II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Persepsi Sejak individu dilahirkan, sejak itu pula individu secara langsung berhubungan dengan dunia luar. Individu secara langsung menerima stimulus atau rangsang dari luar disamping dari dalam dirinya sendiri. Individu mengenali dunia dengan menggunakan alat inderanya. Melalui stimulus yang diterimanya, individu akan mengalami persepsi. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan proses menuju diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Stimulus yang diteruskan ke pusat susunan saraf yaitu otak, dan terjadilah proses psikologis, sehingga individu mengalami persepsi. Ada beberapa syarat terjadinya persepsi yaitu, adanya obyek persepsi, alat indera atau reseptor yang merupakan alat untuk menerima stimulus, dan adanya perhatian Walgito (2002). Membahas istilah persepsi akan dijumpai banyak batasan atau definisi tentang persepsi yang dikemukakan oleh para ahli. Rakhmat (2003) mengemukakan pendapatnya bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Hal ini menurut Krech (1962) dalam Sobur (2003), persepsi setiap individu dapat sangat berbeda walaupun yang diamati benar-benar sama. Setiap individu dalam menghayati atau mengamati sesuatu obyek sesuai dengan berbagai faktor yang determinan yang berkaitan dengan individu tersebut. Ada empat faktor determinan yang berkaitan dengan persepsi seseorang individu yaitu, lingkungan fisik dan sosial, struktural jasmaniah, kebutuhan dan tujuan hidup, pengalaman masa lampau. Menurut Desiderato (1976) dalam Rakhmat (2003) persepsi adalah penafsiran suatu obyek, peristiwa atau informasi yang dilandasi oleh pengalaman hidup seseorang yang melakukan penafsiran itu. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa persepsi adalah hasil pikiran seseorang dari situasi tertentu. Muhyadi (1991) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses stimulus dari lingkungannya dan kemudian mengorganisasikan serta menafsirkan atau suatu proses di mana seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan atau ungkapan indranya agar memilih makna dalam konteks lingkungannya. Sarwono (2006) mengartikan persepsi merupakan proses yang digunakan oleh seseorang individu untuk menilai keangkuhan pendapatnya sendiri dan kekuatan dari kemampuan-kemampuannya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat-pendapat dan kemampuan orang lain. Pengertian persepsi menurut Walgito (2002) adalah pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas integrated dalam diri individu. Dari beberapa pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa persepsi adalah kecakapan untuk melihat, memahami kemudian menafsirkan suatu stimulus sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan menghasilkan penafsiran. Selain itu persepsi merupakan pengalaman terdahulu yang sering muncul dan menjadi suatu kebiasaan. Hal tersebut dibarengi adanya pernyataan populer bahwa “manusia adalah korban kebiasaan“ karena 90% dari pengalaman sensoris merupakan hal yang sehari-hari dipersepsi dengan kebiasaan yang
5
6
didasarkan pada pengalaman terdahulu yang diulang-ulang. Sehingga mempersepsi situasi sekarang tidak lepas dari adanya stimulus terdahulu. Walgito (2002) menjelaskan, bahwa berbagai batasan tentang persepsi di atas, dapat dijelaskan bahwa persepsi adalah sebagai proses mental pada individu dalam usahanya mengenal sesuatu yang meliputi aktivitas mengolah suatu stimulus yang ditangkap indera dari suatu obyek, sehingga didapat pengertian dan pemahaman tentang stimulus tersebut. Persepsi merupakan dinamika yang terjadi dalam diri individu disaat ia menerima stimulus dari lingkungannnya. Proses persepsi individu akan mengadakan penyeleksian apakah stimulus itu berguna atau tidak baginya, serta menentukan apa yang terbaik untuk dilakukan. Mengenai pengertian masyarakat dalam kamus bahasa Inggris, masyarakat disebut society asal katanya socius yang berarti kawan. Arti yang lebih khusus, bahwa masyarakat adalah kesatuan sosial yang mempunyai kehidupan jiwa seperti adanya ungkapan-ungkapan jiwa rakyat, kehendak rakyat, kesadaran masyarakat dan sebagainya. Sedangkan jiwa masyarakat ini merupakan potensi yang berasal dari unsur-unsur masyarakat meliputi pranata, status dan peranan sosial. Para pakar sosiologi seperti Maclver, J.L Gillin memberikan pengertian bahwa masyarakat adalah kumpulan individu - individu yang saling bergaul berinteraksi karena mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama berupa suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu identitas bersama Soelaiman (1993) dalam Mussadun (2000). Jadi pengertian persepsi masyarakat dapat disimpulkan sebagai tanggapan atau pengetahuan lingkungan dari kumpulan individu-individu yang saling bergaul dan berinteraksi karena mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur merupakan kebutuhan bersama berupa suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontiyu dan terikat oleh suatu identitas bersama yang diperoleh melalui interpretasi data indera. Berdasarkan definisi tersebut dapat dilihat adanya persamaan bahwa persepsi muncul oleh adanya rangsangan (dari luar atau lingkungan) yang diproses didalam susunan saraf dan otak (didalam tubuh penerima rangsangan). Sukmana (2003) juga menjelaskan lebih lanjut bahwa selain persepsi muncul akibat rangsangan dari lingkungan, persepsi lebih merupakan proses yang terjadi pada struktur fisiologis dalam otak. Penangkapan tersebut biasanya dalam bentuk sensasi dan memori atau pengalaman di masa lalu. Proses Terjadinya Persepsi Proses terjadinya persepsi pada diri individu tidak berlangsung begitu saja, tetapi melalui suatu proses. Proses persepsi adalah peristiwa dua arah yaitu sebagai hasil aksi dan reaksi. Menurut Walgito (2002), terjadinya persepsi melalui suatu proses, yaitu melalui beberapa tahap sebagai berikut: 1) Suatu obyek atau sasaran menimbulkan stimulus, selanjutnya stimulus tersebut ditangkap oleh alat indera. Proses ini berlangsung secara alami dan berkaitan dengan segi fisik. Proses tersebut dinamakan proses kealaman, 2) Stimulus suatu obyek yang diterima oleh alat indera, kemudian disalurkan ke otak melalui syaraf sensoris. Proses pentransferan stimulus ke otak disebut proses psikologis, yaitu berfungsinya alat indera secara normal, dan 3) Otak selanjutnya memproses stimulus hingga individu menyadari obyek yang diterima oleh alat inderanya.
7
Proses ini juga disebut proses psikologis. Dalam hal ini terjadilah adanya proses persepsi yaitu suatu proses di mana individu mengetahui dan menyadari suatu obyek berdasarkan stimulus yang mengenai alat inderanya. Proses persepsi menurut Mar’at (1992) adanya dua komponen pokok yaitu seleksi dan interpretasi. Seleksi yang dimaksud adalah proses penyaringan terhadap stimulus pada alat indera. Stimulus yang ditangkap oleh indera terbatas jenis dan jumlahnya, karena adanya seleksi. Hanya sebagian kecil saja yang mencapai kesadaran pada individu. Individu cenderung mengamati dengan lebih teliti dan cepat terkena hal-hal yang meliputi orientasi mereka. Interpretasi sendiri merupakan suatu proses untuk mengorganisasikan informasi, sehingga mempunyai arti bagi individu. Dalam melakukan interpretasi itu terdapat pengalaman masa lalu serta sistem nilai yang dimilikinya. Sistem nilai di sini dapat diartikan sebagai penilaian individu dalam mempersepsi suatu obyek yang dipersepsi, apakah stimulus tersebut akan diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut menarik atau ada persesuaian maka akan dipersepsi positif, dan demikian sebaliknya, selain itu adanya pengalaman langsung antara individu dengan obyek yang dipersepsi individu, baik yang bersifat positif maupun negatif. Menurut Mar’at (1992) proses persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi. Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuannya. Manusia mengamati suatu obyek psikologis dengan kacamatanya sendiri yang diwarnai oleh nilai dari pribadinya. Adapun obyek psikologis dapat berupa kejadian, ide, atau situasi tertentu. Faktor pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat, sedangkan pengetahuan dan cakrawalanya memberikan arti terhadap obyek psikologis tersebut. Melalui komponen kognisi ini akan timbul ide, kemudian konsep mengenai apa yang dilihat. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki pribadi seseorang akan terjadi keyakinan (belief) terhadap obyek tersebut. Selanjutnya komponen afeksi memberikan evaluasi emosional (senang atau tidak senang) terhadap obyek atau kesiapan jawaban berupa tindakan terhadap obyek. Atas dasar tindakan ini maka situasi yang semula kurang atau tidak seimbang menjadi seimbang kembali. Keseimbangan dalam situasi ini berarti bahwa antara obyek yang dilihat sesuai dengan penghayatannya, di mana unsur nilai dan norma dirinya dapat menerima secara rasional dan emosional. Jika situasi ini tidak tercapai, maka individu menolak dan reaksi yang timbul adalah sikap apatis, acuh tak acuh atau menentang sampai ekstrim memberontak. Keseimbangan ini dapat kembali jika persepsi dapat diubah melalui komponen kognisi. Terjadinya keseimbangan ini akan melalui perubahan sikap di mana tiap komponen mengolah masalahnya secara baik (Mar’at 1992). Proses perkembangan persepsi dipusatkan menjadi dua yaitu fase selektivitas dan fase kode. Pada fase selektivitas, tahap awal individu akan memilih obyek yang terdapat di lingkungan melalui informasi. Sebagian dari informasi tentang obyek akan mendapat perhatian dan akan memberikan respons pada obyek tersebut jika informasi tersebut tidak berguna bagi dirinya. Pada fase kode informasi yang diterima akan disesuaikan dengan
8
pengalaman individu, dengan begitu akan memberikan makna terhadap informasi yang diterimanya. Pengalaman
Proses Belajar
Cakrawala
Pengetahuan
Persepsi E V A L U A S I K E P R I B A D I A N
Obyek Psikologika
Faktor lingkungan yang mempengaruhi
Kognitif Afektif Konatif
Sikap
Senang /tidak senang Kecenderungan
Bertindak
Tinjauan Media Luar Ruang Gambar 1 Proses Terjadinya Persepsi (Mar’at, 1992 )
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Gifford (1987) menyebutkan bahwa persepsi manusia terhadap lingkungan dipengaruhi oleh karakteristik personal, karakteristik cultural dan karakteristik physical dari lingkungan itu sendiri. Penjelasannya sebagai berikut: 1. Karakteristik Personal Dalam hal ini disebutkan bahwa karakteristik dari individu akan dihubungkan dengan perbedaan persepsi terhadap lingkungan. Hal tersebut, sudah jelas akan melibatkan beberapa faktor antara lain kemampuan perseptual dan pengalaman atau pengenalan terhadap kondisi lingkungan. Kemampuan perseptual masing-masing individu akan berbeda-beda dan melibatkan banyak hal yang berpengaruh sebagai latar belakang persepsi yang
9
ke luar. Karakteristik personal meliputi karakteristik seseorang seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan. 2. Karakteristik Cultural Gifford (1987) memandang bahwa konteks kebudayaan yang dimaksud berhubungan dengan tempat asal atau tinggal seseorang. Budaya yang dibawa dari tempat asal dan tinggal seseorang akan membentuk cara yang berbeda bagi setiap orang tersebut dalam “melihat dunia.” Karakteristik cultural merupakan karakteristik seseorang dilihat dari asal/suku 3. Karakteristik Physical Kondisi alamiah dari suatu lingkungan akan mempengaruhi persepsi seseorang yang mengamati, mengenal dan berada dalam lingkungan tersebut. Lingkungan dengan atribut dan elemen pembentuknya yang menghasilkan karakter atau tipikal tertentu akan menciptakan identitas bagi lingkungan tersebut. Karakteristik physical merupakan karakteristik seseorang dilihat dari frekuensi melintas di suatu lingkungan. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa persepsi selain terjadi akibat rangsangan dari lingkungan eksternal yang ditangkap oleh suatu individu, juga dipengaruhi oleh kemampuan individu tersebut dalam menangkap dan menterjemahkan rangsangan tersebut menjadi suatu informasi yang tersimpan menjadi sensasi dan memori atau pengalaman masa lalu. Oleh karena itu, persepsi yang terbentuk pada masing-masing individu dapat berbedabeda. Tinjauan Media Luar Ruang Jefkins (1997) mengatakan bahwa iklan media luar ruang adalah bentuk iklan yang paling tua. Pada saat itu dinding adalah tempat utama menulis pesan untuk masyarakat luas pada masa Yunani dan Romawi. Selanjutnya media luar ruang berkaitan dengan bangunan atau aktivitas yang ada dalam suatu bangunan. Media luar ruang tersebut menandakan atau menginformasikan mengenai kuil, makam, istana dan biasanya bangunan yang dianggap penting. Pada waktu revolusi industri di Inggris menimbulkan dampak berkembangnya sektor industri, komersial, jasa dan munculnya kota-kota baru, kepentingan ekonomi serta semakin luasnya kota mendorong perkembangan pemakaian dan pemasangan media luar ruang yang bersifat komersial. Menurut Jefkins (1997), Pemasangan media luar ruang di Indonesia juga mengalami pasang surut sesuai perkembangan ekonomi dan muncul nya media baru dalam pemasangan iklan. Ketika televisi muncul sebagai media baru iklan pada tahun 1955, pemasangan iklan melalui media luar ruangan (media luar ruang) mengalami penurunan. Popularitas media luar ruang pulih kembali sejak penayangan iklan rokok di larang di televisi. Sejarah media luar ruang tidak terlepas dari adanya reklame yang secara etimologi mempunyai arti seruan yang berulang-ulang dan berasal dari bahasa Spanyol yaitu kata re yang artinya ulang dan klame atau clamo yang artinya berseru. Pemakaian dan pemasangan media luar ruang ini adalah untuk menginformasikan barang atau jasa yg dijual maupun memberikan arah bagi warga kota. Natalivan (1997) mengatakan bahwa perkembangan selanjutnya, media luar ruang yang dipasang tidak terbatas pada media luar ruang yang
10
mengindentifikasi kegiatan dalam bangunan, tetapi juga pesan-pesan yang tidak mempunyai keterkaitan dengan lingkungan setempat atau sifatnya tidak langsung,. Media luar ruang berfungsi sebagai penyampai pesan yang memegang peranan penting dalam proses komunikasi. Tanpa media, pesan tidak akan sampai pada kelompok audiens yang diinginkan. Oleh karena itu, pemilihan media yang tepat akan sangat menentukan apakah pesan yang ingin disampaikan pada kelompok sasaran akan sampai atau tidak (Sutisna 2003). Media luar ruang menurut Tjiptono (1997) dalam Rosandini (2012) adalah media iklan yang dipasang di tempat-tempat terbuka seperti di pinggir jalan, di pusat keramaian, atau tempat-tempat khusus lainnya, seperti di bus kota, gedung, pagar tembok, dan sebagainya. Menurut Riyadi (2002) dalam Nurmasari (2008), jenis-jenis media luar ruang menurut fungsinya meliputi : 1. Tanda yang bersifat perintah (Mandatory Sign) 2. Tanda Identifikasi (Identification Sign) Fungsi media ruang luar ini adalah menyampaikan informasi yang menunjuk pada identitas nama suatu bangunan. 3. Tanda Identifikasi beragam hal (Multiple Identification Sign) Fungsi media ruang luar ini adalah menyampaikan informasi yang beragam yang menunjuk pada bisnis yang beragam yang menempati suatu area. tanda identifikasi ini disajikan dalam bentuk daftar yang diletakkan dalam satu tempat. 4. Tanda area kawasan (Real Estate Sign) Fungsi media ruang luar ini adalah menyampaikan informasi atau iklan tentang lokasi atau yang merujuk pada suatu kawasan, bangunan yang menunjukkan bahwa rumah atau kawasan tersebut adalah dijual, disewa, dan lain- lain. 5. Tanda penunjuk arah (directional) Fungsi media ruang luar ini adalah mengarahkan lalu lintas pejalan kaki dan pengguna kendaraan. Fungsi lain yaitu sebagai tanda perintah atau pengumuman dari area periklanan, namun bukan termasuk tanda informasi komersial. 6. Tanda yang bersifat sementara (Temporary Sign) Media ruang luar ini adalah media untuk mengiklankan aktivitas konstruksi, aktivitas kewarganegaraan, masyarakat atau peristiwa khusus lain yang pelaksanaannya temporer. Tanda ini adalah tanda yang didirikan dengan menggunakan periode waktu, yang maksimum yaitu dua bulan kalender. 7. Tanda suatu bangunan/rumah (Home Occupation Sign) Fungsi media ruang luar ini adalah menyampikan informasi dengan tegas mengenai area atau bangunan yang ditempati dalam sebuah kota. Menurut Riyadi (2002) dalam Nurmasari (2008), jenis-jenis media luar ruang menurut rancangannya meliputi : 1. Papan kapur tulis (Chalkboard Sign) Media ruang luar ini adalah media yang bisa dipindahkan di dalam suatu area yang tujuannya untuk menggambarkan barang atau jasa yang dijual yang bervariasi di suatu area. Papan tulis ini berisi tanda berupa tulisan mengenai pernyataan dengan ukuran tidak lebih dari 1,5 m2. Contoh tanda
11
ini seperti tanda informasi menu rumah makan, tanda area yang dijual, tanda yang diletakkan di depan properti pribadi untuk dijual, dan lain-lain. 2. Tanda Terpadu (Integrated Sign) Media ruang luar ini adalah tanda yang permanen dan terintegrasi secara profesional dirancang dari komponen suatu bangunan. Penempatan posisi tercakup dalam kesesuaian bangunan. Media ini juga meliputi area tanda atap tenda. 3. Billboard iklan (Advertising Billboard) Media ruang luar ini adalah struktur di sebuah kawasan yang dirancang terutama digunakan untuk pajangan, untuk mengiklankan sesuatu. Media ini meliputi struktur kerangka, papan berisi pesan atau seperti dinding yang memagari (namun tidak menggunakan atap atau dinding yang terbangun). Media ini berukuran kurang lebih 6 m2. 4. Tanda Neon (Neon Sign) Media ruang luar ini adalah media iklan yang menggunakan cahaya berwarna warni melalui aliran listrik. Area yang dibingkai oleh tanda jenis ini harusnya tidak melebihi 4 m2. 5. Reklame dinding (Wall Sign) Media ruang luar ini adalah media yang mengiklankan sesuatu dengan cara menggambar langsung ke dinding luar bangunan atau struktur dengan ukuran tidak lebih dari 6 m2. Media reklame ini menjadi media iklan dengan letak berhimpit dengan muka bangunan. 6. Tanda di jendela bangunan (Window Sign) Media ruang luar ini adalah tanda yang digambar atau dipajang di eksterior jendela toko atau di area kaca eksterior bangunan. 7. Tanda dari Pencahayaan tak langsung (Indirectly illuminated Sign) Media ruang luar ini adalah media iklan yang menggunakan pencahayaan yang diperluas ke media iklan supaya pesan yang akan disampaikan mudah dibaca. Hal ini menyangkut refleksi dan pencahayaan media iklan. Media iklan ini tidak boleh lebih dari 1.5 m2. 8. Tanda ruang pejalan kaki yang bersifat portable (Portable Foothpath) Tanda yang berukuran kecil dan berdiri sendiri, media periklanan yang mudah dibawa atau dipindah dan ditempatkan. Media ini terletak di ruang pejalan kaki dan digunakan untuk lalu lintas pejalan kaki. 9. Tanda berupa Tiang (Pole Sign) Media ruang luar ini adalah media pengumuman yang didukung oleh satu atau lebih kolom tegak lurus yang mengait diatas tanah/landasan atau secara langsung dihubungkan dengan bangunan manapun atau struktur yang lain. Media ini meliputi iklan apapun yang dapat berputar. Media ini memiliki besaran tidak boleh melebihi 6 m di zone komersil dan industri. 10. Tanda peraturan lalu lintas (Road Reserve Sign) Media ruang luar ini adalah tanda yang dibangun di jalan yang diletakkan di depan dasar landasan yang merupakan bahu jalan yang digambarkan sebagai area antara lingkup properti bangunan dan batas jalan. Area tanda ini meliputi jalur pejalan kaki. Tinggi tanda ini tidak boleh melebihi bagian bawah atap tenda. 11. Tanda di atas tenda (Above Awning Sign)
12
Media ruang luar ini adalah Tanda yang diletakkan di bagian atas tenda atau diberanda dengan bagian tanda yang tidak diletakkan di atas atap, bubungan, atau di luar atap tenda. Luasan tanda yang ini tidak melebihi 1.5 m2 12. Bendera, Spanduk, dsb. (Kites, Banners, etc) Media ruang luar ini merupakan benda tunggal dari material yang kecil dan ringan yang dipasang dengan didukung oleh satu atau dua sisi agar terjadi pergerakan disebabkan oleh udara 13. Tanda animasi lampu (Animated Sign) Media ruang luar ini adalah media iklan yang menggunakan penyinaran dan perubahan warna yang menggunakan sumber tenaga listrik. 14. Umbul-umbul (Bunting) Media ruang luar ini adalah media iklan yang terdiri dari benda kecil dan ringan yang diletakkan secara teratur berderet dengan menggunakan material berwarna yang pergerakannya disebabkan oleh angin. 15. Tanda di langit-langit bangunan (Sky Sign) Media iklan ini diletakkan di atas atap bangunan atau bubungan bangunan atau kerangka lainnya yang secara parsial didukung oleh bangunan tersebut dan strutur lainnya. 16. Tanda di bawah tenda (Below Awning Sign) Media ruang luar ini adalah tanda yang diletakkan di bawah atap tenda dan di atas jalur pejalan kaki dengan ukuran yang tidak melebihi 1.5 m2 di area dengan ketinggian maksimum 6 m dan diletakkan minimal 2.5 m di atas jalur pejalan kaki. Media luar ruang mempunyai keistimewaan yang unik dalam memperkuat iklan, promosi dan usaha pemasaran (Russell dan Verrill 1986). Media luar ruang dapat bertahan selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau tahunan. Efek periklanan pada sebuah organisasi dapat menjadi dramatik dan juga perlu dieksplorasi. Menurut Tjiptono (1997) dalam Rosandini (2012) terdapat keunggulankeunggulan yang dimiliki oleh media luar ruang sehingga dapat efektif dalam mencapai sasaran konsumen yang ingin dituju. Keunggulan dari media luar ruang antara lain; 1. Murah, 2. Sangat mencolok karena ukurannya besar, 3. Penampilannya menarik, 4. Fleksibel, 5. Persaingan sedikit, 6. Menayangkan pesan iklan yang sama berkali-kali, 7. Memiliki kesinambungan atau kontinuitas yang baik, 8. Penempatan yang strategis dapat membuat masyarakat yang lalu lalang terekspos untuk memandangnya. Iklan media luar ruang dirasa memberikan dampak lebih karena sangat efektif dan efisien dalam mengkomunikasikan pesan iklan pada masyarakat yang beraneka ragam laki-laki, perempuan, orang kaya maupun miskin, pejabat atau rakyat biasa, semuanya bisa menjadi khalayaknya. Selain itu, iklan media luar ruang ini memiliki waktu pemasangan yang relatif lama tetapi ketahanannya juga terbilang lama, tahan terhadap perubahan cuaca seperti hujan dan panas.
13
Karakteristik inilah yang tidak dimiliki oleh media lainnya. Lingkungan periklanan media luar ruang berbeda dengan lingkungan periklanan media lainnya. Lingkungan periklanan dengan media luar ruang selama ini biasanya tidak ada program atau editorial yang dihubungkan dengan media, sehingga periklanan luar ruang benar-benar periklanan yang murni. Periklanan outdoor harus inovatif dan estetis yang menjadikan iklan outdoor diingat daripada iklan dengan media lainnya. Oleh karena itu, dibutuhkan daya tarik agar pesan yang disampaikan mempunyai dampak. Merujuk pada beberapa teori di atas, penulis menyimpulkan bahwa manfaat dari adanya media luar ruang sangat penting sebagai bentuk komunikasi pemasaran, terlebih lagi apabila media luar ruang tersebut mampu menarik perhatian khalayak. Media luar ruang merupakan salah satu alternatif dalam strategi pemilihan media untuk kampanye iklan dalam rangka membuat masyarakat menjadi tahu, paham, menentukan sikap, dan pada akhirnya membeli produk yang ditawarkan oleh perusahaan atau lebih mengenal informasi dari Pemerintah. Jefkins (1997) mengatakan keberadaan media luar ruang mencakup dua dimensi yang terdiri atas: 1. Dimensi informasi yang mengandung aspek ekonomi dan bersifat non fisik. Media luar ruang adalah suatu pesan yang merupakan sarana promosi barang dan jasa dengan menyewa ruang dan waktu dari media luar ruangan. 2. Dimensi keruangan yang mengandung aspek tata ruang dan bersifat fisik. Media luar ruang merupakan suatu benda yang mengisi ruang perkotaan sehingga merupakan bagian dari asesoris perkotaan. Oleh sebab itu keberadaan media luar ruang sangat erat kaitannya dengan periklanan yang menjalankan sebuah fungsi informasi, yang mengkomunikasikan sebuah produk, ciri-ciri, dan lokasi penjualannya. Periklanan juga menjalankan fungsi persuasif, yang mencoba membujuk konsumen untuk membeli merekmerek tertentu atau mengubah sikap mereka terhadap produk atau informasi dari Pemerintah. Periklanan juga menjalankan sebuah fungsi pengingat, yang terus-menerus mengingatkan para konsumen tentang sebuah produk yang diiklankan tanpa mempedulikan merek atau perusahaan pesaingnya. Tiada istilah tunggal jelas, dan menyeluruh untuk menggambarkan karakter kompleks periklanan dan fungsi-fungsinya yang majemuk dan saling terkait. Periklanan menurut Lee dan Jhonson (2004) diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe besar, yaitu: 1. Periklanan Produk Porsi utama pengeluaran periklanan dibelanjakan untuk produk, presentasi dan promosi produk-produk baru, produk-produk yang ada, dan produkproduk hasil revisi. 2. Periklanan Eceran Berlawanan dengan periklanan produk, periklanan eceran bersifat lokal dan berfokus pada toko, tempat di mana beragam produk dapat dibeli atau di mana suatu jasa ditawarkan. 3. Periklanan Koorporasi Fokus periklanan ini adalah membangun sebuah identitas koorporasi atau untuk mendapatkan dukungan publik terhadap sudut pandang organisasi. 4. Periklanan Bisnis Ke-Bisnis
14
5.
6.
7.
8.
Istilah ini berkaitan dnegan periklanan yang ditujukan kepada para pelaku industri, para pedagang perantara dan para profesional. Periklanan Politik Periklanan politik digunakan oleh para politisi untuk membujuk orang untuk memilih mereka. Kondisi tersebut dapat dilihat seperti daerah-daerah di Indonesia yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seperti sekarang ini. Periklanan Direktori Bentuk terbaik direktori yang lebih populer adalah yellow pages. Orang merujuk periklanan direktori untuk menemukan cara membeli sebuah produk atau jasa. Periklanan Respons Langsung Periklanan respons langsung melibatkan komunikasi dua arah di antara pengiklan dan konsumen. media yang digunakan dapat berupa pos, televisi, koran ataupun majalah dan banyak perusahaan memperbolehkan konsumen menanggapi secara online. Periklanan Layanan Masyarakat Periklanan ini dirancang untuk beroperasi untuk kepentingan masyarakat dan mempromosikan kesejahteraan masyarakat.
Aspek Komunikasi Visual Tidak bisa dipungkiri bahwa aspek penggunaan huruf dalam komunikasi visual sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah komunikasi visual. Pada dasarnya dalam proses pekerjaan yang berhubungan atau menggunakan huruf tidak bisa dilepaskan dengan apa yang disebut dengan Tipografi. Kenapa? Dalam analisis Scott McCloud dalam bukunya Understanding Comics mengatakan bahwa dalam komunikasi visual yang berkiblat pada Mazhab Amerika yang mana dipengaruhi oleh Bauhaus Jerman (Pakar Komunikasi) sangat menekankan pada pengetahuan tipografi dan komposisi (Safanayong 2006). Namun selain Tipografi menurut Safanayong (2006) ada beberapa aspek lainnya yang juga sangat mempengaruhi keberhasilan komunikasi visual, di antaranya: 1. Huruf / Typography: Dalam desain komunikasi visual, tipografi dikatakan sebagai ‘visual language,’ yang berarti bahasa yang dapat dilihat. Tipografi adalah salah satu sarana untuk menterjemahkan kata-kata yang terucap ke halaman yang dapat dibaca. Menurut Rustan (2010), tipografi merupakan suatu ilmu dalam memilih dan menata huruf untuk menciptakan kesan tertentu. Setiap jenis huruf dapat memberi kesannya masing-masing yang berbeda satu dengan lainnya. Untuk mendapatkan kesan kedai masa lampau dan keeleganannya, maka akan digunakan huruf sherif. Menurut Sihombing (2001), tipografi merupakan sebuah elemen penting yang dapat mendukung terciptanya komunikasi dengan baik. Peran dari pada tipografi adalah untuk mengkomunikasikan ide atau informasi dari halaman tersebut ke pengamat. Hampir semua hal yang berhubungan dengan desain komunikasi visual mempunyai unsur tipografi di dalamnya. Kurangnya perhatian pada tipografi dapat mempengaruhi desain yang indah menjadi kurang atau tidak komunikatif. Dalam suatu karya desain, semua elemen yang ada pada void (ruang tempat elemen-elemen desain disusun) saling berkaitan. Tipografi
15
sebagai salah satu elemen desain juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh elemen desain yang lain, serta dapat mempengaruhi keberhasilan suatu karya desain secara keseluruhan. Menurut Wijaya (1999), ada empat buah prinsip pokok tipografi yang sangat mempengaruhi keberhasilan suatu desain tipografi yaitu: a. Legibility adalah kualitas pada huruf yang membuat huruf tersebut dapat terbaca. Dalam suatu karya desain, dapat terjadi cropping, overlapping, dan lain sebagainya, yang dapat menyebabkan berkurangnya legibilitas daripada suatu huruf. b. Readibility, adalah penggunaan huruf dengan memperhatikan hubungannya dengan huruf yang lain sehingga terlihat jelas. Dalam menggabungkan huruf dan huruf, baik untuk membentuk suatu kata, kalimat atau tidak harus memperhatikan hubungan antara huruf yang satu dengan yang lain. Khususnya spasi antar huruf. Jarak antar huruf tersebut tidak dapat diukur secara matematika, tetapi harus dilihat dan dirasakan. Ketidaktepatan menggunakan spasi dapat mengurangi kemudahan membaca suatu keterangan yang membuat informasi yang disampaikan pada suatu desain komunikasi visual terkesan kurang jelas. Huruf-huruf yang digunakan mungkin sudah cukup legible, tetapi apabila pembaca merasa cepat capai dan kurang dapat membaca teks tersebut dengan lancar, maka teks tersebut dapat dikatakan tidak readible. Pada papan iklan, penggunaan spasi yang kurang tepat sehingga mengurangi kemudahan pengamat dalam membaca informasi dapat mengakibatkan pesan yang disampaikan tidak seluruhnya ditangkap oleh pengamat. Apabila hal ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa karya komunikasi visual tersebut gagal karena kurang komunikatif. Kerapatan dan kerenggangan teks dalam suatu desain juga dapat mempengaruhi keseimbangan desain. Teks yang spasinya sangat rapat akan terasa menguasai bidang void dalam suatu bentuk, sedangkan teks yang berjarak sangat jauh akan terasa lebih seperti tekstur. c. Visibility, adalah kemampuan suatu huruf, kata, atau kalimat dalam suatu karya komunikasi visual dapat terbaca dalam jarak baca tertentu. Fonts yang digunakan untuk headline dalam brosur tentunya berbeda dengan yang kita gunakan untuk papan iklan. Papan iklan harus menggunakan fonts yang cukup besar sehingga dapat terbaca dari jarak yang tertentu. Setiap karya desain mempunyai suatu target jarak baca, dan huruf-huruf yang digunakan dalam desain tipografi harus dapat terbaca dalam jarak tersebut sehingga suatu karya desain dapat berkomunikasi dengan baik. d. Clarity, yaitu kemampuan huruf-huruf yang digunakan dalam suatu karya desain dapat dibaca dan dimengerti oleh target pengamat yang dituju. Untuk suatu karya desain dapat berkomunikasi dengan pengamatnya, maka informasi yang disampaikan harus dapat dimengerti oleh pengamat yang dituju. Beberapa unsur desain yang dapat mempengaruhi clarity adalah, visual hierarchy, warna, pemilihan type, dan lain-lain. Keempat prinsip pokok dari tipografi tersebut di atas mempunyai tujuan utama untuk memastikan agar informasi yang ingin disampaikan dapat
16
tersampaikan dengan tepat. Penyampaian informasi tidak hanya merupakan satu-satunya peran dan digunakannya desain tipografi dalam komunikasi visual. Sebagai suatu elemen desain, desain tipografi dapat juga membawa emosi atau berekspresi, menunjukan pergerakan elemen dalam suatu desain, dan memperkuat arah daripada suatu karya desain seperti juga desain-desain elemen yang lain. Maka dari itu, banyak kita temui komunikasi visual yang hanya menggunakan tipografi sebagai elemen utamanya, tanpa obyek gambar. 2. Warna (color): David (1987) dalam Darmaprawira (2002), menggolongkan warna menjadi dua, yaitu warna eksternal dan internal. Warna eksternal adalah warna yang bersifat fisika, sedangkan warna internal adalah warna sebagai persepsi manusia, cara manusia melihat warna kemudian mengolahnya di otak dan cara mengekspresikannya. Warna merupakan unsur penting dalam obyek desain. Karena dengan warna orang bisa menampilkan identitas, menyampaikan pesan atau membedakan sifat dari bentuk-bentuk bentuk visual secara jelas. Penting sekali yang harus diperhatikan agar mata pemerhati (komunikan) mudah “tercuri” pada pandangan pertama (first sight) untuk melirik karya kita adalah warna dari huruf tersebut, biasanya warna yang cerah lebih menarik perhatian mata dari pada warna huruf biasa-biasa dan standar. Darmaprawira (2002) menjelaskan bahwa warna khususnya dalam produk visual dapat digunakan demi beberapa alasan, yaitu: a. Warna merupakan alat untuk dapat menarik perhatian. b. Dapat memperlihatkan atau memberikan suatu penekanan pada elemen tertentu di dalam karya. c. Warna dapat memperlihatkan suatu kesan tertentu yang menunjukkan akan adanya kesan psikologis tersendiri. Beberapa hasil penelitian menurut Graves (2004) dalam Darmaprawira (2002) menjelaskan : a. Warna panas atau hangat adalah: keluarga kuning, jingga, merah; sifatnya: positif, agresif, aktif merangsang. Warna dingin atau sejuk : keluarga hijau, biru, ungu. Sifatnya: negatif, mundur, tenang, tersisih, aman. b. Warna yang disukai mempunyai urutan sebagai berikut: Merah, biru, ungu, hijau, jingga, kuning. Dalam desain, warna merupakan unsur yang sangat penting karena warna bisa menjadi alat untuk berekspresi. Bicara tentang warna, banyak sekali ilmu yang bisa dipelajari darinya tetapi sistem Musell lebih mudah dan praktis untuk mencampur warna pigmen. Menurut Darmaprawira (2002), teori lingkaran warna dari Musell mengambil tiga warna utama sebagai dasar dan disebut warna primer, yaitu: merah (magenta) dengan kode M, kuning (yellow) dengan kode K dan biru (cyan) dengan kode B. Warna primer yang menjadi warna pokok ada dua macam, warna pokok cahaya terdiri dari red, green, dan blue (RGB) dan warna-warna yang pertama cyan, magenta dan yellow masih ditambahkan warna key (hitam) sehingga dikenal istilah CMYK. Apabila dua warna primer masing-masing dicampur, maka menghasilkan warna kedua atau warna sekunder. Bila warna primer dicampur dengan warna sekunder maka menghasilkan warna
17
yang ketiga atau warna tersier. Bila antara warna tersier dicampur lagi dengan warna primer dan sekunder, maka menghasilkan warna netral.
Gambar 2 Lingkaran warna (Darmaprawira, 2002, hal 75) Persepsi sistem visual manusia terhadap warna sangat relatif sebab dipengaruhi oleh banyak kriteria, salah satunya disebabkan oleh adaptasi yang menimbulkan distorsi. Misalnya bercak abu-abu di sekitar warna hijau akan tampak keunguan (distorsi terhadap ruang), atau jika mata melihat warna hijau lalu langsung dengan cepat melihat warna abu-abu, maka mata menangkap kesan warna abu-abu tersebut sebagai warna ungu (distorsi terhadap waktu) Dimensi warna merupakan sifat-sifat dasar dari warna itu sendiri. Menurut The Prang System seperti dikutip Nugroho (2007) warna dibagi menjadi tiga dimesi, yaitu: a. Hue, berkait dengan panas-dinginnya warna, termasuk didalamnya warna primer, sekunder dan tersier. b. Value, berkait dengan terang-gelapnya warna, menunjukkan kualitas sinar yang direfleksikan oleh sebuah warna atau menunjukkan gelap terangnya warna, dilakukan dengan menambahkan warna putih atau hitam. c. Intensity, berkait dengan cerah-suramnya warna, menunjukkan kuat lemahnya warna. Pengurangan intensitas dicapai dengan mencampur atau menambah warna murni dengan warna-warna netral seperti putih, hitam, abu-abu atau dengan warna-warna komplemen.
18
Gambar 3 Skema Dimensi Warna (Darmaprawira, 2002, hal 60)
Darmaprawira (2002), menjelaskan bahwa terdapat 3 metode untuk menjelaskan warna, yaitu metode obyektif, metode komperatif, dan metode subyektif. Metode obyektif untuk menjelaskan warna tergantung pada ukuran standarnya. Sedangkan metode komperatif dan subyektif mengandalkan pada penilaian seseorang yang melihat warna. 1. Metode obyektif, merupakan hasil sederhana untuk menggambarkan warna dalam penerimaan penglihatan warna pada mata. Warna mempunyai 3 karakteristik, yaitu: a. chroma (corak warna) adalah pembeda panjang gelombang pada warna itu sendiri, b. value (nilai) adalah banyaknya pemusatan warna, c. brightness (terang gelapnya cahaya) adalah banyaknya sebuah benda berwarna memancarkan cahaya. Perubahan yang kecil pada chroma, value, dan brightness dapat menghasilkan jutaan warna. Bagaimanapun juga, mata manusia tidak dapat membedakan warna yang kecil. 2. Metode Komperatif, Penggunaan metode ini adalah dengan cara membandingkan warna. Contohnya warna marah disamakan dengan darah, sedangkan warna biru disamakan dengan langit bersih saat hari cerah. Kendalanya, setiap orang mempunyai pemahaman yang berbeda tentang warna. Contoh warna merah darah adalah merah yang gelap sedangkan warna merah pada bendera Amerika lebih terang. 3. Metode Subyektif, Emosi seseorang akan terangsang pada obyek dengan warna yang kuat dari sebuah pesan. Dalam menggambar, anakanak lebih memilih warna yang abstrak untuk gambar kotak dan garis. (anak perempuan lebih sering menggunakan warna-warna dalam menggambar daripada anak laki-laki). Ahli warna sudah mengetahui dari dulu bahwa warna-warna menyala adalah merah dan kuning, warna kalem adalah biru dan hijau. Suatu ruangan yang dicat dengan warna cerah akan terlihat lebih luas dibandingkan dengan pada ruangan yang
19
sama dicat warna gelap. Karena itu manusia menyesuaikan atau mengelompokkan warna dengan obyek dan acaranya. 3. Size (ukuran): Pengertian ukuran menurut Safanayong (2006) adalah unsur lain dalam desain yang mendefinisikan besar kecilnya suatu obyek. Dengan menggunakan unsur ini akan dapat kontras dan penekanan (emphasis) pada obyek desain sehingga orang akan tahu mana yang akan dilihat atau dibaca terlebih dahulu. Ciri-ciri pokok yang menunjukan ukuran, di mana ciri-ciri tersebut pada kenyataanya dipengaruhi oleh oleh keadaan bagaimana cara kita memandangnya. Juga merupakan sarana pokok yang memungkinkan kita mengenal dan melihat serta meninjau latar belakang, persepsi kita terhadap satu dan yang lain, sangat tergantung dari derajat ketajaman visual. Ching (1996) menjelaskan bahwa ukuran dapat dikenali karena ia memiliki ciri-ciri visual, yaitu : a. Wujud, adalah hasil konfigurasi tertentu dari permukaan-permukaan dan sisi-sisi bentuk. b. Dimensi suatu ukuran adalah panjang, lebar dan tinggi. Dimensi-dimensi ini menentukan proporsinya. Adapun skalanya ditentukan oleh perbandingan ukuran relatifnya terhadap bentuk-bentuk lain disekelilingnya 4. Tekstur (Texture) menurut Safanayong (2006) tekstur adalah tampilan permukaan (corak) dari suatu benda yang dapat dinilai dengan cara dilihat atau diraba. Yang pada prakteknya, tekstur sering dikategorikan sebagai corak dari suatu permukaan benda, misalnya permukaan karpet, baju, kulit kayu, dan lain sebagainya. Tekstur merupakan karakteristik intrinsik dari suatu citra yang terkait dengan tingkat kekasaran (roughness), granularitas (granulation), dan keteraturan (regularity) susunan struktural piksel. Aspek tekstural dari sebuah citra dapat dimanfaatkan sebagai dasar dari segmentasi, klasifikasi, maupun interpretasi citra. Tekstur dapat didefinisikan sebagai fungsi dari variasi spasial intensitas piksel (nilai keabuan) dalam citra. Tekstur adalah kualitas tertentu suatu permukaan yang timbul sebagai akibat dari struktur 3 dimensi. Tekstur merupakan unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan, yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalm susunan untuk mencapai bentuk rupa, sebagai usaha untuk memberikan rasa tertentu pada permukaan bidang pada perwajahan bentuk pada karya seni rupa secara nyata atau semu, yang terdiri titik-titik kasar atau halus yang tidak teratur pada suatu permukaan. Titik-titik ini dapat berbeda dalam ukuran ukuran, warna, bentuk atau sifat dan karakternya, seperti misalnya ukuran besar kecil, warna terang gelap, bentuk bulat, persegi atau tak beraturan sama sekali atau lain-lain. Suatu tekstur yang susunannya agak teratur, maka dapat maka dapat disebut sebagai corak (pattern). Skala, jarak pandang, dan cahaya adalah faktor-faktor penting yang mempengaruhi persepsi terhadap tekstur dan permukaan yang ditunjukkannya. Semua material mempunyai tingkat tekstur tertentu. Tetapi, semakin halus skala pola teksturnya, akan semakin halus pula penampilannya. Skala relatif suatu tekstur dapat mempengaruhi penampilan dan posisi aktual suatu bidang dalam ruang. Tekstur dengan urat-urat yang
20
mempunyai arah tertentu dapat mempertegas panjang atau lebar suatu bidang. Tekstur yang kasar dapat membuat sebuah bidang terlihat seakanakan lebih dekat, memperkecil skalanya, dan menambah bobot visualnya. Secara umum, tekstur cenderung mengisi secara visual ruang di mana tekstur itu berada. Tekstur buatan (Artificial texture), merupakan tekstur yang sengaja dibuat atau hasil penemuan: kertas, logam, kaca, plastic dan sebagainya. Tekstur alami (Natural texture), merupakan wujud rasa permukaan bahan yang sudah ada secara alami, tanpa campur tangan manusia: batu, pasir, kayu, rumput, dan lain sebagainya. Tekstur primer, yaitu tekstur yang terdapat pada bahan yang hanya terdapat dilihat dari jarak dekat. Tekstur sekunder, yaitu tekstur yang dibuat dalam skala tertentu untuk memberikan kesan visual yang proporsional dari jarak jauh. Ada dua jenis dasar tekstur, yaitu tekstur rill adalah tekstur yang memang nyata dan dapat dirasakan dengan sentuhan, serta tekstur visual adalah tekstur yang hanya terlihat dengan mata. Fungsi Tekstur dapat memberikan kesan pada persepsi manusia melalui penglihatan visual, seperti misalnya pada suatu bidang rata yang mempunyai perbedaan warna, maka warna yang gelap terlihat sebagai bayangan warna yang terang sehingga timbul kesan seolah-olah bidang tersebut tidak rata. Secara keseluruhan maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dengan pengolahan tekstur yang baik, maka tata ruang luarnya akan menghasilkan kesan dan kualitas ruang yang lebih menarik. 5. Layout/tata letak, menurut Rustan (2008), layout atau tata letak merupakan sistem penyusunan dari elemen-elemen desain yang berhubungan kedalam sebuah bidang sehingga membentuk susunan artistik. Hal ini bisa juga disebut managemen bentuk dan bidang. Membuat sebuah layout berarti membuat sebuah rancangan yang pada akhirnya berguna untuk mengkomunikasikan karya atau perancangan yang di buat kepada pembaca atau audience. Elemen-elemen yang digunakan dalam pembuatan layout, antara lain: header, kicker eyebrows, credit line, caption, foto, headline, deck, initial caps, box, artworks, footer, running head, bodycopy, pull quotes, sub judul, indent, nomor halaman, signature, informational, point, dan side bars. Semua elemen-elemen ini mencakup elemen visual dan text atau tulisan. Pembuatan layout harus melalui beberapa tahapan yaitu, konsep desain yang merupakan awal dari pembuatan sebuah desain ataupun perancangan lainnya, media dan spesifikasinya yang menjelaskan tentang media yang dipakai. Prinsip layout menurut Rustan (2008) adalah a. Sequence/urutan: Sering disebut juga dengan hierarki/flow/aliran. Gunanya untuk mengatur urutan yang mana dulu informasi yang harus dilihat pembaca, yang mana yang kedua, dan seterusnya. Tanpa adanya prioritas urutan, pembaca akan kesulitan menangkap pesannya, apalagi bila informasi yang sampaikan sama kuatnya. Dengan adanya sequence akan membuat pembaca secara otomatis mengurutkan pandangan matanya sesuai dengan yang diinginkan. b. Emphasis/penekanan: (memberi ukuran lebih besar, warna yang kontras, posisi strategis, bentuk / style berbeda). Sering disebut juga sebagai pusat perhatian/vocal point/point of interest. Emphasis dapat diciptakan dengan
21
berbagai cara, antara lain dengan memberi ukuran yang jauh lebih besar dibandingkan elemen-elemen layout lainnya pada halaman tersebut. Memberikan warna yang kontras/berbeda sendiri dengan latar belakang dan elemen lainnya. meletakkan di posisi yang strategis atau menarik perhatian. Bila pada umumnya kebiasaan membaca dimulai dari atas ke bawah, kiri ke kanan, maka posisi yang paling strategis dan pertama dilihat orang adalah kiri atas. Menggunakan bentuk atau style yang berbeda dengan sekitarnya. c. Balance/keseimbangan : Pembagian berat yang merata pada suatu bidang layout. Bukan berarti seluruh bidang harus dipenuhi dengan elemen, tapi lebih pada menghasilkan kesan seimbang dengan menggunakan elemenelemen yang dibutuhkan dan meletakkannya pada tempat yang tepat. Tidak hanya pengaturan letak tapi juga ukuran, arah, warna, dan atributatribut lainnya. Ada dua macam keseimbangan yaitu keseimbangan yang simetris (symetrical balance/formal balance) dan keseimbangan yang tidak simetris (assymetrical balance/informal balance) d. Unity/kesatuan: Supaya suatu layout memberi efek yang kuat bagi pembacanya, ia harus mempunyai kesan unity. Semua elemen harus saling berkaitan dan disusun secara tepat. Unity tidak berarti hanya kesatuan dari elemen-elemen yang secara fisik kelihatan, namun juga kesatuan antara fisik dan yang non-fisik yaitu pesan/komunikasi yang dibawa dalam konsep desain tersebut. 6. Ilustrasi, menurut Roos (1963) dalam Hartanto (2001) mengatakan bahwa ilustrasi dalam iklan berfungsi sebagai judul dalam bentuk gambar, untuk menekankan judul bahkan menggantikan posisinya yang penting. Hal ini karena potensi gambar yang dapat menjelaskan arti lebih luas daripada katakata, khususnya apabila gambar itu dilukis untuk mengemukakan ide. Melalui gambar orang bahkan yang buta huruf, dapat menerima dari belajar sesuatu informasi secara lebih mudah. Masih menurut Hartanto (2001), Ilustrasi iklan yang menonjolkan kekuatan gambar lebih mudah untuk mengkomunikasikan detil produk yang ditawarkan. Penggunaan teknik ilustrasi pada iklan media massa cetak menggunakan fotografi dan gambar. Ilustrasi dengan menggunakan gambar dengan berbagai macam teknik misalnya scratchboard, pensil, crayon, arang, cat minyak, acrylic, tempera, cat air dan lain-lain. Penggunaan ilustrasi sebagai daya tarik dalam iklan merupakan salah satu strategi kreatif yang dipilih kreator iklan dengan berbagai aspek pertimbangan. Misalnya penggunaan cartoon sangat cocok untuk produk anak-anak. Sebaiknya, cartoon digunakan untuk produk serius yang berkaitan dengan taste. Selain itu, pemilihan publik figure sebaiknya menunjukkan secara langsung pemakai produk. Demikian pula, teknik visual demo (bukan trick komputer) dengan menyajikan pembuktian, bukan sebuah rekayasa yang nantinya bisa menjadi bumerang produk itu sendiri. Fungsi ilustrasi dalam iklan adalah merebut atensi, mengidentifikasi subyek, center of interest, membangkitkan minat baca headline, memberikan kesinambungan keseluruhan iklan, menitik beratkan pada aspek-aspek produk dan lain-lain.
22
Salah satu pendekatan dalam ilustrasi iklan menurut Russel-Lane (1999) dalam Hagijanto (2002), adalah mendramatisasi situasi yang dibangun dalam iklan. Pendekatan beriklan semacam ini disamping tidak lepas dari perkembangan peradaban khalayak, juga mengacu kepada kompleksitas kebutuhan yang terpola dari sistem unique selling preposition. Kebutuhan bertambah sehingga ada diversifikasi nilai barang, karena produk yang merupakan pendatang baru akan mencari celah pemasaran produk lama. Sementara itu, etika dan norma untuk menciptakan posisioning sangat kacau, akibatnya terjadi tumpang tindih, produk lama menindih produk baru. Pola demikian juga berimbas dalam pendekatan beriklannya. Terutama pada ilustrasinya. Alih-alih kreativitas menimbulkan sebuah paradigma baru yakni sebuah dramatisasi ilustrasi. Khalayak sudah jenuh (over stimuli) terhadap hal-hal yang sudah dilakukan oleh pendahulu. Mereka dituntut untuk menghasilkan kebaruan-kebaruan yang belum terpikirkan dan dipakai orang lain. Menurut Susanto (1977) dalam Hagijanto (2002), iklan tanpa ilustrasi apa pun bisa tidak akan menarik perhatian. Karenanya pengiklan dituntut untuk mampu secara jeli menampilkan ide atau gagasan yang bersifat seleksi terhadap daya tarik yang dapat diberikan oleh barang atau jasa. Gambaran sebuah kegunaan barang, dan bernilai lebih dibandingkan dengan produk lain, akan seketika itu juga tertanam dalam benak khalayak. Sebuah metode dramatisasi berguna untuk memvisualkan fenomena ataupun hal-hal yang dalam kondisi normal tidak dapat dicapai. Tipologi Media Luar Ruang Media luar ruang dapat dibedakan dalam berbagai klasifikasi. Pengklasifikasian setiap media luar ruang berbeda–beda, sesuai dengan sudut pandang, tujuan dan kepentingan yang hendak dicapai. Perbedaan pengklasifikasian ini berkaitan erat dengan bentuk–bentuk pengelolaan atau pengaturan yang ditetapkan. Pemahaman atas kesamaan dan perbedaan antara kelompok media luar ruang tersebut diklasifikasikan, merupakan kunci dalam memahami suatu pengelolaan media luar ruang (Yulisar 1999). Secara umum klasifikasi luar ruang dapat berdasarkan isi pesan, bahan, sifat informasi dan teknis pemasangannya. Berdasarkan hal tersebut, klasifikasi media luar ruang oleh Yulisar (1999) dipaparkan sebagai berikut di bawah ini. 1. Berdasarkan isi pesannya, media luar ruang dibedakan atas: a. Media komersial, menyangkut media luar ruang yang memberikan informasi suatu barang atau jasa untuk kepentingan dagang (private sign). b. Media non-komersial, merupakan media luar ruang yang mengandung informasi pelayanan kepada masyarakat (public sign). 2. Berdasarkan sifat penyampaian informasi, terdiri atas (Shirvani 1985): a. Media luar ruang yang bersifat langsung. Media ini berkaitan dengan kegiatan pada suatu bangunan atau lingkungan tempat media luar ruang tersebut diletakkan, seperti media luar ruang yang menunjukkan identitas usaha atau bangunan. b. Media luar ruang yang bersifat tidak langsung. Media luar ruang jenis ini berisi pesan–pesan yang tidak mempunyai keterkaitan langsung
23
dengan kegiatan dalam bangunan atau lingkungan di mana media luar ruang tersebut berada. 3. Berdasarkan bahan dan periode waktu yang digunakan, media luar ruang dibedakan atas: a. Media luar ruang permanen, umumnya media ini ditempatkan atau dibuat pada pondasi sendiri, dimasukkan ke dalam tanah, dipasang atau digambar pada struktur yang permanen. Kebanyakan jenis media luar ruang ini yang diijinkan untuk dipasang. b. Media luar ruang temporer. Media luar ruang ini digunakan pada suatu waktu yang tertentu saja ketika ada suatu acara atau pertunjukan dan sejenisnya, dan sesudahnya tidak digunakan lagi. Media luar ruang jenis ini mempunyai ciri mudah untuk dipindahkan atau dibongkar secara tidak terbuat dari bahan yang mahal. 4. Secara teknis pemasangannya, media luar ruang dibedakan atas : a. Media luar ruang yang berdiri sendiri (free standing signs), memiliki dua bentuk yaitu: • Media luar ruang dengan tiang (pole signs). Media luar ruang ini didukung oleh tiang, kadang–kadang lebih dari satu, terpisah dari tanah oleh udara dan terpisah dari bangunan dan struktur yang lain. • Media luar ruang yang terletak di tanah (ground sign). Dasar dari media luar ruang ini terletak di tanah atau tertutup oleh tanah dan terpisah dari bangunan atau struktur sejenis yang lain. b. Media luar ruang pada atap bangunan (roof signs) yang terdiri atas : • Media luar ruang yang tidak menyatu dengan atap. Media luar ruang ini dibangun di atas atap bangunan, disangga oleh struktur atap dan berada tinggi di atas atap. • Media luar ruang yang menyatu dengan atap. Media luar ruang yang menyatu dengan atap ini dicirikan dengan tidak adanya bagian media luar ruang yang melebihi ketinggian atap dan terpasang pararel tidak lebih dari 21 cm. c. Media luar ruang dari tenda maupun awning (canopy and awning sigs) yang meliputi: • Media luar ruang pada tenda maupun awning yang permanen. • Media luar ruang pada tenda maupun awning yang dapat dilihat. d. Projected sign. Media luar ruang ini diletakkan pada bangunan atau dinding bangunan dengan sedemikian rupa menghadapi arus kendaraan dan jarak tidak lebih dari 15 cm dari dinding banguanan dan dipasang tegak lurus dari bangunan. e. Media luar ruang yang ditempatkan pada dinding (wall signs). Media luar ruang yang masuk dalam kategori ini adalah media luar ruang yang dipasang secara pararel dalam jarak maksimum 15 cm dari dinding bangunan, media luar ruang yang dicat pada permukaan dinding atau sruktur bangunan yang lain. f. Media luar ruang yang digantung (suspended signs). Media luar ruang ini digantung pada bagian bawah bidang horisontal (langit–langit) pada serambi bangunan. Umumnya media luar ruang ini berukuran lebih kecil dari papan nama atau alamat untuk memberitahukan pada pejalan kaki
24
yang tidak dapat melihat media luar ruang yang lebih besar yang diletakkan pada dinding di atas serambi di bagian depan bangunan. g. Media luar ruang di atas pintu keluar masuk bangunan (marquee signs). Media ruang ini diletakkan pada struktur bangunan seperti atap di atas pintu keluar masuk bangunan. h. Media luar ruang pada jendela atau pintu (window/door signs). Media luar ruang jenis ini dapat berupa gambar, simbol atau kombinasi keduanya yang dirancang untuk memberikan informasi mengenai suatu aktivitas, bisnis, komoditi, peristiwa, perdagangan atau suatu perdagangan atau suhu pelayanan yang diletakkan pada jendela atau pintu dari dari kaca dan tampak dari sisi sebelah luar. Estetika Media Luar Ruang Estetika secara umum selalu berhubungan dengan bentuk dan kualitas suatu material. Bentuk material merupakan wujud fisik yang dapat ditangkap oleh mata. Kualitas visual estetik merupakan hasil pertemuan antara unsur fisik lanskap dan proses psikologis dari pengamat (Daniel 2001). Dikutip dari Pramono (2006), dalam pemetaan media luar ruang secara teknis, elemen-elemen yang diatur bertitik tolak pada persoalan-persoalan estetika media luar ruang yang berkaitan dengan kualitas lingkungan kota dan beracuan kepada kebutuhan masyarakat atas lingkungannya sendiri. Elemen-elemen teknis yang perlu ditata dalam hal ini seperti yang tersebut diatas antara lain bentuk, jumlah, lokasi, luas, penerangan dan penempatannya (Pramono 2006). Adapun element estetika tersebut adalah : 1. Bentuk media luar ruang Bentukan desain yang dapat mencerminkan jenis desain mempengaruhi estetika suatu obyek. Menurut bentuk atau jenisnya, media luar ruang dibagi menjadi 13 jenis, yaitu media luar ruang bando, media luar ruang rombong, media luar ruang peragaan, media luar ruang film atau slide, media luar ruang suara, media luar ruang udara, media luar ruang berjalan, media luar ruang selebaran atau brosur, media luar ruang baliho, media luar ruang papan (billboard), megatron, videotron, large electronic display (LED), video wall dan dynamic wall, umbul-umbul atau banner atau spanduk, media luar ruang poster atau tempelan stiker. Tentunya semua bentuk media luar ruang dinilain dari sisi unik, kesederhanaannya, dan mudah untuk dingat. 2. Intensitas Berdasarkan pengamatan, intensitas media luar ruang bervariasi. Desain akan bernilai tinggi jika memperhatikan prinsip-prinsip desain yang salah satunya adalah skala yang berupa intensitas dan lain-lain Pramono (2006) mengatakan bahwa aspek sumberdaya visual diversity (fungsi dalam jumlah) dapat mempengaruhi visual pengamat sehingga mempengaruhi nilai estetika. Komponen lanskap yang memiliki jumlah, keragaman, dan pola yang sesuai dan harmonis akan memiliki nilai estetika yang tinggi. Diantaranya penampilan media luar ruang, kesesuaian penempatan media luar ruang dan kesesuaian satu media dengan media lainnya.
25
3. Lingkungan sekitar Meliawati (2003) yang menyebutkan elemen lanskap yang dominan terhadap kualitas estetika media luar ruang adalah vegetasi, bangunan, perkerasan, air, dan langit. Elemen yang cukup menonjol adalah bangunan (gedung) dan vegetasi. Lebih lanjut, Meliawati mengatakan elemen langit tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan kualitas estetika; sedangkan untuk perkerasan dan air, pengaruhnya tidak menonjol jika skala visual dari elemen tersebut tidak besar kesesuaian penempatan ukuran dengan lingkungannya. 4. Pencahayaan Berdasarkan penelitian Nurmasari (2008), Pengaruh pencahayaan dapat mempengaruhi estetika suatu obyek. Pembagian Pencahayaan biasanya lebih kepada pencahayaan malam hari. Karena Perbedaan sumber pencahayaan ini dijadikan perlakuan faktor-faktor estetika pada media luar ruang. Dari beberapa kajian teori seperti pada pembahasan di atas, penataan media luar ruang menghasilkan beberapa elemen dan aspek yang harus dipertimbangkan dalam melihat estetika media luar ruang di koridor jalan Margonda Raya Kota Depok. Elemen-elemen serta aspek tersebut adalah bentuknya, penampilannya, keindahannya, kesesuaian penempatannya, kesesuaian satu media dengan media lainnya, kesesuaian penempatan ukuran dengan lingkungannya dan Pencahayaan di malam hari. Kerangka Berpikir Perkembangan kawasan perdagangan yang memicu persaingan dalam merangkul konsumen sebanyak-banyaknya, menjadikan media luar ruang sebagai alat media komunikasi dan informasi mulai muncul pada kawasankawasan berkembang, terutama kawasan komersial jasa dan perdagangan. Fenomena ini juga berkembang di Kota Depok, di mana Jalan Margonda Raya yang difungsikan sebagai kawasan komersial jasa dan perdagangan memiliki potensi berkembangnya media luar ruang yang cukup banyak dan bervariasi. Semakin banyaknya penggunakan media luar ruang sebagai alat komunikasi dan informasi menyebabkan pemasangan cenderung mengabaikan keselamatan dan keindahan kota secara keseluruhan. Untuk dapat mengevaluasi keberadaan media luar ruang di Jalan Margonda Raya hal yang dilakukan adalah mengidentifikasi kondisi potensi dan permasalahan yang ada di jalan Margonda Raya yang meliputi peubah berupa kajian terhadap karakteristik masyarakat yang terdiri dari indikator karakteristik personal, karakteristik cultural dan karakteristik physical, selanjutnya menganalisis persepsi masyarakat yang ada di sekitar dan yang beraktivitas di koridor jalan Margonda Raya Kota Depok yang terdiri dari aspek komunikasi visual, tipologi media luar ruang dan estetika media luar ruang Pengkajian dan identifikasi potensi dan masalah jalan Margonda Raya menjadi dasar dalam penjaringan persepsi masyarakat sekitar atau konsumen dari keberadaan media luar ruang di wilayah studi. Hasil kajian persepsi ini berupa evaluasi secara keseluruhan mengenai keberadaan media luar ruang. Pengelolaan media luar ruang di Kota Depok dilakukan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMP2T) yang mempunyai salah satu tugas mengelola media luar ruang sebagai sumber
26
Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun terhadap pertimbangan teknis dalam pemasangan media luar ruang. upaya pengembangan tersebut merupakan upaya pengembangan prioritas atau yang dipandang esensial dan dapat menjadi langkah pertama bagi kelanjutan langkah-langkah selanjutnya. Persepsi masyarakat dan potensi dan kendala fisik koridor jalan Margonda Raya Kota Depok menjadi dasar pemasangan media luar ruang untuk menjadi pertimbangan teknis oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMP2T), agar menghasilkan rekomendasi pemasangan media luar ruang sebagai media luar ruangan yang efektif serta pengelolaan bagi pemanfaatan media luar ruang sebagai alternatif sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk lebih lengkapnya secara diagramatis kerangka pemikiran dalam studi ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Karakteristik Personal (X1) X1.1. Umur X1.2. Jenis kelamin X1.3. Tingkat Pendidikan X1.4. Jenis Pekerjaan X1.5. Tingkat Pendapatan
Persepsi Masyarakat (Y) 1. Komunikasi Visual
Karakteristik Cultural (X2) X2.1. Asal / suku
Media Luar Ruang 2. Tipologi Media Luar Ruang 3. Estetika Media Luar
Karakteristik Physical
Ruang
(X3) X3.1. Frekuensi Melintas
Gambar 4 Kerangka berpikir persepsi masyarakat terhadap keberadaan media luar ruang di jalan Margonda Raya Kota Depok
27
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Karakteristik personal berhubungan nyata dengan persepsi masyarakat terhadap media luar ruang 2. Karakteristik cultural berhubungan nyata dengan persepsi masyarakat terhadap media luar ruang 3. Karakteristik physical berhubungan nyata dengan persepsi masyarakat terhadap media luar ruang.