Instrumen Perhitungan Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Konversi Lahan
TA 2014
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, pemerintahan, politik, dan pendidikan, serta penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Dalam perjalanannya, kota mengalami perkembangan yang sangat pesat akibat adanya dinamika penduduk, perubahan sosial ekonomi, dan terjadinya interaksi dengan wilayah lain. (Dwihadmojo,2011). Perkembangan fisik ruang kota sendiri sangat dipengaruhi oleh urbanisasi. Perkembangan urbanisasi di Indonesia dapat diamati dari 3 (tiga) aspek : pertama, jumlah penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan (kini mencapai 120 juta dari total 230 juta jiwa); kedua, sebaran penduduk yang tidak merata (hampir 70% di Jawa dengan 125 juta jiwa dan di Sumatera dengan 45 juta jiwa); serta, ketiga, laju urbanisasi yang tinggi, seperti: Jakarta, Surabaya, Medan, Palembang, dan Makassar. (Ernawi dalam Dwihadmojo (2011). Dapat dikatakan bahwa jumlah luasan ruang perkotaan tidak akan bertambah namun kebutuhan akan ruang akan terus bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Berbicara mengenai kota layak huni, tentu tidak lepas dari keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Definisi Livable city, kota layak huni. menurut Harberg seorang ahli tata kota, yaitu“.... a city where I can have a healthy life and where I have the chance for easy mobility… The liveable city is a city for all people”. Dapat dikatakan bahwa Livable City merupakan gambaran sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktifitas yang dilihat dari berbagai aspek, baik aspek fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dll) maupun aspek non-fisik (hubungan sosial, aktivitas ekonomi, dlllis). Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) sendiri merilis kriteria Kota Layak Huni Layak Huni meliputi : Fisik Kota, Kualitas Lingkungan, Transportasi – Aksesibilitas, Fasilitas, Utilitas, Ekonomi dan Sosial. Melihat hal tersebut, RTH masuk ke dalam beberapa dari kriteria tersebut. Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 sendiri telah mengamanatkan bahwa penyediaan RTH minimal adalah 30 % dimana ini terdiri dari 20 % Ruang terbuka hijau publik dan 10 % ruang terbuka hijau privat.
Proporsi 30% yang diamanatkan merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal (Permen PU No. 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan). Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan fakta sebaliknya, keberadaan RTH jauh dari proporsi ideal, kekuatan pasar yang dominan merubah fungsi lahan sehingga keberadaan RTH semakin terpinggirkan bahkan diabaikan fungsi dan manfaatnya. Siahaan (2010) menyatakan bahwa kecenderungan terjadinya penurunan kuantitas ruang publik, terutama RTH pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970-an menjadi 10% pada saat ini. Hal ini juga menunjukkan bahwa Ruang terbuka hijau yang ada sebagian besar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan dan kawasan permukiman baru. Kebijakan tata ruang yang diharapkan dapat mengakomodasi seakan tidak berdaya menahan mekanisme pasar. Hal ini dibuktikan dengan arus urbanisasi yang cepat mengakibatkan terjadinya densifikasi penduduk dan permukiman yang cepat dan tidak terkendali di bagian kota. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan ruang meningkat untuk mengakomodasi kepentingannya. Semakin meningkatnya permintaan akan ruang khususnya untuk permukiman dan lahan terbangun berdampak kepada semakin merosotnya kualitas lingkungan. Rencana Tata Ruang yang telah dibuat tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di perkotaan sehingga keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) semakin terancam dan kota semakin tidak nyaman untuk beraktivitas (Dwihadmojo,2011). Kebutuhan akan lahan yang terus meningkat menjadikan ruang terbuka hijau menjadi sasaran luberan pembangunan fisik kota. Dapat juga dikatakan bahwa tidak jarang RTH dianggap sebagai lahan kurang produktif sehingga diubah menjadi bangunan komersil lainnya. Permasalahan utama keberadaan RTH sendiri yaitu semakin berkurangnya RTH karena keterbatasan lahan dan ketidakkonsisten dalam menerapkan kebijakan tata ruang. Berkurangnya RTH disebabkan oleh konversi lahan yaitu beralih fungsinya RTH
untuk peruntukan ruang yang lain. Salah satu cara untuk mengendalikan fenomena ini adalah memperbaiki sistem pada tingkat kebijakan. Pemerintah pusat sebagai penanggungjawab dan pemerintah daerah sebagai pelaksana serta pengambil kebijakan hendaknya perlu memiliki berbagai macam pertimbangan dalam melakukan dan mengadakan pembangunan fisik perkotaan termasuk didalamnya adalah pembangunan sarana lingkungan perkotaan. Perlu adanya suatu perhitungan terkait komposisi sarana lingkungan perkotaan apakah jumlahnya sudah sesuai atau kelebihan bahkan kekurangan. Di samping itu perlu juga adanya perhitungan dampak dengan adanya pembangunan atau pengurangan suatu sarana khususnya RTH sehingga sebelum mengambil keputusan, pemerintah benar-benar memahami resiko dari pembangunan tersebut. Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan riset mengenai perhitungan komposisi jumlah ketersediaan sarana lingkungan perkotaan berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) serta perhitungan mengenai dampak sosial, ekonomi dan lingkungan terkait keberadaan RTH di suatu wilayah. Penelitian ini akan menyusun suatu alat/instrumen untuk melihat komposisi ketersediaan 7 sarana lingkungan perkotaan (Sarana perdagangan, peribadatan, pendidikan, kesehatan, pemerintahan dan layanan umum, kebudayaan dan rekreasi serta ruang terbuka) berdasarkan SNI Nomor 03-1733-2004 yang kemudian digunakan untuk melihat adanya kemungkinan dalam penambahan luasan RTH perkotaan pada sarana-sarana tersebut. Kemudian penelitian ini juga akan membuat suatu alat untuk mengukur dampak SOSEKLING (Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan) yang muncul dari adanya pembangunan RTH maupun pengurangan luas RTH (konversi). Kedua alat ini diharapkan berupa simulator yang
sederhana
sehingga
memungkinkan
selalu
digunakan
sebagai
bahan
pertimbangan sebelum mengambil keputusan dalam pembangunan sarana perkotaan. Ketersediaan instrumen yang sederhana ini diharapkan dapat membantu Ditjen Penataan Ruang dan Pemerintah Kota/ Kabupaten/ Provinsi dalam menilai komposisi ketersediaan sarana lingkungan perkotaan kemudian menghitung besaran nilai sosial ekonomi dan lingkungan akibat konversi lahan di perkotaan terkait keberadaan RTH untuk mewujudkan kota layak huni. Dengan demikian pengendalian konversi lahan dapat dilakukan pada tataran pengambil kebijakan yang merupakan pintu gerbang dari diperbolehkan atau dilarangnya (go or not-go) sebuah pembangunan sarana perkotaan.
I.2. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian dari kajian ini yaitu : a. Bagaimana
instrumen
perhitungan
ketersediaan
sarana
lingkungan
perkotaan sebagai rekomendasi perencanaan tata ruang? b. Bagaimana mengukur dampak pembangunan sarana lingkungan khususnya Ruang Terbuka Hijau melalui nilai sosekling? I.3. Maksud dan Tujuan Penelitian Berdasarkan fenomena konversi lahan perkotaan untuk memenuhi kebutuhan akan ruang yang terus meningkat, maka penelitian ini bermaksud mengendalikan konversi lahan pada tataran kebijakan penataan ruang. Pengendalian ini berupa pertimbangan atau rekomendasi bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebelum mengambil keputusan dalam pembangunan sarana perkotaan khususnya terkait ketersediaan ruang terbuka hijau. Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Membuat instrumen untuk mengetahui secara umum komposisi ketersediaan 7 sarana lingkungan perkotaan berdasarkan SNI Nomor 03-1733-2004 2. Membuat instrumen untuk mengukur dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari ketersediaan ruang terbuka hijau I.4. Keluaran Indikator Keluaran Indikator Keluaran dari penelitian ini adalah 1 naskah ilmiah tentang penyusunan instrumen pengukuran nilai sosekling akibat konversi lahan di perkotaan sebagai rekomendasi perencanaan tata ruang dan mengukur dampak pembangunan sarana lingkungan khususnya RTH melalui nilai sosial, ekonomi, dan lingkungan
I.5. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Malang (Jawa Timur), Kota Surabaya (Jawa Timur), dan Kota Yogyakarta (DIY).
I.6. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian PU, Pemerintah Kota/ kabupaten/ Provinsi sebagai rekomendasi perencanaan tata ruang
khususnya pengambilan keputusan terkait pembangunan
sarana perkotaan untuk terlebih dahulu melihat perhitungan ketersediaan sarana lingkungan perkotaan dan nilai dampak SOSEKLING pembangunan sarana lingkungan khususnya Ruang Terbuka Hijau.