7
TINJAUAN PUSTAKA Persepsi dan Proses Pengambilan Keputusan Petani Persepsi Persepsi ialah pemaknaan seseorang terhadap sesuatu; pandangan seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Yusuf (1991: 108) menyebut persepsi sebagai pemaknaan hasil dari pengamatan. Gulo (1982: 207) mendefinisikan persepsi sebagai proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Pareek (1996: 13) mengatakan bahwa persepsi merupakan proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindera atau data. Rakhmat (2000) mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuly). Thoha (2007: 141-142) mengatakan bahwa persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa pesepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Persepsi, kognisi, penalaran, dan perasaan sesungguhnya berlangsung secara simultan, dan kebanyakan dari yang disebut pemikiran, impian, bayangan, berkhayal, belajar dan semacamnya merupakan kombinasi unsur-unsur persepsi, kognisi, penalaran dan perasaan tersebut. Menurut Sobur (2003: 473), persepsi sebagai cara manusia menangkap rangsangan, kognisi merupakan cara manusia untuk memberikan arti dari rangsanan, penalaran adalah proses rangsangan dihubungkan dengan rangsangan lainnya pada tingkat pembentukan kegiatan psikologis, dan perasaan adalah konotasi emosional yang dihasilkan oleh rangsangan, baik sendiri maupun bersama-sama, dengan rangsangan lain pada tingkat kognitif atau konseptual. Pembentukan persepsi menurut Litterer(Asngari, 1984: 12), karena adanya keinginan atas kebutuhan manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat
8
mereka hidup, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Orang bertindak sebagian dilandasi oleh persepsi mereka pada suatu situasi. Selain menurut Stogdill, Hilgard, dan Sanders et al. (Asngari, 1984: 11) pengalaman seseorang turut membentuk persepsi seseorang. Individu
mengorganisasikan
dan
mengiterpretasikan
stimulus
yang
diterimanya, sehingga stimulus tersebut mempunyai arti bagi individu yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Faktor-faktor yang berperan dalam persepsi adalah sebagai berikut: (1)
Objek yang dipersepsikan: objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsikan, tetapi juga dapat datang dari diri individu yang bersangkutan, namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu.
(2)
Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf merupakan reseptor sebagai alat untuk menerima stimulus. Disamping itu juga ada saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran.
(3)
Perhatian: untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau kosentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek (Walgito, 2004: 90).
Selain faktor tersebut dalam menyeleksi berbagai gejala untuk menghasilkan persepsi juga dipengaruhi faktor internal dan eksternal pribadi (Sobur, 2003: 452453). Proses merupakan perantara rangsangan di luar organisme dengan tanggapan fisik organisme yang dapat diamati terhadap rangsangan, yang dikenal dengan teori rangsangan–tanggapan (stimulus–respon). Persepsi merupakan bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan diterapkan kepada manusia. Proses ini melalui subproses psikologi lainnya, yaitu pengenalan, perasaan, dan penalaran (Sobur, 2003: 446). Variabel psikologis di antara rangsangan dan tanggapan seperti ditunjukan pada Gambar 1.
9
Penalaran
Rangsangan
Persepsi
Pengenalan
Tanggapan
Perasaan
Gambar 1 Proses terjadinya tanggapan terhadap rangsangan.
Tingkah laku manusia merupakan fungsi dari cara mereka memandang. Oleh karena itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang harus dimulai dari mengubah persepsinya, dalam proses ini ada tiga komponen utama, yaitu: (1) seleksi, merupakan proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar; (2) interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi mereka; dan (3) interpretasi dan persepsi diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi (van den Ban dan Hawkins, 1999: 83-88). Litterer (Asngari, 1984: 12) menunjukkan bahwa persepsi orang dipengaruhi olah pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta atau tindakan. Walaupun seseorang hanya mendapatkan bagian-bagian informasi, mereka dengan cepat menyusunnya menjadi suatu gambaran yang menyeluruh. Litterer (Asngari, 1984: 12-14), ada tiga mekanisme dalam pembentukan persepsi, yaitu proses dimana informasi diterima oleh seseorang melalui saringan (selectivity), kemudian disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna, selanjutnya diinterpretasikan. Secara skematis ditunjukkan dalam Gambar 2. Tahapan ini tidak terlepas dari pengalaman masa silam yang tersimpan dalam mempengaruhi pembentukan penginterprestasian. Kaitan dengan penerapan suatu inovasi, bila persepsi petani terhadap inovasi dan agen pembaru negatif, maka akan menjadi racun/kendala bagi pengapdopsian inovasi lain yang akan ditawarkan (Hanafi, 1987: 154). Persepsi seseorang akan menentukan tingkat pengambilan keputusan terhadap inovasi (Susanto,1977: 117).
10
Mekanisme pembentukan persepsi
Informasi sampai ke individu
Selectivity
Pembentukan persepsi
Interpretation
Pengalaman masa silam
Persepsi “Closure” Perilaku
Gambar 2 Pembentukan persepsi menurut Litterer (Asngari,1984: 12). Proses Pengambilan Keputusan Petani Pengambilan keputusan oleh petani terhadap penolakan atau penerimaan suatu inovasi tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan menguntungkan atau tidaknya teknologi tersebut secara ekonomis bagi pengusahanya (petani). Untuk itu dalam proses pengambilan keputusan ini memerlukan beberapa tahapan untuk mempertimbangkan inovasi tersebut. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut: (1) pengenalan, (2) persuasi, (3) keputusan, dan (4) konfirmasi (Rogers et al., 1971: 103). Rogers (2001: 171-189) menambahkan tahap implementasi dalam tahapan pengambilan keputusan, sehingga menjadi lima tahap, yaitu: pengenalan, persuai, keputusan, implementasi, dan konfirmasi. Dijelaskan sebagai berikut: (1) pengenalan: seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh beberapa pengertian tentang inovasi itu berfungsi; (2) persuasi, yakni seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi; (3) keputusan, yakni tahap seseorang melakukan kegiatan memilih menerima atau menolak suatu inovasi; (4) implementasi merupakan tahap seseorang melaksanakan apa yang sudah diputuskan menerapkan atau menolak inovasi; dan (5) konfirmasi, yakni seseorang mencari penguat bagi keputusannya.
11
Sebelum pada tahap keputusan diambil oleh adopter, mula-mula adanya rangsangan berupa inovasi, sehingga diperoleh pengertian mengenai fungsi inovasi itu. Pada umumnya seseorang cenderung membuka diri terhadap inovasi yang sesuai dengan minat, kebutuhan, dan sikap yang ada pada dirinya. Selanjutnya melalui tahap persuasi, yakni seseorang mulai membentuk sikap terhadap inovasi tersebut. Pada tahap ini seseorang lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kepribadian dan sistem sosial. Disinilah persepsi umum terhadap inovasi dibentuk, dan ciri-ciri inovasi sangat penting artinya untuk pertimbangannya (Hanafi, 1986: 39-45). Sebagai bahan pertimbangan tersebut pada dasarnya terkait dengan kemampuan akan sumberdaya yang dimiliki oleh petani sendiri. Sebagai mana ditegaskan oleh Lionberger (1968: 67), bahwa dalam pengambilan keputusan inovasi selalu dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: sosial, status, budaya, personal dan situasional. Faktor personal meliputi: umur, pendidikan, dan karakter psikologis (include rasionality, mental flexibility, dogmatis, orietation toward farming, innovation-pronenes). Faktor situasional meliputi: pendapatan pertanian, luas usaha, status dan kedudukan dalam masyarakat, informasi penggunaan sumberdaya alam, interaksi sosial dan pengalaman berusahatani. Penerapan Inovasi Pendekatan PTT Padi Proses Penerapan Inovasi Penerapan inovasi merupakan proses penerimaan inovasi dalam sistem sosial tertentu, melalui saluran tertentu dalam durasi waktu tertentu pula, melalui proses mental pada diri sendiri (petani), merupakan proses individual saat menerima inovasi (Sugarda, dkk., 2001: 16). Mardikanto (1993: 64) menegaskan bahwa proses penerapan inovasi sebagai proses perubahan perilaku baik berupa perubahan pengetauan, sikap, maupun ketrampilan pada seseorang yang menerima inovasi. Hakekatnya proses tersebut merupakan proses pengambilan keputusan oleh seseorang terhadap inovasi (Soekartawi, 1988: 55). Selanjutnya Havelock (1971: 10.33-36) menjelaskan model proses adopsi adalah, sebagai berikut: (1) ketersediaan informasi merupakan keadaan yang menyebabkan individu mampu melakukan adopsi secara bertahap; (2) kesadaran tahap yang disetujui oleh semua penulis, merupakan aktivitas penerima yang
12
menggambarkan kebutuhannya; (3) minat dan pencarian informasi: minat aktif individu terhadap inovasi ditandai oleh pencarian informasi dari berbagai sumber; (4) menilai dan aplikasi: individu berada pada tahap memikirkan untuk mencoba atau tidak; (5) mencoba; (6) adopsi merupakan proses penerimaan atau penolakan terhadap inovasi; dan (7) integrasi merupakan proses integrasi inovasi dalam rutinitas. Rogers dan Shoemaker (1971: 100-101) membagi lima tahap dalam proses adopsi, yaitu: (1) kesadaran: yakni seseorang sadar adanya ide-ide baru (inovasi); (2) minat; yakni seseorang mulai berminat pada inovasi dan akan mencari informasi lebih lanjut; (3) menilai: yakni seseorang melakukan penilaian terhadap inovasi dengan mempertimbangkan kondisi pada dirinya; (4) mencoba: yakni seseorang mulai mencoba dalam skala kecil untuk menentukan manfaat yang dapat diperoleh; dan (5) menerapkan: yakni seseorang menggunakan inovasi secara tetap dalam skala lebih luas. Menurut Hanafi (1987: 37), konsep adopsi inovasi tersebut memiliki beberapa kekurangan diantaranya: (1) teori tersebut menjelaskan bahwa proses adopsi diakhiri dengan keputusan pengapdopsian, sedangkan kenyataannya hasil akhir bisa penolakan; (2) kelima tahapan tidak selalu terjadi pada kondisi tertentu; dan (3) proses jarang berakhir dengan pengapdopsian, karena pertimbangan tertentu keputusan menerima menjadi penolakan. Dijelaskan Soekartawi (1988: 60-61) tidak semua keputusan melalui kelima tahapan dalam teori adopsi, pengambilan keputusan kadang-kadang terjadi secara simultan tidak berurutan ataupun melalui tahapan yang ada. Penerapan Inovasi PTT Padi Pendekatan yang ditempuh dalam penerapan komponen teknologi PTT bersifat: (1) partisipatif, (2) dinamis, (3) spesifik lokasi, (4) keterpaduan, dan (5) sinergis antar komponen. Penerapan PTT berdasarkan empat prinsip, yaitu: (1) pendekatan terhadap sumberdaya tanaman, lahan dan air dapat dikelola sebaikbaiknya; (2) PTT memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan diterapkan dengan memperhatikan unsur sinergis antar teknologi; (3) PTT memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan; dan (4) bersifat
13
partisipatif, yakni petani turut memilih teknologi yang sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan petani (Deptan, 2007: 2). Strategi penerapan PTT didasarkan pada sumbangan teknologi terhadap peningkatan produktivitas tanaman. Komponen anjuran teknologi PTT adalah: (a) penggunaan varietas padi unggul, (b) penggunaan benih bersertifikat dengan mutu bibit tinggi (c) penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi (d) pengelolaan bibit dan tanaman sesuai anjuran, (e) pengendalian hama dan penyakit dengan pendekatan terpadu, dan (f) penggunaan alat perontok gabah mekanis ataupun mesin (Badan Litbang Pertanian, 2007:11). Tahapan pelaksanaan PTT dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: (1) pelaksanaan PRA, (2) penyusunan komponen teknologi yang sesuai dan, (3) menerapkan teknologi PTT di hamparan lahan sawah, sejalan dengan itu diperagakan komponen teknologi alternatif dalam bentuk petak demonstrasi, sebagai sarana pelatihan bagi petani dan petugas lapangan (Badan Litbang Pertanian, 2007:10). Tahapan ini ditunjukan dalam Gambar 3.
PRA
Karakteristik dan masalah prioritas wilayah
Teknologi Inovasi Pertanian
Peragaan Komponen Teknologi inovasi
Penerapan PTT Secara luas Keterangan: PRA : Participatory Rural Appraisal PTT : Pengelolaan Tanaman Terpadu
Pengembangan PTT ke petani lain
Gambar 3 Strategi pengembangan model PTT padi sawah irigasi Sumber: Petunjuk Teknis Lapang PTT Badan Litbang Pertanian (2007: 10)
14
Hubungan Karakteristik dengan Persepsi Petani tentang Penerapan Inovasi Petani Kedudukan dan peran petani dalam pembangunan pertanian sangat stategis, karena petani merupakan pelaksana pembangunan pertanian tersebut (Sugarda, dkk., 2001: 189). Petani merupakan pelaku utama dalam melaksanakan kegiatan usaha taninya dan sebagian besar pengahasilannya berasal dari sektor pertanian (Syahyuti, 2006: 229). Dalam menjalankan usahataninya, petani memegang dua peranan, yaitu sebagai jurutani dan sekaligus pengelola (Sugarda, dkk., 2001: 124); Mosher, 1981: 34). Peran utama seoarang petani adalah sebagai juru tani yakni sebagai seorang yang memelihara tanaman dan atau hewan guna mendapatkan hasilnya dalam usaha meningkatkan kesejahteraan keluargaanya. Tugas sebagai jurutani adalah menyiapkan persemaian, penyebaran benih, penyiangan, pemupukan, pengaturan irigasi, dan juga menangani hama dan penyakit yang menyerang tanman yang diusahakan (Mosher, 1981: 34-35). Seiring dengan kemajuan pertanian, petani sebagai juru tani dituntut menguasai atau berkompeten dalam teknis produksi usaha tani. Hal ini seperti mampu melakukan pemupukan berimbang, mengatur irigasi dengan baik dan benar, dan juga mampu mengendalikan hama penyakit tanaman dengan atau tanpa obat- obatan (Deptan, 2002: 21). Kemampuan petani sebagai jurutani tercermin pada ketrampilan bercocok tanam dengan penerapan teknik-teknik baru dalam berusahatani. Kemampuan sebagai juru tani ini memungkinkan petani mampu mengubah teknik usahatani yang dilakukan selama ini turun-temurun atau tradisional menjadi teknik baru yang lebih produktif bagi usahatani yang dilakukannya guna peningkatan kualitas dan kuantitas hasil produksi (Mosher, 1981: 38). Peran petani sebagai manajer dalam usahatani menuntut petani harus mampu berusaha dan harus mampu mengambil keputusan atau penetapan dari beberapa macam alternatif yang ada, guna meningkatkan kualitas dan kuantitas usaha yang dilakukan (Mosher, 1981: 35). Sebagai manajer yang berhasil dituntut untuk mampu memahami dan menyenangi peranan manajerial (mengelola), menerima tanggung jawab, tanggung gugat, dan bersikap sebagai pelopor. Manajer yang
15
efektif dituntut mampu melakukan sesuatu yang tepat (dalam pengambilan keputusan), bukan melakukan sesuatu dengan cara yang tepat. Petani sebagai manajer diharuskan menguasai ketrampilan pengelolaan agribisnis yang dilakukan. Ketrampilan merupakan inti dari kompetensi seseorang pada pekerjaanya. Derajat ketrampilan seseorang merupakan kombinasi kompleks dari kognitif, afektif dan psikomotorik, semakin lengkap semakin sempurna ketrampilan yang dikuasai (Asngari, 2001: 19). Peran manajer usahatani, menuntut petani untuk mampu menyusun perencanaan usaha tani agar proses produksi yang dilaksanakan dapat optimal. Rencana usahatani adalah suatu azas yang didalamnya terkandung hal- hal berikut: jenis dan nilai masukan, jumlah dan harga masukan yang akan dipergunakan, jumlah produksi dan keuntungan yang akan diperoleh. Petani sebagai sasaran penyuluhan memiliki kebutuhan, keinginan, serta perasaan-perasaan tentang adanya tekanan-tekanan maupun dorongan-dorongan tertentu yang tidak selalu sama pada seseorang dengan orang yang lainnya. Karena itu efektivitas penyuluhan akan sangat ditentukan oleh keadaan yang dirasakan oleh sasaran untuk melakukan perubahan (Mardikanto, 1993: 28). Keadaan tersebut dalam bentuk motivasi yang dapat menggerakkan sasaran dalam melakukan perubahan (Setiana, 2005: 46). Beberapa keadaan pribadi petani yang mempengaruhi terjadinya perubahan antara lain: (1) motivasi pribadi untuk melakukan perubahan, (2) adanya kekuatan-kekuatan untuk terus melakukan perubahan-perubahan yang disebabkan adanya kebutuhan, dan (3) adanya kekuatan-kekuatan yang mengahambat terjadinya
perubahan,
misalnya
akibat:
ketakutan/trauma
masa
lampau,
kekurangsiapan untuk melakukan perubahan, keraguan akan hasil yang akan dicapai, adanya sebagian kegiatan yang tidak diterima oleh masyarakat, dan adanya ancaman-ancaman dari pihak luar (Lippitt, 1958: 71-90). Karakteristik Petani Rogers dan Shoemaker (1971: 30) mengatakan bahwa karateristik seseorang akan ikut mempengaruhi persepsi dan selanjutnya akan mempengaruhi tindakan atau perilaku. Devito (1997: 80) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ketepatan persepsi adalah umur, kecerdasan, kompleksitas
16
kognitif, popularitas, ciri-ciri pribadi, dan kesan latihan atau hasil belajar. Karakteristik pribadi ini diduga kuat memiliki hubungan dengan persepsi seseorang dalam kaitannya dengan proses adopsi inovasi, menyangkut pencarian terhadap ide-ide baru. Anggota sistem sosial memegang peranan penting dalam proses komunikasi dalam memahami suatu inovasi teknologi baru. Salah satu sifat penting yang berpengaruh pada proses komunikasi dalam penyebaran informasi inovasi teknologi adalah karakteristik petani. Menurut Soekartawi (1988: 92), variabel yang mempengaruhi proses tersebut adalah: (a) umur, (b) tingkat pendidikan, dan (c) tingkat pengetahuan/pengalaman dan latar belakang sosial ekonominya. Selain faktor tersebut, luas garapan dan status penguasaan lahan mempengaruhi perilaku komunikasi dan jaringan komunikasi sehari-hari. Selain karakteristik petani (umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, kekosmospolitan dan pendapatan), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemahaman petani terhadap inovasi teknologi yang akan diadopsi. Beberapa faktor yang dimaksud dalam penelitian adalah sebagai berikut: penguasaan lahan garapan, iklim usaha yang mendukung, dan kegiatan penyuluhan. Umur mempengaruhi kemampuan fisik dan cara berfikir serta dapat menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman perilakunya berdasarkan usia yang dimiliki. Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi, walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut (Soekartawi, 1988: 71). Semakin tua (di atas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatankegiatan yang sudah diterapkan oleh warga masyarakat setempat (Mardikanto, 1993: 72). Penelitian Lestari (1994: 75) menyebutkan bahwa umur mempunyai hubungan negatif nyata dengan tingkat adopsi teknologi; berarti semakin tua umur petani, semakin rendah tingkat adopsinya. Tingkat pendidikan: tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap pola pikir dan cara pengambilan keputusan. Mosher (1981: 35) mengemukakan
17
bahwa dalam memajukan usahatani yang dilaksanakan, petani membutuhkan kemampuan berpikir dan pengetahuan mereka untuk mengelola usahataninya. Semakin tinggi pendidikan petani akan semakin mudah menerima dan bekerja dengan konsep yang abstrak (Hamundu, 1997: 35). Kecerdasan tersebut dapat diperoleh dari pendidikan formal dan non formal yang mereka tempuh, dan dengan semakin meningkatnya pengetahuan menjadikan suatu dasar bagi pengembangan teknologi pertanian yang mendorong pada perbaikan
kualitas
usahatani yang mereka lakukan. Pengalaman berusaha tani berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam menghadapi pemilihan inovasi teknologi baru. Menurut Berlo (1960: 231), pengalaman seseorang saling terkait dalam pengambilan keputusan dan persepsinya. Semakin lama pengalaman seseorang berusaha tani maka akan semakin mudah dalam memahami suatu inovasi teknologi baru dan cenderung lebih mudah menerapkannya (Rogers, 2001: 27). Kekosmopolitan merupakan kesediaan seseorang untuk berusaha mencari ideide/informasi baru dari luar lingkungannya atau tingkat keterbukaan seseorang dalam menerima pengaruh dari luar (Rogers dan Shoemaker, 1971: 258). Tingkat kosmopolitan seseorang berpengaruh posistif dengan pembentukan persepsi dan kecepatan mengadopsi inovasi. Dikatakan oleh Soekartawi (1988: 77) bahwa petani yang mempunyai pola yang kosmospolit, mereka lebih cepat melakukan adopsi, dibanding petani yang tidak berada dalam pola hubungan yang kosmopolit. Pendapatan merupakan cermin kehidupan petani; pendapatan yang rendah akan mencirikan petani kecil, dan masuk pada kategori petani miskin. Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat kekayaan identik dengan pendapatan. Jika petani kaya lebih inovatif bila dibanding dengan petani miskin, maka tingkat pendapatan akan berpengaruh positif terhadap tingkat keinovatifan. Seperti dikatakan oleh Soekartawi (1988: 93) bahwa petani berpenghasilan rendah lambat untuk melakukan difusi inovasi dan sebaliknya petani yang berpenghasilan tinggi mampu untuk melakukan percobaan-percobaan untuk perubahan. Luas usaha tani yang sempit menjadi kendala dalam penerapan sistem usaha tani secara intensif, dan menyebabkan petani kurang
mampu dalam penerapan
18
teknologi baru serta pengelolaan usahatani secara komersial (Mardikanto, 1993: 30-31). Hasil penelitian Pambudy (1999: 123) menunjukkan bahwa perilaku berwirausaha
peternak dalam beragribisnis ayam buras sangat berhubungan
dengan besaran luasan lahan yang digunakan. Pada kenyataannya banyak peternak yang tidak mampu mengembangkan usahanya karena terbatasnya lahan. Iklim usaha merupakan suatu kondisi yang dapat mendukung kegiatan usahatani, hal ini sangat terkait dengan: adanya program pemerintah, ketersediaan informasi, kertersediaan pasar akan hasil produksi, dan ketersediaan sarana dan prasarana produksi. Mosher (1987: 76-93) menyatakan bahwa iklim usaha yang mendukung merupakan syarat mutlak dalam pembangunan pertanian. Dukungan pemerintah yang cukup terhadap usahatani, akan dapat menambah keyakinan para petani dalam berusaha. Sarana dan prasarana selain menjadi syarat mutlak juga sebagai pelancar dalam usahatani. Sarana dan prasarana merupakan media dalam proses produksi untuk mencapai hasil yang lebih baik, meliputi; bibit, pupuk, obatobatan, peralatan dan prasarana jalan (Daniel, 2004: 73). Kegiatan penyuluhan pada dasarnya ditujukan untuk tercapainya perubahanperubahan perilaku petani demi terwujudnya perbaikan mutu hidupnya (Mardikanto, 1993: 63). Untuk mewujudkan perbaikan mutu hidup petani tidak terlepas dari peranan dari kegiatan penyuluhan. Keberhasilan kegiatan penyuluhan tidak terlepas dari keikutsertaan petani dalam menyusun program penyuluhan, karena merekalah yang lebih mengetahui tentang potensi dan permasalahan yang dihadapi. Keseseuaian materi, media, dan metoda yang digunakan akan mempengaruhi keefektifan
dalam kegiatan penyuluhan (Sugarda, 2001: 79).
Selain itu pendampingan atau frekwensi kegiatan penyuluhan perlu ditingkatkan guna membentuk: pengetahuan, sikap, dan ketrampilan petani sesuai yang diharapkan. Keragaan Usahatani dan Inovasi Pendekatan PTT Padi Pengertian Inovasi Menurut Rogers dan Shoemaker (1971:19), inovasi merupakan ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau objek-objek baru yang dapat dirasakan sebagai suatu yang baru oleh masyarakat atau individu yang menjadikan sasaran penyuluhan. Lionberger dan Gwin (1971: 32), mengartikan inovasi bukan sekedar sesuatu yang
19
baru, namun lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau sesuatu yang dapat menolong terjadinya dalam masyarakat lokalitas atau komunitas tertentu. Lebih luas dijelaskan oleh Mardikanto (1993: 64) bahwa inovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan atau diterapkan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong
terjadinya
perubahan-perubahan
di
segala
aspek
kehidupan
masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh masyarakat yang bersangkutan. van den Ban dan Hawkins (1999:122) mengatakan bahwa inovasi merupakan suatu gagasan, metode, atau objek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Sebagai meteri penyuluhan inovasi teknologi tersebut yang akan disampaikan kepada pelaku utama dan pelaku usaha harus mendapatkan rekomendasi dari lembaga pemerintah kecuali inovasi yang berasal dari pengetahuan tradisional (Undangundang No. 16 Tahun. 2006 tentang Sistem Penyuluhan, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Kaitan dengan teknologi pertanian, Sugarda dkk (2001: 213) menjelaskan bahwa inovasi adalah teknologi yang dianggap masih baru oleh penggunanya. Teknologi sendiri diartikan sebagai sebuah rancangan tindakan instrumental (sebagai penolong) untuk mengurangi ketidakpastian dalam hubungan sebab akibat yang terdapat dalam upaya meraih hasil yang diinginkan. Inovasi teknologi baru selalu mempunyai dua komponen, yaitu perangkat keras dan perangkat lunak. Arintadisastra (2001: 79) mengartikan bahwa inovasi adalah teknologi baru yang merupakan tindakan atau langkah pembaharuan dalam pelaksanaan kegiatan yang terjadi karena adanya teknologi baru baik dalam aspek produksi maupun dalam pemasaran yang layak diterapkan oleh petani dan telah teruji adaptasinya dengan kondisi setempat pembangunan pertanian mensyaratkan adanya proses dan jaringan alih teknologi dari sumber teknologi kepada para petani secara kontinyu.
20
Karakteristik Inovasi Untuk dapat memperkirakan sejauh mana inovasi teknologi dapat dipahami oleh penggunanya, perlu perperhatikan karakteristik inovasi tersebut. Menurut Rogers, (2003: 220-295) ciri inovasi ada lima yaitu sebagai berikut: (1)
Keuntungan relatif: Menurut Rogers dan Shoemaker (1971: 138), keuntungan relatif adalah tingkatan suatu ide baru dianggap lebih baik dari ide-ide atau cara-cara yang sebelumnya. Apabila memang benar inovasi baru tersebut akan memberikan keuntungan yang relatif besar dari nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat (Soekartawi,1988: 62).
(2)
Keselarasan inovasi: Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai sosial budaya dan kepercayaan, dengan inovasi yang diperkenalkan sebelumnya, atau dengan keperluan yang dirasakan oleh pengguna (Sugarda, dkk., 2001: 215). Inovasi yang tidak sesuai dengan ciri-ciri sistem sosial yang menonjol akan tidak diadopsi secepat dengan yang kompatibel. Kompatibilitas memberikan jaminan lebih besar dan resiko lebih kecil bagi penerima, membuat ide baru itu lebih berarti bagi penerima. Suatu inovasi mungkin kompatibel dengan: (a) nilai-nilai dan kepercayaan sosiokultural, (b) ide-ide diperkenalkan terlebih dahulu, dan (c) dengan kebutuhan klien terhadap inovasi.
(3)
Tingkat kerumitan, untuk mempelajari dan menggunakan inovasi adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap sulit untuk dimengerti dan digunakan. Suatu ide baru mungkin dapat digolongkan kedalam continuum ”rumit–sederhana”. Inovasi tertentu begitu mudah dapat dipahami oleh penerima tertentu, sedangkan bagi yang lainnya tidak. Kerumitan inovasi menurut pengamatan anggota sistem sosial, berhubungan negatif dengan kecepatan adopsi. Artinya, makin mudah inovasi teknologi baru tersebut dapat dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi inovasi dapat berjalan lebih cepat; jadi penyajian inovasi baru tersebut harus lebih sederhana (Soekartawi, 1988: 63).
(4)
Dapat dicoba, adalah suatu tingkat suatu inovasi baru dapat dicoba dalam skala kecil. Kemudahan inovasi untuk dapat dicoba oleh pengguna berkaitan dengan keterbatasan sumber daya yang ada. Inovasi yang dapat dicoba
21
sedikit demi sedikit akan lebih cepat dipakai oleh pengguna dari pada inovasi yang tidak dapat dicoba sedikit demi sedikit (Sugarda, dkk., 2001: 215). Inovasi semakin mudah dapat dicoba maka relatif cepat proses adopsi inovasi yang dilakukan oleh petani (Soekartawi, 1988: 63). (5)
Dapat diamati adalah tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Hasil-hasil tersebut mudah dikomunikasi dan dilihat oleh orang lain. Jika inovasi tersebut mudah dilihat, maka calon-calon pengadopsi lainnya tidak perlu lagi menjalani tahap percobaan, melainkan ketahap berikutnya.
Keragaan Usahatani Padi Sawah Pada masa lalu petani menanam padi lokal yang berumur antara 140 - 150 hari (sejak tabur benih). Sebelum ada irigasi, baik pada sawah lebak maupun sawah darat petani hanya menanam padi 1x dalam setahun. Setelah saluran irigasi dibangun pada tahun 1930, sawah lebak bisa ditanami padi 2x setahun(BPTP, 2006: 19). Usahatani padi sawah di petani sebagian besar dilakukan 2 kali/tahun, baik untuk lahan sawah irigasi maupun tadah hujan. Untuk lahan sawah tadah hujan, suplai air berasal dari pompa (pompanisasi). Satu unit pompa berkapasitas 16-24 PK (6-8 inch) yang dapat mengairi sawah seluas 20-30 ha. Dengan sistem tersebut petani memberikan kompensasi kepada pemilik pompa sebesar 20 % (musim kemarau) dan 12–15 % (musim hujan) setelah dipotong upah panen. Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor (90 %) dan sisanya dengan bajak dan luku. Kedalaman olah tanah berkisar antara 10–15 cm. Tanah yang sudah diolah diberi pupuk dasar berupa kotoran ayam sebanyak 3-4 ton/ha/mt. Benih yang digunakan sebagian besar tidak bersertifikat (40-50 kg/ha). Umur bibit 20-25 hari dengan jumlah bibit 3-6 batang/rumpun. Penanaman dilakukan dengan sistem tegel (20 cm x 20 cm dan 18 cm x 15 cm). Varietas yang digunakan petani adalah IR-64, Ciherang dan Way Apoburu dengan hasil 4-5 ton/ha/mt. Pupuk yang digunakan dari Urea 100-150 kg/ha dan SP-36 50-100 kg/ha. Jenis dan dosis pupuk tersebut belum sesuai rekomendasi yaitu 200 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP-36, dan 50 kg/ha KCl.
22
Pengendalian hama dan penyakit terpadu belum banyak dipahami oleh petani karena pesticida yang digunakan belum raional atau tidak berdasarkan jenis hama/penyakit dan tingkat serangannya, Kondisi ini mengakibatkan penggunaan pestisida menjadi kurang efektif dan efisien (BPTP, 2006: 20). Panen dan perontokan gabah dilakukan dengan sistem gebotan dalam bentuk kelompok. Pengaruh sosial budaya masyarakat pada panen masih kuat, dimana ada keterikatan antara penandur dengan pemanen. Sistem seperti ini mengakibatkan penggunaan power treaser sulit berkembang. Pada tandur upahan, panen dilakukan oleh penandur dan pemilik (sistem gebrugan), sedangkan tandur gotong royong atau tandur pemberian mie, lahan dibagi berdasarkan jumlah pemanen. Selanjutnya hasil panen dibagi lima bagian (20%) untuk pemanen dan sisanya pemilik (80%). Hasil sampingan padi berupa dedak/menir dan sekam telah dimanfaatkan untuk makanan ternak, alas kandang ayam dan pembakaran genteng/bata/gerabah (BPTP, 2006:20). Melihat definisi tersebut diatas, bahwa inovasi teknologi PTT padi yang telah teruji dapat meningkatkan produktifitas usahatani padi, berarti dapat diharapkan akan mampu memberikan sumbangan dalam memenuhi kebutuhan petani dalam bentuk inovasi teknologi. Di dalam pendekatan PTT terdapat komponen-komponen teknologi yang mungkin akan dapat lebih mudah dipahami dan diterapkan sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh petani. Inovasi PTT Padi Paket teknologi di bidang pertanian
merupakan suatu kesatuan dari
beberapa teknologi yang mencakup cara, metoda, sarana dan alat yang digunakan atau tindakan dalam usahatani kearah yang lebih baik dan menguntungkan. Teknologi usahatani (panca usahatani) padi sawah yang diperkenalkan sejak tahun 1963, yang meliputi: (1) penggunaan benih varietas unggul, (2) bercocok tanam yang baik, (3) pemupukan, (4) pengaturan air, dan (5) pengendalian hama dan penyakit. Agar peningkatan produksi lebih baik maka pemerintah menambahkan dua paket teknologi lainnya, yaitu: panen dan pasca panen. Perpaduan teknologi panca usaha tani dengan teknologi panen dan pasca panen di kenal dengan nama teknologi Sapta Usahatani.
23
Perkembangan teknologi usahatani padi mulai dari tahun 1969, dengan nama programnya BIMAS, yang kemudian disempurnakan lagi , sampai pada tahun 1974. Dengan perkembangan kondisi dan kemajuan teknologi program tersebut mengalami penyempurnaan mulai dari PHT, INSUS, dan OPSUS, yaitu sampai tahun 1984. Pada dekade ini varietas unggul yang telah dilepas kurang lebih 30 jenis varietas unggul. Dari tahun 1984 sampai dengan tahun 1994 program berubah menjadi SUPRA INSUS dengan penamabahan jumlah varietas yang ditemukan sebanyak kurang lebih 40 jenis. Perkembangan jaman selalu diikuti perkembangan teknologi, pada tahun 1994 sampai dengan 2000 berubah nama menjadi GEMA PALAGUNG, selang selama enam tahun Balai Penelitian Tanaman Padi Subang telah memproduksi varietas baru sebanyak 27 jenis. Dalam pengembangan pola intensifikasi selama ini hanya terkosentrasi pada perakitan teknologi secara parsial. Akibat penggunaan teknologi yang tidak terterorganisir dengan teknologi lain dapat menyebabkan turunnya tingkat kesuburan tanah, ditandai dengan pelandaian produksi. Pelandaian produksi sebagai
indikator
rendahnya
peningkatan
produktivitas
yang
memberi
konsekwensi terhadap rendahnya peningkatan pendapatan (Makruf, 2004: 3). Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) merupakan salah satu
model
atau
pendekatan
pengelolaan
usahatani
padi,
dengan
mengimplementasikan berbagai komponen teknologi spesifik yang memberikan efek sinergis. Pengelolaan Tanaman Terpadu menggabungkan berbagai komponen usahatani terpilih yang serasi dan saling komplementer untuk mendapatkan hasil panen optimal dan kelestarian lingkungan. Tujuan penerapan PTT adalah meningkatkan produktivitas, meningkatkan nilai ekonomi/keuntungan usahatani padi melalui efisiensi penggunaan input, dan melestarikan sumberdaya lahan untuk keberlangsungan sistem produksi. Pelaksanaan PTT menggunakan pendekatan partisipasi petani secara aktif, dan dalam penerapan komponen teknologi PTT tersebut didasarkan pada kesepakatan dengan petani . Prinsip PTT mencakup empat unsur, yaitu integrasi, interaksi, dinamis dan partisipatif. Integrasi dimaksudkan bahwa dalam implementasinya dilapangan, PTT mengitegrasikan sumber daya lahan, air, tanaman, Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), dan iklim untuk mampu meningkatkan produktivitas lahan dan
24
tanaman, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi petani. Interaksi dimaksudkan bahwa PTT berlandaskan pada hubungan sinergis atau interaksi antara dua atau lebih komponen teknologi produksi. Dinamis berarti bahwa PTT selalu mengikuti perkembangan teknologi dan penerapannya disesuaikan dengan keinginan dan pilihan petani. Partisipatif artinya bahwa PTT membuka ruang bagi petani untuk memilih mempraktekan, dan bahkan memberikan saran kepada penyuluh dan peneliti untuk menyempurnakan PTT, serta menyampaikan pengetahuan yang dimiliki kepada petani yang lain (Deptan, 2008: 2-3). Pengembangan model PTT harus didasarkan kepada masalah dan kendala yang ada di lokasi setempat yang dapat diketahui melalui penelaahan partisipatif dalam waktu singkat (Participatory Rural Appraisal, PRA). Melalui PRA keinginan dan harapan petani dapat diketahui, dan karakteristik lingkungan biofisik, kondisi sosial ekonomi, budaya petani setempat dan masyarakat sekitar dapat dipahami. Langkah berikutnya adalah penyusunnan komponen teknologi yang sesuai dengan karakteristik dan masalah di daerah pengembangan. Komponen teknologi tersebut bersifat dinamis, karena sesuai akan waktu yang mengalami perbaikan dan perubahan, sesuai dengan perkembangan inovasi dan masukan dari petani dan masyarakat setempat (Deptan, 2007: 10). Alternatif
komponen
teknologi
yang
dapat
diintroduksi
dalam
pengembangan model PTT terdiri atas: (1)
Varietas unggul merupakan salah satu teknologi utama yang mampu meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani. Dengan tersedianya varietas padi yang telah dilepas pemerintah, kini petani dapat memilih varietas yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Adapun varietas padi yang telah dilepas adalah: IR 64, Ciherang, Ciliwung, Way Apo Buru, IR 42, Widas, Membrano, Cisadane, IR 66, Cisokan, Cirata, dan IR 36.
(2)
Benih bermutu: penggunaan benih bersertifikat dan benih dengan vigor tinggi sangat disarankan, karena: (1) benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak; (2) benih yang baik akan menghasilkan perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam; (3) ketika ditanam pindah, bibit dari benih yang baik dapat tumbuh lebih cepat dan
25
tegar; dan (4) benih yang baik akan memperoleh hasil yang tinggi. Gabah padi dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu gabah yang memiliki densitas tinggi (DT) dan gabah yang mempunyai densitas rendah (DR). Gabah dengan DT memiliki spesifik gravitasi sekurang- kurangnya 1,20, sedangkan gabah yang mempunyai DR, spesifik gravitasinya hanya 1,05 bahkan kurang. (3)
Bibit muda akan menghasilkan anakan lebih tinggi dibandingkan dengan bila menggunakan bibit lebih tua. Untuk mendapatkan bibit dan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, harus diperhatikan beberapa kegiatan, antara lain: (1) persiapan pembibitan yang baik, (2) gunakan bahan organik pada fase pembibitan, dan (3) lindungi bibit padi dari serangan hama.
(4)
Jumlah bibit dan sistem tanam (populasi): direkomendasikan menanam bibit per rumpun dengan jumlah yang lebih sedikit, yaitu tidak lebih dari 3 bibit per rumpun, karena kalau lebih banyak, kompetisi antar bibit dalam satu rumpun lebih tinggi. Jarak tanam yang dianjurkan dengan model tegel dengan jarak 20 cm x 20 cm (25 rumpun / m2, atau 25 cm x 25 cm (16 rumpun / m2, kalau menggunakan model legowo 4:1 dengan jarak (20 cm x 10 cm ) x 40 cm (36 rumpun/m2), dengan legowo 2:1 (40 cm x 20 cm x 10 cm). Cara tanam berselang-seling 2 baris dan 1 baris kosong. Sistem jajar legowo mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: (1) semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir yang biasanya memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir), (2) pengedalian hama, penyakit, dan gulma lebih mudah, (3) menyediakan ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpulan keong mas, atau untuk mina padi, dan (4) penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
(5)
Pemupukan N berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD): agar efektif dan efisien, penggunaan pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah. Kebutuhan N tanaman dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat kehijauan warna daun padi menggunakan Bagan Warna Daun (BWD). Pembacaan BWD hanya dilakukan menjelang
26
pemupukan ke dua (tahapan anakan aktif, 23-28 HST) dan pemupukan ketiga (tahap primordia, 38-42 HST). (6)
Bahan organik yang telah dikomposkan berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta sumber nutrisi tanah. Sumber bahan kompos antara lain berasal dari limbah organik seperti sisa-sisa tanaman (jerami, batang, dahan), sampah rumah tangga, kotoran ternak, arang sekam, dan abu dapur.
(7)
Pengairan berselang (intermittent irrigation) adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Kondisi ini bertujuan: (1) menghemat air irigasi, (2) memberi kesempatan pada akar tanaman untuk mendapatkan udara, (3) mencegah timbulnya keracunan besi, (4) mencegah penimbunan asam organik dan gas H2S yang menghambat perkembangan
akar,
(5)
menyeragamkan
pemasakan
gabah
dan
mempercepat waktu panen, (6) memudahkan pembenaman pupuk dalam tanah, dan (7) memudahkan pengedalian hama keong mas, dan mengurangi kerusakan tanaman padi karena hama tikus. (8)
Pengendalian gulma secara terpadu dapat dilakukan dengan cara pengolahan tanah yang sempurna, mengatur air dipetakan sawah, menggunakan benih padi bersertifikat, hanya menggunakan kompos sisa tanaman dan kompos pupuk kandang dan menggunakan herbisida apabila infestasi gula sudah tinggi. Pengendalian gulma secara mekanis sangat dianjurkan, karena cara ini sinergis dengan pengelolaan lainnya. Keuntungan penggunaan alat mekanis adalah: (1) ramah lingkungan (tidak menggunakan bahan kimia), (2) lebih ekonomis, hemat tenaga kerja dibandingkan dengan penyiangan biasa dengan tangan, (3) meningkatkan sirkulasi udara di dalam tanah dan merangsang pertumbuhan akar padi akan lebih baik, dan (4) apabila dilakukan bersamaan atau segera setelah pemupukan akan membenamkan pupuk ke dalam tanah, sehingga pemberian pupuk menjadi lebih efisien.
(9)
Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu merupakan pendekatan pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi sehingga pengendalian dilakukan agar tidak terlalu mengganggu keseimbangan alami dan tidak
27
menimbulkan kerugian besar. Cara pengedalian diantaranya dilakukan monitoring populasi hama dan kerusakan tanaman sehingga penggunaa teknologi pengendalian dapat ditetapkan. Langkah-langkah pengendalian akan berbeda dari setiap hama yang akan dikendalikannya. (10) Penanganan panen dan pasca panen: penanganan ini harus tepat untuk itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu antara lain: (1) potong padi dengan sabit gerigi, (2) panen dilakukan oleh kelompok pemanen yang profesional, (3) perontokan segera dilakukan tidak boleh lebih dari 2 hari, karena akan mneyebabkan kerusakan beras, (4) menggunakan terpal sebagai alas yang cukup, (5) pengeringan , dan (6) penggilingan dan penyimpanan (Deptan, 2007: 11-34). Sejak tahun 2001, PTT telah diujicobakan pada lahan petani dengan melibatkan petani setempat di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Hasil ujicoba tersebut menunjukan bahwa inovasi teknologi baru ini meningkatkan hasil padi sebesar 7–38%. Dengan demikian PTT mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan lebih lanjut (Balitpa, 2003: 30). Atas keyakinan dari hasil uji coba PTT pada MK 2001, maka kegiatan pengembangan tahun 2002 diperluas daerah percontohannya menjadi 19 lokasi yang dulunya hanya sembilan lokasi. Hasil padi dalam kegiatan percontohan ini beragam antar lokasi. Produksi padi melalui pendekatan PTT mulai dari 5,99 ton /ha sampai dengan 6,51 ton / ha, sedangkan produksi padi pada daerah yang sama tanpa pendekatan PTT hanya 3,70 ton / ha sampai dengan 4,70 ton / ha (Balitpa, 2003: 31).