II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pestisida
Pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama yang berasal dari kata pest (hama) dan cide (membunuh). Pestisida mencakup bahan-bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan jasad hidup yang merugikan manusia, tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, agar kerugian dan gangguan dapat ditekan seminimum mungkin ( Sastroutomo, 1992; Tarumingkeng, 1992; Ware, 1986; Wudianto, 1992). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang pengawasan dan peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain, jasad renik dan virus dan biopestisida yang digunakan untuk memberantas dan mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, pada bagian-bagian tanaman atau hasil pertanian,
memberantas
pertumbuhan
yang
gulma,
tidak
mematikan
diinginkan,
daun
mengatur
dan
atau
mencegah merangsang
pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk, memberantas hama-hama air, memberantaslmencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam alat pengangkutan yang dapat menyebabkan suatu penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan tanaman, tanah dan air (Peraturan-Peraturan Tentang Pestisida, 1985; Wudianto, 1992). Definisi pestisida menurut The United State Federal Environmental Pesticide Control Act adalah : (1) Semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas, mencegah atau menangkal gangguan oleh serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, bakteri, jasad renik yang dianggap hama kecuali virus, bakteri atau jasad renik yang terdapat pada manusia dan binatang lainnya;
(2)
Semua zat atau campuran zat yang digunakan sebagai pengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman (Natawigena, 1989).
2.2. Penggolongan Pestisida
Penggolongan pestisida dapat dikategorikan dari berbagai dasar yaitu 1. Penggolongan berdasarkan jasad sasaran ;
Ditinjau dari sasarannya, pestisida dapat digolongkan menjadi akarisida
(pembunuh tungau
atau
caplak),
nematisida
(pembunuh
nematoda), rodentisida (pembunuh binatang pengerat), herbisida (pembunuh gulma), insektisida (pembunuh serangga), dan fungisida (pembunuh jamur atau cendawan). Pestisida yang paling banyak digunakan dalam jumlah yang cukup besar untuk meningkatkan produksi pertanian adalah herbisida, fungisida
dan
insektisida
(Matsumura,
1985;
Sastroutomo,
1992;
Tarumingkeng, 1992). 2. Penggolongan berdasarkan bahan asal :
a. Pestisida organik alam, misalnya dari tanaman nimba dan tembakau b. Pestisida organik sintetik seperti klor-organik, fosfat organik, karbamat
c. Pestisida an-organik seperti asefat, tembaga sulfat d. Pestisida mikroba seperti bakteri Bacillus thuringiensis Berliner 3. Penggolongan berdasarkan bentuk formulasi pestisida ;
a. Granule atau butiran. b. Tepung, seperti tepung yang dapat dilarutkan dalam air (soluble powder) dan tepung yang dapat disuspensikan dalam air (wettable powdefl.
c. Debu atau dust. d. Cairan, meliputi cairan yang dapat diemulsikan dalam air (emulsifiable concentrate) dan cairan pekat yang dapat dilarutkan dalam air (water soluble concentrate).
4. Penggolongan berdasarkan cara kerja pestisida
Menurut Ekha (1991) berdasarkan
cara kerjanya pestisida dapat
dibedakan menjadi empat golongan yaitu : a. Pestisida racun kontak Pestisida jenis ini membunuh jasad sasaran dengan masuk ke dalam tubuh melalui kulit, menembus saluran darah, atau dengan melalui sasaran pernafasan. b. Pestisida racun perut Pestisida jenis ini mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran memakan bagian tanaman yang terkena pestisida tersebut c. Pestisida sistemik Zat tersebut dapat ditranslokasikan ke berbagai bagian tanaman melalui jaringan. Hama akan mati kalau menghisap cairan tanaman. d. Pestisida Fumigan Zat tersebut mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran terkena uap atau gas. Berdasarkan kandungan bahan aktifnya insektisida dapat digolongkan menjadi: 1. Hidrokarbon berklor Hidrokarbon berklor dicirikan dengan: a. keberadaan atom hidrogen, karbon, klorin, dan kadang-kadang oksigen, termasuk beberapa ikatan C-CL. b. Keberadaan rantai karbon siklik (termasuk cincin benzena) c. Sedikitnya bagian yang aktif. d. Sifat apolaritas dan lipofilik. e. Sifat ketidakreaktifan dari senyawa tersebut. lnsektisida yang termasuk dalam senyawa ini adalah DDT, BHC, klordane, dan dieldrin.
2. lnsektisida organofosfat. Lebih dari 30% dari insektisida yang terdaftar adalah organofosfat. Ribuan senyawa organofosfat telah diuji untuk digunakan sebagai insektisida, dan telah banyak ditemukan tentang pengaruh biokimia terhadap syaraf, baik untuk invertebrata maupun vertebrata. organofosfat,
mempunyai
Baik fosfat, maupun senyawa
karakteristik
sebagai
penghambat
asetilkolinesterase. lnsektisida organofosfat digunakan sebagai racun perut dan racun kontak, sebagai fumigan, dan sebagai insektisida sistemik. Bahan aktif profenofos adalah turunan dari fenil organofosfat. Nama kimia profenofos adalah 0-(4-bromo-2-klorofeni1)-0-etil -S-propil fosforotioat vorthing 1979). Cara kerja profenofos yaitu sebagai racun kontak dan racun perut, bersifat non-sistemik dan mempunyai spektrum yang luas. Profenofos berupa cairan berwarna kuning pucat dengan titik didih 1 1 0 ' ~(0,001 mm Hg) dan tekanan uap 1,3 mPA pada 2 0 ' ~ . Massa jenis profenofos 1,455 g/cm3 pada 2 0 ' ~dan dapat larut dalam air pada 2 0 ' ~ dengan konsentrasi 20 mgll, tetapi profenofos akan lebih cepat larut dalam pelarut organik. Profenofos terhidrolisa pada 2 0 ' ~dan sifat racunnya akan hilang sebesar 50% (tin) dalam waktu 93 hari pada pH 5, dalam waktu 14,6 hari pada pH 7 dan dalam waktu 5,7 hari pada pH 9 worthing 1979). lnsektisida ini stabil dalam kondisi netral dan agak asam, tetapi tidak stabil pada kondisi basa (Fam Chemical Handbook7989 dalam Handajani 1996). Rumus bangun profenofos seperti pada Gambar 1
0
Gambar 1. Rumus bangun profenofos
Tabel 1. Nilai LD50dan LC50 akut profenofos terhadap beberapa biotik Biotik
I Eksposur /
Pengujian
~ntra-oral lnhalasi Dermal Media Air Media Air Media Air
LD5o LC50 LD5o LC50 LC50 LC50
Tikus Kelinci Rainbow Trout Bluegill Sunfish Daphnia magna (Zooplankton) Mallard (aves) Bobwhite
1
714 mglkg berat badan > 2,7 mgll udara (4 jam) >2,020 mglkg berat badan 0,025 mgll (96 jam) 0,5 ppm (96 jam) 0,0014mgll (48 jam,)
1
Dietary LC50 1,646 ppm (8hari,dietary) Dietary LC50 56,97 ppm (8 hari,dietary) Sumber : http://www.horizononline.com/MSDS Sheetsl83. txt Menurut Matsumura (1985), senyawa organofosfat bekerja dengan cara mempengaruhi sistem syaraf.
Mekanisme kerjanya terhadap
metabolisme serangga yaitu menghambat kerja enzim kolinesterase. Gejala yang ditimbulkan oleh senyawa organofosfat adalah terlalu aktif, gerakan tidak terkoordinasi, kejang-kejang dan akhirnya menyebabkan kematian. Profenofos digunakan untuk mengendalikan serangga dan tungau (Worthing, 1979).
3. lnsektisida Piretroid (Piretrin sintetik) lnsektisida deltametrin termasuk dalam golongan piretroid sintetik yang mempunyai
toksisitas
tinggi
terhadap
serangga
ordo
Lepidoptera,
Homoptera, Diptera dan Coleoptera. Piretroid alami berasal dari bunga Chrysanthemum cinerariaefolium (Asteraceae). Karena kebutuhan akan senyawa yang lebih stabil di lapangan maka dilakukan modifikasi dari turunan piretrin alami.
lnsektisida golongan piretroid,
khususnya deltametrin
mempunyai efek mematikan yang sangat cepat pada serangga, mempunyai toksisitas rendah terhadap mamalia ( Cremlyn, 1980; Squiban et a/., 1989). lnsektisida ini sangat tidak larut dalam air, tetapi mempunyai kelarutan yang baik dalam beberapa pelarut organik ( Hassall, 1990). Rumus molekul deltametrin adalah CnHI9Br2NO3 .
Mekanisme kerja deltametrin terutama mempengaruhi sistem syaraf pusat dan tepi serta merangsang sel-sel untuk menghasilkan impuls syaraf yang berulang-ulang dan akhirnya menyebabkan kelumpuhan (Ware, 1986). Gejala keracunan pada serangga yang diberi pertakuan dengan senyawa piretroid berupa timbulnya aktifitas yang berlebihan (hiperaktif), diikuti dengan gerakan kejang-kejang, kemudian kelumpuhan dan pada akhirnya serangga tersebut mati (Matsumura, 1985). 4. lnsektisida Karbamat
lnsektisida karbamat adalah insektisida anti asetilkholinesterase yang ditemukan setelah fosfat organik. lnsektisida karbamat adalah derivate dari fisostigimin (physostigimine, juga disebut inserin), yang merupakan alkoloida utama dari tanaman Physostigma venenosum (kacang kalabar). Fisostigmin merupakan perintang (inhibitor) kolinesterase Walaupun senyawa tersebut efektif sebagai penghambat kholinesterase serangga, tetapi bahan aktif karbamat tidak sesuai sebagai insektisida, karena reaktivitasnya terhadap garam dan pelarut hidroklorid bahkan senyawa tersebut terlalu polar untuk penetrasi kutikula serangga. lnsektisida karbamat modern sudah dimodifikasi dengan mengeliminasi bagian yang polar (polar moiety) dari fisostigmin agar supaya
karbamat
dapat
menembus
kutikel
dan
selubung
saraf
(Tarimungkeng, 1992). Gugus aktif karbamat memiliki keistimewaan yaitu, grup metil bersifat sebagai insektisida, grup aromatik sebagai herbisida dan benzimidazol sebagai fungisida. 5. lnsektisida Biologi Bacillus thuringiensis (Bt)
B. thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen pada serangga. Bakteri ini tergolong ke dalam Kelas Schizomycetes, Ordo Eubacteriles, Famili Bacillacrea (Bteinhaus, 1949 dalam Trizelia, 1994).
Toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan oleh serangga, ukuran molekul protein yang menyusun kristal (Burgerjon & Martouret, 1971 dalam Trizelia, 1994) dan susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal (Tyrell et a/., 1981 dalam Trizelia, 1994). Faktor yang ada pada serangga yang mempengaruhi toksisitas B. thuringiensis adalah perbedaan keadaan pada saluran pencernaan larva, seperti apabila pH dalam mesenteron di atas 8,9 kristal akan larut dan mengeluarkan toksin (Deacon, 1983 dalam Trizelia, 1994) 2.3. Residu Pestisida dalam Tanaman
Yang dimaksud dengan residu adalah bahan kimia pestisida yang terdapat di atas atau di dalam benda dengan implikasi waktu atau penuaan (aging), perubahan kimia (alteration) atau kedua-duanya (Tarumingkeng, 1992). Menurut Mc Ewen dan Stephenson (1979), residu pestisida dalam bahan makanan khususnya sayuran, selain dari pestisida yang langsung diaplikasikan pada tanaman dapat juga karena terkontaminasi atau karena tanaman ditanam pada tanah yang mengandung residu pestisida yang persisten. Menurut Sutamihardja et al., (1982), tidak hanya
gulma yang
dipengaruhi oleh pestisida, tetapi juga beberapa jenis tumbuhan seperti tanaman sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman makanan lainnya. Hal ini disebabkan pada waktu aplikasi pestisida terhadap hama dan penyakit tanaman, terjadi deposit pestisida dan akhirnya menjadi residu pada tanaman tersebut. Pada lingkungan alami pestisida dipindahkan ke berbagai bagian lingkungan pada permukaan tanah (akibat erosi), aliran air, sungai dan laut,
angin dan berbagai jasad hidup yang berpindah tempat. Komponenkomponen lingkungan seperti unsur-unsur hayati, suhu, air dan udara merubah pestisida melalui mekanisme biologi, fisik , kimia atau biokomia menjadi bahan-bahan lain yang masih beracun atau bahan yang toksisitasnya telah hilang sama sekali (Le Grand, 1970; USDA, 1990; Tarumingkeng, 1992) Jumlah residu yang tertinggal pada tanaman tergantung antara lain : cara, waktu, banyak aplikasi dan dosis tiap aplikasi. Hasil penelitian Dibyantoro (1979) ; Ahmed & lsmail (1995) menyatakan bahwa semakin dekat rentang waktu aplikasi terakhir dengan panen residu yang tertinggal pada tanaman semakin banyak seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2 dan
Tabel 2. Residu insektisida diazinon pada selada pada interval waktu yang berbeda sebelum panen
1
Konsentrasi Aplikasi cclliter air
I
Hari (sebelum panen) 0 1 2 2,50 3 4 7 Sumber : Dibyantoro, 1979
Jumlah Residu (ppm) 6,70 5,lO 3,40 1,90 1,50 0,80
Tabel 3. Residu metomil yang dideteksi pada strawberri, tomat dan ketimun setelah beberapa hari aplikasi Waktu
1
RESIDUa(ppm) Strawberri
Ketimun
0,80 0,20 0,07
1,08 0,61 0.19
I ,YU
3
1,20
7
nrc
14
Tomat
U,I/
21 0,03 a Rata rata dari tiaa analisis ND. Tidak ~erdeteksi
Sumber : Ahmed & lsmail(1995)
1
,
Menurut Susilo (1986) dan Satroutomo (1992), sebagaian besar (90%) dari pestisida khususnya organokhlorin yang diserap 'oleh manusia adalah melalui rantai makanan. Senyawa ini dapat bertahan lama di alam dan akan tertimbun di dalam badan hewan dan manusia melalui sistem makanan. Kebanyakan tertimbun dalam jaringan lemak baik pada hewan maupun manusia. Untuk menelaah tersebut dikemukakan suatu model kualitatif perjalanan pestisida formulasi ECNVP seperti terlihat pada Gambar 2 (Oka dan Sukardi, 1982). Pestisida Formulasi ECMlP
1 i
"
"dara i Pencemaran
an ah lair
I
Fotodekomposisi Perkolasi
!
......
Transportasi i Akumulasi i.b
Hama
Musuh alami
Manusia
;
lkan besar
i
Organisme bukan sasaran lkanfecil
i
Pembe-
i saran
i biologis zooplankton
-+ Pengairan
>
Danadlaut
j
Milcroplankton......1
Air tanahlsungai
Gambar 2. Model kualitatif perjalanan pestisida formulasi ECNVP setelah diaplikasikan Penelitian Rengam (1992) dan Sumatra (1991) menginformasikan bahwa penderita kelompok semarlakut memperoleh residu pestisida baik dari lingkungan maupun dari dalam makanan seperti air susu ibu, sayuran dan air minum. Soemarwoto et a/., (1978), membuktikan bahwa dari empat jenis sayuran yang dijual di pasar Kosambi Bandung ditemukan 2 - 4 mglkg residu pestisida jenis diazinon pada wortel. Residu pestisida pada produk pertanian sangat berbahaya karena efek toksiknya yang akumulatif dan kronis antara lain sebagai zat karsinogenik,
menyebabkan cacat lahir atau keguguran, perubahan materi genetik dan sebagainya (Mott &Snyder, 1987). Badan perlindungan lingkungan AS, EPA memperkirakan bahwa residu telah menyebabkan penyakit kanker bagi sekitar 6000 orang per tahun (secara kasar dalam 417.000 jiwa untuk populasi 2,5 milyar) (Buzby et a/., 1997). Keracunan akut pestisida di Indonesia tahun 1979 - 1986 terjadi pada 2.671 orang dengan jumlah yang meninggal 2.092 orang. Kasus tersebut terjadi di 24 propinsi yang tersebar di 98 wilayah kabupaten (Kusnoputranto, 1995). Keracunan kronis akibat pestisida berupa gangguan kesehatan karena seseorang mengkonsumsi makanan yang mengandung residu pestisida. Untuk melindungi konsumen atau masyarakat dari bahaya keracunan pestisida, WHOIFAO telah menetapkan batas maksimum atau toleran berdasarkan Maximum Residue Limits (MRL) yang boleh terkandung dalam makanan atau komoditas pertanian. MRL dinyatakan sebagai banyaknya residu pestisida untuk setiap berat bahan makanan. Penentuan batas maksimum didasarkan dan dihitung dari nilai Acceptable Daily lntake (ADI). AD1 didefinisikan sebagai jumlah residu pestisida yang boleh dicerna selama satu hari, yang tidak memberikan pengaruh jelek terhadap kesehatan manusia. Menurut FAONVHO (1966); Uclaf (1982), MRL dapat dihitung dengan menggunakan rumus : AD1 x
MRL =
BW
....................
x 1 000 mglkg
M Dimana : MRL = Maximum Residue Limits AD1 = Acceptable Daily lntake (mglkg berat badan) BW = Berat badan rata-rata (kg) M
= Jumlah makanan yang dikonsumsi (food intake)(gr)
Banyak negara industri membuat peraturan yang cukup ketat untuk menekan penggunaan pestisida, dan mulai mengembangkan strategi pengelolaan hama alternatif. Sebagai konsekuensi dari kebijaksanaan ini, kontaminasi dalam makanan menunjukkan penurunan. Pemerintah melalui Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian No.881 dan 771 tanggal 22 Agustus 1996 menerbitkan penetapan Batas Maksimal Residu pada 218 jenis pestisida yang beredar di Indonesia. Dalam pelaksanaan di lapangan cukup banyak kasus yang sama sekali tidak tersentuh keputusan bersama yang telah dibuat. Pestisida merupakan masukan teknologi yang dianggap tidak dapat digantikan pada situasi mempertahankan swasembada pangan meskipun peraturan yang dibuat sudah cukup baik, termasuk pelarangan penggunaan 57 jenis pestisida pada tahun 1986 untuk tanaman padi (Sutanto, 2002) Usaha pemerintah untuk menerbitkan Keputusan Bersama tentang BMR relatif terlambat karena negara lain mulai melaksanakan pemantauan dan pengawasan BMR secara terprogram sejak tahun tujuh puluhan. Sebagai contoh Negara Swedia, melalui Badan Pangan Nasional (NFA) telah melaksanakan pemantauan residu pestisida pada sayuran dan buah sejak tahun 1972 (Anderson dan Hellquist, 1996 dalam Sutanto, 2002). 2.4. Degradasi Residu Pestisida
Residu pestisida dapat hilang atau terurai, proses ini kadang-kadang berlangsung dengan konstan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan ini adalah penguapan, pencucian, pelapukan, degradasi enzimatik dan translokasi. Dalam jumlah yang sedikit, pestisida dalam tanaman dapat hilang sama sekali karena proses metabolisme yang berkaitan dengan proses pertumbuhan tanaman itu sendiri. Degradasi residu pestisida mengikuti Hukum
Kinetika Ordo Utama yaitu berhubungan dengan banyaknya
pestisida yang diberikan (deposit) dan faktor waktu akan diperoleh garis lurus seperti Gambar 3 (Tarumingkeng, 1992).
Log Deposit
waktu Gambar 3. Degradasi Pestisida dalam Lingkungan Keterangan ; a. b.
- Menurut Hukum Kinetika Ordo Utama
- Keadan yang berlangsung di alam
Menurut Tarumingkeng (1992) dan Matsumura (1985) residu permukaan dapat hilang karena pencucian (pembilasan), penggosokan dan hidrolisis. Pembilasan bukan hanya untuk pestisida yang larut dalam air, tetapi juga terhadap pestisida lipofilik. Dalam waktu 1-2 jam setelah tanaman diperlakukan dengan pestisida, kemungkinan besar 90 deposit telah hilang karena tercuci jika terjadi hujan, sisanya terurai oleh sinar ultraviolet. Menurut Matsunaka (1972) beberapa pestisida hilang setelah digunakan karena tercuci oleh air hujan, penguapan spontanitas atau tejadi degradasi oleh sinar matahari pada permukaan daun. Beberapa pestisida yang bersifat sistemik dapat masuk ke dalam jaringan tanaman sehingga hasil metabolisme dapat membentuk senyawa lain atau tertinggal dalam tanaman. Ahmed & lsmail (1995) menyatakan pembilasan air dapat mereduksi pestisida sangat tinggi pada interval awal atau permulaan seperti yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Efek pembilasan air terhadap residu metomil yang diperlakukan pada strawberri, tomat dan ketimun
Sumber : Ahmed & lsmail(1995) Pengaruh pencucian dan pemasakan terhadap insektisida pada kubis telah dipelajari oleh Santoso dan Wirawan yang dikutip oleh Tjahyadi dan Gayatri (1994). Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa pencucian dan pemasakan dapat menurunkan kandungan residu beberapa jenis insektisida pada kubis seperti yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh pencucian dan pemasakan terhadap kadar residu insektisida pada kubis
Kadar Residu (ppm)
lnsektisida
Tidak dicuci I
Dicuci
Diazinon 1,88 Monokrotofos 1,93 Profenofos 137 Sumber : Tjahyadi & Gayatri (1994)
I
I
I
Dimasak
1
0,14 0.23 0,29
I
I
0,32 1,01 1,21
1
Dalam aplikasinya sebagian besar pestisida akan jatuh ke tanah dan membentuk deposit. Deposit pestisida dalam tanah dipengaruhi oleh : (1) kemampuan absorbsi pestisida oleh partikel-partikel tanah dan bahan organik; (2) pencucian (washing-off) oleh air hujan; (3) penguapan, terutama penguapan air; (4) degradasi atau aktivasi oleh jasad renik dalam tanah ; (5) dekomposisi fisikokimia maupun aktivasi yang terjadi karena kondisi dan komponen-komponen tanah yang bersifat katalisator; (6) dekomposisi oleh cahaya matahari (photodecomposition); (7) translokasi melalui sistem hayati (biological system) baik tanaman maupun binatang ke lingkungan yang lain. Kandungan bahan organik yang tinggi dalam tanah menghambat penguapan
pestisida. Kelembaban tanah, kelembanan udara, suhu tanah dan porositas tanah merupakan faktor-faktor lain yang juga menentukan penguapan pestisida. Penguapan pestisida biasanya terjadi bersama-sama dengan penguapan
air
yang
sering
disebut
ko-destilasi
(co-destilation)
(Tarumingkeng, 1992). 2.5. Tanaman Bayam
Tanaman bayam bukan merupakan tanaman asli Indonesia melainkan berasal dari Amerika tropika. Dalam perkembangannya, dari Amerika Latin bayam dipromosikan sebagai tanaman sumber protein, terutama bagi negara berkembang (Rukmana, 1994) Keluarga bayam-bayaman (Amaranthaceae) terdiri dari banyak spesies. Klasifikasi secara umum menurut Benson (1957) adalah sebagai berikut : Divisi
Spermatophyta
Klas
Angiospermae
Subklas
Dicotyledone
Ordo
Caryophylales
Family
Amaranthaceae
Genus
Amaranthus
Spesies
Amaranthus tricolor
Bayam mengandung gizi yang tinggi dengan komposisi zat gizi yang lengkap. Komposisi zat gizi yang terdapat dalam tiap100 gram bayam adalah
: kalori 20 kal; protein 2,40 gr; lemak 0,30 gr; karbohidrat 3,20 gr; kalsium 81 mg; fosfor 55 mg; zat besi 3,O mg; vitamin A 9.420 SI; vitamin B1 0,10 mg; vitamin B2 0,20 mg; vitamin C 59,O mg; niacin 0,60 mg; dan serat 0,60 mg. Selain itu bagian akar bayam dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti menurunkan panas, kencing manis, diare, membersihkan darah dan sebagainya. Tanaman bayam juga dapat dimanfaatkan untuk perawatan kesehatan dan merawat rambut agar tumbuh sehat (Bandini & Aziz, 1999).
Bayam mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan tumbuh, sehingga dapat ditanam di dataran rendah sampai pegunungan (dataran tinggi ) lebih kurang 2000 meter dari atas permukaan laut. Tanaman bayam dapat tumbuh kapan saja baik pada waktu musim hujan maupun musim kemarau. Tanaman ini membutuhkan air cukup banyak sehingga paling tepat ditanam pada awal musim hujan yaitu sekitar bulan Oktober November. Namum demikian tanaman ini dapat juga ditanam pada awal musim kemarau yaitu sekitar bulan Maret - April. Bayam sebaiknya ditanam pada tanah yang gembur dan cukup subur, karena tekstur tanah yang berat akan menyulitkan produksi dan panennya. Tanah netral ber-pH 6 - 7 paling baik untuk bayam agar dapat tumbuh dengan optimal (Nazaruddin, 1995). Menurut Edmon et a., (1951), pertumbuhan bayam dipengaruhi oleh suhu dan panjang hari. Bayam termasuk tanaman hari panjang. Pada periode hari pendek tanaman ini biasanya membentuk daun dan batang, sedangkan pada periode hari panjang membentuk bunga dan buah (biji). Bayam termasuk tanaman pencinta cahaya, untuk pertumbuhannya bayam memerlukan cahaya matahari penuh (Harjadi, 1989). Dalam kenyataan di lapangan, penggolongan jenis bayam dibedakan atas dua macam, yaitu bayam liar dan bayam budidaya. Bayam liar itu sendiri dikenal dua jenis yaitu bayam tanah (A. blitum L.) dan bayam berduri (A. spinosus L.). Kedua jenis bayam ini umumnya tumbuh liar, artinya jarang
atau tidak diusahakan orang. Ciri utama bayam liar adalah batangnya merah dan daunnya kaku (kasap). Jenis bayam budidaya dibedakan atas dua macam yaitu bayam cabut atau bayam sekul alias bayam putih (A. tricolor L.) dan bayam tahunan atau bayam skop. Bayam cabut memiliki ciri-ciri yaitu batang kemerah-merahan atau hijau keputih-putihan dan mempunyai bunga yang keluar dari ketiak cabang. Bayam cabut yang batang merah disebut bayam merah sedangkan batangnya putih disebut bayam putih. Bayam tahunan, bayam skop atau bayam kakap (A. hybridus L.) dengan ciri-cirinya memiliki daun lebar-lebar yang dibedakan atas dua spesies yaitu A.
hybdridus caudatus L., memiliki daun agak panjang dan runcing, bewarna
hijau kemerah-merahan atau merah tua dan bunganya tersusun dalam rangkaian panjang terkumpul pada ujung batang sedangkan A. hybridus paniculatus L. mempunyai dasar daun yang lebar sekali, bewarna hijau,
rangkaian bunga panjang tersusun secara teratur dan besar-besar pada ketiak daun (Rukmana, 1995). Hingga saat ini terdapat sekurang-kurangnya tujuh varietas bayam yang dinyatakan unggul, dan masih mungkin terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada skala budidaya intensif dan komersil bayam tahunan diusahakan sebagai bayam cabut. Tujuh varietas bayam unggul pilihan yang dievaluasi selama 4 tahun percobaan di Balai Penelitian Hortikultura Lembang yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Sifat Agronomi tujuh varietas bayam Produksi
Varietas
(tonlha) I
Giti Hijau
8.40
Giti Merah
7,90
Maksi
13,20
Raja
15,80
Betawi
7,10
Skop
11,30
Hijau
g,qo
Ciri Tanaman
1I Sedikit bercabang, batang dan daun bewarna hijau muda Sedikit bercabang, batang bewarna kemrah-merahan dan daunnya belang merah Hampir tidak bercabang, batang dan daun bewama kekuning-kuningan, bunga bergerombol pada ujung batang Bercabang banyak, batang dan daun bewarna hijau kekuning-kuningan Bercabang sedikit, batang dan daun bewarna hijau tua Bercabang cukup banyak, batang bewama kemerahmerahan, daun hijau keputih-putihan sampai hijau muda Bercabang sedikit, batang dan daun bewarna hijau keputihputihan
Sumber : Sunarjo (1986) dalam Rukmana (1995) Beberapa varietas bayam cabut unggul lainnya adalah cempaka 10 dan Cempaka 20 dari PT. Est-West Seed Indonesia (Rukmana, 1995) Dalam budidaya bayam sering dijumpai berbagai kendala, khusus gangguan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT) antara alin : 1. Hama yang sering menyerang daun bayam adalah Spodoptera litura, Lamprosema indica, Chrysodeixis chalcites, Crocidolomia binotalis, Plutella xylostella, Plusia signata, Aphis sp., Locusta sp. dan Bemisia
tabaci. Gejala yang ditimbulkannya pada daun sayuran dapat berupa
gejala berlubang, menguning, menggulung, memutih dan mengeriting (Tim Penulis PS, 1992). 2. Saat bayam masih muda sering diserang oleh penyakit rebah kecambah
(damping off) akibat keadaan tanah terlalu lembab atau becek. Penyakit
ini dapat ditanggulangi dengan memperbaiki drainase dan mencabut tanaman yang terserang parah. Gejala yang ditunjukkan adalah pertumbuhan kecambah yang tidak normal, berbatang lemah, dan rebah. Penyakit rebah kecambah ini disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solani dan Phytium sp. yang umum menyerang berbagai jenis sayuran
terutama di persemaian. 3. Penyakit karat putih yang disebabkan oleh cendawan Albugo candida.
Gejala serangan yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah terbentuknya bercak-bercak putih yang agak melepuh pada daun terutama pada sisi bawah . Dilaporkan juga adanya penyakit busuk batang dan cabang oleh cendawan Rhizopus sp., juga busuk daun tua oleh cendawan hitam mengkilat Choanephora cucurbitacum. 4. Penyakit virus keriting mulai ditemukan di Balithor Lembang dengan
gejalanya terdapatnya bercak-bercak pada daun, permukaan daun mengkerut, warna daun keseluruhan agak menguning dan belang-belang (mosaik). Jenis virus yang telah diketahui adalah Cucumber Mosaic Virus (CMV). Usaha pengendalian penyakit virus ini adalah dengan mencabut
tanaman yang sakit dan melakukan pergiliran tanaman (rotasi) dengan tanaman yang tidak sefamili dengan Amaranthaceae 5. Gulma tanaman gelang (Portulaca oleracea) dan rumput liar lainnya. Kehadiran gulma gelang dapat menurunkan produksi bayam antara 30,56
- 63,10%. Usaha pengendaliannya adalah dengan sejak awal melakukan penyiangan sekaligus menggemburkan tanah.