BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Analisis Statistik Deskriptif Analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran umum dari variabel
penelitian yang digunakan Analisis diskriptif bersifat pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram dan menjelaskan keterkaitan antara faktor ekonomi, demografi, dan sosial terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. 4.1.1. Penduduk dan Kemiskinan Penduduk Indonesia pada tahun 2000, 2005 dan 2010 sebanyak 205,132 juta, 219,852 juta, dan 237,641 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2010 sebesar 1,49. Sedangkan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan pada tahun 2010 sebanyak 119,630 juta dan 118,010 juta jiwa dengan sex rasio sebesar 101. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat diharapkan menjadi daya dongkrak peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan permintaan barang dan jasa yang dikonsumsi oleh penduduk. Pertumbuhan penduduk di Indonesia mempunyai pola yang sama dengan pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumahtangga dengan pola pertumbuhan yang positif. Komposisi penduduk Indonesia adalah komposisi penduduk muda, dimana penduduk umur dibawah 20 tahun masih cukup banyak. Sedangkan angka beban ketergantungan (dependency ratio) penduduk Indonesia sebesar 0,51 dimana setiap penduduk usia produktif (15-64 tahun) harus menanggung penduduk usia
55
tidak produktif (<15 tahun dan >64 tahun). Tingkat konsumsi penduduk dipengaruhi umur dimana penduduk dengan umur muda belum mempunyai kemampuan
dalam
memenuhi
kebutuhan
konsumsi
melalui
penciptaan
pendapatan. Tabel 4.1 Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2010 (Jiwa) Kelompok Umur (1) 0-4 5-9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 + Total
(2) 11.663.261 11.975.327 11.663.715 10.614.128 9.885.703 10.630.473 9.948.969 9.337.247 8.322.596 7.032.824 5.865.971 4.400.467 2.927.179 2.225.113 1.531.516 1.606.424
(3) 11.016.612 11.279.855 11.021.590 10.264.142 9.999.541 10.676.932 9.880.045 9.166.618 8.201.552 7.007.952 5.694.865 4.047.783 3.131.207 2.468.641 1.924.842 2.228.235
Lakilaki+Perempuan (4) 22.679.873 23.255.182 22.685.305 20.878.270 19.885.244 21.307.405 19.829.014 18.503.864 16.524.149 14.040.776 11.560.836 8.448.250 6.058.385 4.693.754 3.456.359 3.834.659
119.630.913
118.010.413
237.641.326
Laki-laki
Perempuan
Dependency Ratio
0,51
Sex Rasio
101
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011. Pada tahun 2010 penduduk yang tinggal diwilayah pedesaan sebesar 50,21 persen dan diperkotaan sebesar 49,79 persen. Migrasi penduduk atau perubahan proporsi penduduk di perkotaan akan memengaruhi tingkat konsumsi dimana pengeluaran konsumsi penduduk perkotaan hampir dua kali lipat pengeluaran konsumsi penduduk di pedesaan. Pada tahun 2009 pengeluaran konsumsi perkapita perbulan penduduk perkotaan sebesar 549 ribu rupiah sedangkan
56
pengeluaran konsumsi penduduk di pedesaan sebesar 318 ribu rupiah. Semakin tinggi penduduk yang tinggal diperkotaan akan semakin tinggi tingkat konsumsi karena kebutuhan konsumsi di perkotaan lebih besar dari pedesaan. Kemiskinan identik dengan kemampuan penduduk dalam memenuhi konsumsi kebutuhan dasar. Semakin miskin penduduk pengeluaran konsumsinya juga semakin berkurang, begitu pula sebaliknya. Tingkat kemiskinan di Indonesia sampai dengan tahun 2010 mencapai 13,33 persen, menurun dibandingkan dengan tahun 2009 sebesar 14,15 persen. Kemiskinan lebih banyak terjadi di wilayah pedesaan, hal ini berkaitan dengan tingkat pendapatan masyarakat pedesaan yang masih mengandalkan sektor pertanian tradisional sebagai mata pencaharian. Pola kemiskinan di Indonesia yang semakin menurun diikuti pula oleh pola peningkatan konsumsi rumahtangga. Tabel 4.2 Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Wilayah
2009
2010
(1)
(2)
(3)
Kota Miskin (%) Tidak Miskin (%) Garis Kemiskinan (Rp.)
10,72 89,28 222.123
9,87 90,13 232.988
Desa Miskin (%) Tidak Miskin (%) Garis Kemiskinan (Rp.)
17,35 82,65 179.835
16,56 83,44 192.354
Kota + Desa Miskin (%) Tidak Miskin (%) Garis Kemiskinan (Rp.)
14,15 85,85 200.262
13,33 86,67 211.726
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011.
57
4.1.2. Ketenagakerjaan Pada tahun 2010 jumlah angkatan kerja di Indonesia sebanyak 116,263 juta jiwa dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebesar 67,77 persen. Jumlah pengangguran pada tahun 2010 sebesar 7,27 persen, menurun dibandingkan tahun 2009 sebesar 8,01 persen. Penurunan jumlah pengangguran akan memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan jumlah pendapatan nasional, dimana semakin banyak orang yang akan bekerja dan memperoleh penghasilan. Tabel 4.3 Penduduk Menurut Kegiatan Jenis Kegiatan (1) 1
Penduduk 15 +
2
Angkatan Kerja TPAK Bekerja Pengangguran Terbuka TPT
3
Bukan Angkatan Kerja Sekolah Mengurus Rumahtangga Lainnya
2005*
2006*
2007*
2008*
2009*
2010*
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
157.020.560
160.034.589
163.235.186
166.103.521
168.796.328
171.543.878
105.830.013
106.335.365
109.036.209
111.712.356
113.788.844
116.262.804
67,40
66,45
66,80
67,25
67,41
67,77
94.453.253
95.317.019
98.756.679
102.301.304
104.678.054
107.806.670
11.376.760
11.018.347
10.279.530
9.411.053
9.110.791
8.456.135
10,75
10,36
9,43
8,42
8,01
7,27
51.190.548
53.699.224
54.198.977
54.391.165
55.007.484
55.281.074
13.250.701
13.754.243
14.048.935
13.253.587
13.738.375
14.105.620
29.932.278
31.391.988
31.561.057
32.446.855
32.962.685
32.695.626
8.007.569
8.552.994
8.588.986
8.690.724
8.306.425
8.479.829
*) Rata-rata setahun
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011. Jenis lapangan usaha, status pekerjaan, dan tingkat pendidikan pekerja erat kaitannya dengan besaran balas jasa dalam bentuk pendapatan yang diperoleh penduduk. Penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan perdagangan, rumah makan dan hotel. Status pekerjaan penduduk
58
Indonesia dari tahun ke tahun masih didominasi sebagai buruh/karyawan/pegawai. Pada tahun 2010 penduduk yang berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai sebanyak 32,521 juta jiwa, sedangkan yang berusaha dibantu buruh tidak tetap dan berusaha sendiri sebanyak 21,682 juta dan 21,031 juta jiwa. Penduduk yang bekerja dengan status berusaha belum mampu memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan pendapatan nasional. Mereka yang yang berstatus berusaha sebagian adalah mereka yang bekerja dalam sektor pertanian dengan mengandalkan pekerja keluarga dalam membantu pekerjaannya. Sektor pertanian di Indonesia identik dengan pertanian tradisional dan bersifat musiman. Semakin tinggi tingkat pendidikan pekerja semakin besar pula pendapatan yang akan diperoleh. Tingkat pendidikan pekerja di Indonesia pada bulan Agustus 2010 masih didominasi lulusan SD sebesar 28,94 persen, diikuti oleh lulusan SMTA sebesar 22,91 persen. 4.1.3. Konsumsi Rumahtangga Pengeluaran konsumsi rumahtangga mempunyai proporsi yang cukup besar dalam pembentukan PDB pendekatan pengeluaran. Proporsi pengeluaran konsumsi rumahtangga dari tahun 2000-2010 berfluktuasi dan mempunyai kecenderungan pola yang menurun. Proporsi terbesar terjadi pada tahun 2000 sebesar 61,65 persen dan terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 56,55 persen. Pada tahun 2010 tingkat pengeluaran konsumsi rumahtangga di Indonesia sebesar 1.306,8 triliun rupiah. Selama sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 450 triliun rupiah.
59
2,500
Rp. (trilyun)
2,000
1,500
1,000
500
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Konsumsi Ruta
PDB
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011. Gambar 4.1 Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga dan Produk Domestik Bruto (Atas Dasar Harga Konstan 2000) Sedangkan pertumbuhan konsumsi rumahtangga masih tetap tumbuh positif dari tahun ketahun dengan pertumbuhan tertinggi pada tahun 2007-2008 sebesar 5,34 persen dan terendah tahun 2000-2001 sebesar 3,49 persen. Fenomena yang menarik diamati adalah ketika pertumbuhan konsumsi rumahtangga yang mengalami penurunan pada tahun 2005-2006 dan 2008-2009 akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan krisis global tahun 2008. Pengeluaran konsumsi dapat meredam guncangan akibat kenaikan harga BBM dan krisis dengan mempertahankan kestabilan pertumbuhan ekonomi.
60
20 18 16 14
%
12 10 8 6 4 2 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Konsumsi Ruta
PDB
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011. Gambar 4.2 Pertumbuhan Konsumsi Rumahtangga dan Produk Domestik Bruto
Pengeluaran konsumsi penduduk Indonesia masih didominasi oleh pengeluaran konsumsi makanan dibandingkan konsumsi bukan makanan. Pada tahun 2010 persentase pengeluaran konsumsi perkapita makanan penduduk Indonesia sebesar 51,43 persen, sedangkan pengeluaran konsumsi bukan makanan sebesar 48,57 persen. Selama tahun 2005-2010 terdapat kecenderungan penurunan persentase pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran konsumsi penduduk dari 53,86 persen menjadi 51,43 persen. Penurunan persentase konsumsi makanan terjadi seiring dengan kenaikan pendapataan yang diperoleh penduduk. Hal ini sejalan dengan teori Engel yang menjelaskan proporsi pengeluaran makanan pokok akan semakin berkurang seiring dengan naiknya pendapatan. Pendapatan yang meningkat akan dialokasikan untuk konsumsi kebutuhan lain seperti pembelian barang-barang.
61
Tabel 4.4 Persentase Pengeluaran Konsumsi Perkapita Sebulan Menurut Kelompok Barang Kelompok Barang
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(1)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
Makanan: Jumlah (Rp.)
143.672
155.362
174.028
193.828
217.720
254.520
53,86
53,01
49,24
50,17
50,62
51,43
123.079
137.699
179.393
192.542
212.345
240.325
Persentase
46,14
46,99
50,76
49,83
49,38
48,57
Total (Rp.)
266.751
293.061
353.421
386.370
430.065
494.845
Persentase
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Persentase Bukan makanan: Jumlah (Rp.)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011. 4.1.4. Pendapatan Nasional Pendapatan nasional pendekatan pengeluaran diperoleh dari nilai PDB dikurangi transfer pendapatan netto, pajak tak langsung dan penyusutan. Pendapatan nasional merupakan agregasi dari balas jasa faktor yang diterima seluruh penduduk Indonesia. Pendapatan Nasional pada tahun 2010 sebesar 2.020,9 triliun rupiah, mengalami peningkatan sebesar 754,9 triyun rupiah selama kurun waktu sepuluh tahun. Pertumbuhan pendapatan nasional selama tahun 2000-2010 berfluktuatif dimana pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2008 sebesar 8,71 persen dan terendah pada tahun 2001 sebesar 0,71 persen. Akibat krisis tahun 2008 pendapatan nasional sempat mengalami penurunan pertumbuhan yang tinggi dari sebelumnya 8,71 persen menjadi hanya sebesar 2,14 persen pada tahun 2009. Kenaikan pendapatan nasional dari tahun 2000-2010 diikuti pula oleh kenaikan pengeluaran konsumsi. Hal ini menunjukan jika pendapatan disposibel
62
meningkat, maka konsumsi juga akan meningkat, hanya saja peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar peningkatan pendapatan disposibel (Mankiw, 2007). 20 18 16 14
%
12 10 8 6 4 2 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Pendapatan Nasional
PDB
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011. Gambar 4.3 Pertumbuhan Pendapatan Nasional dan Produk Domestik Bruto Pendapatan perkapita Indonesia tahun 2010 sebesar 8,503 juta rupiah (atas dasar harga 2000). Kesenjangan pendapatan di Indonesia dilihat dari distribusi pendapatan yang diterima penduduk menurut kategori Bank Dunia, proporsi pendapatan yang diterima 20 persen lapisan atas sebesar 41,24 persen, 40 persen lapisan sedang sebesar 37,54 persen, dan 40 persen lapisan bawah sebesar 21,22 persen. Sedangkan ketimpangan pendapatan di Indonesia kategori ketimpangan yang rendah dengan besaran indeks gini pada tahun 2010 sebesar 0,38.
63
4.1.5. Tabungan dan Investasi Tabungan yang dalam penelitian ini menggunakan jumlah uang kuasi mempunyai pola yang semakin meningkat dari tahun 2000-2010. Fenomena selama kurun waktu sepuluh tahun terjadi peningkatan pertumbuhan jumlah tabungan daripada pertumbuhan jumlah pengeluaran konsumsi. Kondisi ini terjadi dimana peningkatan pendapatan digunakan oleh masyarakat untuk menambah nilai tabungan. Hal ini menunjukan berlakunya Hukum Engel (Engel’s Law) dimana semakin tinggi tingkat pendapatan maka proporsi konsumsi terhadap pendapatan akan semakin berkurang. Sedangkan pertumbuhan uang kuasi berfluktuasi antara tahun 2000-2010. Penurunan pertumbuhan juga terjadi akibat adanya guncangan kenaikan BBM dan krisis dimana pertumbuhan uang kuasi turun akibat dari penarikan tabungan yang akan digunakan oleh masyarakat untuk mempertahankan tingkat konsumsi. Investasi selama tahun 2000-2010 mempunyai pola yang meningkat. Pertumbuhan investasi sangat dipengaruhi pada situasi perekonomian dimasa depan yang tidak dapat diramalkan, sehingga investasi merupakan komponen yang paling mudah berubah. Pertumbuhan investasi di Indonesia berfluktuatif mengikuti
pertumbuhan
jumlah
tabungan.
Tingkat
kepercayaan
dalam
pengembalian pinjaman investasi masih dipengaruhi kondisi perekonomian Indonesia. Iklim investasi masih dipengaruhi oleh adanya krisis dan kenaikan BBM sehingga pelaku investasi masih menunggu (wait and see) adanya kestabilan perekonomian dalam jangka panjang. Pertumbuhan investasi tertinggi
64
terjadi tahun 2004 sebesar 14,68 persen dan terendah tahun 2003 sebesar 0,60 persen.
25
20
%
15
10
5
0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Tabungan
Investasi
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 dan Bank Indonesia, 2011. Gambar 4.4 Pertumbuhan Investasi dan Tabungan 4.1.6. Inflasi dan Suku Bunga Inflasi dapat memengaruhi tingkat konsumsi masyarakat, dimana adanya inflasi tanpa adanya peningkatan pendapatan menyebabkan daya beli masyarakat akan menurun. Inflasi triwulanan di Indonesia berfluktuatif antara tahun 20002010. inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2005 dimana terjadi fenomena kenaikan harga minyak dunia yang diikuti kenaikan harga BBM di dalam negeri yang terjadi pada triwulan keempat sebesar 10,34 persen. Kecenderungan untuk menabung sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga yang berlaku. Tingkat suku bunga yang berlaku dapat dibedakan menjadi suku bunga riil dan nominal. Tingkat suku bunga riil selama sepuluh tahun
65
berfluktuasi dimana tingkat bunga riil sangat dipengaruhi adanya guncangan dalam perekonomian dalam bentuk inflasi. Sedangkan tingkat bunga nominal mempunyai kecenderungan menurun hingga tahun 2010. Hingga tahun 2010 triwulan terakhir suku bunga tabungan berada pada tingkat 3,28 persen pertahun.
20
15
%
10
5
0 20 00
20 01
20 02
20 03
20 04
20 05
20 06
20 07
20 08
20 09
20 10
-5 Tahun Inflasi
Bunga Tabungan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 dan Bank Indonesia, 2011. Gambar 4.5 Inflasi dan Suku Bunga Tabungan
4.2.
Analisis Regresi Linier Berganda Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga Hasil pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan program
komputer EViews, ditampilkan sebagai berikut:
66
Tabel 4.5 Hasil Estimasi Koefisien Regresi Linier Berganda Variable
Coefficient
(1)
t-Statistic
Prob.
(2) 100.4399
(4) 7.7767
(5) 0.0000
NI
0.4663
19.5347
0.0000
SIR
-2.8080
-3.8198
0.0005
INF
-0.3434
-0.5446
0.5893
RINV
-0.8429
-3.4466
0.0014
DUM
-5.0065
-1.3986
0.1702
Constanta
R2 = 0.9778 Ajusted R2 = 0.9748 Sumber: Pengolahan Eviews
Guna mengetahui apakah estimasi model tersebut merupakan model yang terbaik dan layak untuk digunakan maka perlu dilakukan serangkaian tes atau pengujian. Estimator dalam model dikatakan terbaik jika memiliki sifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator) yakni linier, tidak bias dan memiliki varian minimum. Pengujian dilakukan dengan metode uji statistik untuk melihat tingkat kesesuaian model, uji ekonometrika terhadap semua asumsi yang digunakan serta uji ekonomi terhadap arah hubungan dari semua variabel. 4.2.1. Pengujian Asumsi Model Pengujian sumsi model dilakukan dengan metode ekonometrika yakni untuk menguji apakah model regresi linier berganda dari fungsi konsumsi dengan metode OLS telah memenuhi asumsi-asumsi yang ditentukan. Asumsi
67
yang
akan
diuji
tersebut
meliputi
asumsi
normalitas,
autokorelasi,
heteroskedastisitas dan multikolinieritas. 4.2.1.1.
Asumsi Normalitas Pemeriksaan asumsi pertama yaitu pemeriksaan kenormalan
digunakan Jarque-Bera test. Uji ini mengukur perbedaan skewness dan kurtosis data dan dibandingkan dengan apabila datanya bersifat normal. Hipotesis yang digunakan adalah: H0
: Error berdistribusi normal.
H1
: Error tidak berdistribusi normal.
Jika hasil Jarque-Bera test lebih besar dari nilai chi square pada tingkat signifikansi α = 5 persen, maka tolak hipotesis nol yang berarti error tidak berdistribusi normal.
12
Series: Residuals Sample 2000Q2 2010Q4 Observations 43
10
8
6
4
2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-3.76e-15 -0.123519 10.18552 -12.46119 5.329984 -0.162050 2.582869
Jarque-Bera Probability
0.499944 0.778823
0 -10
-5
0
5
10
Sumber: Pengolahan Eviews Gambar 4.6 Hasil uji kenormalan dengan metode Jarque-Bera
68
Berdasarkan hasil penghitungan, didapatkan nilai Jarque-Bera sebesar 0,4999. Nilai tersebut lebih besar dari nilai 5 persen, maka terima H0. Artinya error model berdistribusi normal. 4.2.1.2.
Uji Autokorelasi Model yang dipilih harus memenuhi asumsi terbebas dari autokorelasi,
yaitu tidak ada hubungan antar error. Pengujian autokorelasi menggunakan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis uji ini adalah : H0
: Tidak ada masalah otokorelasi
H1
: Ada masalah otokorelasi Apabila nilai Obs* R-squared > nilai kritis maka H0 ditolak yang berarti
terdapat autokorelasi atau chi square hitung < α maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi. Hasil deteksi autokorelasi dengan metode Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test mendapatkan nilai chi-square (
) sebesar 0,8316
dengan nilai Prob. chi square hitung sebesar 0,6598. Nilai ini lebih besar dari tingkat signifikansi α (5 persen), artinya menerima H0 yang berarti tidak terdapat masalah autokorelasi dalam model. Tabel 4.6 Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(2) dari pengujian BreuschGodfrey Serial Correlation LM Test F-statistic 0.345133 Prob. F(2,35) 0.7205 Prob. ChiObs*R-squared 0.831639 Square(2) 0.6598 Sumber: Pengolahan Eviews
69
4.2.1.3.
Uji Heterokedastisitas
Pemeriksaan asumsi selanjutnya adalah pengujian heteroskedastisitas yang dilakukan dengan uji Breusch-Pagan-Godfrey test. Hipotesis dalam pengujian ini adalah: H : Tidak terdapat heteroskedastistas 0
H : Terdapat heteroskedastisitas 1
Apabila chi square hitung lebih besar dari chi square tabel pada α = 5 persen, maka tolak hipotesis nol yang berarti terjadi heteroskedastisitas. Hasil
deteksi
heteroskedastisitas
dengan
metode
Breusch-Pagan-Godfrey
Heteroskedasticity Test mendapatkan nilai chi-square (
) sebesar 6,1545 dengan
nilai probabilitas chi-square sebesar 0,2915. Nilai probabilitas chi-square tersebut lebih besar dari tingkat signifikansi =0,05, sehingga keputusan yang diambil adalah menerima H0 sehingga varian sisaan dari model bersifat konstan (homoskedastisitas). Tabel 4.7 Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square dari pengujian BreuschPagan-Godfrey test F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS Sumber: Pengolahan Eviews 4.2.1.4.
1.236057 6.154482 3.606394
Prob. F(5,37) Prob. Chi-Square(5) Prob. Chi-Square(5)
0.3121 0.2915 0.6074
Uji Multokolinieritas Pemeriksaan asumsi terakhir adalah pemeriksaan multikolinieritas, dimana
dalam model yang dipilih tidak ada korelasi tinggi antarvariabel-variabel independen. Uji Multikolinieritas menunjukkan tidak terjadi multikolinieritas
70
sempurna antarvariabel-variabel independen yang ditunjukkan oleh korelasi antarvariabel yang berada di bawah batas rule of thumb (r < 0,85). Tabel 4.8 Matrik Korelasi Antarvariabel Independen Pendapatan Nasional
Suku Bunga Tabungan
Pendapatan Nasional 1.0000 Suku Bunga Tabungan -0.8227 Inflasi -0.1552 Pertumbuhan Investasi 0.0951 Sumber: Pengolahan Eviews
Pertumbuhan Investasi
Inflasi
-0.8227
-0.1552
0.0951
1.0000 0.1371
0.1371 1.0000
-0.1135 -0.2743
-0.1135
-0.2743
1.0000
Metode lain untuk menguji asumsi multikolinieritas adalah menggunakan deteksi Klien, yakni membandingkan nilai R2 dari model asal dengan nilai R2 dari semua regresi auxilary. Berdasarkan hasil pengolahan dengan Program Eviews dapat diketahui bahwa semua nilai R2 dari regresi auxilary lebih rendah dari R2 pada model regresi awal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa estimasi model regresi sudah memenuhi asumsi yang keempat, yakni terbebas dari multikolinieritas. 4.2.2. Pengujian Parameter Model 4.2.2.1.
Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji statistik yang pertama dilakukan adalah uji koefisien determinasi (R2) yakni untuk melihat tingkat kesesuaian atau kecocokan dari estimasi model yang erbentuk (goodness of fit). Koefisien determinasi menjelaskan seberapa besar proporsi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Dalam model diperoleh nilai koefisien R2 0,9748 yang berarti variabel pendapatan
71
nasional, suku bunga tabungan, inflasi, dan pertumbuhan investasi dapat memengaruhi variabel pengeluaran konsumsi rumahtangga sebesar 97,48 persen, selebihnya dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar model. 4.2.2.2.
Uji Koefisien Regresi Secara Menyeluruh (Uji F) Pengujian parameter model berikutnya adalah dengan menggunakan uji
koefisien regresi secara menyeluruh atau disebut uji F (F-tes). Hipotesis nol (H0) yang diajukan dalam uji ini adalah nilai koefisien β1=β2=β3=β4=β5=0 yang berarti tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Hipotesis alternatifnya adalah ada satu koefisien βi≠0 atau minimal ada satu variabel bebas yang memengaruhi variabel tidak bebas. Nilai F-hitung dari hasil regresi signifikan pada nilai α=5% dengan nilai Fhitung sebesar 326,1480. Berdasarkan kondisi tersebut maka keputusan yang diambil adalah menolak hipotesis nol atau menerima hipotesis alternatif. Hal ini berarti keempat variabel tidak bebas dalam model secara bersama-sama memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap variabel pengeluaran konsumsi rumahtangga atau model yang digunakan cukup baik Tabel 4.9 Nilai Statistik Model Pengaruh Pendapatan Nasional, Suku Bunga Tabungan, Inflasi, Pertumbuhan Investasi dan Dummy Kenaikan BBM terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic) Sumber: Pengolahan Eviews
0.977814 0.974816 326.1480 0.000000
72
4.2.2.3.
Uji Koefisien Regresi Parsial (Uji t)
Pengujian secara parsial terhadap semua koefisien regresi dilakukan dengan uji t (t-test). Hipotesis yang diajukan dalam pengujian ini adalah masingmasing koefisien persamaan bernilai nol atau βi=0. Artinya adalah tidak ada pengaruh dari variabel bebas Xi terhadap variabel tidak bebas Y. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah βi≠0 yang artinya ada pengaruh dari setiap variabel bebas Xi terhadap variabel tidak bebas Y. Jika nilai t
statisik
>t
table
(α/2,n-k) maka
tolak H0 berarti dapat disimpulkan bahwa variabel bebas tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas. Selain itu, dapat juga dilihat dari prob masing-masing variabel bebasnya. Apabila prob variabel bebas < α=0,05 maka dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas. Dibandingkan dengan nilai t-tabel (t 0,05 / 2;37 ) yang sebesar 2.02619, koefisien 0, 1, 2, dan 4, dalam persamaan memiliki nilai t-hitung yang lebih besar. Hanya koefisien 3 dan 5 yang lebih rendah dari t-tabel, atau signifikan pada taraf 0,5893 dan 0,1702. 4.2.3. Analisis Model Fungsi Konsumsi Fungsi pengeluaran konsumsi rumahtangga di Indonesia selama kurun waktu tahun 2000 – 2010 secara ekonomi dipengaruhi oleh pendapatan nasional, suku bunga tabungan, dan perubahan investasi. Kenaikan harga BBM yang terjadi antara tahun 2001-2008 ternyata tidak mempunyai pengaruh terhadap pengeluaran
73
konsumsi rumahtangga. Sedangkan inflasi yang terjadi selama kurun waktu tersebut tidak signifikan memengaruhi pengeluaran konsumsi rumahtangga. 4.2.3.1.
Pengaruh Pendapatan Nasional Terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga Pendapatan nasional berpengaruh dan mempunyai hubungan yang
positif dalam meningkatkan pengeluaran konsumsi rumahtangga dengan MPC sebesar 0,4664. Hal ini menunjukkan setiap peningkatan pendapatan nasional sebesar 1 triliun akan meningkatkan konsumsi rumahtangga sebesar 0,4664 triliun rupiah, ceteris paribus. Pengaruh pendapatan terhadap konsumsi dalam penelitian sejalan dengan penelitian terdahulu, yang menunjukan bahwa pendapatan berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Hal ini sesuai dengan teori konsumsi yang ada dimana konsumsi secara mutlak (absolut) cenderung lebih banyak dipengaruhi tingkat pendapatan sekarang. Penelitian Siregar menunjukan bahwa fungsi konsumsi mempunyai MPC sebesar 0,43 sedangkan penelitian Isyani menunjukan fungsi konsumsi dalam jangka pendek dan jangka panjang mempunyai MPC sebesar 0,21 dan 0,83. Hal ini juga sesuai dengan dugaan Keynes bahwa kecenderungan mengkonsumsi marginal adalah antara 0 dan 1. 4.2.3.2.
Pengaruh Suku Bunga Konsumsi Rumahtangga
Tabungan
Terhadap
Pengeluaran
Tingkat suku bunga tabungan berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Koefisien regresi tingkat suku bunga tabungan sebesar – 2,8080 menunjukkan bahwa adanya kenaikan tingkat suku bunga sebesar 1 persen akan menurunkan pengeluaran
74
konsumsi rumahtangga sebesar 2,8080 triliun, ceteris paribus. Sejalan dengan model yang dikembangkan ekonom Irving Fisher tingkat suku bunga memberikan pengaruh terhadap individu untuk membuat pilihan antar waktu dalam melakukan konsumsi yang dibatasi anggaran atau pendapatan (budged constraint). Adanya kenaikan tingkat suku bunga tabungan akan menarik minat masyarakat untuk mengalihkan sebagian pendapatannya yang tidak dikonsumsi untuk ditabung dengan mengharapkan balas jasa dari bunga yang cukup besar dalam jangka panjang. 4.2.3.3.
Pengaruh Inflasi Terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga Inflasi selama tahun 2000-2010 tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Konsumsi masyarakat Indonesia relatif tidak terpengaruh dengan adanya perubahan harga karena tingkat ekonomi masyarakat yang rendah. Sebagian besar dari pendapatan masyarakat digunakan untuk konsumsi terutama konsumsi makanan dan kebutuhan pokok. Inflasi yang terjadi antara tahun 2000-2010 lebih didominasi adanya kenaikan harga-harga bahan makanan, makanan jadi dan minuman sehingga berapapun tingkat harga yang ditawarkan tetap akan dibeli oleh masyarakat. 4.2.3.4.
Pengaruh Pertumbuhan Konsumsi Rumahtangga
Investasi
Terhadap
Pengeluaran
Pertumbuhan investasi di Indonesia mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengeluaran konsumsi dengan koefisien sebesar -0,8429. Hal ini menunjukan setiap peningkatan jumlah investasi sebesar 1 persen maka akan terjadi pengurangan pengeluaran konsumsi rumahtangga sebesar 0,8429 triliun,
75
ceteris paribus. Konsumsi dalam perekonomian dua sektor dipengaruhi oleh pendapatan dan investasi. Rumah tangga dihadapkan kepada pilihan untuk mengalokasikan pendapatan yang diperoleh untuk kegiatan konsumsi atau untuk tabungan. Oleh lembaga keuangan tabungan yang ada akan disalurkan untuk kegiatan investasi. 4.2.3.5.
Pengaruh Kenaikan Harga BBM Terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga Kenaikan BBM yang terjadi tahun 2001-2008 tidak berpengaruh
signifikan terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Kenaikan harga BBM otomatis akan menyebabkan inflasi dan menurunkan dayabeli masyarakat. Adanya penurunan dayabeli masyarakat akibat kenaikan harga BBM diantisipasi oleh
pemerintah
dengan
mengeluarkan
berbagai
kebijakan.
Pemerintah
memberikan keringanan pajak impor bagi bahan kebutuhan pokok serta subsidi bagi komoditas seperti beras, tepung terigu, jagung, dan kedelai serta menaikan pajak ekspor untuk CPO untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dalam negeri dan menstabilkan harga minyak goreng. Dalam rangka mengurangi beban masyarakat berpenghasilan rendah akibat kenaikan harga BBM, pemerintah mengalokasikan dana kompensasi yang disalurkan dalam bentuk Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM). Program ini didistribusikan ke dalam empat bidang yaitu, pendidikan, kesehatan, infrastruktur pedesaan, dan bantuan langsung tunai (BLT).