TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kelompok Kelompok merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan sosiologis, ekonomis maupun kebutuhan psikologisnya. Dengan berkelompok, manusia dapat mengembangkan potensi, aktualisasi dan eksistensi dirinya (Soekanto 2006). Beberapa ahli telah merumuskan beberapa definisi tentang kelompok, antara lain: (1)
Kelompok adalah kumpulan orang-orang yang bergaul (berinteraksi satu sama lain secara teratur dalam suatu periode waktu serta menganggap dirinya saling bergantung dalam kaitannya dengan pencapaian satu tujuan bersama atau lebih (Wexley & Yuki 2005).
(2)
Kelompok adalah kumpulan individu yang terdiri dari dua atau lebih individu dan kehadiran masing-masing individu mempunyai arti serta nilai bagi orang lain dan ada dalam situasi saling mempengaruhi (Kartono 2006).
(3)
Menurut Johnson dan Johnson (Sarwono 2005), sebuah kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama.
(4)
Kelompok adalah kumpulan dari dua individu atau lebih dengan tingkat interaksi yang sangat bervariasi, demikian pula dengan tingkat kesadaran atau pencapaian tujuan bersamanya (Sarwono 2005).
(5)
Kelompok didefinisikan sebagai dua individu atau lebih yang berinteraksi dan saling bergantung untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Robbins 2007).
(6)
Menurut Cohen (Simamora 1992), kelompok adalah sejumlah orang yang berinteraksi secara bersama dan memiliki kesadaran sebagai anggota yang didasarkan pada kehendak-kehendak perilaku yang disepakati.
(7)
Secara sosiologis, kelompok sosial didefinisikan sebagai himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan tersebut menyangkut kaitan timbalbalik yang saling mempengaruhi dan juga kesadaran untuk saling tolong-menolong (Soekanto 2006).
12 (8)
Chaplin (Walgito 2003) menyebutkan bahwa kelompok adalah kumpulan individu yang secara umum memiliki karakteristik yang sama, atau yang sedang mengejar suatu tujuan bersama, dan saling berinteraksi baik secara bertatap muka maupun tidak. Pengertian kelompok menurut Iver dan Page (Mardikanto 1993) adalah
himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama sehingga terdapat hubungan timbalbalik dan saling pengaruh mempengaruhi serta memiliki kesadaran untuk saling tolong menolong. Sherif dan Sherif (Ahmadi 1991) menyatakan bahwa kelompok adalah suatu unit sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur, sudah terdapat pembagian tugas, mempunyai struktur dan norma-norma tertentu yang khas bagi kelompok tersebut. Sprott memberikan pengertian kelompok sebagai beberapa orang yang bergaul satu dengan yang lain. Kurt Lewin juga berpendapat bahwa ”The essence of a group is not the similarity or dissimilarity of its members but their interdependence.” Selain itu, Smith mendefinisikan kelompok sebagai suatu unit yang terdapat beberapa individu yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan kesatuannya dengan cara dan atas dasar kesatuan persepsi (Santoso 2004). Mardikanto (1993) juga memberikan pengertian bahwa
kelompok
merupakan himpunan yang terdiri dari dua atau lebih individu manusia yang memiliki ciri-ciri seperti memiliki ikatan yang nyata, interaksi dan interelasi sesama anggotanya, memiliki struktur dan pembagian tugas yang jelas dan memiliki kaidah atau norma tertentu yang disepakati bersama, serta keinginan dan tujuan bersama. Menurut Tomosoa (Mardikanto 1993), salah satu ciri kelompok ialah sebagai
suatu kesatuan sosial yang memiliki kepentingan bersama dan
tujuan bersama. Selain itu, Cartwright dan Zander (1968) mengemukakan sepuluh ciri kelompok, yaitu: (1) kelompok ditandai oleh adanya interaksi;(2) adanya pembatasan tertentu sebagai anggota; (3) menyadari bahwa anggota adalah kepunyaan kelompok; (4) berpartisipasi sesuai dengan kedudukannya terhadap objek model ideal yang sesuai dengan super egonya; (5) adanya ganjaran dari kelompok terhadap anggota yang melanggar norma dan ketentuan kelompok lainnya; (6) adanya norma sesuai dengan kepentingan umum; (7) harus ada
13 identifikasi terhadap objek modelnya; (8) mempunyai sifat saling ketergantungan antar sesama anggota kelompok dalam mencapai tujuan bersama;(9) mempunyai persepsi kolektif yang sama tentang segala sesuatu hal sepanjang menyangkut kelangsungan hidup kelompok dan (10) adanya kecenderungan berperilaku yang sama terhadap lingkungan kelompok. Kelompoktani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Kelompoktani pada dasarnya adalah organisasi nonformal di perdesaan yang ditumbuhkembangkan dari, oleh dan untuk petani. Ciri-ciri kelompoktani yaitu: (1) saling mengenal, akrab dan saling percaya (2) mempunyai pandangan dan kepentingan (3) memiliki
kesamaan dalam
jenis usaha, status
yang sama
dalam
berusahatani,
tradisi atau pemukiman, hamparan usaha,
ekonomi maupun
ekologi, (4) ada pembagian
diantara sesama anggota,
tugas dan
sosial,
bahasa,
tanggung
pendidikan
jawab
dan
sesama anggota
berdasarkan kesepakatan bersama. Penumbuhan kelompoktani didasarkan pada prinsip-prinsip: (1) kebebasan , menghargai berkelompok
sesuai
keinginan
dan
individu
kepentingannya,
penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara terbuka
petani (2)
antara
untuk
keterbukaan, penyuluh dan
pelaku utama serta pelaku usaha, (3) partisipatif, semua anggota terlibat dan memiliki hak serta kewajiban yang sama dalam mengembangkan serta mengelola kelompoktani, (4) keswadayaan, mengembangkan kemampuan penggalian potensi diri sendiri para anggota dalam penyediaan sumberdaya guna terwujudnya kemandirian, (5) kesetaraan, hubungan antara penyuluh, pelaku utama dan usaha merupakan mitra sejajar dan (6) kemitraan,
berdasarkan saling menghargai,
menguntungkan, memperkuat dan saling membutuhkan ( Deptan 2007). Dinamika Kelompok Menurut Setiana (2005), perubahan perilaku petani secara individu biasanya lebih lambat dibandingkan apabila petani aktif dalam kegiatan kelompok. Demikian pula dalam hal penyebaran dan penerapan inovasi teknologi umumnya lebih cepat dan meluas jangkauannya. Karena keunggulan penyebaran inovasi teknologi melalui keberadaan kelompok, maka perlu diketahui tingkat
14 dinamika kelompok. Ada tiga peranan penting dari keberadaan kelompok yaitu: (1) media sosial atau media penyuluhan yang hidup, wajar dan dinamis, (2) alat untuk mencapai perubahan sesuai dengan tujuan penyuluhan dan (3) tempat atau wadah untuk pernyataan aspirasi yang murni dan sehat sesuai dengan tujuan dan keinginan. Kemampuan suatu kelompok dalam mengakses informasi teknologi dan menyebarkan teknologi tersebut dalam anggota kelompok sangat tergantung pada seberapa dinamis kelompok tersebut. Dinamika kelompok sendiri diartikan sebagai kekuatan-kekuatan yang terdapat di dalam atau lingkungan kelompok yang akan menentukan perilaku anggota kelompok dan perilaku kelompok yang bersangkutan dalam bertindak melaksanakan kegiatan demi tercapainya tujuan bersama yang merupakan tujuan kelompok. Mardikanto (1993) berpendapat bahwa untuk melakukan analisis terhadap dinamika kelompok pada hakekatnya dapat dilakukan melalui dua macam pendekatan antara lain: (1) pendekatan sosiologis, yaitu analisis dinamika kelompok melalui analisis terhadap bagian-bagian atau komponen kelompok dan analisis terhadap proses sistem sosial tersebut. Pendekatan seperti ini, terutama dilakukan untuk melakukan analisis dinamika kelompok terhadap kelompokkelompok sosial dan (2) pendekatan psikososial, yaitu analisis dinamika kelompok melalui analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika kelompok itu sendiri. Pendekatan seperti ini, lebih sering diterapkan pada kelompok-kelompok tugas. Meskipun demikian, karena masih banyak kelompok (termasuk kelompoktani) yang merupakan bentuk peralihan dari kelompok sosial ke kelompok tugas, di dalam analisis dinamika kelompoknya seringkali masih dilakukan penggabungan terhadap kedua macam pendekatan tersebut. Pendekatan sosiologis meliputi dua analisis, yaitu analisis terhadap bagian-bagian organisasi dan proses sosial yang terjadi di dalam kelompok. Analisis terhadap bagian organisasi pada dasarnya merupakan analisis terhadap unsur-unsur yang terdapat di dalam kelompok yang diatur dan disediakan oleh kelompok
yang bersangkutan demi berlangsungnya kegiatan-kegiatan untuk
mencapai tujuan bersama.
15 Unsur-unsur tersebut menurut Krech (Mardikanto 1993) mencakup: (1) tujuan kelompok yaitu hasil akhir yang ingin dicapai baik berupa sesuatu objek atau keadaan serta keinginan-keinginan lain yang diinginkan dan dapat memuaskan semua anggota kelompok yang bersangkutan; (2) unsur-unsur kelompok yang menyangkut pembagian tugas dan hak
serta
kewajiban anggota-anggota kelompok, yang meliputi: (a) jenjang sosial, pelapisan kelompok ini menunjukkan perbedaan nilai atau prestise tertentu yang akan membedakan penghargaan, kehormatan, dan hak atau wewenang anggota-anggotanya. Adanya jenjang sosial akan menjadi faktor pendorong bagi setiap
anggota untuk bekerja keras agar memperoleh tingkat
penghormatan dan kekuasaan atau wewenang yang lebih tinggi di dalam kelompoknya; (b) peran kedudukan yakni peran yang harus dilakukan atau ditunjukkan oleh anggota kelompok diperolehnya
dalam struktur
sesuai dengan kedudukan yang
sistem sosial yang bersangkutan dan (c)
kekuasaan, yaitu kewenangan yang mampu menggerakkan orang lain demi tercapainya tujuan yang diinginkan; (3) unsur-unsur yang berkaitan dengan aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang harus ditaati
oleh semua anggota
dalam menunjukkan
perilaku,
melaksanakan peran dan tindakan demi tercapai tujuan kelompok, meliputi: (a) kepercayaan, yakni segala sesuatu yang secara akal atau perasaan anggota kelompok dinilai dan diterima sebagai kebenaran yang digunakan sebagai landasan kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan; (b) sanksi, yakni perlakuan yang diberikan kepada setiap anggota kelompok yang berupa penghargaan bagi yang mentaati atau melaksanakan dengan benar dan hukuman bagi yang melanggar aturan-aturan atau kebiasaan kelompok; (c) norma, yakni aturan-aturan tentang perilaku yang harus ditaati dan ditunjukkan oleh setiap anggota kelompok dan (d) perasaan-perasaan, yakni tanggapan emosional yang diberikan atau ditunjukkan oleh setiap anggota terhadap kelompoknya dan (4) unsur-unsur dalam kelompok yang harus diupayakan atau disediakan demi terlaksananya kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, meliputi: (a) kemudahan, yaitu segala sesuatu yang memiliki nilai, yang
16 diperlukan kelompok
untuk dapat melaksanakan kegiatan
demi tercapai
tujuan kelompok dan (b) tegangan dan himpitan, yaitu adanya tegangan atau tekanan-tekanan yang dapat memperkuat kesatuan dan persatuan antar sesama anggota kelompok demi tercapai tujuan. Apabila ditinjau dari
proses sosial perlu dianalisis adanya beberapa
kegiatan yang perlu dilaksanakan oleh setiap kelompok yang mencakup (Mardikanto 1993): (1) komunikasi, yaitu interaksi antar sesama anggota dalam pelaksanaan kegiatan demi tercapainya tujuan kelompok. Komunikasi di dalam kelompok harus diupayakan untuk menembus setiap isolasi sosial yang ada di dalam kelompok sehingga semua pihak dapat dan mau berinteraksi untuk mencapai tujuan kelompok yang sudah disepakati; (2) pemeliharaan batas, yaitu pemeliharaan batas-batas sistem sosial (kelompok) dengan lingkungannya. Pemeliharaan batas tersebut dimaksudkan agar ada perbedaan yang jelas antara sesama anggota kelompok dengan yang bukan anggota kelompoknya sehingga terpupuk rasa kesetiakawanan dalam mewujudkan identitas kelompok maupun untuk menghadapi tekanan dari luar; (3) kaitan sistemik, yaitu proses terjadinya jalinan atau keterkaitan antar sistem sosial atau kelompok satu dengan yang lainnya. Pemahaman tentang konsep ini memberikan petunjuk agar setiap kelompok juga harus menjalin hubungan dengan kelompok yang lain untuk mencapai tujuan bersama; (4) pelembagaan, yaitu proses pengembangan fungsi-fungsi sosial
atau
hubungan-hubungan sosial. Konsep ini memberikan arahan bahwa untuk tercapainya tujuan-tujuan kelompok perlu dikembangkan lembaga-lembaga atau subkelompok yang harus menjalankan fungsinya masing-masing secara jelas; (5) sosialisasi, yaitu proses pembelajaran atau pewarisan nilai-nilai kelompok dalam rangka
menyiapkan setiap anggota kelompok untuk dapat
melaksanakan perannya sesuai dengan kedudukannya dalam kelompok, sehingga berperilaku dan dapat melaksanakan kegiatan demi tercapainya tujuan kelompok dan
17 (6) kontrol sosial, yaitu proses pengawasan terhadap perilaku atau kegiatan setiap anggota kelompok agar tidak menyimpang aturan yang telah disepakai demi tercapainya tujuan bersama. Pendekatan
psikososial
untuk
menganalisis
dinamika
kelompok
dimaksudkan untuk mengkaji terhadap segala sesuatu yang akan berpengaruh terhadap perilaku anggota-anggota kelompok dalam melaksanakan kegiatan demi tercapainya tujuan kelompok. Unsur-unsur dinamika kelompok tersebut meliputi (Purwanto & Huraerah 2006): (1) tujuan kelompok, yaitu hasil akhir atau keadaan yang diinginkan oleh semua anggota kelompok. Berkaitan dengan hal itu, kejelasan tujuan kelompok akan sangat berpengaruh terhadap perilaku atau tindakan-tindakan anggota kelompok. Sehingga perlu dikaji sampai seberapa jauh tujuan kelompok benar-benar telah dipahami dan dihayati oleh setiap anggota kelompok yang bersangkutan; (2) struktur kelompok, yaitu suatu pola yang teratur tentang bentuk tata hubungan antara individu-individu dalam kelompok yang sekaligus menggambarkan kedudukan dan peran masing-masing untuk mencapai tujuan kelompok. Ketidakjelasan mengenai struktur kelompok akan berakibat terhadap ketidakjelasan kedudukan, peran, hak, kewajiban dan kekuasaan masingmasing anggota, sehingga pelaksanaan kegiatan tidak mungkin berjalan efektif dan efisien dalam mencapai tujuan; (3) fungsi tugas, yaitu seperangkat tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota
kelompok
sesuai dengan fungsi masing-masing sesuai dengan
kedudukannya dalam struktur kelompok. Sehingga setiap
orang
memahami
untuk tujuan
betul tugas-tugas
yang harus dilaksanakan
harus
kelompok; (4) pembinaan dan pemeliharaan kelompok, yaitu upaya kelompok untuk tetap memelihara dan mengembangkan kehidupan kelompok atau upaya kelompok untuk berusaha
memelihara tatakerja dalam kelompok, mengatur,
memperkuat dan mengekalkan kelompok; (5) kekompakkan kelompok, yang diartikan sebagai rasa keterikatan anggota kelompok terhadap kelompoknya. Rasa keterikatan itu dapat dilihat atau
18 ditunjukkan pada kesamaan tindakan, kerjasama, kesadaran menjadi anggota, persamaan nasib, homogenitas perilaku, kesepakatan terhadap tujuan kelompok dan pengakuan terhadap kepemimpinan kelompok; (6) suasana kelompok, yaitu lingkungan fisik dan nonfisik (emosional) yang akan mempengaruhi perasaan setiap anggota kelompok terhadap kelompoknya. Suasana tersebut dapat berupa keramahtamahan, kesetiakawanan, kebebasan bertindak dan suasana fisik seperti kerapihan, keteraturan dan sebagainya; (7) tekanan kelompok, yaitu tekanan-tekanan atau ketegangan dalam kelompok yang menyebabkan kelompok tersebut berusaha keras untuk mencapai tujuan kelompok; (8) keefektivan kelompok, yaitu keberhasilan kelompok untuk mencapai tujuannya yang dapat dilihat pada tercapainya keadaan atau perubahan yang memuaskan anggotanya dan (9) agenda terselubung, yaitu tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh kelompok yang diketahui oleh semua anggotanya, tetapi tidak dinyatakan secara tertulis. Danim (2004) berpendapat bahwa kondisi
dinamika
kelompok
merupakan
dinamis yang tercipta atau diciptakan oleh kelompok atau anggota-
anggota kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Kondisi dinamis adalah aktivitas program yang muncul dari individu atau anggota kelompok. Kondisi dinamis itu tercermin dalam pola interaksi, aktivitas rutin keseharian atau sifatsifat kondusif lain yang diarahkan kepada usaha memacu tujuan tertentu. Kondisi yang dinamis itu akan mempermudah usaha memacu kegiatan-kegiatan yang produktif. Cartwright dan Zender (1968) dan Levis (1996) mengemukakan bahwa dinamika kelompok dapar diukur dengan menggunakan unsur seperti: (1) tujuan kelompok; (2) struktur kelompok; (3) fungsi kelompok; (4) pembinaan kelompok; (5) kekompakkan kelompok; (6) suasana kelompok; (7) tekanan kelompok dan (8) keefektivan kelompok. Anantanyu et al. (2005) menyatakan bahwa tingkat dinamika kelompok Perkumpulan Petani Pengelola Air (P3A) pada umumnya berada pada kategori dinamis. Unsur sistem sosial sudah berkembang dengan baik, walaupun ada unsur-unsur sistem sosial yang memerlukan peningkatan seperti jenjang sosial, fasilitas, norma dan tekanan/tegangan. Unsur proses sosial, seperti: memelihara
19 batas, kaitan sistemik dan sosialisasi juga membutuhkan peningkatan. Lingkungan sosial berpotensi berhubungan dengan tingkat dinamika kelompok karena masih adanya anggapan bahwa diperlukan bimbingan dan pembinaan pada masyarakat oleh institusi pemerintah. Menurut Junaidi (2002), sebagian besar kelompoktani yang menerapkan inovasi pupuk organik memiliki dinamika kategori sedang. Analisisnya menggunakan deskriptif kualitatif pedekatan psikososial, meliput i: (1) maksud dan tujuan kelompok; (2) struktur; (3) fungsi; (4) memelihara keutuhan kelompoktani; (5) membina kekompakkan; (6) suasana; (7) tekanantekanan; (8) keefektivan kelompok dan (9) maksud terselubung kelompoktani. Selain itu, Purwanto dan Wardani (2006) juga berpendapat bahwa keragaan dinamika kelompoktani
yang didasarkan pada peran dan fungsi kelompok
sebagian besar dinamikanya adalah berkategori sedang. Penelitian Effendi (2001) tentang hubungan dinamika kelompok dengan penerapan teknologi tanaman sayuran dataran rendah menyimpulkan bahwa unsur dinamika yang masih berkategori rendah meliputi: pembinaan, suasana dan tekanan kelompok. Unsur berkategori sedang meliputi: tujuan, struktur, fungsi dan efektivitas kelompok. Unsur yang berkategori tinggi hanya pada kekompakkan kelompok. Peran Kelompok Menurut Berlo (1960), peran merupakan serangkaian tingkah laku yang harus dikerjakan dan
tidak boleh dikerjakan berdasarkan posisi yang
didudukinya. Setiap individu mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam suatu sistem sosial dan mempunyai norma-norma tersendiri. Suatu tingkah laku peran dapat ditinjau dari: (1) prescription role, merupakan pernyataan yang dilakukan seseorang berdasarkan perannya; (2) description role, merupakan gambaran tingkah laku secara nyata yang dilakukan seseorang berdasarkan perannya dan (3) expectation role, merupakan gambaran tingkah laku seseorang tentang tingkah laku yang diharapkan berdasarkan perannya. Soekanto (2006) mengatakan bahwa peran adalah aspek dinamis kedudukan/status yang mencakup kewajiban dan hak seseorang. Peran seseorang dalam kedudukannya pada suatu posisi, meliputi: (1) norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat dan (2) sustu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat
20 sebagai organisasi dan perilaku yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Peran seseorang dalam msyarakat harus dilaksanakan untuk mempertahankan kedinamisan kehidupan dalam lingkungan masyarakat. Pelaksanaan peran seseorang biasanya dapat dilihat di masyarakat atau dilakukan melalui lembaga kemasyarakatan yang ada. Peran kelompoktani dalam pembangunan pertanian diharapkan menjadi pilar utama dan terdepan dalam setiap kegiatan pelaksanaan kegiatan pembangunan. Menurut Departemen Pertanian (2001), peran kelompoktani ada tiga yaitu: (1) sebagai kelas belajar-mengajar; (2) sebagai unit produksi dan (3) sebagai wahana kerjasama.
Abbas (1995) menjelaskan bahwa
peran
kelompoktani sebagai kelas belajar-mengajar, kelompoktani sebagai wadah bagi setiap anggota kelompok untuk berinteraksi guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam berusahatani yang lebih baik dan menguntungkan, serta menumbuhkan dorongan untuk lebih mandiri. Sebagai unit produksi usahatani, kelompoktani merupakan kesatuan unit usahatani untuk bertindak dalam meningkatkan produktivitas, mutu hasil produksi dan mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan. Peran kelompok sebagai wahana kerjasama diartikan kelompok sebagai wadah untuk mempererat kerjasama di antara petani dalam kelompok dan antar kelompok dengan pihak lain untuk menghadapi berbagai ancaman tantangan, hambatan dan gangguan pada prapanen, pascapanen, pemasaran dan pemupukan modal sehingga petani mempunyai daya tawar yang baik. Upaya-upaya untuk mengembangkan kemampuan
kelompok sebagai
kelas belajar-mengajar meliputi; menggali dan merumuskan belajar, berhubungan dan bekerjasama dengan sumber informasi dan teknologi yang diperlukan, menciptakan iklim belajar yang sesuai, mempersiapkan sarana belajar, berperanserta aktif dalam proses belajar-mengajar, mengemukakan keinginan, pendapat maupun masalah, merumuskan kesepakatan bersama, menaati dan melaksanakan kesepakatan, merencanakan dan melaksanakan pertemuan berkala. Selanjutnya, upaya untuk mengembangkan kemampuan kelompok sebagai unit produksi usahatani, antara lain; mengambil keputusan dalam menentukan pola usahatani yang menguntungkan, menyusun rencana definitif
21 kelompok serta rencana permodalan, menerapkan inovasi teknologi sesuai dengan rekomendasi, berhubungan dengan penyedia sarana produksi dan pemasaran hasil, menaati dan melaksanakan kesepakatan, menganalisis dan menilai hasil usahatani, mengatasi keadaan darurat dan mengelola administrasi kelompok. Upaya untuk mengembangkan kemampuan kelompok sebagai wahana kerjasama antara lain; menciptakan suasana saling kenal, saling mempercayai dan berkeinginan untuk bekerjasama, menciptakan suasana keterbukaan dalam menyatakan pendapat dan pandangan untuk mencapai tujuan bersama, mengatur dan melaksanakan pembagian tugas sesuai kesepakatan, mengembangkan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab, merencanakan dan melaksanakan musyawarah dan pertemuan lainnya, menaati dan melaksanakan kesepakatan, melaksanakan tukarmenukar pikiran, bekerjasama dengan penyedia sarana produksi, pengolahan dan pemasaran, mengembangkan kader kepemimpinan, mengadakan pemupukan modal dan mengadakan hubungan melembaga dengan koperasi dalam melaksanakan Rencana Definitif Kelompok (RDK), pengolahan, pemasaran hasil dan permodalan (Deptan 2001). Menurut Pangarsa et al. (2009) pada era agribisnis seperti sekarang ini, maka kelompoktani sebaiknya juga berperan sebagai unit ekonomi (lembaga ekonomi) tentunya mendapatkan perhatian yang lebih banyak. Kelompok yang dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi akan tetap eksis, sekalipun tidak mendapatkan bantuan pemerintah. Dengan konsep tersebut, maka di berbagai daerah telah dimunculkan konsep, yaitu subkelompok atau kelompok kegiatan, kelompok dan gabungan kelompok (Gapoktan). Walaupun secara kuantitas jumlah kelompok dan gapoktan telah banyak, namun sebagian besar kelompok tersebut belum berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Gapoktan masih difungsikan sebatas dalam rangka membagi subsidi pupuk, sebagai media pertemuan dalam rangka sosialisasi peraturan pemerintah. Seharusnya apapun bentuknya kelompok dan gapoktannya yang penting dapat difungsikan sebagai lembaga ekonomi. Lembaga ekonomi yang dimaksud dapat berbentuk sebagai unit pemasaran, unit permodalan atau simpan pinjam, koperasi tani, kemitraan dengan pengusaha, unit pelayanan jasa alsintan dan atau unit agroindustri.
22 Purwaningsih (2005) telah melakukan penelitian tentang peranan kelompok usaha bersama, ternyata kelompok usaha bersama telah berperan nyata dalam perbaikan posisi tawar dan peningkatan pendapatan petani gula. Menurut Wahyunindyawati et al.(2003), peran kelompoktani juga penting dalam adopsi sebuah inovasi teknologi. Untuk lebih dapat mengadopsi teknologi usahatani padi spesifik lokasi serta untuk dapat diterapkan pada petani dengan mudah melalui kelompoktani dengan model cooperative farming. Penelitian Arimbawa (2004) menyimpulkan bahwa
peran kelompok
sebagai kelas belajar-mengajar berkategori tinggi. Indikator kelompok sebagai wadah belajar-mengajar meliputi: keaktifan anggota pada setiap pertemuan kelompok untuk belajar bersama, aktif berdiskusi, frekuensi hadir, penggunaan kelompok sebagai sumber informasi dengan sarana dan prasarana yang menunjang para anggota kelompok untuk belajar, peran kelompok sebagai unit produksi usahatani berkategori rendah. Indikator peran kelompok sebagai unit produksi meliputi: (1) penggunaan ide-ide baru dalam berusahatani seperti penggunaan bibit, pupuk, pola tanam, pengendalian hama dan penyakit, pemangkasan dan pemanenan dan (2) pemenuhan dan pencarian faktor-faktor produksi usahatani. Peran kelompok sebagai wahana kerjasama anggota berkategori tinggi. Indikator peran kelompok sebagai wahana kerjasama meliputi: (1) kerjasama dalam pencarian informasi usahatani; (2) kerjasama dalam pencarian (komoditi usahatani, faktor-faktor produksi dan informasi pasar) dan (3) kerjasama dalam manajemen usahatani (perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi). Kemampuan Anggota Kelompok Salah satu fokus penting dalam pembangunan pertanian adalah pembangunan sumberdaya manusia (SDM). Wujud dari pengembangan SDM tersebut dapat difokuskan pada peningkatan kemampuan individu dan dapat dimulai dari kelompok-kelompok. Menurut Marliati (2008), kemampuan petani adalah segala daya yang dimiliki petani (pengetahuan, keterampilan dan sikap positif) untuk mampu mandiri menjalankan usahatani atau agribisnis. Pemenuhan kebutuhan pengembangan kemampuan petani dapat diwujudkan melalui kinerja penyuluh pertanian dan memberdayakan petani secara berkualitas dengan memposisikan petani sebagai subyek atau mitra sejajar yang memiliki potensi atau
23 daya untuk dikembangkan dan adanya dukungan atau memanfaatkan potensi kelompok-kelompok dan sistem sosial.
Petani yang memiliki kemampuan
diharapkan menjadi petani mandiri. Petani mandiri, adalah petani yang mampu berbuat yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya, mampu memanfaatkan segala potensi yang ada secara optimal untuk kesejahteraannya. Menurut Gibson et al. (1996), bahwa kemampuan petani dapat dilihat dan dilakukan dalam suatu lembaga atau kelompok yang mewadahi pembangunan masyarakat. Peran kelompok dapat membantu anggota mengembangkan potensi yang dimilikinya agar mampu berkreasi dan berswadaya dalam memenuhi kehidupannya. Puspadi (2002) juga berpendapat bahwa kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara efektif dan kompetensi merupakan refleksi dari kinerja. Kemampuan kerja perlu dimiliki oleh ketua kelompok maupun anggota kelompok. Aktualisasi kemampuan anggota dapat lihat dari kemampuan anggota melaksanakan
program
yang dilakukan oleh
kelompok atau dari penerapan teknologi yang diterima oleh kelompok. Kemampuan anggota kelompok dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan kelompok seperti penerapan inovasi teknologi, pemanfaatan sarana usahatani, kemampuan dalam kegiatan panen, pascapanen dan pemasarannya. Menurut hasil penelitian Arimbawa (2004), kemampuan anggota kelompok usaha bersama pengelolaan hutan kemasyarakatan dalam penguasaan teknologi yang meliputi teknologi budidaya, pemenuhan sarana produksi dan pemasaran dalam kategori sedang. Kemampuan teknologi budidaya meliputi: pemilihan dan penanaman bibit, pengolahan tanah, ketepatan dalam penggunaan peralatan usahatani, keterampilan dalam pemupukan, pengairan tanaman, pengendalian hama penyakit, teknik pemangkasan tanaman dan teknologi pasca panen. Kemampuan anggota dalam pemenuhan sarana produksi yang meliputi: perolehan bibit, pupuk, pestisida dan peralatan usahatani. Kemampuan anggota dalam pemasaran meliputi: pemilihan tempat penjualan hasil usahatani dan kemampuan petani dalam perolehan kredit. Teori Adopsi Inovasi Inovasi merupakan elemen utama dalam
suatu proses difusi inovasi.
Rogers (Hubeis 2007) mendefinisikan inovasi sebagai suatu ide, gagasan atau
24 praktik baru yang diharapkan mampu membawa perubahan bagi khalayak yang menjadi target adopter. Aspek kebaruan dari suatu inovasi terlihat ketika inovasi tersebut dapat memberikan pengetahuan baru pada pihak adopter, selanjutnya muncul keyakinan pada pihak adopter bahwa inovasi
tersebut perlu untuk
diadopsi dan terakhir adanya keputusan untuk mengadopsi inovasi tersebut oleh pihak adopter. Ada lima sifat inovasi yang secara empiris setiap sifat saling berhubungan satu sama lain tetapi secara konseptual berbeda. Kelima sifat inovasi tersebut ialah: (1) keuntungan relatif, (2) keserasian atau kompatibilitas, (3) kerumitan atau kompleksitas, (4) ketercobaan dan (5) keterlihatan atau observabilitas. Keuntungan relatif ialah suatu tingkatan dimana ide baru dianggap sebagai sesuatu yang lebih baik dari pada ide lama yang telah diadopsi atau yang telah ada sebelumnya. Tingkat keuntungan di sini bisa diukur dari keuntungan secara ekonomi dan keuntungan lainnya seperti sosial, status, prestise dan sebagainya (Rogers 2003, Rogers & Shoemaker 1995). Keputusan untuk mengadopsi atau menerapkan inovasi tidak datang begitu saja hanya karena pertimbangan keuntungan relatif. Ada pertimbangan lain yang harus yang dilakukan oleh adopter, yaitu keserasian atau kompatibilitas. Kompatibilitas
ialah tingkat keserasian antara inovasi yang akan didifusikan
dengan nilai-nilai, pengalaman masa lalu dan kebutuhan potensial dari adopter. Suatu ide yang memiliki keserasian maka akan mengurangi ketidakpastian bagi calon adopter sehingga tidak ada keraguan untuk mengadopsi. Suatu inovasi harus memiliki keserasian dengan: (1) sistem nilai dan kepercayaan dari sosial budaya setempat, (2) ide-ide yang diperkenalkan sebelumnya dan (3) kebutuhan adopter untuk melakukan inovasi (Hubeis 2007). Keberhasilan suatu inovasi sangat ditentukan oleh tingkat kerumitan. Kerumitan adalah tingkat dimana suatu inovasi dipersepsikan sebagai relatif sulit untuk dimengerti atau digunakan. Pada umumnya seseorang atau masyarakat bahkan sistem sosial atau organisasi kurang berminat jika suatu inovasi dirasakan terlalu rumit atau sulit digunakan. Selain kerumitan, sifat inovasi yang biasanya dijadikan pertimbangan adopter ialah ketercobaan. Ketercobaan atau trialabilitas adalah suatu tingkat dimana
suatu inovasi dapat dimungkinkan untuk diuji
cobakan pada skala yang terbatas. Dengan dilakukannya uji coba maka adopter
25 potensial dapat melihat terlebih dahulu tingkat keberhasilan
atau peluang
keberhasilan dari inovasi yang akan diadopsi. Hal ini disebabkan bahwa sesuatu yang baru mengandung resiko kegagalan atau keberhasilan. Untuk itu calon adopter perlu mempelajari inovasi dalam skala yang lebih kecil. Selanjutnya, sifat inovasi yang tidak kalah pentingnya bagi adopter ialah keterlihatan atau observabilitas. Keterlihatan ialah tingkat dimana hasil suatu inovasi dapat dilihat bagi orang lain. Keterlihatan hasil inovasi yang dapat dilihat dengan mata maka memungkinkan seseorang dapat mempertimbangkan untuk menerimanya dari pada inovasi yang bersifat abstrak yang hanya diwujudkan dalam pikiran atau hanya dibayangkan (Hubeis 2007). Proses inovasi sampai diterima oleh seseorang, mengalami suatu proses mental dalam diri orang yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan status menerima ide inovasi, posisi mental seseorang dapat dikelompokkan menjadi lima tahapan, yaitu: (1) kesadaran, yaitu tahapan dimana seseorang pertama kali mengetahui inovasi teknologi, (2) minat, yaitu tahapan dimana seseorang berusaha mencari secara luas dan detail informasi yang berkaitan dengan suatu ide inovasi dalam upaya mencari kemungkinan kegunaan dan penerapannya, (3) evaluasi, yaitu tahapan dimana seseorang mempertimbangkan dan menyelidiki untuk mendapatkan informasi dan fakta-fakta dari sudut pandang kondisi yang ada, (4) percobaan, yaitu tahapan dimana seseorang secara tentatif mencoba suatu ide untuk memperoleh tambahan informasi dalam suatu percobaan dan (5) penerapan, yaitu tahapan dimana seseorang menerapkan ide-ide baru secara praktis dalam kegiatan operasional (Hubeis 2007). Sebuah proses mental akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan inovasi. Proses keputusan inovasi
merupakan suatu aktivitas individu atau
organisasi yang bertahap. Namun batasan dari setiap tahapan tersebut tidak begitu jelas.
Proses keputusan ini menurut Rogers (2003) mengajukan suatu model
proses keputusan inovasi yang mengkonseptualisasikan lima tahap, yaitu: (1) tahap pengetahuan, (2) tahap persuasi, (3) tahap keputusan, (4) tahap penerapan dan (5) tahap penegasan. Proses keputusan inovasi dimulai dari tahap pengetahuan. Pada tahap ini individu mulai menyadari pentingnya melakukan inovasi dan memahami
26 bagaimana inovasi itu berperan atau berfungsi. Beberapa ahli berpendapat bahwa individu melakukan peranan yang pasif dalam memperoleh kesadaran atau pengetahuan, kecuali sampai suatu saat mengalami kejadian buruk sehingga mengetahui betapa pentingnya inovasi.
Jika pada tahap pengetahuan, sikap
mental yang berfungsi pada tingkat kognitif, maka pada tahap persuasi, sikap mental yang berfungsi lebih banyak pada tingkat afektif atau sikap. Oleh karena itu, pada tahap ini keterlibatan individu mengarah pada aspek psikologisnya. Setelah mengetahui ide-ide baru dan teknologi baru maka akan ada evaluasi informasi yang diterimanya. Pada tahap membuat keputusan merupakan tahapan dimana seseorang melakukan aktivitas untuk memilih mengadopsi atau menolak suatu inovasi. Adopsi itu sendiri merupakan keputusan untuk menggunakan secara penuh suatu inovasi sebagai suatu kegiatan yang terbaik dari yang pernah ada. Rogers dan Shoemaker (1995) menyatakan bahwa adopsi sendiri memiliki dua kemungkinan, yaitu: (1) adopsi berlanjut dan (2) adopsi tidak berlanjut. Penolakan ada dua jenis, antara lain: (1) penolakan aktif, yaitu apabila seseorang mempertimbangkan mengadopsi inovasi (termasuk mencobanya), tetapi kemudian memutuskan untuk tidak mengadopsi dan (2) penolakan pasif, yaitu seseorang yang tidak pernah sama sekali mempertimbangkan menggunakan suatu inovasi. Selanjutnya pada tahap penerapan, seseorang dapat dikatakan berada pada tahap penerapan apabila telah memulai kegiatan inovasi sebagai jawaban dari masalah atau kebutuhan yang dihadapi. Namun, pada tahap ini proses keputusan inovasi masih semata-mata bersifat mental. Selain itu juga telah terjadi perubahan perilaku karena ide-ide baru telah benar-benar dipraktekkan. Dalam tahap ini sebenarnya calon adopter masih mengalami ketidakpastian dalam keputusannya meskipun telah mengambil keputusan untuk menghadapi inovasi. Setelah tahap penerapan, seseorang masih harus melewati tahap selanjutnya untuk dapat dikatakan sebagai adopter inovasi teknologi, yaitu tahap penegasan. Sejumlah penelitian mengajukan bukti empiris bahwa suatu keputusan untuk menerima atau menolak suatu inovasi, sering bukan merupakan tahapan akhir dari suatu proses keputusan inovasi. Masih terdapat tahapan lain dimana seseorang memerlukan kembali penegasan atas ide baru. Pada tahap konfirmasi, seseorang atau
27 pengambil keputusan memerlukan penguatan atas keputusan inovasi yang telah dibuat. Seiring berjalannya waktu mungkin juga mengembalikan keputusan yang telah dibuat dengan mencari informasi
negatif dari suatu inovasi. Tahap
penegasan berlangsung setelah terjadi keputusan atau penolakan untuk jangka waktu yang tidak tertentu. Menurut Sudarta (2002), sekarang ini banyak petani yang sudah terbuka dan berpikir positif terhadap teknologi baru di bidang pertanian. Penerapan Inovasi Teknologi Keberhasilan kegiatan penelitian dan pengkajian pertanian/perkebunan ditentukan oleh tingkat penerapan hasilnya oleh pengguna sasaran (petani). Penerapan inovasi teknologi tersebut diharapkan dapat mendorong pembangunan pertanian di daerah sehingga sektor pertanian mampu berfungsi sebagai mesin penggerak perekonomian nasional. Oleh sebab itu, diseminasi inovasi teknologi perlu dilakukan secara terusmenerus. Kegiatan diseminasi bukan sekedar penyebarluasan informasi dan inovasi teknologi pertanian, tetapi petani diharapkan dapat menerapkannya dalam usahatani sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya (Balitbang Pertanian 2001). Inovasi didefinisikan sebagai suatu gagasan, praktek atau objek yang dianggap baru oleh pengguna atau oleh satuan adopsi yang lain. Jadi kriteria baru merupakan kriteria utama suatu inovasi. Terkait dengan teknologi, selama suatu teknologi masih baru dalam pandangan pengguna maka teknologi dalam hal ini dapat dianggap suatu inovasi. Teknologi didefinisikan sebagai sebuah rancangan tindakan instrumental untuk mengurangi ketidakpastian dalam hubungan sebab akibat yang terdapat dalam upaya meraih hasil yang diinginkan. Terkait dengan inovasi, hanya teknologi baru yang dapat dikatakan sebagai inovasi. Apabila teknologi itu tidak baru dalam pandangan penggunanya maka teknologi tersebut tidak lagi dapat dianggap sebagai suatu inovasi (Deptan 2001). Levis (1996) membagi manfaat teknologi menjadi dua yaitu yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Manfaat teknologi dari segi kuantitatif meliputi: (1) produk yang dihasilkan meningkat, (2) tenaga yang dipergunakan sedikit, (3) keuntungan yang dihasilkan meningkat dan
(4) lebih efektif dan efisien
pelaksanaannya. Manfaat teknologi dari segi kualitatif meliputi: (1) mutu produk
28 yang dihasilkan meningk, (2) kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja terjamin, (3) pengetahuan dan keterampilan masyarakat bertambah, (4) bertambah positifnya sikap masyarakat terhadap setiap teknologi baru dan (5) kelestarian lingkungan terjamin. Menurut Mawardi (2008), untuk menghasilkan mutu kopi yang baik dan diterima pasar dunia perlu penguatan inovasi dan teknologi di tingkat petani. Petani kopi harus memiliki penguasaan pengetahuan dan inovasi teknologi yang baik. Penguatan
inovasi teknologi dapat dilakukan melalui penyuluhan dan
pelatihan. Berdasar pengalaman yang paling efektif yaitu dengan cara memberikan pengawalan (backstopping) secara langsung di tingkat petani selama proses produksi agar petani tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menurunkan mutu kopi. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kopi Robusta adalah masih belum digunakannya benih unggul sesuai dengan kondisi lingkungan setempat dan penerapan teknologi usahatani yang kurang optimal. Kebiasaan menggunakan benih dari pohon yang berbuah lebat atau bahkan dari benih sapuan masih banyak dijumpai. Hal ini menyebabkan produktivitas rata-rata pertahun rendah sebagai akibat tanaman mengalami pembuahan lebat dua tahun sekali. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas kopi Robusta adalah dengan perbaikan benih. Penggantian benih anjuran dapat dilakukan secara bertahap, baik dengan metode sambungan di lapangan pada tanaman kopi yang telah ada maupun penanaman baru dengan benih asal setek. Adapun klon-klon kopi Robusta yang yang dianjurkan adalah BP 42, BP 234, BP 288, BP358, BP 409 dan SA 237. Mengingat kopi Robusta bersifat menyerbuk silang maka penanamannya harus poliklonal, tiga sampai empat klon untuk setiap hamparan kebun. Demikian pula sifat kopi Robusta sering menunjukkan reaksi berbeda apabila ditanam pada kondisi lingkungan yang berbeda maka komposisi klon kopi Robusta untuk suatu kondisi lingkungan
tertentu harus berdasarkan pada stabilitas daya hasil,
kompabilitas (keserempakan saat berbunga) antar klon untuk kondisi lingkungan tertentu serta keseragaman ukuran biji (Puslitkoka Indonesia 2003). Usaha
untuk
merebut
pengembangan tanaman kopi
peluang
pasar
kopi
antara
lain
dengan
melalui kegiatan peremajaan, peluasan dan
29 rehabilitasi tanaman kopi. Peremajaan adalah usaha menggantikan tanaman yang secara ekonomis tidak menguntungkan lagi karena produktivitasnya rendah sehingga perlu diganti dengan yang baru dan dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi. Kegiatan perluasan adalah menanam tanaman kopi di areal baru yang lingkungannya sesuai dengan persyaratan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi. Rehabilitasi kebun adalah kegiatan untuk memulihkan kondisi kebun ke keadaan yang lebih baik, sehingga produktivitasnya meningkat. Rehabilitasi tanaman ditujukan pada populasi tanaman yang telah berkurang karena kesalahan kultur teknis, serangan hama dan penyakit serta kekeringan yang mengakibatkan
produktivitas
tanaman
per
hektar
rendah
atau
tidak
menguntungkan untuk diusahakan (Spillane 1990). Menurut Najiyati dan Danarti (2001), pada dasarnya budidaya kopi melalui kegiatan perluasan, peremajaan dan rehabilitasi adalah sama seperti pada kegiatan penanaman baru. Syarat Tumbuh. Lokasi tanaman meliputi: (1) letaknya terisolir dari pertanaman kopi varietas lain sekitar 100 meter, (2) lahan bebas hama dan penyakit dan
(3) mudah pengawasan. Kondisi tanah
yang harus
dimiliki antara lain: (1) pH tanah berkisar 5,5-6,5, (2) top soil minimal dua persen dan (3) struktur tanah subur gembur kedalaman relatif lebih dari 100 cm. Keadaan iklim yang harus dipenuhi meliputi: (1) tinggi tempat 800-2.000 meter di atas permukaan laut (m dpl), Robusta 400-700 m dpl, (2) suhu berkisar 15º- 25ºC dan (3) curah hujan 1.750-3.000 mm/tahun dengan bulan kering tiga bulan. Bahan tanaman (benih) untuk usahatani kopi sebaiknya memiliki kualitas unggul. Untuk perbanyakan tanaman di lapangan diperlukan bibit siap salur dengan kriteria sebagai berikut: sumber benih harus berasal dari kebun induk atau perusahaan yang telah ditunjuk, umur bibit 8-12 bulan, tinggi 20-40 cm, jumlah minimal daun tua sebanyak 5-7 lembar, jumlah cabang primer hanya satu, diameter batang berkisar 5-6 cm, kebutuhan bibit/ha dengan ketentuan, jarak tanam berkisar 1,25 m x 1,25 m, populasi 6.400 tanaman dan sulaman berkisar 25 persen (Najiyati & Danarti 2001). Pada proses penanaman bibit kopi harus memperhatikan jarak tanam dan pengolahan tanah. Sistem jarak tanam untuk kopi antara lain: segi empat berjarak 2,5 x 2,5 m, pagar berjarak 1,5 x 1,5 m dan pagar ganda berjarak 1,5 x 1,5 x 3 cm.
30 Lubang tanam harus dibuat 3-6 bulan sebelum tanam. Ukuran lubang 50 x 50 x 50 cm, 60 x 60 x 60 cm, 75 x 75 x 75 cm atau 1 x 1 x 1 m untuk tanah yang berat. Tanah galian diletakkan di kiri dan kanan lubang. Lubang dibiarkan terbuka selama 3-6 bulan. Dua sampai empat minggu sebelum tanam, tanah galian yang telah dicampur dengan pupuk kandang yang masak sebanyak 15/20 kg/lubang, dimasukkan kembali ke dalam lubang. Tanah urugan tidak boleh dipadatkan. Penanaman dilakukan pada musim hujan dan leher akar bibit ditanam rata dengan permukaan tanah (Najiyati & Danarti 2001). Dalam pemeliharaan tanaman kopi harus
memperhatikan teknik
penyiangan dan pemeliharaan tanaman pelindung atau penaung. Penyiangan meliputi: membersihkan gulma di sekitar tanaman kopi, penyiangan dapat dilakukan bersama-sama dengan penggemburan tanah dan untuk tanaman dewasa dilakukan dua kali setahun. Tanaman kopi sangat memerlukan naungan untuk menjaga agar tanaman kopi jangan berbuah terlalu banyak sehingga kekuatan tanaman cepat habis. Pohon pelindung ditanam satu sampai dua tahun sebelum penanaman kopi atau memanfaatkan tanaman pelindung yang ada. Jenis tanaman untuk pohon pelindung antara lain lamtoro, dadap, sengon dan sebagainya. Pengaturan pohon pelindung, berupa: (1) tinggi pencabangan pohon pelindung diusahakan dua kali tinggi pohon kopi, (2) pemangkasan pohon pelindung dilakukan pada musim hujan dan (3) apabila tanaman kopi dan pohon pelindung telah cukup besar, pohon pelindung bisa diperpanjang menjadi satu banding dua atau satu banding empat (Najiyati & Danarti 2001). Pada tanaman kopi perlu dilakukan pemangkasan bentuk, produksi dan peremajaan. Pemangkasan bentuk meliputi: tinggi pangkasan 1,5–1,8 meter, cabang primer teratas harus dipotong tinggi satu ruas dan pemangkasan dilakukan di akhir musim hujan. Pangkasan Produksi meliputi: pembuangan tunas wiwilan (tunas air) yang tumbuh ke atas, pembuangan cabang cacing dan cabang balik yang tidak menghasilkan buah, pembuangan cabang-cabang yang terserang hama penyakit dan pemangkasan dilakukan tiga sampai empat kali setahun dan dikerjakan pada awal musim hujan. Pangkasan Rejupinasi (peremajaan) meliputi: ditujukan pada tanaman yang sudah tua dan produksinya sudah turunmenurun, pada awal musim hujan, batang dipotong miring setinggi 40-50 cm dari leher
31 akar, bekas potongan dioles dengan aspal, tanah di sekeliling tanaman dicangkul dan dipupuk, beberapa tunas yang tumbuh dipelihara satu sampai dua tunas yang pertumbuhannya baik dan lurus ke atas dan setelah cukup besar, disambung dengan jenis yang baik dan produksinya tinggi (Najiyati & Danarti 2001). Tanaman kopi memerlukan pemupukan yang tepat waktu, dosis dan jenis pupuk. Dosis pemupukan kopi per pohon sesuai dengan kriteria umur adalah: (a) umur satu tahun 50 gram Urea, 40 gram TSP dan 40 gram KCl, (b) umur dua tahun 100 gram Urea, 80 gram TSP dan 80 gram KCl, (c) tiga tahun 150 gram Urea, 100 gram TSP dan 100 gram KCl, (d) umur empat tahun 200 gram Urea, 100 gram TSP dan 100 gram KCl, (e) umur 5-10 tahun 300 gram Urea, 150 gram TSP dan 240 gram KCl dan (f) umur 10 tahun ke atas 500 gram Urea, 200 gram TSP dan 320 gram KCl. Pupuk diberikan dua kali setahun yaitu awal dan akhir musim hujan masing-masing setengah dosis. Cara pemupukan dengan membuat parit melingkar pohon sedalam ± 10 cm, dengan jarak proyek tajuk pohon kurang lebih satu meter (Najiyati & Danarti 2001). Pengendalian hama penyakit harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengendalian hama secara terpadu. Hama penyakit yang sering menyerang tanaman kopi yaitu hama bubuk buah dan bubuk cabang. Hama bubuk buah, penyebab adalah sejenis kumbang kecil dan menyerang buah muda dan tua. Pengendalian dengan mekanis yaitu dengan mengumpulkan buah-buah yang terserang, secara kultur teknis dengan penjarangan naungan dan tanaman sedangkan secara kimia dengan insektisida Dimecron 50 SCW, Tamaron, Argothion, Lebaycide, Sevin 85 S dengan dosis dua cc/liter air. Bubuk Cabang (Xyloborus moliberus), menyerang/menggerek cabang dan ranting kecil tiga sampai tujuh dari pucuk kopi. Daun menjadi kuning dan rontok kemudian cabang akan mengering. Pengendalian sama seperti pada hama bubuk buah. Penyakit yang umumnya sering menyerang adalah karat daun, penyebabnya adalah sejenis Cendawan. Tanda serangan terdapat bercak merah kekuningan pada bagian bawah daun, sedangkan di permukaan daun ada bercak kuning. Kemudian daun gugur, ujung cabang muda kering dan buah kopi menjadi hitam kering dan kualitas tidak baik selanjutnya tanaman akan mati. Pengendalian secara kultur teknis dengan
32 menanam jenis kopi yang unggul dan tahan berbagai penyakit (Najiyati & Danarti 2001). Penanganan pembungaannya.
panen
Tanaman
tanaman kopi
kopi
dikenal
harus sebagai
memperhatikan tanaman
yang
siklus masa
pembungaannya tidak serentak, terdiri dari tiga sampai empat kali dalam setahun yang dikenal dengan istilah pembungaan pendahuluan, pertengahan dan akhir. Sebagian dari tanaman ini ada yang berbunga sepanjang tahun, hal ini sangat tergantung pada iklim dan jenisnya. Ketidakserentakan masa pembungaan mengakibatkan masa panen
kopi
tidak
serentak,
yaitu
ada
panen
pendahuluan, panen utama (besar) dan panen akhir (Yahmadi 2007) Untuk memperoleh hasil yang bermutu tinggi, buah kopi harus dipetik setelah betul-betul
matang, kopi
memerlukan waktu dari
kuncup bunga
delapan sampai sebelas bulan untuk Robusta dan enam sampai delapan bulan untuk Arabica. Beberapa jenis kopi seperti kopi Liberika dan kopi yang ditanam di daerah basah akan menghasilkan buah sepanjang tahun sehingga pemanenan bisa dilakukan sepanjang tahun. Kopi jenis Robusta dan kopi yang ditanam di daerah kering biasanya menghasilkan buah pada musim tertentu sehingga pemanenan juga dilakukan secara musiman. Musim panen ini biasanya terjadi mulai bulan Mei/Juni dan berakhir pada bulan Agustus atau September (Notodimedjo 1985). Ketepatan waktu panen sangat berpengaruh terhadap mutu kopi yang dihasilkan. Oleh sebab itu, kopi harus dipanen pada tingkat kematangan yang tepat. Tingkat kematangan yang tepat dapat ditandai dengan buah yang telah berwarna merah terang. Pemetikan buah kopi tidak dapat dijalankan secara sekaligus, tetapi ada beberapa tingkat. Secara garis tiga tingkatan,
besar terbagi
menjadi
yaitu: (1) Tingkat permulaan atau voor oogst dikatakan juga
lelesan karena pada tingkatan ini buah yang dipetik belum begitu banyak. Buah yang diambil terutama adalah buah yang dimakan bubuk atau buah kopi yang kering, (2) Tingkat pertengahan atau hoofd oogst atau panen raya, buah yang dipetik adalah buah yang benar-benar merah dan masak tua. Tingkat pertama agak sedikit kemudian semakin banyak. Pada akhirnya, buah kopi masak mulai berkurang dan (3) Tingkat terakhir atau na oogst atau sering disebut racutan.
33 Pada tingkatan ini buah kopi di kebun sudah tinggal sedikit. Semua buah pada tingkatan ini harus diambil baik yang muda ataupun tua dan yang ada di atas tanah. Tujuannya adalah agar kebun bersih dan tidak menjadi sarang bubuk buah (Yahmadi 2007). Pemetikan buah pada umumnya dilakukan oleh tenaga kerja wanita dengan sistem borongan agar panen dapat dipercepat. Seorang tenaga kerja yang baik dapat mencapai sekitar
60 kg/hari kopi basah. Rata-rata ukuran umum
adalah sekitar 40 kg/hari kopi basah. Pemetikan dilakukan dengan sangat tertib, yaitu hanya kopi yang merah masak saja yang dipetik, dilakukan satu per satu dan tidak boleh dipetik satu dompol sekaligus. Kecuali yang masak dan yang kering harus diambil. Di samping itu, bila terdapat kotoran luwak yang berisi biji kopi harus diambil karena kopi tersebut merupakan yang paling mahal harganya. Apabila dalam pemetikan buah terdapat pohon kopi yang tinggi, pemetikan dilakukan dengan menggunakan tangga yang berkaki tiga dan dapat dipindahpindah (Najiyati & Danarti 2001). Penanganan pascapanen kopi melalui berbagai tahapan pengolahan. Biji kopi yang sudah siap diperdagangkan adalah berupa biji kopi kering yang sudah terlepas dari daging buah, kulit tanduk dan kulit arinya, butiran biji kopi yang demikian ini disebut kopi beras atau market coffee. Kopi beras berasal dari buah kopi basah yang telah mengalami beberapa tingkat proses pengolahan. Secara garis besar dan berdasarkan cara kerjanya, maka terdapat dua cara pengolahan pengolahan
buah kopi basah menjadi kopi beras, yaitu yang disebut buah kopi cara basah dan cara kering (Ciptadi & Nasution 1985).
Menurut Yahmadi (2007), pengolahan buah kopi secara basah biasa disebut West lndische Bereiding (WIB), sedangkan pengolahan cara kering biasa disebut Ost Indische Bereiding (OIB). Perbedaan pokok dari kedua cara tersebut di atas adalah pada cara kering pengupasan daging buah, kulit tanduk dan kulit ari dilakukan setelah kering (kopi gelondong), sedangkan cara basah pengupasan daging buah dilakukan sewaktu masih basah.Metode pengolahan kering merupakan metode cukup sederhana, sehingga sering digunakan untuk kopi Robusta dan juga 90 persen kopi Arabika di Brazil.
34 Pegeringan
buah
kopi
dapat
dilakukan
dengan dua cara yaitu:
pengeringan alami dan buatan. Pengeringan alami yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar matahari, caranya sangat sederhana tidak memerlukan peralatan dan biaya yang besar tetapi memerlukan tempat pengeringan yang luas dan waktu pengeringan yang lama karena buah kopi mengandung gula dan pektin. Pengeringan biasanya dilakukan di daerah yang bersih, kering dan permukaan lantai yang rata, dapat berupa lantai plester semen atau tanah telanjang yang telah diratakan dan dibersihkan. Ketebalan pengeringan 30-40 mm, terutama pada awal kegiatan pengeringan untuk menghindari terjadinya proses fermentasi. Panas yang timbul pada proses ini akan mengakibatkan perubahan warna dan buah menjadi masak. Pada awal pengeringan buah yang basah harus sering dibalik dengan alat penggaruk. Lamanya proses pengeringan tergantung pada cuaca, ukuran buah kopi, tingkat kematangan dan kadar air dalam buah kopi, biasanya proses pengeringan memakan waktu sekitar tiga sampai
empat minggu. Setelah proses pengeringan kadar air akan menjadi
sekitar 12 persen. Pengeringan kopi secara buatan memiliki banyak keuntungan. Keuntungan pengeringan buatan adalah dapat menghemat biaya dan juga tenaga kerja. Hal yang perlu diperhatikan adalah pengaturan suhunya. Pengeringan sebaiknya pada suhu rendah yaitu 55°C akan menghasilkan buah kopi yang berwarna merah dan tidak terlalu keras. Untuk buah kopi kering dengan kadar air rendah dikeringkan dengan suhu tidak terlalu tinggi sehingga tidak akan terjadi perubahan rasa. Peralatan pengeringan digunakan, yaitu mesin
pengering
mesin dari drum yang berputar dan
statik
dengan
yang
biasa
alat penggaruk mekanik,
mesin pengering vertikal
(Puslitkoka
Indonesia 2009). Metode pengolahan kopi secara basah memerlukan lebih banyak tahapan dibandingkan dengan metode pengolahan kering. Proses metode pengolahan basah meliputi: penerimaan; pulping; klasifikasi; fermentasi; pencucian; pengeringan; pengawetan dan penyimpanan. Hasil panen harus secepat mungkin dipindahkan ke tempat yang aman untuk menghindari pemanasan langsung yang dapat
menyebabkan
kerusakan seperti perubahan warna buah dan buah kopi
menjadi busuk. Hasil panen masuk ke dalam tangki penerima yang dilengkapi
35 dengan air untuk memindahkan buah kopi yang mengambang (buah kopi kering di pohon dan terkena penyakit antestatia atau stephanoderes)
dan
biasanya
diproses dengan pengolahan kering. Sedangkan buah kopi yang tidak mengambang dipindahkan menuju bagian pemecah atau pulper. Pulping bertujuan untuk memisahkan kopi dari kulit terluar dan mesocarp hasilnya adalah pulp. Prinsip kerjanya melepaskan exocarp dan mesocarp buah kopi dimana prosesnya dilakukan di dalam air mengalir. Proses ini menghasilkan kopi hijau kering dengan jenis yang berbeda-beda. Macam-macam alat pulper yang sering digunakan: Disc Pulper (cakram pemecah), Drum pulper, Raung Pulper, Roller pulper dan Vis pulper. Untuk di Indonesia yang sering digunakan adalah Vis Pulper dan Raung Pulper. Perbedaan pokok kedua alat ini adalah kalau Vis Pulper hanya berfungsi sebagai pengupas kulit saja, sehingga hasilnya harus difermentasi dan dicuci lagi, sedangkan Raung Pulper berfungsi sebagai pencuci sehingga kopi yang keluar dari mesin ini tidak perlu difermentasi dan dicuci lagi tetapi masuk ke tahap pengeringan (Puslitkoka Indonesia 2009). Proses
fermentasi
bertujuan
untuk
melepaskan
daging
buah
berlendir yang masih melekat pada kulit tanduk dan pada proses pencucian akan mudah
terlepas
(terpisah), sehingga
mempermudah
proses
pengeringan.
Hidrolisis pektin disebabkan, oleh pektihase yang terdapat di dalam buah atau reaksinya bisa dipercepat dengan bantuan jasad renik.
Proses fermentasi ini
terjadi dengan bantuan organisme Saccharomyces yang disebut dengan proses peragian dan pemeraman. Biji kopi yang ke luar dari mesin pulper dialirkan lewat saluran sebelum masuk bak fermentasi. Selama dalam pengaliran lewat saluran ini dapat dinamakan proses pencucian pendahuluan. Di dalam pencucian pendahuluan ini biji kopi yang berat (bernas) dapat dipisahkan dari sisa-sisa daging buah yang terbawa, lapisan lendir, biji-biji yang hampa karena bagian ini terapung di atas aliran air sehingga mudah dipisahkan (Puslitkoka Indonesia 2009). Proses fermentasinya pengolahan kopi secara basah terbagi tiga cara, yaitu: (1) pengolahan cara basah tanpa fermentasi, biji kopi yang setelah melalui pencucian pendahuluan dapat langsung dikeringkan dan (2) pengolahan cara
36 basah dengan fermentasi kering. Biji kopi setelah pencucian pendahuluan lalu digundukan dalam bentuk gunungan kecil (kerucut) yang ditutup karung goni. Di dalam gundukan itu segera terjadi proses fermentasi alami. Agar supaya proses
fermentasi
berlangsung
secara merata,
maka perlu dilakukan
pengadukan dan pengundukan kembali sampai proses fermentasi dianggap selesai yaitu bila lapisan lendir mudah terlepas dan (3) pengolahan cara basah dengan fermentasi basah. Setelah biji tersebut melewati proses pencucian pendahuluan segera ditimbun dan direndam
dalam bak fermentasi. Bak
fermentasi ini terbuat dari bak plester semen dengan alas miring. Di tengah dasar dibuat saluran dan ditutup dengan plat yang berlubang-lubang. Proses fermentasi di dalam bak-bak fermentasi tersebut dilakukan bertingkat-tingkat serta diselingi
oleh pergantian air
rendaman.
Pada
tingkat
pertama
perendaman dilakukan selama 10 jam. Selama proses fermentasi ini dengan bantuan kegiatan jasad renik, terjadi pemecahan komponen lapisan lendir tersebut maka akan terlepas dari permukaan kulit tanduk biji kopi. Proses fermentasi akan berlangsung selama lebih kurang dari satu setengah sampai empat setengah hari tergantung pada keadaan iklim dan daerahnya. Proses fermentasi yang terlalu lama akan menghasilkan kopi beras yang berbau apek disebabkan oleh terjadinya pemecahan komponen isi putih lembaga (Puslitkoka Indonesia 2009). Pencucian secara manual dilakukan pada biji kopi dari bak fermentasi dialirkan dengan air melalui saluran dalam bak pencucian yang segera diaduk dengan tangan atau diinjak-injak dengan kaki. Selama proses ini, air di dalam bak dibiarkan terus mengalir
ke luar
dengan
membawa
bagian-bagian
yang
terapung berupa sisa-sisa lapisan lendir yang terlepas. Pencucian biji dengan mesin pencuci dilakukan dengan memasukkan biji kopi tersebut ke dalam suatu mesin pengaduk yang berputar pada sumbu horizontal dan mendorong biji kopi dengan air mengalir. Pengaduk mekanik ini akan memisahkan lapisan lendir yang masih melekat pada biji dan lapisan lendir yang masih melekat pada biji dan lapisan lendir yang telah terpisah ini akan terbuang lewat aliran air yang seterusnya dibuang (Puslitkoka Indonesia 2009).
37 Pengeringan pendahuluan kopi pengolahan basah, kadar air berkurang dari 60 menjadi 53 persen. Sebagai alternatif kopi dapat dikeringkan dengan sinar matahari dua atau tiga hari dan sering diaduk. Kadar air yang diperoleh dapat mencapai 45 persen. Pengeringan kopi dilanjutkan pada sinar matahari hingga kadar air mencapai 11 persen yang pada akhirnya dapat menjaga stabilitas penyimpanan. Pengeringan biasanya dilakukan dengan menggunakan baki dengan penutupnya yang dapat digunakan sepanjang hari. Rata-rata pengeringan antara 10-15 hari. Pengeringan buatan (suhu tidak lebih dari 55°C) juga banyak digunakan sejak pengeringan kopi alami menjadi lebih sulit dilakukan pada perkebunan yang lebih luas (Puslitkoka Indonesia 2009). Proses selanjutnya baik kopi yang diproses secara kering maupun basah ialah
curing yang
bertujuan untuk menjaga penampilan sehingga baik
untuk diekspor maupun diolah kembali. Tahapan proses
curing ini meliputi:
(1) Pengeringan ulang. Kopi dari hasil pengolahan basah maupun kering harus dipastikan kadar airnya 11 persen.
Apabila
dilakukan
hal
pengeringan
ulang,
tidak
tercapai
harus
segera
ini sangat penting dalam proses
penyimpanan; (2) Pembersihan. Buah kopi parchment kering yang dikeringkan secara alami banyak mengandung kotoran seperti kerikil, potongan besi dan benda asing lainnya. Kotoran tersebut harus dihilangkan. Pembersihan dapat dilakukan
dengan
memindahkan
kotoran
mengeluarkan yang
kotoran dengan
berukuran
besar,
saringan
untuk
pemisah magnetik untuk
memindahkan potongan baja, pemindahan debu dengan bantuan hembusan angin; (3) Hulling. Di dalam mesin huller, maka biji kopi itu dihimpit dan diremas, dengan demikian kulit tanduk dan kulit arinya akan terlepas. Pecahan kulit tanduk dan kulit ari setelah ke luar dari mesin huller tertiup dan terpisah dari biji kopi beras yang akan berjatuhan ke bawah dan masuk ke dalam wadah dan (4) Penyimpanan. Buah kopi dapat disimpan dalam bentuk buah kopi kering atau buah kopi parchment kering yang membutuhkan kondisi penyimpanan yang sama. Di Indonesia kopi yang sudah diklasifikasi mutunya disimpan di dalam karung goni dan dijahit zigzag mulutnya dengan tali goni selanjutnya disimpan
di dalam gudang penyimpanan. Syarat gudang penyimpanan kopi,
yaitu: (1) gudang mempunyai ventilasi yang cukup, (2) suhu gudang optimum
38 20-25°C, (3) gudang harus bersih, bebas dari hama penyakit serta bau asing dan (4) karung ditumpuk di lantai yang dilapisi alas kayu setinggi 10 cm (Puslitkoka Indonesia 2009). Standar mutu kopi untuk pengolahan kering, meliputi: (1) kadar air maksimum 13 persen (bobot/bobot), (2) kadar kotoran berupa ranting, batu, gumpalan tanah dan benda-benda asing lainnya maksimum nol sampai lima persen (bobot/bobot), (3) bebas dari serangga hidup, (4) bebas dari biji yang berbau busuk, berbau kapang dan bulukan, (5) biji tidak lolos ayakan ukuran tiga milimeter kali tiga milimeter (delapan mesh) dengan maksimum lolos satu persen (bobot/bobot) dan (6) untuk bisa disebut biji ukuran beger, harus memenuhi persyaratan lolos ukuran (3,6 mesh) dengan maksimum lolos satu persen (bobot/bobot). Pengolahan basah, meliputi: (1) kadar air maksimum 12 persen (bobot/bobot), (2) kadar kotoran berupa ranting, batu, gumpalan tanah dan berupa kotoran lainnya maksimum setengah persen (bobot/bobot), (3) bebas dari serangga hidup, (4) bebas dari biji yang berbau busuk, berbau kapang dan bulukan dan (5) Untuk Robusta, dibedakan ukuran besar (L) dan kecil (S) (Puslitkoka Indonesia 2009). Karakteristik Individu Karakteristik individu adalah ciri-ciri atau sifat-sifat pribadi yang dimiliki seseorang yang diwujudkan dalam pola pikir, sikap dan tindakannya terhadap lingkungan. Karakteristik individu merupakan bagian dari pribadi dan melekat pada diri seseorang. Karakteristik ini mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi yang lainnya (Rogers & Shoemaker 1995). Menurut Mardikanto (1993), karakteristik individu ialah sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain: umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial dan agama. Lionberger (1960) mengemukakan bahwa karakteristik individu atau personal adalah semua faktor yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan, yaitu umur, pendidikan dan karakteristik psikologis. Karakteristik psikologis ialah rasionalitas, fleksibilitas mental, orientasi pada usahatani sebagai bisnis, dan kemudahan menerima inovasi. Karakteristik individu atau petani dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan formal, jumlah tanggungan
39 keluarga, luas lahan usahatani, pengalaman berusahatani, kekosmopolitan dan motivasi berkelompok. Padmowihardjo (2002) mengatakan bahwa umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Wiraatmadja (1990) mengemukakan bahwa umur petani akan mempengaruhi penerimaan petani terhadap inovasi. Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan harus terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman tindakannya berdasarkan usia yang dimiliki. Rakhmat (2001) mengatakan bahwa kelompok orangtua melahirkan pola tindakan yang pasti berbeda dengan anak-anak muda. Kemampuan mental tumbuh lebih cepat pada masa anak-anak sampai dengan pubertas, dan agak lambat sampai awal dua puluhan dan merosot perlahan-lahan sampai tahun-tahun terakhir. Umur juga berkorelasi dengan tingkat penerimaan suatu inovasi atau teknologi baru. Robbins (2007) mengatakan bahwa para pekerja yang sudah tua cenderung kurang luwes dan menolak teknologi baru. Selanjutnya dijelaskan bahwa umur juga berkolerasi dengan produktivitas. Produktivitas akan merosot dengan semakin bertambahnya usia seseorang. Keterampilan individu terutama menyangkut kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi menurun seiring berjalannya waktu, dan kurangnya rangsangan intelektual semua berkontribusi terhadap menurunnya produktivitas. Menurut Kusnadi (2006) bahwa umur memiliki hubungan yang nyata terhadap efektivitas kelompoktani. Mardikanto (1993) menyatakan bahwa pendidikan petani umumnya mempengaruhi cara dan pola pikir petani dalam mengelola usahatani. Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis. Menurut Soekartawi (1986), salah satu faktor yang dapat mengubah pola pikir dan daya nalar petani adalah pendidikan. Menurut Tjondronegoro (Sastraatmaja 1986), bahwa pendidikan nonformal merupakan perpaduan dari kegiatan
40 menggugah minat atau keinginan, menyebarkan pengetahuan, keterampilan dan kecakapan, sehingga diharapkan terjadinya perubahan perilaku (sikap, tindakan dan pengetahuan). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin efisien bekerja dan semakin banyak mengetahui cara-cara atau teknik berusahatani yang lebih baik dan menguntungkan. Menurut Kusnadi (2006), pendidikan formal memiliki hubungan yang nyata terhadap efektivitas kelompoktani. Jumlah tanggungan keluarga merupakan banyaknya orang yang menjadi tanggungan baik keluarga maupun bukan yang tinggal serumah dan menjadi tanggung jawabnya (Soekartawi 1986). Jumlah tanggungan keluarga berhubungan dengan kemampuan keluarga akan penyediaan tenaga kerja. Keluarga petani merupakan kesatuan unit produksi dan kesatuan unit konsumsi. Jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi suatu keluarga (Asdi 1996). Selain itu, menurut Istiyanti dan Hadidarwanto (1999), bahwa jumlah tanggungan keluarga berpengaruh nyata terhadap perilaku petani terutama terhadap pengambilan resiko dalam berusahatani. Lahan merupakan sarana produksi bagi usahatani, termasuk salah satu faktor produksi dan pabrik hasil pertanian. Lahan adalah sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan penting dalam berbagai segi kehidupan manusia khususnya petani (Mosher 1986). Lahan usahatani merupakan aset bagi petani dalam menghasilkan produksi dan sekaligus sumber kehidupan. Pada umumnya, petani dengan kepemilikan lahan usaha yang lebih luas, menempati posisi sosial lebih tinggi di lingkungan sosialnya (Mardikanto 1993). Tjakrawiralaksana (1996) menyebutkan bahwa lahan merupakan manifestasi atau pencerminan dari faktorfaktor alam yang berada di atas dan di dalam permukaan bumi dan berfungsi sebagai: (1) tempat diselenggarakan kegiatan pertanian, seperti bercocok tanam dan memelihara ternak atau ikan dan (2) tempat pemukiman keluarga tani. Hernanto (1993) mengklasifikasikan
luas lahan usahatani berdasarkan tiga
bagian, yaitu: (1) sempit, dengan luas kurang dari sama dengan setengah hektar, (2) sedang, dengan luas setengah sampai dua hektar dan (3) luas, jika lebih dari dua hektar. Faktor yang mempengaruhi petani dalam meningkatkan produktivitas usahatani adalah luas lahan usahatani yang dikerjakan. Luas lahan juga
41 mempengaruhi kecepatan petani dalam menerima suatu inovasi. Perbedaan status penguasaan lahan dapat menunjukkan perbedaan terhadap pengelolaan usahatani yang dilakukan. Status penguasaan pemilik cenderung mengelola usahatani dengan baik dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Sebaliknya, status penguasaan lahan penyewa mengelola lahan untuk usahatani dengan tidak memperhatikan kondisi lingkungan dan cenderung mengeksploitasi lahan secara besar-besaran (Salikin, 2003). Pambudy (2003) mengemukakan bahwa perilaku pertanian agribisnis sangat berhubungan dengan besaran luas lahan. Semakin luas usahanya maka semakin tinggi jiwa wirausahanya. Pemilikan lahan usahatani di Jawa umumnya sempit sehingga sempitnya pemilikan lahan setiap keluarga, mendorong pemiliknya untuk memanfaatkan seoptimal mungkin. Berdasar penelitian Purwoto (1993) bahwa faktor sosial-ekonomi yang berpengaruh terhadap sikap petani terhadap resiko produksi adalah sempitnya dan tersebarnya lahan garapan. Sempitnya lahan usahatani mendorong petani menganut prinsip dahulukan selamat, sedangkan tersebarnya lahan garapan menyulitkan petani melakukan pengontrolan secara baik. Implikasinya dalam usahatani mutlak ditumbuhkan sekaligus dikembangkan kegiatan berkelompok sehingga terbentuk unit hamparan lahan yang relatif lebih mudah dikelola sekaligus dikontrol secara baik. Padmowihardjo (2002) mengemukakan bahwa pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan akan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami keberhasilan dalam proses belajar, maka ia telah memiliki perasaan optimis akan keberhasilan di masa mendatang.
Sebaliknya,
seseorang
yang
pernah
memiliki
pengalaman
mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk dapat berhasil. Pengalaman seseorang bertambah sejalan dengan bertambahnya usia. Pengalaman dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang dalam bidang usahatani; serta pengalaman yang bersifat kualitatif. Konsekuensi masa depan ditentukan oleh pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang terhadap yang lain. Mosher (1986) juga menyatakan bahwa pengalaman berusahatani merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi dan aktivitas petani dalam usahataninya. Cita-cita petani berdasarkan
42 pengalaman yang baik, mengenai cara bercocoktanam yang baik dan menguntungkan akan mempengaruhi terlaksananya pembangunan pertanian Pengalaman seorang petani berpengaruh dalam mengelola usahatani yang dilakukan. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi proses pengambilan keputusan, sehingga petani yang memiliki pengalaman berusahatani lebih lama cenderung sangat efektif dalam proses pengambilan keputusan (Mardikanto, 1993). Menurut Kusnadi (2006), pengalaman berusahatani memiliki hubungan yang nyata terhadap efektivitas kelompoktani. Menurut Kusnadi (2006) masa keanggotaan memiliki hubungan yang nyata terhadap efektivitas kelompoktani. Setiap anggota kelompok memiliki masa keanggotaan yang dapat bersamaan dan juga dapat berbeda-beda. Lamanya seorang petani menjadi anggota kelompok tentunya akan berdampak kepada pengalaman yang dimiliki sebagai anggota kelompok. Pengalaman menjadi anggota kelompok diperkirakan akan memiliki pengaruh terhadap kemampuannya dalam menerapkan inovasi teknologi dalam berusahatani. Rogers dan Shoemoker (1995) berpendapat bahwa sikap kosmopolitan akan dapat mempertinggi kemampuan empati dan daya empati. Daya empati akan mempertinggi kemampuan komunikasi seseorang dalam mencari atau menerima ide-ide baru. Dengan demikian, kekosmopolitan dapat diartikan sebagai sifat-sifat keterbukaan petani terhadap dunia luar dan dapat dengan mudah menerima bentuk ide-ide baru dalam rangka pembaharuan. Menurut Kusnadi (2006) bahwa kekosmopolitan menunjukkan hubungan yang nyata terhadap efektivitas kelompoktani. Motivasi merupakan akibat dari adanya interaksi antara individu dengan situasi dan lingkungannya. Secara terminologis, motivasi dikembangkan dari istilah movere yang bermakna pindah atau bergerak. Dalam konteks perilaku, hal tersebut merupakan proses psikologis yang dapat meningkatkan dan mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan (Morgan et al. 1962). Danim (2004) mendefinisikan motivasi sebagai kekuatan, dorongan, kebutuhan, semangat, tekanan, atau mekanisme psikologi yang mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu sesuai yang dikehendakinya. Motivasi juga
43 diartikan sebagai proses yang berperan pada intensitas, arah dan lamanya berlangsung upaya individu ke arah pencapaian tujuan (Robbins 2007). Istilah motivasi paling tidak memuat tiga unsur esensial. Pertama, faktor pendorong atau pembangkit motif, baik internal maupun eksternal. Kedua, tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, strategi yang diperlukan oleh individu atau kelompok untuk mencapai tujuan tersebut (Danim 2004). Clayton Aldelfer mengemukakan teori ERG yang merupakan hasil kajian empiris tentang teori hirarki kebutuhan Maslow. Teori ERG mengelompokkan adanya tiga kebutuhan inti manusia, yaitu eksistensi, keterhubungan dan pertumbuhan, sehingga dikenal dengan teori ERG. Teori kebutuhan McClelland memfokuskan pada tiga kebutuhan, yaitu prestasi, kekuasaan dan kelompok pertemanan. Dewasa ini salah satu penjelasan yang paling banyak diterima secara luas mengenai motivasi adalah teori pengharapan (ekspektasi) dari Victor Vroom. Teori pengharapan beragumen bahwa kekuatan dari kecenderungan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu bergantung pada kekuatan pengharapan (Robbins 2007). Menurut Suwandari et al. (2005) bahwa peranan kelompoktani sangat strategis dalam pembangunan pertanian. Kenyataan di lapangan, para petani yang berkelompok menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berkelompok. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa usahatani secara berkelompok berperan cukup besar dalam mengembangkan skala usaha yang lebih ekonomis dan efisien dalam wahana gerakan massal bahwa dengan aktifnya petani dalam keanggotaan kelompoktani atau berkelompok meningkatkan motivasi untuk berproduksi lebih baik. Dengan berkelompok petani akan lebih dapat bertukar informasi dan dorongan untuk menguasai serta menerapkan teknologi pertanian. Menurut Kusnadi (2006),
bahwa motivasi berkelompok
memiliki hubungan yang nyata terhadap efektivitas kelompoktani.