TINJAUAN PUSTAKA Studi pustaka yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mempelajari sumber-sumber acuan yang relevan, artikel dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan peubah penelitian, yang meliputi: petani, perilaku, karakteristik sosiodemografi, kemiskinan menurut berbagai sudut pandang, teori kemiskinan, dimensi kemiskinan, ciri dan ukuran kemiskinan, faktor penyebab kemiskinan, strategi penanggulangan kemiskinan,
konsep pemberdayaan, tujuan pember-
dayaan, desa dan kemiskinan.
Petani Petani adalah pelaku utama agribisnis, baik agribisnis monokultur maupun polikultur dari komoditas tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan dan atau komoditas perkebunan (Deptan, 2002). Mosher (1987) memberi batasan bahwa petani adalah manusia yang bekerja memelihara tanaman dan atau hewan untuk diambil manfaatnya guna menghasilkan pendapatan. Dalam pandangan Wolf (1985) petani adalah orang desa yang bercocoktanam artinya mereka bercocok tanam dan beternak di daerah perdesaan, tidak di dalam ruangan-ruangan tertutup (greenhouse) di tengah-tengah kota atau dalam kotak-kotak yang diletakkan di atas ambang jendela. Dalam pada itu mereka bukan farmer atau pengusaha pertanian (agricultural entrepreneur) seperti yang kita kenal di Amerika Serikat. Petani (Farm) di Amerika merupakan sebuah perusahaan yang mengkombinasikan faktor-faktor produksi yang dibeli di pasar untuk memperoleh laba dengan jalan menjual hasil produksinya secara menguntungkan di pasar hasil bumi. Sebaliknya petani pedesaan tidak melakukan usaha dalam arti ekonomi; ia mengelola sebuah rumahtangga, bukan sebuah perusahaan bisnis. Dengan demikian secara konseptual pengertian petani tersebut menunjuk pada suatu bentuk atau bidang pekerjaan memelihara (budidaya) tanaman atau hewan untuk memperoleh pendapatan atau memenuhi kebutuhan hidup. Jenis tanaman yang dipelihara atau ditanam dapat bermacam-macam, baik tanaman
pangan, hortikultura maupun perkebunan. Begitu juga dengan jenis hewan yang dipelihara juga beraneka ragam, seperti ayam, kambing, sapi dan kerbau. Dilihat dari tempat tinggal. umumnya petani tinggal di daerah perdesaan, dan juga di daerah-daerah pnggiran kota. Pekerjaan pokok yang dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya adalah di bidang pertanian, baik pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan maupun komuditas perkebunan. Oleh karena itu, umumnya pekerjaan petani terkait dengan penguasaan atau pemanfaatan lahan (tanah). Petani di perdesaan
di Provinsi Bengkulu kebanyakan mengusahakan
tanaman pangan (padi) baik sawah maupun ladang. Namun usaha tani padi tersebut sebagian besar hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga bukan untuk dijual. Namun sudah ada diantara petani yang mengusahakan tanaman pangan (padi) sebagian besar untuk dijual khususnya di daerah transmigrasi. Di samping mengusahakan tanaman pangan, juga mengusahakan tanaman perkebunan, seperti kopi, karet, kelapa sawit, kakau, dan lada. Sedangkan memelihara ternak, seperti ayam, sapi, kerbau atau memelihara ikan umumnya masih merupakan kegiatan sampingan. Berdasarkan uraian di atas maka secara konseptual dapat diberi batasan bahwa petani adalah orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari kegiatan budidaya atau memelihara komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan.
Perilaku Landasan teori yang mendasari penelitian ini adalah teori Lewin (Utami, 2006) tentang persamaan dasar perilaku manusia: B = f { P,S}; B adalah perilaku individu, f berarti fungsi atau disebabkan oleh, P adalah persons dan S adalah Situations. Persamaan Lewin merumuskan bahwa perilaku adalah fungsi dari faktor-faktor
atau karakteristik
yang bersifat individual dengan situasi dan
kondisi lingkungan tempat individu itu berada. Mengacu kepada teori Lewin tersebut, maka cara seseorang bertindak atau berperilaku tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri melainkan harus dilihat dalam kaitannya dengan berbagai faktor, baik yang bersifat
individual (internal) maupun yang terkait dengan situasi dan kondisi lingkungannya (eksternal). Demikian juga halnya dengan perilaku individu
atau
keluarga miskin yang umumnya kurang produktif harus dilihat keterkaitannya dengan berbagai faktor, baik sosial, budaya, ekonomi maupun demografi (faktor sosiodemografi). Berbagai faktor atau karakteristik yang secara teoritis terkait dengan fungsi pembentukan perilaku individu dalam melangsungkan kehidupannya, seperti: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, akses informasi, orientasi nilai budaya, motivasi berprstasi, akses kelompok atau organisasi, akses pasar, dan akses terhadap sumber modal. Pengembangan teori Lewin tersebut
diharapkan dapat menjembatani
perpaduan antara teori perilaku individu dan teori struktur sosial. Teori perilaku individu meyakini bahwa
sikap individu yang tidak produktif
telah meng-
akibatkan lahirnya kemiskinan. Di sisi lain teori struktur sosial melihat bahwa kondisi miskinlah yang mengakibatkan perilaku tertentu pada setiap individu, yaitu munculnya sikap individu yang tidak produktif merupakan akibat dari adaptasi dengan keadaan miskin (Sherraden, 2006). Menurut Sherraden, teori perilaku individu berkaitan dengan struktur sosial dengan asumsi dasar bahwa sikap dan tingkah laku tertentu akan menentukan kedudukan seseorang dalam tatanan ekonomi dan sosial masyarakat. Khaldun (Lauer, 2003) juga menekankan pengaruh struktur sosial terhadap kepribadian individu. Perilaku individu adalah produk dari lingkungan sosialnya. Para sosiobiolog mengakui bahwa kebanyakan aktivitas manusia berasal dari bentun-bentuk kegiatan belajar tertentu dalam lingkungan sosial dan kultural tertentu. Meski demikian, mereka berpendapat bahwa perilaku manusia tidak seluruhnya merupakan hasil belajar, dan bahwa banyak aspeknya dimungkinkan dengan adanya pengendalian secara biologis (Sanderson, 2003: 53). Tiger dan Fox (Sanderson, 2003) menyatakan bahwa manusia dilengkapi dengan biogramer: serangkaian instruksi biologis dasar yang mempengaruhi mereka bertindak dengan cara tertentu. Dengan demikian, semakin mempertegas bahwa perilaku individu merupakan produk yang dihasilkan dari fungsi faktor internal dan eksternal.
Individu sebagai bagian atau anggota masyarakat menggunakan berbagai cara untuk beradaptasi dengan lingkungannya, dan bertindak menurut bentuk-bentuk perilaku sosial yang sudah terpolakan.
Konsep perilaku Hidup adalah bergerak. Sejak lahir sampai meninggal manusia berperilaku. Perilaku adalah sebuah gerakan yang dapat diamati dari luar, seperti seperti orang berjalan, naik sepeda, mengendarai motor atau mobil (Mar’at dan Kartono, 2005). Notoadmodjo (Yustina, 2004) mengemukakan bahwa perilaku adalah hal-hal yang dikerjakan oleh organisme, baik yang dapat diamati secara langsung ataupun yang dapat diamati secara tidak langsung. Menurut Skinner (Yustina, 2004), perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Skinner membedakan adanya dua respon: (1) respondent respones atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu disebut sebagai “elicting stimuli,” karena respons yang ditimbulkannya relatif tetap, dan (2) operant responses atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Notoatmodjo membedakan perilaku atas dua bentuk : (1) bentuk pasif, yang terjadi dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat dilihat oleh orang lain, seperti berpikir, pengetahuan, sikap; dan (2) bentuk aktif, apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Bentuk pertama disebut juga dengan covert behaviour, sedangkan yang kedua disebut overt behaviour. Bloom (Winkel, 1996) membagi perilaku dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor yang kemudian oleh para ahli pendidikan dikembangkan menjadi hal yang dapat diukur, yaitu pengetahuan, sikap dan praktek atau tindakan. Bloom mengklasifikasi
masing-masing ranah
ke dalam beberapa
tingkatan. Ranah kognitif terdiri atas enam tingkatan, yaitu: (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) penerapan, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) evaluasi. Ranah afektif terdiri atas lima tingkatan, yaitu: (1) penerimaan, (2) partisipasi, (3) penilaian, (organisasi), dan (5) pembentukan pola hidup. Ranah psikomotorik terdiri atas tujuh tingkatan, yaitu: (1) persepsi, (2) kesiapan, (3) gerakan
terbimbing, (4) gerakan terbiasa, (5) gerakan kompleks, (6) penyesuaian pola gerakan, dan (7) kreatifitas. Asngari (2001) mengatakan bahwa “untuk mengubah perilaku seseorang dapat dilakukan dengan mengubah
salah satu ranah itu atau ketiga-tiganya.
Perubahan masing-masing ranah akan saling mempengaruhi.” Menurut Susanto (Pambudy dan Adhi, 2002), seseorang akan termotivasi untuk berperilaku tertentu jika kebutuhan itu telah dirasakannya. Masalahnya, tidak semua kebutuhan yang dirasakan seseorang itu merupakan kebutuhan yang nyata, demikian juga sebaliknya, tidak semua kebutuhan yang nyata benar-benar telah dirasakan seseorang. Oleh karena itu penting bagi penyuluh untuk mengubah kebutuhan yang nyata menjadi kebutuhan yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Slamet (Agussabti, 2002) mengemukana bahwa orang tidak akan sadar terhadap kebutuhannya kalau dia belum mampu mengevaluasi kondisi dirinya sendiri. Oleh karena itu perlu suatu strategi pemberdayaan untuk menyadarkan orang agar mengevaluasi dirinya sendiri, sehingga dapat mengetahui kemampuan, kelemahan dan pada akhirnya mampu mengidentifikasi kebutuhannya sendiri. Menurut Sherraden (2006), ada sejumlah teori yang telah dielaborasi berkaitan dengan kemiskinan dan kelas sosial. Teori-teori tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu teori yang memfokuskan pada tingkahlaku individu dan teori yang mengarah pada struktur sosial. Teori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Papilaya (2006) bahwa akar penyebab kemiskinan yang utama adalah kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin, seperti; hedonis, ketergantungan, suka berhutang, apatis, dan fatalis. Di sisi lain, teori struktur sosial melihat bahwa kondisi miskinlah yang mengakibatkan perilaku tertentu pada setiap individu, yaitu munculnya sikap individu yang tidak produktif merupakan akibat dari adaptasi dengan keadaan miskin (Sherraden, 2006). Mencermati dua sudut pandang tersebut, maka miskin atau kayanya seseorang sangat ditentukan oleh perilakunya dalam bekerja dan berusaha.Dalam
ajaran agama, masalah bekerja dan berusaha tersebut juga sangat ditekankan. Pandangan hidup yang diajarkan dalam Iman Katolik dan Kristen Protestan bahwa bekerja merupakan suatu kewajiban agama. Karena itu, kondisi “ tidak bekerja” dapat diidentikkan dengan melakukan perbuatan dosa dan tidak bermoral, Tilgh (Bahrin, 1996). Dalam Alqur’an juga menekankan kewajiban bagi setiap individu yang mampu untuk bekerja dan berusaha. Alqur’an menganjurkan beberapa cara dalam mengentaskan kemiskinan (Shihab, 1996) yaitu: kewajiban setiap individu, kewajiban orang lain/masyarakat dan kewajiban pemerintah. Kewajiban bagi setiap individu tercermin dalam kewajiban bekerja dan berusaha. Bekerja dan berusaha merupakan dasar utama yang menentukan kecukupan atau kekurangan, miskin atau kaya yang bisa dicapai seseorang. Oleh karena itu, jalan pertama dan utama yang diajarkan Al-Qur’an untuk pengentasan kemiskinan adalah bekerja dan berusaha yang diwajibkan bagi setiap individu yang mampu. Bekerja dan berusaha saja belumlah cukup bagi setiap individu, keluarga atau rumahtangga untuk menjamin tingkat kesejahteraan hidup yang layak dan bermartabat. Karena dalam realitas dapat kita jumpai, ada orang(rumahtangga) yang mempunyai tingkat pendapatan lebih tinggi namun tingkat kesejahteraannya tidak lebih baik bahkan lebih buruk dari tetangganya yang tingkat pendapatannya sedikit lebih rendah. Dalam kaitan ini, maka perilaku dalam mengelola dan memanfaatkan hasil usaha (pendapatan) dalam memenuhi beragam kebutuhan rumahtangga (konsumsi) juga sangat menentukan. Perilaku boros, konsumtif dan hedonis dapat menggiring seseorang atau rumahtangga pada gerbang kemiskinan. Teori mengenai budaya miskin yang dikemukakan oleh Lewis dan Banfield, mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang
dan tidak adanya penundaan atas kepuasan,
mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya (Sherraden, 2006). Di samping perilaku dalam berproduksi (bekerja dan berusaha) dan perilaku konsumsi tersebut, setiap manusia sebagai mahluk sosial tidak bisa lepas dari hubungannya dengan manusia lain, baik secara horizontal maupun secara vertikal
dalam struktur sosialnya. Perilaku dalam hubungan sosial
ini juga akan
mempengaruhi kemampuan dalam mengakses jaringan-jaringan sosial bagi upaya peningkatan kesejahteraan hidupnya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Secara umum perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Heriditas (keturunan) merupakan konsepsi dasar atau modal bagi perkembangan perilaku, sedangkan lingkungan merupakan kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Mekanisme pertemuan antara kedua faktor tersebut dalam rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar. Green (Robbins, 2001) mengatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor pokok: (1) faktor predisposisi (predisposing factors), yakni faktor pencetus timbulnya perilaku, seperti: pikiran dan motivasi untuk berperilaku yang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu untuk berperilaku; (2) faktor-faktor yang mendukung (enabling factors) yakni faktor yang mendukung timbulnya perilaku sehingga motivasi
atau pikiran menjadi kenyataan, termasuk di dalamnya adalah
lingkungan fisik dan sumber-sumber yang ada di masyarakat; dan (3) faktorfaktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors) yakni faktor yang merupakan sumber pembentukan perilaku yang berasal dari orang lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku, seperti keluarga, teman, guru atau petugas kesehatan. Robbins ( 2001) mengemukakan bahwa semua perilaku kita dipengaruhi oleh kepribadian dan pengalaman kita. Ada empat variable yang mendasari perilaku pada tingkat individual, yaitu karakteristik biografis, kemampuan, kepribadian dan pembelajaran. Karakteristik biografis menurut Robbins merupakan karakteristik pribadi, seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan, banyaknya tanggungan dan masa kerja. Kita semua tidak diciptakan secara sama. Perbedaan itu membawa konsekuensi perbedaan dalam hal kemampuan. Semua orang mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam hal kemampuan yang membuatnya relative unggul atau rendah dibandingkan orang lain dalam melakukan tugas atau kegiatan tertentu.
Kemampuan (ability) merujuk ke suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan (Robbins, 2001). Seluruh kemampuan seorang individu pada hakekatnya tersusun dari dua perangkat faktor: kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental. Tes IQ, misalnya dirancang untuk memastikan kemampuan intelektual umum seseorang. Tujuh dimensi yang paling sering dikutip yang membentuk kemampuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang dan ingatan (Robbins, 2001). Kemampuan Fisik. Berbeda dengan kemampuan intelektual yang memainkan peran lebih besar dalam pekerjaan-pekerjaan rumit yang menuntut persyaratan pemerosesan informasi, kemampuan fisik memiliki makna penting untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kurang menuntut keterampilan dan yang lebih terbakukan dengan sukses. Misalnya, pekerjaan yang keberhasilannya menuntut stamina, kecekatan tangan, kekuatan tungkai. Riset mengenai persyaratan-persyaratan yang diperlukan dalam ratusan pekerjaan telah mengidentifikasi sembilan kemampuan dasar yang dilibatkan dalam melakukan tugas-tugas jasmani. Kemampuan-kemampuan tersebut adalah sebagai berikut. Faktor-faktor kekuatan: (1) Kekuatan dinamis : Kemampuan untuk menggunakan otot secara berulangulang atau sinambung sepanjang suatu kurun waktu. (2) Kekuatan tubuh : Kemampuan mengenakan otot dengan menggunakan otototot tubuh (terutama perut). (3) Kekuatan statis : Kemampuan menggunakan kekuatan terhadap obyek luar (4) Kekuatan : Kemampuan menghabiskan suatu maksimum energi eksplosif dalam satu atau sederetan tindakan eksplosif. Faktor-faktor Keluwesan : (5) Keluwesan Extent : Kemampuan menggerakkan otot tubuh dan meregang punggung sejauh mungkin (6) Keluwesan Dinamis : Kemampuan melakukan gerakan cepat.
Faktor-faktor lain: (7) Koordinasi tubuh : Kemampuan mengkoordinasikan tindakan-tindakan serentak dari bagian-bagian tubuh yang berlainan (8) Keseimbangan : Kemampuan mempertahankan keseimbangan meskipun ada kekuatan-kekuatan yang mengganggu keseimnbangan itu. (9) Stamina : Kemampuan melanjutkan upaya maksimum yang menuntut upaya yang diperpanjang sepanjang suatu kurun waktu (Robbins, 2001). Kemampuan intelektual atau fisik khusus yang diperlukan untuk kinerja yang memadai pada suatu pekerjaan, bergantung pada persyaratan kemampuan yang diminta dari pekerjaan itu. Dalam realitas dapat dilihat ada pekerjaan yang lebih banyak mementingkan kemampuan intelektual dan ada pula pekerjaan yang cenderung lebih mengutamakan kerja fisik atau otot. Robbins (2001) merumuskan kepribadian sebagai total jumlah dari cara-cara di mana seseorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. Konsep ini paling sering digambarkan dalam bentuk sifat-sifat yang dapat diukur yang diperlihatkan oleh seseorang. Kepribadian seorang dewasa umumnya terbentuk dari faktor keturunan maupun lingkungan
yang diperlunak oleh situasi dan
kondisi. Keturunan merujuk ke faktor-faktor yang ditentukan pada saat pembuahan. Sosok fisik, daya tarik wajah, kelamin, temperamen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi dan ritme hayati merupakan karakteristik yang umumnya dipengaruhi faktor keturunan. Pendekatan keturunan berargumen bahwa penjelasan paling akhir dari kepribadian seorang individu adalah struktur molekul yang terletak dalam kromosom. Keturunan memainkan suatu bagian penting dalam menentukan kepribadian seseorang. Diantara faktor-faktor yang menekan pada pembentukan kepribadian kita adalah budaya di lingkungan mana kita dibesarkan, pengkondisian dini, normanorma dalam keluarga, teman-teman, dan kelompok-kelompok sosial serta pengaruh-pengaruh yang kita alami (Robbins, 2001). Keturunan menentukan parameter-parameter atau batas-batas luar, tetapi potensi penuh seseorang akan ditentukan oleh betapa baik ia menyesuaikan diri pada tuntutan dan persyaratan lingkungan.
Situasi mempengaruhi dampak keturunan dan lingkungan terhadap kepribadian. Kepribadian seseorang, walaupun pada umumnya mantap dan konsisten, namun dapat berubah dalam situasi yang berbeda. Tuntutan yang berbeda dari situasi yang berlainan memunculkan aspek-aspek yang berlainan dari kepribadian seseorang. Oleh karena itu kepribadian tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Karakteristik kepribadian yang populer antara lain seperti sifat malu, agresif, mengalah, malas, ambisius, setia, malu-malu. Karakteristik ini bila diperlihatkan dalam sejumlah besar situasi disebut ciri-ciri kepribadian. Makin konsisten karakteristik tersebut dan makin sering terjadi dalam siatuasi yang beragam, makin penting ciri itu dalam menggambarkan individu tersebut. Penelitian mengenai ciri-ciri
keperibadian individu telah berhasil meng-
identifikasi 17.953 ciri individu. Seorang peneliti mencoba mengelompokkan seperangkat ciri untuk mengidentifikasi pola-pola yang mendasar dan berhasil mengidentifikasi 16 faktor kepribadian yang dinamakan sumber atau ciri primer seperti tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Ciri-ciri utama kepribadian seseorang Ciri-ciri utama atau primer kepribadian seseorang (1) Pendiam (2) Kurang cerdas (3) Dipengaruhi perasaan (4) Mengalah (5) Serius (6) Mudah bersedia (7) Malu-malu (8) Keras hati (9) Mempercayai (10) Praktis (11) Terus terang (12) Percaya diri (13) Konservatif (14) Bergantung-kelompok (15) Tak terkendali (16) Santai
lawan lawan lawan lawan lawan lawan lawan lawan lawan lawan lawan lawan lawan lawan lawan lawan
Ramah Lebih cerdas Mantap secara emosional Dominan Suka bersenang-senang Berhati-hati Petualang Peka Mencurigai Imajinatif Lihai/licin Takut-takut Suka bereksperimen Berdiri sendiri Terkendali Tegang
Salah satu kerangka kepribadian yang paling luas digunakan disebut Indikator Tipe Myers-Briggs (MBTI- Myers-Briggs Type Indicators). MBTI merupakan suatu tes kepribadian yang menyadap empat karakteristik dan menge-
lompokkan orang-orang ke dalam salah satu dari 16 tipe (Robbins, 2001: 53). Banyak hasil riset yang mendukung bahwa lima dimensi kepribadian dasar (Model 5 Besar MBTI) tersebut mendasari semua dimensi lain. Faktor lima besar tersebut adalah: Ekstraversi. Suatu dimensi kepribadian yang menggambarkan seseorang yang senang bergaul, banyak bicara dan tegas. Kaum ekstravert (ekstraversinya tinggi) cenderung rama dan terbuka serta menghabiskan banyak waktunya untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah besar hubungan. Kaum introvert cenderung tidak sepenuhnya terbuka dan memiliki hubungan yang lebih sedikit dan lebih senang dengan kesendirian. Mampu bersepakat. Suatu dimensi kepribadian yang menggambarkan seseorang yang baik hati, kooperatif dan mempercayai. Orang yang menilai rendah kemampuan untuk bersepakat memusatkan perhatian lebih pada kebutuhan mereka sendiri ketimbang pada kebutuhan orang lain. Mendengarkan kata hati. Suatu dimensi kepribadian yang mengambarkan seseorang yang bertanggung jawab, dapat diandalkan, tekun dan berorientasi prestasi. Orang yang tinggi dalam mendengarkan kata hati mengejar lebih sedikit tujuan, dalam suatu cara yang sangat terarah dan cenderung bertanggung jawab, kuat bertahan, tergantung dan berorientasi pada prestasi. Mereka yang skornya rendah pada dimensi ini cenderung menjadi lebih muda kacau pikirannya, mengejar banyak tujuan dan lebih hedonistic. Kemantapan emosional. Suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang tenang, bergairah, terjamin (positif) lawan tegang, gelisah, murung dan tak kokoh (negatif). Orang dengan kemantapan emosional positif cenderung berciri tenang, bergairah dan aman. Mereka dengan skor negative yang tinggi cenderung gelisah, tertekan dan tidak aman. Keterbukaan terhadap pengalaman. Suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang imajinatif, benar-benar sensitive dan intelektual. Dimensi ini mengamanatkan rentang minat seseorang. Mereka yang berada pada sisi lain dari kategori terbukaan nampak lebih konvensional dan menemukan kesenangan dalam keakraban (Robbins, 2001).
Terakhir, faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan prilaku adalah pembelajaran. Belajar merupakan hal/peristiwa yang sangat penting bagi manusia. Belajar hendaknya tidak dilihat hanya sebatas memperoleh pengetahuan di bangku sekolah. Tetapi belajar seyogianya dilihat secara luas dan digambarkan untuk mengatur pengalaman dengan cara tertentu sehingga seseorang dalam meperoleh sesuatu mempunyai sesuatu untuk masa depan. Hampir semua perilaku kita yang rumit merupakan hasil dari proses belajar. Pembelajaran adalah setiap perubahan yang relatife permanen yang terjadi sebagai hasil pengalaman (Robbins, 2001). Belajar adalah menggunakan pengalaman-pengalaman untuk digunakan di masa depan (Mar’at dan Kartono, 2005: 17). Belajar merupakan keharusan bagi setiap orang untuk dapat hidup lebih baik.
Karakteristik Rumahtangga Petani Lewin (Azwar, 2001) mengemukakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel, seperti: motif, nilai, sifat kepribadian dan sikap, yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan seringkali memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar dari pada karakteristik individu. Karakteristik individu adalah bagian dari ciri pribadi dan melekat pada diri seseorang. Karakteristik tersebut mendasari tingkahlaku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi yang lainnya (Rogers dan Shoemaker, 1981). Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa karakteristik individu adalah sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, seperti; umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial, dan agama. Dalam kaitannya dengan proses difusi inovasi, Slamet (1992) mengemukakan bahwa umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan dan sikap merupakan faktor individu yamg mempengaruhi proses difusi inovasi. Lionberger (1960) mengemukakan bahwa karakteristik individu atau personal faktor yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan ling-
kungan adalah: umur, pendidikan dan karakteristik psikologis. Karakteristik psikologis ialah rasionalitas, fleksibilitas mental, orientasi pada usahatani sebagai bisnis dan kemudahan menerima inovasi. Dengan demikian secara konseptual karakteristik individu adalah keseluruhan ciri-ciri yang melekat pada seseorang yang dapat berbeda dengan yang lainnya. Berpijak dari konsep tersebut, maka karakteristik petani adalah ciri-ciri yang melekat pada individu petani yang dapat membedakannya dengan petani lainnya.. Masing-masing individu petani memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang berbeda antara satu sama lain. Agussabti (2002) mengidentifikasi tujuh karakteristik petani yang dianggap mempunyai pengaruh dalam upaya pemberdayaan petani untuk menumbuhkan kemandirian dalam pengambilan keputusan , yaitu: (1) umur, (2) pengalaman berusahatani, (3) motivasi berprestasi, (4) aspirasi, (5) persepsi, (6) keberanian mengambil resiko, dan (7) kreativitas. Menurut Subandrijo ( 1999), perilaku petani dipengaruhi oleh nilai-nilai dasar yang ditentukan oleh faktor alam yang mewujudkan nilai-nilai moralitas yang dianut atau terbentuk di dalam masyarakat tersebut. Ini memberi pengertian bahwa dalam kehidupan keluarga petani terjadi seleksi tentang hal-hal yang baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, boleh atau tidak boleh, susila atau asusila dan lain sebagainya. Ditambahkan
oleh Wirutomo (2005) bahwa kebudayaan
merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia dari luar dan dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah nilai-nilai yang merupakan suatu konsepsi tentang hal-hal yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika), indah atau jelek (nilai estetika). Dari sistem nilai itu kemudian tumbuh norma
yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang
mengatur perilaku manusia di dalam bermasyarakat. Oleh karena itu orientasi nilai-nilai sosial budaya sangat mempengaruhi perilaku manusia dalam hidupnya termasuk dalam berusaha dan bekerja. Konsep individu bukan mengacu pada substansinya tetapi lebih pada sisi hubungannya (kontekstual). Individu tidak ditandai oleh ciri-ciri universal, tetapi ditandai oleh kekhususan hubungan dengan lingkungannya, oleh caranya berhubungan dengan alam dan manusia lain di mana ia hidup. Ciri-ciri individu
berasal dari jaringan hubungannya dengan alam dan masyarakat di mana ia menjadi anggotanya. Bahwa manusia berhubungan dengan lingkungannya bersifat universal, tetapi dalam bentuk konkret cara berhubungan itu berbeda-beda dan menghasilkan sejarah dan kultur yang berbeda pula (Sztompka, 2004). Lewin (Utami, 2006) membuat persamaan dasar perilaku manusia; B = f [ P, S], merumuskan bahwa perilaku (B) adalah fungsi dari faktor-faktor atau karakteristik yang bersifat individual (P) dengan situasi dan kondisi lingkungan tepat individu itu berada (S). Karakteristik tersebut terutama dapat diidentifikasi dari karakteristik, sosial, budaya maupun ekonomi, baik internal maupun eksternal, seperti: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, motivasi berprestasi, orientasi nilai budaya, harapan atau aspirasi, luas pemilikan dan penguasaan lahan, pendapatan rumahtangga, jumlah dan komposisi anggota rumahtangga, akses informasi, akses pasar, akses terhadap kelompok atau organisasi, akses sumber modal, ketersediaan sarana layanan publik lokal, sperti sekolah, dan puskesmas, kepedulian pemimpin formal dan informal lokal dan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan paparan di atas, dapat diidentifikasi beberapa karakteristik yang diduga berhubungan dengan perilaku dan pemenuhan kebutuhan dasar rumahtangga petani miskin, yaitu:; umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, motivasi berprestasi, orientasi nilai budaya, harapan atau aspirasi, luas pemilikan dan penguasaan lahan, pendapatan, jumlah dan komposisi anggota rumahtangga, akses terhadap sumber informasi, akses pasar, akses terhadap sumber modal, akses terhadap kelompok atau organisasi, ketersediaan sarana layanan publik lokal, seperti sekolah, puskesmas, sarana layanan listrik dan kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Umur Umur mempengaruhi
kemampuan seorang individu dalam melakukan
aktivitas atau usaha. Karena usia umumnya berkaitan dengan tingkat kematangan fisik maupun mental seseorang. Hawkins, et.al (1986:7) mengemu-kakan bahwa usia, jenis kelamin dan pendidikan seseorang akan mempengaruhi perilakunya.
Anak yang baru berusia 10 tahun tentu belum mempunyai tingkat kematangan fisik dan mental dibandingkan seseorang yang sudah berusia 20 tahun. Sebaliknya seseorang yang sudah berusia 80 tahun juga sudah tidak mempunyai kekuatan fisik yang prima dibandingkan dengan yang berusia 40 tahun. Karena setelah batas usia tertentu kemampuan kerja otot dan fungsi-fungsi indera lainnya sudah mulai menurun. Schaie (Salkind, 1989: 32) dari hasil penelitian ditemukan bahwa perbedaan umur menunjukkan perbedaan kematangan; perbedaan-perbedaan ini juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan interaksinya dengan individu sebagai diri yang bersangkutan. Berdasarkan taraf perkembangan individu dikenal adanya pengelompokan usia balita, usia remaja dan usia dewasa. Secara ekonomis juga dikenal adanya pengelompokan usia produktif dan usia ketergantungan. Usia produktif berkisar antara 15 sampai dengan 60 tahun. Pada kisaran usia ini seseorang dianggap mempunyai kesiapan
secara fisik dan mental untuk bekerja dan
memikul
tanggung jawab.
Pendidikan Formal Dalam Dictionary of Education disebutkan bahwa pendidikan adalah: (1) proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan membentuk tingkahlaku lainnya di dalam masyarakat dimana ia hidup; dan (2) proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih (khususnya yang datang dari sekolah),
dan terkontrol
sehingga dapat memperoleh
atau
mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.
Dalam Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Idris (1982) memberi batasan tentang pendidikan sebagai usaha yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah tingkah laku manusia ke arah yang diinginkan. Konsep pendidikan yang dikemukakan di atas
berlaku baik untuk
pendidikan formal maupun untuk pendidikan non formal. Pendidikan formal, menurut Combs dan Ahmad (1985), yaitu pendidikan di sekolah yang teratur,
sistematis, mempunyai jenjang dan dibagi dalam waktu-waktu tertentu berlangsung dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Dengan demikian pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan secara formal di sekolah yang pelaksanaannya diatur sedemikian rupa secara sistematis berdasarkan aturan dan kurikulum yang baku serta mempunyai tujuan sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya sejak dari taman kanakkanak sampai perguruan tinggi. Namun pada intinya dimaksudkan
untuk
menyiapkan peserta didik bagi tugas perkembangan di masa datang, baik sebagai individu, mahluk sosial, sebagai warga negara maupun dalam kaitannya dengan tugas atau profesi tertentu yang diembannya melalui pengembangan kemampuan (pengetahuan, sikap dan keterampilan).
Pendidikan Non Formal Pendidikan non formal adalah pendidikan yang di selenggarakan di luar sistem pendidikan sekolah. Menurut Combs dan Ahmad (1985), pendidikan non formal yaitu semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib, terarah dan berencana di luar persekolahan. Bentuk pendidikan non formal tersebut, meliputi: pelatihan, kursus, penataran, magang dan penyuluhan. Penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki/meningkatkan kesejahteraan sendiri dan masyarakatnya (Slamet, 2003: 18). Tujuan utama penyuluhan pertanian adalah mempengaruhi para petani dan keluarganya agar berubah perilakunya yang berakibat pada perbaikan mutu hidupnya. Perubahan perilaku melalui pendidikan (penyuluhan) dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu: (1) bertambahnya perbendaharaan informasi yang berguna bagi petani dan pengertian tentang itu, (2) tumbuhnya keterampilan, kemampuan dan kebiasaan baru, yang bertambah baik, dan (3) tumbuhnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki (Slamet, 2003: 20).
Pendidikan non formal memegang peranan yang sangat penting dalam membekali dan meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat memperbaiki atau meningkatkan mutu hidupnya sejalan dengan perubahan lingkungan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat yang mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia. Selain itu juga mengingat keterbatasan-keterbatasan pada penyelenggaraan pendidikan formal, baik yang berkaitan dengan peserta didik, waktu maupun substansinya.
Orientasi Nilai Budaya Iver
(Wirutomo, 2005) menyatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu
yang diciptakan oleh masyarakat (socially constructed) tetapi pada gilirannya merupakan suatu kekuatan yang mengatur bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan “pola tertentu.” Kebudayaan bahkan bukan hanya merupakan kekuatan dari luar diri manusia tetapi bisa tertanam dalam kepribadian individu (internalized). Dengan demikian kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia dari luar dan dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah nilai-nilai (values) yang merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika), serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari system nilai inilah kemudian tumbuh norma yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia di dalam bermasyarakat. Leavit (Wirutomo, 2005) mengemukakan bahwa nilai adalah keyakinan yang meresap di dalam prakarsa individual. Nilai-nilai berkembang atau berubah lebih lambat ketimbang sikap. Perubahan sikap tidak selalu tercermin dalam perilaku yang berubah. Sebagai contoh, kita mungkin mengubah atau telah mengubah sikap kita terhadap rokok, tetapi kita masih merokok juga. Kita cenderung menyesuaikan perilaku kita searah dengan sikap. Maka salah satu cara untuk mengubah perilaku ialah dengan cara mengubah sikap. Perlu diingat bahwa perubahan sikap atau nilai berkaitan dengan perubahan emosional. Manusia tidak hanya mengembangkan gaya berpikir dan pola kebutuhankebutuhan, tetapi juga mengembangkan pola sikap dan nilai-nilai. Aliran Cultural Determinism memandang bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaannya. Harrison (Wirutomo, 2005) dalam bukunya “Culture Matters” menggambarkan tentang bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia. Huntington memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tigapuluh tahun kemudian Korea Selatan telah menjadi negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan dan saat ini GNP perkapitanya hanya seperlima belas Korea Selatan. Hal ini menurut Huntington terutama disebabkan Korea Selatan memiliki nilai-nilai budaya ter-tentu seperti: hemat, kerja keras, disiplin dsb. Semua itu tidak dimiliki masyarakat Ghana. Perbandingan yang serupa juga bisa dilakukan antara Indonesia dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut merdeka pada tahun yang sama, keduanya samasama pernah dijajah oleh Jepang. Sekarang ekonomi dan kebudayaan Indonesia jauh tertinggal dari Korea Selatan. Begitu juga dengan Malaysia yang sama-sama berkebangsaaan Melayu dan merdeka jauh setelah Indonesia, sekarang juga sudah lebih maju dari bangsa kita. Pengembangan nilai-nilai budaya
dalam rangka meningkatkan kualitas
SDM sangat penting. Korea Selatan melalui program Samuel Undong (Pembangunan Komunitas Baru) yaitu membentuk kualitas SDM Korea Selatan dengan cara: (1) Diligence: sikap rajin bekerja, dapat menghargai penunaian kerja yang paling sederhana tetapi dengan sempurna; (2) Thrifty: sikap hemat, yang timbul sebagai konsekuensi sikap diligence; (3) Self-help: sikap mandiri; dan (4) Cooperation: cara untuk mencapai tujuan
secara efektif dan rasional serta
mempersatukan individu dan masyarakat. Hagen (Wahyu, 2005) mengemukakan bahwa SDM yang paling memegang peranan sentral dalam menentukan keberhasilan pembangunan yaitu: (1) intelegensi dan energi, (2) orientasi nilai, (3) kognisi, dan (4) kebutuhan. Selan-jutnya Hegen menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan menuntut sumberdaya manusia yang mempunyai kualitas: (1) kebutuhan untuk selalu berprestasi, (2) kebutuhan untuk mandiri, (3) kebutuhan uintuk hidup dalam kehidupan yang serba teratur, dan (4) kebutuhan untuk selau memahami peristiwa yang terjadi. Di Jepang penanaman nilai budaya diinspirasikan dengan semangat ikan Bushido. Ikan Bushido, bila akan bertelur naik ke hulu. Ia harus melalui jeram-
jeram yang kuat arusnya tetapi mereka akan mencoba tanpa lelah sampai berhasil. Orang Jepang mengatakan keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya, kemudian keluar dari mulut buaya masuk ke mulut badak, dan keluar dari mulut badak masuk ke mulut ulur, sehingga akhirnya ia dapat mengumpulkan kulit harimau, kulit buaya, kulit badak dan kulit ular. Hal ini menggambarkan penanaman nilai-nilai kerja keras, ulet, pantang menyerah untuk mencapai prestasi. Pertanyaannya, apakah bangsa atau masyarakat kita tidak mempunyai nilainilai luhur yang dapat mendorong kearah kemajuan seperti halnya yang terjadi pada Bangsa Korea dan Jepang di atas? Menurut Wirutomo (2005), sebenarnya kita memiliki niliai-nilai luhur itu, seperti nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila. Semua itu hanya merupakan “nilai ideal” sementara dalam kehidupan kita sehari-hari dikendalikan dan diarahkan oleh seperangkat nilainilai lain, seperti materialisme, hedonisme, egoisme dan sebagainya. Hal itu bisa menjadi benturan yang dapat merintangi kemajuan, baik pada tingkat mikro (individu) maupun pada tingkat makro (bangsa atau negara). Di dalam ajaran Islam
dapat ditelusuri baik dari ayat maupun hadis.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Tasmara, 2002) Nabi Muhammad saw. Bersabda: seandainya seseorang mencari kayu bakar dan dipikulkan di atas punggungnya, hal itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada seorang yang kadang-kadang diberi, kadang pula tidak. Pada kesempatan lain Nabi Muhammad juga pernah bersabda: bila seorang muslim menaburkan benih atau menanam tanaman lalu ada burung atau manusia atau binatang yang memakan sebagian darinya niscaya hal itu akan dinilai sebagai sedekah baginya. Selanjutnya beliau juga pernah bersabda ; Janganlah sekali-kali di antara kalian ada yang duduk-duduk enggan mencari karuniah Allah, sambil berdoa, Ya Allah, limpahkanlah karunia kepadaku, padahal ia telah mengetahui bahwa langit tidak pernah menurunkan hujan emas dan perak. Dalam ajaran Kristen juga dikenal etika protestan yang mewajibkan bagi setiap pemeluknya untuk bekerja keras. Menurut Pranadji (2005), kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh sejumlah nilai yang hidup dalam kehidupan sehari-hari bangsa tersebut. Setidaknya ada 12 nilai-nilai dasar yang mencerminkan kemajuan dan keterbelakangan suatu individu, komunitas kecil dan bangsa, seperti tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai-nilai dasar kemajuan dan terbelakang (Pranadji, 2005) Nilai-nilai Dasar Kemajuan
Nilai-nilai Dasar Terbelakang
Rasa malu dan harga diri
Rai gedheg dan rendah diri
Kerja keras
Kerja lembek
Rajin dan disiplin
Malas dan seenaknya
Hidup hemat dan produktif
Boros dan konsumtif
Gandrung inovasi
Resisten inovasi
Menghargai prestasi
Askriptif/primordial
Sistematik dan terorganisir
Acak dan difuse
Empati tinggi
Antipati tinggi
Rasional/impersonal
Emosional/personal
Sabar dan syukur
Pemarah dan penuntut
Amanah
Tidak bisa dipercaya
Visi jangka panjang
Visi jangka pendek
Internalisasi nilai-nilai sosial budaya seperti yang digambarkan pada tabel di atas, dalam masyarakat akan membentuk suatu sistem nilai budaya. Internalisasi nilai-nilai tersebut akan mempengaruhi perilaku individu. Untuk menganalisis suatu sistem nilai budaya
dalam masyarakat, Kluckhohn
mengembangkan suatu kerangka analisis
yang dikenal dengan kerangka
Kluckhohn. Menurutnya semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia, sebenarnya mengenai lima masalah pokok dalam kehidupan
manusia.
Kelima masalah dasar dalam hidup manusia itu meliputi masalah: hakekat hidup, hakekat karya, persepsi tentang waktu, pandangan terhadap alam dan hakekat hubungan antar sesama manusia. Seseorang yang memandang hakekat hidup itu buruk cenderung bersikap pesimis dan mudah putus asa. Sebaliknya, orang yang memandang hakekat hidup itu baik cenderung bersikap optimis dan selalu mempunyai harapan. Untuk itu perlu dibangun sikap optimis dikalangan warga miskin bahwa kalau mereka mau bekerja keras dan berusaha dengan sungguh-sungguh maka mereka bisa bangkit
dan terlepas dari kemiskinan yang dihadapinya. Karena kunci utama keberhasilan upaya pengentasan kemiskinan ada pada warga miskin itu sendiri. Hakekat bekerja atau berkarya hendaknya tidak hanya dipandang sematamata sebagai usaha untuk memenuhi nafkah hidup, tetapi juga dapat dilihat sebagai wadah untuk mengaktualisasikan diri, mencapai suatu kepuasan dan kedudukan. Lebih jauh bahwa berkarya dapat dipandang sebagai usaha untuk menambah karya. Untuk itu, setiap manusia hendaknya selalu berusaha berkarya dan berkarya sampai akhir hidupnya. Ungkapan waktu adalah uang tidak terlalu berlebihan, jika setiap jam atau bahkan menit dapat dimanfaatkan dengan baik bagi hal-hal yang bermanfaat. Waktu yang sudah berlalu tidak dapat diulang lagi. Setiap orang dapat mempunyai persepsi yang berbeda tentang waktu. Ada yang cenderung berorientasi ke masa kini, ada yang lebih berorientasi ke masa depan dan ada pula yang banyak bereforia ke masa lalu. Masa lalu dan masa kini hendaknya dijadikan dasar atau landasan
untuk merencanakan masa depan. Apa yang kita lakukan hari ini
hendaknya harus lebih baik dari hari kemarin atau hari yang sudah kita lalui dan besok atau hari yang akan datang harus lebih baik dari hari ini. Dengan demikian kerja dan usaha yang kita lakukan bukan saja ditujukan untuk kebutuhan jangka pendek atau sesaat, tetapi juga ditujukan untuk jangka panjang. Apa yang sudah dilalui hendaknya dijadikan sebagai suatu proses belajar untuk menuju kepada perilaku dan kehidupan yang lebih baik. Manusia sebagai halifah di muka bumi ini, dijadikan oleh Allah sebagai mahluk yang paling sempurna dibandingkan dengan mahluk lainnya. Manusia diberikan oleh Allah akal pikiran. Dengan kemampuan tersebut manusia dapat merekayasa dan berkarya. Dengan kemampuan akal pikirannya manusia dapat menundukkan atau menguasai alam. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia dapat melakukan hujan buatan, sehingga usaha pertanian tidak lagi tergantung hanya pada musim hujan, melainkan dapat dilakukan sepanjang tahun. Hal ini menjadi bukti bahwa manusia hendaknya tidak tunduk begitu saja kepada alam melainkan harus berusaha secara optimal untuk menguasai alam secara ramah dan bertanggungjawab, sehingga terjamin keberlanjutan dan kelestariannya.
Masalah dasar yang kelima menurut kerangka Kluckhohn adalah hakekat hubungan antar sesama manusia. Manusia sebagai mahluk sosial pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan dan berinteraksi dengan manusia lain. Kesadaran tentang hakekat manusia sebagai mahluk sosial tersebut hendaknya terpateri pada setiap orang, sehingga ada saling membutuhkan antara satu sama lain. Orang miskin membutuhkan orang kaya yang dapat memberikan pekerjaan atau membeli hasil-hasil pertanian yang dilakukannya. Sebaliknya orang kaya tidak mungkin menanam sendiri semua keperluan rumahtangganya, seperti beras, buah-buahan dan sayuran serta mengerjakan sendiri semua pekerjaan yang ada dibawah tanggungjawabnya, melainkan ia harus mempekerjakan orang lain. Manusia
adalah mahluk yang mampu merencanakan dirinya di masa
depan. Bugenthal (Tasmara, 2002) menyebutnya mahluk intensional, memiliki tujuan serta nilai-nilai yang merupakan prinsip serta memiliki makna. Memiliki kemampuan untuk memilih atau menentukan posisi dirinya saat ini dan dimasa yang akan datang. Makna hakekat hidup bagi seseorang menyangkut bagaimana ia memandang tujuan dari hidupnya serta baik buruk hidup yang dialaminya. Masih ada anggapan yang berkembang dalam masyarakat terutama kalangan penduduk miskin yang memandang bahwa kemiskinan itu merupakan takdir. Kaya atau miskin kehidupan seseorang memang sudah merupakan sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah. Pemahaman yang kurang tepat mengenai hakekat taqdir dapat menyebabkan timbulnya sikap pasrah dan mengabaikan ikhtiar atau usaha, sehingga memunculkan mentalitas yang kontra produktif. . Mentalitas petani tidak bisa berspekulasi tentang hakekat dari hidup, dari karya dan hasil karya manusia, dan bila mereka ditanya mengenai hal-hal itu mereka akan mengajukan jawaban yang amat logis ialah bahwa manusia bekerja keras untuk dapat makan (Koentjaraningrat, 1993). Artinya bagi sebagian orang berkarya atau bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, namun bagi sebagian yang lain mungkin sebagai bentuk perwujudan pengabdian kepada Allah. Terkait dengan masalah waktu, menurut Koentjaraningrat (1993) mentalitas petani mempunyai persepsi waktu yang terbatas. Irama waktu ditentukan
oleh cara-cara adat untuk memperhitungkan tahap-tahap aktivitas pertanian dalam lingkaran waktu. Sebagian besar dari keputusan-keputusan penting dan arah orientasi hidup petani ditentukan oleh keadaan masa kini. Sebaliknya, mentalitas priyayi Jawa mempunyai persepsi waktu yang banyak ditentukan oleh masa lampau. Akibatnya melemahkan motivasi untuk menabung dan hidup hemat. Masih kuatnya sifat subsistensi merupakan wujud sifat yang belum beorientasi ke masa depan. Konsep mengenai pengaruh nasib yang amat kuat dalam mentalitas petani di Indonesia pada umumnya, bersumber kepada suatu nilai budaya yang tidak aktif terhadap alam sekelilingnya. Namun petani Indonesia biasanya tidak merasa tunduk terhadap alam; sebaliknya mereka juga tidak merasa mampu untuk menguasainya. Konsep bahwa orang itu harus hidup selaras dengan alam adalah suatu konsepsi yang lazim dalam mentalitas petani di Indonesia pada umumnya (Koentjaraningrat, 1993). Mentalitas petani Indonesia (tidak hanya di Jawa) menilai tinggi konsep sama rata-sama-rasa. Dalam kaitan ini ada suatu konsep penting bahwa di dunia , manusia itu pada hakekatnya tidak berdiri sendiri, bahwa ia selalu bisa mendapat bantuan dari sesamanya, terutama dari kaum kerabatnya dalam masa kesusahan. Konsep ini memberi suatu landasan yang kokoh bagi rasa keamanan hidup kepadanya. Sebaliknya, konsep sama-rata-sama-rasa juga memberi beberapa kewajiban kepadanya, yaitu kewajiban untuk terus-menerus berusaha memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terus-menerus memperhatikan keperluankeperluan sesamanya dan sedapat mungkin selalu membagi rata keuntungankeuntungan dengan sesamanya. Suatu konsep gotong-royong seperti itu tentu amat bernilai, hanya saja segi negatifnya adalah memunculkan sikap konformisme yang besar yakni orang sebaiknya menjaga agar jangan dengan sengaja berusaha untuk menonjol di atas yang lain. Dengan demikian orientasi nilai-nilai sosial budaya sangat berperan terhadap perilaku petani, baik dalam memandang hidup dan menentukan tujuan hidup yang akan dituju dan diperjuangkannya, pemanfaatan waktu, dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan dalam berhubungan dengan sesamanya.
Harapan atau Aspirasi Harapan atau aspirasi adalah gambaran tentang keadaan atau sesuatu yang diharapkan atau diinginkan oleh seseorang atau sekelompok orang pada masa yang akan datang. Harapan tersebut bagi yang bersangkutan dapat merupakan tujuan atau target yang akan dicapai. Kuat atau lemahnya usaha yang dilakukan untuk mencapai harapan atau aspirasi bagi seseorang tergantung dari kuat atau lemahnya harapan atau aspirasi itu dirasakan oleh yang bersangkutan sebagai suatu kebutuhan atau keharusan. Semakin dirasakan sebagai kebutuhan
atau semakin dekat harapan tersebut
dengan kebutuhan yang dirasakan maka akan semakin mendorong
orang
tersebut untuk mencapainya. Dengan adanya harapan memungkinkan seseorang untuk bangkit dan berusaha mencapainya serta tidak gampang menyerah begitu saja dengan kondisi yang dialaminya, sehingga tidak bersifat fatalisme serta mau berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai harapan yang dia inginkan. Harapan atau aspirasi juga bisah memacu seseorang untuk berhemat, ulet dan sungguh-sungguh dalam berusaha. Dengan cara demikian memungkinkan seseorang mencapai hasil atau tingkat kehidupan yang lebih baik. Tidak tercapainya sesuatu yang diharpkan dapat menimbulkan rasa frustrasi. Burns (1993: 11) menyebutkan bahwa kegagalan dapat menimbulkan perasaan terhina dan keberhasilan akan menimbulkan rasa harga diri. Burns merumuskan bahwa : Rasa harga diri = Keberhasilan Pretensi Dengan demikian rendahnya tingkat harapan dapat dilihat sebagai suatu upaya untuk menghindari kegagalan dan perasaan terhina yang dapat menyebabkan frustrasi dan munculnya sifat fatalis.
Motivasi Berprestasi McClelland dianggap sebagai salah satu tokoh penting
dalam teori
modernisasi. Jika teori modernisasi Rostow lebih merupakan teori ekonomi, teori modernisasi Clelland berangkat dari perspektif psikologi sosial. Dalam bukunya
The Achievement Motive in Economic Growth”, Mc Clelland (1987) memberikan dasar-dasar tentang psikologi dan sikap manusia , kaitannya dengan bagaimana perubahan sosial terjadi. Umumnya pertumbuhan ekonomi selalu dijelaskan lebih karena faktor eksternal, tetapi bagi McCelland lebih merupakan faktor “internal” yakni pada nilai-nilai dan motivasi yang mendorong untuk mengeksploitasi peluang, untuk meraih kesempatan, pendeknya dorongan internal untuk membentuk dan merubah nasib sendiri.
Dorongan
dan perilaku tersebut dinamakan the need for
achievement (N’Ach) yakni nafsu untuk bekerja secara baik, bekerja tidak demi pengakuan sosial atau gengsi, tetapi dorongan bekerja demi memuaskan batin dari dalam. Bagi mereka yang mempunyai dorongan N’ach tinggi akan bekerja keras (Fakih, 2003). Teori motivasi berprestasi (achievement motivation) yang dikemukakan oleh Clelland pada intinya melihat adanya suatu kebutuhan bagi seseorang untuk berhasil yang merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan atau prestasi seseorang. N’ach, dimaksud sebagai derajat keberhasilan yang diukur melalui “n” atau “need,” sedangkan “Ach” mengacu kepada achievement yang berarti keberhasilan atau prestasi. Derajat motivasi tiap orang terhadap suatu hal berbeda-beda tergantung dari kebutuhan atau tujuan yang ingin dicapai terhadap sesuatu itu. Menurut Clelland bahwa manusia selalu berusaha mencapai prestasi yang gemilang yang diwujudkan melalui penampilan kerja yang baik, dengan selalu berpikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya dan inilah yang disebut oleh Clelland sebagai kebutuhan berprestasi. Motivasi dapat bersumber dari dalam dan dari luar individu. Motivasi dari dalam diri individu disebut primer (intrinsik/internal) yaitu dorongan yang datang dari dalam diri individu yang bersangkutan. Sedangkan motivasi yang berasal dari luar diri individu disebut sebagai motivasi sekunder (ekstrinsik/eksternal) yaitu yang bersumber dari luar individu melalui proses belajar.
Pemilikan dan Penguasaan Lahan Pada masyarakat pedesaan yang agraris, tanah merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan mereka. Tanah merupakan sumber mata pencaharian untuk mempertahankan hidup, bahkan di luar itu tanah merupakan tempat tinggal, sehingga dapat menciptakan ketenangan dan ketenteraman dalam hidup bermasyarakat. Tanah merupakan salah satu faktor produksi penting
yang memegang peranan
bagi kelangsungan hidup petani. Sayogyo (Tjondronegoro, 1984)
mengemukakan bahwa luas pemilikan tanah adalah salah satu faktor penentu untuk peluang berusaha dan bekerja. Singarimbun dan Effendi (1989) menambahkan bahwa tingkat pendapatan usahatani diantaranya dipengaruhi oleh luas tanah dan jenis tanaman. Menurut Tan (1991) bahwa tingkat pendapatan usahatani ditentukan oleh luas tanah yang dimiliki, yang mencakup luas tanah pemilikan dan luas tanah usahatani. Pemilikan dan penguasaan merupakan dua hal yang berbeda; ”pemilikan menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan penguasaan menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain, maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya (Wiradi, 1979). Berdasarkan pengertian tersebut berarti, seseorang yang memiliki tanah, ia dapat juga sekaligus sebagai orang yang menguasai tanah tersebut. Tetapi, dapat juga ia memiliki namun tidak menguasai, karena ia sewakan kepada orang lain. Dengan demikian, seseorang yang memiliki dapat sekaligus sebagai penguasa, sebaliknya seseorang yang menguasai sebidang tanah belum tentu ia sebagai pemiliknya. Orang yang memiliki dan sekaligus menguasai tentu akan lebih baik dari orang yang menguasai tapi tidak memiliki. Karena, bagi orang yang memiliki dan sekaligus menguasai, seluruh hasil yang diperoleh hanya untuk dirinya sendiri. Lain halnya dengan orang yang menguasai tapi bukan pemilik (penyewa, bagi hasil dsb.), ia harus membayar sewa atau menyerahkan sebagian hasil kepada pemilik lahan. Menurut Palte (Wiradi, 1979) tanah pertanian terdiri dari tiga kategori, yaitu tanah persawahan, tanah pekarangan dan tanah tegalan (Palte,1984). Ketiga jenis lahan pertanian ini masing-masing mempunyai ciri tersendiri yang berbeda
satu sama lain. Tegalan dan pekarangan merupakan lahan kering, sedangkan sawah merupakan lahan basah. Lahan pekarangan merupakan lahan kering (daratan) yang dijadikan tempat membangun rumah untuk tempat tinggal yang bersifat permanen. Lain halnya dengan lahan tegalan atau perkebunan merupakan lahan kering (daratan) yang khusus digunakan sebagai tempat usahatani. Lahan sawah pada umumnya ditanami padi, tetapi dapat pula diselingi dengan tanaman palawija atau ubi-ubian. Lahan sawah, dari segi pengairan dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) sawah dengan irigasi teknis, (2) irigasi setengah teknis, dan (3) sawah tadah hujan (Abustam, 1989). Sawah berpengairan teknis, yaitu sawah yang pengairannya dapat diatur, pemberian airnya dapat diukur dan saluran pembantu serta pembuangan airnya memenuhi persyaratan teknis bangunan irigasi. Sawah berpengairan setengah teknis, yaitu sawah yang pengairannya dapat diatur, tetapi pemberian airnya tidak dapat diukur. Saluran pembawa dan pembuangannya memenuhi persyaratan teknis bangunan irigasi. Sawah
berpengairan sederhana, yaitu sawah yang
pengairannya tidak dapat diatur, pemberian airnya tidak dapat diukur, dan saluran pembuangan irigasinya dibuang secara sederhana seperti terlihat di desa-desa pada umumnya (Sumintarsih dkk., 1993). Jenis sawah yang disebut terakhir ini pada umumnya lebih dikenal dengan sebutan sawah tadah hujan.
Pendapatan Rumahtangga Sumber pendapatan petani di pedesaan tidak hanya dari hasil usahatani, tetapi juga dari usaha di luar usahatani. Oleh karena itu, pendapatan rumahtangga petani biasanya diukur dari hasil usahatani ditambah dengan hasil usaha di luar petanian (White, 1990). Hal itu disebabkan masyarakat petani merupakan suatu masyarakat transisi antara masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, maka pola usahanya berdasarkan pola usaha ganda (Shanin, 1975). Besarnya pendapatan hasil usahatani berdasarkan jumlah penerimaan dari usahatani sendiri merupakan hasil perkalian harga satuan dengan jumlah masingmasing produk yang dihasilkan. Harga satuan tersebut diperhitungkan berdasarkan harga pasar pada saat penelitian dilakukan. Jenis kegiatan pertanian, seperti usahatani, beternak, memelihara ikan.
Besarnya pendapatan dari luar usahatani diukur berdasarkan pendapatan yang diperoleh semua anggota keluarga dari kegiatan/usaha di luar pertanian, seperti buruh tani, berdagang, kerajinan, pertukangan dan usaha lain yang menghasilkan, baik berupa uang maupun barang. Dalam penelitian ini pendapatan rumahtangga petani diukur berdasarkan pendapatan yang diperoleh semua anggota keluarga, baik dari hasil usahatani maupun bukan usahatani yang nilainya disetarakan dengan uang.
Jumlah dan Komposisi Anggota Rumahtangga Sumberdaya dalam keluarga terdiri dari tiga unsur, yaitu sumberdaya manusia, materi dan waktu (Guhardja dkk, 1992). Dalam konteks ini sumberdaya keluarga yang dimaksud sama dengan sumberdaya rumahtangga. Bryant (Sumarwan dkk., 1999) membagi sumberdaya suatu rumahtangga menjadi sumberdaya manusia dan fisik. Menurut Guhardja dkk,(1992), unsur manusia meliputi; jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin, hubungan antar anggota dalam keluarga dan hubungan antar keluarga dengan keluarga lain dan faktor-faktor yang ada pada manusia, seperti pengetahuan, keterampilan dan minat. Mengapa jumlah anggota suatu rumahtangga mempengaruhi kemampuan ekonomi suatu rumahtangga? Karena, keberadaan sumberdaya manusia sebagai faktor produksi (tenaga kerja) pada rumahtangga petani yang masih bersifat subsisten sangat menentukan kemampuan suatu rumahtangga dalam melakukan kegiatan produksi terutama dalam penguasaan lahan. Suatu rumahtangga yang memiliki satu orang tenaga kerja dengan dua atau lebih tenaga kerja jelas akan berbeda tingkat kemampuannya dalam penguasaan lahan. Rumahtangga
yang mempunyai jumlah tenaga kerja lebih banyak
umumnya akan mempunyai peluang lebih besar untuk menguasai lahan yang lebih luas dibandingkan dengan rumahtangga yang lebih sedikit tenaga kerjanya. Dengan demikian peluang untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi juga lebih besar. Namun demikian tidak secara otomatis tingkat kesejahteraannya pasti lebih baik dibandingkan dengan rumahtangga yang lebih sedikit jumlah tenaga kerjanya. Hal itu masih dipengaruhi oleh banyak faktor salah satu
diantaranya
komposisi jumlah tanggungan keluarga atau rumahtangga yang
bersangkutan. Komposisi anggota keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi dan pendapatan per kapita rumahtangga (Sumarwan dkk, 1999). Komposisi anggota rumahtangga merupakan perbandingan antara anggota rumahtangga yang berperan sebagai tenaga kerja pencari nafkah dengan jumlah tanggungan anggota keluarga atau rumahtangga yang tidak bekerja yang yang harus diberi nafkah. Anggota rumahtangga yang tidak atau belum bekerja tersebut merupakan tanggungan keluarga atau rumahtangga, seperti anak-anak yang masih kecil atau masih sekolah dan orang tua yang sudah lanjut usia. Ketidakseimbangan antara pencari nafkah dengan beban tanggungan yang harus diberi nafkah
dapat
merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan suatu keluarga atau rumahtangga. Semakin sedikit beban tanggungan suatu keluarga atau rumahtangga dan semakin banyak tenaga kerja pencari nafkah maka akan semakin besar peluang rumahtangga tersebut untuk dapat mencukupi kebutuhan rumahtangganya dengan lebih baik. Misalnya suatu rumahtangga (A) yang mempunyai dua orang tenaga kerja pencari nafkah dengan dua orang tanggungan keluarga akan lebih besar peluangnya untuk mencukupi kebutuhan rumahtangganya dibandingkan dengan rumahtangga (B) yang mempunyai dua orang tenaga kerja pencari nafkah dengan empat orang tanggungan keluarga atau rumahtangga. Jika masing-masing tenaga kerja diasumsikan mempunyai pendapatan yang sama katakanlah Rp 100.000,per bulan, maka
pada rumahtangga
A
dengan dua tenaga kerja dan dua
tanggungan keluarga akan memperoleh pendapatan Rp 200.000,- per bulan, dengan demikian pendapatan perkapitanya per bulan
sebesar Rp 50.000,-. Sedangkan
pada rumahtangga B dengan dua tenaga kerja dan empat orang tanggungan keluarga juga memperoleh pendapatan sebesar Rp 200.000,- berarti pendapatan perkapitanya per bulan sebesar Rp 33.330 Dengan demikian jelas rumahtangga A mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya dibandingkan dengan rumahtangga B.
Pemimpin Formal dan Informal Pemimpin adalah orang yang melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan. Menurut Siagian (1991), ada lima fungsi kepemimpinan, yaitu: (1) selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan, (2) sebagai wakil dan juru bicara dalam hubungannya dengan pihak-pihak di luar organisasi, (3) selaku komunikator yang efektif baik keluar maupun ke dalam organisasi, (4) sebagai mediator yang handal khususnya dalam menangani situasi konfli, dan (5) selaku integrator yang efektif, rasional, obyektif dan netral. Pemimpin formal adalah seorang yang memiliki kekuasaan posisional dan sekaligus kekuatan pribadi untuk memimpin, sedangkan pemimpin informal adalah seorang individu (pemimpin) yang secara formal tidak memperoleh pengakuan atau hak/kekuasaan memimpin yang bersumber dari kedudukannya dalam sistem sosial yang bersangkutan, tetapi memiliki kemampuan pribadi untuk memimpin (Mardikanto, 1993:205). Kekuatan pribadi selalu merupakan kekuatan normatif, dan dilandasi oleh penggunaan simbol serta berfungsi untuk menggugah komitmen orang yang menguasainya. Di pihak lain kekuatan posisional dapat bersifat normatif, koersif atau utiliter. Antara kepemimpinan informal dan formal ini dalam realitasnya dapat berperan saling melengkapi. Seringkali peran pemimpin informal lebih efektif dibandingkan pemimpin formal dalam menggerakkan atau mengatasi masalah tertentu. Pemimpin formal
yang dimaksud dalam penelitian adalah pemimpin
formal lokal di tingkat desa, begitu juga dengan pemimpin informal. Pemimpin formal di tingkat desa meliputi ; kepala desa, sekretaris desa, kepala dusun, ketua RT dan kepala urusan. Pemimpin informal, meliputi: tokoh agama (imam, gharim) dan tokoh masyarakat (ketua adat, tokoh pemuda dan lain sebagainya).
Akses terhadap Sumber Informasi Informasi memegang peranan penting dalam berbagai aktivitas petani. Paling tidak ada tiga sumber informasi yang dapat diakses oleh petani di perdesaan, yaitu penyuluh, media cetak dan elektronik. Media cetak dapat berupa surat kabar, majalah, pamlet,
brosur dan sebagainya. Sedangkan
media elektronik yang utama adalah radio dan
televisi.
Jahi (1988) mengemukakan bahwa dua macam media siaran yang memiliki potensi besar untuk mendukung pembangunan pedesaan di dunia ketiga ialah radio dan televisi. Kedua media elektronik ini memiliki kemampuan yang besar untuk mengantarkan dan menyebarkan pesan-pesan pembangunan kepada massa yang berada di tempat yang tersebar luas; seperti di daerah pedesaan, secara serentak dan dengan kecepatan tinggi. Selain itu, kedua media tersebut dapat dengan mudah mencapai massa khalayak yang berada di tempat-tempat yang jauh dan terpencil yang sulit dicapai dengan alat angkutan umum. Komunikasi massa
memegang peranan penting
dalam proses pemba-
ngunan. Paling tidak ada tiga efek komunikasi massa menurut Gonzales
(Jahi,
1988), yaitu: kognitif, afektif dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan pengatahuan. Efek afektif berhubungan dengan emosi, perasaan dan sikap. Efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Ketiga efek tersebut berhubungan satu sama lain. Dimensi-dimensi itu terjadi dalam berbagai sekuen dan perubahan dalam satu dimensi tidak selalu diikuti oleh perubahan dalam dimensi lainnya. Sebagai contoh: meningkatnya pengetahuan tentang suatu isu tidak selalu diikuti oleh perubahan sikap. Menurut Ray (Jahi, 1988) dalam hierarki belajar, efek kognitif terjadi lebih dulu, kemudian diikuti oleh efek afektif, dan setelah itu oleh efek konatif. Suatu cara sederhana untuk menunjukkan sekuen ini ialah: Belajar – Merasakan – Bertindak. Pada hierarki keterlibatan yang rendah, efek konatif terjadi dulu, yang kemudian diikuti oleh efek kognitif dan setelah itu oleh efek afektif. Pada hierarki Atribusi-Disonan, efek konatif terjadi dulu, kemudian diikuti oleh efek afektif, dan akhirnya diikuti oleh efek kognitif. Sekuen ini merupakan kebalikan hirarki belajar: Bertindak - Merasakan – Belajar Dengan demikian akses informasi sangat penting bukan hanya bagi petani melainkan penting bagi semua orang. Dengan penguasaan informasi akan membantu meningkatkan efektifitas pengambilan keputusan, peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Akses terhadap sumber informasi menunjuk
kepada kemampuan
seseorang atau sekelompok orang
sumber informasi, baik berupa media cetak,
dalam menjangkau
elektronik maupun
dalam
berhubungan dengan sumber informasi personal yang terkait dengan informasi yang diperlukan, seperti penyuluh, perangkat desa dan sebagainya.
Sarana Layanan Publik Lokal Sarana layanan publik seperti lembaga pendidikan (Sekolah), puskesmas atau poliklinik, listrik, air bersih memegang peranan penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Ketersediaan sarana layanan pendidikan, layanan kesehatan, air bersih dan listrik yang murah dan mudah dijangkau sangat didambakan oleh penduduk miskin di pedesaan. Minimnya sarana layanan publik tersebut kadangkala belum dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat terutama lapisan bawah atau miskin, walaupun hal itu sudah diakui sebagai hak dasar bagi setiap warga negara. Jauhnya jarak jangkauan ke sarana layanan publik (sekolah, puskesmas/poliklinik/bidan desa) dapat menjadi faktor penghambat bagi rumahtangga miskin untuk memenuhi haknya memperoleh layanan dasar tersebut. Oleh karena itu rendahnya tingkat pemenuhan hak-hak dasar rumahtangga miskin harus dilihat keterkaitannya dengan ketersediaan sarana layanan dasar yang diperuntukkan bagi mereka.
Akses terhadap Kelompok /Organisasi Sosial Kemasyarakatan Lokal Hampir di setiap desa ada kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan yang dibentuk oleh warga masyarakat secara sukarela. Kelompok-kelompok sosial tersebut, seperti: kelompok keagamaan (pengajian, jemaah gereja, perkumpulan kebatinan dan lain-lain), kelompok kesenian, kelompok kematian dan kelompok kawan sepermainan (Soedijanto, 2004). Hasil penelitian Zulyan dkk (2002) tentang “ Identifikasi karakteristik dan model pengembangan kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan di Kecamatan Talo Kabupaten Bengkulu Selatan “ menunjukkan bahwa pada setiap desa ada kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan yang dibentuk oleh warga masyarakat
secara sukarela, seperti; perkumpulan desa, perkumpulan kematian, kelompok kesenian, kelompok arisan. Kelompok atau perkumpulan kematian umumnya membantu para anggotanya yang ditimpa musibah kematian dengan menyediakan layanan pengurusan jenazah, seperti kain kapan, minyak wangi, sabun, perlengkapan pemakaman dan sebagainya. Begitu juga dengan
kelompok arisan yang menyediakan
kebutuhan hajatan; berperan penting dalam memberikan kemudahan dengan menyediakan berbagai peralatan yang diperlukan untuk pelaksanaan hajatan, upacara adat dan pesta perkawinan, seperti: peralatan memasak, tenda, peralatan makan dan minum, pakaian adat dan sebagainya. Namun persoalannya apakah seluruh warga masyarakat terutama rumahtangga miskin sudah dapat mengakses kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan lokal yang ada, sehingga mereka bisa memperoleh bantuan atau layanan ketika mereka membutuhkannya.
Akses Pasar dan Sumber Modal Tidak semua hasil usahatani hanya untuk dimakan walau pada petani yang bersifat subsisten sekalipun. Banyak komoditi hasil pertanian untuk dijual dan hasilnya dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, seperti komoditas hasil perkebunan, palawija, sayuran dan sebagainya. Penjualan produk hasil-hasil pertanian tersebut umumnya dilakukan di pasar, namun transaksi dapat pula dilakukan di lahan atau di rumah, tetapi harganya akan berbeda dan perbedaannya seringkali cukup besar. Semakin jauh jarak tempuh ke pasar akan semakin mahal biaya transportasinya. Kurang mampu menanggung biaya transportasi seringkali memaksa petani harus menjual hasil usahataninya pada pedagang pengumpul dengan harga yang lebih murah dan jauh di bawah harga pasar. Akibatnya margin keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Dengan demikian pendapatan yang diperoleh juga kecil. Di samping akses ke pasar, akses terhadap sumber modal juga sangat penting untuk mengatasi
hambatan ketiadaan atau kekurangan modal usaha,
sehingga kegiatan usahatani dapat berjalan dengan baik. Namun realitasnya sebagian besar petani belum mampu mengakses sumber modal yang disediakan melalui skim kredit di bank. Hasil penelitian Sudarwan dkk (2002) menemukan
beberapa hambatan bagi para petani untuk memperoleh kredit perbankkan adalah ketiadaan agunan dan ketidakmampuan dalam membuat proposal usaha. Akibatnya banyak diantara petani lebih memilih meminjam pada tengkulak, sehingga mereka terjebak pada tingkat suku bunga yang sangat tinggi. Kondisi ini dapat menggiring mereka pada situasi ketidak berdayaan.
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Berbagai kebijakan, program dan proyek yang telah diluncurkan pemerintah baik melalui departemen maupun bersifat lintas departemen, seperti: program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), asuransi kesehatan keluarga miskin (Askeskin), bantuan beras bagi keluarga miskin (Raskin) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi keluarga miskin. Kebijakan penanggulangan kemiskinan selama ini masih terlalu kental dengan pendekatan keproyekan. Apalagi kebijakan penanggulangan kemiskinan generasi terakhir melalui program penyaluran bantuan langsung tunai (BLT). Pemberian BLT dinilai banyak kalangan sebagai program atau kebijakan yang kurang mendidik dan kurang memberdayakan, sehingga kurang memacu peningkatan produktivitas malahan bisa kontra produktif. Namun hal itu terpulang kepada masing-masing individu/rumahtangga miskin yang bersangkutan, apakah bantuan tersebut dapat dikelolah secara produktif atau tidak.
Pandangan tentang Kemiskinan
Kemiskinan dari Sudut Pandang Ekonomi Pada dekade yang lalu pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai alat utama untuk menghapus kemiskinan dan memperbaiki kualitas hidup melalui dampaknya yang menetes kebawa (tricle down effect). Akibatnya fokus kebijakan pembangunan adalah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang setinggi-
tingginya dan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun dalam realitasnya, pertumbuhan ekonomi tidaklah secara otomatis menghilang-kan atau mengurangi kemiskinan, malahan dalam beberapa hal menciptakan keresahan sosial (UNESCO, 1998). Kenyataan tersebut membuat orang mulai berpikir untuk mencari model pembangunan alternatif di samping strategi konvensional yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Karena pertumbuhan ekonomi tidak lagi dapat dianggap sebagai obat mujarab yang dapat menghapuskan kantong kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi secara agregat tidak identik dengan lenyapnya kemiskinan. Walaupun pertumbuhan ekonomi merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi (necessary condition), tetapi belum merupakan suatu syarat yang mencukupi (sufficient condition) bagi terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi (Soetomo, 1995) Para ekonom umumnya melihat kemiskinan dari sisi kemiskinan ekonomi. Dalam konsep ekonomi, studi masalah kemiskinan akan segera terkait dengan konsep standar hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan. Standar pengukuran yang digunakan untuk menilai standar hidup, termasuk barang-barang rumahtangga, pengeluaran per kepala dan dimensi kesejahteraan lain, seperti kesehatan, gizi, harapan hidup, kematian balita, pendidikan. Garis kemiskinan yang membedakan mereka yang mampu memperoleh standar minimum dari mereka yang tidak mampu. Jangkauan kemiskinan ditunjukkan oleh perhitungan jumlah orang dibawah garis kemiskinan. Para ekonom lebih menitik beratkan perhatiannya pada kemiskinan absolut. Cakupan kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau di bawah “garis kemiskinan.” Garis kemiskinan tidak mengenal tapal batas antar negara, tidak tergantung pada tingkat pendapatan per kapita di suatu negara, dan juga tidak memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1 per hari (Todaro dan Smith, 2003).
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau “hitungan per kepala (headcount),” H, untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di bawah garis kemiskinan absolut tersebut. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil. Gagasan yang mendasari penetapan level ini adalah suatu standar minimum di mana seseorang hidup dalam kesengsaraan absolut. Kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan anaknya, dan dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter, mempunyai banyak anak sebagai sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti. Faktor ini secara bersama-sama menyebabkan pertumbuhan per kapita lebih kecil dari pada jika distribusi pendapatan lebih merata. Pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami golongan miskin yang tercermin dari kesehatan, gizi, dan pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan pengetahuan dan keterampilan rendah, dampak ikutannya produktivitas rendah, selanjutnya pendapatan rendah. Akibatnya peluang investasi terbatas, sehingga investasi juga rendah baik investasi yang berkaitan dengan usaha maupun investasi sosial dalam bentuk pendidikan bagi anggota keluarganya. Kondisi ini membentuk lingkaran kemiskinan dan jika tidak diputus akan berlangsung secara turun-temurun.
Pandangan Ilmu Sosial tentang Kemiskinan Pendapat para ahli ilmu sosial tentang masalah kemiskinan, khususnya perihal sebab mengapa muncul kemiskinan dalam suatu masyarakat
masih
beragam. Sekelompok ahli ilmu sosial melihat munculnya kemiskinan dalam suatu masyarakat terkait dengan budaya yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks ini kemiskinan sering dikaitkan dengan rendahnya etos kerja atau rajin atau tidaknya seseorang dalam bekerja mengolah sumber daya alam yang tersedia. Apabila orang itu rajin bekerja dapat dipastikan orang tersebut akan hidup dengan kecukupan. Apalagi bila di samping rajin, orang itu
memiliki sifat hemat. Manusia yang memiliki etos kerja tinggi dan sikap hemat pasti akan hidup lebih dari kecukupan. Di Indonesia orang melihat kehidupan rata-rata suku bangsa Cina lebih baik secara ekonomi daripada suku lain di Indonesia, karena orang Cina dianggap pekerja yang memiliki etos kerja yang tinggi di samping juga dikenal sebagai suku bangsa yang sangat hemat dalam hidup sehari-hari mereka. Sebaliknya, orang melihat bahwa penduduk asli Indonesia kebanyakan miskin karena mereka malas dan hidup sangat konsumtif. Sebagian dari kelompok yang lain dari para ahli ilmu sosial melihat munculnya kemiskinan dalam masyarakat dari sudut pandang yang berbeda. Kelompok ini melihat bahwa kemiskinan muncul dalam suatu masyarakat disebabkan karena adanya suatu ketidakadilan dalam pemilikan faktor produksi. Pemilikan tanah yang tidak merata dalam suatu masyarakat perdesaan akan menimbulkan kemiskinan dalam masyarakat itu. Pembagian faktor produksi yang tidak merata itu menyebabkan masyarakat perdesaan
terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok pemilik tanah dan kelompok yang tidak memiliki tanah. Kelompok yang memiliki tanah mendominasi yang tidak memiliki tanah baik secara ekonomis maupun dalam kehidupan politik masyarakat perdesaan. Di samping dua perspektif tadi, ada perspektif lain yang mengkaitkan kemiskinan dengan model pembangunan yang dianut oleh suatu negara. Para pendukung perspektif ini melihat bahwa model pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi suatu negara akan menimbulkan kemiskinan pada sekelompok manusia dalam negara yang menganut model itu. Model pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan akan menimbulkan kepincangan perkembangan antara sektor ekonomi modern dan sektor eknomi tradisional di mana sebagian besar penduduk pada suatu negara berkembang menggantungkan hidup mereka. Kebijaksanaan memberikan berbagai fasilitas pada sektor modern dan mengabaikan sektor ekonomi tradisional mengakibatkan sektor ekonomi tradisional terhambat proses perkembangannya. Sehingga terjadi ketidak seimbangan dan yang paling nyata dapat dilihat dari perbandingan antara harga produk pertanian dibandingkan dengan produk-produk industri. Dari tiga perspektif menunjukkan bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multi dimensional dan kompleks. Kemiskinan tidak akan
dapat dipahami secara utuh dengan melihat permasalahnnya dari satu faktor saja. Kita tidak dapat begitu saja mengkaitkan kemiskinan dengan rendahnya etos kerja seseorang atau sekelompok orang. Karena
kenyataan empirik menunjukkan,
justru orang miskin adalah orang yang rajin bekerja. Seperti dikemukakan oleh Chambers (1983) orang miskin tidak ada waktu untuk bermalas-malasan atau bersikap bodoh untuk hidup. Orang miskin bahkan harus bekerja jauh lebih keras dari orang yang kaya, karena tanpa bekerja ekstra keras pasti orang miskin akan mati. Demikian pula dapat dilihat bahwa masalah tidak meratanya pemilikan tanah merupakan penyebab utama
dari kemiskinan di perdesaan. Para
transmigran dan penduduk setempat
khususnya di Provinsi Bengkulu masih
cukup banyak yang miskin meskipun mereka masing-masing memiliki tanah yang cukup luas. Mengaitkan model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dengan kemiskinan, walaupun mengandung kelemahan namun juga yang tidak bisa dipungkiri bahwa tanpa pertumbuhan ekonomi maka kemiskinan justru akan semakin parah. Hal itu dapat dilihat pada masa pemerintahan Orde Lama dengan pertumbuhan eknomi yang sangat kecil dan sebagai akibatnya pada awal pemerintahan Orde Baru 60 % penduduk Indonesia hidup miskin. Namun setelah 25 tahun pemerintah Orde Baru membangun dengan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik (rata-rata 5 %) justru jumlah orang miskin menurun dari 60 % menjadi 15 % dari seluruh penduduk Indonesia (Soetrisno, 1997). Berdasarkan beberapa perspektif yang dikemukakan di atas menunjukan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan bersifat multidimensional. Dengan demikian untuk memahami masalah kemiskinan tersebut perlu dilihat dari berbagai sudut pandang baik ekonomi, sosial, politik maupun budaya.
Kemiskinan Dilihat dari Teori Stratifikasi Fungsional Teori stratifikasi fungsional diungkapkan oleh Davis dan Moore mungkin merupakan sebuah karya paling terkenal dalam teori fungsionalisme struktural. Davis dan Moore menjelaskan bahwa stratifikasi sosial sebagai fenomena
universal yang penting. Mereka menyatakan, tak ada masyarakat yang tak terstratifikasi atau sama sekali tanpa kelas. Stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua masyarakat memerlukan sistem seperti itu dan keperluan ini menyebabkan adanya sistem stratifikasi (Ritzer dan Goodman, 2003: 118). Sorokin (Soekanto, 1989) mengatakan bahwa sistem berlapis-lapis itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Bentuk lapisan-lapisan dalam masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali, akan tetapi lapisan-lapisan tersebut tetap ada, sekalipun dalam masyarakat yang kapitalis, demokratis, komunistis dan lain sebagainya. Lapisan-lapisan tersebut mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial. Lapisan-lapisan masyarakat mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pimpinan dengan yang dipimpin, golongan buangan/ budak dan bukan buangan/budak, pembagian kerja dan kekayaan (Soekanto, 1989: 204). Ukuran atau kriteria yang biasanya dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan tersebut adalah: (1) ukuran kekayaan, (2) ukuran kekuasaan, (3) ukuran kehormatan, dan (4) ukuran ilmu pengetahuan. Pelapisan sosial dalam masyarakat tersebut bisa terjadi dengan sendirinya atau terjadi secara alamiah, seperti pelapisan sosial yang terjadi atas dasar usia, namun juga ada lapisan-lapisan yang sengaja disusun seperti halnya yang terjadi dalam suatu organisasi formal yang menyangkut sistem pembagian kekuasaan dan wewenang dalam organisasi yang teratur (Soekanto, 1989). Dilihat dari sudut pandang teori stratifikasi fungsional yang dikemukakan di atas, maka kemiskinan merupakan suatu bentuk stratifikasi sosial dalam masyarakat. Dalam suatu negara atau suatu masyarakat yang maju sekalipun akan tetap ada stratifikasi di dalamnya, tidak mungkin kaya semua, pejabat semua, pintar semua dan sebagainya. Pelapisan tersebut merupakan keharusan bagi terciptanya suatu dinamika. Namun persoalannya adalah bagaimana menciptakan saling ketergantungan (interdependency) yang harmonis antara berbagai lapisan
yang ada serta mengurangi terlalu lebarnya kesenjangan antar lapisan (miskin dan kaya). Selain itu yang paling penting adalah mengangkat kehidupan warga masyarakat lapisan bawah (miskin) tersebut mencapai suatu tingkat kehidupan yang manusiawi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertambahan penduduk yang pesat di satu sisi serta potensi sumber daya alam yang tetap atau tidak bertambah di sisi lain, menyebabkan terjadinya persaingan yang semakin tinggi dalam memperebutkan sumberdaya dan yang akan keluar menjadi pemenangnya adalah yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks negara hal itu sudah terbukti, kekayaan sumberdaya alam yang melimpah tidak secara otomatis menjamin suatu negara menjadi negara yang maju dan makmur dan sebaliknya . Sebagai contoh; Jepang negara yang relatif miskin sumber daya alamnya terutama jika dibandingkan dengan Indonesia, namun bisa mencapai tingkat kemajuan dan kemakmuran yang pesat. Sebaliknya Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam namun memiliki GNP terendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam dan bahkan rakyatnya masih bergelimang dengan kemiskinan.
Teori Kemiskinan Cheney et.al. (Papilaya, 2006) mengemukakan bahwa ada dua teori utama (grand theory) tentang kemiskinan, yaitu: (1) teori neoliberal dan (2) teori sosial demokrat. Teori neoliberal pada intinya mengatakan bahwa komponen penting dalam sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Teori ini memfokuskan diri pada pada tingkahlaku individu. Para pendukung teori neoliberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual
yang disebabkan oleh
kelemahan-kelemahan individual atau pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Strategi penanggulangan kemiskinan bersifat “residual”, sementara dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga keagamaan. Sebaliknya, teori sosial demokrat memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan adanya
ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya aksesakses kelompok tertentu terhadap sumber daya. Menurut Sherraden (2006), ada sejumlah teori yang telah dielaborasi berkaitan dengan kemiskinan dan kelas sosial. Teori-teori tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu teori yang memfokuskan pada tingkahlaku individu dan teori yang mengarah pada struktur sosial. Teori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan. Di sisi lain, teori struktur sosial melihat bahwa kondisi miskinlah yang mengakibatkan perilaku tertentu
pada setiap
individu, yaitu munculnya sikap individu yang tidak produktif merupakan akibat dari adaptasi dengan keadaan miskin. Teori mengenai budaya miskin yang dikemukakan oleh
Lewis dan
Banfield, mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang
dan tidak adanya penundaan atas
kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya. Teori perilaku individu berkaitan dengan struktur sosial dengan asumsi dasar bahwa sikap dan tingkah laku tertentu akan menentukan kedudukan seseorang dalam tatanan ekonomi dan sosial masyarakat Dahrendorf (Sherraden, 2006) secara eksplisit menjelaskan hubungan variabel-variabel tatanan sosial dan kesempatan hidup bagi setiap individu. Kesempatan-kesempatan hidup merupakan kesempatan pengembangan individu yang dibekali oleh karakter struktur sosial, bentukan atau cetakan (moulds), sebagaimana biasa kita menyebutnya, karena cetakan tersebut menyediakan sebuah jembatan penting untuk memahami masyarakat
yang menekankan
pentingnya kualitas struktur sosial dan merupakan sebuah teori normatif masyarakat yang menekankan kebebasan individu. Kesempatan hidup diartikan sebagai seperangkat kesempatan yang tersedia untuk seseorang individu. Kesempatan hidup merupakan batasan-batasan terhadap pilihan. Dengan kata lain, kesempatan hidup bagi semua orang tidak sama. Seiring dengan perubahan jaman, masyarakat pun mengembangkan normanorma, pandangan dan kebiasaan baru dalam berperilaku. Kehidupan berbangsa
dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat, yang tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Kekayaan menjadi simbol status dalam sistem kapitalis. Ukuran tidak lagi pada kualitas manusianya, melainkan pada jumlah atau kuantitas harta yang dimilikinya. Kejujuran tak lagi menjadi ukuran keluhuran perilaku. Menurut istilah Budiman (1996), “ orang yang jujur tapi miskin tampak bodoh ketimbang orang yang kaya meski kurang jujur.” Sisi lain dari pengembangan sistem kapitalis adalah ditimbulkannya semangat individualistis, baik dalam berkonsumsi maupun berproduksi. Kolektivitas dan solidaritas dianggap tidak rasional.
Pengertian Kemiskinan Kemiskinan berasal dari kata miskin yang secara harfiah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tidak berharta atau serba kekurangan dan kemiskinan sebagai kata benda diartikan sebagai hal miskin atau keadaan miskin. Dengan demikian konsep kemiskinan dapat menunjuk kepada beberapa aspek kekurangan yang dialami oleh individu atau sejumlah individu, bangsa atau negara baik aspek ekonomi maupun non ekonomi Banyak pengertian mengenai kemiskinan yang dikemukakan oleh para ahli maupun lembaga dengan berbagai sudut pandang. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi di mana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2100 kalori per kapita per hari. Bank Dunia (2004) mendefinisikan kemiskinan adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan kurang dari US$ 1 per hari perkapita penduduk. Sajogyo (1978) memberi batasan tentang kemiskinan dilihat dari pengeluaran setara beras
per jiwa per tahun. Mereka yang disebut miskin kalau
pengeluarannya kurang dari setara 320 kg beras di desa dan 480 kg beras di kota tiap jiwa per tahun. Tiga pengertian kemiskinan di atas, cenderung hanya melihat kemiskinan dari sisi ekonomi, yakni terkait dengan kebutuhan
dasar khususnya pangan.
Dalam konteks yang lebih luas, Levitan (1980) mengemukakan bahwa kemiskian adalah kekurangan barang-barang
dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan
untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Dalam pengertian ini, di samping menyangkut kekurangan barang-barang yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan juga memasukkan akses terhadap pelayanan-pelayanan dasar yang diperlukan untuk mencapai standar hidup yang layak, seperti layanan pendidikan dan kesehatan. Berbeda dengan rumusan pengertian di atas yang umumnya mengarah pada kemiskinan absolut, maka Suparlan (1993) cenderung mengarah pada rumusan kemiskinan relatif, yang memandang kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Bappenas (2004) mencoba merumuskan kemiskinan dari konteks yang lebih luas yakni dari sudut pandang hak-hak dasar manusia. Kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki atau perempuan tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Hak-hak dasar tersebut terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin
sebagai hak mereka untuk dapat menikmati
kehidupan yang bermartabat yang diakui dalam perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik ( Bappenas, 2004). Berbeda dengan rumusan di atas, BKKBN mencoba merumuskan pengetian yang lebih operasional, bahwa kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan dua kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan berpergian, bagian terluas rumah berlantai tanah, dan tidak mampu membawa anggota keluarga kesarana kesehatan. Pengertian tersebut kemudian
didefinisikan lagi menjadi keluarga miskin dan miskin sekali. Keluarga miskin yakni: (1) paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging, ikan atau telur, (2) setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru, dan (3) luas lantai rumah paling kurang 8 m persegi untuk tiap penghuni. Keluarga miskin sekali adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: (1) pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih, (2) anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah
dan
berpergian, dan (3) bagian lantai yang terluas bukan dari tanah. Saleh (2005) dari Projek Pengurusan Pembangunan Islam, Pusat Pengajian Sains Kemasyarakatan Universiti Sains Malaysia melakukan pengka-jian terhadap pembangunan pada zaman Rasulullah dalam menangani masalah kemiskinan, mensitir Sabda Rasulullah s.a.w. bahwa “ Bukanlah yang dinamakan ‘kaya” itu karena berlimpah ruahnya harta, tetapi yang dinamakan “kaya” itu ialah kaya jiwa.” Berpijak dari hadis tersebut dalam melakukan analisisnya Saleh (2006: 10) mengklasifikasikan golongan kaya dan miskin ke dalam empat ketegori miskin seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Pengkategorian miskin dan kaya Kategori
Jiwa
Harta
1
Kaya
Kaya
2
Kaya
Miskin
3
Miskin
Miskin
Catatan Dasar Kategori paling bagus, seumpama para sahabat seperti Sayyidina Usthman bin Affan dan Sayyidina Abdul Rahman bin Auf. Patut digalakkan Boleh dibenarkan wujud dengan pilihan mereka sendiri, karena boleh hidup tanpa membebankan negara dan masyarakat, seumpama Sayyidina Ali dan ahlus-suffah Kategori paling negatif yang sangat memerlukan pertolongan. Peruntukan negara yang besar perlu ditumpukan kepada kategori ini untuk mengurangkan. Kalaupun tidak boleh dibasmi sepenuhnya.
4
Miskin
Kaya
Kategori yang paling ideal adalah
Kategori kedua paling negatif , seumpama Qarun dan Sha’labah. Peruntukan besar juga perlu ditumpahkan kepada kategori ini untuk meningkatkan kekayaan jiwa mereka , agar kekayaan harta mereka dapat dimanfaatkan negara dan masyarakat keseluruhannya. kaya jiwa
dan kaya harta dan ini
merupakan dambaan setiap orang. Contohnya, orang yang kaya harta dan menggunakan hartanya di jalan Allah untuk tujuan kebaikan, seperti yang dicontohnya oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya. Di antara keempat kategori tersebut yang paling memprihatinkan adalah kondisi yang dialami orang yang miskin jiwa dan miskin harta. Kondisi tersebut banyak terjadi di kalangan penduduk miskin, sehingga membuat mereka sulit terangkat dari kondisi kemiskinan yang dideritanya. Contohnya. orang yang miskin harta karena malas, pemabuk dan sebagainya. Sebaliknya orang yang kaya harta namun miskin jiwa juga perlu mendapat perhatian, agar harta yang dimilikinya bisa memberi manfaat yang lebih besar melalui kejujuran dalam membayar pajak, zakat dan sebagainya untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan berbagai pengertian kemiskinan di atas menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan konsep yang bersifat multidimensional. Kemultidimensionalan kemiskinan tersebut coba dijabarkan Ellis (Papilaya, 2004) mengemukakan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosialpsikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut. Garis kemiskinan yang
digunakan BPS sebesar 2100 kalori per orang per hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut (Papilaya, 2005). Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang bekaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu: (a) Bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat? (b) Bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia? dan (c) Bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan? Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri orang miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori “kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Lewis, misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dsb. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturanperaturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam meman-faatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si misikin untuk bekerja (malas), melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional ini kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai sarana dalam
mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia. Menurut Suharto (2005) dalam menganalisis dinamika kemiskinan perlu dimasukkan konsep keberfungsian sosial. Konsep keberfungsian sosial mengacu kepada cara yang dilakukan individu atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhannya. Baker, Dubois dan Miley (Suharto, 2005) menyatakan bahwa keberfungsian sosial berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya serta dalam memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Ada empat poin yang diajukan pendekatan keberfungsian sosial dalam studi kemiskinan (Suharto, 2005), yaitu: (1) Kemiskinan sebaiknya tidak dilihat hanya dari karakteristik si miskin secara statis, melainkan dilihat secara dinamis
yang menyangkut usaha
dan
kemampuan si miskin dalam merespon kemiskinannya, termasuk efektifitas jaringan sosial (lembaga kemasyarakatan dan program-program antikemiskinan setempat) dalam menjalankan fungsi sosialnya. (2) Indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator komposit
dengan unit analisis keluarga atau rumahtangga dan
jaringan sosial yang ada di sekitarnya. (3) Konsep kemampuan sosial (social capabilities), dipandang lebih lengkap daripada konsep pendapatan dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. (4) Pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada beberapa key indicators
yang mencakup kemampuan keluarga miskin
memperoleh mata pencaharian (livelihood capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic needs fullent), mengelola (asset management), menjangkau sumber-sumber (accses to resources), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan serta kemampuan dalam menghadapi goncangan dan tekanan. Sedangkan indikator kunci untuk mengukur jaringan sosial dapat mencakup kemampuan lembaga-lembaga sosial memperoleh sumberdaya (SDM dan finansial), menjalankan peran atau fungsi utamanya, mengelola asset, menjangkau sumber, berpartisipasi dalam program anti kemiskinan.
Pendekatan keberfungsian sosial tersebut
melihat kemiskinan dari sisi
kemampuan sosial si miskin. Kemampuan sosial tersebut meliputi: kemampuan memperoleh mata pencaharian (pekerjaan), kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, kemampuan mengelola asset, kemampuan menjangkau sumber-sumber, kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan, dan kemampuan dalam menghadapi goncangan dan tekanan. Dengan melihat dari sisi kemampuan sosial tersebut, maka analisis untuk perumusan konsep dan pengukuran kemiskinan dipandang lebih mengena dengan esensi dasar kemiskinan dan lebih komprehensif serta lebih memandang orang miskin sebagai subyek (manusia) yang mempunyai potensi. Sehingga tidak lagi memandang orang miskin sebagai sosok yang tanpa daya Karena bagaimanapun orang-orang miskin itu sudah menunjukkan kemampuannya
dengan mampu
bertahan hidup selama puluhan tahun dalam kondisi kemiskinannya. Satu hal yang juga perlu ditambahkan bahwa dengan memandang orang miskin sebagai sosok tanpa daya
dan upaya penanggulangannya dilakukan dengan cara
kedermawanan ( raskin, bantuan langsung tunai dari hasil pengurangan subsidi BBM ) ternyata tidak mampu memecahkan masalah kemiskinan. Sehingga semakin disadari bahwa keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan sangat ditentukan oleh si miskin itu sendiri. Berdasarkan analisis terhadap pengertian kemiskinan yang berkembang dewasa ini dalam khasanah kepustakaan seperti disajikan di atas menunjukkan bahwa kemiskinan bersifat multi dimensional tergantung dari sudut pandang dan perspektif yang digunakan, maka batasan kemiskinan juga bergeser. Dengan menggunakan pandangan kuantitatif dan materialistik, maka kemiskinan dilihat sebagai ketidakmampuan untuk meraih standar hidup minimal.” Ukuran standar hidup minimal yang digunakan mencakup barang-barang kebutuhan rumahtangga dan pengeluaran per kepala, serta matra atau dimensi kesejahteraan yang lain, seperti kesehatan, gizi, umur harapan hidup, kematian balita, dan akses terhadap layanan-layanan dasar yang lain. Di samping pembatasan secara kuantitatif dan materialistik, kemiskinan juga dapat dibatasi dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan dasar sebagai situasi di mana seseorang tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
kehidupannya, yang meliputi aspek ekonomi dan kesejahteraan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, sanitasi, gizi dan berbagai kebutuhan sosial, budaya, fisik moral dan spiritual. Selain itu, pembedaan juga dapat dilakukan antara miskin pendapatan (materialistik) dan miskin kemampuan. Miskin kemampuan yakni kekurangmampuan dalam matra-matra dasar pembangunan manusia; seperti menghayati kehidupan yang sehat, melek huruf serta berpengetahuan. Supriatna (1997) menambahkan bahwa umumnya suatu keadaan disebut miskin bila ditandai oleh kekurangan atau tidak mampu memenuhi tingkat kebutuhan dasar manusia. Kemiskinan tersebut meliputi kebutuhan dasar yang mencakup aspek primer dan sekunder. Aspek primer berupa miskinnya aset pengetahuan dan keterampilan, sedangkan aspek sekunder berupa miskinnya jaringan sosial, sumber-sumber keuangan, kekuarangan gizi, air bersih, perumahan, perawatan kesehatan dan pendidikan. Pamungkas (Malo, 2000) mengemukakan bahwa kemiskinan bersumber dari ketidakmampuan menguasai aset, baik aset fisik maupun aset non fisik. Aset fisik adalah alat-alat produksi, seperti modal, mesin, peralatan, tanah, dan tenaga kerja. Sedangkan aset non fisik adalah kesehatan, pendidikan , keterampilan, manajemen, informasi dan teknologi. Orang jatuh miskin karena tidak mampu memiliki aset-aset tersebut yang merupakan sumber pendapatan
dan peng-
hidupan. Tim Inti P2KP DKI (2002) juga melihat kemiskinan dari sudut pandang ketidakmampuan, yang mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya. Berdasarkan analisis terhadap pengertian/konsep kemiskinan yang dilihat dari berbagai sudut pandang seperti dikemukakan di atas menunjukkan bahwa konsep yang ada belum menyentuh substansi yang mendasar, melainkan melihat kemiskinan dari sisi ciri yang merupakan gejala yang ditimbulkan oleh kemiskinan itu sendiri, seperti pendapatan rendah, pemenuhan hak-hak dasar rendah, tingkat partisipasi politik rendah dan sebagainya.
Dimensi Kemiskinan
Kemiskinan Ekonomi Menurut Ellis (Papilaya, 2004) secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumberdaya dalam hal ini tidak hanya meyangkut aspek finansial tetapi juga termasuk semua jenis kekayaan yang dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan atau meningkatkan kesejahteraan secara luas. Bagi petani di pedesaan, sumberdaya yang memegang peranan penting bagi kelangsungan hidupnya terutama adalah berupa lahan (sawah dan daratan).
Selain itu
juga dapat berupa tambak atau kolam, hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan ayam dan sebagainya yang dapat dijual untuk memenuhi berbagai kebutuhan keluarga.
Berdasarkan uraian di atas, satu hal yang mungkin masih dapat diperdebatkan adalah “ apakah yang dipentingkan dalam konteks kemiskinan ekonomi adalah pemilikan dan penguasaan asset atau kemampuan individu atau rumahtangga dalam memenuhi kebutuhan yang paling dasar untuk dapat bertahan hidup. Apakah seseorang atau rumahtangga yang sedikit memiliki asset (seperti tanah), tetapi ia dapat menguasai tanah yang luas melalui sewa atau bagi hasil dan dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan baik dikatakana sebagai miskin atau sebaliknya seseorang yang memiliki asset berupa tanah yang cukup luas tapi tidak dimanfaatkan dan dibiarkan terlantar sehingga tidak menghasilkan dan si pemilik tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dapat dikatakan sebagai orang kaya atau tidak miskin. Dalam konteks ini idealnya setiap orang atau rumahtangga memiliki dan menguasai asset yang cukup dan dapat memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya juga secara berkecukupan. Tetapi kelangkaan atau keterbatasan sumberdaya tertentu serta pertimbangan efektifitas dan efisiensi bisa saja seseorang atau rumahtangga tidak mesti harus memilikinya. Contohnya, suatu rumahtangga bisa saja tidak memiliki sawah yang penting ia dapat mencukupi kebutuhan pangan (beras) bagi rumahtangganya, mungkin ia bekerja sebagai buruh tani, petani kebun, beternak dan sebagainya. Begitu juga halnya dengan kebutuhan rumah,
yang paling penting bukanlah kepemilikan rumah, tetapi adalah kemampuan menempati suatu banhgunan rumah atau tempat tinggal yang layak, misalnya melalui sewa atau kontrak.
Kemiskinan Politik Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribusi) atau alokasi dari sumber-sumber (resources) yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu perlu dimiliki kekuasaan dan kewenangan (Budiardjo, 2000). Lebih lanjut dikemukakan bahwa politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat serta menyangkut kegiatan berbagai-bagai kelompok
termasuk partai politik dan
kegiatan orang seorang. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Budiardjo, 2000). Bagi banyak orang, kekuasaan merupakan nilai yang ingin dimilikinya. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial. Kekuasaan sosial, menurut Flechtheim (Budiardjo, 200) adalah keseluruhan
dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses
yang
menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan fihak lain yang diperintah, satu pihak yang memberi perintah dan satu pihak yang mematuhi perintah. Setiap manusia sekaligus merupakan subyek dan obyek dari kekuasaan. McIver mengemukakan bahwa kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida
Sumber kekuasaan terdapat dalam berbagai segi; seperti: kekerasan fisik, kedudukan (misalnya seorang komandan terhadap anak buahnya), pada kekayaan (misalnya seorang pengusaha kaya dapat mempengaruhi seorang politikus melalui kekayaannya), atau pada kepercayaan (misalnya
seorang pendeta terhadap
umatnya), dan lain-lain. Pengambilan keputusan menunjuk pada proses yang terjadi
sampai
keputusan itu tercapai. Pengambilan keputusan sebagai konsep pokok dari politik menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan yang mengikat seluruh masyarakat atau anggota. Laswell (Budiardjo, 2000) mengemukakan, politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Yang dimaksud dengan pembagian (distribution) dan alokasi (allocation) ialah pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai dalam masyarakat. Dalam Ilmu Sosial suatu nilai (Values) adalah sesuatu yang dianggap baik atau benar, sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang mempunyai harga karena itu dianggap baik dan benar, sesuatu yang ingin dimiliki oleh manusia. Nilai ini dapat bersifat abstraks seperti penilaian (judgement) atau suatu azas
seperti misalnya kejujuran,
kebebasan berpendapat, kebebasan mimbar dan sebagainya. Dia juga bisa bersifat konkrit (material) seperti rumah, kekayaan dan sebagainya. Di dalam kehidupan berkelompok
dan dalam hubungannya dengan
manusia yang lain pada dasarnya setiap manusia menginginkan beberapa nilai. Dalam mengamati masyarakat di sekelilingnya, yaitu masyarakat Barat, Laswell (Budiardjo, 2000) memerinci delapan nilai, yaitu: (a) kekuasaan, (b) pendidikan/ penerangan, (c) kekayaan, (d) kesehatan, (e) keterampilan, (f) kasih sayang, (g) kejujuran, dan (h) keseganan, respek. Dengan adanya berbagai-bagai nilai dan kebutuhan yang harus dilayani itu maka manusia menjadi anggota dari beberapa kelompok sekalgus. Aspek politik dalam khidupan berkelompok, bermasyarakjat dan bernegara menyangkut akses dan keterlibatan dalam arena kekuasaan. Kurangnya akses atau keterlibatan seseorang atau sekelompok orang
terhadap struktur
kekuasaan dapat dipandang sebagai kemiskinan politik. Termasuk dalam konteks ini adalah penggunaan hak-hak politik
baik dalam kehidupan berkelompok,
bermasyarakat maupun bernegara terutama yang menyangkut penentuan nasib
dan kehidupan mereka. Untuk itu keterlibatan atau partisipasi seseorang dalam setiap proses pembuatan keputusan
yang menyangkut kehidupan diri dan
keluarganya menjadi sangat penting, baik dalam tataran kelompok, kegiatan kemasyarakatan maupun dalam struktur kekuasaan dalam komunitasnya. Secara konseptual kemiskinan politik dapat didefinisikan sebagai kekurangmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam melaksanakan dan memperjuangkan hak-hak politiknya baik sebagai warga negara maupun warga masyarakat. Dengan demikian kemiskinan politik seseorang bisa dilihat dari keterlibatannya dalam partai politik, organisasi
maupun kelompok serta penunaian
hak-hak pilitiknya baik dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden), pemilihan kepala daerah (pemilihan gubernur dan wakil gubernur dan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota), pemilihan kepala desa dan pemilihan pengurus organisasi atau kelompok. Saefuddin dkk (2003) menambahkan bahwa kemiskinan politik, yaitu tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka. Bagi warga miskin di perdesaan, proses pengambilan keputusan tersebut baik pada tingkat RT, dusun maupun tingkat desa. Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa
aspek-aspek politik
tersebut pada dasarnya merupakan karakteristik eksternal bagi setiap individu. Jika aspek politik tersebut dimasukkan dalam dimensi ukuran kemiskinan, pertanyaannya; apakah hal itu dipandang sangat urgen? Artinya jika seseorang tidak atau rendah partisipasi politiknya maka seseorang atau suatu rumahtangga tidak dapat melangsungkan kehidupannya secara wajar. Sehingga bila seseorang rendah partisipasi politiknya secara serta merta kita katakan sebagai miskin. Sebaliknya suatu rumahtangga yang berkecukupan secara ekonomi, tapi rendah partisipasi politiknya juga dikatakan sebagai miskin. Jika aspek politik tersebut dimasukkan dalam dimensi ukuran kemiskinan maka dapat dipastikan jumlah penduduk miskin akan semakin membengkak dan realitasnya yang banyak tidak menggunakan hak-hak politiknya seperti dalam pemilihan umum justru banyak dari kalangan yang terpelajar (mahasiswa dan akademisi).
Kemiskinan Sosial Budaya-Psikologis Kaum liberal memandang bahwa budaya kemiskinan hanyalah semacam “ realistic and situational adaptation” pada lingkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Bila kondisi sosial ekonomi diperbaiki dengan menghilangkan diskriminasi dan memberikan peluang yang sama , maka “budaya kemiskinan” segera pula ditinggalkan (Swasono dkk, 1987). Menurut Lewis (1988), budaya kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Budaya tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putusasa dan tanpa harapan yang merupakan perwujudan dari kesadaran akan mustahilnya mencapai sukses, dan lebih merupakan menikmati masalah yang tak terpecahkan. Budaya kemiskinan melampaui batasbatas perbedaan daerah, bangsa dan negara, dan memperlihatkan perasaan yang mencolok dalam struktur keluarga, hubungan-hubungan antar pribadi, orientasi waktu, sistem-sistem nilai dan pola-pola pembelajaran. Sumardjan (1993) merumuskan bahwa budaya kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin yang disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin diubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan diri pada kemiskinan itu agar tidak merasa keresahan jiwa atau frustasi secara berkepanjangan. Dalam rangka budaya miskin ini manusia dan masyarakat menyerah kepada nasib dan bersikap tidak perlu, bahkan juga tidak mampu menggunakan sumberdaya lingkungan untuk mengubah nasibnya. Menurut Lewis (1988), budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cenderung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi: (1) sistem ekonomi uang, buruh upahan
dan sistem produksi untuk keuntungan; (2) tetap tingginya tingkat
pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah mening-
katkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan pemupukan harta kekayaan
dan adanya kemungkinan mobilitas
vertikal dan sikap hemat serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya. Lewis (1988) juga mengemukakan bahwa budaya kemiskinan dapat dipelajari dari beberapa segi: (1) kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat, merupakan salah satu ciri penting budaya kemiskinan, sebagai akibat dari faktor langkanya sumberdayasumberdaya ekonomi, segregasi, diskriminasi, ketakutan, kecurigaan atau apatis serta berkembangnya pemecahan-pemecahan masalah setempat, (2) budaya kemiskinan pada tingkat komunitas lokal ditemui adanya rumah bobrok, penuh sesak, bergerombol dan rendahnya tingkat organisasi di luar keluarga inti dan keluarga luas, (3) pada tingkat keluarga budaya kemiskinan ditandai dengan masa kanak-kanak yang singkat, kurang pengasuhan oleh orang tua. Cepat dewasa, kawin syarat, tingginya perpisahan ibu dan anak-anaknya, kurangnya hak-hak pribadi, penekanan pada bentuk solidaritas yang hanya diucapkan tanpa tindakan, dan (4) pada tingkat individu budaya kemiskinan ditandai dengan kuatnya perasaan tak berharga, tak berdaya, ketergantungan dan rendah diri. Menurut Lewis (1988) adalah suatu kekeliruan besar bila menggolongkan semua orang miskin menjadi satu, karena penyebab kemiskinan, pengertian dan akibat-akibat dari kemiskinan itu berbeda-beda dengan konteks sosial budayanya masingmasing. Beberapa ciri budaya kemiskinan menurut Seymour dan Kleiner (Islam, 2005) adalah: (1) fatalisme, (2) rendahnya tingkat aspirasi, (3) rendahnya kemauan mengejar sasaran, (4) kurang melihat kemajuan pribadi, (5) perasaan ketidak-berdayaan/ ketidakmampuan, (6) perasaan untuk selalu gagal, (7) perasaan menilai diri sendiri negatif, (8) pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan (9) tingkat kompromis yang menyedihkan.
Secara alamiah dan normal setiap manusia menginginkan suatu kehidupan yang baik, dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup secara berkecukupan, dan tidak ada yang menginginkan hidup dengan serba kekurangan dan kemelaratan. Tetapi karena keadaan yang berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama menyebabkan mereka beradaptasi, sehingga melahirkan suatu budaya kemiskinan. Suharto (2005) mengemukakan bahwa kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk kepada kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang kekuarangan jaringan sosial dan keterlibatan dalam struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan
bagi upaya peningkatan produktivitas,
kesejahteraan serta mempertahankan dan mengembangkan kehi-dupan yang lebih baik Aspek sosial-psikologis ini dapat merupakan faktor penghambat bagi seseorang atau sekelompok orang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat
bagi pemenuhan kebutuhan atau peningkatan
kesejahteraannya. Faktor tersebut bisa bersifat internal dan juga eksternal. Fakto internal adalah faktor yang datang atau berasal dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti: rendahnya pendidikan, perasaan malu, takut, segan, kurangnya kemampuan berkomunikasi, kurang percaya diri atau adanya hambatan-hambatan budaya. Lewis (Suharto, 2005) menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang datang atau berasal dari luar orang yang bersangkutan, seperti bencana alam, penggusuran, adanya peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya, penindasan atau eksploitasi. Matza ( Islam, 2005) melihat kemiskinan dari sudut perilaku dan sikap. Orang menjadi miskin karena tidak
mau bekerja keras, berjudi, peminum
minuman keras, kekacauan dalam kehidupan keluarga, kurang kemauan atau ambisi, termarjinal, dan fatalistik Ditambahkan oleh Gilder, Murray dan Hernstein bahwa orang miskin dapat disebabkan karena rendahnya IQ, kapasitas mental dan aspek-aspek yang bersifat biologis.
Pranadji (2005) merangkum beberapa nilai-nilai sosial budaya yang mencerminkan keterbelakangan suatu individu, komunitas kecil dan bangsa, yaitu: (1) kurang memiliki rasa malu dan rendah diri, (2) kurang kerja keras, (3) malas dan kurang disiplin, (4) boros dan konsumtif, (5) resisten terhadap inovasi, (6) askriptif/primordial, (7) acak , (8) antipati tinggi, (9) emosional dan personal, (10) pemarah dan penuntut, (11) tidak bisa dipercaya, dan (12) visi jangka pendek. Saefuddin (2003) dan Ellis (1994) mengemukakan bahwa dimensi kemiskinan sosial yaitu tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada dan kemiskinan budaya, yaitu terperangkap dalam budaya rendahnya kualitas SDM, seperti: rendahnya etos kerja, berpikir pendek dan fatalisme. Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa dimensi kemiskinan sosial budaya pada dasarnya menyangkut sikap mental dan budaya, baik dalam melakukan
hubungan
sosial
maupun
dalam
bekerja
dan
berusaha.
Menurut
Koentjaraningrat (1993) sikap adalah suatu disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seseorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya (baik lingkungan manusia atau masyarakatnya, lingkungan alamiah maupun lingkungan fisiknya). Sedangkan mentalitas diartikan sebagai keseluruhan dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menanggapi lingkungannya (Koentjaraningrat, 1993). Menurut Koentjaraningrat (1993) beberapa contoh kelemahan mentalitas petani seperti: tidak bisa berspekulasi, mempunyai persepsi waktu yang terbatas dan menilai tinggi konsep sama ratasama rasa. Secara konseptual kemiskinan sosial budaya dapat didefinisikan sebagai sikap mental dan budaya seseorang atau sekelompok orang dalam bereaksi terhadap lingkungannya (baik lingkungan sosial maupun lingkungan alamiah) yang kurang mendukung ke arah kemajuan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan bermartabat Dengan demikian
dimensi kemiskinan sosial budaya pada dasarnya
menyangkut sikap mental dan budaya , seperti: (1) fatalisme, (2) perasaan tidak berdaya, (3) rehdahnya tingkat aspirasi, (4) rendahnya tingkat keberanian mengambil resiko dan berspekulasi, (5) kurang memiliki rasa malu, (6)
berpandangan jangka pendek, (7) rendahnya kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan, (8) perasaan ketergantungan dan rendah diri
Faktor Penyebab Kemiskinan Hasil penelitian Turkewitz (Papilaya, 2006) di beberapa negara tentang hubungan antara karakter suatu rezim pemerintahan dengan capaian indikator kemiskinan menunjukkan hubungan yang sangat kuat, yaitu: (1) makin efektif suatu pemerintahan, makin rendah tingkat kematian bayi, (2) makin rendah tingkat korupsi di pemerintahan, makin tinggi tingkat melek huruf orang dewasa, (3) makin baik kondisi penegakkan hukum suatu negara, makin rendah tingkat kematian bayi, dan (4) makin sedikit regulasi yang diciptakan pemerintah, makin tinggi tingkat pendapatan perkapita. Selaras dengan hasil penelitian tersebut, hasil penelitian Huther dan Shah menunjukkan korelasi positif yang nyata antara indeks pembangunan manusia (human development index)) dengan indeks kualitas kepemerintahan (governance quality index) (Papilaya, 2005). Untuk kasus Indonesia, hasil penelitian Sumarto (2004) menunjukkan bahwa, dampak tatakelola pemerintahan yang buruk terhadap orang miskin adalah nyata secara sistematik mempengaruhi banyak orang dan menghambat upayaupaya penanggulangan kemiskinan. Daerah yang melaksanakan praktek tata kelola pemerintahan yang baik cenderung mengalami tingkat penanggulangan kemiskinan yang lebih tinggi. Dalam kaitannya antara budaya birokrasi dengan laju penurunan persentase penduduk miskin, ditemukan bahwa terdapat korelasi yang nyata antara berbagai budaya birokrasi (terhadap iklim usaha) terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Kabupaten/kota yang birokrasi pemerintahannya berkarakter kurang kondusif, proporsi penurunan jumlah penduduk miskin hanya sebesar 3,4 persen; sedangkan di Kabupaten/Kota yang birokrasi pemerintahannya berkarakter kondusif mengalami penurunan jumlah penduduk miskin dua kali lipat, yaitu 7 persen. Kabupaten/Kota yang birokrasi pemerintahannya termasuk kategori sangat kondusif, mengalami jumlah penurunan penduduk miskin lebih tinggi, yakni 15 persen.
Harper (2001) dalam penelitiannya pada masyarakat di Amerika mengidentifikasi tiga faktor penyebab kemiskinan, yaitu faktor yang bersifat individualistik, struktural dan fatalistik. Penyebab kemiskinan terkait dengan beberapa faktor, antara lain: kultural, struktural, dan alamiah (Kartasasmita, 1996). Mashoed (2004) menambahkan aspek psikologis. Faktor kultural dan psikologis dapat dikelompokkan dalam faktor internal (human capital), sedangkan faktor struktural dan alamiah/ekologis sebagai faktor eksternal (social capital, phisyical capital, financial capital, natural capital). Pendekatan internal berasumsi bahwa, kemiskinan yang menimpa setiap individu atau sekelompok masyarakat bersumber dari dalam individu/masyarakat itu sendiri; berkaitan dengan budaya yang dianutnya.
Budaya terdiri dari
beberapa unsur, antara lain: nilai (value), norma (norms), kebiasaan (customs), larangan (mores), konvensi (conventions), mitos, dan simbol (Soekanto, 1990). Menurut Sumardjan (1993), budaya kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf kemiskinan yang disandang sustu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tak perlu diusahakan perbaikannya. Kemiskinan dilihat sebagai nasib dan tak mungkin berubah; masyarakat menyerah pada nasib dan bersikap tak perlu, bahkan tak mampu menggunakan sumberdaya lingkungan untuk mengubah nasib tersebut. Lewis (1993), mengemukakan bahwa budaya kemiskinan merupakan adaptasi dan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Kemiskinan kultural dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun cenderung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki kondisi: (1) sistem ekonomi uang, buruh upahan, dan sisten produksi untuk keuntungan, (2) tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil, (3) rendahnya upah buruh, (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politik secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah, (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada unilateral, dan (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas
yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal dan hidup hemat, serta adanya anggapan bahwa redahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya. Beberapa pola strategi adaptasi di kalangan penduduk miskin pedesaan yang dikembangkan untuk menjaga kelangsungan hidup, antara lain: (1) melakukan beraneka ragam pekerjaan untuk memperoleh penghasilan, (2) jika kegiatan-kegiatan tersebut belum memadai, penduduk miskin akan berpaling ke sistem penunjang yang ada di lingkungannya, (3) bekerja lebih banyak meskipun lebih sedikit masukan, (4) memilih alternatif lain jika ketiga alternatif di atas sulit dilakukan dan kemungkinan untuk tetap bertahan hidup di desa sangat kritis (Corner, 1988).
Ciri dan Ukuran Kemiskinan Telah dikemukakan di atas bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi kekurangan atau ketidakmampuan individu, keluarga atau rumahtangga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak
Tingkat pemenuhan kebutuhan hidup
yang layak tersebut bisa berbeda menurut ruang, waktu dan kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu kondisi kemiskinanpun dapat berbeda-beda antara satu keluarga dengan keluarga lain dan antara satu tempat dengan tempat lain. Menurut Tafal (1982), kaum papa (miskin) perdesaan ialah petani udik, petani kecil, peternak kecil, nelayan kecil yang menghasilkan produk-produk pertanian, peternakan dan perairan, termasuk pemilik tanah kecil yang bekerja sendiri, penyewa tanah, penggarap bagi hasil, buruh pertanian tanpa tanah dan sebagainya. Pemilik tanah kecil yang bekerja sendiri pada umumnya ialah: (1) mereka yang tanahnya cukup luas untuk dapat hidup dari hasil panennya, (2) mereka yang luas lahannya kurang dari 0,5 hektar, dan (3) mereka yang hidup dengan memelihara ternak, ikan ataupun unggas di pekarangannya. Penyewa tanah yang tetap ataupun berjangka serta penggarap bagi hasil, ada yang dilakukan melalui perjanjian secara tertulis dengan pemilik lahannya dan ada yang tidak, yaitu hanya mengadakan perjanjian secara lisan dengan pemilik tanah.
Buruh tani tanpa lahan ialah mereka yang: (1) bekerja untuk keluarga petani tertentu dan terikat dari musim ke musim, berdasarkan upah harian atau upah tahunan, biasanya mereka dibayar dengan sebagian dari hasil yang diperoleh atau sesudah selesainya pekerjaan yang ditentukan. Mereka dapat tinggal bersama keluarga petani itu atau diberi pondokan terpisah; dan (2) mendapat pekerjaan selama masa-masa tertentu dalam setahun, ketika dilakukannya pekerjaanpekerjaan tertentu menuai
dari usaha tani, seperti mempersiapkan tanah, menanam,
atau mereka yang dipekerjakan
dalam program-program pekerjaan
perdesaan (Tafal, 1982) Kaum miskin di perdesaan berkepentingan dengan produk-produk pertanian termasuk hotikultura (buah-buahan dan sayuran), unggas, ternak, kebun dan produk-produk perairan, seperti ikan dan mahluk air lainnya yang dapat di makan baik yang ada di air tawar maupun air laut.
Untuk dapat bertahan
seringkali mereka tergantung pada lebih dari satu macam kegiatan pertanian. Pekerjaan usahatani terutama dilakukan dengan tenaga kerja keluarga, terkecuali pada musim puncak kesibukan, seperti saat menanam atau panen. Menurut Prayitno dan Atsyad (1987), ciri petani miskin adalah pandapatannya rendah, luas tanah garapannya sempit, produktivitas tenaga kerjanya rendah, modalnya kecil, dan tingkat keterampilannya rendah. Menurut Feagin (Populasi, 1994), karakteristik personal si miskin adalah ketidakmampuan dalam mengatur uang, kurang berusaha, kurangnya pendidikan dan keterampilan, kurangnya modal, hambatan fisik dan kejiwaan, rendahnya upah, kegagalan masyarakat dalam memberikan pelayanan, kecurigaan dan diskriminasi, kegagalan industri dalam menciptakan lapangan pekerjaan, eksploitasi kaum miskin oleh orang kaya dan nasib. Tim Crescent ( 2003), merumuskan beberapa ciri masyarakat miskin, yaitu: (1) secara politik tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka, (2) secara sosial tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada, (3) secara ekonomi rendahnya kualitas SDM termasuk kesehatan, pendidikan dan keterampilan yang berdampak pada penghasilan, dan (4) secara budaya dan tata nilai terperangkap dalam budaya rendahnya kualitas SDM seperti rendahnya etos kerja, berpikir pendek dan fatalisme.
Ada beberapa cara dalam menentukan ukuran kemiskinan terutama yang digunakan di Indonesia. Pertama, penentuan garis kemiskinan (GK) berdasarkan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar. Berdasarkan garis kemiskinan kemudian dihitung tingkat kemiskinan (head count index) yaitu proporsi penduduk miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kedua, jurang kemiskinan (Poverty gap index) menggambarkan kedalaman kemiskinan dari penduduk miskin, menggambarkan besarnya selisih rata-rata tingkat kehidupan penduduk miskin dengan garis kemiskinan yang dinyatakan dalam persentase di bawah garis kemiskinan. Nasution (Papilaya, 2004) menggambarkan kondisi
Indonesia dengan
GDP perkapita US$ 570 tahun 1990, garis kemiskinan US$ 75 per tahun untuk pedesaan dan US$ 125 per tahun untuk daerah perkotaan. RRC dengan GDP per kapita US$ 370 pada tahun 1990 menggunakan ukuran US$ 58 dan US$ 62, sedangkan Philipina dengan GDP per kapita US$ 730 memakai garis kemiskinan US$ 248 dan US$ 364. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran garis kemiskinan dapat berbeda-beda baik antar negara maupun antar daerah dalam suatu negara. Garis kemiskinan
yang ditetapkan BPS
tahun 2003
untuk provinsi
Bengkulu sebesar Rp 110975 per bulan dan untuk masing-masing kabupaten dan kota adalah: Bengkulu Selatan Rp 107501, Rejang Lebong Rp 105722, Bengkulu Utara Rp 113049, Kaur Rp 108696, Seluma Rp 109673, Muko-muko Rp 116475 dan Kota Bengkulu Rp 123870 per bulan. Jika garis kemiskinan yang ditetapkan BPS tersebut dijadikan sebagai acuan dalam menentukan suatu keluarga atau rumahtangga miskin atau tidak maka untuk daerah perdesaan akan terjadi bias yang cukup besar
dengan
kecenderungan sebagian besar keluarga atau rumahtangga di perdesaan masuk dalam kategori miskin, apalagi jika penghitungan pendapatan tidak dilakukan secara cermat. Pendapatan rumahtangga di perdesaan seringkali hanya dihitung dari hasil usahatani (sawah, ladang, kebun) tanpa mengkalkulasikan hasil yang didapat dari menangkap ikan dan mencari sayur yang hampir setiap hari mereka lakukan sebagai pekerjaan sampingan untuk kebutuhan keluarga atau rumahtangga yang bersangkutan. Pengeluaran rumahtangga di perdesaan untuk kebutuhan makan sehari-hari sangat kecil. Karena untuk lauk pauk, seperti sayur dan ikan umumnya mereka
cari sendiri bukan di beli. Kalaupun membeli intensitas paling satu atau dua kali seminggu. Oleh karena itu jika didekati dari unsur pengeluaran sebagai dasar untuk memprediksi pendapatannya akan mengalami kekeliruan.
Karena
pengeluaran mereka sangat kecil. Hal itu disebabkan hampir semua kebutuhan untuk makan harian tidak membeli, seperti beras, sayur mayur, ikan dan sebagainya. Pengeluaran rumahtangga yang umumnya mereka beli seminggu sekali di pasar tradisional, seperti: gula, garam, minyak tanah, minyak goreng, rokok dan sebagainya. Sajogyo (1985) memberikan ukuran kemiskinan setara beras per jiwa per tahun, yaitu 380 kg beras di desa dan 480 kg beras di kota. Beliau membedakan golongan yang berpenghasilan rendah tersebut dalam tiga golongan, yaitu: miskin, miskin sekali dan sangat miskin. Dalam rangka pemberian bantuan langsung tunai (BLT) kepada rumahtangga miskin, BPS (2005) menetapkan 14 kriteria kemiskinan, yaitu: (01) Luas lantai bangunan tempat tinggal yang dimanfaatkan untuk aktivitas sehari-hari (02) Jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas terdiri dari tanah/bambu/kayu berkualitas rendah (03) Jenis dinding bangunan tempat tinggal
terluas terdiri dari tanah/
bambu/kayu berkualitas rendah (04) Fasilitas tempat buang air besar (jamban/kakus) digunakan secara bersamasama atau penggunaan secara umum (05) Sumber air minum adalah sumber atau mata air tidak terlindung/sungai/air hujan (06) Sumber penerangan utama bukan listrik (07) Jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari
terdiri dari kayu/arang/
minyak tanah (08) Jarang atau tidak pernah membeli daging/ayam/susu setiap minggunya (09) Anggota rumahtangga biasanya hanya mampu menyediakan makan dua kali dalam sehari (10) Tidak mampu membeli pakaian baru minimal satu stel setiap tahun setiap anggota rumahtangga
(11) Bila jatuh sakit tidak berobat karena tidak ada biaya untuk berobat (12) Pekerjaan utama kepala keluarga sebagai buruh kasar atau tidak bekerja (13) Pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala keluarga adalah SD ke bawah (14) Ada tidaknya barang dalam keluarga yang dapat dijual dengan nilai Rp 500.000,Memperhatikan berbagai ukuran kemiskinan di atas menunjukkan bahwa ukuran kemiskinan yang dipakai pada dasarnya
didasarkan pada pendekatan
pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan. Kebutuhan non pangan belum terakomodir dengan memadai.
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Kemiskinan suatu rumahtangga pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan suatu rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya untuk dapat melangsungkan kehidupannya secara layak dan bermartabat. Kebutuhan yang paling dasar untuk kelangsungan hidup seseorang (individu atau rumahtangga) tersaebut meliputi kebutuhan pangan, sandang/ pakaian dan perumahan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya konsep
kebutuhan dasar tersebut dipandang tidak lagi memadai bagi kelangsungan hidup seseorang atau suatu rumahtangga. Oleh karena itu, Bappenas (2004: 12) memasukkan konsep hak-hak dasar. Hak-hak dasar adalah hak bagi setiap orang atau warga negara yang sudah diatur di dalam peraturan atau perundang-undangan. Sehingga hak tersebut melekat pada setiap orang tanpa memandang perbedaan agama, keturunan, ras, status sosial (miskin atau kaya, pejabat atau rakyat jelata)
dan sebagainya.
Dengan demikian setiap orang berhak untuk memperoleh dan memenuhi hakhak dasarnya untuk hidup secara layak dan bermartabat. Konsep atau definisi kemiskinan yang berbasis hak dasar mengakui bahwa masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya, tidak hanya sebatas ketidak-mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hal dasar lainnya dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, lakilaki dan perempuan dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi
dalam keseluruhan proses pembangunan, baik bagi
perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya (Bappenas, 2004: 11-12). Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang. Tidak terpenuhinya kebutuhan pangan secara wajar dapat berdampak negatif pada berbagai aspek, seperti gizi buruk, kecerdasan dan munculnya berbagai penyakit. Untoro dan Minarto (2005: 2) mengemukakan bahwa gizi buruk dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait. Secara langsung gizi buruk pada anak dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, anak tidak mendapat asupan gizi yang memadai dan anak mungkin menderita penyakit infeksi. Di samping penyebab tersebut, sebagai penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk adalah kemiskinan. Di samping dampak langsung terhadap kesakitan dan kematian, gizi kurang juga berdampak terhadap pertumbuhan, perkembangan intelektual dan produktivitas. Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80 % terjadi pada masa dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Diperkirakan bahwa Indonesia kehilangan 220 juta IQ poin akibat kekurangan gizi. Dampak lain dari gizi kurang adalah menurunkan produktivitas, yang diperkirakan antara 20 sampai 30 % (Untoro dan Minarto, 2005: 3). Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan minimal setiap orang mutlak diperlukan. Sehingga dapat terhindar dari berbagai akibat negatif seperti disebutkan di atas, yang pada akhirnya secara umum akan berdampak pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Rendahnya kualitas sumberdaya
manusia bukan saja bersifat kontra produktif terhadap pembangunan melainkan menjadi hambatan dalam pelaksanaan pembangunan. Terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan,
BKKBN menetapkan
bahwa seseorang atau suatu keluarga/rumahtangga minimal dapat memenuhi kebutuhan makan 2 kali sehari. Jika tidak mampu memenuhi kebutuhan makan 2 kali sehari dan paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging, ikan atau telur, maka ia dapat diketegorikan sebagai miskin dilihat dari segi pemenuhan kebutuhan pangan. Dilihat dari segi pakaian, seseorang paling tidak memiliki pakaian berbeda untuk dipakai di rumah, bekerja dan berpergian. Ini berarti bahwa masing-masing anggota keluarga minimal memiliki tiga stel pakaian, yaitu masing-masing satu stel untuk di rumah, bekerja dan bepergian dan setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru. Di samping masalah pangan dan pakaian, perumahan juga merupakan kebutuhan
yang sangat diperlukan bagi setiap orang (rumahtangga) sebagai
tempat tinggal agar terlindung dari hujan, panas dan terpaan angin dan udara dingin di waktu malam, tempat membesarkan anak dan tempat beristirahat serta bersenda gurau. Keadaan perumahan yang memadai (ukuran dan bangunan)
kondisi
akan dapat memberikan ketenangan dan arti tersendiri bagi
kelangsungan dan kebahagiaan hidup suatu keluarga/rumahtangga. Wirosardjono (1993) mengemukakan bahwa untuk melihat penduduk yang tergolong miskin dapat dilihat dari keadaan rumahnya, seperti atapnya ijuk, lantainya tanah, dindingnya gedek dan luas lantainya per kepala kurang dari lima meter persegi. BKKBN menetapkan luas lantai rumah paling kurang 8 meter persgi untuk tiap penghuni. Badan Pusat Statistik (BPS) mengkalsifikasikannya dari segi status pemilikan, dinding terluas, atap terluas, dan lantai terluas. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dalam penelitian ini keadaan perumahan akan dilihat dari segi: atap terluas, dinding terluas, lantai terluas dan ukuran luas lantai per kepala penghuni. Dari segi atap terdiri dari atap beton, atap genteng beton, genteng keramik,genteng fiber cement, atap sirap, seng, asbes, ijuk/daun rumbia atau lainnya seperti alang-alang dan sebagainya. Dinding terdiri dari: tembok, kayu
berkelas yang dihaluskan permukaannya, batu bata merah atau batako tanpa diplaster, kayu lunak yang dipasang dengan susun sirih, atau bambu. Sedangkan lantai dapat berupa lantai keramik, semen, papan, bambu atau lantai tanah. Di samping pangan, pakaian dan perumahan,
maka kebutuhan akan
pendidikan, layanan kesehatan dan air bersih juga sangat diperlukan bagi setiap individu, keluarga atau rumahtangga. Begitu juga dengan kebutuhan atas tanah dan sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta rasa aman dan hak untuk berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan. Tanah merupakan sumberdaya yang sangat menentukan bagi kelangsungan hidup petani. Karena tanah merupakan sumber mata pencaharian sekaligus sebagai sumber pendapatan. Sempitnya pemilikan dan penguasaan lahan merupakan penyebab utama terjadinya kemiskinan di perdesaan, terutama di Jawa. Oleh karena itu, redistribusi dan peningkatan akses petani terhadap sumberdaya lahan (tanah) dan pengelolaan sumberdaya alam sangat penting sebagai upaya peningkatan taraf hidup dan kesejahteraannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa di samping berbagai kebutuhan yang disebutkan di atas, maka adanya rasa aman dari gangguan keamanan
dan tindak
kekerasan serta ancaman ketakutan untuk melakukan kegiatan sosial ekonomi merupakan prasyarat bagi berlangsungnya kegiatan di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Masyarakat miskin sebagai warga negara mempunyai hak yang sama dengan warga negara lainnya untuk berpartisipasi secara luas dalam keseluruhan proses pembangunan terutama yang menyangkut masa depan dan kelangsungan hidup mereka. Masyarakat miskin hendaknya tidak dijadikan sebagai objek melain sebagai subyek (pelaku) dalam pembangunan. Dengan demikian akan dapat memberikan suatu proses belajar untuk menuju masyarakat yang mandiri.
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Strategi adalah suatu rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Max dan Majluf (Papilaya, 2006) menguraikan pengertian strategi secara rinci, yaitu: (1) suatu pola keputusan yang konsisten,
menyatu dan integral, (2) menentukan dan menampilkan tujuan/sasaran jangka panjang , program aksi dan prioritas sumberdaya, (3) menyeleksi bidang yang akan digeluti, (4) mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama dengan memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal, dan kekuatan serta kelemahannya, dan (5) melibatkan semua tingkatan hierarkhi dari organisasi. Koteen (Papilaya, 2006) mengemukakan beberapa tipe strategi, yaitu: (1) corporate strategy (strategi organisasi), (2) program strategy (strategi program), (3) resource support strategy (strategi pendukung sumberdaya), dan (4) institutional strategy (strategi kelembagaan). Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan, Bappenas (Papilaya, 2006) telah menetapkan lima strategi nasional penanggulangan kemiskinan (SNPK), yaitu: (1) Perluasan kesempatan. Strategi yang dilakukan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. (2) Pemberdayaan kelembagaan masyarakat. Strategi yang dilakukan untuk memperkuat kelembagaan sosial, ekonomi, politik, budaya dan memperluas partisipasi masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar. (3) Peningkatan kapasitas. Strategi yang dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan. (4) Perlindungan sosial. Strategi yang dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok yang rentan (perempuan kepala rumahtangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, kemampuan berbeda/penyandang cacat) dan masyarakat miskin baru, baik laki-laki maupun perempuan yang disebabkan oleh: bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi dan konflik sosial.
(5) Penataan kemitraan global. Strategi yang dilakukan untuk mengembangkan dan menata ulang hubungan dan kerjasama internasional guna mendukung pelaksanaan keempat strategi di atas. Penentuan strategi penanggulangan kemiskinan pada tingkat lokal haruslah secara cermat didasarkan atas situasi dan kondisi kemiskinan pada lokalitas yang bersangkutan. Atas dasar akar penyebab kemiskinan, Papilaya (2006) merekomendasikan beberapa strategi penanggulangan kemiskinan dan pemiskinan, yaitu: (1) pelembagaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), (2) peningkatan kapabilitas, (3) revitalisasi modal sosial, (4) advokasi kebijakan publik, (5) keterjaminan sosial, (6) pemberdayaan infrastruktur, (7) pemberdayaan ekonomi rakyat, dan (8) redistribusi aset produksi. Strategi-strategi yang dikemukakan di atas masih bersifat umum dan masih memerlukan penjabaran lebih rinci dan belum operasional. Untuk itu, masih diperlukan masukan-masukan melalui berbagai penelitian dan pengkajian agar dapat dirumuskan suatu strategi pengentasan kemiskinan yang tepat.
Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan(empowerment) berasal dari kata empower yang mempunyai makna untuk memberi wewenang atau kekuatan legal, pemberian kapasitas atau membuat seseorang dapat melakukan sesuatu . Dengan demikian pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu proses kapasitasi atau pengembangan kapasitas sumberdaya manusia (Soedijanto, 2004). Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa pemberdayaan merupakan suatu proses pemberian daya. Gutterez
(1995) mendefinisikan pemberdayaan sebagai suatu proses
peningkatan kekuasaan personal, intempersonal dan atau politik, sehingga seseorang dapat bertindak untuk memperbaiki kehidupannya. Ife (1985) pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment” memberi daya, memberi “power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala potensi yang dimiliki oleh pihak yang kurang berdaya itu
ditumbuhkan, diaktifkan
dan
dikembangkan sehingga memiliki kekuatan untuk membangun dirinya. Menurut Sulistiyani (Sidu, 2006), secara etimologis, pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Pengertian proses menunjuk kepada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis masyarakat
yang mencerminkan pentahapan
upaya mengubah
yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan.
Makna
memperoleh menunjuk kepada sumber inisiatif untuk meningkatkan daya atau kekuatan sehingga memiliki keberdayaan. Marzuki (1997) melihat konsep pemberdayaan dari teori ilmu jiwa, bahwa manusia memiliki berbagai daya yakni : daya/kekuatan berpikir, bersikap dan bertindak. Daya-daya inilah yanh harus ditumbuh kembangkan pada manusia dan kelompok manusia agar tingkat berdayanya tinggi untuk mengubah diri dan lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya adalah pembangunan masyarakat itu sendiri. Menurut Hubeis (2000), pemberdayaan masyarakat adalah perwujudan dari pengembangan kapasitas (capacity building) masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumberdaya manusia melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat perdesaan. Menurut Slamet (2000), konsep pemberdayaan masyarakat mengandung pengertian, yaitu: (a) ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pembangunan; (b) cara membuat masyarakat mampu membangun dirinya sendiri; (c) mampu = berdaya = tahu, mengerti, faham, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi; (d) penyuluhan pembangunan bertujuan
mengembangkan sasaran menjadi sumberdaya
manusia yang mampu meningkatkan kualitas hidupnya secara mandiri, tidak bergantung kepada belas kasihan pihak lain; (e) program-program penyuluhan pembangunan menyediakan segala macam informasi, teknologi, kesempatan berlatih dan berorganisasi/ bekerjasama sebagai alternatif yang dapat diakses secara relatif mudah oleh masyarakat bukan sebagai perintah atau keharusan dan
keseragaman; (f) dengan penyuluhan pembangunan masyarakat sasaran merupakan alternatif dan mampu serta memiliki kebebasan untuk memilih alternatif yang terbaik bagi dirinya; dan (g) pemberdayaam itu
akan menghasilkan
masyarakat yang dinamis dan progresif secara berkelanjutan, sebab didasari oleh adanya motivasi intrinsic dan ekstrinsik sekaligus. Memberdayakan seseorang secara harfiah berarti memberi daya atau kekuasaan kepada orang yang diberdayakan itu. Daya atau kekuasaan
yang
dimaksud dalam kontek pemberdayaan tersebut berarti suatu rasa kekuatan batin dan kepercayaan untuk menghadapi hidup, hak untuk menetapkan pilihan-pilihan sendiri dalam hidup, kemampuan untuk mempengaruhi proses-proses sosial yang mempengaruhi kehidupan sendiri dan arah perubahan sosial (UNDP, 1998). Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa pihak yang diberdayakan kekurangan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk meraih tujuan yang diinginkan atau mengatasi situasi yang menghalanginya. Dengan demikian pemberdayaan haruslah dilakukan dengan tujuan yang kongkrit Memberdayakan orang miskin berarti melengkapi orang miskin itu dengan daya atau kekuasaan agar ia dapat memerangi dan mengatasi masalah kemiskinan yang dideritanya, seperti pendapatan rendah, kesehatan yang rendah, kekurangan gizi, produktivitas rendah, rasa harga diri rendah dan kedudukan sosial yang dimarjinalkan. Dengan demikian pemberdayaan orang miskin mempunyai banyak dimensi tergantung dari sudut pandang terhadap kemiskinan itu sendiri.
Tujuan Pemberdayaan Beranjak dari konsep dasar bahwa pemberdayaan adalah suatu proses untuk memperkuat daya atau kemampuan, maka secara umum tujuan pemberdayaan adalah untuk mewujudkan kemandirian. Menurut Sulistiyani (2004), tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat
adalah untuk
membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Menurut Soedijanto (2004), sifat mandiri meliputi kemandirian material, kemandirian intelektual dan kemandirian pembinaan. Kemandirian material yakni
memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki sendiri
tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau
tergantung dari luar. Kemandirian intelektual, yakni memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayangi oleh rasa takut atau tekanan dari pihak lain. Kemandirian pembinaan yakni memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya ‘pembina’ atau ‘agen pembaharu’ dari luar sebagai “guru.” Pemberdayaan individu atau rumahtangga miskin
bertujuan
untuk
memberikan kekuatan atau keberdayaan agar mampu memperbaiki kondisi kehidupannya secara mandiri. Efektifitas dan efisiensi upaya pemberdayaan sangat ditentukan oleh ketepatannya terhadap kebutuhan.
Desa dan Kemiskinan Meminjam terminology Spencer, gejala yang satu menggambarkan suatu tingkat yang masih bersahaja, terbelakang yang umumnya diberi label ”tradisional” sedangkan yang lain mengambarkan tingkat yang sudah kompleks yang umumnya diberi label “modern” Di antara tradisional dan modern adalah transisional. Di antara karakteristik
dari ketiga gejala konseptual tersebut,
Abraham dalam Rahardjo (1999), menyajikan gambaran seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik tradisonal, transisi dan modern Tradisional • Berpindah-pindah • Teknologi primitif • Sumber energi yang hidup (animate) • Pembagian kerja yang sederhana • Swasembada unit-unit social • Produksi primer • Tradisi suci • Organisasi komunal • Solidaritas mekanistik • Sistem status berdasar
Transisi • Dualisme structural yang memungkinkan kehadiran bersama kereta lembu dan pesawat udara. • Kombinasi sumber energi yang hidup serta perubahan budaya dimana norma modernitas secara berangsur-angsur muncul di dalam kerangka nilainilai tradisional • Industrialisasi • Urbanisasi
Modern • Industri • Tehnologi maju • Sumber energi tidak hidup (unanimate) • Pembagian kerja berdasarkan fungsi interdependensi unitunit social • Produksi sekunder • Sekularisme • Birokrasi impersonal • Solidarita organic
keturunan • Semangat kerakyatan
• Mobilisasi politik • Rekayasa sosial
• Mengutamakan prestasi • Urbanisme
Yang dimaksud desa dalam pengertian umum adalah desa sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat di manapun di dunia ini. Sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhannya dan yang terutama tergantung pada pertanian. Bergel (Rahardjo,1999) mendefinisikan desa sebagai “ setiap pemukim-an para petani (peasants). Sebenarnya faktor pertanian bukanlah ciri yang selalu harus terlekat
pada setiap desa. Ciri utama yang terlekat pada desa adalah
fungsinya sebagai tempat tinggal (menetap) dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Koentjaraningrat (1993) mendefinisikan desa sebagai
“komunitas kecil
yang menetap di suatu tempat”. Dalam definisi ini tidak ada suatu penegasan bahwa komunitas desa berkaitan secara khusus atau tergantung pada pertanian. Ini berarti bahwa definisi tersebut juga mencakup desa nelayan dan bentuk-bentuk pemukiman (kecil) menetap lainnya. Landis (Rahardjo, 1999) medefinisikan desa ke dalam tiga kategori berdasarkan analisis tujuan. Untuk tujuan analisa statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2500 orang. Untuk tujuan analisa sosial-psikologik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab
dan serba informal
di antara
sesama warganya. Sedangkan untuk tujuan analisa ekonomik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung pada pertanian. Bahwa eksistensi desa selalu dilekatkan dengan cocok tanam, dalam hal ini perlu dipahami secara kritis. Paling tidak ada dua sistem cocok tanam yang berbeda, dan berbeda pula pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, yakni cocok tanam ladang dan cocok tanam menetap. Sistem ladang berpindah (shifting cultivation nomaden) menghendaki pencocok tanam untuk berpindah-pindah lahan pertaniannya, yakni tiap 1-2 tahun atau 1-3 kali panen sesuai dengan tingkat kesu-buran atau kondisi tanahnya. Perpindahan lahan pertanian ini seringkali meng-akibatkan pula perpindahan tepat pemukiman mereka.
Karakteristik masyarakat desa menurut Roucek dan Warren (Rahardjo, 1999) adalah: (a) Besarnya peranan kelompok primer (b) Faktor geografik yang menentukan sebagai dasar pembentukan kelompok/ asosiasi (c) Hubungan lebih bersifat intim dan awet (d) Homogen (e) Mobilitas sosial rendah (f) Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi (g) Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar. Menurut Kartohadikoesoemo (Rahardjo, 1999), istilah desa itu sendiri semula dikenal di Jawa, Madura dan Bali. Desa dan dusun berasal dari bahasa Sanskrit yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dusun di pakai di daerah Sumatera Selatan dan juga di Batak, di Maluku dikenal istilah dusundati. Kartohadikoesoemo mendefinisikan desa sebagai suatu kesatuan hukum , di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Kenyataan bahwa desa-desa di Indonesia telah ada sebelum
negara
Indonesia terbentuk, di samping kenyataan tentang tingginya kemandirian yang dimilikinya, telah diakui pula oleh pemerintah/negara. Dalam Inpres Nomor 5 tahun 1976 disebutkan bahwa desa adalah desa dan masyarakat hukum yang setingkat dengan nama asli lainnya
dalam pengertian teritorial-administratif
langsung di bawah kecamatan. Dalam UU No. 5 Tahun 1979 Pasal 1 huruf a disebutkan: Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan RI. Sedangkan kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat yang tidak berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri (Rahardjo, 1999).
Suparin (Rahardjo,1999) menyebutkan beberapa jenis desa yang ada di Indonesia, yaitu: (1) (a) Desa tambangan (kegiatan penyeberangan orang dan barang di mana terdapat sungai besar, (b) Desa nelayan (dimana mata pencaharian warganya dengan usaha perikanan laut, dan (c) Desa pelabuhan (hubungan dengan mancanegara, antar pulau, pertahanan/strategi perang dan sebagainya) (2) Desa perdikan (desa yang dibebaskan dari pungutan pajak, karena diwajibkan memelihara sebuah makam raja-raja atau karena jasanya terhadap raja). (3) Desa penghasil usaha pertanian, kegiatan perdagangan, industri/kerajinan, pertambangan dan sebagainya. (4) Desa-desa perintis (yang terjadinya karena kegiatan transmigrasi). (5) Desa pariwisata (adanya obyek pariwisata berupa peninggalan kuno, keistimewaan kebudayaan rakyat, keindahan alam dan sebagainya) Petani tradisonal (termasuk golongan peasant) adalah kaum petani yang masih tergantung dan dikuasai alam karena rendahnya tingkat pengetahuan dan teknologi mereka. Produksi mereka lebih ditujukan untuk sebuah usaha menghidupi keluarga bukan untuk tujuan mengejar keuntungan (profit oriented). Sebaliknya farmer (petani modern) adalah golongan petani yang usahanya ditujukan untuk mengejar keuntungan. Mereka menggunakan teknologi dan system pengelolaan modern dan menanam tanaman yang laku dipasaran. Mereka mengolah pertanian mereka dalam bentuk agribisnis dan agro industri. Menurut Landis (Rahardjo ,1999), besar kecilnya pengaruh alam terha-dap pola kebudayaan masyarakat desa ditentukan oleh: (1) sejauhmana ketergantungan mereka terhadap pertanian, (2) tingkat teknologi mereka, (3) system produksi yang diterapkan. Mengacu kepada pendapat Landis tersebut, maka secara garis besar ciriciri kebudayaan tradisional masyarakat desa adalah: (1) sebagai konsekuensi dari ketidakberdayaan mereka terhadap alam, maka masyarakat desa yang demikian mengembangkan adaptasi yang kuat terhadap lingkungannya. Pertanian sangat tergantung kepada keadaan atau jenis tanah, tingkat
kelembaban, ketinggian
tanah, topografi, banyaknya curah hujan dan lainnya; (2) pola adaptasi yang pasif terhadap alam berkaitan dengan rendahnya tingkat inovasi masyarakatnya. Petani
bekerja dengan alam; (3) faktor alam juga dapat mempengaruhi kepribadian masyarakatnya. Seperti dikemukakan oleh Baker (Landis,1948), sebagai akibat dari kedekatannya dengan alam, orang desa umumnya mengembangkan filsafat hidup yang organis. Artinya mereka cenderung memandang segala sesuatu sebagai suatu kesatuan. Refleksi dari filsafat semacam ini dalam hubungan antar manusia adalah tebalnya rasa kekeluargaan dan kolektifitas; (4) pengaruh alam juga terlihat pada pola kebiasaan hidup yang lamban. Kebiasaan hidup yang lamban ini disebabkan mereka sangat dipengaruhi oleh irama alam yang ajeg dan lamban.;
(5) dominasi alam yang kuat terhadap masyarakat desa juga
mengakibatkan tebalnya kepercayaan mereka terhadap tahayul. Tahayul dalam hal ini merupakan proyeksi dari ketakutan atau ketundukan mereka terhadap alam karena tidak dapat memahami dan menguasai alam secara benar; (6) sikap yang pasif dan adaptif masyarakat desa terhadap alam juga nampak dalam aspek kebudayaan material mereka yang relatif bersahaja, misalnya arsitektur rumah, alat-alat pertanian; (7) ketundukan masyarakat desa terhadap alam juga menyebabkan rendahnya kesadaran mereka akan waktu; (8) besarnya pengaruh alam juga mengakibatkan orang desa cenderung bersifat praktis; dan (9) pengaruh alam juga mengakibatkan terciptanya standar moral yang kaku di kalangan masyarakat desa (Rahardjo, 1999). Menurut Wolf (1985), peasant adalah penghasil-penghasil pertanian yang mengerjakan tanah secara efektif yang melakukan pekerjaan itu sebagai nafkah hidupnya, bukan sebagai bisnis yang bersifat mencari keuntungan. Menurut Redfield (1985), peasant adalah orang-orang dengan peradaban yang tua , penduduk perdesaan yang menguasai dan mengolah tanah mereka untuk kehidupannya yang subsisten dan sebagai bagian dari cara hidup yang tradisional yang dipengaruhi oleh orang perkotaan yang cara hidupnya menyerupai mereka tetapi lebih tinggi peradabannya. Subsistensi secara umum diartikan sebagai cara hidup yang cenderung minimalis. Usaha-usaha yang dilakukan cenderung ditujukan untuk sekadar hidup. Waharton (Rahardjo,1999), membedakan subsistensi produksi dan subsistensi hidup. Subsistensi produksi
dikarakterisasi
oleh derajat komersialisasi dan
monetisasi yang rendah, sedangkan subsistensi hidup berkaitan dengan tingkat hidup yang bersifat minimal hanya untuk sekedar hidup. Rendahnya tingkat inovasi peasan menurut Rogers disebabkan oleh: (1) pola hidup peasan cenderung menggunakan cara-cara yang mereka tahu pasti akan menghasilkan, (2) rendahnya tingkat inovasi peasan juga merupakan akibat dari sumber-sumber ekonomi yang langkah atau penerapan teknologi yang kurang tepat guna untuk desa, dan (3) rendahnya pengetahuan peasan mengenai masalahmasalah teknis dan sumber daya juga menyebabkan rendahnya tingkat inovasi mereka. Fatalisme yang melekat
pada peasan diartikan sebagai derajat yang
menunjukkan rendahnya kemampuan perorangan untuk mengendalikan
masa
depan mereka. Ada beberapa penyebab terjadinya fatalisme. Ada yang disebabkan oleh etos kepasifan yang terkait dengan kepercayaan (agama). Fatalisme juga disebabkan oleh struktur keluarga yang otoritarian yang cenderung menciptakan anak-anak yang pasif dan tergantung. Dalam pandangan peasan yang fatalistic ini segala sesuatu telah ditentukan oleh nasib atau factor keuntungan, dan tidak difikirkan sebagai produk hubungan
sebab akibat atau produk dari inisiatif
perorangan (Rahardjo, 1999). Rendahnya aspirasi di kalangan petani subsisten (peasant) berkaitan dengan fatalisme dan paham “bahwa segala sesuatu di dunia ini terbatas”Yang dimaksud aspirasi dalam hal ini adalah keadaan-keadaan
yang diinginkan untuk masa
mendatang. Salah satu sebab rendahnya aspirasi adalah kurangnya kesempatan yang mereka miliki. Kurangnya kesempatan ini menurut Rogers dan Shoemaker (1981) disebabkan oleh ekploitasi yang dilakukan oleh para penguasa. Lebih lanjut rendahnya aspirasi menyebabkan rendahnya motivasi untuk meraih prestasi.