TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pestisida Pasal 1 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1973, tentang "Pengawasan atas Peredaran dan Penggunaan Pestisida" yang dimaksud dengan Pestisida adalah sebagai berikut; "Semua zat kimia bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, memberantas rerumputan, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk, memberantas atau mencegah hama-hama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air".
Dampak Negatif dan Toksisitas Pestisida Diantara berbagai dampak negatif yang ada, potensi bahaya pestisida terhadap kesehatan manusia merupakan ancaman yang paling serius dan perlu mendapat perhatian. Gangguan terhadap kesehatan manusia ini, terrnasuk, (a) keracunan langsung atau tidak langsung (b) termakannya residu pestisida melalui makanan. Pengaruh penggunaan pestisida pada organisme non target terlihat pada pemakaian pestisida di areal pertanian hingga ke kawasan lain yang tidak terbatas terjadi rnelalui pola rantai rnakanan. Sekitar 90% pestisida yang terserap oleh manusia terjadi melalui rantai makanan (Susilo, 1986). Sumatra dan Rengam (1991) menginformasikan bahwa para penderita kelompok samarlakut memperoleh residu
pestisida dari lingkungan maupun dalam makanan sepetti air susu ibu, sayuran. tanaman pangan dan air minum. Lembaga Ekologi Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 1977 membuktikan bahwa dari 4 jenis sayuran yang dijual di pasar Kosambi Bandung, ditemukan 2-4 mg/kg residu pestisida jenis Diazinon pada tanaman wortel, karena jenis yang sering digunakan adalah jenis pestisida
Organofosfat (Soemawoto, dkk.,1978). Keracunan pestisida Organofosfat dapat menurunkan aktifitas enzirn Cholinesterase ( M E ) dapat pula menyebabkan beberapa penyakit, terutama penyakit-penyakit yang menyerang hati. Keracunan akut pestisida di Indonesia dari tahun 1979 - 1986 terjadi pada 2.671 orang dan meninggal 2.092 orang. Kasus tersebut terjadi di 24 propinsi yang tersebar di 98 wilayah kabupaten (Kusnoputranto, 1995). Keracunan kronis akibat pestisida berupa gangguan kesehatan karena seseorang mengkonsumsi makanan yang mengandung residu pestisida yang bersifat perststen. Winarno dan Rahayu, 1994, membuktikan adanya kaitan antara residu pestisida dengan masalah
Epidemiologi, khususnya Organoklonn. WHO memperkirakan bahwa setengah juta kasus keracunan pestisida muncul setiap tahun, 5000 orang diantaranya berakhir dengan kematian. Pada akhir tahun 1980 dilaporkan bahwa jumlah keracunan pestisida dunia dapat mencapai satu juta kasus dengan 20.000 kematian pertahun.
The National Academy of Sciences (NAS)(1987), melaporkan bahwa pestisida ada dalam makanan dan berpotensi menyebabkan kanker, lebih sejuta kasus kanker tambahan di masyarakat Amerika sepanjang hidupnya. Dan disinyalir bahwa pestisida dapat menyebabkan gangguan sistern kekebalan tubuh. Aplikasi pestisida yang intensif yang ditunjang dengan penggunaan yang tidak sesuai dengan ketentuan sangat berpotensi mencemari tanah dan air yang
selanjutnya juga akan berpengaruh pula pada kehidupan biota tanah dan biota air. Di dalam tanah pestisida akan mengalami dekomposisi baik secara fisik, kimia dan biologi tetapi untuk senyawa yang persisten akan terakumulasi dalam tanah atau hanyut oleh air dan akhirnya terbawa keberbagai air permukaan. Pencemaran tanah oleh pestisida persisten akan mengakibatkan berkurangnya populasi dan diversifikasi fauna dan menghambat proses dekomposisi humus dalam tanah. Tabel 1. Beberapa Jenis Pestisida dan Potensi Bahayanya Pada Kesehatan Manusia
NO
3. 4.
5. 6. 7.
8. 9. 10.
1
Jenis Pestisida Aldikard BHC Kaptan Karbiral Klorobensilat Klorotalonis Klorprofarn Siheksatin DDT
1
&nis I Pmggunaan lnsektisida lnsektisida Insektisida lnsektisida lnsektisida lnsektrslda Fungisida Herbisida Insektisida lnsektisida
--
. --- -
. . ---
-
-
Potensi Bahaya Pada Kesehatan Manusia
1
Kanker rnutasi gen, keracunan alat reproduksl. Sangat beracun pada dosis rendah Kanker, beracun alat reproduksl Kanker, mutasi gen. Mutasi gen, kerusakan gunjal. Kanker, rnutasl gen, keracunan alat reproduksl. Kanker, keracunan alat reproduksi. Kanker, rnutasi gen, pengaruh kronis Kars~gen. Cacat lahir pengaruh kronis.
Di lingkungan akuatik pencemaran pestisida menyebabkan magnifikasi secara langsung dan akan mengancam kehidupan biota air walaupun konsentrasi pestisida di dalam air cenderung menurun karena proses pengenceran namun potensi bahaya bagi biota air atau manusia tetap ada ha1 ini dibuktikan oleh penelitian Hinderson dalam Suwindere (1993) yaitu DDT pada konsentrasi 0,3 - 0,l ppm dan Endrin sebesar 0,01 ppm mampu mernbunuh ikan. Setiap aplikasi pestisida juga mengandung resiko terjadinya pencemaran udara karena akan selalu terjadi "dnff' yaitu terbawanya sebagian pestisida yang disemprotkan oleh hembusan angin
ketempat lain (Oka, 1995). Aplikasi pestisida yang berspektrum luas selain membunuh organisme pengganggu tanaman pada waktu yang sama juga akan membunuh berbagai jenis
selanjutnya juga akan berpengaruh pula pada kehidupan biota tanah dan biota air. Di dalam tanah pestisida akan mengalami dekomposisi baik secara fisik, kimia dan biologi tetapi untuk senyawa yang persisten akan terakumulasi dalam tanah atau hanyut oleh air dan akhirnya terbawa keberbagai air permukaan. Pencemaran tanah oleh
pestisida persisten akan mengakibatkan berkurangnya populasi dan
diversifikasi fauna dan menghambat proses dekomposisi humus dalam tanah. Tabel 1. Beberapa Jenis Pestisida dan P ~ t e n sBahayanya i Pada Kesehatan Manusia --
Jenis Pestisida Aldikard 3 BHC 4. Kaptan 5. Karbiral 6. Klorobens~lat 7. Klorotalonis 8 Klorprofam 9. Xiheksattn 10. DDT '
Jenis Penggunaan lnsekt~sida lnsektisida Insekt~sida lnsektisida lnsektisida lnsekt~s~da Fungisida Herbisida fnsekttslda lnsektisida
.
---
- .
-
.-
Potensi Bahaya Pada Kesehatan Manusia Kanker mutasi gen, keracunan alat reproduksi. Sangat beracun pada dosis rendah Kanker, beracun alat reproduksi Kanker, mutasi gen. Mutasi gen, kerusakan gunjal. Kanker, mutasi gen, keracunan alat reproduksi. Kanker, keracunan alat reproduksi. Kanker, mutasi gen, pengaruh kronis Karsigen. Cacat lahir pengaruh kronis.
Di lingkungan akuatik pencemaran pestisida menyebabkan magnifikasi secara langsung dan akan mengancam kehidupan biota air walaupun konsentrasi pestisida di dalam air cenderung menurun karena proses pengenceran namun potensi bahaya bagi biota air atau manusia tetap ada ha1 ini dibuktikan oleh penelitian Hinderson dalam Suwindere (1993) yaitu DDT pada konsentrasi 0,3 - 0,l ppm dan Endrin sebesar 0,01 ppm mampu membunuh ikan. Setiap aplikasi pestisida juga mengandung resiko terjadinya pencemaran udara karena akan selalu terjadi "dnff'yaitu terbawanya sebagian pestisida yang disemprotkan oleh hembusan angin
ketempat lain (Oka, 1995). Aplikasi pestisida yang berspektrum luas selain membunuh organisme pengganggu tanaman pada waktu yang sama juga akan membunuh berbagai jenis
organisme yang berguna (Miller, 1993). Organisme yang terbunuh berupa musuh alami (predator dan parasit) atau organisme berguna lainnya yang ada di dalam dan di permukaan tanah. Berbagai organisme tersebut secara bersama-sama dan berinteraksi dengan fauna lain berperan sangat penting dalam menjaga keseimbangan komunitas biotik di dalam ekosistem pertanian. Demikian pula dengan musuh alami organisme pengganggu tanaman juga diperlukan guna menjaga kepadatan populasi sehingga mernungkinkan suatu spesies hama berada pada tingkat yang seimbang. Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa akibat aplikasi pestisida terhadap populasi musuh alami yaitu penyemprotan campuran endrin dan paration yang dilakukan secara terjadwal pada tanaman kubis menyebabkan hilangnya 22 spesies parasitoid dan peredator dari 27 spesies yang ada, sementara populasi organisme pengganggu tanaman tidak mengalami penurunan yang beradi. Tingkat residu yang pernah diketemukan pada budidaya tanaman sayuran di Jawa Barat dan Jawa Tengah sebagai indikasi bahayanya penggunaan pestisida yang berlebihan. (Tabel 2).
Tabel 2 : Residu Pestisida Pada Sayuran
*) Batas maksimal residu pestisida ditetapkan oleh Depkes. Sumber : F.G. Winarno (1987).
Badan perlindungan lingkungan AS, EPA memperkirakan bahwa residu pestisida telah menyebabkan penyakit kanker bagi sekitar 6000 orang per tahun (secara kasar 1 dalam 417.000 jiwa untuk populasi 2,5 milyar) (Buzby eta/., 1996). Hampir semua pestisida adalah bagaikan pedang bermata dua, yaitu tidak hanya membunuh hama sasaran tetapi juga sangat beracun atau berbahaya pada manusia. Parameter yang digunakan untuk menilai efek peracunan pestisida terhadap manusia atau binatang adalah nilai LD50. Tabel 3. Klasifikasi Toksisitas Pestisida Pada Hewan dan Manusia. LDmdosis Melalui Mulut Tikus m9kg
Klasifikasi
' Super Toks~k
/
1
LDm Dosis Tunggal Metalui Mulut Kelinci m@kg
Perkiraan Dosis Lethal Melalui Mufut Pada Manusia Sejilatan
€5
~ 2 0
Sangat Beracun
5 - 50
20 - 200
Sangat Toksik
50 - 500
Beracun
500 - 5000
1000 - 2000
1 ons - 0,5 liter
Tidak Begitu Beracun
5000 - 15000
2000-20000
0,5 - 0,9 liter
> 20000
> I,O liter
> 15000 Tidak Beracun Sumber : Sastroutomo, 1992
1 200 - 1000
/
1-2 Sendok teh
Tabel 4. Contoh Klasifikasi pestisida berdasarkan daya racunnya
LOs0Mulut
i
1 Sangat Beracun 1
1
!
Cukup Tinggi
I. lnsektisida Aldikarb Fensulfotion Monokrotofos
I7
DemetOn .Herbisida DNOC Natrium Arsenat 2. Fungisida Sinklohesimida Fentin Khlorida
1I
LOm Kulit Paration Mevintos
I
MgIKg
I
Laniutan Tabel 4.
LOso Mufut 1. lnsektls~da Propoksur o Khiogirifos Diazinon
I
2. Herbisida 02,4-D Parakuat
I
3. Fungisida
:
Binapakril Trifelniltin Hidroksida 1. lnsektisida Malation Karbaril Permetrin tremofos
I 2. Herbisida MSMA Monuron Simazin
3. Fungsida
1
LOs0 Kulit
o
Tiram Anilazin Etazol Dirnetirirnol
I
o
0
Ethil paration Dioksation Azinfosmetil
Parakuat Asifluorfen Trifelniltin Asetat
I
I
Toksafen Fenvalerat Dikofol Malation Karbaril
I
Endatol Dikhlobenil Asam 2,4-D
I1 i
1 E
a:lk Ii:r': Dinoseb Maneb 0 Zineb
Sumber : Sastroutomo,1992.
Dinamika Pestisida di Lingkungan Pestisida sebagai salah satu bahan pencemar ke dalam lingkungan baik melalui udara, air maupun tanah dapat berakibat langsung terhadap komunitas hewan, tumbuhan apalagi manusia. Pestisida yang masuk kedalam lingkungan rnelalui beberapa proses baik pada tataran permukaan tanah rnaupun bawah
perrmukaan tanah. Masuk kedalam tanah berjalan melalui pola biotransformasi dan bioakumulasi oleh tanaman, proses reabsorpsi oleh akar serta masuk secara langsung melalui infiltrasi aliran air. Gejala ini akan mempengaruhi kandungan bahan pada sistem air tanah hingga proses pencucian zat pada tahap penguraian baik secara biologis maupun kimiawi di dalam tanah.
Dekomposisi biologi
Gambar 2. Dinamika Pestisida di Lingkungan (Larson,1997)
Proses pencucian (leaching) bahan-bahan kirniawi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas air tanah baik setempat dan maupun secara region dengan berkelanjutan. Apabila proses dekomposisi unsur-unsur residu pestisida berjalan dengan
baik dan tervalidasi hingga arnan pada wadah-wadah
penampungan air tanah misal sumber mata air, sumur resapan dan sumur gali untuk kemudian dikonsumsi oleh penduduk, maka fakta pestisida kedalam lingkungan bisa dikatakan aman. Namun demikian jika proses tersebut kurang berhasil atau bahkan tidak berhasil secara alami, maka kondisi sebaliknya yang akan terjadi. Penurunan
kualitas air tanah serta kemungkinan terjangkitnya penyakit akibat pencemaran air merupakan implikasi langsung dari masuknya pestisida ke dalam lingkungan. Aliran permukaan akan mencemari sungai, danau dan waduk, apabila proses dekomposisi pestisida tidak berjalan sempurna maka pestisida akan terakumulasi didalam perairan tersebut dan berakibat terjadinya pencemaran yang berlebihan Pestisida di udara terjadi melalui proses evapotranspirasi selain adanya penguapan proses foto-dekomposisi sinar matahari terhadap badan air dan tumbuhan. Akumulasi pestisida yang terlalu berat di udara pada akhirnya akan menambah parah pencemaran udara. Gangguan pestisida melalui residunya terhadap tanah biasanya terlihat pada tingkat kejenuhan tanah karena tingginya residu pestisida. Unsur-unsur hara alami pada tanah makin terdesak dan sulit melakukan regenerasi hingga mengakibatkan tanah-tanah masam dan tidak produktif.
Persepsi Masyarakat Terhadap Residu ~estisida Kesadaran konsumen dalam negeri tentang residu pestisida pada produk pertanian masih kurang memadai sehingga semua produk cenderung dihargai sama dalam perdagangan. Hal ini mempengaruhi gairah petani dalam penggunaan pestisida. Disamping itu Pemerintah Indonesia sering bersikap tidak tegas terhadap baku mutu keamanan produksi hortikultura, meskipun ha1 ini bertolak belakang dengan perlakuan keras dari negara lain seperti Singapura yang dilaporkan berkalikali memusnahkan sayuran yang dipasok dari Tanah Karo, Surnatera Utara (Kompas, Feb. 1994).
Hal yang mernprihatinkan menurut Pimentel dan Kahn (1997) adalah penampilan produk (cosmetic appearance) yang masih merupakan faktor utama bagi konsumen dalam menilai kualitas produk pertanian. Sementara itu konsumen tidak banyak diberikan penerangan tentang ukuran kualitas yang lebih mendasar seperti nilai gizi dan tingkat residu pestisida. Pengetahuan masyarakat tentang residu pestisida di Indonesia masih sangat terbatas. Data hasil pemantauan PAN Indonesia-sebuah LSM pemerhati pestisida selama periode 1993-1994 di beberapa tempat menunjukkan sebagian besar buruh tani dan petani tidak mengetahui arti residu pestisida (Ri2a.T.V. 1996). Dibeberapa negara maju telah berkembang gerakan masyarakat konsumen yang dikenal sebagai "konsumen hijau". Menurut Untung (1996),
gerakan ini
menuntut agar semua produk dan komoditi yang dlihasilkan mempertimbangkan atau mengacu pada aspek lingkungan dalam proses produksinya dan tidak mengandung pencemar yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat baik untuk jangka pendek maupun jangka ganjang.
Pola Kerja Petani Pengetahdata, Sikap dan Perilaku manusia Pengetahuan atau dalam bahasa lnggris knowledge merupakan segala perbuatan manusia untuk memahami sesuatu barang yang dihadapinya, atau hasil usaha manusia untuk memahami sesuatu obyek tertentu. Pengetahuan dapat berupa barang-barang fisik, pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal. Selanjutnya Ashari (1990), menambahkan pengetahuan adalah paham subyek mengenai obyek yang dihadapi. Pengetahuan
didapatkan indvidu baik melalui proses belajar, pengalaman atau media elektronika yang kemudian disimpan dalam diri individu. Menurut Walgito (1980) menerangkan bahwa pengetahuan mengenal suatu obyek baru menjadi sikap terhadap obyek tersebut apabila pengetahuan itu disertai oleh kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap obyek itu. Sikap merupakan kesiapan bereaksi menanggapi berbagai aspek pekerjaan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pekerjaan tersebut (Parker, 1992). Menurut Mar'at (1981), menjelaskan bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau action, akan tetapi masih merupakan pre-disposisi tingkah laku. Kesiapan dalam ha1 ini sebagai suatu kecenderungan potensial untuk bereaksi apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya respon. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk respon yang dinyatakan sebagai sikap itu didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu, yang memberikan kesimpulan nilai terhadap stimulus dalam bentuk baik dan buruk, positif atau negatif, menyenangkan atau tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek sikap. Sikap menunjukkan bagaimana pandangan seseorang terhadap sesuatu nilai dalam masyarakat, apakah menolak atau menerima. Sikap mempunyai peranan penting dalam setiap aktifitas manusia, karena berhasil atau tidaknya manusia menjaiankan tugasnya, akan banyak ditentukan oleh manusia itu sendiri. Terbentuknya sikap dipengaruhi oleh tiga komponen meliputi komponen kognitif (pengetahuan dan keyakinan), afektif (perasaan) dan konatif (tindakan).
Perilaku menurut Teori Tindakan Beralasan yang dikemukakan oleh lcek Ajzen dan Martin Fishbein (1980), bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas
hanya pada tiga ha!: Perfama perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap urnum tetapi sikap spesifik terhadap sesuatu. Kedua perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tetapi juga oleh norma-norma subyektif (subyektive norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat. Ketiga sikap terhadap sesuatu perilaku bersarna norma-norma subyektif rnernbentuk suatu intention atau niat untuk berberilaku tertentu. Dengan rnencoba melihat penyebab perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri) berdasarkan atas asumsiasurnsi : (a) bahwa rnanusia urnurnnya rnelakukan sesuatu dengan cara yang sarna dan masuk akal, (b) bahwa manusia mernperhitungkan sarna inforrnasi yang ada, dan (c) bahwa manusia secara ekplisist maupun implisit mernperhitungkan irnplikasi tindakan rnereka.
Persepsi Petani Dalam Penggunaan Pestisida Petani dan masyarakat pada umurnnya, rnasih banyak yang mengartikan pengendalian harna sarna dengan penggunaan pestisida. Jika diketahui tanarnan yang diusahakan rusak karena serangan harna dan penyaki, rnaka petani akan langsung rnencari pestisida dan rnernbunuhnya tanpa mernperhitungkan apakah serangga tersebut serangga yang rnerugikan atau serangga yang berrnanfaat. Kekhawatiran petani terhadap akan datangnya serangan harna rnenyebabkan mereka melakukan tindakan pencegahan dengan melakukan penyernprotan pestisida pada tanaman yang dibudidayakan secara terjadwal artinya pada waktu tertentu atau pada tingkatan turnbuh tanarnan tertentu. Cara ini disebut cara pernberantasan hama konvensional (Untung, 1996). Faktor-faktor yang cenderung mernpengaruhi keputusan petani dalam rnenggunakan pestisida dapat dikelornpokan rnenjadi dua faktor, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor sosiokultur individu (contoh ; tingkat pendidikan formal pengetahuan petani rnengenai PHT ; tingkat mobilitas petani dan keluarganya; keikutsertaan dalam organisasi petani; status sosial) dan faktor kemampuan ekonomi petani (contoh : luas garapan lahan; jumlah tenaga kerja yang dirniliki; jangkauan terhadap modal pinjaman; jumlah, ragam pekerjaan dan pendapatan keluarga. Sedangkan faktor eksternal rnerupakan faktor-faktor diluar petani dan dapat mempengaruhi secara tidak langsung terhadap pengambilan keputusan petani, yaitu (1) faktor sosiokultur seperti adat istiadat, budaya dan struktur kemasyarakatan; (2) faktor biotik seperti serangga hama, musuh alarni, penyakit dan lain sebagainya; (3) faktor abiotik sepesti suhu curah hujan dan sebagainya;
(4) faktor prasarana seperti sistem pengairan, jalan dan fasilitas
pemasaran input dan output; (5) faktor kebijaksanaan pemerintah seperti harga dan subsidi terhadap, pestisida, pupuk dan sebagainya.
Kebijaksanaan Pengaturan Pestisida Kebijaksanaan terhadap penggunaan pestisida dirnaksudkan untuk meningkatkan produksi pertanian secara berkelanjutan dan sekaligus melindungi sumberdaya alam. Kebijaksanaan ini mencakup berbagai instrumen untuk membatasi dan mengurangi darnpak penggunaan pestisida, berupa pengenaan peraturan pengendalian dan provisi ekonomi (Wise
& Johnson, 1991).
Aktualisasinya, kebijaksanaan ini mencakup pengendalian impor, pembuatan formulasi,
distribusi,
penjualan,
pengangkutan.
penyimpanan,
pelabelan.
penggunaan dan pembuangan pestisida. Pengaturan pestisida bertujuan untuk melindungi konsurnen, pekerja pertanian dan lingkungan dari bahan-bahan kimia yang berbahaya, meliputi pernbatasan atau pelarangan penggunaan pestisida,
mengatur baku mutu bahan kimiawi, dan penetapan tingkat toleransi terhadap residu pestisida pada makanan dan minuman (Fleischer, 1994). Dalam perspektif pertanian berkelanjutan yang dilandasi oleh kesadaran akan kualitas lingkungan hidup dan tuntutan kelestarian produksi mengacu pada pengalaman kegagalan pemberantasan hama konvensional, konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) menjadi pilihan yang bijaksana dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman. Meskipun secara konseptual penggunaan pestisida diposisikan sebagai alternatif terakhir dalam pengendalian organisme penggangggu tanaman (OPT) serta didukung dengan piranti peraturan yang mengikat, namun kenyataan di lapangan menunjukkan pestisida sering merupakan pilihan utama dan paling umum dilakukan petani. Penggunaan pestisida dalam mengatasi organisme pengganggu tanaman telah membudaya dikalangan petani. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya trend data sebelum
tahun 1970 jumlah penggunaan pestisida untuk tanaman
pangan masih dibawah 100 ton, maka pada tahun 1970 sudah mencapai 2000 ton yang kemudian terus meningkat cepat dan pada tahun 1987 jumlah pestisida yang disubsidi oleh pemerintah sebesar 80% dari harga pestisida telah mencapai 18.700 ton (Bimas, 1988). Penggunaan pestisida yang tinggi dalam penanganan hama dan penyakit pada umumnya tidak lepas dari paradigma lama yang memandang keberhasilan pertanian atau peningkatan produksi sebagai wujud peran pestisida. Dorongan kebijaksanaan pemerintah yang terlanjur memanjakan petani menggunakan pestisida melalui regulasi subsidi sebesar 80% dari harga pestisida pada tahun 1987. Selain itu, kondisi ini tertunjang oleh terciptanya lingkaran peluang antara
kesenjangan pengetahuan petani dalam mengendalikan hama dan gencarnya promosi keandalan pestisida serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dan adanya iklim kebijaksanaan pencapaian target program produksi pertanian (swasembada, dan sebagainya) secara politis kurang kondusif bagi pemasyarakatan PHT. Sebagai antisipasi terhadap bahaya pestisida diperlukan pengaturan dan pembatasan dengan peraturanlperundangan pada tingkat nasional dan regional, meskipun ha1 ini tidak dapat memperbaiki kerusakan terhadap lingkungan oleh pestisida (Higley & Wintersteen,l992). Menurut Proost & Matteson (1997) pembuat kebijaksanaan pestisida memperhatikan resistensi hama, fitotoksisitas, bahaya terhadap kesehatan, bahaya dan ancaman terhadap pasar ekspor, sehingga perlu upaya pengurangan penggunaan pestisida untuk memperoleh produk yang kompetiiif, aman dan berkelanjutan. Sistern kebijaksanaan ideal dalam pengaturan pestisida adalah apabila rnelibatkan subyek dan obyek kebijaksanaan (pemerintah, konsumen dan pelaku agribisnis) sebagai pelaku kebijaksanaan. Dengan demikian, pelaku kebijaksanaan (stakeholders) dalarn pengaturan pestisida akan terdiri dari analisis kebijaksanaan, pemerintah, organisasi non pemerintah dan dunia usaha. Masalah kesehatan yang diakibatkan oleh penggunaan pestisida seperti residu pada makanan dan toksisitas merupakan kekuatan pengendali (driving force) utama dalam reformasi regulasi pestisida (Perkins & Patterson,I997). Dengan demikian kebijaksanaan pestisida merupakan upaya pengaturan kegiatan yang berhubungan dengan pestisida yang bertujuan bagi perlindungan terhadap rnanusia dan sumberdaya alam yang berimplikasi pada penyediaan produk
pertanian kompetitif, aman dan berkelanjutan. Keamanan pangan terhadap pestisida dapat diatur melalui penetapan tingkat paparan pestisida dan batas legal residu pestisida. Menurut Felsot (1988), penetapan suatu tingkat paparan pestisida merupakan ketentuan yang rnenjamin bahwa tingkat residu dalam semua makanan adalah aman dari paparan agregat pestisida. Sedangkan batas legal (toleransi) residu pestisida merupakan konsentrasi maksimum residu pestisida yang terdapat dalam kornoditi pangan, yang didasarkan pada konsensus CAC (Codex Alkimentarius Comission) terutama menyangkut kepentingan kesehatan, pertanian dan perdagangan.
Perundang-undangan yang Berkaitan Dengan Sistem Pengelolaan Pestisida di Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut sifat produk hukum tentang lingkungan hidup yang diterbitkan sebelum adanya Undang-undang Nomor 4 merupakan
Tahun 1982
hukum yang berorientasi kepada lingkungan itu sendiri atau
"Environment-Oriented Law" (Harjosoemantri, 1991). Secara garis besar UndangUndang Nomor 23 tahun 1997 tersebut memuat ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut ; (1)
Pengelolaan lingkungan hidup yang berazaskan pelestarian kemapuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
(2)
Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. serta berkewajiban
memelihara
lingkungan
hidup
dan
mencegah
serta
menanggulangi kerusakan dan pencemaran.
(3)
Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalarn rangka pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kaitan ini lembaga swadaya masyarakat tumbuh berperan sebagai penunjang pengelolaan lingkungan hidup dan berkembang mendayagunakan dirinya sebagai sarana untuk mengikut sertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup.
(4)
Usaha untuk rnengembangkan lingkungan hidup tidaklah berlangsung dalarn keadaan terisolasi. Sebagai anggota masyarakat dunia maka langkah usaha dibidang lingkungan hidup harus punya makna bagi kehidupan antar bangsa.
(5)
Pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utama. Lingkungan hidup terdiri dari tatanan kesatuan dengan berbagai unsur lingkungan yang saling mempengaruhi. Oleh sebab itu maka pengelolaan lingkungan hidup memerlukan keterpaduan pelaksanaan ditingkat nasional, koordinasi pelaksanaan secara sektoral di daerah, sehingga semua terkait secara mantap dengan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup dengan kesatuan gerak dan langkah mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup.
Tujuan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang Lingkungan Hidup berbunyi sebagai berikut ; (1) Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup
sebagai tujuan pembangunan manusia seutuhnya (2) Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana
(3) Temujudnya rnanusia lndonesia sebagai pembina lingkungan hidup (4) Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan
generasi mendatang (5) Terlindunginya negara terhadap darnpak dalam kegiatan di luar wilayah negara
yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan
Peraturan Tentang Perlindungan Tanaman Peraturan tentang perlindungan tanaman yang ada selama ini masih bersifat peraturan daerah atau lokal. Secara hukum perlindungan tanaman di lndonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Menurut penjelasan Undang-Undang tersebut yang dirnaksud dengan perlindungan tanaman adalah suatu rangkaian kegiatan untuk melindungi tanarnan dari serangan organisme pengganggu tumbuhan. Kegiatan tersebut meliputi pencegahan masuknya, pengendalian dan eradikasi organisme pengganggu tumbuhan. Pelaksanaan perlindungan tanaman menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang sistem Budidaya Tanaman bagian yang mengatur masalah perlindungan tanaman terdapat pada Bagian Ke Enarn, Pasal 20 sampai dengan pasal 27. Pasal-pasal yang berkaitan dengan konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan larangan penggunaan sarana atau cara yang dapat mengganggu keselarnatan manusia, surnberdaya alam dan lingkungan hidup adalah pasal20 ayat (1) dan pasal22 ayat (2) selengkapnya berbunyi sebagai berikut ; Pasal 20. Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu. Pasal 22 dalam pelaksanaan perlindungan
tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal21, setiap orang atau badan hukum dilarang menggunakan sarana dan atau cara yang dapat mengganggu kesehatan dan atau mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam dan atau lingkungan hidup. Dalam penjelasan Pasal 20 ayat (I) disebutkan bahwa sistem pengendalian hama terpadu
adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan
organisme pengganggu tumbuhan dengan menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan lingkungan hidup. Dalam sistem ini penggunaan pestisida merupakan altematii terakhir. Pengendalian organisme penggangggu tumbuhan bersifat dinamis.
Peraturan Pemerintah Republlk Irldanesia Ndmor 7 tahun 1973 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1973 Tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida. Pasal (1) dalarn peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan ; (1) Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus
yang dipergunakan untuk ; a.
Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;
b.
Memberantas rerumputan:
c.
Mematikan daun mencegah pertumbuhan yang tak diinginkan;
d.
Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk;
e.
Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan;
f.
Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyaki pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air.
(2) Peredaran adalah impor-ekspor dan jual beli pestisida di dalam negeri termasuk
pengangkutannya. (3) Penyimpanan adalah memiliki dalam persediaan di halaman atau dalam ruang
yang digunakan oleh importir, pedagang atau di usaha-usaha pertanian. (4) Penggunaan adalah menggunakan pestisida dengan atau tanpa alat dengan maksud sepesti tersebut dalam sub (1) Pasal ini. (5) Pemohon adalah setiap orang atau badan hukum yang mengajukan
permohonan pendaftaran dan izin pestisida
Pengendalian Hama Terpadu pada Tarraman Bawang Merah Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanianl Ketua Badan Pengendali BlMAS No. 14lSWMentan/Bimas.Xl1/1990 dalam pelaksanaan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah suatu konsep pengendalian hama yang memadukan beberapa cara pengendalian untuk mempertahankan hasil panen yang tinggi dan menguntungkan petani serta memelihara kelestarian lingkungan. Konsep PHT terdiri atas tiga macam (Oka, 1997), meliputi ; (1) Mereduksi sumber hama (pengganggu varietas yang resisten, pola bercocok
tanam, kultur teknis, pengendalian secara fisik atau mekanik, pengendalian secara hayati atau mikrobiologi, penggunaan benih yang sehat dan pengendalian secara kimia).
(2) Perpaduan (integrasi) cara-cara pengendalian yang serasi. (3) Analisis ongkos dan keuntungan.
Pengembangan dan penerapan PHT pada tanaman bawang merah memerlukan pengintegrasian dari seluruh aspek terkait dengan memadukan komponen-komponen pengendalian sehingga pelaksanaannya dilakukan secara benar (Sastrosiswoyo, 1994). Penerapan PHT pada tanaman bawang merah selalu memperhatikan keadaan organisme di lapangan baik populasi hama maupun musuh-musuh alaminya sehingga apabila masih berada dibawah Ambang Pengendalian (AP), maka pengendalian dengan pestisida tidak perlu dilakukan. Dengan demikian, sistem PHT dapat menekan penggunaan pestisida, sehingga optimalisasi keuntungan dapat diperoleh, dibandingkan dengan tipe konvensional.