TINJAUAN KRITIS TERHADAP PEMBAHASAN EKONOMIKA KONVERSI LAHAN (Barbier, E. 2005. Natural Resources and Economic Development. First Edition. Cambridge University Press. Cambridge, UK. p. 209-241) Oleh : Abdul Mukti, NIM 107040100111018, Program S3 PSDAL, UB-Unlam
1 Pengantar Tinjauan Kritis, Tiga Alasan Utama Ada tiga alasan utama yang mendasari penulis untuk mengkritisi justru pada pembahasan mengenai Ekonomika Konversi Lahan ini. Pertama mengenai isyu global, sependapat dengan Peacock (2008) sebagai bagian dari air, tanah adalah sumber daya bumi yang paling berharga, dan perencanaan penggunaan lahan merupakan
komponen
penting
dari
rencana
pembangunan
berkelanjutan.
Penggunaan lahan meliputi perencanaan kota, deforestasi, penggurunan, degradasi tanah, kegiatan-kegiatan pertanian, keanekaragaman hayati, dan sejumlah isu lain yang penting lokal dan global. Selain itu, masalah tanah terkait erat dengan isu-isu air: Apapun yang mempengaruhi tanah pada akhirnya berpengaruh terhadap air. Misalnya, penebangan hutan hujan run-off tanah meningkat ke dalam air dan menghilangkan lahan basah pelindung. Kurangnya lahan basah meningkatkan banjir di wilayah pesisir dan mengurangi keanekaragaman hayati. Atau, urban sprawl mengarah ke lonjakan pembangunan pabrik dan pembangkit listrik yang melepaskan polutan ke udara dan air, lebih mengintensifkan siklus penggurunan dan degradasi tanah. Di wilayah pedesaan, keuntungan-keuntungan jangka pendek terhadap lahan untuk penggembalaan ternak dan pertanian dihadapkan dengan jangka panjang penurunan kualitas tanah, penurunan keanekaragaman hayati, dan ketakmampuan ekosistem untuk memperbaharui dirinya sendiri. Tanpa UU dan peraturan penggunaan lahan yang kuat, kebutuhan mendesak dari penduduk setempat sering didahulukan atas kebutuhan jangka panjang suatu daerah yang lebih luas. Pada abad ke-21, banyak penggurunan dan penggundulan hutan merupakan akibat langsung dari kebutuhan manusia untuk memberi makan dirinya sendiri. Alasan kedua isyu lokal. Permasalahan krusial dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah ialah terjadinya konversi lahan hutan besar-besaran dengan “lemah kendali”, sehingga dikhawatirkan terjadinya degradasi hutan/lahan besar-besaran pula. Ia merupakan provinsi dengan perluasan areal perkebunan kelapa sawit paling pesat di Indonesia (Forest Watch Indonesia, 2009). 1
Kerusakan hutan yang terjadi di wilayah ini tercatat paling luas se Kalimantan (256 ribu Ha/tahun), dari 12 juta luas areal hutan yang dimiliki, laju kerusakannya telah menembus sekitar 2,2%/tahun, sekitar 80% kerusakan hutan itu disebabkan ekspansi sawit oleh perusahaan besar, dan dari 3,8 juta Ha lahan gambut hanya 1,8 juta Ha yang tidak dikonversi (Nurdin, 2011), hanya 20% di antaranya yang masih berfungsi sebagai pengendali banjir, ketersediaan air, dan fungsi ekologi lainnya (Trinugroho et al. 2011). Selanjutnya (Forest Watch Indonesia, 2009) menyebutkan indikator lemahnya kendali atas konversi lahan ialah (1) deforestasi dan kebijakan pemanfaatan ruang yang tidak menentu, ditegaskan oleh Menteri Kehutanan dalam pertemuan dengan gubernur se-Kalimantan pada bulan Maret 2007, bahwa Departemen Kehutanan mengambil kebijakan untuk menghentikan pemberian izin konversi kawasan hutan produksi menjadi lahan perkebunan di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Papua.Sementara, hingga saat ini penunjukan kawasan hutan dan perairan Provinsi Kalteng tak kunjung selesai, (2) Sekitar 70% perkebunan di wilayah ini ialah perkebunan kelapa sawit, dan > 1/3-nya merupakan areal yang masih tertutup hutan, (3) >3 juta Ha wilayah ini berupa lahan gambut dan hampir 14 % diantaranya sudah menjadi areal perkebunan kelapa sawit, dan (4) Terdapat indikasi kuat masih dilakukannya aktivitas pembukaan lahan dengan cara membakar, karena > dari 45 % titik api terjadi di areal perkebunan kelapa sawit yang tertutup hutan. Alasan ketiga, ialah adanya kelembagaan kearifan local di Kalimantan Tengah.
Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah memiliki kearifan lokal dalam
pengelolaan sumberdaya alam ialah (1) perladangan berpindah yang gilir balik, pada hutan sekunder, tidak tebang habis dan budaya regenerative, bekerja bersamasama, dan diatur hukum adat untuk menjaga kelestarian hutan (Alamsyah, 2010) (2) Tajahan, Kaleka, Sapan Pahewan, dan Pukung Himba, adalah beberapa konsep konservasi dan perlindungan flora dan fauna oleh Suku Dayak (Dohong, 2009), dan (3) beje untuk mereduksi bahaya kebakaran hutan/lahan gambut (Nugroho, 2003).
2 Faktor-faktor Kelembagaan, deforestasi dan konversi lahan Barbier (2005) mencatat banyak analisis ekonomi lahan yang menekankan peranan penting faktor-faktor kelembagaan terhadap deforestasi hutan tropis dan konversi. Oleh karena khususnya masalah open access dan poorly defined property right (hak milik kurang jelas) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pola 2
pembangunan ekonomi dan manajemen sumber daya pada perekonomian berpenghasilan rendah dan menengah. Kerangka teoritis dan bukti-bukti empiris menunjukkan yaitu (1) perdagangan terbuka untuk mengembangkan perekonomian yang tergantung pada eksploitasi sumber daya open access atau hak-hak kepemilikan sumber daya yang tidak jelas akan mengurangi kesejahteraan dalam perekonomian (2) kondisi open access dapat mengarah pada proses “endogen'' dari lembaga hak milik yang dapat menimbulkan disipasi berlebihan terhadap sewa sumber daya dan manfaat yang kurang bagi suatu perekonomian, (3) Ada banyak bukti di negara berkembang yang lebih aman hak atas sumber daya alamnya, terutama lahan, akan mengarahkan insentif bagi investasi perbaikan sumber daya dan produktivitas, (4) Ada juga bukti berlawanan bahwa ketidakamanan kepemilikan di daerah perbatasan hutan tropis juga akan menciptakan insentif bagi konversi lahan pertanian, dan (5) salah satu penyebab utama perluasan lahan pertanian di negara berkembang terjadi adalah karena prevalensi hak milik yang kurang jelas di daerah perbatasan negara tersebut. Untuk
menanggapi
sekaligus
memberikan
penjelasan
yang
lebih
komprehensif dari statements pendahuluan Barbier (2005) di atas dengan uraian yang panjang lebar dari Lockert (2008) seperti berikut ini.
(1) Tahun 1960-an
memang adalah tahun yang menarik bagi para ekonom kelembagaan. Ekonom semakin memperluas pendekatan baru untuk menggantikan marginalism klasik. Lebih dari tiga puluh tahun kemudian, kita menemukan bahwa banyak kontribusi oleh beberapa pelopor dalam ekonomika kelembagaan memiliki pengaruh yang besar pada beberapa bidang ekonomi. Memang, sejumlah hadiah Nobel telah pergi ke beberapa orang kunci dalam bidang ekonomika kelembagaan (yaitu Myrdal dan von Hayek, Buchanan, Coase, Fogel dan North). Mengikuti pada kinerja bersejarah ini, tidak terlalu mengejutkan bahwa dalam euforia kita, ekonom sering berpikir tentang merancang lembaga yang optimal. Memang di antara "Isu kunci untuk Diskusi" dari konferensi ini adalah "lembaga optimal". Meskipun kemajuan ini, tampaknya ada hambatan yang signifikan yang menghadang ekonom sumber daya dalam kemampuan mereka untuk berkontribusi terhadap merancang lembaga yang optimal. (2) Kami berkesimpulan, kami telah membuat kemajuan signifikan dalam memahami pentingnya institusi pada outcome ekonomi, dan mudah-mudahan pekerjaan ini berlanjut. Meskipun demikian, keadaan kemampuan kita relatif terhadap kompleksitas masalah-masalah itu seharusnya mempengaruhi bagaimana 3
kita merespon perdebatan mengenai kebijakan. Saya tidak percaya bahwa ada cara untuk mendefinisikan sebuah lembaga kehutanan yang optimal untuk MHL di negara maju dan juga negara berkembang menggunakan kondisi orde pertama (yaitu tidak ada cara FOCing). Selain itu, konsep sebuah lembaga yang optimal dapat merusak sebuah premis ekonomi basis. Jika lembaga adalah cerminan dari nilai-nilai yang dimiliki, apakah mungkin untuk berpikir tentang lembaga dalam hal optimalisasi? (3) disarankan bahwa kita menggambarkan prestasi dan kontribusi kita seperti mencoba untuk memahami proses dan hasil yang dapat menyebabkan kebijakan MHL yang secara sosial diinginkan. Namun demikian, pengamatan ini tidak harus mengekang kita dari melanjutkan pencarian kita untuk lembaga kehutanan yang lebih baik. Kemampuan kita untuk berkontribusi besar akan ditentukan oleh seberapa baik alatalat teoritis dan empiris kita dalam mengatasi masalah. Oleh karena itu, saya menduga bahwa kita akan memiliki peran sangat berbeda dalam setting negara berkembang ataupun negara maju. Untuk melengkapi pengertian kelembagaan sebagaimana yang dimaksudkan Barbier (2005) berdasarkan saran Lockert (2008) di atas haruslah difahami sebagai (1) belum ada lembaga yang optimal untuk MHL, (2) lembaga yang dimaksudkan adalah lembaga pada setting negara-negara berkembang (berbeda dengan negaranegara Barat), dan (3) dalam memahami kelembagaan disarankan pada proses dan hasil yang dapat menyebabkan kebijakan MHL yang secara sosial diinginkan, bukan pada mencari lembaga yang optimal. Sehingga dalam konteks pemahaman di atas maka sependapat dengan Barbier (2005) bahwa mengingat kondisi open access dan hak milik yang tidak jelas dianggap faktor penting yang mendorong perluasan lahan pertanian dan konversi hutan di negara-negara berkembang, perlu dikembangkan model ekonomi yang memadai untuk konversi lahan hutan open access yang dapat diuji secara empiris (khususnya peranan kelembagaan).
2 Kendala kelembagaan dan konversi hutan Di banyak daerah tropis, suatu faktor kunci yang mempengaruhi deforestasi adalah kurang efektifnya hak kepemilikan dan struktur kelembagaan lainnya mengendalikan akses dan pemanfaatan hutan. Padahal lembaga formal dan informal dapat mempengaruhi proses hilangnya hutan dengan memaksakan peningkatan biaya konversi pada petani yang membuka lahan hutan. 4
Di sini dianalisis peranan lembaga-lembaga formal dan informal sebagai kendala atas konversi hutan untuk pertanian di negara-negara berkembang. Perspektif pada lembaga yang diadopsi di sini mengikuti pendekatan North (1990), yang mendefinisikan lembaga sebagai ''kendala yang dirancang secara manusiawi yang bentuknya interaksi manusia'' dan yang ''mempengaruhi kinerja perekonomian karena pengaruhnya terhadap biaya pertukaran dan produksi”. Dengan.pendekatan ini maksudnya, seseorang dapat membuat model hubungan antara kendala kelembagaan dan jumlah hutan yang dikonversi untuk digunakan oleh petani dalam cara berikut. Pertama, jika lembaga menaikkan biaya konversi lahan, maka dimungkinkan
untuk
memanfaatkan
model
rumah
tangga
pertanian
untuk
merumuskan dampak yang dihasilkan pada jumlah lahan yang dikonversi yang digunakan oleh semua rumah tangga pertanian. Selain itu, tingkat ekuilibrium lahan yang dibuka akan berbeda dalam kondisi tidak ada kendala kelembagaan -yaitu situasi open access murni -dibandingkan dengan kondisi di mana ada kelembagaan yang efektif untuk mengendalikan konversi lahan. Karena lembaga meningkatkan biaya pembukaan lahan, lebih banyak lahan harus dikonversi di bawah open access. Ini pada gilirannya menunjukkan bahwa keberadaan kendala kelembagaan mencegah penyesuaian stok lahan dikonversi yang diinginkan oleh rumah tangga pertanian yang merupakan jumlah lahan yang bisa dibersihkan di bawah open access ke ekuilibrium jangka panjang.
3 Model open access murni dari konversi lahan Diasumsikan bahwa perilaku ekonomi dari seluruh rumah tangga petani pedesaan pada sektor pertanian negara berkembang dapat diringkas oleh perilaku rumah tangga representatif ke-j. Meskipun rumah tangga representatif adalah memaksimumkan utilitas, itu adalah price taker baik pada pasar input dan maupun pasar output. Tenaga kerja Farm dan off-farm rumah tangga diasumsikan substitusi sempurna, sehingga biaya oportunitas waktu rumah tangganya (yaitu tingkat upahnya) ditentukan eksogen. Perilaku rumah tangga oleh karenanya rekursif, dalam arti bahwa keputusan produksi dibuat terlebih dahulu dan kemudian keputusan konsumsi. Dalam jangka waktu, t, maka fungsi profit keputusan produksi rumah tangga pertanian representatif didefinisikan sebagai :
5
Max
(p, w, wN) = max Nj xj pƒ(xj, Nj) – wxj - wNN
(1.1)
Di mana input-input variable termasuk lahan yang dibuka oleh rumahtangga ke- j, Nj, dan satu vector, xj, input-input lain i,…, k (misalnya tenaga kerja, pupuk, bibit, dan lain-lain) yang digunakan dalam produksi output pertanian tunggal. Vektor yang sesuai harga input w, dan p adalah harga dari output pertanian. Akhirnya, wN adalah “harga''sewa lahan. Jika rumah tangga membersihkan lahan sendiri dari hutan diakses secara bebas, maka ini merupakan harga implisit, atau biaya oportunitas. Namun, jika rumah tangga membeli atau menyewa tambahan untuk membersihkan lahan dari pasar, wN akan menjadi harga sewa pasar dari lahan. Memanfaatkan Lemma Hotelling, permintaan turunan dari lahan yang dibuka oleh rumah tangga ke-j, Nj, karena itu: Nj = Nj (p, w, wN) = -∂ /∂wN, ∂Nj/∂wN < 0, ∂Nj/∂p > 0
(1.2)
Sebagaimana (1.2) adalah homogen derajat nol, ia juga bisa ditulis ulang sebagai fungsi harga relatif, menggunakan salah satu harga input, wi, sebagai sebuah numeraire: Nj = Nj (p/wi, w/wi,, wN/wi ), ∂Nj/∂(wN/wi) < 0, ∂Nj/∂(p/wi) > 0
(1.3)
Persamaan (1.2) dan (1.3) menggambarkan permintaan yang diperoleh dari lahan yang dibuka oleh rumah tangga representatif ke-j. Dengan asumsi teknologi pokok yang umum untuk semua rumah tangga pedesaan yang terlibat dalam pembukaan lahan memungkinkan kita untuk meng “agregat”kan baik hubungan ke dalam total permintaan lahan dikonversi oleh semua rumah tangga J. Untuk menyederhanakan analisis berikut, kami akan bekerja pertama-tama dengan hubungan permintaan turunan (1.2). Dalam mengagregatkan permintaan lahan yang sudah dibuka semua rumah tangga pertanian J, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi tingkat agregat konversi, seperti pendapatan per kapita, penduduk dan kebijakan ekonomi yang luas dan investasi-investasi masyarakat. Jadi, memungkinkan Z untuk mewakili satu atau lebih dari faktor-faktor eksogen dan permintaan
agregat
N
untuk
lahan
yang
dibuka,
yang
kemudian
dapat
dispesifikasikan sebagai: N = N (p, w, wN ; Z)
(1.4)
6
Sebagaimana
rumah tangga pedesaan umumnya yang memberikan
penawaran mereka sendiri untuk membersihkan lahan, N, kita dapat melihat tipe suplai sebagai semacam “produksi'' dari lahan terbuka diatur oleh kondisi-kondisi berikut. Sumber dari lahan terbuka (yaitu kawasan hutan) adalah sumber daya open access, sehingga lahan dibersihkan sampai ke titik tertentu di mana surplus produsen (sewa) yang dihasilkan oleh pembukaan lahan tambahan adalah nol. Input utama dalam pembukaan lahan adalah tenaga kerja, L, dimana pembayarannya secara eksogen ditentukan tingkat upah, wL, dan fungsi produksi diasumsikan homogen. Produksi lahan yang dibuka ini juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor eksogen, α, yang dapat mempengaruhi aksesibilitas ketersediaan lahan hutan konversi, termasuk jalan, infrastruktur, dan kedekatannya ke kota-kota besar dan kota. Dengan demikian kita dapat menetapkan fungsi biaya, berdasarkan biaya minimum untuk rumah tangga pedesaan menghasilkan tingkat tertentu lahan yang dibuka, N, untuk beberapa level fixed dari wL dan α, sebagaimana: Cj = Cj (wL, N ; α ) Dalam
kondisi
open
access,
masing-masing
(1.5) rumah
tangga
akan
mengkonversi areal hutan sampai ke titik di mana total revenue yang diperoleh dari konversi Nj unit lahan, wNNj, sama dengan total biaya yang disajikan (1.5). Jika rumah tangga petani membersihkan lahan sendiri, maka wN sekarang adalah harga “sewa” implisitnya rumahtangga, atau biaya oportunitas, dari memanfaatkan tambahan konversi lahan. Namun demikian, sebagaimana rumah tangga pada dasarnya adalah mensuplai lahan untuk dirinya sendiri, maka dalam keseimbangan harga implisit memastikan bahwa biaya rumah tangga untuk mensuplai lahan sendiri disamakan dengan permintaan turunannya untuk lahan yang dikonversi. Kemudian untuk wakil rumah tangga ke-jkondisi-kondisi biaya berikut untuk mensuplai lahan bersih sendiri harus memegang: wN = cj (wL, Nj; α), ∂cj/∂wL > 0,
(1.6)
∂cj/∂Nj > 0, ∂cj/∂α < 0, j = 1, …, J Sisi kanan (1.6) adalah kurva biaya rata-rata untuk pembukaan lahan, yang mungkin semakin meningkat dengan jumlah lahan yang dibuka, antara alasan lain, kita harus usaha lebih lanjut ke hutan untuk membuka lahan lebih banyak. Persamaan (1.6) menyajikan keseimbangan kondisi suplai “sendiri” untuk rumah 7
tangga yang memanfaatkan open access murni sumber daya. Artinya, dalam kesetimbangan, harga implisitnya rumah tangga untuk lahan yang dibuka akan disamakan dengan biaya per unitnya konversi hutan, sehingga memastikan bahwa setiap sewa dari kliring didisipasi. Bersama-sama dengan permintaan turunannya rumah tangga untuk lahan dikonversi (1.2), persamaan (1.6) menentukan tingkat ekuilibrium pembukaan lahan oleh rumah tangga sebagaimana harga implisitnya. Meskipun variabel yang terakhir ini tidak diobservasi, adalah mungkin untuk menggunakan (1.2) dan (1.6) untuk memecahkan untuk bentuk persamaan yang direduksi untuk level equilibrium lahan dibersihkan. Mensubstitusikan (1.6) untuk wN dalam persamaan (1.2), dan kemudian mengatur ulang untuk memecahkan hasil Nj: Nj = Nj (p, w, wN (wL, α), dNj/dwL = ∂Nj/∂wL + ∂Nj/∂wN ∂wN/∂wL dNj/dα
(1.7)
= ∂Nj/∂wN ∂wN/∂Nj/∂α > 0
Menggabungkan (1.7) seluruh rumah tangga J di provinsi atau wilayah yang mengkonversi lahan mereka sendiri, dan termasuk faktor eksogen Z, mengarah ke hubungan bentuk reduksi untuk tingkat ekuilibrium lahan bersih agregat. N* = N (p, wI, wL ; α, Z), dN/dp > 0, dN/dα > 0
(1.8)
Di mana tingkat upah, wL, sekarang dibedakan dari vektor harga untuk input selain tenaga kerja, wI. Jumlah lahan bukaan harus meningkat dengan harga output dan aksesibilitas lahan hutan. Namun, dampak dari perubahan dalam tingkat upah atau harga input lainnya adalah ambiguous. Untuk melengkapi penjelasan ini dikemukakan pendapat Diaw (2008) tentang apa yang dimaksud dengan open access. Open access adalah wilayah akses terbuka, di mana tidak ada hak properti yang ditetapkan relatif langka pada lingkungan agraria dan hutan. Di Kamerun Selatan, wilayah tersebut adalah terutama lahan tandus dan habis pakai, jalan besar atau kecil, dan sungai-sungai besar dan badan-badan air. Hutan yang tidak ditentukan penggunaannya adalah jarang, , bahkan ketika masyarakat di sekitarnya tidak aktif menggunakannya lagi. Dalam hal ini, akses terbuka harus dibedakan dari rezim 'akses komunal terbuka' Beberapa produk pohon mungkin memiliki status akses yang luar biasa terbuka. Misalnya kasus kulit kayu Esok (Garcinia lucida), obat penawar untuk 8
berbagai macam jenis racun. Kulit kayu ini biasanya dicampur dengan minuman anggur dan sejenis palem dalam pertemuan sosial dan dianggap sebagai barang sosial gratis, yang seharusnya dapat diakses oleh siapa saja (Diaw, 1997). Namun, dengan meningkatnya tekanan pada sumber daya ini dan pengembangan peluang pasar, ada kecenderungan yang meningkat untuk membatasi akses bebas dan memagari lebih tegas di dalam batas-batas kepemilikan komunal. Batas-batas komunal batas ini sebenarnya mendukung aktualisasi manfaat private pada tipe sumber daya.
4. Kendala-kendala kelembagaan dan konversi lahan Seperti dijelaskan dalam pendahuluan, kelembagaan dapat dilihat sebagai membentuk perilaku ekonomi melalui mempengaruhi biaya pertukaran dan produksi (North 1990). Dalam kasus deforestasi, lembaga formal dan informal yang efektif dapat membatasi kemampuan usahatani kecil dan lainnya untuk memperoleh dan mengkonversi hutan, sehingga meningkatkan biaya buka lahan dibandingkan dengan kondisi open access murni. Sebagai contoh, mudah untuk menunjukkan bahwa, jika lembaga- lembaga hak milik atau milik bersama memungkinkan individuindividu secara optimal mengelola sumber daya hutan untuk suplai lahan dikonversi, maka tidak hanya surplus produsen yang dihasilkan, tetapi juga biaya-biaya mensuplai lahan konversi selalu lebih tinggi daripada kondisi suplai open access. Namun, kondisi untuk menetapkan hak milik atau rezim milik bersama yang efektif untuk mengelola sumber daya secara optimal pada negara berkembang adalah ketat karena melibatkan menetapkan, memelihara dan melindungi hak-hak kepemilikan ini. Hal ini tidak mungkin bahwa kondisi-kondisi ini terpenuhi di daerah terpencil yang banyak, areal hutan perbatasan yang
rawan konversi pertanian.
Namun demikian, di beberapa daerah dan negara, kehadiran lembaga formal dan informal tidak mungkin mengarahkan pengelolaan yang optimal dari suplai lahan yang dikonversi dari hutan, tetapi
mungkin mengontrol eksploitasi open access
dengan membatasi pembukaan lahan dan meningkatkan biaya-biaya konversi. Jika kendala kelembagaan terhadap konversi hutan di negara-negara berkembang tidak beroperasi dengan cara ini, maka mudah untuk memperluas model konversi open access murni dari bagian sebelumnya untuk memasukkan dampak tersebut. Hal ini pada gilirannya dapat menghasilkan hipotesis efektivitas kendala kelembagaan terhadap deforestasi. 9
β menyajikan beberapa dampak dari lembaga pada biaya kliring lahan. Jika masing-masing meningkatkan biaya rata-rata kliring, maka harus mengikuti bahwa: cj (wL, Nj; α, β) > cj (wL, Nj; α)
( 1.9)
Dengan kendala kelembagaan, biaya pembukaan lahan per unit sekarang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi open access murni. Mendefinisikan NI sebagai jumlah agregat lahan yang dibuka di bawah adanya masing-masing kendala, maka dari (6,6) - (6,8): N* > NI = NI (p, w, wL ; α, β, Z)
(1.10)
Jumlah ekuilibrium lahan yang dibuka akan lebih rendah ketika ada kendala-kendala kelembagaan dibandingkan dengan kondisi open access murni.7 Hubungan di atas dapat digunakan untuk mengembangkan uji
empiris sederhana apakah kendala
kelembagaan dapat mempengaruhi tingkat deforestasi terkait pertanian. Jika Dt adalah angka laju deforestasi yang disebabkan oleh konversi pertanian selama periode waktu tertentu (t-1, t), maka definisinya Dt = Nt – Nt-1. Artinya, deforestasi adalah sama dengan perubahan jumlah lahan pertanian dibuka dan dibudidayakan oleh petani. Namun, persamaan (1.10) menunjukkan bahwa, jika dari periode waktu ke waktu (t-1, t) kendala kelembagaan ada, maka tingkat deforestasi di bawah kendala ini akan lebih kecil dari pada di bawah kondisi open access murni, yaitu DIt = NIt – Nt-1 < D*t = N*t – Nt-1. Penyesuaian tingkat konversi pertanian akan lebih lambat jika kendala kelembagaan menaikkan biaya pembukaan lahan. Dengan asumsi bahwa perbedaan dalam tingkat deforestasi masing-masing dapat dihitung oleh beberapa penyesuaian parameter,δ, karena itu berikut bahwa: DIt = NIt – Nt-1 = δ (N*t – Nt-1) = δ D*t
0≤δ ≤1
(1.11)
Persamaan (1.11) adalah model penyesuaian parsial basis. Hal ini memungkinkan untuk langsung menguji apakah dampak kelembagaan dampak terhadap biaya pembukaan lahan, β , yang membatasi perluasan lahan pertanian tanpa harus menentukan hubungan antara β dengan jumlah lahan yang dibersihkan, NIt. Misalnya, jika δ = 1 maka ini menunjukkan bahwa dampak kelembagaan, β, mempunyai dampak yang diabaikan pada konversi lahan, yaitu level actual dari konversi lahan adalah setara dengan level kondisi open access murni, D*t . Sebaliknya, δ = 0 menunjukkan bahwa kendala kelembagaan pada konversi lahan secara absolute mengikat, dan perubahan penggunaan lahan tidak respon pada salah satu faktor yang mempengaruhi suplai dan demand untuk lahan yang dibuka, 10
yakni NIt – Nt-1. Nilai δ dalam dua ekstrim ini akan menunjukkan sejauh mana dampak kelembagaan, β,pada biaya pembukaan lahan adalah ''menghambat” laju konversi hutan. Mensubstitusikan
persamaan
(1.8)
ke
(1.11)
menghasilkan
model
penyesuaian parsial untuk lahan yang dibuka. Untuk tujuan estimasi, versi linear untuk model ini diasumsikan: NIt = δ [ γo + γ1pt + γ2wt + γ3 wLt + γ4αt + γ5Zt ] + λNt-1 + δµt
(1.12)
Di mana λ = 1 – δ dan µt adalah error term. Atau, menggunakan spesifikasi harga relatif (1.3): NIt = δ[ γo + γ1pt/wit + γ2wt/wit + γ3 wLt/wit + γ4αt + γ5Zt ] + λNt-1 + δµt
(1.13)
Salah satu dari regresi (1.12) atau (1.13) akan menghasilkan koefisien estimasi δγk, yang menggambarkan dampak penyesuaian (adjust) dari variabelvariabel penjelas pada konversi lahan dibawah adanya kendala kelembagaan. Parameter adjust δ itu dapat dihitung dari nilai estimasi λ.
Nilai terakhir pada
gilirannya dapat digunakan untuk menurunkan koefisien γk, yang menunjukkan dampak dari variabel-variabel penjelas di bawah kondisi open access. Oleh karena itu perkiraan regresi akan menghasilkan tes langsung hipotesis bahwa keberadaan control-kontrol kelembagaan formal maupun informalpada pembukaan lahan akan membatasi perluasan lahan dan dengan demikian tingkatdeforestasi. Artinya, jika
λ = (1 – δ) > 0, maka kendala kelembagaan yang efektif pada pembukaan lahan akan mengurangi laju deforestasi akibat perluasan lahan pertanian.
5. Intisari studi kasus yang mendukung model Barbier Di sini penulis menyajikan dua penelitian yang menggunakan model Barbier (2005) di atas. Barbier (2002) dalam penelitiannya mengenai kendala-kendala kelembagaan dan deforestasi: sebuah Aplikasi di Mexico disarikan sebagai berikut : 1. Ayat 27 Konstitusi Mexico tahun 1917 menetapkan, ejido, sebagai lembaga pertanahan utama di perdesaan yang menyajikan suatu kerangka kerja pengelolaan bersama, kepemilikan lahan berbasis komunitas. Walaupun hak penggunaan individual dari lahan bisa ditugaskan melalui suatu keputusan 11
yang kolektif yang dibuat oleh masyarakat, hak penggunaan lahan tidak bisa disewakan, dijual atau digadaikan. Selanjutnya pada periode 1989-94, Mexico yang menerapkan serangkaian besar reformasi pedesaan yang diarahkan untuk mentransformasikan sektor pertaniannya untuk mempromosikan investasi pribadi dan pertumbuhan. Salah satu perubahan yang yang paling penting
dari NAFTA ialah
revisi peraturan tahun1992 kepemilikan lahan
Mexico, seperti yang diabadikan ayat 27 dari Konstitusi Mexico 1917. 2. Suatu analisa dari suatu ekspansi lahan pertanian yang terjadi di Mexico sepanjang periode reformasi pra-NAFTA adalah suatu studi kasus yang relevan untuk menguji efektivitas dari kendala
kelembagaan terhadap
deforestasi. Ini diterapkan pada 31 negara bagian di Mexico, ditambah Federal District, dan dimasukkan periode waktu 1960, 1970, 1980 dan 1985 3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk model pengaruh-pengaruh acak, sebagaimana regresi yang diperoleh. Rasio harga maizena-pupuk, populasi dan lag lahan yang ditanami adalah sangat signifikan dan mendorong ke arah suatu peningkatan areal lahan pertanian. Rasio tingkat upah pedesaan dengan harga pupuk adalah juga signifikan pada level 5%. Seperti diduga, suatu peningkatan di dalam perbandingan ini menunjukkan ke arah penurunan pada areal yang ditanam. Akan tetapi, baik pendapatan per kapita maupun kepadatan jalan adalah suatu faktor yang signifikan yang menjelaskan perluasan areal pertanian. Tanda yang negatif dari variabel yang terakhir ini menyarankan bahwa ini mencerminkan pertumbuhan urbanisasi yang cepat pada banyak negara bagian lebih dari pada mengindikasikan aksesibilitas yang lebih besar ke wilayah batas hutan. 4. Sebagaimana
dicatat,
koefisien
pada
lag
lahan
pertanian,
adalah
bersignifikan tinggi dan relatif besar. Ini berimplikasi bahwa hipotesis nol bahwa kendala kelembagaan efektif membatasi membatasi tingkat perluasan lahan tidak bisa ditolak pada periode
1960-85 di Mexico. Keberadaan
kepemilikan komunal ejido dari lahan pertanian dan hutan menghasilkan beberapa derajat tingkat pengendalian terhadap konversi lahan pra-NAFTA di Mexico, dengan demikian melambatkan langkah deforestasi dibandingkan dengan kondisi-kondisi akses terbuka murni. Dibandingkan dengan kondisikondisi akses yang terbuka murni, manajemen lahan ejido oleh karenanya mitigasi karena itu insentif-insentif untuk petani untuk mengkonversi lahan 12
hutan ke pertanian sebagai respon terhadap beberapa peningkatan pada rasio harga maizena-pupuk sepanjang pre-NAFTA . 5. Hasil regresi ini
adalah juga konsisten dengan model
teoritis tentang
konversi lahan oleh petani penggarap. Secara berurutan dari yang paling besar, pengaruh signifikan pada perluasan lahan untuk pertanian pra NAFTA di Mexico adalah rasio harga maizena-pupuk, yang diikuti oleh rasio upahharga pupuk dan kemudian populasi. Seperti dicatat, petani penggarap yang bertani di (dalam) Mexico (di) atas 1960-85 telah ditandai oleh produktivitas pertanian rendah, sebagian besar berbasis maizena dan
sebagian besar
tergantung pada tenaga kerja UT yang unskilled dan lahan sebagai input yang utama (Brown 1997; Cornelius dan Myrhe 1998; World Bank 1989). Walaupun beberapa subsidi-subsidi yang diperbantukan untuk meningkatkan penggunaan pupuk antara petani, masukan ini yang cenderung untuk underutilized, terutama oleh para petani penggarap yang lebih miskin. 6. Walaupun perubahan rasio harga maizena-pupuk, rasio upah-harga pupuk dan populasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi konversi hutan di Meksiko pra-NAFTA, ditunjukkan bahwa dampak tersebut dapat diatasi dengan kontrol yang efektif terhadap penggunaan lahan dan kepemilikan dari manajemen kolektif ejido dibandingkan dengan kondisi akses terbuka murni. Isu kunci adalah, tentu saja, apakah ada atau tidak reformasi pedesaan di Meksiko tahun 1989-94,
dan terutama tahun 1992 reformasi kepemilikan
lahan ejido, hambatan kelembagaan telah mempengaruhi pada konversi lahan di era pasca-NAFTA. Kesimpulannya, terdapat tingkat kontrol kelembagaan pada konversi hutan oleh petani kecil di perdesaan Meksiko. Selanjutnya Barbier dan Cox (2004) menganalisa secara ekonomi terhadap ekspansi usahatani udang dan konversi lahan di Thailand dengan intisarinya adalah 1. Masalah konversi lahan pantai untuk budidaya udang komersial adalah topik yang sangat diperdebatkan dan kontroversial di Thailand, sehingga penelitian menggunakan model konversi lahan yang dikemukakan Barbier (2005) dilakukan. 2. Dari hasil studi kasus ini memberikan bukti kuat bahwa model akses terbuka konversi lahan berlaku untuk ekspansi usahatani udang dan hilangnya mangrove
di
Thailand
dari
tahun
1979-1996.
Namun,
beberapa
13
perkembangan terakhir bisa sangat mempengaruhi dampak masa depan budidaya udang dalam konversi mangrove di Thailand Selatan. 3. Kebijakan manajemen lokal dapat sebagai gabungan “kendala-kendala kelembagaan” formal dan informal yang efektif bertindak pada hilangnya mangrove karena ekspansi usahatani udang di Thailand. 4. Dari
model konversi lahan yang digunakan menunjukkan hasilnya dapat
untuk memperlambat laju konversi. Hal ini juga dapat menyebabkan penggunaan lahan yang lebih efisien, termasuk pemilihan areal mangrove yang paling tepat untuk konversi ke usahatani udang.
Penutup Memperhatikan uraian-uraian di atas maka dapat diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Lembaga formal dan informal berperan sebagai kendala atas konversi hutan untuk pertanian di negara berkembang. 2. Open access dan hak kepemilikan tidak jelas dianggap menjadi dua faktor penting yang mendorong perluasan lahan pertanian dan konversi hutan di negara-negara berkembang. 3. Telah dikembangkan suatu model ekonomi untuk konversi lahan hutan dengan open access yang
secara empiris teruji. Model ini menunjukkan
secara formal bahwa tingkat ekuilibrium membuka lahan akan berbeda dalam kondisi tidak ada kendala “kelembagaan”- yaitu situasi open access murnidibandingkan dengan kondisi di mana ada kelembagaan yang efektif untuk mengendalikan konversi lahan. 4. Oleh karena kelembagaan
meningkatkan biaya pembukaan lahan, lebih
banyak lahan harus dikonversi di bawah open access murni. Ini berarti bahwa, di mana seseorang percaya “kendala “ kelembagaan pada konversi lahan ada, tes sederhana untuk dampak menghambat ini dapat diderivasi dengan menggunakan mekanisme penyesuaian parsial untuk tingkat ekuilibrium lahan yang dibuka.
14
DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, 2010. Larangan pembakaran Hutan dan Lahan di Kalteng. http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/23/ jangan-abaikan-kearifan-lokal/. 22 Nopember 2010 Barbier, E. B. 2002. Institutional Constraints and Deforestation: An Application to Mexico. Economic Inquiry 40(3): 508–519. Barbier, E. B. and M. Cox. 2004. An Economic Analysis of Shrimp Farm Expansion and Mangrove Conversion in Thailand. Land Economics, 80(3): 389–407. Diaw, M. C. 2008. Modern Economic Theory And The Challenge Of Embedded Tenure Institutions: African Attempts To Reform Local Forest Policies. Institutions, Sustainability, and Natural Resources. Netherlands: Printed on acid-free paper Dohong, Alue. 2009. Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Perlindungan Flora dan Fauna Endemik. http://aluedohong.blogspot.com/2009/05/kearifan-lokaldayak-dalam-perlindungan. 22 Nopember 2010 Forest Watch Indonesia, 2009. Ancaman Deforestasi dan Kerusakan Lahan Gambut di Tengah Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Kalimantan Tengah. http://fwi.or.id/?p=76. Oktober, 26, 2010 Lokert, M. K. 2008 In Search of Optimal Institutions for Sustainable Forest Management: Lessons from Developed and Developing Countries in Kant S. (Ed.) 2008. Institutions, Sustainability, and Natural Resources. Netherlands: Printed on acid-free paper North, D. C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press, Cambridge. Nugroho, Wahyu Catur, 2003. Konsep Pemanfaatan Beje dan Parit sebagai Sekat Bakar Partisipatif di Hutan dan Lahan gambut. http://www.peat-portal.net/newsmaster.cfm?&menuid=40&action=view& retrieveid=718 Nurdin, 2011. Hutan Kalimantan Rusak, 80% Karena Perkebunan Sawit. http://berita.kapanlagi.com/ekonomi/nasional/hutan-kalimantan-rusak-80karena-perkebunan-sawit-7ev4ran.html Peacock, K. W. 2008. Global Issues: Natural Resources and Sustainable Development. New York: Facts on File, Inc., An imprint of Infobase Publishing. Trinugroho, A. T. dan D. Werdianto, 2011. Pembangunan Daerah-Kalimantan Tengah Jadi Proyek Percontohan. Jakarta : Harian Umum KOMPAS, Kamis, 13 Januari 2011.
15