12
TINJAUAN PUSTAKA Persepsi Persepsi adalah interpretasi individu akan makna sesuatu baginya dalam kaitan dengan ”dunia”nya. Sanders et al. (Asngari, 1984) menyebutkan bahwa “Manusia adalah makhluk yang kompleks, tindakannya dipengaruhi oleh banyak hal. . . . Tindakannya sangat dipengaruhi sesuai perannya dalam setiap situasi, selalu kepada perilaku yang diharapkannya dan subyek untuk mempengaruhi yang lain dalam situasi tertentu” (“Man is very complex organism. His actions are influenced by many things. . . . His actions are strongly influenced by what perceive as his role in each situation, always toward the behavior expected of him and subject to influences of others within the particular situation”). Dari pernyataan Sanders, dapat disimpulkan bahwa persepsi individu terhadap
lingkungannya
merupakan
faktor
penting
dan
menentukan
tindakannya. Sejalan dengan pernyataan Litterer (Asngari, 1984), yang menyatakan bahwa persepsi sangat penting untuk mengetahui penyusunan atau organisasi tingkah laku seseorang. Menurut Litterer, seseorang bertindak atas dasar sesuatu yang dipikirkan, diketahui atau dimengertinya. Karena itu pula, Ittelson dan Cantril (Asngari, 1984) menyatakan bahwa: “. . . penerimaan memainkan peran penting dan sentral dalam kehidupan kita . . . kajian tentang persepsi adalah salah satu yang paling lama, dibandingkan aktivitas manusia saat ini . . . lewat persepsi . . . kita dapat berhubungan dengan dunia” (“. . . perceiving plays such an important and central role in our living . . . the study of perception is one of the oldest, as well as most recent activities of mankind. . . Trough perception. . . we come in contact with the world”). Persepsi didefinisikan dengan berbagai cara. Forgus dan Forgus dan Melamed
(Asngari,
1984)
mendefinisikan
persepsi
sebagai
proses
pengumpulan informasi (“the process of information extraction”). The New Columbia Encyclopedia mendefinisikan
pengorganisasian mental dan
interpretasi dari informasi yang ditangkap (“mental organization and interpretation of sensory information.”) Day (Asngari, 1984) mendefinisikan
13 persepsi sebagai . . . pemeliharaan organisme dalam hubungannya dengan lingkungan (“Perception is . . . the organism’s maintenance of contact with its environment”). Menurut Litterer (Asngari, 1984), persepsi adalah pengertian pandangan manusia yang berkaitan dengan dunia di sekitar mereka (“the understanding of view people have of things in the world around them”), sedangkan Hilgard (Asngari, 1984) menyebutkan bahwa persepsi adalah proses dalam memahami obyek-obyek (“perception is the process of becoming aware of objects”). Combs, Avila dan Purkey (Asngari, 1984) mendefinisikan persepsi sebagai interpretasi individu mengenai sesuatu yang mereka lihat, khususnya bagaimana individu itu melihat diri mereka dalam kaitan dengan dunia dimana mereka berada (“perception is the interpretation by individuals of how things seem to them, especially in reference to how individuals view themselves in relation to the world in which they are involved”). Di lain pihak Allport (Asngari, 1984) menyebutkan bahwa persepsi memiliki sesuatu yang harus dilakukan berkaitan dengan pemahaman obyekobyek atau kondisi mengenai kita, itu tergantung dari obyek lewat pancaindera kita, bagaimana sesuatu dilihat oleh kita, didengar, dirasakan, dicium. Tetapi persepsi juga termasuk pengertian tentang pemahaman, sebuah “arti” atau sebuah “penghargaan” dari obyek-obyek ini ( . . . it (perception) has something to do with awareness of the objects or condition about us. It’s dependent to a large extent upon the impression these object make upon our senses. It is the way things look to us, or the way they sound, feel, taste or smell. But perception also involves, to some degree, and understanding awareness, a ‘meaning’ or a ‘recognition’ of these objects). Pembentukan persepsi menurut Litterer, ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat ia hidup, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Orang bertindak sebagian dilandasi oleh persepsi mereka pada suatu situasi. Di lain pihak, pengalamannya berperan pada persepsi orang itu menurut Stogdill, Hilgard, dan Sanders et al. (Asngari 1984).
14 Litterer menunjukkan bahwa persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta atau tindakan. Karena itu individu perlu mengerti dengan jelas tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Litterer (Asngari, 1984), salah satu faktor dasar persepsi adalah kemampuan orang-orang mengumpul fakta-fakta yang terbatas dan bagianbagian informasi kemudian menyusun dalam gambaran yang utuh. Proses ini merupakan peran penting dalam persepsi (One of the basic factors in perceptions is the ability of people to take a limited number of facts and pieces of information and fit them into a whole picture. This process of closure plays a central role in perception). Walaupun seseorang hanya mendapat bagianbagian informasi, dia dengan cepat menyusunnya menjadi suatu gambaran yang menyeluruh dan orang itu akan menggunakan informasi yang diperolehnya untuk menyusun gambaran yang menyeluruh. Pembentukan persepsi ada tiga mekanisme: “selectivity, closure, and interpretation.” Secara skematis ditunjukkan dalam Gambar 1:
Mekanisme pembentukan persepsi
Informasi sampai ke individu
Pembentukan persepsi
Selectivity
Interpretation
Closure
Pengalaman masa silam
Persepsi
Perilaku
Gambar 1. Pembentukan Persepsi menurut Litterer (Asngari, 1984)
15 Informasi yang sampai pada seseorang menyebabkan individu yang bersangkutan
membentuk
persepsi,
dimulai
dengan
pemilihan
atau
menyaringnya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadilah interpretasi mengenai fakta keseluruhan informasi itu. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam dan dahulu memegang peranan yang penting. Dengan demikian makna tersebut sangat penting bagi pengertiannya. Litterer menekankan bahwa persepsi seseorang terhadap sesuatu yang dianggap berarti atau bermakna, tidak akan mempengaruhi perilakunya. Sebaliknya, bila ia beranggapan bahwa hal tersebut dipandang nyata, walau kenyataannya tidak benar atau tidak ada, akan mempengaruhi perilaku atau tindakannya. Studi-studi tentang persepsi pernah dilakukan oleh Biever mengenai peranan penyuluh pertanian, Biever, mendapatkan bahwa umur responden berpengaruh nyata pada persepsi terhadap peranannya. Biever juga mengemukakan bahwa ada kaitan antara persepsi dengan pendidikan. Demikian pula dengan penemuan Griffith yang menunjukkan adanya kaitan antara persepsi dan umur (Asngari, 1984). Pada penelitian Beaver, mengenai persepsi ’county extention comittee members’ dan penyuluh pertanian pada penyusunan program penyuluhan, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan nyata dengan persepsinya. Hasil yang sama dengan Beaver ditemukan oleh Griffith, yakni umur secara nyata tidak ada kaitannya dengan persepsinya terhadap kegunaan lembaga penyuluhan. Selain itu, White dalam penelitiannya menemukan tidak ada hubungan antara persepsi dengan lamanya pengalaman bekerja dan tingkat pendidikan formal respondennya (Asngari, 1984). Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu panca indera. Proses ini tidak berhenti di sini saja. Pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat
16 susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi (Walgito, 2002). Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan, sebaliknya alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Dalam hal persepsi mengenai orang itu atau orang-orang lain dan untuk memahami orang dan orang-orang lain, persepsi itu dinamakan persepsi sosial dan kognisinya pun dinamakan sebagai kognisi sosial (Sarwono, 1997). Desiderato (Rakhmat, 2005) menggambarkan persepsi sebagai pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi. Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi, harapan, motivasi dan memori. Persepsi, seperti juga sensasi ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional. Krech dan Crutchfield (Rakhmat, 2005) merumuskan dalil persepsi yang pertama: ”persepsi bersifat selektif secara fungsional.” Dalil ini berarti bahwa obyek-obyek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Mereka memberikan contoh pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya terhadap persepsi. Bila orang lapar dan orang haus duduk di restoran, yang pertama akan melihat nasi dan daging, yang kedua akan melihat limun atau coca-cola. Kebutuhan biologis menyebabkan persepsi yang berbeda. Maramis (2006) menjelaskan bahwa persepsi merupakan keseluruhan proses mulai dari stimulus (rangsangan) yang diterima pancaindera (hal ini dinamakan sensasi), kemudian stimulus diantar ke otak yang diartikan dan selanjutnya mengakibatkan pengalaman yang disadari. Ada yang mengatakan bahwa persepsi merupakan stimulus yang ditangkap oleh pancaindera individu, lalu diorganisasikan dan kemudian diinterpretasikan, sehingga individu
17 menyadari dan mengerti sesuatu yang diindera itu. Ada yang dengan singkat mengatakan: persepsi adalah memberikan makna pada stimulus inderawi. Informasi jarak jauh diterima melalui penglihatan dan pendengaran. Informasi jarak dekat bisa lewat penciuman (pada binatang bisa jarak jauh). Umumnya bagi manusia, penglihatan dan pendengaran dianggap sangat dapat dipercaya dan dipakai terutama untuk mengetahui bila terdapat konflik dalam informasi yang masuk. Adapun indera yang lain tak kalah penting juga, karena bisa membangkitkan suatu perasaan, seperti sexual (melalui pembauan dan perabaan), lapar (melalui pembauan dan pengecapan), dan lain-lain. Sensasi umumnya diartikan sebagai perasaan fisik dan emosi sebagai perasaan psikologis. Tubuh manusia merekam perubahan-perubahan pada lingkungan internal dan eksternal. Rangsangan yang tidak berubah-ubah, yang terus menerus sama saja, akhirnya menimbulkan kebiasaan, reseptor-reseptor sudah terbiasa dan kita tidak menyadari lagi rangsangan itu, seperti tukang masak yang tidak dapat menikmati lagi hasil makanannya karena penciumannya sudah teradaptasi selama ia memasak. Demikian pula jika kita bersandar lama pada tembok, maka bagian tubuh yang tersandar itu tidak akan merasakan lagi. Seekor anjing yang sejak lahir dibesarkan dalam lingkungan yang miskin akan stimulus, maka ia tidak akan menunjukkan respon menghindar yang normal terhadap stimulus yang mengakibatkan rasa sakit, umpamanya hampir ditabrak mobil atau hampir terkena lemparan batu. Penelitian pada manusia mengenai hal ini lebih sukar, di suatu tempat asuhan, White (Maramis, 2006) memperlihatkan bahwa bayi-bayi yang diberi lingkungan visual yang merangsang, menunjukkan keterampilan menggenggam lebih baik daripada yang tetap saja di lingkungan panti asuhan yang miskin stimulus, membosankan serta monoton. Orang yang penglihatannya terganggu sejak kecil karena katarak, setelah kataraknya diambil pada waktu dewasa, ternyata kurang mampu memahami informasi visual. Hal ini terjadi karena proses belajar melalui penglihatan terganggu, dan memahami informasi visual menjadi makin sukar setelah dewasa. Di sisi lain, karena bakat dan studi,
18 perbedaan intensitas dan rangsangan yang masuk dan perbedaan itu masih dapat dirasakan, makin lama makin kecil. Harapan perseptual (perceptual expectancy) adalah mempersepsi sesuai dengan harapan kita dan ketetapan atau kekonstanan obyek (object constancy) dengan mempersepsi objek seperti konstan atau tetap saja dalam bentuk, ukuran, terang dan warna. Kita melihat objek sebagai sama besar biarpun berada pada jarak yang berbeda-beda dan gambaran pada retina berbeda juga. Kita dapat membuat lukisan tiga dimensi dengan memakai garis-garis yang berkonvergensi sebagai isyarat jarak (yang biasanya kita tidak menyadarinya), yang biasanya tidak terdapat pada lukisan anak-anak. Keragu-raguan persepsi, bila kita ragu-ragu mengenai sesuatu yang kita persepsikan, dapat diatasi dengan pengalaman terdahulu, seperti dengan kekonstanan perseptual. Hal ini adalah jalan pintas yang berguna, akan tetapi terkadang dapat menimbulkan kekeliruan. Ini dapat terjadi bila seorang petugas kesehatan membuat diagnosis pada pasien/pelanggan dan tidak memeriksa data lain yang mungkin dapat mengubah diagnosis itu yaitu tidak memeriksa diagnosis diferensial. Hal ini dapat mengakibatkan prasangka sosial (social prejudice) bila warna kulit atau logat bicara menimbulkan pola respon yang stereotip. Sebagai petugas kesehatan harus hati-hati dengan hal seperti ini. Rhine (Maramis, 2006), seorang psikolog Amerika Serikat, dengan beberapa eksperimen pada para mahasiswanya telah membuktikan secara ilmiah bahwa informasi dapat juga masuk pada kita tanpa melalui pancaindera. Ia menamakan hal ini extrasensory perception atau ESP. Ia menemukan ada ESP dalam ruang (mengetahui hal-hal yang terjadi di tempat lain: mengetahui pikiran orang lain/telepati), dan ESP dalam waktu (proskopi: mengetahui masa depan dan retrokognisi: mengetahu masa lalu). Bila kita menghadapi hal-hal seperti ini, maka pertama-tama jangan langsung menolak atau menerima. Kita harus kritis dan menyingkirkan segala macam kemungkinan lain yang dapat saja terjadi seperti: sugesti, kebetulan, kepekaan pancaindera, penipuan, intuisi, dan lain sebagainya.
19 Gejala-gejala dan fenomena paranormal perlu juga diketahui oleh petugas kesehatan agar dapat lebih memahami pasien karena masyarakat kita masih percaya akan hal seperti itu. Namun sebagai petugas kesehatan harus dapat bersifat obyektif, tidak langsung meremehkan atau mengejek. Petugas kesehatan seyogyanya memahami pasien serta menghormati keyakinannya dan dengan bijaksana perlu mengemukakan pandangan dari sudut kedokteran ilmiah. Kerusakan pada alat penerima (kerusakan sensorik) terhadap rangsangan juga dapat memblokir proses persepsi seperti gangguan pada penglihatan (buta), gangguan pada pendengaran (tuli), gangguan pada penciuman, gangguan pada pengecapan, dan lain sebagainya. Kebutuhan Hidup Sehat Seorang Psikolog, Maslow (Maryam et al, 2007) mengidentifikasi hirarki kebutuhan yang menurut pendapatnya memainkan peran yang sangat penting dalam motivasi manusia. Orang yang lelah, lapar dan kesakitan akan termotivasi untuk mendapatkan kebutuhan fisiologis/biologis sebelum menjadi tertarik untuk belajar tentang perawatan diri dan pendidikan kesehatan. Teori Maslow berpendapat bahwa semua manusia mempunyai kebutuhan dasar umum yang terdiri atas beberapa tingkatan yakni tingkatan kebutuhan dasar fisik yang harus terpenuhi lebih dulu sebelum kebutuhan tingkat yang lebih tinggi. Misalnya kebutuhan dasar akan makanan, cairan dan oksigen harus dipenuhi lebih dulu atau sekurang-kurangnya sebagian terpenuhi agar kehidupan dapat terus berlanjut. Menurutnya lagi, setiap orang berusaha keras untuk menjadi segala sesuatu yang sanggup dicapainya karena manusia mempunyai dorongan atau motivasi untuk mencapai potensi setinggitingginya. Hirarki Maslow diartikan sebagai proses atau sistem yang menempatkan materi dan orang menurut derajat pentingnya. Hirarki kebutuhan adalah penempatan persyaratan atau keperluan fungsi manusia berdasarkan derajat (urutan) tingkatan pentingnya. Ia mengembangkan suatu tingkatan atau hirarki
20 kebutuhan manusia yang terdiri atas lima kategori, yaitu kebutuhan fisiologi, keselamatan, sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Semua kebutuhan ini merupakan bagian vital dari sistem manusia tetapi kebutuhan fisiologis merupakan prioritas teratas karena apabila tidak terpenuhi maka akan berpengaruh pada kebutuhan lainnya. Jika kebutuhan fisiologis sudah terpenuhi maka kebutuhan keselamatan merupakan prioritas teratas lagi, begitu terus sampai pada tingkatan teratas yaitu aktualisasi diri. Semua kebutuhan ini terdapat dalam setiap individu, tetapi prioritas dapat berubah sesuai dengan waktu, tempat dan kegiatan individu. Tingkat kebutuhan yang lebih tinggi lagi adalah kebutuhan rasa aman dan nyaman, kebutuhan dicintai dan dimiliki, kebutuhan harga diri serta kebutuhan perwujudan diri. Tingkat kebutuhan tersebut merupakan rangkaian yang tidak dapat
dipisahkan
dan
saling
mempengaruhi
karena
setiap
manusia
membutuhkannya. Misalnya pada pasien diare prioritas utama adalah pemenuhan kebutuhan fisiknya yaitu kebutuhan akan cairan dan elektrolit, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan lainnya perlu diperhatikan seperti rasa aman dan kasih sayang.
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan harga diri Kebutuhan Hubungan sosial
Kebutuhan keamanan, keselamatan, Keterjaminan Kebutuhan-kebutuhan biologis
Gambar 2. Piramida Kebutuhan Manusia Menurut Maslow (Sumber: Slamet, 1996)
21 Kesehatan adalah kondisi dinamis manusia dalam rentang sehat-sakit yang merupakan hasil interaksi dengan lingkungan yakni sehat merupakan keadaan seimbang bio-psiko-sosio-spiritual yang memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri sehingga dapat berfungsi secara optimal guna memenuhi kebutuhan dasar melalui aktivitas hidup sehari-hari (Maryam et al, 2007). Mardikanto (1992) dalam bukunya Penyuluhan Pembangunan Pertanian menjelaskan bahwa hal yang utama adalah Real Needs daripada Felt Needs. Penekanan dalam uraian di atas tersebut adalah perlunya Real Needs bagi masyarakat, agar harapan untuk berpartisipasi dalam program pemerintah bidang layanan kesehatan untuk keberhasilan pembangunan kesehatan dapat terwujud, dan tingkat kesejahteraan masyarakat semakin baik. Kinerja Kinerja seseorang memiliki kaitan dengan kebutuhan baik kebutuhan dasar (basic needs) maupun kebutuhan sekunder (psikologic dan sosiologic needs) dan
penghargaan
(recognition)
yang
didapatkannya.
Apabila
ada
keseimbangan antara tiga hal ini maka akan tercipta kualitas sumberdaya manusia yang baik yang ditunjukkan dengan kinerja yang tinggi. Performance atau kinerja yang baik menunjukkan sumberdaya manusia yang berkualitas (qualified human resources) (Gilley dan Eggland, 1989). Kinerja yang seimbang antara biological, psychological dan sociological akan
menghasilkan
suatu
gabungan
kinerja
yang
proposional
dan
menghasilkan suatu kinerja seseorang yang sesungguhnya, yaitu dengan kematangan biological (umur yang sesuai, keadaan fisik yang baik) yang memungkinkan seseorang melakukan dengan baik pekerjaan fisik, kematangan sociological (kemampuan bersosialisasi dan berkumpul, berorganisasi) yang mengakibatkan seseorang dapat bekerja sama dengan orang lain dan kematangan psychological (penguasaan emosi, pengambilan keputusan yang baik dalam tekanan, dan lain-lain) yang membuat seseorang dapat menghasilkan kinerja yang baik dalam setiap keadaan yang muncul dalam bekerja
22 Dalam usaha peningkatan kinerja, ada dua hal yang menjadi pertanyaan: (1) Hal apa yang penting dalam pengembangan individu petugas kesehatan? dan (2) Tipe peningkatan apa yang sedang terjadi dalam suatu organisasi Puskesmas? Dalam pengembangan orang-orang menunjuk pada usaha peningkatan pengetahuan, kemampuan dan kompetensi juga peningkatan perilaku dari individu-individu dalam organisasi Puskesmas baik dari sisi personal maupun sisi professional. Refleksi ini memberi fokus pada individunya dan juga merefleksikan komitmen filosofis untuk peningkatan profesional dari orang-orang dalam organisasi (career development). Akhirnya, pengembangan individu dalam organisasi diarahkan pada peningkatan kinerja dengan tujuan organisasi tersebut mendapatkan manfaat (benefit) yaitu organisasi Puskesmas yang efisien, lebih efektif dalam berkompetisi dan manfaat yang lebih baik. Peningkatan kinerja baik individual maupun organisasi tidak dapat terjadi sampai orang-orang tersebut berpartisipasi
dalam
usaha
yang
dirancang
dalam
memperkenalkan
pengetahuan dan ketrampilan baru dan usaha meningkatkan perilaku yang telah ada. Ini tentunya dapat dicapai lewat pengalaman kerja harian, namun akan membutuhkan waktu yang lama serta hasil yang tidak dapat dijamin, bahkan mungkin akan terjadi peningkatan pada hal-hal yang tidak diinginkan. Dari perspektif organisasi, peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kompetensi dari pegawai dan memperbaiki perilaku mereka, tapi harus meningkatkan kinerja yang akan membawa pada competitiveness dan efisiensi. Jika dilihat dari asal katanya, kata kinerja adalah terjemahan dari kata performance, yang menurut The Scribner-Bantam English Dictionary, terbitan Amerika Serikat dan Kanada (1979), berasal dari akar kata “to perform” dengan beberapa entri yaitu: (1) Melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry out); (2) Memenuhi atau melaksanakan kewajiban suatu niat atau nazar
(to
discharge
of
fulfill;
as
vow);
(3)
Melaksanakan
atau
menyempurnakan tanggung jawab (to execute or complete an understaking); dan (4) Melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin (to do what is expected of a person machine).
23 Beberapa pengertian berikut ini akan memperkaya wawasan kita tentang kinerja (Rivai dan Basri, 2005) adalah sebagai berikut: (1) Menurut Stolovitch dan Keeps (1992) kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta; (2) Griffin (1987) menyatakan bahwa kinerja merupakan salah satu kumpulan total dari kerja yang ada pada diri pekerja; (3) Menurut Mondy dan Premeaux (1993) Kinerja dipengaruhi oleh tujuan; (4) Hersey dan Blanchard (1993) menjelaskan kinerja sebagai suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan ketrampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya; (5) Menurut Casio (1992) kinerja merujuk kepada pencapaian tujuan karyawan atas tugas yang diberikan; (6) Penjelasan kinerja, menurut Donnely, et al (1994) merujuk pada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dikatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik; (7) Pencapaian tujuan yang telah ditetapkan merupakan salah satu tolok ukur kinerja individu. Ada tiga kriteria dalam melakukan penilaian kinerja , yaitu: (a) tugas individu, (b) perilaku individu dan (c) ciri individu, pendapat ini menurut Robbin (1996); (8) Schermerhorn, et al. (1991) menjelaskan kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang dilakukan individu, kelompok maupun perusahaan; dan (9) Robbins (1996) menjelaskan kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kinerja = f (A x M x O ). Artinya, kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan. Dengan demikian kinerja ditentukan oleh faktorfaktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Menurut Blanchard (2007) organisasi yang berkinerja tinggi adalah organisasi dengan: (1) Informasi yang terdistribusi dan komunikasi yang terbuka, (2) Visi yang meyakinkan, (3) Pembelajaran yang berkelanjutan, (4)
24 Fokus tanpa henti pada kepuasan pelanggan, dan (5) Memiliki sistem dan struktur yang memberi semangat. Semua kinerja yang bagus bermula dari sasaran yang jelas. Mengklarifikasi sasaran juga termasuk membuat orang-orang mengerti dua hal: (1) Apa yang harus mereka lakukan? yaitu ruang lingkup dan tanggung jawab mereka dan (2) Seperti apa sebuah kinerja yang baik? serta standar kinerja yang akan mengevaluasi mereka. Stettner (2005) mengemukakan bahwa banyak manajer/pimpinan
baru
takut dengan penilaian kinerja, terutama ketika bertemu dengan karyawan yang memiliki kinerja buruk atau tidak konsisten. Peninjauan ulang kinerja secara formal menjadi lebih mudah bila secara tidak resmi kita memperbarui kualitas kerja karyawan sepanjang tahun. Jika mereka selalu tahu hal-hal yang mereka lakukan dengan baik dan hal-hal yang perlu mereka perbaiki, maka akan terdapat beberapa kejutan selama penilaian yang dijadwalkan secara tetap. Ia pula mengemukakan bahwa perlu diseimbangkan kekuatan dan kelemahan ketika meninjau ulang kinerja seseorang. Jangan berlebihan dalam arah manapun. Jika kita hanya memikirkan ketidak sempurnaan karyawan, maka kita akan mengurangi semangat mereka, tetapi pengampunan yang tidak hentinya dapat membuat karyawan menyimpulkan bahwa mereka tidak pernah salah di mata kita (Stettner, 2005). Lebih jauh Stettner menyarankan untuk selalu meningkatkan karyawan yang berkinerja buruk dan sedang dengan menetapkan standar yang tinggi. Jika kita menoleransi kinerja yang buruk atau sedang dari karyawan, maka riwayat kita akan tamat bersama dengan sekelompok orang-orang yang tidak berprestasi. Dengan mengubah pekerja berkinerja sedang menjadi bintang berkinerja tinggi, akan mempesonakan atasan dan mendapat reputasi sebagai seorang pemimpin yang memerintah dengan keras yang berorientasi pada hasil. Puskesmas Menurut Hatmoko (2006) Puskesmas adalah suatu satuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan
25 masyarakat yang juga membina peranserta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Dengan kata lain puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Demikian pula dengan pendapat Azwar (Rahayu, 2006) bahwa Puskesmas adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan
kegiatannya
secara
menyeluruh,
terpadu,
dan
berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Sebelum Puskesmas didirikan, pelayanan kesehatan di Kecamatan meliputi Balai Pengobatan, Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak, Usaha Hygiene Sanitasi Lingkungan, Pemberantasan Penyakit Menular, dan lain-lain. Usaha-usaha tersebut masih bekerja sendiri-sendiri dan langsung melapor kepada Kepala Dinas Kesehatan Dati II (sekarang Kabupaten/Kota). Pelayan Balai Pengobatan tidak tahu menahu hal-hal yang terjadi di BKIA, begitu juga pelayan BKIA tidak mengetahui hal-hal yang dilakukan oleh pelayanan Hygiene Sanitasi dan sebaliknya (Hatmoko 2006), sehingga pelayanan Puskesmas saat ini merupakan suatu pelayanan yang integratif dan terkoordinatif, sehingga sasaran peningkatan kesehatan masyarakat dapat menjadi lebih efisien dan efektif. Fungsi dan peran Puskesmas adalah: (1) Sebagai Pusat Pembangunan Kesehatan Masyarakat di wilayah kerjanya, (2) Membina peranserta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat, dan (3) Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Proses dalam melaksanakan fungsinya, dilaksanakan dengan cara: (a) Merangsang masyarakat, termasuk swasta, untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri; (b) Memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang cara menggali dan menggunakan sumberdaya yang ada
26 secara efektif dan efisien; (c) Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan rujukan medis maupun rujukan masyarakat
kesehatan
kepada
dengan ketentuan bantuan tersebut tidak menimbulkan
ketergantungan; (d) Memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat; dan (e) Bekerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan program Puskesmas. (Hatmoko 2006) Dalam konteks Otonomi Daerah saat ini, Puskesmas mempunyai peran yang sangat vital sebagai institusi pelaksana teknis, dituntut memiliki kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke depan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan dalam bentuk ikut serta menentukan kebijakan daerah melalui sistem perencanaan yang matang dan dapat direalisasikan, tatalaksana kegiatan yang tersusun rapi, serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Rangkaian manajerial di atas bermanfaat dalam penentuan skala prioritas daerah dan sebagai bahan kesesuaian dalam menentukan RAPBD yang berorientasi kepada kepentingan dan pengembangan masyarakat. Adapun ke depan, Puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu. Program pokok puskesmas meliputi: (1) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA), (2) Keluarga berencana, (3) Usaha peningkatan gizi. (4) Kesehatan Lingkungan, (5) Pemberantasan penyakit menular, (6) Upaya pengobatan termasuk
penanganan darurat
kecelakaan, (7)
Penyuluhan
kesehatan
masyarakat, (8) Usaha kesehatan sekolah, (9) Kesehatan olah raga, (10) Perawatan kesehatan masyarakat, (11) Usaha kesehatan kerja, (12) Usaha kesehatan gigi dan mulut, (13) Usaha kesehatan jiwa, (14) Kesehatan mata, (15) Laboratorium, (16) Pencatatan dan pelaporan sistem informasi kesehatan, (17)
Kesehatan usia lanjut, dan (18) Pembinaan pengobatan tradisional
(Hatmoko, 2006). Penyuluhan Menurut Asngari (2003), penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku kelayan sesuai dengan
27 yang direncanakan atau dikehendaki yakni orang makin modern. Ini merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu kelayan agar lebih berdaya secara mandiri. Makna orang modern sebagaimana disebutkan oleh Inkeles (Asngari, 2003) adalah sebagai berikut: (1) Terbuka dan siap menerima perubahan (pembaruan), pengalaman baru, inovasi, penemuan baru yang lebih baik, pandangan baru dan sebagainya; (2) Orientasinya realistik/demokratis : kecenderungan membentuk atau menerima pendapat lingkungan; (3) Berorientasi masa depan dan masa kini, dan bukannya masa silam; (4) Hidup perlu direncanakan dan diorganisasikan; (5) Orang belajar menguasai lingkungan (tidak pasrah); (6) Rasa percaya diri tinggi, optimis dunia di bawah kontrolnya; (7) Penghargaan pada pendapat orang lain, tiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan; (8) Memberi nilai tinggi pada pendidikan formal, juga informal dan nonformal; (9) Percaya pada ipteks dan perkembangannya; dan (10) Percaya bahwa imbalan harus seimbang dengan prestasinya. Selanjutya yang dimaksud dengan penyuluhan pembangunan (termasuk pembangunan di bidang kesehatan) adalah upaya transformatif melalui pendekatan pendidikan, komunikasi, dan partisipasi agar masyarakat dapat mengambil keputusan mengelola kegiatan menuju kesejahteraannya (Amanah, 2005). Pemberdayaan Meskipun tidak ada satu definisi tunggal tentang pemberdayaan atau keberdayaan, namun umumnya keberdayaan berbicara tentang transformasi hubungan kekuasaan (Power) yang meliputi penguasaan sumberdaya, perubahan persepsi dan keyakinan akan diri sendiri; yang dapat dilihat sebagai dampak maupun proses. Secara konseptual, pemberdayaan pada intinya membahas cara individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Konsep ini mulai tampak ke permukaan sekitar dekade 1970-an, terus berkembang sepanjang 1980-an hingga 1990-an (Yustina, 2004).
28 Menurut Pranarka dan Vidhyanka (Yustina, 2004), munculnya konsep pemberdayaan, untuk tujuan keberdayaan,
merupakan akibat dari reaksi
terhadap alam pikiran, tata masyarakat dan tata budaya yang sebelumnya berkembang di suatu negara. Pada awal gerakannya, konsep pemberdayaan, agar terjadi keberdayaan, bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat (community development). Tujuan pemberdayaan, agar terjadi keberdayaan, (Ife, 2002) adalah meningkatkan kekuasaan (power) orang-orang yang tidak beruntung (disadvantage). Ada tiga kelompok mereka yang disebut disadvantage: (1) Primary structural disadvantage (kelas, gender, ras); (2) Other disadvantage groups
(umur,
cacat
fisik/mental,
masyarakat
yang
terisolasi,
homoseks/lesbian); dan (3) Personal disadvantage (orang yang berduka cita, mengalami masalah dalam hubungan keluarga, krisis identitas, masalah seks, kesepian, malu dan masalah pribadi lainnya yang dapat membuat orang tidak berdaya). Dalam upaya memberdayakan masyarakat, Kartasasmita (Yustina, 2004), berpendapat bahwa pendekatannya harus dimulai dengan menciptakan iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi masyarakat. Hal ini didasari pemikiran bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Dengan kata lain tidak ada sama sekali masyarakat yang tanpa daya. Pembangunan adalah upaya untuk membangun daya tersebut, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Pembangunan Masyarakat Semua pembangunan menyangkut bahkan ditujukan untuk masyarakat, termasuk pembangunan kesehatan. Sebagai metode, pembangunan masyarakat mempunyai karakteristik tersendiri. Pembangunan masyarakat tidak saja bermaksud membina hubungan dan kehidupan setiap orang untuk hidup bermasyarakat, melainkan juga membangun masyarakat karena setiap satuan
29 masyarakat mempunyai kekuatan sendiri, seperti kerukunan, keakraban solidaritas dan kebersamaan. Dalam pembangunan masyarakat terdapat juga pembangunan sosial (social development) yang merupakan salah satu upaya mewujudkan cita-cita negara kesejahteraan (welfare state). Ponsioen (Ndraha, 1990) menjelaskan bahwa pembangunan nasional merupakan pembangunan multidimensional dengan tiga dimensinya, yaitu: (1) Pembangunan ekonomi, (2) Pembangunan politik, dan (3) Pembangunan sosial. Pelayanan sosial meliputi berbagai usaha perbaikan maupun pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, kerohanian, perumahan, lingkungan hidup, olah raga, jaminan sosial, asuransi dan berbagai upaya mencegah atau memperbaiki akibat dari berbagai bencana alam, penyakit menular dan sebagainya. Bantuan sosial termasuk juga dalam konsep ini. Pekerja sosial (social worker) erat sekali berkaitan dengan pelayanan sosial, bahkan dalam beberapa hal, keduanya memiliki bidang pengabdian yang sama. Friedlander (Ndraha, 1990) mengungkapkan bahwa pekerjaan sosial meliputi tiga prinsip yaitu: (1) Keyakinan akan harga, integritas dan martabat manusia individual; (2) Tiap individu membutuhkan pertolongan dan berhak menentukan sendiri kebutuhannya, menyatakan keinginannya, menunjukkan kondisinya sebagaimana adanya dan memilih cara terbaik untuk mengatasinya. Ia dituntut untuk menolong dirinya sendiri (self help); (3) Keyakinan bahwa di dalam suasana dimana setiap orang diberi atau mempunyai kesempatan yang sama, kemampuan setiap orang sajalah yang membedakannya dengan orang lain. sehingga kemampuannya perlu ditingkatkan; dan (4) Keyakinan bahwa hak individual manusia untuk dihormati, bermartabat, menentukan nasib sendiri dan kesempatan yang sama, berkaitan dengan tanggung jawab sosialnya terhadap dirinya sendiri, keluarganya dan masyarakatnya, serta hubungan menerima dan memberi. Inti pendekatan pada layanan kemanusiaan (human services) adalah bahwa masyarakat harus bertanggung jawab tidak saja pada layanan yang diberikan
30 tetapi juga terlibat dalam identifikasi kebutuhan, perencanaan layanan yang cocok dengan kebutuhan, dan monitoring serta evaluasi program (Ife, 2002). Untuk menjadi pekerja pembangunan masyarakat dan organisasi, bukanlah tugas yang mudah; itu adalah karir dan sebuah misi. Kualifikasi prospektif yang harus dimiliki adalah: (1) Ia telah menunjukkan potensi dalam hal pekerjaan
pembangunan
masyarakat;
(2)
Ia
menunjukkan
komitmen
profesional, arah tujuan, motivasi, kematangan yang tercantum dalam sejarah pekerjaannya; (3) Ia berkeinginan memahami dan menghormati nilai-nilai dan budaya masyarakat setempat; dan (4) Ia merupakan teladan yang baik dengan orang yang bekerja dengannya (Andres, 1988). Dalam definisi formal menurut PBB, community development (CD) adalah sebuah proses usaha-usaha pemerintah disatukan dengan masyarakat untuk peningkatan kondisi sosial, budaya dan ekonomi dalam komunitas (”...a process whereby the efforts of Government are united with those of the people to improve the social, cultural and economic condition in communities). Namun satu kata kunci yang menjadi titik perhatian disini adalah “komunitas” atau lebih tepatnya “bekerja dengan komunitas.” Jadi untuk mengidentifikasi apakah sebuah aktivitas tergolong sebagai CD atau bukan, kita harus menjawab apakah selama ini kegiatan kita di desa memang telah bekerja bersama komunitas atau belum.
Adanya partisipasi masyarakat menjadi
indikator yang mutlak. Bergulirnya konsep “bekerja dengan komunitas,” merupakan bentuk kritik terhadap pendekatan pembangunan sebelumnya yang top down dan kurang memperhatikan keunikan, kemampuan dan kespesifikan permasalahan tiap kelompok masyarakat. Secara umum dikenal tiga bentuk aktivitas dengan komunitas (Community practice), yaitu: (1) Social action, (2) Social planning, dan (3) Community development (Syahyuti, 2006). Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan menurut Levey dan Loomba (Muzaham, 1995), adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam
31 suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, dan ataupun masyarakat. Sekalipun pelayanan kedokteran berbeda dengan pelayanan kesehatan masyarakat, namun untuk dapat disebut sebagai suatu pelayanan kesehatan yang baik, keduanya harus memiliki berbagai persyaratan pokok. Syarat pokok yang dimaksud adalah: (1) Tersedia dan berkesinambungan, (2) Dapat diterima dan wajar, (3) Mudah dicapai, dan (4) Bermutu. Departemen Kesehatan RI menyebutkan bahwa Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Dalam pengertian yang lebih spesifik digambarkan bahwa Puskesmas adalah satuan organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan dijangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna dengan biaya yang dapat dipikul oleh Pemerintah dan Masyarakat. Upaya pelayanan kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh pelayanan dasar kesehatan, namun ternyata hal ini tidak berlaku untuk semua orang. Orang miskin
seringkali
harus
menghadapi
perlakuan
diskriminatif
ketika
berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Dalam beberapa penelitian PSKK UGM (Maika, 2007) terlihat banyak contoh perlakuan buruk yang dialami orang miskin ketika mereka ingin mendapatkan pelayanan kesehatan. Sebagai contoh adalah ilustrasi berikut ini yang merupakan salah satu temuan dari survei demokrasi dan tata pemerintahan 2002 (Maika, 2007), terjadi
32 diskriminasi pelayanan pengguna kartu sehat.
Sebut saja namanya Ibu
Sumirah, 34 tahun, adalah istri muda seorang pensiunan dengan golongan I/d. Ibu Sumirah hendak mengangkat tumor perut di RSUD milik pemerintah daerah. Sudah lima hari ia dirawat di RSUD untuk melakukan pemeriksaan. Ia menempati bangsal, satu ruangan berisi enam orang. Tumor perut yang cukup besar mengharuskannya tidur terlentang dengan posisi kepala jauh lebih tinggi untuk mempermudah bangun karena setiap saat ibu Sumirah berhajat air kecil.
Karena jatah pasien adalah satu bantal, untuk meninggikan posisi
kepala, ia minta satu bantal lagi pada perawat karena tempat tidur yang digunakan tidak seperti rumah sakit kota-kota besar yang dengan mudah mengatur posisi tempat tidur. Di luar dugaan perawat tidak memberikan seperti yang diinginkan, namun mengambilkan sebuah dingklik agar ditaruh di bawah bantal untuk meninggikan posisi kepala, sambil mengatakan, ”Ibu punya uang berapa, kok mau minta tambahan bantal, bantalnya habis, kalau kurang ambil saja di rumah.” Dengan segala kerendahan hati dan kepasrahan yang dalam, ia kemudian diam dan tidak berkomentar sedikitpun (Maika, 2007). ”Kami yang membutuhkan mereka, jadi sebaiknya kami jangan mengeluh.” Itulah ungkapan salah seorang pengunjung sebuah Puskesmas di Yogyakarta ketika ditanya pendapat mereka tentang berbagai keluhan mengenai minimnya pelayanan kesehatan di Puskesmas, termasuk dalam menghadapi pelayanan yang kurang ramah atau perlakuan yang tidak menyenangkan dari petugas kesehatan. Pelayanan yang diskriminatif juga dirasakan para pengguna kartu sehat atau kartu miskin yang sebetulnya diberikan pada masyarakat miskin untuk mempermudah akses mereka mendapatkan pelayanan kesehatan, terutama untuk meringankan biaya. Sehingga perlakuan yang kurang menyenangkan dari para petugas kesehatan membuat sebagian dari mereka enggan untuk menggunakannya dengan alasan takut diperlakukan secara semena-mena (Maika, 2007). Dalam survei kepuasan pelayanan kesehatan terhadap Puskesmas di kota Yogyakarta tahun 2005 oleh PSKK UGM (Maika, 2007), dari 69,83% pengunjung puskesmas yang memiliki kartu sehat hanya 39% yang
33 menggunakannya. Dari hasil penelitian yang sama juga terlihat bahwa ketidakramahan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan adalah salah satu keluhan utama yang dirasakan para pengunjung Puskesmas. Selain keluhan mengenai ketidakramahan pelayan, mereka juga mengeluhkan lambatnya proses pelayanan yang diterima sejak pertama kali mengikuti prosedur yang telah ditetapkan yaitu melakukan pendaftaran hingga mengambil obat di bagian Farmasi. Menurut para pengunjung, keterlambatan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu cara kerja pelayan yang lambat, sistem registrasi dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, serta kurangnya disiplin kerja para petugas kesehatan yang terlihat sering membiarkan pasien lama menunggu untuk dilayani. Selain itu, diskriminasi pelayanan di loket antrian juga menjadi sorotan para pengunjung karena beberapa pelayan terlihat mendahulukan orang yang mereka kenal dibanding dengan pengunjung lain. Dari berbagai contoh kasus di atas, persoalan pelayanan kesehatan terutama bagi para pengunjung fasilitas kesehatan publik milik pemerintah yang umumnya adalah orang miskin, secara umum diwarnai oleh isu kesalahan manusia, seperti ketidakramahan pelayan termasuk ketidakdisiplinan mereka dalam menjalankan tugas adalah sebagai persoalan perilaku tiap-tiap individu. Pendapat ini sempat terlontar dalam diskusi kelompok terfokus dengan para praktisi kesehatan di kota Yogyakarta. Menurut seorang peserta diskusi yang kebetulan adalah salah seorang kepala Puskesmas, sumberdaya manusia yang ada di Puskesmas adalah penugasan dari lembaga yang berada di atasnya. Sebagai seorang pemimpin institusi, mereka tidak berwenang untuk memilih pegawainya dengan kualifikasi terbaik dan bersyarat ideal. Bisa saja pegawai yang direkrut dari sisi profesional beretos kerja yang baik, tapi tidak diikuti dengan kepribadian yang mendukung. Ada pula pegawai yang memiliki persoalan pribadi dan masalah rumah tangga yang membuat dirinya selalu terlihat bersikap tidak ramah terhadap orang lain. Semua itu adalah persoalan sikap atau perilaku layanan umum yang sulit diubah oleh pihak luar. Pendapat seperti itu juga dibenarkan oleh beberapa peserta diskusi yang lain (Maika, 2007).
34 Jika pendapat tersebut diyakini oleh banyak orang, bahwa sikap ramah atau tidak ramah adalah persoalan perilaku personal yang tidak bisa diperbaiki oleh orang lain, sama saja dengan membiarkan orang lain menderita karena mengalami perlakuan yang tidak humanis dari orang seperti mereka. Hal tersebut berarti membiarkan seseorang berlaku seenaknya pada orang lain. Agar dapat memberikan pelayanan yang baik bagi semua warga termasuk mereka yang berasal dari kelompok miskin karena sering menerima perlakuan diskriminatif, persoalan perilaku pelayanan petugas kesehatan dirasakan perlu segera ditangani. Hal lain yang menjadi keluhan pengunjung adalah minimnya informasi yang diberikan dokter tentang penyakit dan kondisi kesehatan mereka yang sesungguhnya. Terdapat alasan mengapa banyak masyarakat tidak mendapatkan informasi yang benar mengenai kesehatan mereka. Selain itu, mereka tidak memiliki informasi mengenai obat-obatan yang mereka konsumsi, baik dalam hal jenis obat, manfaat, cara penggunaan dan terutama efek samping. Dalam etika kedokteran, informasi mengenai hal tersebut perlu disampaikan pada pasien. Mungkin belum ada penelitian yang dilakukan di Indonesia untuk mengetahui hubungan antara dokter dan pasien termasuk komunikasi mereka mengenai berbagai informasi obat-obatan yang dikonsumsi pasien. Waktu yang dibutuhkan dalam pemeriksaan adalah salah satu alasan yang membuat tidak banyak informasi yang diberikan kepada pasien. Namun hal itu sebetulnya bukan kendala bagi para petugas kesehatan untuk menyampaikan informasi kepada pasien. Komunikasi antara petugas kesehatan, dokter, tetap perlu dijaga terutama ketika informasi seperti itu dibutuhkan pasien tidak hanya agar mereka tahu kondisi kesehatannya, tapi juga agar mereka dapat lebih menjaga kesehatannya dan terhindar dari kondisi kesehatan yang lebih buruk (Maika, 2007). Kesehatan Menurut Ensiklopedia Bebas Wikipedia, Kesehatan, pada organisme hidup, bisa dimengerti sebagai homeostatis, yaitu keadaan di mana suatu organisme mengimbangkan badannya, dengan masukan tenaga dan massa dan hasil
35 tenaga dan massa di seimbangankan, yakni dikurangi massa yang ditahan untuk proses pertumbuhan biasa, serta harapan untuk kelangsungan hidup organisme adalah positif. Organization (WHO)
Organisasi Kesehatan Dunia / World Health
mendefinisikan sehat sebagai suatu keadaan fisik,
mental dan sosial yang sejahtera dan bukan hanya ketiadaan penyakit dan lemah.
Meskipun berguna dan tepat, definisi ini dianggap terlalu ideal dan
tidak nyata. Kalau menggunakan definisi WHO maka 70-95% orang di dunia dapat dinyatakan sebagian sehat. Ada sebuah ungkapan bahwa kesehatan adalah salah satu harta yang tidak ternilai. Ungkapan lain menyatakan bahwa kesehatan itu mahal harganya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan sangat penting bagi setiap individu. Kesehatan sangat penting bukan hanya bagi fisik seseorang, tetapi juga secara subjektif terhadap kesejahteraan mereka, bahkan lebih jauh bagi kehidupan sosial politik seseorang di dalam masyarakat. Secara sosiologis, penyakit mengancam group unity dan survival, baik dalam unit kelompok sosial sebagai keluarga maupun masyarakat. Penyakit dapat merusak komunikasi antar masyarakat, ketidakmampuan kepemimpinan, mengurangi kemampuan anggota kelompok untuk menjalankan tugas dan peran sosial mereka, baik yang assigned maupun yang ascribed, dan mengubah cara kelompok untuk memperhatikan dan merespon satu sama lain. Ini penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat memainkan perannya dalam mempertahankan diri dari penyakit. Dengan segala keterbatasannya mereka memiliki potensi untuk mengembangkan sumberdaya manusia agar dapat meningkatkan produktivitas kerja. Dengan produktivitas yang tinggi bisa memperbaiki kehidupan mereka.
Untuk dapat meningkatkan produktivitas
kerja, mereka perlu menjaga kesehatan di samping keterampilan. Menjaga kesehatan dapat dilakukan dengan banyak cara, di antaranya adalah dengan membiasakan diri untuk melakukan pola hidup sehat, terpenuhinya gizi yang seimbang dan ketika sakit mereka mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik (Maika, 2007).
36 Menurut Sanders (1958), kompleksitas sosial dan hubungan-hubungannya berpusat di sekitar kesehatan dan kebaikan jasmani (physical well-being) sebagai perhatian nasional dalam pembangunan masyarakatnya. Kualitas Petugas Kesehatan Menurut Slamet (1996), mutu adalah jasa atau pelayanan ataupun produk yang menyamai atau melebihi kebutuhan ataupun harapan pelanggannya. Tampubolon (1996) menjelaskan tentang arti bermutu yakni dalam kehidupan sehari-hari baik lisan maupun tulisan, istilah “bermutu” umumnya digunakan dalam arti ”bermutu baik.” Demikian juga dalam bahasa Inggris dikenal “quality university,” “quality professor,” “quality food,” dan “quality service.” Jadi tidak perlu selalu disebut kata ‘baik’ atau ‘good’, seperti ‘bermutu baik’ atau “good quality.” Dalam pemahaman umum, mutu berarti “sifat yang baik” atau “goodness.” Tapi apa yang dimaksud dengan “sifat yang baik” tidak selalu jelas, serta tolokukurnya yang cukup sulit dikenali. Tidak mudah merumuskan definisi mutu yang sepenuhnya memuaskan. Menurut Juran (Tampubolon, 1996), mutu didefinisikan sebagai M-Kecil dan M-Besar. M-Kecil ádalah mutu dalam arti sempit, dan berkenaan dengan kinerja bagian dari organisasi serta tidak dikaitkan dengan kebutuhan semua jenis pelanggan. M-Besar adalah mutu dalam arti luas yang berkenaan dengan seluruh kegiatan organisasi yang dikaitkan dengan kebutuhan semua jenis pelanggan. M-Besar inilah yang dimaksud dengan mutu terpadu. Crosby (Tampubolon, 1996) menekankan bahwa dalam pengertian mutu terkandung makna “kesesuaian dengan kebutuhan.” Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka mutu secara umum didefinisikan sebagai paduan sifat-sifat barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun tersirat. “Paduan sifat-sifat” mengandung pengertian bahwa mutu suatu barang atau jasa tidak terdiri dari satu sifat saja, melainkan dari beberapa sifat yang dipadukan melalui proses tertentu. Di samping itu, sifat kebutuhan pelanggan dan pengetahuan produsen juga berpadu dalam
37 mutu dimaksud. “Menunjukkan kemampuan” berarti bahwa jika paduan sifatsifat suatu barang atau jasa sesuai dengan kebutuhan pelanggan, maka barang atau jasa itu dikatakan bermutu. “Kebutuhan pelanggan” mencakup pengertian kebutuhan lokal, nasional dan internasional, masa kini maupun masa depan. Ada kebutuhan yang dinyatakan jelas, misalnya pelanggan mengatakan ia butuh makanan, tetapi setelah diteliti, yang sesungguhnya dibutuhkan adalah Gizi. Inilah kebutuhan yang tersirat (Tampubolon 1996). Meskipun banyak kekurangan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, pemerintah selalu berusaha untuk dapat menjaga mutu pelayanan dimana setiap pelayanan kesehatan memiliki empat unsur pokok, yaitu: (1) Unsur masukan (input), (2) Unsur proses (process), (3) Unsur lingkungan (environment), dan (4) Unsur keluaran (output). Sesuai dengan peranan yang dimiliki oleh masing-masing pelayanan kesehatan, standar dalam program menjaga mutu secara umum dapat dibedakan atas dua macam yakni: (1) Standar persyaratan minimal, yaitu yang menunjuk pada keadaan minimal yang harus dipenuhi untuk dapat menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bermutu; dan (2) Standar penampilan minimal, yaitu yang menunjuk pada penampilan pelayanan kesehatan yang masih dapat diterima. Standar ini, karena menunjuk pada unsur keluaran, disebut dengan nama standar keluaran, atau popular dengan sebutan standar penampilan (Standard of performance). Untuk mengetahui masih dalam batasbatas
yang
wajar
atau
tidaknya
mutu
pelayanan
kesehatan
yang
diselenggarakan. Jika dilihat dari Total Quality Management (TQM), kualitas dipandang secara lebih luas, tidak hanya aspek hasil saja yang ditinjau, tetapi meliputi suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Supranto, 2003). Karakteristik Pelanggan Karakteristik Pelanggan berkaitan dengan suatu kriteria yang dibutuhkan dalam suatu situasi (Spencer dan Spencer 1993). Suatu karakteristik yang
38 diinginkan atau dibutuhkan secara obyektif berada di dalam diri dan ketahanan seseorang ditinjau dari kepribadiannya sehingga seseorang tersebut dapat membawa dirinya dalam berbagai macam situasi. Beberapa ciri dari karakteristik pelanggan adalah: (1) Motif individu, yaitu sesuatu yang dipikirkan oleh seseorang mengenai keinginan-keinginan dan hal tersebut mengakibatkan suatu tindakan untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut, motif membawa, mengarahkan dan memilih, menentukan sikap dan membawa pada suatu tindakan dan tujuan yang akan dicapai yang berbeda dengan yang lainnya. Seperti dicontohkan bahwa seseorang yang ingin mencapai sesuatu karena motifnya, secara konsisten akan memilih tujuantujuan yang diinginkan untuk dia sendiri, dimana mereka akan membuat sesuatu yang berakibat kepada tanggung jawab yang sifatnya pribadi, dan akan menggunakan feedback yang ada untuk dapat melakukan sesuatu dengan lebih baik; (2) Ciri-ciri (Traits), yaitu suatu karakteristik fisikal dan respon yang baik dan konsisten terhadap situasi atau informasi yang ada; (3) Konsep diri, yaitu perilaku seseorang, nilai-nilai yang dianut dan pencitraan diri. Seperti kepercayaan diri yang merupakan kepercayaan seseorang bahwa ia dapat bertindak secara efektif dalam setiap situasi, ini adalah konsep seseorang mengenai dirinya; dan (4) Pengetahuan, yaitu mengenai informasi yang dimiliki seseorang dalam area tertentu (Spencer dan Spencer, 1993). Pemahaman mengenai kesehatan (termasuk hidup sehat) dapat terjadi dengan adanya peningkatan pengetahuan, adanya akses yang lancar terhadap informasi khususnya informasi mengenai kesehatan dan adanya akses pelayanan kesehatan yang baik. Dalam usaha meningkatkan pemahaman akan kesehatan, berbagai usaha
perlu lebih diupayakan seperti suatu program
penyuluhan kesehatan yang tujuannya adalah peningkatan pemahaman dan perilaku kesehatan masyarakat (Yustina, 2004). Pemahaman mengenai kesehatan yang baik adalah akibat dari pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berperilaku hidup sehat. Seseorang mungkin saja mengidap suatu penyakit, namun ia mungkin tidak merasakannya. Juga ada kasus bahwa orang yang menyatakan mempunyai
39 gejala suatu penyakit atau merasa sakit tidak mencari pertolongan medis. Lebih dari tiga per empat orang dewasa mengalami sekurang-kurangnya sekali sakit dalam sebulan dan kurang dari sepertiga dari mereka itu berkunjung ke dokter. Dengan demikian, pergi berobat bukanlah suatu konsekuensi yang tidak dapat dielakkan karena mengidap suatu penyakit. Hal ini bukanlah hanya suatu kasus dari penduduk yang gagal mengetahui bahwa mereka dalam keadaan sakit akan tetapi juga karena kenyataan bahwa sejumlah besar keadaan sakit dipandang sebagai masalah kecil atau biasa saja. Maksudnya orang mungkin merasa sakit dan setuju untuk mengambil suatu tindakan tertentu seperti istirahat atau mengobati sendiri, akan tetapi mereka tidak menyatakan bahwa keadaan sakit yang dialami memerlukan bantuan para ahli. Kebanyakan episode sakit dimulai dengan cara itu. Maksudnya, pertama-tama keadaan sakit dianggap ringan dan diatasi dengan cara-cara nonprofesional dan setelah beberapa waktu kemudian mencari pertolongan pada ahli dan saat itulah orang sakit tersebut mempunyai peranan sakit sebagaimana dikemukakan oleh Parsons (Muzaham, 1995). Peran Petugas Kesehatan Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan dari seseorang yang menduduki posisi tertentu dalam organisasi atau kelompok. Harapan peran spesifik disampaikan pada seseorang oleh para anggota lainnya. Harapan peran juga berasal dari tuntutan tugas atau pekerjaan itu sendiri atau dari uraian tugas, peraturan-peraturan dan standar. Jika keseluruhan harapan peran tidak dengan jelas menunjukkan tugas-tugas apa yang seharusnya dilaksanakan dan bagaimana seharusnya berperilaku, maka akan terjadi kekacauan peran. Kekacauan peran dapat disebabkan baik oleh harapan-harapan peran yang tidak memadai maupun harapan-harapan peran yang tidak bersesuaian. Harapan peran yang tidak konsisten menciptakan ”konflik peran” bagi seseorang. Ada tiga macam konflik peran. Pertama terjadi bila dua pengirim pesan atau lebih menyampaikan harapan-harapan peran yang tidak selaras. Jenis kedua dari konflik peran terjadi bila seorang pengirim peran menyampaikan harapan-harapan peran yang bertentangan. Misalnya seorang
40 bawahan didesak oleh pimpinannya menunjukkan inisiatif pada beberapa kasus tetapi memberikan teguran keras jika suatu saat menyimpang dari prosedur yang ditentukan. Konflik peran ketiga adalah peran beragam (multiple role) dimana seseorang mungkin menjadi anggota lebih dari satu kelompok atau menduduki lebih dari satu posisi dalam organisasi. Perilaku yang dituntut untuk peran yang satu dapat bertentangan dengan perilaku yang dituntut untuk peran yang lain. Jika seseorang mengalami konflik peran yang serius, ia mungkin menjadi frustasi dan kebingungan. Orang yang dalam keterbatasan waktu berusaha memutuskan harapan peran mana yang harus diterima dan mana yang harus ditinggalkan. Sejumlah orang berusaha menyelesaikan konflik peran dengan membicarakan perbedaan-perbedaannya dengan para pengirim pesan, ketika orang yang lain menentang perilakunya atau menjadi tak menentu tanpa suatu keputusan. Filley dan House (Wexley dan Yuki, 2005) meninjau penelitian atas akibat-akibat konflik peran dan menyimpulkan bahwa kepuasan kerja lebih rendah dan berpengaruh buruk terhadap pelaksanaan kerja individu. jadi bila konflik peran tak mungkin lagi dihindarkan maka konflik tersebut seharusnya dicegah agar tidak semakin luas. Rothman (Boyle, 1981), menggarisbawahi empat peubah utama yang mempengaruhi peran seseorang, yaitu: (1) dinamika proses perubahan, (2) faktor-faktor masyarakat, (3) faktor-faktor organisasi, dan (4) atribut-atribut personal. Proses-proses perubahan itu mempengaruhi peran yang ditampilkan seseorang. Sebagai contoh jika tujuan dari program adalah mempromosikan tujuan-tujuan yang sebelumnya ditentukan, peran advokasi atau demonstrasi dapat digunakan. Jika tujuannya adalah membangkitkan ide-ide sebagai solusi dari masalah, maka peran sebagai motivator atau fasilitator yang lebih dapat digunakan, sehingga peran-peran yang berbeda diperlukan untuk berbagai fase dari proses-proses program. Analisis situasi, penetapan tujuan, implementasi dan evaluasi memiliki syarat-syarat unik yang dibutuhkan yang mempengaruhi peran. Selanjutnya, lingkungan dimana peran itu dijalankan mempengaruhi peran programmer (petugas kesehatan).
41 Menurut Ife (2002), dalam menghadapi perubahan dibutuhkan formulasi kembali yang bersifat radikal terhadap berbagai profesi layanan kemanusiaan (human services), termasuk salah satu di antaranya adalah kesehatan (medicine), hukum, perawatan (nursing), pengajaran (teaching), kerja sosial, psikologi dan terapi pekerjaan (occupational therapy). Ini bukan berarti bahwa tidak ada peran bagi seseorang dengan pengetahuan spesifik dalam area ini, tetapi lebih kurang pada layanan, namun lebih banyak pada penyediaan konsultasi untuk masalah-masalah spesifik, dan memberdayakan anggota masyarakat lokal untuk dapat menghadapi situasi yang khusus/tertentu. Seperti dicontohkan pada negara di bagian selatan [Australia] dalam pelayanan dasar kesehatan disediakan di desa-desa oleh anggota masyarakat lokal yang telah mengikuti program pelatihan khusus, dan tidak perlu menjadi pegawai kesehatan di wilayah itu. Pengaruh Tokoh Informal Kepemimpinan informal dalam masyarakat merupakan fenomena universal. Siapapun menjalankan tugas-tugas kepemimpinan, manakala dalam fungsinya itu, ia berinteraksi dengan orang lain. Dalam kapasitas pribadi pun di dalam tubuh manusia ada kapasitas yang pada intinya memfasilitasi seseorang untuk dapat mempengaruhi dirinya sendiri. Untuk mendapat gambaran tentang arti pemimpin/tokoh, yang termasuk juga pemimpin/tokoh informal, adalah suatu proses dimana pimpinan dilukiskan akan memberikan perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses mempengaruhi orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang ditetapkan. Pfiffner (Danim, 2004) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah seni mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Danim (2004) mendefinisikan kepemimpinan sebagai setiap tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok lain yang tergabung dalam wadah tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
42 Wujud insan yang menunjukkan peran serta masyarakat di bidang kesehatan antara lain: (1) Pemimpin masyarakat yang berwawasan kesehatan. Pada dasarnya semua pemimpin di setiap jenis organisasi dan jenjang administrasi mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan kesehatan, asal yang bersangkutan mempunyai wawasan kesehatan masyarakat; (2) Tokoh masyarakat yang berwawasan kesehatan, baik tokoh agama, politisi, cendekiawan, artis/seniman, budayawan, pelawak, dan lain-lain; (3) Kader kesehatan yang sekarang banyak sekali ragamnya seperti kader posyandu, kader lansia, kader kesehatan lingkungan, kader kesehatan gigi, kader KB, dokter kecil, saka bhakti husada, santri husada, taruna husada dan lain-lain (Adisasmito, 2007). Perhatian tokoh masyarakat ini harus pula didukung dengan pola hidup bersih dan sehat, dimana perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat merupakan salah satu faktor penting peningkatan status kesehatan penduduk. Perilaku masyarakat yang tidak sehat dapat dilihat dari kebiasaan merokok, dan lain-lain, rendahnya pemberian air susu ibu (ASI), tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi lebih pada balita serta kecenderungan meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, penyalahgunaan narkoba dan kematian akibat kecelakaan (Adisasmito, 2007) Lingkungan Sosial Budaya Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan faktor yang kuat dalam mempengaruhi sikap, nilai, dan cara seseorang memandang dan memahami suatu keadaan. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang dipengaruhi oleh berbagai stimulus, dengan banyaknya stimulus tersebut dan berbagai macam coraknya (Rivai, 2003). Stimulus sosial atau rangsang sosial yang dimaksud di sini bukan hanya orang-orang lain yang mengadakan interaksi sosial dengan individu, melainkan dapat berupa benda-benda dan hal-hal lain yang bernilai sosial dan mempengaruhi perilaku orang secara sosial pula. Misalnya sebuah mesjid, walaupun hanya berupa bangunan biasa mempunyai nilai sosial tertentu
43 sehingga orang selalu membuka alas kaki jika memasukinya. Mesjid tergolong stimulus sosial. Hal yang sama terjadi pada merah putih yang dihormati anak sekolah dan tentara setiap upacara. Ada aturan-aturan yang menyebabkan orang harus berperilaku secara tertentu. Sherif dan Muzfer (Sarwono, 2003) menggolongkan stimulus sosial sebagai berikut: (1) Orang lain, seperti orang tua, saudara, tetangga, kenalan dan sebagainya yang ada di sekitar kita, serta kelompok sebagai stimulus yaitu dalam interaksi dalam kelompok, dalam interaksi antar kelompok dan situasi interaksi bersama; dan (2) Produk kultural (budaya), yaitu material seperti gereja, patung, berlian, uang, busana dan sebagainya serta non material seperti upacara perkawinan, sistem kekerabatan, organisasi politik, agama, konsep tentang manusia, tentang demokrasi, hak asasi dan sebagainya. Garna (2007) menjelaskan istilah sosial budaya menunjukkan saling hubungan yang erat antara faktor sosial dan budaya , dua unsur dimana kehidupan manusia itu berada. Gambaran tentang bagaimana faktor sosial budaya itu penting diperhatikan dalam kehidupan seperti yang diperlihatkan dalam uraian berikut tentang pristasi sosial di pedesaan bahwa ”pristasi dalam masyarakat tradisonal adalah merupakan motivasi penting dalam membawa kepada perubahan, motivasi terhadap pristasi terdapat dalam faktor-faktor kultur sosial tradisional yang menjelaskan perubahan pada masyarakat tradisional, keinginan terhadap pristasi menjadi suatu prioritas utama” (”. . . in peasant society prestige is important motivation in bringing about change, the prestige motivation is recognizeable in peasant sociocultural factors that explain change in peasant communities, the desire for prestige is high on the list”). Lingkungan Pelayanan Kesehatan Tradisional Obat tradisional Indonesia sangat besar peranannya dalam turut mendukung pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia dan sangat potensial untuk dikembangkan, karena negara kita kaya akan tanaman obat-obatan, tapi sayangnya kekayaan alam tersebut belum dimanfaatkan secara optimal, meskipun ada beberapa peramu pengobatan tradisional yang mengelola secara
44 optimal dan mewariskan pada keturunannya dan manfaatnya terbukti efektif, khususnya untuk penyembuhan penyakit masyarakat setempat. Menurut Notoatmodjo (2007), Indonesia diketahui memiliki keragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil, dari bagian penelitian menyebutkan dari sekitar 30.000 spesies tumbuhan di Indonesia, sebanyak 6.000 jenis berkhasiat obat. Sumber lain menyebutkan tumbuhan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 7.000 jenis, atau sekitar 1.000 jenis digunakan untuk mengobati dan mencegah penyakit. Beberapa survey kesehatan rumah tangga (Muzaham, 1995) menyebutkan bahwa anggota masyarakat masih banyak yang mengobati sendiri penyakitnya (34,8%) ataupun pergi ke dukun serta pengobatan alternatif lainnya (6,0%). Dari hasil pengamatan peneliti di lapangan pada pelaksanaan pra penelitian (September 2007), di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara masih terdapat beberapa orang dukun, khususnya pengobatan patah tulang dan keseleo, yang banyak dikunjungi masyarakat daripada pergi berobat ke Puskesmas. Bahkan ada petugas kesehatan yang mengalami patah tulang atau keseleo, pergi berobat ke dukun yang bersangkutan. Di Kota Kotamobagu masih terdapat pengobatan tradisional yang apabila seseorang sudah tidak dapat disembuhkan lagi dengan pengobatan secara medis, bentuk pengobatannya dalam bentuk tarian tradisional yang disebut ”tayok.” Dalam bahasa Mongondow, tayok artinya memanggil (roh halus), yang dilakukan oleh seorang bolian atau burangin yaitu penari wanita yang dalam keadaan intrans (kesurupan), diiringi tabuhan gendang dan kolintang Pada saat penari mengalami intrans, kemudian diberitahu obat apa saja yang harus digunakan oleh penderita (Ginupit, 2002). Kepuasan Pelanggan Puskesmas Kepuasan pelanggan Puskesmas ini menjadi penting karena dapat diketahui apa yang sebenarnya diinginkan atau kemauan dari pelanggan Puskesmas. Seyogyanya layanan kesehatan yang baik harus selalu diupayakan agar kepuasan pasien dapat dipenuhi secara optimal. Pohan (2002), menjelaskan
45 beberapa cara peningkatan pemanfaatan survei kepuasan pasien antara lain: (1) Analisis survei kepuasan pasien akan informasi baik untuk inovasi organisasi ataupun sikap personel dengan tujuan baik ke arah peningkatan kepuasan pasien ataupun peningkatan mutu layanan kesehatan; (2) Anggapan bahwa keterlibatan pasien dalam penilaian kepuasan pasien adalah sangat penting semakin meningkat baik oleh pasien ataupun oleh personel layanan kesehatan. Dengan penerapan jaminan mutu layanan kesehatan, survei kepuasan pasien akan menjadi bagian yang integral dari pengukuran mutu layanan kesehatan; (3) Jika kepuasan pasien dimaksimalkan, maka perlu memperluas konsep dasar dari kepuasan pasien yang sekarang untuk mengenali dengan jelas konteks pengambilan keputusan di mana hasil-hasilnya akan dimanfaatkan; (4) Hasil survei kepuasan pasien harus digunakan sebagai mekanisme jaminan mutu layanan kesehatan dan sebagai suatu ukuran dari keluaran, meskipun hubungan antara kepuasan pasien dengan proses layanan kesehatan dan antara kepuasan pasien dengan status kesehatan sangat rumit dan (5) Bagaimana pasien dan atau masyarakat menyatakan manfaat dari layanan kesehatan tergantung pada bagaimana baiknya mata rantai hubungan kerja antara Puskesmas dengan Rumah Sakit, bagaimana tanggung jawab didelegasikan dan informasi diteruskan ke hubungan mata rantai yang berikut dari layanan kesehatan pasien.