1
KONVERSI LAHAN DAN DAMPAK YANG DITIMBULKAN TERHADAP IMPLIKASI TATA GUNA LAHAN PADA MASYARAKAT PERKOTAAN (Proses Pembentukan Kampung Pengarengan, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur)
Rubyani Indrawan Putri A14204034
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
RINGKASAN RUBYANI INDRAWAN PUTRI. Konversi Lahan dan Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Tata Guna Lahan Pada Masyarakat Perkotaan (Kasus Pembentukan Kampung Pengarengan, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur). Di bawah bimbingan MARTUA SIHALOHO. Pembangunan dan pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan akan jumlah lahan yang tidak sedikit, sehingga lahan yang dapat dimanfaatkan semakin terbatas, sedangkan permintaan akan kebutuhan lahan (land) oleh manusia, selaku subjek agraria semakin meningkat. Hal ini dapat berujung pada terjadinya konversi lahan atau alih fungsi lahan. Konversi lahan merupakan perubahan fungsi lahan baik dari lahan pertanian ke non-pertanian ataupun sebaliknya. Khusus untuk kasus di perkotaan, konversi lahan yanhg paling sering terjadi adalah perubahan fungsi ruang publik kota menjadi tempat tinggal. Perubahan alih fungsi lahan yang terjadi terkadang tidak sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan, salah satunya adalah pembentukan Kampung Pengarengan di daerah Jakarta Timur yang merupakan contoh kasus konversi lahan yang kemudian berdampak kepada penyimpangan RTRW yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.. Penelitian ini bertujuan untuk: 1)mengetahui proses konversi lahan, yaitu terciptanya pemukiman Kampung Pengarengan, serta menginterpretasikan dampak yang ditimbulkan terkait konversi yang terjadi, 2)mengetahui aksibilitas penduduk terhadap lahan yang terdapat di Kampung Pengarengan, dan 3)mengkaji implikasi yang ditimbulkan dari dampak konversi lahan yang terjadi terhadap Rancangan Tata Ruang Wilayah dan tata guna lahan perkotaan. Kampung Pengarengan merupakan pemukiman yang berdiri diatas lahan dengan hak kelola oleh PT. Pulomas Jaya dengan luas hingga 25.066 meter persegi. Lahan Kampung Pengarengan pada awalnya merupakan lahan rawa yang memiliki fungsi sebagai daerah resapan air untuk daerah Pulomas dan sekitarnya. Kampung Pengarengan merupakan pelebaran pemukiman dari Kampung Pedongkelan. Penduduk yang menempati pemukiman tersebut merupakan masyarakat pendatang yang bermigrasi ke ibukota Jakarta dengan maksud memperbaiki taraf hidup dengan mata pencaharian sebagian besar merupakan pedagang. Sebagai daerah pemukiman kumuh, Kampung Pengarengan beserta penduduk yang bermukim diatasnya tidak diakui keberadaannya oleh pihak kelurahan, namun lahan tempat berdirinya pemukiman tersebut terdaftar sebagai milik Pemerintahan DKI Jakarta dengan hak kelola PT. Pulomas Jaya. Konversi lahan yang terjadi di Kampung Pengarengan dari lahan rawa sebagai daerah resapan air menjadi suatu pemukiman tidak hanya memberikan dampak terhadap struktur agraria, tetapi juga dampak ekologi yang dirasakan baik oleh penduduk kampung ataupun oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Pulomas. Dampak yang ditimbulkan terkait perubahan terhadap struktur agraria di lahan Kampung Pengarengan adalah perubahan sistem penguasaan lahan dan perubahan nilai orientasi lahan. Perubahan sistem penguasaan lahan di Kampung Pengarengan berubah dari Tipe Sosialisme menjadi Tipe Populisme. Perubahan nilai orientasi lahan yang terjadi di Kampung Pengarengan merupakan perubahan
3
nilai sosial terhadap lahan yang menjadi melemah diakibatkan meningkatnya nilai ekonomis terhadap lahan oleh penduduk Kampung Pengarengan. Aksesibilitas masyarakat pendatang terhadap lahan Kampung Pengarengan didasarkan pada hubungan sosial. Pendatang yang memiliki hubungan sosial keluarga ataupun pertemanan akan lebih mudah untuk mengakses lahan dibandingkan dengan pendatang yang tidak memiliki hubungan sosial dengan penduduk Kampung Pengarengan. Hal ini juga berlaku untuk aksesibilitas penduduk terhadap penguasaan lahan, penguasaan lahan di Kampung Pengarengan terbagi akan dua. Pertama Penguasaan lahan yang terjadi secara turun-temurun, dan kedua yaitu penguasaan lahan yang terjadi karena memiliki persamaan etnik tertentu. Penguasaan lahan turun-temurun terjadi untuk lahan pertanian, dimana penduduk yang bisa mengusahakan lahan adalah penduduk yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan pertanian. Penguasaan lahan yang terjadi karena memiliki persamaan etnik terjadi untuk penguasaan lahan pemukiman. Tempat tinggal (rumah) yang terdapat di Kampung Pengarengan untuk penyewaannya dikuasai oleh satu kelompok tertentu, dimana hanya kelompok tersebut yang memiliki akses untuk menyewakan tempat tinggal kepada pendatang. Penguasaan berdasarkan salah satu kelompok etnik tertentu membuat tertutupnya akses bagi penduduk dari kelompok etnik lain untuk mengusahakan lahan sebagai tempat tinggal. Penduduk Kampung Pengarengan tidak selalu memberikan dampak negatif, ada dampak positif dari keberadaan mereka yaitu sebagai penyangga perputaran roda ekonomi kota. Ragam mata pencaharian yang terdapat di Kampung Pengarengan memberikan kontribusi yang secara tidak sadar membuat penduduk kampung berperan dalam sistem ekonomi kota. Hal ini memberikan efek spiral (multiplier effect) bagi kesejahteraan kota. Sehingga timbul pertautan sosiologis yang saling menguntungkan antara penduduk Kampung Pengarengan dengan masyarakat luas yang berujung kepada tercipta hubungan mutualisme diantara keduanya Pembentukan Kampung Pengarengan sebagai salah satu bentuk konversi lahan di perkotaan juga memberikan dampak terhadap tata guna lahan di perkotaan. Dampak yang timbul terhadap tata guna lahan adalah penyimpangan terhadap Rancangan Tata Ruang Wilayah yang sudah ditetapkan untuk Kampung Pengarengan dan sekitarnya dalam Surat Keputusan Gubernur no 1459 tahun 1992. Fungsi lahan di Kampung Pengarengan sebenarnya adalah sebagai Keperuntukan Untuk Taman (KUT). Timbulnya Kampung Pengarengan menunjukan salah satu penyimpangan yang terjadi dari fungsi taman menjadi pemukiman. Penyimpangan kedua yang mungkin akan terjadi di Kampung Pengarengan adalah apabila PT. Pulomas Jaya merealisasikan program pembangunan Business and Culture Complex diatas lahan Kampung Pengarengan dan Kampung Pedongkelan dalam rangka pengoptimalisasian lahan yang dimiliki oleh PT. Pulomas Jaya.
4
KONVERSI LAHAN DAN DAMPAK YANG DITIMBULKAN TERHADAP IMPLIKASI TATA GUNA LAHAN PADA MASYARAKAT PERKOTAAN (Kasus Pembentukan Kampung Pengarengan, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur)
RUBYANI INDRAWAN PUTRI A14204034
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
5
6
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Rubyani Indrawan Putri
NRP
: A 14204034
Program Studi
: Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi
: Konversi Lahan dan Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Tata Guna Lahan Perkotaan (Kasus Pembentukan Kampung
Pengarengan,
Kelurahan
Kayu
Putih,
Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Martua Sihaloho, SP., MSi. NIP. 132 321 421
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian:
7
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KONVERSI LAHAN DAN DAMPAK YANG DITIMBULKAN TERHADAP IMPLIKASI TATA GUNA LAHAN PERKOTAAN” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA SUMBER DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, Juli 2008
Rubyani Indrawan Putri NRP. A14204034
8
RIWAYAT HIDUP Rubyani Indrawan Putri (penulis) dilahirkan di Jakarta, 23 September 1986 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan suami istri Robby Indrawan dan Devi Lenny. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SDN IKIP Rawamangun, Jakarta pada tahun 1997. Pada awal tahun 1998, penulis melanjutkan lagi ke SLTP N 99 Jakarta Timur. Pertengahan tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikannya lagi ke Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, Malaysia dan lulus pada tahun 2004. Semasa SMA penulis aktif dalam kegiatan yang diadakan oleh Kedutaan Indonesia, diantaranya menjadi bagian dari PASKIBRA Indonesia untuk acara hari nasional di kedutaan. Pada tahun 2004, penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima di Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Semasa kuliah, Penulis pernah aktif dalam organisasi kampus. Penulis pernah aktif menjadi penyiar radio di Agri FM, sebagai radio komunitas Institut Pertanian Bogor. Penulis juga pernah menjabat sebagai asisten dosen untuk mata kuliah Dasar-Dasar Komunikasi dan Komunikasi Bisnis.
9
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi yang berjudul “Konversi Lahan dan Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Tata Guna Lahan Perkotaan” ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, bimbingan, bantuan, dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung sejak awal penulisan sampai skripsi ini diselesaikan. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Martua Sihaloho, SP., MSi sebagai pembimbing studi pustaka dan pembimbing skripsi yang selalu bersedia meluangkan waktu, memberikan saran, dan juga memberikan dukungan kepada penulis. Skripsi ini membahas mengenai proses terjadinya konversi di lahan Kampug Pengarengan, yakni perubahan fungsi lahan dari daerah penyerapan air menjadi pemukiman. Selain itu penulis ingin mengetahui bagaimana aksesibilitas masyarakat terhadap lahan Kampung Pengarengan. Penulis ingin menganalisis dampak yang ditimbukan terkait konversi lahan yang terjadi terhadap tata guna lahan perkotaan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat sebagai referensi skripsi selanjutnya, khususnya yang mengangkat topik serupa.
Bogor, Agustus 2008
Rubyani Indrawan Putri
10
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi yang berjudul “Konversi Lahan dan Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Tata Guna Lahan Pada Masyarakat Perkotaan” ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan saran, bimbingan, bantuan dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung sejak awal penulisan sampai skripsi ini diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Penduduk Kampung Pengarengan atas keramahan dan kerjasamanya, terutama kepada para responden dan informan yang selalu bersedia membantu penulis dalam memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga penulis dapat memperoleh data yang dibutuhkan untuk keperluan penelitian. Terima kasih juga kepada AKP Sakino yang selalu bersedia memberikan informasi dan membantu penulis dalam pemilihan informan. 2. Ibu Fitri dan Bapak Teguh selaku perwakilan dari PT. Pulomas Jaya. Terima kasih telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian mengenai salah satu lahan yang dikelolanya. Terima kasih juga karena bersedia meluangkan waktu serta memberikan informasi yang diperlukan oleh penulis. 3. Kedua orang tua, kakak dan adik tercinta yang tidak pernah berhenti memberikan semangat, dorongan, perhatian, kasih sayang, khususnya doa yang menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan yang terbaik.
11
4. Martua Sihaloho, SP., MSi sebagai Pembimbing Studi Pustaka dan Pembimbing Skripsi. Semoga semua ilmu, dorongan dan bimbingan yang diberikan dapat bermanfaat dan menjadi semangat bagi penulis untuk terus belajar. Penulis juga ingin meminta maaf atas segala kesalahan yang dilakukan, baik dari perkataan ataupun tindakan yang mungkin kurang berkenan di hati selama menjadi bimbingan. 5. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai Penguji Utama dalam sidang skripsi. Terimakasih atas masukan dan saran yang Bapak berikan untuk menyusun sebuah skripsi yang baik, secara teknis maupun teoritis. Mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga dapat menjadi pelajaran berharga untuk menghasilkan sebuah karya yang lebih baik. 6. Ratri Virianita SSos, MSi sebagai Penguji Wakil Departemen. Terimakasih Ibu, atas saran dan koreksi yang diberikan kepada penulis untuk menyusun sebuah skripsi yang baik, secara teknis maupun teoritis. 7. Muhamad Sani Muharam Syaiful, SP yang selalu memberikan dukungan, perhatian, semangat dan keceriaan dalam kompetisi penyelesain skripsi ini, juga mendorong penulis untuk menjadi orang yang lebih baik. 8. B.E.Yulian, SP terima kasih atas brainstorming dan bantuan yang diberikan kepada peneliti. 9. Irchfan Delonix. Terima kasih atas semua bantuan, dorongan, dan kesabaran yang selalu diberikan kepada penulis.
12
10. Teman-teman satu perjuangan Yunda, Mira, Oline, Adi, Munir, Fitri, Adisty, Refi, Renny, Intan, Frita, Retno dan Yuddi ”Nceq” yang selalu membagi tawa dan semangat dalam meraih impian bersama. 11. KPM’ers 41 yang selalu berbagi keceriaan dan semangat untuk berjuang. 12. Penghargaan dan ucapan terima kasih ini juga saya sampaikan kepada yang belum tercantumkan namanya. Meski tidak tercantum, tetapi nama dan keberadaan kalian sangat berarti dalam hidup ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat sebagai referensi skripsi selanjutnya, khususnya yang mengangkat topik serupa. Bogor, Agustus 2008
Rubyani Indrawan Putri
13
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .......................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN..................................................................... v
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah .......................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian .............................................................. 6 1.4. Kegunaan Penelitian .......................................................... 6 BAB II.
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan (Land Use) ....................... 7 2.2. Pola Penguasaan Lahan dan Struktur Agraria ................... 9 2.3. Konversi Lahan dan Faktor Penyebab .............................. 11 2.4. Rancangan Tata Ruang Wilayah dan Implementasinya .... 15 2.5. Tata Guna Lahan Dalam Perkotaan dan Pedesaan ............ 18 2.6. Teori Akses ........................................................................ 19 2.7. Kerangka Pemikiran .......................................................... 23 2.8. Hipotesis Pengarah ............................................................ 25
BAB III. METODOLOGI 3.1. Pendekatan Penelitian ....................................................... 26
14
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................ 27 3.3. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 28 3.4. Teknik Analisis Data ......................................................... 32 BAB IV. LOKASI KAMPUNG PENGARENGAN SEBAGAI LOKASI PENELITIAN 4.1. Profil Lahan Kampung Pengarengan ................................ 34 4.2. Demografi Kampung Pengarengan ................................... 36 4.2.1. Penduduk ................................................................. 36 4.2.2. Mata Pencaharian .................................................... 38 4.3. Fasilitas Sosial Didalam Kampung Pengarengan ............ 41 4.4. Ikhtisar ............................................................................. 42
BAB V.
LAHAN KAMPUNG PENGARENGAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK KONVERSI LAHAN DI PERKOTAAN
5.1. Proses Pembentukan Kampung Pengarengan .................. 44 5.2. Dampak Pembentukan Kampung Pengarengan ................ 49 5.2.1. Perubahan Pola Penguasaan Lahan ......................... 50 5.2.2. Sistem Penguasaan Lahan di Kampung Pengarengan 53 5.2.3. Perubahan Orientasi Nilai Lahan ............................ 57 5.2.4. Dampak Ekologi ..................................................... 58 5.3. Ikhtisar ............................................................................. 60
15
BAB VI. AKSESIBILITAS MASYARAKAT TERHADAP LAHAN KAMPUNG PENGARENGAN 6.1. Aksesibilitas Pendatang Terhadap Lahan ........................ 62 6.2. Aksesibilitas Penduduk Dalam Penguasaan Lahan........... 66 6.3. Aksesibilitas Penduduk Dalam Menunjang Ekonomi Kerakyatan dan Menopang Roda Ekonomi Kota................................................. 68 6.4. Aksesibilitas Penduduk Dalam Pengakuan Sebagai Warga DKI Jakarta ........................................................... 70 6.4. Ikhtisar ............................................................................. 73 BAB VII. KONVERSI LAHAN DALAM RANCANGAN TATA RUANG WILAYAH DAN APLIKASINYA DI MASYARAKAT KAMPUNG PENGARENGAN 7.1. Tata Guna Lahan Pada Masyarakat Kampung Pengarengan. 76 7.2. Perencanaan Pembangunan Kawasan Lahan Kampung Pengarengan ..................................................... 77 7.3. Rancangan Tata Ruang Wilayah Kampung Pengarengan 81 7.4. Ikhtisar ............................................................................. 85
BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan ...................................................................... 87 8.2. Saran ................................................................................. 88 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 90
16
LAMPIRAN .................................................................................... 92
DAFTAR TABEL Nomor Halaman
Tabel 1. Data Responden (Subyek Tineliti)....................................... 30 Tabel 2. Penyimpangan Rancangan Tata Ruang Wilayah yang Terjadi di Kampung Pengarengan ............................. 83
17
DAFTAR GAMBAR Nomor
Gambar 1.
Halaman
Kerangka Pemikiran……………………. …………...
24
18
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Halaman Panduan Pertanyaan……………….. ……………………. Pengalaman Penelitian…………………. ……………….. Contoh Penduduk…………………......…………………. Proyek Pengembangan Waduk Ria-Rio…………………. Blue Print RTRW Kampung Pengarengan ……………….. Blue Print Proyek Pengembangan Waduk Ria-Rio …….. Wilayah Kampung Pengarengan………………………..... Wilayah Dalam Kampung Pengarengan……………….. ..
92 95 98 100 105 106 107 108
19
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk
terbesar di dunia. Penduduk Indonesia menurut data Biro Pusat Statistik tahun 2007 adalah 234.693.997 jiwa. Jumlah ini bertambah terus setiap tahun dengan laju pertumbuhan penduduk 1,5 persen (Data BPS, 2008). Pertambahan penduduk ini secara otomatis mengakibatkan semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk. Sebagai gambaran, tingkat kepadatan penduduk Indonesia pada tahun 2007 adalah 123,23 jiwa per kilometer persegi (Data BPS, 2008). Peningkatan kepadatan penduduk Indonesia yang sedemikian cepat mengakibatkan kebutuhan akan lahan sebagai tempat beraktivitas juga meningkat. Aktivitas pembangunan yang berlangsung di berbagai bidang, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dengan luas yang mencapai 664 kilometer persegi dan jumlah penduduk yang mencapai 8.860.381 jiwa pada tahun 2007, dengan kepadatan penduduk 13.344 jiwa per kilometer persegi pada tahun 2007 (Data BPS 2008) menyebabkan peningkatan kebutuhan jumlah lahan yang tidak sedikit. Pembangunan ini pada akhirnya menyebabkan lahan yang dapat dimanfaatkan semakin terbatas, sedangkan permintaan akan kebutuhan lahan (land) oleh manusia, selaku subjek agraria semakin meningkat. Dengan demikian, penggunaan sumber daya lahan akan mengarah kepada penggunaan yang secara ekonomis lebih menguntungkan. Lahan yang pada awalnya merupakan lahan pertanian telah banyak yang berubah fungsi menjadi pemukiman atau industri.
20
Peningkatan nilai ekonomis yang terjadi terhadap lahan, menimbulkan perebutan sistem kepemilikan lahan (land tenure). Kasus perebutan tanah di daerah Meruya antara PT. Portanigra dengan warga menjadi salah satu contoh sengketa kepemilikan lahan. Pemilikan tanah bagi bangsa Indonesia dicantumkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 20 dimana dikatakan bahwa “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah”. Selain hak milik, subjek agraria dapat menguasai lahan di perkotaan dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa (Undang-Undang No 5 Tahun 1960, pasal 16). Namun, pemanfaatan tanah yang dikuasai oleh subjek agraria dibatasi oleh kepentingan-kepentingan umum seperti rencana pengembangan suatu wilayah tertentu. Pemanfaatan lahan disesuaikan dengan rencana pengembangan perkotaan yang dirumuskan dalam suatu tata guna lahan (land use). Tata guna lahan dirumuskan dan disesuaikan dengan kebutuhan suatu wilayah, baik perkotaan ataupun pedesaan. Hal ini disebabkan susunan struktur dan pemanfaatan tanah yang berbeda antara pedesaan dan perkotaan. Perkotaan dalam pemanfaatan tanah lebih banyak ditekankan dalam pemanfaatan untuk kawasan pemukiman, kawasan lapangan pekerjaan, dan kawasan rekreasi (Jayadinata 1999). Peraturan mengenai pemanfaatan dan penggunaan tanah dirumuskan dengan tujuan agar tanah yang jumlahnya semakin terbatas dapat digunakan sebaik-baiknya, dan memenuhi semua kepentingan dari berbagai sektor. Pemanfaatan dan penggunaan lahan dapat juga diartikan sebagai suatu tata ruang. Ruang dan wilayah disini juga termasuk ke dalam sumberdaya agraria,
21
dengan pengertian ruang menurut Jayadinata (1999), merupakan suatu wilayah dengan batas geografi tertentu yang terdiri dari lapisan tanah di bawahnya juga lapisan udara di atasnya dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan, sedangkan wilayah merupakan suatu kesatuan antara tanah dengan manusia, dimana adanya hubungan diantara keduanya. Rencana tata ruang berguna untuk membagi ruang yang ada didalam suatu bagian secara lebih spesifik seperti pemukiman, tempat perdagangan (pasar), industri, dan juga ruang terbuka hijau (Jayadinata 1999). Alokasi ruang terbesar dimanfaatkan untuk perumahan dan pemukiman, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.80/1999 mengenai Kawasan Siap Bangun dan dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Pemukiman (KSNPP). Peraturan tersebut menjelaskan bahwa perumahan dan pemukiman tidak dapat terpisahkan dari ruang yang harus dimanfaatkan, terkait dengan
penyediaan
sarana dan prasarana (utilitas umum). Dirumuskannya suatu Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) bertujuan untuk mengatur pemanfaatan lahan secara spesifik sesuai dengan perencanaan tata pengembangan kota. Suatu
rancangan
yang
sudah
ditetapkan
pemerintah
dengan
memperhatikan tujuan bersama terkadang pada kenyataanya masih sering terjadi benturan kepentingan. Hal ini berujung pada alih fungsi lahan atau biasa disebut konversi lahan. Selain benturan kepentingan, konversi lahan juga disebabkan oleh keterbatasan lahan, dan tingkat kebutuhan. Pengalihan fungi lahan ini dapat berupa perubahan dari fungsi pertanian menjadi pemukiman atau industri. Perubahan fungsi lahan dapat pula terjadi dalam arah sebaliknya dari fungsi industri atau pemukiman menjadi fungsi pertanian atau jalur hijau. Alih fungsi
22
lahan ini mengakibatkan RTRW yang sudah ditetapkan tidak berjalan sesuai dengan rencana. Jakarta Timur sebagai bagian dari ibukota Jakarta, secara administratif memiliki luas hingga 18,736 kilometer persegi dan jumlah penduduk yang mencapai 2.167.928 jiwa pada tahun 2008 (Situs Resmi Jakarta Timur, 2008). Jakarta Timur memiliki jumlah penduduk tertinggi di bandingkan dengan wilayah lain di Jakarta, dengan kepadatan penduduk mencapai 116 jiwa per kilometer persegi. Data tersebut menyebabkan konversi lahan merupakan hal yang sudah pasti terjadi. Konversi lahan sebenarnya diperlukan dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan menjaga sebaik
mungkin tidak merugikan bagi pemilik,
pengguna lahan yang telah ada maupun terhadap keberlanjutan pemanfaatan lahan untuk masa yang akan datang. Salah satu bentuk konversi lahan yang terjadi di Jakarta adalah terbentuknya pemukiman kumuh. Banyaknya Pembentukan pemukiman liar di atas lahan milik orang lain pun dapat dikatakan sebuah konversi lahan. Walaupun konversi tersebut dapat dikatakan terselubung atau tidak resmi. Pemukiman kumuh yang terdapat di daerah Pedongkelan dengan nama Kampung Pengarengan merupakan pemukiman kumuh yang terbentuk di atas lahan dengan hak kelola oleh PT. Pulomas Jaya. Kampung Pengarengan sudah terbentuk sejak tahun 1980, dan warga yang menetap tidak hanya tinggal di atas lahan, tetapi juga mengusahakan lahan dengan membuka warung, barber shop, bengkel motor, dan juga bertani. Warga yang bermukim di atas lahan tersebut sebagian besar bermata pencaharian sebagai pengemis, pedagang, buruh, petani dan pembuat arang. Kampung Pengarengan ini menjadi salah satu contoh
23
yang menunjukan dengan berkembangnya pembangunan, pertambahan penduduk yang semakin meningkat, dan juga terbatasnya jumlah tanah (land) di perkotaan maka alih fungsi lahan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Penjelasan yang terurai diatas dapat mengarisbawahi hal-hal yang penting diantaranya,
dengan
adanya
pertambahan
penduduk
dan
pembangunan
menyebabkan jumlah lahan yang dapat dimanfaatkan semakin terbatas, sehingga penggunaan lahan akan mengarah kepada penggunaan yang secara ekonomis lebih menguntungkan. Tingginya nilai ekonomis mengakibatkan terjadinya konversi lahan. Konversi lahan yang terjadi pun terkadang tidak sesuai dengan tata guna lahan yang sudah ditetapkan. Berdasarkan alasan-alasan ini perlu dilakukan sebuah penelitian yang menganalisis dampak yang terjadi pasca konversi terkait penyimpangan tata guna lahan.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana proses terciptanya pemukiman di Kampung Pengarengan di atas lahan dengan hak kelola oleh PT.Pulomas Jaya sebagai suatu bentuk konversi lahan, dan dampak yang ditimbulkan terkait konversi lahan tersebut? 2. Bagaimana aksesibilitas masyarakat terhadap lahan yang terdapat di Kampung Pengarengan? 3. Bagaimana konversi lahan dan dampak yang ditimbulkan dari terciptanya Pemukiman di Kampung Pengarengan dapat berimplikasi terhadap tata guna tanah perkotaan dan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) ?
24
1.3.Tujuan Penelitian Dari masalah penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui proses konversi lahan yaitu dengan terciptanya pemukiman di atas lahan milik PT.Pulomas Jaya, serta mengintrepretasikan dampak yang ditimbulkan akibat dari konversi lahan tersebut. 2. Untuk mengetahui aksesibilitas masyarakat terhadap lahan yang terdapat di Kampung Pengarengan. 3. Untuk mengkaji implikasi konversi lahan dan dampak yang ditimbulkan (dengan terciptanya Pemukiman di Kampung Pengarengan) terhadap RTRW (Rancangan Tata Ruang Wilayah) dan tata guna tanah dalam perkotaan?
1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian bagi peneliti adalah berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat dibangku kuliah dalam pelaksanaaan penelitian. Penelitian ini diharapkan menjadi referensi penelitian berikutnya, kemudian penelitian ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan dan bahan tambahan dalam mata kuliah terkait, yaitu Kajian Agraria
25
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan (Land Use) Lahan mengandung makna lingkungan fisik yang mencakup relief, iklim, tanah, air, udara, dan juga vegetasi. Sehingga lahan dapat disimpulkan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi dan mencakup semua komponen yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut. Lahan sesuai dengan UUPA 1960 (pasal 1 ayat 2,4,5,6) merupakan bagian dari tanah yang merupakan objek agraria, sehingga lahan memiliki keterikatan dengan tanah sebagaimana dengan definisinya bahwa lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukannya dan umumnya sudah ada pemiliknya, baik perorangan atau lembaga, juga merupakan modal utama dalam kegiatan pertanian. Menurut Soewarno (2007), lahan memiliki komponen yang dipandang sebagai sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sehingga sebagai suatu modal utama, lahan memiliki dua fungsi dasar yaitu: (1) fungsi kegiatan sosial, dimana sebuah kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan sosial seperti pemikiman, baik perkotaan dan pedesaan, dan (2) fungsi lindung, yaitu kawasan yang ditetapkan untuk menjadi kawasan lindung dan menjaga kelestarian lingkungan hidup yang ada, mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, juga segala nilai sejarah negara yang bermanfaat dalam pelestarian budaya. Kemudian Jayadinata (1999) menggolongkan lahan ke dalam tiga kelompok yaitu: 1. Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah di pasaran bebas.
26
2. Nilai keuntungan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat. 3. Nilai sosial, yang merupakan hal dasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya. Karakteristik lahan sebagai sumber daya yang jumlahnya tetap dengan lokasi yang tidak dapat dipindahkan, membutuhkan suatu perencanaan yang berkaitan dengan pola pemanfaatan lahan guna memenuhi kebutuhan manusia yang semakin beragam. Segala bentuk intervensi manusia terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dapat di katakan land use atau penggunaan lahan/tata guna lahan. Tata guna lahan meliputi dua unsur, yaitu : tanah, sebagai sumber daya alam, dan tata guna, yang berarti penataan/pengaturan penggunaan. Kemudian dalam hubungannya dengan tata guna lahan, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi nilai lahan, yaitu (1) kualitas fisik lahan, (2) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, (3) interaksi diantara keduanya. Menurut Norton (1984), nilai lahan akan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar. Salah satu tipe penggunaan lahan yang penting ialah tipe pemanfaatan lahan (utilization type). Tipe ini merupakan upaya penyesuaian antara kondisi lahan yang ada dengan rencana pemanfaatan lahan.
27
2.2. Pola Penguasaan Lahan dan Struktur Agraria Tata guna lahan merupakan suatu bentuk kesatuan dari penataan, pengaturan lahan oleh pemilik, penguasaan dan pengusahaan atas lahan. Kata pemilikan menunjuk kepada penguasaan secara formal, sedangkan penguasaan menunjuk kepada penguasaan efektif dengan tujuan mengusahakan lahan secara efektif. Hubungan antara pemilikan dan penguasaan atas lahan dapat dikatakan sebagai suatu konsep agraria, dimana lahan seperti telah diterangkan sebelumnya merupakan bagian dari objek agraria, sedangkan subjek agraria merupakan pihak yang memiliki dan menguasai objek agaria. Menurut Sitorus (2004) subjek agraria dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu Komunitas, sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga yang mencakup unsur-unsur individu, keluarga dan kelompok, Pemerintah, sebagai representatif negara yang mencakup pemerintahan daerah, pemerintah desa, dan juga Badan Usaha Milik Negara serta Swasta (private sector) mulai dari perusahaan kecil hingga perusahaan besar. Sitorus (2004) menjelaskan bahwa hubungan antara subjek agraria dengan objek agraria dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 1.Hubungan Teknis Agraris, yang menunjukan cara kerja subjek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan objek agraria untuk memenuhi kebutuhannya. 2. Hubungan Sosial Agraris, menunjukan hubungan antara ketiga subjek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan objek agraria Dengan kata lain hubungan ini berpangkal kepada pada perbedaan-perbedaan akses (penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan) terhadap objek agraria. Hubungan penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tersebut akhirnya disebut dengan istilah struktur agraria.
28
Struktur agraria digambarkan dalam bentuk segitiga yang saling berhubungan antara subjek agraria dan objek agraria. Hubungan ini
dapat
menimbulkan suatu interaksi sosial, baik itu kerjasama ataupun konflik. Hubungan kerjasama dapat timbul apabila antara subjek agraria mempunyai kesepakatan dan kepentingan yang sama dalam hal pemanfaatan objek agraria. Konflik dapat timbul apabila ada perbedaan artikulasi diantara subjek agraria dalam pemanfaatan objek agraria. Konflik inilah yang akhirnya menimbulkan masalah agraria. Masalah agraria dan penguasaannya merupakan masalah yang kompleks dan tidak sederhana karena ia menyangkut konstelasi hubunganhubungan agraria. Menurut Dietz (1998) gejala konflik dalam hubungan-hubungan agraria berasal dari pertentangan pengakuan menyangkut tiga hal berikut : •
Siapa yang berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang menyertainya.
•
Siapa yang berhak memanfaatkan sumer-sumber agraria dan kekayaan alam.
•
Siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.
Konflik agraria juga bersumber dari kenyataan ketimpangan atau incompabilities. Menurut Wiradi (2002) terdapat tiga macam ketimpangan menyangkut sumbersumber agraria, yaitu : •
Ketimpangan dalam hal struktur, kepemilikan, dan penguasaan tanah.
•
Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah
•
Ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria
29
Pola-pola hubungan atau interaksi sosial agraria yang terdapat dalam suatu masyarakat sangat ditentukan oleh formasi sosial yang ada. Perbedaan pola hubungan agraria yang berlaku dalam masyarakat sangat ditentukan oleh perbedaan cara produksi yang eksis dan tipe cara produksi yang dominan. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditentukan tipe-tipe struktur agraria, sebagai berikut : 1. Tipe
Kapitalisme
:sumber
agraria
dikuasai
oleh
non-penggarap
(perusahaan). 2. Tipe Sosialisme : sumber agraria dikuasai oleh negara atau
nama
kelompok atau keluarga pekerja. 3. Tipe Populisme/Neo-Populisme : sumber agraria dikuasai oleh keluarga/ rumah tangga pengguna. 4. Tipe Naturalisme : sumber agraria dikuasai oleh komunitas lokal, misalnya komunitas adat secara kolektif 5. Tipe Feodalisme : sumber agraria dikuasai oleh minoritas “tuan tanah“ yang biasanya juga merupakan “patron politik“. Perlu ditekankan bahwa kelima tipe struktur agraria ini tidak mungkin ditemukan secara mutual eksklusif dalam suatu masyarakat. Hal yang memungkinkan adalah dua atau lebih tipe struktur agraria sama-sama berada dalam suatu masyarakat, tetapi dengan dominasi salah satu tipe atas tipe lainnya.
2.3.
Konversi Lahan dan Faktor Penyebab Konversi Lahan menurut Sihaloho (2004) adalah proses alih fungsi lahan
khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian atau dari lahan non-pertanian ke
30
lahan pertanian. Konversi lahan dari non-pertanian ke lahan pertanian merupakan proses konversi dalam rangka program eksetensifikasi pertanian. Konversi lahan pertanian ke non-pertanian mengalami laju yang tinggi untuk keperluan pertumbuhan industri dan memenuhi kebutuhan pemukiman penduduk yang masih relatif tinggi. Faktor perkembangan industri dan pemukiman merupakan faktor penting yang mempengaruhi konversi lahan dari lahan pertanian ke nonpertanian, yang kemudian diikuti dengan keberpihakan pemerintah terhadap sektor swasta. Menurut Sihaloho (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1. Faktor pada aras makro: meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman,
pertumbuhan
penduduk,
intervensi
pemerintah
dan
marginalisasi ekonomi. 2. Faktor pada aras mikro: meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah tangga). Dengan demikian konversi lahan telah menyebabkan perubahan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perubahan ini berhubungan dengan perubahan struktur agraria, proses marginalisasi/kemiskinan dan pelaku konversi (warga masyarakat) tersubordinasi oleh pihak pemanfaat konversi. Implikasi dari perubahan struktur agraria adalah perubahan pola penguasaan agraria, pola nafkah, pola hubungan produksi, dan perubahan orientasi nilai terhadap
31
sumberdaya agraria. Hal ini dapat memberikan kesimpulan bahwa konversi lahan telah meningkatkan ketidakadila agraria. Berdasarkan hal-hal tersebut Sihaloho (2004) membagi konversi lahan menjadi tujuh tipologi, yaitu : (1) Konversi Gradual Berpola Sporadis Diakibatkan oleh dua faktor utama, yakni lahan yang kurang/tidak porduktif (tidak bermanfaat secara ekonomi) dan keterdesakkan ekonomi pelaku konversi. (2) Konversi Sistematik Berpola ’enclave’ Diakibatkan oleh lahan yang kurang produktif sehingga dialihfungsikan menjadi lebih baik untuk meningkatkan nilai manfaatnya. (3) Konversi Lahan Sebagai Respon Atas Pertumbuhan Penduduk (population growth driven land conversion) Diakibatkan oleh faktor penggerak utama pertumbuhan penduduk untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal bagi masyarakat, atau disebut juga konversi adaptasi demografi. (4) Konversi Yang Disebabkan Oleh Masalah Sosial (social problem driven land conversion) Diakibatkan dari adanya keinginan (motivasi)
masyarakat untuk berubah
haluan dan keluar dari sektor pertanian. Hal ini dapat didasari oleh keterdesakan ekonomi ataupun keinginan perubahan kesejahteraan.
32
(5) Konversi Tanpa Beban Pola konversi tanpa beban ini terkait dengan pola konversi masalah sosial yang hal diakibatkan keinginan untuk berubah dari kehidupan yang lama menjadi kehidupan yang lebih baik. (6) Konversi Adaptasi Agraris Terjadi karena keterdesakkan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat demi meningkatkan hasil pertanian. (7) Konversi Multi Bentuk atau Tanpa Bentuk Diakibatkan berbagai faktor secara khusus faktor yang dimaksud yaitu faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak spesifik dijelaskan dalam konversi demografi. Keberpihakan pemerintah terhadap sektor swasta dapat mengakibatkan konversi lahan, sehingga berlangsung paradigma yang meniru pola kolonial, yaiu tanah untuk negara dan swasta (kapitalisme). Hal ini akhirnya akan menimbulkan pemusatan kekuasaan di satu pihak, dan terjadi fragmentasi lahan di pihak lain. Fragmentasi lahan yang dicapai menunjuk nilai keuntungan, dimana tanah terjadi jual-beli tanah dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Hal ini seakan menunjukan bagaimana kebijakan pemerintah dibuat dan dilanggar oleh pemerintah sendiri, yang akhirnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah ditetapkan tidak sesuai dengan implementasi di lapangan. Sihaloho (2004) menegaskan bahwa konversi lahan telah meningkatkan ketidakadilan agraria, atau dapat dikatakan bahwa konversi lahan mempengaruhi atau memicu terjadinya perubahan struktur agraria. Hal ini ditunjukkan melalui perubahan pola penguasaan lahan dengan adanya pemusatan kekuasaan dan
33
fragmentasi lahan, penurunan pola produksi yang ditandai dengan penurunan produktivitas lahan, penurunan pola nafkah yang ditandai dengan penurunan pendapatan dan peningkatan kemiskinan, dan perubahan orientasi nilai atas lahan dari segi nilai sosial dan nilai kepentingan umum.
2.4. Rancangan Tata Ruang Wilayah dan Implementasinya. Menurut Jayadinata (1999) ruang adalah seluruh permukaan bumi termasuk lapisan biosfer tempat kehidupan bagi mahluk hidup. Ruang dapat diartikan sebagai suatu wilayah dengan batas geografi tertentu yang terdiri dari lapisan tanah dibawahnya dan lapisan udara diatasnya yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan. Hal ini membuat ruang menjadi bagian dari objek agraria atau sumber-sumber agraria. Penggunaan lahan dapat berarti pula tata ruang. Menurut Undang-undang Republik Indonesia tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang itu termasuk daratan, lautan, angkasa, dan penataan ruang bertujuan agar terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Ruang merupakan sesuatu yang bersifat dinamis dimana ruang setiap waktunya berubah akibat proses alam dan tindakan manusia. Menurut Mabogunje dalam Jayadinata (1999), terdapat tiga macam ruang yaitu: •
Ruang mutlak, yang merupakan wadah bagi unsur-unsur yang ada di dalam ruang tersebut. Contohnya ruang permukaan bumi adalah wadah bagi benua, laut, dan gunung.
34
•
Ruang relatif, dapat digambarkan, yaitu apabila ada dua kota berjauhan tetapi terdapat jalan dan alat pengangkut yang menghubungi dua kota tersebut.
•
Ruang relasi, merupakan ruang yang melibatkan unsur-unsur yang memiliki relasi satu sama lain dan saling berinteraksi. Pengertian dari ruang relasi itulah yang digunakan dalam perencanaan.
Untuk memanfaatkan ruang agar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka dibutuhkan suatu penataan bagi ruang, atau rancangan penataan ruang. Penataan ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, tetapi termasuk juga dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata ruang merupakan wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak. Penataan ruang menurut Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: 1. Perencanaan Tata ruang, yang dibedakan atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). 2. Pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan. 3. Pengendalian pemanfaatan ruang, yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan Rencana Tata Ruang nya. Dalam penataan ruang, dibutuhkan suatu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang dalam hal ini merupakan landasan pembangunan sektoral. Dengan tujuan agar terjadi sinergi dan efisiensi pembangunan, sekaligus menghindari kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor-sektor yang
35
berkepentingan
dan
dampak
yang
dapat
merugikan
masyarakat
luas
(externalities). Rencana tata ruang biasanya dimanfaatkan untuk membagi ruang yang ada di dalam suatu wilayah menjadi bagian-bagian tertentu, seperti pemukiman, tempat perdagangan (pasar), industri khusus daerah perkotaan, lokasi pertanian khusus daerah pedesaan dan juga ruang terbuka hijau. Alokasi ruang terbesar dimanfaatkan untuk perumahan dan pemukiman, karena sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.80/1999 mengenai Kawasan Siap Bangun dan dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Pemukiman (KSNPP) bahwa perumahan dan pemukiman tidak dapat terpisahkan dari ruang yang harus dimanfaatkan, terkait dengan penyediaan prasarana dan sarana (utilitas umum). Pada kenyataannya masih banyak pemanfaatan lahan perumahan dan pemukiman belum sepenuhnya mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan kadangkala izin lokasi pemanfaatan lahan perumahan dan pemukiman tidak sesuai dengan kebutuhan nyata, sehingga meningkatkan luas area lahan tidur (vacant land). Pemanfaatan ruang untuk perumahan dan pemukiman kadangkala juga belum sesuai denagan pengembangan kawasan fungsional lainnya, seperti kawasan kritis dan terbelakang. Permasalahan yang paling kritis dalam pemanfaatan ruang merupakan konflik penggunaan lahan antara penggunan pemukiman dengan penggunaan kawasan lindung. Tidak
meratanya
pembangunan
antara
pedesaan
dan
perkotaan
menyebabkan timbulnya arus urbanisasi dari desa ke kota. Hal ini juga memberikan pengaruh kepada ketidaksesuaian RTRW yang sudah ditetapkan, karena dengan semakin banyaknya jumlah penduduk di suatu wilayah dan
36
terbatasnya lahan yang ada, maka menimbulkan potensi munculnya pemukiman kumuh yang nantinya akan menimbulkan masalah sosial. Pemukiman kumuh itupun kebanyakan tumbuh di atas lahan yang sudah mempunyai tujuan pemanfaatan.
2.5. Tata Guna Lahan Dalam Perkotaan dan Pedesaan Kota menurut pengertian geografis merupakan suatu tempat yang penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok, dan mata pencaharian penduduknya beragam tidak hanya di bidang pertanian. Pedesaan adalah kesatuan pemerintahan, dan terdiri atas sejumlah kampung dan kawasan pertanian yang luas yang berfungsi untuk memproduksi bahan makanan dan bahan mentah bagi industri. Perbedaan paling mendasar antara kota dengan desa adalah kota lebih bersifat self contained atau serba lengkap. Penduduk kota tidak hanya bertempat tinggal di kota, tetapi juga melakukan kegiatan ekonomi, seperti bekerja di dalam kota, bahkan melakukan rekreasi di dalam kota, sedangkan penduduk desa cenderung hanya bertempat tinggal didesa, tetapi mencari pekerjaan di luar desa, dan berekreasi ke luar desa. Tata guna tanah dalam perkotaan dan pedesaan berbeda. Tata guna tanah perkotaan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukan pembagian dalam ruang dari peran kota: kawasan tempat tinggal, kawasan tempat bekerja, dan kawasan rekreasi. Menurut Jayadinata (1999) dalam tata guna tanah perkotaan terdapat beberapa teori, yaitu: (1). Teori Jalur Sepusat (Jalur Konsentrik), yang membagi kota ke dalam beberapa bagian seperti pusat kota, kawasan pemukiman, dan kawasan industri, (2). Teori Sektor (Sector theory), dan (3). Teori Pusat Lipatganda, dimana teori ini berlaku bagi kota besar. Tata guna tanah dalam
37
perkotaan lebih menyorotkan pembagian antara kawasan pemukiman, kawasan pusat kota, kawasan rekreasi, dan kawasan industri. Tata guna tanah dalam pedesaan lebih dimanfaatkan untuk kepentingan sosial dan ekonomi. Kepentingan ekonomi, seperti kegiatan ekonomi pertanian ataupun non pertanian. Kepentingan sosial mencakup kehidupan sosial, seperti berkeluarga, sekolah, beribadah atau dapat dikatakan kampung di pedesaan merupakan tempat kediaman (dormitory settlement). Kediaman atau pemukiman di dalam pedesaan menurut Jayadinata (1999) terbagi kedalam dua tipe yaitu: (1) Pemukiman Memusat, pemukiman ini biasa disebit pemukiman tradisional, dimana masyarakat yang tinggal di sekitarnya kental dengan nilai modal sosial yang tinggi, selain itu tipe pemukiman ini dianut karena pemilikan tanah yang sempit. (2). Pemukiman Terpencar, merupakan pemukiman yang letak antar rumah di desa terpencar menyendiri (disseminated rural settlement). Perkotaan
sebagai
pusat
dari
perkembangan
dan
pertumbuhan
perekonomian, membuat tanah di perkotaan dalam pemafaatannya lebih ditekankan ke dalam sektor industri dan rekreasi atau non pertanian, kebalikan dari tanah di pedesaan dimana tanah yang ada lebih banyak dimanfaatkan pada kegiatan pertanian, walaupun lahan juga dimanfaatkan untuk kegiatan off-farm. Tanah di pedesaan lebih difokuskan sebagai tempat penghasil bahan baku yang diperlukan untuk perindustrian di perkotaan.
2.6. Teori Akses Akses menurut Peluso dan Ribot (2003) merupakan kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu (ability to derive benefits from things) termasuk diantaranya dari objek material, orang lain, lembaga, dan simbol.
38
Permasalahan akses bisa dilihat dalam tatanan hubungan sosial yang lebih luas (bundle of powers). Akses melambangkan seseorang mampu memperoleh keuntungan dari sumber daya tanpa mengindahkan ada tidaknya hubungan sosial yang lebih luas (bundle of right). Konsep akses memfasilitasi analisis dasar mengenai siapa yang memanfatkan (dan tidak memanfaatkan) sesuatu, dengan cara seperti apa, dan kapan (dalam situasi apa). Sehingga analisis akses dapat dikatakan sebagai proses untuk mengidentifkasi dan memetakan mekanisme perolehan, pemeliharaan, dan pengendalian akses. Analisis akses digunakan untuk menganalisis konflik terhadap sumberdaya tertentu untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana konflik bisa menjadi sarana antar aktor yang berbeda-beda untuk memperoleh atau kehilangan keuntungan dari sumberdaya, baik yang tangible maupun itangible. Dalam menganalisis akses, menurut Peluso dan Ribot (2003) terdapat beberapa proses, yaitu: 1). Identitas dan pemetaan alur keuntungan dari kepentingan masingmasing aktor, 2). Identifikasi mekanisme masing-masing aktor yang meliputi perolehan, pengendalian, dan pemeliharaan alur dan distribusi keuntungan; dan 3). Analisis hubungan kekuasaan yang mendasari mekanisme akses yang melibatkan instansi-instansi dimana keuntungan diperoleh. Kegunaan analisis akses lainnya adalah untuk menganalisis kebijakan lingkungan tertentu yang membuat para aktor mampu dan tidak mampu memperoleh, memelihara, atau mengendalikan akses sumberdaya atau dinamikamikro dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari sumberdaya serta bagaimana caranya. Kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya ditengahi dengan adanya pembatas-pembatas yang telah ditetapkan dalam konteks politik
39
ekonomi dan kerangka budaya saat pencarian akses berlangsung. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai “mekanisme akses struktural dan saling terhubung” (structural and relational mechanisme of access). Terdapat beberapa mekanisme akses menurut Peluso dan Ribot (1999) dalam Elisabeth (2003), yaitu: 1. Akses Teknologi Kebanyakan sumberdaya hanya bisa diekstraksi dengan menggunakan teknologi, mereka yang memiliki akses terhadap teknologi yang lebih tinggi akan memperoleh keuntungan yang lebih banyak dibandingkan yang tidak memiliki. 2. Akses Kapital/Modal Akses ini sering juga disebut sebagai akses terhadap kekayaan dalam bentuk keuangan dan peralatan (termasuk juga teknologi) yang bisa digunakan dalam proses ekstraksi, produksi, konversi, mobilisasi buruh, dan proses lain yang sejalan dengan pengambilan keuntungan dari sesuatu atau orang lain. Akses kapital/modal bisa digunakan untuk mengendalikan atau memelihara akses sumberdaya. 3.Akses Pasar Akses pasar didefinisikan sebagai kemampan individu atau kelompok untuk memperoleh,
mengendalikan
ataupun
memelihara
gerbang
hubungan
pertukaran. Pasar mampu mempertajam akses pada keuntungan dari sesuatu pada skala yang berbeda secara tidak langsung dan tidak kentara. Semakin luas dan besar kekuatan pasar untuk memasok, mangajukan permintaan, dan mempengaruhi harga juga membentuk distribusi keuntungan dari sesuatu.
40
4. Akses Buruh dan Peluang Buruh Kelangkaan buruh dan surplus mampu mempengaruhi porsi hubungan dalam pencarian keuntungan sumberdaya yang bisa dinikmati oleh siapa saja yang mampu mengendalikan buruh. Mereka yang mampu mengendalikan akses peluang buruh dan mereka yang berhasrat untuk mempertahankan akses terhadap peluang-peluang tersebut. 5. Akses Pengetahuan Wacana dan kemampuan untuk mempertajam terminologi sangat mempengaruhi keseluruhan kerangka kerja akses terhadap sumberdaya 6. Akses Kewenangan Individu atau lembaga yang memiliki akses privilege dengan kewenangan untuk membuat dan melaksanakan hukum akan sangat berpengaruh terhadap siapa yang memperoleh keuntungan dari sumberdaya. Akses kewenangan merupakan hal yang penting dalam jaring kekuasaan yang membuat seseorag mampu mengambil keuntungan dari sesuatu. 7. Akses Identitas Sosial. Akses sering ditengahi dengan identitas sosial atau keanggotaan dalam komunitas atau kelompok, termasuk di antaranya pengelompokan menurut umur, gender, suku, agama, status, profesi, tempat kelahiran, pendidikan, ataupun atribt-atribut lain yang menunjukan identitas sosial. 8. Akses Hubungan Sosial. Akses melalui negosiasi hubungan sosial seperti pertemanan, saling percaya, timbal balik, patron, ketergantungan, dan obligasi merupakan poin-poin kritikal dalam jejaring akses.
41
2.7
Kerangka Pemikiran Pembangunan nasional yang hanya terjadi di kota besar seperti ibukota
Jakarta menarik perhatian penduduk di kota kecil ataupun desa untuk berani bermigrasi ke kota dengan tujuan ingin memperbaiki ekonomi hidup. Namun pertambahan penduduk yang terjadi di ibukota Jakarta tidak diringi dengan pertambahan luas lahan. Jumlah luas lahan yang tetap dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan jumlah lahan di Jakarta semakin sedikit dan terbatas. Keterbatasan lahan yang terjadi membuat para pendatang menempati lahan-lahan yang tidak seharusnya ditempati, seperti lahan yang diperuntukan sebagai ruang terbuka publik yang semestinya tidak diperuntukkan untuk pemukiman oleh masyarakat. Kurang tegasnya pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan terkait penguasaan lahan, membuat masyarakat sangat akses terhadap lahan-lahan kosong yang dimiliki oleh pemerintah. Hal ini berujung kepada terjadinya konversi lahan atau alih fungsi lahan. Konversi lahan dapat memberikan beberapa dampak. Dampak yang ditimbulkan pasca konversi lahan adalah dampak kepada tata guna lahan terkait dengan orientasi nilai terhadap lahan, pola pemilikan dan pemanfaatan lahan, dan tumpang tindih (penyimpangan) terhadap RTRW.
42
Kerangka Pemikiran
Keterbatasan Lahan di Perkotaan
Konversi Lahan/ Alih Fungsi Lahan
Faktor Penyebab Konversi Lahan: • Pertambahan penduduk • Pembangunan • Aksesibilitas masyarakat • Benturan kepentingan antar subjek agraria
Dampak Konversi ( Tata Guna Lahan dan RTRW): • Orientasi nilai terhadap lahan • Pola pemilikan dan pemanfaatan lahan • Tumpang tindih/penyimpangan terhadap RTRW
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Implikasi Tata Guna Lahan Pada Masyarakat Perkotaan.
Keterangan: = Hubungan mempengaruhi = Hubungan keterkaitan
43
2.8
Hipotesis Pengarah:
1. Keterbatasan lahan di perkotaan beserta faktor penyebab konversi, seperti pembangunan, pertambahan penduduk, aksesibilitas masyarakat, dan benturan kepentingan antara subjek agraria menyebabkan timbulnya konversi lahan di Kampung Pengarengan. 2. Konversi lahan yang terjadi di Kampung Pengarengan menyebabkan timbulnya penyimpangan terhadap tata guna lahan dan RTRW. 3. Penyimpangan terhadap tata guna lahan dan RTRW yang terjadi di Kampung Pengarengan ada tiga, yaitu pertama, adalah perubahan orientasi nilai lahan, baik dalam hal nilai sosial, nilai kepentingan umum, dan nilai ekonomis. Kedua, adalah perubahan pola pemilikan dan pemanfaatan lahan. Kemudian yang ketiga adalah penyimpangan terhadap RTRW.
44
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih oleh peneliti karena pendekatan ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali berbagai realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian. Metode studi kasus yang digunakan adalah studi kasus intrinsik. Sitorus (1998) mengungkapkan studi kasus interinsik adalah studi yang dilakukan karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suatu kasus. Penelitian dilakukan untuk menerangkan gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat, khususnya mengenai peristiwa konversi lahan yang digambarkan dengan terciptanya pemukiman di kawasan Kampung Pengarengan, dimana lahan tersebut merupakan lahan milik Pemerintahan DKI Jakarta dengan hak kelola oleh PT. Polumas Jaya. Penelitian ini juga ingin mengetahui dampak yang ditimbulkan pasca konversi, serta mengetahui bagaimana aksesibilitas masyarakat terhadap lahan tersebut dan implikasi konversi lahan dan dampak yang ditimbulkannya kepada RTRW Jakarta dan Tata Guna Kota Jakarta. Strategi studi kasus ini diharapkan mampu menggali informasi mengenai gejala sosial kontemporer tersebut secara lebih mendalam dan untuk menghindari terbatasnya pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan yang hanya berdasar pada penafsiran peneliti. Strategi studi kasus yang dipilih bersifat
45
interinsik, bahwa kasus yang dipilih dapat membantu peneliti dalam memahami permasalahan yang ada terkait dengan konversi lahan dan juga dampaknya terhadap Rancangan Tata Ruang Wilayah di lahan Kampung Pengarengan. Penelitian ini juga memiliki suatu kekhususan dan hal inilah yang membuat permasalahan yang diteliti memang menarik.
3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan Kampung Pengarengan, Kelurahan Kayu Putih, Jakarta Timur. Lokasi ini dipilih karena sangat terkait dengan kasus penelitian, dengan alasan antara lain: Pertama, Kampung Pengarengan pada awalnya merupakan lahan kosong yang dimiliki oleh pemerintah DKI Jakarta, yang kemudian lahan tersebut di kelola oleh PT. Pulomas Jaya. Secara perlahan sejak tahun 1980, lahan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat tinggal (pemukiman), dan hingga sekarang pemukiman tersebut membentuk kampung tersendiri. Kedua, dengan dialihfungsikan areal lahan yang dimiliki oleh PT.Pulomas Jaya, dapat dianalisis perubahan orientasi niai terhadap lahan. Dan dampak terhadap tata guna perkotaan terutama Jakarta Timur. Dengan demikian pemilihan lokasi diharapkan mampu membantu peneliti dalam mencapai tujuan penelitian. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2008. Kurun waktu penelitian yang dimaksud mencakup waktu semenjak peneliti intensif berada di lokasi penelitian, sehingga penjajagan tidak termasuk dalam kurun waktu tersebut. Penjajagan awal telah dilakukan pada awal Maret 2008.
46
3.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang diterapkan oleh peneliti adalah metode triangulasi, dengan tujuan memperoleh kombinasi data yang akurat antara pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen. Data kualitatif yang diperoleh dapat berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapat melalui wawancara mendalam kepada responden juga informan. Data primer juga diperoleh dari pengamatan berperan serta-terbatas. Data deskriptif yang diperoleh dari wawancara mendalam yang telah dilakukan berupa kata-kata langsung dari responden dan informan. Pada awalnya pilihan terhadap informan dilakukan dengan cara sengaja (purposif), Informan tidak terbatas pada mereka yang berada di Kampung Pengarengan tetapi juga berasal perwakilan dari PT. Pulomas Jaya, Dinas Tata Ruang Jakarta Timur, pihak dari Pos Polisi Pulomas, perwakilan dari perusahaan property real estate yang mengetahui mengenai lahan-lahan di daerah Pulomas, dan juga beberapa masyarakat yang tinggal di kawasan Pulomas. Responden atau tineliti merupakan pihak yang akan memberi keterangan mengenai diri dan keluarganya dengan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan penelitian, antara lain mengenai akses mereka dalam menguasai dan atau memiliki lahan, serta awal terjadinya konversi dari lahan rawa menjadi pemukiman kumuh. Informan merupakan pihak yang akan memberi keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya. Informan memberikan informasi tambahan mengenai proses awal terciptanya pemukiman di lahan Kampung Pengarengan, memberikan informasi tentang asal muasal fungsi lahan, memberikan informasi mengenai nilai lahan, dan memberikan informasi mengenai orang-orang lebih dulu menempati lahan.
47
Informan yang dipilih adalah orang yang memungkinkan dan valid untuk memberikan informasi tambahan mengenai topik kajian penelitian. Informan dalam penelitian ini terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah informan yang juga merangkap menjadi responden atau tineliti. Bagian kedua adalah informan yang tidak merangkap menjadi tineliti. Informan yang tidak merangkap menjadi tineliti terdiri dari enam orang. Informan yang dipilih oleh peneliti adalah orang-orang perwakilan dari pihak yang dapat memberikan informasi mengenai lahan Kampung Pengarengan. Informan penelitian ini terdiri dari dua orang perwakilan dari PT. Pulomas Jaya, satu orang perwakilan dari agent property real estate yang mengetahui mengenai lahan-lahan Pulomas, dan empat orang perwakilan dari penduduk yang tinggal di sekitar kawasan Pulomas. Responden atau tineliti yang dipilih oleh peneliti adalah masyarakat Kampung Pengarengan yang pada saat ini menempati lahan milik PT. Pulomas Jaya sebagai tempat tinggal mereka. Sebelumnya lahan milik PT. Polumas Jaya tersebut merupakan lahan rawa yang berfungsi sebagai daerah resapan air untuk daerah Pulomas dan sekitarnya. Lahan Kampung Pengarengan tidak hanya dimanfaatkan sebagai tempat tinggal oleh penduduk, tetapi
mereka juga
mengusahakan lahan dengan membangun tempat usaha dan juga menanamam beberapa komoditas untuk dimanfaatkan sebagai penambah penghasilan seharihari. Data responden atau tineliti dapat dilihat pada Tabel 1.
48
Tabel 1. Responden atau Subyek Penelitian (Tineliti) di Kampung Pengarengan Berdasarkan Pekerjaan, Asal Daerah, dan Lama Tinggal di Kampung Pegarengan.
No.
Inisial Responden (Tineliti)
Lama Tinggal Pekerjaan
Asal Daerah
di Kampung Pengarengan
1.
JMR
Pedagang
Tegal
10 tahun
2.
EKS
Asongan
Karawang
8 tahun
(Ngamen) 3.
RSM
Petani
Cirebon
3 tahun
4.
MNR
Pedagang
Pati
15 tahun
5.
YTI
Pedagang
Madura
22 tahun
6.
TKI
Pemulung
Bogor
18 tahun
7.
JTM
Wirausaha
Madura
31 tahun
8.
IMN
Kusir Delman
Majalaya
12 tahun
9.
KSM
Pedagangan
Cianjur
10 tahun
10.
FRM
Kusir Delman
Majalaya
2 tahun
11.
KSP
Asongan
Madura
19 tahun
(Ngamen) 12.
ASP
Tukang Arang
Bandung
20 tahun
13.
KRD
Wrausaha
Madura
10 tahun
14.
SPR
Petani
Cirebon
8 tahun
15.
IJH
Pedagang
Bogor
7 tahun
16.
ATR
Asongan
Sukabumi
7 tahun
Jawa
3 tahun
Madura
16 tahun
(Ngamen) 17.
HND
Asongan (Ngamen)
18.
MMT
Asongan (Ngamen)
19.
YSR
Wirausaha
Madura
20 tahun
20.
RDH
Pedagang
Cirebon
5 tahun
Sumber: Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti di Kampung Pengarengan selama bulan April-Juni 2008
Wawancara mendalam dilakukan oleh peneliti pada waktu-waktu tertentu dalam kurun waktu bulan Mei hingga Juni 2008. Waktu wawancara sangat bebas,
49
dimana peneliti tidak perlu membuat janji untuk wawancara, wawancara terjadi secara spontan, seperti ketika tidak sengaja bertemu di jalan atau di warung atau ketika responden berada di rumah. Proses wawancara berlangsung dalam suasana santai, antara lain pada waktu pagi hari sebelum responden berangkat bekerja (berdagang, bertani, ataupun turun ke jalanan untuk ngamen), dilakukan ketika informan atau responden berkunjung ke warung, atau dilakukan sambil berkeliling kampung dan beristirahat di pos polisi Pulomas. Khusus untuk responden (tineliti) dari penduduk Kampung Pengarengan oleh peneliti juga dijadikan seorang informan. Wawancara tidak terpaku pada panduan pertanyaan, tetapi dengan pertanyaan pancingan, kemudian mengikuti alur cerita dari responden (tineliti) yang diselingi dengan tanggapan atau pertanyaan yang memandu responden (tineliti) untuk menjawab permasalahan penelitian. Jumlah responden (tineliti) dan informan dalam penelitian adalah 27 orang. Pengamatan berperanserta-terbatas dilakukan oleh peneliti dengan cara melakukan wawancara informal dan dengan berperan serta dalam kegiatan yang dilakukan penduduk Kampung Pengarengan guna dapat melihat, merasakan, dan memaknai beragam peristiwa dan gejala sosial di dalamnya sebagaimana subyek penelitian melihat, merasakan, dan memaknainya sehingga memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama. Pengamatan berperanserta-terbatas dilakukan peneliti pada hari minggu dimana penduduk kampung Pengarengan baik dari anak-anak serta orang tua banyak yang
melakukan kegiatan dan
aktivitas berdagang dan mengemis di jalanan. Selama melakukan kegiatan tersebut peneliti melakukan diskusi sekaligus wawancara dengan beberapa
50
penduduk yang mengenai asal muasal pembentukan pemukiman, pemilikan lahan, kontrol PT. Pulomas Jaya terhadap lahan, dan kepemilikan tanda penduduk (KTP) Jakarta. Hasil dari wawancara dan wawancara mendalam serta pengamatan berperanserta ini peneliti tuliskankan dalam bentuk catatan harian yang menjadi data primer dalam penelitian ini. Data sekunder merupakan dokumen atau data yang diperoleh dari buku profile PT. Pulomas Jaya, proposal Proyek Pengembangan Danau Ria-Rio PT. Pulomas Jaya, Peta Tata Ruang mengenai proyek Pengembangan Danau RiaRio, dan Peta Tata Ruang lahan daerah Kampung Pengarengan dan Kampung Pedongkelan yang dikeluarkan Dinas Tata Ruang Kota Madya Jakarta Timur.
3.4. Teknik analisis Data Analisis data mulai dilakukan pada saat pengumpulan data dilakukan. Data yang diperoleh melalui wawancara mendalam peneliti tuangkan dalam catatan harian, sedangkan data sekunder berupa buku profile PT.Pulomas Jaya, proposal Proyek Pengembangan Waduk Ria-Rio PT. Pulomas Jaya, gambar lahan kampung Pengarengan, dan blue print mengenai Rancangan Tata Ruang Wilayah untuk daerah Kampung Pengarengan dan Kampung Pedongkelan dikumpulkan oleh peneliti. Peneliti kemudian melakukan pereduksian data. Pereduksian data primer yang dilakukan oleh peneliti adalah melakukan peringkasan data yang sudah dijabarkan dalam catatan harian yang sudah di tuliskan selama melakukan penelitian. Kemudian data yang sudah diperoleh akan dianalisis untuk mengetahui informasi penting yang harus diperdalam terkait dengan konversi lahan yang
51
terjadi di Kampung Pengarengan dan juga dampak yang mungkin ditimbulkan. Selama pereduksian data ada informasi yang masih belum jelas terkait dengan permasalahan penelitian, informasi tersebut kemudian dipertanyakan kembali kepada tineliti yang bersangkutan, tineliti lain ataupun informan, sehingga diperoleh data yang valid. Data sekunder oleh peneliti direduksi dengan melakukan pemilihan dan penggolongan data. Pemilihan dan penggolongan data dilakukan oleh peneliti dengan tujuan agar peneliti dapat memperoleh data yang diperlukan untuk melengkapi dan mendukung data primer yang sudah didapatkan. Semua data sekunder yang telah direduksi bertujuan guna memperoleh data pendukung dalam memperdalam kajian terhadap permasalahan penelitian. Peneliti melakukan pengorganisasian dalam artian menyusun data yang telah direduksi ke dalam suatu alur cerita. Alur cerita yang diperoleh dari pereduksian data empiris maupun data sekunder disajikan dalam bentuk teks naratif dan tabel sehingga dapat memberikan gambaran dan pemahaman secara mendalam mengenai proses terjadinya konversi lahan, faktor pemicu konversi, dampak konversi serta penyimpangan yang terjadi di dalam Rancangan Tata Ruang lahan Kampung Pengarengan. Penyusunan hasil penelitian dilengkapi dengan menyempurnakan dan merevisi kerangka berfikir yang disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Tujuannya agar dapat membantu peneliti menarik suatu kesimpulan yang akan mengarahkan pada pengambilan kesimpulan berikutnya. Hasil penyusunan alur cerita dan kesimpulan akhir kemudian diverifikasi antara teori dengan realita di lapangan untuk memperkuat keabsahan data.
52
BAB IV LAHAN KAMPUNG PENGARENGAN SEBAGAI LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Lahan Kampung Pengarengan Lahan Kampung Pengarengan merupakan bagian dari RT.07 dan RW.15 Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Lahan ini memiliki luas sekitar kurang lebih 25.066 meter persegi. Lahan Kampung Pengarengan secara geografis memiliki batas wilayah antara lain: sebelah Utara berbatasan langsung dengan Jalan Perintis Kemerekaan, sebelah Timur berbatasan langsung dengan Kampung Pedongkelan, sebelah Selatan berbatasan dengan Waduk Ria-Rio dan Jalan Pulomas Utara, dan sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Ahmad Yani. Secara administratif lahan Kampung Pengarengan merupakan lahan milik Pemerintahan Daerah DKI Jakarta, dengan hak kelola oleh PT. Pulomas Jaya. PT. Pulomas Jaya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang property development dan property management. Perusahaan PT. Pulomas Jaya merupakan anak perusahaan dari PT. Jakarta Propertindo yang masih tergolong ke dalam BUMD Jakarta. Lokasi lahan Kampung Pengarengan dulunya merupakan sebuah rawa yang berfungsi menjadi daerah resapan air, tetapi sejak era mantan presiden Soeharto, yaitu tahun 1980-an lahan Kampung Pengarengan mulai berubah menjadi tempat pemukiman bagi warga pendatang dari luar Jakarta. Hingga saat ini lahan tersebut semakin berkembang dan akhirnya berbentuk suatu pemukiman yang dinamakan Kampung Pengarengan.
53
Kampung Pengarengan merupakan pemukiman liar (kumuh) yang tidak terdaftar pada kelurahan Kayu Putih. Ismail (2000) mengemukakan secara umum, konsep pemukiman kumuh mengandung dua pengertian, yaitu daerah slums dan daerah squatter. Squatter inilah yang sering disebut sebagai hunian liar. Daerah slums merupakan daerah-daerah pemukiman yang diakui, tetapi karena kemiskinan yang diderita oleh para penghuninya sehingga tidak dapat membiayai pembangunan lingkungannya. Sementara itu, daerah squatter diartikan sebagai pemukiman kumuh dan miskin yang diperoleh dengan cara melanggar hukum, yaitu dengan cara menempati ruang-ruang publik terbuka yang semestinya tidak diperuntukkan bagi pemukiman dan penghunian oleh masyarakat. Kampung Pengarengan tergolong kedalam squatter, karena pembentukannya diatas lahan yang tidak diperuntukan untuk pemukiman, dan juga diatas lahan milik orang lain. Lahan Kampung Pengarengan mayoritas dimanfaatkan untuk tempat tinggal penduduk, selain itu lahan juga dimanfaatkan untuk tempat usaha, fasilitas sosial, jalan umum, dan sisanya menjadi lahan kosong atau lahan yang tidak dimanfaatkan oleh penduduk. Akses utama di lahan Kampung Pengarengan adalah sebuah jalan utama. Selain itu, di lahan ini juga terdapat jalan-jalan kecil atau gang yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki dan sepeda motor. Pemandangan di Kampung Pengarengan tidak jauh berbeda dengan pemandangan di pemukiman kumuh lain di Jakarta. Ketika menyusuri kampung ini dari jalan utama dapat terlihat tempat tinggal (rumah) penduduk yang terletak saling berdekatan antara satu sama lain dan jalan-jalan kecil (gang) sebagai jalur untuk mengelilingi kampung. Tumpukan sampah dapat dilihat hampir di setiap sudut lahan. Gerobak sampah dan gerobak dagangan banyak terlihat di depan
54
tempat tinggal penduduk, tidak sedikit penduduk yang membuka usaha di tempat tinggal mereka, seperti warung, tukang cukur rambut, warteg, tempat kiloan barang bekas (dari hasil memulung), tempat pembuatan arang, kebun sayur dan kandang kuda. Lahan Kampung Pengarengan tidak semuanya dimanfaatkan penduduk untuk menjadi tempat tinggal. Jika kita menyusuri jalan ke arah belakang kampung, dapat ditemui beberapa tempat fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti mesjid dan juga WC umum. Kemudian di daerah belakang kampung dapat dilihat sejumlah lahan yang dijadikan area pertanian sayuran oleh penduduk. Lokasi lahan Kampung Pengarengan sangat strategis, yakni terletak di pinggir dua jalan utama, yaitu Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jalan Ahmad Yani, yang merupakan jalur penghubung antara Jakarta Timur, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara. Lahan ini juga terletak diantara gedung-gedung potensial seperti pusat perbelanjaan, pasar, mall, dan juga perkantoran. Dengan potensi lahan yang subur dan sumber air dari Waduk Ria-Rio yang terletak di sebelah selatan kampung, membuat lahan Kampung Pengarengan menjadi tempat yang strategis bagi para pendatang untuk membangun tempat tinggal.
4.2 Demografi Kampung Pengarengan 4.2.1 Penduduk Rusli (1995), mengemukakan bahwa penduduk merupakan jumlah orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah pada waktu tertentu yang merupakan hasil proses-proses demografi, yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Penduduk Kampung Pengarengan sebagian besar merupakan penduduk migran yang berasal dari berbagai wilayah di luar Jakarta atau dapat dikatakan penduduk di lahan ini
55
memiliki heterogenitas yang tinggi. Hal ini dikemukan oleh JMR (30 tahun), penduduk keturunan Tegal yang bermukim di Kampung Pengarengan dan keluarganya sudah turun temurun tinggal di Kampung Pedongkelan. “…disini penduduknya campur-campur, ada yang dari Jawa, Sunda, Betawi, ada juga yang dari Sumatera sama Madura. Pokoknya campur-campur deh, semuanya sama-sama pendatang dari luar Jakarta..” Ujar JMR ketika bertemu sambil menjaga warteg dagangannya di depan Kampung Pengarengan. Penduduk Kampung Pengarengan tidak terdata secara monografi didalam kelurahan. Hal ini disebabkan Kampung Pengarengan tidak diakui keberadannya oleh pihak kelurahan, sesuai dengan pengakuan SKN (45 tahun), kepala polisi di pos Pulomas. “.. Kampung Pengarengan dan masyarakat di kampung ini tidak terdaftar di kelurahan, tetapi lahan nya terdaftar sebagai bagian dari kelurahan Kayu Putih. Saya sudah mencoba menghubungi Lurah Kayu Putih, tetapi setiap ada masalah mengenai penduduk ataupun musibah yang terjadi di kampung ini, Lurah Kayu Putih sudah angkat tangan dan masa bodoh.” Ujarnya ketika wawancara di dalam ruangan kepala polisi. Jumlah penduduk di Kampung Pengarengan berubah setiap tahunnya, tergantung dari banyaknya pendatang yang bermukim di lahan tersebut. Jumlah penduduk dari Kampung Pengarengan tidak pernah tetap. Setiap Hari Raya Idul Fitri jumlah penduduk di Kampung Pengarengan selalu bertambah, tetapi terkadang juga berkurang karena tidak sedikit penduduk yang memutuskan untuk pulang ke kampung masing-masing.
“.. di sini tidak pernah pasti jumlah orangnya berapa mbak, sehabis lebaran biasanya suka ramai, kan orang-orang pada membawa saudara dari kampung agar kerja di Jakarta, tapi ada juga yang pulang kampung dan tidak balik lagi, bosan
56
mungkin kerja hanya jadi asongan saja penghasilannya tidak tetap.” Ujar EKS (28 tahun) seorang penduduk asal Karawang yang menjadi pendatang sejak tahun 2000. Penduduk Kampung Pengarengan jarang sekali mengadakan kegiatan yang sifatnya rutin seperti, kegiatan pengajian ataupun arisan. Kegiatan sosial antar penduduk di Kampung Pengarengan biasanya terjadi secara spontanitas, seperti ketika bertemu di jalan, di pasar, ataupun bertemu di pos. Kegiatan sosial lainnya biasanya dilaksanakan ketika hari besar nasional seperti lomba-lomba 17 Agustus, dan juga acara sholat bersama ketika Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Jumlah penduduk disaat penelitian berlangsung mencapai hingga 500 jiwa, dengan luas lahan sekitar 25.066 meter persegi, maka kepadatan penduduk di Kampung Pengarengan ini rata-rata mencapai 19.947 jiwa per kilometer persegi. Luas ini sudah termasuk juga kedalam pemukiman dan tempat usaha, sebagaimana telah dijelaskan bahwa di Kampung Pengarengan banyak tempat tinggal yang juga dijadikan sebagai tempat usaha. Contohnya STI (45 tahun) seorang pedagang yang tinggal di Pengarengan sejak tahun 1999. Saat penelitian berlangsung, STI menyewa sebuah kontrakan dengan luas dua kali tiga meter bersama dengan suami dan anak-anaknya, dan di depan kontrakan tersebut STI dan suaminya mengembangkan usaha warung.
4.2.2 Mata Pencaharian Mata pencaharian adalah sektor-sektor atau kategori lapangan pekerjaan dimana di dalamnya terdapat kesempatan kerja atau tenaga kerja yang bekerja. Mata pencaharian penduduk di Kampung Pengarengan sebagian besar tergolong ke dalam sektor S atau jasa. Sebagaimana diungkapkan oleh Rusli (1995) bahwa
57
sektor S (“Jasa”) terdiri dari lapangan kerja, seperti perdagangan, rumah makan, hotel, pengangkutan, penyimpanan atau pergudangan, komunikasi, keuangan, asuransi dan lain-lain. Tetapi, yang membedakan adalah sektor jasa yang terdapat pada mata pencaharian penduduk di Kampung Pengarengan merupakan sektor jasa yang tidak resmi. Tidak resmi dimaksudkan bahwa pekerjaan penduduk bukan lah pekerjaan yang secara resmi terdaftar secara monografi di dalam kelurahan. Mata pencaharian penduduk di kampung ini sebagian besar merupakan pedagang. Walaupun pada awalnya mata pencaharian penduduk Kampung Pengarengan merupakan pembuat arang, maka dari itu perkampungan ini disebut sebagai Kampung Pengarengan. Namun, seiring waktu mata pencaharian penduduk berkembang bersamaan dengan bertambahnya jumlah penduduk yang bermigrasi dan tinggal di lahan tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh TKI (70 tahun), salah seorang penduduk yang tinggal di Pengarengan sejak tahun 1990
“..dulu nya disini banyak tukang arang, makanya dinamain pengarengan kalo sekarang udah macam-macam, kayak pedagang, pemulung, tukang delman, dan asongan, petani juga ada neng.. ” ujarnya sembari merokok dengan santai
Pernyataan TKI juga di dukung oleh pernyataan dari JTM (54 tahun) sesepuh dari salah satu suku di Pengarengan yang sudah tinggal tinggal di kampung tersebut sejak tahun 1977
“..hmmmm disini banyaknya pedagangan sama asongan. Namanya juga orang miskin, tidak bisa punya pekerjaan tetap. Tapi dulunya disini itu banyaknya tukang arang,
58
makanya namanya pengarengan…” ujarnya dengan gaya santai sambil mengaruk-garuk perut besarnya. Kegiatan penduduk di Kampung Pengarengan menyesuaikan dengan mata pencaharian masing-masing. Setiap pagi penduduk dengan mata pencaharian sebagai pedagang sudah mulai menyiapkan gerobak dagangan dan menjajakan dagangannya sejak pukul enam, sedangkan bagi penduduk dengan mata pencaharian pemulung, kegiatan memulung sudah dimulai sejak pukul tiga pagi hingga pukul sebelas siang. Kemudian para pembuat arang baru memulai pekerjaannya pada pukul sebelas malam hingga pagi, dan para asongan bekerja dari pagi hingga malam mengamen dan mengemis di jalan Perintis Kemerdekaan dan jalan Ahmad Yani, yang letaknya tidak jauh dari Kampung Pengarengan, sedangkan penduduk dengan mata pencaharian petani bekerja dari pukul enam pagi hingga sembilan pagi. Penduduk di Kampung Pengarengan tidak mengenal batas usia kerja sebagaimana yang sudah ditetapkan. Usia kerja berhubungan dengan usia produktif, yakni golongan umur 15-64 tahun. Penduduk yang tergolong non-produktif (nol sampai 14 tahun) juga sudah mulai bekerja, rata-rata pekerjaan mereka adalah asongan atau pengemis di jalan raya sekitar Perintis Kemerdekaan dan jalan Ahmad Yani. Pekerja non-produktif tersebut dapat di golongkan sebagai anak jalanan, karena dengan definisi anak jalanan sendiri menurut departemen sosial 1 adalah : (1). Berumur dibawah 18 tahun, (2). Bekerja dan berada di jalan lebih dari enam jam sehari, dan enam hari dalam seminggu. Anak jalanan dapat dibagi kedalam dua golongan 2 , yaitu children on the street, dan children off the street. Pekerja non-produktif pada kampung ini tergolong ke dalam istilah children on the street. Children on the street adalah anak-anak yang
1 2
Dikutip dari www.wikipedia.org diakses tanggal 10 Juni 2008 Ibid
59
mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga dan tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari.
4.2.3 Fasilitas Sosial Kampung Pengarengan Sarana dan prasarana yang terdapat di Kampung Pengarengan diantaranya: a. Tempat ibadah Penduduk Kampung Pengarengan mayoritas beragama Islam, sehingga terdapat Masjid Nurul Barokah. Masjid ini sempat mengalami kebakaran pada bulan Agustus 2007 dan perbaikan yang dilakukan merupakan hasil swadaya dari masyarakat. b. WC Umum WC yang digunakan oleh masyarakat Kampung Pengarengan ada dua macam yaitu WC umum yang dikenai tarif dan WC helikopter. c. Instalasi Listrik Aliran listrik dari PLN telah masuk ke dalam kampung, namun belum semua warga mampu mengaksesnya. Penduduk yang dapat mengakses listrik pada umumnya adalah pemilik kontrakan. d. Saluran PAM Air PAM dapat diakses oleh sebagian masyarakat yang mampu membayarnya. Sebagian besar dari mereka adalah para pemilik usaha WC umum dan pemilik kontrakan.
e. Tempat Pengumpulan Sampah
60
Di bagian belakang kampung yang letaknya di dekat usaha pengarengan dan Waduk Ria-Rio telah dijadikan oleh warga sebagai tempat pengumpulan sampah. Namun pada kenyataannya, masyarakat masih banyak yang membuang sampah sembarangan. f. Getek sebagai alat transportasi penghubung antara Kampung Pedongkelan dan Kampung Pengarengan Jarak antara Kampung Pedongkelan dan Pengarengan tidaklah jauh. Namun karena dipisahkan oleh danau, maka warga menggunakan getek sebagai alat transportasi yang menghubungkan kedua kampung tersebut. Warga juga dapat menempuh jalur darat dengan mengambil jalan memutar melalui Jalan Perintis Kemerdekaan.
4.4 Ikhtisar Lahan
Kampung
Pengarengan
secara
administratif
merupakan
milik
pemerintahan daerah DKI Jakarta dengan hak kelola PT. Pulomas Jaya. Lahan ini merupakan bagian dari RT.07 dan RW.15 Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Luas lahan Kampung Pengarengan mencapai hingga 25.066 meter persegi, dengan jumlah penduduk yang mencapai 500 jiwa dan kepadatan penduduk hingga 19.947 jiwa per kilometer. Lahan Kampung Pengarengan pada awalnya berfungsi sebagai lahan rawa dan bertujuan untuk daerah resapan air untuk wilayah Pulomas dan sekitarnya. Namun sejak tahun 1980an lahan ini mulai ramai didatangi oleh pendatang yang berasal dari luar Jakarta, hingga membentuk sebuah pemukiman padat penduduk yang dinamakan Kampung Pengarengan. Nama Pengarengan sendiri berasal dari mata pencaharian penduduk yang merupakan tukang pembuat arang.
61
Kampung Pengarengan tidak terdaftar dan tidak diakui keberadaannya didalam kelurahan Kayu Putih, didalam kelurahan hanyalah lahan nya saja terdaftar, sedangkan keberadaan kampung dan penduduknya tidak terdaftar di kelurahan. Hal ini disebabkan Kampung Pengarengan merupakan pemukiman liar (kumuh) dan yang tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat. Kampung Pengarengan tergolong ke dalam squatter, yaitu pemukiman kumuh dan miskin yang diperoleh dengan cara melanggar hukum, yaitu dengan cara menempati ruang-ruang publik terbuka yang semestinya tidak diperuntukkan bagi pemukiman dan penghunian oleh masyarakat. Penduduk di Kampung Pengarengan memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi, karena sebagian besar merupakan penduduk pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Jakarta. Kemudian untuk bertahan hidup di ibukota, penduduk Kampung Pengarengan melakukan berbagai jenis mata pencaharian. Pedagang adalah mata pencaharian paling dominan yang ada di wilayah tersebut, tetapi tidak sedikit pula ditemukan penduduk dengan mata pencaharian sebagai pemulung, asongan, kusir delman, petani, hingga pembuat arang.
62
BAB V LAHAN KAMPUNG PENGARENGAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK KONVERSI LAHAN DI PERKOTAAN 5.1 Proses Pembentukan Kampung Pengarengan (Awal Konveri Lahan) Konversi lahan menurut Sihaloho (2004) memiliki pengertian sebagai proses alih fungsi lahan, khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian atau dari lahan nonpertanian ke lahan pertanian. Konversi lahan yang terjadi di Kampung Pengarengan merupakan alih fungsi lahan dari fungsi non-pertanian ke fungsi non-pertanian lainnya, yaitu sebagai daerah resapan air menjadi sebuah pemukiman. Konversi lahan yang terjadi di
Kampung Pengarengan merupakan wujud dari pertambahan kepadatan
penduduk di DKI Jakarta. Pertambahan penduduk di DKI Jakarta dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pertama pertambahan penduduk alami (natural increase) yang merupakan selisih antara jumlah kelahiran dan kematian, kedua pertambahan penduduk yang diakibatkan oleh faktor migrasi. Diantara wilayah-wilayah di Jakarta, Jakarta Timur merupakan wilayah dengan laju pertambahan penduduk tertinggi yang mencapai 10.445 jiwa per kilometer persegi untuk tahun 2007 3 . Bertambahnya penduduk di ibukota tidak diiringi oleh bertambahnya jumlah luas lahan yang dapat dimanfaatkan. Hal ini kemudian menimbulkan keterbatasan lahan untuk menampung dan menyediakan tempat tinggal bagi penduduk. Lahan-lahan dan ruang-ruang terbuka yang luasnya sangat terbatas menjadi daya tarik oleh penduduk untuk memanfaatkannya sebagai tempat tinggal. Ruang-ruang terbuka ini seperti di pinggir kali, di bawah jembatan (air maupun layang), taman-taman, pinggiran rel kereta api, dan di banyak tempat berbahaya lainnya (Ismail, 2000).
3
Dikutip dari http://timur.jakarta.go.id Diakses tanggal 15 April 2008
63
Pertambahan jumlah penduduk juga didasarkan kepada faktor pembangunan. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan di segala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu. Menurut S.P. Siagian dikutip Ndhara (1997) dalam Sunito Melani pada Bab Perubahan Sosial, Sosiologi Umum (2003) mendefinisikan pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa negara dan pemerintah, menuju modernisasi dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Pembangunan yang terjadi di kota terutama ibukota DKI Jakarta menjadi daya tarik bagi penduduk di daerah. Posisi Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia memberikan asumsi bagi pendatang bahwa Jakarta merupakan tempat yang menjanjikan kesuksesan ekonomi. Hal ini yang kemudian membuat pendatang terutama pendatang di daerah Kampung Pengarengan berani mengadu nasib bermigrasi ke ibukota. “.. Saya pindah ke Jakarta karena ingin mencari kerja yang lebih baik dari pada di kampung, jika saya menetap dikampung pekerjaan yang mungkin saya lakukan hanyalah bertani dan bercocok tanam. Penghasilan yang saya peroleh lebih besar apabila saya bekerja di kota. Namun walaupun pendapatan yang diterima lebih besar, dengan biaya hidup yang tinggi tidak merubah status ekonomi menjadi kaya.” ujar MNR (45 tahun) yang sudah menjadi pendatang sejak tahun 1993 di Pengarengan. Lahan Kampung Pengarengan pada awalnya belum ada penduduknya dan belum dimanfaatkan sebagai areal pemukiman. Kondisinya merupakan lahan rawa yang memiliki fungsi sebagai daerah resapan air untuk daerah pulomas dan sekitarnya Daya tarik untuk menempati daerah ini, selain dapat dijadikan tempat tinggal yang strategis (dekat waduk) juga dapat memberikan sumber nafkah hidup dengan memanfaatkan lahan-lahan sebagai areal pertanian. Dari hasil wawancara dengan informan terungkap bahwa lahan Kampung Pengarengan sebelumya dimiliki secara pribadi oleh beberapa
64
warga, yang hingga saat ini lahan tersebut sebagian besar sudah diberikan hak kelolanya kepada PT. Pulomas Jaya selaku penguasa dan pengusaha lahan. Pemukiman di atas lahan Kampung Pengarengan pertama kali dibangun pada tahun 1980an. Pendatang yang berasal dari Madura pertama kali menempati lahan dengan membangun rumah dan membuka usaha pertanian. Sejak itu menimbulkan ketertarikan kepada pendatang lain baik yang berasal dari Madura dan daerah Jawa lainnya serta Luar-Jawa untuk juga bermukim di wilayah ini. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan YTI (66 tahun) yang sudah tinggal di Kampung Pengarengan sejak tahun 1986. “..Dulunya disini masih merupakan lahan rawa dan semak belukar, belum ada banyak pemukiman. Bagi penduduk yang ingin pergi ke suatu tempat masih harus membuka jalannya sendiri dengan menggunakan arit. Pemukiman mulai banyak terbentuk sejak tahun 1980an yaitu ketika era pembangunan oleh mantan presiden Soeharto. Pendatang yang pertama tinggal di sini berasal dari suku Madura. Pemukiman yang terbentuk dahulu masih menggunakan kayu dan belum menggunakan bahan permanen seperti saat ini.” ujar YTI sambil memilah-milah barang di warung. Pemukiman di Kampung Pengarengan berdasarkan penjelasan dari beberapa penduduk merupakan wujud perluasan pemukiman dari Kampung Pedongkelan yang sudah lebih dahulu tercipta. Awalnya pemukiman hanya terbentuk di sisi jalan raya saja, namun semakin banyaknya jumlah penduduk yang tinggal di wilayah ini, maka luas kampung mulai melebar ke bagian dalam lahan rawa. Migrasi berantai yang terjadi di wilayah ini menjadi faktor pemicu bertambahnya jumlah penduduk di Kampung Pengarengan. Sikap penduduk pendatang yang cenderung mengajak serta sanak saudaranya untuk melakukan migrasi mempercepat proses konversi dari lahan rawa dengan fungsi sebagai daerah resapan air menjadi pemukiman. Penuturan dari gejala ini dapat dilihat dari penjelasan oleh JMR sebagai berikut.
65
“.. Biasanya setelah hari raya Idul Fitri Kampung Pengarengan mengalami lonjakan pertambahan penduduk yang kemudian membuat kampung ini menjadai tambah ramai. Banyak penduduk yang setelah dirinya pulang ke daerah asal masing-masing membawa balik sanak saudaranya yang akan bekerja di Jakarta.” Berikut penjelasan dari JMR Pendatang baru di lahan Kampung Pengarengan sebelumnya dapat dengan bebas membangun tempat tinggal di wilayah ini sebagai tempat bermukim. Tidak adanya peraturan dan larangan bagi penduduk untuk membangun tempat tinggal mempercepat kepadatan yang terjadi di Kampung Pengarengan. Namun sejak wilayah Kampung Pengarengan menjadi daerah kekuasaan PT. Pulomas Jaya, untuk mendapatkan tempat tinggal para pendatang harus menyewa tempat tinggal dengan penduduk yang sudah bekerjasama (sudah mendapatkan izin) dengan PT. Pulomas Jaya dalam hal sewa menyewa dan mengusahakan lahan. Mengenai hal ini YTI (66 tahun) juga menyatakan antara lain “ Sebelumnya penduduk pendatang yang menempati lahan Kampung Pengarengan memiliki kebebasan untuk membangun tempat tinggal di atas wilayah ini. Tidak ada peraturan yang melarang penduduk dalam hal pembangunan pemukiman. Tetapi sejak PT. Pulomas Jaya menguasai lahan Kampung Pengarengan, penduduk yang ingin bermukim di kampung ini harus menyewa rumah dengan pihak yang sudah mendapatkan izin dari PT. Pulomas Jaya dalam hal sewa menyewa lahan.” Peraturan yang berubah mengenai pendirian bangunan pemukiman di Kampung Pengarengan membuat semakin berkurangnya kesempatan penduduk untuk dapat tinggal di kampung ini. Terbatasnya jumlah rumah sewaan membuat tidak sedikit penduduk bermukim dengan cara menumpang tinggal dengan saudara yang sudah lama menempati Kampung Pengarengan. “..Penduduk pendatang yang tidak berhasil mendapatkan rumah sewaan pada umumnya menumpang tinggal dengan sanak saudaranya yang sudah terlebih dahulu menetap dikampung ini. Setelah nanti penduduk tersebut memiliki kesempatan dan
66
penghasilan untuk memperoleh rumah sewa, barulah penduduk tersebut pindah.” Penjelasan dari EKS Peraturan yang terdapat didalam Kampung Pengarengan mengenai pendirian pemukiman harus didasarkan izin dari PT. Pulomas Jaya mendapatkan penolakan keras dari pihak PT. Pulomas Jaya sendiri. Pihak PT merasa tidak pernah membuat perjanjian apapun dengan masyarakat Kampung Pengarengan mengenai pendirian pemukiman. Perwakilan dari PT. Pulomas Jaya mengungkapkan bahwa pihaknya melarang keras adanya penduduk yang bermukim diatas lahan yang dikelolanya, dan mereka tentunya akan menindak keras penduduk yang masih tetap tinggal diatas lahan tersebut. Salah satu tindakan yang akan PT. Pulomas Jaya lakukan adalah melakukan pengusiran yang berujung kepada pengosongan lahan. “Kami selaku pihak penguasa lahan tentunya melarang masyarakat untuk tinggal diatas lahan yang dikelola oleh kami. Apabila ada penduduk yang bermukim diatas lahan tentunya PT. Pulomas Jaya akan menindak tegas dengan melakukan usaha pengusiran, karena bagaimanapun keberadaan mereka ilegal diatas lahan tersebut” ungkap FTR selaku perwakilan dari PT. Pulomas Jaya. Keterangan dari pihak PT. Pulomas Jaya tentunya berbeda dari keterangan yang sudah diutarakan oleh YTI dan EKS 5.2 Dampak Pembentukan Kampung Pengarengan Sihaloho (2004) menegaskan bahwa konversi lahan telah meningkatkan ketidakadilan agraria, atau dapat dikatakan bahwa konversi lahan mempengaruhi atau memicu terjadinya perubahan struktur agraria. Salah satu perubahan strukutur agraria yang dapat terjadi adalah perubahan pola penguasaan lahan dan perubahan nilai orientasi lahan. Pola penguasaan lahan menurut Sitorus (2004) dibagi menjadi lima tipe yaitu, Tipe Kapitalisme, Tipe Sosialisme, Tipe Populisme/Neo-Populisme, Tipe Naturalisme, dan Tipe Feodalisme. Orientasi nilai terhadap lahan adalah pengutamaan
67
suatu tujuan atau fungsi tertentu atas lahan yang disepakati dan dijalankan oleh suatu masyarakat, yang oleh Chapin dikutip Jayadinata (1999) lahan digolongkan kedalam tiga kelompok nilai yaitu nilai sosial, nilai kepentingan umum dan nilai ekonomi. Konversi lahan tidak hanya memberi dampak kepada struktur agraria, tetapi dalam kasus pembentukan Kampung Pengarengan, konversi lahan yang terjadi memberikan dampak negatif terhadap ekologi atau lingkungan. Dampak yang dihasilkan dari konversi lahan dari lahan rawa menjadi pemukiman di wilayah Kampung Pengarengan sebagian besar merupakan dampak negatif. Dampak positif hanya diterima oleh penduduk yang bermukim di Kampung Pengarengan. Pembentukan pemukiman menyebabkan meningkatnya nilai ekonomis, yaitu melalui sewa-menyewa kontrakan yang memiliki range dari Rp. 150.000 hingga Rp.300.000. Namun, dampak positif terkait peningkatan nilai ekonomis lahan hanya diterima oleh pemilik tempat sewa tempat tinggal yang sebagian dari jumlahnya sudah bekerja sama dengan PT. Pulomas Jaya dalam hal sewa menyewa lahan. Keuntungan yang diperoleh penduduk Kampung Pengarengan dengan terjadinya konversi di wilayah ini mendapatkan tempat tinggal dan tempat melakukan usaha. Dampak konversi lahan yang menjadi temuan dalam penelitian ini dapat dibagi tiga. Dampak pertama, yaitu dampak terhadap struktur agraria yang ditunjukkan antara lain melalui perubahan pola penguasaan lahan dan perubahan orientasi nilai atas lahan dari segi nilai sosial, nilai kepentingan umum dan nilai ekonomi. Dampak Kedua, yaitu dampak ekologi atau dampak yang berpengaruh langsung terhadap lingkungan. Dampak ekologi dapat berupa pencemaran. Pencemaran atau polusi oleh Jayadinata (1999) dinyatakan sebagai akibat dari suatu kegiatan atau suatu proses menghasilkan hasil sampingan yang merusak sistem buatan manusia. Dampak ketiga, yaitu terjadinya
68
tumpang tindih atau penyimpangan terhadap Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW). Khusus untuk dampak yang ketiga akan dibahas pada Bab VII.
5.2.1 Perubahan Pola Penguasaan Lahan Dampak terhadap struktur agraria dalam hal ini perubahan pola penguasaan lahan Kampung Pengarengan dapat diamati dari suatu bentuk pengaturan lahan oleh pemilik, penguasaan dan pengusahaan atas lahan. Lahan Kampung Pengarengan merupakan lahan milik Pemerintah DKI Jakarta dengan hak kelola oleh PT. Pulomas Jaya. Pada umumnya suatu konversi lahan merupakan salah satu bentuk keberpihakan pemerintah terhadap sektor swasta. Tetapi konversi lahan yang terjadi di Kampung Pengarengan justru merupakan salah satu contoh tidak berdayanya pemerintah terhadap penanggulangan kepadatan penduduk di perkotaan yang mengakibatkan timbulnya squatter area. Sebelum terjadi alih fungsi lahan Pemerintahan Daerah DKI Jakarta berperan sebagai pemilik dan penguasa lahan, sedangkan PT. Pulomas Jaya berperan sebagai pengusaha lahan. Dapat dikatakan bahwa sebelumnya sistem penguasaan lahan di Kampung Pengarengan tergolong ke dalam tipe Sosialisme, dimana sumber agraria (lahan) dikuasai oleh negara. Namun, setelah terciptanya pemukiman di atas lahan (terkonversi), peran penguasa lahan berpindah tangan menjadi milik penduduk yang menempati lahan. Perubahan penguasaan lahan ke tangan penduduk menyebabkan perubahan pola penguasaan lahan di Kampung Pengarengan menjadi tipe Populisme, yaitu sumber agraria (lahan) dikuasai oleh masyarakat. Dikatakan penguasa lahan karena penduduk Kampung Pengarengan dapat menguasai lahan secara efektif salah satunya, yaitu penduduk dapat menempati lahan secara laluasa, leluasa di penelitian ini
69
dimaksudkan bahwa penduduk dapat tinggal dan menetap di daerah Pengarengan tanpa seizin pihak PT. Pulomas Jaya ataupun Pemerintah. ” Saya menetap di kampung ini tanpa seizin pemilik lahan yaitu PT. Pulomas Jaya. Saya hanya menyewa rumah kepada pihak yang memang memiliki wewenang untuk menyewakan lahan dan tempat tinggal kepada penduduk. Sehingga untuk perkara mengenai izin tinggal, pihak pemilik tempat sewa yang membicarakan dengan PT. Pulomas Jaya.” Ungkap ATR (20 tahun) yang sudah tinggal di Kampung Pengarengan selama 7 tahun. Penduduk Kampung Pengarengan sebagai penguasa lahan tidak hanya menguasai lahan secara efektif, tetapi juga mengusahakan lahan secara efektif. Penduduk selain memanfaatkan lahan sebagai tempat tinggal, juga membuat tempat usaha, seperti warung, tempat jual furniture, tempat cukur rambut, bengel motor, hingga daerah pertanian sayur. ” Penduduk di Kampung Pengarengan membuka banyak usaha dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan memperoleh tambahan penghasilan. Seperti saya yang membuka usaha warung di depan tempat tinggal. Hal ini tentu saja bertujuan agar keluarga saya mendapatkan tambahan penghasilan guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga. ” ungkap IJH (24 tahun) yang selama wawancara sibuk mendiamkan anaknya yang sedang menangis.
Pembentukan Kampung Pengarengan tentu saja menyimpang dari tujuan PT. Pulomas Jaya dalam hal pengusahaan lahan wilayah ini. PT. Pulomas Jaya selaku pihak pengusaha resmi lahan merencanakan pembangunan Business and Culture Complex diatas lahan Kampung Pengarengan. Pembentukan proyek ini memiliki tujuan sebagai bentuk optimalisasi lahan, yang direncanakan pembangunannya akan dimulai pada tahun 2008. Proyek pembangunan Business and Culture Complex merupakan bagian dari upaya pengembangan Waduk Ria-Rio yang terletak diantara Kampung Pengarengan dan Kampung Pedongkelan. Waduk ini memiliki fungsi sebagai danau buatan penampung aliran air untuk mencegah banjir di daerah Pulomas dan sekitarnya.
70
” Waduk Ria-Rio direncanakan akan diperbesar luasannya dari tujuh koma lima hektar menjadi sembilan hektar. Perluasan waduk diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan musibah banjir di Pulomas. Seiring dengan pengembangan waduk, PT. Pulomas Jaya juga merencakan pelaksanaan pengembangan lahan yang terletak disekitar waduk untuk dijadikan fungsi komersil atau mix use dengan pembangunan pusat hiburan, tempat tinggal, dan tempat pertemuan. ” ungkap FTR perwakilan dari PT. Pulomas Jaya Pembangunan proyek Business and Culture Complex memiliki misi tersendiri oleh PT. Pulomas Jaya, yaitu ingin menjadikan kedua wilayah Kampung Pedongkelan dan Kampung Pengarengan beserta Waduk Ria-Rio sebagai landmark bagi daerah Jakarta Timur. 5.2.2 Sistem Penguasaan Lahan di Kampung Pengarengan Sistem penguasaan lahan di Kampung Pengarengan tergolong kepada tipe penguasaan Populisme. Tipe Populisme/Neo-Populisme menurut Sitorus (2004) memiliki pengertian bahwa sumber agraria dikuasai oleh keluarga/ rumah tangga pengguna (masyarakat). Disebutkan seperti itu berdasarkan fakta setelah terjadinya konversi di lahan Kampung Pengarengan, penduduk menjadi pihak yang paling berkuasa atas lahan. Dikatakan penguasa karena penduduk merupakan pihak yang menduduki lahan dan mengusahakan lahan walaupun lahan yang diusahakannya merupakan lahan milik Pemerintah DKI Jakarta, dan penduduk yang tinggal di Kampung Pengarengan belum tentu merupakan penduduk yang terdaftar menjadi bagian dari warga DKI Jakarta. Berdasarkan
dari
pengakuan
beberapa
penduduk,
wilayah
Kampung
Pengarengan pada awalnya dimiliki oleh lima orang tuan tanah yaitu, HSN, KSM, SDR, MTR dan SRT. Kelima pemilik sah dari lahan ini mewariskan bagiannya masingmasing secara turun temurun, namun di tengah perjalanannya lahan-lahan warisan
71
tersebut sudah banyak yang diserahkan kepada Pemerintahan Daerah Jakarta Timur secara terpisah-pisah yang kemudian hak kelolanya diberikan kepada PT. Pulomas Jaya. Keabsahan pemilikan lahan warisan di Kampung Pengarengan yang hingga saat ini masih bisa ditelusuri kebenaran kepemilikannya adalah lahan milik HSN yang kemudian menjadi milik JTM ”juragan kontrakan” yang masih menetap di Kampung Pengarengan. “.. Lahan di Kampung Pengaregan pada awalnya dikuasai dan dimiliki oleh lima orang tuan tanah yaitu bapak HSN, KSM, SDR, MTR, dan bapak SRT. Lahan-lahan yang mereka miliki diwariskan secara turun-temurun. Namun hingga saat ini lahan yang masih jelas kepemilikannya adalah lahan warisan dari bapak HSN yang kebetulan merupakan sesepuh orang tua saya. Dimana kemudian lahan tersebut diwariskan kepada saya. Sisa lahan warisan dari empat pemilik lainnya sudah banyak yang diserahkan kepada PT. Pulomas Jaya.” ujar JTM Lahan warisan yang dimiliki oleh JTM dimanfaatkan untuk membangun tempat usaha furniture di halaman depan tempat tinggalnya, dan sisa lahan yang dimilikinya di bangun usaha penyewaan tempat tinggal (kontrakan) yang kemudian disewakan kepada para pendatang di Kampung Pengarengan. Berdasarkan cerita penduduk, JTM merupakan orang yang paling dihormati dan ditakuti oleh penduduk. Menurut pengakuannya, selain JTM merupakan sesepuh dari salah satu suku di Kampung Pengarengan, ia merupakan pihak yang paling berkuasa mengenai lahan-lahan tempat penyewaan tempat tinggal di Kampung Pengarengan. Penduduk di Kampung Pengarengan pun menyebutnya dengan panggilan ”Abah”. Hal ini antara lain terungkap dari hasil wawancara dengan MMT (23 tahun) sebagai berikut: “..Abah JTM merupakan seseorang yang keberadaannya paling terkenal di kampung ini. Beliau adalah sosok yang paling dihormati dan ditakuti oleh sesama warga Kampung Pengarengan. Selain memang beliau adalah sesepuh dari salah satu suku yang masih
72
menetap di kampung ini, beliau juga adalah penguasa kontrakan yang terdapat di Kampung Pengarengan.” Ujar MMT Tidak terdapatnya pihak selain JTM yang merupakan ahli waris dari salah satu pemilik lahan di Kampung Pengarengan membuat perbedaan antara penduduk Kampung Pedongkelan yang letaknya bersebelahan dengan Kampung Pengarengan. Pada Kampung Pedongkelan masih terdapat penduduk yang merupakan warga asli Jakarta (Betawi) dan tinggal diatas lahan milik sendiri. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan KSM (45 tahun) yang dulunya merupakan penduduk Kampung Pedongkelan, tetapi disebabkan beberapa hal beliau kemudian pindah ke Kampung Pengarengan.
“.. Penduduk di Kampung Pedongkelan sebagian besar berasal dari Betawi dan mereka memiliki KTP sebagai tanda bukti bahwa mereka adalah bagian dari warga DKI Jakarta. Beberapa tempat tinggal penduduk di Kampung Pendongkelan masih dibangun diatas lahan milik perorangan yang mendapatkan lahan dengan cara turun temurun. Hal ini berbeda dengan penduduk yang terdapat di Kampung Pengarengan, dimana sebagian besar penduduk merupakan pendatang dan tidak tinggal diatas lahan milik sendiri tetapi dengan cara menyewa.” ujar KSM Pernyataan dari KSM sesuai dengan pengakuan penduduk Kampung Pengarengan lainnya. Mereka mengakui dan mengetahui bahwa mereka tinggal di atas lahan milik orang lain dan hanya sekedar menyewa tempat tinggal. Seperti yang dikemukan oleh IMN (40 tahun) yang tinggal di Kampung Pengarengan sejak tahun 1996. “…Saya sudah menempati Kampung Pengarengan sejak tahun 1996. Ketika itu pemukiman di kampung ini sudah lumayan padat walaupun tidak sepadat saat ini. Saya menempati tempat tinggal bersama keluarga di kampung ini dengan cara menyewa kepada pihak yang berprofesi sebagai penyewa tempat tinggal. Selama tinggal di sini saya mengetahui dengan pasti bahwa lahan ini adalah milik PT. Pulomas Jaya. Bagaimana saya tidak tahu, setiap hari selalu ada petugas yang mwnjaga wilayah ini.” ujar IMN sambil dengan asiknya menghisap rokok.
73
Informasi mengenai Kampung Pengarengan juga diperoleh peneliti dari AKN (40 tahun), salah satu polisi yang bertugas di pos polisi Pulomas. “…Tanah Pengarengan status kepemilikannya sesungguhnya masih sengketa antara Pemda dengan ahli waris di pengadilan. Karena hal itulah mengapa tanah ini masih dibiarkan,dan belum diusahakan oleh di PT. Pulomas Jaya. Tapi walaupun begitu, PT. Pulomas Jaya tetap mengontrol tanah ini setiap hari. Polisi juga bekerja sama dengan Pulomas dalam hal keamanan lahan..” ujar AKN di selasela istirahat siangnya. PT. Pulomas Jaya sebagai pihak yang paling berkepentingan dengan lahan Kampung Pengarengan mengungkapan bahwa sebenarnya perusahaan tidak hanya menguasai sebagian besar lahan Kampung Pengarengan saja, perusahaan ini juga menguasai lahan Kampung Pedongkelan yang letaknya berdampingan dengan Kampung Pengarengan. Mengapa dikatakan “sebagian besar”?, hal ini disebabkan masih ada sekitar empat koma empat hektar lahan yang belum dibebaskan atau masih merupakan milik warga. Hal ini
diungkap sebagaimana pernyataan oleh FTR,
perwakilan dari pihak PT. Pulomas Jaya. “.. Sebenarnya dari luas lahan sekitar kurang lebih 250.00 meter persegi yang akan dikelola oleh PT. Pulomas Jaya (Kampung Pengarengan dan Kampung Pengarengan), masih ada sekitar 4,4 hektar lahan yang masih belum dibebaskan, atau masih ada pemiliknya, tetapi mereka tidak punya pilihan lain selain melepaskan lahan mereka dan memberikannya kepada PT. Pulomas Jaya, karena lahan tersebut lebih potensial untuk dikelola oleh PT.Pulomas Jaya.”
PT. Pulomas Jaya tidak hanya berkuasa atas lahan yang terdapat pada Kampung Pengarengan dan Pedongkelan, tetapi juga berkuasa atas Waduk Ria-Rio yang letaknya mengapit kedua kampung tersebut. Rencananya danau tersebut pada tahun 2008 akan dibangun proyek pengembangan Waduk Ria-Rio sekaligus membangun Pulomas City didaerah sekitar waduk. Namun, hingga peneliti melakukan penelitian, PT. Pulomas
74
Jaya sebagai pihak penguasa lahan belum menunjukkan kekuasaannya dengan melakukan kebijakan pengosongan lahan. Kampung Pengarengan masih menjadi kawasan padat penduduk yang penduduknya bisa dengan leluasa beraktivitas di atasnya.
5.2.3 Perubahan Orientasi Nilai Atas Lahan Dampak yang timbul terkait perubahan orientasi nilai dalam penelitian ini dapat dilihat dalam bentuk perubahan, yaitu perubahan dari segi nilai sosial dan nilai ekonomis lahan. Terkonversinya lahan menjadi pemukiman di Kampung Pengarengan menimbulkan perubahan fungsi. Perubahan fungsi ini berdampak terhadap perubahan nilai sosial lahan di masyarakat. Nilai sosial sebagaimana diungkapkan oleh Jayadinata (1999) merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya. Nilai sosial lahan dalam penelitian ini dimaknai sebagai pandangan dan pemaknaan masyarakat terhadap lahan. Lahan Kampung Pengarengan dan juga Waduk Ria-Rio di maknai oleh warga Pulomas dan sekitarnya sebagai daerah yang berfungsi sebagai resapan air. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari ADI (24 tahun), penduduk Pulomas yang sudah tinggal di wilayah Pulomas Barat sejak 24 tahun lalu. ” Waduk Pulomas (Ria-Rio) dan lahan disekitarya memang berfungsi sebagai tempat penampungan air agar daerah Pulomas tidak banjir. ” ungkap ADI. Pemaknaan daerah Kampung Pengarengan dan sekitarnya sebagai daerah resapan air menimbulkan ketergantungan masyarakat yang tinggal di sekitar Pulomas sangat tinggi. Apabila lahan tersebut tidak berfungsi dengan baik, maka akan memberikan akibat yang akan berdampak langsung terhadap lingkungan disekitar dareah Pulomas. Namun
75
dengan timbulnya pemukiman, nilai sosial yang dianut oleh masyarakat berubah. Lahan sebagai fungsi sosial yaitu penyerapan air berubah fungsi menjadi pemukiman. Lahan yang berfungsi sebagai penyerap air kini berubah menjadi komersil, dimana di dalamnya terdapat aktivitas penduduk Kampung Pengarengan yang menyewa dan membangun tempat tinggal diatas lahan.
” Penduduk dahulu waktu baru datang ke lahan ini membangun banyak tempat tinggal yang akhirnya sampai sekarang tempat tinggal tersebut dikontrakkan kepada para pendatang. ” ujar TKI
Nilai ekonomis terhadap lahan menjadi meningkat, sedangkan nilai sosial terhadap lahan menurun, sehingga nilai ekonomis melemahkan nilai sosial yang ada di dalam masyarakat.
5.2.4 Dampak Ekologi Dampak konversi lahan yang terjadi di Kampung Pengarengan terhadap ekologi atau lingkungan dirasakan langsung oleh penduduk yang tinggal di Kampung Pengarengan dan sekitarnya. Dampak ekologi yang dialami oleh penduduk Kampung Pengarengan sangat terkait dengan pencemaran dan sanitasi lingkungan. Dengan lahan yang terbatas dan jumlah penduduk yang perbandingannya tidak seimbang dengan luas lahan, juga sikap masyarakat yang cenderung kurang memperhatikan lingkungan terutama dalam hal pembuangan sampah, membuat wujud Kampung Pengarengan yang terlihat kumuh menjadi lebih kumuh dengan banyaknya tumpukan sampah. Sesuai dengan fungsi utama dari lahan Kampung Pengarengan dan Kampung Pedongkelan, yaitu sebagai daerah resapan air, maka timbulnya pemukiman di atas lahan
tersebut menyebabkan tidak berfungsi kembali lahan sebagai semestinya.
76
Dampak ekologi yang paling dirasakan adalah timbulnya bencana banjir di daerah Pulomas setiap tahunnya. Timbulnya
pemukiman di Kampung Pengarengan
menyebabkan sistem penyerapan air terganggu. Limbah sampah rumah tangga dari pemukiman Kampung Pengarengan semakin memicu masalah banjir rutin tahunan yang terjadi.Hal ini semakin parah ketika musim hujan. Aliran air hujan yang seharusnya bermuara ke Waduk Ria-Rio sebagai penampung air hujan dan mencegah bencana banjir justru menguap dan akhirnya menimbulkan banjir untuk daerah Pulomas dan sekitarnya. Bencana banjir mulai dialami penduduk Pulomas sejak tahun 1995, hal ini sesuai dengan pernyataan IND (51 tahun) sebagai penduduk yang tinggal di daerah Pulomas sejak tahun 1989. ”..Daerah Pulomas sudah mulai mengalami musibah bencana banjir
sejak tahun 1995. Bencana banjir yang terjadi setiap tahunnya dapat mencapai ketinggian hingga satu setengah meter, tentu saja hal ini membuat resah penduduk yang tinggal di sekitar daerah Pulomas apabila musim hujan tiba ...” ujar IND Luas pemukiman yang semakin membesar semakin menambah permasalahan ekologi. Semakin luasnya pemukiman Kampung Pengarengan menimbulkan gangguan estetika pemandangan bagi masyarakat yang melewati daerah Kampung Pengarengan. Masyarakat memandang wilayah Kampung Pengarengan sebagai wilayah yang kotor, tidak sehat, kumuh, dan juga menimbulkan citra negatif, yaitu daerah yang rawan. Hal ini sempat menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang ingin melintas dan berhenti di sepanjang jalan Perintis Kemedekaan dan Ahmad Yani.
77
5.3 Ikhtisar Lahan Kampung Pengarengan awalnya merupakan lahan rawa dengan fungsi lahan sebagai daerah resapan air. Kepadatan penduduk dan faktor pembangunan menyebabkan terjadinya konversi menjadi pemukiman penduduk. Dampak yang ditimbulkan dari konversi lahan memberikan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif konversi hanya dirasakan oleh penduduk kampung tersebut. Selain memberikan tempat tinggal, meningkatnya nilai ekonomis lahan di Kampung Pengarengan memberikan keuntungan bagi para pemilik rumah sewa di wilayah ini. Dampak lain yang terkait dengan konversi lahan dapat dibagi berdasarkan tiga kelompok, yaitu pertama, dampak terhadap struktur agraria, kedua. dampak ekologi, dan ketiga, dampak terhadap penyimpangan RTRW. Dampak agraria terdiri atas perubahan pola penguasaan lahan dan perubahan orientasi nilai lahan dari segi sosial, kepentingan umum, dan segi ekonomis. Perubahan pola penguasaan lahan yang terjadi adalah dari tipe sosialisme menjadi populisme. Lahan yang pada awalnya merupakan milik pemerintah diambil alih penguasaannya oleh sekelompok penduduk. Perubahan orientasi nilai yang terjadi adalah nilai ekonomis melemahkan nilai sosial. Pembentukan pemukiman menyebabkan nilai sosial lahan berkurang dan berubah menjadi komersil. Dampak ekologi yang terjadi diantaranya adalah pencemaran lingkungan, banjir, dan perubahan estetika sosial. Dampak ekologi yang paling dirasakan adalah timbulnya bencana banjir di daerah Pulomas setiap tahunnya. Timbulnya pemukiman Kampung Pengarengan menyebabkan sistem penyerapan air terganggu. Limbah sampah rumah tangga dari pemukiman Kampung Pengarengan semakin memicu masalah banjir rutin tahunan yang terjadi. Gangguan estetika pemandangan timbul karena wilayah tersebut kotor, tidak sehat, kumuh, dan bercitra negatif berupa daerah yang rawan
78
BAB VI AKSESIBILITAS MASYARAKAT TERHADAP LAHAN KAMPUNG PENGARENGAN Aksesibilitas dalam penelitian ini memiliki definisi sebagai kemampuan seseorang untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu (ability to derive benefits from things) termasuk diantaranya dari objek material, orang lain, lembaga, dan simbol (Peluso dan Ribot (1999) dalam Elisabeth (2003)). Dalam penelitian ini keuntungan yang diperoleh adalah objek material. Objek material yang dapat dimanfaatkan dalam hal ini adalah lahan. Keuntungan yang dapat diambil dari lahan tidak hanya mengusahakan tetapi penguasaan atas lahan. Konsep akses memfasilitasi analisis dasar mengenai siapa yang memanfaatkan (dan tidak memanfaatkan) sesuatu, dengan cara seperti apa, dan kapan (dalam situasi apa). Analisis akses dapat dikatakan sebagai proses untuk mengidentifkasi dan memetakan mekanisme perolehan, pemeliharaan, dan pengendalian akses yang dalam penelitian ini adalah lahan Kampung Pengarengan.
6.1 Aksesibilitas Pendatang terhadap Lahan Pertambahan penduduk di Kampung Pengarengan sangat terlihat jelas ketika pada akhir liburan hari raya Idul Fitri. Pendatang banyak berdatangan dari sejumlah wilayah di luar ibukota, biasanya mereka bermigrasi dari pulau Jawa dan Madura. Pendatang dari pulau Jawa biasanya dari Jawa Barat, seperti dari kota Bogor, Bandung, Sukabumi, Cianjur, dan Karawang. Sisanya merupakan pendatang yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Indramayu, Kuningan, Tegal, dan Pati. Penduduk pendatang yang tinggal di Kampung Pengarengan bermigrasi disebabkan faktor ajakan oleh keluarga dan teman yang sudah terlebih dahulu tinggal di Kampung Pengarengan
79
ataupun Kampung Pedongkelan. Mereka semua memiliki harapan untuk meningkatkan taraf hidup dari usaha lain selain pekerjaan yang dilakukan di kampung.
“ Saya pindah dari kampung atas ajakan dari kakak saya yang memang sebelumnya sudah tinggal terlebih dahulu di Kampung Pengarengan. Saya ditawari untuk bekerja membantu pekerjaan kakak di kota. Tawaran itu saya terima dengan alasan saya akhirnya bisa mendapatkan penghasilan setelah selama ini tidak bekerja di kampung.” ucap FRM (17 tahun) yang baru menjadi penduduk kampung Pengarengan sejak 2006. Faktor hubungan sosial seperti keluarga dan pertemanan menjadi faktor utama yang menentukan aksesibilitas pendatang terhadap lahan di Kampung Pengarengan. Dapat dilihat contohnya dari pernyataan FRM. FRM merupakan adik dari IMN yang bekerja sebagai kusir delman. FRM pindah dari kota asalnya Majalaya dengan maksud membantu sang kakak. Contoh lain juga dapat dilihat dari MMT yang merupakan anak dari YSR. Keluarga YSR merupakan pendatang dari Madura, dan pindah ke Kampung Pengarengan atas dasar ajakan dari JTM yang memiliki tanah warisan di Kampung Pengarengan. JMR juga mengalami hal serupa, dirinya dan keluarganya yang berasal dari Tegal pindah ke Kampung Pengarengan atas tawaran dari pamannya yang sudah terlebih dahulu tinggal di Kampung Pedongkelan. Pendatang memiliki persyaratan khusus agar dapat tinggal di Kampung Pengarengan. Seorang pendatang yang tidak memiliki keluarga atau teman yang sudah terlebih dahulu tinggal di Pengarengan atau Pedongkelan, aksesibilitas mereka dalam menempati lahan lebih sulit. Hal ini disebabkan kebijakan yang sudah ditetapkan bahwa diatas lahan Kampung Pengarengan sudah tidak diizinkan membangun tempat tinggal. Selain itu pihak PT. Pulomas Jaya menempatkan satpam atau security untuk mengontrol keadaan lahan selama 24 jam setiap hari, sehingga untuk mempertahankan eksistensi
80
masyarakat pendatang mereka harus memiliki akses “orang dalam” atau akses hubungan sosial. Bagi pihak pendatang yang tidak memiliki hubungan keluarga atau pertemanan dengan penduduk di dalam Kampung Pengarengan, kemampuan aksesibilitasnya terhadap lahan sangat sulit. Walaupun sebenarnya semua orang dapat akses ke dalam lahan Pengarengan, tetapi tidak semua orang diberi kesempatan untuk menempati lahan. Kesulitan dalam hal pengaksesan terhadap lahan di kampung ini disebabkan tidak tersedianya lahan tambahan untuk membangun tempat tinggal di atas lahan. Salah satu peraturan yang sudah diterapkan di Kampung Pengarengan adalah tidak diizinkan membangun bangunan baru di atas lahan. Bagi para pendatang yang ingin tinggal di Kampung Pengarengan harus menunggu hingga ada tempat tinggal sewa yang sudah tidak ditempati oleh penduduk lain. Apabila seorang pendatang tidak memiliki akses hubungan sosial maka kesempatannya agar dapat mengakses lahan menjadi sangat kecil. Hal ini juga didukung dari sikap penduduk kampung yang lebih mengutamakan pendatang yang merupakan kerabat daripada pendatang yang tidak mempunyai hubungan sosial. Pihak pendatang yang akan tinggal di Kampung Pengarengan harus memiliki kenalan, baik keluarga maupun teman di dalam kampung agar dapat membantu aksesibilitas terhadap pemanfaatan lahan sebagai tempat tinggal. Pada awalnya, penduduk pendatang biasanya tinggal satu atap bersama keluarga di Kampung Pengarengan, tetapi bagi para pendatang yang ingin mendapatkan tempat tinggal tetap harus menunggu hingga ada tempat tinggal sewaan yang kosong atau sudah tidak ditempati lagi oleh penduduk lain. Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa di Kampung Pengarengan tidak diizinkan membangun bangunan baru di atas lahan,
81
sehingga penempatan satpam oleh PT. Pulomas Jaya bertujuan agar tidak ada masyarakat yang membangun tempat tinggal diatas lahan Pengarengan. PT. Pulomas Jaya mengharapkan lahan tersebut dapat disterilkan dari penduduk-penduduk liar. “..Satpam pulomas selalu mengadakan pengawasan keliling kampung, jika ditemukan tempat tinggal yang dibangun tanpa izin akan dihancurkan.” Ungkap EKS Namun sesuai dengan pernyataan penduduk Pengarengan mengenai penempatan satpam oleh PT. Pulomas Jaya tidak membuat penduduk yang tinggal di lahan Kampung Pengarengan berinisiatif untuk pindah ataupun takut untuk tinggal. Mereka mengakui bahwa memang satpam PT. Pulomas Jaya sangat mengontrol lahan, tetapi penduduk Pengarengan cukup membayar sejumlah uang kepada satpam sebagai uang izin untuk tinggal di lahan tersebut.
“.. satpam pulomas memang suka mengawasi lahan ini. Sebagai utusan dari PT. Pulomas Jaya tentunya mereka bertugas mengawasi dan menjaga daerah Kampung Pengarengan. Biasanya kami selaku penduduk suka memberi uang rokok ke satpam, dengan alasan agar kami bisa aman tinggal di kampung ini” ucap HTN (46 tahun) Sehingga izin tidak tertulis melalui uang rokok yang diberikan kepada satpam PT. Pulomas Jaya merupakan faktor berikutnya yang harus di tempuh seorang pendatang agar tetap dapat mempertahankan ekistensi keberadaannya di Kampung Pengarengan.
6.2 Aksesibilitas Penduduk dalam Penguasaan Lahan Pendatang yang berhasil menempati atau tinggal di Kampung Pengarengan, bukan berarti mereka dengan mudah menguasai dan mengusahakan lahan. Lahan Kampung Pengarengan memang merupakan milik Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan hak kelola oleh PT. Pulomas Jaya, tetapi penduduk Kampung Pengarengan
82
sebagai “penguasa” atas lahan memiliki aturan tidak tertulis mengenai penguasaan lahan diantara sesama penduduk. Penduduk yang sudah menempati lahan terlebih dahulu memiliki kekuasaan untuk pengusahaan lahan di wilayahnya. Pola penguasaan lahan di Kampung Pengarengan
berbeda pada lahan pertanian dan lahan yang
diusahakan untuk tempat tinggal (kontrakan). Penguasaan lahan di Kampung Pengarengan secara umum diperoleh secara turun temurun. Penduduk yang telah tinggal lebih lama di daerah Kampung Pengarengan memiliki aksesibilitas lebih besar terhadap lahan dari pada pendatang. Seperti, daerah pertanian di Kampung Pengarengan, penduduk yang bisa melakukan usaha bertani adalah penduduk yang sudah turun temurun keluarganya melakukan usaha tani di lahan tersebut. Data ini didukung dari pernyataan SPR (38 tahun) yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, dan mengusahakan lahan pertanian yang diwarisinya dari keluarga.
“ saya bertani sudah turun-temurun sejak bapak saya tinggal di sini (Kampung Pengarengan). Memang sudah menjadi tradisi disini jika yang berprofesi sebagai petani biasanya memang keturunan petani yang sudah lama mempunyai lahan pertanian di Pengarengan.” Ungkap SPR Penguasaan
lahan
pertanian
secara
turun-temurun
menyebabkan
terutupnya
kemungkinan bagi penduduk lain yang mempunyai minat tani untuk bekerja di bidang pertanian. Bagi penduduk yang tidak memiliki lahan pertanian tidak dimungkinkan untuk menguasai dan mengusahakannya.
Mereka hanya bisa membantu dalam
pengusahaan lahan pertanian sebagai buruh tani, yang menerima upah dari pembagian hasil panen sesuai kesepakatan bersama.
83
Penguasaan lahan di Kampung Pengarengan untuk tempat tinggal dikuasai oleh satu kelompok tertentu. Hal ini terjadi karena kelompok tersebut merupakan kelompok yang pertama kali memanfaatkan lahan Kampung Pengarengan sebagai tempat tinggal. Kemudian kelompok tersebut cenderung lebih mengutamakan aksesibilitas terhadap tempat tinggal bagi pendatang yang mrmiliki kesamaan identitas sosial dengan kelompok tersebut. Bagi penduduk lain yang tidak memiliki kesamaan identitas sosial hanya bisa menguasai lahan sebagai tempat tinggal sendiri. Penguasaan lahan untuk dijadikan usaha tempat tinggal tidak dapat dilakukan oleh penduduk yang tidak termasuk ke dalam kelompok tertentu. Kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk mengusahakan lahan agar menjadi tempat tinggal adalah orang-orang yang berasal dari suku
Madura.
Kelompok ini menjadi dominan dalam penguasaan lahan karena orang yang memiliki perekonomian paling tinggi berasal dari suku yang sama. Sebagian besar tempat tinggal yang dikontrakkan dimiliki oleh orang tersebut yang bernama JTM.
“ kalau neng ingin mengetahui siapa yang paling berkuasa di kampung ini, beliau adalah JTM. Beliau merupakan juragan kontrakan di Kampung Pengarengan. Asalnya dari Madura. Dikarenakan hal itulah yang memegang kuasa atas rumah kontrakan berasal dari suku Madura, karena mereka mendapatkan pengaruh dari JTM.” ungkap SKN (45 tahun) Rasa solidaritas dan kekeluargaan yang besar dari JTM terhadap saudara atau orang yang berasal dari satu suku dengan dirinya akhirnya membuat kelompok orang-orang yang berasal dari suku Madura ini menjadi dominan di Kampung Pengarengan.
6.3 Aksebilitas Penduduk Dalam Menunjang Ekonomi Kerakyatan dan Menopang Roda Ekonomi Kota
84
Kegiatan penduduk di Kampung Pangarengan turut memberikan dampak positif terhadap perekonomian perkotaan. Selain memberi dampak terhadap konversi lahan yang menyebabkan perubahan struktur agraria dan ketidakseimbangan ekologi, ternyata di sisi lain ada dampak positif lain dalam penguasaan lahan yang dilakukan oleh pendatang dari Pulau Jawa dan Madura. Kampung Pangarengan justru menjadi daerah penyangga (buffer zone) bagi perputaran roda ekonomi kota. Hal ini memberikan efek spiral (multiplier effect) bagi kesejahteraan kota. Dapat dibuktikan dari kegiatan (pekerjaan) yang dilakukan oleh masyarakat seperti berdagang makanan, tukang pangkas rambut, tukang ojek, bengkel motor, toko furniture, pemulung, dan penjual arang turut berkontribusi terhadap sistem ekonomi kota. Memang tidak secara eksplisit dapat dilihat, namun apabila kita mengamati dan menganalisis lebih jauh ternyata pekerjaan yang dilakukan oleh penduduk Kampung Pangarengan merupakan pendukung bagi kehidupan masyarakat perkotaan. Misalnya penduduk yang berdagang makanan (warteg/warkop) berperan untuk menyediakan keperluan logistik bagi masyarakat sekitar Pulomas termasuk juga karyawan PT. Pulomas Jaya. Tanpa adanya pedagang makanan (warteg/warkop) maka proses kegiatan PT. Pulomas Jaya mengalami gangguan dan secara otomatis juga berdampak terhadap masyarakat luas sebagai konsumen dari PT. Pulomas Jaya. Contoh lain dapat dilihat dari penduduk kampung yang bekerja sebagai pemulung untuk daerah sekitar Pulomas dan Cempaka Putih. Tanpa adanya pemulung maka akan terdapat banyak timbunan sampah yang akibatnya menimbulkan gangguan estetika untuk wilayah sekitar Pulomas. Dengan demikian semua komponen mata pencaharian masyarakat Kampung Pangarengan berfungsi sebagai penggerak bagi kegiatan ekonomi daerah Pulomas.
85
Proses
yang
terjadi
adalah
suatu
pertautan
sosiologis
yang
saling
menguntungkan antara penduduk Kampung Pengarengan dengan masyarakat daerah Pulomas sehingga tercipta hubungan mutualisme diantara keduanya. Keberadaan penduduk di atas lahan dianggap oleh PT. Pulomas Jaya dan beberapa masyarakat sebagai suatu permasalahan, akan tetapi dibalik itu mereka memiliki fungsi sebagai salah satu komunitas penggerak sistem perekonomian Jakarta. Peran masyarakat Kampung Pengarengan sebagai komunitas penggerak roda perekonomian kota tidak berimbang dengan apa yang diberikan pemerintah dan masyarakat luas kepada mereka. Pemerintah sebagai pemilik lahan memang hingga saat ini masih menyediakan tempat tinggal, akan tetapi kontribusi yang diberikan sebagai balasan kepada penduduk kampung masih tidak sebanding dengan apa yang telah penduduk kampung berikan kepada pemerintah dan masyarakat luas. 6.4 Aksesibilitas Penduduk dalam Pengakuan sebagai Warga DKI Jakarta Sebagai daerah yang tidak terdaftar menjadi bagian dari Kelurahan Kayu Putih Jakarta Timur, penduduk Kampung Pengarengan tentunya juga tidak terdaftar sebagai warga DKI Jakarta. Sebagian besar penduduk Kampung Pengarengan sebagaimana sudah dijelaskan pada Bab IV merupakan pendatang dari luar DKI Jakarta yang pada umumnya berasal dari daerah pedesaan. Dimana ketika bermigrasi, para penduduk biasanya tidak melengkapi diri dengan mempersiapkan dokumen-dokumen ataupun surat-surat
keterangan
pindah
dari
daerah asal. Sebagian penduduk masih
mempertahankan status kependudukan dari daerah masing-masing dan hidup di Jakarta dengan menggunakan KTP dari daerah asal. Kenyataannya walaupun penduduk tinggal di daerah yang tidak menjadi bagian atau tidak terdaftar di Kelurahan, tetapi ada beberapa warga yang mempunyai KTP
86
Jakarta. Mereka yang memegang KTP Jakarta umumnya merupakan penduduk yang memang sudah lama menempati Kampung Pengarengan sebagai tempat tinggal. Hal ini menurut pengakuan penduduk disebabkan karena proses pembuatan KTP saat ini sangat sulit, dan mereka dikenakan biaya hingga Rp.300.000 untuk pembuatannya.
“ penduduk yang punya KTP Jakarta biasanya penduduk yang sudah tinggal lama disini, kalau sekarang mau membuat KTP susah neng. Harus bayar sama kelurahan sampai Rp.300.000an. Makanya banyak penduduk yang lebih memilih pakai KTP kampung…” ungkap RDH (34 tahun) yang sampai saat ini masih mengunakan KTP asal Cirebon sebagai tanda pengenalnya. Namun dalam penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan penduduk yang memiliki KTP Jakarta walaupun penduduk tersebut bukanlah penduduk yang sudah lama tinggal di Kampung Pengarengan. Penduduk tersebut adalah EKS. EKS memproses KTP Jakarta dengan cara mendaftar sebagai warga Kampung Pedongkelan RT 08 RW 15. EKS dalam proses pembuatan KTP juga membayar sejumlah uang kepada Kelurahan sebagai syarat kelancaran proses pembuatan tanda pengenal. Adakalanya penduduk yang memiliki KTP Jakarta dan menjalani proses pembuatan KTP seperti yang dialami oleh EKS, yaitu dengan membayar sejumlah uang untuk kelancaran, memperoleh keuntungan. Sebagai contohnya ketika dilangsungkan pembagian bantuan langsung tunai (BLT) pada tahun 2007 yang diselenggarakan oleh pemerintah sebagai kompensasi kenaikan bahan bakar minyak
,
beberapa
warga
miskin di wilayah Kampung Pengarengan yang memiliki KTP Jakarta didaftarkan oleh kelurahan sebagai warga yang menerima bantuan langsung tunai tersebut. Penduduk yang memperoleh BLT mengakui bahwa dirinya dapat memperoleh bantuan disebabkan dirinya meminta kepada RT 08 RW 15 Kampung Pedongkelan untuk dibuatkan surat miskin yang akhirnya digunakan untuk mendaftar sebagai warga
87
miskin dan menerima BLT. Setelah ditanyakan kembali kepada penduduk yang menerima BLT, mereka mengungkapkan bahwa proses penerimaan BLT lebih mudah daripada ketika mereka mengurus pembuatan KTP. Diungkapkan juga oleh penduduk bahwa apabila seseorang sudah memiliki KTP Jakarta, maka akan lebih mudah untuk mengurus hal-hal administrasi yang berujung kepada bantuan yang berikan kepada pemerintah, seperti beras miskin (RasKin) dan BLT. Hal ini tentu mengungkap sebuah fakta di masyarakat bahwa walaupun penduduk yang tinggal didaerah tidak terdaftar tetap bisa memiliki aksesibilitas terhadap proses pembuatan KTP dan mendapatkan bantuan dari pemerintah, hanya dengan membayar sejumlah uang kepada oknum yang terkait. Fakta lain yang terungkap adalah ketika pemilihan presiden tahun 2004 dan pemilihan gubenur Jakarta tahun 2007, Penduduk Kampung Pengarengan yang telah memiliki hak pilih memperoleh kartu pemilu. Penduduk yang memperoleh kartu pemilu tidak hanya penduduk yang memiliki KTP Jakarta, bahkan penduduk yang belum memiliki KTP Jakarta pun diberikan. Menurut keterangan dari penduduk, ketika beberapa bulan sebelum waktu pemilihan umum dimulai Kampung Pengarengan didatangi pihak dari Kelurahan Kayu Putih untuk mendata penduduk dalam pembuatan kartu pemilu agar dapat mengikuti pemilihan umum. Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibangun di dua titik pusat aktivitas di kampung. Satu dibangun di tengan kampung, yang letaknya berdekatan dengan mesjid Nurul Barokah, dan yang kedua didirikan di pelataran rumah JTM yang terletak di dekat jalan utama Kampung Pengarengan. Alasan pihak kelurahan memproses kartu pemilu untuk penduduk Kampung Pengarengan tidak dapat diungkap dalam penelitian ini. Namun, peneliti berasumsi bahwa kelurahan memproses kartu pemilu disebabkan oleh banyaknya kepentingan
88
politik dalam proses pemilu dimana partai-partai politik membutuhkan suara guna mendukung jalan mereka menuju kemenangan sehingga warga yang tidak memiliki surat keterangan tanda penduduk Jakarta-pun ikut didaftarkan. 6.4 Ikhtisar Aksesibilitas definisikan sebagai kemampuan seseorang untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu (ability to derive benefits from things) termasuk diantaranya dari objek material, orang lain, lembaga, dan simbol (Peluso dan Ribot, 2003 dalam Elisabeth). Aksesibilitas masyarakat pendatang terhadap lahan Kampung Pengarengan tergolong ke dalam mekanisme akses hubungan sosial. Hubungan sosial seperti keluarga dan pertemanan sangat mempengaruhi bagi pendatang untuk dapat mengakses lahan di Kampung Pengarengan. Tanpa adanya hubungan sosial tentunya akan sulit bagi pendatang untuk bisa tinggal. Pentingnya suatu hubungan sosial karena ketatnya peraturan di Kampung Pengarengan dengan melarang adanya bangunan baru yang dibangun di atas lahan tersebut. Bagi pendatang yang ingin tinggal di Kampung Pengarengan harus menunggu hingga ada tempat tinggal atau kontrakan yang sudah tidak ditempati oleh penduduk lain. Ditambah adanya pengawasan dari security yang ditempatkan PT. Pulomas Jaya yang bertugas mengkontrol keadaan lahan. Pendatang perlu memiliki “orang dalam” dalam usahanya agar dapat mengakses lahan. Sikap keberpihakan penduduk terhadap pendatang yang merupakan kerabat daripada pendatang yang tidak mempunyai hubungan sosial juga dapat menjadi faktor kesulitan pendatang untuk mengakses ke dalam lahan. Penguasaan lahan di Kampung Pengarengan
sudah memiliki
aturan tidak
tertulis diantara sesama penduduk. Penguasaan lahan di Kampung Pengarengan secara
89
umum diperoleh secara turun temurun. Pola penguasaan lahan di Kampung Pengarengan berbeda pada lahan pertanian dan lahan yang diusahakan untuk tempat tinggal (kontrakan). Penduduk yang telah tinggal lebih lama di daerah Kampung Pengarengan memiliki aksesibilitas lebih besar terhadap lahan dari pada pendatang. Khusus usaha lahan pertanian di Kampung Pengarengan, penduduk yang bisa melakukan usaha bertani adalah penduduk yang sudah turun temurun keluarganya melakukan usaha tani di lahan tersebut. Hal ini membuat kemungkinan bagi penduduk lain yang mempunyai minat tani untuk bekerja di bidang pertanian sangat tidak mungkin. Bagi penduduk yang tidak memiliki lahan pertanian hanya bisa membantu dalam pengusahaan lahan pertanian sebagai buruh tani, yang menerima upah dari pembagian hasil panen sesuai kesepakatan bersama. Penguasaan lahan di Kampung Pengarengan untuk tempat tinggal dikuasai oleh satu kelompok tertentu, yaitu kelompok dari suku Madura. Hal ini disebabkan suku Madura merupakan kelompok yang pertama kali memanfaatakan lahan Kampung Pengarengan sebagai tempat tinggal. Suku Madura di Kampung Pengarengan cenderung lebih mengutamakan aksesibilitas terhadap tempat tinggal bagi pendatang yamg memiliki kesamaan identitas sosial. Bagi penduduk lain yang tidak memiliki kesamaan identitas sosial hanya bisa menguasai lahan sebagai tempat tinggal sendiri. Penguasaan lahan untuk dijadikan usaha tempat tinggal tidak dapat dilakukan oleh penduduk yang tidak termasuk ke dalam kelompok tertentu. Aksesibilitas penduduk sebagai penunjang pergerakan roda ekonomi kota dapat dilihat dari peran penduduk Kampung Pengarengan. Peran ini terutama di lihat dari aplikasi mata pencaharian yang dianut seperti berdagang makanan, tukang pangkas rambut, tukang ojek, bengel motor, pemulung dan pembuat arang yang secara tidak
90
sadar merupakan bagian dari faktor ekonomi rakyat yang menopang ekonomi di Jakarta khususnya wilayah Pulomas dan sekitarnya. Sebagai salah satu contoh dilihat dari keberadaan pedagang makanan yang berperan untuk menyediakan keperluan logistik bagi masyarakat dan karyawam PT. Pulomas Jaya. Dimana apabila peran tersebut hilang, maka dapat menganggu proses kegiatan PT. Pulomas Jaya dan secara langsung juga berdampak terhadap masyarakat luas sebagai konsumen dari PT. Pulomas Jaya. Sehingga terciptanya hubungan mutualisme diantara keduanya. Aksesibilitas penduduk Kampung Pengarengan dalam memperoleh status sebagai warga DKI Jakarta diperoleh dengan cara membayar sejumlah uang kepada kelurahan sebagai syarat kelancaran proses pembuatan tanda pengenal. Keuntungan yang diperoleh oleh penduduk yang mempunyai KTP Jakarta adalah penduduk dapat memproses untuk mendapatkan BLT pada tahun 2007. Proses penerimaan BLT sendiri diperoleh dengan cara mendaftar kepada kelurahan melalui RT 08 RW 015. Hal menarik yang ditemukan selama penelitian adalah ketika masa pemilihan umum presiden tahun 2004 dan gubernur tahun 2007 penduduk Kampung Pengarengan yang sudah memiliki hak pilih, baik yang memiliki ataupun tidak memiliki KTP Jakarta mendapatkan kartu pemilihan umum penduduk tersebut dapat mengikuti pemilihan umum yang diselenggarakan di dalam kampung dengan dua tempat pemungutan suara (TPS) yang didirikan di pusat aktivitas kampung. Menurut peneliti hal ini disebabkan oleh banyaknya kepentingan politik dalam proses pemilu sehingga warga yang tidak memiliki surat keterangan tanda penduduk Jakarta-pun ikut didaftarkan.
91
BAB VII KONVERSI LAHAN DALAM RANCANGAN TATA RUANG WILAYAH DAN APLIKASINYA DI MASYARAKAT KAMPUNG PENGARENGAN
7.1 Tata Guna Lahan Pada Masyarakat Kampung Pengarengan Sebelum tahun 1980-an Kampung Pengarengan merupakan daerah terbuka hijau dengan wujud kawasan rawa tanpa penghuni. Wilayah Kampung Pengarengan, jika merujuk pada peta peruntukan tanah menurut RTRW termasuk dalam kategori ruang “Keperuntukan Untuk Taman” (KUT) yang membuat wilayah kampung ini sedapat mungkin tanpa bangunan permukiman. Memasuki tahun 1980-an, daerah tersebut mulai berubah dari ruang terbuka hijau menjadi permukiman kumuh dan miskin. Semakin banyaknya pendatang yang bermukin diatas lahan ini membuat pemukiman diatas jalur hijau Kampung Pengarengan ini semakin padat dan merambat keluasannya hingga ke dalam lahan. Lahan “jalur hijau” Kampung Pengarengan ironisnya oleh penduduk tidak hanya dimanfaatkan sebagai pemukiman semata. Di atas wilayah ini banyak ditemukan tempat-tempat usaha penduduk, seperti warung, warung makan, tempat cukur rambut/salon, bengkel, tempat pembuatan arang, tempat penampungan barang bekas, lahan pertanian hortikultura hingga kandang kuda. Penduduk yang bermukim di Kampung Pengarengan bukan berarti tidak menyadari perbuatan yang mereka lakukan dengan membangun pemukiman di atas lahan yang bukan miliknya. Mereka juga menyadari resiko yang akan mereka terima dengan tinggal di pemukiman liar. Ancaman penggusuran selalu berada di hadapan mereka. Namun, hingga saat ini, ancaman penggusuran yang mereka terima masih hanya sekedar “ancaman”, belum ada tindakan kongkrit dari pihak berwenang, baik itu
92
pemerintah ataupun PT. Pulomas Jaya, untuk melakukan tindakan penggusuran. Keterangan mengenai ancaman penggusuran diperoleh dari JMR sebagai berikut “ mengenai ancaman penggusuran sudah sering sekali diterima oleh penduduk kampung. Biasanya ancaman datang dalam bentuk surat pemberitahuan yang di berikan kepada RT dan RW yang terdapat di Kampung Pedongkelan yang kemudian disebarluaskan kepada penduduk. Namun, hingga saat ini belum ada usaha-usaha dalam perwujudan penggusuran tersebut.” Pembentukan pemukiman di atas lahan Kampung Pengarengan merupakan salah satu wujud kreasi masyarakat terutama pendatang dalam menciptakan ruang milik mereka sendiri di atas lahan yang memang berbeda keperuntukannya oleh pemerintah. Penciptaan ruang informal menimbulkan suatu tata guna lahan yang informal pula. Masyarakat menciptakan “RTRW” yang ditetapkannya sendiri, yang “RTRW” tersebut berasas kepada peluang dan harapan mereka untuk bertahan di kota besar. Dengan dicetuskannya RTRW informal oleh masyarakat, membuat lahan Kampung Pengarengan menjadi “halal” bagi penduduk mendirikan tempat tinggal. Bagi mereka lahan ini merupakan lahan dengan fungsi sebagai pemukiman.
7.2 Perencanaan Pembangunan Kawasan Lahan Kampung Pengarengan Pembentukan kawasan pemukiman kumuh di lahan Kampung Pengarengan tidak termasuk ke dalam rencana pengusahaan lahan oleh PT. Pulomas Jaya selaku pihak pengelola lahan. Fungsi awal lahan sebagai daerah resapan air berubah menjadi daerah komersil dengan adanya pembentukan kawasan pemukiman yang dilakukan oleh penduduk
kampung..
Lahan
Kampung
Pengarengan
oleh
PT.Pulomas
Jaya
direncanakan pembangunannya dalam rangka pengembangan Waduk Ria-Rio yang
93
terletak diantara Kampung Pengarengan dan Kampung Pedongkelan. Hal ini sebagai salah satu usaha peningkatan efisiensi dan optimalisasi lahan. Rencana pelebaran waduk yang dilakukan didasari oleh seringnya terjadi bencana banjir di daerah Pulomas dan sekitarnya. Pelebaran waduk yang direncanakan adalah dari luas sekitar tujuh koma lima hektar menjadi sembilan hektar. Perubahan luasan Waduk Ria-Rio juga diimbangi dengan perubahan bentuk waduk guna penyesuaian dengan bertambahnya luas. (Dapat dilihat di lampiran). Pembangunan
pengembangan
Waduk
Ria-Rio
juga
diimbangi
dengan
pembangunan lahan disekitarnya, yaitu lahan Kampung Pengarengan dan lahan Kampung Pedongkelan. Lahan kedua kampung tersebut oleh PT. Pulomas Jaya direncanakan akan dikembangkann menjadi kawasan business and culture complex. Kampung Pedongkelan dan Kampung Pengarengan akan diubah peruntukannya mix use antara sentra bisnis, sentra kebudayaan, perhotelan, perkantoran, convention centre, dan sarana hiburan. Kampung Pengarengan dalam perencanaan pembangunan ini mengambil peran sebagai lahan yang dipersiapkan untuk pembangunan Pulomas Grand City. Dengan luas area mencapai 25.066 hektar, PT. Pulomas Jaya rencananya juga akan mengubah Kampung Pengarengan dari pemukiman kumuh menjadi tempat hiburan (mall), tempat perkantoran, dan juga apartment. Tujuan pembangunan dan optimalisasi lahan yang dilakukan oleh PT. Pulomas Jaya diharapkan dapat memberikan peluang bagi pihak penguasa lahan dalam memberikan suatu kontribusi yang besar kepada kota Jakarta, khususnya untuk daerah Jakarta Timur. Program ini direncanakan akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 2008. Dengan argumen bahwa masih ada sejumlah lahan yang masih belum dibebaskan
94
sebesar empat koma empat hektar menimbulkan spekulasi bahwa saat penelitian berlangsung seharusnya program pembangunan Pulomas Grand City sudah dalam proses pelaksanaan. Namun fakta di lapangan menunjukkan masih belum adanya kegiatan yang menunjukan akan adanya pembangunan di wilayah Kampung Pendongkelan ataupun Kampung Pengarengan. Masalah lain yang terungkap mengenai hal yang menghalangi jalannya proyek optimalisasi lahan ini adalah masalah Surat Keputusan Gubernur yang baru disahkan pada tahun 2007. Kesuksesan dalam pembangunan dan pengoptimalisasian lahan di Kampung Pengarengan tentunya harus disinergikan dengan tindakan penghapusan pemukiman Kampung Pengarengan. Penduduk kampung ini bukannya tidak mengetahui mengenai rencana PT. Pulomas Jaya membangun lahan tempat tinggal mereka. Desas-desus diantara penduduk sudah mulai terjadi sejak lama mengenai pembangunan yang akan direncanakan, dan penduduk Kampung Pengarengan mau tidak mau harus pindah dari lahan PT. Pulomas Jaya.
“ ... penduduk disini sudah mendangar adanya isu-isu yang mengatakan bahwa di Kampung Pengarengan akan dibangun oleh PT. Pulomas Jaya. Apabila hal itu terjadi mau tidak mau kami harus pindah, tetapi kami ingin pindah kemana? ...mungkin saya akan pulang ke kampung halaman saja .” Ucap TKI sambil mengungkapkan kekhawatirannya apabila Kampung Pengarengan akan dibangun oleh PT. Pulomas Jaya. PT. Pulomas Jaya dalam rencana usaha pengosongan lahan terkait adanya pihakpihak yang tidak berkepentingan yang bermukim di atas lahan yang bukan haknya, merencanakan akan melakukan sosialisasi dengan bantuan dari pihak Kelurahan Kayu Putih. Sesuai dengan keterangan FTR berikut “PT. Pulomas Jaya dalam rencananya untuk pengosongan lahan akan bekerja sama dengan pihak Kelurahan Kayu Putih. Kami merencanakan akan mengadakan sosialisasi dengan masyarakat
95
yang tinggal diatas lahan, dan kami berharap tidak perlu melibatkan pihak yang berwajib” Harapan yang diungkapkan oleh PT. Pulomas Jaya menunjukkan bahwa pihaknya tidak ingin adanya keributan dalam rencana pengosongan lahan nantinya. Penduduk diharapkan mengerti akan keputusan yang diambil oleh PT. Pulomas Jaya mengenai pembangunan di kedua wilayah kampung. Aksi sosialisasi yang direncanakan akan dilakukan oleh PT. Pulomas Jaya mengundang beragam reaksi pada penduduk Kampung Pengarengan. Penduduk seperti JTM yang mengakui bahwa lahan yang di tempatinya merupakan lahan miliknya mengungkapkan bahwa mereka tidak akan pindah dari tempat tinggal mereka. Namun, penduduk memberikan tawaran kepada PT. Pulomas Jaya bahwa mereka bersedia pindah apabila diberikan ganti rugi yang menguntungkan. Bagi penduduk seperti JTM mungkin peluang untuk mendapatkan ganti rugi atas lahan yang ditempatinya sangat besar, tetapi bagaimana dengan nasib penduduk lain yang hanya “menumpang” tinggal diatas lahan, apakan mereka layak mendapatkan ganti rugi?. Tentunya apabila ada salah satu penduduk yang mendapatkan ganti rugi dapat menimbulkan gejala kecemburuan sosial bagi penduduk lain.
7.3 Rancangan Tata Ruang Wilayah Kampung Pengarengan Menurut Jayadinata (1999), ruang adalah seluruh permukaan bumi termasuk lapisan biosfer tempat kehidupan bagi mahluk hidup. Ruang dapat diartikan sebagai suatu wilayah dengan batas geografi tertentu yang terdiri dari lapisan tanah dibawahnya serta lapisan udara diatasnya dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan. Tata ruang merupakan wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak. Penataan ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan
96
tata ruang saja, tetapi termasuk juga dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan
landasan
pembangunan sektoral, dengan tujuan agar terjadi sinergi dan efisiensi pembangunan, sekaligus menghindari kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektorsektor yang berkepentingan dan dampak yang dapat merugikan masyarakat luas (externalities). Menurut RTRW yang ditetapkan oleh pemerintah DKI Jakarta sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur No 1459 Tahun 1992 daerah Kampung Pengarengan seperti telah diungkapkan ditetapkan sebagai daerah ”Keperuntukan Untuk Taman” atau (KUT). Secara khusus, fungsi KUT adalah sebagai: 1) pemelihara keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan, 2) sarana memperkecil polusi udara, air, suara, dan visual, 3) sarana peresapan air hujan, dan 4) potensi dasar untuk menunjang ekosistem dan ekologi kota. Lahan Kampung Pengarengan seharusnya menjadi kawasan taman dengan fungsi sosial. Apabila menjadi taman, maka fungsi sosial wilayah ini dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat, tidak hanya penduduk pulomas, tetapi secara lebih luas dirasakan oleh penduduk Jakarta. Fakta yang ada di lapangan justru Kampung Pengarengan berubah dari fungsi taman menjadi pemukiman. Pembentukan pemukiman kumuh Kampung Pengarengan dengan alasan yang sudah dijelaskan sebelumnya pada Bab V
telah menimbulkan
suatu penyimpangan terhadap Rancangan Tata Ruang Wilayah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penyimpangan tata ruang yang terjadi di kampung ini tentunya juga menimbulkan perubahan fungsi lahan.
97
Pembentukan pemukiman berdampak kepada penyimpangan lainnya, yaitu terbentuknya tempat usaha di Kampung Pengarengan. Tempat usaha yang terbentuk, seperti warung, tempat cukur rambut, hingga lahan pertanian yang tentunya sangat berbeda dengan fungsi taman. Penyimpangan terhadap Rancangan Tata Ruang Wilayah juga dilakukan oleh PT. Pulomas Jaya dalam rencananya membangun business and culture comlplex di lahan Kampung Pengarengan. Tujuan PT. Pulomas memang untuk optimalisasi lahan dan sebagai salah satu bentuk kontribusi kepada Jakarta Timur, tetapi bentuk dan cara pengoptimalisasian yang dilakukan berbeda dengan rencana yang dibuat oleh pemerintah. Bentuk-bentuk penyimpangan yang terjadi di Kampung Pengarengan dapat dilihat di Tabel 2. Tabel 2. Penyimpangan Rancangan Tata Ruang Wilayah yang terjadi di Kampung Pengarengan. No
Uraian
RTRW
Penyimpangan terhadap RTRW Pemukiman
1
Pemukiman Kampung Pengarengan
SK Gubernur 1459 tahun 1992 sebagai KU Taman
2
Tempat Usaha di Kampung Pengarengan
SK Gubernur 1459 tahun 1992 sebagai KU Taman
Lahan usaha
3
Lahan PT Pulomas
SK Gubernur 1459 tahun 1992 sebagai KU Taman
Business and culture complex
Penjelasan
Pembentukan pemukiman Kampung Pengarengan menyebabkan perubahan fungsi lahan taman menjadi pemukiman. Fungsi taman yang seharusnya dapat dirasakan oleh seluruh warga Pulomas menjadi hilang dengan terbentuknya Kampung Pengarengan. Warga yang bermukim di Kampung Pengarengan membuka usaha seperti warung dan sebagainya. Pembentukan tempat usaha tentunya sangat menyimpang dari fungsi awal lahan sebagai taman. Pengembangan Waduk Ria Rio yang diiringi dengan rencana pembangunan business and culture complex mulai tahun 2008. oleh PT Pulomas Jaya merupakan penyimpangan kedua yang mungkin terjadi di lahan Kampung Pengarengan. Namun disebabkan hingga saat ini proyek tersebut belum dijalankan maka belum bisa dikatakan sebagai penyimpangan, tetapi rencana penyimpangan.
98
Dengan terjadinya penyimpangan RTRW, Kampung Pengarengan saat ini lebih memiliki fungsi sebagai fungsi komersil. Fungsi sosial yang sudah ditetapkan oleh pemerintah (keperuntukan sebagai taman) semakin melemah dengan berkembangnya pemukiman. Penyimpangan RTRW tentunya juga berkaitan terhadap aksesibilitas masyarakat. Apabila Kampung Pengarengan difungsikan sesuai dengan ketentuannya maka seluruh masyarakat dapat mengakses lahan. Dengan adanya pemukiman, hanya penduduk yang tinggal di Kampung Pengarengan ataupun penduduk yang mempunyai hubungan sosial dengan pendatang yang dapat mengakses lahan. Perencanaan pembentukan Business and Culture Complex yang direncanakan oleh
PT. Pulomas Jaya juga tidak merubah fungsi lahan yang seharusnya menjadi
fungsi sosial. Bahkan lahan akan lebih bersifat komersil dengan dibangunnya pusat bisnis dan perdagangan. Walaupun dengan perencanaan pembangunan tersebut masyarakat dapat mengakses lahan, tetapi tetap saja hal ini menyimpang dengan fungsi awal yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penjelasan yang bisa diungkapkan oleh peneliti adalah pada lahan Kampung Pengarengan terjadi dua penyimpangan terkait tata ruang. Penyimpangan pertama, adalah adanya pembentukan pemukiman di Kampung Pengarengan. Penyimpangan timbul ketika awal pembentukan pemukiman yang dilakukan oleh para masyarakat pendatang. Pembentukan pemukiman tidak terdapat di dalam rencana dinas tata ruang dalam pemanfaatan lahan Kampung Pengarengan yang pada dasarnya merupakan lahan yang diperuntukan sebagai taman dan masih termasuk ke dalam ruang terbuka hijau. Pembentukan pemukiman di lahan ini membawa dampak ekologi dan sosial, baik yang negatif maupun postif.
99
Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas pemukiman kampung Pengarengan adalah terjadinya banjir rutin tahunan di sekitar Pulomas, pencemaran akibat limbah rumah tangga, dan pemukiman kumuh yang mengganggu estetika penampilan ruang dan wilayah.
Dampak positif dari konversi lahan menjadi
pemukiman adalah adanya peningkatan nilai ekonomis lahan. Penyimpangan kedua adalah rencana pengembangan business and culture complex oleh PT. Pulomas Jaya. Program ini dapat diungkapkan sudah menjadi rencana pihak PT sejak hak kelola lahan wilayah Pengarengan dikembalikan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta kepada PT Pulomas. Namun realisasinya diharapkan akan terlaksana pada tahun 2008 ini. Walaupun rencana ini memilik dampak positif, seperti semakin luasnya akses masyarakat terhadap lahan, tetapi pihak-pihak terkait seperti pemerintah dan perusahaan yang terkait melupakan dampak negatif baru yang kemungkinan besar timbul. Yaitu munculnya “Kampung-Kampung Pengarengan” baru di lahan-lahan dan ruang-ruang publik lain. Penduduk Kampung Pengarengan tentunya tidak akan menyerah untuk hidup di dalam kemelut ibukota. Munculnya pemukiman yang sejenis dengan Kampung Pengarengan merupakan hal yang tidak dapat dielakkan, kecuali pemerintah dapat memberikan ruang khusus untuk menampung harapan mereka.
7.4 Ikhtisar Sesuai dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah yang dikeluarkan Pemda DKI dengan Surat Keputusan Gubernur No 1459 Tahun 1992, daerah lahan Kampung Pengarengan ditetapkan sebagai daerah KUT atau sebagai daerah Karya Umum Taman.
100
Dengan rencana seperti ini, pemanfaatan lahan dapat dinikmati oleh warga di sekitar Pulomas, sebagai sarana rekreasi dan hiburan. Pemanfaatan wilayah ini sebagai kawasan terbuka hijau juga dapat mencegah terjadinya banjir tahunan yang saat ini melanda daerah Pulomas. Pada kenyataaannya lahan ini dimanfaatkan sebagai pemukiman oleh warga masyarakat pendatang. Pemukiman ini telah ada sejak tahun 1980 akhir dan semakin meluas hingga mencapai 85 persen luas lahan. Adanya pemukiman kumuh di lahan ini merupakan penyimpangan dari RTRW yang ditetapkan oleh pemerintah DKI Jakarta. Selain itu, sejak hak kelola wilayah Kampung Pedongkelan dan Pengarengan diberikan kepada PT. Pulomas Jaya, rencana pemanfaatan wilayah berubah menjadi kawasan bisnis dan hunian terpadu. Rencana pengembangan business and culture complex oleh PT. Pulomas Jaya merupakan penyimpangan kedua yang mungkin akan terjadi dari RTRW yang sudah ditetapkan. Rencana pengembangan business and culture complex akan dilaksanakan mulai tahun 2008 setelah rencana pembentukan Waduk Ria Rio disetujui Pemerintah Propinsi DKI Jakarta tahun 2007.
101
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan Beberapa hal penting yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah : 1.
Terjadinya konversi dari lahan resapan air atau lahan terbuka hijau menjadi pemukiman kumuh di lokasi lahan Kampung Pengarengan. Konversi ini dimulai sejak awal tahun 1980. Pemukiman Kampung Pengarengan merupakan pengembangan dari Kampung Pedongkelan yang lebih dahulu tercipta. Pada awalnya pemukiman hanya terbentuk di tepi Jalan Perintis Kemerdekaan, namun dengan semakin banyaknya jumlah pendatang membuat pemukiman Kampung Pengarengan semakin melebar.
2.
Dampak yang timbul akibat adanya pemukiman di wilayah Kampung Pengarengan secara ekologi adalah banjir rutin tahunan di wilayah Pulomas, pencemaran lingkungan akibat limbah rumah tangga dan gangguan estetika pemandangan. Secara agraria, dampaknya adalah perubahan pola penguasaan lahan, perubahan orientasi nilai atas lahan dari segi nilai sosial, kepentingan umum, dan ekonomi.
3.
Aksesibilitas pendatang terhadap lahan di wilayah Kampung Pengarengan adalah karena adanya hubungan sosial dengan penduduk yang telah lebih dahulu tinggal di wilayah Kampung Pengarengan. Aksesibilitas penguasaan lahan berbeda antara lahan pertanian dengan lahan pemukiman. Lahan pertanian dikuasai secara turun temurun, sedangkan lahan pemukiman dikuasai oleh suatu kelompok tertentu.
4.
Dampak penyimpangan RTRW terbagi pada dua jenis. Pertama penyimpangan RTRW dengan kenyataan di lokasi Kampung Pengarengan, berupa pemukiman kumuh dan lahan pertanian. Penyimpangan kedua adalah adanya rencana
102
pengembangan business and culture complex oleh PT. Pulomas Jaya mulai tahun 2008. Rencana ini dijalankan setelah rencana pengembangan Waduk Ria Rio disetujui oleh Gubernur DKI Jakarta tahun 2007.
8.2 Saran 1.
PT. Pulomas Jaya sebagai pihak yang menguasai lahan seharusnya lebih tegas apabila ingin membuat penduduk yang tinggal di atas lahan miliknya meninggalkan Kampung Pengarengan, sehingga tidak menimbulkan kesan pada masyarakat bahwa PT. Pulomas Jaya mengizinkan para pendatang untuk bermukim di Kampung Pengarengan.
2.
Pemerintah daerah Propinsi DKI Jakarta seharusnya konsisten dalam penetapan dan penyusunan RTRW, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan penyimpangan dengan kenyataan di lapangan. Sebagai contoh, pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan wilayah Kampung Pengarengan sebagai jalur hijau berupa karya umum taman, namun tetap memberikan izin pada PT Pulomas Jaya untuk mengembangkan wilayah tersebut menjadi business and culture complex.
3.
Antar subyek agraraia baik itu pemerintah, swasta (PT. Pulomas Jaya), dan terutama
masyarakat
(penduduk
Kampung
Pengarengan)
dapat
saling
mensinergikan kepentingan masing-masing agar dapat tercipta suatu keputusan yang tidak saling merugikan. 4.
Apabila ada, maka untuk penelitian selanjutnya agar lebih menekankan kesegi aspek masyarakat sebagai pihak yang mengusahakan lahan dan keberadaan mereka di atas lahan publik.
103
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Edisi: 1-4. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Furi, Dewi Ratna. 2007. Implikasi Konversi Lahan Terhadap Aksesibilitas Lahan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa (Kasus Pembangunan Perumahan Dramaga Pratama di Desa Cibadak, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Bogor: IPB
Ismail, Zarmawis. 2000. Penanggulangan Kemiskinan MasyarakatPerkampungan Kumuh di Yogyakarta: Kasus Kelurahan Keparakan. Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan LIPI. Jayadinata, Johara T. 1999. “Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah ”. Edisi Ketiga. ITB: Bandung
Justus M. van der Kroef. 1960 ”Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial DiPedesaan Jawa”, Aproaches to Community Development. Vol 25.Bab-IX Kuswijayanti, Elisabet Repelita. 2003. Konservasi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Gunung Merapi: Analisis Ekologi Politik. Tesis Pasca Sarjana. Bogor: IPB.
Rahman, Bustami.Dr. 2007. “Kemelut Lahan Pertanian Di Jawa”. UBB Pres: Pangkal Pinang.
Rusli, Said. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES.
Sihaloho, Martua. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria (Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Tesis Pasca Sarjana. Bogor: IPB.
Sitorus, M.T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor.
104
. 2004. ‘Kerangka dan Metoda Kajian Agraria’. Jurnal Analisis Sosial “Pembaruan Agraria : Antara Negara Dan Pasar” .Vol. 9 No.1 April 2004. Yayasan Akatiga:Bandung.
Soetarto, Endriatmo dan Moh. Shohibuddin. 2004. ”Reforma Agraria Sebagai Basis Pembangunan Pertanian dan Pedesaan”. Dalam Jurnal Pembaharuan Desa. Yayasan Akatiga: Bandung Tjondronegoro, Sediono MP. 1999. Sosiologi Agraria. Bandung: Yayasan Akatiga. Wahyuni, Eka Sri. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Bogor: Departemen IlmuIlmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian IPB. Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: “Perjalanan Yang Belum Berakhir”. Yogyakarta: KPA, Pustaka Pelajar.
105
LAMPIRAN
106
Lampiran 1. Panduan Pertanyaan PT.Pulomas Jaya No Nama Jabatan Waktu Wawancara
: : : :
1. Mengetahui Proses
• • •
•
•
•
2.Mengetahui Aksesibilitas
Pertanyaan Sejak tahun berapa PT. Pulomas Jaya memiliki lahan Kampung Pengarengan? Berapa luas lahan tersebut? Apakah PT. Pulomas mengetahui bahwa lahan yang dimilikinya dimanfaatkan oleh pihak lain (masyarakat)? Apakah masyarakat yang bermukim di Kampung Pengarengan mengetahui bahwa lahan tersebut adalah milik PT. Pulomas Jaya? Apakah PT. Pulomas Jaya mendata siapa saja yang tinggal di atas lahan tersebut? Jika iya, bagaimana caranya? Apakah PT. Pulomas Jaya pernah memberikan peringatan kepada masyarakat yang tinggal di Kampung Pengarengan , terkait dengan lahan tersebut bukanlah milik mereka? Peringatan seperti apa? Sudah berapa kali diberikan.
• Berapa luas lahan yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk dijadikan pemukiman? • Adakah batasan-batasan yang dibuat oleh PT. Pulomas Jaya terhadap masyarakat yang bermukim di Kampung Pengarengan ? • Adakah peraturan mengenai pemanfaatan lahan oleh PT. Pulomas Jaya terkait penggunaan lahan oleh masyarakat? • Sebenarnya apakah ada larangan atau peraturan bahwa diatas lahan tersebut dilarang dibangun pemukiman? • Apakah masyarakat yang bermukim di lahan tersebut mendapatkan izin khusus untuk membangun pemukiman? Jika iya, izin seperti apa yang diberikan?
107
Panduan Pertanyaan Warga Kampung Pengarengan Nama Usia Pekerjaan Lama Tinggal di Kampung Pengarengan Waktu Wawancara
: : : : :
Pertanyaan 1. Mengetahui Proses
• • • • • • •
2. Mengetahui Aksesibilitas
• Bersama siapa biasanya penduduk tinggal di pemukiman ini? • Dari mana saja asal penduduk disini? • Berapa luas lahan yang dimanfaatkan masyarakat di pemukiman ini? • Untuk apa saja lahan di kampung ini dimanfaatkan oleh penduduk? • Adakah luas minimum dan maksimum bagi penduduk yang tinggal di pemukiman ini? • Bagaimana caranya apabila ada orang yang ingin tinggal di dalam pemukiman ini? • Apakah ada kriteria khusus bagi penduduk yang ingin tinggal di pemukiman ini? • Apakah ada aturan tertentu dalam Kampung ini, terkait dengan pemanfaatan lahan? • Apakah penduduk dan pendatang baru melapor atau mendaftarkan diri sebagai penduduk Kampung kepada Kelurahan?
Sejak kapan tinggal di pemukiman ini? Sejak tahun berapa pemukiman ini terbentuk? Dari mana penduduk mengetahui tentang lahan ini? Apa alasan penduduk tinggal di pemukiman ini? Apakah pekerjaan penduduk di kampung ini? Bagaimana proses awal timbulnya pemukiman ini? Apakah penduduk mengetahui bahwa lahan kampung ini merupakan lahan milik PT. Pulomas Jaya? • Mengapa penduduk tetap bertahan di kampung ini meskipun mengetahui bahwa lahan ini adalah milik PT. Pulomas Jaya?
108
• Apakah penduduk di perkampungan ini mempunyai KTP dan KK? • Bagaimana proses mendapatkan KTP dan KK tersebut? • Apakah ada peraturan yang diterapkan oleh PT. Pulomas Jaya kepada penduduk terkait pemanfaatan lahan? Jika iya, apa saja peraturan tersebut? • Apakah penduduk mendaftarkan dirinya atau melapor kepada PT. Pulomas Jaya apabila menempati lahan tersebut? • Apakah penduduk meminta izin kepada PT. Pulomas Jaya untuk menempati lahan ini? 3. Mengetahui Dampak
• Berapa banyak keluarga yang tinggal di pemukiman ini? • Bagaimana hubungan antar penduduk yang tinggal di pemukiman ini? • Siapa di pemukiman ini yang kira-kira perekonomiannya paling tinggi? • Siapa yang paling lama tinggal di pemukiman ini? • Apakah di pemukiman ini terdapat seorang tokoh masyarakat? • Atas dasar apa orang tersebut dianggap sebagai tokoh masyarakat? • Dengan cara apa penduduk mendapatkan rumah di pemukiman ini? Sewa atau beli? Berapa harganya ? • Apakah pemukiman di kampung ini dilengkapi listrik dan air? • Bagaimana penduduk memperoleh listrik dan air? • Apakah penduduk membayar sewa lahan kepada PT. Pulomas Jaya?
109
Lampiran 3. Pengalaman Penelitian
PENGALAMAN PENELITIAN Peneliti memulai penjajagan penelitian pada bulan Maret 2008. Pada awal penjajagan, peneliti terlebih dahulu mengamati Kampung Pengarengan dari depan Jalan Perintis Kemerdekaan dan juga Jalan Ahmad Yani yang berbatasan dengan Kampung Pengarengan. Kegiatan ini bertujuan agar peneliti mengetahui jalan masuk yang tepat untuk dilalui agar bisa masuk kedalam kampung. Setelah peneliti mengamati kampung dari kedua jalan tersebut, peneliti memutuskan untuk memasuki Kampung Pengarengan melalui jalan yang terletak disamping pos polisi Pulomas. Saat itu peneliti merasa segan untuk masuk kedalam kampung, disebabkan adanya rumor yang mengatakan bahwa Kampung Pengarengan merupakan markas dari Kapak Merah, kelompok perampok yang terkenal sering melakukan aksi di perempatan ITC Cempaka Mas. Sehingga peneliti memutuskan untuk pergi ke pos Polisi Pulomas terlebih dahulu sebelum memasuki kampung. Pos polisi Pulomas saat peneliti melakukan pejajagan sedang dijaga oleh dua orang petugas. Setelah memperkenalkan diri, peneliti mengutarakan maksud kedatangan peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “ Konversi Lahan dan Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Tata Guna Lahan Perkotaan” di lahan Kampung Pengarengan. Setelah mendengar maksud peneliti, petugas yang berjaga di pos polisi Pulomas menyambut baik penelitian yang akan dilaksanakan, dan berjanji akan sebisa mungkin membantu apabila diperlukan. Kemudian petugas menyarankan peneliti untuk masuk ke dalam kampung dan tidak usah takut. Petugas meyakinkan peneliti bahwa Kampung Pengarengan merupakan tempat yang aman. Peneliti akhirnya menuruti saran petugas dan mencoba masuk ke dalam kampung. Peneliti menyusuri jalan disamping pos polisi Pulomas untuk masuk ke dalam Kampung Pengarengan. Ketika peneliti menyusuri jalan menuju kampung, banyak sekali terdapat gerobak-gerobak yang terletak tidak teratur di samping jalan. Peneliti pun menyadari bahwa jalan yang peneliti tempuh bukan merupakan jalan utama menuju kampung, tetapi salah satu jalan alternatif menuju kampung. Saat peneliti menyusuri kampung, peneliti bertemu dengan bapak-bapak yang sedang memilah barang dari gerobaknya, kemudian bapak tersebut spontan bertanya “ mau ngapain neng?” peneliti kemudian tersenyum dan mengenalkan diri lalu menjelaskan bahwa peneliti ingin melihat-lihat daerah sekitar kampung. Setelah pertemuan singkat tersebut peneliti melanjutkan berjalan lebih dalam kearah kampung hingga menuju ke lahan pertanian yang berada di belakang kampung berdekatan dengan Waduk Ria-Rio. Setelah melakukan pengamatan hari itu, peneliti memutuskan untuk pulang. Tiga hari kemudian peneliti peneliti kembali lagi ke Kampung Pengarengan untuk melakukan pengamatan mengenai cara pendekatan kepada penduduk. Akhir bulan Maret, peneliti baru berkesempatan untuk mendatangi kantor PT. Pulomas Jaya yang letaknya di Jalan Ahmad Yani dan tidak jauh dari Kampung Pengarengan. Keinginan peneliti untuk melakukan penelitian di atas lahan milik perusahaan tersebut disambut sangat baik, pihak PT. Pulomas Jaya bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan terkait data yang diperlukan untuk mendukung kesuksesan penelitian ini.
110
Setelah studi penjajagan berakhir, peneliti mulai melakukan penelitian pada mulai April 2008. Pada awal penelitian, peneliti seorang diri menyusuri Kampung Pengarengan untuk mencari responden atau tineliti. Saat itu peneliti memiliki perasaan takut, hal ini dikarenakan sikap penduduk yang memandang peneliti dengan curiga setiap berpapasan dijalan. Namun peneliti berusaha bersikap ramah dengan memberi salam setiap bertemu dengan penduduk. Peneliti kemudian tertarik untuk mendatangi sekelompok pemuda yang sedang berkumpul di depan salah satu rumah. Ketika mendatang sekolompok pemuda tersebut peneliti disambut dengan ramah, hal ini membuat peneliti merasa lebih percaya diri untuk memulai penelitian. Peneliti mulai memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan peneliti ke Kampung Pengarengan. Proses wawancara pun dimulai. Peneliti mencoba membuat suasana wawancara senyaman mungkin, dengan cara membuat kegiatan wawancara seperti kegiatan mengobrol dengan teman. Peneliti menghabiskan waktu hingga hampir 35 menit dalam melakukan wawancara dengan sekelompok pemuda tersebut. Setelah itu peneliti menanyakan kemanakah sebaiknya peneliti melanjutkan perjalanan berkeliling kampung, para pemuda tersebut menyarankan peneliti untuk menuju lokasi pembuatan arang yang terletak tidak jauh dari tempat peneliti berdiri. Peneliti melanjutkan perjalanan menuju tempat pembuatan arang, namun sebelum menuju ke tujuan, peneliti berhenti di sebuah warteg untuk makan siang yang kemudian berlanjut kepada perkenalan dengan pemilik warung. Wawancara kedua pun dilakukan. Setelah bertemu dengan tineliti keempat, peneliti diarahkan kepada sejumlah tineliti lain dan informan. Hari demi hari peneliti lalui dengan lebih tenang ketika mengunjungi Kampung Pengarengan, peneliti sudah mulai akrab dengan suasana dan keadaan kampung, peneliti juga sudah hafal dengan jalan-jalan yang ada di Kampung Pengarengan. Beberapa penduduk pun sudah mengenal peneliti karena sering mengunjungi kampung. Minggu berikutnya peneliti mendatangi kantor PT. Pulomas Jaya untuk meminta data yang diperlukan dan melakukan wawancara dengan pihak PT. Pulomas Jaya selaku informan utama. Penjelasan yang diberikan oleh perwakilan PT. Pulomas Jaya cukup membuat peneliti mendapatkan banyak data untuk melengkapi penelitian yang sedang dilakukan. PT. Pulomas Jaya pun tetap bersikap sangat ramah dan bersedia membantu peneliti apabila masih ada data yang diperlukan untuk melengkapi penelitian yang sedang dijalankan. Pada hari Rabu tanggal 23 April 2008 peneliti berencana untuk datang ke Kelurahan Kayu Putih dengan tujuan meminta data yang dapat mendukung penelitian. Sesampainya di Kelurahan, peneliti langsung menemui Sekretaris Lurah. Saat bertemu peneliti menyerahkan surat pengantar dari IPB dan juga menjelaskan penelitian yang sedang dilaksanakan. Namun ternyata pihak kelurahan enggan memberikan data terkait lahan Kampung Pengarengan, dengan alasan bahwa peneliti seharusnya mendapatkan surat pengantar dari Walikota Jakarta Timur dengan alasan birokrasi, dan selama peneliti belum memilki surat tersebut pihak kelurahan tidak akan memberikan data apapun. Peneliti hari itu juga pergi menuju kantor Walikota Jakarta Timur, namun pihak dari walikota sendiri tidak mau memberikan data apabila tidak ada surat pengantar dari kampus. Tanggal 14 Mei 2008 peneliti baru dapat pergi ke Walikota Jakarta Timur untuk kedua kalinya, disebabkan proses yang memakan waktu lama ketika mengurus surat di IPB. Sesampainya di gedung Walikota Jakata Timur, peneliti di arahkan oleh satpam untuk menuju ruang Kesatuan Bangsa. Dimana dikatakan apabila seorang mahasiswa
111
ingin melakukan penelitian seharusnya mendaftarkan diri dahulu ke bagian Kesatuan Bangsa. Penelitipun menuju kesana. Ketika di ruang Kesatuan Bangsa peneliti menemui seorang petugas dan menjelaskan maksud kedatangan peneliti dengan menyerahkan surat pengantar dari IPB. Setelah petugas mendengar penjelasan dan melihat surat pengantar dari IPB, beliau langsung memberitahukan bahwa saya tidak bisa mendapatkan data apabila saya tidak ada surat pengantar dari DKI Jakarta dan dari Pemerintahan daerah Bogor yang memberitahukan bahwa peneliti akan meakukan penelitian. Petugas tersebut mnegutarakan alasannya yaitu disebabkan universitas peneliti tidak terdapat di daerah Jakarta Timur. Menurut peneliti hal ini sangat aneh, apakah memang birokrasi di Jakarta sangat susah. Peneliti sempat berargumen dengan mengutarakan bahwa tempat penelitian yang dilaksanakan berada di daerah Jakarta Timur, dan mengapa harus peneliti meminta surat terlebih dahulu dari Pemkot DKI Jakarta dan Pemda Bogor. Namun sang petugas pun tetap pada pendiriannya bahwa mereka tidakakan memberikan data apapun sebelum adanya surat pengantar. Kejadian yang terjadi di Kelurahan dan di kamtor Walikota Jakarta Timur, sempat membuat peneliti putus asa dalam melakukan penelitian, karena saat itu peneliti sudah mendapatkan beberapa data dan yang kurang adalah data mengenai RTRW Kampung Pengarengan. Akhirnya ditengah keputus asaan, peneliti menemukan cara untuk mendapatkan blue print mengenai RTRW Kampung Pengarengan melalui proses komersil dari pihak Dinas Tata Ruang Jakarta Timur. Peneliti terpaksa memberikan sejumlah uang untuk mendapatkan semua data dan melakukan wawancara kilat dengan pihak dari Dinas Tata Ruang demi melengkapi data yang diperlukan untuk penelitian. Menjelang akhir bulan mei tepatnya tanggal 25 Mei 2008 peneliti melanjutkan penelitian di Kampung Pengarengan dengan melakukan pengamatan berperansertaterbatas melalui ikut seta dalam kegiatan mengamen, karena biasanya setiap hari Minggu banyak sekali penduduk Kampung Pengarengan baik anak kecil ataupun orang tua yang berjualan ataupun mengemis disekitar Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jalan Ahmad Yani. Peneliti merasa saat itu menjadi bagian dari salah satu komunitas pengamen walaupun mereka tidak mengizinkan peneliti untuk ikut mengamen di jalanan dengan alasan muka peneliti tidak pantas menjadi seorang pengamen, sehingga peneliti hanya diperkenankan menunggu mereka dipinggir jalan, dan ketika lampu lalu lintas menunjukan warna hijau, mereka para pengamen kembali kepinggir jalan dan melanjutkan diskusi yang dilakukan dengan peneliti. Penelitian yang dilakukan di Kampung Pengarengan berakhir pada bulan Juni. Namun setelah itu peneliti masih sesekali berkunjung ke kampung untuk melengkapi data yang kurang, seperti kurang jelasnya data yang telah didapatkan sebelumnya ketika wawancara. Terakhir peneliti berkunjung ke Kampung Pengarengan untuk pengambilan foto guna melengkapi lampiran penelitian.
112
Lampiran 4. Contoh Penduduk
Riwayat Kasus Keluarga Bapak Tuki di Kampung Pengarengan Aksesibilitas masyarakat pendatang terhadap lahan di Kampung Pengarengan salah satunya dapat dilihat dalam contoh keluarga bapak Tuki. Pak Tuki merupakan salah satu responden dalam penelitian ini dan merupakan pendatang asal Bogor yang tinggal di Kampung Pengarengan sejak tahun 1992. Tuki tinggal di Kampung Pengarengan bersama dengan istri dan keempat anaknya. Menurut hasil wawancara yang dilakukan dengan peneliti, beliau mengungkapkan bahwa dirinya sering berpindah-pindah tempat tinggal sebelum akhirnya menetap di Kampung Pengarengan. Sebelumnya beliau menetap di salah satu pemukiman kumuh di daerah Jakarta Pusat, didaerah Kampung Kebun Kacang sejak tahun 1950 yang saat ini sudah menjelma menjadi daerah Bunderan Hotel Indonesia dan Jalan Thamrin. Cerita mengenai Kampung Kebun Kacang yang diutarakan oleh Tuki membuat peneliti mengingat tentang buku karya Jellinek, Lea mengenai suatu konsep perubahan sosial yang terjadi di sebuah kampung di Jakarta. Terkonversinya Kampung Kebun Kacang menjadi pusat bisnis dan perdagangan membuat Tuki dan keluarga berpindah tempat tinggal menuju pemukiman kumuh berikutnya yang letaknya tidak jauh dari Kampung Pengarengan, yaitu di lahan yang saat ini sudah dibangun menjadi ITC Cempaka Mas. TKI mengakui bahwa beliau mengetahui mengenai lahan ITC Cempaka Mas dari salah satu temannya yang dahulu sama-sama tinggal di daerah Kebun Kacang. Mata pencaharian Tuki berubah sejak beliau tinggal di lahan ITC Cempaka Mas, beliau dari seorang pedagang menjadi seorang pemulung. Kemudian yang paling berkesan bagi Tuki ketika tinggal di lahan tersebut adalah peristiwa kelahiran anak ke-empatnya. Namun keberadaan beliau di atas lahan tersebut berakhir pada tahun 1992 disebabkan oleh perencanaan pembangunan ITC Cempaka Mas yang menginginkan lahan tersebut segera dikosongkan. Hal inilah yang akhirnya membuat Tuki dan keluarganya pindah dan menetap di Kampung Pengarengan. Aksesibilitas Tuki terhadap lahan Kampung Pengarengan ketika masa tahun 1992 tidak sesulit seperti saat ini, dimana adanya hubungan sosial sangat berpengaruh dalam akses pendatang terhadap lahan, tetapi tidak dipungkiri juga oleh Tuki bahwa beliau berhasil menetap di Kampung Pengarengan atas bantuan salah satu teman. Ketika pertama kali tinggal di Kampung Pengarengan, Tuki membangun tempat tinggalnya sendiri yang hingga saat ini masih ditempatinya bersama sang istri. Pada masa Tuki pindah ke Kampung Pengarengan keadaan kampung tidak seramai saat ini, tentu saja hal ini membuat pendatang lebih mudah untuk membangun pemukiman diatasnya, ditambah lagi saat itu belum adanya kontrol PT. Pulomas Jaya terhadap lahan. Sudah hampir 20 tahun Tuki bermukim di Kampung Pengarengan, dan hingga saat ini beliau berhasil membangun empat rumah untuk setiap anaknya. Pembangunan rumah tersebut diakui beliau atas usahanya sendiri bekerja sebagai pemulung. Tuki dan keluarganya tidak tenang begitu saja setelah berhasil bermukim di Kampung Pengarengan. Setiap tahunnya pada saat bencana banjir melanda daerah Pulomas dan sekitarnya, Tuki dan ratusan keluarga lain di Kampung Pengarengan harus mengungsi kebawah Jalan Tol (jalan bebas hambatan) Wiyoto Wiyono atau yang akrab disebut oleh penduduk Kampung Pengarengan sebagai ”rumah panjang”, karena mereka tinggal di
113
sepanjang bawah jalan tol tersebut. Musibah lain yang pernah menimpa Kampung Pengarengan adalah kebakaran yang terjadi pada tahun 2007 secara dua kali berturutturur. Saat musibah kebakaran terjadi banyak pemukiman penduduk yang terbakar, termasuk juga Mesjid Nurul Barokah. Perbaikan dari musibah kebakaran tersebut dilakukan secara swadaya oleh penduduk.
114
Lampiran 3. Gambar Wilayah Kampung Pengarengan
Akses utama menuju kedalam Kampung Pengarengan.
Kampung Pengarengan yang berbatasan langsung dengan jalan raya.
Tipe-tipe tempat tinggal yang terdapat pada Kampung Pengarengan
Tipe-tipe tempat tinggal yang terdapat pada Kampung Pengarengan
Salah satu mata pencaharian di Kampung Pengarengan : Pemulung.
Salah satu mata pencaharian di Kampung Pengarengan : Pengemis dan Pedagang.
115
Lampiran 4. Gambar Wilayah Dalam Kampung Pengarengan
Kali yang membatasi antara Kampung Pengarengan dan Kampung Pedongkelan
Pemandangan yang umum didalam Kampung Pengarengan.
Getek
Batas kali antara Kampung Pengarengan dan Kampung Pedongkelan, serta getek yang digunakan untuk mmenyeberang
Bukti nyata dari kepemilikan lahan di Kampung Pengarengan
Salah satu contoh lahan pertanian hortikulutura yang terdapat di Kampung Pengarengan