5
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Fast Food Istilah fast food pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1950-an dan pelajar merupakan konsumen terbanyak yang memilih menu fast food. Fast food dipilih karena keterbatasan waktu maupun fasilitas untuk menyiapkan makanannya sendiri. Fast food merupakan makanan yang dapat diolah dan disajikan dalam waktu yang singkat dan mudah dalam hitungan beberapa menit. Menurut Bertram (1975) diacu dalam Hayati (2000) fast food merupakan istilah yang mengandung dua arti yang berbeda, namun keduanya sama-sama mengacu pada penghidangan dan konsumsi makanan secara cepat. Kedua arti tersebut adalah sebagai berikut : 1) Fast food dapat diartikan sebagai makanan yang dapat dihidangkan dan dikonsumsi dalam waktu seminimal mungkin; 2) fast food juga dapat diartikan sebagai makanan yang dapat dikonsumsi secara cepat. Secara umum produk fast food dapat dibedakan menjadi dua, yaitu produk fast food yang berasal dari Barat dan lokal. Fast food yang berasal dari Barat sering juga disebut fast food modern seperti Mc. Donald, Kentucky Fried Chicken (KFC), Pizza Hut dan sejenisnya. Makanan yang disajikan pada umumnya berupa hamburger, pizza, dan sejenisnya. Sedangkan fast food lokal sering juga disebut dengan istilah fast food tradisional seperti warung tegal, restoran padang, warung sunda (Hayati 2000). Fast food merupakan jenis makanan dengan kandungan kalori dan lemak tak jenuh ganda yang tinggi yang akan berdampak pada peningkatan berat badan yang tidak ideal sebagai pemicu terjadinya obesitas dan akan berdampak pada timbulnya ganguan sistem kardiovaskuler pada masa datang. Remaja merupakan kelompok yang rentan terhadap pola konsumsi makanan jenis fast food ini (Mustafa 2007). Jacobson dan Fritschner (1989) diacu dalam Suryono (2000) menyatakan bahwa fast food merupakan suatu fenomena makanan di pertengahan abad 20-an, yang terbentuk di era baru dimana para orang tua sibuk bekerja, rewel terhadap makanan, dan orang-orang yang membutuhkan kepraktisan serta tidak suka memasak. Menurut Khomsan (2002), fast food dikatakan negatif karena ketidak seimbangannya (dari segi porsi serta komposisi sayuran sehingga miskin akan vitamin dan mineral), tinggi garam dan rendah serat (merupakan faktor pemicu munculnya
penyakit
hipertensi),
serta
sumber
lemak
dan
kolesterol
(mengandalkan pangan hewani ternak sebagai menu utama. Ketidakseimbangan
6
zat gizi dalam tubuh dapat terjadi jika fast food dijadikan sebagai pola makan setiap hari. Kelebihan kalori, lemak, dan natrium akan terakumulasi dalam tubuh seseorang dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif (tekanan darah tinggi, ateroksklerosis, jantung koroner, dan diabetes mellitus, serta obesitas) (Novitasari 2005). Kecenderungan kalangan remaja (ABG) dan anak-anak mengkonsumsi fast food belakangan ini semakin meningkat seiring meningkatnya dan makin ramainya
outlet-outlet
yang
menyediakan
makanan
sejenis.
Terdapat
kecenderungan bahwa konsumsi fast food telah menjadi makanan utama tanpa divariasikan dengan makanan lain, sehingga dikhawatirkan kebiasaan ini mengganggu kesehatan (Suryono 2000).
Remaja Remaja atau dalam bahasa latin adolescere yang berarti tumbuh menuju kematangan adalah salah satu tahap kehidupan manusia yang merupakan tahap perkembangan antara masa anak-anak dan dewasa. Pada masa ini dicirikan dengan berbagai revolusi perubahan fisik, psikologi dan emosional dengan implikasi hubungan kehidupan sosial yang unik (Hayati, 2000). Masa remaja adalah masa pertumbuhan. Pertumbuhan terjadi baik secara fisik, yang ditandai dengan berkembangnya jaringan-jaringan dan organ tubuh yang membuatnya lebih berisi maupun secara kejiwaan, yaitu kelabilan emosi karena merupakan masa transisi dari jiwa kanak-kanak menuju dewasa (Garwati dan Wijayati 2010). Selanjutnya menurut Arisman (2002) mengatakan bahwa masa remaja merupakan jalan panjang yang menjembatani periode kehidupan anak dan dewasa, yang berawal pada usia 9-10 tahun dan berakhir di usia 18 tahun. Masa ini merupakan sebuah dunia yang lengang dan rentan dalam artian fisik, psikis, social, dan gizi. Pertumbuhan yang disertai dengan perubahan fisik, memicu berbagai kebingungan. Masa remaja adalah periode yang kritis dalam perjalanan kehidupan manusia, karena pada saat itulah individu mulai mengembangkan sikap mental dan identitas dirinya. Monks, Knoers dan hadianoto (1994) diacu dalam Siswanti (2007) menyatakan bahwa remaja sebenarnya tidak memiliki tempat yang jelas. Remaja tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi tidak juga termasuk golongan orang dewasa atau orang tua. Remaja berada diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik
7
maupun psikisnya. Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah menengah ataupun perguruan tinggi. Menurut Mar’at (2009) batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu usia 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan usia 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir. Tetapi, Monks, Knoers dan Haditono (2001) membedakan masa remaja atas empat bagian yaitu :(1). Masa pra-remaja atau pra-pubertas (usia 10-12 tahun). (2). Masa remaja awal atau pubertas (usia 12-15 tahun). (3). Masa remaja pertengahan (usia 15-18 tahun), dan (4). Masa remaja akhir (usia 18-21 tahun). Masa remaja merupakan saat dimana seseorang mulai berinteraksi dengan lebih banyak pengaruh lingkungan dan mengalami pembentukan perilaku. Perubahan gaya hidup pada remaja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebiasaan makan remaja. Remaja menjadi lebih aktif, lebih banyak makan di luar rumah, dan mendapat banyak pengaruh dalam pemilihan makanan yang akan dimakannya, selain itu remaja juga sering mencoba-coba makanan baru, salah satunya adalah fast food. Kebiasaan Makan Remaja Khumaidi (1989) menyatakan kebiasaan makan merupakan tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi, sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Menurut Suhardjo (1989),
kebiasaan
makan
adalah
cara
individu
memilih
pangan
dan
mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, sosial, dan budaya. Kebiasaan makan adalah faktor penting yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Kebiasaan makan yang tergesa-gesa, termasuk kurang mengunyah akan membawa efek yang kurang menguntungkan bagi pencernaan dan cepat merasa lapar kembali. Rasa lapar yang sering muncul akan berakibat pada konsumsi makanan yang tidak tepat pada waktunya dan bertambahnya intik makanan. Begitu pula jika frekuensi makan tidak teratur, jarak antara dua waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk makan lebih banyak dan melebihi kebutuhan (Wirakusumah 1994). Pada masyarakat kota modern, di mana hampir semua kelompok masyarakat menghabiskan waktunya dari pagi hingga petang di tempat kerja.
8
Khususnya remaja disibukkan pada jadwal pelajaran yang padat disekolah, ditambah lagi banyak diantara remaja yang mengambil les tambahan di luar jam sekolah. Pada hari libur remaja cenderung mengalokasikan waktu dengan menonton televisi atau jalan-jalan ke mall dan memilih mengkonsumsi fast food. Hal ini merupakan fenomena yang berkembang pada remaja saat ini khususnya yang tinggal di perkotaan. Oleh sebab itu kebiasaan makan disebut suatu gejala sosial budaya yang dapat memberikan dari nilai-nilai yang dianut oleh seseorang atau sekelompok masyarakat (Suhardjo, 1989). Kebiasaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti lingkungan
budaya
(cultural
environment),
lingkungan
alam
(natural
environment), serta populasi. Remaja biasanya telah mempunyai pilihan sendiri terhadap makanan yang disenangi. Pada masa remaja, kebiasaan makan telah terbentuk (Nasution & Khomsan, 1995). Remaja laki-laki cenderung menyukai makanan yang mengenyangkan sedangkan remaja perempuan cenderung menyukai makanan yang ringan atau tidak mengenyangkan (Novitasari, 2005). Kebiasaan makan keluarga menjadi contoh bagi generasi dalam keluarga tersebut. Kebiasaan keluarga makan berlebihan, frekuensi makan yang sering, kebiasaan makan snack, dan makan di luar waktu makan akan ditiru oleh anak. Hardinsyah et al (2002) menyatakan kebiasaan makan keluarga dan susunan hidangannya merupakan salah satu manifestasi kebudayaan keluarga yang disebut life style (gaya hidup). Gaya hidup merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor sosial, budaya dan lingkungan hidup. Gaya hidup kota yang serba praktis memungkinkan masyarakat modern sulit untuk menghindar dari fast food. Fast food memiliki beberapa kelebihan antara lain penyajian yang cepat sehingga tidak menghabiskan waktu lama dan dapat dihidangkan kapan dan dimana saja, higienis dan dianggap sebagai makanan
bergengsi
dan
makanan
gaul
(Kristianti,
2009).
Kebiasaan
mengkonsumsi pangan yang nutrisinya kurang seperti fast food dapat mengganggu status gizi, karena dapat menyebabkan terjadinya obesitas, risiko terkena hipertensi dan penyakit degeneratif lainnya. Hal ini karena fast food umumnya tinggi kalori, lemak, dan garam tapi miskin zat gizi lainnya (Deni, 2009).
9
Pengetahuan Gizi Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoadmojo 1993). Pengetahuan gizi seseorang dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal. Pendidikan formal ialah melalui kurikulum yang diterapkan di sekolah, dicirikan dengan adanya tingkatan kronologis yang ketat untuk tingkat usia sasaran. Sementara pendidikan informal tidak terorganisasi secara structural
dan
tidak
mengenal
tingkatan
kronologis,
keterampilan,
dan
pengetahuan, tetapi terselenggara setiap saat di lingkungan sekitar manusia (Hayati, 2000). Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan formal, informal dan nonformal. Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek tertentu (Sukandar 2009). Menurut
Sanjur
yang
diacu
dalam
Sukandar
(2009),
pengaruh
pengetahuan gizi terhadap konsumsi makanan tidak selalu linier, artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi, belum tentu konsumsi makanan menjadi baik. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan dan minum sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang di konsumsi atau dimakan seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Berdasarkan defenisi ini hal yang harus diperhatikan dalam perhitungan konsumsi adalah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (Hardinsyah & Dodik 1994).
10
Ada beberapa cara untuk mengumpulkan data konsumsi pangan. Secara umum ada dua cara pengumpulan data konsumsi pangan yaitu : metode penimbangan langsung (weighing method, dan food inventory method), metode penimbangan tidak langsung, seperti mengingat (food recall 24 hour), metode pengeluaran pangan (food expenditure method), metode pendaftaran pangan (food list method), metode fekuensi pangan atau cara lainnya (Hardinsyah & Dodik 1994). Food Recall 24 jam merupakan salah satu metode pengumpulan data konsumsi yang sering digunakan. Metode food recall 24 jam merupakan metode mengingat kembali, dan mencatat jumlah serta jenis pangan dan minuman yang telah dikonsumsi selama 24 jam. Proses mengingat ini dipandu oleh pewawancara terlatih yang idealnya adalah seorang ahli gizi, atau orang lain yang mengerti tentang pangan dan gizi. Cara ini cukup baik diterapkan dalam survei terhadap kelompok masyarakat. Kelebihan cara ini yaitu mudah dilakukan dan responden tidak dituntut harus melek huruf, karena yang menyiapkan model makanan dan mencatat adalah pewawancara (Arisman 2002). Konsumsi pangan diperlukan untuk mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh akan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya. Kelebihan konsumsi pangan yang tidak diimbangi dengan pengeluaran energi yang mencukupi dapat menyebabkan timbulnya gizi lebih. Kelebihan konsumsi pangan dalam hal ini energi yang berlebihan dalam waktu yang berkesinambungan akan menyebabkan berat badan meningkat, timbunan lemak
meningkat
dan
obesitas.
Oleh
karena
itu
setiap
orang
harus
mengkonsumsi sejumlah makanan yang sesuai dengan kecukupan berdasarkan usia, ukuran tubuh, serta aktivitasnya (Hardinsyah & Martianto 1989). Kebutuhan dan Kecukupan Gizi Remaja Hardinsyah & Martianto (1996) membedakan pengertian istilah kebutuhan gizi dan kecukupan gizi. Kebutuhan Gizi (Nutrient Requirements) adalah banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan oleh seseorang agar hidup sehat. Sedangkan kecukupan gizi (Recommended Dietary Allowances) adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang agar hampir semua orang hidup sehat. Karyadi dan Muhilal (1992) menyatakan bahwa kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya, bila kurang maupun lebih dari kecukupan yang diperlukan, terutama apabila dialami dalam jangka waktu yang lama akan
11
berdampak
buruk
bagi kesehatan. Adanya interaksi berbagai zat gizi
memberikan gambaran perlunya diupayakan suatu keseimbangan zat-zat gizi yang dikonsumsi, maka semakin tercapai keseimbangan dalam interkasi antara zat gizi. Kebutuhan manusia akan energi dan zat gizi lainnyanya sangat bervariasi meskipun faktor-faktor seperti ukuran badan, jenis kelamin, macam kegiatan, dan faktor lainnya sudah diperhitungkan. Jumlah zat gizi yang dibutuhkan dapat tergantung
pada
kualitas
makanan
karena
efisiensi
penyerapan
dan
pendayagunaan zat gizi oleh tubuh dipengaruhi oleh komposisi dan keadaan makanan secara keseluruhan (Suhardjo & Kusharto 1992). Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), kebutuhan gizi antar individu yang berat badannya relatif sama dan berasal dari kelompok umur yang sama dan bervariasi. Namun variasi kebutuhan energi lebih kecil dibanding variasi kebutuhan protein dan zat gizi lainnya pada kelompok umur yang sama. Oleh karena itu Hamilton dan Whitney (1982) serta Komisi Ahli FAO/WHO/UNU (1985) menetapkan bahwa angka kecukupan energi seseorang pada kelompok umur tertentu sama dengan lebih tinggi dari rata-rata kebutuhan energi (x) kelompok tersebut. Umumnya energi yang ditambahkan untuk mencapai tingkat aman sebesar 1-5 persen kebutuhan. Ini berbeda dengan tambahan yang diberikan pada kecukupan protein dan zat gizi lain sebesar dua standar deviasi atau sekitar 20-30 persen dari rata-rata kebutuhan. Ini karena energi dapat disimpan di dalam tubuh dalam bentuk lemak yang dapat diubah kembali menjadi energi. Kekurangan energi dalam jangka pendek dapat ditutup oleh kelebihan konsumsi energi pada hari lain. Kebutuhan energi orang yang sehat dapat diartikan sebagai tingkat asupan energi yang dapat dimetabolisasi dari makanan yang akan menyeimbangkan keluaran energi, ditambah dengan kebutuhan tambahan untuk pertumbuhan, kehamilan dan penyusuan yaitu energi makanan yang diperlukan untuk memelihara keadaan yang lebih baik (Arisman, 2002). Menurut Krause’s (2004), kebutuhan energi anak dan remaja
usia 2-20 tahun yaitu 50%-60% asupan
karbohidrat, 25%-35% asupan lemak, dan 10-15% asupan protein. Menurut Almatsier (2002), penentuan kebutuhan gizi seseorang dalam keadaan sehat dilakukan berdasarkan umur, gender, aktifitas fisik, serta kondisi khusus (ibu hamil dan menyusui). Kebutuhan energi ditentukan oleh komponen utama yaitu Angka Metabolisme Basal (AMB) atau Basal Metabolisme Rate
12
(BMR) dan aktifitas fisik. AMB dipengaruhi oleh umur, gender, berat badan, dan tinggi badan. Berikut rumus perhitungan AMB menurut Harris Benedict (1919) diacu dalam Almatsier (2002). AMB
= 655 + (9,6 x BB) + (1,8 X TB) – (4,7 x U) (wanita) = 66,5 + (13,7x BB) + ( 5,0X TB) – ( 6,8x U)
(pria)
Keterangan : AMB = Angka Metabolisme Basal (kkal) BB = Berat badan (kg) TB = Tinggi badan (cm) U = Umur (tahun) Perhitungan kecukupan gizi seseorang dapat mengacu pada Daftar Kecukupan Gizi, yaitu daftar yang memuat angka-angka kecukupan zat gizi ratarata per orang per hari bagi orang sehat Indonesia. Angka Kecukupan Gizi tersebut sudah memperhitungkan variasi kebutuhan rata-rata ditambah jumlah tertentu untuk mencapai tingkat aman (Hardinsyah & Briawan 1994). Berikut adalah tabel kecukupan energi dan protein yang dianjurkan per orang per hari disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kecukupan energi dan protein yang dianjurkan per orang per hari (Widya Pangan dan Gizi 2004) Umur 13-15 16-18
Berat Badan 48 55
Tinggi Badan 155 160
Laki-laki Energi Protein 2400 60 2600 65
Berat Badan 49 50
Tinggi Badan 152 155
Perempuan Energi Protein 2350 57 2200 55
Status Gizi Remaja Gibson (2005) menyatakan status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilitas zat gizi makanan. Selanjutnya menurut Almatsier (2001) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Menurut Supariasa et al. (2001) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penilaian gizi yang dilakukan secara langsung meliputi antropometri, biokimia, klinis dan biofisik. Penilaian yang dilakukan secara tidak langsung seperti survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Setiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Cara pengukuran status gizi secara
13
langsung
yang
paling
sering
dilakukan
dengan
menggunakan
metode
antropometri. Antropometri sangat umum digunakan untuk menukur status gizi anak dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa et al. 2001). Penilaian status gizi secara langsung dapat
dilakukan dengan
menggunakan empat metode, salah satu metode tersebut adalah antropometri. Penilaian status gizi secara antropometri memiliki beberapa keunggulan seperti prosedurnya sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar, relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, alatnya murah, mudah dibawa, hasilnya akurat dan tepat, dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau, dan umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan gizi buruk, karena sudah ada ambang batas yang jelas. Metode antropometri juga dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Serta metode antropometri juga dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi (Supariasa 2001). Overweight dan Obesitas Pada Remaja Kejadian berlebihnya berat badan pada remaja dapat dikategorikan menjadi dua golongan yaitu gemuk (overweight) dan obesitas (obesity). Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Overweight adalah kondisi berat badan melebihi berat badan normal (Rimbawan & Siagian 2004). Dijelaskan lebih lanjut bahwa persamaan keduanya terletak pada adanya penumpukan lemak yang berlebihan di dalam tubuh, yang ditandai dengan peningkatan nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) di atas normal. Khomsan (2004) menyatakan obesitas merupakan refleksi ketidakseimbangan konsumsi dan pengeluaran energi. Untuk menentukan seseorang memiliki status gizi lebih dapat dilakukan dengan pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan suatu pengukuran yang menghubungkan (membandingkan) berat badan dengan tinggi badan. IMT merupakan rumus matematika dimana berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter) pangkat dua (Steward dan Mann 2007). Pengukuran status gizi yang berlaku pada remaja yaitu menurut umur (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan IMT/U berdasarkan Z score dapat disajikan pada Tabel 2.
14
Tabel 2 Kategori status gizi pada remaja menurut WHO 2007 Variabel > +2 SD +1 SD < Z score ≤ +2 SD -2 SD ≤ Z score ≤ +1 SD
Kategori Obese Overweight Normal
Tipe kegemukan menurut Wirakusumah (1994) dibagi menjadi dua tipe yaitu Tipe Android (Tipe Buah Apel) dan Tipe Ginoid (Tipe Buah Pear). Tipe android ditandai dengan penumpukan lemak yang berlenihan di bagian tubuh sebelah atas yaitu disekitar dada, pundak, leher, dan muka. Pada Tipe Ginoid lemak tertimbun di bagian tubuh sebelah bawah yaitu disekitar perut, pinggul, paha, pantat, dan umumnya ditemui pada wanita. Menurut Hirsch dan Knittle dalam Wirakusumah (1994) tipe kegemukan berdasarkan kondisi sel dibagi menjadi beberapa tipe yaitu tipe hiperplastik, tipe hipertropik, dan tipe hiperplastik-hipertropik. Tipe hiperplastik merupakan tipe kegemukan dengan jumlah sel lebih banyak dibandingkan dengan kondisi normal. Kegemukan ini terjadi pada masa anak-anak dan sulit terjadinya penuunan berat badan. Tipe hipertropik merupakan kegemukan dengan jumlah sel yang normal, namun ukuran sel-sel tersebut besar yaitu lebih besar dari ukuran
sel
normal.
Sedangkan
tipe
hiperplastik-hipertropik
merupakan
kegemukan dengan jumlah dan ukuran selnya melebihi normal, biasanya dimulai sejak masa anak-anak hingga dewasa. Muchtadi (1996) menyatakan bahwa gizi lebih disebabkan karena konsumsi pangan (zat-zat gizi) yang melebihi kebutuhan normal tubuh manusia. Salah satu bentuk gizi lebih berupa obesitas, yang seringkali diikuti dengan timbulnya penyakit kronis seperti ateroklorosis, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, kanker dan sebagainya. Novitasari (2005) menyatakan pola makan yang tinggi kalori dan lemak, seperti yang banyak terkandung dalam berbagai jenis fast food menyebabkan terjadinya penimbunan energi dalam bentuk lemak. Hal ini akan diperberat dengan kurangnya aktivitas. Jika hal tersebut dibiarkan terus menerus dan telah menjadi kebiasaan yang terpola, maka akan terakumulasi dalam tubuh. Lebih lanjut berbagai gangguan kesehatan yang, seperti penyakit degeneratif akan menyerang, serta timbulnya berbagai gangguan psikologik (bentuk tubuh yang tidak sesuai yang diharapkan).
15
Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2002). Salah satu faktor penyebab obesitas adalah kurangnya kegiatan fisik, yang memberikan kesempatan naiknya berat badan. Kegiatan fisik akan lebih efektif dapat mempertahankan berat badan normal atau menurunkan berat badan yang berlebihan jika diikuti dengan pembatasan masukan energi (Soemardjan 1986). Wirakusumah (1994) menyatakan bahwa gaya hidup yang kurang menggunakan aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap kondisi seseorang. Aktivitas fisik diperlukan pemasukan energi berlebih untuk membakar energi dalam tubuh. Bila pemasukan energi berlebihan dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang seimbang akan memudahkan seseorang untuk menjadi gemuk. Satato (1994) menyatakan bahwa kemakmuran dan kemudahan hidup menimbulkan gaya hidup yang sedentaris, yang sangat menurunkan kerja atau aktivitas fisik dan memberikan kesempatan yang luas untuk makan banyak. Kemajuan teknologi di perkotaan merupakan faktor pemicu gaya hidup sedentary yang berkontribusi pada meningkatnya kegemukan. Tersedianya fasilitas yang menggunakan teknologi tinggi (lift, escalator) mempersempit peluang untuk melakukan gerak fisik yang optimal. Akibatnya, energi yang masuk dari makanan tidak digunakan secara optimal, sehingga akan menyebabkan timbunan lemak dalam tubuh yang menimbulkan kegemukan (Muchtadi 1996).