Tri Bastuti Purwantini
ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI PADI Analysis of Food Consumption and Welfare Dynamics of Rice Farmers’ Households Tri Bastuti Purwantini Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Food and nutrition requirement fulfilment under the vision of upgaring citizen’s welfare is a priority in Indonesia’s national development. The objective of the paper is to discuss welfate dynamics of household welfate of rice farmers in Indonesia. The study was conducted in 2010 by conducting a survei in major rice production areas under Panel Petani Nasional/PATANAS or National Panel Survei of Farmers in 2010. These data were then compared to the data collected under the same topic in 2007. The focus of discussion is changes in the pattern of consumption and share of food expenditure as well as the rate of energy and protein consumption of household. The analysis shows that share of food expenditure has an incresing trend in the period of 2007 to 2010. This is an indication of declining welfare level which is also supported by a sign of declining energy and protein consumption of household. The average energy consumption rate is well below that of standard requirement of nutritionconsumption. Meanwhile, energy consumption coming from cereal crops is already above 60 percent in aggregate level, as an ideal level. The study recommends that thre rate of energy consumption needs to be increased and this energy should come from other sources like root and tuber crops and animal products in an effort to reach an improved food consumtion pattern. Kata kunci: dynamics,food consumption, welfare, rice farmer household ABSTRAK Salah satu prioritas pembangunan nasional adalah pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi, dengan visi untuk meningkatkan kesejateraan penduduknya. Data utama dalam analisis adalah menggunakan data panel dari survei rumah tangga perdesaan ”Panel Petani Nasional (Patanas) pada tahun 2007 dan 2010. Tulisan ini bertujuan untuk membahas dinamika kesejahteraan rumah tangga petani padi di beberapa sentra produksi padi di Indonesia. Pembahasan difokuskan pada perubahan pola konsumsi dan pangsa pengeluaran pangan serta tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga Hasil kajian menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan cenderung meningkat selama kurun waktu 2007- 2010, indikasi tingkat kesejahteraan menurun, ini didukung dengan fenomena terjadi penurunan pada tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga. Rata-rata tingkat konsumsi energi masih dibawah standar kecukupan gizi yang dianjurkan, implikasinya konsumsi energi perlu ditingkatkan. Sementara secara agregat tingkat konsumsi energi yang berasal dari serealia lebih dari 60 persen, idealnya 50 persen. Dengan demikian peningkatan konsumsi energi sebaiknya berasal dari selain serealia seperti umbi-umbian dan pangan hewani, dengan demikian diharapkan menuju perbaikan pola pangan yang dikonsumsi. Kata kunci : dinamika, konsumsi pangan, kesejahteraan, rumah tangga petani padi
508
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan dan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Padi
PENDAHULUAN
Salah satu prioritas pembangunan nasional adalah pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi. Sementara itu visi pembangunan pertanian diantaranya adalah peningkatan kesejahteraan petani. Menurut Ilham dan Sinaga (2007) meningkatnya kesejahteraan akan meningkatkan konsumsi pangan individu karena daya beli terhadap pangan makin meningkat. Banyak kajian mengemukakan bahwa pangsa pengeluaran pangan dapat dijadikan ukuran tingkat kesejahteraan (ekonomi) penduduk/masyarakat, menurut Pakpahan (2011) pengeluaran pangan dengan pendapatan rumah tangga memiliki hubungan terbalik, artinya makin rendah pendapatan rumah tangga, makin tinggi persentase pengeluaran pangan mereka. Rumah tangga akan terus menambah konsumsi makanannya sejalan dengan bertambahnya pendapatan, namun sampai batas tertentu penambahan pendapatan tidak lagi menyebabkan bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Masalah gizi tidak terlepas dari masalah makanan karena masalah gizi timbul sebagai akibat kekurangan atau kelebihan kandungan zat gizi dalam makanan. Salah satu masalah gizi yang sering dijumpai khususnya di perdesaan adalah kurang energi protein (KEP). Oleh karena itu tingkat konsumsi/kecukupan energi dan protein sering digunakan juga sebagai indikator tingkat kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan dapat dikatakan makin baik apabila energi dan protein yang dikonsumsi penduduk semakin meningkat sampai akhirnya melewati kecukupan kalori/protein per kapita per hari (BPS, 2009). Tulisan ini bertujuan untuk membahas dinamika kesejahteraan rumah tangga petani padi di beberapa sentra produksi di Indonesia. Pembahasan difokuskan pada perubahan pola konsumsi dan pangsa pengeluaran pangan serta tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga. Data utama yang digunakan adalah data panel dari survei rumah tangga perdesaan ”Panel Petani Nasional (Patanas) pada tahun 2007 dan 2010.
MATERI DAN METODE Sumber Data yang digunakan untuk menganalisis dinamika pola konsumsi rumah tangga petani padi adalah data Panel Petani Nasional (PATANAS) tahun 2007 dan 2010 yang dilakukan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Data tersebut mencakup 5 provinsi, yakni dua provinsi luar Jawa (Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan) dan 3 provinsi Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) yang meliputi 14 desa contoh. Pengumpulan data rumah tangga dilakukan melalui survei rumah tangga yang melibatkan 25 rumah tangga contoh untuk setiap desa atau total responden 350 rumah tangga. Rumah tangga yang terpilih adalah rumah tangga petani padi, baik pemilik maupun penggarap. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dalam bentuk tabel-tabel berdasarkan daerah dan kelompok pangan. Analisis konsumsi pangan rumah
509
Tri Bastuti Purwantini
tangga meliputi kecukupan konsumsi pangan rumah tangga, struktur konsumsi bahan pangan pokok, dan keragaman sumber gizi rumah tangga. Analisis ini ditujukan untuk memahami sejauh mana rumah tangga perdesaan maupun memenuhi kebutuhan energinya sesuai dengan norma gizi. Dalam analisis tersebut tingkat kecukupan konsumsi energi rumah tangga akan digunakan sebagai indikator. Tingkat kecukupan konsumsi energi rumah tangga diukur dari rasio antara konsumsi energi per kapita per hari setiap rumah tangga yang bersangkutan. Untuk mengetahui posisi perkembangan konsumsi pangan rumah tangga petani padi dibandingkan antardaerah, maka dalam analisis ini juga dibandingkan data konsumsi pangan untuk tingkat provinsi masing-masing menurut data SUSENAS. Data SUSENAS yang digunakan sebagai pendukung analisis adalah data tahun 2007 dan 2009 (mengingat data Susenas 2010 belum dipublikasikan)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pangsa Pengeluaran Pangan Sebagai Indikator Kesejahteraan Kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yaitu kebutuhan akan pangan dan bukan pangan. Dengan demikian, pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan mencapai titik jenuh sementara kebutuhan bukan pangan, termasuk kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Oleh karena itu, besaran pendapatan (yang diproksi dengan pengeluaran total) yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Makin tinggi pangsa pengeluaran pangan, berarti makin berkurang ke sejahtera rumah tangga yang bersangkutan. Sebaliknya, makin kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumah tangga tersebut makin sejahtera. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata kesejahteraan rumah tangga perdesaan di Jawa lebih rendah dibandingkan dengan di luar Jawa pada tahun 2007. Bila dibandingkan dengan data tahun 2009, rata-rata tingkat kesejahteraan di Jawa meningkat, hal yang sebaliknya justru di luar Jawa pangsa pengeluaran pangannya meningkat, ini mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk luar Jawa menurun dalam kurun waktu 2007-2009. Data FAO (2009) menunjukkan bahwa pada tahun 2006 pangsa pengeluaran pangan penduduk Indonesia secara agregat sebesar 47.9 persen. Bila dibandingkan dengan beberapa negara pangsa pengeluaran pangan rumah tangga secara nasional jauh di atas negara-negara maju, seperti Negara Cina (39,8%), Italia (22,1%), Inggris (22,5%) dan USA (13,7%). Hanya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan Bangladesh (53,8%). Berdasarkan data SUSENAS antarwaktu menunjukkan bahwa rataan pengeluaran pangan di kota relatif lebih rendah dibandingkan di perdesaan (Ariani
510
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan dan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Padi
dan. Purwantini, 2007; Purwantini dan Ariani, 2008), hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata penduduk kota lebih sejahtera dibanding di perdesaan. Adanya kesenjangan pembangunan antara daerah perkotaan dan perdesaan yang berdampak pada tingkat kesejahteraannya. Daerah perdesaan mengalami keterbatasan pengembangan infrastruktur (fisik dan kelembagaan), disamping itu kebijakan pembangunan bias pada daerah perkotaan khususnya untuk sektor industri, perdagangan dan jasa (Sayogyo, 2002). Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan yang lebih cepat sedangkan daerah perdesaan relatif tertinggal. Data indikator kesejahteraan penduduk antara lain jumlah penduduk miskin di desa juga menunjukkan proporsi yang besar dibandingkan dengan daerah perkotaan (BPS, 2009). Tabel 1. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Perdesaan, 2007
Provinsi Jatim Jateng Jabar Sumut Sulsel
Pengeluaran pangan (%) 2007 2009 59,61 55,32 59,16 55,98 60,80 59,34 55,56 63,20 54,61 57,06
Pengeluaran total (Rp/kap/bulan) 2007 2009 257.157 369.077 218.042 337.381 281.752 444.186 225.439 432.389 224.046 364.835
Sumber : SUSENAS, 2007 dan 2009
Ketertinggalan wilayah perdesaan juga disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas dan kualitas petani dan pertanian, terbatasnya akses petani terhadap sumber daya permodalan, serta rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur pertanian dan perdesaan. Hasil kajian Ilham (2009) menyimpulkan bahwa rumah tangga nonpertanian relatif lebih sejahtera dibandingkan dengan rumah tangga petani. Namun demikian rumah tangga nonpertanian lebih sensitif terhadap guncangan ekonomi seperti kenaikan harga BBM dan harga beras yang menyebabkan penurunan kesejahteraan. Selanjutnya dikemukakan bahwa selain memiliki akses ekonomi, akses fisik, dan akses informasi terhadap pangan, faktor budaya juga menentukan perilaku konsumsi yang mempengaruhi sensitifitas rumah tangga terhadap guncangan ekonomi. Oleh karena itu untuk lebih mensejahterakan masyarakat maka upaya pembangunan sebaiknya dilakukan lebih merata antarsektor, antarwilayah, dan antarkawasan. Berdasarkan Tabel 1, terlihat tidak ada pola yang jelas antara pengeluaran total dengan pangsa pengeluaran pangan, dalam arti kedua variabel tersebut tidak selalu berbanding lurus atau berbanding terbalik. Dalam arti semakin besar pengeluaran total tidak selalu diikuti dengan semakin rendahnya pangsa pengeluaran pangan. Hal ini dapat dikatakan bahwa aspek pendapatan tidak selalu mempengaruhi dalam pola konsumsi pangan tetapi aspek lain seperti kebiasaan makan dan adanya pola hidup sederhana dalam rumah tangga. Dengan demikian, temuan yang menarik ini perlu dikaji lebih mendalam dalam kaitannya dengan aspek sosial budaya yang melekat pada masyarakat dan lingkungannya
511
Tri Bastuti Purwantini
Pada Tabel 2 menyajikan pangsa pengeluaran pangan dan pengeluaran total per kapita di desa Patanas pada dua titik waktu (2007 dan 2010), pangsa pengeluaran pangan secara agregat menunjukkan peningkatan, bila mengacu dengan Hukum Engle berarti kondisi tahun 2010 tidak lebih baik dibanding kondisi Tahun 2007. Dari sisi pendapatan/pengeluaran total secara absolut rata-rata meningkat, demikian halnya pengeluaran total setara beras rata-rata juga meningkat. Hukum Engel menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka pangsa pengeluaran pangan semakin kecil, kecenderungan tersebut rupanya tidak berlaku sepenuhnya di lokasi penelitian, kenaikan pendapatan (pengeluaran) total tidak selalu dibarengi dengan menurunnya pangsa pengeluaran pangan. Hal ini karena preferensi rumah tangga berpengaruh dalam memilih dan mengkonsumsi pangan baik kuantitas maupun kualitas tidak semata-mata hanya pertimbangan pendapatan tetapi juga selera dan sosial budaya setempat. Tabel 2. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Patanas Lahan Sawah Berbasis Padi di Perdesaan Jawa dan Luar Jawa, Tahun 2007 dan 2010 Provinsi/ Desa Jawa Barat - Karawang - Subang - Indramayu Jawa Tengah - Cilacap - Klaten - Sragen - Pati Jawa Timur - Lamongan - Jember - Banyuwangi JAWA Sumatera Utara - Serdang Bedagai - Batubara Sulawesi Selatan - Sidrap - Luwu LUAR JAWA RATAAN
Pengeluaran Pangan (%) 2007 2010
Pengeluaran Total (Rp/Kap/Bulan) 2007 2010
58,2 49,4 49,7
63,14 53,92 54,00
220.560 360.690 332.460
297.150 491.320 412.010
53,0 44,5 47,8 48,2
60,34 59,73 51,97 57,09
167.970 275.940 265.100 235.660
297.150 330.400 376.520 344.360
58,5 60,5 48,3 51,4
50,52 51,29 48,58 54,4
225.570 241.960 210.700 234.540
401.330 384.720 414.410 420.898
59,2 57,3
58,54 56,28
393.630 234.540
403.010 424.200
55,2 48,6 55,8 52,1
53,26 61,00 53,1 54,24
282.610 203.990 278.692 247.155
535.710 332.580 455.639 430.824
Pengeluaran Total Setara Beras (Kg) 2007 2010 46,90 76,70 70,69 35,72 58,68 56,37 50,11 47,97 51,45 44,80 49,87 83,70 49,87 60,09 43,38 59,26 52,55
63,19 104,47 87,61 63,19 70,26 80,06 73,22 85,34 81,81 88,12 89,50 85,70 90,20 113,91 70,72 96,89 91,61
Bila dilihat dinamika pangsa pengeluaran pangan antara tahun 2007 dan 2010, rata-rata agregat justru mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terutama di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah, hampir di seluruh desa contoh mengalami kenaikan. Sementara di luar Jawa hanya di Luwu yang mengalami peningkatan dan di Jawa Timur ditemukan di Banyuwangi. Sementara lokasi
512
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan dan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Padi
lainnya pangsa pengeluaran pangan menurun. Peningkatan pangsa pengeluaran pangan tersebut mengindikasikan terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan. Bila dibandingkan dengan data nasional (BPS, 2008) pangsa pengeluaran pangan rumah tangga di daerah penelitian lebih besar, namun bila dibandingkan dengan rata-rata pangsa pengeluaran pangan di perdesaan masih lebih kecil, ini berarti kondisi kesejahteraan rumah tangga rata-rata di wilayah penelitian relatif lebih baik dibanding rataan perdesaan nasional umumnya. Data BPS menunjukkan bahwa rata-rata pangsa pengeluaran pangan rumah tangga secara agregat sebesar 50,17 persen, sedangkan untuk daerah perdesaan rata-rata 58,67 persen. Bila pengeluaran pangan dirinci lebih lanjut seperti yang disajikan pada Tabel 3 tampak bahwa distribusi pangsa menurut kelompoknya tidak berbeda antara kondisi tahun 2007 dengan kondisi tahun 2010. Secara agregat dapat dikatakan bahwa pengeluaran pangan dominan adalah untuk pangan sumber karbohidrat. Hal ini wajar mengingat pangan tersebut umumnya merupakan pangan pokok yang dikonsumsi dalam jumlah relatif banyak, sehingga pengeluarannya juga besar. Tabel 3. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pangan pada Rumah Tangga di Perdesaan Patanas Lahan Sawah Berbasis Padi, Tahun 2007 dan 2010 Kelompok Pangan
Jabar
Jateng
Jatim
Sumut
Sulsel
2007
2010
2007
2010
2007
2010
2007
2010
2007
2010
Sumber karbohidrat
26,4
22,2
27,2
22,8
32,0
22,5
23,6
27,1
32,2
23,3
Pangan hewani
14,4
19,0
14,9
15,2
16,0
19,7
23,0
22,5
18,6
24,1
Sayur-sayuran
5,0
15,1
6,4
15,0
5,2
11,1
4,1
12,3
3,2
13,5
Kacang2an
9,7
4,8
10,0
7,4
8,1
5,1
10,4
3,0
10,9
3,2
Buah-buahan
4,1
4,0
3,7
6,2
2,8
7,6
4,1
7,1
4,0
4,4
Minyak&lemak
3,9
4,9
5,2
5,4
5,9
6,2
4,0
4,5
3,6
4,1
Bahan minuman
5,6
7,2
7,3
7,0
6,1
7,1
8,2
6,4
6,8
7,5
Makanan&min jadi
6,7
4,8
5,7
4,1
2,7
5,4
6,2
3,9
4,6
4,2
Tembakau dan sirih
14,2
10,4
12,9
9,6
8,1
7,4
12,1
9,3
10,1
8,1
Konsumsi lain Total
6,9
7,6
6,9
7,3
13,2
7,9
4,6
4,0
6,3
7,6
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Pangsa terbesar kedua adalah pengeluaran untuk konsumsi pangan hewani, jenis pangan ini biasanya dengan harga relatif mahal dibandingkan dengan pangan lainnya, walaupun dalam jumlah relatif kecil yang dikonsumsi tetapi karena harga mahal sehingga nilai pengeluarannya rata-rata lebih besar, bahkan kasus yang dijumpai di lokasi contoh Sragen, Lamongan, Banyuwangi, dan Sidrap, pangsa pengeluaran pangan hewani lebih besar dibanding rata-rata pengeluaran pangan sumber karbohidrat pada tahun 2010. Yang menarik secara keseluruhan lokasi contoh, pangsa pengeluaran pangan kelompok sayuran meningkat cukup tinggi, peningkatan tersebut antara
513
Tri Bastuti Purwantini
lain karena rata-rata harga sayuran lebih tinggi. Sedangkan pengeluaran untuk buah-buahan sebagian menurun di beberapa lokasi, di sebagian lokasi justru meningkat, pangsa pengeluaran tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jenis buah yang dikonsumsi. Pengeluaran untuk rokok dan tembakau atau sejenisnya masih cukup tinggi walaupun di beberapa lokasi pangsa pengeluaran kelompok pangan tersebut menurun. Pengeluaran nonpangan yang utama antara lain adalah untuk bahan bakar, dalam hal ini adalah bahan bakar untuk memasak, untuk kendaraan, maupun untuk penerangan. Pengeluaran untuk kelompok tersebut mencapai sekitar 24 persen, proporsi ini lebih kecil dibanding dengan kondisi pada tahun 2007. Pangsa pengeluaran pangan yang relatif besar lainnya adalah untuk pendidikan dan kesehatan, namun demikian antarwilayah bervariasi (Tabel 4). Tabel 4. Pangsa Pengeluaran Nonpangan Menurut Kelompok Nonpangan pada Rumah Tangga di Perdesaan Patanas Lahan Sawah Berbasis Padi, Tahun 2007 dan 2010 Kelompok Jabar Bukan 2007 2010 Pangan Bahan 36,9 30,2 Bakar Komunikasi 4,5 4,4
Jateng
Jatim
Sulsel
Sumut
Rataan
2007
2010
2007
2010
2007
2010
2007
2010
2007
2010
33,1
30,4
33,8
18,8
27,6
22,0
28,7
18,5
32,0
24,0
4,4
3,6
4,5
5,3
7,0
5,5
4,1
2,2
4,9
4,2
Pendidikan
30,5
24,8
26,0
22,7
31,5
20,2
31,0
32,6
24,0
16,6
28,6
23,4
Kesehatan
13,0
13,3
18,5
10,4
15,9
15,4
18,4
16,1
23,0
33,0
17,7
17,6
Sandang
8,8
10,4
9,8
6,5
8,7
5,5
9,5
8,0
12,9
6,8
9,9
7,4
Lainnya
6,3
16,9
8,9
26,4
7,6
34,7
6,7
15,8
7,5
22,9
7,4
23,3
100,1
100,0
100,5
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,1
100,0
Total
Bila dilihat secara rinci, tampak bahwa secara rataan, pangsa pengeluaran untuk pendidikan cukup besar walaupun pangsanya lebih kecil dibanding kondisi 2007. Keringanan biaya ini juga terkait dengan sekolah gratis untuk sampai tingkat SMP, dengan adanya program wajib belajar 9 tahun. Pendidikan adalah salah satu unsur penting dalam kualitas sumber daya manusia, semakin tinggi pendidikan pada umumnya kualitas sumber daya manusia akan semakin baik. Hal ini menunjukkan bahwa para petani padi telah menyadari bahwa pendidikan adalah unsur penting yang dimungkinkan sebagai sarana untuk merubah kehidupan seseorang. Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan Tingkat partisipasi konsumsi pangan menunjukkan proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi jenis pangan tertentu terhadap total populasi rumah tangga yang diamati. Jenis pangan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah pangan sumber karbohidrat yang sebagian besar merupakan pangan pokok, sumber protein (hewani maupun nabati), sumber lemak, dan sumber vitamin/mineral. Tabel 5 menunjukkan tingkat partisipasi konsumsi pangan antar dua waktu pengamatan.
514
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan dan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Padi
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat partisipasi konsumsi beras di lokasi contoh mencapai 100 persen. Sebagai wilayah pertanian dengan agroekosistem sawah dan dominan ditanami padi, maka pangan beras relatif tersedia. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi beras ini terkait dengan pola pangan pokok tunggal yaitu beras sebagai makanan pokok utama. Walaupun tidak semua rumah tangga mengusahakan tanaman padi, tetapi umumnya berasal dari membeli atau hasil panen (bawon). dan menjadikan beras sebagai makanan pokok utama. Beras sebagai sumber karbohidrat utama merupakan pangan sumber karbohidrat yang sekaligus merupakan pangan sumber energi. Selain beras beberapa pangan sumber karbohidrat yang banyak dikonsumsi adalah gula pasir, hampir di semua wilayah tingkat partisipasi konsumsi gula cukup tinggi, konsumsi gula ini biasanya sebagai pemanis dalam minuman, tidak ada pola yang jelas antar dua titik waktu, sebagian meningkat dan sebagian menurun. Yang menarik adalah tingkat partisipasi mie instan, pada umumnya tingkat partisipasi konsumsi mie instan cenderung meningkat, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5 Tabel 5. Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan Pada Rumah Tangga Patanas di Perdesaan Bertipe Lahan Sawah Berbasis Padi, Tahun 2007 dan 2010 (%) Jabar 2007 2010 Sumber Karbohidrat Beras 98,7 100,0 Jagung 5,3 , Ubi kayu 10 10,7 Ubi Jalar 5,3 2,7 Mie Instan 39,3 62,7 Gula pasir 96 86,7 Sumber Protein Hewani Dg sapi 12 5 Dg Ayam 58,7 34,2 Ikan 20 30,5 Telur 29,8 27,5 Susu 8,5 8,2 Sumber Lemak M goreng 96 96,7 Sumber Vitamin dan Mineral Bayam 42,7 55 Kangkung 60 61,7 Pisang 14,7 14,2 Jeruk 80 37,5 Jenis Pangan
Jateng 2007 2010
2007
Jatim 2010
Sumut 2007 2010
Sulsel 2007 2010
93 8,5 17,5 2 62,7 96
99,0 0,5 14,0 2,0 75,0 93,0
100 20,7 13,3 1,3 41,3 93,3
100,0 4,0 7,9 2,6 69,7 90,8
100 6 24 2 36 98
100,0 2,0 4,1 6,1 55,1 98,0
98 24 16 8 30 96
98,0 5,0 4,0 2,0 68,0 92,0
42,8 79,6 21,5 28,5 9,6
4,0 35,0 23,8 25,3 7,8
33,3 70,7 22,3 27,1 6,4
5,3 42,1 25,0 24,6 7,4
34 60 30 30 10,4
6,1 16,3 36,3 22,5 8,2
20 60 22 25,4 12,4
4,0 24,0 32,8 18,0 7,6
98
92,0
96
89,5
98
93,9
96
92,0
70,1 59,1 18,3 64,7
53,0 47,0 16,0 36,0
57,3 48 15,1 57,6
50,0 61,8 19,7 29,0
62 78 18,7 66
67,4 69,4 53,1 9,5
63 52 16,7 28
54,0 72,0 20,0 12,0
Meningkatnya partisipasi mie tersebut karena pangan tersebut praktis untuk diolah dan relatif murah dan terjangkau di kalangan masyarakat luas, sehingga pangan tersebut disenangi. Sementara jenis pangan sumber karbohidrat lain yang sebelumnya juga menjadi pangan pokok di berbagai provinsi tergeser oleh beras, yang ditunjukkan oleh partisipasi konsumsi pangan sumber karbohidrat lainnya seperti jagung dan ubi kayu relatif kecil.
515
Tri Bastuti Purwantini
Dari tingkat partisipasi konsumsi pangan sumber karbohidrat tersebut, menunjukkan bahwa beras memang sudah menjadi pola pangan pokok dominan dan cenderung bersifat tunggal. Oleh karena itu diversifikasi pangan pokok non beras relatif tidak ditemukan di wilayah contoh dan bila dikembangkan relatif sulit karena masyarakat sudah terbiasa mengkonsumsi pangan pokok beras, sehingga perlu proses panjang untuk menerapkannya. Tingkat partisipasi pangan hewani terkesan menurun terutama untuk jenis daging sapi dan ayam, hal ini tidak semata-mata terjadi penurunan, tetapi karena perbedaan metode antara penelitian 2007 dan 2010. Pada tahun 2007 untuk memperoleh data konsumsi pangan hewani khususnya dengan cara recall satu bulan terakhir, sementara pada tahun 2010 dilakukan dengan recall seminggu terakhir, sehingga peluang untuk mengkonsumsi seminggu terakhir relatif lebih kecil. Oleh karena itu tingkat partisipasi pangan hewani pada tahun 2010 rata-rata lebih rendah dibanding dengan kondisi tahun 2007.
Tingkat Konsumsi Pangan Tingkat partisipasi belum mencerminkan kuantitas pangan yang dikonsumsi, untuk itu perlu dilihat kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Keragaan tingkat konsumsi beberapa jenis pangan penting rumah tangga contoh dapat dilihat pada Tabel 6. Rataan tingkat konsumsi beras rumah tangga di perdesaan Patanas adalah 114,03 kg/kapita/tahun, sementara rata-rata khususnya untuk rumah tangga petani padi relatif lebih besar yakni rata-rata 117,59 kg/kapita/tahun, besaran tersebut lebih tinggi dibanding dengan data tingkat nasional (BPS, 2008). Hasil Susenas tahun 2008 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras rata-rata nasional adalah 109,33 kg/kapita/tahun atau rata-rata di wilayah perdesaan 114,44 kg/kapita/tahun. Rata-rata tingkat konsumsi beras di luar Jawa relatif lebih tinggi dibanding dengan di wilayah Jawa. Tingginya konsumsi beras ini karena pola konsumsi pangan pokok tunggal (beras), sehingga beras sebagai pangan pokok utama, selain itu sebagai wilayah produsen padi, ketersediaan pangan tersebut cukup karena sebagian besar adalah dari hasil produksi sendiri. Untuk mengurangi konsumsi beras ini dapat diupayakan diversifikasi pangan pokok nonberas, seperti jagung atau pangan umbi-umbian. Tingkat konsumsi jagung sangat kecil, hanya kasus di Sulawesi Selatan yang mengkonsumsi jagung rata-rata 8,37 kg/kapita/tahun, lokasi lainnya masih rendah bahkan kurang dari 1 kg/kapita/tahun. Mie instan sudah banyak di konsumsi masyarakat perdesaan, tingkat partisipasi konsumsi jenis pangan ini berkisar 30-75 persen. Dari tingginya tingkat partisipasi konsumsi tersebut dibarengi juga dengan tingkat konsumsi yang cukup besar yakni rata-rata 4,3 kg/kapita/tahun atau sekitar 53 bungkus per kapita per tahun. Jenis pangan tersebut berasal dari produk gandum/terigu yang bahan bakunya adalah impor, kondisi ini perlu diwaspadai agar peningkatan jenis pangan tersebut tidak terus meningkat, perlu adanya kebijakan untuk mengembangkan produk sejenis pangan tersebut yang berbahan baku lokal, seperti tepung umbi-
516
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan dan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Padi
umbian dan sebagainya. Untuk itu perlu difasilitasi oleh pemerintah terkait dengan pengembangan produk pangan tersebut. Tabel 6. Tingkat Konsumsi Beberapa Pangan Penting pada Rumah Tangga Patanas di Perdesaan Bertipe Lahan Sawah Berbasis Padi, 2010 (Kg/Kap/Tahun) Jabar Beras Jagung Ubi kayu Ubi Jalar Mie Instan Gula pasir Daging sapi Dag Ayam Ikan Telur Susu Tahu Tempe M goreng Bayam Kangkung Kubis Pepaya Jeruk Pisang
129,60 2,90 0,65 5,23 9,88 0,46 4,64 15,46 14,97 14,65 7,28 11,15 13,05 6,59 7,64 1,06 1,47 5,07 11,26
Jateng 98,41 0,24 4,51 0,50 3,92 9,54 0,39 3,08 7,71 5,87 5,49 7,19 9,46 11,66 4,00 4,55 1,77 0,67 3,91 12,69
Jatim 107,86 1,49 0,91 0,49 4,06 10,74 0,18 4,01 18,96 5,76 4,88 9,13 12,15 10,89 3,23 3,83 1,46 2,22 4,07 13,63
Sulsel 116,95 5,77 1,20 0,66 5,13 13,04 0,52 3,85 35,05 8,83 9,18 2,75 4,78 9,99 2,87 3,86 1,69 3,19 1,34 17,40
Sumut 117,35 0,76 1,85 2,54 3,16 11,96 0,44 2,13 24,74 6,32 9,15 3,00 5,13 15,52 3,18 3,96 1,36 0,99 6,62 5,76
Rataan 114,03 1,65 2,28 0,97 4,30 11,03 0,40 3,54 20,39 8,35 8,67 5,87 8,53 12,22 3,97 4,77 1,47 1,71 4,20 12,15
Untuk jenis pangan hewani yang banyak dikonsumsi dengan kuantitas yang relatif besar adalah ikan, baik ikan segar maupun ikan awetan. Tingginya konsumsi pangan ikan, antara lain karena pangan tersebut relatif besar dan terjangkau oleh rata-rata rumah tangga di wilayah penelitian. Tingkat konsumsi ikan tertinggi ditemukan di wilayah Sulawesi Selatan, tingginya konsumsi pangan tersebut antara lain karena potensi dan ketersediaan pangan tersebut besar, yang dekat dengan pantai. Tempe dan tahu adalah jenis pangan sumber protein nabati yang sudah meluas dikonsumsi oleh masyarakat, tidak hanya oleh rumah tangga di Jawa tetapi juga di luar Jawa, walaupun secara rata-rata tingkat konsumsi di Jawa relatif lebih tinggi dibanding dengan di luar Jawa. Sementara untuk sumber vitamin dan mineral yang menonjol adalah pisang yang tingkat konsumsi relatif besar, karena jenis buah ini tidak tergantung musim dan relatif tersedia di lokasi.
Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh individu atau rumah tangga akan mencerminkan terhadap tingkat konsumsi energi dan protein yang
517
Tri Bastuti Purwantini
bersangkutan. Pangan pokok biasanya merupakan sumber karbohidrat sekaligus sebagai sumber energi. Tingkat konsumsi energi dan protein dan dinamika perubahan antara tahun 2007 dan 2010 disajikan pada Tabel 7. Secara agregat rata-rata tingkat energi adalah 1958 kkal, besarnya energi tersebut lebih rendah dari kecukupan yang dianjurkan menurut Widyakarya Pangan dan Gizi VII Tahun 2007 tingkat kecukupan energi yang dianjurkan adalah 2000 kkal. Bila dibandingkan dengan tingkat energi pada tahun 2007, berarti tingkat energi saat ini mengalami penurunan. Ini berarti bahwa kesejahteraan dari sisi konsumsi energi menurun, hal ini konsisten dengan indikator pangsa pengeluaran pangan yang meningkat. Tabel 7. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein pada Rumah Tangga Patanas di Perdesaan Bertipe Lahan Sawah Berbasis Padi, 2010 Energi (Kkal/kap/hr) 2007 2010
Pangsa Energi Padi-padian (%) 2007 2010
2007
2010
Pangsa Protein Hewani (%) 2007 2010
Jabar
2578
2373
55,7
58,15
75,64
69,5
33,8
49,4
-Subang
3594
2250
47,5
57,9
98,22
56,20
37,9
46,4
-Karawang
1968
-Indramayu
2172
2623
66,5
60,2
54,69
82,50
31,9
49,4
2248
53,1
56,1
74,00
69,70
31,5
51,8
Jateng -Sragen
2191
1729
50,8
60,4
64,50
47,73
29,4
42,3
2970
1856
43,5
54,2
82,88
61,10
28,7
56,8
-Cilacap
1711
1682
59,0
60,7
49,13
41,30
24,0
35,1
-Pati
1875
1682
51,1
64,6
56,50
42,80
32,0
36,2
-Klaten
2207
1697
49,7
62,8
69,50
45,60
33,1
35,2
Jatim
2105
1870
53,5
59,3
64,80
52,00
21,9
41,6
-Lamongan
1957
1652
52,4
60,7
50,03
42,40
25,9
42,7
-Jember
2384
1852
50,1
56,9
72,18
52,70
19,9
31,4
-Banyuwangi
1975
2095
58,0
60,4
72,18
60,50
19,9
49,4
Sulsel
2311
2111
57,5
59,8
62,84
62,30
54,0
54,0
-Sidrap
2178
2289
45,8
51,2
75,31
78,00
41,0
64,7
-Luwu
2443
1933
69,1
70,0
50,36
46,50
21,7
36,1
Sumut
2707
1881
50,2
65,2
91,42
47,32
33,4
41,3
- Deli Serdang
3560
2020
44,3
67,8
135,36
52,04
39,6
43,3
- Asahan
1853
1748
56,1
62,3
47,48
42,78
27,2
39,0
Rataan
2399
1958
53,0
58,15
72,94
54,49
36,7
44,4
Wilayah
Protein (gr/kap/hr)
Tingkat konsumsi protein juga mengalami penurunan dibanding tahun 2007, namun bila dibandingkan dengan tingkat kecukupan protein sesuai anjuran 52 gram, tingkat konsumsi protein secara agregat masih diatas anjuran. Namun bila ditelusuri lebih lanjut pangsa energi tertinggi dari padi-padian, karena menurut
518
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan dan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Padi
pola pangan harapan yang ideal adalah 50 persen, berarti perlu dikurangi tingkat konsumsi kelompok pangan tersebut, karena lebih tinggi dari pangsa energi padipadian menurut pola pangan harapan. Untuk itu perlu peningkatan konsumsi energi agar dapat mencapai minimal sesuai anjuran, Oleh karena itu, perlu ditingkatkan konsumsi pangan pokok nonberas seperti umbi-umbian, karena pangsa energi dari kelompok umbi-umbian masih sangat rendah (< 1%), padahal menurut pola yang ideal proporsinya adalah sekitar 6 persen, hal ini sekaligus juga mendukung program diversifikasi pangan yang selama ini digalakkan. Tabel 8. Rataan Pangsa Konsumsi Energi Menurut Kelompok Pangan per Kapita per Hari pada Rumah Tangga Perdesaan PATANAS, Tahun 2010 Jenis Pangan
Jabar
Jateng
Jatim
Sulsel
Sumut
Rataan
Beras Jagung Ubi kayu Gula pasir
56,87 1,28 0,49
59,13 1,27 0,62 0,56
57,63 1,70 0,62
54,96 4,86 0,61
64,02 1,19 1,12 0,67
58,52 2,06 0,35 0,59
Dg sapi Dg Ayam
0,18 2,19
0,09 1,80
0,07 2,28
0,11 1,20
0,19 1,13
0,13 1,72
Ikan Telur
2,37 15,58
1,20 12,74
3,40 11,75
5,25 17,31
4,21 10,31
3,29 13,54
Susu Tahu
1,41 0,57
1,07 0,78
1,34 0,91
0,69 0,24
1,58 0,30
1,22 0,56
Tempe M goreng
1,92 15,24
2,24 16,05
2,65 15,15
0,93 11,59
1,12 12,70
1,77 14,15
Bayam Kangkung
0,23 0,19
0,14 0,14
0,12 0,11
0,10 0,11
0,11 0,10
0,14 0,13
Kubis Pepaya
0,03 0,06
0,06 0,05
0,05 0,14
0,02 0,09
0,05 0,08
0,04 0,08
Jeruk Pisang
0,25 1,13
0,24 1,82
0,20 1,89
0,07 1,86
0,36 0,77
0,22 1,49
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Secara rinci Tabel 8 menyajikan pangsa energi dari beberapa pangan penting yang dikonsumsi rumah tangga contoh. Sesuai dengan tingkat konsumsi masing-masing jenis pangan, tampak bahwa beras menyumbangkan asupan energi lebih dari separuh energi yang dikonsumsi rataan sekitar 58,52 persen, bahkan kasus di Sumatera Utara mencapai 64,04 persen. Sementara untuk pangan hewani, pangsa energinya dominan berasal dari telur yakni mencapai ratarata 13,5 persen. Pada Tabel 9 menyajikan keragaan pangsa konsumsi protein menurut kelompok pangan. Tampak bahwa beras menyumbangkan protein cukup besar, dalam hal ini beras sebagi sumber energi sekaligus juga sumber protein. Oleh
519
Tri Bastuti Purwantini
karena itulah beras merupakan pangan pokok yang mengandung protein cukup tinggi. Berbeda dengan pangan umbi-umbian umumnya rendah protein, sehingga bila mengganti pangan pokok nonberas, pola konsumsi harus diimbangi dengan jenis pangan yang mengandung cukup tinggi proteinnya seperti pangan hewani ikan, telur dan sebagainya. Tabel 9. Rataan Pangsa Konsumsi Protein menurut Kelompok Pangan per Kapita per Hari pada Rumah Tangga Perdesaan PATANAS, Tahun 2010
Beras Jagung Ubi kayu Daging sapi Daging ayam Ikan Telur Susu Tahu Tempe M goreng Bayam Kangkung Kubis Pepaya Jeruk Pisang
Jabar
Jateng
Jatim
Sulsel
Sumut
Rataan
36,71 0,88 0,55 4,51 1,23 41,66 1,43 2,25 8,06 0,60 0,77 0,68 0,05 0,02 0,16 0,44
40,47 0,94 0,29 0,29 3,94 0,74 36,14 1,22 3,23 9,97 0,67 0,49 0,54 0,12 0,02 0,16 0,77
39,16 1,28 0,22 4,95 1,66 33,10 1,67 3,74 11,72 0,63 0,42 0,41 0,10 0,05 0,13 0,77
35,20 4,00 0,35 2,45 4,59 45,95 0,64 0,94 3,86 0,45 0,34 0,38 0,04 0,03 0,04 0,75
48,07 1,00 0,58 0,69 2,71 3,83 32,08 1,99 1,36 5,46 0,58 0,44 0,42 0,12 0,03 0,26 0,37
39,92 1,62 0,17 0,42 3,71 2,41 37,79 1,39 2,30 7,81 0,59 0,49 0,49 0,09 0,03 0,15 0,62
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Pangan hewani yang menonjol sumbangannya terhadap asupan protein adalah telur, dari sisi harga telur mudah dijangkau di perdesaan. Selain itu kandungan protein telur per satuan berat sangat tinggi dibandingkan pangan hewani lainnya.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Berdasarkan data Susenas 2007 dan 2009 menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk perdesaan di Jawa rata-rata meningkat, sebaliknya di Luar Jawa cenderung menurun. Sementara itu dengan menggunakan data mikro Patanas menunjukkan bahwa dinamika pangsa pengeluaran pangan antara tahun 2007 dan 2010 rata-rata agregat justru mengalami peningkatan. Peningkatan
520
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan dan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Padi
pangsa pengeluaran pangan tersebut mengindikasikan terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan. Tingkat partisipasi konsumsi beras di lokasi contoh mencapai 100 persen. Sebagai wilayah pertanian dengan agroekosistem sawah dan dominan ditanami padi, maka pangan beras relatif tersedia. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi beras ini terkait dengan pola pangan pokok tunggal yaitu beras sebagai makanan pokok utama. Beras sebagai sumber karbohidrat utama merupakan pangan sumber karbohidrat yang sekaligus merupakan pangan sumber energi. Selain beras beberapa pangan sumber karbohidrat yang banyak dikonsumsi adalah gula pasir. Pada umumnya tingkat partisipasi konsumsi mie instan cenderung meningkat Rata-rata tingkat konsumsi beras di luar Jawa relatif lebih tinggi dibanding dengan di wilayah Jawa. Tingginya konsumsi beras ini karena pola konsumsi pangan pokok tunggal (beras), sehingga beras sebagai pangan pokok utama, selain itu sebagai wilayah produsen padi, ketersediaan pangan tersebut cukup karena sebagian besar adalah dari hasil produksi sendiri. Untuk mengurangi konsumsi beras ini dapat diupayakan diversifikasi pangan pokok nonberas, seperti jagung atau pangan umbi-umbian Secara agregat rata-rata tingkat energi adalah 1958 kkal, besarnya energi tersebut lebih rendah dari kecukupan yang dianjurkan. Dinamika tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga tahun 2007–2010 secara agregat menurun. Konsumsi energi rata-rata dibawah standar kecukupan, sedangkan konsumsi protein sudah di atas rata-rata standar kecukupan. Implikasinya perlu peningkatan konsumsi pangan baik secara kuantitas maupun kualitas terutama untuk mencukupi kebutuhan energi rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA Ariani, Mewa dan T.B. Purwantini. 2007. Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca Krisis Ekonomi di Provinsi Jawa Barat. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/ (10)%20soca-mewa%20ariani%20dkk(1).pdf Badan Pusat Statistik. 2008. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2008. BPS. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2009. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2009. BPS. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2009. Indikator Kesejahteraan Rakyat. 2009. BPS. Jakarta FAO. 2009. FAO Statistics Household Survei Database; International Labour Organization (ILO) and Country Publications. http://www.fao.org/fileadmin/templates/ess/ documents/food_security_statistics. diakses tanggal 27 Januari 2010 Ilham, N dan B.M. Sinaga. 2007. Penggunaan Pangsa Pengeluaran Pangan Sebagai Indikator Komposit Keatahanan Pangan. Jurnal Sosial Ekonomi dan Agribisnis. SOCA. Vol 7(3): 269-277.
521
Tri Bastuti Purwantini
Pakpahan, A. 2011. Pangan dan Kedamaian. http://pikiran rakyat.com/mobile/artikel/ pangan-dan-kedamaian.php. Diakses 12 September 2011. Ilham , N. 2009. Dinamika Kesejahteraan Petani dan Non Petani di Indonesia: Suatu Analisis Makro vs Mikro. Prosiding Seminar Nasional “Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan : Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani. Penyunting: Suradisastra dkk. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Sayogyo. 2002. Pertanian dan Kemiskinan. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel - Th. I - No. 1 Maret 2002. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_5.htm diakses 12 September 2011 Purwantini, T.B. dan M. Ariani. 2008. Pola Konsumsi Pangan pada Rumah Tangga Petani Padi. Seminar Nasional: Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan; Tantangan dan Peluang Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani; Bogor, 19 November 2008. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian-Badan Litbang Pertanian. Bogor.
522