5
TINJAUAN PUSTAKA Wisata dan Pariwisata Menurut UU No. 10 Tahun 2009, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, dan Pemerintah Daerah. Wisata merupakan pergerakan sementara dari manusia dengan jarak lebih dari 50-100 mil dari tempat tinggal atau pekerjaan rutinnya menuju suatu tempat tertentu, dimana aktivitas tersebut dilakukan pada saat mereka berada di tempat yang dituju dan ada fasilitas yang disediakan untuk mengakomodasi keinginan mereka (Gunn, 1994). Wisata tidak sekedar mengadakan perjalanan, tetapi juga berinteraksi dengan lingkungan dengan menggunakan sumberdaya yang ada (Holden, 2000). Bruun (1995) mengkategorikan wisata menjadi 3 jenis yaitu 1. ecotourism, green tourism, atau alternative tourism, merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan industri kepariwisataan dan perlindungan terhadap wisata alam atau lingkungan, 2. wisata budaya, merupakan kegiatan pariwisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan, 3. wisata alam, aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.
Pariwisata Berkelanjutan Menurut Damanik dan Weber (2006), pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan sumberdaya pariwisata yang bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi pemangku kepentingan dan nilai kepuasan optimal bagi wisatawan dalam jangka panjang dengan mempertimbangkan daya dukung fisik dan budaya setempat. Perkembangan pariwisata berkelanjutan berkembang sejak tahun 1990, dimana wisatawan peduli dan merespon lingkungan. Pariwisata berkelanjutan dapat terwujud apabila adanya dukungan baik dari pemerintah, National Government Organization, pihak swasta, maupun akademik. Hal ini tidak hanya berhubungan dengan preservasi ataupun konservasi lingkungan fisik,
6
tetapi juga budaya, ekonomi, dan dimensi politik. Menurut Holden (2000), prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan, yaitu 1. lingkungan memiliki nilai instrinsik sebagai aset wisata, 2. wisata sebagai faktor positif yang memberikan keuntungan kepada komunitas lokal, pengelola, dan wisatawan, 3. hubungan antara wisata dan lingkungan harus dikelola sehingga tercapai lingkungan yang berkelanjutan dalam jangka panjang, 4. aktivitas wisata dan pembangunan harus merespon skala, alam, dan karakter tapak, 5. keharmonisan antara kebutuhan pengunjung, tempat, dan masyarakat setempat, dan 6. dalam industri wisata, kebijakan lokal dan lembaga lingkungan bekerja sama dalam mewujudkan wisata berkelanjutan.
Kawasan Wisata Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), kawasan wisata
merupakan
suatu areal atau jalur pergerakan wisata yang memiliki obyek dan daya tarik wisata tentunya dapat dikunjungi, disaksikan, dan dinikmati wisatawan. Kawasan ini memiliki lanskap alam yang indah, budaya yang dipadukan dengan perubahan kondisi sosial dan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Holden (2000) menyatakan bahwa kawasan wisata berkaitan erat dengan karakteristik lanskap setempat, yaitu keindahan, kondisi lingkungan yang sehat dan bersih, iklim yang sesuai, memberi kenyamanan dan ketenangan, estetis, dan lingkungan sekitarnya mencirikan karakter yang kuat terhadap kawasan. Kawasan wisata alam (KWA) merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan, dengan mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistem. Kriteria untuk penunjukkan dan penetapan sebagai KWA ini (Tim Penyusun, 1976), yaitu: (1) mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa, atau ekosistem gejala alam serta formasi geologi yang menarik, (2) mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian fungsi potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam, dan (3) kondisi lingkungan di
7
sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Prinsip-prinsip dalam pengembangan KWA, yaitu; (1) karakter kepariwisataan, (2) pemerintah sebagai fasilitator sekaligus regulator, (3) swasta sebagai operator, dan (4) masyarakat sebagai subyek pembangunan.
Sumberdaya untuk Kegiatan Wisata Sumberdaya untuk kegiatan wisata adalah tempat tujuan bagi orang yang melakukan wisata, yang merupakan suatu kesatuan ruang tertentu dan dapat menarik keinginan untuk berwisata. Menurut Gold (1980), ketersediaan sumberdaya untuk aktivitas wisata dapat dilihat dari jumlah dan kualitas dari sumberdaya yang tersedia serta dapat digunakan pada waktu tertentu. Untuk mengetahui sumberdaya yang tersedia dapat dilakukan identifikasi dan inventarisasi, kemudian dianalisis potensi dan kendalanya. Klasifikasi sumberdaya menurut tujuannya dibagi tiga, yaitu tujuan komersil untuk kepuasan pengunjung dan direncanakan bagi kenyamanan pengunjung, untuk pelestarian sumberdaya, dan tujuan pertengahan untuk memenuhi kebutuhan pengunjung yang seimbang dengan pengelolaan sumberdaya (Knudson, 1980). Suatu kawasan wisata memiliki dua macam sumberdaya utama yang dapat dijadikan potensi dari suatu kawasan wisata (Widada, 2008), yaitu 1. sumberdaya non-hayati, yaitu air dimana sangat berperan penting bagi kehidupan baik di dalam kawasan maupun kehidupan masyarakat di sekitar kawasan, dan 2. sumberdaya hayati, yaitu flora dan fauna yang terdapat di kawasan. Masalah mengenai penyebaran tanaman eksotis yang sangat tinggi dan keberadaan satwa endemik diperlukan pengendalian agar keberadaannya tetap terjamin. Menurut Simonds (1983), sebagai sebuah sumberdaya, badan air memiliki potensi penggunaan rekreasi baik di wilayah perairannya sendiri maupun di sepanjang tepiannya. Badan air memiliki nilai keindahan, dimana pemandangan dan suara air membangkitkan perasaan yang menyenangkan. Hasil studi mengenai kegiatan rekreasi di ruang terbuka menunjukkan bahwa elemen air merupakan daya tarik yang paling besar bagi pengunjung. Salah satu tempat rekreasi dengan elemen air adalah danau atau waduk dan sekitarnya. Waduk merupakan suatu
8
bentuk kolam buatan akibat adanya pembendungan aliran air sehingga memungkinkan terkumpulnya massa air dalam volume tertentu. Tujuan dari pembendungan ini didasarkan pada kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh masyarakat sekitarnya. Ada yang bertujuan untuk penyimpanan dan penyediaan air untuk umum sebagai alasan utama, pencegahan terhadap banjir, pengairan untuk pertanian, pemanfaatan rekreasi, dan dapat juga untuk kombinasi dari tujuan-tujuan di atas (Turner, 1986).
Konservasi Sumberdaya untuk Kegiatan Wisata Menurut Marsono (2004), konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana
untuk
menjamin
kesinambungan
persediaannya
dengan
tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Aspekaspek konservasi meliputi: (1) kawasan penyangga kehidupan yang perlu dilindungi agar terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam, dan (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, seperti pemanfaatan untuk kepentingan pariwisata alam, ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan budaya, dan (4) biaya pelestarian suaka adalah sangat tinggi. Tindakan konservasi memastikan sumberdaya alam hayati tersedia untuk dimanfaatkan baik oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang. Terdapat dua pendekatan dasar untuk mengkonservasi menurut Melchias (2001), yaitu 1. konservasi insitu, menjaga dan melestarikan tumbuhan dan hewan dalam habitat aslinya, dan 2. konservasi ex-situ, menjaga dan melestarikan tumbuhan dan hewan di luar habitat asli, seperti di kebun raya dan kebun binatang.
Daya Dukung untuk Kegiatan Wisata Daya dukung rekreasi merupakan kemampuan suatu area rekreasi secara alami, fisik, dan sosial dapat mendukung penggunaan aktivitas rekreasi dan dapat
9
memberikan kualitas pengalaman rekreasi yang diinginkan (Gold, 1980). Daya dukung optimal suatu aktivitas rekreasi merupakan jumlah aktivitas rekreasi yang dapat ditampung oleh suatu area selama jangka waktu tertentu serta dapat memberikan perlindungan terhadap sumberdaya dan kepuasan terhadap pengunjung. Soemarwoto (1991) menjelaskan daya dukung lingkungan rekreasi dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu tujuan wisatawan dan faktor biofisik kawasan rekreasi. Daya dukung lingkungan berkaitan dengan faktor psikologis tujuan rekreasi begitu pula dengan faktor lingkungan biofisik yang mempengaruhi kuat atau rapuhnya suatu ekosistem. Sedangkan, menurut Knudson (1980), daya dukung merupakan penggunaan secara lestari dan produktif dari suatu sumberdaya yang dapat diperbarui (renewable resources). Pendekatan yang dapat dilakukan dalam menduga daya dukung, menurut Tivy (1972) pendekatan yang dilakukan terhadap: (1) faktor pembatas dan evaluasi dampak (limiting factors and the evaluation impacts), (2) keawetan dan kerusakan areal (site deterioration and durability), dan (3) kepuasan pemakai (user satisfaction). Pendekatan (1) dan (2) merupakan pendekatan yang berorientasi terhadap potensi tapak atau ekosentris, sedangkan pendekatan (3) berorientasi terhadap manusia yang menggunakan tapak atau antroposentris. Menurut Bengen (2002), daya dukung adalah tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan. Daya dukung ekologis adalah tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasikan oleh suatu kawasan atau zona sebelum terjadi penurunan kualitas lingkungan ekologis. Daya dukung fisik adalah jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diadopsi oleh suatu kawasan atau zona tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik. Daya dukung sosial adalah tingkat kenyamanan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya penggunaan lain dalam waktu bersamaan. Sedangkan daya dukung ekonomi adalah tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan.
10
Dampak Kegiatan Wisata Dampak adalah tingkat perusakan terhadap tata guna tanah lainnya yang ditimbulkan oleh suatu pemanfaatan lingkungan tertentu (Schreiber & Kias, 1988).
Pembangunan
kepariwisataan
memiliki
dampak-dampak
terhadap
lingkungan. Kondisi lingkungan merupakan atraksi utama bagi wisatawan. Maka, semakin luas wilayah yang digunakan, semakin banyak pula dampak yang ditimbulkan. Marpaung (2002) menyatakan bahwa jumlah wisayawan yang melebihi daya dukung akan menyebabkan lingkungan mengalami penurunan kegunaan, yaitu menurunnya nilai pada hutan lindung, nilai pada daerah wisata, serta nilai sejarah dan budaya. Menurut Marpaung (2002), dampak-dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan pariwisata, yaitu 1.
dampak ekonomi,
dampak ini memberikan pendapatan bagi daerah
setempat. Kepariwisataan dapat mengubah struktur perekonomian daerah tersebut. Perubahan besar terjadi ketika pariwisata berkembang akan menambah lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal, 2.
dampak sosial dan budaya, dampak ini dapat dilihat dari perubahan kondisi moral masyarakat setempat, timbulnya kriminalitas, dan perubahan sosial budaya, dan
3.
dampak lingkungan, dampak ini dapat dilihat dari terjadinya masalah pencemaran tanah, pencemaran air, dan pencemaran udara.
Perkembangan pariwisata juga dapat menyebabkan terdegradasinya tradisitradisi budaya lokal dan terjadinya eksploitasi masyarakat lokal tanpa mendapat manfaat ekonomi yang signifikan. Kesadaran akan dampak negatif dari perkembangan wisata tersebut membangkitkan kesadaran berbagai pihak (LSM, PT, dan pemerintah) akan sangat pentingnya membangun kawasan wisata yang berwawasan lingkungan (Widada, 2008).
11
Lanskap Lanskap adalah bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu yang beberapa unsurnya dapat digolongkan menjadi unsur utama atau unsur mayor dan unsur penunjang atau unsur minor. Unsur mayor adalah unsur yang relatif sulit untuk diubah, sedangkan unsur minor adalah unsur yang realtif mudah untuk diubah. Lanskap atau wajah bumi apabila dipandang dari setiap tempat ternyata mempunyai karakter-karakter lanskap tertentu yang terbentuk secara alami. Karakter ini terbentuk karena adanya kesan harmoni dan kesatuan dari elemen yang ada di alam, seperti bentukan lahan, formasi batuan, vegetasi, dan fauna. Karakter lanskap yang unik pada suatu kawasan wisata alam dapat menjadi unsur pendukung dalam pengembangan kawasan wisata alam (Simonds, 1983). Keragaman lanskap dapat dibentuk oleh perbedaan dua komunitas. Daerah ekoton adalah suatu zona peralihan atau pertemuan antara dua komunitas yang berbeda dan menunjukkan sifat yang khas. Daerah transisi antara komunitas rumput dan hutan atau daerah peralihan antara dua komunitas besar seperti komunitas akuatik dan komunitas terestrial merupakan contoh ekoton. Jadi, ekoton merupakan pagar komunitas (batas komunitas) yang biasanya berubah secara perlahan-lahan. Komunitas dapat berubah secara tiba-tiba sebagai akibat lingkungan yang tiba-tiba terputus atau karena interaksi tanaman, terutama kompetisi. Komunitas ekoton umumnya mempunyai banyak organisme dari dua komunitas yang saling bertautan dengan memperlihatkan ciri-ciri yang khas dan batas yang jelas antara ekoton dan tetangganya. Maka, ekoton memiliki spesies yang lebih banyak dan kepadatan populasi yang lebih besar daripada komunitas disampingnya. Kecenderungan meningkatnya variasi dan kepadatan pada komunitas peralihan dikenal sebagai efek pinggir tepi (edge effect). Organisme yang paling banyak atau paling lama dalam zone peralihan disebut jenis pinggir (edge species). Daerah ekoton ini perlu dipertahankan dan dilestarikan keberadaannya karena sedikit gangguan pada daerah ini dapat mematikan beberapa jenis biota di dalamnya.
12
Perencanaan Penataan Lanskap Perencanaan
adalah
mengumpulkan
dan
menginterpretasikan
data,
memproyeksikannya ke masa depan, mengidentifikasi masalah dan memberi pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut (Knudson,1980). Gold (1980) menyatakan bahwa proses perencanaan terdiri atas tahap persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis, dan perencanaan. Sebagai suatu alat yang sistematis, yang digunakan untuk menentukan saat awal suatu keadaan dan cara terbaik untuk pencapaian keadaan tersebut, perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain: 1.
pendekatan sumberdaya, yaitu penentuan tipe-tipe serta alternatif aktivitas rekreasi dan wisata berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya,
2.
pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe dan alternatif aktivitas berdasarkan seleksi terhadap aktivitas pada masa lalu untuk memberikan kemungkinan yang dapat disediakan pada masa yang akan datang,
3. pendekatan ekonomi, yaitu penentuan tipe, jumlah dan lokasi kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi, dan 4. pendekatan perilaku, yaitu penentuan kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan perilaku manusia. Perencanaan Penataan Lanskap Kawasan Wisata Menurut Booth dan Hiss (2004), lanskap yang mengelilingi suatu kawasan merupakan lingkungan yang paling penting. Lanskap ini menyediakan berbagai kebutuhan, estetika, dan kegunaan fungsi psikologi bagi yang pengunjung, pengelola, dan orang-orang yang melintasinya. Tim Penyusun (1980) menjelaskan bahwa kawasan wisata dicirikan dengan adanya bangunan hotel, restoran, convention hall, arena rekreasi keluarga, arena bermain anak-anak, kolam renang, maupun fasilitas lainnya yang bersifat perkerasan. Merencanakan penataan lanskap untuk kawasan wisata adalah upaya untuk menata dan mengembangkan suatu areal dan jalur pergerakan pendukung kegiatan wisata sehingga kerusakan lingkungan akibat pembangunannya dapat
13
diminimumkan, tetapi pada saat yang bersamaan kepuasan wisatawan dapat terwujudkan. Hal ini terutama untuk menjaga keindahan alami dan keunikan yang dimiliki oleh lanskap atau bentang alam tersebut serta melindungi kelestarian ekosistemnya, terutama apabila direncanakan pada areal dengan ekosistem yang peka, langka atau unik (Nurisjah & Pramukanto, 2009). Perencanaan lanskap kawasan wisata, terutama wisata alam adalah merencanakan suatu bentuk penyesuaian program rekreasi dengan suatu lanskap untuk menjaga kelestariannya. Program wisata alam dibuat untuk menciptakan lingkungan fisik luar atau bentang alam yang dapat mendukung tindakan dan aktivitas
rekreasi
manusia
yang
menunjang
keinginan,
kepuasan
dan
kenyamanannya, dimana proses perencanaan dimulai dari pemahaman sifat dan karakter serta kebijakan manusianya dalam menggunakan tapak untuk kawasan wisata (Knudson, 1980). Adapun pendekatan perencanaan kawasan wisata di sekitar penggunaan area river-basin adalah dengan menghindari dan mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan air seperti rapid runoff, erosi, pengendapan air, banjir, kekeringan, dan pencemaran, serta memastikan bahwa kemungkinan-kemungkinan pengembangan area preservasi, konservasi, restorasi, dan lainnya dapat dilakukan. Seluruh area daratan yang berorientasi air harus direncanakan dalam suatu cara untuk mendapatkan keuntungan maksimum dari keistimewaan air dengan tetap mempertahankan integritas atau keutuhannya (Simonds, 1983).
Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis merupakan suatu perangkat alat untuk mengumpulkan,
menyimpan,
menggali
kembali,
mentransformasi,
dan
menyajikan data spasial dari aspek-aspek permukaam bumi (Burrough 1986, diacu dalam Barus & Wiradisastra, 2008). Sedangkan Prasetyo (2003) mendefinisikan sistem informasi geografis (SIG) sebagai suatu sistem yang mencapture,
mengecek
mengintegrasikan,
memanipulasi,
menganalisa
dan
menampilkan data yang secara spasial (keruangan) mereferensikan kepada kondisi bumi. SIG merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis
14
komputer dengan tiga karakteristik dasar, yaitu: (1) mempunyai fenomena aktual (variabel data non lokasi) yang berhubungan dengan topik permasalahan di lokasi bersangkutan, (2) merupakan suatu kejadian di suatu lokasi dan (3) mempunyai dimensi waktu. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisis statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang dimiliki oleh pemetaan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya yang membuatnya menjadi berguna untuk berbagai kalangan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan strategi dan memprediksi apa yang akan terjadi. Komponen utama sistem informasi geografis dibagi ke dalam 4 komponen utama, yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen), dan pemakai. Komponen perangkat keras berfungsi sebagai pemasukan data, sedangkan komponen perangkat lunak berfungsi sebagai penyimpanan dan penggalian data, analisis data, dan pembuatan produk SIG. Komponen organisasi pengelola dan pemakai saling berkaitan. Susunan keahlian dan kemampuan pengelola SIG menentukan berjalannya fungsi SIG dengan baik (Barus & Wiradisastra, 2008).
Penggunaan SIG sebagai Alat dalam Perencanaan Kemampuan SIG dalam memanipulasi data spasial dan mengaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis juga dapat menganalisis secara spasial dan kompleks. Dalam SIG tidak hanya data yang berbeda dapat diintegrasikan, prosedur yang berbeda pun dapat dipadukan (Barus & Wiradisastra, 2008). Prosedur penanganan data seperti pengumpulan data, verifikasi data, dan pembaharuan data dapat diintegrasikan seperti pemisahan operasi menjadi berbagai tahap. Misalnya dalam kasus registrasi lahan maka dapat langsung melakukan pemantauan perubahan penggunaan lahan, yang dalam hal ini keduanya dilakukan secara bersamaan dalam SIG. Dalam hal ini SIG dipakai untuk mengecek keakuratan perubahan zona mana yang terkena dampak dan pada saat yang bersamaan memperbaiki peta dan data tabel yang relevan. Melalui cara ini lebih mudah mendapatkan lebih
15
banyak informasi terbaru dan memanipulasinya sesuai spesifikasi yang dibutuhkan. Terdapat dua keistimewaan analisis SIG menurut Rahmat (2003) yaitu: 1. analisis proximity suatu geografi yang berbasis pada jarak antar layer. Analisa proximity SIG menggunakan proses buffering yaitu membangun lapisan pendukung sekitar layer dalam jarak tertentu untuk menentukan dekatnya hubungan antara sifat bagian yang ada, dan 2. analisis overlay, yaitu proses integrasi data dari lapisan-lapisan layer yang berbeda yang disebut dengan . Secara analisis dibutuhkan lebih dari satu layer yang akan ditumpang susun secara fisik agar bisa dianalisis secara visual. Dengan demikian SIG diharapkan mampu memberikan kemudahankemudahan yang diinginkan yaitu: (1) penanganan data geospasial menjadi lebih baik dalam format baku, (2) revisi dan pemutakhiran data menjadi lebih mudah, (3) data geospasial informasi menjadi lebih mudah dicari, dianalisis dan direpresentasikan, (4) menjadi produk yang mempunyai nilai tambah, (5) kemampuan menukar data geospasial, (6) penghematan waktu dan biaya dan (7) keputusan yang diambil menjadi lebih baik. Pada penelitian ini perangkat lunak SIG yang digunakan adalah ArcView 3.2 dimana perangkat lunak ini biasa digunakan untuk menganalis data spasial maupun non spasial dan pemetaan. Khusus untuk kebutuhan RTH diperlukan ekstensi CITYgreen 5.4 yang menganalisis kualitas udara, kemampuan menyimpan karbon, mengontrol aliran permukaan dan mengkonservasi energi. Kegunaan CITYgreen 5.4 dalam penelitian ini adalah mempertimbangkan bagaimana hasil analisis akan digunakan dalam perencanaan penataan lanskap kawasan wisata. Prinsip mendasar dari analisis CITYgreen 5.4 adalah pohon yang menjadi komponen RTH memberikan pelayanan ekosistem yang dapat diukur (American Forest, 2002).