanian untuk pembangunan fasilitas pariwisata dan dampaknya terhadap petani. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 171 hal. Munir M. 2008. Pengaruh konsersi lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 113 hal. Rustiadi E, Wafda R. 2005. Masalah ketersediaan lahan dan konversi lahan pertanian. Di dalam: Sunito S, Purwandari H, Mardiyaningsih DI, editor. Prosiding seminar penanganan konversi lahan dan pencapaian lahan pertanian abadi. hlm 70-85. Sarwono J. 2009. Statistik itu mudah: panduan lengkap untuk belajar komputasi statistik menggunakan spss 16. Yogyakarta (ID): Andi Offset. 344 hal. Sastraatmadja E. 2010. Suara petani. Bandung (ID): Masyarakat Geografi Indonesia. Sihaloho M. 2004. Konversi lahan pertanian dan perubahan struktur agraria. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 154 hal. Singarimbun M. 1989. Metode dan proses penelitian. Di dalam: Singarimbun M dan Effendi S, editor. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Sitorus MT, Dharmawan AH, fadjar U, Sihaloho M. 2008. Laporan hasil penelitian; perubahan struktur agraria dan diferensiasi kesejahteraan petani. Institut Pertanian Bogor. 109. Soehoed AR.2004. Proyek pantura transformasi dari ibukota propinsi ke ibukota negara: persiapan-persiapan bagi suatu proyek multifungsi. Jakarta (ID): Djambatan. 131 hal. Soemarwoto O. 1978. Rural-urban relationships in Indonesia. J Habitat. 01(03) : 247-250.
71
Sudrajat U, Amiruddin F, Kuswara N. Kasupardi E, editor. 2013. Banjar satu dekade resep manjur kepemimpinan dokter Herman. Di dalam: Kasupradi E, editor. Garut (ID): YAF Publish. 223 hal. Sumaryanto dan Sudaryanto T. 2005. Pemahaman dampak negatif konversi lahan sawah sebagai landasan perumusan strategi pengendaliannya. Di dalam: Sunito S, Purwandari H, Mardiyaningsih DI, editor. Prosiding seminar penanganan konversi lahan dan pencapaian lahan pertanian abadi.hal 2236 hal. Supriadi. 2007. Hukum agraria. Jakarta (ID) : Sinar Grafika. Suryo D. 2009. Transformasi masyarakat Indonesia dalam historografi Indonesi modern. Yogyakarta (ID) : SPTN Press. Hal 111-113. Sztompka P. 2011. Sosiologi perubahn sosial. Jakarta (ID): Prenada media group. Utami RB. 2013. Dampak perubahan pranata sosial terhadap kesejahteraan petani. kasus:pengambilan lahandan konversi tanaman komoditi. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 80 hal. [UU] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah [UU] Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. [UU] Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. [UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penetapan Ruang. [UU] Undang-undang Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. [UUPA] Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengertian Agraria. Wahyunto. 2009. Lahan sawah di Indonesia sebagai pendukungketahanan pangan nasional: Paddy fields in Indonesia as a back stopped for national foodsecurity. J Informatika Pertanian. 18(02): 133-152. Wulan KM. 2014. Dampak krisis ekologi terhadap strategi nafkah rumhatngga petani di Kelurahan Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 86 hal.
72
73
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Kota Banjar
U
Kelurahan Mekarsari
74
Lampiran 2 Daftar Populasi Responden No Responden Alamat (RT/RW) 1 YYN Sumanding (04/19) 2 SBR Sukarame (02/25) 3 HNI Sumanding (03/15) 4 DOH Sumanding (02/15) 5 ELS Sukarame (03/13) 6 ENK Sukarame (03/13) 7 RKY Sukarame (03/13) 8 UNH Sukarame (03/13) 9 SHD Sukarame (03/13) 10 ARS Sukarame (03/13) 11 UUM Sumanding (04/19) 12 DSN Sukarame (01/14) 13 EOY Sukarame (03/13) 14 ATK Sumanding (03/15) 15 NSH Sumanding (01/15) 16 ADN Sumanding (01/15) 17 EHA Sumanding (01/15) 18 OPH Sukarame (01/15) 19 ANH Sukarame (01/15) 20 RSB Sukarame (01/13) 21 RTN Sukarame (01/13) 22 UJG Sukarame (01/13) 23 RHN Sukarame (03/13) 24 WTI Sukarame (03/13) 25 ATG Sukarame (03/13) 26 YHD Sumanding (04/18) 27 DDO Sumanding (02/15) 28 MRH Sumanding (02/15) 29 DED Sumanding (02/15) 30 TTO Sumanding (02/15) 31 MOM Sumanding (02/15) 32 CCP Sumanding (03/13) 33 AMD Sumanding (03/13) 34 TTI Sumanding (01/15) 35 WRN Sumanding (01/15)
75
Lampiran 3 Kuesioner Penelitian Nomor Responden Hari, Tanggal Survei Tanggal Entri Data
KUESIONER DAMPAK TRANSFORMASI KOTA BANJAR TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PENGGARAP (Kasus: Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Banjar,Kota Banjar, Jawa Barat)
I. IDENTITAS RESPONDEN Nama lengkap : Jenis kelamin* : ( )L/( )P Umur : Tahun. Suku : Alamat : Lama tinggal di lokasi : Tahun. Pendidikan terakhir* : ( ) Tidak Sekolah ( ) SD (Tamat/Tidak Tamat) ( ) SMP ( Tamat/Tidak Tamat) ( ) SMA (Tamat/Tidak Tamat) ( ) Universitas (Tamat/Tidak Tamat) ( ) Lainnya................................. Status perkawinan* : ( ) Belum Menikah ( ) Menikah ( ) Cerai Hidup ( ) Cerai Mati Jumlah anak : ...........orang * Beri tanda silang(√) pada pilihan jawaban yang disediakan II. DAMPAK KONVERSI LAHAN PERTANIAN a) Tingkat penguasaan lahan garapan Berilah tanda centang (√) pada jawaban yang menurut Anda sesuai 1. Setelah terjadi konversi lahan pertanian, adakah perubahan luas lahan yang Anda garap? a. Ya b. Tidak
76
Jika Ya, seberapa luas lahan garapan Anda dulu? ........................................................................................................................ 2. Setelah terjadi konversi lahan pertanian, apakah Anda tidak mendapat lahan garapan pengganti? a. Ya b. Tidak Jika dapat, berapa luasnya (lebih luas atau sempit)?......................................................................................................... b) Tingkat kesempatan kerja Berilah tanda centang (√) pada jawaban yang menurut Anda sesuai Konversi No Pertanyaan Keterangan Pra Pasca 3. Adakah peluang kesempatan ( ) Ya ( ) Ya kerja dan usaha yang terbuka bagi ( ) Tidak ( ) Tidak Anda di sektor pertanian? 4. Adakah peluang kesempatan ( ) Ya ( ) Ya kerja dan usaha yang terbuka bagi ( ) Tidak ( ) Tidak Anda di sektor non pertanian? c) Perubahan ragam pekerjaan Berilah tanda centang (√) pada jawaban yang menurut Anda sesuai Konversi No Pertanyaan Keterangan Pra Pasca 5. Apakah Anda bekerja sebagai ( ) Ya ( ) Ya Jika tidak, petani penggarap? ( ) Tidak ( ) Tidak bekerja sebagai............... ........................... ........................... ........... 6. Apakah Anda mempunyai ( ) Ya ( ) Ya Jika tidak, pekerjaan sampingan? ( ) Tidak ( ) Tidak bekerja sebagai............... ........................... ........................... ............ III. Tingkat Kesejahteraan Petani 3.1 Kesejahteraan Materiil a) Tingkat pendapatan Isilah jawaban di bawah ini yang sesuai dengan Anda 7.Pra Konversi Lahan Pertanian No Jenis Penerimaan Perminggu Perbulan Pertahun A. 1. 2. 3.
Pertanian Sawah Kebun Ternak
Keteranga n
77
B. 1. 2. 3.
Jumlah penerimaan bersih Non Pertanian Usaha/ berdagang Kerja Lainnya ................................. Jumlah penerimaan bersih
Pasca Konversi Lahan Pertanian No Jenis Penerimaan Perminggu A. 1. 2. 3. B. 1. 2. 3.
Perbulan
Pertahun
Keteranga n
Pertanian Sawah Kebun Ternak Jumlah Non Pertanian Usaha/ berdagang Kerja Lainnya .................................. Jumlah penerimaan bersih
b) Tingkat kepemilikan aset Berilah tanda centang (√) pada jawaban yang menurut Anda sesuai Kondisi tempat tinggal No Pra Konversi Lahan pertanian Pasca Konversi Lahan pertanian 8. Apa status kepemilikan rumah Anda? Apa status kepemilikan rumah ( ) Milik sendiri Anda? ( ) Kontrak ( ) Milik sendiri ( ) Sewa ( ) Kontrak ( ) Punya keluarga/saudara ( ) Sewa ( ) Lainnya............. ( ) Punya keluarga/saudara ( ) Lainnya............. 9. Kondisi atap rumah dari tempat Kondisi atap rumah dari tempat tinggal Anda? tinggal Anda? ( ) Genteng ( ) Genteng ( ) Asbes ( ) Asbes ( ) Seng ( ) Seng ( ) Kayu/daun ( ) Kayu/daun ( ) Lainnya............ ( ) Lainnya............ 10. Kondisi lantai tempat tinggal Anda? Kondisi lantai tempat tinggal ( ) Kramik Anda? ( ) Ubin/semen ( ) Kramik
78
( ) Kayu ( ) Tanah ( ) Lainnya............ 11. Kondisi dinding dari tempat tinggal Anda? ( ) Tembok ( ) Semen/batako ( ) Kayu/papan ( ) Bilik/bambu ( ) Lainnya............ 12. Fasilitas MCK di tempat tinggal Anda? ( ) Milik sendiri ( ) Milik Orang lain ( ) Milik bersama ( ) Milik umum ( ) Lainnya.......... 13. Kondisi saluran pembuangan akhir tinja dari tempat tinggal Anda? ( ) Tank ( ) Kolam ( ) Sungai ( ) Tanah ( ) Lainnya..................... 14. Fasilitas sumber air bersih dari tempat tinggal Anda? ( ) Air ledeng ( ) Sumur ( ) Sungai ( ) Air hujan ( ) Lainnya..................... 15. Fasilitas penerangan di tempat tinggal Anda? ( ) Listrik PLN ( ) Listrik non PLN ( ) Patromak ( ) Obor ( ) Lainnya.....................
( ) Ubin/semen ( ) Kayu ( ) Tanah ( ) Lainnya............ Kondisi dinding dari tempat tinggal Anda? ( ) Tembok ( ) Semen/batako ( ) Kayu/papan ( ) Bilik/bambu ( ) Lainnya............ Fasilitas MCK di tempat tinggal Anda? ( ) Milik sendiri ( ) Milik Orang lain ( ) Milik bersama ( ) Milik umum ( ) Lainnya.......... Kondisi saluran pembuangan akhir tinja dari tempat tinggal Anda? ( ) Tank ( ) Kolam ( ) Sungai ( ) Tanah ( ) Lainnya..................... Fasilitas sumber air bersih dari tempat tinggal Anda? ( ) Air ledeng ( ) Sumur ( ) Sungai ( ) Air hujan ( ) Lainnya..................... Fasilitas penerangan di tempat tinggal Anda? ( ) Listrik PLN ( ) Listrik non PLN ( ) Patromak ( ) Obor ( ) Lainnya.....................
Kepemilikan barang-barang berharga No Pra Konversi Lahan Pertanian Pasca Konversi Lahan Pertanian Kepemilikan kendaraan 16. Apakah Anda memiliki kendaraan Apakah Anda memiliki kendaraan seperti yang tercantum dibawah ini: seperti yang tercantum dibawah ( ) Mobil dan motor ini:
79
( ( ( (
) Mobil ) Sepeda Motor ) Kendaraan tak bermotor ) Tidak Punya Kendaraan
( ( ( ( (
) Mobil dan motor ) Mobil ) Sepeda Motor ) Kendaraan tak bermotor ) Tidak Punya Kendaraan
Kepemilikan barang elektronik* 17. Apakah Anda memiliki barang-barang elektronik seperti di bawah ini: ( ) Lampu ( ) Televisi ( )Radio ( ) VCD atau DVD Player ( ) Telepon rumah atau Handphone ( ) Kamera ( ) Rice Cooker ( ) Kulkas ( ) Kipas Angin ( ) Air Conditioner (AC) ( ) Blender ( ) Mixer ( ) Dispenser ( ) Mesin Cuci ( ) Komputer atau Laptop
Apakah Anda memiliki barangbarang elektronik seperti di bawah ini: ( ) Lampu ( ) Televisi ( )Radio ( ) VCD atau DVD Player ( ) Telepon rumah atau Handphone ( ) Kamera ( ) Rice Cooker ( ) Kulkas ( ) Kipas Angin ( ) Air Conditioner (AC) ( ) Blender ( ) Mixer ( ) Dispenser ( ) Mesin Cuci ( ) Komputer atau Laptop * Ket: (a) 13-15 Buah;(b) 10-12 Buah; (c) 7-9 Buah; (d) 4-6 Buah; atau (e) 0-3 Buah Kepemilikan hewan ternak 18. Apakah Anda memiliki hewan ternak Apakah Anda memiliki hewan seperti yang tercantum dibawah ini: ternak seperti yang tercantum ( ) Sapi, kambing, unggas dibawah ini: ( ) Sapi dan kambing ( ) Sapi, kambing, unggas ( ) Sapi/Kambing ( ) Sapi dan kambing ( ) Unggas ( ) Sapi/Kambing ( ) Tidak punya hewan ternak ( ) Unggas ( ) Tidak punya hewan ternak c) Tingkat akses pendidikan Berilah tanda centang (√) pada jawaban yang menurut Anda sesuai No Pra Konversi Lahan pertanian Pasca Konversi Lahan pertanian 19. Jenjang pendidikan tertinggi anak Jenjang pendidikan tertinggi anak Anda? Anda? ( ) Perguruan Tinggi ( ) Perguruan Tinggi ( ) SMA/SMK/Sederajat ( ) SMA/SMK/Sederajat ( ) SMP ( ) SMP ( ) SD ( ) SD ( ) Tidak sekolah ( ) Tidak sekolah 20. Jarak dari rumah ke sekolah: Jarak dari rumah ke sekolah:
80
( ) Sangat dekat ( ) Dekat ( ) Sedang ( ) Jauh ( ) Sangat jauh 21. Biaya sekolah anak Anda? ( ) Sangat murah ( ) Murah ( ) Sedang ( ) Mahal ( ) Sangat mahal 22. Prosedur memasukan anak ke sekolah? ( ) Sangat mudah ( ) Mudah ( ) sedang ( ) Sulit ( ) Sangat sulit
No 23.
24.
25.
26.
( ) Sangat dekat ( ) Dekat ( ) Sedang ( ) Jauh ( ) Sangat jauh Biaya sekolah anak Anda? ( ) Sangat murah ( ) Murah ( ) Sedang ( ) Mahal ( ) Sangat mahal Prosedur memasukan anak ke sekolah? ( ) Sangat mudah ( ) Mudah ( ) sedang ( ) Sulit ( ) Sangat sulit
d) Akses terhadap sarana kesehatan Berilah tanda centang (√) pada jawaban yang menurut Anda sesuai Pra Konversi Lahan pertanian Pasca Konversi Lahan pertanian Bila ada anggota keluarga yang sakit, Bila ada anggota keluarga yang akan dibawa ke: sakit, akan dibawa ke: ( ) Rumah Sakit ( ) Rumah Sakit ( ) Klinik ( ) Klinik ( ) Puskemas ( ) Puskemas ( ) Dukun ( ) Dukun ( ) Lainnya............. ( ) Lainnya............. Jarak rumah Anda dengan tempat Jarak rumah Anda dengan tempat fasilitas kesehatan (Rumah Sakit, fasilitas kesehatan (Rumah Sakit, puskesmas dll) ? puskesmas dll) ( ) Sangat dekat ( ) Sangat dekat ( ) Dekat ( ) Dekat ( ) Sedang ( ) Sedang ( ) Jauh ( ) Jauh ( ) Sangat Jauh ( ) Sangat Jauh Biaya pengobatan ketika sakit : Biaya pengobatan ketika sakit : ( ) Sangat murah ( ) Sangat murah ( ) Murah ( ) Murah ( ) Sedang ( ) Sedang ( ) Mahal ( ) Mahal ( ) Sangat mahal ( ) Sangat mahal Biaya obat-obtan ketika sakit : Biaya obat-obtan ketika sakit : ( ) Sangat murah ( ) Sangat murah ( ) Murah ( ) Murah ( ) Sedang ( ) Sedang ( ) Mahal ( ) Mahal
81
( ) Sangat mahal
( ) Sangat mahal
e) Tingkat konsumsi pangan Berilah tanda centang (√) pada jawaban yang menurut Anda sesuai No Pra Konversi Lahan pertanian Pasca Konversi Lahan pertanian 27. Konsumsi beras rumahtangga Anda? Konsumsi beras rumahtangga ( ) 3x sehari Anda? ( ) 2x sehari ( ) 3x sehari ( ) 1x sehari ( ) 2x sehari ( ) Kadang-kadang [....perminggu] ( ) 1x sehari ( ) Tidak pernah ( ) Kadang-kadang [....perminggu] ( ) Tidak pernah 28. Konsumsi sayur-sayuran rumahtangga Konsumsi sayur-sayuran Anda ? rumahtangga Anda ? ( ) Sangat sering ( ) Sangat sering ( ) Sering ( ) Sering ( ) Kadang-kadang [....perminggu] ( ) Kadang-kadang ( ) Hampir tidak pernah [....perminggu] ( ) Tidak pernah ( ) Hampir tidak pernah ( ) Tidak pernah 29. Konsumsi telur dan susu rumahtangga Konsumsi telur dan susu Anda? rumahtangga Anda? ( ) Sangat sering ( ) Sangat sering ( ) Sering ( ) Sering ( ) Kadang-kadang [....perminggu] ( ) Kadang-kadang ( ) Hampir tidak pernah [....perminggu] ( ) Tidak pernah ( ) Hampir tidak pernah ( ) Tidak pernah 30. Konsumsi ikan rumahtangga Anda? Konsumsi ikan rumahtangga ( ) Sangat sering Anda? ( ) Sering ( ) Sangat sering ( ) Kadang-kadang [....perminggu] ( ) Sering ( ) Hampir tidak pernah ( ) Kadang-kadang ( ) Tidak pernah [....perminggu] ( ) Hampir tidak pernah ( ) Tidak pernah 31. Konsumsi daging ( ayam, sapi, Konsumsi daging ( ayam, sapi, kambing dll) rumahtangga Anda? kambing dll) rumahtangga Anda? ( ) Sangat sering ( ) Sangat sering ( ) Sering ( ) Sering ( ) Kadang-kadang [....perminggu] ( ) Kadang-kadang ( ) Hampir tidak pernah [....perminggu] ( ) Tidak pernah ( ) Hampir tidak pernah ( ) Tidak pernah 32. Konsumsi buah-buahan rumahtangga Konsumsi buah-buahan Anda? rumahtangga Anda? ( ) Sangat sering ( ) Sangat sering
82
( ( ( (
) Sering ) Kadang-kadang [....perminggu] ) Hampir tidak pernah ) Tidak pernah
33. Konsumsi kacang-kacangan (tahu, tempe, kacang tanah/kedelai/hijau/merah dll) rumahtangga Anda? ( ) Sangat sering ( ) Sering ( ) Kadang-kadang [....perminggu] ( ) Hampir tidak pernah ( ) Tidak pernah 34. Pembelian minyak goreng rumahtangga Anda? ( ) Sangat sering ( ) Sering ( ) Kadang-kadang [....perminggu] ( ) Hampir tidak pernah ( ) Tidak pernah
( ) Sering ( ) Kadang-kadang [....perminggu] ( ) Hampir tidak pernah ( ) Tidak pernah Konsumsi kacang-kacangan (tahu, tempe, kacang tanah/kedelai/hijau/merah dll) rumahtangga Anda? ( ) Sangat sering ( ) Sering ( ) Kadang-kadang [....perminggu] ( ) Hampir tidak pernah ( ) Tidak pernah Pembelian minyak goreng rumahtangga Anda? ( ) Sangat sering ( ) Sering ( ) Kadang-kadang [....perminggu] ( ) Hampir tidak pernah ( ) Tidak pernah
3.2 Kesejaheteraan Moriil a) Hubungan antar warga Berilah tanda centang (√) pada jawaban yang menurut Anda sesuai Konversi* No Pertanyaan Keterangan Pra Pasca 35. Hubungan antara para petani 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 penggarap dalam hal saling percaya satu sama lain? 36. Hubungan antara para petani 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 penggarap hal kerukunan antara satu sama lain? 37. Hubungan antara para petani 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 penggarap dalam hal tolong menolong satu sama lain? 38. Hubungan antara para petani 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 penggarap dalam hal toleransi satu sama lain? 39. Hubungan antar petani 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 penggarap dalam partisipasi satu sama lain ketika ada kegiatan di kelurahan? * Ket: (5) Sangat Baik;(4) Baik; (3) Biasa Saja; (2) Buruk; atau (1) Sangat Buruk
83
b) Keamanan bekerja Berilah tanda centang (√) pada jawaban yang menurut Anda sesuai Konversi* No Pertanyaan Keterangan Pra Pasca 40. Apakah Anda merasa 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 aman dengan pekerjaan dan pendapatan yang di dapatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup? * Ket: (5) Sangat Aman;(4) Aman; (3) Biasa Saja; (2) Tidak aman; atau (1) Sangat tidak aman
84
Lampiran 4Pedoman Wawancara Mendalam 1. Pedoman wawancara mendalam kepada petani penggarap a. Sejak kapan Anda menjadi petani penggarap? b. Mengapa Anda menjadi petani penggarap? c. Bagaimana cara Anda mendapatkan lahan garapan ini? d. Seberapa penting lahan garapan yang Anda miliki bagi Anda? e. Saat menjadi penggarap apakah pendapatan Anda dapat mencukupi kebutuhan keluarga Anda terutama dalam hal konsumsi? Bagaimana setelah terjadinya konversi? f. Bagaimana awal mula terjadinya konversi lahan di sana? g. Apakah Anda berperan dalam konversi lahan tersebut? h. Apa yang Anda rasakan setelah lahan garapan Anda terkonversi menjadi bangunan? i. Menurut Anda, apakah ada perbedaan sebelum dan sesudah lahan garapan Anda terkonversi dalam hal pendapatan rumahtangga (meningkat/menurun)? j. Bagaimana kondisi kesejahteraan rumahtangga Anda sebalum dan sesudah konversi lahan pertanian? k. Apakah terdapat peraturan-peraturan dalam menggarap lahan sawah yang berkenaan dengan hal-hal berikut: - Sistem kepemilikan lahan garapan? - Hubungan anatara pemilik sawah dengan penggarap? - Sistem pembayaran antara pemilik sawah dan penggarap?
2. Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Pemerintahan WaliKota Hari, Tanggal Wawancara : Lokasi Wawancara : Nama dan Umur Informan : Pekerjaan : Pertanyaan Penelitian : a. Menurut Anda, bagaimana latar belakang, proses yang ditempuh (sejarah tersentuknya Kota Banjar) dan kemana Kota Banjar akan dikembangkan? b. Menurut Anda, bagaimana persiapan yang harus atau telah siapkan aparat pemerintahan dalam meningkatkan status Kota Banjar? c. Menurut Anda, adakah proses partisipatoris yang dijalankan dalam pengembangan Kota Banjar? d. Jika ada, bagaimana bentuk-bentuk ilustrasi yang diberikan sehubungan dengan proses partisipatoris tersebut? misalnya ketika ada lahan sawsah yang akan atau diambil dari tangan petani, seperti apa mekanismenya? - Adakah penggantian lahan di lokasi lain? - Setelah dijual, apakah dibeli dengan uang tunai atau bagaimana? - Jika saah dialokasikan untuk bangunan kepentingan umum, apakah petani disertakan sebagai pemegang saham? Atau bagaimana?
85
e. (Dinas Pertanian) Setelah Banjar mejadi Kota dan terjadi konversi lahan pertanian, bagaimana kebutuhan pangan di Kota Banjar? dapat mencukupi kebutuhan sendiri atau bagaimana? 3. Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Tokoh Masyarakat Hari, Tanggal Wawancara : Lokasi Wawancara : Nama dan Umur Informan : Pekerjaan : Pertanyaan Penelitian : a. Menurut Anda, apakah Anda setuju atau tidak jika setelah Banjar meningkat status menjadi Kota terjadi konversi lahan pertanian? alasannya? b. Menurut Anda, bagaiman perkiraan dampak positif dan atau negatif jika terjadi konversi lahan pertanian di Kota Banjar? c. Apakah setelah Banjar menjadi Kota akan tetap menjadi sentra pertanian? d. Apa rata-rata jenis mata pencaharian utama masyarakat Kelurahan Mekarsari? e. Bagaimana peran pemerintah dalam menangani masalah pertanian disini? f. Apakah sebelum terjadinya konversi status kesehatan warga di sini sudah baik? g. Apakah setelah terjadinya konversi lahan menjadi kawasan bangunan, akses kesehatan jadi mudah?apakah ada peningkatan mutu kesehatan? h. Apakah rata-rata tingkat pendidikan rumahtangga petani di sini? i. Selain bertani, apakah rata-rata mata pencaharian warga di sini? j. Menurut Anda, apakah dampak dari adanya pembangunan di lahan sawah bagi petani penggarap di sini?
4.
Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Badan Legislatif (DPRD) Hari, Tanggal Wawancara : Lokasi Wawancara : Nama dan Umur Informan : Pekerjaan : Pertanyaan Penelitian : a. Bagaimana proses Perda pembentukan Kota Banjar? b. Menurut Anda, bagaiman latar belakang sosial, politik, ekonomi dan budaya atas peningkatan status Banjar menjadi Kota? c. Menurut Anda, bagaimana pandangan Anda ketika Banjar berubah dari rural menjadi urban?
86
Lampiran 5 Hasil Uji Rank Spearman Correlations dampak konversi
dampak konversi Spearman 's rho kesejahteraan materiil
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
kesejahteraan materiil
1,000
,160
. 35
,359 35
,160
1,000
,359 35
. 35
Correlations dampak konversi Correlation Coefficient dampak konversi Sig. (2-tailed) N Spearman 's rho Correlation Coefficient kesejahteraan moriil Sig. (2-tailed) N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
kesejahteraan moriil
1,000
-,742**
. 35
,000 35
-,742**
1,000
,000 35
. 35
87
Lampiran 6 Hasil Uji T
Pair 1
Pair 1
Pra Materiil Pasca Metariil
Paired Samples Statistics Mean N Std. Deviation 99,5143 35 3,59224 102,8286 35 5,06711
Paired Samples Correlations N Correlation Pra Materiil & Pasca Metariil 35 ,719
Mean
Pair 1
Pair 1
Pair 1
Pra Materiil - Pasca Metariil
Moriil pra konversi Moriil pasca konversi
-3,31429
Std. Deviation
3,52112
Std. Error Mean ,60720 ,85650
Sig. ,000 Paired Samples Test Paired Differences Std. Error Mean 95persen Confidence Interval of the Difference Lower Upper ,59518 -4,52383 -2,10474
Paired Samples Statistics Mean N Std. Deviation 28,8000 35 ,40584 16,9714 35 4,13369
Paired Samples Correlations N Correlation Moriil pra konversi & Moriil 35 -,126 pasca konversi
Mean
Std. Deviation
t
df
-5,569
Sig. (2-tailed)
34
,000
Std. Error Mean ,06860 ,69872
Sig. ,470
Paired Samples Test Paired Differences Std. Error Mean 95persen Confidence Interval of the Difference
t
df
Sig. (2-tailed)
88
Lower Pair 1
Moriil pra konversi - Moriil pasca konversi
11,82857
4,20424
,71065
10,38436
Upper 13,27278
16,645
34
,000
89
Lampiran 7 Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulan Data No
Kebutuhan Data dan Informasi Data Sejarah Pembentukan Kota Banjar
Jenis Sumber Data
Sumber Data Primer
-Data sekunder -Data primer
2
Luas sawah Kelurahan Mekarsari
Data sekunder
3
Profil Kelurahan Mekarsari Data RTRW Kota Banjar
Data sekunder
5
6
1
4
7
Sumber Data Sekunder
Metode Pengumpulan Data
Interpretasi
-Elit DPRD Kota Buku Sejarah Kota Banjar Banjar -Tokoh Masyarakat -BPS -Data Monografi desa -Dinas Pertanian Data Monografi desa
-Studi literatur/dokumen -Wawancara mendalam
Menggambarkan proses dan sejarah terbentuknya Kota Banjar
Studi literatur/dokumen
Melihat luas sawah yang ada di Kota Banjar
Studi literatur/dokumen
Melihat kelengkapan data desa
Data sekunder
-
Bappeda
Studi literatur/dokumen
Data konversi di Indonesia
Data sekunder
-
Penelitian terdahulu
Studi literatur/dokumen
Penguasaan lahan garapan Tingkat Kesempatan kerja
Data primer
Responden
-
Data primer
Responden
-
-kuesioner -wawancara -kuesioner -wawancara
Mengetahui bagaimana rancangan tata ruang dan wilayah pembangunan Kota Banjar. Mengetahui data dan informasi mengenai tingkat konversi di Indonesia Melihat seberapa besar pengaruh dari dampak konversi terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggrap
90
8
Perubahan ragam pekerjaan
Data primer
Responden
-
-kuesioner -wawancara
9
Tingkat Pendapatan Tingkat Kepemilikan Aset Tingkat Konsumsi Pangan Akses terhadap sarana kesehatan Hubungan Antar Warga Keamanan pekerjaan
Data primer
Responden
-
Data primer
Responden
-
-kuesioner -wawancara -kuesioner -wawancara
Data primer
Responden
-
-kuesioner -wawancara
Data primer
Responden
-
-kuesioner -wawancara
Data primer
Responden
-
Data primer
Responden
-
-kuesioner -wawancara -kuesioner -wawancara
10
11
12
13 14
91
Lampiran 8 Dokumentasi Penelitian
Bangunan baru di atas lahan sawah yang telah terkonversi
Wawancara bersama responden dan informan
92
93
RIWAYAT HIDUP
Regina Agustin dilahirkan di Ciamis pada tanggal 30 Agustus 1991. Penulis adalah anak ke dua dari dua bersaudara dari pasangan Agus Sutiagraha dan Ratu Rully Irana. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis adalah TK Tunas Islam periode 1996 – 1998, SDN 2 Banjar pada periode 1998 – 2004, SMP Negeri 1 Banjar periode 2004 – 2007, dan SMA Negeri 1 Banjar periode 2007 – 2010. Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur tanpa tes, yang dahulu disebut PMDK. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti berbagai macam kegiatan dan organisasi di kampus. Penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Gentra Kaheman IPB selama dua tahun berturut-turut menjadi anggota Gentra Kehemanperiode 2010-2012, menjadi anggota Divisi Hubungan Masyarakat dalam kepanitiaan Ki Sunda Midang 8 periode 2010-2011, anggota Departemen Komunikasi Internal dan Eksternal periode 2011-2012, dan menjadi koordinator lapangan Divisi Acara dalam kepanitiaan Ki Sunda Midang 9 periode 2011-2012. Di samping itu, penulis aktif dalam kegiatan seni vocal group yang terbentuk pada tanggal 8 Maret 2011 hingga sekarang dan dua kali berturut-turut meraih juara 2 vocal group dalam perlombaan IPB Art Contest (IAC) periode 2011-2013.
94