TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pariwisata Wisata merupakan kata dasar dari pariwisata, dimana menurut UndangUndang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menajadi sasaran wisata. Sedangkan kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. The Tourism Society United
Kingdom dalam Subadra (2007) menyebutkan pariwisata
ditunjukkan dengan adanya perjalanan yang singkat dan sementara dari orangorang menuju daerah tujuan wisata di luar tempat kebiasaan mereka hidup dan bekerja dan diluar kegiatan mereka selama tinggal sementara di daerah tujuan wisata. Pariwisata sebagai suatu kegiatan melibatkan banyak orang di dalam masyarakat yang masing-masing melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu dan semua kegiatan dalam masyarakat yang berkaitan satu dengan yang lain dan merupakan perkaitan sosial (Soekadijo, 2000). Menurut Wall (1995) pariwisata adalah perpindahan temporer dari orang-orang dari tempat mereka bekerja dan menetap, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan selama mereka berada di tempat tujuan dan kemudahan yang diberikan dalam melayani kebutuhan mereka. Menurut Wibowo (2001), pariwisata dalam bentuk paling sederhana terdiri dari tiga komponen, yaitu asal (tempat tinggal wisatawan), perjalanan (sarana menuju tempat tujuan dan kembali ke tempat asal), dan tujuan (tempat-tempat yang dikunjungi wisatawan). Kegiatan pariwisata sangat erat kaitannya dengan keinginan manusia untuk berekreasi. Rekreasi adalah mengerjakan sesuatu perbuatan atau aktifitas yang menyegarkan tubuh, membangun minat, dan menciptakan kembali kesegaran pikiran dan perasaan (Wibowo, 2001). Secara umum dapat disimpulkan bahwa
10
wisata merupakan suatu kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok ke suatu tempat tujuan wisata dalam jangka waktu yang singkat untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Sumberdaya Pariwisata Menurut Jayadinata (1986), sumberdaya adalah setiap hasil, benda atau sifat/keadaan yang dapat dihargai bilamana poduksi, proses dan penggunaannya dapat dipahami. Sumberdaya dapat dibagi menjadi sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya manusia (human resources) dan teknologi. Sumberdaya alam terbagi atas (1) sumberdaya alam abstrak, yaitu hal-hal tidak tampak tetapi dapat diukur, seperti lokasi (keadaan tempat yang dapat dihubungkan dengan jarak dan biaya), tapak atau posisi; (2) sumberdaya alam nyata, berupa bentuk daratan, air, iklim tubuh tanah, vegetasi, hewan yang berguna bagi kehidupan sehari-hari, dan mineral. Sedangkan sumberdaya manusia terdiri atas (1) keadaan penduduk yaitu jumlah, kerapatan, pendidikan, penyebaran, susunan atau struktur; (2) proses penduduk: kelahiran, kematian, migrasi; dan (3) lingkungan sosial penduduk berupa kebudayaan dan kebiasaan penduduk setempat. Sumberdaya teknologi merupakan kemampuan manusia untuk merubah sumberdaya alam yang ada sehingga bermanfaat bagi kehidupannnya dan perubahan tersebut berdampak pada daerah sekitarnya. Soekadijo
(2000)
mengemukakan
sumberdaya
pariwisata
(tourism
resources) atau sering disebut juga modal atau potensi pariwisata merupakan sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata di suatu daerah atau tempat tertentu. Sumberdaya pariwisata yang menarik kedatangan wisatawan ada tiga yaitu: (1) Sumberdaya alam, yaitu alam fisik, flora dan fauna. (2) Sumberdaya kebudayaan, yang diartikan secara luas bukan kebudayaan yang tinggi saja, tetapi juga meliputi adat istiadat dan segala kebiasaan hidup ditengah-tengah masyarakat. (3) Sumberdaya manusia, yaitu manusia dapat menjadi atraksi wisata dan menarik kedatangan wisatawan.
11
Seluruh sumberdaya baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan mempunyai peranan penting dalam proses perencanaan dan pengembangan pariwisata dan rekreasi pada suatu daerah, sehingga dukungan dan ketersediaan dari setiap sumberdaya tersebut sangat menentukan bisa tercapainya pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Robinson (1976) mengemukakan bahwa komponen geografi yang bernilai bagi pariwisata dapat berupa (1) lokasi dan aksesibilitas, (2) ruang, (3) pemandangan alam berupa gunung, danau, air terjun, air panas dan laut, tumbuhan seperti hutan, padang rumput, (4) iklim berupa sinar matahari, awan, suhu, curah hujan, (5) kehidupan binatang seperti kebun binatang, cagar alam atau binatang hasil penangkaran untuk keperluan berburu dan memancing, (6) kenampakan pemukiman seperti kota, desa, peninggalan sejarah, monumen dan peninggalan arkeologi, dan (7) kebudayaan berupa cara hidup, tradisi, cerita rakyat, seni dan kerajinan tangan. Selain tersebut diatas hal lain yang sangat penting untuk pengembangan pariwisata adalah kelengkapan akomodasi dan fasilitas hiburan lainnya. Dikaitkan dengan keberadaan sumberdaya untuk pariwisata suatu daerah, maka penilaian terhadap sumberdaya fisik tidak hanya menyangkut inventarisasi berbagai aspek fisik seperti fasilitas publik, infrastruktur industri atau sumberdaya alam. Tetapi juga menyangkut analisis mengenai karakteristik dari sumberdaya tersebut dan kemampuannya untuk dapat menopang strategi dan keunggulan daerah (Kertajaya dan Yuswohadi, 2005). Sistem Informasi Geografis untuk Pariwisata Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai peran penting dalam berbagai aspek pembangunan dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis, berbagai macam informasi dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisa dan dikaitkan dengan letaknya di muka bumi. Barus dan Wiradisastra (2000) mendefenisikan SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau koordinat geografi. Aronof (1989) dalam Dulbahri (2003) menyebutkan bahwa SIG adalah sistem informasi yang berdasarkan pada kerja dasar komputer yang mampu memasukan, mengelola (memberi dan mengambil
12
kembali), memanipulasi dan menganalisis data dan memberi uraian. Dengan kata lain, SIG merupakan suatu sistem basis data yang mempunyai kemampuan khusus dalam pengolahan data yang bereferensi spasial dengan menggunakan perangkat operasi kerja (software dan hardware). Komponen utama SIG terbagi empat kelompok yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai. Porsi masing-masing komponen tersebut berbeda dari satu sistem ke sistem lainnya, tergantung dari tujuan dibuatnya SIG tersebut (Barus dan Wiradisastra, 2000). Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk memperkuat informasi geografis dalam rangka menginformasikan analisis dan pengembangan. SIG telah digunakan untuk menentukan area konservasi dan rekreasi serta menentukan lokasi terbaik untuk pengembangan, yang belakangan telah ditentukan dengan ilmu rancang-bangun, ilmu keindahan dan batasan lingkungan. Williams et al. (1996) menggunakan SIG untuk merekam dan meneliti informasi inventarisasi sumberdaya pariwisata di Columbia Britania, Canada. Windoatmoko (2006) menggunakan SIG untuk menentukan obyek wisata potensial di Semarang. Gunn (1994) telah menyajikan salah satu dari sedikit acuan kepada penggunaan SIG dalam perencanaan pariwisata di Selatan Carolina, Amerika Serikat. Dalam hal ini SIG telah digunakan untuk audit, analisis dan sistem informasi yang berkenaan dengan sumberdaya pariwisata budaya dan alami di wilayah tersebut. Penggunaan suatu peta sederhana dengan proses tumpang tindih (overlay) bisa diidentifikasi zona dengan potensi yang terbesar untuk pengembangan pariwisata. Secara umum SIG untuk pariwisata memproduksi tiga jenis informasi yang berbeda yaitu: peta sumberdaya pariwisata, peta untuk pariwisata, dan peta kemampuan untuk pariwisata. Butler (1993) dalam Bahaire dan Elliott (1999) menyatakan bahwa sistem informasi geografis mempunyai potensi-potensi dalam pemecahan masalah pariwisata yaitu: 1. SIG dapat menginventarisasi secara sistematis sumberdaya pariwisata dan menganalisis tren pariwisata. 2. SIG dapat digunakan untuk memonitor perkembangan aktivitas pariwisata. Dengan pengintegrasian pariwisata, sosial budaya, lingkungan dan data
13
ekonomi, SIG dapat memfasilitasi pengidentifikasian dan pengawasan dari pembangunan berkelanjutan. 3. SIG dapat digunakan untuk mengidentifikasi layak atau tidak layaknya suatu wilayah untuk dijadikan tempat pariwisata dan juga dapat mengidentifikasi zona pariwisata. 4. SIG dapat digunakan untuk simulasi dan model hasil mengenai perencanaan pengembangan ruang pariwisata 5. SIG memungkinkan pengintegrasian datasets, pengembangan ekonomi-sosial dan lingkungan di dalam pengaturan keruangan. 6. SIG juga berfungsi sebagai suatu sistem untuk membantu pengambilan keputusan di dalam perencanaan. Hal ini memungkinkan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk meneliti sumberdaya dimulai dari (1) mengidentifikasi berapa dan dimana sumberdaya pariwisata tersedia, untuk membantu perencana menentukan kemampuan dari suatu area untuk pengembangan produk dan layanan pariwisata baru; (2) mengevaluasi pilihan pengguna, untuk mengidentifikasi zona dari konflik; dan (3) memonitor resiko pemanfatan sumberdaya pariwisata dari kelemahan manajemen, keputusan perencana dan sektor lain. Analisa Spasial Menurut Rustiadi et al. (2006) pengertian analisa spasial dipahami secara berbeda antara ilmuan berlatar belakang geografi dengan ilmuwan berlatar belakang sosial (termasuk ekonomi).
Perbedaan keduanya bersumber dari
perbedaan dalam dua hal, pertama perbedaan pengertian kata spasial atau ruang itu sendiri dan kedua fokus kajiannya.
Dari pandangan geografi, pengertian
spasial adalah pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni segala hal yang menyangkut lokasi atau tempat.
Definisi suatu ”tempat” atau lokasi secara
geografis sangat jelas, tegas, dan lebih terukur karena setiap lokasi diatas permukaan bumi dalam ilmu geografi dapat diukur secara kuantitatif. Fokus kajian para ahli geografi dalam analisa spasial tertuju pada cara mendeskripsikan fakta, dengan kata lain lebih memfokuskan pada aspek ”apa” dan ”bagaimana” yang terjadi di atas permukaan bumi dan bahkan ”dimana”.
14
Domain kajian ilmu geografi lebih banyak menekankan pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial, oleh karenanya ilustrasi-ilustrasi spasial dengan ”peta” yang memiliki akurasi informasi spasial didalamnya sangat penting.
Analisis
mengenai
pola-pola
spasial
(pemusatan,
penyebaran,
kompelsitas spasial, dll) kecenderungan spasial, bentuk-bentuk dan struktur interaksi spasial secara deskriptif menjadi kajian-kajian yang banyak mendapat perhatian dari ahli geografi. Semuanya dikaji tanpa harus mendalami permasalahan sosial ekonomi yang ada didalamnya. Rustiadi et al. (2006) menyatakan bahwa anasisis spasial berkembang seiring dengan perkembangan geografi kuantitatif dan ilmu wilayah (regional science) pada awal 1960an.
Perkembangannya diawali dengan digunakannya
prosedur-prosedur dan teknik-teknik kuantitatif (terutama statistik) untuk menganalisa pola-pola sebaran titik, garis, dan area pada peta atau data yang disertai koordinat ruang dua atau tiga dimensi.
Pada perkembangannya,
penekanan dilakukan pada indigenous features dari ruang geografis pada prosesproses pilihan spasial (spasial choices) dan implikasinya secara spatio-temporal. Kriteria Penilaian Potensi Obyek Wisata Boyd et al. (1994) membuat kriteria-kriteria yang bertujuan untuk menilai kealamian suatu wilayah, penskoran terhadap kriteria dan menentukan selang nilai dari kriteria tersebut untuk menentukan daerah ekowisata di Nothern Ontario. Penilaian dilakukan dengan melihat karakteristik dan kenampakan dari wilayah penilaian seperti keberadaan pemukiman penduduk, aktifitas kehutanan, persentase penutupan hutan, aksesibilitas terhadap hutan, kehidupan satwa liar, ketinggian wilayah, dan persentase luas perairan. Penentuan daerah ekowisata ini mempergunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam melakukan proses penilaian dan pengidentifikasian daerah ekowisata. Kriteria-kriteria penilaian ekowisata yang dipergunakan terlihat pada Tabel 3 yang merincikan pembagian dari masing-masing kriteria..
15
Tabel 3 Kriteria-kriteria penilaian ekowisata Skor Skor 5 3 2 1 Skor 5 3 2 1 Skor 5 4 3 2 1
Skor 5 3 2 1 Skor 5 3 1 Skor 5 3 1 Skor 5 3 1
Atribut Selang Nilai Karakteristik-karakteristik Utama Pemukiman Tipe pemukiman Jumlah penduduk Tidak ada pemukiman 0 Pedesaan 1 – 1 000 Kota kecil 1 001 – 10 000 Kota besar > 10 000 Penggunaan Sumberdaya Hutan Tipe penggunaan sumberdaya Penggunaan hutan (%) Tidak ada kegiatan kehutanan 100 % Kegiatan kehutanan I < 20 % Kegiatan kehutanan II > 20 % Kegiatan kehutanan III > 20 % selama 10-20 tahun Penutupan Hutan Tipe Vegetasi Persentase luas Hutan campuran (tipe 1) > 50 % kayu Hutan campuran (tipe 2) > 50 % kayu (> 10% cemara) Hutan kayu > 80 % cemara Hutan kayu yang jarang > 80 % pohon yang rontok daun Pemotongan dan pembakaran hutan Tidak ada pohon kayu Aksesibilitas Tipe Selang Nilai Daerah akses I Tidak ada jalan dalam kawasan Daerah akses II Kawasan < 2 Km dari jalan Daerah akses III Kawasan < 5 Km dari jalan Daerah akses IV Kawasan < 10 Km dari jalan Kehidupan Satwa Liar Tipe Selang Nilai Kehidupan Satwa Liar tipe I Kelas area 1-2 Kehidupan Satwa Liar tipe II Kelas area 3-5 Kehidupan Satwa Liar tipe III Kelas area 6-7 Relief Karakteristik Ukuran Relief tinggi > 25 meter Relief sedang 10-25 meter Relief rendah < 10 meter Perairan Karakteristik Persentase luas Perairan 5-20 % Perairan 20-50 % Perairan 0-5 % or < 50 %
Sumber : Boyd et al. (1994)
16
Beberapa kriteria penilaian potensi obyek wisata lainnya dikembangkan oleh Coppock et al. (1971). Penelitiannya bertujuan untuk mengidentifikasi bentangan lahan, air dan pemandangan alam yang dapat dimanfaatkan untuk rekreasi di luar rumah. Bentangan lahan tersebut diperuntukan bagi kegiatan (1) berkemah, karavan dan piknik yaitu semua kawasan pedesaan dengan jarak 400 meter dari jalan utama, (2) berkuda, didaerah ketinggian 300 meter dengan dibuat jalur-jalur jalan dan pengekang kuda, (3) jalan-jalan, ketinggian 450 meter dengan dibuat jalur untuk jalan kaki, (4) panjang tebing, semua tebing dengan ketinggian minimal 30 meter, dan (5) ski, daerah ketinggian minimal 25 meter, berelief dan musim saljunya lebih dari tiga bulan. Bentangan air untuk (1) kegiatan memancing, pada sungai dan kanal yang tidak ada polusi, dengan lebar minimal delapan meter, danau/genangan air dengan luas minimal lima hektar, (2) aktifitas air lainnya, air tidak terpolasi, panjang minimal satu kilometer, lebat 200 meter atau luas 20 hektar, (3) informasi rekreasi yang berorientasi ke air, airnya tidak terpolusi dengan jarak minimal 400 meter dari jalan utama, (4) aktifitas sepanjang pantai, pantainya bersih, berpasir, dan badan pantai berjarak minimal 400 meter dengan jalan. Pamandangan alam dapat dinikmati di daerah dataran rendah dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut (dpl). Plato lebih dari 1.500 meter dpl, bukit 500 sampai 1.500 meter dpl, pegunungan lebih dari 2.000 meter dpl. Skala perencanaan untuk wisata menurut Nelson et al. (1993) dapat dibedakan atas tiga skala yaitu (1) skala situs (site scale), (2) skala daerah tujuan wisata (destination scale), dan (3) skala region (regional scale). Skala situs berhubungan dengan pengalokasian ruang daerah-daerah tujuan wisata sesuai dengan tujuan obyek wisata seperti tempat parkir, taman, ruang peristirahatan, hotel, restoran, obyek wisata utama dan pelengkap. Skala destinasi melihat keterkaitan antara beberapa obyek wisata di suatu darah tujuan wisata yang saling melengkapi dan menunjang dalam dalam memberikan variasi wisata, sedangkan skala regional melihat keterpaduan kawasan wisata dalam lingkup yang lebih luas misalnya satu propinsi. Metode yang sering diterapkan dalam perencaan wilayah yaitu mengidentifikasi, menyeleksi, mengevaluasi wilayah dan mengukur potensi wisata. Elemen pengembangan pariwisata terdiri atas atraksi, transportasi,
17
akomodasi, fasilitas pendukung dan infrastruktur. Pemetaan dan overlay peta menjadi alat yang penting untuk menghasilkan potensi-potensi tersebut sehingga layak untuk dikembangkan. Gunn (1979) mengadakan kajian mengenai struktur geografis dengan pendekatan kartografi untuk mengidentifikasi kawasan wisata yang potensial untuk automobile touring. Diawali dengan mengidentifikasi variabel fisik yang terdiri dari (1) air dan margasatwa, (2) topografi, tanah dan geologi, (3) penutupan vegetasi, hama, (4) iklim, atmosfer, (5) keindahan, (6) atraksi, industri, institusi, (7) sejarah, etnik, arkeologi, legenda, adat istiadat, (8) pusat pelayanan, dan (9) transpotasi dan akses. Pembobotan dilakukan untuk merefleksikan pentingnya setiap kenampakan, sehingga jumlah total skornya 100. Setiap skor dibagi menjadi lima kelompok skala yaitu sangat lemah, lemah, sedang, kuat dan sangat kuat. Akumulasi dari skor tersebut dapat diidentifikasi daerah yang potensial kuat, baik, sedang, cukup lemah dan lemah. Analisis dilakukan dengan overlay sembilan tema peta yang memuat variabel diatas, dan hasilnya berupa peta potensi wisata. Indeks skala untuk wisata automobile touring yang dipergunakan terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Indeks skala untuk wisata automobile touring No
Faktor
Skor
1. 2.
Air dan margasatwa Topografi, tanah dan geologi Penutupan vegetasi, hama Iklim, atmosfer Keindahan Atraksi, industri, institusi Sejarah, etnik, arkeologi, legenda, adat istiadat Pusat pelayanan Transportasi dan akses
8
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sumber : Gunn, 1979.
Skala Sangat Lemah Sedang Lemah 0 1-2 3-4
5-6
Sangat Kuat 7-8
Kuat
10
0-1
2-3
4-6
7-8
9-10
7 3 13 10
0 0 0-1 0-1
1-2 1 2-4 2-3
3-4 1 5-7 4-6
5-6 2 8-10 7-8
7 3 11-13 9-10
9
0-1
2-3
4-5
6-7
8-9
15 25 100
0-2 0-4
3-5 5-9
6-9 10-15
10-12 16-20
13-15 21-25
Healey et al. (1988) melakukan proses buffer untuk menganalisa layak atau tidaknya suatu area adalah untuk pengembangan di Taman Nasional Scotlandia. Keberadaan batasan di dalam pemandangan digunakan untuk membatasi yang area itu tak serasi, atau kurang pantas, untuk pengembangan tertentu. Buffering
18
dilakukan untuk mengidentifikasi area dan penggunaan daratan untuk hunian dan rekreasi pendidikan formal dan fasilitas wisatawan yang berdekatan dengan danau sehingga tidak terjadi gangguan akibat kebisingan dari suara perahu motor. Untuk itu telah ditentukan jarak hunian dari danau dengan menggunakan buffer 250m 500m dari danau. Karena jarak 250 m – 500 m merupakan batas toleransi kebisingan yang ditimbulkan oleh perahu motor. Satuan Kawasan Wisata Gunn (1979) mengidentifikasikan sejumlah prinsip perencanaan pariwisata untuk dijadikan acuan proyek pembangunan pariwisata, salah satunya yaitu pengelompokkan. Pengelompokkan fasilitas dan daya tarik pada satu kawasan akan membuat wisatawan lebih nyaman. Pengelompokkan juga terbukti lebih efisien dalam provisi infrastruktur dan biaya per-unit fasilitas pengelolaan lebih rendah pada fasilitas yang di kelompokkan. Satuan Kawasan Wisata (SKW) dikenal sebagai salah satu istilah pengelompokan obyek-obyek wisata dalam satu rencana pengembangan daerah yang bertujuan untuk kemudahan pembangunan serta pengelolaannya. Satuansatuan kawasan wisata tersebut merupakan kawasan yang memiliki pusat-pusat kegiatan wisatawan dan mempunyai keterkaitan sirkuit atau jalur wisata. Pada suatu daerah administrasi dibagi menjadi beberapa satuan kawasan wisata. Pembagian ini tidak baku untuk seluruh daerah namun pada hakekatnya SKW merupakan pengelompokan obyek-obyek wisata dalam satu kesatuan kawasan tujuan wisata berdasarkan kedekatan, kemiripan daya tarik dan kemudahan aksesibilitasnya
(Raksadjaya,
2002).
Salah
satu
daerah
yang
telah
mengelompokkan beberapa obyek wisata menjadi satu kawasan wisata yaitu Kabupaten Garut. Penyatuan satuan kawasan wisata di Kabupaten Garut ini berdasarkan batasan wilayah administrasi yang ada. Peran Pariwisata dalam Pengembangan Wilayah Pariwisata mempunyai peranan yang cukup penting dalam proses pengembangan suatu wilayah, salah satunya pengembangan wilayah di Provinsi Jawa Barat. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi
19
Jawa Barat menerangkan bahwa pengembangan kepariwisataan Jawa Barat tidak terlepas dari munculnya berbagai isu strategis pembangunan. Ketimpangan pembangunan
poros
utara-tengah-selatan,
penyediaan
lapangan
kerja,
pengurangan kemiskinan, optimalisasi kinerja pemerintah daerah, lemahnya sinergitas antar unit kerja, pelibatan masyarakat, maupun pengembangan sumber daya manusia merupakan beberapa isu khusus yang juga berpengaruh terhadap perkembangan kepariwisataan Provinsi Jawa Barat (Bapeda Prop. Jawa Barat, 2005) Kebijakan, strategi, serta program pembangunan mengisyaratkan bahwa pengembangan dan pembangunan sektor pariwisata memegang peranan penting dalam pengembangan wilayah. Melalui pengembangan kawasan-kawasan andalan yang terdapat di Provinsi Jawa Barat, secara internal pengembangan sektor kepariwisataan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dan secara eksternal diharapkan mampu menjadi sektor utama yang memberikan dampak menyebar pada wilayah sekitarnya demi menciptakan pemerataan wilayah. RIPPDA tingkat provinsi seyogyanya memfokuskan pada perencanaan satu atau beberapa daerah tujuan wisata yang memang menjadi, atau akan menjadi, unggulan provinsi. Daerah tujuan wisata tersebut kemudian menjadi kawasan wisata unggulan provinsi. Pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi diharapkan nantinya akan berdampak ganda terhadap pengembangan kawasankawasan wisata lainnya maupun sektor-sektor lain di daerah-daerah lain. Pariwisata menjadi alat dalam pengembangan wilayah, sebagai penggerak kegiatan perekonomian wilayah, dan memberikan kontribusi terhadap pemecahan permasalahan kewilayahan, termasuk ketimpangan perkembangan wilayah. Kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk pengembangan pariwisata di Provinsi Jawasa Barat adalah: 1. RIPPDA Provinsi Jawa Barat memfokuskan pada pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi dan kawasan wisata unggulan kabupaten/kota untuk memperkuat daya saing pariwisata Jawa Barat 2. Pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi didasarkan pada daya tarik wisata unggulan yang membentuk suatu tema atau konsep yang berbeda antar
20
kawasan, dalam kerangka saling melengkapi dan memperkuat daya tarik yang ditawarkan, dengan tidak memandang batas administratif daerah. 3. Pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi dan penyediaan sarana prasarana penunjang pariwisata diprioritaskan di daerah yang relatif belum berkembang, dalam hal ini adalah Jawa Barat bagian selatan, dalam kerangka mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. 4. Pusat pengembangan pariwisata di setiap kawasan wisata unggulan provinsi berfungsi sebagai pusat kegiatan wisata kawasan dan penyedia fasilitas, serta sebagai pusat penyebaran pengembangan kegiatan wisata ke wilayah lain yang masih termasuk dalam satu kawasan wisata. Subandra (2007) menyebutkan bahwa pembangunan kepariwisataan memberikan dampak terhadap pengembangan wilayah Desa Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar. Desa Serangan sebagai salah satu obyek pariwisata di Bali tak luput dari perhatian banyak pihak terutama yang berniat untuk mengembangkan pariwisata dengan melihat potensi yang dimiliki desa Serangan. Jika dilihat secara fisik, sebelum adanya proyek pengembangan pulau Serangan, luas keseluruhan pulau serangan adalah seluas awalnya adalah 112 hektar Sejak adanya proyek pengembangan pulau Serangan oleh PT. Bali Turtle Island Development (BTID) maka ada perubahan yang sangat jelas yang terjadi pada bentuk pulau Serangan tersebut Hal ini disebabkan adanya penambahan luas daratan melalui reklamasi sebanyak 379 hektar sehingga luas seluruhnya setelah direklamasi menjadi 491 hektar. Proyek yang dibangun dengan mega proyek dan investasi yang menelan biaya ratusan milyard tersebut telah merubah wajah pulau kecil tersebut dengan cara mereklamasi pantai di sebelah timur, selatan, barat daya, dan sebagian di utara pulau Serangan Sebelum adanya proyek tersebut, Pulau Serangan dengan jelas masih terpisah dari pulau Bali. Sedangkan sejak adanya pengembangan, maka pulau Serangan telah betul-betul terhubung menjadi satu dengan pulau Bali. Maka secara fisik tidak hanya pulau Serangan yang mengalami perubahan, akan tetapi juga pulau Bali itu sendiri. Dampak positif dari pengembangan ini terlihat bahwa masyarakat desa setempat menjadi lebih mudah dalam melakukan kegiatan
21
kepariwisataan atau kegiatan ekonomi lainnya melalui transportasi darat dimana waktu tempuh menuju daratan pulau Bali akan lebih cepat dan lebih mudah. Disamping dari sisi transportasi, dampak fisik dari pengembangan pulau Serangan adalah juga memberikan peluang kepada penduduk untuk memperluas areal pemukiman, prasarana pariwisata, areal lahan pariwisata pembangunan sarana keagamaan, dan mendukung pelestarian benda cagar budaya. Oleh karena pantai disekitar pulau Serangan adalah pantai yang pasang surut, maka pengurukan atau reklamasi pantai serangan yang dilakukan secara besar-besaran memberikan manfaat positif terhadap perluasan tempat tinggal. Serangan selanjutnya menempati wilayah reklamasi di Banjar Dukuh dan Banjar Kawan. Demikian juga pada pembangunan prasarana pemerintahan khususnya tempat pembangunan Kantor Kepala Desa di Banjar Tengah, dengan pembangunan tersebut menyebabkan lahan pembangunan kantor Kepala Desa tersebut menjadi sangat layak dan lebih baik dari sebelumnya. Dilihat dari kepentingan pariwisata, sejak diadakannya reklamasi secara fisik di pulau Serangan telah memberikan peluang yang lebih luas dan nyaman untuk kegiatan pariwisata seperti untuk memancing, menyaksikan pelestarian penyu serta kegiatan wisata lainnya.